Kaomu, Papara dan Walaka :
Satu Kajian mengenai Struktur Sosial dan Ideologi Kekuasaan di Kesultanan Wolio Tony Rudyansjah* Abstract This article attempts to explain the basic nature of social structure of the Sultanate of Wolio which is divided into four categories, namely Kaomu, Walaka, Papara and Batua. The analysis itself is based on local manuscripts and fieldwork in the Sultanate of Wolio in the course of several years. Through the study of Wolio social structure, the writer also attempts to comprehend the ideology of power in Wolio society. In addition, the discussion shows as well the misinterpretation of the basic nature of Wolio social structure and ideology of power done by several Dutch scholars since 1878.
Pengetahuan kita mengenai masyarakat yang ada di dalam wilayah Kesultanan Wolio, yang berdasarkan atas tulisan-tulisan sarjanasarjana sejak dari Ligvoet (1878), ke Berg (1937, 1939, 1940) sampai kepada Schoorl (1985, 1987), tidak terlalu banyak menolong kita dalam memahami hakekat struktur sosial dan ideologi kekuasaan dalam masyarakat ini. Sarjana-sarjana tersebut di atas memilih kata "standen" yang berasal dari bahasa mereka, dan menggunakannya begitu saja untuk menunjukkan pembagian sosial yang ada dalam masyarakat ini. Pembagian masyarakat ke dalam empat kategori sosial, yakni Kaomu, Walaka, Papara dan Batua, diyakini sebagai satu bentuk pengaturan sosial ke dalam empat "standen" (Bahasa Belanda) atau "ranks" (Bahasa Inggris). Mereka tidak pernah t erusik untuk mencoba menyelidiki * Universitas Indonesia.
44
apa sesungguhnya Kaomu, Walaka, Papara dan Batua itu. Di dalam uraian di bawah ini saya mencoba menjelaskan hakekat struktur sosial masyarakat ini. Dengan menganalisa struktur sosial tersebut, saya sekaligus berusaha memahami ideologi kekuasaan dalam masyarakat itu. Uraian ini merupakan hasil analisa dari beberapa naskah dan data penelitiaii lapangan yang dilakukan oleh penulis. Pertama-tama masyarakat di dalam wilayah ini didefinisikan ke dalam orang Wolio dan bukan-Wolio. Dua kategori sosial yang pertama, yakni Kaomu dan Walaka, terma suk ke dalam kategori orang Wolio. Sebaliknya dua kategori sosial yang terakhir, yakni Papara dan Batua, termasuk ke dalam kategori bukan orang Wolio. Orang-orang memberikan gagasan yang berbeda-beda tentang asal usul kata "wolio". Beberapa menyatakan bahvva kata "wolio" berasal dari ANTROPOLOGI NO. 52
kala kerja "wclia" yang berarti "mencbas hutan/scmak". Mercka menghubungkan kata kerja "welia" ini dengan aktivitas yang pertama kali dilakukan oieh leluhur mereka, ketika membuka hutan untuk tempat pemu kiman mereka di masa lampau. Pemukiman inilah yang kemudian berkembang menjadi pusat dari kerajaan Wolio. Beberapa yang lain mengkaitkan kata "wolio" dengan kata "waliullah" yang berarti "wali Allah". Beberapa yang lain lagi menghubungkan kata "wolio" dengan "waliyu" yang merupakan satu kerajaan di dalam Kecamatan Lasalimu yang dianggap sudah ada jauh scbelum kerajaan Wolio lahir. Terlepas dari berbagai macam pengertian mengenai etimologi kata ini, "wolio" sekarang dipahami sebagai nama dari kelompok sosia! yang merupakan dua kelompok penguasa di dalam masyarakat ini, yakni Kaoinu dan Walaka. Kata ini juga digunakan untuk mengacu nama dari bahasa yang mereka gunakan. Kata "wolio" ini juga dipakai sebagai nama dari kesultanan, yakni Kesultanan Wolio, yang mencakup juga kelompok sosial yang bukan merupakan orang Wolio ke dalam wilayah kesultanan ini. Pada akhirnya, bahasa Wolio juga berfungsi sebagai bahasa pengantar di dalam kesultanan ini. Penelitian mengenai hakekat dari pemisahan sosial tersebut membawa saya kepada satu kesimpulan bahwa seseorang dimasukkan ke dalam salah satu dari kategori sosial yang ada dalam masyarakat itu berdasarkan pada kamia-nya (asal-usulnya). Dengan demikian pembagian masyarakat ke dalam Kaomu, Walaka, Papara dan Batua, merupakan satu struktur sosial yang berdasarkan pada asal-usul seseorang. Kamia berasal dari akar kata "ka" yang berarti "kekuatan", dan "mia" yang berarti "manusia". Di dalam konsepsi budaya masyarakat Wolio, kekuatan manusia ditentukan oleh kamia-nya. Seseorang mempunyai kekuatan karena kamianya. "Orang-orang tua dahulu", kata seorang ANTROPOLOGI NO. 52
