KARAKTER DOMINANSI DAN PERILAKU STEREOTIPE PADA MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis) SITAAN SERTA SARAN-SARAN PENGELOLAANNYA
DYANA TAY AI AI
DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Karakter Dominansi dan Perilaku Stereotipe pada Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Sitaan serta Saran-saran Pengelolaannya adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2015 Dyana Tay Ai Ai NIM B04118008
ABSTRAK DYANA TAY AI AI. Karakter Dominansi dan Perilaku Stereotipe pada Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Sitaan serta Saran-saran Pengelolaannya. Dibimbing oleh RP AGUS LELANA. Penelitian ini didedikasikan untuk mendukung program pengelolaan perilaku monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dari hasil sitaan atraksi topeng monyet di UPT Pusat Pelayanan Kesehatan Hewan DKI Jakarta. Pengelolaan perilaku ini dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan hewan dan merehabilitasi adanya anomali perilaku stereotipe. Pengamatan terhadap kondisi kandang dan perilaku 47 monyet sitaan menggunakan metode instantaneous sampling dilakukan. Kondisi kandang yang ditemukan meliputi 4 kandang sosial stabil dan 2 kandang sosial tidak stabil. Kedua tipe kandang tersebut diwarnai dengan karakter dominansi, dimana pada kandang sosial yang tidak stabil ditemukan lebih banyak frekuensi perilaku agresif. Perilaku stereotipe geleng kepala (weaving) ditemukan hanya pada kandang sosial tidak stabil. Perilaku angguk kepala (rocking) ditemukan pada kedua tipe kandang. Ada pun perilaku melukai diri sendiri (self-injurious behaviour) ditemukan pada kandang sosial stabil. Dalam mengelola dinamika dan merehabilitasi penyimpangan perilaku tersebut di atas, diperoleh informasi perlunya pengayaan lingkungan yang meliputi pengayaan sosial, pengayaan kerja, pengayaan fisik, pengayaan sensori, dan pengayaan nutrisi. Informasi ini diharapkan dapat menjadi panduan dalam pengelolaan monyet sitaan dengan karakter dominansi dan perilaku stereotipe. Kata kunci: dominansi, macaca fascicularis, pengayaan lingkungan, stereotipe
ABSTRACT DYANA TAY AI AI. Management Suggestions for Dominant Character and Stereotypical Behaviour in Confiscated Long-tailed Macaques (Macaca fascicularis). Supervised by RP AGUS LELANA. This study is dedicated to support the behavioural management of confiscated dancing monkeys of cynomolgus macaques (Macaca fascicularis) at UPT Pusat Pelayanan Kesehatan Hewan Jakarta province. This management is to improve animal welfare and rehabilitate stereotypical anomaly behaviour. Therefore cages condition and behaviour of 47 confiscated monkeys were observed using instantaneous sampling method. The cages condition include 4 socially stable cages and 2 socially unstable cages. Dominant characteristic is found in both type of cages where at socially unstable cages shows higher frequency of aggressive behaviour. The stereotypical behaviour movement of head left to right (weaving) only found in socially unstable cage. Movement of head front to back (rocking) found in both cages and self-injurious behaviour (SIB) found in socially stable cages. In managing the dynamics and rehabilitate the abnormal behaviour mentioned above, it is found that environmental
enrichment is needed. This includes social enrichment, occupational enrichment, physical enrichment, sensory enrichment, and nutrition enrichment. It is hope that these information will be the guideline in managing dominant character of confiscated monkeys and its stereotypical behaviour. Keywords: dominant, stereotypies
environmental
enrichment,
macaca
fascicularis,
KARAKTER DOMINANSI DAN PERILAKU STEREOTIPE PADA MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis) SITAAN SERTA SARAN-SARAN PENGELOLAANNYA
DYANA TAY AI AI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang telah melimpahkan segala rahmat, karunia dan nikmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dengan baik. Judul penelitian yang dipilih adalah Karakter Dominansi dan Perilaku Stereotipe pada Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Sitaan serta Saran-saran Pengelolaannya. Skripsi ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini, penulis memberikan ucapan terimakasih kepada: 1. Pimpinan Fakultas Kedokteran Hewan IPB, Dekan, Drh. Srihadi Agungpriyono MSc. Ph.D, PAVet (K), Wakil Dekan I, Bidang Akademik dan Kemahasiswaan, Drh. Agus Setiyono, MS. Ph.D, APVet; 2. Dosen pembimbing, Dr. Drh. RP Agus Lelana, Sp MP, MSi; 3. Pimpinan UPT Pusat Pelayanan Kesehatan Hewan, Teknologi Peternakan dan Pengujian Mutu Hasil Peternakan, Dinas Kelautan, Pertanian dan Ketahanan Pangan DKI Jakarta, Drh. Eko Hendry Wicaksono MSi, Drh. V. Aswindrastuti dan Drh. Sopiyah Rahayu serta Jakarta Animal Aid Network (JAAN); 4. Dosen pembimbing akademik, Drh. Wahono Esthi Prasetyaningtyas, MSi; 5. Keluarga, Rico Tay, Kameela, Raymond Tay, Daveena Tay, Amelia Tay dan Nicol Tay; 6. Teman baik, Karen Jap dan Arjuna Lim, teman-teman dalam pengamatan perilaku, Ridzky Pratama dan Eka Deandra, serta Ganglion 48. Penulis menyadari adanya kekurangan dan keterbatasan dalam skripsi ini. Oleh itu, segala kritik dan saran terhadap skripsi ini sangat diharapkan. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat dan wawasan baru kepada pembaca.
