KAJIAN SISTEM TANAM JAGUNG UMUR GENJAH MENDUKUNG PENINGKATAN PRODUKSI Amir dan Baso Aliem Lologau Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan ABSTRAK Sulawesi Selatan salah satu sentra pengembangan jagung nasional di Indonesia Bagian Timur. Daerah ini memiliki lahan sawah tadah hujan seluas 239.171 ha, sebagian besar ditanami padi satu kali dan baru sebagian kecil ditanami padi dua kali kemudian bera. Pemanfaatan lahan sawah tadah hujan dengan komoditas jagung umur genjah berpotensi hasil tinggi dapat menunjang upaya peningkatan produksi nasional. Guna memacu efisiensi waktu panen, penggunaan jagung umur genjah dapat dipadukan dengan sistem tanam TOT dan OTS. Pengaruh tunggal pengolahan tanah menujukkan, teknologi TOT memberikan hasil jagung pipilan kering lebih tinggi (10,17 t/ha) dibanding teknologi OTS (9,81 t/ha). Hasil varietas Bima-2 dan Bima-3 lebih tinggi dibanding Lamuru, Sukmaraga, dan Gumarang. Pengaruh interaksi varietas dengan pengolahan tanah menunjukkan varietas Bima-2 dengan cara tanam TOT memberikan hasil pipilan kering tertinggi (13,56 t/ha) dan yang terendah pada Gumarang (7,96 t/ha) dengan cara tanam OTS. Kata kunci: OTS, TOT.
PENDAHULUAN Sulawesi Selatan termasuk salah satu sentra pengembangan jagung di Kawasan Timur Indonesia. Daerah ini memiliki iklim dan agroekosistem yang sesuai untuk pengembangan jagung. Jagung terutama dikembangkan pada lahan kering, tetapi dapat pula ditanam pada agroekosistem lahan sawah tadah hujan dan sawah beririgasi. Luas lahan sawah tadah hujan di daearah ini tercatat 239.171 ha, lahan sawah irigasi 346.840 ha dan lahan kering 913.446 ha (Profil Distan Pangan dan Hortikultura Sulsel 2007). Secara nasional pengembangan jagung pada agroekosistem lahan sawah tadah hujan (20-30%), lahan sawah irigasi (10-15%), dan (60-70%) lahan kering (Kasryno 2002). Optimalisasi pemanfaatan lahan sawah tadah hujan di daerah ini masih rendah. Umumnya lahan hanya ditanami padi satu kali dan sebagian kecil yang ditanami padi dua kali, selanjutnya lahan diberakan. Lahan bera masih berpotensi dimanfaatkan untuk penanaman komoditas pangan lainnya, seperti 38
jagung berumur genjah hingga sedang setelah padi rendengan. Pertanaman jagung musim marengan (awal kemarau) di lahan sawah tadah hujan biasanya mengalami kekeringan pada fase berbunga sehingga pertanaman berikutnya hampir selalu menderita kekeringan (Sudjana 1990 dalam Sudjana dan Setiyono 1993). Penanaman jagung pada lahan sawah tadah hujan setelah padi rendengan merupakan upaya peningkatan produksi melalui peningkatan indeks pertanaman (IP). Teknologi yang perlu diterapkan untuk mendukung peningkatan IP di lahan sawah tadah hujan adalah penerapan cara tanam TOT dengan penggunaan varietas umur genjah (85-90 hari) hingga sedang (90-100 hari). Dengan demikian lahan tadah hujan dapat ditanami jagung 1-2 kali setelah padi rendengan, sehingga meningkatkan IP menjadi 300 dan bahkan dapat diupayakan menjadi IP 400. Penerapan inovasi teknologi tersebut diharapkan dapat meningkatkan produksi jagung nasional. Pertanaman jagung di tingkat petani masih bervariasi antara jagung
Amir dan Baso Aliem Lologau : Kajian Sistem Tanam Jagung Umur Genjah Mendukung Peningkatan Produksi
