Pelita Perkebunan 28 (3) 2012, 136-144
Anita-Sari et al.
Karakterisasi dan penentuan warna biji pada beberapa genotipe kakao mulia (Theobroma cacao L.) sebagai kriteria seleksi Characterization and determination of bean color of some fine-cocoa (Theobroma cacao L.) genotypes for criteria of selection Indah Anita-Sari1*), Agung Wahyu Susilo1), Yusianto1), dan Suryo Wardani1) 1)
Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, Jl. PB. Sudirman No. 90, Jember, Indonesia *) Alamat penulis (corresponding author):
[email protected] Naskah diterima (received) 29 Oktober 2012, disetujui (accepted) 21 November 2012
Abstrak Warna biji merupakan salah satu standar mutu dalam perdagangan kakao mulia. Tujuan penelitian ini adalah untuk melakukan identifikasi potensi warna biji pada beberapa genotipe kakao mulia dengan metode analisis kualitatif melalui pengamatan visual dan analisis kuantitatif dengan analisis kromatografi. Perlakuan terdiri dari tujuh nomor koleksi: PNT 14, PNT 15, PNT 16, PNT 17, PNT 18, PNT 31, PNT 41 dan dua klon pembanding yaitu DRC 16 dan DR 2. Hasil analisis kualitatif tidak menunjukkan keragaman antarindividu, sedangkan hasil analisis kromatografi menunjukkan adanya perbedaan karakter warna biji pada sembilan genotipe kakao mulia. Hasil analisis kromatografi dari sembilan genotipe menunjukkan bahwa sembilan genotipe memiliki karakter warna biji ke arah gelapmerah-kuning. Hasil analisis gerombol sembilan genotipe pada jarak 4 terbagi menjadi tiga kelompok yaitu kelompok pertama (DRC 16), kelompok kedua (PNT 16) dan kelompok ketiga (DR 2, PNT 15, PNT 17, PNT 31, PNT 14, PNT 41, PNT 18). Hasil analisis secara kuantitatif memberikan informasi lebih rinci tentang tingkatan warna biji dan secara kompleks menggambarkan tingkat kecerahan biji pada masing-masing genotipe. Hasil analisis kualitatif genotipe PNT 16 menunjukkan tingkat warna putih paling rendah, namun hasil analisis kromatografi genotipe tersebut menunjukkan tingkat kecerahan (lightness) mendekati DRC 16 dan memiliki tingkat warna merah (redness) (a*) dan kuning (yellowness) (b*) mendekati DR 2. Hasil penelitian ini selanjutnya dapat dijadikan kriteria dalam mendukung kegiatan seleksi dan eksplorasi kakao mulia. Kata kunci: Theobroma cacao, kakao mulia, karakterisasi, penentuan, warna biji, kriteria.
Abstract Bean color is one of the quality standard in fine-flavor cacao trade. This research aimed to determine and characterize the potency of bean color in some fine-flavor cocoa genotypes through qualitative analysis by visual and quantitative analysis using chromatographic analysis. The treatments were seven genotypes; PNT 14, PNT 15, PNT 16, PNT 17, PNT 18, PNT 31, PNT 41 and two clones for control; DRC 16 dan DR 2. The result of qualitative analysis did not indicate variability in each genotype, while the chromatograpic analysis showed differences in bean color on each genotype which close to dark-redyellow. Based on multivariate analysis, linkage distance 4 was divided into three groups: the first group (DRC 16), the second group (PNT 16) and
PELITA PERKEBUNAN, Volume 28, Nomor 3, Edisi Desember 2012
136
Karakterisasi dan penentuan warna biji pada beberapa genotipe kakao mulia sebagai kriteria seleksi
the third group (DR 2, PNT 15, PNT 17, PNT 31, PNT 14, PNT 41, PNT 18). The quantitative analysis gave more detail information about bean color level and provided a complex overview of light breaking on each genotype. PNT 16 showed the lowest white color level based on qualitative analysis, however, chromatographic analysis showed that PNT 16 had similar level with DRC 16 having redness level (a*) and yellowness level (b*) closed to DR 2. The results of this study can be used as criteria for the selection and support exploration and selection activities. Key words: Theobroma cacao, fine-cocoa, characterization, determination, bean color, criteria.
