MEMAHAMI KEMBALI PEMIKIRAN KALR MARX Oleh : Darmawijaya, S.S.
ABSTRACT Karl Marx was a thinker whose influence still resonates today. He is a child of Jewish descent, but because of unfortunate circumstances which made Marx was born in a Protestant Christian environment. Not only that, because of the circumstances which led to Marx's also a thinker who defends the oppressed. Marx said that state and religion is just a tool for the capitalists for the exploitation of the proletariat. On that basis, Marx asserts that there is only one way for the proletariat to liberate ourselves from the grip of capitalists, ie the revolution. Kata Kunci : Memahami, Pikiran, Karl Marx PENDAHULUAN Sebelum menguraikan pemikiran politik Karl Marx, maka akan dijelaskan terlebih dahulu tentang biografi Karl Marx sebagai pengantar. Pengalaman hidup tentu memiliki hubungan yang erat dengan pikiranpikiran yang muncul dalam upaya memecahkan persoalan-persoalan kehidupan dan salah satunya adalah masalah politik. Karl Marx dilahirkan tahun 1818 di kota Trier, Jerman. Ia berasal dari keluarga menengah keturunan Yahudi yang telah memeluk agama Kristen Protestan. Sebenarnya, Keluarga Marx berasal dari keluarga rabi (pemuka agama Yahudi) yang taat beragama, tetapi ayahnya mengajak seluruh keluarganya untuk memeluk agama Kristen Protestan sebagai jalan keluar dari politik diskriminasi terhadap orang-orang Yahudi. Ayahnya adalah seorang ahli hukum. Pada usia tujuh belas tahun Karl Marx sudah kuliah di Universitas Bonn. Belakangan dia pindah ke Universitas Berlin dan kemudian mendapat gelar Doktor dalam ilmu filsafat dari Universitas Jena dengan disertasi, The Difference between The Philosofis of Nature in Democritus and Eficurus. Setelah dewasa, Marx menikah dengan seorang wanita yang juga
berasal dari keluarga bangsawan. Istrinya ini amat setia pada Marx selama hidupnya. Tahun-tahun pembuangan di luar negeri, yaitu Belgia, Prancis dan akhirnya London, yang penuh dengan kekurangan, bahkan disertai dengan kemiskinan dan kemelaratan dilalui mereka dengan tabah. Entah karena lebih tertarik, Marx menceburkan diri ke dunia jurnalistik dan kemudian menjadi redaktur Rheinische Zeitung di Cologne. Sebagai seorang aktivis pergerakan, Marx memiliki pandangan-pandangan politik yang radikal. Hal inilah yang menyeretnya ke dalam rupa-rupa kesulitan dan memaksanya pindah ke Paris. Di situlah dia mula pertama bertemu dengan Friederich Engels. Tali persahabatan dan persamaan pandangan politik telah mengikat kedua orang ini selaku dwi tunggal hingga akhir hayatnya. Marx tak bisa lama tinggal di Paris dan segera ditendang dari sana dan mesti menjinjing koper pindah ke Brussel. Di kota inilah, tahun 1847 dia pertama kali menerbitkan buah pikirannya, The Poverty of Philosophy. Tahun berikutnya bersama bergandengan tangan dengan Friederich Engels mereka 1
menerbitkan The Manifesto of The Communist Party, sebuah karya yang akhirnya menjadi bacaan dunia. Pada tahun itu juga Marx kembali ke Cologne untuk kemudian diusir lagi dari sana hanya selang beberapa bulan. Sehabis terusir sana, terusir sini, akhirnya Marx menyeberang Selat Canal dan menetap di London hingga akhir hayatnya. Marx menghabiskan waktu sekitar tigapuluh empat tahun di London, dari tahun 1849-1883. Marx meninggal di kamar kerjanya pada tahun 1883. Meskipun ada hanya sedikit uang di koceknya berkat pekerjaan jurnalistik, Marx menghabiskan sejumlah besar waktunya di London melakukan penyelidikan dan menulis buku-buku tentang politik dan ekonomi. Selama hidup di London, Marx dan keluarganya selalu mendapat bantuan dari Friederich Engels, kawan karibnya. Pada tahun 1867, Marx menerbitkan karyanya, Das Capital. Karya ini adalah karya ilmiah Marx yang terpenting. Hingga saat ini, Das Capital tetap dibaca dan dipelajari oleh banyak orang, bahkan di masa jayanya, Das Capital telah dianggap sebagai kitab suci oleh orang-orang Komunis. Das Capital yang terbit pada tahun 1867 adalah jilid pertama, sedangkan jilid keduanya diterbitkan oleh sahabatnya, Engels, setelah Marx meninggal. Engels menerbitkan jilid kedua dari Das Capital berdasarkan pada catatancatatan dan naskah yang ditinggalkan Marx. PEMBAHASAN 1. Materiaslisme Sejarah: Dasar Ideologi Marx Pemikiran Marx tentag materialisme sejarah dipengaruhi oleh pemikiran Hegel tentang dialektika sejarah. Hegel adalah seorang professor dan filosof yang sangat berpengaruh di Jerman, bahkan
