Kapitalisme dan Penindasan terhadap Perempuan: Kembali ke Marx Martha A. Gimenez
Kata Pengantar: Ruth Indiah Rahayu
Kapitalisme dan Penindasan terhadap Perempuan: Kembali ke Marx Martha A. Gimenez
Kata Pengantar: Ruth Indiah Rahayu
Judul asli: Capitalism and the Oppression of Women: Marx Revisited Pengarang: Martha A. Gimenez Penerjemah: Fathimah Fildzah Izzati Editor: Coen Husain Pontoh Desain sampul dan isi: Alit Ambara Diterbitkan oleh Pustaka IndoPROGRESS, 2016
Daftar Isi: Kata Pengantar 1 I. Pendahuluan 15 II.
Metode Marx dan Relevansinya bagi Pemahaman tentang Bagaimana Kapitalisme Menindas Perempuan 19
III. Produksi dan Reproduksi sebagai Fenomena Sejarah yang Spesifik 24 IV.
Produksi, Reproduksi, dan Penindasan terhadap Perempuan 28
V.
Kesimpulan: Marx dan Feminisme Hari ini 35
Daftar Pustaka 42 Biodata Penulis 45
Meneguhkan Marxisme Dalam Cuaca Feminisme Kontemporer Ruth Indiah Rahayu
APAKAH kajian feminisme di abad Milenium masih memeluk, menoleh atau sekadar melirik pada teori Marxis? Kajian feminisme di abad Milenium cenderung untuk membaca-ulang kanon (teori besar, metanaratif) masa lalu dengan pisau analisis interseksionalitas. Apa yang dimaksud interseksionalitas berangkat dari asumsi bahwa segala sesuatu berinterseksi dengan berbagai macam hal: contohnya konsep mengenai “perempuan” dan “laki-laki” merupakan interseksi dari seks, keetnisan, ras, kelas, gender, kenasionalan, keruangan (spaciality), waktu, bahasa, wacana, budaya, dan banyak macam lainnya. Konsep “perempuan” dan “laki-laki” pun dapat merupakan kategori sosiologis, ekonomis, politis maupun episteme, dan bahkan sebagai diskursus yang tercipta dalam ujaran maupun teks. Analisis interseksional itu tumbuh dalam era pascastrukturalis dan pascamodernis yang dewasa ini membangkitkan pembacaan-ulang para feminis terhadap kanon masa lalu dari posisi kontemporer. Teori Marx sebagai kanon dalam genre filsafat modern tak luput dari pembacaan-ulang para feminis –terutama sejak dekade 1970an-- ketika para feminis mencari penjelasan atas ketertindasan perempuan (pada awal abad 20 disebut women’s question). Pengguna teori Marx pada era 1970an dan awal dekade 1980an cukup meluas tak hanya dari kalangan feminis sosialis dan Marxis, melainkan juga dari feminisme radikal. Stevi Jackson1 mencatat, sejak gerakan perempuan muncul dalam perkembangan gerakan kiri radikal di sekitar masa itu, ada banyak feminis yang menoleh –atau setidaknya bersimpati—dengan teori Marx dan Marxisme. Daya tarik Marxisme yang utama karena menawarkan analisa mengenai pe1 Stevi Jackson, “Feminist Social Theory”, dalam Stevi Jackson dan Jacky Jones (ed), Contemporary Feminist Theory, (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1998)
Martha A. Gimenez
nindasan sebagai sesuatu yang sistematis dan menyatu dalam struktur masyarakat serta tentang teori perubahan sosial (revolusi) yang menjanjikan kesetaraan. Karena itu, para feminis memperoleh landasan teoritisnya bahwa ketertindasan perempuan mempunyai asal-usul sosial, dan bukan sesuatu yang alamiah, pun bukan merupakan hubungan yang kebetulan antara perempuan dan laki-laki. Tetapi, menurut Jackson, teori Marxis tidak mudah dalam mengakomodasi feminisme, sebab teori Marxis dikembangkan untuk menjelaskan relasi kelas dalam masyarakat kapitalis –terkhusus pada struktur basis yang berhubungan dengan relasi produksi yang mengeksploitasi tenaga buruh.2 Tentu saja para feminis berupaya untuk membaca-ulang (baca: merumuskan ulang) teori Marxis yang berujung pada perdebatan mengenai patriarki dalam hubungan antara kapitalisme dan dominasi laki-laki. Perdebatan mengenai patriarki berkembang dalam konteks pembebasan pula, yaitu antara pembebasan perempuan dan perjuangan kelas. Sampai di sini, ranah perdebatan akademis berkonsekuensi pada perbedaan sikap dan pendirian politis di kalangan feminis hingga terpecah ke dalam kubu feminis sosialis dan feminis Marxis di satu pihak, dan di lain pihak kedua kubu tersebut berhadapan dengan feminis radikal. Dinyatakan oleh Jackson bahwa perbedaan di antara kubu-kubu itu tidak dapat dibaca secara hitam putih, melainkan sangat kompleks, dan menciptakan garis kontinum antara kutub yang memandang ketertindasan perempuan sebagai akibat dari patriarki dan kutub yang memandang sebagai akibat dari kapitalisme. Kutub patriarki dianut oleh feminisme radikal, kutub kapitalisme dipeluk oleh feminisme Marxis, sedangkan feminisme sosialis berada di tengah kontinum atau berupaya untuk mensintesiskan kapitalisme dan patriarki sebagai sumber penindasan perempuan.3 Perdebatan tentang patriarki pada akhirnya meruncing pada kesulitan para feminis untuk mendefinisikan domain sentral dari patriarki, dan pada akhirnya tak ada kesepakatan di antara feminis Marxis, sosialis maupun radikal untuk menteorikannya. Tetapi dalam kontinum kapitalisme-patriarki, banyak para feminis yang kemudian melokasikan 2 Jackson, “Feminist Social Theory”, ibid, hal 12 3 Jackson, “Feminist Social Theory”, ibid, hal 12-13
2
KAPITALISME DAN PENINDASAN TERHADAP PEREMPUAN
penyebab ketertindasan perempuan sebagai akibat relasi reproduksi, dan terutama bersifat ideologis. Jakcson membuat semacam diagram atas pekerjaan feminis yang memusatkan perhatian pada relasi produksi, relasi reproduksi, dan pada akhirnya hampir semua feminis memusatkan diri pada aspek ideologi. Pemusatan kajian pada aspek ideologi membuka suatu jalan pagi perkembangan feminisme dekade 1980 dan 1990an untuk berpaling pada studi bahasa (linguistic turn) dan budaya (cultural turn).4 Dekade kajian bahasa dan budaya dicatat oleh Michelle Barrett5 telah menggeser perspektif ilmu-ilmu sosial kepada humaniora. Hal ini berarti terjadi pula pergeseran dari kajian yang berpusat pada kondisi material kehidupan perempuan lalu beralih pada masalah ideologi dan psikoanalisa. Dengan kata lain, kajian feminisme perlahan-lahan meninggalkan teori Marxis –khususnya yang berhubungan dengan kerja reproduktif (rumah tangga) dan pasar tenaga kerja, lalu beralih pada analisa bahasa, wacana dan representasi. Palingan pada budaya ini menghilangkan secara perlahan-lahan kajian makro mengenai struktur sosial, patriarki dan kapitalisme. Contohnya, pembacaan-ulang Althusser atas Marxisme yang memusatkan kajian ideologi pada domain superstruktur tanpa ditentukan oleh struktur basisnya, membuka ruang baru untuk menteorikan subordinasi perempuan tanpa menghubungkannya dengan corak produksi kapitalis. Para feminis Marxis pun mulai memeluk gagasan Althusser, psikoanalisa, linguistik struktural dan semiologi –yang dikembangkan oleh kalangan pascastruktural, untuk menyingkap dan mengungkai (dekonstruksi) ideologi yang bekerja melalui bahasa yang lalu membentuk pikiran dan hasrat manusia. Dapat dipahami bahwa palingan kepada teori bahasa dan budaya ini bagi sebagian feminis karena menganggap bahwa Marxisme gagal dalam menjelaskan persoalan subjektivitas, seksualitas serta kekhasan posisi perempuan dalam hirarki sosial. Para feminis yang menggunakan 4 Jackson, “Feminist Social Theory”, ibid, hal 13 5 Jackson, “Feminist Social Theory”, ibid, hal 23, dapat pula dibaca Michelle Barrett, The Politics of Truth: From Marx to Foucault, (Stanford, California: Stanford University Press, 1991), hal 41-59
3
Martha A. Gimenez
Marxisme itu seringkali terperosok ke dalam penjelasan yang universalitistik dan biologistik, sementara mereka telah menolak subordinasi perempuan sebagai sesuatu yang alamiah. Karena pascastrukturalis dan pascamodernis menawarkan pandangan yang antiesensialis, maka para feminis Marxis terbawa untuk memeluknya. Dekonstruksi terhadap kategori “perempuan” mendominasi tema-tema feminis era kontemporer ini dalam pendapat bahwa keuniversalan bagi “penindasan perempuan” karena wacana-wacana yang berbeda dalam membentuk definisi tentang perempuan. Hal ini termasuk perbedaan wacana penindasan perempuan kulit hitam, kulit berwarna dan perempuan dari negara yang disebut “dunia ketiga” (negara pascakolonial).6 *** Dihadapkan pada genre kontemporer itu, Gimenez melakukan pembacaan-ulang teori Marx guna melokasikan feminisme Marxis lebih jelas dan terpilah dari inovasi teoritis yang membuat Marxisme menjadi kabur (tidak konkrit). Di kalangan akademisi AS, Gimenez mengakui bahwa feminis Marxis seperti dirinya jumlahnya sangatlah kecil.7 Namun meski berada dalam jumlah yang kecil itu, Gimenez tak ragu sedikit pun untuk meneguhkan Marxisme di tengah para feminis yang telah menanggalkan teori Marxis. Dengan kata lain, Gimenez mengajak kita untuk kembali menguji relevansi teori Marx bagi pengembangan studi feminisme kontemporer. Mengapa Gimenez meneguhkan Marxisme? Dalihnya cukup menyakinkan bahwa sepanjang kapitalisme masih mendominasi struktur kehidupan masyarakat –yang hal itu berkorelasi dengan penindasan perempuan, maka analisis Marx tetap dipandangnya relevan untuk mengupas pelbagai penindasan perempuan. Cukup menarik bahwa dalam meneguhkan kembali Marxisme, Gimenez bukan menantang feminisme dari kubu teori liberal seperti Susan Moller Okin –yang mengangkat tentang teori keadilan dan gender, melainkan 6 Jackson, “Feminist Social Theory”, ibid, hal 26-27 7 Gimenez mengakui dalam tulisannya “What’s Material About Materialist Feminism: A Marxist Feminist Critique”, diterbitkan dalam Jurnal Radical Philosophy, 101 (May/Juni 2000): 18-19
4
KAPITALISME DAN PENINDASAN TERHADAP PEREMPUAN
menantang para feminis yang menggunakan teori Marx sebagai sampiran (straw Marxism). Gimenez mengritik tesis-tesis feminisme sosialis yang dituduhnya telah mereduksi analisa kelas ke dalam relasi patriarki dan mengritik anggapan mereka bahwa Marx telah bersikap menghilangkan patriarki dalam materialisme sejarah.8 Sementara terhadap feminis pascastrukturalis, Gimenez menganggap mereka telah mereduksi realitas sosial menjadi wacana, padahal realitas sosial itu senyatanya konkrit. Dalam artikel Gimenez yang lain, “What Material About Materialist Feminism: A Marxist Feminist Critique”, ia melontarkan kritik terhadap feminisme materialis yang bermaksud menjadi payung bagi feminisme dan Marxisme. Gimenez merujuk pada Rosemary Hennessy9 yang membuat argumen tentang mengapa feminisme materialis tumbuh. Menurut Hennessy, Marxisme kurang memadai dalam menjelaskan tentang pembagian kerja secara seksual karena bias dengan analisa kelas dalam relasi produksi, sementara feminisme menolak konsep perempuan sebagai sesuatu yang esensial (seturut dengan kealamiahan tubuhnya). Itulah sebabnya teori feminisme materialis direkonstruksi guna mengatasi ketakmemadaian Marxisme dalam mengakomodasi kepentingan feminisme. Teori ini tetap bertumpu pada kehidupan material perempuan yang tertindas di dalam struktur kapitalisme dan patriarki, namun berbeda dengan feminisme sosialis, feminisme materialis memandang wacana dan pengetahuan juga sebagai sesuatu yang material. Persisnya, menurut hemat penulis, feminisme materialis merupakan pengembangan dari feminisme sosialis setelah mendapat pengaruh dari pascamodernis/pascastrukturalis. Lalu dimana posisi Gimenez terhadap feminisme dan Marxisme?
