129
Unmas Denpasar
KAPITALISASI RUANG TERBUKA TRADISIONAL SEBAGAI KOMODITAS Ida Bagus Brata Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Mahasaraswati Denpasar
[email protected] ABSTRAK Fokus kajian ini untuk memahami fenomena kapitalisasi dengan mengangkat realitas lapangan yang bersifat empirik berkaitan dengan pemanfaatan ruang terbuka tradisional menjadi ruang ekonomis. Seiring dengan akselerasi kekuatan arus budaya global berimplikasi terhadap praktik-praktik budaya kapitalis. Akibatnya ruang terbuka tradisional dikapitalisasi, dikomersialisasi sebagai wadah fasilitas umum baru. Kapitalisasi ruang pada era Globalisasi diartikan bagaimana ruang terbuka tradisional diproduksi menjadi ruang-ruang ekonomis sehingga lebih mudah dikonsumsi oleh pasar. Faktor internal dan eksternal tampak begitu kuat pengaruhnya terhadap terjadinya kapitalisasi terhadap ruang terbuka tradisional. Faktor eksternal mencakup kehadiran manusia (wisatawan), barang dan uang, arus teknologi, media massa sebagai agen budaya populer, dan ideologi kapitalis. Faktor internal, seperti libido ekonomi (pemenuhan hasrat ekonomis). Ruang terbuka tradisional dieksploitasi untuk tujuantujuan menghasilkan uang, sehingga terjadi perubahan tata ruang tradisional Bali baik dalam zona parhyangan, pawongan maupun palemahan. Demi materi, ruang terbuka tradisional tidak lagi dipandang sebagai kearifan lokal, nilai-nilai ruang terbuka tradisional diabaikan, sehingga terjadi kerusakan secara ekologis, estetika arsitektural Bali menjadi hilang, akibatnya terjadi destruksi identitas ke-Bali-an. Kata Kunci: globalisasi, kapitalisasi, ruang terbuka tradisional. ABSTRACT The focus of the present study is to understand the phenomena of capitalization which discuss about the realities that are empirically related to the utilization of traditional open space into economical space. The acceleration of the current strength of global culture implicates the practices of capitalist culture. As a result, the traditional open space is capitalized, commercialized as a forum for new public facilities. Capitalization of open space in the era of globalization means how traditional open spaces are produced into economical spaces so that they are easily consumed by the market. Internal and external factors have very strong effects on the capitalization of the traditional open space. External factors include the presence of humans (tourists), goods and money, technology, mass media as an agent of popular culture, and the capitalist ideology. Internal factors such as economic libido (economical desire-fulfillment) are the examples. Traditional open space is traditionally exploited for the purposes of making money, so it changes the traditional spatial planning in parhyangan, pawongan and palemahan. For the sake of financial reason, traditional open space is no longer seen as a traditional local wisdom, and the values of traditional open space are ignored; therefore, there are ecological damages, the loss of Bali architectural aesthetics, resulting in destruction of the Balinese identity. Keywords: globalization, capitalization, traditional open space.