meluas melewati batas-batas wilayah Jerman. Dalam pandangan Hegel, sejarah merupakan satu proses dan proses sejarah itu tidak lain dari pada perkembangan terus-menerus dari apa yang disebut dengan Idea. Dialektika Hegel terdiri dari tesis, antitesis dan sintesis. Ketiganya merupakan suatu kebulatan, yang satu tidak terpisah dari yang lain. Karena kebulatan itu benar, maka pecahannya tidak mungkin benar. Marx mengakui bahwa dialektika Hegel mempengaruhi cara berpikirnya, akan tetapi Marx telah mengembangkan dialektika Hegel dalam bentuk yang lain. Marx mengatakan: “…Dialektika Hegel adalah dasar dari segala dialektika, tetapi apabila ia telah dibersihkan dari bentuk mistiknya, dan proses inilah yang membebakannya dari metode saya…Metode dialektika saya sendiri bukan saja berbeda dari metode dialektika Hegel, tetapi lawan langsung darinya. Bagi Hegel…proses berpikir itu adalah pencipta dari dunia nyata, dan dunia nyata hanya manifestasi lahir dari “idea”. Bagi saya sebaliknya dari itu, yang terupa dalam cita (the ideal) tidak lain daripada dunia nyata (material world) yang direfleksikan oleh pikiran manusia dan dipindahkan menjadi buah pikiran….” Bagi manusia harus hidup terelebih dahulu baru dia dapat berpikir. Dan hidup secara sederhana adalah masalah perut. Atas dasar itulah Marx mengatakan bahwa bukan buah pikiran yang mengubah sejarah, melainkan cara berproduksi. Cara berpikir inilah yang kemudian disebut dengan materialisme sejarah. Konsep materialisme sejarah (historical materialism) sudah demikian melekat pada nama Karl Marx. Marx dalam berbagai karyanya telah melekatkan dasar-dasar pemikiran, metodemetode, konseptual teoritis berkaitan dengan materislime sejarah itu. Untuk 2
memahami materialisme sejarah, kita juga perlu memahami bagaimana faham materialime Marx. Materialisme adalah faham serba benda. Bertitik tolak dari asumsi itu, Marx meyakini bahwa tahap-tahap perkembangan sejarah ”ditentukan”, dilain kesempatan Marx menyebutnya ”dipengaruhi” oleh keberadaan material. Bentuk dan kekuatan produksi material tidak saja menentukan proses perkembangan dan hubungan-hubungan sosial manusia, serta formasi politik, tetapi juga pembagian kelas-kelas sosial. Menurut Marx sejarah umat manusia sejak zaman primitif dibentuk oleh faktor-faktor kebendaan. Awal sejarah manusia dimulai dengan adanya pemilikan pribadi yang kemudian menimbulkan pertarungan memperebutkan materi atau kekayaan ekonomi. Materi atau bendalah yang menjadi faktor konstitutif proses sosial politik historis kemanusiaan. Jadi, materi baik dalam bentuk modal kekuatan-kekuatan maupun alat-alat produksi merupakan basis sedangkan kehidupan sosial, politik, filsafat, agama, seni dan negara dengan segala perkembangan dan dinamikanya merupakan suprastruktur. Inilah faham materialisme Marx yang kemudian menjadi dasar intelektual konsep determinasi ekonomi dalam sejarah. Pemikiran Marx itu pula yang kemudian dijadikan dasar klasifikasi sejarah peradaban Eropa ke dalam empat periode: Komunisme primitif, perbudakan, feodalisme, kapitalisme. Periode sejarah yang terakhir, kapitalisme, merupakan masa transisi ke zaman yang mengarah terbentuknya diktator proletariat. 2. Perjuangan Kelas: Dasar Pemikiran Politik Karl Marx Marx patut dicatat dalam sejarah pemikiran politik dan sosial Barat sebagai teoretisi yang andilnya