Bogor, Agustus 2015 Dyana Tay Ai Ai
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
ix
DAFTAR GAMBAR
ix
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
1
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
2
TINJAUAN PUSTAKA
2
METODE
4
Bahan
4
Alat
4
Desain Penelitian
4
Analisis Data
4
HASIL DAN PEMBAHASAN SIMPULAN DAN SARAN
5 10
Simpulan
10
Saran
11
DAFTAR PUSTAKA
11
RIWAYAT HIDUP
14
DAFTAR TABEL 1 Tipe kandang, jumlah monyet, kondisi kandang, dan interpretasi kondisi sosial monyet 2 Profil frekuensi perilaku agresif dan stabilitas sosial 3 Jenis dan frekuensi perilaku stereotipe serta jumlah monyet yang mengalami perilaku stereotipe di kandang sosial stabil dan tidak stabil
5 6 7
DAFTAR GAMBAR 1 Kondisi kandang A 2 Kondisi kandang B 3 Feeder di luar kandang B
8 8 10
PENDAHULUAN Latar Belakang Domestikasi menyebabkan banyak satwa liar digunakan sebagai hiburan manusia, seperti monyet ekor panjang (long-tailed macaque, Macaca fascicularis) digunakan sebagai atraksi topeng monyet. Monyet ekor panjang ini selanjutnya disebut monyet. Monyet ditemukan hampir di semua kepulauan Indonesia bagian Barat dan Tengah (Supriatna 2000). Di Pulau Jawa, topeng monyet juga disebut “ledhek kethek”. Menurut Cohen (2006), pada tahun 80-an topeng monyet digunakan mengamen di pasar, perkotaan dan perdesaan diiringi musik tradisional. Kesenian ini melibatkan pawang untuk melatih monyet meniru perilaku manusia, seperti berpakaian, menari dan berdandan. Penonton topeng monyet umumnya anak-anak. Tidak semua masyarakat sependapat dengan perlakuan terhadap topeng monyet. Selain bertentangan dengan konsep kesejahteraan hewan, topeng monyet berpotensi menularkan zoonosis. Oleh karena itu, pemerintah DKI Jakarta melakukan penyitaan topeng monyet yang dilanjutkan dengan tindakan karantina dan rehabilitasi di UPT Pusat Pelayanan Kesehatan Hewan DKI Jakarta. Pengelolaan perilaku sangat diperlukan untuk menjamin kesejahteraan hewan maupun masa depannya. Pengamatan perilaku ini juga diperlukan untuk menentukan apakah monyet mampu beradaptasi dengan lingkungan baru. Salah satu aspek penting adalah mengidentifikasi besarnya karakter dominansi maupun adanya penyimpangan perilaku, seperti perilaku stereotipe yang berpotensi menghambat program konservasinya. Pengamatan dan pengayaan lingkungan diperlukan sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan hewan ataupun kesiapan reintroduksi ke habitat aslinya. Sehubungan dengan pemikiran tersebut di atas dilakukan pengidentifikasian karakter dominansi dan perilaku stereotipe pada monyet hasil sitaan topeng monyet di UPT PPKH DKI Jakarta. Hasil kegiatan ini diharapkan dapat didedikasikan untuk program konservasi monyet tersebut.
Perumusan Masalah Tidak semua monyet sitaan dari atraksi topeng monyet dalam kondisi kesehatan dan kesejahteraan yang prima. Mereka harus dikondisikan sehingga dapat dikembalikan ke habitat aslinya maupun dimanfaatkan untuk kepentingan sains. UPT Pusat Pelayanan Kesehatan Hewan DKI Jakarta menerapkan program medik konservasi yang meliputi prosedur pengamatan, karantina, pemeliharaan, dan rehabilitasi terhadap monyet dalam mewujudkan hal tersebut. Prosedur pengamatan ini tidak cukup pemeriksaan klinis dan laboratoris, tetapi harus dilengkapi dengan pengamatan perilaku. Pengamatan perilaku sangat penting sebagai basis informasi dalam pengelolaan perilaku; terutama terhadap karakter dominansi dan adanya
2 penyimpangan perilaku stereotipe. Pengamatan terhadap aspek ini belum pernah dilakukan terhadap monyet hasil sitaan di perkandangan UPT PPKH DKI Jakarta.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi karakter dominansi dan perilaku stereotipe pada Macaca fascicularis sitaan di UPT PPKH DKI Jakarta dan memberi saran-saran untuk pengelolaannya.
Manfaat Penelitian 1. Penelitian ini bermanfaat untuk memberi informasi mengenai karakter dominansi dan perilaku stereotipe pada monyet sitaan dari topeng monyet di UPT Pusat Pelayanan Kesehatan Hewan DKI Jakarta; 2. Selain itu juga bermanfaat dalam memberi saran-saran untuk meningkatkan pengelolaan perilaku melalui pengayaan lingkungan dalam rangka kesejahteraan hewan dan dalam rangka program konservasi monyet.
