KAJIAN SOSIAL, EKONOMI DAN KEBIJAKAN DALAM BUDIDAYA KAYU PERTUKANGAN LOKAL : PEMBELAJARAN DARI MASYARAKAT DI PROVINSI SUMATERA SELATAN DAN BENGKULU Oleh : Nur Arifatul Ulya Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Palembang Jln. Kol.H. Burlian Km. 6,5. Punti Kayu, Palembang. Sumatera SelatanTelp/Fax.(0711) 414864; E-mail:bpk-palembang.org
ABSTRAK Masyarakat di hulu maupun hilir DAS di Provinsi Sumatera Selatan dan Bengkulu secara tradisional dalam kehidupan sehari-hari mempunyai interaksi dengan kayu pertukangan yang dimanfaatkan sebagai bahan bangunan rumah maupun perabot rumah tangga. Di Kabupaten Empat Lawang, Lahat dan Pagaralam yang terletak di wiayah hulu di Provinsi Sumatera Selatan mengenal kayu bambang lanang sebagai kayu pertukangan lokal yang tumbuh di pekarangan dan kebun masyarakat. Masyarakat di wilayah hilir di Provinsi Sumatera Selatan seperti Palembang, OKU mengenal kayu tembesu sebagai kayu pertukangan yang memiliki kualitas tinggi. Masyatrakat di Kabupaten Bengkulu Utara dan Bengkulu Tengah yang termasuk wilayah DAS tengah mengenal kayu bawang sebagai kayu pertukangan lokal yang berasal dari pekarangan dan kebun masyarakat. Tulisan ini bertujuan untuk menyampaikan berbagai fakta dan data sosial, ekonomi dan kebijakan yang bersumber dari masyarakat di Provinsi Sumatera Selatan dan Bengkulu dalam kaitannya dengan budidaya pohon penghasil kayu pertukangan lokal (bambang lanang, tembesu dan kayu bawang) oleh masyarakat.
I. PENDAHULUAN Sumatera bagian selatan (dalam hal ini Provinsi Sumatera Selatan dan Bengkulu) merupakan bentang lahan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berhulu di Bukit Barisan dan berhilir di pantai timur dan pantai barat Pulau Sumatera. Wilayah di sekitar hulu DAS mempunyai topografi bergelombang, berbukit dan bergunung dengan tingkat kesuburan tanah yang cukup tinggi.
Wilayah tengah dan hilir DAS
pada umumnya memiliki dataran yang luas yang merupakan wilayah budidaya yang mempunyai interaksi tinggi dengan masyarakat. Masyarakat di hulu maupun hilir secara tradisional dalam kehidupan seharihari mempunyai interaksi dengan kayu pertukangan. Kayu pertukangan dimanfaatkan sebagai bahan bangunan rumah maupun perabot rumah tangga.
Masyarakat di
wilayah hulu Provinsi Sumatera Selatan, terutama di Kabupaten Lahat, Empat Lawang dan Pagaralam pada masa lalu memperoleh kayu berkualitas (tenam, meranti dan merbau) dari hutan alam. Saat ini mereka memanfaatkan kayu dari pohon 1
bambang lanang (Michelia champaca)
yang diperoleh dari kebun atau ladang
masyarakat. Masyarakat di wilayah hilir Provinsi Sumatera Selatan pada umumnya memanfaatkan kayu racuk sebagai kayu pertukangan. Sedangkan masyarakat hilir yang termasuk kelas sosial tinggi membangun rumah dari kayu tembesu (Fragraea fragrans) (Martin, 2012).
Bagi masyarakat di Provinsi Bengkulu, kayu bawang
(Azadirachta excelsa (Jack) Jacobs) merupakan kayu pertukangan lokal yang dibudidayakan di kebun masyarakat (Anwar et. al. ,1999; Martin dan Galle, 2009). Perbedaan karakteristik geografis dan kependudukan mempengaruhi persepsi, sikap dan perilaku masyarakat dalam hubungannya dengan budidaya pohon penghasil kayu. Sehingga kebijakan, program dan pendekatan yang berkaitan dengan budidaya pohon (dalam hal ini kayu pertukangan lokal) sebaiknya mengacu pada fakta dan pemikiran yang berkembang di masyarakat (Martin, 2012). Tulisan ini bertujuan untuk menyampaikan berbagai fakta dan data sosial, ekonomi dan kebijakan yang bersumber dari masyarakat di Provinsi Sumatera Selatan dan Bengkulu dalam kaitannya dengan budidaya pohon penghasil kayu pertukangan lokal (bambang lanang, tembesu dan kayu bawang) oleh masyarakat. Hasil penelitian diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pembelajaran bagi budidaya maupun perumusan kebijakan dalam kaitannya dengan budidaya dan pengembangan pohon penghasil kayu pertukangan lokal.
II.
METODE PENELITIAN
Kajian ini merupakan kumpulan dari berbagai hasil penelitian sosial, ekonomi dan kebijakan kayu pertukangan yang dilakukan oleh BPK Palembang mulai kurun waktu tahun 2006 sampai 2014 di Provinsi Sumatera Selatan dan Bengkulu. Jenis pohon penghasil kayu pertukangan unggulan lokal Provinsi Sumatera Selatan adalah bambang lanang dan tembesu, sedangkan jenis kayu pertukangan unggulan lokal Provinsi Bengkulu adalah kayu bawang. Data-data hasil penelitian di lapangan yang telah dianalisis dan disajikan dalam bentuk laporan hasil penelitian maupun publikasi ilmiah dipilah, dikelompokkan, dikompilasi dan dianalisis untuk menyusun kajian.
