Issue 3, 2008
BRIEF NOTE AMERTA Social Consulting & Resourcing Jl. Pulo Asem Utara Raya A20 Rawamangun, Jakarta 13230 Email:
[email protected] Fax: 62-21-4719005
KEKUASAAN DAN PEMBERDAYAAN PERSPEKTIF TANGGUNG JAWAB SOSIAL PENGANTAR UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas pasal 74 menyatakan “Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya dibidang dan/aau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan”. Terlepas dari perdebatan tentang apakah tepat tanggung jawab sosial diatur dalam UU, salah satu asumsi pengambil kebijakan untuk memasukkan tanggung jawab sosial kedalam UU adalah posisi yang lemah dari berbagai pihak diluar perseroan. Posisi yang lemah tersebut tidak memungkinkan mereka yang dirugikan oleh operasi perseroan untuk menuntut pertanggungjawaban. Ketidakseimbangan posisi dari pemangku kepentingan adalah sebuah realita yang dapat dikoreksi melalui pemberdayaan. Kata pemberdayaan pada saat ini merupakan kata yang paling sering dipakai untuk menggambarkan hasil dari tanggung jawab sosial. Maraknya penggunaan kata ini telah menjurus pada pengaburan dari makna sesungguhnya pemberdayaan. Lebih jauh lagi, mulai banyak tindakantindakan yang sebetulnya tidak memberdayakan (dis-empowering) diberi label pemberdayaan. Dalam kondisi seperti itu sangatlah perlu untuk memahami kembali arti kata pemberdayaan beserta konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkannya.
DIMENSI-DIMENSI KEKUASAAN Tidak dapat disangkal makna pemberdayaan (em-power-ment) berkembang dari kekuasaan (power). Dalam perspektif antropologi, kekuasaan merupakan pondasi dasar dari pengorganisasian masyarakat manusia purba. Pengorganisasian adalah salah satu metode untuk bertahan manusia purba menghadapi alam yang keras. Kekuasaan membuat membuat mereka mampu secara terorganisir menghadapi ancaman binatang buas, mencari makanan, dan tantangan kehidupan lainnya. Didalam praktek kekuasaan masyarakat purba, terdapat beberapa orang yang ditunjuk menjadi penguasa (the powerful) oleh seluruh komunitas. Penguasa pada masyarakat purba adalah mereka yang memiliki kemampuan fisik lebih dari yang lain. Kemampuan fisik inilah yang sangat diperlukan dalam menghadapi berbagai ancaman yang datang
AMERTA – BRIEF NOTE Issue 3, 2008
kepada komunitas purba tersebut. Penguasa biasanya adalah orang pertama yang akan menghadapi seperti misalnya binatang buas yang mengancam komunitas. Sebagai penghargaan terhadap peran penguasa dalam melindungi komunitas, mereka mendapatkan beberapa hak dan privilese seperti mendapatkan makanan yang terbaik, memilih pasangan, menentukan tempat tinggal yang aman, dan semacamnya. Dengan bahasa Rousseau, praktek kekuasaan masyarakat purba adalah bentuk kontrak sosial antara komunitas dengan orang-orang yang dianggap mampu memberikan perlindungan kepada komunitas. Didalam perkembangannya, kekuasaan dilepaskan dari konteks kontrak sosial dan menjadi wilayah (domain) tersendiri yang melaluinya kepentingan partikular sekelompok orang dapat diwujudkan. Kekuasaan tidak lagi diabdikan untuk melindungi komunitas secara keseluruhan melainkan sebagai instrumen penguasaan sekelompok orang terhadap yang lain. Didalam praktek kekuasaan semacam inilah kekuasaan menjadi salah satu sumber utama berbagai praktek penindasan, kolonialisasi, dan pelanggaran hak-hak dasar manusia. Praktek kekuasaan yang ada kemudian mendorong berkembangnya dua entitas yang mulai saling diperhadapkan yaitu pihak yang memiliki kekuasaan (the powerful) berhadapan dengan yang tidak berkuasa (the powerless). Hubungan kekuasaan antara yang berkuasa dan yang tidak merupakan hubungan yang dinamis dimana pihak yang berkuasa mencoba mengekalkan kekuasaannya sementara pihak yang tidak berkuasa mencoba mendapatkan ruang kekuasaan yang lebih besar. Didalam proses relasi antara kedua entitas ini praktek kekuasaan kemudian menjadi semakin komplek dimana kekuasaan berkembang kedalam beberapa dimensi yaitu “kekuasaan yang terlihat” (visible