TINJAUAN PUSTAKA Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Monyet ekor panjang (MEP) atau disebut sebagai Macaca fascicularis atau cynomolgus monkey; selanjutnya disebut monyet adalah salah satu primata yang paling penting dalam kegunaannya sebagai hewan model dalam Basic and Applied Biomedical Research. Spesies Macaca mulatta juga dikenali sebagai rhesus monkey dan Macaca fascicularis atau long-tailed macaque, adalah primata yang paling sering dipelajari sebagai hewan model pada masa kini (Ferguson et al. 2007; Gibbs et al. 2007). Dibandingkan dengan rodensia dan anjing, primata mempunyai hubungan evolusi dan fisiologi yang lebih dekat dengan manusia (Capitanio dan Emborg 2008). Monyet merupakan satwa liar yang memiliki sebaran sangat luas akan tetapi monyet telah mengalami penurunan populasi yang cepat karena degradasi dan hilangnya habitat, pemanfaatan dalam farmasi, konflik dengan manusia sehingga status spesies tersebut perlu dikaji ulang (Eudey 2008). Karakter dominansi Menurut Hemelrijk (1999), dominansi merupakan kedudukan yang penting dalam tingkah laku sosial karena keuntungan yang didapatkan, seperti prioritas untuk akses kawin, pakan, dan tempat aman. Menurut Saroyo (2005), interaksi sosial secara dasar dibagi dua yaitu kompetitif atau antagonistik dan kooperatif yaitu positif atau afiliatif. Hierarki dominansi tergolong dalam interaksi kompetitif yang meliputi keseluruhan individu dominan dan subordinan. Hewan yang
3 dominan adalah lebih agresif berbanding hewan subordinat (Keverne 1978). Agresi mencakup agresi ringan (mengancam dengan membuka mulut, mengancam dengan suara, dan menerjang) dan agresi berat (mengusir, menendang, mencakar, dan menggigit) (Perry 1996). Dominan merupakan individu yang sering menyerang dan subordinat merupakan individu yang sering menunduk (Adrian 2006). Perilaku stereotipe Perilaku stereotipe didefinisikan sebagai perilaku yang berulang-ulang dan invarian (Mason dan Rushen 2006). Stereotipe sering berhubungan dengan kurangnya stimulasi atau akibat peristiwa yang menyebabkan stres. Perilaku stereotipe dapat mewakili upaya hewan untuk beradaptasi dengan lingkungannya namun tidak dapat ditemukan bukti yang jelas (Mason dan Latham 2004). Stereotipe dapat dikenali dengan adanya postur tubuh yang aneh atau pergerakan berulang yang berkepanjangan. Menurut Berkson (1967), stereotipe pada primata secara umum dibagi atas dua kategori yaitu deprivation stereotypes dan cage stereotypes. Deprivation stereotypes juga dikenal sebagai stereotipe yang dilakukan individu tersebut terhadap dirinya sendiri seperti self-orality, rocking, huddle, dan self- abuse. Cage stereotypes pula dapat dianggap sebagai hasil dari lingkungan hidup hewan tersebut. Pengayaan lingkungan Peningkatan kesejahteraan hewan dan perilaku normal ditemukan ketika dilakukan pengayaan lingkungan pada monyet (Bloomsmith et al. 1991). Menurut Newberry (1995), program pengayaan lingkungan harus bertujuan untuk memperbanyak perilaku normal yang ditunjukkan oleh hewan berbanding perilaku yang abnormal, mampu mencegah perkembangan atau mengurangi perilaku abnormal, meningkatkan pemanfaatan lingkungan secara positif dan meningkatkan kebolehan hewan untuk mengatasi tantangan perilaku dan fisiologikal seperti pemaparan pada manusia, manipulasi eksperimen atau variasi lingkungan. Menurut Bloomsmith et al. (1991), pengayaan lingkungan terdiri dari pengayaan fisik, pengayaan nutrisi, pengayaan sosial, pengayaan kerja dan pengayaan sensori. Pengayaan fisik dapat melibatkan perubahan ukuran atau kompleksitas pada kandang hewan atau penambahan aksesoris di kandang seperti benda, substrat, atau struktur permanen. Pengayaan nutrisi dapat melibatkan baik variasi penyajian makanan atau mengubah metode pemberian pakan. Pengayaan sosial dapat melibatkan kontak dengan konspesifik (individu lain yang sama spesies) atau manusia secara visual, olfaktori atau auditori secara langsung atau tidak langsung. Pengayaan kerja pula merupakan suatu pengayaan menggunakan benda-benda baru yang dapat memenuhi waktu hewan seperti ban dan selang. Pengayaan kerja digunakan untuk menyediakan dan meningkatkan stimulasi mental hewan. Pengayaan sensori atau dikenal juga sebagai ransangan visual contohnya televisi, auditori seperti musik dan vokalisasi atau contoh lain seperti penciuman, sentuhan dan rasa.
4
METODE Penelitian ini telah dilakukan di UPT Pusat Pelayanan Kesehatan Hewan DKI Jakarta, dari bulan Desember 2013 – Juli 2014. Pengolahan data dilakukan di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor dari bulan Maret 2015 – Agustus 2015.