Diselenggarakan oleh : LEMBAGA PENELITIAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT (LPPM) UNMAS DENPASAR JL. KAMBOJA NO. 11 A KOTA DENPASAR – PROVINSI BALI 29 – 30 AGUSTUS 2016
130
Unmas Denpasar
PENDAHULUAN Tidak dapat dipungkiri isu globalisasi tampak begitu ramai dibicarakan oleh kalangan ilmuwan sosial, bahkan oleh ilmuwan bidang-bidang lainnya. Seiring dengan akselerasi kekuatan arus globalisasi itu maka semakin luas daya jelajahnya dan semakin kuat pula intensitas daya pengaruhnya. Hampir tidak ada sebuah wilayah di belahan dunia ini yang terbebas dari pengaruh globalisasi, atau mungkin menghindar dari proses globalisasi. Di tengah kecenderungan kehidupan dunia yang makin bergerak ke arah bebas sekat, bebas dari sekat etnis, golongan, ras, agama, dan geopolitik, maka wawasan lokal makin terintegrasi ke dalam wawasan regional, nasional, dan global. Globalisasi sebagai suatu proses yang menempatkan masyarakat dalam posisi saling tergantung, telah memperkenalkan nilai baru dalam lingkungan tradisi, oleh karena itu warga suatu komunitas pendukung tradisi senantiasa mengalami proses difrensiasi sosial-struktural, dan generalisasi nilai, norma, serta makna yang terkandung di dalamnya. Di dalam sistem ekonomi global dengan mengutamakan pertumbuhan ekonomi sebagai indikator keberhasilan, salah satu hal penting bagi pemerintah daerah adalah bagaimana mengintensifkan dan memperluas pasar demi mencapai pendapatan (PAD) yang tinggi. Pada konteks seperti ini daerah/wilayah dipahami dan dikelola layaknya badan usaha sekaligus pasar yang di dalamnya segala sesuatu bisa dijual secara bebas, tidak terkecuali ruang terbuka tradisional. Warga dari komunitas yang bersangkutan dipandang tidak lebih sebagai konsumen. Sebagai pasar, ruang terbuka tradisional dikembangkan dengan membangun berbagai fasilitas ekonomi dengan alasan untuk meningkatkan perkembangan ekonomi masyarakat di wilayah yang bersangkutan. Pembangunan berbagai fasititas ekonomi, tentu membutuhkan ruang-ruang yang dalam kenyataannya semakin hari semakin sempit. Akhirnya yang dikorbankan adalah ruang terbuka tradisional, yang semuanya itu pada hakikatnya diperuntukkan bagi semua warga suatu komunitas di wilayah itu. Dengan demikian ruang terbuka tradisional telah menjadi komoditas. Pengertian ruang terbuka tradisional sebagai ruang publik telah bergeser menjadi barang privat. Tatanan ekonomi global telah menyingkirkan batasan-batasan ruang terbuka tradisional sebagai milik publik sehingga lahirlah pasar ruang terbuka tradisional (Brata, 2012). Apabila hal ini secara terus menerus terjadi tanpa ada kontrol, maka jurang antara si kaya dan si miskin makin menganga lebar, akibatnya cita-cita membangun komunitas yang guyub pecah menjelma menjadi masyarakat patembayan yang dilandasi penalaran kalkulatif ala Max Weber dan semakin melunturnya kepekaan moral yang disepakati bersama seperti yang dikemukakan oleh Emile Durkheim. Harus diakui penataan suatu wilayah sungguh amat rumit dan pelik, sebab mau tidak mau menyangkut benturan antar pendekatan-pendekatan yang bersifat komersial dan humanis. Tata ruang suatu wilayah sesungguhnya merupakan pengejawantahan budaya suatu komunitas dengan keanekaragaman karakter, sifat, kekhasan, keunikan, dan keperibadian. Oleh karena itu pertama-tama yang patut dipahami adalah budaya dari berbagai kelompok komunitas dan pengaruh dari tata nilai, norma, gaya hidup, kegiatan, dan simbol-simbol yang mereka anut terhadap penataan ruang di wilayah tersebut. Diselenggarakan oleh : LEMBAGA PENELITIAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT (LPPM) UNMAS DENPASAR JL. KAMBOJA NO. 11 A KOTA DENPASAR – PROVINSI BALI 29 – 30 AGUSTUS 2016