PENDAHULUAN Warna biji merupakan salah satu standar mutu dalam perdagangan kakao mulia. Adanya campuran warna ungu lebih dari 15% memberikan dampak terhadap penurunan harga (Anonim, 2008). Warna biji putih atau ungu terang merupakan salah satu komponen mutu yang sangat diperhatikan dalam perdagangan kakao mulia (Cakirer, 2003). Ekspresi warna biji kakao mulia sangat ditentukan oleh faktor genetik dan lingkungan. Pengaruh lingkungan dapat terjadi dengan adanya pencemaran tepung sari yang menyerbuki atau disebut sebagai efek xenia (Anita-Sari & Susilo, 2011). Faktor genetik ditunjukkan oleh kemampuan atau potensi dari masing-masing genotipe dalam menghasilkan warna biji. Menurut Iswanto & Winarno (1997), potensi genetik warna biji segar kakao bervariasi dari putih (kakao mulia) hingga ungu tua (kakao lindak) dan potensi derajat warna biji setiap genotipe akan berbeda. Oleh karena itu identifikasi potensi suatu genotipe dilakukan sebelum seleksi lebih lanjut karena berkaitan dengan biji yang akan dihasilkan. Seleksi kakao mulia berdasarkan potensi dan karakter warna biji segar selama ini dilakukan secara visual dengan melakukan penghitungan persentase warna biji pada masing-masing genotipe. Ukuran kuantitatif selama ini belum banyak digunakan dalam
pelaksanaan seleksi di lapangan. Padahal ukuran kuantitatif akan memberikan nilai yang lebih obyektif terhadap potensi genetik yang akan dipilih. Pengujian kuantitatif tingkat kecerahan atau warna biji kakao salah satunya dapat dilakukan dengan analisis kromatografi. Analisis ini dapat digunakan untuk mengkaji tingkat kecerahan (light-L), warna kromatik campuran merah hijau (a), dan warna kromatik campuran biru kuning (b). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui potensi warna biji pada beberapa genotipe kakao mulia baik secara visual maupun melalui analisis kromatografi. Hasil penelitian ini selanjutnya diharapkan dapat dijadikan dasar atau kriteria dalam kegiatan seleksi dan eksplorasi kakao mulia.
BAHAN DAN METODE Bahan dan Metode Penelitian Contoh biji diambil dari kebun Penataran, PTPN XII di lokasi koleksi kakao mulia hasil peremajaan tanaman yang ditanam tahun 1938. Pengaruh lingkungan (pencemaran tepung sari) dapat dianggap sebagai faktor minimum karena lokasi berada di lokasi pertanaman kakao mulia. Percobaan lapangan dengan rancangan plot tunggal (single plot design) dan masing-masing nomor terdiri dari 5 sampai 20 tanaman. Perlakuan terdiri dari tujuh nomor koleksi
PELITA PERKEBUNAN, Volume 28, Nomor 3, Edisi Desember 2012
137
Anita-Sari et al.
yaitu PNT 14, PNT 15, PNT 16, PNT 17, PNT 18, PNT 31, dan PNT 41, dan dua klon pembanding yaitu DRC 16 dan DR 2. Pembanding merupakan klon kakao mulia yang telah dikembangkan di PTPN XII. Pengamatan kualitatif dilakukan pada 10 contoh buah setiap genotipe dan diulang sebanyak tiga kali, sedangkan pengamatan kuantitatif diambil 3-5 buah setiap genotipe dan diulang tiga kali. Analisis warna biji dilakukan dengan dua metode yaitu secara kualitatif melalui pengamatan visual dan secara kuantitatif melalui analisis kromatografi.
Metode Visual Pengamatan warna biji dilakukan secara manual dengan menghitung persentase warna biji putih, keunguan dan ungu pada setiap buah pada masing-masing genotipe. Analisis tingkat warna biji dilakukan dengan membelah biji satu per satu dan mengelompokkan biji-biji tersebut berdasarkan pada kelompok warna menurut Iswanto & Winarno (1997).