8 Martha E. Gimenez, “Capitalism and Oppression of Women: Marx Revisited”, dimuat dalam Science & Society, Vol69, No 1, Januari 2005, 11-32, lihat hal 12, Gimenez mengritik para feminis sosialis seperti Zillah Eisenstein, Heidi Hartmann, Mary O’Brien. Baca juga Zillah Eisenstein (ed), Capitalist Patriarchy and The Case for Socialist Feminism, (New York and London: Monthly Review Press, 1979) 9 Gimenez, “What’s Material About Materialist Feminism”, op.cit, hal 2. Lihat pula Rosemary Hennessy dan Chrys Ingraham (ed), Materialist Feminism: A Reader in Class, Difference, and Women’s Lives, (London & New York: Routledge, 1997, hal 1-9
5
Martha A. Gimenez
Menurut Gimenez, para feminis yang berhubungan dengan teori Marxis —sosialis, radikal, materialis, pascastrukturalis/pascamodernis— gagal memahami potensi teori ini dalam menjelaskan ketertindasan perempuan. Meski Marx tak terlalu panjang lebar dalam menyinggung soal ketertindasan perempuan, tetapi menurut Gimenez, bukan berarti metode Marxis tak relevan untuk memahami bagaimana kapitalisme menindas perempuan. Para feminis itu, dikatakan Gimenez, tak membaca teori Marx sebagai metodologi dan sekaligus sebagai teori. Sebagai metodologi, dialektika materialisme sejarah masih sangat relevan untuk menganalisa fenomena penindasan perempuan yang mencakup aspek psikologis, ekonomi, sosial dan politik. Aspek-aspek itu memengaruhi kehidupan perempuan yang fenomenanya terlihat (visible) dan karena itu dapat diselidik (observable), seperti perkosaan, incest, kekerasan domestik, pelabelan sosial (social stereotyping), upah murah, pembagian kerja secara seksual, kontradiksi kerja domestik dan kerja upahan, rendahnya kontrol perempuan terhadap alat reproduksinya, serta rendahnya representasi perempuan dalam politik, dan sebagainya. Tetapi sayang sekali para feminis -sosialis, radikal, materialis, pascastrukturalis/pascamodernis - justru mengalihkan fenomena ketertindasan perempuan dalam kapitalisme itu ke dalam patriarki. Sementara dalam masyarakat yang tanpa kepemilikan pribadi (propertyless), laki-laki dalam kondisi yang serupa dengan perempuan. Laki-laki tanpa kepemilikan pribadi ini juga tidak memiliki posisi yang istimewa dalam materialisme sejarah –yang ditulis Marx. Adapun anggapan para pengampu feminis bahwa materialisme sejarah hanya ditentukan oleh relasi produksi, sehingga kepatriarkian menjadi hilang dalam sejarah (disebutkan bahwa Marx telah melakukan reduksi kelas), dinilai Gimenez kurang memadai. Anggapan itu berangkat dari pembacaan terhadap teori Marx yang dangkal dan tak mendalami logika penyelidikan atau metodologi Marx. Bagaimana Gimenez mengasah metodologi Marx hingga dapat menyingkap penindasan perempuan dalam kapitalisme? Ia merujuk pada dua prinsip metodologis yang disusun oleh Godelier dalam membaca strukturalisme Marxis.10 10 Martha E. Gimenez, “The Opression of Women: A Structuralist Marxist View”, dalam
6
KAPITALISME DAN PENINDASAN TERHADAP PEREMPUAN
Pertama: terdapat dua tingkatan dalam realitas sosial, yaitu tingkatan yang memperlihatkan objeknya di depan kita (visible) dalam relasi sosial, dan tingkatan yang tak memperlihatkan objeknya (invisible) atau tersembunyi di dalam struktur Maka dari itu, Kedua, tujuan dari penyelidikan ilmiah (scientific study) adalah menyingkap (mengungkap dan menemukan) objek yang tersembunyi di dalam struktur tersebut. Dengan merujuk pada dua prinsip metodologis itu, maka suatu penyelidikan ilmiah untuk mengungkap penindasan perempuan dalam kapitalisme harus mampu menyingkap objek yang tersembunyi. Persoalannya selama ini, para feminis hanya menyelidiki aspek yang terlihat. Dalam posisi yang sebaliknya, Gimenez menunjukkan bahwa jika patriarki tidak disebutkan secara tersurat dalam materialisme sejarah, maka patriarki merupakan objek yang tersembunyi (invisible), hingga tugas para feminis adalah menyingkap struktur agar menjadi terlihat (visible). Bertolak dari posisi ini, Gimenez menguliti kekeliruan para feminis sosialis –khususnya-- yang terpaku pada segala sesuatu yang terlihat, ketimbang yang tersembunyi.11 Kiranya hal itu mencerminkan pandangan empirisisme, sedangkan menggunakan teori Marx berdasarkan sudut pandang empirisisme malah menghilangkan segi ontologis dari dialektika itu sendiri, yaitu dialektika dari objek yang terlihat dan tersembunyi dalam proses kesejarahan. Apa segi ontologis dari dialektika sejarah Marx? Gimenez kembali menekankan aspek metodologis dalam memahami hal ini, berkaitan dengan logika penyelidikan ilmiah Marxis. Jika tesis kita –feminis Marxis-- bahwa kapitalisme merupakan penentu penindasan perempuan, hal itu berarti, tidak bisa tidak kita mengikuti metodologi Marx, yaitu dialektika dalam melakukan abstraksi atas fenomena yang terdapat dalam realitas sosial. Contohnya fenomena penindasan yang dialami buruh rumah tangga –dalam artian PRT—yang bekerja dalam rumah-rumah tangga Rosemary Henessy dan Chrys Ingraham (ed), op.cit, hal 72 11 Gimenez, “Capitalism and Oppression of Women”, op.cit, hal 14
7
Martha A. Gimenez
di Arab Saudi dan Qatar, meliputi (yang terlihat dan dapat diobservasi) penganiayaan fisik, kekerasan seksual termasuk perkosaan, tanpa ada batasan jam kerja, upah tak dibayarkan.12 Fenomena PRT migran dalam struktur basis itu—relasi buruh dan majikan —mempunyai interseksi yang kompleks dengan persoalan ekonomi, politik, budaya, spasialitas, pengetahuan, dan bahasa. Apabila kita menggunakan cara berpikir para feminis pengusung teori patriarki, maka fenomena itu serta merta dinyatakan sebagai akibat bekerjanya sistem patriarki. Cara berpikir ini mengandung kesesatan, karena apa yang disebut the owner, bukan hanya laki-laki tetapi juga perempuan. Agensi patriarki menjadi kabur: bisa laki-laki dan bisa perempuan. Dalam kasus PRT migran di Arab itu, majikan perempuan melakukan penganiayaan fisik, sedangkan majikan laki-laki melakukan penganiayaan seksual. Dengan demikian, perempuan pun bisa bertindak sebagai patriakh terhadap perempuan yang propertyless, dan hal ini kontradiktif dengan teori “bapak” sebagai landasan patriarki. Menurut Gimenez hal itu berbeda jika mengikuti logika penyelidikan Marx, yang skemanya begini: fenomena PRT migran yang tertindas itu diabstraksikan ke dalam struktur relasi majikan-buruh (bukan relasi patriarki). Dalam abstraksi ini, identitas gender menjadi tersembunyi di dalam struktur relasi produksi tersebut. Penyembunyian ini bukan berarti menghilangkan fenomena sosial, tetapi mengikuti hukum-hukum ilmiah, di mana Marx hanya menangkup sebuah momen umum dari kompleksitas fenomena yang terlihat, yaitu momen corak produksi. Kapitalisme adalah momen corak produksi yang menciptakan kelas the owner dan propertyless. Abstraksi ini –sebagai postulat—terlihat sederhana, tetapi di dalamnya tersembunyi hubungan-hubungan yang kompleks, jalin menjalin, tindih menindih, atau merupakan interseksionalitas relasi-relasi sosial yang berhubungan dengan sistem penindasan, dominasi maupun diskriminasi. Pada tahap selanjutnya, tugas para peneliti adalah menyingkap objek yang tersembunyi dalam struktur basis kapitalisme 12 “Sengsaranya Jadi Buruh Migran di Negara Teluk”, diunduh dari http://www.dw.com/ id/sengsaranya-jadi-buruh-di-negara-teluk/a-18018523
8
KAPITALISME DAN PENINDASAN TERHADAP PEREMPUAN
–berkenaan dengan relasi produksi—dan kita dapat menggunakan kategori-kategori sosial maupun budaya (gender, ras, kasta, dll), temasuk juga kategori politik (kekuasaan, keadilan, politik ras, politik gender, pembebasan, dll). Itulah yang dimaksud oleh Gimenez dengan dialektika dalam metodologi dan teorisasi Marxisme. Dialektika itu mendasarkan pada materi, yaitu fenomena dalam realitas sosial, yang bergerak seturut hukum evolusi (historis). Pendulangan dialektika material dalam proses sejarah itu (materialisme dialektika historis), diyakini Gimenez lebih memadai dalam menjelaskan bagaimana kapitalisme menindas perempuan, tanpa perlu mengawinkan kapitalisme dengan patriarki –sebagaimana penganut teori patriarki. Persisnya, dalam hemat penulis, feminisme dan Marxisme tak perlu mengonstruksi dual theory system –sebagaimana yang dikerjakan feminis sosialis, yaitu teori kapitalisme di satu pihak dan teori patriarki di lain pihak. Tetapi seperti yang dilakukan Gimenez, yaitu mendulang metode Marxis untuk menyingkap cara kerja kapitalisme yang tersembunyi dalam menindas perempuan. Itulah sumbangan pemikiran pertama yang penting dari Gimenez. *** Sumbangan pemikiran Gimenez yang kedua adalah menemukan lokasi penindasan perempuan dalam kapitalisme. Seperti telah diuraikan di atas, Gimenez mengritik teman-teman sejawatnya yang menanggalkan Marxisme untuk mencari ladang lain yang mengakomodasi kepentingan feminis, semata karena tak menemukan lokasi penindasan perempuan dalam kapitalisme melalui teori Marx. Di sini penulis melihat perbedaan Gimenez dengan para feminis sosialis dan materialis, di mana Gimenez justru meneguhkan Marxisme untuk mendulang lokasi penindasan kapitalisme terhadap perempuan. Gimenez menemukan lokasi penindasan perempuan dalam kapitalisme pada momen ketika faktor produksi mensubordinasi faktor reproduksi. Bagaimana hal itu terjadi? Kembali pada Marx, Gimenez mendulang pernyataan Marx bahwa sesuatu yang berlaku universal mencakup segala sesuatu yang parsial. Apa yang 9
Martha A. Gimenez
dimaksud universal merupakan konsep filsafat mengenai segala sesuatu yang dapat diberlakukan bagi semua orang dalam formasi yang berbeda. Bagi Marx, dalam perkembangan masyarakat (materialisme sejarah) berlaku hukum yang universal, tetapi keuniversalan itu menangkup yang parsial (kekhususan). Dalam konteks relasi produksi dan akumulasi kekayaan —yang berlaku universal dalam kapitalisme—tercakup bentuk-bentuk yang khusus (parsial) mengenai nilai lebih (surplus values) yang didulang melalui proses produksi dan reproduksi. Tetapi yang terlihat (visible) nilai lebih hanya diperoleh dalam proses produksi, sementara akumulasi nilai lebih dalam proses mereproduksi manusia (reproduction of human beings) dihilangkan oleh kapitalisme. Dengan merujuk pada pernyataan Marx ini, Gimenez mengritik Shulamith Firestone—feminis radikal—yang bermaksud mengangkat makna kekhususan dalam reproduksi manusia ke dalam kategori biologis, fisik dan reproduksi sosial. Tetapi, menurut Gimenez, Firestone kemudian terjerumus dalam menampakkan (visible) relasi seks antara laki-laki dan perempuan, antara orang tua dan anak, yang berlaku universal dan tak berubah dalam masyarakat. Lebih celaka lagi, Firestone menawarkan pembebasan dalam bentuk penggunaan teknologi yang menghapus beban reproduksi biologis perempuan. Kekeliruan (error) dalam menarik kesimpulan itu adalah karena kebanyakan para feminis kurang memahami secara teliti (precise) teori pengetahuan Marx mengenai keuniversalan dan keparsialan. Postulat pengetahuan Marx adalah bahwa keparsialan dalam proses sejarah dimaksudkan untuk membongkar kategori yang dianggap memiliki keuniversalan, seperti produksi dan reproduksi. Tak ada keuniversalan dalam konsep produksi, begitu pula dalam konsep reproduksi. Persisnya kedua konsep itu selalu parsial, contohnya produksi dalam sistem industrial dan feodal, reproduksi berdasarkan kelas sosial, dll. Maka dari itu, menurut Gimenez, kategori produksi dan reproduksi sejatinya memiliki kedudukan yang setara, tetapi dalam kapitalisme kategori produksi justru menjadi universal, sementara kedudukan kategori reproduksi tetap parsial. Logika inilah yang kemudian menempatkan kategori produksi dominan terhadap kategori reproduksi. Dengan kata lain terjadi kontradiksi dalam hirarki kategori produksi dan reproduksi, di mana kategori reproduksi menjadi subordinat dalam dominasi produksi.