cukup besar dalam mengembangkan teori-teori kelas dan perjuangan kelas. Konsep perjuangan kelas Marx dapat dengan mudah ditelusuri dalam karyanya, ditulis bersama Engels, The Manifesto of the Communist Party yang diterbitkan pada Februari 1848. Ahmad Suhelmi menilai, bahwa karya Marx ini lebih tepat disebut sebagai pamplet politik daripada buku ilmiah. Untuk waktu yang cukup lama, karya Marx dan Engels ini memperoleh popularitas luar biasa sejak pertama kali diterbitkan. Bagi kaum Marxis panatik, karya itu telah menjadi “kitab suci” di samping karya Marx yang lain, Das Capital. Pada halaman pertama dari The Manifesto of the Communist Party, Marx menjelaskan pikiran politiknya tentang perjuangan kelas. Marx menulis: “…Sejarah dari semua masyarakat yang ada sampai saat ini merupakan cerita dari perjuangan kelas. Kebebasan dan perbudakan, bangsawan dan kampungan, tuan dan pelayan, kepala serikat kerja dan para tukang, dengan kata lain, penekan dan ditekan, berada pada posisi yang selalu bertentangan satu sama lainnya dan berlangsung tanpa terputus….” Pada kesempatan yang lain, Marx mengatakan: “…Sejarah dari semua masyarakat yang ada sekarang ini adalah sejarah perjuangan kelas. Seluruh masyarakat makin lama makin terpecah menjadi dua kubu besar yang langsung berhadap-hadapan, kelas borjuis dan kelas proletar….” Dari kutipan di atas dapat dijelaskan beberapa pemikiran politik yang dimiliki oleh Marx. Pertama, Perjuangan kelas adalah merupakan fakta sosial dalam sejarah umat manusia. Perjuangan kelas itu bersifat permanen dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan 3
sosial. Dengan bahasa yang lain, Marx ingin mengatakan bahwa hakekat kenyataan sosial adalah konflik. Konflik sosial adalah pertentangan antara segmen-segmen masyarakat untuk memperebutkan aset-aset yang bernilai. Konflik yang paling menonjol adalah konflik yang disebabkan oleh cara produksi barangbarang material. Lebih jauh Marx mengatakan bahwa perjuangan itu telah terjadi sejak awal munculnya kelas-kelas sosial dalam masyarakat kuno. Kedua, Dalam perkembangan lebih lanjut, perjuangan kelas itu akan mengerucut menjadi konflik antara dua kelas besar yaitu antara kaum kapitalis dan kaum proletariat. Kaum kapitalis adalah mereka yang memiliki alat-alat produksi dan memperoleh keuntungan capital dan material dengan mengeksploitasi kaum proletariat. Kaum proletariat sebagai kaum yang tertindas tidak dan tak akan bisa memperbaiki taraf hidup mereka, karena kaum ini tidak memiliki alat-alat dan bentuk-bentuk produksi seperti yang dimiliki oleh kaum kapitalis. Kehidupan kaum proletariat sangat tergantung kepada kaum kapitalis, karena kaum proletariat telah terpaksa menjual tenaganya kepada kaum kapitalis sekedar bisa bertahan hidup. Hubungan antara kaum kapitalis dengan kaum proletariat yang sifatnya eksploitasi akan berujung pada lahirnya krisis revolusioner. Bila situasi sudah demikian, maka kaum proletar atau kelas pekerja dengan melalui proses sosial tertentu akan menjadi kelas revolusioner. Dalam revolusi itu, konflik antara kaum proletar dan kaum borjuis tidak terelakkan. Marx selalu menekankan makna pentingnya konflik kelas. “Tanpa konflik kelas, kata Marx dalam The Capital tidak ada kemajuan karena ia merupakan hukum yang selalu menyertai peradaban (sejak dahulu) hingga sekarang”. Akar-akar
konflik itu menurut Marx tidak disebabkan hanya karena adanya perbedaan pendapatan kapital dalam bentuk kekayaan pasif, melainkan perbedaan tajam menyangkut hubungan pemilikan dan penggunaan bentuk serta kekuatan-kekuatan produksi aktif. Faktor-faktor ini penting karena hubungan produksi, hubunga otoritas yang terbentuk karena ketimpangan dalam distribusi kekayaan dalam produksi industri. Mereka menjadi kelas yang menghendaki perubahan struktural, mengambil alih kekuasaan dengan paksa dan melakukan transformasi struktural sosial secara revolusioner. Marx berharap kelas pekerja menjadi kelas penguasa bila berhasil merebut kekuasaan dan kapital kaum kapitalis dan memusatkan semua alat-alat produksi di tangan kelas pekerja. Akhir perjuangan kaum pekerja menentang kaum kapitalis adalah terciptanya masyarakat tanpa kelas (classless society). Masyarakat tanpa kelas, menurut Marx, ditandai lenyapnya perbedaan-perbedaan kelas dan produksi dikuasai oleh bangsa serta kekuasaan negara akan kehilangan karakter politiknya. Maksudnya, sistem kekuasan itu tidak lagi bersifat opresif dan menindas masyarakat. Teori perjuangan kelas telah menjadi sumber inspirasi revolusioner yang tak kunjung habis bagi kaum pengikut Marx, baik dari kalangan neoMarxis demokrat maupun neo Marxis radikal. Pemikiran revolusioner Antonio Gramci, George Lukact, Althusser, Che Guevara dan Vladimir Lenin merupakan pengembangan lanjut atas teori Marx mengenai perjuangan kelas. 