Analisis Kromatografi Analisis kromatografi dilaksanakan di Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada dengan menggunakan alat conica minota yang dilengkapi dengan integritas langsung untuk konversi nilai light (L), warna kromatik campuran merah hijau (a), dan warna kromatik campuran biru kuning (b). Sistem notasi warna hunter dicirikan dengan tiga parameter L, a dan b dengan masing-masing kisaran nilai 0 sampai dengan 100. Notasi L menunjukkan parameter kecerahan (light). Parameter L ini memiliki nilai 0 (hitam) sampai dengan 100 (putih). Notasi L menunjukkan pencahayaan cahaya pantul
yang menghasilkan warna akromatik putih abu-abu dan hitam. Notasi a menunjukkan warna kromatik campuran merah hijau. Nilai +a (positif) berkisar 0 sampai dengan 100 untuk warna merah dan –a (negatif) dari 0 sampai dengan -80 untuk warna hijau. Notasi b menunjukkan warna kromatik campuran biru kuning dengan notasi +b (positif) dari 0 sampai dengan +70 untuk warna kuning dan nilai –b (negatif) dari 0 sampai dengan -70 untuk warna biru (Soekarto, 1990). Nilai total derajat warna (E) merupakan tingkat (derajat) warna biji masing-masing genotipe dengan klon pembanding, dihitung menurut Popov-Raljic & Lalicic-Petronijevic (2009): E =L +a +b E =
(Lc-Lp)2 + (ac-ap)2 + (bc-bp)2
E = L)2 +a)2 +b)2 Keterangan: E (nilai total derajat warna) ; L (selisih nilai L) ; a (selisih nilai a) ; b (selisih nilai b); c (genotipe); p (pembanding) Notes : E (the total value of color intensity); L (mean deviation of L); a (mean deviation of a); b (mean deviation of b); c (genotype); p (control)
Untuk menentukan tingkat perbedaan warna dilakukan dengan menghitung indeks tingkat warna putih (whiteness index, WI) sebagai berikut: W1 = 100- ((100 - L)2 + (a)2 + b)2) Keterangan: WI (indeks tingkat warna putih); L (nilai kecerahan); a (nilai kemerahan); b (nilai kekuningan) Notes : WI (whiteness index), L (lightness value), a (redness value), b (yellowness value)
Karakterisasi warna biji dari masingmasing genotipe dilakukan melalui diagram X,Y Scatter menggunakan Program Excell. Analisis gerombol sembilan genotipe berdasarkan parameter nilai L*, a* dan b* dilakukan melalui analisis gerombol dengan Program Statistika.
PELITA PERKEBUNAN, Volume 28, Nomor 3, Edisi Desember 2012
138
Karakterisasi dan penentuan warna biji pada beberapa genotipe kakao mulia sebagai kriteria seleksi
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil analisis warna biji secara kuantitatif melalui analisis kromatografi, diketahui bahwa sembilan genotipe kakao mulia menunjukkan adanya perbedaan yang ditunjukkan oleh nilai atau dimensi L*, a* dan b* (Gambar 2). Nilai L pada sembilan genotipe menunjukkan nilai positif dan berkisar antara 21,88-30,63. Kisaran nilai ini menunjukkan bahwa karakter warna biji yang terbentuk cenderung ke arah gelap. Klon DRC 16 memiliki tingkat kecerahan paling tinggi ditunjukkan oleh nilai L paling tinggi, sedangkan tujuh genotipe yang diuji lebih cenderung mendekati tingkat kecerahan klon DR 2 dan lebih gelap dibanding dengan DRC 16. Menurut Cakirer (2003), hubungan antara kandungan antosianin dan nilai kolorimeter menunjukkan tingkat kecerahan pada permukaan biji yang mengindikasikan kandungan aktual antosianin. Biji gelap pada permukaan memiliki lebih banyak antosianin pada ekstrak bijinya.
Karakterisasi Warna Biji Hasil pengamatan kualitatif terhadap persentase warna biji putih pada sembilan genotipe kakao mulia ditunjukkan pada Gambar 1. Hasil analisis menunjukkan bahwa delapan genotipe memiliki persentase warna biji putih lebih dari 85% dan satu genotipe (PNT 16) memiliki persentase warna biji putih kurang dari 85%. Potensi genetik warna biji segar kakao bervariasi dari putih (kakao mulia) hingga ungu tua (kakao lindak) dan potensi derajat warna biji setiap genotipe akan berbeda (Iswanto & Winarno, 1997). Hasil pengamatan secara kualitatif yang dilakukan secara visual tidak menunjukkan adanya variasi yang nyata antargenotipe. Keterbatasan dalam membedakan kelompok warna dipengaruhi oleh variasi pola pewarnaan pada permukaan biji kakao mulia. Secara visual pola pewarnaan tersebut akan mempengaruhi penentuan dan pengelompokan warna biji pada saat panen.
