KAJIAN SEKUNDER TERHADAP MARKETPLACE PARIWISATA BALI Oleh I Gusti Bagus Rai Utama1 Fakultas Ekonomika dan Humaniora, Universitas Dhyana Pura Email:
[email protected]
Abstract Satisfaction and loyalty among all the stakeholders of tourism can be measured by an increase in quality of life of local communities, while the government should get direct revenue from the tourism sector through taxes and others to manage destinations. The next measurement is the investors get a disproportionate benefit to sustainable business. Furthermore, the most important measure is the creation of quality of experiences for tourists, which resulted in the customer loyalty. For Bali Tourism Destination, maintain loyalty of tourists, especially on the 10 major markets of Bali e.g. Australian, Chinese, Japanese, Malay, Taiwanese, Korean, French, Singaporean, England, and American is more important than targeting a new marketplace. Maintaining good relations with the ten countries is a strategy that should be preserved and also improve the quality of Bali tourism destination attractions in anticipation of competition between destinations, especially in Southeast Asia.
PENDAHULUAN Pariwisata dan sektor hiburan adalah dua sektor yang berkembang cukup pesat dalam pembangunan ekonomi sebuah negara. Perkembangan tersebut disambut baik oleh sektor swasta dan pemerintah untuk ikut mendapatkan keuntungan. Mereka berlombalomba untuk menarik calon wisatawan, berusaha membuat para wisatawan loyal dan berharap mendapatkan peluang kunjungan di tahun-tahun berikutnya sehingga mereka juga berusaha meningkatkan diri (destinasi) agar lebih unggul dari destinasi lainnya.
Perencanaan yang Berhasil Pembangunan destinasi pariwisata memerlukan penelitian yang mendalam agar perencanaan dapat disusun dengan tepat untuk mengasilkan formulasi strategi yang efektif dan efesien. Penelitian tersebut minimal dalam bentuk fesibiliti analisis atau analisis kelayakan terhadap perencanaan pembangunan destinasi pariwisata. 1
Dr. I Gusti Bagus Rai Utama, SE., MMA., MA adalah Dosen pengampu matakuliah Ekonomi Pariwisata, dan juga Alumni Program Doktor Pariwisata pada Universitas Udayana, Bali
Tourism Marketplace
1
Perencanaan yang baik dapat mengambarkan kesesuaian daya tarik yang ditawarkan dengan calon wisatawan yang akan berkunjung ke sebuah destinasi. Kesesuaian antara daya tarik dan minat wisatawan terhadap tujuan kunjungannya dapat digambarkan pada perencanaan marketplace pariwisata pada strategi pemasaran sebuah destinasi. Hubungan antara pariwisata dan dunia hiburan adalah sangat erat dan berdampak secara luas terhadap aspek social, ekonomi, dan lingkungan sehingga memerlukan strategi yang baik pada tingkat lokal maupun nasional. Strategi pemasaran yang baik mestinya dapat menggambarkan tubuh dari sektor pariwisata dengan semua sektor pendukungnya; siapa saja yang terlibat dalam sektor pariwisata dan hiburan tersebut seperti misalnya pengelola museum, pengelola obyek wisata, hotel, dan perusahaan jasa hiburan lainnya. Hubungan keterkaitan antara sector yang berhubungan dengan pariwisata digambarkan sebagai sebuah anatomi pariwisata yang adalah gambaran antara produk yang ditawarkan dihadapkan pada peluang konsumennya pada marketplace.
