rkata, “Yah, bukankah memang sepantasnya saya tahu? Kalau saya pergi ke sana nanti, saya akan seorang diri, dan Anda, sahabat saya Harker Jonathaneh, maaf, saya lelah memakai kebiasaan di negeri saya ini, yaitu menyebutkan nama keluarga dulumaksud saya Anda, sahabat saya Jonathan Harker, takkan ber-58 ada di samping saya lagi untuk memperbaiki dan membantu saya. Anda akan berada jauh di Exeter, mungkin menangani surat-surat hukum dengan sahabat saya yang seorang lagi, Peter Hawkins. Begitulah keadaannya!” Kami membahas sampai tuntas urusan pembelian tanah dan rumah di Purfleet itu. Kujelaskan } segala-galanya, dan kuminta ia menandatangani surat-surat yang diperlukan. Aku juga sudah menulis surat pada Mr. Hawkins sehubungan dengan urusan itu, dan surat itu siap dimasukkan ke kantor pos. Count menanyakan padaku bagaimana aku sampai bisa menemukan tempat yang begitu cocok. Kubacakan catatan-catatan yang telah kubuat saat mencari tempat itu. Catatan itu kusertakan di sini. m r. Di sebuah simpang jalan di Purfleet, kutemukan tempat seperti yang diinginkan itu. Di depan rumah itu terpasang papan pemberitahuan yang sudah usang, bahwa tempat itu akan dijual. Rumah itu dikelilingi sebuah tembok tinggi berstruktur tua, terbuat dari batu besar-besar, dan sudah bertahun-tahun tidak diperbaiki Pintu gerbangnya terbuat dari kayu ek yang besar dan sudah tua, > serta dari besi yang seluruhnya sudah berkarat. Pintu itu tertutup. Rumah itu bernama Carfax. Nama itu pasti diambil dari buku berjudul Quatre Face. Rumah itu berbentuk segi empat, sesuai dengan titik arah utama pada kompas. Luas tanah seluruhnya kira— 59 kira dua puluh ekor, dikelilingi tembok kokoh seperti sudah disebutkan di atas. Di situ terdapat banyak pohon, hingga di beberapa tempat tampak suram. Ada pula sebuah kolam atau danau kecil yang kelihatannya dalam. Agaknya kolam itu mendapatkan airnya dari beberapa buah mata air, karena airnya jernih dan mengalir ke sebuah parit yang cukup lebar. Rumahnya besar sekali, dan^ sudah sangat tua. Kurasa bangunan itu sudah ada sejak zaman abad pertengahan, sebab ada satu bagian terbuat dari batu yang bukan main tebalnya, hanya berjendela beberapa buah yang letaknya tinggi sekali dan berterali besi. Rumah itu seolah merupakan bagian dari sebuah benteng, dan berdekatan dengan sebuah kapel atau gereja tua. Aku tak bisa masuk ke dalamnya, karena aku tidak memiliki kuncinya. Tapi aku telah membuai1* beberapa foto dari beberapa sisi. Rumah itu baru kemudian ditambahkan, tapi bukan main hebatnya. Aku hanya bLu menebak berapa luas tanah yang ditempatinya. Pasti luas sekali Hanya ada sedikit rumah di sekitar tempat itu. Satu di antaranya adalah sebuah rumah yang amat besar, yang baru-baru ini ditambahkan dan digunakan sebagai sanatorium penyakit jiwa, milik swasta. Tapi rumah itu tak kelihatan dari tempat yang kutemukan”* itu. Setelah aku selesai membaca, ia berkata, “Saya senang rumah itu besar dan tua. Saya berasal dari keluarga tua, dan saya akan mati 60 kalau disuruh tinggal di sebuah rumah model baru. Orang tak bisa membuat rumah yang layak huni dalam sehari, apalagi satu abad itu tak lama. Saya juga senang karena ada kapel tuanya. Kami, kaum ningrat Transylvania, tak ingin tubuh kami dibaringkan di antara orang-orang biasa. Saya tidak mencari keceriaan dan kesenangan, atau sesuatu yang besar dan mencolok, dengan banyak matahari dan air berkilauan, seperti yang disukai kaum muda yang ceria. Saya tidak muda lagi, dan hati saya yang sudah melewati tahun-tahun sedih karena meratapi yang sudah tiada, tak menginginkan kesenangan. Apalagi tembok-tembok puri saya sudah rusak, banyak bayang-bayangnya, dan angin mengembuskan udara dingin melalui celah-celah
gerigi benteng dan jendela-jendela yang sudah rusak. Saya suka akan keteduhan dan bayang-bayang, dan kalau bisa, saya ingin menyendiri dengan pikiran saya.” Entah mengapa, aku merasa kata-katanya tak sesuai dengan pandangannya, mungkin karena air mukanya membayangkan senyum yang jahat seperti setan. Kemudian ia minta diri untuk meninggalkan aku, dan menyuruhku mengumpulkan semua suratku. Lalu aku pun mulai melihat-lihat buku-buku yang ada di sekelilingku. Salah satu di antaranya adalah sebuah atlas yang terbuka pada peta Inggris. Agaknya peta itu sudah sering sekali dipakai. Waktu kuperhatikan, kulihat bahwa pada tempat-tempat tertentu terdapat tanda-tanda lingkaran ke— 61 cil, dan waktu tanda-tanda itu kuperhatikan lagi, kulihat bahwa satu lingkaran terdapat di dekat kota London, di sebelah timur, menunjukkan lokasi purinya yang baru. Dua lingkaran lain menunjukkan Exeter dan Whitby, di pantai Yorkshire. Lebih dari sejam kemudian, Count kembali. “Wah!” katanya. “Masih membaca? Itu bagus! Tapi Anda tak boleh bekerja terus. Mari, makan malam sudah siap.” Dituntunnya lenganku, dan kami pergi ke kamar sebelah, di mana makan malam yang enak sudah tersedia. Lagi-lagi Count meminta maaf tak ikut makan, karena ia sudah makan sore waktu ia pergi tadi, katanya. Tapi, seperti malam kemarin, ia duduk dan mengobrol sementara aku makan. Setelah makan, aku merokok, seperti malam kemarin pula, dan Count menemaniku mengobrol dan menanyakan banyak hal selama berjam-jam. Aku merasa bahwa malam sudah larut, tapi aku tak mengatakan apa-apa, karena aku merasa sepantasnyalah aku menyesuaikan diri dengan keinginan tuan rumahku dalam segala hal. Aku tak merasa mengantuk, karena aku tidur sampai siang, dan aku merasa segar. Tapi mau tak mau, aku merasakan dingin yang biasa menerpa bila fajar hampir menyingsing, seperti juga perubahan pasang-surut air. Kata orang, orang-orang yang sudah sekarat umumnya meninggal pada saat pergantian fajar, atau pada saat perubahan pasang-surut air. Orang yang letih, dan yang boleh dikatakan terikat pada tugasnya, dan yang telah mengalami perubahan itu, bisa mempercayainya. Tiba-tiba kami mendengar kokok ayam yang melengking di udara pagi yang cerah itu. Count Dracula terlompat, dan berkata, “Wah, hari sudah pagi lagi! Alangkah lengahnya saya, membiarkan Anda bergadang. Seharusnya Anda tidak menceritakan hal-hal menarik tentang Inggris, yang akan menjadi negeri baru saya yang tercinta itu, supaya saya tak lupa betapa cepatnya waktu berlalu.” Dan sambil membungkuk sopan, ia cepat-cepat meninggalkanku. Aku masuk ke kamarku sendiri. Kubuka tirai-tirai jendela, tapi tak banyak yang tampak. Jendelaku menghadap ke pekarangan, dan yang kulihat hanyalah langit kelabu yang cepat menjadi hangat. Maka kututup lagi tirai-tirai itu, dan kutulis tentang hari ini. 8 Mei.Sementara aku menulis dalam buku ini, aku mulai takut kalau-kalau aku terlalu berpanjang-lebar. Tapi sekarang aku senang bahwa sejak awal aku sudah menulis sampai pada hal-hal sekecil-kecilnya. Karena ada sesuatu yang aneh di tempat ini, dan segala sesuatu yang ada di dalamnya, hingga mau tak mau aku merasa resah. * Alangkah baiknya bila aku berada di luar dalam keadaan selamat, atau tak pernah datang sama sekali. Mungkin suasana malam ini telah mempengaruhiku. Yah, alangkah baiknya kalau hanya itu saja! Kalau saja ada seorang teman bicara, aku bisa menanggungnya. Tapi kini tak ada seorang pun. Hanya ada Count, teman bicaraku, padahal ia…! Aku merasa akulah satusatunya manusia bernyawa di tempat ini. Akan kuusahakan supaya aku tetap berpegang pada kenyataan saja. Itu akan membantuku untuk bertahan. Dan daya imajinasi dalam diriku tak boleh sampai musnah, sebab kalau itu sampai terjadi,
habislah aku. Biarlah kukatakan langsung bagaimana keadaankuatau’ kelihatannya. Aku pergi tidur, tapi hanya bisa tidur beberapa jam. Dan karena merasa tak bisa tidur lagi, aku bangun. Cermin kecilku untuk bercukur telah kugantung di dekat jendela, dan aku akan mulai bercukur. Tiba-tiba. kurasakan sebuah tangan di pundakku, dan kudengar suara Count berkala, “Selamat pagi.” Aku terkejut sekali, dan sangat heran mengapa aku tak melihat bayangannya di cerminku, padahal cerminku bisa menangkap bayang-‘ an dari seluruh kamar di belakangku. Karena terperanjat, wajahku terkena ,-ťisau cukur sedikit, tapi saat itu tak kusadari. Setelah membalas salam Count, aku kembali berpaling ke cermin. Aku ingin melihat di mana kekeliruanku. Kali ini aku tak mungkin salah, karena pria itu berada di dekatku, dan aku bisa melihatnya dari balik pundakku. Tapi tetap tak ada bayangan dirinya di cermin! Seluruh ruangan di belakangku kelihatan, tapi tak ada bayangan orang, kecuali diriku sendiri. Hal itu amat mengejutkan, dan di samping begitu banyak hal aneh, hal itu makin menguatkan perasaan gelisahku yang semula masih samar, namun selalu 64 muncul setiap kali Count berada di dekatku. Pada saat itu kulihat lukaku mulai berdarah sedikit, dan darah itu mulai menetes ke daguku. Kuletakkan pisau cukurku, lalu aku berbalik akan mencari plester. Waktu Count melihat wajahku, matanya memancarkan kemarahan setan, dan ia tiba-tiba mencengkeram leherku. Aku mundur, dan terpegang olehnya merjan rosario tempat salibku tergantung. Peristiwa itu mendatangkan perubahan mendadak pada dirinya, karena kemarahannya tadi sirna demikian cepat hingga rasanya sulit aku percaya bahwa kemarahan itu tadi kulihat di wajahnya. “Hati-hati;” katanya, “jangan sampai luka. Di