1
Kapitalisme Semu (Ersazt Capitalism) dalam Industri Otomotif Indonesia Era Orde Baru (1969-1998) Insan Praditya Anugrah NPM:0906635955 Program Studi Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, Jawa Barat, 16424, Indonesia E-mail:
[email protected],
[email protected]
Abstrak Jurnal ini membahas mengenai kapitalisme semu dalam Industri otomotif Indonesia pada era Orde Baru, kurun waktu 1969-1998. Penulis menggunakan konsep kapitalisme semu yang diutarakan oleh Kunio Yoshihara, untuk melihat dominasi para kapitalis ersazt dalam industri otomotif Indonesia, serta mengapa kapitalisme semu gagal menciptakan kemandirian otomotif Indonesia selama era Orde Baru. Sesuai dengan konsep yang diutarakan Kunio, maka skripsi ini menganalisis struktur kapitalisme di Indonesia dari empat komponen utama mengenai kapitalisme yang diutarakan kunio, yakni Modal asing, Ketergantungan teknologi,Intervensi Negara, dan Modal Cina. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa para kapitalis yang berperan dalam terciptanya integrasi vertikal dan dominasi modal prinsipal dalam dalam industri otomotif. Para kapitalis enggan mendukung programprogram pemerintah menuju kemandirian otomotif, oleh karena itu mereka lebih memilih mempererat hubungan mereka dengan prinsipal asing, agar mereka dapat memperoleh keuntungan cepat, tanpa investasi dan riset teknologi yang banyak. Kata Kunci : Kapitalisme, Modal Asing, Industri Otomotif
Abstract This Journal focus on ersazt capitalism in Indonesia’s automotive Industry during New Order Era, from 19691998. Based on Kunio Yoshihara concept, this thesis analyze the dominant of ersazt capitalists and how it failed to make self-reliance in Indonesian Automotive Industry during New Order’s periods. The analysis is follows to Yoshihara’s Ersazt Capitalism concept, that will concern on four main aspects such as Foreign investment, technological dependency, state intervention, and chinese capital. This research found the role of Capitalists in creating vertical integration and strenghten of foreign investment and technological domination in Indonesian automotive Industry. They reluctant to support government programs toward self-reliance of national automotive Industry, therefore, the capitalists choose to strenghten their ties with foreign principals, in order to get immediate profit without much investment and technological research . Keywords: Capitalism, Foreign Investment, Automotive Industry
Kapitalisme semu..., Insan Praditya Anugrah, FIB UI, 2014
2
Pendahuluan Kemandirian industri otomotif nasional di Indonesia merupakan isu yang selalu muncul ke permukaan dari masa ke masa namun tidak pernah terwujud, cita-cita memiliki industri otomotif yang mandiri hanya menjadi wacana sejak selama 45 tahun sejak cita-cita tersebut mulai diupayakan pemerintah Orde Baru pada tahun 1969 mencanangkan rencana pembangunan jangka panjang 25 tahun(Ricardi S Adnan. 2010 hlm.79), yang salah satunya mewujudkan kemandirian industri otomotif Indonesia.
Sejak era Orde Baru, upaya alih teknologi dalam pengembangan industri otomotif Indonesia telah direncanakan secara bertahap, mulai dari menetapkan pembebanan bea masuk impor CBU maupun CKD melalui PP No.6 Tahun 1969(PP No.6 Tahun 1969), dilanjutkan dengan program penanggalan komponen dan pemakaian komponen lokal telah diupayakan melalui SK Kementrian Perindustrian tahun 1976, hingga Instruksi Presiden No.2 Tahun 1996 mengenai program mobil nasional (MOBNAS). Hingga kejatuhan Orde Baru tahun 1998 Indonesia tidak pernah dapat menciptakan industri mobil nasional seperti yang dicita-citakan. Ketidakberdayaan bangsa untuk menguasai teknologi tinggi merupakan permasalahan utama, aspek lain yang harus diteliti adalah mengapa kemudian modal asing dapat menguasai struktur kapitalisme di Indonesia, tentunya tidak lepas dari faktor para kapitalis Indonesia sendiri, menurut Kunio Yoshihara struktur kapitalisme di Asia Tenggara sebagai kapitalisme semu (ersatz capitalism) (KunioYoshihara.1990,hlm.2). Kapitalis di Indonesia, tidak menjadi agen modernisasi, karena usaha-usaha di bidang industri manufaktur termasuk otomotif tidak muncul berdasarkan keinginan mereka membangun industri. Para kapitalis lahir dari proyek kelas Negara, baik pribumisasi maupun para pengusaha etnis Cina. Para kapitalis ditunjuk dari orang-orang terdekat dengan aparat Negara, partai berkuasa, dan pihak militer. Meskipun menjalankan usahanya dengan modal sendiri, namun para kaptalis Indonesia sama sekali tidak mandiri, karena tergantung pada modal dan teknologi prinsipal asing dan tidak melakukan inovasi teknologi, sehingga tidak dapat menjadi agen modernisasi ekonomi bagi Negaranya (Kunio Yoshihara.1990.hlm. 3-4) seperti terlihat pada kapitalisme Amerika Serikat, Jepang, dan Korea Selatan. Ketergantungan terhadap modal dan teknologi prinsipal asing menjadikan para kapitalis di Indonesia tidak lebih dari sekedar rent-seekers. yang cenderung hanya megincar fasilitas dan proteksi yang disediakan Negara demi mengejar keuntungan dengan jumlah besar dan dapat dicapai dalam waktu dekat (immediate high
Kapitalisme semu..., Insan Praditya Anugrah, FIB UI, 2014
3
return) (Ian Brown. 1997. hlm. 265). Para kapitalis hanya bergerak pada usaha tersier dan hanya menjadi mitra yang bertindak sebagai agen penyalur produk perusahaan transnasional di Negaranya (komparador). Orde baru mencanangkan program REPELITA I (Rencana Pembangunan Lima Tahun), yang didalamnya dimuat mengenai perlunya pembangunan sektor-sektor strategis. Didalam repelita dikemukakan bahwa pembangunan industri perakitan otomotif sebagai upaya alih teknologi mewujudkan masyarakat Indonesia yang Technology-Minded sekaligus menarik perusahaanperusahaan asing untuk berinvestasi di Indonesia apabila tenaga ahli dari Indonesia sudah memadai (REPELITA I Jilid 2.hlm.49). Sebagai langkah awal untuk memajukan industri otomotif, pemerintah Orde Baru pada tahun 1969 melalui departemen perindustrian dan departemen perdagangan
mengeluarkan