Indikator Kesuksesan Sebuah Destinasi Pariwisata Kepuasan Pelaku, Destinasi, Pemerintah, dan Wisatawan akan berdampak pada Pelaku, Destinasi, Pemerintah, dan Wisatawan. Loyalitas akan menjadi faktor penting untuk menciptakan kondisi destinasi yang “profit” dan dapat diukur jika pembangunan pariwisata dapat meningkatkan quality of profit dari para pelaku pariwisata, dapat meningkatkan quality of life dari penduduk lokal, manajemen destinasi meningkat secara quality of services, dan ukuran terakhir adalah quality of experiences wisatawan dapat ditingkatkan. Sementara
Max-Neef
(1992)
menjelaskan
bahwa,
pembangunan
berkesinambungan termasuk juga pembangunan pariwisata akan dapat berkelanjutan jika terjadi harmonisasi atau keseimbangan antara residents “quality of life”, tourists “quality of experiences”, dan Provider Industries “quality of opportunity”. Fundamental needs (Max-Neef) menurutnya terdiri dari 10 elemen yakni: subsistence, protection, affection, understanding, participation, leisure, creation, identity, freedom and transcendence. Sedangkan untuk mengukur derajat keseimbangan ketiga elemen di atas diajukan dua pertanyaan yakni: (1) How does tourism contribute to dissatisfaction of needs?, (2) How Tourism Marketplace
2
can tourism contribute to satisfaction of needs?, sedangkan derajatnya
diukur
berdasarkan: Being, Having, Doing, Interacting.
Gambar. 1 Konsep Hubungan antara Stakeholder Pembangunan yang Berkelanjutan Sumber: Max-Neef (1992) 2
Jika dihubungkan dengan Pariwisata Budaya Bali, tentunya masyarakat Bali
sebagai resident’s owner of the destination bertujuan untuk mewujudkan tercapai quality of life yang lebih baik seiring dengan berkembangknya pariwisata Bali, sementara Wisatawan sebagai consumers of the destination ingin mewujudkan quality of experience-nya selamat berlibur di Bali, dan pastinya para pelaku bisnis pariwisata sebagai providers of the destination ingin mewujudkan quality of opportunity atas investasi yang telah ditanamkan pada industri pariwisata Bali. Dalam konteks yang sama, Budaya Bali harus tetap lestari karena merupakan factor keunikan destinasi, sementara masyarakat Bali harus disejahterakan oleh kemajuan pembangunan pariwisata Bali agar mereka mampu berkreasi dan melestarikan tradisi yang pastinya memerlukan dukungan financial, sementara wisatawan berkepentingan akan “value for money” yakni terwujudnya antara expectation and satisfaction sehingga akan menimbulkan loyalitas terhadap Bali sebagai destinasi.
2
Max-Neef (1992): Tourism community relationships
Tourism Marketplace
3
KAJIAN DAN PEMBAHASAN
Manajemen Pemasaran Sebuah produk dikembangkan dan dikelola untuk keinginan memuaskan konsumen namun harus tetap mempertimbangkan keaslian produk “nature of product” dan tentunya harus disesuaikan dengan visi dan tujuan organisasi pengelolanya. Konsep ini juga sangat relevan dengan pengembangan produk pariwisata budaya (Mill dan Morrison, 1985: 360) Menurut Haywood (1990) untuk menghadapi paradoksi antara tujuan pemasaran dan pengelolaan warisan budaya sebagai sebuah produk, elemen kunci dari pemasaran produk harus dapat menggantikan visi dan tujuan yang telah ditetapkan oleh organisasi pengelola. Pengelola harus dapat menterjemahkanya dan selanjutnya dapat menciptakan produk yang benar-benar diinginkan oleh konsumen. Pemasaran tidak hanya merupakan sebuah fungsi dari sebuah organisasi yang hanya melibatkan sumberdaya manusia dan keuangan tetapi merupakan sebuah filosofi yang dapat menggerakkan pengelola dan arah pelaksanaan baik dalam jangka pendek dan jangka panjang yang dituangkan pada sebuah ide pemasaran (Middleton, 1994). Sehingga pemahaman yang lengkap tentang idealisme dan konsep pemasaran jarang ditemukan dalam kenyataannya. Banyak contoh yang dapat ditampilkan untuk menunjukkan kegagalan menerapkan konsep pemasaran, dimana pemasaran lebih diarahkan hanya untuk