informan, "apabila melihat hubungan antara orang-orang dalam kelompok kamia-nya semakin renggang atau jauh, maka orang orang tua itu akan mengusahakan untuk me nyatukan atau mempererat kembali kamianya dengan cara mengawinkan keturunan mereka satu sama lain. Dalam praktek perka winan kelompok Kaomu, kita memang seringkali melihat bahwa mereka lebih suka memilih jodohnya dari dalam kelompok me reka sendiri. Begitu juga dengan kelompok Walaka. Dalam tradisi Wolio, permaisuri seorang sultan memang hams dipilih dari salah seorang istrinya yang berasal dari ke lompok Kaomu. Begitu juga dengan putra mahkota harus dipilih dari anak permaisuri itu yang dilahirkan pada masa pemerintahan seorang sultan. Apabila tidak ada calon un tuk putra mahkota berdasarkan ketentuan di alas itu, barulah anak sultan dari istri lain nya dapat dipilih sebagai putra mahkota setelah memperoleh persetujuan dari bonto (ketua adat) dari kelompok Siolimbona . Penjelasan mengenai Siolimbona ini akan diuraikan di kesempatan berikut di bawah nanti. Informan tadi mengatakan lebih jauh bahwa dengan mengetahui kamia seseorang, kita bisa mengetahui watak dan sifat seseorang. "Dalam perkawinan" katanya lagi, "orang berusaha mencari pasangan dari kamia yang sama, agar supaya sifat dari pasangan itu cocok satu sama lain". Atau apabila dari kamia yang berbeda, maka justru dengan mengetahui kamia-nya kita dapat mengimbangi sifat yang berbeda atau bahkan berlawanan itu, sehingga perkawinan yang sudah terjalin ilu tetap dapat merupakan satu kesatuan yang kuat. Menurut konsepsi budaya masyarakat Wolio, orang-orang dari Kaomu dan Walaka dibedakan dari orang-orang Papara dan Batua, karena kedua kelompok yang pertama dapat diketahui asal-usulnya, sedangkan dua kelompok yang terakhir tidak dapat diketahui lagi. Orang-orang Kaomu sampai masa kini 45
masih dapat menelusuri asal-usulnya kepada pendiri-pendiri kerajaan Wolio, scdangkan orang-orang Walaka kepada pendiri-pendiri komunitas Wolio. Sampai disini kila dapat menyimpulkan bahwa pendefinisian penduduk ke dalam orang Wolio dan bukan Wolio scsungguhnya berdasarkan kepada pembedaan orang yang mempunyai kainia (asal-usul). baik kepada pendiri komunitas maupun ke pada pendiri kerajaan Wolio dengan orangorang yang tidak mcmpunyai kainia kepada pendiri komunitas maupun pendiri kerajaan Wolio itu. Marilah sckarang kita beralih membahas keempat kategori sosial itu satu demi satu. Apabila kita tanyakan, apakah yang membedakan kaum Walaka dengan orang dari kategori sosial lainnya, maka jawaban yang paling sering diutarakan ialah bahwa mereka merupakan keturunan dari kaum Siolimbona. Apakah Siolimbona itu? Siolimbona berasal dari kata "sio" yang berarti sembilan, dan "limbona" yang berarli kampung/pemukiman. Di dalam tradisi masyarakat Wolio, Siolimbona mengacu kepada sembilan kampung, yakni Baluwu, Peropa, Gundu-Gundu, Barangkatopa, Gama, Siompu, Wandailolo, Rakia dan Melai, yang kesemuanya terletak di dalam benteng keraton Wolio. Dengan lain perkataan, maka kesembilan kampung ini merupakan pusat dari kerajaan atau kesultanan Wolio. Meskipun kesembilan kampung itu dihuni baik oleh orang Kaoinu maupun orang Walaka, namun sebagai salu ciri pembeda buat idenlitas diri maka kesembilan kampung itu lebih berkaitan dengan kelompok Walaka. Kesembilan kampung ini scsungguhnya merupakan perluasan dari empat kampung, yang di dalam tradisi Wolio dikenal dengan nama Pata limbona ("pata" berarti empat, dan "limbona" berarti kampung), yaitu, Baluwu, Peropa, Gundu-Gundu and Barangkatopa. Berkaitan erat dengan Pata Limbona ini, terke nal dalam tradisi mereka mia patamiana 46