2
III. HASIL 1. Jenis kayu pertukangan prioritas di Sumatera Bagian Selatan Penelitian dan pengembangan kayu pertukangan yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas tegakan dan kulitas lingkungan serta nilai ekonomi kehutanan merupakan salah satu kegiatan litbang yang dilakukan oleh Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Palembang tahun 2010-2014. Dalam rangka kegiatan tersebut, pada tahun 2009 BPK Palembang menetapkan jenis-jenis kayu pertukangan lokal prioritas untuk penelitian dan pengembangan, terutama di Sumatera Bagian Selatan. Jenis bambang lanang, sungkai (Penorema canescens), kayu bawang dan tembesu dinilai sebagai empat jenis teratas yang mewakili lahan kering (tanah mineral), sementara gelam (Melaleuca cajuputi) merupakan jenis prioritas bagi lahan basah (rawa).
Dari keempat jenis kayu pertukangan prioritas lahan kering, jenis yang
mewakili lokalitas Sumatera bagian selatan adalah bambang lanang, kayu bawang dan tembesu (Sofyan et. al., 2010). Sedangkan sungkai cenderung menyebar secara merata di Pulau Sumatera. Bambang lanang dikenal oleh masyarakat lokal dengan nama bambang, medang bambang. Bambang lanang merupakan jenis pohon penghasil kayu pertukangan yang pada awalnya hanya dikembangkan oleh orang Lintang yang tinggal di Muara Pinang, Pendopo, Ulu Musi dan Talang Padang di Kabupaten Empat Lawang, Provinsi Sumatera Selatan sejak kira-kira 100 tahun yang lalu. Kini jenis bambang lanang sudah menyebar diluar Kabupaten Empat Lawang, tepatnya di Kota Pagaralam, Kabupaten
Lahat, Musi Rawas, Muara Enim, Ogan Komering Ulu
(UKO), OKU Selatan, bahkan sampai di Provinsi Lampung dan Bengkulu (Martin dan Premono, 2010). Bambang lanang tumbuh cepat meskipun tanpa perawatan intensif. Batangnya lurus dengan tinggi bebas cabang pada umur 10 tahun bisa mencapai 20 meter. Masyarakat secara tradisional memanen kayu bambang lanang pada umur 15 tahun dengan hasil kayu gergajian kurang lebih 1 m3. Masyarakat menanaman bambang lanang pada lahan produktif, subur dan mudah dijangkau. Hal ini dilakukan agar bambang lanang dapat menjadi penjamin kebutuhan keluarga ketika komoditas pertanian utama di kebun masyarakat seperti kopi, kakao dan karet tidak bisa memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga (Martin dan Premono, 2010). Masyarakat yang memiliki lahan kopi atau kakao hanya 0,25 hektar dan pemilik lahan sempit lainnya menanam bambang lanang sebagai pagar batas kebun atau dalam posisi yang 3
tidak terlalu mengganggu tanaman pokoknya. Bambang lanang di lahan masyarakat dipanen pada umur 15 tahun dengan hasil berupa kayu gergajian dengan hasil kayu gergajian kurang lebih 1 m3 (Martin dan Premono, 2010). Tembesu merupakan salah satu salah satu jenis dari famili Loganiaceae yang menyebar mulai dari Bengal (India), Myanmar, Kepulauan Andaman, Indo Cina, Filipina, Thailand, Semenanjung Malaysia, Singapura, Jawa Barat, Kalimantan, Sulawesi dan Pulau Yapen (Lemmens et. al., 1995). Tembesu tumbuh pada iklim basah sampai agak kering, dan tumbuh baik pada ketinggian 0-500 mdpl (Martawijaya et. al., 2005). Bagi masyarakat di Sumatera Bagian Selatan (Provinsi Sumatera Selatan, Jambi dan Lampung), kayu tembesu merupakan kayu yang populer. Heyne (1987) menyatakan bahwa di Sumatera Selatan, tembesu dikenal sebagai kayu unggul dengan sebutan kayu raja, yang pada masa lalu hal penebangannya diatur oleh kepala adat.
Kayu tembesu dapat digunakan sebagai
bahan baku pembuatan rumah maupun perabot. Di Sumatera Selatan, kayu tembesu digunakan sebagai bahan baku pembuatan rumah baik karena kekuatan dan keawetannya maupun karena prestise. Martawijaya et. al. (2005) menyatakan bahwa kayu tembesu termasuk ke dalam kelompok kelas kuat I. Sedangkan ditinjau dari sifat awet dan tahan lama termasuk kelas awet I dan kelompok kelas awet II apabila ditinjau dari ketahanannya terhadap jamur. Tembesu sampai saat ini masih merupakan hasil regenerasi alami yang dipertahankan keberadaannya oleh masyarakat di kebun.