3. Negara Sebagai Alat Penindas Pemikiran Marx tentang negara itu jelas berbeda dengan Plato, 4
Aristoteles, Locke, Hobbes dan Rousseu yang tidak mempermasalahkan keharusan eksistensi negara. Negara bagi mereka merupakan keharusan dan teken for granted demi mencapai kebajikan, mengekang nafsu angkara murka manusia serta kemaslahatan umum, atau dalam istilah Rousseu, kemauan umum. Yang dipermasalahkan mereka hanyalah apa dan bagaimana bentuk negara yang ideal untuk mencapai cita-cita itu, apakah demokrasi, monarki ataukah aristokrasi. Mereka juga kritis terhadap berbagai penyimpangan kekuasaan atau sisi-sisi negatif para penguasa. Bagi Marx, persoalannya tidak demikian. Ia mempersoalkan hal yang lebih mendasar, yaitu eksistensi negara itu sendiri. Marx menilai terjadinya ekploitasi kelas borjuis kapitalis terhadap kelas proletar antara lain karena eksistensi negara. Negara ternyata dijadikan sebagi alat penindas bagi kaum kapitalis terhadap kaum proletar. Bagi kaum kapitalis, negara digunakan semata-mata hanya untuk mempertahankan status-quo dan hegemoni ekonomi dan politik mereka. Kelas proletar, karena tidak menguasai alat dan metode produksi, yang merupakan sumber kekuasaan itu, tidak memiliki akses sedikit pun terhadap negara. Mereka merasa tidak memiliki negara dan teralienasi dari lembaga politik itu. Marx menambahkan bahwa pemerintah dalam negara modern benar-benar merupakan satu komite yang mengurus kepenktingan kaum kapitalis. Atas dasar itulah, sehingga Marx mengibaratkan Negara sebagai ”monster” menakutkan bagi kaum proletar. Persoalan Marx terhadap eksistensi negara juga karena ia merasa lembaga itu tidak ada gunanya bila cita-cita kelas proletar, masyarakat
tanpa kelas, telah tercapai. Marx berpikir apakah aparat kepolisian (negara) yang koersif itu tetap diperlukan bila dalam masyarakat tidak lagi terdapat antagonis kelas, tidak terjadi pertarungan memperebutkan pekerjaan, alat-alat produksi dan kejahatan sosial karena semua anggota masyarakat telah merasakan kehidupan sejahtera sama rata sama rasa? Karena itu yang harus dijadikan prioritas pertama perjuangan kelas proletar bukanlah menciptakan negara, melainkan menciptakan masyarakat tanpa kelas itu. Dengan masyarakat tanpa kelas, negara dengan sendirinya akan lenyap. Tanpa dihancurkan, negara akan lenyap dengan sendirinya. Inilah proses sejarah yang disebut Marx sebagai proses ”lenyapnya negara”. 4. Agama: Candu Rakyat Dan Alat Penindasan “Religion is the opium of the people”, ini merupakan kata-kata Marx ketika ia mengemukakan pandangannya tentang agama. Menurut Marx, agama tidak menjadikan manusia menjadi dirinya sendiri, melainkan menjadi sesuatu yang berada di luar dirinya. Inilah yang menyebabkan manusia dengan agama itu menjadi makhluk yang terasing dari dirinya sendiri. Agama adalah sumber keterasingan manusia. Di sisi lain Marx menganggap agama muncul karena adanya perbedaan kelas-kelas sosial. Agama, dengan kata lain, adalah produk perbedaan kelas itu. Jadi, selama perbedaan kelas itu ada maka selama itu pula agama akan tetap ada. Marx dan kaum Marxis umumnya, seperti ditulis Muthadha Mutahhari, dalam Masyarakat dan Sejarah. Kritik Islam atas Marxisme dan Teori lainnya, (1987), percaya bahwa agama adalah perangkap yang dipasang kelas 5
