0793: H. Iridiastadi & E. Izazaya
TR-51
KAJIAN TAKSONOMI KECELAKAAN KERETA API DI INDONESIA MENGGUNAKAN HUMAN FACTORS ANALYSIS AND CLASSIFICATION SYSTEM (HFACS) Hardianto Iridiastadi∗ dan Eizora Izazaya Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Bandung Jl. Ganeca 10 Bandung 40132 Telepon (022) 2508124 ∗
e-Mail:
[email protected]
Disajikan 29-30 Nop 2012
ABSTRAK Keselamatan perkeretaapian di Indonesia masih membutuhkan perhatian serius, dilihat dari tingginya angka kecelakaan setiap tahunnya. Dalam tahun 2004-2010, terjadi lebih dari 700 Peristiwa Luar Biasa Hebat (PLH), di mana 75% merupakan peristiwa anjlok/terguling, 5% tabrakan antar KA, dan 20% tabrakan antara KA dengan kendaraan bermotor di persimpangan sebidang. Penelitian ini bertujuan untuk memahami berbagai faktor penyebab yang berkontribusi terhadap terjadinya kecelakaan. Tujuan penelitian dicapai dengan memanfaatkan metodologi Human Factors Analysis and Classification System for Railroad Industry (HFACS-RR) dan 35 laporan investigasi kecelakaan dari KNKT. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 183 faktor yang berkaitan dengan terjadinya kecelakaan, yang masuk dalam kategori preconditions for operator acts (44%), organizational factors (27%), supervisory factors (18%), operator acts (10%), dan outside factors (1%). Penelitian ini membuktikan, walaupun masinis memegang peranan penting dalam menjalankan kereta api, kecelakaan dapat terjadi tidak semata-mata karena kesalahan masinis saja, tetapi terdapat faktor lain yang berkontribusi lebih besar seperti faktor organisasi, kondisi lingkungan, teknologi yang digunakan, maupun kondisi dari masinis yang terganggu akibat sistem kerja yang buruk. Dengan demikian, dibutuhkan perbaikan pada berbagai aspek dan juga pendekatan yang lebih spesifik untuk membahas kategori-kategori penting yang terdapat pada HFACS-RR. Kata Kunci: Keselamatan transportasi, kecelakaan kereta api, PLH, faktor penyebab, HFACS-RR
I.
PENDAHULUAN
Kereta api merupakan alat transportasi yang telah ada di Indonesia sejak zaman penjajahan Belanda. Perkeretaapian di Indonesia terus berkembang, mulai dari panjang rel, pertumbuhan jumlah gerbong, pertumbuhan jumlah stasiun, serta produksi angkutan penumpang dan barang. Dengan biaya yang relatif lebih murah dan waktu yang lebih cepat untuk jarak menengah, kereta api juga masih menjadi pilihan baik dari kalangan ekonomi rendah, menengah, sampai atas. Berdasarkan data statistik yang dihimpun Direktorat Jenderal Perkeretaapian,[1] sejak tahun 2006, penumpang kereta api berjumlah di atas 150 juta, dan sebagian besar berada di Pulau Jawa. Pada tahun 2011 sendiri sebagai contoh, 140.940.000 penumpang berada di Pulau Jawa, sedangkan 4.732.000 lainnya berada di Pulau Sumatera. Proporsi yang serupa juga terjadi pada tahun-tahun sebelumnya, di mana jumlah penumpang sebagian besar berada di Pulau Jawa. Menurut Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2007,