power), “kekuasaan tersembunyi” (hidden power), dan “kekuasaan yang tidak terlihat” (invisible power). Visible power adalah aspek-aspek yang terlihat dan dapat didefinisikan dari kekuasaan politik --- aturan-aturan formal, struktur, otoritas, kelembagaan, dan prosedur pengambilan keputusan. Pemerintah dan parlemen adalah pihak yang memegang kekuasaan ini. Hidden power terdiri dari orang-orang dan organisasi yang mampu mempengaruhi dan menentukan proses pengambilan keputusan meskipun mereka mungkin tidak berada pada posisi politik yang berkuasa. Proses pengaruh dapat ditimbulkan karena penguasaan sumber daya, keahlian, dan relasi yang kuat. Invisible power merupakan kekuasaan untuk membentuk sistem nilai, ideologi, dan aspek-aspek psikologi dari para pelaku kekuasaan sehingga akan mempengaruhi proses pengambilan keputusan. Invisible power dikembangkan melalui media massa, pendidikan, dan proses sosial lainnya yang membentuk persepsi, mindset, dan keyakinan dari pelaku kekuasaan. Didalam prakteknya, ketiga dimensi kekuasaan tersebut bekerja bersama-sama dan saling mempengaruhi. Secara kasat mata pemerintah dan parlemen adalah pihak yang berkuasa dalam mengambil kebijakan publik akan tetapi telah diketahui ada pihak-pihak dibelakang mereka yang dapat mempengaruhi para pengambil kebijakan tersebut
2
AMERTA – BRIEF NOTE Issue 3, 2008
bahkan menentukan isi dari kebijakan yang diambil. Lebih jauh lagi terdapat pihak yang mampu membentuk persepsi, mindset, dan keyakinan berbagai pihak sehingga mempengaruhi perilaku dan tanggapan terhadap masalah atau topik. Secara konkrit telah banyak diketahui oleh pelaku tanggung jawab sosial bahwa kegiatan pembangunan pada masyarakat desa hanya akan efektif tidak hanya kalau didukung oleh kepala desa namun juga pemimpin informal lainnya seperti tokoh perempuan, tokoh adat ataupun tokoh agama yang dapat berfungsi sebagai pemegang kekuasaan tersembunyi dan kekuasaan yang tidak terlihat.
BENTUK-BENTUK KEKUASAAN Pada awalnya kekuasaan dipersepsikan selalu terkait dengan kekuasaan yang berskala makro dan terkait dengan politik. Refleksi terhadap praktek kekuasaan yang terjadi sepanjang sejarah membawa pada pemahaman bentuk-bentuk kekuasaan yang lebih beragam dan secara umum dapat dikelompokkan menjadi empat yaitu: “kekuasaan atas” (power over), “kekuasaan untuk” (power to), “kekuasaan didalam” (power within), dan “kekuasaan bersama” (power with). Power over merupakan kekuasaan yang oleh proses politik, ekonomi, sosial, dan budaya memberikan kepada seseorang atau sekelompok orang penguasaan terhadap sesuatu sumber daya, kelompok masyarakat, atau individu. Pada level negara, pemerintah yang terpilih melalui suatu mekanisme politik yang legal akan memiliki kekuasaan atas beberapa sektor dan aspek dari kehidupan publik. Mereka dapat mengatur dan menentukan kebijakan atas sektor dan aspek yang dipercayakan pada mereka. Pada tataran komunitas, proses sosial-budaya masyarakat patriarki akan memberikan kepada laki-laki kekuasaan atas perempuan sedemikian rupa sehingga dapat terjadi dominasi dan marjinalisasi terhadap kaum perempuan. Dalam tataran lain, konstruksi budaya pada masyarakat timur memberikan kepada orang tua kekuasaan atas anak-anak didalam keluarga. Power to dapat terjadi pada beberapa level. Pada level negara, power to pada umumnya merupakan bagian dari otoritas yang dimiliki oleh negara dan dilindungi oleh undangundang. Pada level komunitas, kekuasaan untuk mengambil tindakan (power to do) pada suatu kelompok masyarakat akan semakin berkembang dengan tumbuhnya kesadaran bersama terhadap suatu permasalahan tertentu dan soliditas dari kelompok tersebut. Sementara pada level individu, power to sangat terkait dengan kesadaran kritis yang dimiliki. Semakin sadar seseorang, ia akan mampu bertindak proaktif yaitu berkuasa untuk mengambil tindakan sendiri berdasarkan pertimbangan sendiri. Power within pada level individu sangat terkait dengan power to. Individu yang sadar bahwa ia berkuasa atas dirinya sendiri akan mampu mengembangkan kekuasaan untuk bertindak. Mahatma Gandhi, Martin Luther King Jr., dan Nelson Mandela merupakan orang-orang yang dengan gamblang mendemonstrasikan bagaimana kuatnya power within. Meskipun secara fisik mereka mengalami pemenjaraan dan penganiayaan, hal-hal tersebut tidak mampu memadamkan “api” didalam diri mereka. Mereka tetap memiliki kekuasaan didalam diri mereka untuk menetapkan apa yang menjadi prioritas dan tindakan mereka. Pada tataran komunitas, power within merupakan kemampuan