peraturan pemerintah yaitu PP. No. 6 tahun 1969 mengenai penerapan tarif bea masuk bagi kendaraan impor daam bentuk CBU (Wahyu Wibowo.1998. hlm. 55) dan melarang impor tipe kendaraan yang di produksi didalam negeri dalam bentuk CBU (Complitely Build Up) dan SKD (Semi Knocked Down), setiap kendaraan harus diimpor dalam bentuk CKD (Complitely Knock Down). Pada tahun 1976, pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk mendorong munculnya industri komponen lokal, dengan peraturan Nomor 307 tahun 1976 mengenai pengharusan penggunaan komponen lokal bagi perakitan kendaraan niaga. Untuk itu diadakan program deletion/ penanggalan komponen yang ditujukan pengalihan pembuatan komponenkomponen mobil yang sebelumnya impor dari prinsipal, menjadi komponen-komponen yang rencananya sudah dibuat secara lokal hingga batasan waktu tahun 1980 (SK Menteri Perindustrian RI No.307 1976). Kebijakan ini ditujukan untuk menumbuhkan pabrik perakitan lokal di Indonesia dan industriindustri komponen seperti cat, ban, dan baterai/aki, yang bersumber dari modal nasional yang independen. Pembangunan industri komponen ini dimaksudkan agar modal nasional dapat berperan terlebih dahulu pada industri hulu, sebelum akhirnya ke hilir. Peningkatan aspirasi mengenai industri perakitan otomotif pada era awal Orde Baru diiringi dengan kemunculan kapitalis-kapitalis baru dari unsur pebisnis cina dan militer. Pebisnis Cina yang mulai muncul pada 1971 adalah Liem Sioe Liong, yang berkat patronase nya dengan jendral Soerjo dan Dirjen logan dan mesin Ir.Suhartoyo, ia berhasil menjalin kerjasama dengan Toyota, kemudian Liem Sioe Liong, berkat kedekatannya dengan Soeharto ia dapat mengambil alih beberapa keagenan merk mobil dari barisan lama, termasuk keagenan Nissan dari pihak
Kapitalisme semu..., Insan Praditya Anugrah, FIB UI, 2014
4
militer. Liem dan William memperoleh monopoli bisnis beberapa agen otomotif, sayangnya monopoli ini disertai keberpihakan mereka kepada para prinsipal Jepang, sehingga terjadi integrasi vertikal modal Jepang dari industri komponen hingga kepada perakitannya, bahkan pada tahun 1980 para prinsipal asing, terutama Jepang telah membangun fasilitas produksi mesin di Indonesia, sehingga modal jepang semakin terintegrasi, dan Negara pun menarik diri dari industri otomotif. Dalam kurun waktu 1969 hingga awal dekade 1990an, beberapa proyek mobil yang bertujuan untuk alih teknologi dan pelatihan Sumbe Daya Manusia telah muncul, mulai dari Proyek KBNS (Kendaraan bermotor Niaga Sederhana) yang dimulai pada dekade 1970an , kemdian pada dekade 1990an muncul Mazda MR90 hasil pembelian lisensi dari merk Mazda, serta mobil Maleo yang dicetuskan oleh Habibie dan Beta 97 rancangan Bakrie yang berasal dari non-ATPM, namun akhirnya pada tahun 1996 Presiden Soeharto menunjuk PT. Timor Putra Nasional milik Tommy Soeharto proyek mobil nasional dilaksanakan oleh bekerjasama dengan perusahaan mobil KIA (Wahyu Wibowo.1998,hlm.43). Semangat kemandirian dalam periode boom mobil nasional tahun 1990an tidak berkaitan sama sekali dengan program penanggalan dan lokalisasi sebelumnya sebelum tahun 1980an, yang bertujuan agar Indonesia dapat memproduksi mobil secara lengkap setelah terlebih dahulu memilik industri komponen yang independen dari modal prinsipal. Proyek-proyek periode 1990an lebih merupakan upaya yang terpisah-pisah dan tidak terintegrasi satu dengan lainnya.
Perumusan Masalah Berdasarkan pemaparan diatas, maka pokok permasalahan yang perlu adalah mengapa praktek kapitalisme semu dalam industri otomotif Indonesia tahun 1969-1998 membuat Indonesia tidak berhasil mewujudkan kemandirian industri otomotif nasional. Agar pertanyaan besar dalam pokok permasalahan tersebut dapat dijawab secara mendalam, maka diajukan beberapa pertanyaan penelitian, diantaranya sebagai berikut : 1. Mengapa para kapitalis di Indonesia dalam industri otomotif disebut sebagai ersazt? 2. Seberapa besar para kapitalis ersazt mempengaruhi industri otomotif di Indonesia era Orde Baru 1969-1998? 3. Mengapa kapitalisme semu (ersazt capitalism) tidak berhasil mewujudkan kemandirian otomotif nasio
Kapitalisme semu..., Insan Praditya Anugrah, FIB UI, 2014
5
Metode Penelitian Metode dalam penelitian ini menggunakan metode sejarah yang terdiri dari empat tahapan (Kuntowijoyo.2005, hlm. 12-17), diantaranya pengumpulan data atau heuristik, kritik terhadap sumber secara intrinsik maupun ekstrinsik, interpretasi terhadap informasi sumber, dan penulisan karya sejarah atau historiografi. Berikut ini adalah proses yang telah dijalankan selama menjalankan penelitian ini. Tahapan pertama yaitu pengumpulan data atau heuristik, dalam tahapan ini yang dilakukan adalah pengumpulan data yang dapat digunakan sebagai sumber penulisan dalam penelitian ini. Data-data yang diperoleh melalui studi pustaka baik sumber-sumber primer berupa korankoran artikel sezaman, keputusan presiden, keputusan menteri dan kepala BKPM, Undangundang, serta wawancara dengan pakar dan pelaku yang terkait dengan tema yang diambil. Adapun sumber-sumber sekunder seperti artikel ilmiah dan buku hasil studi, thesis-thesis dan disertasi terdahulu terkait perkembangan Industri otomotif di Indonesia pada era pasca Peraturan Pemerintah tahun 1969 Setelah berhasil mengumpulkan data-data yang relevan, maka diadakanlah tahap kritik sumber, berupa pengujian terhadap data-data dan sumber-sumber sejarah yang berhasil dikumpulkan ini dicek kebenarannya dan diperbandingkan satu sama lainnya sehingga dapat diketahui apabila ada data ataupun sumber yang isinya keliru atau tidak didukung sumbersumber lainnya. Kritik sumber ini dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu berupa kritik intern maupun ekstern. Kritik intern yang dimaksud adalah melakukan pemeriksaan terhadap unsur-unsur intrinsik yaitu kecocokan isi dokumen yang dikeluarkan sebuah institusi dengan dokumen dari institusi lain, serta sumber-sumber lain seperti artikel, koran, dan buku. Kritik ekstern dapat berupa pemeriksaan keaslian sumber terkait apakah sumber tersebut turunan atau bukan dilihat dari tahun terbit dan kondisi materi yang didapat. Setelah sumber-sumber yang didapat, baik primer maupun sekunder dipastikan kebenarannya, maka dilakukanlah tahap interpretasi mengenai fakta-fakta yang didapat dari sumber terkait, maka fakta-fakta ini disambungkan dengan konteks zaman serta fakta-fakta lainnya, agar informasi yang ada didalam data tersebut dianalisis dan diberikan makna untuk menjelaskan sebab dan akibat, serta faktor-faktor yang mempengaruhi suatu peristiwa.