10
KAPITALISME DAN PENINDASAN TERHADAP PEREMPUAN
Kategori produksi dalam kapitalisme menjadi terlihat (visible), seperti segala sesuatu yang berhubungan dengan pasar kerja, di mana perempuan dan laki-laki yang propertyless bersaing untuk memasukinya. Kendati— menurut Gimenez—dalam persaingan itu baik perempuan maupun laki-laki propertyless bermaksud mendulang upah untuk membiayai proses reproduksinya. Persoalannya adalah kategori reproduksi dalam kapitalisme itu tak terlihat (invisible), bahkan direduksi menjadi prokreasi dalam organisasi reproduksi “keluarga” (kesatuan utuh suami, isteri dan anak), “rumah tangga single parent” (kurang utuh), “anak yatim-piatu” (tidak utuh). Padahal pengertian reproduksi mencakup keseluruhan pembentukan insan manusia seturut keniscayaannya untuk merealisasikan kehendak alamiahnya dalam berhubungan dengan alam melalui kerja. Persisnya, corak reproduksi lebih luas dari sekedar hubungan ekonomisme, karena terdiri dari jalinan yang saling memengaruhi dalam tingkatan makro-mikro, termasuk dalam relasi perempuan dan laki-laki. Tetapi dalam kapitalisme –menurut Gimenez-- berlaku hukum di mana produksi menentukan reproduksi yang hal ini berakibat pada pengucilan corak reproduksi dalam struktur kapitalisme. Corak reproduksi kemudian bergantung pada fluktuasi keuntungan bisnis kapitalis, dan tentu saja upah yang diberikan kepada buruh tak pernah memadai untuk mengakomodasi kebutuhan reproduksi kaum propertyless. Tersubordinasinya reproduksi ke dalam produksi, ditandaskan Gimenez, berkorelasi dengan terjadinya kemiskinan, pengangguran, ketimpangan laki-laki dan perempuan, dll. Ketimpangan laki-laki dan perempuan terjadi karena kapitalisme mengagungkan produksi yang memungkinkan laki-laki berpartisipasi ke dalamnya. Sementara perempuan direduksi menjadi kekuatan prokreasi—yang dilegalkan oleh kondisi material masyarakat—yang dilokasikan dalam domain reproduksi. Maka dari itu, menurut Gimenez, kembali pada Marx adalah suatu posisi teoritis dan politik yang relevan, karena mengembalikan laki-laki dan perempuan dalam kapasitas yang setara sebagai kekuatan produksi dan reproduksi. Adapun proyek pembebasan yang ditawarkan Gimenez dalam feminisme Marxisme adalah membebaskan subordinasi reproduksi di bawah dominasi produksi, dan kemudian kembali pada Marx untuk menciptakan hubungan dialektis antara keduanya. *** 11
Martha A. Gimenez
Pemikiran Gimenez itu sendiri, kendati bersumber pada Marxisme, namun menyerap semangat dari pascastrukturalis/pascamodernis ketika melakukan pembacaan-ulang terhadap dialektika materialisme sejarah. Dalam cuaca feminis kontemporer itu, dua sumbangan Gimenez yang telah diuraikan di atas, menurut hemat penulis, sangat relevan dalam menerobos apa yang dikatakan Heidi Hartmann: perkawinan yang tak bahagia antara feminisme dan Marxisme. Sebab masih banyak anggapan dari dalam gerakan pembebasan itu sendiri yang memandang gerakan feminis kontra-produktif dengan perjuangan kelas propertyless, dan sebaliknya gerakan feminis merasa diasingkan dalam agenda perjuangan kelas propertyless. Sumbangan Gimenez pun relevan dalam menerobos keasyikan feminis akademis dalam mengungkai teks-teks yang misoginis tetapi terpisah dari realitas penindasan dan gerakan pembebasan. Sudah seharusnya para feminis tetap berada dalam dialektika teori dan gerakan politik tanpa menempatkan yang satu memiliki otoritas terhadap yang lain. Kiranya itulah sikap yang disiratkan Gimenez dalam karyanya ini.*** Jakarta, 5 Juni 2016 Ruth Indiah Rahayu adalah peneliti feminis yang berasosiasi dengan ISSI (Institut Sejarah Sosial Indonesia) dan INKRISPENA (Institut Kajian Krisis dan Studi Pembangunan Alternatif) Daftar Pustaka Barrett, Michélle, The Politics of Truth: From Marx to Foucault, (Stanford, California: Stanford University Press, 1991) Eisenstein, Zillah, (ed), Capitalist Patriarchy and The Case for Socialist Feminism, (New York and London: Monthly Review Press, 1979) Gimenez, Martha E., “Capitalism and Oppression of Women: Marx Revisited”, dimuat dalam Science & Society, Vol69, No 1, Januari 2005, 11-32 _______________, “What’s Material About Materialist Feminism: A Marxist Feminist Critique”, diterbitkan dalam Jurnal Radical Philosophy, 101 (May/Juni 2000): 18-19 12
KAPITALISME DAN PENINDASAN TERHADAP PEREMPUAN
____________, “The Opression of Women: A Structuralist Marxist View” dalam Rosemary Hennessy dan Chrys Ingraham (ed), Materialist Feminism: A Reader in Class, Difference, and Women’s Lives, (London & New York: Routledge, 1997) Hartmann, Heidi, “The Unhappy Marriage of Marxism and Feminism”, dalam Linda J. Nicholson (ed), The Second Wave: A Reader in Feminist Theory, (London & New York: Routledge, 1997) Jackson, Stevi, “Feminist Social Theory”, dalam Stevi Jackson dan Jacky Jones (ed), Contemporary Feminist Theory, (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1998) “Sengsaranya Jadi Buruh Migran di Negara Teluk”, diunduh dari http:// www.dw.com/id/sengsaranya-jadi-buruh-di-negara-teluk/a-18018523z
13
Martha A. Gimenez
14
Kapitalisme dan Penindasan terhadap Perempuan: Kembali ke Marx Martha A. Gimenez
Pendahuluan SEJAK berakhirnya Uni Soviet dan blok sosialis, kapitalisme telah mengintensifkan kekuasaannya di seluruh dunia, memperlancar proses perubahan ekonomi melalui intensifikasi dan kian memperjelas hubungan antara nasib rakyat di negara-negara kapitalis maju dan rakyat di negara-negara lainnya di dunia. Dalam konteks sejarah seperti ini, kembali pada pengujian mengenai relevansi Marx bagi feminisme adalah masuk akal—meskipun kepercayaan akademik yang sedang tumbuh meyatakan sudah tidak begitu relevan—karena, sepanjang kapitalisme tetap menjadi corak produksi yang dominan, maka mustahil untuk dapat memahami kekuatan-kekuatan yang menindas perempuan dan yang membentuk hubungan antara laki-laki dan perempuan secara utuh tanpa meletakkan dasar analisisnya pada teori Marx. Seperti ilmu-ilmu sosial, pemikiran para feminis gelombang kedua membangun sebuah dialog besar dengan Marx; namun bukan dengan Marx yang sebenarnya, melainkan dengan “Marx yang palsu/straw Marx”, yang menyaring tentang kegagalan-kegagalannya (sebagai contoh, kegagalan menteorikan kelahiran anak, tenaga kerja perempuan, penindasan terhadap perempuan), determinisme dan reduksionisme (seperti misalnya reduksionisme kelas, determinisme ekonomi, materialisme vulgar), pengabaian terhadap “agensi”, “kategori-kategori yang tidak mempedulikan jenis kelamin”, dan “misoginis”.1 Jika teori-teori Marx (dan tradisi 1 Lihat, contohnya, Eisenstein, 1979; Hartmann, 1981; O’Brien, 1981. Lise Vogel menekankan, bahwa feminis sosialis “telah bekerja dengan sebuah konsep Marxisme yang didalamnya memang tidak mencukupi dan sangat ekonomistik” (Vogel, 1981, 197) ada-
Martha A. Gimenez
Marxis, sebagai implikasinya) secara substansi memang dipengaruhi oleh semua kekurangan yang ada, dimana ilmuwan-ilmuwan sosial dan feminis dikaitkan padanya, tentu saja ia telah dilupakan sejak lama. Tapi kekuatan intelektual dan vitalitas Marx tidak hilang, sebagaimana ditunjukkan dalam sejarah panjangnya. Bahkan sarjana yang menolaknya pun harus bergulat dengan tantangan-tantangan yang ia ajukan, sedemikian banyak sehingga teori-teori mereka dibentuk oleh proses yang menegasikannya. Sebagai contoh, penolakan feminis awal atas “determinisme ekonomi” Marx telah menyebabkan munculnya teori-teori ahistoris mengenai patriarki yang mencari asal dari dominasi laki-laki di luar corak produksi.2 Teori-teori feminis yang terbaru (berakar pada penolakan post-strukturalis atas Marxisme) secara paradoks, berubah menjadi determinisme diskursus dalam usaha mereka untuk menolak apa yang dituduhkan sebagai “determisme ekonomi” dan “reduksionisme kelas” lah relevan dengan yang terjadi baru-baru ini dan lebih banyak feminis saat ini mengritik Marx dan pemikiran Marxis. Lihat juga Benhabib and Cornell, 1987; Nicholson, 1987; DiStefano, 1991. Dengan pengecualian Nicholson dan DiStefano, kebanyakan feminis menulis semenjak akhir tahun 1960an mengajukan penegasan yang tidak mendukung mengenai kekurangan-kekurangan yang telah menjadi standar (reduksionisme kelas, determinisme ekonomi, dan lain-lain) di dalam Marx dan teori Marxis secara umum. Praktik ini mengindikasikan bahwa kebanyakan penulis feminis dan editor-editornya membagi seperangkat kepercayaan stereotip mengenai Marx dan Marxisme begitu saja, seperti bahwa editor-editor tidak bersikeras pada situasi untuk mendukung standar kritisisme. 2 Sekali patriarki dikonseptualisasikan sebagai sebuah sistem dari dominasi yang dibedakan secara analitis dan tidak berhubungan dengan corak produksi, asal muasalnya harus ditemukan di dalam faktor-faktor yang abstrak, universal, dan ahistoris: perbedaan biologis dalam reproduksi, kebutuhan laki-laki untuk mengendalikan seksualitas perempuan, kapasitas reproduktif dan atau tenaga kerja mereka dan anak-anak mereka; dorongan laki-laki untuk berkuasa atas perempuan, interpretasi niat laki-laki atas perbedaan biologis dalam reproduksi; pembagian kerja secara seksual; efek psikoseksual dari kerja mengasuh dan merawat anak; pertukaran perempuan oleh laki-laki; “sistem jenis kelamin dan gender”, dan sebagainya. Lihat, contohnya, Firestone, 1971; Millet, 1971; Eisenstein, 1979, 5–40); Chodorow, 1978; Rubin, 1975. Untuk melihat sebuah penilaian kritis atas teori patriarki lihat Barrett, 1980; McDonough Dan Harrison, 1978; Beechey, 1987. Usaha untuk menyejarahkan patriarki (contohnya., McDonough and Harrison, 1978; Hartmann, 1976) menghasilkan studi mengenai bentuk-bentuk perubahannya dimana patriarki sendiri terlihat stabil. Mengenai sebuah kritik teori patriarki sebagai sebuah usaha yang ahistoris dan tautologis bagi sifat alamiah dari ketidaksetaraan gender yang ada dimana-mana, lihat Middleton, 1988, 41–45.
16
KAPITALISME DAN PENINDASAN TERHADAP PEREMPUAN
ala Marx.3 Dekonstruksi “perempuan” sebagai sebuah kategori analisis, berfokus pada gender “yang dikonstruksikan secara diskursif”, seksualitas, tubuh, dan banyak perbedaan di antara perempuan tampaknya telah memisahkan hubungan antara teori-teori Marx, teori feminis, dan pembebasan perempuan. Sebagaimana dinyatakan oleh Epstein, “teori feminis telah datang untuk memaknai feminis post-strukturalisme” dan ini memerlukan pengadopsian prinsip-prinsip (sebagai contoh, anti esensialisme, konstruktivisme sosial, reduksi kenyataan sosial menjadi diskursus, relativisme, penolakan teori-teori di tingkat makro, yang disebut sebagai “metanaratif”) anti-tesis terhadap pembangunan analisis sosial dan strategi-strategi politik yang berguna untuk semua gerakan sosial, termasuk pembebasan perempuan.4 Seruan pembebasan perempuan dan perjuangan untuk pembebasan mengandaikan kenyataan material dari keadaan buruk mereka dan validitas klaim mereka, konsep di luar cakupan teori-teori dimana semuanya adalah relatif dan dikonstruksikan secara diskursif. Sama pentingnya sebagai penghalang bagi perkembangan feminisme Marxis adalah kepercayaan, yang menyebarluas di kalangan sarjana Marxis, mahasiswa dan akademisi secara umum, bahwa ketika teori-teori Marx mungkin penting bagi studi ekonomi politik, negara, ideologi, kelas sosial dan aspek-aspek lainnya dari masyarakat kapitalis, tetapi kontribusinya terhadap feminisme sangat kecil. Di luar kesadaran bahwa adalah penting untuk menjelaskan cara-cara kapitalisme, sebagai tambahan pada patriarki, atau pada sistem dominasi laki-laki, menyumbang pada penindasan terhadap perempuan. Namun demikian, bukan tujuan saya untuk terlibat dalam sebuah kritik terhadap feminis post-strukturalisme, literatur feminis mengenai atau yang menentang Marx, atau pandangan dari mereka yang, meskipun mengetahui banyak mengenai teori-teori Marx, tetapi memiliki pandangan yang relatif sempit dari cakupan teoritiknya. Sebagai gantinya, 3 Reduksi post-strukturalis atas kenyataan sosial menjadi diskursus atau teks telah dikritik sebagai determinisme diskursus atau reduksionisme oleh, misalnya, Alcoff, 1989 dan Ebert, 1995. Untuk memahami kritik terhadap diskursus yang berhubungan dengan cara kerja kapitsalisme, lihat Hennessy, 1993. 4 Epstein, 1995, 83; lihat juga DiStefano, 1990, 75–76.