3
AMERTA – BRIEF NOTE Issue 3, 2008
komunitas tersebut untuk konsisten pada komitmen yang dibangun dan menjaga kemampuan untuk bertindak secara mandiri. Gerakan masyarakat sipil yang dipimpin Martin Luther King di Amerika Serikat dan gerakan satyagraha di India yang diinisiasi oleh Mahatma Gandhi merupakan perwujudan komunitas yang memiliki power within. Power with merupakan bentuk kekuasaan yang berkembang manakala beberapa entitas yang tidak cukup memiliki kekuasaan menggabungkan diri menjadi entitas kolektif. Berbagai revolusi sosial yang terjadi disepanjang sejarah dunia dalam menghadapi pemegang kekuasaan absolut selalu terjadi manakala berbagai kelompok didalam masyarakat secara bersama-sama mewujudkan power with. Bentuk kekuasaan ini dengan demikian terjadi pada tingkat komunitas atau masyarakat serta terwujud manakala berbagai individu dan kelompok menemukan landasan bersama (common ground) yang berdasarkan komitmen saling mendukung (mutual support) dan solidaritas untuk mencapai tujuan tertentu. Kekuasaan ini yang perlu digunakan dalam tanggung jawab sosial dimana korporasi bersama dengan stakeholder membangun landasan bersama untuk membangun kehidupan bersama.
STRUKTUR KEKUASAAN DAN PEMBERDAYAAN Ketika kita bicara tentang proses pemberdayaan, pada dasarnya kita merujuk pada posisi relatif dari kekuasaan yang dimiliki oleh berbagai kelompok sosial yang berbeda. Didalam realita, satu kelompok sosial yang mayoritas ataupun minoritas memiliki kemungkinan yang sama untuk menjadi pihak yang berkuasa ataupun pihak yang tidak berkuasa. Tidak ada pola yang tetap, konteks lokal-lah yang menentukan siapa yang menjadi pihak yang berkuasa dan siapa yang tidak. Diagram 1. Intervensi Pemberdayaan
POWERFUL
POWERLESS
Jalur 2 Jalur 1
Jalur 3
EMPOWERMENT
Didalam struktur kekuasaan pada dasarnya selain terdapat pihak yang berkuasa dan yang tidak, juga terdapat relasi antara mereka. Relasi ini meskipun secara ideal seharusnya berjalan dua arah, dalam kekuasaan yang otoriter dan hegemonik akan lebih didominasi oleh kekuasaan dari yang berkuasa ke yang tidak berkuasa. Pihak yang berkuasa yang
4
AMERTA – BRIEF NOTE Issue 3, 2008
akan menentukan isi dan bentuk komunikasi kekuasaan. Pihak yang tidak berkuasa tidak mampu untuk memberikan respon balik yang setara. Ketimpangan berat sebelah dalam relasi kekuasaan inilah yang memungkinkan kelompok yang berkuasa mendominasi yang tidak berkuasa. Ketimpangan ini pula yang sebenarnya menjadi subjek utama dari pemberdayaan. Tanggung jawab sosial yang memberdayakan pada dasarnya berupaya untuk mengintervensi ketimpangan-ketimpangan ini dengan maksud menyeimbangkan pola relasi dan akses kekuasaan. Hal ini pada dasarnya dapat dilakukan melalui tiga cara, yaitu: • Jalur 1: melakukan intervensi kepada kelompok yang berkuasa, • Jalur 2: melakukan intervensi kepada relasi antar kedua kelompok, • Jalur 3: Melakukan intervensi kepada kelompok yang tidak berkuasa. Jalur 1 Jalur 1 bermaksud mengembangkan relasi kekuasaan yang lebih setara dengan menjadikan pihak yang berkuasa sebagai subjeknya. Hal ini terutama dilaksanakan melalui tiga bentuk yaitu mempengaruhi (influencing), penekanan (pressuring), dan penggantian (replacing). Upaya mempengaruhi dilaksanakan melalui kegiatan-kegiatan seperti dialog, lobby, dan semacamnya. Penekanan umumnya diwujudkan melalui demonstrasi, boikot, dan aksiaksi kolektif lainnya. Penggantian dilaksanakan ketika dua cara terdahulu tidak