Nilai a* pada sembilan genotipe yang diuji memiliki nilai positif dan berkisar antara
100.00 94.49
94.62
PNT 16 PNT 41 PNT 17 PN 14
DR 2
Persentase warna biji putih White bean percentage
95.00
91.43
96.72
98.37
99.57
100.00
91.45
90.00 85.00 80.00 75.00 70.00
67.16
65.00 60.00 55.00 50.00 PNT 15 PNT 31 PNT 18 DRC 16
Genotipe (Genotype)
Gambar 1. Persentase biji putih sembilan genotipe kakao mulia berdasarkan analisis kualitatif Figure 1.
Percentage of white bean of nine genotypes of fine-flavour cacao based on qualitative analysis
PELITA PERKEBUNAN, Volume 28, Nomor 3, Edisi Desember 2012
139
Anita-Sari et al.
7.50
(A)
7.00
PNT 16 DR 2
6.50
a (Redness)
DRC 16
PNT 17 PNT 15
6.00
PNT 41
5.50
A
PNT 14
5.00 4.50
PNT 18 4.00 3.50
PNT 31
3.00 20.00
22.00
24.00
26.00
28.00
30.00
32.00
34.00
L (Lightness) 11.00
(B)
DRC 16
10.00
b (Yellowness)
9.00 8.00 7.00
B
6.00 5.00
PNT 17DR 2 PNT 41 PNT 15 PNT 31
4.00
PNT 16
PNT 18
3.00 20.00
22.00
24.00
26.00
28.00
30.00
32.00
34.00
L (Lightness) 11.00
(C)
DRC 16 10.00
b (Yellowness)
9.00
8.00 7.00
B
6.00 5.00 PNT 41
PNT 17 DR 2 PNT 15
4.00
PNT 31
PNT 16
PNT 14 PNT 18
3.00 3.50
4.00
4.50
5.00
5.50
6.00
6.50
7.00
a (Redness)
Gambar 2. Diagram pencar sembilan genotipe kakao mulia berdasarkan analisis tingkat kecerahan. (A) dimensi Kecerahan (L*) – Kemerahan (a*); (B) dimensi Kecerahan (L*) – Kekuningan (b*), (C) dimensi Kemerahan (a*) – Kekuningan (b*) Figure 2. Scatter diagram of nine genotypes of fine flavor cacao based on light breaking analysis. (A) dimension of Lightness (L*) – Redness (a*); (B) dimension of Lightness (L*) – Yellowness (b*), (C) dimension of Redness (a*) – Yellowness (b*)
PELITA PERKEBUNAN, Volume 28, Nomor 3, Edisi Desember 2012
140
Karakterisasi dan penentuan warna biji pada beberapa genotipe kakao mulia sebagai kriteria seleksi
3,51-6,97. Nilai a* positif menunjukkan bahwa karakter warna biji dari sembilan genotipe tersebut lebih cenderung ke arah merah. PNT 16 memiliki tingkat warna merah lebih tinggi dibanding dengan DRC 16 , DR 2 dan keenam genotipe yang lain. Menurut Cakirer (2003), kemerahan (redness) atau nilai a* tidak selalu memiliki hubungan yang erat dengan antosianin, terutama kecerahan pada bagian dalam permukaan biji. Dimensi nilai L*, a* dan b* pada sembilan genotipe kakao mulia dijabarkan pada Gambar 2. Dimensi nilai b* pada sembilan genotipe juga menunjukkan nilai positif dengan kisaran 3,24-10,72. Nilai positif menunjukkan bahwa karakter warna biji yang terbentuk cenderung mengarah pada warna kuning. Klon DRC 16 menunjukkan karakter warna kuning paling tinggi, sedangkan ketujuh genotipe yang lain lebih mendekati warna kuning klon DR 2 dan lebih rendah dibanding dengan DRC 16. Perbedaan karakter warna biji pada DRC 16 lebih dipengaruhi oleh tingginya nilai L dan b*. Perbedaan nilai tersebut menyebabkan karakter warna biji klon DRC 16 cenderung terpisah dari genotipe yang lain dan nilai ini berpengaruh terhadap tingkat kecerahan dan tingkat warna putih. Kategori warna biji khususnya spesifikasi warna biasanya dianggap sebagai jangkauan terhadap semua tiga dimensi (Ozgen & Davies, 2002). Sebagai contoh, warna kuning terbatas pada daerah relatif ringan dari ruang warna. Dimensi warna sebagian besar lebih bersifat integral. Jarak atau skala dari dua titik menunjukkan bahwa terdapat perbedaan warna biji segar kakao pada spektrum ungu, merah dan kuning (Cakirer, 2003). Warna putih sampai sangat ungu tergantung pada jumlah antosianin (Camu et al., 2008). Komponen antosianin biji kakao segar terdiri dari cyanidin-3-arabinoside 466-4552 mg/kg dengan rerata jumlah antargenotipe berbeda (Nienemak et al., 2012). Warna biji
merupakan sifat yang diwariskan dan sangat berkaitan dengan genetik dan kultivar (Cakirer, 2003; Bartley, 2005).