(harafiah, empat manusia), yang diyakini sebagai empat tokoh yang merupakan pendiri dari komunitas Wolio. Keempat tokoh ini ialah Sipanjonga, Simalui, Sijawangkati dan Betoambari. Sipanjonga dan anaknya, Be toambari tidak dapat diragukan lagi meru pakan tokoh yang paling populer di antara keempat orang itu. Apakah yang menjadi ciri utama dari kedua tokoh ini? Di dalam Hikayat Sipanjonga diriwayatkan bahwa Sipanjonga sesungguhnya merupakan seorang raja yang berasal dari satu pulau yang bernama Liyaa di tanah Melayu. la dengan gagah berani melakukan salu pelayaran ke "arah matahari" untuk mengejar dan merealisasikan satu bisikan yang diperolehnya dalam mimpinya—satu macam wahyu—yang menyatakan bahwa ia akan meiiemukan satu pulau di sebelah timur di mana ia dan ka umnya akan menjadi satu bangsa yang besar. Setelah mengarungi luasnya lautan lepas dengan segala rintangannya, seperti angin ribut, taufan, halilintar dan kilat, dan setelah singgah dan menetap untuk beberapa saat di beberapa pulau lainnya, seperti pulau tanah Malalang, sampailah akhirnya Sipanjonga beserta sahabat, rakyat dan segala hamba sahayanya di pulau yang diramalkan tersebut, yaitu Pulau Butuni (Buton). Diceritakan bahwa pertama kali mereka menetap di pantai Kalampa, namun baru pada saat pindah dan menetap di tepi sungai Bau-Baulah dusun mereka berkembang menjadi satu negeri yang besar. Perluasan negeri ini dapat dibagi ke dalam dua tahap. Perluasan tahap pertama dilakukan oleh Sipanjonga dengan cara mengadakan satu perjanjian persaha batan dengan negeri Tobe-Tobe yang diperintah oleh Dungkucagia. Negeri Tobe-Tobe ini akhirnya bergabung menjadi bagian dari negeri yang dipimpin oleh Sipanjonga. Selanjutnya negeri yang dipimpin oleh Simalui berhasil diajak oleh Sipanjonga menjadi bagian dari negerinya. Nampaknya perluasan dengan negeri yang dipimpin oleh Simalui ANTROPOLOG1 NO. 52
dipcrmudah dengan upaya Sipanjonga yang berhasil mcngawini saudara perempuan Simalui yang bernama Sabanang sebagai is trinya. Dari perkawinan ini lahirlah anaknya yang bernama Betoambari. Tahap yang ke dua ialah usaha yang dilakukan oleh Betoambari ini dengan mcnaklukkan negeri Lawele, dan yang lerakhir dengan upayanya mengawini putri raja dari negeri Kamaru. Dengan demikian karakterislis yang sangal menonjol dari kedua sesepuh kaum Walaka ini ialah bahwa mereka merupakan lokoh yang sangat berani. Tak dapat disangkal lagi kedua tokoh yang berani ini merupakan pendiri dari komunitas Wolio. Pada masa awal kerajaan ini dapat disimpuikan bahwa pembagian antara Walaka dan Kaomu belum terjadi. Sebagaimana kita ketahui, salah satu aturan yang sangat kcras dilaksanakan oleh kaum Kaomu untuk membedakan diri mereka dari kaum Walaka ialah bahwa wanita Kaomu tidak boleh ka win dengan pria dari walaka. Pelanggaran dari aturan ini menyebabkan derajat mereka diturunkan dan mereka kehilangan status istimewa mereka sebelumnya (yakni tidak bisa dipilih menduduki jabatan di dalam struktur pemerintahan kesultanan). Namun sebagaimana dapat kita ketahui dari Hiyakat Sipanjonga, anak dari Betoambari yang bernama La Baluwu kawin dengan putri Wa Kaa Kaa yang bernama Pulri Bulawambona. Putri Bulawambona, karena merupakan anak ratu Wa Kaa Kaa, dan bahkan dirinya sendiri kemudian menjadi ratu menggantikan ibu nya, maka ia dalam terminologi yang digunakan sekarang ini termasuk ke dalam kaum Kaomu, sedangkan La Baluwu, karena keturunan dari Betoambari termasuk ke dalam kaum Walaka. Namun toh mereka kawin juga. Dengan demikian, pembagian itu sangat mungkin belum terjadi pada masa itu. Sebagaimana yang seringkali kita dengar dari kaum Walaka, mereka selalu menekankan bahwa kat a walaka sesungguhnya berANTROPOLOG1 NO. 52