17
Martha A. Gimenez
saya ingin menampilkan pemahaman saya mengenai kegunaan beberapa aspek dari teori-teori Marx yang secara teoritik dan politik penting bagi para feminis.5
5 Tulisan-tulisan saya, dipengaruhi oleh pendidikan saya sebagai seorang sosiolog dan oleh teori-teori Althusser dan Godelier (Althusser, 1970; Althusser and Balibar, 1970; Godelier, 1972; 1973), yang membagikan ketertarikan mereka terhadap metodologi Marx. Seperti Lise Vogel, saya menekankan perhatian pada organisasi reproduksi sebagai salah satu dasar dari penindasan terhadap perempuan, tapi tulisan-tulisan saya, saya sadari, lebih menekankan pada metodologi. Saya menjelaskan relevansi metode Marx, sebagaimana yang dibangun oleh Marx dan dielaborasi oleh Althusser dan Godelier, untuk mengidentifikasi struktur yang tidak dapat diamati dan hubungan-hubungan sosial yang mendasari pola interaksi yang terlihat di antara laki-laki dan perempuan yang mana yang terakhir ditempatkan dalam posisi yang subordinat.
18
II Metode Marx dan Relevansinya bagi Pemahaman tentang Bagaimana Kapitalisme Menindas Perempuan Meskipun Marx tidak menulis secara spesfik dan mendetail mengenai penindasan terhadap perempuan, apa yang ia kerjakan merupakan sumber dari metodologi dan teori yang dibutuhkan untuk menggeluti penindasan terhadap perempuan di bawah kapitalisme, dan dengan keterbatasan posisi kapitalisme bagi politik feminis. Setiap pertimbangan terhadap penindasan perempuan membawa pemikiran kepada sebuah variasi dari fenomena psikologi, ekonomi, sosial, dan politik yang memengaruhi kehidupan perempuan: dari mulai perkosaan, incest, kekerasan dalam rumah tangga, dan pelecehan seksual, stereotip sosial, upah yang rendah dan segregasi pekerjaan berdasarkan gender, diskriminasi dalam pendidikan dan institusi-institusi pekerjaan, pembagian kerja secara seksual, kerja domestik dan kontradiksi antara tuntutan domestik dan kerja, isu-isu reproduktif dan perjuangan bagi penentuan nasib sendiri (self-determination) untuk reproduksi, kurang terwakilinya perempuan dalam politik formal dan peran kepemimpinan publik serta, tak dapat dipungkiri, patriarki. Dalam formulasinya yang beragam, patriarki memposisikan karakteristik yang buruk dan atau niat dari laki-laki sebagai penyebab dari penindasan terhadap perempuan. Cara berpikir ini mengalihkan perhatian dari penteorian hubungan sosial yang menempatkan perempuan dalam posisi yang tidak menguntungkan di setiap ruang kehidupan dan menyalurkannya secara langsung terhadap laki-laki sebagai penyebab penindasan terhadap perempuan. Tapi laki-laki tidak memiliki posisi yang spesial dalam sejarah seperti itu, mandiri dari determinasi sosial. Mereka juga tidak memiliki kemampuan untuk meninjau masa depan dan kekuasaan yang secara sadar digunakan untuk membentuk organisasi sosial sesuai keinginan mereka. Laki-laki, seperti perempuan, adalah makhluk
Martha A. Gimenez
sosial yang karakteristiknya merefleksikan formasi sosial dalam mana mereka muncul sebagai agen-agen sosial. Marx mengingatkan kita untuk menghindari memproyeksikan ke masa lalu atau ke dalam sebuah sifat alamiah manusia yang universal atas penampakkan orang-orang di masa kini; misalnya, individu yang secara alamiah terlibat dalam kompetisi pasar dan maksimalisasi keuntungan adalah produk masyarakat borjuis, dari sebuah periode sejarah tertentu (Marx, 1970, 189). Begitu pula, kita harus menguji kondisi-kondisi sejarah yang memproduksi dan mereproduksi hubungan sosial yang tidak setara saat ini dan bentuk-bentuk kesadaran di antara laki-laki dan perempuan6 yang tampak dalam berbagai fenomena yang disebutkan di atas, dan ini diikuti dengan pengujian/pemeriksaan atas kondisi-kondisi kapitalis mereka yang mungkin. Untuk itu, dari titik berangkat teori dan metodologi Marx, dibutuhkan sebuah pemahaman tentang relevansi untuk analisis penindasan terhadap perempuan, dari ontologi dan metodologi dialektika dan materialis Marx mengenai premis-premis dasar materialisme historis. Selanjutnya adalah interpretasi saya atas beberapa teks Marx mengenai metodologi, hak-hak politik, materialisme historis dan kapitalisme untuk menunjukkan relevansinya, baik bagi teori dan politik Marxis maupun bagi teori dan politik feminis. Untuk memahami hal-hal penentu dari kapitalisme dalam penindasan terhadap perempuan, adalah sangat penting untuk mengikuti metodologi Marx; yakni pemahaman dialektikalnya tentang abstraksi, kritiknya dalam mencari apa yang asli di dalam isolasi dari dan sebelum analisis dari struktur sejarah yang spesifik, serta relasi pokok fenomena di bawah pertimbangan yang hati-hati, konsepnya mengenai sejarah dan dialekti6 Saya menyadari implikasi problematis dalam menggunakan laki-laki dan perempuan sebagai kategori analisis. Tapi untuk mempertimbangkan bahwa satu-satunya opsi teoritis ialah esensialisme dan negasinya, subjek postmodern yang terfragmentasi dan terdesentralisasi, adalah untuk menjadi sisa di dalam pemikiran yang tidak dialektis. Saya melihat “laki-laki” dan “perempuan” sebagai sesuatu yang konkrit secara universal (Marx, 1970, 188–214), sebagai sebuah kesatuan dari aspek material universal dari spesies manusia (yakni., cara dimana manusia dikondisikan oleh faktor biologisnya dan lingkungan asalnya), dan pengaturan yang khusus dalam sejarahnya mengenai hubungan sosial dimana masyarakat hidup dalam kehidupannya dan mengorganisasikan produksi dan reproduksi.
20
KAPITALISME DAN PENINDASAN TERHADAP PEREMPUAN
ka secara umum dan khusus. Saya percaya bahwa kontribusi pemikiran potensial yang paling penting dari Marx bagi teori dan politik feminis bersemayam secara tepat di dalam aspek dari teori-teorinya yang mana itu justru paling diabaikan oleh para feminis: metodologinya. Berfokus secara eksklusif pada apa yang ia katakan dan tidak katakan mengenai perempuan malah membuat teoritisi feminis berjarak dalam menjelajahi potensi dari wawasan metodologisnya untuk memperdalam pemahaman kita mengenai fenomena yang disebut “penindasan terhadap perempuan” atau, di masa-masa awal, “masalah perempuan.” Dalam satu-satunya pernyataan metodologisnya yang eksplisit, Marx berpendapat bahwa aspek-aspek dari kenyataan sosial yang terlihat bagi kita merupakan hal yang paling konkret dan jelas, titik awal investigasi kita ialah, bagaimanapun, paling sedikit informatif karena mereka mengandaikan kemungkinan kondisi sejarah ganda yang tidak bisa digenggam tanpa analisis teori dan sejarah lebih lanjut (Marx, 1970, 205). Kita mencapai pengetahuan ketika kita bergerak maju dari “konsep-konsep konkret yang imajiner” (seperti perempuan, laki-laki, keluarga, tempat penintipan anak, dll) ke “konsep-konsep yang semakin sederhana” atau abstraksi, berarti parsial, aspek satu sisi dari fenomena yang kompleks seperti, contohnya, kerja domestik, pembagian kerja secara seksual, dan gender. Kemudian, setelah investigasi teoritis dan empiris mengenai sejarah hubungan sosial atau kondisi-kondisi yang mungkin dari abstraksi-abstraksi ini, kita kembali kepada fenomena yang menjadi perhatian kita, kini dipahami sebagai “sebuah totalitas yang terdiri dari banyak determinasi dan hubungan-hubungan.” Konsepnya kini adalah hal yang “benar-benar konkret” karena merupakan “sebuah sistesis dari banyak definisi, yang kemudian merepresentasikan kesatuan dari berbagai aspek yang beragam” (Marx, 1970, 205–206). Ontologi dialektis Marx menempatkan bahwa setiap abstraksi ataupun kategori analisis hanya menangkap sebuah momen atau aspek dari totalitas yang kompleks; benda-benda adalah apa yang mereka perlihatkan karena hubungannya dengan benda lainnya, yang tidak selalu dapat terlihat di dalam persepsi yang segera tapi dapat diidentifikasi. Ketimbang mengambil begitu saja apa yang secara empiris dapat diobservasi di dalam dirinya sendiri, sebagai gantinya, kita menanyakan mengenai kon21
Martha A. Gimenez
disi dari kemungkinan dan perubahan. Pendirian metodologi ini membutuhkan sebuah pembedaan antara aspek-aspek kenyataan sosial apa yang dapat diobservasi dan apa yang tidak dapat diobservasi dan mengarahkan kita pada pencarian bagi kondisi-kondisi yang mendasar dan hubungan-hubungan sosial yang mungkin sehingga kita mampu mengobservasi; “semua ilmu pengetahuan adalah tidak berguna jika penampakkan luar dan esensi dari benda-benda itu terjadi secara bersamaan” (Marx, 1968, 817). Contohnya, kita menjadi sadar akan ketidakadilan antara laki-laki dan perempuan melalui bentuk-bentuknya yang dapat dilihat secara langsung: ketidaksetaraan upah, ketidaksetaraan pendidikan dan kesempatan-kesempatan; kekerasan dalam rumah tangga, tanggung jawab utama perempuan untuk mengurus anak dan pekerjaan di rumah, dan sebagainya. Feminis, kebanyakan bekerja dengan seperangkat teori ilmu-ilmu sosial, menghasilkan “abstraksi sederhana;” seperti pembagian kerja secara seksual, stratifikasi seksual dan gender, patriarki, sistem seks dan gender, pertukaran perempuan, dan sebagainya. Pertanyaan feminis, mengapa perempuan ditindas “sebagai perempuan”?—perempuan menjadi sebuah abstraksi yang tidak hanya mengabaikan heterogenitas populasi yang dideskripsikan, tapi juga gagal untuk menginterogasi kondisi-kondisi yang terjadi dimana perempuan akan mengidentifikasikan dirinya sendiri sebagai perempuan ketimbang dalam pengertian kelas, asal kebangsaan, atau identitas-identitas yang mungkin lainnya—bersama dengan penolakan politik Marxisme yang dituduh sarat dengan reduksionisme kelas dan ekonomisme, menghasilkan jawaban yang ahistoris; seperti, ketidaksetaraan biologis dalam prokreasi (melahirkan) (Firestone, 1971); pertukaran perempuan milik para lelaki (Rubin, 1975, 157–210); keputusan lelaki untuk mengontrol reproduksi dalam rangka untuk menindas perempuan (Eisenstein, 1979); perawatan anak (Chodorow, 1978), dan patriarki atau hasrat lelaki untuk mengontrol dan mengambil keuntungan dari pelayanan kerja domestik perempuan (Hartmann, 1981). Wawasan metodologis Marx menyatakan, dalam melihat ketidaksetaraan laki-laki dan perempuan kita mesti menempatkannya dalam konteks sejarah. Dalam pengertian Marxis, ini tidak berarti pencarian me22
KAPITALISME DAN PENINDASAN TERHADAP PEREMPUAN
ngenai asal atau sebuah catatan kronologis dari perubahan, contohnya, pembagian kerja secara seksual, stratifikasi seksual atau gender, konstruksi ideologis atau diskursif atas gender, dan sebagainya. Untuk menempatkan sebuah fenomena dan kategori-kategori dengan apa yang kita usahakan untuk mengkarakterisasikannya dalam konteks sejarah mereka berarti: pertama, menjelaskan kondisi yang mungkin dan mendukung di dalam corak produksi yang ada (contohnya, kapitalisme); dan kedua, menginvestigasi proses sejarah yang melahirkan bentuk kapitalisnya. Marx (1970, 213) menyatakan: akan menjadi tidak tepat dan salah… untuk menampilkan kategori-kategori ekonomi secara berurutan dalam rangka mana mereka memainkan peran dominan di dalam sejarah. Sebaliknya, urutan itu ditentukan oleh hubungan yang saling menguntungkan dalam masyarakat borjuis modern dan ini sangat bertolak-belakang dengan apa yang tampak alamiah buat mereka atau berhubungan dengan rangkaian perkembangan sejarah. Poin pada isu ini adalah…posisi mereka dalam masyarakat borjuis modern. Marx mengakui bahwa seluruh corak produksi memiliki bentuk-bentuk atau fitur-fitur umum, dasar bagi kategori-kategori umum dari analisis dimana ilmuwan-ilmuwan sosial mengidentifikasinya melalui perbandingan-perbandingan sejarah dan lintas budaya. Bagaimanapun, konsep–konsep umum ini (seperti pembagian kerja secara seksual, ketidaksetaraan seksual dan sebagainya) merupakan “sebuah kategori beragam yang terdiri dari kategori-kategori yang berbeda-beda”… Periode yang paling modern dan periode yang paling kuno akan memiliki kategori-kategori (pasti) yang umum,” sebuah keumuman yang mengikuti “dari yang sangat nyata bahwa subjek, manusia, dan objek, alam, adalah sama”, namun apa yang penting, yang menentukan perkembangan dari kategori-kategori ini adalah “tepatnya perbedaan-perbedaan mereka dari gambaran umum dan biasa…perbedaan-perbedaan esensial mereka” (Marx, 1970, 190).