penguasa untuk menjerat kelas proletar yang tertindas. Bila perbedaan kelas itu hilang, maka agama dengan sendirinya akan lenyap sebab pada saat itu perangkap (agama) itu tidak dibutuhkan lagi. Di sinilah menurut Marx hakekat pentingnya revolusi kelas proletar. Keberhasilan mereka menciptakan masyarakat tanpa kelas akan berarti tidak hanya keberhasilan menghilangkan negara, tetapi juga agama dari kehidupan umat manusia. Agama perlu dilenyapkan karena ia merupakan alat kaum kapitalis (kelas penindas) mengeksploitasi kelas pekerja atau proletar. Marx berpendapat bahwa negara sebagai alat penindas menggunakan agama demi kepentingan mempertahankan kekuasaan. Agama digunakan oleh negara agar rakyat tetap terlena dan tidak berontak dan selalu patuh kepada penguasa negara. Itulah fungsi eksploitasi agama. Marx menunjukan fakta-fakta sejarah yang membenarkan pandangannya itu. Ketika agama (Kristen) berkuasa di abad-abad pertengahan, prinsipprinsip sosial Kristen dijadikan alat pembenaran perbudakkan, agama mensucikan perbudakan itu dan mempertahankan keberlansungan penindasan terhadap kelas proletariat. Bagi Marx, agama merupakan nilainilai yang membelenggu manusia dan mustahil memiliki semangat pembebasan manusia. 5. Revolusi Sebagai Jalan Keluar Kaum kapitalis akan selalu berada pada pihak yang beruntung, karena negara dengan berbagai perangkatnya telah dibeli oleh mereka. Agama juga tidak mampu menolong kaum yang lemah, karena agama telah menjadi bagian dari kapitalisme itu sendiri. Agama adalah perangkap yang dipasang kelas penguasa untuk
menjerat kelas proletar yang tertindas. Agama justru menjadi pembenaran atas derita yang dialami oleh kaum lemah. Atas dasar itu, kaum proletar sebagai kaum tertindas tidak bisa berharap pada orang lain. Hanya diri mereka sendiri yang bisa membantunya keluar dari permasalahan yang dihadapinya. Menutut Marx, satu-satu cara yang ditempuh untuk keluar dari sistem kapitalis yang tidak adil itu ialah dengan melakukan revolusi. Revolusi kaum proletar bisa terjadi apabila memenuhi dua syarat, yaitu: Pertama, kaum proletar harus menyadari diri sebagai orang-orang yang tertindas. Kesadaran menjadi sangat penting untuk menciptakan perubahan. Selama ini revolusi belum terjadi, karena kaum proletar hidup dalam kesadaran palsu yang telah diciptakan oleh kaum kapitalis yang disokong oleh negara dan agama. Untuk terciptanya sebuah revolusi, kaum proletar harus kaeluar dari kesadaran palsu tersebut dengan menyadari bahwa dirinya telah menjadi “sapi perah” bagi kaum kapitalis. Kedua, kaum proletar harus mengorganisasikan dirinya dalam sebuah organisasi yang dikelola oleh kaum proletar sendiri. Lewat organisasi, kaum proletar bisa memperjuangakan agenda-agenda yang menjadi kepentingan kaum Proletar. Demi lancarnya sebuah revolusi, oragnisasi beserta kaum proletar harus aktif melakukan propaganda-propaganda tentang pentingnya kesadaran diri sebagai kaum tertindas. Marx mengakui betapa berat proses penyadaran ini, tapi Marx yakin bahwa suatu saat nanti, dengan adanya propaganda yang berjalan secara terus menerus, maka kaum proletar akan menyadari bahwa merekalah yang menentukan masa depan mereka sendiri. Ketika kaum proletar sudah sadar akan dirinya 6
sebagai kaum tertindas dan telah dilengkapi dengan sebuah organisasi yang kuat, maka menandakan suasana sudah matang, ketika itulah api revolusi menuju masarakat tanpa kelas sudah siap untuk dinyalakan. Apabila api revolusi telah menyala, kaum proletar akan tampil menjadi pemenang dan kaum kapitalis tinggal menuju ajalnya. Ketika kaum kapitalis hanucur, maka pada saat itulah citacita Marx tentang masyarakat komunis akan terwujud. 6. Kritik Terhadap Pemikiran Marx Pemikiran Marx tentang perjuangan kelas ini dikritik oleh Tom Bottomore. Menurut Bottomore setidaknya terdapat dua teori Marx tentang perjuangan kelas yang rentan kritik. Pertama, Marx terlalu berlebihan melihat kelas-kelas sosial dan kelas konflik sebagai unsur determinatif dalam menjelaskan terjadinya perubahan struktural dalam sejarah manusia. Padahal menurut Bottomore, ada unsur derminatif lainya yang tidak kalah pentingnya yang bisa menjadi kekuatan penggerak dan perubahann sejarah. Nasionalisme juga unsur penting dalam sejarah yang diabaikan oleh Marx. Nasionalisme, yang oleh Ernest Renan didefinisikan sebagai kemauan untuk hidup bersama., ternyata sebagaimana yang terbukti dalam sejarah bangsa-bangsa abad XX merupakan penggerak utama perlawanan terhadap kekuatan bangsa-bangsa Barat penindas. Di berbagai negara Asia dan Afrika, nasionalisme menjadi kekuatan penggerak sejarah kemanusiaan yang berhadap-hadapan secara antagonistik dengan kolonialisme dan imperialisme. Ini membuktikan, kata Bottomore bahwa ikatan-ikatan nasionalisme lebih efektif dalam