kereta api memiliki keunggulan khusus, salah satunya yaitu mempuanyai faktor keamanan yang tinggi. Namun, keunggulan ini tidak selamanya sesuai dengan kenyataan yang ada, melihat masih banyaknya kecelakaan yang terjadi. Dalam kurun waktu 2004-2010 terdapat setidaknya 700 Peristiwa Luar Biasa Hebat (PLH), di mana 75% merupakan kejadian anjlog/terguling, 5% merupakan tumburan antar KA, dan sisanya merupakan tabrakan kereta dengan kendaraan bermotor pada perlintasan sebidang. Dan dalam rentang waktu tersebut, PLH ini telah memakan 367 korban jiwa, 654 orang luka berat, dan 607 orang luka ringan. Di tahun 2012 sendiri juga telah terjadi beberapa kecelakaan fatal, seperti tumburan antar KA babaranjang yang terjadi di Muara Enim dan kejadian anjlok yang dialami oleh KRL di Stasiun Cilebut maupun yang dialami oleh KA Prambanan Ekspres. Melihat angka dan data kecelakaan ini, perlu perhatian lebih untuk mengetahui faktor-faktor penyebab yang berkontribusi terhadap terjadinya berbagai kecelakaan tersebut. Prosiding InSINas 2012
0793: H. Iridiastadi & E. Izazaya
TR-52 Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi bahkan mengeliminasi kecelakaan yang mungkin terjadi yaitu dengan melakukan upaya investigasi. Investigasi kecelakaan merupakan upaya kualitatif yang penting dilakukan guna memahami dan mengelola keselamatan transportasi.[2] Baysari[3] juga menyatakan bahwa untuk menghindari ataupun mengurangi angka kecelakaan, yang perlu dilakukan yaitu dengan mengurangi kemungkinan terjadinya kesalahan manusia, atau membuat sistem yang lebih memberikan toleransi terhadap terjadinya kesalahan manusia. Langkah pertama dalam melakukan upaya ini yaitu dengan melakukan identifikasi terhadap kesalahan yang sering muncul, sehingga pada akhirnya dapat dikembangkan strategi pencegahan ataupun mitigasi. Dalam beberapa tahun terakhir, penyelidikan terhadap penyebab kecelakaan tidak lagi hanya berfokus pada personal approach yang berujung pada pelimpahan kesalahan kepada operator, tetapi telah beralih pada systematic approach yang juga menganalisis faktor-faktor lain yang berkontribusi terhadap terjadinya kecelakaan atau faktor-faktor yang mendukung terjadinya kesalahan manusia atau human error. Human Factors Analysis and Classification System (HFACS) merupakan salah satu metode analisis human error dengan pendekatan sistematik untuk mengetahui penyebab utama dari terjadinya berbagai kecelakaan. Metode ini pertama sekali dikembangkan oleh Shappell & Wiegmann,[4] dengan berdasarkan pada model swiss cheese yang diperkenalkan oleh James Reason pada tahun 1990.[5] Menurut model swiss cheese, sebuah kecelakaan terjadi tidak hanya disebabkan karena kesalahan operator (unsafe acts) saja, tetapi juga mengkaji bahwa dibaliknya terdapat serangkaian faktor-faktor lain, yang dibagi menjadi preconditions for unsafe acts, unsafe supervision, dan organizational influences. Pada awalnya, HFACS banyak dimanfaatkan pada lingkungan penerbangan.[6–11] Namun karena sifatnya yang umum, metode ini kemudian dapat dikembangkan dan dimodifikasi untuk membantu dalam menginvestigasi kecelakaan di lingkungan transportasi lainnya. Beberapa penelitian sebelumnya yang berhasil mengembangkan metode analisis HFACS seperti pengembangan HFACS menjadi HFACS-RR yang digunakan sebagai metode analisis human error pada industri kereta api di Amerika Serikat.[2] Celik & Cebi[12] juga memanfaatkan dan memodifikasi HFACS untuk menginvestigasi kecelakaan pelayaran sehingga dapat dilakukan analisis kuantifikasi terhadap faktor terbesar penyebab kecelakaan pelayaran. HFACS juga dapat digunakan untuk menganalisis terjadinya kecelakaan pertambangan.[13] Baysari et al.[3] juga menggunakan metode ini untuk memahami kontribusi dari faktor manusia terhadap berbagai kecelakaan kereta api di Australia.