negeri ini, luka lebih berbahaya daripada yang Anda duga.” Lalu, sambil mengambil kaca cukurku, ia berkata lagi, “Dan ini adalah barang sial yang menimbulkan musibah. Ini tak lebih dari tetek bengek menjijikkan, perlambang keangkuhan kaum pria. Buang saja!” Dibukanya jendela berat di situ dengan sekali putar, dengan tangannya yang mengerikan, lalu cerminku dilemparkannya. Barang itu hancur berkeping-keping di batu, di halaman bawah. Lalu ia keluar tanpa berkata apa-apa lagi. Aku jengkel sekali, karena aku tak tahu bagaimana aku bisa bercukur. Mungkin dengan kaca arlojiku, atau bagian belakang pot krim cukurku, yang untungnya terbuat dari logam. Waktu aku pergi ke ruang makan, sarapan sudah siap, tapi Count tak ada. Jadi aku sarapan seorang diri. Aneh, selama di sini, belum pernah 65 aku melihat Count makan atau minum. Ia pasti seorang yang aneh sekali! Setelah sarapan, aku berkeliling melihat-lihat puri. Aku keluar ke tangga, dan kutemukan sebuah kamar yang menghadap ke selatan. Pemandangan dari situ indah sekali. Rupanya puri itu terletak tepat di tepi sebuah jurang yang mengerikan. Sebuah batu yang dilempar dari jendela, pasti jatuh beribu-ribu meter ke bawah, tanpa menyentuh apa-apa! Sejauh mata memandang, yang nampak hanya lautan pucuk pepohonan hijau, diselingi oleh celah yang sangat dalam, yaitu sebuah jurang. Di sana-sini tampak jalur perak, yaitu sungai-sungai yang berkelok-kelok di lekuk tanah yang dalam, melalui hutan rimba. Tapi aku tak ingin melukiskan keindahan alam. Setelah melihat keindahan itu, aku pergi untuk melihat-lihat lagi. Tapi yang kulihat adalah pintu, pintu, dan pintu. Di mana-mana pintu, dan semuanya terkunci dan berpr^ang. Kecuali melalui jendela-jendela pada tembok-tembok puri, sama sekali tak ada jalan keluar lain. Puri itu merupakan sebuah penjara yang sempurna, dan aku terpenjara di dalamnya! 66
Bab 3 CATATAN HARIAN JONATHAN HARKER (lanjutan) Waktu kusadari bahwa aku terpenjara, aku dilanda oleh perasaan ingin memberontak. Aku berlari menaiki dan menuruni tangga-tangga, mencoba membuka setiap pintu, dan melihat ke luar lewat setiap jendela yang kutemukan. Tapi tak lama kemudian, keyakinan akan keadaanku yang tak berdaya, mengatasi semua perasaan lain. Waktu aku mengingat hal itu kembali beberapa jam kemudian, aku merasa bahwa saat itu aku pasti sudah gila. Aku telah berperilaku seperti seekor tikus yang terperangkap. Tapi waktu sadar bahwa aku tak berdaya, aku duduk diamdiamtak per-4 nah aku duduk setenang itu sepanjang hidupku dan mulai memikirkan apa yang sebaiknya kulakukan. Aku masih tetap berpikir, tapi masih belum mendapat kcpulusan pasti. Aku hanya, menyadari satu hal, yaitu bahwa tak ada gunanya menyampaikan pikiranku itu pada Count. Ia tahu benar bahwa aku terpenjara, dan karena ia sendiri 67 yang melakukannya, pasti dengan alasannya sendiri pula, ia hanya akan membohongiku bila kuceritakan kenyataan itu padanya. Sejauh ini, satu-satunya rencanaku adalah mendiamkan saja apa yang kuketahui, dan menyembunyikan rasa takutku, serta membuka mataku terus. A’ku tahu, mungkin aku ditipu oleh rasa takutku sendiri, atau aku berada dalam keadaan sangat putus asa. Bila begitu keadaannya, aku sangat, sangat membutuhkan pikiran sehatku. Baru saja kuambil k putusan itu, kudengar pintu besar di bawah tertutup, dan tahulah aku bahwa Count sudah kembali. Ia tidak langsung masuk ke ruang perpustakaan, jadi dengan hati-hati aku kembali ke kamarku sendiri. Di sana kulihat ia sedang membenahi tempat tidurku. Aneh,.tapi hal itu menegaskan apa yang selama ini sudah kuduga, yaitu bahwa di dalam rumah ini tak ada pelayan. Waktu kemudian kulihat melalui celah engsel pintu, ia sedang menyediakan makanan di ruang makan, yakinlah aku. Bila ia harus melakukan sendiri semua pekerjaan rumah tangga, berarti tak ada pelayan di sini. Aku jadi makin ketakutan, karena bila tak ada siapa-siapa lagi di puri ini, tentu Count sendiri pula yang telah mengemudikan kereta yang membawaku kemari. Ini mengerikan sekali, sebab bukankah itu berarti ia bisa menenangkan serigala-serigala hanya dengan mengangkat tangannya tanpa berkata apa-apa? Itukah sebabnya maka semua orang di Bistritz dan di kereta sangat ngeri memikirkan diriku? Apakah arti pemberian 68 berupa salib, bawang putih, mawar liar, dan abu gunung itu? Aku bersyukur karena wanita yang baik itu telah menggantungkan kalung salib ke leherku. Benda itu memberiku rasa tenang dan kekuatan, setiap kali aku menyentuhnya. Aneh, benda yangmenurut ajaran yang kuterimaku rang baik dan tak boleh dipuja-puja, bisa memberikan ketenangan dalam kesepian dan kesusahan. Apakah itu disebabkan oleh inti yang terdapat dalam benda itu sendiri, atau apakah itu merupakan suatu alat, suatu bantuan berwujud, untuk menyampaikan rasa simpati dan hiburan? Kelak, bila ada kesempatan, aku harus menyelidiki hal itu dan mencoba menentukan sikapku. Sementara ini, aku harus menyelidiki sebisaku mengenai Count Dracula, karena hal itu mungkin bisa membantuku untuk mengerti. Malam ini mungkin ia akan berbicara tentang dirinya sendiri, bila percakapan ku belokkan ke arah itu. Tapi aku harus amat berhati-hati, jangan sampai aku membangkitkan kecurigaannya-TAMAN \ca f N ~ “JAYA * OL..K AL!L. J-i V& V 6. i VOdvA.KAa i A Tengah malam.Aku selalu bercakap-cakap lama dengan Count. Kuajukan beberapa pertanyaan mengenai sejarah Transylvania, dan ia menceritakannya dengan penuh gairah. Caranya bercerita tentang hal hal
dan orang-orang dan terutama tentang pertempuran-pertempuran, sangat hidup, seolah-olah ia hadir sendiri dalam peristiwa-peristiwa itu. Hal itu kemudian dijelaskannya dengan me— 69 ngatakan bahwa bagi seorang boyar* kebanggaan atas tanah air dan nama keluarga adalah kebanggaan tersendiri, kemenangan leluhurnya di zaman itu adalah kemenangannya pula, dan nasib leluhurnya adalah nasibnya pula. Bikr berbicara tentang tanah airnya, ia selalu menggunakan kata “kami”, dan ia berbicara dalam bentuk jamak, seperti kebiasaan seorang raja. Alangkah baiknya bila aku bisa menuliskan dengan tepat apa-apa yang dikatakannya, karena aku merasa amat tercekam Agaknya di situlah tersirat seluruh sejarah negeri itu. Ia bersemangat sekali waktu berbicara. Ia berjalan hilir-mudik dalam ruangan itu, sambil menarik-narik kumisnya yang putih dan lebat, dan menangkap apa saja yang tersentuh olehnya, seolah-olah akan diremukkannya dengan segenap kekuatannya. Ada satu hal yang dikatakannya, yang akan kutuliskan sebatas kemampuanku, karena hal itu merupakan kisah suku bangsanya. “Kami, suku Szekely, berhak merasa bangga, karena dalam urat kami mengalir darah dari banyak suku pemberani, yang telah berjuang seberani singa untuk membela pangerannya. Dalam pusaran suku-suku bangsa di Eropa ini, suku Ugric menurunkan semangat juang dari Thor dan Wodin dari Islandia. Pahlawan-pahlawan mereka memperlihatkan kegarangan mereka ke seluruh daratan Eropa. Ya, bahkan sampai ke Asia dan Afrika, hingga orang-orang di sana menyangka bahwa bangsawan 70 serigala jadi-jadianlah yang datang. Waktu mereka datang kemari, mereka menemukan suku bangsa Hun, yang semangat perangnya telah menyapu bumi bagaikan nyala api yang bernyawa, hingga orang-orang itu beranggapan bahwa dalam urat nadi mereka mengalir darah ahli-ahli sihir yang telah terusir dari Scythia dan menyatu dengan setan-setan di gurun. Tolol, sungguh tolol mereka! Mana ada setan atau sihir sehebat Attila yang darahnya mengalir dalam urat-urat ini?” Diangkatnya kedua belah lengannya. “Jadi, mengherankan-kah kalau kami menjadi suku bangsa yang selalu menang? Bahwa kami bangga, dan ketika suku-suku bangsa Magyar, Lombard Bulgar, dan Turki, mengalirkan pejuang-pejuangnya ke perbatasan kami, kami mampu mengusir mereka? Anehkah ketika Arpad dan pasukannya menyapu Hungaria dan tiba di perbatasan kami, mereka temukan kami siap melawan di sini? Bahwa suku bangsa H n foglala musnah di sana? Dan waktu pasukan Hungaria menyapu ke arah timur, suku bangsa Szekely mereka anggap punya pertalian darah dengan suku Magyar yang menang, dan mereka lalu mempercayakan pengawalan perbatasan tanah Turki kepada kami selama berabad-abad? Ya, lebih dari itu, mereka juga memberikan banyak sekali tugas kepada ‘kami sebagai pengawal perbatasan, karena bangsa Turki mengancam, ‘Air bisa tidur, tapi musuh tak pernah tidur.’ Adakah yang lebih berbahagia daripada kami ketika menerima ‘pedang berdarah’? Adakah yang lebih cepat berkumpul 71 atas panggilan perang dari raja? Dan ketika bendera Wallach dan Magyar dijatuhkan oleh bendera bulan sabit Turki, siapakah yang menghapuskan aib mahabesar itu, aib yang telah menimpa bangsa saya dan aib bagi Cassova? Siapakah yang telah menyeberangi Sungai Danube di Voivode dan mengalahkan bangsa Turki di tanahnya sendiri, kalau bukan salah satu suku bangsa saya? Itulah keluarga Dracula! Sialnya, salah satu saudaranya, ketika dikalahkan, telah menjual bangsanya kepada bangsa Turki dan membawa aib perbudakan atas diri keturunan mereka! Apakah bukan Dracula ini yang telah membangkitkan semangat teman-teman se-bangsanya yang lain, yang dalam abad berikutnya berulang kali membawa pasukannya menyeberangi sungai lebar itu memasuki Turki, dan waktu mereka terpukul mundur, telah datang kembali berulang kali, meskipun dia harus datang seorang diri dari medan berdarah tempat pasukannya habis terbantai, karena dia