Hasil penelitian Sumadi
dan Saepuloh (2011) menunjukkan bahwa di kebun masyarakat pada umur 20 tahun tembesu mempunyai volume rata-rata per pohon sebesar 0,39 m3 dan kerapatan efektif sebesar 8,51 m3/ha/tahun.Masyarakat yang secara tradisional memiliki kebun campuran tidak menganggap umur panen tembesu sebagai masalah, karena mereka memanen tembesu apabila terdapat kebutuhan untuk membangun atau memperbaiki rumah sendiri (Martin dan Premono, 2014). Kayu bawang merupakan jenis tanaman kayu pertukangan unggulan lokal yang memiliki sebaran alami di Kabupaten Bengkulu Utara dan Kabupaten Bengkulu Tengah (Premono dan Lestari, 2013). Kayu Bawang tumbuh baik pada ketinggian 0 - 1000 m dpl, dengan curah hujan tahunan sekitar 3.500 mm dan curah hujan bulanan antara 150 - 500 mm. Umumnya tumbuh pada semak belukar dekat pemukiman. Di Bengkulu Utara hanya ditemukan di daerah yang tersentuh aktivitas manusia (bekas
4
ladang, kebun atau tegalan) (Martin dan Galle, 2009). Anwar et. al. (1999) menduga semua tanaman yang ada merupakan hasil budidaya (ditanam secara sengaja). Kayu bawang umumnya menempati strata paling atas dan merupakan pohon dominan di kebun masyarakat. Tinggi pohon mencapai 30 m dengan diameter 75 cm. Bentuk batang silindris agak lengkung. Tajuk tanaman muda berbentuk bulat lonjong, dan pohon tua tidak beraturan/melebar. Tumbuh pada jenis tanah alluvial dan podsolik merah kuning (Martin dan Galle, 2009). Premono dan Lestari
(2013)
menyatakan bahwa umumnya masyarakat mulai memanen kayu bawang pada umur 15 tahun dengan volume per batang 0,83 m3.
2. Perspektif sosial ekonomi masyarakat Sumatera Selatan dan Bengkulu dalam kaitannya dengan budidaya pohon penghasil kayu Masyarakat di wilayah hulu DAS pada umumnya merupakan masyarakat agraris yang bekerja sebagai petani. Masyarakat di hilir pada umumnya bekerja di sektor perdagangan dan jasa, sedangkan keterkaitan dengan sektor pertanian jauh lebih sedikit apabila dibandingkan dengan masyarakat di hulu. Li (2002) memberikan gambaran yang cukup jelas mengenai bagaimana aspek ekologi dataran tinggi yang dikaitkan dengan aspek ekonomi politik dan kebudayaan memiliki perbedaan dan juga kesamaan dengan yang diuraikan oleh Hart et al. (1989) tentang kehidupan masyarakat dataran rendah. Pada masa sebelum tahun 1980-an, masyarakat di wilayah hulu masih sangat mudah memperoleh kayu berkualitas dari alam. Masyarakat Lintang di Kabupaten Empat Lawang, Provinsi Sumatera Selatan memperoleh kayu berkualitas dari pohon bambang lanang yang tumbuh secara alami di kebun atau ladang yang mereka usahakan sebagai bahan untuk membuat rumah maupun perabot (Martin, 2012). Masyarakat di hilir pada masa lalu membangun rumah dari kayu rimba campuran yang kualitasnya lebih rendah dari rumah kayu masyarakat di hulu.
Hanya
masyarakat dari kelas sosial tertentu yang mampu membuat rumah dari kayu berkualitas, yaitu tembesu. Bagi petani yang tinggal di wilayah hulu, budidaya pohon penghasil kayu tidak dapat dipisahkan dari upaya pemenuhan kebutuhan kayu sebagai bahan pembuatan rumah. Masyarakat Lintang di Kabupaten Empat Lawang menebang 15 sampai 25 batang pohon bambang lanang berumur 15 sampai 20 tahun yang ada di kebun mereka untuk membangun satu rumah panggung beserta perabot rumah tangga 5
di dalamnya. Sedangkan untuk rumah berbahan utama beton (batu bata) diperlukan 3 sampai 5 batang pohon bambang lanang. Selain untuk membuat rumah dan perabot, pohon bambang lanang ditebang untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi seperti pada masa paceklik, perayaan pernikahan anak, tahun ajaran baru dan musibah (Martin, 2012). Dalam perekonomian masyarakat, pohon bambang lanang merupakan portfolio investasi diantara tanaman perkebunan lainnya, yang ditanam dengan pola agroforestry (Martin dan Premono, 2010). Masyarakat di wilayah hilir Provinsi Sumatera Selatan lebih memilih menanam pohon penghasil kayu dengan pola monokultur. Orientasi penanaman tidak pada pemenuhan kebutuhan kayu, tetapi lebih pada untung rugi dalam berusaha. Sehingga pada saat ini, tembesu yang merupakan kayu “mewah” untuk kebutuhan pembuatan rumah dan ukiran tidak dibudidayakan oleh masyarakat hilir (Martin, 2012). Kayu bawang memiliki sebaran alami di Kabupaten Bengkulu Utara dan Bengkulu Tengah. yang termasuk dilayah DAS tengah dan hilir. Kayu bawang memiliki ikatan kuat dengan Suku Lembak dan Suku Rejang yang tinggal di wilayah DAS tengah di Provinsi Bengkulu. Kayu bawang dapat dinyatakan sebagai identitas budaya kedua suku tersebut, yang ditandai dengan penggunaan kayu bawang sebagai bahan pembuatan rumah panggung kuno yang masih tersisa. Kayu bawang menjadi bagian dari kebun masyarakat (Premono dan Lestari, 2013). Kayu bawang juga ditemukan di wilayah hilir Provinsi Bengkulu. Keberadaan kayu bawang di hilir erat kaitannya dengan aktivitas budidaya.
Di Bengkulu Utara kayu bawang hanya
ditemukan di daerah yang tersentuh aktivitas manusia (bekas ladang, kebun atau tegalan) (Martin dan Galle, 2009). Anwar et. al. (1999) menduga semua tanaman yang ada merupakan hasil budidaya (ditanam secara sengaja). Perspektif sosial ekonomi masyarakat terhadap kayu pertukangan di hulu dan hilir sangat dipengaruhi oleh karakteristik geografi dan kependudukan.