Tingginya angka kecelakaan kereta api di Indonesia, yang mengakibatkan banyak korban jiwa maupun finansial, menandakan bahwa belum diperolehnya pemahaman yang mendalam mengenai berbagai faktor yang dapat menyebabkan terjadinya berbagai kecelakaan ini. Untuk dapat lebih mendalami permasalahan ini, salah satu metode sistematik yang dapat digunakan yaitu HFACS-RR, yang telah dikembangkan khusus untuk kasus perkeretaapian. Apabila berhasil diidentifikasi apa yang menjadi permasalahan mendasar dibalik terjadinya berbagai kecelakaan, maka dapat dapat dilakukan upaya investigasi yang lebih mendalam untuk mencari akar permasalahan yang terjadi. Dengan demikian dapat pula disusun langkah-langkah strategis maupun teknis untuk mencegah dan mengurangi terjadinya kecelakaan, yang pada akhirnya dapat meningkatkan keselamatan perkeretaapian di Indonesia.
II.
METODOLOGI
Investigasi dilakukan terhadap 35 laporan investigasi kecelakaan kereta api yang terjadi antara tahun 2001-2010 yang dirilis oleh KNKT. Laporan ini terdiri dari 18 kejadian anjlog, 11 kejadian tumburan antar kereta, 2 kejadian tabrakan kereta dengan kendaraan bermotor, dan 4 kejadian lain-lain. Pada laporan investigasi ini terdapat informasi atau data-data faktual kecelakaan, sehingga kemudian dapat ditentukan faktorfaktor yang berkontribusi terhadap terjadinya kecelakaan. Data tambahan juga diperoleh dari KAI maupun dari Direktorat Jenderal Perkeretaapian sehingga diperoleh informasi yang lebih akurat. Selain itu juga dikumpulkan data-data pendukung lain seperti statistik kecelakaan, deskripsi kecelakaan selama sepuluh tahun terakhir, dan data pendukung lainnya, baik dari sumber resmi (KAI, KNKT, dan Direktorat Jenderal Perhubungan) ataupun dari surat kabar. Faktor yang teridentifikasi kemudian diklasifikasikan ke dalam taksonomi HFACS-RR yang telah dikembangkan Reinach & Viale,[2] di mana kerangka ini terbagi menjadi 5 level, yaitu outside factors, organizational factors, supervisory factors, preconditions for operator acts, dan operator acts. Proses klasifikasi dilakukan oleh 3 orang peneliti melalui diskusi, sehingga diperoleh persetujuan dari semua peneliti ketika dilakukan pengklasifikasian. Sebelumnya peneliti telah memiliki pemahaman yang baik mengenai metodologi HFACS ini.
III.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Menggunakan 35 laporan investigasi kecelakaan dari Komisi Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), teridentifikasi 183 faktor penyebab terjadinya kecelakaan. Setelah dikelompokkan menggunakan HFACSRR, diketahui bahwa faktor yang paling besar berkontribusi sebagai penyebab terjadinya kecelakaan masuk Prosiding InSINas 2012
0793: H. Iridiastadi & E. Izazaya ke dalam kategori preconditions for unsafe acts (44%), disusul dengan organizational factors (27%), supervisory factors (18%), operator acts (10%), dan outside factors (1%) (TABEL 1). Angka kecelakaan kereta api di Indonesia masih memprihatinkan. Berbagai upaya telah dilakukan, namun belum dapat menjawab permasalahan yang sebenarnya terjadi. Ini disebabkan salah satunya karena faktor-faktor yang terkait dengan kecelakaan belum dapat tergali ataupun dipahami dengan baik. Sebagai contoh, penerapan jalur ganda tidak akan berpengaruh signifikan mengurangi angka terjadinya PLH apabila permasalahan utamanya terletak pada kelelahan dan kantuk yang dialami masinis. Dari contoh tersebut terlihat bahwa solusi yang bersifat parsial dan tidak memandang permasalahan secara sistematik belum tentu dapat secara signifikan mengurangi jumlah PLH. Untuk seluruh kejadian