asal dari kata "walana" dan "karo". "Wala na" artinya suku (sudut)-nya, sedangkan "karo" artinya sendiri. Jadi "walana karo" bcrarti bahwa Walaka seharusnya dilihat oleh orang Kaomu sebagai sukunya sendiri, sebagai kaumnya sendiri. Istilah Walaka sangat mungkin berkaitan erat dengan pembagian komunitas Wolio ke dalam empat kampung (Pata Limbona), sehingga setiap kampung praktis menempati satu quarter (sudut) tertentu. Etimologi kata walaka yang berasal dari kata "walana karo", yang berarti "sudulnya sendiri" sangat sesuai dengan pembagian masyarakat ke dalam empat suku pada masa itu. Apa kemudian yang membedakan golongan Kaomu dari golongan lainnya? Go longan Kaomu paling sering menonjolkan diri mereka bahwa mereka merupakan keturunan dari para raja -raja monarki Wolio. Ratu Wa Kaa Kaa merupakan nama yang paling sering disebut mereka sebagai lelu hur mereka, yang membedakan diri mereka dari kelompok lainnya. Di dalam suatu nas kah yang berjudul Pulangana Kaomu, dari satu teks yang mencatat tentang hak Kaomu terhadap daerah-daerah tertenlu di dalam wilayah kesultanan, kita bisa mengetahui bahwa seseorang diakui sebagai anggota ke lompok Kaomu baik karena mereka dapat menelusuri dirinya kepada Wa Kaa Kaa dan Sibatara, dan/atau karena mereka merupakan keturunan dari para lakina (raja) sembilan kerajaan kecil serta 4 vassal states yang ke mudian bergabung ke dalam kerajaan Wolio. Di dalam sejarah Wolio memang diriwayatkan bahwa dalam masa perkembangan kerajaan ini ada sembilan kerajaan kecil (Siolipuna) dan Barata Patapalena (harafiah, 4 vassal states) yang bergabung ke dalam kerajaan Wolio. Rupanya di dalam tradisi Wolio, keturunan dari para raja Siolipunana dan Barata ini kemudian diakui sebagai orang Wolio dan dimasukkan ke dalam kategori sosial Kaomu. Lebih lanjut diriwayat47
kan di dalam naskah yang bcrjudul Silsilah Raja-Raja Buton bahwa di antara keturunan Sibatara dengan Wa Kaa Kaa memang ter-jadi proses kawin -mcngawin dengan keturunan para raja Siolipuna dan Barata Pata-palena tersebut. Oleh karena i t u kita mc-mang dapat mengerti bahwa salah satu tolok ukur penting yang digunakan olch kclom-pok Kaomu untuk membedakan diri mereka dari kelompok Walaka ialah bahwa mereka adalah keturunan dari Wa Kaa Kaa dengan Sibatara. Beberapa orang Kaomu mencoba menjelaskan kepada saya arti kata Kaomu. Menurut mereka, Kaomu berasal dari kata "ka" yang berarti "ke kuatan", dan "omu" yang berarti "menghisap". Dengan demikian, Kaomu mengandung pengertian "kekuatan yang timbul dari aktivitas menghisap". Orang Wolio mempunyai kebiasaan menghisap sejenis rumpun bambu yang tua seperti an-jelai dan betari. Kalau kita perhatikan lagi Hikayat Sipanjonga maka kita teringat bahwa ratu Wa Kaa Kaa ditemukan dari dalam se-bilah rumpun bambu. Rumpun bambu di dalam metatora orang Wolio juga digunakan untuk menggambarkan suatu kesatuan yang kuat. Bambu, meskipun sclalu dikelilingi o leh tanaman liar yang ganas dan tumbuh di tanah yang tandus, biasanya selalu dapat tumbuh dengan baik, karena membentuk satu kesatuan yang kuat. Jadi barangkali kita dapat menafsirkan bahwa Kaomu bisa menjadi kuat dan tetap bertahan kuat sebagai kelompok yang penting di dalam masya rakat itu, karena bisa memanfaatkan rumpun yang tua di dalam masyarakat itu, yakni Wa Kaa Kaa beserta keturunannya. Apa kemudian yang menjadi ciri utama dari ratu Wa Kaa Kaa ini? Wa Kaa Kaa di dalam tradisi masyarakat Wolio digambarkan sebagai anak ajaib yang berasal dari kahyangan. Di dalam Hikayat Sipanjonga diriwayatkan bahwa Betoambari dengan anaknya, Sangariana, berhasil menemukan seorang anak perempuan dan seorang anak 48
laki-laki yang ajaib dalam waktu yang tidak terpaut begitu jauh. Anak perempuan itu bernama Wa Kaa Kaa dan anak laki-laki itu bernama Sibalara. Dengan ditemukannya sepasang anak ajaib itu maka negeri ini dibagi dua bagian. Bagian pertama terdiri dari kampung Baluwu, Barangkatopa dan Wandailolo, yaitu paruh Sangariana dengan Sibatara sebagai rajanya, dan satu bagian lain nya terdiri dari kampung Peropa, GunduGundu, Kadatua, Rakia dan Gama yang me rupakan paruh Betoambari dengan Wa Kaa Kaa sebagai ratunya. Dalam Hikayat Sipanjonga diperlihatkan bahwa komunitas Wolio pada awalnya di bagi ke dalam 2 paruh. Kita dapat menyimpulkan bahwa mia pataminana sesungguhnya lerbagi ke dalam 2 bagian. Sipanjonga de ngan tangan kanannya, Sijawangkati, be