menyadari bahwa dia sendirilah yang akhirnya bisa menang! Orang berkata bahwa dia hanya memikirkan dirinya sendiri. Bah! Apalah artinya petani-petani bodoh tanpa seorang pemimpin? Kapan perang akan berakhir, tanpa otak dan semangat orang yang bisa memimpinnya? Lagi-lagi, setelah pertempuran Mohacs, waktu kami melepaskan diri dari penjajahan bangsa Hun gana, kami yang berdarah Dracula adalah salah satu pemimpinnya, karena kami tidak puas sebelum bisa bebas. Pokoknya, Sahabat, suku bangsa Szekelydan warga Dracula sebagai intinya, otak72 nya, dan ujung tombaknyabisa berbangga diri atas keberhasilan mereka, yang tak dapat disamai oleh warga-warga yang kemudian bermunculan seperti jamur, seperti warga Hapsburg dan Romanoff. Kini masa perang telah berlalu. Darah dianggap terlalu berharga dalam zaman damai yang tak terhormat ini, dan dari suku-suku bangsa besar, yang tertinggal adalah kisah yang diceritakan orang.” Waktu itu hari sudah hampir pagi, dan kami pergi tidur. (Catatan. Catatan harian ini aneh sekali, seperti awal dari kisah Seribu Satu Malam, saja, karena semuanya selalu terputus pada saat ayam berkokokatau seperti kisah ayah Hamlel yang telah menjadi hantu!) 12 Mei.Aku akan mulai dengan fakta-fakta fakta-fakta nyata yang diperkuat oleh buku-buku dan angka-angka yang tak dapat diragukan. Aku tak boleh mencampuradukkannya dengan pengalaman-pengalaman yang hanya didasari oleh penelitian atau ingatanku sendiri mengenai hal itu. Kemarin malam, waktu Count datang, ia mulai menanyakan hal-hal yang berhubungan dengan hukum, dan mengenai menjalankan beberapa macam usaha. Sebelum itu, aku membaca terus, dan sekadar untuk menyibukkan pikiranku, aku mempelajari beberapa persoalan yang telah diujikan padaku di Lincoln’s Inn. Ada urut-urutan tertentu dalam pertanyaan-pertanyaan Count, maka aku akan menuliskannya se— 73 cara berurutan pula. Hal itu mungkin akan bermanfaat bagiku kelak. Pertama-tama, ia menanyakan apakah seseorang di Inggris boleh memiliki dua orang penasihat hukum atau lebih. Kukatakan bahwa seseorang boleh saja memiliki selusin penasihat hukum kalau ia mau, tapi tidaklah bijak memiliki lebih dari seorang penasihat hukum untuk mengurus satu transaksi, karena hanya seorang yang bisa bertindak dalam satu perkara, dan bila diganti, pasti akan bertentangan dengan kepentingannya sendiri. Kelihatannya ia mengerti betul. Lalu ditanyakannya lagi apakah dalam prakteknya ada kesulitan kalau umpamanya ia membayar satu orang untuk mengurus soal-soal perbankan, seorang lagi untuk mengurus pengapalan, bila umpamanya diperlukan bantuan orang setempat di suatu tempat yang jauh dari tempat penasihat hukum yang mengurus perbankan tadi. Kuminta agar ia memberikan penjelasan lebih terperinci, supaya aku tidak memberikan keterangan yang keliru. Maka ia berkata, “Akan saya lukiskan. Sahabat kita berdua, Mr. Peter Hawkins, dari tempat tinggalnya yang indah di Exeter yang jauh letaknya dari London, telah membelikan saya sebuah bangunan di London, berkat bantuan Anda sendiri. Baik! Supaya Anda tidak merasa aneh mengapa saya telah meminta jasa seorang penasihat hukum yang begitu jauh dari London, dan bukan seseorang dari London sendiri, maka saya akan menjelaskannya. Alasan saya adalah, saya ingin hanya urusan saya sendiri 74 saja yang diurusnya. Seorang penduduk London mungkin ingin melayani, tapi dengan tujuan kepentingan sendiri atau kepentingan temannya. Oleh karenanya, saya cari perwakilan yang hanya mengurus kepentingan saya sendiri. Nah, sekiranya saya, yang punya banyak sekali bidang usaha, ingin mengapalkan barang-barang ke Newcastle, atau Durham, atau Harwich, atau ke Dover umpamanya, apakah tidak lebih mudah membayar seorang penasihat hukum di salah satu pelabuhan itu?”
Kujawab bahwa itu tentu sangat memudahkan, tapi kami para penasihat hukum punya sistem yang masing-masing saling merupakan agen dari rekannya, hingga tugas di suatu tempat “dapat diselesaikan di tempat itu atas instruksi penasihat hukum mana pun. Klien bisa saja meminta supaya keinginan-keinginannya dilaksanakan di mana pun juga oleh penasihat hukum itu, tanpa kesulitan. “Tapi saya bebas mengatur, bukan?” tanyanya. “Tentu,” sahutku, “hal semacam itu sering dilakukan oleh pengusaha-pengusaha yang tak suka semua urusannya diketahui oleh siapa pun.” “Bagus!” katanya. Lalu ia bertanya lagi mengenai cara-cara pengiriman barang, syarat-syarat yang harus dipenuhi, dan segala macam kesulitan yang mungkin timbul, yang sebenarnya bisa dicegah. Semua itu kujelaskan padanya sebatas kemampuanku. Ia benar-benar mengesankan. Ia sebenarnya bisa menjadi seorang pengacara hebat, karena sama sekali tak ada hal yang tak dipikirkannya atau tak diantipasinya. Sebagai orang yang 75 tak pernah pergi ke negeri itu, dan yang kelihatannya belum banyak bergerak dalam bidang usaha, pengetahuan serta ketajaman pikirannya hebat sekali. Setelah ia puas dengan hal-hal yang ditanyakannya, dan setelah aku menjelaskan sebisanya berdasarkan buku-buku yang ada, ia tiba-tiba bangkit dan berkata, “Apakah Anda sudah menulis surat lagi kepada teman kita Mr. Peter Hawkins atau kepada orang lain, sejak surat yang pertama dulu itu?” Aku menyesal sekali menjawab bahwa aku belum menulis lagi, dan bahwa aku belum punya kesempatan untuk menulis surat pada siapa-siapa. “Kalau begitu tulislah sekarang, Sahabat,” kalanya, sambil meletakkan tangannya yang berat di pundakku. “Tulislah pada sahabat kita itu, atau pada siapa pun juga, dan katakan bahwa Anda akan tinggal di sini sebulan lagi.” “Apakah Anda menginginkan saya tinggal di sini begitu lama?” tanyaku. Hatiku jadi terasa beku. “Saya sangat menginginkannya. Ya, bahkan saya tak mau Anda menolak. Bila majikan Anda menugaskan seseorang untuk datang mewakilinya, orang yang mendapat tugas ilu harus memenuhi semua kebutuhan saya, bukan? Saya tidak memberikan batasbatas, bukan?” Aku tak bisa berbuat lain, kecuali membenarkannya. Ini adalah kepentingan Mr. Hawkins, bukan kepentinganku. Dan aku harus memikirkan dia, bukan diriku sendiri. Lagi pula, waktu Count 76 Dracula berbicara, ada sesuatu pada mata dan sikapnya yang mengingatkan diriku bahwa aku terpenjara, dan kalaupun aku punya keinginan, aku tak punya pilihan. Count merasa menang karena sikapku yang mengalah, dan ia merasa berkuasa melihat wajahku yang susah. Ia pun langsung memanfaatkannya, dengan cara halus yang tak bisa ditolak. “Saya minta Anda tidak menyinggung hal-hal lain kecuali bisnis dalam surat Anda itu. Teman-teman Anda pasti akan senang mendapat berita bahwa Anda baik-baik saja, dan bahwa Anda ingin sekali pulang untuk bertemu lagi dengan mereka.” Sambil berbicara, diberinya aku tiga helai kertas tulis dan tiga buah amplop. Kertas-kertas itu tipis sekali, bermutu luar negeri. Aku menatap kertas-kertas itu, kemudian ke arahnya. Ia tersenyum tenang, memperlihatkan giginya yang tajam, yang menutupi bibir bawahnya yang merah cerahi Melihat itu, mengertilah aku bahwa aku harus berhatihati mengenai apa yang kutulis, karena ia membacanya. Jadi aku bertekad untuk
menidis surat-surat resmi saja sekarang. Tapi diam-diam aku akan menulis sejelas-jelasnya pada Mr. Hawkins, juga pada Mina, karena padanya aku bisa menulis dengan huruf steno, yang tidak akan dipahami Count, kalaupun ia membacanya. Setelah-menulis surat-suratku itu, aku duduk diam-diam, membaca buku, sedangkan Count menulis beberapa surat sambil sekali-sekali melihat ke buku-buku yang ada di mejanya, sebagai petunjuk. 77 Kemudian diambilnya surat-suratku, dan diletakkan bersama surat-suratnya di dekat alat-alat tulisnya, lalu ia pergi. Begitu pintu tertutup, aku pergi kc meja dan melihat ke surat-suratnya yang diletakkan tertelungkup. Aku tak merasa bersalah berbuat begitu, karena dalam keadaanku, aku merasa harus melindungi diriku dengan cara apa pun juga. Salah satu suratnya ditujukan pada Samuel F. Billington, Crescent No. 7, Whitby. Yang satu lagi kepada Herr -Leutner, Varna. Yang ketiga kepada Coutts & Co., London, sedang yang keempat kepada Herren Klopstopk & Billreuth, bankirs; Budapest. Yang kedua dan keempat tidak dilem. Aku baru saja akan membacanya, waktu kulihat gagang pintu berputar. Cepat-cepat kuletakkan kembali surat-surat itu, lalu duduk kembali di kursiku, dan mengambil buku bacaanku lagi. Count masuk ke kamar dengan membawa sepucuk surat lagi. Dianv bilnya surat-surat yang ada di atas meja itu, lalu ditempeli prangko. Kemudian ia berpaling kepadaku dan berkata, “Maafkan saya lagi, karena saya banyak urusan pribadi malam ini. Apa-apa yang Anda butuhkan sudah disiapkan semua.” Di pintu, ia berbalik lagi, dan setelah berdiam diri sebentar, ia berkata, “Sebaiknya saya nasihatkan pada Andaya, saya peringatkan benar-benar pada Anda, supaya bila Anda keluar dari kamar-kamar ini, bagaimanapun juga, jangan sampai Anda tidur di bagian lain puri ini. Ini bangunan tua, banyak kenangan-kenangan-nya, dan banyak sekali mimpi buruk bagi siapa 78 yang tidur sembarangan. Ingat itu! Kapan pun Anda mengantuk, cepat-cepatlah pergi ke kamar tidur Anda sendiri, atau