Bahan dan Alat Hewan yang diamati adalah 47 Macaca fascicularis hasil sitaan dari rombongan topeng monyet. Hewan tersebut telah dikandangkan berkelompok dengan kategori kandang A dengan ukuran 6×6×3m sebagai dua kandang yang memiliki pintu koneksi dan kandang B dengan ukuran 2×4×2.5m sebagai kandang tunggal. Distribusi monyet masing-masing kandang adalah kandang A1 dan A2 sebanyak 24 ekor monyet, B1 sebanyak 3 ekor, B2 sebanyak 7 ekor, B3 sebanyak 6 ekor, dan B4 sebanyak 7 ekor. Alat dan bahan yang digunakan meliputi 2 buah unit kamera digital, 2 buah unit handycam, 4 unit camera stand, 1 unit laptop, 1 unit external hard disk, 1 unit jam, pen dan kertas label.
DESAIN PENELITIAN Sebelum melakukan pengamatan, peneliti melakukan uji coba alat perekam sebagai bentuk pra kondisi adaptasi monyet terhadap kehadiran peneliti. Setelah monyet tidak menganggap peneliti sebagai orang asing, perekaman dilakukan. Perekaman dilakukan dengan menempatkan alat di sudut-sudut di luar kandang yang tidak terjangkau oleh monyet. Perekaman dilakukan pada waktu makan pagi, siang dan sore selama 3 hari dengan durasi selama 12 menit setiap pengamatan. Hasil perekaman dikompilasikan di laptop untuk pengamatan lebih lanjut. Pengamatan perilaku dilakukan dengan menggunakan metode instantaneous sampling atau scan sampling. Metode ini merupakan bentuk pengamatan terhadap seluruh perilaku individual hewan di tempat yang sama, pada waktu yang sama, dengan interval yang sama. Jenis perilaku spesifik yang akan diamati ditetapkan sebagai ketentuan instantenous rule dalam metode scan sampling ini. Penentuan perilaku spesifik yang diamati dalam rangka meningkatkan kesejahteraan hewan melalui manajemen perilaku dititikberatkan pada aspek karakter dominansi dan adanya perilaku stereotipe yang berpotensi menghambat adaptasi monyet tersebut di habitat barunya. Alasan tersebut menyebabkan umur dan jenis kelamin tidak diamati dengan jelas.
Analisis Data Data hasil pengamatan ditabulasikan berdasarkan kondisi kandang dan interpretasinya, frekuensi perilaku agresif dan stabilitas sosial serta jenis dan
5 frekuensi perilaku stereotipe serta jumlah monyet yang mengalami perilaku stereotipe. Tipe kandang A diinterpretasikan sebagai kandang yang kurang memberi jaminan kenyamanan sosial mengingat adanya pintu penghubung yang membuatkan monyet di masing-masing kandang dapat membentuk struktur sosial yang baru. Kandang B diinterpretasikan sebagai kandang yang memberi jaminan kerna tidak ada alternatif lain. Analisis data dilakukan dengan metode deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN Masalah perkandangan Tabel 1 Tipe kandang, jumlah monyet, kondisi kandang, dan interpretasi kondisi sosial monyet Kandang A Tipe kandang Jumlah monyet (ekor) Kondisi kandang
Interpretasi kondisi sosial
1
B 2
nA1+A2=24 Kandang A1 dan A2 merupakan kandang luar (outdoor) dengan ukuran 6×6×3m yang dihubungkan dengan pintu koneksi Adanya pintu koneksi yang menghubungkan kandang A1 dan A2 menyebabkan monyet dapat menyeberang dari satu kandang ke kandang yang lain, sehingga mempengaruhi dinamika struktur sosial, akibatnya kehidupan sosial di kandang tersebut cenderung tidak stabil
1 nB1=3
2 nB2=7
3 nB3=6
4 nB4=7
Kandang B merupakan kandang dalam (indoor) yang berukuran 2×4×2.5m per kandang, terletak bersebelahan dan dipisahkan dengan dinding Tidak adanya pintu koneksi di kandang B menyebabkan kehidupan sosial monyet dianggap stabil karena setiap subkandang terpisah antara satu sama lain sehingga pembentukan struktur sosial cenderung statis
Tabel 1 menggambarkan bahwa monyet yang diamati dalam penelitian ini ditempatkan pada dua tipe kandang yang kami sebut sebagai kandang A dan kandang B. Jumlah monyet di kandang A1 dan A2 sebanyak 24 ekor monyet, sedangkan kandang B1, B2, B3, dan B4 masing-masing berisi 3, 7, 6, dan 7 ekor monyet. Terdapat perbedaan yang menyolok antara kandang A dan kandang B. Pada kandang A1 dan A2 terdapat pintu koneksi yang memungkinkan setiap saat monyet berpindah dari satu kandang ke kandang yang lain. Adapun kandang B merupakan kandang solid yang tidak memiliki pintu koneksi. Adanya peluang monyet yang berpindah dari satu kandang ke kandang yang lain menyebabkan kelompok monyet di masing-masing kandang cenderung menyusun organisasi sosial baru. Selain itu, juga terjadi perubahan organisasi keanggotaan kelompok sosial. Menurut Texas Biomedical Research Institute (2011), monyet cenderung berusaha untuk menyempurnakan bentuk hierarki sosial sehingga mempengaruhi karakter dominansi di dalam kandangnya.