mengubah sejarah dari pada ikatan kelas. Kedua, meskipun teori sosial Marx tentang kelas itu cocok untuk melihat hubungan-hubungan kelas dalam masyarakat kapitalis modern, tetapi kurang mampu menjelaskan sejumlah tipe stratifikasi sosial. Kegagalan ini menurut Bottomore karena Marx, seperti terlihat dalam The Manifesto of the Communist Party, terlalu menyederhanakan posisi kelas-kelas sosial dalam sejarah umat manusia dalam melihat konflik kelas telah ada jauh sebelum zaman primitif. Marx gagal melakukan pengujian komprehensif atas teori kelasnya dan tidak melakukan teorisasi kelasnya dengan melihat perkembangan kapitalisme. Ironisnya, kegagalan Marx ini juga merupakan kegagalan kaum Marxis pada umumnya. Keadaan ini memaksa mereka melakukan pengujian teori kelas dalam konteks situasi historis yang berbeda. Harold J. Laski, seorang intelektual sosialis Inggris, berpendapat bahwa Manifesto banyak mengambil gagasannya dari Considerant Manifesto of Democracy yang diterbitkan 1843. Yang paling keras mengkritik buku Marx itu adalah Karl Kautsky yang menyebut karya Marx-Engels itu suatu bentuk plagiatisme vulgar. Dalam pandangan mengenai negara Marx ’melupakan’ atau juga naïf, melihat negara yang berwajah manusia. Artinya, Marx mengabaikan kenyataan bahwa negara bukan tidak mungkin menjadi organ atau alat penting untuk mensejahterakan manusia, atau meminjam Erich From menjadikan manusia menjadi manusia. Negara, seperti yang dikatakan Hegel dan Rousseu, bisa berfungsi memberikan kebebasan kepada warga negara suatu kebebasan hakiki. Kemunculan negara-negara kesejahteraan yang berupaya keras 7
mensejahterakan rakyat dengan berbagai cara (misalnya, lewat jaminan sosial) di negara-negara Skandinavia Eropa abad XX ini, seandainya Marx masih hidup, mungkin akan memaksa Marx merenungkan kembali, atau juga ‘merevisi’ pemikirannya tentang negara. Magnis Suseno menyebut pemikiran negara Marx ini mengadung ‘racun reduksionalisme’ dan ‘utopia yang menyesatkan’. Magnis mempertanyakan apakah dalam masyarakat tanpa kelas, negara akan menghilang dan apakah merupakan sesuatu yang masuk akal. Menurut Magnis itu jelas tidak logis. Karena negara dipahami sebagai alat penindasan saja, maka kalau ternyata negara tidak hilang apakah berarti penindasan juga akan terus berlangsung? Marx mengakui negara tidak langsung lenyap. Menurut Magnis, Marx tidak memiliki faham negara sebagai kekuatan sosial primer dan buta terhadap kedudukan maupun peranan negara dalam masyarakat yang sebenarnya. Reduksionalisme Marx ini meracuni semua analisanya tentang negara. Antipati dan sinisme Marx terhadap agama tidak lain merupakan sikap perlawanannya terhadap penyimpangan kekuasaan gereja abad lampau. Persoalan timbul bila Marx, dan kaum Marxis melakukan generalisasi berlebihan, menilai semua agama di berbagai negara dan semua fase sejarah sebagai candu dan alat penindasan. Mutahhari menyangkal tesis Marx. Menurutnya agama juga bisa menjadi kekuatan pembebas. Sejarah, demikian Muntahhari memperlihatkan agama telah lahir dan tumbuh di kalangan kelas-kelas miskin dan tertindas. Salah seorang kelas tertindas, itu adalah Musa. Dengan menggerakkan kekuatan kelas tertindas, Nabi ini berhasil melawan