Determinasi Tingkat Perbedaan Warna Dalam rangka menentukan tingkat perbedaan warna pada genotipe yang diuji dengan klon kontrol dilakukan dengan menghitung E pada setiap genotipe yang diuji terhadap klon pembanding, dalam hal ini DR 2 dan DRC 16 (Popov-Raljic & Lalicic-Petronijevic, 2009). Nilai L*, a*, dan b* jika dikonversi menjadi E dapat digunakan sebagai nilai total derajat warna yang dihasilkan. Semakin rendah nilai E, maka warna contoh semakin mendekati warna standar putih. Nilai total derajat warna (E) delapan genotipe terhadap klon DR 2 menunjukkan nilai yang relatif kecil yaitu berkisar 1,48-9,8 (Tabel 1). PNT 14, PNT 15 dan PNT 17 memiliki nilai E - DR 2 paling kecil. Nilai tersebut menunjukkan bahwa tingkat total derajat warna dari ketiga genotipe tersebut cenderung mendekati dengan klon DR 2. Nilai E – DRC 16 pada delapan genotipe yang diuji berkisar antara 8,90–11,25. Genotipe PNT 16 memiliki Tabel 1. Nilai E, indeks warna putih dan persentase biji putih pada sembilan genotipe kakao mulia Table 1. Value of E, whiteness index, and white bean percentage on nine genotype of fine flavor-cocoa Aksesi
WI
Accession
E-DR 2
E-DRC 16
PNT 14
1.98
9.65
23.70
PNT 15
1.48
10.74
21.78
PNT 16
3.14
8.90
24.99
PNT 17
1.56
10.69
21.50
PNT 18
3.15
10.42
24.00
PNT 31
4.30
11.25
22.03
PNT 41
2.78
10.10
22.84
DR 2
-
9.81
22.62
DRC 16
9.8
-
29.52
White Index
Keterangan (note): E = derajat warna total (total color level)
PELITA PERKEBUNAN, Volume 28, Nomor 3, Edisi Desember 2012
141
Anita-Sari et al.
E – DRC 16 paling kecil yang berarti bahwa tingkat total warna PNT 16 paling mendekati tingkat warna biji klon DRC 16. Nilai E delapan genotipe terhadap DR 2 relatif lebih kecil dibanding dengan nilai E terhadap klon DRC 16. Nilai ini menunjukkan bahwa tingkat total warna pada delapan genotipe cenderung lebih mendekati tingkat warna klon DR 2 dibanding dengan klon DRC 16. Genotipe yang memiliki indeks tingkat warna putih (Whiteness Index) terbesar berturut-turut adalah klon DRC 16, PNT 16 dan PNT 18. Pengujian nilai WI bertujuan untuk mendapatkan keseragaman dan melakukan evaluasi tingkat warna putih pada permukaan. Nilai indeks ini digunakan untuk membandingkan tingkat putih pada contoh yang dievaluasi. Menurut Jalil & Ismail (2008), warna ungu dan keunguan pada biji kakao merupakan akibat dari perubahan secara kompleks antara katekhin dan tanin. Cakirer et al. (2005) menyebutkan bahwa antosianin merupakan bagian dari warna merah dan ungu, sedangkan proantosianin terjadi pada kulit biji dan berhubungan dengan warna hitam, merah, dan cokelat. Tingkat antosianin pada biji kakao segar tersebut berhubungan dengan tingkat flavanol. Hasil analisis kimia menunjukkan bahwa biji berwarna ungu memiliki tingkat antosianin (warna merah) lebih tinggi dibandingkan dengan biji berwarna putih. Antosianin merupakan komponen kimiawi pada warna biji kakao dan dihasilkan pada bagian metabolisme (Cakirer et al., 2005) dan regulasi di dalam biji yang merupakan indikasi potensi flavanol yang mempengaruhi kualitas biji kakao. Perbedaan flavanol ini merupakan parameter penting dalam pelaksanaan seleksi dan pemuliaan kakao. Perbedaan karakter warna biji dipengaruhi oleh prekusor pembentuk komponen warna, antara lain flavonoid yang masuk dalam kelompok polifenol (Popov-Raljic & LalicicPetronijevic, 2009). Adanya perbedaan tingkat