kecelakaan yang masuk dalam kategori PLH, sebagian besar faktor penyebab terkait kecelakaan masuk dalam level preconditions for operator acts. Dari level ini, faktor teknologi mendominasi karena seringnya terjadi kerusakan pada sarana maupun prasarana, meliputi sistem komunikasi, sistem persinyalan, kerusakan pada petunjuk kecepatan lokomotif, tidak berfungsinya sistem pengereman dengan maksimal, kondisi rel yang tidak baik (kondisi ballast, bantalan, dan alat penambat yang tidak baik), terjadinya genjotan track, keadaan wesel rel yang tidak baik, maupun keusan pada kop rel. Kerusakan pada sarana maupun prasarana ini mengakibatkan masinis tidak dapat memperkirakan berapa kecepatan kereta saat melewati sinyal maupun melewati rel dalam kondisi tidak baik, tidak dapat berkoordinasi dengan PK maupun PPKA untuk mengetahui persilangan yang terjadi, dan dapat memberikan kesalahpahaman antar personil yang terlibat operasi. Faktor teknologi menjadi masalah terbesar pada perkeretaapian Indonesia, terutama dari segi perawatan sarana maupun prasarana. Hidayat[14] menyatakan bahwa perawatan sarana maupun prasarana oleh KAI memang lemah dilihat dari metode, fasilitas, maupun dari sumber daya manusia atau teknisi perawatan tersebut. Salah satu masalah utama yang dialami oleh PT KAI yaitu penundanaan dana untuk pemeliharaan. Sebagai contoh, pada tahun 2011, dana pemeliharaan sarana dan prasarana kereta api senilai total Rp. 17,4 triliun terpaksa ditunda, sedangkan di lain sisi kebutuhan pemeliharaan sarana dan prasarana tersebut sangat mendesak, mengingat mayoritas kecelakaan terjadi karena faktor ini. Faktor lain yang juga turut mempengaruhi terjadinya kecelakaan terutama tumburan antar KA yaitu kelelahan yang dialami oleh masinis, baik itu kelelahan mental maupun fisik, di mana dari 11 laporan kecelakaan setidaknya terdapat 4 laporan yang memba-
TR-53 has hal ini. Pekerjaan sebagai masinis sendiri dinilai tidak terlalu berat apabila dibandingkan dengan pekerjaan mengemudi lainnya, seperti mengemudi bus. Berbeda dengan pengemudi bus yang harus waspada setiap saat dan membutuhkan pengambilan keputusan dan reaksi yang cepat, masinis cenderung santai dalam melakukan pekerjaan, dalam artian kereta yang mereka kendarai telah berada di satu jalur yang ditentukan oleh PK. Dengan demikian masinis hanya bertugas dalam penentuan kecepatan kereta, menaati sinyal dan semboyan, serta berkoordinasi dengan PK maupun PPKA. Namun, hal ini yang mungkin dapat menyebabkan kelelahan bagi masinis, akibat adanya kemonotonan dalam bekerja dan pekerjaan yang monoton ternyata juga membutuhkan konsentrasi yang tinggi.[15] Dunn dan Williamson[16] juga menyatakan bahwa monoton merupakan karakteristik yang melekat pada industri transportasi, termasuk kereta api, yang dapat memberikan dampak negatif terhadap keselamatan, kehandalan, dan efisiensi. Selain itu, kombinasi dari pekerjaan yang monoton dan tuntutan tugas yang rendah dapat menurunkan performansi kerja masinis. Hasil klasifikasi faktor penyebab kecelakaan kereta api di Indonesia tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di Australia. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Baysari dkk.