lokal, jagung komposit, jagung hibrida, dan jagung turunan hibrida. Namun di sebagian besar negara berkembang terdapat 61% petani menanam jagung komposit atau bersari bebas (CIMMYT 1990 dalam Suwarno 2008). Hal ini dimungkinkan karena jagung komposit dapat beradaptasi baik pada lahan marginal (Pallival dan Sprague 1981 dalam Suwarno 2008). Di samping itu turunan jagung komposit masih dapat dijadikan benih untuk pertanaman musim berikutnya, sedangkan jagung hibrida hanya dapat ditanam turunan pertama (F1). Namun jagung hibrida memiliki potensi hasil yang lebih tinggi dibanding jagung komposit. Tujuan pengkajian ini adalah untuk melihat pengaruh sistem tanam beberapa varietas jagung umur genjah dan interaksi antara sistem tanam dengan varietas terhadap pertumbuhan dan hasil jagung. METODOLOGI Penelitian dilaksanakan pada lahan sawah tadah hujan milik petani berukuran 5 m x 10 m di Kecamatan Pattallassang, Kabupaten Takalar pada musim kemarau (MK) I, 2010. Penelitian disusun berdasarkan rancangan petak terpisah yang terdiri dari sistem tanam sebagai petak utama dan varietas jagung berumur genjah sebagai anak petak dengan 3 ulangan. Sistem tanam terdiri atas olah tanah sempurna (OTS) dan tanpa olah tanah (TOT). Varietas jagung yang digunakan adalah Bima-2, Bima-3, Lamuru, Sukmaraga, dan Gumarang. Pada petak tanpa olah tanah, lahan disemprot herbisida sistemik dengan dosis 3 liter/ha. Sementara pada petak olah tanah sempurna, dilakukan pengolahan tanah dengan traktor hingga siap tanam. Selanjutnya dibuat saluran irigasi dengan traktor pada setiap jarak 2 meter dan saluran keliling untuk mengairi apabila tanaman kekurangan air.
39
Seminar Nasional Serealia 2011
Waktu penanaman dilakukan serentak antara TOT dan OTS, yaitu satu minggu setelah gulma disemprot dengan herbisida pada petak TOT. Penanaman dilaksanakan secara tugal dengan jarak tanam 75 cm x 40 cm, dan setiap lubang tanam diisi dengan 2 biji benih jagung. Jenis dan dosis pupuk yang digunakan adalah Urea 270 kg/ha dan Phonska 400 kg/ha. Pemupukan dilakukan dua kali yaitu pada umur 10 hari setelah tanam (HST) dengan dosis 120 kg Urea dan 280 kg Phonska/ha. Pemupukan kedua dilakuakan pada umur 35 HST dengan dosis 150 kg Urea dan 120 kg Phonska/ha. Lubang pupuk dibuat dengan tugal sekitar 5-7 cm di samping batang tanaman. Setelah lubang diisi dengan pupuk, lubang pupuk ditutup dengan tanah. Parameter yang diamati adalah tinggi tanaman, biomas di atas tongkol, biomas total, panjang tongkol, bobot 1000 biji, dan hasil pipilan kering. Hasil pengamatan dianalisis menggunakan sidik ragam dan uji jarak berganda Duncan. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh cara pengolahan tanah, varietas jagung, dan interaksinya terhadap perubahan tinggi tanaman, biomas di atas tongkol dan biomas total menjelang panen disajikan dalam Tabel 1. Perlakuan sistem tanam, varietas dan interaksi antara sistem tanam dengan varietas jagung tidak mempengaruhi tinggi tanaman. Walaupun secara genetik tinggi tanaman varietas Bima-2 dan Bima-3 berbeda dengan varietas Sukmaraga, Lamuru, dan Gumarang tetapi kondisi cuaca yang selalu mendung membuat penyinaran matahari tidak maksimal dan tanaman tidak tumbuh secara optimal.