Kapitalisme semu..., Insan Praditya Anugrah, FIB UI, 2014
6
Tahapan terakhir adalah historiografi atau tahapan penulisan sejarah, dalam tahap ini seluruh fakta yang telah diinterpretasi dan memiliki hubungan satu sama lain ditulis dan diberi periodesasi berdasarkan keunikan, kesamaan, serta karakteristik tertentu dari fakta-fakta tersebut. Fakta-fakta ini akan ditulis secara kronologis yang memiliki benang merah dan disertai analisis mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi.
Pembahasan Kapitalisme semu (ersazt capitalism) diutarakan oleh Kunio Yoshihara pada tahun 1980an, meskipun pengamatan Kunio didasarkan pada keadaan dekade 1980an di Asia Tenggara merupakan hasil pengamatan tiga dekade yang lalu, namun pendekatan ini masih cukup relevan hingga saat ini. Dengan kacamata ini memungkinkan untuk melihat mengapa kemandirian industri otomotif nasional semasa Orde Baru mengalami kegagalan, namun sebelum membahas substansi mengenai industri otomotif, akan diterangkan terlebih dahulu mengenai apa yang dimaksud Kunio Yoshihara dengan kapitalisme semu (ersazt capitalism). Kata ersazt berasal dari bahasa Jerman, yakni ”substitusi” atau ”pengganti”. Kata ini kemudian dipakai didalam bahasa Inggris, dengan pengertian yang sedikit berbeda, yakni ”pengganti yang lebih inferior”. Dengan demikian, kapitalisme ersazt bukanlah kapitalisme yang sebenarnya, akan tetapi kapitalisme substitusi yang lebih inferior
(Kunio
Yoshihara.1990. Jakarta : LP3ES, hlm.xiii). Sistem kapitalisme dalam artian baku didasarkan atas sektor usaha yang merupakan kepemilikan pribadi dan usaha bebas, dalam artian kapitalis memproduksi barang dengan modal milik pribadi, serta bertanggungjawab atas kompetisi bisnis dan melakukan inovasi produk yang dihasilkan oleh industri miliknya demi memenangkan persaingan usaha. Berdasarkan inovasi yang dilakukannya para kapitalis, juga merupakan agen modernisasi ekonomi bagi Negaranya, seperti terlihat pada kapitalisme Eropa, Amerika Serikat, Jepang, dan Korea Selatan (Kunio Yoshihara.1990, hlm. 3-4). Di negara-negara Asia tenggara, kelas kapitalis diciptakan oleh Negara, dan diupayakan melalui intervensi negara terhadap modal melalui kebijakan nasionalisme maupun dan pribumisasi bisnis, maupun perlindungan terhadap golongan kapitalis tertentu di dalam negeri. Oleh karena pengusaha yang tumbuh tersebut lahir dari upaya negara membentuk kelas kapitalis di dalam negeri, karier seseorang untuk menjadi pengusaha didapat dari kedekatan personal dengan penguasa (patronase), bukan karena perjuangan mereka untuk berusaha dalam industri tertentu, seperti Eropa, Amerika,Jepang, dan Korea Selatan. Proyek
Kapitalisme semu..., Insan Praditya Anugrah, FIB UI, 2014
7
Negara dalam menciptakan kelas kapitalis membuat para kapitalis menjadi tergantung kepada fasilitas negara untuk menjalankan usahanya, mereka tidak memiliki mental kapitalis yang mau menanggung resiko bisnis yang besar, karena era kolonialisme yang panjang tidak memberikan kesempatan bagi kaum pribumi untuk memiliki usaha bebas, terlebih di bidangbidang yang menggunakan teknologi modern. Para kapitalis di Indonesia memang menjalankan usahanya dengan modal sendiri, namun mereka sama sekali tidak mandiri karena tergantung pada modal dan teknologi prinsipal asing, sehingga tidak dapat menjadi agen modernisasi ekonomi bagi Negaranya, seperti terlihat pada kapitalisme yang disebut Kunio tidak ersazt di Negara-negara Eropa, Amerika Serikat, Jepang, dan Korea Selatan. Kapitalis Indonesia hanya yang menjadi mitra prinsipal asing yang bergerak di sektor usaha tersier, yakni sebagai agen penyalur produk perusahaan transnasional di Negaranya sendiri (komparador). Patronase dengan penguasa dan determinisme modal asing dalam bidang teknologi ini membuat para kapitalis pribumi hanya bertindak sebagai pemburu rente (rent-seekers) dan spekulator, yang cenderung megincar fasilitas dan proteksi yang Negara dan hubungan baik dengan prinsipal asing semata demi mengejar keuntungan dengan jumlah besar dan dapat dicapai dalam waktu singkat(immediate high return)( Ian Brown. 1997. hlm. 265). Berbeda dengan kapitalis di Eropa, Amerika Serikat, Jepang, bahkan Korea, negara-negara di Asia tenggara memulai kapitalisme ketika struktur perekonomian dunia sudah terintegrasi satu dengan lainnya, hal ini menuntut para kapitalis Asia tenggara untuk ’menyusul’ para kapitalis di Negara-negara yang sudah mengalami fase industrialisasi jauh sebelumnya, kendala utama yang dihadapi para kapitalis di Asia tenggara, dan Indonesia pada khususnya adalah masalah permodalan, teknologi, dan akses ke pasar luar negeri. Dengan demikian, kapitalisme semu (ersazt capitalism) dapat dilihat sebagai sebuah struktur kapitalisme yang berlaku di Negara-negara Asia tenggara, yang dihasil kan oleh praktek-praktek para kapitalis didalamnya. Berdasarkan penjelasan diatas, maka praktek kapitalisme semu di Asia Tenggara diantaranya mencakup: 1. Patronase Pengusaha-Penguasa dan praktek berburuan rente para kapitalis 2. Keengganan kapitalis berinvestasi pada pengembangan teknologi karena kekhawatiran tidak dapat bersaing dengan kapitalis asing yang sudah terlebih dahulu
Kapitalisme semu..., Insan Praditya Anugrah, FIB UI, 2014
8
3. Determinasi modal asing dalam pengembangan teknologi dan tidak adanya inovasi oleh kapitalis domestik. 4. Kapitalis sebagai komparador yang menjalankan sektor usaha tersier,mengejar keuntungan dengan jumlah besar dan dapat dicapai dalam waktu dekat (immediate high return).
Praktek Kapitalisme semu sebagaimana yang dijabarkan diatas memiliki unsur-unsur yang membentuknya, diantaranya adalah : 1) keberadaan modal asing, yang diperlukan untuk industrialisasi karena ketiadaan modal nasional, 2) penguasaan teknologi yang dimiliki oleh modal asing, karena peran para pengusaha nasional mendukung dominasi mereka, 3) intervensi Negara,sebagai pembuat kebijakan dan pihak yang memiliki kekuatan untuk menentukan kelas kapitalis yang mendominasi perekonoman Indonesia, dan 4) modal Cina, merupakan modal yang mendominasi perekonomian Indonesia, karena para kapitalis Cina merupakan kelas kapitalis yang dipercaya negara untuk menjalankan perekonomian.