salah satu kamar-kamar ini, karena di tempat-tempat ini istirahat Anda akan aman. Tapi kalau Anda tidak berhati-hati dalam hal itu…” Ia menyudahi kata-katanya dengan cara yang mengerikan, dengan gerakan seolah-olah mencuci tangannya. Aku mengerti sekali. Hanya saja aku* merasa ragu, apakah suatu mimpi bisa lebih seram daripada jaringan kesuraman dan misteri mengerikan dan Hfoflfijft gftfcfjftF menyelubungi diriku ini. w j^y$ OL.KA1,* ? i Beberapa, waktu .kemudian, -^aktu kutuliskan 1 kata yang terakhir itu, aku tak merasa ragu lagi. Aku takkan merasa takut tidur di mana pun juga, bila ia tak ada. Salibku telah kugantung di kepala tempat tidurku. Kubayangkan bahwa dengan demikian istirahatku akan bebas dari mimpi-mimpi. Dan salib itu akan tetap tergantung di situ. Setelah ia pergi, aku masuk ke kamarku. Sebentar kemudian, setelah aku tak mendengar apa-apa, aku keluar lagi dan menaiki tangga balu, ke tempat aku bisa melihat ke arah selatan. Di tempat yang terbentang luas itu, aku merasakan kebebasan yang takkan bisa kucapai. Saat melihat ke luar, aku benar-benar merasa seperti di dalam penjara, dan-rasanya aku sangat membutuhkan udara segar, meski udara malam sekalipun. Aku mulai merasakan pengaruh “malam ini. Hal itu rasanya merusak sarafku. Aku terkejut melihat bayang-79 bayangku sendiri, dan bermacam-macam khayalan mengerikan memenuhi benakku. Rasa takutku yang bebat itu jelas beralasan di tempat terkutuk ini! Aku memandang ke luar, “ke^tempat indah yang bermandikan cahaya bulan kuning lembut, hingga keadaan menjadi seperti siang. Dalam temaram lembut itu, bukit-bukit nun jauh di sana bagaikan menyatu dengan bayang-bayang gelap bak beludru di lembah-lembah
dan jurang-jurang. Keindahan itu menyenangkan hatiku. Setiap kali menghirup napas, aku merasa damai dan nyaman. Saat aku bersandar pada jendela itu, mataku menangkap sesuatu yang bergerak di suatu tempat satu tingkat di bawahku, agak di sebelah kiri. Dari susunan kamar-kamarnya, kuduga itu adalah jendela kamar Count sendiri. Jendela tempatku berdiri itu tinggi dan bertiang batu. Meskipun sudah amat usang karena tuanya, batu itu masih utuh, tapi ambang kayunya agaknya sudah lama hilang. Aku bersembunyi di balik balu, dan melihat baik-baik ke luar. Yang kulihat adalah kepala Count yang terulur dari jendela. Aku tak melihat wajahnya, tapi aku bisa mengenalinya dari tengkuknya dan gerakan punggung dan lengannya. Apalagi, tak mungkin aku keliru melihat tangan yang sering kuperhatikan itu. Mula-mula aku hanya tertarik dan merasa senang, mengingat hal sektcil itu pun mampu menarik perhatian dan menyenangkan hati seseorang, bila ia terpenjara. Tapi perasaan-perasaan itu segera berubah menjadi rasa jijik dan ngeri, waktu 80 kulihat bahwa seluruh tubuh pria itu perlahan-lahan keluar dari jendela dan mulai merayap menuruni tembok puri di atas jurang dalam yang mengerikan itu. Ia merayap dengan kepala di bawah, sedangkan mantelnya terentang di sekelilingnya, menyerupai sayap yang besar. Mula-mula aku tak percaya pada mataku. Kupikir itu adalah tipuan penglihatan dalam sinar bulan, atau suatu efek mengerikan dari suatu bayang-bayang. Lalu kuperhatikan baik-baik, dan kurasa ‘aku lak mungkin salah lihat. Kulihat jemari tangan dan kakinya mencengkeram sudut-sudut batu yang sudah banyak terlepas dari tempelannya karena tuanya. Dengan memanfaatkan setiap bagian yang tak rata itu, ia bergerak terus ke bawah dengan kecepatan cukup tinggi, seperti seekor kadal yang melata di tembok. Manusia macam apakah dia, atau makhluk apakah dia yang menyerupai manusia? Kurasa tempat yang mengerikan itu telah menguasai diriku. Aku ketakutansangat ketakutandan aku tak dapat meloloskan diri. Aku terkurung oleh rasa takut yang tak dapat kubayangkan…. ‘f w,Jf \ 15 Mei -Sekali lagi kulihat Count Muac dengan cara seperti kadal. Ia bergerak turun dengan sikap miring, kira-kira tiga ratus meter ke frawah dan jauh di sebelah kiri. Ia menghilang ke suatu lubang atau jendela. Setelah kepalanya lenyap, aku mengulurkan rubahku lebih jauh ke luar, agar bisa melihat lebih baik. Tapi sia-siajaraknya terlalu 81 jauh. Aku tahu bahwa ia sudah meninggalkan puri sekarang, dan kupikir kesempatan itu akan kumanfaatkan untuk meneliti lebih banyak daripada yang selama ini berani kulakukan. Akumasuk kembali ke kamar, dengan membawa lampu?TCucoba membuka semua pintu. Seperti sudah kuduga, semua pintu terkunci, dan semua kuncinya boleh dikatakan baru semua. Kuturuni tangga menuju ruang depan tempatku masuk pertama kali dulu. Kudapati bahwa aku bisa mencabut palang pintunya dengan mudah, demikian pula kailan rantai pengamannya, tapi pintu itu terkunci, dan kuncinya tak ada! Kunci itu pasti ada di kamar Count. Aku harus berjaga-jaga melihat kalau-kalau suatu saat kamarnya tak dikunci, supaya aku bisa mengambil kunci dan melarikan diri’. Aku terus memeriksa semua tempat, tangga-tangga, dan lorong-lorong, dan mencoba membuka pintu-pintu yang berhubungan dengan tanggatangga dan lorong-lorong itu. Satu atau dua kamar kecil di dekat ruang depan memang terbuka, tapi di dalamnya tak ada apa-apa kecuali perabotan tua yang sudah tebal debunya, dan sudah dimakan ngengat. Tapi akhirnya kutemukan sebuah pintu di kepala tangga, yang meskipun kelihatan terkunci, bisa dibuka waktu kudorong. Kucoba mendorongnya lebih kuat, dan kudapati bahwa pintu itu sebenarnya tak terkunci, tapi sulit dibuka karena engselnya sudah lepas, dan pintu yang berat itu tersandar saja pada lantai. Inilah kesempatan yang mungkin takkan kudapatkan lagi. Kukumpulkan segenap tenagaku,
82 dan dengan usaha keras kupaksakan membuka pintu itu, hingga aku bisa masuk. Aku mendapati diriku berada di dalam salah satu sayap puri yang terletak jauh lebih ke kanan daripada semua kamar lain yang sudah kukenal, dan satu lantai di bawah. Dari jendela-jendelanya kulihat bahwa kamar-kamar utamanya terletak memanjang di bagian selatan puri, sedangkan jendela-jendela kamar di ujung, menghadap ke barat dan ke selatan. Di sisi sebelah selatan dan barat itu ada sebuah jurang lebar. Rupanya puri itu dibangun di sudut sebuah batu karang besar, hingga pada tiga sisinya tak dapat dicapai, baik oleh senjata berbandulan, panah, maupun meriam kecil. Oleh karenanya, cahaya dan kenyamanan tak mungkin didapat di tempat dengan posisi demikian. Di sebelah baratnya ada sebuah lembah luas, kemudian di kejauhan, menjulang gunung besar tinggi yang puncaknya bergerigi. Puncak-puncak itu seolah-olah menjulang tumpang tindih. Gunung itu merupakan batu karang yang penuh dengan abu gunung dan tumbuhan berduri, yang akarnya menempel pada jurang-jurang dan celah-celah batu. Jelas kelihatan bahwa bagian dari puri ini di zaman dulu didiami oleh kaum wanita, karena perabotannya lebih nyaman daripada yang telah kulihat di bagianbagian lain. Jendela-jendelanya tak bertiraij dan sinar bulan yang masuk lewat ambang jendela yang bersegi-segi, memungkinkan kita melihat warna-warni di dalam kamar itu. Tapi cahaya itu terlalu lembut hingga kita tak bisa 83 melihat dengan jelas debu tebal yang melapisi semua barang, dan kerusakankerusakan yang ditimbulkan oleh ngengat pun tersamar. Lenteraku terasa kurang berguna dalam cahaya^bulan itu, tapi aku senang benda itu ada padaku, karena aku merasa ngeri dan kesepian di tempat yang membekukan hati dan menggetarkan sarafku ini. Bagaimanapun juga, tempat ini lebih baik daripada tinggal seorang diri di kamar-kamar yang sangat kubenci, gara-gara kehadiran Count. Setelah mencoba menenangkan diri, aku duduk di depan sebuah meja kecil dari kayu ek. Di zaman dulu, mungkin seorang wanita cantik pernah duduk di sini, menulis surat cinta dengan banyak kesalahan ejaan, sambil berpikir keras dengan wajah bersemu merah. Kutuliskan dalam buku harianku, dengan huruf steno, segala yang terjadi sejak aku terakhir menulis. Kini adalah abad kesembilan belas dan zaman modern, tapi di sini masih terdapat kekuatan yang tak dapat dimusnahkan oleh modernisasi. Kemudian, pagi hari tanggal 16 Mei.Tuhan, lindungilah kewarasan pikiranku, karena aku merasa kewarasanku sudah berkurang. Keamanan dan keyakinan akan adanya keamanan itu rasanya sudah tak ada lagi Selama aku tinggal di sini, hanya ada satu hal yang kuharapkan, yaitu supaya aku jangan sampai menjadi gila. Itu pun kalau sekarang aku belum gila! Kalaupun aku masih waras, psanya gila sekali mengingat bahwa di antara 84 semua hal jahat yang mengintai di tempat yang kubenci ini, Count-lah yang paling kurang kutakuti. Karena kurasa hanya padanya aku bisa mencari perlindungan, meskipun dengan syarat aku harus melayani keinginannya. Tuhan Mahabesar, Tuhan Maha Pengampun, tenangkanlah aku, karena bila aku tak tenang, aku bisa jadi gila. Aku mulai bisa mengerti mengenai hal-hal tertentu yang semula tak kupahami. Selama ini, aku tak pernah mengerti betul apa maksud Shakespeare waktu ia menyuruh Hamlet berkata, “My tablets! Quick, my tablets! ‘Tis meet that I put it down. “* Dan seterusnya. Karena kini bila aku merasa otakku sudah mulai goyah, atau merasa shock hingga serasa akan mati, aku berpaling pada buku harianku untuk menenangkan diri. Kebiasaanku menuliskan semuanya dengan teliti, telah membantuku menenangkan diri.