serta anak bua hnya yang lain membentuk satu paruh; sedangkan Simalui beserta ta ngan kanannya Sitamanajo dan anak buahnya yang lain membentuk satu paruh yang lain. Di masa berikutnya satu paruh ini dipimpin oleh Betoambari dan satu paruh lainnya dipimpin oleh Sangariana. Kemudian diriwa yatkan lebih lanjut bahwa Sibatara dan Wa Kaa Kaa ini dikawinkan oleh Betoambari dan sangariana sebagai suatu pasangan kera jaan yang memimpin kerajaan ini. Di dalam Hikayat Sipanjonga ini. kita bisa melihat Wa Kaa Kaa sebagai sebagai figur pemer satu dari kelompok-kelompok sosial yang ada dalam masyarakat Wolio itu. la dijadikan ratu bagi kedua paruh di dalam masyarakat Wolio. Di dalam Hiyakat Sipanjonga diriwa yatkan bagaimana ayah Wa Kaa Kaa, yang merupakan mahluk dari atas langit, marah besar dengan cara mendatangkan badai hujan, kilat dan halilintar yang siap menghukum komunitas Wolio yang memperlakukan Wa Kaa Kaa secara tidak pantas. la mengajarkan Betoambari dan anaknya yang bernama Sangaria na tentang bagaimana sehaANTROPOLOGI NO. 52
rusnya Wa Kaa Kaa diperlakukan sebagai seorang ratu kerajaan. Mengutip teks aslinya dari da lam hikayat Sipanjonga: "Hee kamu sckalian, orang Butuni, sekalian janganlah kau bawa anak hamba itu, aku tiada mau kubcrikan pada kamu sckalian itu melainkan yang pcrhiasanlah gata itu dengan perhiasan yang keemasan dan anta ilupun dihiasi de ngan juga kain yang maha mulia dan genderang, gong pun dipalu orang seperti adat segala raja-raja, maka kamu sekalian baharu aku angkat gata itu lalu kamu berjalan, ma ka hamba pun mau aku berikan kau bawa anak itu, jika segala lagi hal yang demikian itu juga bersalahan adat segala raja raja niscaya aku turunkan hujan guruh kilat ribut taufan supaya rubuhlah bukit ini Lalu binasa dan kamu sekalian nyawapun di da lam tanganku juga dan jika kau berikan duka cita lagi mudah-mudahan anak i l u nis caya aku turunlah kunaikkan ke langit atas kekayaanku juga" {Hikayat Sipanjonga, him. 18). Ringkasnya, ialah yang memperkenalkan tatacara kerajaan kepada masyarakat Wolio. Secara singkat, golongan Wa Kaa Kaa bisa ditafsirkan sebagai kelompok yang memperkenalkan "kebudayaan tinggi", dan demikian, mere ka bisa mencanangka'n diri mereka sebagai "pendiri kerajaan (monarki)", karena "kebudayaan tinggi" tersebut sangat erat berasosiasi dengan "kebudayaan istana". Seperti saya kemukakan di atas, Kaomu mengunakan figur Wa Kaa Kaa sebagai "lo lok ukur" yang membedakan mereka dengan kelompok Walaka, namun karena ada proses kawin-mengawin antara keturunan Wa Kaa Kaa dengan keturunan dari kelompok Siolimbona, maka praktis "tolok ukur" ini juga tidak terlalu efektif sebagai satu "tolok ukur" pembeda. Kelompok Kaomu selalu menyatakan bahwa hal lain yang membe dakan mereka dari kelompok Walaka ialah bahwa di dalam diri orang Kaomu ada tambahan unsur lain yang membedakan mereka dari kelompok Walaka. Unsur tambahan itu ANTROPOLOGI NO. 52
ialah bahwa di dalam darah orang kaomu terdapat darah mubaliq arab, yaitu Abdul Wahab dan Syarif Muhammad, yang diya kini masih mempunyai pertalian darah de ngan Nabi Muhammad. Kedua mubaliq ini pernah bekerja sebagai penasehat raja di dalam kesultanan Wolio. Dengan demikian maka di dalam darah kelompok Kaomu juga ada darah Nabi Muhammad. Hal inilah yang digunakan sebagai "tolok ukur" pembeda mereka dari kelompok Walaka. Kelompok Kaomu seringkali menyatakan bahwa mahar mereka se lalu berbeda dengan ma har kelompok Walaka, karena mahar mereka diperhitungkan sesuai dengan tradisi di dalam masyarakat Nabi Muhammad (masyarakat Arab), sedangkan mahar buat kelompok Walaka sesuai dengan tradisi masya rakat Siolimbona. Sebagai penutup, ada baiknya kalau kita jelaskan kembali di sini mengenai dinamika masyarakat Wolio ini. Pembagian antara Kaomu dan Walaka belum ada pada masa awal pembentukan komunitas dan kerajaan Wolio. Kapan pemisahan terjadi tidak dapat ditentukan secara definitif. Kalangan Walaka seringkali menyatakan bahwa pemisahan terjadi