131
Unmas Denpasar
Dalam konteks ini patut dipertanyakan apakah ruang terbuka tradisional berpihak pada sebanyak mungkin warga lokal ataukah berada di bawah kuasa negara atau pemilik modal penguasa pasar. SKEMA KONSEPSUAL DAN TEORETIK Menurut Henri Lefebvre (Ritzer dan Goodman, 2011) ruang muncul sebagai produk sosial yang dibentuk oleh orang-orang (agen) yang memiliki kontrol atasnya. Relasi sosial menciptakan ruang, namun yang lebih penting adalah melihat ruang sosial sebagai produk sosial. Ruang sosial memiliki logika yang panjang untuk menjelaskan dirinya sendiri. Secara sesial ruang menjadi sarana untuk meraih dan menciptakan kontrol. Ruang dikonstruksi sedemikian rupa sebagai sarana pemikiran dan tindakan. Dalam kaitan seperti ini ruang diproduksi sedemikian rupa untuk melanggengkan kekuasaan dan menciptakan dominasi. Namun patut dicermati bahwa apapun alasan dan tujuannya ruang publik bukanlah barang dagangan, tidak layak dikapitalisasi demi siasat perolehan provit tertentu. Pada awal abad 21 ini, trend global semakin variatif. Barang, uang, manusia, teknologi, informasi, dan ideologi dalam era globalisasi telah menyebar secara luas melewati batas negara (nation state cross border), yang berimplikasi terhadap semakin saling terhubungnya setiap dinamika perubahan global dewasa ini, dan mengikat semakin kuat membentuk suatu komunitas tunggal yang terintegrasi dan dalam hal ekonomi telah menjadi semacam pasar tunggal. Menurut Appadurai, arus kebudayaan global (global cultural flow) dapat diketahui dengan memperhatikan hubungan antara lima komponen dari ciri-ciri kebudayaan global, yaitu: (a) ethnoscape, yaitu perpindahan penduduk atau orang dari suatu negara ke negara lain; (b) technoscape, yaitu arus teknologi yang mengalir begitu cepat dan tidak mengenal batas negara; (c) mediascape, media yang dapat menyebarkan informasi ke berbagai belahan dunia; (d) Finanscape, yakni aspek finansial atau uang yang sulit diprediksi pada era globalisasi; dan (e) ideoscape, yaitu komponen yang terkait dengan masalah politik seperti kebebasan, demokrasi, kedaulatan, kesejahteraan, dan hak seseorang (dalam Ritzer dan Goodman, 2011:598; Ardika, 2007:14). Globalisasi adalah suatu proses yang menempatkan masyarakat dalam saling ketergantungan dalam bidang ekonomi, sosial, politik, dan kebudayaan. Ciri utama dari globalisasi adalah peningkatan konsentrasi dan monopoli sebagai sumberdaya dan kekuatan ekonomi oleh perusahaan-perusahaan transnasional, maupun oleh perusahaan-perusahaan keuangan dan dana global. Membahas dasar teori ekonomi kapitalisme, sosok Adam Smith dengan buku termasyurnya “The Wealth of Nations” dapat dikatakan sebagai bapak kapitalisme. Dalam membahas teori dasar kapitalisme adalah dengan cara mengetahui ciri dasar sistem tersebut, yaitu memaksimalkan keuntungan individu melalui kegiatan-kegiatan ekonomi yang dimaksudkan membantu kepentingan publik. Makna kapitalisme untuk kepentingan publik tersebut, oleh Adam Smith diilustrasikan dengan sangat jelas: apa yang kita harapkan untuk makan malam kita tidaklah datang dari keajaiban dari si tukang daging, si juru masak atau si tukang roti, melainkan dari apa yang mereka hormati dan kejar sebagai kepentingan peribadi. Malahan ia tidak berpikir Diselenggarakan oleh : LEMBAGA PENELITIAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT (LPPM) UNMAS DENPASAR JL. KAMBOJA NO. 11 A KOTA DENPASAR – PROVINSI BALI 29 – 30 AGUSTUS 2016
132
Unmas Denpasar