warna mempengaruhi kandungan polifenol yang dimungkinkan akan menyebabkan perbedaan flavor dari masing-masing genotipe. Menurut Elwers et al. (2009), rasa pahit dan sepat berhubungan dengan kandungan polifenol. Oleh karena itu seleksi atas dasar tingkat warna sangat perlu dilakukan dengan pertimbangan warna biji pada kakao mulia merupakan salah satu standar mutu yang dipakai dalam perdagangan dan berpengaruh terhadap flavor yang dihasilkan. Kedekatan karakter warna sembilan genotipe diuji berdasarkan nilai L*, a* dan b* melalui analisis gerombol ditunjukkan dalam Gambar 3. Hasil analisis gerombol pada linkage distance 4 menunjukkan bahwa terbentuk tiga kelompok (group). Kelompok pertama terdiri dari satu genotipe (DRC 16), kelompok kedua terdiri dari satu genotipe (PNT 16) dan kelompok ketiga terdiri dari tujuh genotipe. Pada Gambar 3 ini diketahui bahwa klon DRC 16 dan PNT 16 memiliki karakter warna yang berbeda dengan semua genotipe yang diuji. Terdapat enam genotipe satu kelompok dengan klon DR 2, namun genotipe yang memiliki karakter warna biji paling mendekati atau mirip dengan klon DR 2 adalah PNT 15 dan PNT 17. Hasil karakterisasi dan determinasi warna biji secara visual berbeda dengan hasil pengujian secara kuantitatif. Perbedaan mencolok terjadi pada genotipe PNT 16. Hasil pengamatan kualitatif menunjukkan bahwa PNT 16 merupakan genotipe yang memiliki tingkat warna putih paling rendah. Berbeda dengan hasil analisis kromatografi, tingkat kecerahan dari PNT 16 paling mendekati dengan DRC 16, dengan tingkat kemerahan (a*) dan kekuningan (b*) mendekati DR 2. Perbedaan hasil dari dua metode ini dapat dijadikan pertimbangan dalam kegiatan seleksi kakao mulia. Metode kualitatif yang dilakukan secara visual hanya memberikan informasi tentang
PELITA PERKEBUNAN, Volume 28, Nomor 3, Edisi Desember 2012
142
Karakterisasi dan penentuan warna biji pada beberapa genotipe kakao mulia sebagai kriteria seleksi
Jarak Euclidian
Distance Euclidian Euclidian Distance 12 10 8 6 4 2 0 DRC 16
PNT 16
DR 2
PNT 15
PNT 17
PNT 31
PNT 14
PNT 41
PNT 18
Gambar 3. Pengelompokan klon-klon kakao mulia berdasar nilai L*a*b* Figure 3. Grouping the fine-flavor cocoa clones based on L*a*b* value
warna biji di bagian luar saja, sedangkan metode kuantitatif lebih menunjukkan totalitas persentase tingkat kecerahan, kekuningan dan kemerahan dari biji. Kandungan senyawa dalam biji yang terkait dengan kualitas aroma dan flavor sedang dalam kajian yang akan dilanjutkan dalam rangkaian penelitian ini. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kedua metode dapat digunakan dalam seleksi kakao mulia, namun metode kuantitatif akan memberikan nilai lebih objektif dibanding dengan metode kualitatif.