lebih kurang ketika seorang raja yang berkuasa mempunyai dua orang putra mah kota, yakni La Katuturi dan La Kakaramba, yang sama-sama mempunyai kesempatan untuk menggantikan ayahnya sebagai raja. Menurut mereka, untuk menghindari pertumpahan darah maka diadakan persetujuan. Sejak saat itu La Karakamba beserta semua keturunannya ditetapkan mempunyai hak untuk dipilih sebagai raja, sedangkan La Katuturi beserta semua keturunannya berhak dipilih menjadi bonto dari kesembilan pe mukiman terpenting di dalam kesultanan, yakni Siolimbona. Kaomu memberikan satu uraian yang agak berbeda tentang hal ini. Menurut mereka perbedaan antara diri mere ka dengan kelompok Walaka terjadi karena mereka mempunyai unsur tambahan yang
49
tidak ada di dalam kelompok Walaka, yakni dalam diri mereka ada darah dari mubaliq Arab Abdul Wahab dan Syarif Muhammad. Apapun alasan sebenarnya dari pemisahan itu, ada satu hal yang patut dicatat di sini: kelompok Walaka lebih menekankan kesamaan diri mereka dengan kelompok Kaomu, sedangkan kelompok Kaomu lebih menekankan unsur yang membedakan mereka dari kelompok Walaka. Satu hal yang pasti, semua orang Wolio setuju bahwa tadinya tidak ada pemisahan antara Kaomu dan Walaka. Mereka sedikit banyak masih terikat dalam hubungan darah yang sama. Namun karena alasan tertentu kemudian terjadi pemisahan masyarakat Wolio ke dalam dua kaum, yakni Kaomu dan Walaka. Hal lain yang peiiu dicatat di sini ialah bahwa dalam perkembangan selanjutnya dari masyarakat ini timbul kemudian pemisahan lebih lanjut. Sebelum pemisahan lebih lanjut i t u terjadi, semua orang dari golongan Kaomu, apakah ia berasal dari golongan Kaomu yang berasal dari pusat sendiri (keraton Wolio), dari keturunan para lakina dari Siolipuna, atau pun dari keempat Barata yang ada, yakni Muna, Tiworo, Kalingsusu dan Kaledupa, berhak menjadi sultan, sa patl maupun kenepulu. Pemisahan lebih lanjut ini terjadi pada masa Dayanu Ikhsanuddin. Ia beserta keluarganya membagi golongan Kaomu ke dalam 3 cabang. Ia sendiri beserta segala keturunannya termasuk ke dalam cabang tanailandu, dengan dirinya sendiri sebagai sesepuhnya. Keluarganya yang bernama La Singga Kumbewaha (sapati) beserta semua keturunannya termasuk cabang kumbewaha dengan La Singga Kumbewaha sebagai sesepuhnya, sedangkan keluarganya yang lain yang bernama Kenepulu Bula beserta semua keturunannya termasuk cabang Tapi-Tapi dengan Kenepulu Bula sebagai sesepuhnya. Sejak saat itu tiga jabatan yang terpenting di dalam kesultanan, yakni sul tan, sapati dan kenepulu hanya bisa dijabat 50
oleh orang dari ketiga cabang itu. Sebelum masa Dayanu Ikhsanuddin kita bisa inelihat bahwa jabatan sultan yang pertama dari kesultanan ini dijabat oleh seorang kaoinu yang berasal dari Muna, yakni sultan Murhum. Sepeninggal Sultan Murhum, hanya satu dari keturunannya yang berhasil menjadi sultan. Setelah Dayanu Ikhsanudin berkuasa, tertutup kemungkinan bagi anak cucu sultan Murhum untuk menja di sultan. Sejak saat itu, hanya Kaomu yang berasal dari pusat atau Pulau Buton saja yang bisa menduduki tiga jabatan yang terpenting di dalam kesultanan. Sekarang mari kita beralih kepada kategori yang ketiga, yakni Papara.Papara, sebagaimana saya uta rakan di atas, dibedakan oleh masyarakat Wolio dengan diri mereka karena orang Papara dianggap tidak mempunyai asal-usul dalam arti tidak bisa menelu suri hubungannya kepada pendiri komunitas maupun pendiri Kerajaan Wolio. Di dalam dokumen yang ditanggapi sebagai undangundang kesultanan, yakni Sarana Wolio, istilah yang digunakan untuk menyebut kelompok Papara ialah garib (bahasa Arab), yang berarti orang asing. Kita harus ingat bahwa Sarana Wolio ini pada zaman dahulu dianggap sebagai satu dokumen rahasia yang ha nya boleh dibaca oleh golongan penguasa, dalam hal ini yakni kelompok Kaomu dan Walaka. Segala ketentuan yang mereka (dalam hal ini kelompok Kaomu dan Walaka) berlakukan dalam menghadapi kelompok lain, yakni Papara, sangat dirahasiakan sifatnya. Jadi istilah garib yang digunakan dalam dokumen ini untuk menyebut kelompok Papara barangkali dapat diartikan sebagai satu tindakan pencegahan lebih lanjut dalam menjaga kerahasiaan dokumen ini apabila dokumen ini jatuh ke tangan orang yang tidak berhak membacanya. Arti kata "garib" juga sesuai dengan arti kata '"papara". Seorang informan menjelaskan kepada saya bahwa Papara berarti orang jauh, ANTROPOLOGI NO. 52