untuk kemajuan publik bahkan ia tidak tahu seberapa besar ia memiliki andil untuk memajukannya. Sesungguhnya yang ia hormati dan yang ia kejar adalah keuntungan bagi dirinya sendiri. Ide dasar kapitalisme juga disampaikan oleh Max Weber, dengan mengatakan bahwa kapitalisme sebagai sistem produksi komoditi berdasarkan kerja berupah untuk dijual dan diperdagangkan guna mencari keuntungan. Bagi Weber ciri kapitalisme yang lebih mendasar adalah pada sistem pertukaran di pasar. Sistem di pasar ini menimbulkan konsekuensi logis berupa rasionalisasi yang mengacu kepada bagaimana cara meraih keuntungan yang sebesarbesarnya. Nilai tukar mata uang telah menciptakan ketidakstabilan nilai tukar yang sangat tajam yang berbalik mendorong terciptanya sebuah masa yang sangat besar pada dunia uang. Uang itu tidak memiliki eksistensi di luar ekonomi global dan itu adalah pasar-pasar uang utama. Merujuk pada Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No.01/KM.12/2001, kapitalisasi diartikan sebagai penentuan nilai pembukuan terhadap semua pengeluaran untuk memeroleh aset tetap hingga siap pakai, untuk meningkatkan kapasitas/efisiensi dan atau memperpanjang umur teknisnya dalam rangka menambah nilai-nilai aset tersebut. Mencermati KepMenKeu di atas, kapitalisasi merupakan cara kapitalisme melancarkan tujuannya dengan mengakumulasi kapital atau mentransformasi nilai guna menjadi nilai tukar. Oleh karena itu dapat dikatakan kapitalisasi merupakan bentuk transformasi dari hubungan yang awalnya terbebas dari hal-hal yang sifatnya diperdagangkan menjadi hubungan yang sifatnya komersial. Dalam hubungan inilah timbul anggapan bahwa globalisasi dipandang sebagai kapitalisme dalam bentuk yang paling mutakhir karena negaranegara yang kuat dan kaya praktis akan mengendalikan ekonomi dunia dan negara-negara kecil semakin tidak berdaya karena tidak mampu bersaing. PERUBAHAN BALI SECARA FISIKAL Bali merupakan ekologi pulau kecil, terbatas dalam sumberdaya alam, namun daerah ini memiliki sumberdaya sosial, budaya, dan kemanusiaan yang besar. Pulau ini dihuni oleh ±4.152,800 jiwa penduduk dengan kecenderungan perkembangan ke arah heterogen dan pluralitas tinggi baik secara ras, etnik, agama, dan budaya seiring dengan dinmakia masyarakat dan kebudayaan yang terbuka secara lokal, nasional, dan global. Berdasarkan data BPS Provinsi Bali per Mei 2015, menunjukkan luas wilayah pulau Bali 5636.66 km², dengan kepadatan penduduk mencapai 737 jiwa per km². Angka ini hanya sepersepuluh kepadatan penduduk Singapura yang mencapai 7.814 jiwa per km². Kepadatan penduduk di Bali antara tahun 2011 – 2015, menunjukkan: tahun 2011 dengan kepadatan 702 jiwa per km²; tahun 2012 dengan kepadatan 711 jiwa per km²; tahun 2013 dengan kepadatan 720 jiwa per km²; tahun 2014 dengan kepadatan 728 jiwa per km²; dan tahun 2015 dengan kepadatan 737 jiwa per km². Sementara ada tiga Kabupaten/Kota di Bali tahun 2015 menunjukkan kepadatan yang cukup tinggi yaitu: Kota Denpasar luas wilayah 127,78 km² jumlah penduduk 880,6 jiwa dengan kepadatan 6.892 jiwa/ km²; Badung luas wilayah 418,52 km² jumlah penduduk 616,4 jiwa dengan kepadatan penduduk 1.473 jiwa/ km²; Gianyar luas wilayah 368,00 km² jumlah penduduk 495,1 jiwa dengan kepadatan penduduk 1.345 jiwa/ km². Diselenggarakan oleh : LEMBAGA PENELITIAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT (LPPM) UNMAS DENPASAR JL. KAMBOJA NO. 11 A KOTA DENPASAR – PROVINSI BALI 29 – 30 AGUSTUS 2016
133
Unmas Denpasar