23
III Produksi dan Reproduksi sebagai Fenomena Sejarah yang Spesifik Bagi Marx, abstraksi sederhana atau kategori-kategori umum hanya menghasilkan pengetahuan yang parsial dan menyesatkan, karena mereka menguniversalkan apa yang secara sejarah sangat spesifik untuk corak produksi yang ada. Dia memberi contoh kapital; jika hubungan-hubungan yang spesifik dari produksi dan bentuk spesifik dari perampasan surplus dikesampingkan, setiap akumulasi kemakmuran dapat dilihat sebagai kapital, dimana kemudian muncul sebagai “sebuah hubungan yang universal dan abadi yang telah ada secara kodrati” (Marx, 1970, 190). Dalam hal reproduksi manusia, jika hubungan sosial yang secara historis bersifat khusus dimana di dalamnya reproduksi biologis, fisik dan sosial dikesampingkan, maka di mata beberapa feminis tampak bahwa reproduksi manusia (dan hubungan antara laki-laki dan perempuan, dan selanjutnya hubungan orang tua dan anak) adalah sesuatu yang secara universal sangat kuat dan tidak bisa berubah, bahwa kesetaraan di antara jenis kelamin mungkin membutuhkan penggunaan teknologi untuk menghilangkan reproduksi biologis (Firestone, 1971). Pengetahuan yang lebih tepat, kata Marx, adalah yang diproduksi melalui pengenalan sejarah yang khusus dari fenomena yang kita maksudkan untuk dipahami dengan menggunakan kategori-kategori umum (Marx, 1970, 191); tidak ada produksi secara umum dan, begitu juga, tidak ada reproduksi manusia secara umum; sebaliknya yang ada adalah produksi atau reproduksi kapitalis atau feodal atau subsisten dan seterusnya. Juga, tidak ada produksi atau reproduksi umum; produksi dan reproduksi selalu bersifat khusus, sebagai contoh, produksi industrial, reproduksi kelas-kelas sosial tertentu, dan sebagainya. Benar, Marx tidak menulis dengan panjang mengenai ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan; namun, pandangannya mengenai logika penyelidikan sa-
KAPITALISME DAN PENINDASAN TERHADAP PEREMPUAN
ngat penting untuk membantu kita menteorikan struktur kapitalis, proses dan kontradiksi-kontradiksi dari fenomena yang dapat diamati secara langsung yang disebut dengan penindasan terhadap perempuan atau ketidaksetaraan gender. Marx menyejarahkan relasi pasar yang kompetitif dan hubungannya dengan kerangka kerja politik dan hukum dengan mengidentifikasi koersi kapitalis (i.e., kemauan mandiri rakyat), hubungan produksi yang tidak setara dan eksploitatif dari produksi yang menindas ruang bagi “Kebebasan, Kesetaraan, Kepemilikan, dan Bentham” (Marx, 1967, 176). Demikian juga adalah mungkin untuk menyejarahkan pasar yang dapat diamati, stratifiksasi sosial dan bentuk-bentuk ketidaksetaraan dalam rumah tangga antara laki-laki dan perempuan (contohnya, pekerjaan yang tersegregasi, pembagian kerja secara seksual di dalam dan di luar rumah tangga) dengan mengidentifikasi kondisi-kondisi yang mungkin di bawah kondisi sejarah yang khusus dari hubungan (kapitalis) di antara laki-laki dan perempuan, sebagai produser dan reproduser. Relasi-relasi sosial dari reproduksi kapitalis ini bukanlah relasi-relasi yang intersubjektif; mereka adalah relasi-relasi di antara laki-laki dan perempuan yang dimediasi oleh hubungan/relasi mereka atas kondisi produksi dan reproduksi.7 Sebagaimana relasi-relasi di antara kelas-kelas sosial yang dimediasi oleh hubungan orang-orang ke corak produksi (basis material dari kekuatan pemilik corak produksi memengaruhi mereka yang tidak memiliki corak produksi), hubungan-hubungan di antara laki-laki dan perempuan di bawah kapitalisme dimediasi oleh akses mereka yang berbeda-beda terhadap kondisi-kondisi yang dibutuh7 Mediasi, sebagai sebuah corak determinasi, merujuk pada cara dimana hubungan antara dua variable dibentuk oleh hubungan di antara masing masing dan sebuah variable ketiga. Contohnya, hubungan antara kapitalis dan pekerja memengaruhi hubungan pespektif mereka (kepemilikan dan tidak memiliki) alat-alat produksi. Di antara orang-orang yang membutuhkan kerja untuk bertahan hidup, rata-rata, laki-laki mendapat upah atau gaji yang lebih tinggi dari perempuan; ini menempatkan perempuan, khususnya perempuan yang tidak menikah atau mereka yang berperan sebagai orangtua tunggal, dalam sebuah posisi yang tidak independen, subordinat. Untuk diskusi lebih lanjut mengenai corak determinasi ini, lihat, Wright, 1978, 23.
25
Martha A. Gimenez
kan untuk kebutuhan reproduksi fisik dan sosial mereka, baik setiap harinya maupun secara umum. Prinsip fundamental yang menjadi pokok dari analisis ini bahwa, dalam formasi sosial dimana kapitalisme adalah corak produksi dominan, fungsi dari corak produksi menentukan organisasi sosial (membangun batasan-batasan sejarah bagi keberagamannya) dan dasar-dasar ekonomi dari reproduksi manusia atau corak reproduksi.8 Corak reproduksi, dalam konteks analisis ini, adalah kombinasi spesifik dari kerja secara historis, dan kondisi-kondisi serta alat-alat reproduksi (basis material—biologis dan ekonomi—bagi tugas-tugas reproduktif) dalam konteks hubungan-hubungan di antara agen-agen reproduksi. Secara historis, tidak ada nama yang spesifik dari corak reproduksi, kecuali dalam persepsi umum, konsep yang ahistoris mengenai “keluarga”, yang ditandai dalam bentuknya yang paling luas tersebar dan dapat diamati. Meskipun aneh, dalam terang kemudahan dengan yang mungkin untuk dipikirkan mengenai keluarga dan relasi-relasi domestik, konsep dari corak reproduksi dan agen-agen reproduksi adalah penting karena mereka mengalihkan perhatian dari “keluarga” dan perbedaan atau “penyimpangan” (tergantung nilai-nilai yang dianut pengamat/observer) bentuk-bentuk keluarga menjadi sebuah objek teori dan penelitian yang berbeda: transsejarah, proses yang dibutuhkan oleh reproduksi fisik dan sosial manusia dan dasar kapitalis dari bentuk-bentuknya yang dapat diamati dalam masyarakat dimana corak produksi kapitalis dominan; contohnya, keluarga-keluarga inti, rumah tangga dengan orang tua tunggal, panti asuhan, dan sebagainya. Ketika sebagian besar dari rumah tangga memulainya sebagai persatuan heterosexual, apakah sebagai organisasi aktual atau bukan dari reproduksi yang mengambil bentuk dari sebuah keluarga inti (hanya orang tua dan anak-anak) atau termasuk anggota lainnya yang terhubung se8 Untuk analisis Marxis–feminis lainnya mengenai peran reproduksi di dalam penindasan terhadap perempuan lihat Lise Vogel, 1983; Johanna Brenner and Maria Ramas, 1984. Friedrich Engels (1972) berpendapat bahwa produksi selalu berjalan dua kali lipat, dimana hal tersebut membutuhkan produksi atas sesuatu dan, pada saat yang sama, produksi kehidupan manusia, teorinya menjadi dasar teori bagi feminisme Marxis.
26
KAPITALISME DAN PENINDASAN TERHADAP PEREMPUAN
cara biologis maupun tidak, bervariasi berdasarkan pada kelas sosial, status perkawinan, status sosial ekonomi, preferensi seksual, pekerjaan, budaya, ras, etnisitas, dan kuasa relatif kelas-kelas yang tercermin di dalam negara kesejahteraan dan kebijakan-kebijakan mengenai keluarga, dan sebagainya. Lebih jauh, perubahan-perubahan di dalam “kekuatan reproduksi” (contohnya, perubahan-perubahan dalam teknologi reproduktif) telah menjadi alat dalam menciptakan kondisi-kondisi bagi bentuk-bentuk yang baru dari pemisahan antara hubungan-hubungan sosial reproduksi dan prokreasi, sehingga pada saat ini kita mengkonfrontasikan kemunculan agen-agen baru prokreasi (contohnya, agenagen yang terlibat di dalam proses reproduksi fisik) hanya berhubungan melalui pasar pertukaran yang mensyaratkan pembelian dan penjualan elemen-elemen biologis dari reproduksi fisik antar generasi.9