Hal ini
selanjutnya akan berpengaruh terhadap pola budidaya, penggunaan, maupun supply dan demand kayu pertukangan
3. Kelayakan finansial budidaya kayu pertukangan lokal Penanaman pohon bambang lanang di Kabupaten Empat Lawang, Lahat dan sebagian Pagaralam pada umumnya dilakukan dengan pola campuran.
Pohon
bambang lanang dijadikan tanaman campuran pada tanaman kopi yang merupakan 6
sumber pendapatan utama. Penanaman bambang lanang di kebun kopi dilakukan dengan pola sebagai tanaman campuran di antara tanaman kopi, sebagai tanaman pagar atau pinggir lahan dan juga tanaman sela di antara tanaman kopi, dimana jarak antar tanaman disesuaikan agar tidak mengganggu tanaman kopi. Tanaman bambang lanang di kebun kopi difungsikan sebagai tanaman masa depan yang diharapkan dapat memberikan pendapatan maupun dipanen untuk kebutuhan kayu sendiri di masa mendatang. Sedangkan kopi menjadi sumber pendapatan tunai jangka pendek (cash crop) bagi masyarakat. Pemilihan jenis bambang lanang sebagai tanaman campuran dengan tanaman kopi pada lahan milik masyarakat telah mengalami proses pemilihan dan penentuan jenis yang dilakukan sendiri oleh masyarakat dengan pertimbangan untung dan rugi dalam proses pengambilan keputusannya. Pertimbangan tersebut meliputi teknik penanaman, sifat tanaman, umur panen, harga, ketersediaan bibit, kemudahan pemiliharaannya dan pengaruhnya terhadap tanaman kopi (Premono dan Martin, 2011). Analisis finansial budidaya pohon bambang lanang secara murni maupun campuran layak diusahakan karena nilai BCR>1 pada tingkat suku bunga 12% (Ulya,et. al., 2006). Hal ini diperkuat oleh Premono dan Martin (2011) yang menyatakan bahwa penanaman bambang lanang dengan pola campuran dengan tanaman kopi di Kabupaten Empat Lawang, Lahat dan Pagaralam layak untuk diusahakan. Hasil analisis finansial di tiga lokasi menunjukkan NPV positif, BCR di atas 1 dan IRR di atas tingkat suku bunga analisis. Kayu bawang pada umunya ditanam dengan pola tanam campuran. Pola penanaman campuran kayu bawang yang banyak ditemukan di Provinsi Bengkulu antara lain kayu bawang-karet, kayu bawang-kakao, kayu bawang-sawit dan kayu bawang-karet unggul. Hasil analisis finansial pada tingkat suku bunga 11% dan 13 % menunjukkan bahwa pola-pola yang dikembangkan masyarakat layak secara finansial. Hasil analisis sensitivitas menunjukkan bahwa pola penanaman tidak peka terhadap perubahan tingkat harga dan volume produksi. Agar dapat memenuhi kebutuhan hidup secara layak maka masyarakat di lokasi penelitian dapat mengelola sekitar 0,341,01 Ha dengan pola penanaman campuran kayu bawang dan tanaman tahunan. (Premono dan Lestari, 2013). Pohon tembesu tumbuh di lahan milik masyarakat yang pada umumnya mengusahakan kebun karet. Di Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) Timur, 7
masyarakat memilih pohon tembesu yang memiliki kualitas kayu yang baik dan tidak mengganggu tanaman karet untuk dipertahankan di kebun karet mereka (Premono dan Martin, 2011). Premono dan Martin (2011) menggunakan Nilai Harapan Lahan (NHL) untuk menganalisis kelayakan finansial pola penanaman campuran antara tanaman karet dengan tanaman tembesu. NHL merupakan cerminan nilai dari tanah atau lahan yang diusahakan dalam rotasi tanaman yang diusahakan. NHL dapat digunakan untuk mengintrepretasikan harga maksimum yang mungkin terjadi pada pengusahaan lahan (Straka dan Bullard, 1996). Untuk mengetahui kelayakan finansial penanaman pola campuran karet-tembesu, dilakukan dengan asumsi umur panen tanaman tembesu 30 tahun dan umur panen (sadap) tanaman karet 7 tahun berdasarkan harga, biaya dan pendapatan masyarakat pada saat penelitian. NHL tertinggi diperoleh pada pola tanam campuran karet-tembesu dengan jumlah pohon tembesu 40 batang. NHL terendah diperoleh pada lahan yang ditanami tembesu secara monokultur, meskipun dengan intensitas tegakan cukup tinggi. Hal ini diduga terjadi karena pola teratur dengan jumlah pohon lebih banyak membutuhkan biaya pembangunan lebih tinggi, sehingga meningkatkan nilai biaya yang terdiskonto (discounted cost) pada masa analisis 30 tahun. Namun demikian, pada dasarnya pelaku usaha (petani) dapat mengabaikan rendahnya nilai kini tanaman tembesu pola teratur dengan menganggap tembesu sebagai komponen nilai yang bukan untuk dinikmati sekarang, tetapi sebagai asuransi masa regenerasi (Premono dan Martin, 2011). Jenis pohon kayu pertukangan lokal yang diwakili oleh bambang lanang dan kayu bawang yang dibudidayakan di kebun dengan pola umum sgroforestry layak untuk diusahakan, bahkan pada lahan yang tidak terlalu luas. Sedangkan untuk pohon tembesu yang belum ditanam oleh masyarakat, pemeliharaan pohon tembesu pada kebun dengan pola campuran dengan karet mampu memberikan harapan pendapatan pada masa yang akan datang.