Laju rata-rata pertumbuhan penduduk Bali 2010 – 2014 sebesar 1,24 persen tiap tahun. Relatif tingginya pertumbuhan penduduk salah satu penyebabnya adalah angka migrasi masuk ke Bali relatif besar. Bahkan di masa-masa mendatang migrasi penduduk masuk ke Bali diprediksi akan semakin meningkat. Kenyataan ini tentu sangat besar pengaruhnya terhadap perubahan aspek fisikal terhadap wilayah Bali. Terjadinya perubahan fisikal itu juga dipicu dengan terbitnya Perda No.4/1996 dan UU No.22 Tahun 1999. Perda No.4/1996 telah melahirkan kesan bahwa Bali untuk pariwisata, bukan sebagaimana direncanakan pariwisata untuk Bali. Padahal tanah dalam konsepsi Hindu adalah Ibu Pertiwi yang menjadikan manusia hidup dan memiliki eksistensi. Sementara UU No.22 Tahun 1999 tentang Ototomi Daerah telah menimbulkan ego (hasrat) Kabupaten/Kota dalam meningkatkan PADnya. Sejak masa prasejarah berbagai suku bangsa yang tersebar di nusantara ini sudah menghormati roh alam dan kekuatan bumi, mereka mengibaratkannya sebagai Ibu yang memberikan kehidupan, sebagai dewi alam dan lingkungan hidup. Tanah bagi masyarakat Bali dilihat sebagai harta milik yang suci yang mesti harus dipertahankan. Tanah dianggap sebagai pemberian atau karunia Ida Sang Hyang Widhi Wasa, yang wajib dijaga guna diwariskan kepada anak cucu dari generasi ke generasi. Oleh karena itu tanah tidak dilihat sebagai komoditi yang dapat secara bebas diperjual belikan dalam pasar bebas dengan perhitungan ekonomi semata. Ruang terbuka merupakan perwujudan nyata keselarasan dalam falsafah Tri Hita karana, karena ruang terbuka merupakan sarana interaksi sosial, penyangga kelestarian lingkungan serta tempat melakukan ritual keagamaan secara bersama-sama. Ruang terbuka tradisional yang baik dapat meningkatkan kohesi sosial, meningkatkan kesehatan, kebahagiaan, kesejahteraan bagi masyarakat, dan kelestarian lingkungan. Oleh karena itu ruang terbuka tradisional harus dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat. Ruang merupakan arena pergaulan antar berbagai kepentingan. Konflik dan ketidakpastian akan selalu muncul yang tidak mungkin dihindari. Konflik antara kebijakan pusat dengan harapan dan kepentingan daerah, konflik antara pertumbuhan ekonomi dengan pemerataan, antara pembangunan fisik dengan pelestarian ruang terbuka tradisional. Apabila kepentingan ekonomi yang lebih ditonjolkan, maka akan timbul kerisauan akan lenyapnya ruang terbuka tradisional, baik berupa telajakan, taman bermain, karang suwung, tegal suci, alun-alun, bahkan kuburan. Padahal dalam siklus kehidupan manusia sejak dilahirkan sampai mati, kehadiran ruang terbuka tradisional dirasakan sebagai kebutuhan yang sangat diperlukan. KAPITALISASI RUANG TERBUKA TRADISIONAL Piliang (2004:105) mengatakan globalisasi telah menimbulkan sikap ketidakpedulian masyarakat terhadap segala dimensi dan nilai yang diyakini beribu tahun akibat tenggelamnya mereka ke dalam kondisi ekstasi masyarakat konsumer yang dipicu oleh ideologi kapitalisme. Dalam kaitan ini globalisasi dijadikan landasan dalam memahami berkembangnya fenomena kapitalisasi ruang terbuka tradisional di Bali berdasarkan asumsi bahwa fenomena tersebut tidak terlepas dari proses yang menempatkan masyarakat Bali
Diselenggarakan oleh : LEMBAGA PENELITIAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT (LPPM) UNMAS DENPASAR JL. KAMBOJA NO. 11 A KOTA DENPASAR – PROVINSI BALI 29 – 30 AGUSTUS 2016
134
Unmas Denpasar