dapat membuat terjadinya perubahan. Proses penggantian sendiri dapat dilaksanakan dalam koridor sistem politik yang ada atau menggunakan proses diluar koridor. Proses reformasi yang berlangsung pada tahun 1998-1999 merupakan salah satu contoh perubahan diluar koridor sitem politik. Jalur 2 Jalur ini berfokus pada relasi yang berlangsung antara pihak yang berkuasa dengan yang tidak. Relasi yang berat sebelah melalui jalur ini diseimbangkan melalui intervensi pada mekanisme politik, kebijakan publik, proses pengambilan keputusan, dan proses-proses lain yang serupa. Berbagai upaya organisasi masyarakat sipil yang melaksanakan advokasi kebijakan publik melalui pembentukan berbagai koalisi ornop untuk berbagai perundang-undangan merupakan wujud konkrit dari intervensi menggunakan jalur 2. Jalur 3 Jalur 3 berupaya mengembangkan relasi kekuasaan yang lebih setara dengan melaksanakan intervensi kepada kelompok yang tidak berkuasa. Berbagai kegiatan yang dapat dikelompokkan kedalam jalur 3 adalah seperti: liberative education, community organizing, community development, dan people centered advocacy. Secara konkrit jalur 3 dianggap berhasil manakala kelompok sosial yang awalnya tidak memiliki kekuasaan kemudian mendapatkan kekuasaan. Kekuasaan yang dimaksudkan disini dapat mengambil tiga bentuk yaitu:
5
AMERTA – BRIEF NOTE Issue 3, 2008
• • •
Kekuasaan melalui kepercayaan diri yang lebih besar dari seseorang untuk melaksanakan berbagai bentuk aksi yang diperlukan untuk memenuhi berbagai kebutuhan dan hak-hak dasarnya Kekuasaan dalam pengertian peningkatan dan efektivitas hubungan yang dikembangkan oleh mereka yang tak berdaya dengan organisasi-organisasi lain. Dalam istilah lain kekuasaan sebagai hasil terbangunnya kelembagaan rakyat. Kekuasaan sebagai hasil dari meningkatnya akses rakyat terhadap sumber-sumber daya ekonomi seperti kredit dan masukan-masukan lainnya (inputs).
Dalam perspektif yang berbeda, pemberdayaan pada kelompok yang tidak berkuasa dapat terjadi dalam tiga tingkat yaitu: • Tingkat Individu: membangun rasa percaya diri dan kapasitas • Tingkat Relasional/Hubungan: membangun kemampuan untuk bernegosiasi dan mempengaruhi sifat hubungan serta membuat keputusan didalamnya. • Tingkat Kolektif : dimana setiap individu bekerjasama untuk mencapai suatu dampak yang lebih luas seperti membentuk koperasi atau ikut ambil bagian dalam struktur politik. Praktek kegiatan pemberdayaan dapat mencakup beragam dimensi yaitu personal, budaya, sosial, ekonomi, organisasi, dan politik. Masing-masing dimensi memiliki karakteristik sendiri didalam melaksanakan pemberdayaan. Berkembangnya beragam dimensi ini sendiri juga merupakan konsekuensi logis dari pengaruh kekuasaan yang menyeluruh dan mendalam. Secara skematis dimensi-dimensi pemberdayaan tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut ini. Tabel Dimensi –Dimensi Pemberdayaan Personal – Citra dan identitas diri – Penciptaan ruang – Perolehan pengetahuan
Sosial – Kepemimpinan dalam aksi rakyat – Aksi untuk hak-hak dasar – Inklusi sosial – Melek huruf (literacy) Organisasi – Pengembangan identitas kolektif – Penetapan perwakilan – Pengorganisasian rakyat – Kepemimpinan kolektif
Budaya – Pengembangan sistem nilai – Pendefinisian kembali aturan dan norma-norma tradisional – Pengembangan kembali praktekpraktek budaya Ekonomi – Mendapatkan pendapatan yang tetap (income security) – Kepemilikan aset-aset produktif – Ketrampilan kewirausahaan Politik – Partisipasi dalam institusi lokal – Kapasitas dalam advokasi & negosiasi – Akses dalam proses pengambilan keputusan politik
Beragam dimensi tersebut memperlihatkan berbagai dampak dari pemberdayaan sebagai wujud dari tanggung jawab sosial. Tanggung jawab sosial dengan demikian diukur bukan pada apa yang dilakukan atau diberikan oleh seorang individu atau korporasi melainkan
6
AMERTA – BRIEF NOTE Issue 3, 2008
dari perubahan sosial yang ditimbulkan pada masyarakat khususnya yang sebelumnya mengalami ketidakberdayaan.