Peringatan Count yang misterius telah membuatku merasa takut waktu itu. Kini, bila kupikirkan hal itu, aku lebih ketakutan lagi, karena di masa yang akan datang ia akan menguasai diriku. Aku takkan berani meragukan apa-apa yang dikatakannya! Setelah aku menulis dalam buku harianku, dan untungnya tak lupa menyimpan buku serta penaku ke dalam sakuku kembali, aku merasa mengantuk. Cepat ambilkan kerat tulisku! Aku harus menuliskannya. 85 Aku teringat akan peringatan Count, tapi akan kulanggar peringatan itu dengan sepenu^i kesadaranku. Aku ingin sekali tidur, dan rasanya sudah tak tertahankan lagi. Cahaya bulan yang lembut terasa membelai, dan pemandangan luas di luar, memberiku rasa bebas yang menyegarkan. Kuputuskan untuk tidak kembali ke kamarkamar suram yang seperti berhantu itu malam ini. Aku akan tidur di sini, di mana dahulu kala kaum wanita duduk-duduk dan menyanyi dan hidup dengan manis, walau di hati mereka tersimpan rasa sedih memikirkan kaum pria yang sedang berada jauh di tengah peperangan yang kejam. Kutarik sebuah sofa besar dari tempatnya di dekat sudut, supaya sambil berbaring aku bisa melihat pemandangan indah di sebelah timur dan selatan. Tanpa berpikir atau mempedulikan debu, kubaringkan tubuhku untuk tidur. Kurasa aku lalu tertidur. Yah, semoga saja begitu, sebab aku takut, karena semuanya yang terjadi kemudian benar-benar terasa nyatademikian nyatanya, hingga kini, sementara aku duduk bermandikan sinar matihari pagi yang cerah, sedikit pun aku tak percaya bahwa yang kualami waktu itu hanya mimpi dalam tidur. Aku tidak sendirian. Kamarnya tak berubah, tetap seperti saat aku masuk. Di sepanjang lantai, dalam cahaya bulan yang cerah, bisa kulihat bekas telapak kakiku sendiri di tempat yang tebal timbunan debunya. Dalam cahaya bulan itu, tampak di hadapanku tiga orang wanita muda. Melihat 86 pakaian dan gerak-geriknya, mereka adalah wanita bangsawan. Waktu aku melihat mereka dari belakang, kupikir aku sedang bermimpi, karena meskipun cahaya bulan menerangi mereka dari belakang, tak ada bayang-bayang mereka di lantai. Mereka mendekatiku, dan memandangiku beberapa lama. Lalu mereka berbisik-bisik. Dua di antaranya berambut hitam, dengan hidung besar dan bengkok seperti hidung Count, serta mata besar dan tajam. Mata itu kelihatan merah dibandingkan dengan cahaya bulan yang kuning pucat. Yang seorang lagi sangat pirang, kulitnya amat putih, rambutnya tebal bergelombang, dan berwarna keemasan, sedangkan matanya biru seperti permata safir yang pucat. Rasanya aku mengenali wajahnya, mengenalinya sehubungan dengan semacam mimpi yang mengerikan. Tapi pada saat itu aku tak bisa mengingat bagaimana hubungannya dan di mana. Ketiganya memiliki gigi putih berkilat dan bersinar seperti mutiara, di balik bibir yang merah cerah. Ada sesuatu pada diri mereka yang membuatku resah. Ada kerinduan yang muncul, bercampur rasa takut. Dalam hatiku timbul hasrat jahat supaya mereka menciumku dengan bibir merah itu. Tak baik menuliskan itu semua, karena mungkin Mina akan membaca catatan ini, dan itu akan menyakiti hatinya. Tapi itulah keadaan sebenarnya. Mereka berbisik-bisik lagi, lalu ketiganya tertawa cekikikan. Suara tawa itu merdu seperti musik, tapi sekaligus keras, hingga rasanya tak pantas keluar dari bibir manusia yang lembut itu. Suara 87 itu manis seperti denting gelas yang dimainkan oleh tangan cekatan. Gadis yang pirang menggeleng dengan genit, tapi kedua temannya mendesaknya terus. Salah seorang berkata, “Ayolah! Kau dulu, nanti kami menyusul. Kau yang berhak memulai.” Yang seorang lagi menambahkan,
“Dia masih muda dan kuat. Dia bisa memberikan cukup ciuman untuk kita bertiga.” Aku diam tak bergerak, melihat lewat bulu mataku dengan penuh harapan menyenangkan. Gadis yang pirang membungkukkan tubuh ke arahku, hingga aku bisa merasakan dengus napasnya. Napas itu manis, semanis madu dan menggugah saraf, seperti suaranya tadi. Tapi di balik kesan manis itu ada bau yang memuakkanbau darah. Aku takut mengangkat kelopak mataku, tapi aku tetap waspada, dan melihat dengan awas lewat bulu mataku. Gadis itu berlutut dan menunduk ke arahku. Ia kelihatan senang sekali. Terasa benar napasnya yang membuatku amat tercekam, sekaligus jijik. Sementara ia mengulurkan leher ke arahku, jelas terlihat ia mcleletkan lidahnya seperti binatang, hingga dalam cahaya bulan dapat kulihat air liurnya pada bibir dan lidahnya yang merah, menyapu giginya yang tajam dan putih. Kepalanya makin lama makin merendah, sedangkan bibirnya mencari daerah di bawah mulut dan daguku, dan kelihatannya akan menempel di leherku. Lalu ia berhenti lagi, dan kudengar bunyi decak lidahnya yang melelet pada gigi dan bibirnya. Aku me-88 rasakan embusan napas hangatnya di leherku. Kulit leherku terasa menggelenyar, seperti perasaan bila ada tangan yang akan menggelitik makin mendekat dan makin mendekat. Kini kurasakan sentuhan bibirnya yang lembut, bergetar pada kulit leherku yang sangat peka, disertai sentuhan dua buah gigi tajam yang terhenti di situ. Kututup mataku dengan hati penuh gairah dan senang, dan aku menunggumenunggu dengan jantung berdebar. Tapi pada saat itu ada kejutan lain yang menerpaku secepat kilat. Aku menyadari kehadiran Count, dan merasakan badai kemurkaan yang merasukinya. Tanpa sengaja kubuka mataku. Kulihat tangannya yang kuat mencengkeram leher halus wanita pirang itu, lalu menariknya dengan tenaga raksasa. Mata biru wanita itu memancarkan kemurkaan, giginya yang putih terkatup geram, sedangkan pipinya yang pucat merah padam penuh nafsu. Sedangkan Count… tak pernah kubayangkan ekspresi dendam dan kemarahan sehebat itu. Matanya benar-benar berapi-api. Warna merah di mata itu mengerikan, seolah-olah api neraka sedang menyala di baliknya. Wajahnya sepucat wajah orang mati, dan garis-garisnya keras seperti kawat yang diregang. Alisnya yang lebat yang hampir bertemu di atas hidungnya, kini kelihatan seperti palang dari logam panas membara. Dengan ayunan tangannya dilemparkannya wanita itu dengan kejam, lalu ia membuat gerakan terhadap yang lain, seolah-olah mendorong mereka mundur! Gerak-89 geriknya sama benar dengan gerakan memerintah yang pernah kulihat digunakannya terhadap serigala-serigala. Dengan suara rendah yang nyaris berupa bisikan, namun terasa seperti ledakarT~yang membelah udara dan bergema di seluruh ruangan itu, ia berkata, “Berani benar kalian menyentuhnya! Berani sekali kalian datang melihat dia, padahal sudah ku-larang. Ayo, kembali! Laki-laki ini milikku! Awas, kalau kalian berani mengganggunya, kalian akan berurusan denganku!” Gadis pirang itu menantangnya dengan tertawa genit. Ia berbalik dan menjawab, “Kau sendiri tak pernah memberikan cinta. Kau mengenal cinta!” Kedua temannya membenarkan, dan terdengarlah suara tawa riang, keras, dan tak berjiwa di seluruh ruangan itu. Kedengarannya seperti hantu yang sedang bersuka ria. Aku serasa hampir pingsan mendengarnya. Lalu Count berbalik, dan setelah memandangi wajahku, ia berbisik dengan suara halus, “Oh, aku juga bisa memberikan cinta. Kalian tentu ingat masa yang lalu, bukan? Nah, sekarang kujanjikan pada kalian, bila aku sudah puas dengan dia, kalian boleh mengecupnya sepuas-puasnya. Sekarang pergilah! Aku harus membangunkannya, karena kami harus bekerja.”