sebagai bagian dari masyarakat dunia yang saling terhubungkan dalam berbagai aspek kehidupan baik sosial, budaya, ekonomi, teknologi, politik maupun lingkungan. Sejak Bali ditetapkan sebagai salah satu daerah kunjungan wisata di Indonesia, kunjungan wisatawan ke Bali semakin meningkat. Kehadiran pariwisata membawa konsekuensi bagi masyarakat Bali. Artinya, masyarakat dihadapkan pada dua pilihan, yaitu menangkap peluang yang diciptakan oleh pariwisata atau membiarkan peluang itu. Menangkap peluang yang dibawa pariwisata cenderung mengabaikan kearifan ekologi, seperti terjadinya kapitalisasi terhadap ruang terbuka tradisional. Apabila tidak mengambil peluang yang ada, terkesan menyia-nyiakan peluang dan kesempatan yang ditawarkan industri pariwisata. Dalam menangkap peluang itu, ruang terbuka tradisional tidak lagi dimaknai sebagai ruang sosial, tetapi sebagai ruang yang memiliki nilai ekonomi. Dalam hal ini pemaknaan ruang bergeser, yakni dari pola tata ruang menjadi pola penataan untuk mendapatkan uang. Kehadiran wisatawan membawa konsekuensi disediakannya berbagai fasilitas akomodasi. Dalam rangka memenuhi tuntutan wisatawan tersebut masyarakat semakin intensif mengkapitalisasi ruang terbuka tradisional sebagai ruang berusaha untuk memenuhi hasrat dan libido ekonominya. Pesatnya pembangunan permukiman atau tempat usaha berdampak buruk pada nasib petani. Investor berlomba-lomba membangun perumahan, perkantoran, berbagai akomodasi pariwisata dan sejenisnya, akibatnya banyak lahan pertanian jadi bangunan, sementara di daerah lain orang berlomba-lomba membuka lahan pertanian baru. Tingginya alih fungsi tanah pertanian berdampak terhadap semakin berkurangnya hasil produksi pertanian. Banyak masyarakat terutama orang perkotaan sudah terbiasa mengkonsumsi roti sebagai pengganti nasi. Namun perlu dicermati bahwa bahan baku roti dari gandum. Di negara kita tidak cocok tanaman gandum, akibatnya kita harus impor gandum dari negara tetangga. Manusia tidak lagi bertindak demi sesuatu yang bernilai pada dirinya sendiri atau demi kebutuhan bersama, melainkan hanya sejauh tindakannya menghasilkan uang (Magnis Suseno, 2003:98). Dewasa ini terdapat kecenderungan tanah diperlakukan sebagai komoditi ekonomi. Sawah-sawah di desa dibeli orang-orang kota, sehingga petani pemilik turun derajatnya menjadi buruh tani. Lahan di kota diborong pemilik modal, sehingga timbul pernyataan bahwa lahan di kota semakin langka dan mahal, sehingga orang sulit membangun rumah sehat sederhana. Tidak sepatutnya bila lahan dipertarungkan dalam pasar bebas sebagai komoditas ekonomi semata-mata. Lahan mestinya dilihat sebagai benda sosial, dan bahkan lebih tepat lagi bila didayagunakan sebagai instrumen pembangunan demi terwujudnya masyarakat beradab dan berbudaya. Tidak semua ruang publik harus dilihat sebagai pasar, tidak sekedar sebagai tempat transaksi kebutuhan dan kepentingan, tidak pula sebagai tempat mendidik diri untuk menyaksikan bahwa semua hal dalam hidup alam semesta ini bisa dikapitalisasi. Apapun alasan dan tujuannya, ruang publik bukanlah barang dagangan, demikian juga tidak layak dikapitalisasi demi siasat memeroleh provit tertentu. Hampir setiap sudut Kabupaten/Kota secara visual semakin tinggi variasinya, salah satu penyebabnya karena semakin tingginya pemanfaatan ruang-ruang potensial visual kota oleh dominasi iklan. Dominasi iklan dari berbagai jenis, merk, dan produk serta ukurannya, seolah-olah tidak ada lagi ruang tersisa untuk menikmati bangunan atau fanorama perkotaan. Diselenggarakan oleh : LEMBAGA PENELITIAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT (LPPM) UNMAS DENPASAR JL. KAMBOJA NO. 11 A KOTA DENPASAR – PROVINSI BALI 29 – 30 AGUSTUS 2016
135
Unmas Denpasar