9 Untuk elaborasi lebih lanjut mengenai hal ini lihat Gimenez, 1991.
27
IV Produksi, Reproduksi, dan Penindasan terhadap Perempuan Konsep bahwa di bawah kapitalisme corak produksi menentukan corak reproduksi dan, konsekuensinya, hubungan-hubungan tak setara yang dapat diamati antara laki-laki dan perempuan adalah bukan sebuah bentuk “ekonomisme” atau “reduksionisme kelas”, tapi pengenalan jaringan yang kompleks dari dampak-dampak di tingkat makro atas hubungan-hubungan laki-laki-perempuan, dari sebuah corak produksi yang didorong oleh akumulasi kapital ketimbang oleh tujuan untuk memuaskan kebutuhan rakyat. Untuk mengatakan sebaliknya, mempostulatkan “interaksi yang bersifat mutual” di antara organisasi produksi dan organisasi reproduksi, atau memberikan keutamaan pada yang terakhir, berarti mengabaikan signifikansi teoritis dari berlimpahnya bukti yang ada yang mendokumentasikan subordinasi reproduksi atas produksi kapitalis. Produksi menentukan reproduksi karena hal itu membentuk kondisi-kondisi material dari kemungkinan yang secara relatif dekat dengan batasan-batasan struktural; ini mengimplikasikan bahwa beberapa bentuk dari corak reproduksi secara struktural dieksklusikan, sementara beberapa bentuk lainnya adalah lebih mungkin ketimbang yang lainnya. Contohnya, ketika secara logis dimungkinkan untuk mengatur rumah tangga guna menggabungkan sumber daya, hidup bersama dan membesarkan anak-anak secara kolektif, maka adalah sulit, jika bukan tidak mungkin, untuk mempertahankan bentuk-bentuk alternatif seperti itu dalam sebuah corak sosial dan organisasi resmi yang bertumpu pada kepemilikan pribadi dan tanggung jawab individual. Pengaturan hidup secara komunal atau kolektif, konsekuensinya, ditakdirkan menjadi pengecualian daripada sebagai aturan, dan secara substansial tidak menantang tata sosial karena orang, ketika menghendaki untuk berbagi masakan dan pengurusan anak, tidak seperti ketika mereka membagi asset-aset ekonomi mereka. Produksi mengsubordinasi reproduksi pada dirinya sendiri karena, apakah individu punya akses atau tidak terhadap kondisi yang dibutuhkan bagi
KAPITALISME DAN PENINDASAN TERHADAP PEREMPUAN
reproduksi (pekerjaan dengan upah atau gaji mencukupi untuk mendukung orang tua dan anak-anak) membentuk strategi-strategi reproduksi dan yang mereka hasilkan. Konsekuensi dari hubungan-hubungan determinasi dan subordinasi ini, yang membuat reproduksi bersifat kontingen pada lika-liku dari proses akumulasi, dan menciptakan masalah yang sulit dikontrol dan penderitaan yang dahsyat di kalangan mayoritas proporsi dari populasi. Contohnya, di kalangan orang-orang miskin, seks dan prokreasi berjalan, tapi reproduksi tenaga kerja (yang membutuhkan reproduksi keterampilan dan kerja sosial) tidak didanai atau hanya didanai di tingkat yang sangat minimum. Konsekuensinya pertumbuhan, dalam semua masyarakat kapitalis, proporsi keluarga-keluarga dan populasi yang dipimpin oleh perempuan dieksklusikan dari partisipasi tenaga kerja baik di masa kini dan masa depan. Subordinasi reproduksi atas produksi berarti bahwa pemuasan kebutuhan orang-orang dan generasi masa depan pekerja bergantung pada naik dan turunnya siklus bisnis dan keputusan bisnis yang ditujukan untuk maksimalisasi keuntungan. Kemunculan negara kesejahteraan dalam bentuknya yang beragam: kemiskinan, pengangguran, perbedaan kelas dalam tingkat kesuburan, kelahiran dan kerentanan penyakit; perjuangan tanpa akhir mengenai upah, dll. Terdapat beberapa cara dimana subordinasi reproduksi untuk penciptaan keuntungan berlangsung terang-terangan. Produksi menentukan reproduksi dengan cara mendekatkan pilihan-pilihan terbuka untuk laki-laki dan perempuan propertyless (mereka yang tidak memiliki alat-alat produksi dan harus menjual tenaga kerjanya untuk upah atau gaji); mereka mampu untuk bertahan hidup dan membentuk relasi reproduksi yang stabil untuk memperluas akses yang mereka miliki terhadap kondisi material yang dibutuhkan untuk mempertahankan hidup, sesuatu yang bergantung, pada akhirnya, pada proses yang kompleks di luar kontrol individu. Kombinasi efek-efek proletarisasi, universalisasi produksi komoditas, dan pengangguran kronik serta kurangnya lapangan kerja memaksa laki-laki dan perempuan untuk menjual tenaga kerja mereka untuk mendapatkan uang secukupnya guna memenuhi kebutuhan dasar mereka. Lapangan kerja adalah hal yang secara kronis langka dan perubahan di dalam kekuatan-kekuatan produksi menghasilkan sebuah pembagian kerja secara sosial dan teknis yang dikarakterkan oleh sebuah gradasi (derajat) kompleks dari keterampilan dan remunerasi 29
Martha A. Gimenez
(pendapatan). Ini karena secara struktural tidak mungkin bagi kapitalisme untuk menyediakan lapangan pekerjaan penuh dan membayar semua pekerja, terlepas dari gender (atau atribut sosial lainnya yang relevan), upah yang cukup untuk mendukung diri mereka sendiri dan keluarga mereka. Laki-laki dan perempuan pekerja dipaksa untuk berkompetisi satu sama lain dalam memperebutkan pekerjaan yang langka, sebuah kompetisi yang dicirikan oleh pembangunan pasar tenaga kerja yang terbagi secara seksual tapi diintensifikasi ketika perjuangan politik perempuan menghasilkan kebijakan-kebijakan dimana perempuan memperoleh akses yang lebih luas atas pendidikan dan kesempatan mendapatkan pekerjaan yang secara tradisional disediakan untuk laki-laki. Kompetisi di antara pekerja ini juga diintensifikasi oleh perubahan terus-menerus di dalam pembagian kerja, dimana segmen tenaga kerja dan keahlian pekerja secara periodik menjadi usang. Intensifikasi juga dilakukan melalui legitimasi ideologis yang berkembang secara bertahap di seputar ras, etnik, gender, asal negara dan perbedaan-perbedaan lain yang dikonstruksikan secara politik. Ketika subordinasi reproduksi oleh produksi adalah gambaran dari corak produksi kapitalis dan karenanya menjadi hal yang umum atau biasa bagi semua masyarakat kapitalis, maka manifestasinya yang dapat diamati akan sangat beragam tergantung pada kondisi-kondisi sejarah dan lingkungan serta lokasinya dalam dunia ekonomi kapitalis. Sebagai contoh, perkembangan yang cepat dari kota kecil di negara-negara yang kurang berkembang memiliki pasangannya dalam proyek-proyek perumahan bagi orang miskin di negara yang lebih makmur; akar dari apa yang disebut sebagai “feminisasi kemiskinan” adalah ketika hubungan produksi kapitalis secara sistematis menolak akses untuk membayar pekerja dengan baik pada proporsi yang substansial dari dari populasi yang tidak memiliki harta apapun, laki-laki dan perempuan, sehingga kemampuan mereka untuk mereproduksi diri mereka sendiri dan generasi mendatang secara serius dilemahkan dan subordinasinya dilanggengkan dengan sendirinya. Dari sudut pandang ini, kemiskinan perempuan adalah salah satu aspek dari fenomena yang lebih luas: eksklusi (peminggiran) proporsi populasi miskin yang sedang bertumbuh, laki-laki dan perempuan, terhadap akses atas kondisi-kondisi minimum yang dibutuhkan bagi reproduksi mereka. 30
KAPITALISME DAN PENINDASAN TERHADAP PEREMPUAN
Pada level hubungan pasar yang dapat diamati, laki-laki dan perempuan pekerja secara objektif ditempatkan di dalam relasi yang kompetitif, yang pada beberapa hal diperburuk di dalam sektor-sektor pasar tenaga kerja yang lebih tersegregasi berdasarkan jenis kelamin, yang secara spontan dipahami dan diperjuangkan melalui berbagai macam ideologi, termasuk ideologi mengenai gender. Tapi hubungan laki-laki dan perempuan tidaklah eksklusif bersifat sosial maupun historis; secara biologis, dan sejauh “kekuatan-kekuatan reproduksi” secara luas tidak berubah bagi mayoritas orang, maka laki-laki dan perempuan ditempatkan dalam hubungan seksual dan prokreasi yang komplementer. Inilah basis material bagi adanya kenyataan bahwa mereka (laki-laki dan perempuan) tidak berkonfrontasi satu sama lain secara murni sebagaimana kompetisi mereka di dalam hubungan pasar, tapi juga berpotensi sebagai partner seksual dan orang tua—yakni, sebagai agensi-agensi potensial dari reproduksi. Pembagian-pembagian lainnya di antara pekerja dapat diatasi melalui serikat buruh dan organisasi-organisasi lainnya. Keluarga, sebagai tempat dimana tenaga kerja direproduksi setiap harinya dan berlangsung dari generasi ke generasi, adalah institusi utama yang membawa partner seksual dan orang tua serta anak bersama-sama. Mengingat kemiskinan yang diproduksi secara struktural dan eksklusi dari pekerjaan dan dari upah untuk kebutuhan hidup dari populasi yang besar dan berfluktuasi pada setiap waktunya, proporsi yang substansial dari mereka yang miskin dapat memuaskan kebutuhan material mereka melalui klaim-klaim atas sumberdaya gaji dan upah pekerja, atau dengan bantuan kegiatan-kegiatan amal dan subsidi negara. Saat ini, adalah melalui hubungan pernikahan maupun kekeluargaan yang menyebabkan banyak orang tidak bisa bekerja (untuk alasan apapun, termasuk dampak restrukturisasi kapitalis, penghematan, dan sebagainya) atau tidak dapat mendukung dirinya sendiri meskipun bekerja penuh waktu, dapat memiliki akses untuk sumber daya yang dibutuhkan untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhannya. Inilah kenapa upah keluarga, biasanya dikritik sebagai sebuah contoh utama dari kepentingan pekerja laki-laki dalam mengambil keuntungan dari tenaga kerja perempuan bagi diri mereka sendiri, seharusnya juga secara dialektis dipahami sebagai sebuah strategi bertahan kelas pekerja yang sangat masuk akal di tengah-tengah kondisi yang memengaruhinya pada abad 19. (lihat, contohnya, Humphreys, 1977). Sementara saat ini gagasan dasar ini relatif tak terjangkau untuk standar hidup yang lebih tinggi bagi para pekerja, 31
Martha A. Gimenez
meskipun juga belum pernah tersedia bagi mayoritas pekerja pada waktu tertentu. Dalam batasan yang dipaksakan oleh akumulasi kapital, kemudian, pekerja laki-laki memiliki satu sumber utama bagi kelangsungan hidup ekonomi —upah atau gaji tenaga kerja—sedangkan pekerja perempuan memiliki, selain pekerjaan yang dibayar, pekerjaan rumah tangga yang tidak dibayar. Perubahan akumulasi kapital menentukan kondisi bagi pembentukan keluarga di kalangan mereka yang tidak berpunya, dan, pada saat yang sama, terus menerus menggerogotinya, sehingga serikat buruh yang stabil menjadi semakin tak terjangkau atau tidak stabil untuk sektor-sektor kelas pekerja yang lebih rentan. Tapi “keluarga” dalam berbagai bentuk saat ini hanya, untuk menggunakan terminologi Marx, sebuah “imajinasi konkret”; “benar-benar konkret” atau “totalitas yang terdiri dari banyak hubungan dan determinasi” adalah organisasi kapitalis dari reproduksi sosial dan menghasilkan perubahan jaringan dari hubungan sosial dalam mana reproduksi sosial menjadi mungkin pada waktu tertentu untuk tingkatan yang berbeda dalam populasi yang tak memiliki alat-alat produksi. Logika penyelidikan Marx kemudian menghasilkan identifikasi bagi landasan struktural (salah satu yang tidak dapat direduksi menjadi penjelasan di tingkat individu) untuk corak reproduksi kapitalis di kalangan mereka yang tidak memiliki alat-alat produksi, meskipun itu adalah salah satu yang di permukaan tampaknya abadi, pseudo-universal “keluarga,” memiliki kondisi-kondisi struktural spesifik yang mungkin bagi corak produksi kapitalis. Kendala struktural kapitalis memengaruhi bagaimana laki-laki dan perempuan yang tidak memiliki alat-alat produksi dapat bertahan hidup dan kemungkinan mereka untuk membentuk serikat buruh yang stabil adalah basis material bagi ketidaksetaraan terstruktur antara laki-laki dan perempuan. Ketidaksetaraan gender kemudian terkonseptualisasi sebagai karakteristik struktural dari formasi sosial kapitalis, yang tidak dapat direduksi menjadi landasan-landasan kecil; yaitu, tidak bisa semata-mata atau terutama dijelaskan atas dasar niat, atau perkembangan biologis, psikoseksual, dll dari laki-laki maupun perempuan, karena itu adalah efek struktural dari sebuah jaringan kompleks pada proses di level makro dimana produksi dan reproduksi erat terhubung. Jaringan ini menetapkan batas-batas struktur kesempatan laki-laki dan perempuan yang 32
KAPITALISME DAN PENINDASAN TERHADAP PEREMPUAN
tidak memiliki alat-alat produksi, mengalokasikan perempuan terutama pada bidang pekerjaan rumah tangga/kerja reproduktif dan hanya dibayar (upah atau gaji) sebagai tenaga kerja tambahan, sehingga membentuk basis objektif bagi perbedaan dalam kekuasaan ekonomi, sosial dan politik mereka. Bagaimanapun, analisis yang konkrit atau spesifik mengenai ketidaksetaraan gender dalam rumah tangga, perusahaan, birokrasi, dll tidak hanya cocok untuk studi di tingkat yang sangat dasar (microfoundations), tetapi juga yang membutuhkan hal ini. Kita tidak bisa sepenuhnya menjelaskan praktik-praktik yang menindas di lembaga tertentu tanpa memperhitungkannya sebagai agen dari aktor sosial utama; niat, sikap, kepercayaan, dan praktik-praktik dari sang aktor harus dijelaskan berkenaan dengan kondisi-kondisi struktural yang memungkinkannya. Subordinasi reproduksi atas produksi tidak hanya menstrukturkan ketidaksetaraan gender sebagai sebuah aspek di tingkat makro dari formasi sosial kapitalis; melainkan juga memengaruhi keberadaan dan praktik masyarakat dan, karenanya kesadaran mereka. Hubungan-hubungan ini membentuk kondisi-kondisi bagi efektivitas ideologi-ideologi dan praktik-praktik pra-kapitalis dan kapitalis mengenai gender, seksualitas, dll, sebagaimana kemunculan bagi yang baru. Untuk membuat titik yang berbeda, kehadiran elemen-elemen pra-kapitalis dalam budaya dan ideologi pada setiap formasi sosial yang ada, bukanlah sebuah indikator mengenai meluasnya ketidaksetaraan gender sebagai fenomena transhistoris (lintas sejarah), atau contoh sederhana dari “daya hidup” pra-kapitalis. Sebaliknya, itu adalah bukti keberadaan kondisi--kondidi material kapitalis yang memungkinkan efektifitas perilaku yang dipandu oleh unsur-unsur budaya dan ideologi tersebut. Ketika kondisi material berubah, perilaku masyarakat serta kesetiaan mereka kepada pandangan tradisional tentang gender, seksualitas, ukuran keluarga, dan sebagainya juga berubah. Sebagaimana perubahan sosial yang selalu tidak merata, dan beberapa sektor dalam masyarakat lebih terpengaruh daripada yang lain, perjuangan ideologi dan perpecahan di dalam gerakan sosial adalah hasil yang tidak dapat dihindari, seperti yang dicontohkan oleh perpecahan di masa lalu dan saat ini di antara perempuan dan teoritisi feminis, dan ambivalensi yang dirasakan banyak perempuan menuju feminisme hari ini. Singkatnya, saya telah menjelajahi efek yang menentukan di antara mere33
Martha A. Gimenez
ka yang tidak memiliki alat-alat produksi. Di antara para pemilik kapital, transmisi kapital antargenerasi dipastikan melalui kondisi-kondisi ideologi, hukum dan politik yang, sementara mencerminkan persyaratan untuk reproduksi antargenerasi dari kelas kapitalis, juga berlaku untuk semua kelas sosial, seolah-olah “keluarga” adalah fenomena tanpa kelas dan kondisi-kondisi yang memungkinkannya adalah sama untuk semua orang. Kendala dan peluang membentuk hubungan antara laki-laki dan perempuan pemilik kapital dan bentuk-bentuk penindasan yang dihadapi oleh perempuan kaya adalah berbeda, dalam beberapa hal, dari yang memengaruhi perempuan yang tidak memiliki alat produksi. Namun saya memilih untuk fokus pada yang terakhir, karena sebagian besar perempuan (dan kebanyakan laki-laki juga) tidak memiliki alat-alat produksi. Adalah pengalaman dan keluhan mereka yang memunculkan Gerakan Perempuan pada tahun 1960an dan yang nantinya akan membangkitkan politik kelas yang diperkaya oleh politik feminis di masa depan.