[17] terhadap 53 kasus kecelakaan kereta api dari tahun 1998-2006 menyatakan bahwa sebagian besar faktor penyebab kecelakaan berada pada level organisational influences dan preconditions for unsafe acts. Dapat dilihat bahwa sama halnya dengan di Indonesia, kecelakaan kereta api di Australia hanya sedikit yang disebabkan murni karena kesalahan manusia. Hal ini juga sejalan dengan penelitian terhadap kasus kecelakaan di pertambangan yang dilakukan oleh Lenne dkk.,[18] di mana sebagian besar faktor penyebab utama terjadinya kecelakaan berada pada level preconditions for unsafe acts. Dari sini dapat kita lihat bahwa dalam menginvestigasi kecelakaan yang terjadi tidak dapat diambil jalan pintas langsung melimpahkan kesalahan pada operator, karena setelah dilakukan investigasi menggunakan HFACS ternyata faktor penyebab utama terjadinya kecelakaan berada pada berbagai aspek organisasi. Dengan demikian, upaya perbaikan yang perlu dilakukan juga harusnya berasal dari organisasi terlebih dahulu. Metode taksonomi HFACS sudah banyak sekali digunakan pada lingkungan transportasi, dan HFACS-RR juga sudah disesuaikan dengan kondisi perkeretaapian. Metode taksonomi HFACS telah memberikan informasi penting mengenai seberapa besar tiap level dapat mempengaruhi terjadinya kecelakaan kereta api. Langkah selanjutnya yang perlu dilakukan yaitu melakukan penelitian lanjutan untuk mengkaji tiap-tiap faktor. Selain itu, metode taksonomi ini juga dapat digunakan sebagai kerangka investigasi yang dilakukan Prosiding InSINas 2012
0793: H. Iridiastadi & E. Izazaya
TR-54
TABEL 1: Hasil klasifikasi faktor penyebab kecelakaan ke dalam taksonomi HFACS-RR
Operator Acts KA vs KA Anjlok KA vs Ranmor Lain-lain Jumlah Persentase
16 3 0 0 19 10%
Preconditions for Operator Acts 36 36 2 7 81 44%
Supervisory Factors
Organizational Factors
Outside Factors
20 11 0 2 33 18%
18 23 2 6 49 27%
0 1 0 0 1 1%
oleh KNKT. Hanya saja, dalam penggunaan metode ini, dapat saja ditemui perbedaan hasil klasifikasi oleh setiap analis. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian maupun pengujian lanjutan mengenai validasi terhadap pendefinisian dan jenis kesalahan pada setiap level. Namun, penggunaan metode ini sudah dapat memberikan pencerahan bahwa suatu kejadian tidak hanya terjadi karena kesalahan operator, tetapi juga dipengaruhi faktor-faktor lain seperti kondisi lingkungan kerja, kondisi tubuh masinis, kerja sama atau kordinasi yang kurang baik antara individu yang terlibat, faktor pengawasan dari supervisor yang kurang memadai, adanya kesalahan pada tingkat organisasi, sampai pada faktor-faktor di luar sistem baik itu faktor sosial, politik, hukum, dan lain sebagainya.
IV.
KESIMPULAN
Hasil klasifikasi keseluruhan terhadap 35 laporan investigasi kecelakaan menyatakan bahwa perlu adanya perhatian khusus pada aspek lingkungan kerja masinis (baik itu lingkungan teknologi maupun fisik), kondisi operator akibat beban kerja mental maupun fisik yang terlalu berat, serta faktor crew resource management. Perbaikan dari faktor organisasi juga perlu dilakukan guna memperoleh sistem kerja yang lebih baik dan lebih nyaman bagi seluruh operator kereta api. Menggunakan informasi dari hasil penelitian ini, maka perlu dilakukan beberapa upaya perbaikan yang menyeluruh dan komprehensif untuk meningkatkan keselamatan perkeretaapian di Indonesia. Perlu dilakukan peningkatan kualitas perawatan sarana dan prasarana serta penerapan manajemen kelelahan bagi seluruh operator kereta api. Perbaikan organisasi dan kelembagaan juga perlu dilakukan, agar tidak menjadi aspek yang dapat menyebabkan masinis maupun asisten masinis melakukan kesalahan yang dapat menimbulkan kerugian yang tidak sedikit. Perlu juga dilakukan peningkatan penyelerasan hubungan antara PT KAI sebagai operator perkeretaapian dengan Direktorat Jenderal Perkeretaapian sebagai regulator agar kinerja dan keselamatan perkeretaapian dapat meningkat dan dapat melayani masyarakat sepenuhnya.