Sekaligus kita tidak pernah tahu siapa yang membayar dan bagaimana ketentuan-ketentuan membayar, yang kita ketahui adalah semakin luas ruang visual potensial yang harus dijejali iklan. Kita tidak tahu berapa lama iklan itu diijinkan terpampang, sebab kenyataannya seakan-akan iklan hanya ingat dipasang dan lupa dicabut, sehingga ketika terkena hujan dan terik matahari warnanya berubah dan lapuk sehingga terkesan menambah kesemarakan sebagai kota budaya. Rumah tempat tinggal dikomersialisasi sebagai tempat menginap para bule. Natah bertambah fungsi sebagai tempat memajang barang-barang seni layaknya show room. Alunalun berubah fungsi menjadi pasar. Telajakan pura, rumah, setra (kuburan) bertambah fungsi menjadi wadah fasilitas umum baru, seperti sebagai tempat memasang gardu listrik, tiang telpon, meteran air bersih, tempat anjungan tunai mandiri (ATM), sebagai tempat parkir, minimarket, warnet, pertamina mini, bahkan difungsikan memasang baliho iklan mulai dari berbagai produk makanan cepat saji, berbagai aksesoris kecantikan sampai baliho kampanya hajatan lima tahunan (pemilu). Parkir tidak cukup di badan jalan, trotoarpun dijadikan tempat parkir, akibatnya pejalan kaki sangat sulit lalu-lalang di atas trotoar. Tanah pelaba pura (tanah ulayat), karang suwung, karang embang sering diponis sebagai lahan tidur yang kurang berfungsi atau kurang bermanfaat, kemudian disewakan/dikontrakkan untuk mendapatkan uang. Di atas lahan ini selanjutnya dibangun berbagai fasilitas mengikuti selera pasar (pemilik modal). Bahkan terdapat kecenderungan pembangunan berbagai fasilitas di sini kurang dikontrol, sehingga terkesan bangunan kumuh. Anehnya banyak bangunan liar tidak ditertibkan, sementara banyak bangunan yang melanggar aturan tidak ditindak. Pantai dan laut dikapling-kapling, akibatnya timbul konflik karena pemanfaatan suatu sumber daya yang sama untuk kepentingan yang berbeda. Kenyataan ini dapat menimbulkan keresahan masyarakat akibat terdesaknya akses masyarakat untuk pergi melaut, di samping memang dapat menghambat kelancaran masyarakat melangsungkan upacara keagamaan di pantai. Sempadan sungai yang semula hijau karena pepohonan yang berfungsi sebagai daerah tangkapan atau resapan air telah ditanami beton sebagi tiang-tiang penyangga bangunan kafe, restoran, bungalow sampai hotel berbintang. Catus pata/pempatan agung disesuaikan mengikuti perkembangan arus transportasi untuk memudahkan berbagai jenis kendaraan lalu-lalang, akibatnya ketika masyarakat lokal melakukan upacara pitra yadnya (ngaben) sangat sulit memutar wadah. Dalam konsideran Peraturan Daerah Provinsi Bali No.3 Tahun 2005 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali disebutkan pertimbangan terhadap pentingnya kebijakan tata ruang wilayah sebagai berikut. “bahwa ruang merupakan komponen lingkungan hidup yang bersifat terbatas dan tidak terperbaharui yang harus dimanfaatkan untuk kepentingan generasi masa kini dan generasi masa depan; bahwa pembangunan di daerah Bali telah berkembang pesat, khususnya di bidang kepariwisataan dan industri kecil. Namun, dengan adanya perubahan kebijaksanaan pemerintah yang berskala besar, perubahan faktor-faktor internal dalam pembangunan daerah, dan terjadinya simpangan yang cukup signifikan, perlu diwujudkan penyesuaian penataan ruang yang dinamis dalam satu kesatuan tata lingkungan berlandaskan kebudayaan Bali yang dijiwai agama Hindu, serta tetap memelihara kelestarian lingkungan hidup sesuai dengan falsafah Tri Hita Karana untuk mewujudkan masyarakat adil Diselenggarakan oleh : LEMBAGA PENELITIAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT (LPPM) UNMAS DENPASAR JL. KAMBOJA NO. 11 A KOTA DENPASAR – PROVINSI BALI 29 – 30 AGUSTUS 2016
136
Unmas Denpasar