Berdasarkan definisi yang telah dipaparkan, maka setiap kapitalis yang beroperasi dengan dasar modal dan teknologi asing, serta hanya menjadi penjual produk manufaktur asing, dapat disebut sebagai para “kapitalis ersazt”. Untuk melihat seberapa besar pengaruh mereka, maka akan dijelaskan terlebih dahulu mengenai penggolongan kapitalis yang mendominasi industri otomotif pada era Orde Baru, serta sumber permodalan dan teknologi nya, serta seberapa besar mereka tergantung kepada modal dan teknologi dari pihak asing. Tabel 3 Kepemilikan Industri Otomotif Indonesia Periode 1981-1990 Perusahaan
Prinsipal (Market Share di Indonesia dalam %)
Pembagian Saham
Keterangan
PT. Krama Yudha
Mitsubishi, Share
Saham Jepang tidak diketahui Sjanurbi Said dominan sejak 1984
Saham PT.Mitsubishi Kramayudha Motor dan Manufacturing PT. Colt Engine Manufacturing dikuasai Mitsubshi Jepang, dengan komposisi masingmasing 80%
Didominasi, dan berada dibawah kendali kelompok Liem Sioe Liong
tidak diketahui detail angka pasti pemegang saham
PT. Indomobil (Group Salim)
Utama
Market
Suzuki, Market Share
Kapitalisme semu..., Insan Praditya Anugrah, FIB UI, 2014
9
PT. Central Sole Agency (Group Salim)
Volvo, Market Share
Didominasi keluarga Salim, dengan komposisi Sudono Salim (Liem Sioe Liong) 15%, Sudarmo Salim 15%, Albert Halim 15%, Ibrahim Thahir 15%, Wanita Winj 15%, Liem Suhanda 15%
10% lagi saham tidak diketahui
PT.Tjahaya Sakti Motor (Group Hasjim Ning)*
BMW
Hasjim Ning 20%, Yasrin Yasin 50%, Toto Bachrie 20%
10% lagi saham tidak diketahui. Pada tahun 1984, perusahaan ini mulai dikuasai group William Soeryadjaya
PT.Tjahaya Sakti Motor (Group Astra)*
BMW
PT. Multi France (Group Astra) 50%, PT. Ningz dan rekan 21%, Soegianto 5%, Yasrin Yasin 5%
Penguasaan group William sejak 1984
PT.National Motor (Group Hasjim Ning)*
Hino dan Mazda
Hasjim Ning, Bachtiar Lubis
PT.National Motor (Group Salim)*
Hino dan Mazda
60% saham dikuasai Salim (Liem Sioe Liong)
PT.Wahana Wirawan*
Nissan /Datsun
Jendral Sukardi (Pepabri) 56%, Ny. Affan 33%, Soegiarso 11%
1981- 1984
PT.Wahana Wirawan (Group Salim)*
Nissan /Datsun
Dikuasai kelompok Salim
Sejak tahun 1984
PT. Imer UD*
Nissan UD (Truck)
PT. Imermotor yang dikuasai Koerwet memiliki saham mayoritas, yakni 70%, Ibnu Tadji 25%
Sisa 5% tidak diketahui. Penguasaan ini hingga tahun 1982
PT. United Imer Motor* (Group Astra)
Nissan UD (Truck)
Astra Group 80%, PT. Imermotor 20%
PT.Toyota Astra)
(Group
Toyota (Market Share 1979: 27,3%)
Toyota Jepang 48%, PT.Astra Internasional 36%, PT. Gaya Motor 15%
Group patungan sejak Sejak 1971
PT.Daihatsu Indonesia Manufacturing (Group Astra)
Daihatsu (Market Share 1979 : 5,8%)
PT. Astra Internasional 70%, Jepang 30%
Beroperasi tahun 1979
PT. Multi France (Group Astra dan Probosutedjo)
Peugeot (Market Share 1979 : 0,3%, Renault (Market Share 1975 : 0,1%. Gabungan 0,4%
PT. Multivest 70%, Probosuetedjo 25%, Nn Siti Pujiani 5%
Berdiri Sejak 1972, didalam PT.Multivest terdapat 60% saham keluarga Soeryadjaya
Astra
Kapitalisme semu..., Insan Praditya Anugrah, FIB UI, 2014
sejak
10
PT.Djakarta Motors (Group Hasjim Ning)
SIMCA,AMC (Jeep) Market Share 1979 : 0,1%, Chrysler (Dodge) Market Share 1979 : 0,3%. Total 0,4%
Ibnu Sutowo 40%, Hasjim Ning 39%, Bachrie : 19%, sisa tidak diketahui 2%
PT.IRMC ( Indonesia Republik Motor Company) (Group Hasjim Ning)
Land Rover (Market Share 1979 0,2%, Morris dan Leyland market share dibawah 0,1%, Ford market share 0,8%. Total market share 1%
Kepemilikan sejak 1976 Ny Ali Murtopo (Yayasan Harapan Kita) 10%, Saso Sugiarso 10%, kepemilikan 80 % tidak disebutkan, dugaan kuat dimiliki group Hasjim Ning
PT. Daha (Group Hasjim Ning)
Fiat Market Share 1979 : 0,2%
Hasjim Ning 30%, Agus Dasaad 30%, PT.Ningz dan Rekan (dikuasai Hasjim Ning) 30%, Italia 10%.
PT.Alun
Citroen
Ny. Listy Sutiana 60%, Hartanto Prasetia 40%
Holden,GMC (truk),Chevrolet,Bedford
Probosutedjo 72%, Ny. Ratmani 12%, Nn. Diniarti
PT.Garmak Probosutedjo)
(Group
Merangkul Ibnu Sutowo pada 1972
Merupakan komposisi saham pada tahun 1979. Presentase Nn Diniarti tidak diketahui
Sumber: Ian Chalmers, hlm. 328-341, Sri Bintang Pamungkas, hlm.192-193. Tanda *: terjadi pengambil alihan terhadap penguasaan saham
Para kapitalis ersazt dalam industri otomotif dapat dibagi tiga, diantaranya : 1) kapitalis Cina, 2) kelompok militer, 3) keluarga Presiden. Dalam hal ini kapitalis Cina menjadi andalan rejim untuk pembangunan ekonomi, para pengusaha keturunan Cina yang berkiprah di bidang otomotif antara lain Liem Sioe Liong dengan Indomobil group, Hadi Budiman (Ang Kok Ha) dengan prospect motor, Atang Latief (A Piang) dengan PT.Indohero, sebelum menjadi Indomobil, dan William Soeryadjaja dengan PT. Astra. Golongan militer merupakan kapitalis manifestasi pribumi-penguasa yang mendampingi dominasi ekonomi kapitalis Cina hingga akhir dekade 1980an,mereka adalah Ibnu Sutowo (Kramayudha dan German Motors), Sjanurbi Said (kelompok Kramayudha), Hasjim Ning (Group Hasjim Ning), serta institusi seperti KOSTRAD yang memiliki PT.Garuda Mataram, serta PEPABRI yang memiliki PT.Wahana Wirawan. Kalangan militer merupakan pengganti kapitalis pribumi, dan berperan mengimbangi keberadaan kapitalis Cina, sekaligus representasi penguasa yang cenderung disukai oleh prinsipal Jepang dibandingkan para pengusaha pribumi non-militer. Menjelang akhir dekade 1980-an golongan militer perlahan digantikan oleh keluarga Presiden sejak awal
Kapitalisme semu..., Insan Praditya Anugrah, FIB UI, 2014
11
1990an, yang ditandai dengan pengembangan proyek mobil nasional merk Bimantara oleh Bambang Tri, dan merk Timor oleh Tommy, bahkan Negara kemudian membuatkan payung hukum untuk membebaskan bea masuk bagi proyek Timor.