meningkatkan
jumlah
kunjungan
wisatawan,
melakukan
promosi,
dan
memaksimalkan penjualan yang sudah pasti menerapkan prinsif focus pada keinginan konsumen untuk mewujudkan tujuan organisasi. Pemahaman tentang produk saat ini membawa pengaruh terhadap bagaimana sumberdaya pariwisata dikemas untuk kepentingan konsumsi pariwisata untuk memenuhi beberapa tujuan industri pariwisata. Tantangan yang sebenarnya justru pada pentingnya komunikasi antara sumberdaya pariwisata dan wisatawan untuk dapat menyampaikan pesan yang benar dan pencitraan yang baik agar dapat menarik wisatawan yang benarbenar mencari pengalaman berwisata yang sesuai dengan keberadaan dari sebuah situs dan memberikan sebuah pengalaman belajar untuk wisatawan. Tourism Marketplace
4
Marketplace Pariwisata “Marketplace is physical, as when one goes shopping in a store, Marketspace is digital, as when someone shopping on the internet”(Kolter, 2010) Marketplace adalah unsur fisik sebagaimana orang berbelanja ke sebuah toko, sementara marketspace adalah unsur lain yang dapat berbentuk digital sebagaimana seseorang berbelanja melalui media internet. Namun dalam konsep pemasaran pariwisata, definisi tersebut di atas harus disesuaikan lagi karena karakteristik produk pariwisata tidak hanya bersifat tangible semata namun merupakan gabungan antara yang tangible dan intangible. Untuk memahami marketplace dalam pariwisata, diberikan contoh sebagai berikut: terdapat enam pasar besar wisatawan Hong Kong yakni: Taiwan, Cina daratan, Singapura, Inggris, Amerika Serikat, dan Australia, dari kelima pasar wisatawan tersebut, mereka memiliki selera yang berbeda. Wisatawan western lebih menyukai aktivitas pariwisata budaya, sementara wisatawan Asia memiliki ketertarikan yang lebih rendah tentang pariwisata budaya jika dibandingkan wisatawan western. Padahal pasar wisatawan asia terbilang cukup besar yakni hampir 75% dari seluruh wisatawan yang berwisata ke Hong Kong. Menurut (HTB, 2001) pasar wisatawan Cina adalah pasar terbesar bagi Hong Kong saat ini, sehingga pada kasus ini, masih sangat diragukan keberhasilan pemerintah Hong Kong untuk menarik minat wisawatan dengan menjadi pariwisata budaya sebagai faktor kunci.
Marketplace Pariwisata Bali Markerplace pariwisata Bali dapat dilihat dari indikator pangsa pasar dominan yang ada beberapa tahun terakhir. Jika dilihat dari trend kunjungan wisatawan asing yang berwisata ke Bali berdasarkan kebangsaannya, maka dapat disusun 10 ranking utama wisatawan sebagaimana terpapar pada tabel 1 berikut ini:
Tourism Marketplace
5
Tabel. 1 Peringkat Utama Wisatawan Mancanegara ke Bali Berdasarkan Kebangsaannya Rank 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
2007 2008 2009 2010 2011 Jepang Jepang Australia Australia Australia Australia Australia Jepang Jepang China Taiwan KorSel China China Jepang KorSel Malaysia Malaysia Malaysia Malaysia Malaysia China KorSel KorSel Taiwan China Taiwan Taiwan Taiwan KorSel Inggris Inggris Prancis Prancis Prancis Jerman Jerman Inggris Inggris Singapura Prancis Prancis Jerman Singapura Inggris Amerika Amerika Belanda Jerman Amerika Serikat Serikat Serikat Sumber : Kanwil Dep Kehakiman dan HAM Prov. Bali, 2012
Wisatawan yang berkebangsaan Australia adalah marketplace terbaik dan konsisten bagi Bali karena menunjukkan trend yang semakin meningkat rankingnya terhitung sejak tahun 2007 hingga tahun 2011. Sementara wisatawan Jepang sebenarnya marketplace yang baik bagi Bali namun tiga tahun terakhir menunjukkan trend yang menurun, hal ini disebabkan besar kemungkinan oleh faktor dalam negeri Jepang yakni krisis ekonomi dan bencana alam tsunami pada tahun 2011. Wisatawan Korea Selatan juga menunjukkan kecenderungan yang sama dengan wisatawan asal Jepang. Marketplace wisatawan China cenderung mengalami trend yang semakin meningkat bahkan menjadi semakin penting sepanjang lima tahun terakhir. Trend wisatawan China cukup konsisten dan bertumbuh positif begitu juga wisatawan Prancis dan Taiwan menunjukkan indikasi yang sama dengan trend wisatawan China. Dari data di atas, dapat digambarkan bahwa 10 negara tersebut merupakan marketplace pariwisata Bali saat ini, sehingga pemasaran yang efektif dapat diarahkan untuk mempertahankannya. Keadaan yang berhubungan dengan sepuluh negara tersebut mestinya menjadi pemantauan pihak manajemen Destinasi Pariwisata Bali karena