orang luar keraton (maksudnya keraton Wolio), orang asing, orang pedalaman atau singkatnya orang yang tidak kita ketahui kamia atau asal-usulnya. Seorang informan yang lain memberi penjelasan yang lebih terperinci bahwa Papara berasal dari kata "'pa" yang bcrarti "memberi", dan "para" yang berarli "kosong" atau "bohong". "Para" bisa juga berarti "lembaga kelapa" {coconut embroy). Para ini scnantiasa menghabiskan daging kelapa, dan menghisap air kelapa, sehingga kelapa i t u semakin lama semakin kcring dan akhirnya menjadi kosong. Me nurut informan ini lebih jauh, orang Papara ialah orang yang biasanya berbohong justru karena memberikan informasi kosong. Barangkali ini sesuai dengan pengertian justru karena mereka lidak diketahui asal-usulnya, maka apa yang diberikan mereka adalah informasi kosong, atau berita bohong. Istilah Papara, dengan demikian, mcrupakan istilah denotatif dan bersifat derogatif. Kclom-pok yang dimasukan ke dalam kategori ini tentu berusaha mcnolak istilah Papara. Orang Katobengke, misalnya, justru karena istilah Katobengke begitu kuat berasosiasi dengan istilah Papara, berusaha pada masa kini untuk mengganti idenlitas diri mereka sebagai orang Lipu. Kita masih bisa melihat dengan jelas sampai sekarang bahwa di terminal bis, apabila kondektur angkutan umum menyebulkan daerah tujuannya Kampung Katobengke, maka orang dari kampung ini merasa marah dan tidak ada yang mau naik angkutan umum tersebut. Penolakan istilah ini menurut saya merupakan bukti keberhasilan dominasi budaya masyarakat Wolio ke dalam masyarakat kelompok sosial lainnya. Anggapan bahwa orang Papara sebagai orang pedalaman tidak bisa diartikan bahwa orang Papara merupakan penduduk asli (native) sedangkan masyarakat Wolio sebagai pendatang. Sejarah masyarakat di wilayah ini lebih dilandasi pada colonization myth daripada creation myth. Di dalam Hikayat ANTROPOLOGI NO. 52
Sipanjonga discbutkan bahwa pulau Buton diyakini pada mulanya sebagai satu pulau yang tidak berpenduduk yang muncul secara tiba-tiba dari dasar laut. Pulau ini me nyerupai bentuk seorang wanita yang sedang mengandung, dan dipercayai menyimpan banyak rahasia yang hanya bisa diungkapkan oleh orang-orang yang berilmu. Mereka percaya bahwa kata Buton berasal dari kata "butuuni" (Bahasa Arab) yang berarti perut yang mengandung. Pulau ini ditamsilkan sebagai wanita yang sedang mengandung dengan berbagai macam rahasia di dalam pe rutnya. Sampai sekarang semua penduduk di wilayah ini mengakui bahwa pada dasarnya mereka semua pendatang. Batua merupakan satu kategori sosial yang bersifat residual dari kelompok Papara. Orang dari kelompok Batua sebetulnya berasal dari kelompok papara. Mereka adalah orang-orang Papara yang diturunkan derajatnya karena tidak bisa membayar hu tang, atau melanggar adat, ataupun merupakan orang -orang yang ditangkap dalam perang di wilayah musuh. Kelompok Papara kebanyakan hidup sebagai petani atau nelayan. Banyak dari mereka, seperti masyarakat Katobengke, Warobo-Robo, yang menyatakan kepada saya bahwa mereka adalah kelompok yang pen ting di dalam kerajaan atau kesultanan, ka rena mereka adalah kelompok masyarakat yang menyediakan bahan makanan buat keraton. Seorang tokoh dalam masyarakat Katobengke pernah menceritakan kepada saya bahwa sesungguh nya leluhur mereka adalah kakak dari ratu Wa Kaa Kaa, namun ia menyerahkan tongkat kerajaan kepada Wa Kaa Kaa untuk menjadi ratu di kerajaan Wolio, sedangkan ia sendiri lebih senang memegang cangkul untuk bertani. Apabila kelompok Papara ini lebih menampilkan diri mereka sebagai petani atau nelayan, bagaimana dengan kelompok Walaka dan Kaomu. Sipanjonga beserta anaknya, Betoambari, yang