Lokalisasi Komponen Pada awalnya, program penaggalan dan lokalisasi komponen memang diharapkan pemerintah dapat menumbuhkan industri-industri sampingan dan menumbuhkan kapitalis-kapitalis baru yang berkecimpung dalam industri pemasok komponen yang mandiri, sehingga terbentuk piramida produksi yang dibangun diatas bisnis berskala kecil yang independen dari prinsipal. Namun pada faktanya, sejak dekade 1970an, konsentrasi bisnis dalam industri komponen otomotif terus terjadi, terlebih sejak para prinsipal asing memutuskan untuk melakukan investasi besar-besaran dengan membuka fasilitas produksi mesin sejak tahun 1982. Pertumbuhan industri pemasok komponen pun tidak berkembang sebagaimana harapan pemerintah. Departemen Perindustrian mengeluarkan sebuah kebijakan untuk meng efektifkan industri perakitan otomotif nasional untuk menggunakan komponen lokal, melalui SK Menteri Perindustrian no. 307 tahun 1976. Isi dari kebijakan ini adalah lokalisasi komponen kendaraan bermotor, setiap perusahaan perakitan kendaraan bermotor diwajibkan mengikuti program pemerintah menggunakan komponen lokal hingga batas waktu pelaksanaan tahun 1984 (SK. Menteri Perindustrian RI no. 307/M/SK/8/1976). Pada kurun waktu 1975-1978 lokalisasi dan permintaan KBNS (Kendaraan Bermotor Niaga Sederhana) telah menaikkan produksi komponen secara umum hingga 200%. Dalam kasus-kasus tertentu bahkan naik 300%. Produk-produk perusahaan karoseri lokal hampir seluruhnya diperuntukkan kepada bus,truk,oplet,minibus, dan staton wagon, sehingga pada 1978 kira-kira telah terdapat 200 pabrik karoseri mobil seluruh Indonesia (Ian Chalmers. 1996, hlm.220-221). Industri komponen maupun industri perakitan pada dasarnya dapat berkembang apabila ada ketersediaan pasar, namun dengan kondisi pertangahan 1970an, ketika itu merk mobil di Indonesia meningkat pesat dari 12 menjadi 36 merk, terutama karena penambahan merk-merk prinsipal Jepang (Ian Chalmers. 1996. Ibid, hlm.212-214). Rencana rasionalisasi 1974 tidak berjalan lancar karena pada satu sisi, pemerintah perlu menciutkan merk dan perakit otomotif, akan tetapi tidak berani mencabut lisensi dari perusahaan-perusahaan asing tersebut. Hal ini karena perusahaan-perusahaan yang baru berdiri seperti Kramayudha dengan Mitsubishi,
Kapitalisme semu..., Insan Praditya Anugrah, FIB UI, 2014
12
Astra dengan Toyota, Liem dengan Volvo, dan Ang Kok Ha dengan Honda justru meminta para prinsipal mereka untuk berinvestasi dalam pabrik perakitan,yang berarti menambah merk dan tipe kendaraan di Indonesia, sedangkan struktur pasar Indonesia dengan memiliki daya beli masyarakat yang masih rendah dan hanya dapat menampung 75,000 mobil per tahun, sehingga pemerintah harus mengurangi jumlah merk dan perakit demi menjamin ketersediaan pasar industri otomotif yang tentunya menjamin kelangsungan bisnis industri komponen lokal independen (Ian Chalmers. 1996, hlm. 220-221). Perubahan terjadi pada ekonomi Indonesia kurun 1982 hingga 1988, ditandai turunnya harga minyak bumi disertai penurunan daya beli masyarakat, pertumbuhan industri otomotif pun mengalami kontraksi dan pertumbuhannya stagnan (Ricardi S Adnan. 2010, hlm. 290). Hal ini membuat pada tahun 1980 pemerintah semakin terbuka terhadap investasi perusahaanperusahaan transnasional untuk membangun pabrik pembuatan dari mulai komponenkomponen utama hingga sub komponen. Pada tahun 1980, di Indonesia terdapat 42 merk mobil, 130 tipe mobil, dan lebih dari 20 perusahaan perakitan. Kondisi ini menjadikan sebuah pabrik perakitan hanya merakit paling banyak 20 kendaraan dalam satu bulan berarti sekitar 240 kendaraan pertahun, sedangkan efisiensi ekonomi dapat dicapai paling tidak dengan merakit 500 mobil tiap tahun (Ricardi S Adnan. 2010, hlm.149). Implementasi dari SK 307 tahun 1976 tidak dapat berjalan dengan lancar, karena masalah rasionalisasi, serta ketidakjelasan SK 307 menjamin bahwa mitra prinsipal untuk ikut dalam pengembangan industri komponen dan industri dasar, artinya tidak ada jaminan bahwa para mitra prinsipal ini memiliki kewajiban untuk memasok komponen dari pabrik komponen independen. Dengan kondisi seperti ini, kemunculan industri komponen tidak disertai jaminan bahwa industri perakitan akan menyerap bagi produk-produknya (Ricardi S Adnan. 2010, hlm.92). Yang terjadi, kebijakan lokalisasi kemudian malah menyebabkan industri komponen lokal ter-kooptasi oleh modal prinsipal, karena mitra prinsipal membujuk para prinsipal mereka untuk membangun pabrik komponen kendaraan bermotor. Pasca 1976, perusahaan-perusahaan Jepang mulai menolak lokalisasi terutama untuk komponen Velg roda, shock breaker,kabin,dan knalpot yang dijadwalkan harus memakai komponen lokal tahun 1977. Para principal Jepang tidak mau merubah spesifikasi teknis yang telah ditentukannya, misalnya penolakan prinsipal Jepang untuk memakai velg roda dan knalpot yang hanya di produksi oleh dua cabang PT.Udatin, yakni komponen velg roda dari PT.Ikoasku milik Eman telah menyebabkan stagnasi produksi. Gaakindo yang sebelumnya
Kapitalisme semu..., Insan Praditya Anugrah, FIB UI, 2014
13
mendukung pemerintah mulai berubah arah mendukung prinsipal mereka, dan menyusun argumen berdasarkan arahan prinsipal bahwa kebijakan lokalisasi menyulitkan prinsipal karena komponen-komponennya pun belum teruji (Ian Chalmers.1996, hlm.222). Tabel 5. Kepemilikan Industri Komponen otomotif 1976-1983 Group/perusahaan Astra Group : 1. PT. Daihatsu Engine mfg 2. PT. Daihatsu Indonesia
Komponen yang diproduksi
Keterangan
Steering system, engine Cabin parts, rear body
Saham Astra International 70%, saham Jepang 30%
3. PT. Dharma Sarana Perdana 4. PT. Gemala Kempa Daya 5. PT.GS Battery.Inc
Clutch System Chasis parts Baterai/aki
6. PT. Inti Garuda Pradana
Rear Axle, propeller shaft
7. PT.Kayaba Indonesia
ShockbreakerAir filter, Radiator
8. PT.Nippondenso Indonesia 9. PT. Palingda nasional
Wheelrim
Saham Astra 40%
Engine 10. PT. Toyota Engine Indonesia 11. PT.Toyota Mobilindo
Cabin Parts, Rear Body, suku cadang, dan cap Karoseri Rear Axle, Proppeler Shaft
Saham Astra 51%, saham Jepang 49% Saham Astra 42%, berada dibawah lisensi Mitsubishi Jepang Terdapat Saham Jepang, namun tidak diketahui pasti Saham Astra 45%, Saham Jepang 55% Saham Astra 30%, Saham Udatimex 45%
12. PT.Tri Dharma Whisesa Tranmisi 13. PT.Wahana Eka Paramitra
Saham Astra Internasional 40%,Saham Jepang 60% Saham Astra 42%, Edward Wanandi 20%
14.