Tourism Marketplace
6
sepuluh negara tersebut adalah marketplace yang baik yakni Australia, China, Jepang, Malaysia, Taiwan, KorSel, Prancis, Singapura, Inggris, dan Amerika Serikat. Sementara penelitian yang pernah dilakukan oleh Dinas Pariwisata Bali yang tersaji pada tabel 2, tentang persepsi wisatawan terhadap pariwisata Bali, menemukan bahwa wisatawan yang datang ke Bali dominan berkebangsaan Australia yakni sebesar 24% dan Jepang sebesar 11%, berikutnya adalah wisatawan Malaysia sebesar 8%, Korea Selatan sebesar 7%, China sebesar 6%, Inggris sebesar 6%, dan Singapura (4%). Secara empiris bahwa marketplace pariwisata Bali adalah wisatawan Australia, Jepang, Malaysia, Korea Selatan, China, Inggris, dan Singapura. Sementara wisatawan dari kebangsaan lainnya adalah marketplace potensial yang masih harus dikelola lebih lanjut agar terjadi peningkatan kunjungan di masa yang akan datang.
Tabel. 2 Kunjungan Wisatawan Mancanegara ke Bali Berdasarkan Kebangsaannya Kebangsaan Percent Kebangsaan Australia* 24.0 Liberia Belanda 3.0 Malaysia*** Belgia 1.0 Prancis British 4.0 Rusia Cheko 1.0 Selandia Baru China***** 6.0 Singapura French 1.0 Spanyol India 2.0 Swedia Iran 1.0 Swiss Italia 1.0 Taiwan***** Jepang** 11.0 Thailand Jerman 4.0 USA Kanada 1.0 Yaman Korea Selatan**** 7.0 Liberia Sumber : Hasil Penelitian Disparda Bali, 2010
Percent 1.0 8.0 3.0 2.0 1.0 4.0 1.0 1.0 1.0 5.0 1.0 4.0 1.0 1.0
Wisatawan Jerman, Prancis, Belanda merupakan marketplace yang potensial namun belum optimal sehingga perlu adanya strategi pemasaran yang lebih internship untuk menggarap marketplace wisatawan dari negara tersebut. Tourism Marketplace
7
SIMPULAN DAN SARAN Dalam strategi pemasaran modern, strategi pemasaran yang terintegrasi harus dapat diformulasikan dengan baik sehingga kesinambungan dan siklus hidup dari destinasi dapat dipertahankan dan bahkan dapat ditingkatkan secara berkesinambungan. Hal ini akan dapat diwujudkan jika kepuasan dan loyalitas antara semua shareholder dan para stakeholder pariwisata dapat diwujudkan: peningkatan kualitas hidup masyarakat lokal akan menjadi ukuran yang penting untuk mengukur keberhasilan pembangunan sebuah destinasi, sementara pemerintah harusnya mendapatkan pendapatan langsung dari sector pariwisata melalui pajak dan retribusi lainnya untuk mengelola destinasi. Sementara para investor mendapat keuntungan yang proporsional dan berkesinambungan bagi kelangsungan bisnisnya. Dan ukuran yang terpenting adalah terciptanya kualitas perjalanan wisata “quality of experiences” bagi wisatawan, perjalanan yang mengesankan yang berujung pada kunjungan kembali jika loyalitas pelanggan “wisatawan” telah tercipta. Bagi Destinasi Pariwisata Bali, memelihara loyalitas wisatawan khususnya pada 10 pangsa pasar utama yang merupakan marketplace pariwisata Bali jauh lebih penting jika dibandingkan mencari atau menyasar marketplace baru. Memelihara hubungan baik dengan sepuluh negara tersebut merupakan strategi yang mestinya harus dipertahankan dan juga meningkatkan kualitas daya tarik destinasi pariwisata Bali dengan cara melakukan komunkasi pemasaran terhadap marketplace yang telah ada untuk mengantisipasi dinamika “need and want” pelanggan dan tentu saja untuk memenangkan persaingan antara destinasi khususnya di kawasan Asia Tenggara.