6 Berdasarkan hal stabilitas sosial, Kaplan et al. (1982) menjelaskan bahwa perubahan organisasi keanggotaan kelompok sosial monyet yang berulang kali dapat menimbulkan lingkungan sosial yang tidak stabil. Dalam konteks ini dapat dipelajari bahwa perkandangan yang memiliki pintu koneksi akan menimbulkan lingkungan sosial yang tidak stabil. Ketidakstabilan lingkungan sosial akibat sistem perkandangan dapat menjadi sumber permasalahan dalam pengelolaan monyet. Menurut Paulk et al. (1977) kondisi sosial yang tidak stabil dapat menimbulkan stres. Oleh karena itu, semua aspek yang menyebabkan stres termasuk aspek perkandangan perlu diperhatikan. Berdasarkan konteks ukuran kandang, pada Tabel 1 dapat dipelajari bahwa ukuran kandang A memiliki ketinggian 3m dan kandang B 2.5m. Ukuran kandang ini menurut Primate Care (2015) telah memenuhi persyaratan; yaitu lebih tinggi dari 1.8m. Paulk et al. (1977) menyatakan bahwa akan terjadi penurunan perilaku stereotipe dan perilaku abnormal lainnya seiring dengan peningkatan ukuran kandang. Namun demikian, menurut Crockett dan Bowden (1994) pengaruh ukuran kandang terhadap munculnya perilaku yang abnormal tidak signifikan. Berdasarkan Tabel 1, diperoleh interpretasi bahwa adanya pintu koneksi pada kandang A memberikan peluang tingginya frekuensi perilaku agresif. Hal ini sesuai dengan perspektif manajemen dan perkandangan sosial menurut Erwin dan Deni (1979). Umumnya monyet dari keluarga Old World Monkeys cenderung membentuk hierarki sosial sehingga cenderung menunjukkan peningkatan tingkat agresifitas. Masalah Perilaku Karakter dominansi Karakter dominansi sangat penting sebagai landasan dalam pengelolaan perilaku. Berdasarkan Tabel 2, diperoleh gambaran bahwa pada kandang A dan B ditemukan adanya karakter dominansi. Penjelasannya adalah sebagai berikut: Tabel 2 Profil frekuensi perilaku agresif dan stabilitas sosial Kandang Stabilitas sosial Nomor kandang Frekuensi perilaku agresif (kali)
A Tidak stabil 1 2 19 10
B Stabil 1 2
2 7
3 7
4 2
Berdasarkan pengamatan, perilaku agresif yang dapat diamati adalah perilaku agresif terhadap monyet lain seperti menerjang, mengusir, dan menggigit. Berdasarkan Tabel 2, dapat dipelajari bahwa frekuensi perilaku agresif paling tinggi ditemukan pada kandang A1, yaitu 19 kali. Hal ini dimungkinkan mengingat kandang A merupakan kandang sosial yang tidak stabil dan jumlah populasinya yang lebih tinggi. Berdasarkan penjelasan ini dapat diinterpretasikan bahwa kandang A memiliki karakter dominansi yang dinamis. Menurut McCowan et al. (2008), pada kelompok sosial yang tidak stabil, perilaku agresif cenderung berkepanjangan, intensif, dan mengakibatkan trauma fisik maupun penurunan kesejahteraan psikologis.
7 Berdasarkan pengamatan juga dapat dipelajari bahwa frekuensi perilaku agresif pada kandang B adalah lebih rendah daripada kandang A. Hal ini dimungkinkan mengingat kandang B merupakan kandang yang tidak memiliki pintu koneksi sehingga menjamin kestabilan sosial monyet di kandang tersebut sekaligus menekan karakter dominansi. Menurut Nelson (2006), faktor lingkungan dapat mempengaruhi pola motorik maupun intensitas perkembangan agresifitas monyet. Perilaku stereotipe Tabel 3 Jenis dan frekuensi perilaku stereotipe serta jumlah monyet yang mengalami perilaku stereotipe di kandang sosial stabil dan tidak stabil Perilaku stereotipe Nomor kandang Jumlah monyet (ekor) Jumlah monyet yang mengalami stereotipe (ekor) Weaving (kali) Rocking (kali) Hand-biting (kali)
Kandang A
B
1
2
1 nB1=3
2 nB2=7
3 nB3=6
4 nB4=7
-
2
1
-
-
-
-
11 4 -
Perilaku stereotipe 3 1 -
-
-
nA1+A2=24
Berdasarkan Tabel 3 diperoleh gambaran bahwa perilaku stereotipe meliputi perilaku weaving atau goyangan seluruh tubuh atau kepala secara lateral lalu diikuti dengan mengangkat kaki depan dan belakang (Martuzzi et al. 2008). Perilaku mengoyangkan tubuh ke depan dan belakang juga dikenal sebagai rocking (Jankovic dan Tolosa 2007), dan perilaku menggigit tangan serta jari sendiri (hand-biting). Berdasarkan Tabel 3 juga diperoleh gambaran bahwa monyet yang menunjukkan perilaku stereotipe lebih banyak ditemukan pada kandang A2 (2 ekor) dibandingkan dengan kandang B1 (1 ekor). Perilaku stereotipe monyet pada kandang A2 umumnya ditunjukkan dalam