Frits Eman Group : 1. PT. Inkoasku
Wheelrim
2. PT. Inouda
Shockbreaker
Saham keluarga Eman 64%
Engine
Saham Keluarga Eman 9%, Saham Jepang 41%, Saham GM Amerika 10%, Saham Garmak Motor 20%
Wheelrim
Saham Keluarga Eman 45%, Saham Astra 30%
1.PT. Hino Indonesia Mfg.
Engine
Investasi diketahu
2.PT. Lippo TSK Indonesia
Bowden Cable
3.PT. Suzuki Engine Indonesia
Engine
3. PT. Mesin Isuzu Indonesia
4.PT. Palingda Nasional
Salim Group : Hino
Jepang
tidak
Investasi Suzuki Jepang tidak diketahui
Kramayudha Group : 1.
PT.Mitsubishi Kramayudha Motor and Manufacturing
Pengepresan
Karoseri
dan
Saham Kramayudha 50%, Saham
Kapitalisme semu..., Insan Praditya Anugrah, FIB UI, 2014
14
2.
PT. Colt Manufacturing
Engine
Komponen
Jepang 50%
Engine, Steering System
Saham Kramayudha 20%, Saham Jepang 80%
Cabin parts, rar body, perakitan
Saham Ibnu Soetowo/Jusuf 33%, saham Jerman 66%
Lain-lain 1.PT.German Manufacturing
Motors
Perakitan Mazda dan Hino
2.PT.National Assembler
Saham Keluarga bachtiar Lubis 40%, Saham perusahaan Hong Kong 60%
Sumber: Ian Chalmers, hlm. 345-342, Sri Bintang Pamungkas, hlm. 194-196
Karena besarnya tuntutan untuk lokalisasi pasca SK tahun 1976, dan tekanan dari Direktorat Jendral logam dasar yang dipimpin Suhartoyo, para prinsipal dengan mitra nya di Indonesia mengubah strategi dengan mengakomodasi tuntutan lokalisasi dari direktorat. Dari sisi prinsipal, mereka mendapat desakan dari mitra bisnisnya di Indonesia untuk melakukan integrasi vertikal modal, dengan berinvestasi membuat komponen lokal. Langkah ini merupakan upaya yang sangat mematikan bagi perusahaan-perusahaan komponen independen, sekaligus memperkuat determinasi modal dan teknologi prinsipal Jepang di Indonesia. Kalangan yang membujuk prinsipalnya membangun pabrik produksi komponen antara lain Lim Sioe Liong, dengan PT.Ismac, Ibnu Soetowo dan Jusuf dengan PT.German Motors, Ibnu Soetowo dan Sjanurbi Said dengan PT. Mitsubshi-Kramayudha Motor & Manufacturing, William Soeryadjaya dengan PT.Mobilindo dan PT. Daihatsu Indonesia, Atang Latief dengan PT.Suzuki Engineering Indonesia, masing-masing meminta prinsipal mereka
untuk
memproduksi
komponen
merk-merk
Volvo,
Mercedes,
Mitsubishi,
Toyota,Daihatsu, dan Suzuki. Karena usaha-usaha produksi komponen lokal dimiliki konglomerasi bisnis besar, dan perusahaan transnasional, yang juga terkait dengan pabrik perakitan dan keagenan tunggalnya, maka peluang bagi produsen-produsen independen produsen komponen universal menciut (Ian Chalmers.1996,hlm. 229) Fragmentasi Negara Terdapat
tiga faksi nasionalis besar dalam ekonomi Indonesia, yakni BPPT,Departemen
Perindustrian, dan Tim 10 dari Sekretariat Negara. Dalam industri otomotif, sebenarnya fragmentasi visi institusi Negara bukan hanya di antara Departemen Perindustrian dan BPPT, akan tetapi didalam Departemen Perindustrian sendiri, Direktorat Jendral mesin dan Logam yang menjadi kekuatan terpisah dari Departemen Perindustrian, mereka memiliki pengaruh dan visi industri nya sendiri, dan sangat menentukan kebjakan industri.