“Apakah kami takkan mendapat apa-apa malam ini?” tanya salah seorang di antara mereka, sambil tertawa dengan suara rendah dan menunjuk ke arah suatu bungkusan yang tadi dilemparkan.Count 90 ke lantai. Bungkusan itu tampak bergerak-gerak, seolah-olah berisi sesuatu yang hidup. Sebagai jawaban, Count mengangguk. Salah seorang dari wanita itu melompat ke depan dan membukanya. Kalau telingaku tidak menipuku, terdengar bunyi napas tersentak dan rintihan halus, seperti suara anak kecil yang setengah disumbat. Ketiga wanita itu mengerumuni bungkusan tersebut. Aku merasa amat ngeri. Tapi waktu kulihat, mereka sudah menghilang dengan bungkusan mengerikan itu. Tak ada pintu di dekat mereka, dan mereka tak mungkin melewati aku tanpa terlihat. Tapi mereka seperti sirna begitu saja dalam cahaya bulan, dan agaknya keluar lewat jendela, karena di luar kulihat sosok-sosok mereka yang samar-samar itu sesaat, dan kemudian hilang sama sekali. Rasa takut yang amat hebat menyerangku, dan aku pun pingsan. TAIVJANJ V\? > Ś _ “Jay^ Scanned book (sbook) ini hanya untuk koleksi pribadi. DILARANG MENGKOMERSILKAN atau hidup anda mengalami ketidakbahagiaan dan ketidakberuntungan
BBSC 91 TAMAN J8A<- . 4\ ” JAYA OL.KAUC* . YOGiAKAifiA Bab 4 CATATAN HARIAN JONATHAN HARKER (lanjutan) Aku terbangun di kamarku sendiri. Sekiranya itu bukan mimpi, pasti Count yang telah membawaku kemari. Aku mencoba untuk menganggap biasa hal itu, tapi aku tak berhasil meyakinkan diriku sendiri. Yang jelas ada beberapa bukti kecil, seperti umpamanya, pakaianku terlipat rapi dan diletakkan di dekatku dengan cara yang bukan merupakan kebiasaanku. Arlojiku tidak diputar, padahal aku sudah terbiasa memutarnya sebelum tidur, dan banyak lagi hal-hal kecil lainnya. Tapi semua itu tak bisa dijadikan pegangan, karena mungkin itu merupakan bukti bahwa pikiranku sedang tidak normal, dan entah karena apa, aku jelas dalam keadaan kacau. Aku harus mencari bukti. Tapi ada satu hal yang membuatku senang. Kalaupun Count yang membawaku dan mengganti pakaianku, dia pasti melakukannya dengan tergesagesa, karena isi sakuku masih lengkap. Aku yakin, bila ia melihat catatan harianku, pasti benda itu akan diambil dan 92 dimusnahkannya: Aku melayangkan pandang. Ruangan ini, yang meskipun sangat mengerikan, kini terasa sebagai tempat perlindungan bagiku, karena tak ada yang
lebih mengerikan daripada wanita-wanita menakutkan itu… wanita-wanita yang sedang menunggu kesempatan untuk mengisap darahku. 78 Mei.Aku turun lagi untuk melihat kamar itu di siang hari, karena aku harus tahu kebenarannya. Waktu aku tiba di ambang pintu di puncak tangga, kudapati pintunya tertutup. Kelihatannya, pintu itu telah dipaksakan pada kusennya, hingga ada bagian kayunya yang pecah. Kulihat bahwa gemboknya tidak dikatupkan, tapi pintu itu dikunci dari dalam. Aku takut pengalamanku semalam bukan mimpi, dan aku harus bertindak berdasarkan dugaan itu. 19 Mei.Aku benar-benar tak berdaya dalam kesulitanku ini. Semalam Count telah menyuruhku menulis tiga pucuk surat dengan nada yang amat manis. Satu surat harus menyatakan bahwa aku akan berangkat pulang. Dalam surat yang satu lagi harus kutulis bahwa aku akan berangkat keesokan harinya, setelah surat itu kutulis. Sedangkan dalam surat ketiga, aku sudah berangkat dari puri dan sudah tiba di Bistritz. Ingin sekali aku melawan perintahnya, tapi aku merasa bahwa dalam keadaanku sekarang, gila rasanya bila aku terang-terangan bertengkar de— 93 ngan Count, sebab aku berada dalam kekuasaannya sepenuhnya. Bila aku menolak, ia pasti merasa curiga dan marah. Ia menyadari, sudahbanyak yang kuketahui, dan karenanya aku harus mati, sebab aku bisa berbahaya baginya. Maka satu-satunya kesempatanku adalah mengulur-ulur waktu. Mungkin akan ada kesempatan bagiku untuk melarikan diri. Di matanya kulihat kemarahan seperti yang kulihat saat ia melemparkan wanita pirang itu. Dijelaskannya bahwa di tempat ini jarang ada pos, dan tak tetap datangnya, dan kalau surat-surat itu kutulis sekarang, temantemanku tentu akan merasa tenang. Diyakinkannya padaku dengan sangat mengesankan, bahwa surat-surat itu akan tersimpan di Bistritz, dan bila kemudian ternyata aku harus memperpanjang masa tinggalku di tempat itu, ia akan memusnahkan surat-surat tersebut. Bila aku melawannya, pasti akan menimbulkan kecurigaan. Oleh karenanya, aku pura-pura setuju dengan rencana-rencananya, dan kutanyakan tanggal-tanggal yang harus kucantumkan pada surat-surat itu. Ia menimbang-nimbang sebentar, lalu berkata, “Yang pertama harus bertanggal 12 Juni, yang kedua tanggal 19 Juni, dan yang ketiga tanggal 29 Juni.” Sekarang aku tahu tinggal berapa lama lagi hidupku. Tuhan, tolonglah aku! 28 MeiAda kesempatan untuk melarikan diri, atau setidaknya untuk mengirim berita ke rumah. 94 Ada serombongan orang Szgany yang datang ke puri, dan berkemah di pekarangan. Orang Szgany adalah kaum gipsi. Aku punya catatan tentang mereka dalam bukuku. Mereka bersekutu dengan kaum gipsi lainnya di dunia, tapi di daerah ini, mereka merupakan orang-orang aneh. Ada beribu-ribu orang gipsi hidup di Hungaria dan Transylvania, dan semuanya hidup di luar undang-undang. Biasanya mereka tunduk di bawah seorang bangsawan besar atau boyar, dan menamakan diri mereka seperti kaum bangsawan itu. Mereka tak kenal takut, tak beragama, dan hanya percaya pada takhayul. Mereka memakai bahasa tersendiri, yaitu suatu cabang bahasa Rumania. Aku akan menulis beberapa pucuk surat ke Inggris, dan akan mencoba meminta bantuan mereka untuk mengeposkannya. Aku sudah bercakap-cakap dengan mereka lewat jendela, untuk memulai perkenalan. Mereka membuka topi dan memberi hormat dengan isyarat-isyarat. Tapi aku tak mengerti. Aku juga tak memahami bahasa yang mereka ucapkan…. Surat-surat itu sudah kutulis. Surat untuk Mina kutulis dengan huruf steno. Mr. Hawkins hanya kuminta untuk menghubungi Mina. Kepada Mina kujelaskan keadaanku,
tapi tanpa hal-hal yang mengerikan, karena aku masih takut kalau-kalau kejadiankejadian itu hanya khayalanku saja. Bila semua yang tersimpan dalam hatiku kukemukakan padanya, ia akan sangat terkejut dan ketakutan. Sekiranya surat itu tak sampai, maka Count tetap 95 takkan tahu rahasiaku, atau seberapa banyak yang kuketahui…. Surat-surat sudah kuberikan. Kulemparkan melalui jeruji besi jendela kamarku dengan kusertai uang. Kubuat isyarat-isyarat sebisaku, untuk meminta agar mereka mengeposkannya. Laki-laki yang mengambilnya menekankannya ke dadanya, lalu membungkuk dan menyimpannya di topinya. -ť Aku tak bisa berbuat lebih dari itu. Aku menyelinap masuk kembali ke ruang kerja, lalu membaca. Karena Count tidak masuk, aku menulis di sini…. Count datang. Ia duduk di sampingku. Sambil membuka dua pucuk surat, ia berkata dengan suara yang amat halus, “Orang-orang Szgany itu memberikan ini pada saya. Meskipun saya tak tahu dari mana datangnya surat-surat ini, saya pasti akan mengurusnya. Lihat!” Ia pasti sudah membacanya. “Yang satu ini dari Anda, kepada sahabat saya Peter Hawkins. Yang satu lagi ini…” Dilihatnya huruf-huruf yang aneh waktu dibukanya amplop itu. Wajahnya1 menjadi gelap, dan matanya bersinar jahat… “Yang ini adalah barang tak berguna, suatu penghinaan terhadap persahabatan dan kebaikan hati orang! Surat ini tidak ditandatangani. Jadi pasti tak berguna bagi kita.” Lalu dengan tenang dipegangnya amplop itu beserta isinya di atas nyala api lampu, sampai habis terbakar. Lalu katanya lagi, “Surat yang ditujukan pada Hawkins itu tentu akan saya kirimkan, karena itu dari Anda. Saya 96 menghormati surat-surat Anda. Maafkan saya, Sahabat, karena tanpa sepengetahuan Anda, surat itu telah saya buka. Silakan Anda ganti surat itu.” Diulurkannya surat itu padaku, dan sambil membungkuk sopan diberikannya sebuah amplop bersih. Aku hanya bisa mengganti amplop itu, dan memberikannya padanya tanpa berkata apa-apa. Waktu ia keluar dari kamar, kudengar kunci diputar perlahan-lahan. Aku segera pergi ke pintu itu, dan membukanya. Pintu itu terkunci. Ketika satu-dua jam kemudian Count masuk, aku terbangun. Rupanya aku tertidur di sofa. Ia sopan sekali, dan sangat ceria. Melihat bahwa aku baru bangun tidur, ia berkata, “Oh, rupanya Anda lelah? Pergilah tidur. Anda bisa beristirahat sepenuhnya di sana. Mungkin malam ini saya tak bisa bercakap-cakap dengan Anda, karena banyak sekali pekerjaan saya. Tapi saya harap Anda tidur.” Aku pergi ke kamarku, dan tidur. Dan anehnya, aku tidur tanpa bermimpi. Rasa putus asa membawa ketenangan tersendiri. 31 Mei.Pagi ini, waktu aku bangun, kurencanakan untuk mengambil kertas dan amplop dari tasku sendiri, dan menyimpannya di dalam sakuku, supaya aku bisa menulis bila ada kesempatan. Tapi lagi-lagi aku menemui kejutan. Lagi-lagi aku terperanjat! Semua kertasku lenyapsemua, termasuk catatan catatanku tentang kereta-kereta api, biro— 97 biro perjalanan, surat-surat berharga, pokoknya semua yang akan berguna bagiku bila aku berada di luar puri. Aku duduk dan berpikir sebentar, lalu aku mendapat