Tabel 1. Pengaruh sistem tanam, varietas dan interaksi terhadap tingggi tanaman, biomas diatas tongkol dan biomas total di Takalar, 2010. Perlakuan
Tinggi tanaman (cm)
Biomas diatas tongkol (t/ha)
Biomas total (t/ha)
240,68 a 239,24 a
7,36 a 6,76 b
22,12 a 19,14 b
241,36 236,73 231,13 234,46 231,11
a a a a a
8,35 8,65 5,78 7,13 5,40
25,11 24,10 18,46 18,80 16,66
245,43 242,40 236,63 241,60 237,36 237,30 231,06 225,63 227,33 224,86 4,61
a a a a a a a a a a
9,20 a 9,66 a 5,16 e 7,03 bc 5,76 de 7,50 bc 7,63 b 6,40 cd 7,23 bc 5,03 e 8,68
Sistem tanam TOT (Tanpa Olah Tanah) OTS (Olah Tanah Sempurna) Varietas Bima-2 Bima-3 Lamuru Sukmaraga Gumarang Interaksi sistem tanam dengan varietas TOT + Bima-2 TOT + Bima-3 TOT + Lamuru TOT + Sukmaraga TOT + Gumarang OTS + Bima-2 OTS + Bima-3 OTS + Lamuru OTS + Sukmaraga OTS + Gumarang KKb (%)
a b c b c
a a b b b
27,60 a 26,66 a 18,76 c 19,30 bc 18,26 cd 22,63 b 21,53 bc 18,16 cd 18,30 cd 15,06 d 9,40
Angka dalam satu kolom pada setiap lajur yang diikuti huruf sama tidak berbeda nyata menurut uji berganda Duncan 5 %.
Sementara bobot biomas di atas tongkol dan bobot biomas total nyata dipengaruhi oleh cara pengolahan tanah, varietas, dan interaksinya. Biomas tanaman jagung di atas tongkol pada perlakuan TOT nyata lebih tinggi daripada OTS, sedangkan biomas di atas tongkol pada Bima-3 dan Bima-2 nyata lebih berat dari varietas Lamuru dan Gumarang. Pengaruh interaksi antara cara tanam TOT dengan varietas Bima-2 dan Bima-3 memberikan biomas di atas tongkol masing-masing 9,20 t/ha dan 9,66 t/ha, lebih baik dari perlakuan interaksi OTS dengan kedua varietas, yaitu 7,50 dan 7,63 t/ha dan interaksi antara sistem tanam dengan varietas Lamuru, Sukmaraga, dan Gumarang (Tabel 1). Ini disebabkan, pada perlakuan interaksi TOT dengan varietas, persaingan dengan gulma lebih ringan dibanding perlakuan interaksi OTS dengan varietas. Pertumbuhan gulma pada perlakuan TOT tidak secepat dan selebat perlakuan OTS. Hasil penelitian mengindikasikan lebih sedikit biji gulma pada petak TOT dibanding petak OTS 40
(Fadhly et al. 2006), biji gulma terkonsentrasi pada kedalaman 5 cm dari lapisan atas tanah (Clements et al. 1996 dalam Fadhly et al. 2006). Pengolahan tanah menyebabkan rizom teki tertimbun tanah dan recovery pertumbuhan rizom teki lebih subur karena didukung oleh kelembaban tanah yang cukup tinggi akibat keadaan selalu hujan. Biomas total pada perlakuan TOT nyata lebih berat daripada biomas pada perlakuan OTS. Varietas Bima-2 dan Bima-3 mempunyai bobot biomas lebih tinggi dibanding jagung varietas Lamuru, Sukmaraga dan Gumarang (Tabel 1). Hal ini disebabkan karena batang varietas Lamuru, Sukmaraga, dan Gumarang lebih kecil dibading varietas Bima-2 dan Bima3. Interaksi antara TOT Bima-2 dan Bima-3 yang mempunyai bobot biomas di atas tongkol yang tertinggi juga memberikan bobot biomas total tertinggi masing-masing 26,66 dan 27,60 t/ha. Biomas total terendah terdapat pada perlakukan interaksi sistem pengolahan