kekuatan tirani Fir’aun, Haman dan Qorun dan membebaskan bangsa Israel dari perbudakan. Demikian pula dengan revolusi agama Muhammad. Ia melawan kelas penguasa politik (Quraisy), kaum aghniyaa (istilah Marx, kapitalis), kaum bangsawan seperti Abu Sufyan, Abu Jahal dan Walid bin Mughirah. Dan revolusi Muhammad melawan kekuasaan itu mengandalkan kekuatan kelas tertindas (kaum dhuafa) seperti Salman al Farisi, Amar bin Yasir, Abu Dzar algifari dan Abdullah bin Mas’ud. Jika Marx sempat membaca secara Islam terutama pada masa nabi dan khulafaurrasyidin, maka Marx tidak akan mengatakan bahwa kehadiran negara bagaikan monster yang menakutkan bagi kaum yang tertindas. Sebagai ilustrasi saya kutipkan beberapa pendapat sejarawan tentang keadaan negara pada masa khalifah Umar bin Khatab. Philip K. Hitti, Pakar Kajian Timur Tengah dari Princeton University, New Jersey memberikan gambaran yang cukup baik tentang karakter Umar sebagai Khalifah. Ia menagatakan: “…Untuk beberapa lama setelah diangkat menjadi khalifah, tetap mencari penghidupan dengan cara berdagang dan sepanjang hayatnya menjalani kehidupan sederhana mirip dengan para kepala suku Badui… Wataknya yang terpuji menjadi teladan bagi para penerusnya. Diriwayatkan bahwa ia hanya memiliki satu helai baju dan satu jubah, yang keduanya penuh tambalan, tidur di atas pelepah kurma dan tidak memiliki perhatian selain pada kemurnian keimanannya, penegakan keadilan dan keagungan serta kebaikan Islam….” Sebagai pelengkap dari keterangan di atas, mari melihat pendapat Prof. Hamka tentang Umar 8
bin Khatthab sebagai khalifah. Prof. Hamka menulis: “…Dia amat cinta kepada rakyat. Dia senantiasa berusaha mencari sesuatu yang akan membahagiakan rakyatnya dan menolak sesuatu yang akan mendatangkan kesengsaraan. Dia memandang rakyatnya dengan kacamata keadilan, tidak ada bedanya antara rakyat yang miskin dengan rakyat yang kaya. Orang yang kuat tidak akan berani melakukan hal yang semena-mena kepada orang yang lemah dan orang yang lemah tidak takut akan binasa hartanya, karena ada Umar sang khalifah yang akan menjadi pembelanya. Dia sangat bijak, pandai meletakkan sesuatu pada tempatnya. Dalam suatu riwayat diceritakan bahwa Umar tidak segan-segan memikul sekarung gandum sendirian pada malam hari demi memberikan makanan pada sebuah keluarga miskin di luar kota Madinah. Kemudian, Umar sendiri yang langsung turun ke dapur untuk memasak gandum yang ia bawa itu. Sampai-sampai jenggotnya yang lebat itu penuh dengan asap dapur. Setelah masak, maka makanan dari gandum itu mulai dibagikan kepada keluarga yang miskin itu. Setelah keluarga miskin itu merasa kenyang barulah Umar pergi meninggalkan keluarga tersebut. Umar sangat bahagia ketika mendengar anak-anak dari kelurga itu tertawa setelah makan masakan gandumnya. Hal itu pertanda, bahwa keluarga itu merasa bahagia dengan perlakuan Umar pada keluarganya. Dia suka sekali hidup sederhana, bahkan pakaian yang melekat di badannya adalah pakaian yang sangat murah dan makanannya pun demikian pula. Kehidupannya sebagai khalifah tidak ada ubahnya seperti kehidupan orang miskin. Dia hanya hidup dari makan sesuap pagi
dan sesuap petang. Tidak tertarik hatinya kepada hidup yang mewah dan megah. Menurut pendapat Umar, bahwa harta itu dapat merusak akal budi bagi orang yang mengejarnya. Itulah sebabnya dia memilih hidup dengan sederhana. Dia tidak membiarkan kelurganya untuk mengambil barang orang lain yang bukan haknya. Lantaran kepribadian Umar yang demikian itu, maka bertambahlan kecintaan kaum muslimin kepadanya….” Kutipan di atas menjelaskan secara gamblang bahwa keberadaan negara khalifah dibawah pimpinan Umar bin Khatthab bukanlah merupakan monster yang menakutkan bagi kaum tertindas. Negara dibawah kepemimpinan Umar radhiallahu anhu menjelma menjadi institusi pengayom dan pelindung bagi kaum tertindas. Kutipan di atas telah membuktikan bahwa negara bukanlah merupakan sebuah komunite yang mengurus kepentingan kaum borjuis, akan tetapi negara dibawah pimpinan seorang khalifah yang tegas, jujur, adil dan bijaksana, telah menjelma sebagai pembawa rasa damai dan ketenangan kepada kaum tertindas. Mengapa bisa demikian, karena Umar al Faruk sebagai penguasa negara khalifah telah bersungguh-sungguh menegakkan keadilan, sehingga rasa keadilan itu betul-betul hidup dalam masyarakat. Dengan tegaknya keadilan itu, maka kaum kapitalis tidak akan bisa menggunakan negara dengan berbagai peralatannya sebagai wadah untuk mengeksploitasi kaum yang lemah. Cita-cita Marx akan terwujudnya masyarakat tanpa kelas adalah sebuah cita-cita yang tidak masuk akal atau para ilmuan menyebutnya sebagai sesuatu yang utopia. Keberadaan kelas dalam suatu masyarakat adalah sesuatu yang alamiah. Islam membahasakannya 9