gagasan. Kuperiksa dompetku dan lemari pakaian tempatku menyimpan pakaian. Setelan yang kupakai untuk bepergian sudah hilang, juga mantel dan selimut perjalananku. Ku-cari-cari, tapi tak bisa kutemukan. Ini suatu rencana kekejian baru…. 17 Juni.Pagi ini aku duduk di tepi tempat tidurku, memutar otak. Tiba-tiba di luar kudengar bunyi lecutan cemeti dan kelepak kaki kuda menaiki lorong berbatu di luar pekarangan. Dengan gembira aku pergi ke jendela. Kulihat dua buah gerobak barang yang besar-besar, masing-masing ditarik oleh delapan ekor kuda tegap. Gerobak-gerobak itu masuk ke pekarangan. Di atas setiap pasang kuda duduk seorang Slowak bertopi lebar, berikat pinggang besar berhiaskan paku, berbaju kulit yang kotor, dan bersepatu lars tinggi. Mereka juga memegang tongkat panjang. Aku berlari ke pintu. Aku akan turun dan mencoba keluar lewat ruang depan. Kupikir ruangan itu pasti dibuka untuk menerima mereka. Aku ingin menggabungkan diri dengan mereka. Tapi lagi-lagi aku terkejut. Pintu kamarku terkunci dari luar. Lalu aku berlari ke jendela, dan berteriak memanggil mereka. Mereka mendongak, melihat padaku dengan pandangan bodoh, lalu menunjuk. Tapi pada saat itu, pemimpin orang-orang Szgany 98 keluar. Melihat mereka menunjuk ke jendelaku, pemimpin itu mengatakan sesuatu, dan mereka pun tertawa. Sejak itu, semua usahaku, semua teriakanku untuk meminta belas kasihan atau perm honanku yang menyedihkan sekalipun, tak dapat membuat mereka menoleh padaku. Dengan tegas mereka membuang muka. Gerobak-gerobak barang itu berisi peti-peti besar berbentuk segi empat, dengan gagang dari tali-tali besar. Agaknya peti-peti itu kosong, terbukti dari mudahnya orang-orang Slowak itu mengangkatnya, dan bunyi hampa yang terdengar waktu peti-peti itu dipindahkan dengan kasar. Setelah semua peti diturunkan dari gerobak, dan disusun di suatu sudut pekarangan, orang-orang Slowak itu diberi uang oleh si orang Szgany. Orang-orang Slowak meludahi uang itu, agaknya supaya membawa keberuntungan. Lalu dengan santai mereka naik ke kuda masing-masing, dan sebentar kemudian kudengar lecutan cemeti yang makin lama makin menghilang di kejauhan. 24 Juni, sebelum pagi.Semalam Count cepat meninggalkan aku, dan mengurung diri di kamarnya sendiri. Segera setelah merasa berani, aku berlari menaiki tangga yang berkelok-kelok, dan melihat ke luar lewat jendela yang menghadap ke selatan. Kupikir aku akan mengamati gerak-gerik Count, karena pasti ada sesuatu yang sedang terjadi. Orang-orang Szgany telah ditempatkan di suatu bagian di puri, dan sedang mengerjakan se-99 suatu. Aku yakin itu, karena sekali-sekali kudengar bunyi cangkul dan penggali lamat-lamat dari jauh. Apa pun yang sedang mereka kerjakan, pasti bertujuan keji dan jahat Setelah berada di jendela kira-kira kurang dari setengah jam, kulihat sesuatu keluar dari kamar Count Aku mundur, dan kuperhatikan baik-baik. Maka kulihat ia keluar. Aku terkejut sekali, karena ia memakai setelanku yang kupakai waktu datang kemari, sedang di bahunya tergantung tas mengerikan yang dibawa pergi oleh tiga wanita hantu itu. Tak diragukan lagi apa tujuan kepergiannya, tapi kini ia mengenakan pakaianku! Jadi itulah rencana jahatnya yang baru. Yaitu supaya orang mengira bahwa yang mereka lihat adalah aku, supaya ia bisa menunjukkan bukti bahwa orang-orang di kota-kota atau desa-desa telah melihatku mengeposkan sendiri surat-suratku. Juga, supaya bila ia melakukan kejahatan, orang-orang setempat akan menudingku. Aku marah sekali memikirkan bahwa hal itu sampai bisa terjadi, sedangkan aku terkurung saja di sini. Jelas-jelas terpenjara, tapi tanpa perlindungan undangundang, yang sebenarnya bahkan menjadi hak dan hiburan bagi seorang penjahat sekalipun.
Kupikir aku akan menunggu sampai Count kembali. Lama aku duduk menunggu dengan tabah, di dekat jendela. Waktu itu tampak olehku titik-titik kecil yang aneh, seolah-olah mengapung di cahaya bulan. Titik-titik itu menyerupai debu yang amat 100 halus, berputar-putar, lalu menyatu menjadi gumpalan-gumpalan kabur Aku memperhatikan dengan nyaman, semacam ketenangan menyelubungi ku. Aku bersandar pada lekuk tembok dengan posisi yang lebih nyaman, supaya aku bisa lebih menikmati gerakan-gerakan di angkasa itu. Tapi aku dikejutkan oleh sesuatu. Terdengar suara anjing-anjing melolong dengan suara rendah dan memilukan, jauh di suatu tempat di lembah di bawah, yang tak kelihatan olehku. Suara itu terdengar makin nyaring di telingaku, sedangkan gumpalan-gumpalan debu yang mengapung di angkasa itu seolah-olah menari-nari di cahaya bulan, dan berubah-ubah bentuknya mengikuti suara itu. Kurasakan diriku berjuang untuk bangun memenuhi panggilan naluriku. Ya, bahkan seluruh jiwaku serasa berjuang, sedang kesadaranku yang tinggal setengah, berjuang pula untuk memenuhi panggilan itu. Rupanya aku sedang disihir! Debudebu itu menari-nari, makin lama makin cepat. Sinar bulan tampak bergetar waktu melewati diriku, bergerak ke arah sesuatu yang gelap ke tempat jauh. Makin lama makin banyak debu yang berkumpul, sampai menjadi bentuk hantu yang samar-samar. Lalu aku terkejut. Aku benar-benar bangun, dan mendapatkan kembali kesadaranku sepenuhnya. Aku pergi, berlari sambil berteriak-teriak, menghindari tempat itu. Bentuk hantu dalam sinar bulan yang perlahan-lahan menjadi nyata itu ternyata adalah tiga sosok wanita hantu yang pernah ingin mengisap darahku. Aku lari, dan baru me-101 rasa agak aman setelah tiba di kamarku sendiri, di mana tak ada sinar bulan, dan lampu bersinar terang. Setelah beberapa jam berlalu, kudengar sesuatu bergerak di kamar Count. Terdengar suara tangisan yang cepat-cepat disekap. Lalu menyusul suatu kesepian yang mendalam dan mengerikan, hingga membuat tubuhku menggigil. Dengan hati berdebar kucoba membuka pintu, tapi aku terkunci di dalam penjaraku, dan tak bisa berbuat apa-apa. Aku pun duduk dan benar-benar menangis. Saat itu, kudengar suatu suara di pekarangan suatu tangisan sedih seorang wanita. Aku berlari ke jendela. Kubuka jendela itu, lalu melihat ke luar lewat jerujinya. Benar, di sana ada seorang wanita berambut kusut yang meletakkan tangannya di dada. Kelihatannya ia keletihan karena berlari. Ia bersandar pada sudut gerbang. Waktu melihat wajahku di jendela, ia menghambur ke depan, lalu berteriak dengan suara yang mengandung ancaman, “Monster, kembalikan anakku!” Ia menjatuhkan dirinya, berlutut, dan sambil mengangkat tangannya, menyerukan kata-kata yang sama dengan nada yang membuat hatiku pedih. Lalu ia menarik-narik rambutnya dan memukuli dadanya, tanpa merasa sakit akibat per buatanperbuatannya itu. Akhirnya ia menjatuhkan diri ke tanah, dan meskipun aku tak bisa melihatnya, aku bisa mendengar pukulan-pukulannya pada pintu pagar dengan tangan telanjang. 102 Dari suatu tempat yang tinggi dan jauh, mungkin di menara, kudengar suara Count memanggil sesuatu dengan bisikan yang terdengar keras dan nyaring. Panggilannya dijawab oleh suara lolong serigala-serigala dari seluruh penjuru. Tak lama kemudian, segerombolan serigala datang menyerbu, bagaikan air yang menerobos keluar dari bendungan yang terbuka. Melalui jalan masuk yang lebar, mereka menghambur ke pekarangan. Jeritan wanita itu tak terdengar lagi, dan lolong serigala-serigala itu pun hanya sebentar. Tak lama kemudian, binatang-binatang
itu pergi lagi, satu demi satu, sambil menjilat-jilat lidah. Aku tak bisa merasa kasihan pada wanita itu, karena aku sudah tahu apa yang terjadi atas diri anaknya. Dan ibu itu memang sebaiknya mati saja. Apa yang akan kulakukan? Apa yang bisa kulakukan? Bagaimana aku bisa melarikan diri dari tempat yang pada malam hari penuh dengan kemurungan dan ketakutan ini? 25 Juni, pagi hari.Tak ada orang yang menyadari betapa manis dan betapa lega rasa hati dan mata kita bila hari sudah pagi, bila kita tak pernah frnenderita malam harinya. Waktu matahari sudah demikian tinggi pagi ini, hingga mengenai puncak gerbang besar di seberang jendela kamarku, tampak olehku bahwa titik tertinggi puncak yang tersentuh oleh matahari itu menyerupai burung surga yang sedang hinggap. Rasa takutku sirna seketika, seperti zat cair yang menguap dalam kehangatan. 