Amir dan Baso Aliem Lologau : Kajian Sistem Tanam Jagung Umur Genjah Mendukung Peningkatan Produksi
tanah dengan varietas Gumarang yaitu 5,03 dan 15,06 t/ha (Tabel 1). Pengaruh sistem pengolahan tanah (TOT dan OTS) tidak berpengaruh nyata terhadap panjang tongkol dan bobot 1000 biji. Sedangkan panjang tongkol varietas Bima-2 dan Bima-3 berbeda nyata dengan varietas Lamuru, Sukmaraga dan Gumarang (Tabel 2). Varietas Bima-2 yang ditanam dengan system TOT menghasilkan tongkol terpanjang yaitu 18,83 cm dan berbeda nyata dengan perlakuan interaksi lainnya, kecuali interaksi sistem tanam dengan varietas Bima-3 (17,36 cm), interaksi antara sistem tanam OTS dengan Bima-2 dan Bima-3. Interaksi sistem tanam OTS dengan varietas Bima2, Bima-3 dan Sukmaraga tidak nyata pengaruhnya terhadap panjang tongkol (Tabel 2). Demikian pula interaksi antara
OTS dengan varietas Lamuru dan varietas Gumarang tidak nyata pengaruhnya terhadap panjang tongkol. Sistem pengolahan tanah tidak nyata pengaruhnya terhadap bobot 1000 biji. Demikian juga varietas Bima-2, Bima-3, Lamuru dan Sukmaraga yang ditanam tidak nyata pengaruhnya terhadap bobot 1000 biji, tetapi bobot 1000 biji keempat varietas ini nyata lebih tinggi daripada varietas Gumarang (Tabel 2). Hal ini disebabkan ukuran biji varietas Gumarang lebih kecil dibanding varietas lainnya sehingga bobot bijinya lebih ringan. Bobot 1000 biji pada interaksi sistem pengolahan tanah TOT dengan semua varietas dan interaksi antara OTS dengan varietas Bima-2, Bima-3, dan Sukmaraga tidak berbeda nyata (Tabel 2).
Tabel 2. Pengaruh sistem tanam, varietas dan interaksi terhadap panjang tongkol, bobot 1000 biji dan produksi jagung pipilan kering di Takalar, 2010. Perlakuan Sistem tanam TOT (Tanpa Olah Tanah) OTS (Olah Tanah Sempurna) Varietas Bima-2 Bima-3 Lamuru Sukmaraga Gumarang Interaksi sistem tanam dengan varietas TOT + Bima-2 TOT + Bima-3 TOT + Lamuru TOT + Sukmaraga TOT + Gumarang OTS + Bima-2 OTS + Bima-3 OTS + Lamuru OTS + Sukmaraga OTS + Gumarang KKb (%)
Panjang tongkol (cm)
Bobot 1000 biji (g)
Hasil (t/ha)
16,68 a 16,47 a
303,28 a 294,37 a
10,17 a 9,81 b
18,23 17,41 15,85 16,25 15,13
312,60 310,75 292,93 304,71 273,13
13,38 12,41 7,88 8,31 7,96
a a bc b c
18,83 a 17,36 abc 15,93 cd 16,10 bcd 15,16 d 17,63 ab 17,46 abc 15,70 d 16,40 bcd 15,10 d 4,99
a a a a b
316,13 a 312,80 ab 305,63 abc 310,77 ab 271,07 d 309,07 ab 308,70 ab 280,23 bcd 298,67 abcd 275,20 cd 5,71
a b c c c
13,56 a 12,83 b 7,96 de 8,53 d 7,96 de 13,20 ab 12,00 c 7,80 e 8,10 de 7,96 de 3,39
Angka dalam satu kolom pada setiap lajur yang diikuti huruf sama tidak berbeda nyata menurut uji berganda Duncan 5 %.