dan makmur sebagai pengamalan Pancasila melalui penetapan Rencana Tata Ruang Wilayah ......” Apabila Perda Provinsi Bali No.3 Tahun 2005 dicermati sesungguhnya di dalamnya ada semangat dalam memanfaatkan ruang terbuka dilakukan secara terpadu dengan mengedepankan asas keadilan, manfaat, dan keterbukaan. Dengan harapan jangan sampai kepentingan kelompok investor terhadap pemanfaatan lahan dan ruang di Bali yang mengabaikan nilai-nilai kearifan lokal dapat lolos tanpa ada kontrol. Dampak yang ditimbulkan oleh transformasi ruang, globalisasi, dan gaya hidup yang memuja budaya konsumerisme dan materialisme menimbulkan tekanan yang begitu kuat terhadap sumber daya yang ada, termasuk ruang terbuka tradisional yang sangat terbatas. Pemerintah wajib menjaga ruang publik agar tetap menjadi milik publik. Ruang publik tidak boleh diprivatisasi menjadi milik sekelompok penguasa kapital. Ruang publik tidak boleh dijual kepada pengusaha pemilik merk dagang tertentu. Ruang publik tidak boleh dikuasai partai politik atau organisasi massa tertentu. Oleh karena itu menjaga ruang publik agar sehat dan bermartabat maka semua komponen bangsa ini harus terlibat. KESIMPULAN Sejak ditetapkannya daerah Bali sebagai salah satu kawasan wisata membawa berbagai konsekuensi disediakannya berbagai fasilitas akomodasi. Dalam upaya memenuhi tuntutan wisatawan inilah terjadi alih fungsi ruang. Ruang terbuka tradisional tidak lagi dimaknai sebagai kearifan lokal, tetapi sebagai ruang yang memiliki nilai ekonomi. Ruang terbuka tradisional dikapitalisasi untuk tujuan-tujuan menghasilkan uang. Demi materi, nilainilai ruang terbuka tradisional sebagai ruang terbuka hijau tradisional diabaikan, sehingga terjadi kerusakan secara ekologis, dan estetika arsitektural Bali menjadi hilang. DAFTAR PUSTAKA Adian, Donny Gahral. 2006. “Hiperfilsafat” dalam Menggledah Asrat Sebuah Pendekatan Multi Perspektif (Alfathri Aldin: ed). Yogyakarta: Jalasutra. Agger, Ben. 2003. Teori Sosial Kritis Kritik, Penerapan dan Implikasinya. Kreasi Wacana : Yogyakarta. Brata, Ida Bagus. 2012. ”Komodifikasi Telajakan Pada Era Globalisasi di Desa Ubud Kec. Ubud Kab. Gianyar”(Disertasi). Denpasar: Program Doktor Program Studi Kajian budaya. Program Pascasarjana Universitas Udayana. Duncan, Hugh Dalziel. 1997. Sosiologi Uang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Foucault, Michel. 2002. Power/Knowledge Wacana Kuasa/Pengetahuan (Penerjemah Yudi Santosa). Bentang Budaya : Yogyakarta. Gorz, Andre. 2002. Ekologi dan Krisis Kapitalisme (Penerjemah: komunitas Apiru). Yogyakarta: INSIST PRESS. Piliang, Yasraf Amir. 2004. Dunia yang Berlari. Jakarta : PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2011. Teori Sosiologi Modern (Dialihbahasakan oleh Alimandan). Jakarta: Kencana. Sastrapratedja, M. 2010. “Ruang Publik dan Ruang Privat dalam Tinjauan Kebudayaan”. Dalam F. Budi Hardiman(ed). Ruang Publik Melacak Partisipasi Demokratis dari Polis Sampai Cyberspace. Yogyakarta: Kanisius. Diselenggarakan oleh : LEMBAGA PENELITIAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT (LPPM) UNMAS DENPASAR JL. KAMBOJA NO. 11 A KOTA DENPASAR – PROVINSI BALI 29 – 30 AGUSTUS 2016
137
Unmas Denpasar
Suseno, Franz Magnis. 2003. Pemikiran Karl Marx dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta: PT Sun. Sutrisno, Mudji. 2010. “Krisis Ruang Publik Kultural”. dalam F. Budi Hardiman(ed). Ruang Publik Melacak Partisipasi Demokratis dari Polis Sampai Cyberspace. Yogyakarta: Kanisius.
Diselenggarakan oleh : LEMBAGA PENELITIAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT (LPPM) UNMAS DENPASAR JL. KAMBOJA NO. 11 A KOTA DENPASAR – PROVINSI BALI 29 – 30 AGUSTUS 2016