51
merupakan scsepuh masyarakat Walaka sangat jelas ditampilkan di dalam Hikayat Sipanjonga sebagai figur militer {men of prowess). Mcreka digambarkan sebagai tokoh yang suka bcrtualang menaklukkan wilayah lain, sedangkan Wa Kaa Kaa yang merupa kan sesepuh masyarakat Kaomu digambarkan di dalam hikayal yang sama sebagai binding figure antara paruh masyarakat yang dipimpin Betoambari dengan paruh masyarakat yang dipimpin oleh Sangariana. Hanya kemudian di dalam kelompok Kaomu ini ada unsur tambahan. Karena dapat menelu suri diri mereka kepada dua Mubalig dari tanah Arab, yakni Abdul Wahab dan Syarif Muhammad, dengan ini mereka juga dapat menelusuri diri mereka kepada Nabi Muhammad. Maka mereka juga menampilkan diri mereka sebagai ahli agama. Tokoh -to koh penting di dalam Sarana Agama (Dewan Agama) memang hanya dipcruntukkan buat kelompok Kaomu. Dengan demikian kita dapat menyimpulkan bahwa pertama-tama kelompok Kaomu lebih menampilkan diri mereka pertama sebagai pendiri kerajaan. Di sini mereka memegang peranan sebagai kelompok yang menperkenalkan masyarakat Wolio pada tatacara kerajaan. Sebagai pendiri monarki, Wa Kaa Kaa memainkan peranan sebagai figur pemersatu yang mengikat kedua paruh yang ada dalam komunitas Wolio pada saal itu, yakni paruh yang dipimpin oleh Betoambari dan satu paruh lain -
nya yang dipimpin oleh Sangariana. Dan kemudian ketika kerajaan berubah menjadi kesultanan, golongan Kaomu kembali mencanangkan diri mereka sebagai orang yang memperkenalkan masyarakat Wolio kepada agama Islam. Dalam konteks ini, golongan Kaomu menampilkan dirinya sebagai ahli agama. Oleh karena itu kita bisa mema hami kenapa Sultan di dalam Sarana Wolio (undang-undang kesultanan mereka) ditamsilkan sebagai penghubung antara dunia ma nusia dengan dunia yang lebih dekat de ngan Allah. Sultan di dalam Murtabat Tujuh ditamsilkan sebagai alam barzah yang menghubungkan alam dunia dengan alam akhirat. Sebagai kata penutup say a dapat sim-pukan di sini bahwa ideologi kekuasaan di dalam kebudayaan masyarakat ini tidak terkonsentrasikan ke dalam satu individu tertentu, seperti paham kekuasaan yang ada di dalam masyarakat Barat yang digambarkan oleh Thomas Hobbes dalam Leviathan-nya maupun Jean -Jacques Rousseau dalam Social Contract-nya. Ideologi kekuasaan dalam masyarakat ini tidak bersifat mutlak yang terkonsentrasikan dan terpersonifikasikan ke dalam diri satu individu tertentu, melainkan kekuasaan lebih ditanggapi sebagai satu fenomena yang heterogen dan dualistik. Kekuasaan dalam masyarakat ini terbagi ke dalam kelompok orang yang merupakan keturunan dari pendiri komunitas maupun keturunan dari pendiri kerajaan (monarki).
Daftar Acuan A. Manuskrip: Hikayat Sipanjonga Murtabat Tujuh Pulangana Kaomu Sarana Wolio Silsilah Raja Raja Buton
52
ANTROPOLOGI NO. 52
B. Pustaka: Berg, E.J. van den 1937 "De viering van den raraja hadji in de kota Wolio (Boeton)." Tijd., LXXVII, 650-660. 1939 "Adatgebruiken in verband met de sultansinstallatie in Boeton." Tijd., LXXIX, 469-528. 1940 "Een rijsfeest in Lawela." Tijd., LXXX, 530 -543. Duby, Georges 1980 The Three Orders. Feudal Society Imagined. Chicago: The University of Chicago Press. Dumezil, Georges 1988a The Destiny of a King. Chicago: The University of Chicago Press. 1988b M1TRA-VARUNA. New York: Zone Books. Hobbes, Thomas 1984 Leviathan. Penguin Books. Ligtvoet, A. 1878 "Beschrijving en geschiedenis van Boeton." Bijd., XXVI. Rousseau, Jean Jaques 1968 The Social Contract. Penguin Books. Sahlins. Marshall. Sahlins, Marshall 1987 Islands of History Chicago: The University of Chicago Press. Schoorl, J.W. 1985 "Belief in Reincarnation on Buton, S.E. Sulawesi." Bijd., dl. 141, 103-134. 1987
"Islam, Macht en ontwikkeling in het sultanaat Buton." L.B. Venema ed. Islam en Macht. Assen.
Valeri, Valerio 1985 Kingships and Sacrifice. Chicago: The University of Chicago Press.
ANTROPOLOGI NO. 52
53