bentuk weaving sebanyak 11 kali dan dalam bentuk rocking sebanyak 4 kali selama 3×3 hari pengamatan. Ada pun perilaku stereotipe pada monyet di kandang B1 cenderung dalam bentuk rocking dengan frekuensi 3 kali dan hand-biting dengan frekuensi 1 kali selama 3×3 hari pengamatan. Berdasarkan temuan ini dapat dipelajari bahwa kandang yang tidak mampu menjamin stabilitas sosial seperti kandang A, tidak dapat mengurangi perilaku stereotipe yang diderita monyet selama menjadi topeng monyet. Sebagaimana diketahui bahwa untuk melatih atraksi topeng monyet, pelatihan dilakukan dari sejak monyet anakan. Jika pelatihan tersebut dilakukan secara intensif dan mencekam kesejahteraan monyet anakan tersebut maka akan menimbulkan stres dan perilaku stereotipe. Hal ini sesuai dengan penjelasan Lutz et al. (2003) dan Novak (2003) bahwa stres yang berulang ketika waktu monyet anakan dapat menjadi faktor perkembangan perilaku stereotipe di Macaca. Selain itu, perilaku stereotipe adalah indikator yang dapat mencerminkan masalah kesejahteraan hewan.
8 Solusi berbasis pengayaan lingkungan Berdasarkan pembahasan pada aspek karakter dominansi dan perilaku stereotipe tersebut di atas, diperoleh gambaran bahwa untuk mewujudkan manajemen perilaku yang efektif diperlukan solusi dengan pendekatan perkandangan dan pengayaan lingkungan. Pendekatan perkandangan ini sangat penting untuk menekan tingkat karakter dominansi seperti yang terjadi pada kandang A. Solusi yang strategis untuk mengurangi karakter dominansi di kandang A adalah dengan cara menghilangkan pintu koneksi A1 dan A2. Dengan demikian, dinamika sosial pada kandang A menjadi lebih stabil. Menurut Boere (2001), pengayaan lingkungan diperlukan untuk menjamin kesejahteraan monyet yang lebih optimal. Menurut Texas Biomedical Research Institute (2011), pengayaan lingkungan terdiri dari pengayaan fisik, pengayaan nutrisi, pengayaan sensori, pengayaan sosial, dan pengayaan kerja. Pengayaan fisik
Gambar 1 Kondisi kandang A
Gambar 2 Kondisi kandang B Berdasarkan Gambar 1, diberikan gambaran bahwa di kandang A, dapat dilihat dahan kayu dan dari gambar 2 terlihat di kandang B terdapat platform kayu. Menurut Baker et al. (2006), salah satu ciri pengayaan fisik adalah harus disediakan tempat yang tinggi untuk hewan bertengger. Di semua kandang dapat
9 diamati adanya selang untuk hewan memanjat. Di kedua-dua tipe kandang, terlihat adanya ban yang dapat digunakan sebagai ayunan dan untuk memanjat. Hal ini sesuai menurut Hoy et al. (2010) dimana untuk melakukan pengayaan fisik dapat juga disediakan tempat ayunan. Pengayaan nutrisi Berdasarkan hasil pengamatan pemberian pakan, diperoleh gambaran bahwa pakan disajikan masih dalam bentuk berkulit dan diberikan di lantai maupun di atas kandang. Pemberian pakan seperti ini meningkatkan perilaku foraging. Hal ini sesuai dengan pernyataan Texas Biomedical Research Institute (2011). Berdasarkan penulisan tersebut disarankan pemberian pakan berupa buahbuahan atau sayur-sayuran dalam bentuk yang tidak dipotong atau berkulit dapat meningkatkan perilaku foraging yang sangat penting untuk mempersiapkan monyet sebelum dilepasliarkan. Pengayaan sensori Berdasarkan pengamatan di lapangan, belum terlihat adanya pengayaan sensori untuk menstimulasi auditori, visual, olfaktori, dan taktil. Hal ini sesuai dengan penjelasan Wells (2009) bahwa keberhasilan pengayaan sensori sangat jarang dievaluasi. Menurut Texas Biomedical Research Institute (2011), untuk meningkatkan pengayaan sensori perlu dilakukan pengayaan menggunakan televisi, musik, atau aroma baru. Radio dapat digunakan untuk menambahkan kepelbagaian auditori. Volume harus dikekalkan pada tahap yang berpatutan, tidak melebihi 85 db dan radio dapat dimainkan selama satu hingga lapan jam per hari namun harus dimatikan pada malam hari. Pengayaan sosial Dari hasil pengamatan di lapangan diperoleh gambaran bahwa pihak UPT Pusat Pelayanan Kesehatan Hewan DKI Jakarta telah mengandangkan monyet secara acak dan bersifat campuran umur dan jenis kelamin. Interaksi sosial adalah suatu bentuk pengayaan sosial yang sangat bermanfaat namun tidak selalu dapat dilakukan karena tergantung dari konteks paradigma eksperimental atau perilaku individual hewan (Reinhardt et al. 1987).