DAFTAR PUSTAKA
Ap, J. & Mak, B. (1999). Balancing Cultural Heritage, Conservation and Tourism Development in a Sustainable Manner. Paper presented at the International Conference: Heritage and Tourism, 13th–15th December, Hong Kong. Ashworth, G. J. (1994). From History to Heritage – From Heritage to Identity. In G. J. Ashworth&P. J. Larkham (eds), Building a New Heritage: Tourism Culture and Identity in the New Europe (pp. 13–30) Routledge, London. Tourism Marketplace
8
Buhalis, D. (1999). Marketing the Competitive Destination of the Future. Tourism Management, 21(1), 97–116. Tourism Management, 9(3), 239–240. Hong Kong Tourism Board (2001). Visitor Profile Report 2001. Hong Kong Tourism Board. Hughes, H. L. (1989). Tourism and the Arts: A Potentially Destructive Relationship? Tourism Management, 10(2), 97–99. Jansen-Verbeke,M.&Lievois, E. (1999). Analyzing Heritage Resources for Urban Tourism in European Cities. In D. G. Pearce & R. W. Butler (eds), Contemporary Issues in Tourism Development (pp. 81–107) Routledge, London. Kanwil Dep Kehakiman dan HAM Prov. Bali, (2012). Data Pariwisata Kota Denpasar 2011. Kotler, P. (1997). Marketing Management: Analysis, Planning, Implementation, and Control, 9th edn. Prentice Hall, Englewood Cliffs, NJ. Kotler, P. & Armstrong, G. (1991). Principles of Marketing. 5th edn. Prentice Hall, Englewood Cliffs, NJ. Leask, A. & Yeoman, I. (1999). Heritage Visitor Attraction: An Operations Management Perspective. Cassell, New York. Lowenthal, D. (1996). The Heritage Crusade and the Spoils of History. The Free Press, New York. Max-Neef (1992), Sustainabelity Development: Quality of Leisure and Tourism, bahan kuliah School of Graduate Studies CHN University Netherlands. McKercher, B. (2002). Towards a Classification of Cultural Tourists. International Journal of Tourism Research, 4, 29–38. McKercher, B. & Chow, B. (2001). Cultural Distance and Participation in Cultural Tourism. Pacific Tourism Review, 5, 23–32. McKercher, B. & du Cros, H. (2002). Cultural Tourism: The Partnership Between Tourism and Cultural Heritage Management. The Haworth Press, New York. McKercher, B., Ho, P., du Cros, H. & Chow, B. (2002). Activities-Based Segmentation of the Cultural Tourism Market. Journal of Travel and Tourism Marketing, 12(1), 23–46. Middleton, V. T. C. (1994). Marketing in Travel and Tourism. 2nd edn. Butterworth Heinemann, Oxford. Tourism Marketplace
9
Mill, R. C. & Morrison, A. M. (1985). The Tourism System: An Introductory Text. Prentice Hall, Englewood Cliffs, NJ. Millar, S. (1989). Heritage Management of Heritage Tourism. Tourism Management, 10(1), 9–14. Reynolds, P. (1999). Design of the Process and Product Interface. In A. Leask & I. Yeoman (eds), Heritage Visitor Attractions (pp. 110–126) Cassell, New York. Richards, G. (1996). Production and Consumption of European Cultural Tourism. Annals of Tourism Research, 23(2), 261–283. Shackley, M. (2001). Managing Sacred Sites. Continuum, London. Silberberg, T. (1995). Cultural Tourism and Business Opportunities for Museums and Heritage Sites. Tourism Management, 16(5), 361–365. Timothy, D. J. (1997). Tourism and the Personal Heritage Experience. Annals of Tourism Research, 24(3), 751–754.
Tourism Marketplace
10