Kapitalisme semu..., Insan Praditya Anugrah, FIB UI, 2014
15
BPPT menginginkan industri otomotif dibangun dari riset dan pengembangan teknologi dari nol, disertai upaya mempersiapkan sumber daya manusia tanpa harus melakukan alih teknologi, Departemen Perindustrian dibawah Soehoed, menginginkan diversifikasi modal dan teknologi asing dalam alih teknologi, yang dimulai dari penguatan struktur industri di hulu, seperti industri komponen. Untuk itu, perlu ada sub-kontrak antara mitra prinsipal dengan perusahaan-perusahaan komponen independen agar pasarnya terjamin, sehingga industri otomotif dapat menjadi ujung tombak struktural perubahan-perubahan industri di Indonesia (Ian Chalmers. 1996, hlm.260-262). Visi BPPT dan Departemen perindustrian akhirnya bertemu di satu titik, didalam Tim Interdepartemental yang diketuai oleh Rahardi Ramelan, mereka menginginkan terciptanya perusahaan-perusahaan pembuat komponen lokal yang independen, dan perlahan menuju produksi lengkap. BPPT dan Departemen Perindustrian sepakat bahwa tidak boleh ada dominasi modal dan teknologi Jepang secara vertikal (dari hulu ke hilir) dalam industri otomotif (Wawancara Rahardi Ramelan). Soehoed dan Rahardi Ramelan berpandangan bahwa diversifikasi dalam industri komponen diperlukan demi mencegah integrasi vertikal modal prinsipal otomotif, dengan kata lain dapat menghindari ketergantungan modal dan teknologi terhadap prinsipal dari satu negara, terutama Jepang (Wawancara Rahardi Ramelan). Faksi ketiga adalah Direktorat Jendral dibawah Suhartoyo, ia dapat dikatakan sebagai pihak yang bertanggungjawab atas integrasi vertikal yang mengakibatkan dominasi modal Jepang yang mencengkram Indonesia. Soeartoyo ingin program industrialisasi komponen lokal dengan cepat dapat diwujudkan secara cepat dan lebih efisien, dengan mendukung investasi pembuatan komponen lokal, dan kemudian produksi mesin oleh perusahaan-perusahaan yang terintegrasi dengan perusahaan perakit yang juga mitra prinsipal di Indonesia. Suhartoyo memandang bahwa integrasi modal nasional-internasional dalam industri perakitan komponen merupakan langkah yang tepat untuk memberdayakan modal nasional, sayangnya dalam prakteknya Suhartoyo cenderung hanya mengutamakan modal Jepang sebagai negara asal investasi. Bagi Suhartoyo pribadi, integrasi tersebut akan semakin memberi kesan bahwa direktorat yang ia pimpin secara tegas berhasil menekan agen tunggal dan prinsipal asing untuk mendukung kebijakan lokalisasi dengan menanamkan modal di Indonesia demi terciptanya industrialisasi otomotif. Departemen Perindustrian dan BPPT menyayangkan kebijakan direktorat yang memaksakan lokalisasi dengan integrasi modal Jepang, Menteri Soehoed memandang orientasi Suhartoyo
Kapitalisme semu..., Insan Praditya Anugrah, FIB UI, 2014
16
yang “sangat Jepang” sebagai suatu yang keliru, karena Jepang cenderung untuk menguasai berbagai sektor dari sub-komponen hingga komponen utama. Oleh karena itu Soehoed mencabut wewenang direktorat Jendral yang sebelumnya menjadi pembuat kebijakan, menjadi hanya pelaksana semata, wewenangnya digantikan oleh tim Interdepartemental yang diketuai oleh Rahardi Ramelan. Tidak lama setelah itu pula, Suhartoyo diangkat Presiden menjadi kepala BKPM karena perbedaannya dengan visi menteri perindustrian, sedangkan Soehoed mengangkat Eman Yogasara, salah seorang anggota tim Interdepartemental untuk menggantikan Suhartoyo di direktorat (Wawancara Rahardi Ramelan). Langkah ini tampaknya sudah terlambat, karena Suhartoyo terlanjur mempersilakan modal prinsipal asing untuk membuka pabrik komponen di Indonesia sejak pertangahan 1970an. Ditengah fragmentasi visi antar-lembaga Negara, konsentrasi bisnis dalam industri otomotif terus terjadi, struktur konglomerasi dalam industri komponen otomotif dalam tabel diatas berbanding lurus seiring konsentrasi bisnis perakitan, para mitra prinsipal berhasil membangun kekuatan bersama para prinsipal asing untuk menandingi dominasi Negara. Orientasi direktorat dibawah Suhartoyo yang mendukung integrasi vertikal modal Jepang. Lobi Jepang dan mitranya memaksa menteri Soehoed untuk mengizinkan modal Jepang dan prinsipal asing lainnya memasuki program lokalisasi mesin pada tahun 1982, diantaranya Toyota 39,4 Juta dollar AS Mitsubishi 141 Juta dollar AS, Isuzu 29 Juta dollar AS, Daihars 121 Juta dollar AS,Daimler-Benz 29,5 Juta dollar AS,Hino 33,3 Juta dollar AS, dan Suzuki 20 Juta dollar AS Ian (Chalmers.1996,hlm.289). Upaya-upaya pasca 1982 lebih kepada inisiatif orang dalam agen tunggal yang masih bercitacita memiliki merk nasional dengan berbagai cara, seperti yang dilakukan Indomobil untuk membeli lisensi dari reliance Inggris, serta beberapa upaya kecil yang sembunyi-sembunyi agar tidak diketahui prinsipal Pada periode 1990an isu kemandirian otomotif nasional kembali ramai untuk menyambut tahapan ekonomi tinggal landas. Para pengusaha baru dalam otomotif seperti Bakrie dan Marimutu, Tommy dan Bambang yang merupakan anak-anak presiden, maupun kerjasama salah satu lembaga negara (BPIS) untuk merebut teknologi melalui lisensi maupun hak cipta, baik dengan dari prinsipal (Mazda,Kia,Hyundai), maupun multi-sourcing dalam proyek Maleo, Beta97, dan truk Perkasa. Dari proyek-proyek mobil nasional era 1990an, hanya Maleo dan Bakrie yang menjalankan proyek ini tanpa masalah, proyek-proyek lain seperti MR90, Truk Perkasa, dan Timor berupaya mendapatkan fasilitas proteksi Negara, tetapi sedapat mungkin menekan modal demi mencapai keuntungan instan.
Kapitalisme semu..., Insan Praditya Anugrah, FIB UI, 2014
17
Kesimpulan Para kapitalis ersazt adalah mereka yang memperoleh bisnisnya dari faktor kedekatan personal dari pemerintah (patronase) semata. Artinya, bisnis tersebut tidak semata-mata didirikan karena mereka merupakan industrialis yang memiliki usaha bebas dan terus melakukan inovasi produk, akan tetapi sektor usaha mereka hanya bergreak pada sektor tersier, yang hanya menjadi agen dari produk-produk yang pengembangannya tergantung pada modal dan inovasi teknologi asing. Para kapitalis ini memang menjalankan usahanya dengan modal sendiri, namun mereka sama sekali tidak mandiri, karena tergantung kepada modal dan teknologi prinsipal asing dalam hal inovasi teknologi, Ketergantungan tersebut membuat para kapitalis dalam industri otomotif tidak memiliki kemandirian dalam menjalankan usaha, terlebih untuk melakukan inovasi produk, karena prinsipal asing yang menguasai nodal dan teknologi begitu dominan menentukan langkah-langkah yang boleh dan tidak boleh diambil oleh pengusaha nasional. Sejak 1969 hingga akhir dekade 1980an, rezim Orde Baru memberikan kesempatan kepada kapitalis militer yang menjadi patron sekaligus kekuatan bisnis pirbumi yang memberi perlindungan kapitalis cina. Kapitalis cina dan kapitalis militer dimanfaatkan rezim untuk menarik modal asing, apabila kapitalis Cina disukai prinsipal asing karena keahlian berbisnis dan sikap mereka yang akomodatif terhadap kepentingan asing (terutama Jepang), maka militer menjadi pilihan bagi prinsipal asing, karena jaminan keamanan memiliki partner dari kalangan penguasa, kapitalis militer juga sangat tergantung kepada modal asing karena mereka tidak memiliki kemampuan dan modal dalam berbisnis. Bagi Orde Baru, kehadiran kapitalis militer menjadi substitusi bagi kebijakan pribumisme, yang telah ditinggalkan Orde Baru. Kapitalis Cina menjadi andalan rejim untuk pembangunan ekonomi, sedangkan golongan militer