PEMBERDAYAAN SEMU Pemberdayaan bukanlah tindakan reaksioner dan temporer; sebaliknya, pemberdayaan merupakan tindakan sistematis dan terencana yang bertujuan untuk mengubah pola relasi kekuasaan secara permanen. Intervensi untuk melaksanakan pemberdayaan yang tidak mampu mengubah relasi kekuasaan secara permanen akan menimbulkan arus balik dimana pihak yang berkuasa akan memperbesar tekanannya kepada pihak yang tidak berkuasa ketika intervensi dihentikan. Apabila ini terjadi, maka bukan perbaikan kondisi kehidupan dari pihak yang tidak berkuasa yang terjadi melainkan marjinalisasi dan pemiskinan yang semakin meluas. Dalam praktek sering terjadi ketika program/ proyek pemberdayaan yang dilaksanakan oleh pemerintah, LSM, maupun korporasi sedang berjalan semuanya terlihat baik: kondisi kehidupan rakyat meningkat dan mereka terlibat dalam proses pengambilan keputusan, penguasa lokal peduli dan mendengarkan rakyat, serta berbagai kebijakan publik berpihak kepada rakyat. Namun setelah program/proyek selesai, beberapa waktu kemudian rakyat kembali diabaikan dan ditekan, penguasa bertindak semakin sewenang-wenang, infrastruktur dan fasilitas yang ada justru ditelantarkan, dan berbagai kebijakan publik yang baik diabaikan serta kebijakan publik baru yang distortif justru dibuat. Inilah yang disebut pemberdayaan semu (pseudoempowerment).
LANGKAH-LANGKAH PEMBERDAYAAN Untuk menghindari terjadinya pemberdayaan semu, maka sangat penting untuk melaksanakan tindak pemberdayaan melalui serangkaian langkah-langkah dasar yang sistematis dan terencana. Langkah-langkah tersebut adalah: I. II. III. IV.
Pembuatan peta kekuasaan, pada langkah ini dipetakan siapa yang berkuasa dan tidak berkuasa, pola relasi yang terjadi, serta jenis kekuasaan yang ada Pengembangan strategi intervensi, strategi intervensi dipilih sesuai dengan tiga jalur yang ada dengan bentuk kegiatan disesuaikan dengan konteks masyarakat lokal Implementasi intervensi, langkah implementasi menuntut pada saat yang sama konsistensi dan kreatifitas dalam menghadapi dinamika lapangan. Monitoring dan evaluasi, langkah ini diperlukan untuk memastikan sejak awal diidentifikasi penyimpangan yang terjadi serta dampak yang ditimbulkan dari tindak pemberdayaan yang dilaksanakan.
Keempat langkah dasar dari pemberdayaan bukan merupakan sebuah proses sekali jadi melainkan sebuah siklus pemberdayaan yang berjalan secara terus menerus yang dapat digambarkan dalam siklus berikut.
7
AMERTA – BRIEF NOTE Issue 3, 2008
Diagram 2. Siklus Pemberdayaan Pembuatan Peta Kekuasaan
Pengembangan Strategi Intervensi
Monitoring Dan Evaluasi
Implementasi Intervensi
PENUTUP Merebaknya masalah sosial mengundang tanggung jawab sosial semua pihak. Realita kehidupan memperlihatkan bahwa kekuasaan merupakan instrumen yang efektif untuk mengatasi masalah sosial. Sebagian orang berjuang untuk merebut dan berupaya mempertahankannya untuk kepentingan partikular. Sebagian yang lain terutama mereka yang mengembangkan tanggung jawab sosial bermaksud untuk menjadikan kekuasaan kembali mengabdi pada maksud dasarnya yaitu melayani kepentingan umum. Tidak dapat disangkal bahwa ketimpangan kekuasaan telah menjadikan maksud tersebut merupakan tantangan yang terus menerus dihadapi. Salah satu pondasi dasar untuk menjawab tantangan untuk melaksanakan pemberdayaan adalah memulai dari awal yang benar dengan memahami kekuasaan dan pemberdayaan secara tepat. (Riza Primahendra)
8