103 Aku-harus mengambil suatu tindakan, sementara semangat siang hari ini masih kumiliki Semalam, salah satu dari surat-suratku yang’sudah diberi tanggal sebelumnya dulu diposkan. Itu baru yang pertama dari suatu seri yang mematikan, yang akan menghapus semua bekas hidupku di bumi ini. Aku tak mau memikirkan hal itu. Aku harus berbuat sesuatu! Selama ini, di tengah malam aku selalu tersiksa dan terancam, atau berada dalam bahaya mengerikan. Aku tak pernah melihat Count di siang hari. Mungkinkah karena ia tidur waktu orang-orang bangun, sedangkan bila orang-orang tidur ia bangun? Kalau saja aku bisa masuk ke dalam kamarnya! Tapi rasanya tak mungkin. Pintunya selalu terkunci, hingga tak ada jalan bagiku. Ada, pasti ada jalan bila aku berani menempuhnya! Kalau raganya bisa pergi ke tempat-tempat tertentu, mengapa tubuh orang lain tak bisa? Aku sendiri pernah melihatnya merayap keluar dari jendela kamarnya. Mengapa aku tidak menirukan caranya itu, dan masuk ke kamarnya lewat jendela? Kemungkinannya tipis sekali, tapi keperluanku pun mendesak sekali. Aku akan memberanikan diri melakukannya. Paling sial, aku akan mati. Mati sebagai seorang manusia, bukan sebagai seekor anak sapi, dan kehidupan akhirat yang ditakuti mungkin masih terbuka bagiku. Tuhan, bantu aku dalam pekerjaan ini! Selamat tinggal, Mina, bila aku gagal. Selamat 104 tinggal sahabat setiaku yang sekaligus ayah angkatku. Selamat tinggal semua, dan yang terakhir, sekali lagi, Mina! Hari itu juga, beberapa saat kemudian.Aku sudah berusaha, dan dengan bantuan Tuhan, telah kembali dengan selamat ke kamarku ini. Harus kutuliskan semuanya secara terperinci dan berurutan. Waktu keberanianku masih utuh, aku langsung pergi ke jendela di sisi selatan, dan keluar ke birai batu yang sempit, yang terdapat di sekeliling bangunan di sisi sebelah sini. Batunya besar dan kasar, sedang bahan perekat di antara batubatu itu telah hilang, dengan berlalunya waktu. Kubuka sepatu larsku, lalu kuberanikan diri keluar menempuh jalan berbahaya itu. Sekali aku melihat ke bawah, supaya tidak terkejut bila tiba-tiba terlihat olehku kedalaman yang mengerikan itu. Setelah itu, aku terus berusaha untuk tidak melihatnya. Aku tahu betul arah dan jarak ke kamar Count, dan berusaha mencapainya, mengingat sulitnya kesempatan untuk itu. Aku tidak merasa pusing mungkin karena sangat tegang. Waktu terasa pendek sekali. Aku tiba di ambang jendela, dan kucoba mengangkat daun jendelanya. Aku berdebar-debar sekali waktu membungkuk dan meluncur masuk lewat jendela itu, dengan kaki di depan. Aku melihat ke sekelilingku, mencari Count Tapi aku terkejut bercampur senang, karena ternyata
kamar itu kosong! Di kamar itu tak banyak pe-105 rabotnya, hanya ada beberapa barang,,itu pun kelihatannya tak pernah dipakai. Perabotannya sama jenisnya dengan yang terdapat di kamar-kamar di sebelah selatan, dan semuanya penuh dengan debu. Aku mencari kuncinya-kunci itu tak ada di lubangnyadan tak bisa kutemukan di mana-mana. Satu-satunya yang kutemukan adalah seonggok besar emas di salah satu sudutuang emas bermacammacam jenis, mata uang dari Rumania, Inggris, Austria, Hungaria, Yunani, dan Turki. Semuanya berlapis debu, seolah-olah sudah lama sekali terpendam di dalam tanah. Kulihat bahwa tak satu pun di antaranya yang berumur kurang dari tiga ratus tahun. Ada pula rantai, kalung, dan perhiasan-perhiasan lain, beberapa memakai permata. Semuanya tua dan kotor. Di salah satu sudut kamar itu terdapat sebuah pintu yang kelihatannya berat. Kucoba membuka pintu itu, karena aku tak bisa menemukan kunci kamar maupun kunci depan, yang menjadi tujuan utama pencarianku. Aku harus mengadakan penyelidikan lebih lanjut. Kalau tidak, semua usahaku akan sia-sia. Pintu itu terbuka. Ada jalan melalui sebuah lorong batu, menuju sebuah tangga yang berliku-liku. Tangga itu curam. Aku turun dengan sangat hati-hati, karena tangga-tangga itu gelap, hanya diterangi oleh lubang-lubang kecil pada tembok yang tebal. Di dasar tangga ada sebuah lorong gelap yang menyerupai terowongan. Dari tempat itu tercium bau busuk yang memualkan, bau tanah lama yang baru digali. Waktu aku 106 berjalan di sepanjang lorong itu, bau itu terasa makin dekat dan makin hebat. Akhirnya kutarik sebuah pintu berat Pintu itu terbuka sedikit. Kudapati diriku berada di sebuah kapel tua yang sudah runtuh, yang agaknya dipakai untuk tanah pekuburan. Atapnya sudah rusak, dan pada dua tempat terdapat tangga menuju ruang bawah tanah. Di situ tanahnya baru digali, dan agaknya dimasukkan ke dalam peti besar dari kayu. Peti-peti itu adalah peti-peti yang dibawa oleh orang-orang Slowak beberapa hari yang lalu. Tak ada seorang pun di sekitar tempat itu. Aku mencari jalan keluar lagi, tapi tak kutemukan. Lalu kuteliti setiap jengkal tanah itu, selagi ada kesempatan. Aku bahkan turun ke ruang penyimpanan peti mati yang remang-remang, meskipun aku sangat takut ke sana. Aku mendatangi dua di antara tempat penyimpanan peti itu, tapi aku tak melihat apa-apa, kecuali bekas-bekas peti mati tua dan bertumpuk-tumpuk debu. Tapi di tempat ketiga aku menemukan sesuatu. Di sana, di dalam salah satu peti besar yang berjumlah lima puluh buah, terbaring Count, di atas tanah yang baru digali! Kalau ia belum mati, berarti ia sedang tidur. Aku tak dapat memastikan mana yang benar, karena matanya terbuka dan beku, tapi tidak kaku seperti mata orang yang sudah meninggal. Dan pipinya, meskipun pucat, memberikan kesan pipi orang hidup, sedangkan bibirnya tetap merah. Tapi sama sekali tak ada gerak, nadinya tak ada, tak ada napas dan detak 107 jantung. Aku membungkuk di atas tubuhnya dan mencoba mencari-cari tanda-tanda jk hidupan tapi sia-sia. Ia tak mungkin sudah lama terbaring di situ, karena dalam beberapa jam, bau tanah itu pasti sudah hilang. Di sisi peti itu ada tutupnya, yang di sana-sini dilubangi. Kupikir mungkin kunci-kunci ada padanya, lalu aku mulai memeriksa tubuhnya, mencari kunci-kunci itu. Tapi saat aku berbuat begitu, terlihat olehku matanya. Meskipun mata itu mata yang mati, dan tidak menyadari kehadiranku di situ, aku melihat pandangan kebencian di dalamnya. Aku jadiketakutan dan lari dari tempat itu. Kamar Count pun langsung kutinggalkan lewat jendela. Aku merayap lagi di tembok puri itu. Begitu tiba di kamarku, kuempaskan tubuhku dengan terengah-engah ke tempat tidur, dan aku mencoba berpikir…. 29 Juni.Hari ini adalah tanggal suratku yang terakhir, dan Count’telah mengambil langkah-langkah untuk membuktikan bahwa tanggal itu memang benar, karena kulihat lagi ia meninggalkan puri lewat jendela yang sama, juga dengan memakai pakaianku. Sementara ia menuruni tembok dengan cara seperti kadal, aku merasa alangkah baiknya kalau aku memiliki pistol atau senjata lain yang
mematikan, supaya aku bisa memusnahkannya. Tapi kusadari pula bahwa senjata buatan manusia macam apa pun takkan ada pengaruhnya atas dirinya. Aku tak berani menunggu sampai ia kembali, karena aku takut akan melihat tiga wanita 108 bersaudara yang mengerikan itu lagi. Jadi aku kembali ke ruang perpustakaan, dan membaca di sana sampai aku tertidur. Aku terbangun karena menyadari kehadiran Count yang memandangiku dengan tatapan kejam. Waktu dilihatnya aku sudah bangun, ia berkata, “Sahabat, besok kita sudah harus berpisah. Anda akan kembali ke negeri Inggris yang indah itu, sedangkan saya akan menjalankan suatu tugas. Mungkin kita takkan pernah bertemu lagi. Surat Anda ke Inggris sudah dikirimkan. Besok saya tidak akan berada di sini, tapi semuanya sudah akan siap untuk perjalanan Anda. Pagipagi, orang-orang Szgany akan datang. Mereka ada pekerjaan di sini. Beberapa orang Slowak juga akan datang. Setelah mereka pergi, kereta saya akan datang menjemput Anda, dan membawa Anda pergi samť pai ke Celah Borgo, lalu di sana Anda akan menemukan kereta dari Bukovina yang menuju Bistritz. Tapi saya berharap masih bisa bertemu dengan Anda di Puri Dracula ini.” Aku curiga padanya, dan memutuskan untuk menguji ketulusannya. Kelulusan! Sungguh ironis rasanya menuliskan-perkataan tersebut sehubungan dengan monster seperti itu. Maka aku langsung saja bertanya, “Mengapa saya tak boleh berangkat malam ini?” “Karena kusir dan kuda-kuda saya sedang pergi menjalankan tugas, Saudara.” “Tapi saya bisa berjalan kaki. Saya ingin segera berangkat.” Ia tersenyum lembut dan halus, tapi 109 seperti setan, hingga aku tahu bahwa ada tipu muslihat di balik kehalusannya itu. Katanya, “Bagaimana dengan barang-barang Anda?” “Saya tak peduli barang-barang itu. Saya bisa minta barang-barang itu dikirim lain kali.” Count bangkit, dan berkata dengan amat sopan dan manis, hingga aku merasa perlu menggosok-gosok mataku, karena rasanya sungguhan sekali. “Orang Inggris mempunyai suatu ungkapan yang saya sukai, karena intinya sama dengan semangat yang berlaku bagi kaum boyar. Bunyinya, ‘Sambutlah tamu yang akan datang, dan percepatlah keberangkatan dia yang ingin pulang.’ Mari ikut saya, sahabat muda. Anda takkan berada di rumah ini lebih lama daripada yang Anda inginkan, meskipun saya sedih karena Anda mendadak begitu ingin pergi dari sini. Mari!” Dengan anggun fa berjalan di depanku, dengan membawa lampu, menuruni tangga, dan melewati sepanjang lorong. Tiba-tiba ia berhenti. “Dengar!” Dari tempat yang dekat, terdengar lolong serigala yang banyak jumlahnya. Suara itu seolah-olah muncul begitu Count mengangkat tangannya, sama benar dengan musik dari suatu orkes besar yang langsung mulai dengan terangkatnya tongkat di tangan dirigen. Setelah berhenti sebentar, ia berjalan lagi dengan anggun ke arah pintu. Diangkatnya palang pintu yang berat itu, dibukanya kaitan rantainya, lalu pintu itu didorongnya. Aku terkejut sekali melihat bahwa pintu itu
110 ternyata tak terkunci. Aku curiga. Kulihat ke sekelilingku, tapi aku sama sekali tak melihat kunci.
Begitu pintu mulai terbuka, lolong serigala di luar makin nyaring dan marah. Binatang-binatang itu masuk lewat pintu yang terbuka, dengan rahang merah dan gigi terus mengunyah. Tampak telapak kaki yang bercakar tajam waktu mereka melompat. Waktu itu, tahulah aku bahwa sia-sia berjuang melawan Count, Dengan sekutu-sekutu seperti ini di bawah perintahnya, a