10 Pengayaan kerja
Gambar 3 Feeder di luar kandang B Berdasarkan Gambar 3, feeder dapat diamati di semua kandang B yaitu subkandang B1, B2, B3, dan B4. Feeder berfungsi untuk menstimulasi penyelesaian masalah dan koordinasi. Hal ini juga dapat mengisi waktu hewan, memperkuatkan interaksi yang positif dengan manusia, dan untuk meminimalisir stres. Salah satu contoh alat feeder adalah puzzle feeder yang meningkatkan waktu mencari makan dan ditemukan hasil dapat mengurangkan perilaku stereotipe pada monyet (Honess dan Marin 2006). Selain itu, pelatihan positive reinforcement juga harus dilakukan. Positive reinforcement adalah suatu proses dimana pemberian sesuatu yang menyenangkan seperti treats atau pujian secara verbal ketika monyet menunjukkan suatu perilaku akan meningkatkan kemungkinan hal yang sama berulang pada waktu akan datang. Pelatihan ini dianggap bermanfaat karena akan meminimalisir stres lingkungan pada hewan. Teknik pelatihan positive reinforcement telah berhasil dalam mengurangi insiden dan keparahan perilaku abnormal (Laule 1993).
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Adanya pintu koneksi yang dapat dilewati oleh monyet pada perkandangan UPT Pusat Pelayanan Kesehatan Hewan DKI Jakarta menyebabkan peningkatan frekuensi agresifitas sebagai cermin karakter dominansi pada kandang tersebut. Kandang yang tidak mampu menjamin kestabilan sosial menyebabkan perilaku stereotipe yang diderita monyet sejak dijadikan atraksi topeng monyet sulit untuk direhabilitasi. Perilaku stereotipe tersebut meliputi weaving, rocking dan handbiting. Pengayaan lingkungan yang meliputi pengayaan fisik, pengayaan nutrisi, pengayaan sensori, pengayaan sosial, dan pengayaan kerja perlu dilakukan untuk mewujudkan pengelolaan perilaku monyet yang memenuhi azas kesejahteraan hewan.
11 Saran Penutupan pintu koneksi perlu dilakukan untuk menekan peningkatan karakter dominansi pada kandang yang tidak mampu menjamin stabilitas sosial. Manajemen perilaku yang memfokuskan pada individu perlu dilakukan untuk menekan munculnya perilaku stereotipe. Aspek sanitasi dan higiene lingkungan perlu mendapat perhatian dalam hal pengayaan lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA Adrian AH. 2006. Afiliasi antar monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) betina di Pulau Tinjil [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Baker KC, Weed JL, Crockett CM, Bloomsmith MA. 2006. Survey of environmental enhancement programs for laboratory primates. Am J Primatol. 69(4):377-394.doi:10.1002/ajp.20347. Berkson G. 1967. Abnormal stereotyped motor acts. Zubin J & Hunt HF, Editor. Comparative psycho-pathology: animal and human. New York (US): Grune & Stratton. Bloomsmith MA, Brent LY, Schapiro SJ. 1991. Guidelines for developing and managing an environmental enrichment program for nonhuman primates. Lab Anim Sci. 41(4):372–377. Boere V. 2001. Environmental Enrichment for Neotropical Primates in Captivity. Ciência Rural. 31 (3):543-551. Capitanio JP, Emborg ME. 2008. Contributions of non-human primates to neuroscience research. Lancet. 371(9618):1126-1135.doi: 10.1016/S01406736(08)60489-4. Cohen MI. 2006. The Komedie Stamboel: Popular Theater in Colonial Indonesia, 1891-1903 (Ohio RIS Southeast Asia Series). Ohio (US): Ohio University Pr. Crockett CM, Bowden DM. 1994. Challenging conventional wisdom for housing monkeys. Lab Anim. 23(2):29-33. Erwin J, Deni R. 1979. Strangers in a strange land: Abnormal Behaviours or abnormal environments in TL Maple. Erwin J & Mitchell G, Editor. Captivity and behaviour: Primates in breeding colonies, laboratories and zoo. New York (US): Van Nostrand Reinhold Eudey AA. 2008. The crab-eating macaque (Macaca fascicularis): widespread and rapidly declining. Prim Cons. 23: 129-132. Ferguson D, Street SL, Wright H, Pearson C, Jia Y, Thompson SL, Allibone P, Dubay CJ, Spindle E, Norgren RB. 2007. Single nucleotide polymorphisms (SNPs) distinguish indian-origin and chinese-origin rhesus macaques (Macaca mulatta). BMC Genomics. 8 (43). doi: 10.1186/1471-2164-8-43. Gibbs RA, Rogers J, Katze MG, Bumgarner R, Weinstock GM, Mardis ER, Remington KA, Strausberg RL, Venter JC, Wilson RK, et al. 2007. Evolutionary and biomedical insights from the rhesus macaque genome. Science. 316(5822): 222-234.