merupakan kapitalis manifestasi pribumi-penguasa yang mendampingi dominasi
ekonomi kapitalis Cina hingga akhir dekade 1980an, kemudian dominasi golongan militer perlahan digantikan oleh keluarga Presiden sejak awal 1990an, yang ditandai dengan pengembangan proyek mobil nasional merk Bimantara oleh Bambang Tri, dan merk Timor oleh Tommy, bahkan Negara kemudian membuatkan payung hukum untuk membebaskan bea masuk bagi proyek Timor. Ada tiga poin penting dari pemaparan ini diantaranya :1) kebijakan untuk meminimalkan peran modal Jepang menjadi sulit seiring konglomerasi bisnis, karena para konglomerat juga
Kapitalisme semu..., Insan Praditya Anugrah, FIB UI, 2014
18
bertindak mempertahankan eksistensi prinsipal dari rasionalisasi merk oleh pemerintah, 2) tanpa rasionalisasi ini, maka skala ekonomi industri otomotif sulit dicapai, karena daya serap pasar rendah, akibatnya industri otomotif mengalami kelesuan, hal ini berdampak kepada hancurnya industri komponen lokal yang tidak memiliki keterkaitan modal prinsipal dan mitra nya, 3) para konglomerat telah membangun “aliansi” dengan prinsipal sehingga memunculkan integrasi vertikal modal Jepang dalam industri otomotif di Indonesia, yang disebut Ian Chalmers sebagai “kekalahan telak” Negara dalam upaya menumbuhkan modal nasional dan mencapai kemandirian industri otomotif. Pasca integrasi vertikal modal prinsipal tahun 1982,seluruh upaya membangun otomotif nasional tidak lagi diarahkan secara terencana oleh Negara, akan tetapi lebih merupakan proyek terpisah yang tidak terintegrasi, dan tidak memiliki keterkaitan dengan rencana industrialisasi dari hulu ke hilir sebelum 1982. Daftar Acuan Sumber Primer Dokumen Negara/Undang-undang Departemen Penerangan RI. 1968. REPELITA I Jilid II Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 1969. Lembar Negara : PP No.7 Tahun 1969 Instruksi Presiden Republik Indonesia No.2 Tahun 1996 Tentang Pembangunan Industri Mobil Nasional Keputusan Presiden Republik Indonesia No.42 tahun 1996 tentang pembuatan Mobil Nasional SK. Menteri Perindustrian RI No. 307/M/SK/8/1976 Arsip Biro Hukum Kementrian Perindustrian Republik Indonesia SK Menteri Penggerak Dana Investasi RI/ Ketua BKPM RI No.02/SK/1996 Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing Koran Bisnis Indonesia, 14 Januari 1991 Bisnis Indonesia, 4 Februari 1991 Sinar Harapan, 24 Januari 1980 Sinar Harapan, 26 April 1980 Sumber Sekunder Jurnal Kicsi, Rozalia & Buta, Simona. 2010. Protectionism and “Infant” Industries. Theoretical Approaches. The Annals of “Dunarea De Jos” Universitie of Galati Fascicle I. Economic and Applied Informatics Years XVI-No.1 Aswicahyono, Haryo. 2000. How Not To Industrialise? Indonesia’s Automotive Industry. Bulletine of Indonesian Economic Studies Vol. 36. No. 1, April Thesis dan Disertasi Adnan, Ricardi S. 2010. The Shifting Patronage : Dinamika Hubungan Pengusaha dan Penguasa (Dalam Industri Otomotif 1969-1998). Disertasi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.
Kapitalisme semu..., Insan Praditya Anugrah, FIB UI, 2014
19
Wibowo, Wahyu.1998. Aspek-aspek Hukum Inpres No. 2 Sebagai Upaya memasuki babak baru Industri Otomotif Nasional. Tesis Fakultas Hukum Universitas Indonesia, tidak diterbitkan. Buku Chalmers, Ian. 1996. Konglomerasi : Negara dan Modal dalam industri Otomotif Indonesia. Jakarta : Penerbit gramedia Hadi, Syamsul. 2005. Strategi Pembangunan Mahatir dan Soeharto. Jakarta : Pelangi Cendikia Kuntowijoyo. 2005. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Penerbit Bentang. Mallarangeng, Rizal. 2002. Mendobrak Sentralisme Ekonomi : Indonesia 1986-1992. Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia Muhaimin, Yahya A. 2002. Perkembangan Militer Dalam Politik di Indonesia 19451966. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Pamungkas, Sri Bintang. 1986. Industri Otomotif Menjelang Tinggal Landas. Jakarta : Yayasan Bina Pembangunan. Robison, Richard. 1986. Soeharto & Bangkitnya Kapitalisme Indonesia. New South Wales : Allen & Unwin Pty Ltd Sularto, St. 2000. Menggugat Masa Lalu, Menggagas Masa Depan Ekonomi Indonesia. Jakarta : PT. Kompas Media Nusantara Tim Penulis MPR RI. 1983. Presiden Soeharto Bapak Pembangunan Indonesia. Jakarta : Yayasan Dana bantuan Masyarakat indonesia dan Yayasan Karya Dharma Vatikiots, Michael R.J. 1997. Indonesian Politics Under Soeharto. New York : Routledge Publisher Yoshihara, Kunio.1990. Kapitalisme Semu Asia Tenggara. Jakarta : LP3ES Wawancara Wawancara Tanggal 20 Januari 2014 dengan Ir. Miet Sugiarso (62 tahun), Manajer Manufaktur dan Kepala Tim AX Perancang Mobil Asean Datsun Sena PT. Indokaya Nissan Motor (1976-1982), General Manager bagian teknik produksi dan lokalisasi komponen PT. Citra Mobil Nasional (Hyundai Automotive) 1995-1997, Tim Manufaktur Mobil Timor Wawancara Tanggal 11 Maret 2014 dengan Prof.DR.Rahardi Ramelan (74 tahun). Menteri Riset dan Teknologi Republik Indonesia (16 Maret 1998-21 Mei 1998), Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia (21 Mei 1998- 25 Oktober 1999). Kepala Tim Interdepartemental, Deputi Bidang otomotif BPPT. Wawancara bloomberg TV, Tanggal 25 Februari 2014 dengan Soebronto Laras. Direktur Utama PT. Indohero Steel Engineering & co, Direktur Utama PT. Indomobil Utama (1976), Ditektur Utama PT. Indomobil Wawancara Tanggal 2 April 2014 dengan Adirizal Nizar. Direktur Teknik PT. Toyota Astra Motor (1990-2002), Supervisor Toyota Assembly plant, (perakitan mobilmobil Toyota di Indonesia) PT. Multi-Astra sejak 1974. Wawancara Tanggal 4 April 2014 dengan Ir. Suryanto Haryadi (61 tahun). General Manager PT. Bakrie Motor (1995-1997), Supervisor Product Development PT. Indomobil Suzuki (1987-1991), Manager Prototype & Cabin Development PT. Texmaco (19992003)
Kapitalisme semu..., Insan Praditya Anugrah, FIB UI, 2014