34
V Kesimpulan: Marx dan Feminisme Hari ini Dalam esai ini, saya telah meneliti relevansi metodologi Marx untuk memperdalam pemahaman kita tentang basis struktural dari ketidaksetaraan antara perempuan dan laki-laki di bawah kapitalisme. Ini adalah analisis awal, terbatas pada memetakan kondisi-kondisi struktural pada tingkat corak produksi, membentuk dasar bagi analisis empiris dari efek mereka dalam konteks historis tertentu. Saya berpendapat bahwa metodologi Marx mengarah kepada sebuah konseptualisasi mengenai penindasan terhadap perempuan sebagai efek yang terlihat atau dapat diamati (misalnya, di pasar tenaga kerja, stratifikasi sosial-ekonomi, pembagian kerja domestik, dll) dari hubungan terstruktur yang mendasar antara laki-laki dan perempuan yang, pada gilirannya, efek dari cara di mana akumulasi kapitalis menentukan organisasi reproduksi di antara mereka yang tidak memiliki alat-alat produksi, membuatnya bergantung pada kemampuan orang untuk menjual tenaga kerja mereka. Apakah konseptualisasi ini penting? Bukankah ini bentuk “ekonomisme” atau “reduksionisme kelas”? Saya rasa tidak. Untuk menyatakan bahwa perempuan dan laki-laki tidak sama karena subordinasi reproduksi untuk akumulasi kapital sehingga menyebabkan ketidaksetaraan menjadi sebuah hal yang niscaya, adalah dasar bagi penindasan terhadap perempuan dalam masyarakat kapitalis, sekaligus menjadi proses dan gambaran inti dari corak produksi kapitalis itu sendiri. Implikasinya bagi teori dan politik feminis sangat penting. Secara teoritis, fokus yang mendasari hubungan antara laki-laki dan perempuan mengarah pada penggantian corak berpikir laki-laki-vs-perempuan dengan kerangka yang lebih kompleks dan dialektis, yang mana ideologi seksis, “wacana,” keyakinan, sikap dan praktik individu, laki-laki dan perempuan, memiliki kondisi-kondisi struktural dari kemunculan dan efektifitasnya yang tidak dapat direduksi menjadi sekadar niat dan karakteristik individu. Hubungan, sebagai objek penyelidikan, bisa digenggam hanya melalui efek mereka. Kita tidak melihat hubungan kelas tapi kita
Martha A. Gimenez
melihat dan mengalami efeknya ketika, misalnya, perampingan kerja menyebabkan terjadinya ribuan pengangguran atau ketika, meskipun terjadi pertumbuhan produktivitas tenaga kerja dan keuntungan, upah riil pekerja menurun. Demikian juga, kita tidak melihat hubungan antara laki-laki dan perempuan yang tidak memiliki alat-alat produksi berdasarkan atas ketimpangan akses mereka terhadap kondisi-kondisi reproduksi dan alat tukar, tetapi kita melihat efek mereka dalam kurangnya kekuasaan perempuan di tempat kerja dan di rumah. Mungkin dikatakan berlebihan untuk mengonseptualisasikan hubungan yang mendasari, dan bahwa sudah cukup untuk mendokumentasikan perbedaan upah/gaji, perbedaan dalam sosialisasi, ideologi, konstruksi sosial gender yang meremehkan perempuan, prasangka laki-laki, praktik diskriminasi, dll. Tetapi ini adalah fenomena penting yang, bagaimanapun, harus dijelaskan jika kita ingin menghindari terjatuh ke dalam tautologi (yaitu, menjelaskan dominasi laki-laki atas dasar fenomena yang kemudian digunakan untuk menyimpulkan keberadaannya), sementara berjuang untuk perubahan mungkin tidak efektif dalam jangka panjang, tidak peduli seberapa signifikan mereka dalam jangka pendek. Alternatif penjelasan mengenai penindasan terhadap perempuan yang berakar pada kondisi-kondisi material historis tertentu dari keberadaan (proses kapitalis yang menempatkan laki-laki dan perempuan tanpa alat produksi dalam hubungan yang tidak setara dengan kondisi yang diperlukan untuk produksi dan reproduksi) adalah teori ahistoris berdasarkan kebutuhan masyarakat atau ‘atribut (biologi, psikologi, pengembangan psiko-seksual, dll). Alternatif ini penjelasan ini, mengikuti logika penyelidikan Marx, dalam deskripsi terbaik, bersifat parsial dan karena itu menyesatkan dari fenomena yang dapat diamati yang kita sebut dengan penindasan terhadap perempuan. Dalam terang pernyataan sebelumnya, analisis Marxis-feminis yang saya tawarkan dalam tulisan ini tidak bersifat “reduksionis” melainkan bersifat sejarah dalam pengertian Marxis; mendalilkan bahwa sama seperti produksi yang diselenggarakan dalam beragam cara kualitatif atau corak produksi yang berbeda-beda, reproduksi kehidupan dan hubungan sosial secara bersamaan juga terstruktur dalam cara kualitatif yang berbeda-beda. Meskipun pada tingkat gejala tampaknya ada semacam tingkat kontinuitas untuk menjamin kesimpulan bahwa perbedaan gender dan ketidaksetaraan gender adalah fenomena transhistoris yang berakar pada 36
KAPITALISME DAN PENINDASAN TERHADAP PEREMPUAN
masyarakat transhistoris atau penyebab yang bersifat individual, metodologi Marx mengarah pada identifikasi bagi kondisi-kondisi kemungkinan struktural yang berbeda di bawah kapitalisme, kondisi-kondisi yang tidak berubah meskipun terjadi perubahan pada tingkat gejala yang tampak seperti, misalnya, keterlibatan laki-laki lebih besar dalam pekerjaan rumah tangga dan anak, peningkatan pendapatan perempuan, akses perempuan terhadap pekerjaan yang selama ini didominasi laki-laki, profesi, karir, jabatan politik , dll. Pendekatan ini melampaui masalah apakah kelas atau gender adalah “utama,” atau apakah mereka “berinteraksi,” dengan mendalilkan bahwa pada waktu tertentu, masyarakat sebagai rangkaian dari hubungan sosial, bertindak dengan cara yang mencerminkan interkoneksi dari struktur sejarah tertentu yang membentuk kehidupan mereka, di antaranya produksi dan reproduksi adalah hal yang terpenting. Produksi kapitalis memerlukan pembagian kelas dan kontradiksi antara kepentingan perempuan kapitalis dan perempuan tanpa alat produksi; antara yang terakhir, perbedaan status sosial ekonomi membuat antagonisme antara, misalnya, perempuan “kelas menengah” dan perempuan kelas pekerja. Reproduksi, di sisi lain, membutuhkan kesamaan penting dari pengalaman, yang sebagian besar melintasi kelas, membentuk basis material bagi solidaritas perempuan dan kepentingan bersama (seksualitas, perawatan anak, hak-hak reproduksi, tanggung jawab domestik, masalah dan sukacita, dan sebagainya). Namun demikian, terdapat kelas yang dianggap penting dan perbedaan status sosial ekonomi dalam pengalaman reproduksi biologis perempuan, yang tercermin dalam sikap mereka terhadap aborsi, ukuran keluarga diinginkan, dan sebagainya, serta perbedaan dalam organisasi reproduksi sosial: penggunaan pekerja rumah tangga yang dibayar tidak hanya oleh perempuan kapitalis tetapi oleh perempuan yang cukup kaya menyediakan pada mereka kenyataan bahwa penindasan bukanlah sesuatu yang hanya dapat dilakukan laki-laki untuk merugikan perempuan. Kemajuan nyata kelas menengah atas profesional dan perempuan pebisnis (mereka yang berpenghasilan gaji enam digit) yang terjadi dalam 30 tahun terakhir mengandaikan adanya strata budak atau kelas yang paling bawah, yang diambil dari lapisan kurang terampil dari kelas pekerja, termasuk sebagian besar perempuan dari ras dan etnis minoritas, dan seringkali imigran tak berdokumen. Sementara sifat dan jumlah pembagian di antara perempuan begitu berva37
Martha A. Gimenez
riasi di tingkat formasi sosial, pembagian kelas adalah hal yang umum dalam semua formasi sosial kapitalis, dan semua kelompok sosial (misalnya, populasi imigran, ras, etnis, dll) sendiri terbagi ke dalam kelas-kelas sosial. Dalam terang teori feminis yang “mundur dari persoalan kelas” baru-baru ini dan dari Marx, harus diingat bahwa terlepas dari apa yang mungkin sering dipikirkan oleh para teoritisi mengenai kelas sebagai sebuah kategori analisis, kelas sebagai mekanisme ekstraksi surplus dan sebagai sebuah hubungan sosial yang menjadi kendala bagi peluang masyarakat untuk bertahan hidup dan realisasi diri yang terus mempengaruhi kehidupan perempuan (dan laki-laki): “Tanpa memahami pentingnya posisi kelas.. . gerakan perempuan melalui ruang sosial, melalui pendidikan, keluarga, pasar tenaga kerja dan khususnya, dalam produksi subjektivitas mereka, tidak dapat dipahami.” (Skeggs 1997, 6). Secara politik, keberadaan pembagian kelas menimbulkan batas-batas perubahan kualitatif terhadap situasi perempuan di bawah kapitalisme. Perjuangan feminis untuk hak-hak perempuan, meskipun penting bagi pencapaian perbaikan substansial dalam peluang dan kualitas hidup banyak individu perempuan, tidak dan tidak dapat secara substansial mengubah status semua perempuan. Keberhasilan perempuan dalam perjuangan mereka untuk hak-hak ekonomi, politik dan sipil tidak mengubah kondisi material yang menciptakan masalah yang memotivasi perjuangan mereka; hal tersebut hanya menyiratkan keanggotaan penuh dalam masyarakat kapitalis. Ini memang penting, bagi kebanyakan perempuan, seperti kebanyakan laki-laki, harus bekerja untuk menghidupi diri dan keluarga mereka. Penghapusan hambatan gender dalam pendidikan, pekerjaan, kemajuan karir, partisipasi politik, dll merupakan aspek yang diperlukan dan kunci dari perjuangan melawan penindasan terhadap perempuan. Tapi, sebagaimana yang diutarakan Marx, emansipasi politik dan pencapaian hak-hak politik dan sipil secara inheren adalah prestasi yang terbatas karena, meskipun negara dapat menghapuskan perbedaan yang menghambat terjadinya partisipasi politik penuh dari seluruh warga negara, itu tidak menghapuskan hubungan sosial yang merupakan dasar bagi perbedaan-perbedaan tersebut dan diandaikan oleh keberadaan dan karakteristik dari negara: Pembatalan politik kepemilikan pribadi tidak hanya meng38
KAPITALISME DAN PENINDASAN TERHADAP PEREMPUAN
hapuskan kepemilikan pribadi, melainkan benar-benar mengandaikan itu. Negara tidak bertindak lebih jauh dengan adanya perbedaan dalam kelahiran, kelas, pendidikan, dan profesi dalam caranya sendiri ketika menyatakan kelahiran, kelas, pendidikan, dan profesi sebagai perbedaan yang tidak politis, ketika menyeru setiap anggota masyarakat untuk berpartisipasi secara setara dalam kedaulatan rakyat.... Namun demikian negara masih mengijinkan adanya kepemilikan pribadi, pendidikan… untuk memiliki efek dengan cara mereka sendiri... dan membuat sifat khusus yang dapat dirasakan. Jauh dari menghapuskan perbedaan-perbedaan faktual ini, keberadaannya terletak pada mereka sebagai sebuah pengandaian. (Marx, 1994, 7.) Hari ini kita dapat menambahkan jenis kelamin, ras, etnis, status imigran dan perbedaan lainnya pada aspek-aspek kehidupan yang biasanya meminggirkan masyarakat dari partisipasi ekonomi dan politik secara utuh. Undang-undang kontemporer yang dirancang untuk menghapuskan segala bentuk keistimewaan (dan bentuk-bentuk lainnya) laki-laki tidak akan mengakhiri bentuk-bentuk ketidaksetaraan. Kebanyakan perempuan tanpa kepemilikan alat produksi bisa berharap, di bawah kondisi-kondisi kapitalis, profil stratifikasi seperti yang dinikmati laki-laki. Perempuan, dengan demikian, tidak lagi menjadi miskin dalam taraf yang tidak proporsional. Sementara hal ini merupakan sebuah pencapaian besar dalam status perempuan, hal itu mustahil terjadi. Mengingat fleksibilisasi kontrak kerja, mobilitas kapital yang bebas, dan perubahan-perubahan dalam kekuatan produksi yang meningkatkan produktivitas dengan mengurangi input tenaga kerja, menyebabkan perjuangan perempuan dan kelompok tertindas lainnya ‘untuk kesetaraan dalam batas-batas struktural masyarakat kapitalis kemungkinan akan berlarut-larut, tanpa akhir yang bahagia, selama corak produksi kapitalis masih berlaku. Juga terdapat beberapa keterbatasan dalam pencapaian politik. Pencapaian perempuan dari perwakilan proporsional di ranah politik dan posisi kepemimpinan, secara substansial tidak akan mengubah kondisi yang memengaruhi kehidupan kebanyakan perempuan (meskipun itu bisa menguntungkan perempuan yang paling terampil, berpendidikan dan di39