Jumlah Faktor Terlibat 90 74 4 15 183 100%
DAFTAR PUSTAKA [1] Direktorat Jenderal Perkeretaapian. (2011), Jumlah kecelakaan kereta api, diambil dari: http://perkeretaapian.dephub.go.id/index.php?option=com content&view=article&id=61&Itemid=62&ffe5d588932e0dd5fc957eca7f6225ad=f12e20efb1d9675047c41d1c57afd366 [2] Reinach, S. & Viale, A. (2006), Application of A Human Error Framework to Conduct Train Accident/Incident Investigation, Journal of Accident Analysis and Prevention, Vol. 38, pp 396 - 406. [3] Baysari, M.T., McIntosh, A.S., & Wilson, J.R. (2008), Understanding the Human Factors Contribution to Railway Accidents and Incidents in Australia, Accident Analysis and Prevention, Vol. 40, pp 1750 1757. [4] Shappell, S.A. & Wiegmann, D.A. (2000), The Human Factors Analysis and Classification System HFACS, Federal Aviation Administration, Office of Aviation Medicine, Washington. [5] Wiegmann, D.A. & Shappel, S.A. (2003), A Human Error Approach to Aviation Accident Analysis, Ashgate Publishing Company, Burlington. [6] Shappell, S.A. & Wiegmann, D.A. (2001), Applying Reason: The Human Factors Analysis and Classification System (HFACS), Human Factors and Aerospace Safety, Vol. 1, pp 59 - 86. [7] Shappell, S.A. & Wiegmann, D.A. (2003), A Human Error Analysis of General Aviation Controlled Flight Into Terrain Accidents Occurring Between 1990-1998, Federal Aviation Administration, Office of Aviation Medicine, Washington. [8] Wiegmann, D., Faaborg, T., Boquet, A., Detwiler, C., Holcomb, K., & Shappell,S. (2005), Human Error and General Aviation Accidents: A Comprehensive, Fine-grained Analysis Using HFACS. Federal Aviation Administration, Office of Aerospace Medicine, Washington. [9] Detwiler, C., Hackworth, C., Holcomb, K., Boguet, A., Pfleiderer, E., Wiegmann, D., & Shappell S. (2006), Beneath the Tip of the Iceberg: A Human Factors Analysis of General Aviation Accidents in
Prosiding InSINas 2012
0793: H. Iridiastadi & E. Izazaya
[10]
[11]
[12]
[13]
[14]
[15] [16]
[17]
[18]
TR-55
Alaska Versus the Rest of the United States, Federal Aviation Administration, Office of Aerospace Medicine, Washington. Shappell, S., Detwiler, C., Holcomb, K., Hackworth, C., Boquet, A., & Wiegmann D.A. (2007), Human Error and Commercial Aviation Accidents: An Analysis Using the Human Factors Analysis and Classification System, Human Factors, Vol. 49, pp 227 - 242. Li, W., Harris, D., & Yu, C. (2008), Routes to Failure: Analysis of 41 Civil Aviation Accidents From the Republic of China Using the Human Factors Analysis and Classification System, Accident Analysis and Prevention, Vol. 40, pp 426 434. Celik, M. & Cebi, S. (2009), Analytical HFACS for Investigating Human Errors in Shipping Accidents, Accident Analysis and Prevention, Vol. 41, pp 66 - 75. Patterson, J.M. & Shappell, S.A. (2010), Operator Error and System Deficiencies: Analysis of 508 Mining Incidents and Accidents From Queensland, Australia Using HFACS, Accident Analysis and Prevention, Vol. 42, pp 1379 -1385. Hidayat, T. (2012), Jalan Panjang Menuju Kebangkitan Perkeretaapian Indonesia; Reformasi dan Restrukturisasi Perkeretaapian (2nd ed.), Indonesia Railway Watch, Bandung. Meshkati N. & Hancock P.A. (1988), Human Mental Workload, Elsevier Science Ltd, California. Dunn, N. & Williamson, A. (2012), Driving Monotonous Routes in A Train Simulator: The Effect of Task Demand on Driving Performance and Subjective Experience, Ergonomics,Vol. 55, No. 9, pp 997 - 1008. Baysari, M.T., Caponecchia, C., McIntosh, A.S., & Wilson, JR. (2009), Classification of Errors Contributing to Rail Incidents and Accidents: A Comparison of Two Human Error Identification Techniques, Safety Science, Vol. 47, pp 948 - 957. Lenne, M.G., Salmon, P.M., Liu, C.C., & Trotter, M. (2011), A System Approach to Accident Causation in Mining: An Application of the HFACS Method, Accident Analysis and Prevention (Article in Press).
Prosiding InSINas 2012