41
Seminar Nasional Serealia 2011
Pengaruh sistem pengolahan tanah berbeda nyata terhadap hasil jagung pipilan kering. Hasil jagung yang ditanam dengan system TOT nyata lebih tinggi (10,17 t/ha) dibanding yang ditanam dengan sistem olah tanah sempurna OTS yaitu 9,81 t/ha (Tabel 2). Hal ini disebabkan pertumbuhan gulma pada lahan yang diolah sempurna lebih cepat dan lebih subur yang memacu persaingan hara dengan tanaman jagung yang berakibat penurunan hasil. Unsur hara yang menjadi kompetitif utama antara gulma dengan jagung adalah nitrogen. Gulma lebih banyak menyerap hara dibandingkan tanaman utama. Pada bobot kering yang sama, gulma mengandung nitrogen 2 kali lebih banyak daripada jagung, fosfat 1,5 kali lebih banyak, kalium 3,5 kali lebih banyak; kalsium 7,5 kali lebih banyak dan magnesium lebih dari 3 kali. Kerugian tanaman budidaya yang disebabkan oleh gulma sebesar 28% (Anonim 2008). Persaingan tanaman jagung dengan gulma pada sistem TOT tidak sehebat dengan sistem OTS, khususnya pada awal pertumbuhan tanaman karena pengaruh herbisida yang sistemik sehingga gulma mati sampai keakarakarnya. Sistem tanam tanpa olah tanah merupakan sistem olah tanah konservatif yang dapat meningkatkan aktivitas mikroorganisme tanah dan menyebabkan aerasi tanah lebih baik, sehingga pertumbuhan dan hasil tanaman lebih optimal. Disamping itu sistem tanam TOT tidak merusak partikel tanah sehingga kelembaban tanah lebih baik untuk pertumbuhan tanaman (Utomo 1997 dalam Rafiuddin dkk. 2006). Hasil varietas Bima-2 (13,38 t/ha) nyata lebih tinggi dari varietas Bima-3 (12,41 t/ha). Hasil kedua jagung hibrida ini nyata lebih tinggi disbanding varietas komposit varietas komposit Lamuru, Sukmaraga, dan Gumarang (Tabel 2). Hal ini disebabkan varietas Bima-2 dan Bima-3 mempunyai tongkol (jenggel) yang lebih panjang. Semakin panjang tongkol yang terbentuk, semakin panjang 42
tempat melekatnya biji jagung dan berkorelasi positif dengan hasil pipilan kering. Selain itu varietas hibrida menghasilkan biji yang lebih besar dibanding varietas bersari bebas (Wong 1991 dalam Suwarno 2008). Pengaruh interaksi antara sistem tanam TOT dengan varietas Bima-2 memberikan hasil pipilan kering tertinggi yaitu 13,56 t/ha dan berbeda nyata dengan interaksi sistem tanam dengan varietas lainnya, namun secara statistik tidak berbeda nyata dengan hasil pipilan kering pada interaksi sistem tanam OTS dengan Bima-2 (Tabel 2). Meskipun penampilan awal pertumbuhan tanaman setiap varietas pada lahan yang diolah sempurna lebih baik, namun hasil akhir yang diperoleh tidak berbeda nyata dengan lahan tanpa olah tanah (Rafiuddin dkk. 2006) karena lahan yang tidak diolah dapat melestarikan tanah dan air, persiapan lahan lebih singkat dan biaya usahatani lebih murah (Akobundu dan Okigho, 1984 dalam Rafiuddin dkk. 2006). Pada perlakuan tanpa olah tanah, partikel tanah tidak rusak sehingga kelembaban tanah lebih kondusif untuk pertumbuhan tanaman (Manurung dan Syam’un 2002 dalam Rafiuddin dkk. 2006). Keuntungan lain dari sistem pengolahan tanah TOT adalah penanaman jagung dapat dilakukan lebih awal satu bulan dibanding sistem tanam OTS, sehingga sisa air tanah setelah padi rendengan masih dapat dimanfaatkan oleh tanaman jagung (Wahid et al. 2002). KESIMPULAN 1. Sistem tanam TOT memberikan pengaruh yang lebih baik dibanding sistem tanam OTS. 2. Tidak terdapat perbedaan nyata antara sistem tanam TOT dan OTS terhadap pertumbuhan tanaman. 3. Varietas Bima-2, Bima-3, Lamuru dan Sukmaraga memberikan pengaruh yang tidak nyata terhadap bobot 1000 biji pada kedua sistem tanam, kecuali varietas Gumarang.