4. Pemasaran jenis kayu pertukangan lokal Pohon bambang lanang pada umur 10 tahun di Kabupaten Lahat sudah dapat dipanen dengan volume 0,5 m3 per pohon tetapi harganya lebih rendah dibanding yang berumur 15 tahun yaitu dengan harga Rp. 900.000,00 per m3. Sedangkan pada
8
umur 15 tahun volumenya rata-rata 1 m3 per pohon dengan harga yang lebih tinggi yaitu Rp. 1.000.000,00 per m3 (Ulya et. al., 2006). Harga kayu bambang di tingkat petani di Kabupaten Lahat, Empat Lawang dan Kota pagaralam berkisar antara Rp. 900.000,00 sampai dengan Rp. 1.000.000,00 per m3. Harga kayu bambang lanang di depot kayu mencapai Rp. 2.000.000,00 sampai dengan Rp. 2.600.000,- per m3. Lebih dari 50% marjin keuntungan dinikmati oleh para pelaku industri kayu rakyat, mulai dari penggesek/pengumpul kayu, pemilik sawmill, pemilik depot, atau bahkan sampai ke pengrajin furniture. Jenis industri kayu rakyat sebagian besar berupa depot kayu (40%), pengusaha atau pengrajin furniture (20%)
dengan
hasil
berupa
meja,
kursi,
lemari,
dan
tempat
tidur,
penggesek/pengumpul (20%), industri penggergajian kayu atau sawmill (13%) dan depot kayu dan funiture (7%). Hampir semua pelaku industri kayu rakyat yang termasuk ke dalam kelima katergori tersebut di atas tersebar merata di tiga wilayah yang menjadi fokus kegiatan penelitian. Sedangkan industri sawmill yang hanya terdapat di Kabupaten Lahat (Lestari, Premono dan Waluyo, 2012). Perkembangan harga kayu bambang pada dua titik waktu penelitian (tahun 2006 dan tahun 2012) menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan, melebihi inflasi antar dua titik waktu, dengan kondisi supply kayu rakyat yang stabil. Hal ini mengindikasikan bahwa budidaya kayu bambang lanang mempunyai prospek untuk dikembangkan dan dijadikan tabungan pada saat terjadi penurunan pendapatan dari cash crop maupun tanaman perkebunan seperti karet atau kopi. Keberadaan supply kayu bambang lanang juga mampu memberikan multiplier effect berupa berkembangnya industri kayu rakyat yang dalam hal ini menikmati margin keuntungan terbesar. Petani pemilik kayu bawang menjual kayu bawang dalam bentuk tegakan/pohon berdiri secara borongan. Harga kayu bawang di masyarakat berkisar Rp. 800.000,00 sampai Rp. 900.000,00 per pohon dengan perkiraan volume sekitar 1 m3. Harga kayu bawang olahan di tingkat lokal (desa) berkisar Rp. 1.500.000,00 sampai Rp. 2.000.000,00 per m3, tergantung ukuran kayu dan kualitas kayunya. Para tengkulak kayu/pengepul desa menjual kayunya untuk kebutuhan lokal dan ke wilayah lainnya. Ada juga tengkulak luar daerah yang datang ke desa-desa untuk membeli kayu dari para pengepul di desa (Premono dan Lestari, 2012). Terdapat empat saluran pemasaran kayu bawang di Provinsi Bengkulu, yaitu: 1) Saluran 1: Petani/pemilik kayu-penebang/pemilik chainsaw-tengkulak/pengumpul 9
kayu-konsumen; 2) Saluran 2: Petani/pemilik kayu-tengkulak/pemborong di desadepot kayu-konsumen; 3) Saluran 3: Petani/pemilik kayu- tengkulak/pemborong di desa-depot kusen di kota-konsumen; 4) Saluran 4: Petani/pemilik kayu-tengkulak di desa- depot kayu di kota-depot kusen di kota-konsumen. Saluran pemasaran yang paling efisien adalah saluran 1 dengan nilai efisiensi sebesar 20,83%. Pemasaran kayu bawang di Provinsi Bengkulu secara umum dapat dikatakan efisien, hal ini diduga disebabkan telah berkembangnya usaha perkayuan. Hampir di setiap desa yang menjadi sumber kayu bawang telah memiliki usaha pengolahan kayu bawang skala kecil. Disamping itu, jumlah pelaku pemasaran kayu bawang cukup banyak sehingga memudahkan petani untuk melakukan transaksi proses tawar menawar dan memperoleh informasi mengenai harga kayu bawang (Premono dan Lestari, 2012). Seperti halnya kayu bambang lanang, harga kayu bawang tergolong tinggi sehingga mempunyai prospek finansial untuk diusahakan di kebun masyarakat dengan pola agroforestry. Kayu bambang yang dipasok dari kebun masyarakat juga mampu memberikan multiplier effect berupa adanya industri skala kecil di setiap desa penghasil kayu bawang. Kayu tembesu merupakan bahan baku utama dari industri mebeul ukiran Palembang. Junaidah dan Premono (2007) menyatakan bahwa kayu tembesu dijual dengan harga Rp. 2.000.000,00 – Rp 2.500.000,00 per m3. Harga ini lebih mahal dari kayu medang dan meranti yang dijual dengan harga Rp. 1.600.000,00 – Rp. 2.000.000,00 per m3.