KESIMPULAN 1. Metode kualitatif hanya memberikan informasi tentang warna di bagian luar biji, sedangkan metode kuantitatif menunjukkan totalitas persentase tingkat warna, yaitu kecerahan, kekuningan dan kemerahan pada biji. 2. Hasil analisis kualitatif relatif tidak menunjukkan keragaman tingkat warna
biji pada setiap individu. Sementara itu hasil analisis kromatografi menunjukkan perbedaan karakter warna biji pada sembilan genotipe kakao mulia. 3. Hasil analisis kromatografi terhadap sembilan genotipe kakao mulia yang diuji menunjukkan karakter warna ke arah gelap-merah-kuning dengan nilai L* (kecerahan) dan b* (kekuningan) paling tinggi adalah klon DRC 16 dan nilai a* (kemerahan) paling tinggi adalah PNT 16. 4. Tingkat total warna (E) tujuh genotipe kakao mulia cenderung lebih mendekati tingkat warna dari klon DR 2 dibanding dengan klon DRC16. 5. Nilai indeks keputihan terbesar berturutturut adalah klon DRC 16, PNT 16 dan PNT 18. 6. Terdapat tiga kelompok tingkat warna yaitu kelompok pertama (DRC 16), kelompok kedua (PNT 16) dan kelompok ketiga (DR 2, PNT 15, PNT 17, PNT 31, PNT 14, PNT 41, PNT 18).
PELITA PERKEBUNAN, Volume 28, Nomor 3, Edisi Desember 2012
143
Anita-Sari et al.
UCAPAN TERIMAKASIH Ucapan terimakasih dan apresiasi yang sebesar-besarnya disampaikan kepada Kebun Bantaran dan Afdeling Penataran, PTPN XII (Persero) atas segala dukungan dan bantuannya sehingga penelitian ini dapat berjalan dengan baik.
Elwers, S.; A. Zambrano; C. Rohsius & R. Lieberei (2009). Differences between the content of phenolic compounds in Criollo, Forastero and Trinitario cocoa seed (Theobroma cacao L.). European Food Research Technology, 229, 937-948.
DAFTAR PUSTAKA
Iswanto, A. & H. Winarno (1997). Potential fineflavored cocoa clones to produce purple and necrotic beans. Pelita Perkebunan, 13, 1-7.
Anita-Sari, I. & A.W. Susilo ( 2011). Indikasi pengaruh xenia pada tanaman kakao (Thebroma cacao L.). Pelita Perkebunan, 27, 181-190.
Jalil, A.M.M. & A. Ismail (2008). Polyphenols in cocoa and cocoa product: is there a link between antioxidant properties and health. Molecules, 13, 2190-2219.
Anonim (2008). De Zaan: Cocoa and Chocolate Manual. Archer Daniels Midland Company.
Nienemak, N.; R. Christina; E. Silke; O.N. Denis & L. Reinhard (2012). Clonal variability of polyphenols in cocoa (Theobroma cacao L.) seeds from Cameroon. Journal of Agricultural Technology, 8, 93-102.
Bartley, B.G.D. (2005). The Genetic Diversity of Cocoa and Utilization. Cabi. Portugal. Cakirer, M.S. (2003). Color as an Indicator of Flavanol Content in the Fresh Seeds of Theobroma cacao L. Thesis. The Pennsylvania State University. Cakirer, M.S.; G.R. Ziegler & M.Y. Guiltinan (2005). Seed Color as an Indicator of Flavanol Content in Theobroma cacao L. University Park. Camu, N.; T.D. Winter; S.K. Addo; J.S. Takrama; H. Bernaert & L.D. Vuyst (2008). Fermentation of cocoa beans: influence of microbial activities and polyphenol concentrations on the flavour of chocolate. Journal Science Food Agriculture, 88, 2288-2297.
Ozgen, E. & I.R.L. Davies (2002). Acquisition of categorical color perception: a perceptual learning approach to the linguistic relativity hypothesis. Journal of Experimental Psychology, 131, 477-493. Popov-Raljic, J.V. & J.G. Lalicic-Petronijevic (2009). Sensory properties and color measurements of dietary chocolates with different compositions during storage for up to 360 days. Sensors, 9, 1996-2016. Soekarto, T.S. (1990). Dasar-Dasar Pengawasan dan Standarisasi Mutu Pangan. Penerbit IPB. Bogor. *********.
PELITA PERKEBUNAN, Volume 28, Nomor 3, Edisi Desember 2012
144