sebagai sesuatu hal yang sunnatullah, atau para ilmuan menganggapnya sebagai sesuatu hal yang sesuai dengan hukum alam. Dalam konteks ini, maka cita-cita Marx untuk menciptakan sebuah masyarakat yang tanpa kelas sebuah cita-cita yang visà-vis dengan sunnatullah atau hukum alam itu sendiri. Artinya, cita-cita Marx tidak akan terwujud, karena bertentangan dengan fitrah alam itu sendiri. Jika hal itu dipaksakan maka masyarakat yang terwujud bukanlah masyarakat yang sehat, akan tetapi masyarakat yang rusak sebagaimana masyarakat kapitalis yang sangat dibenci oleh Marx. Ketidakmampuan kaum Marxis dalam mewujudkan citacita Marx telah dibuktikan oleh sejarah. Dengan demikian bisa ditegaskan kembali bahwa cita-cita Marx itu tidak akan pernah terwujud, karena citacitanya itu bertentangan dengan hukum alam yang telah menyediakan segala sesuatunnya berpasangpasangan atau berkelas-kelas. Ada rakyat dan ada penguasa, ada pemodal dan ada pekerja, ada guru dan ada murid dan itu semua adalah sesuatu yang mutlak harus ada dalam hidup dan jika itu tidak ada, maka hidup tidak akan berjalan normal lagi dan akan menuju kehidupan yang rusak alias kehidupan yang sakit atau kehidupan yang timpang atau kehidupan yang tidak seimbang.
mengajarkan kepada kaum proletar untuk melakukan perlawanan dengan melakukan revolusi. Tujuan dari revolusi itu adalah terciptanya masyarakat tanpa kelas. Akan tetapi masyarakat tanpa kelas yang dicitacitakan oleh Marx itu adalah sesuatu hal yang utopia dan tak akan pernah terwujud dalam sejarah, karena masyarakat tanpa kelas itu menentang hukum alam yang telah menyediakan segala sesuatunya berpasangpasangan. Walaupun cita-cita Marx gagal terwujud, tapi harus diakui bahwa Marx sebagai pemikir telah banyak mempengaruhi perkembangan negara-negara di dunia. Sedikitnya Marx telah mempengaruhi 1,3 milyar manusia. Dengan demikian, arti penting Marx sebagai seorang pemikir bukan terletak pada kebenaran pendapatnya tapi terletak pada masalah apakah buah pikirannya telah menggerakkan orang untuk bertindak atau tidak. Diukur dari sudut ini, tak perlu diragukan lagi Karl Marx punya arti penting karena Marx mampu mempengaruhi 1,3 milyar manusia.
KESIMPULAN Uraian di atas telah memberikan gambaran siapa Marx dan bagaimana pemikiran politiknya. Marx adalah seorang pemikir yang sangat dipengaruhi oleh jalan hidupnya yang penuh penderitaan dan berliku-liku. Dengan pengalamannya itu, Marx merumuskan bahwa kaum proletar sebagai kaum yang lemah adalah makannan yang lezat bagi kaum kapitalis. Atas dasar itu, Marx 10
DAFTAR PUSTAKA
Ebenstein, William. (2006). Isme-Isme Yang Mengguncang Dunia: Kominisme, Fasisme, Kapitalisme, dan Sosialisme, Yogyakarta: Narasi. Hadiwijoyo, Harun. (1999). Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius. Hamka, (1994). Sejarah Umat Islam, Singapura: Pustaka Nasional. Hashem, O., (2008). Agama Marxis: Asal-Usul Ateisme dan Penolakan Kapitalisme, Bandung: Nuansa. K. Hitti, Philip. (2008). History of The Arabs, Jakarta: Serambi. Noer, Deliar. (1996). Pemikiran Politik di Negara Barat, Bandung: Mizan. Raho, Bernard. (2007). Teori Sosiologi Modern, Jakarta: Prestasi Pustaka. Solihin, M. (2007). Perkembangan Pemikiran Filsafat Klasik Hingga Modern, (Bandung: Pustaka Setia. Suhelmi, Ahmad. (2004). Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan, Jakarta: Gramedia.
Daftar Riwayat Hidup : Darmawijaya, S.S,Dosen Ilmu Sejarah Pada Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Khairun Ternate.
11