Kayu tembesu dijual dalam bentuk balok atau batangan
(tergantung dari permintaan pengrajin). Meskipun demikian, sebagian besar dijual dalam bentuk batangan untuk mempermudah proses pengerjaan. Permintaan kayu tembesu oleh industri mebeul ukiran Palembang selama ini dipenuhi dari penebangan pohon tembesu yang tumbuh secara alami di areal sekitar kebun, pekarangan rumah dan hutan sekunder di Kabupaten Musi Banyuasin, Banyuasin, Ogan Ilir dan Ogan Komering Ilir. Cara pemenuhan bahan baku seperti ini bersifat tidak lestari (Martin dan Premono, 2014).
Diperlukan luasan lahan
tertentu dan peningkatan produktivitas agar supply kayu tembesu bisa lestari. Kayu pertukangan lokal, selain ditampung oleh industri kecil skala lokal, juga mempunyai peluang untuk diserap oleh industri pengolahan hasil hutan kayu dengan kapasitas produksi diatas 6.000 m3 per tahun.
Untuk Provinsi Sumatera Selatan,
terdapat 2 industri kayu lapis (kapasitas 140.000 m3 per tahun), kayu gergajian (5 industri, kapasitas 137.500 m3 per tahun), veneer (3 industri, kapasitas 110.000 m3 10
per tahun). LVL terdiri dari 1 industri dengan kapasitas 50.000 m3 per tahun. Industri yang bisa menyerap kayu bambang lanang dan kayu bawang di Provinsi Bengkulu adalah 1 industri veneer dengan kapasitas 40.000 m3 per tahun. Untuk skala nasional (termasuk Provinsi Sumatera Selatan dan Bengkulu), kayu bambang lanang dan kayu bawang mempunyai peluang untuk diserap oleh industri kayu lapis (150 industri, kapasitas 12.397.315 m3 per tahun), penggergajian (278 industri, kapasitas 7.155.596 m3 per tahun), veneer (102 industri, kapasitas 3.040.295 m3 per tahun) dan industri LVL (14 industri, kapasitas 565.750 m3 per tahun) (Kementerian Kehutanan, 2013).
5. Aspek sosial dalam budidaya kayu pertukangan Pohon bambang lanang pada umumnya ditanam dengan pola agroforestry. Masyarakat di Kabupaten Empat Lawang menanam pohon bambang lanang sebagai pilihan pendapatan di masa depan.
Kegagalan produksi tanaman pokok atau
fluktuasi hasil panen menyebabkan masyarakat desa rentan terhadap kemiskinan (Swift, 2006). Pohon bambang lanang dapat berfungsi sebagai jaring pengaman pendapatan masyarakat ketika sumber pendapatan utama tidak dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari atau terdapat kebutuhan yang mendesak. Aspek sosial budaya juga menjadi pertimbangan masyarakat untuk menanam bambang lanang.
Kayu
masih menjadi sumber bahan bangunan penting bagi masyarakat dan telah digunakan secara turun temurun sebagai bahan yang terbukti kekuatannya puluhan bahkan ratusan tahun (Winarno, Nurlia dan Martin, 2012) . Pola tanam agroforestry di Kabupaten Lahat dan Empat Lawang dikembangkan oleh masyarakat yang menjadikan pertanian sebagai pekerjaan utama dan memiliki lahan sempit. Pola monokultur dikembangkan oleh masyarakat yang tidak bergantung pada pertanian sebagai pekerjaan utama dan memiliki lahan luas. Pola tanam pada agroforestry yang dikembangkan adalah pola lorong (alley cropping), pola pohon pembatas (trees along border), pola baris (alternate row) dan pola acak (random mixer) (Waluyo dan Lestari, 2013).. Hutan rakyat kayu bawang yang ada di Kabupaten Bengkulu Utara dan Kabupaten Bengkulu Tengah merupakan hutan rakyat tradisional yang dikelola secara turun menurun dengan pengelolaan yang masih sederhana. Kegiatan cocok tanam secara mandiri dilakukan oleh sebagian besar responden setelah mereka menikah dan mulai mengusahakan kebun secara mandiri. Kayu bawang ditanam sebagai tanaman pagar, dan tanaman sela sedangkan tanaman utamanya adalah karet dan sebagian kecil 11
kopi, kakao serta sawit. Masyarakat yang mempunyai tanaman kayu bawang di kebunnya menyatakan bahwa pada saat mereka mulai berkebun selalu menanam kayu bawang diantara tanaman perkebunan (Waluyo dan Nurlia, 2014). Praktek agroforestry yang dilakukan oleh masyarakat di Bengkulu Utara, Bengkulu Tengah maupun Rejang Lebong adalah agroforestry kayu bawang dengan tanaman perkebunan seperti karet, sawit dan coklat. Petani menanan kayu bawang adalah tujuan lingkungan, ekonomi dan investasi. Tujuan lingkungan, yaitu untuk meningkatkan kesuburan tanah, karena dengan menanam kayu bawang diharapkan input pupuk berkurang dan produkstivitas tanaman meningkat. Tujuan ekonomi, yaitu harga kayu bawang yang tinggi dan ketersediaan kayu mulai sedikit. Tujuan investasi, yaitu untuk diwariskan kepada generasi penerus. Kayu bawang berukuran besar yang masih ada pada saat ini merupakan hasil penanaman orang tua mereka, sehingga mereka juga punya keinginan untuk mewariskan kepada anak cucunya (Premono dan Lestari, 2013). Seperti halnya pola tanam pohon bambang lanang, semakin banyak jumlah lahan maka semakin tinggi peluang untuk menanam kayu bawang dengan jumlah yang melebihi rata-rata.