12 Hemelrijk CK. 1999. Effects of cohesiveness on inter-sexual dominance relationships and spatial structure among group-living virtual entities. Lect Not Comp Scien. 1674: 524-534. Honess PE, Marin CM. 2006. Enrichment and aggression in primates. Neur Biobehav.l Rev. 30:413-436. Hoy JM, Murray PJ, Tribe A. 2010. Thirty years later: enrichment practices for captive mammals. Zoo Biol. 29(3):303-316. doi:10.1002/zoo.20254. Jankovic J, Tolosa E. 2007. Parkinson's Disease and Movement Disorders M Medicine Series. Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins. Kaplan JR, Manuck SB, Clarkson TB, Lusso FM, Taub DM. 1982. Social status, environment, and atherosclerosis in cynomolgus monkeys. Arterioscler Thromb Vasc Biol. 2:359-368. Keverne EB. 1978. Sexual and aggressive behaviour in social groups of talapoin monkeys. Ciba Found Symp. 62:271-97. Laule GE. 1993. The use of behavioral enrichment management techniques to reduce or eliminate abnormal behavior. AWIC Newsletter. 4(4):1-2,8-11. Lutz C, Well A, Novak M. 2003. Stereotypic and self-injurious behavior in rhesus macaques: A survey and retrospective analysis of environment and early experience. Am J Primatol. 60(1):1-15. Martuzzi F, Rizzoli AG, Vaccari SF, Catalano AL. 2008. An investigation about weaving stereotypy in show-jumping horses. Netherlands:Wageningen Academic Publishers. Mason G, Rushen J. 2006. Stereotypic Animal Behaviour Fundamentals and Applications to Welfare 2nd Edition. Trowbridge (UK): Cromwell Pr. Mason GJ, Latham NR. 2004. Can’t stop, won’t stop: is stereotypy a reliable animal welfare indicator?. Anim. Welf. 57-69. McCowan B, Anderson K, Heagarty A, Cameron A. 2008. Utility of social network analysis for primate behavioral management and well-being. Appl Anim Behav Sci. 109(2-4):396-405. Nelson RJ. 2006. Biology of Aggression. New York (US): Oxford University Pr. Newberry RC. 1995. Environmental Enrichment: Increasing the biological relevance of captive environments. Appl Anim Behav Sci. 44:229-243. Novak MA. 2003. Self-injurious behavior in rhesus monkeys: new insights into its etiology, physiology, and treatment. Am J Primatol. 59(1):3-19. Paulk HH, Dienske H, Ribbens LG. 1977. Abnormal behavior in relation to cage size in rhesus monkeys. J Abnor Psychol. 86(1):87-92. Perry S. 1996. Female-female social relationships in wild white-faced Capuchin monkeys (Cebus capucinus). Am J Primatol. 40(2):167–182. Primate Care. 2015. Primate Housing. [Internet]. Tersedia pada http://primatecare.com/primate-housing/ Reinhardt V, Houser WD, Eisele SG, Champoux M. 1987. Social enrichment of the environment with infants for singly caged adult rhesus monkeys. Zoo Biol. 6:365–371. Saroyo. 2005. Karakteristik dominansi monyet hitam Sulawesi (Macaca nigra) di cagar alam tangkok-batualis, Sulawesi Utara [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Supriatna J. 2000. Konservasi Satwa Primata. Tinjauan Aspek Ekologi, Sosial Ekonomi, dan Medis dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
13 Seminar Primatologi Indonesia. Fakultas Kedokteran Hewan dan Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta: (ID). Texas Biomedical Research Institute. 2011. Nonhuman Primate Environmental Enhancement Plan of the Southwest National Primate Research Center. Texas: (US). Wells DL. 2009. Sensory stimulation as environmental enrichment for captive animals: A review. Appl Anim Behav Sci. 118(1-2):1-11.
14
RIWAYAT HIDUP Dyana Tay Ai Ai dilahirkan di Johor, Malaysia pada tanggal 19 Juni 1993 dari pasangan Tay Chew Thwa dan Kameela A/P Philipu. Penulis merupakan anak pertama dari lima bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan awal di TK Adik-adik dan melanjutkan studi ke SK Wangsa Maju (1) selama 4 tahun dan Sekolah Kebangsaan Bukit Pantai selama 2 tahun. Kemudian melanjutkan pendidikan di MJSC Pasir Salak dari tahun 2006 hingga tahun 2010. Setelah itu meneruskan pendidikan ke Geomatika International College. Pada tahun 2012, penulis diterima sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Selama melakukan pendidikan, penulis aktif dibeberapa organisasi seperti Persatuan Kebangsaan Pelajar-pelajar Malaysia di Indonesia (PKPMI C-BO) dan pernah menjabat sebagai Exco Sukan 2 periode 2012/2013 dan 2013/2014. Selain itu, penulis juga menjabat sebagai Bendahara 1 pada periode 2014/2015. Penulis juga aktif sebagai anggota Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Bulu Tangkis IPB dan Himpunan Profesi Hewan Kesayangan dan Satwa Akuatik Eksotik FKH IPB serta aktif mewakili angkatan dan FKH dalam cabang olahraga bulu tangkis di Olimpiade Veteriner (OLIVE) dan Olimpiade Mahasiswa IPB (OMI).