Amir dan Baso Aliem Lologau : Kajian Sistem Tanam Jagung Umur Genjah Mendukung Peningkatan Produksi
4. Sistem tanam TOT memberikan hasil jagung pipilan kering lebih tinggi (10,17 t/ha) dibanding sistem tanam OTS (9,81 t/ha). Interaksi varietas Bima-2 dengan sistem tanam TOT menghasilkan pipilan kering teringgi yaitu 13,56 t/ha.
DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2008. Kerugian akibat gulma. http://eone87.wordpress.com /2008/11/13/ gulma-tanaman/. Diakses, 21 Agustus 2011. Fadhly, A.F. dan Fahdiana Tabri, 2006. Gulma dan Pengendaliannya pada Pertanaman Jagung Tanpa Olah Tanah. Prosiding. Seminar dan Lokakarya Nasional, 28-30 September. Puslitbangtan. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. Kasryno, F.2002. Perkembangan produksi dan konsumsi jagung dunia selama 4 dekade yang lalu dan implikasinya bagi Indonesia. Makalah disampaikan pada seminar sehari Agribisnis Jagung, 24 Juni. Bogor. Moentono,M.D. 1993. Sumber Daya Lingkungan Tumbuh Jagung. Prosiding Simposium Penelitian Tanaman Pangan III. Jakarta/Bogor 23-25 Agustus. Kinerja Penelitian Tanaman Pangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Litbang Pertanian.
43
Seminar Nasional Serealia 2011
Profil Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Sulawesi Selatan, 2007. Luas lahan sawah di Sulawesi Selatan. Rafiuddin; R. Padjung; dan M.Tandi. 2006. Efek sistem olah tanah dan super mikro hayati terhadap pertumbuhan dan produksi jagung. Jurnal Agrivigor. Vol.5. Fakultas Pertanian dan Kehutanan. Universitas Hasanuddin. Syafruddin, 2005. Kajian Potensi Lahan untuk Menunjang Optimalisasi Pengembangan Tanaman Jagung. Program Doktor Ilmu Pertanian. Program Pascasarjana Unhas. Makassar. Sudjana, A dan R. Setiyono, 1993. Jagung untuk Lahan Sawah Tadah Hujan. Prosiding Simposium Penelitian Tanaman Pangan III. Jakarta/Bogor 23-25 Agustus. Suwarno, W.B. 2008. Perakitan Varietas Jagung Hibrida. http://willy.situshijau.co.id. Diakses, 18 Juli 2011. Tangendjaya, B dan Gunawan, 1988. Potensi Limbah Jagung. Jagung. Pusat Penelitian dan Pengembanan Tanaman Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Wahid, A.S, Muslimin, Zainuddin, S. Saenong, dan D. Baco. 2002. Kajian efisiensi dan diversifikasi kelembagaan coorporate farming pada lahan sawah tadah hujan. BPTP Sulawesi Selatan. Makassar.