Petani yang mempunyai lahan luas, cenderung tidak
mempunyai cukup waktu untuk mengelola semua lahannya secara intensif. Sehingga tanaman kayu yang tidak memerlukan pemeliharaan intensif seperti kayu bawang menjadi pilihan. Apabila petani merupakan pekerjaan utama peluang untuk menanam kayu bawang lebih sedikit karena mereka menggantungkan pemenuhan kebutuhan sehari-hari pada tanaman pertanian, jadi mereka cenderung menanam tanaman pertanian atau perkebunan (Waluyo dan Nurlia, 2013). Brokensha dan Riley (1987) menunjukkan bahwa rumah tangga miskin cenderung menggunakan lahannya untuk tanaman pangan atau tanaman perdagangan daripada tanaman pohon. Masyarakat menanam pohon bambang lanang dan kayu bawang dua pola umum, yaitu campuran dan monokultur. Pola campuran (agroforestry) dipilih oleh masyarakat dengan lahan terbatas dan menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Sedangkan pola monokultur dipilih oleh masyarakat dengan lahan luas. Pilihan pola dan jenis yang ditanam didasari oleh motivasi lingkungan, ekonomi dan investasi.
12
6. Kebijakan dan kelembagaan budidaya kayu pertukangan lokal Masyarakat di daerah sebaran alami pohon bambang lanang memiliki persepsi yang positif terhadap budidaya bambang lanang karena terbukti manfaatnya yang berupa hasil kayu, tetapi memiliki pengetahuan yang terbatas dalam hal teknik budidaya (Winarno, Nurlia dan Martin, 2012). Kebijakan khusus terkait dengan pengembangan kayu bawang di Kabupaten Bengkulu Utara dan Bengkulu Tengah belum tersedia. Padahal musim berbuah kayu bawang sudah mulai tidak teratur dan pengetahuan masyarakat khususnya mengenai pembudidayaan kayu bawang secara benar masih terbatas (Waluyo dan Nurlia, 2014). Meskipun pengetahuan tentang budidaya di daerah sebaran alami kedua jenis tersebut terdapat penangkar bibit yang mampu menyediakan bibit dalam jumlah besar. Pemerintah bisa berperan dengan memberikan fasilitasi atau pembinaan agar supply bibit yang tersedia bisa diserap pasar antara lain melalui program-program pemerintah. Selain itu, pemerintah juga bisa melakukan peningkatan pengetahuan dan kapasitas masyarakat agar mampu berperan lebih besar dalam pemasaran kayu, sehingga bisa memangkas rantai pemasaran kayu atau meningkatkan margin keuntungan yang diterima masyarakat selaku petani. Kebijakan pemerintah yang sudah dilakukan dalam kaitannya dengan jenis kayu pertukangan lokal adalah Program Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GERHAN) dan Program Kebun Bibit Rakyat (KBR).
Pohon bambang lanang
menyebar secara meluas di Provinsi Sumatera Selatan melalui Program GERHAN dan KBR.
Waluyo dan Nurlia (2013) menyatakan bahwa kayu bawang mulai
menyebar dari Kabupaten Bengkulu Utara dan Bengkulu Tengah ke kabupatenkabupaten lainnya di Provinsi Bengkulu melalui GERHAN pada tahun 2003 dan KBR pada tahun 2010 .
13
PENUTUP Penelitian sosial, ekonomi dan kebijakan dalam kaitannya dengan pengembangan kayu pertukangan lokal di Provinsi Sumatera Selatan dan Bengkulu yang sebenarnya merupakan hasil pembelajaran terhadap masyarakat menunjukkan bahwa budidaya kayu pertukangan lokal menjadi bagian dan berkaitan erat dengan bentang lahan DAS dan budaya masyarakat. Kayu pertukangan lokal yang mempunyai kaitan erat dengan keseharian masyarakat mempunyai prospek ekonomi untuk dikembangkan karena layak secara finansial, mempunyai pasar dan tidak mengharuskan lahan luas untuk penanamannya.. Dengan memperhatikan pertumbuhan, penyebaran dan prospek ekonominya dapat dinyatakan bahwa kayu pertukangan lokal dengan daur menengah bisa dipenuhi dari kebun masyarakat atau hutan rakyat dengan pola agroforestry. Sedangkan untuk kayu pertukangan lokal daur panjang memerlukan teknik silvikultur untuk meningkatkan riap dan produktivitasnya sehingga perlu dibudidayakan untuk memenuhi permintaan industri. Pengarusutamaan pelibatan masyarakat dalam penyediaan bahan baku kayu pertukangan lokal adalah sebuah keniscayaan, dengan tidak mengesampingkan kebutuhan hidup masyarakat sehari-hari, jangka menengah dan jangka panjang.
DAFTAR PUSTAKA Anwar, G., Gunsiryadi, Amrina. 1999. Prospek Pengembangan Kayu Wawang (Protiumjavanicum Burm F.) sebagai Komoditas Hutan Unggulan dalam Pengusahaan Hutan Rakyat di Provinsi Bengkulu (Tinjauan dari Aspek Silvikultur). Prosiding Seminar Nasional Status Silvikultur: Peluang dan Tantangan menuju Produktivitas dan Kelestarian Sumberdaya Hutan Jangka Panjang. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Brokensha, D., dan B.W. Riley. 1987. Privatization of Land and Tree Planting in Mbeere, Kenya. In Raintree J.B. (ed.). Land, Treestand and Tenure. ICRAF and The Land Tenure Center. Nairobi and Madison. pp. 187-192. Hart, G., A. Turton, B. White (Eds). 1989. Proses Transformasi Daerah Pedalam di Indonesia. Yayasan Obot Indonesia. Jakarta. Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid III. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Jakarta. Lemmens, R.H.M.J., I. Soerianegara, W.C. Wong. 1995. Plant Resources of SouthEast Asia 5(2) Timber Trees : Minor Commercial Timber. Prosea. Bogor.