Martha A. Gimenez
untungkan secara ekonomi), seperti umumnya kelebihan representasi laki-laki dalam posisi politik dan peran kepemimpinan tidak mengubah secara mendasar ketidaksetaraan politik, kelas, dan sosial ekonomi di antara laki-laki. Faktanya, ketimpangan ekonomi antara laki-laki semakin tinggi dalam 20 tahun terakhir; di Amerika Serikat, misalnya, pengamatan secara dekat mengenai kesenjangan pendapatan antara laki-laki dan perempuan menunjukkan bahwa tidak hanya untuk upah riil bagi perempuan lebih tinggi, tetapi menurunnya upah riil laki-laki (Mishel, Bernstein dan Schmitt, 2001, 127-129 ). Hal yang diakui samar mengenai beberapa implikasi dari teori Marx bagi feminisme mengindikasikan bahwa selama kapitalisme eksis, maka perempuan yang tidak memiliki alat produksi akan tetap tertindas karena umumnya kemampuan laki-laki dan perempuan untuk memenuhi kebutuhan mereka, mereproduksi diri mereka sendiri setiap hari dan dari generasi ke generasi, akan tetap tersubordinasi oleh perubahan kebutuhan akumulasi kapital. Sejauh teori dan politik feminis menolak pendasaran penindasan terhadap perempuan pada keberadaan kondisi-kondisi material kapitalis dan mencapnya sebagai “reduksionis/penyerdehanaan”, maka mereka akan menjadi semakin tidak relevan untuk kehidupan sebagian besar perempuan, kecuali bagi akademisi dan perempuan yang relatif makmur. Ketika ekonomi kapitalis dunia bertumbuh semakin kuat dan mobilitas kapital yang belum pernah terjadi sebelumnya dapat menghancurkan ekonomi nasional dan regional dalam semalam, maka kerentanan pekerja meningkat secara eksponensial. Dalam konteks ini, terdapat kebutuhan untuk membangkitkan pengorganisasian kerja di dalam dan melintasi batas-batas nasional. Feminisme tidak bisa mengelak dari proses ini, tetapi ini akan membutuhkan pengakuan akan relevansi karya Marx bagi emansipasi perempuan dan pengakuan mengenai pentingnya pembagian kelas di kalangan perempuan, sehingga memunculkan isu apakah teori feminis dapat mengabaikan kelas dan secara politik relevan untuk sebagian besar perempuan. Pengakuan akan pentingnya Marx bagi pembebasan perempuan ini selanjutnya membutuhkan tidak hanya pengembangan biayabiaya penelitian baru dan mendokumentasikan hubungan antara struktur kapitalis yang menindas perempuan dan isu-isu formasi jenis kelamin, kesadaran, seksualitas, reproduksi, dll, tapi juga penemuan kembali dan pengakuan akan warisan teori feminis Marxis, sosialis dan materialis dari 40
KAPITALISME DAN PENINDASAN TERHADAP PEREMPUAN
1970-an dan awal 1980an.10 Lebih penting lagi, mudah-mudahan akan menghasilkan penguatan dan visibilitas yang lebih besar dari feminisme untuk melampaui fragmentasi suara dan identitas dan peduli pada nasib perempuan pekerja. Mendasari pentingnya dan, yang tidak perlu dipertanyakan lagi, perbedaan sejarah, budaya dan, konstruksi politik yang dibangun di kalangan perempuan, terdapat fakta mendasar bahwa mayoritas perempuan, di sini di Amerika Serikat dan di tempat lain, bahwa mereka tidak memiliki alat-alat produksi dan harus bekerja untuk hidup, menghadapi bentuk-bentuk eksploitasi, penindasan dan pembatasan-pembatasan yang sama pada pilihan hidup mereka. Analisis awal ini telah menunjukkan betapa mungkinnya untuk menggunakan metodologi dan alat-alat teoritis yang tersedia dalam karya Marx untuk menteorikan landasan kapitalis bagi penindasan terhadap perempuan, dan kemungkinan keterbukaan hari ini bagi politik feminis. Sejarah berulang pada dirinya sendiri; seperti pada awal abad ke-19, upah pekerja laki-laki ‘dan kesempatan kerja menurun sebagai akibat dari proletarisasi perempuan dan anak yang kian intensif. Dalam konteks ini, adalah melalui kontribusi feminisme Marxis dimana Marxisme dan feminisme dapat direvitalisasi untuk memenuhi tantangan zaman.*** Catatan: dalam penulisan artikel ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Christine DiStefano dan Lise Vogel untuk komentar-komentar dan usulan-usulan yang sangat bermanfaat.
10 Koleksi penting Marxis-feminis yang relatif baru yang menjadi perhatian pelajar dan feminis muda dilihat oleh feminisme gelombang ketiga: Vogel, 1995; Hennessy and Ingraham, 1997.
41
Martha A. Gimenez
Daftar Pustaka: Alcoff, Linda. 1989. “Cultural Feminism versus Post-Structuralism: The Identity Crisis in Feminist Theory.” Pp. 295–325 in Feminist Theory in Practice and Process, ed. Micheline Malson, et al. Chicago, Illinois: University of Chicago Press. Althusser, Louis. 1970. For Marx. New York: Vintage Books. Althusser, Louis and Etienne Balibar. 1970. Reading Capital. New York: Pantheon. Barrett, Michele. 1980. Women’s Oppression Today. London: Verso. Beechey, Veronica. 1987. “On Patriarchy.” Pp. 95–116 in Unequal Work. London: Verso. Benhabib, Seyla, and Drucilla Cornell. 1987. “Introduction. Beyond the Politics of Gender.” Pp. 1–5 in Feminism as Critique, ed. Seyla Benhabib and Drucilla Cornell. Minneapolis, Minnesota: University of Minnesota Press. Brenner, Johanna, and Maria Ramas. 1984. “Rethinking Women’s Oppression,” New Left Review, 144, 33–71. Chodorow, Nancy. 1978. The Reproduction of Mothering. Berkeley, California: University of California Press. DiStefano, Christine. 1990. “Dilemmas of Difference: Feminisms, Modernity, and Postmodernism.” Pp. 146–163 in Feminism/Postmodernism, ed. Linda Nicholson. New York: Routledge. ———. 1991. “Masculine Marx.” Pp. 146–163 in Feminist Interpretations of Political Theory, ed. Mary Lyndon Shanley and Carole Pateman. Philadelphia, Pennsylvania: Pennsylvania University Press. Ebert, Teresa. 1995. “(Untimely) Critiques for a Red Feminism.” Pp. 115– 149 in Mas’ud Zavarsadeh, Teresa Ebert and Donald Morton, eds., Post-al42
KAPITALISME DAN PENINDASAN TERHADAP PEREMPUAN
ity: Marxism and Postmodernism. Washington, D.C.: Maissonneuve Press. Eisenstein, Zillah, ed. 1979. “Developing a Theory of Capitalist Patriarchy and Socialist Feminism.” Pp. 5–50 in Capitalist Patriarchy and the Case for Socialist Feminism, ed. Zillah Eisenstein. New York: Monthly Review Press. Engels, Friedrich. 1972 (1884). The Origin of the Family, Private Property, and the State. New York: International Publishers. Epstein, Barbara. 1995. “Why Postructuralism is a Dead End for Women.” Socialist Review, 5:2, 83–119. Firestone, Shulamith. 1971. The Dialectic of Sex. New York: Bantam Press. Gimenez, Martha E. 1991. “The Mode of Reproduction in Transition: A Marxist-Feminist Analysis of the Effects of Reproductive Technologies.” Gender & Society, 5 (September), 334–350. Godelier, Maurice. 1972. Rationality and Irrationality in Economics. New York: Monthly Review Press. ———. 1973. “Structure and Contradiction in Capital.” Pp. 334–368 in Ideology in Social Science, ed. Robin Blackburn. New York: Vintage Books. Hartmann, Heidi. 1976. “Capitalism, Patriarchy, and Job Segregation by Sex.” Signs, 1:3 (Spring), 137–169. ———. 1981. “The Unhappy Marriage of Marxism and Feminism.” Pp. 1–41 in Women and Revolution, ed. Lydia Sargent. Boston, Massachusetts: South End Press. Hennessy, Rosemary. 1993. Materialist Feminism and the Politics of Discourse. New York: Routledge. Hennessy, Rosemary, and Chrys Ingraham, eds. 1997. Materialist Feminism. A Reader in Class, Difference, and Women’s Lives. New York/London: Routledge. 43
Martha A. Gimenez
Humphreys, Jane. 1977. “Class Struggle and the Persistence of the Working-Class Family.” Cambridge Journal of Economics, I, 241–258. Marx, Karl. 1967 (1867). Capital, Vol. I. New York: International Publishers. ———. 1968 (1894). Capital, Vol. III. New York: International Publishers. ———. 1970 (1859). A Contribution to the Critique of Political Economy. New York: International Publishers. ———. 1994 (1843). “On the Jewish Question.” Pp. 1–26 in Karl Marx: Selected Writings, ed. Lawrence H. Simon. Indianapolis, Indiana: Hackett Publishing Company. McDonough, Roisin, and Rachel Harrison. 1978. “Patriarchy and Relations of Production.” Pp. 11–41 in Feminism and Materialism, ed. Annette Kuhn and AnnMarie Wolpe. London: Routledge and Kegan Paul. Middleton, Chris. 1988. “The Familiar Fate of the Famulae: Gender Divisions in the History of Wage Labor.” Pp. 41–45 in On Work: Historical, Comparative and Theoretical Approaches, ed. Ray Pahl. London: Basil Blackwell. Millet, Kate. 1971. Sexual Politics. New York: Avon Books. Mishel, Lawrence, J. Bernstein and John Schmitt. 2001. The State of Working America, 2000/2001. Ithaca, New York/London: Cornell University Press. Nicholson, Linda J. 1987. “Feminism and Marx: Integrating Kinship with the Economic.” Pp. 16–30 in Benhabib and Cornell. O’Brien, Mary. 1981. The Politics of Reproduction. London: Routledge and Kegan Paul. Skeggs, Beverly. 1997. Formations of Class and Gender. London: Sage Publications. 44
KAPITALISME DAN PENINDASAN TERHADAP PEREMPUAN
Rubin, Gayle. 1975. “The Traffic in Women: Notes on the ‘Political Economy’ of Sex.” Pp. 157–210 in Toward an Anthropology of Women, ed. Rayna R. Reiter. New York: Monthly Review Press. Vogel, Lise. 1981. “Marxism and Feminism: Unhappy Marriage, Trial Separation, or Something Else?” In Women and Revolution, ed. Lydia Sargent. Boston, Massachusetts: South End Press. ———. 1983. Marxism and the Oppression of Women: Toward a Unitary Theory. New Brunswick, New Jersey: Rutgers University Press. ———. 1995. Woman Questions: Essays for a Materialist Feminism. New York: Routledge. Wright, Erik O. 1978. Class, Crisis, and the State. London: Verso.
Biodata Penulis Martha A. Gimenez adalah profesor di Department of Sociology University of Colorado at Boulder Boulder, CO 80309.
45