14
Li, T.M. 1990. Proses Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia. yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Martawijaya, A., I. Kartasujana, Y.I. Mandang, S.a. Prawira, dan K. Kadir. 2005. Atlas Kayu Indonesia Jilid II. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Jakarta. Martin, E dan F.B. Galle. 2009. Motivasi dan Karakteristik Sosial Ekonomi Rumah Tangga Penanam Pohon Penghasil Kayu Pertukangan : Kasus Tradisi Menanam Kayu Bawang (Disoxylum molliscimum BL) oleh Masyarakat Kabupaten Bengkulu Utara, Bengkulu. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 6 No. 2 Juni 2009, Hal. 117 – 134. Martin, E. 2012. Budidaya Pohon Penghasil Kayu : Perspektif Sosial Ekonomi Masyarakat Sumatera Selatan. Prosiding Forum Komunikasi Multipihak “Hutan Rakyat Sebagai Solusi Penyedia Kayu Pertukangan”, Palembang, 20 Juni 2012. Pusat Litbang Peningkatan Produkstivitas Hutan. Bogor. Martin, E. dan B.T. Premono. 2010. Hutan Tanaman Kayu Pertukangan adalah Portfolio : Pelajaran dari Keswadayaan Penyebarluasan Bambang Lanang di Masyarakat. Prosiding Seminar Nasional :”Kontribusi Litbang dalam Peningkatan Produktivitas dan Kelestarian Hutan, Bogor, 29 November 2010. Pusat Litbang Peningkatan Produktivitas Hutan. Bogor. __________. 2014. “Upaya Komoditisasi Tembesu dalam Perspektif Sosial Budaya Petani dan Pasar” dalam Bunga Rampai Tembesu Kayu Raja Andalan Sumatera. FORDA Press. Bogor. Premono, B,T. Dan E, Martin. 2011. Nilai Ekonomi Penanaman Pohon Penghasil Kayu pada Lahan Milik. Prosiding Seminar Hasil Penelitian “Introduksi Tanaman penghasil kayu Pertukangan di Lahan Masyarakat Melalui Pembangunan Hutan Tanaman Pola Campuran”, Musi Rawas, 13 Juli 2011. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan. Bogor. Premono, B.T. dan S. Lestari. 2012. Analisis Pemasaran Kayu Bawang di Provinsi Bengkulu Utara. Prosiding seminar hasil penelitian “Introduksi Tanaman Penghasil Kayu Pertukangan di Lahan Masyarakat melalui Hutan Tanaman Pola Campuran”, Musi Rawas, 13 Juli 2011. Puslitbang Peningkatan Produktivitas Hutan. Bogor. _________. 2013. Analisis Finansial Agroforestri Kayu Bawang (Dysoxilum Mollissimum Blume) dan Kebutuhan Lahan Minimum di Provinsi Bengkulu. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 10 No. 4 Desember 2013, Hal. 211 – 223. Sofyan, A., E. Martin, A. H. Lukman, dan A.W. Nugroho. 2010. Status Riset dan Rencana Penelitian Jenis-jenis Prioritas Kayu pertukangan di Sumatera. Prosiding Peran Litbang Kehutanan dalam Implementasi RSPO, Pekanbaru, 45 November 2010. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor. Ulya, N. A., E. Martin, E. A. Waluyo dan J. P. Tampubolon. 2006. Teknologi dan Kelembagaan Social Forestry di Hutan Rakyat. Laporan Penelitian Balai Litbang Hutan Tanaman Indonesia Bagian Barat, Palembang.
15
Waluyo, E. A., dan S, Lestari. Karakteristik Pengelolaan Hutan Rakyat di Kabupaten Lahat dan Kabupaten Empat Lawang, Sumatera Selatan. Prosiding Seminar Hasil penelitian Balai Penelitian Kehutanan “Integrasi IPTEK dalam Kebijakan dan Pengelolaan Hutan Tanaman di Sumatera Bagian Selatan”, Palembang, 2 Oktober 2013. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan. Bogor. Waluyo, E. A., dan A. Nurlia. 2013. Agen Perubahan dalam Pengembangan Hutan Rakyat : Belajar dari Pengembangan Kayu Bawang di Wilayah Provinsi Bengkulu. Prosiding Seminar Hasil penelitian Balai Penelitian Kehutanan “Integrasi IPTEK dalam Kebijakan dan Pengelolaan Hutan Tanaman di Sumatera Bagian Selatan”, Palembang, 2 Oktober 2013. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan. Bogor. ________ . 2014. Faktor-Faktor Sosial Ekonomi yang Mempengaruhi Keputusan Petani Membudidayakan Agroforestry Kayu Bawang (Dysoxylum mossimum B.L.) di Bengkulu Utara dan Bengkulu Tengah. Prosiding Seminar Nasional Agroforestry-IV “Pengembangan Teknologi Agrofrorestry dan Produknya untuk Ketahanan Energi dan Kesehatan”, Banjarbaru, 26-27 Oktober 2013. FAHUTAN UNLAM PRESS. Winarno, B., A. Nurlia dan E. Martin. 2012. Realitas Pengelolaan Bambang lanang (Michelia champaca L.) oleh Masyarakat pada daerah Sebaran Alaminya di Kabupaten Empat Lawang. Prosiding Forum Komunikasi Multipihak “Hutan Rakyat Sebagai Solusi Penyedia Kayu Pertukangan”, Palembang, 20 Juni 2012. Pusat Litbang Peningkatan Produkstivitas Hutan. Bogor.
16