TEMU ILMIAH IPLBI 2014
Kajian Ruang Liminal pada Konsep Teritori Pemukiman Adat Sunda Cigugur melalui Analisis Ritual “Ngajayak” Yunita Dwi A.(1), Indah Widiastuti(2) (1) (2)
Alur Riset/ Program Studi Magister Arsitektur/SAPPK, Institut Teknologi Bandung. Kelompok Keahlian Sejarah Teori dan Kritik Arsitektur / Program Studi Arsitektur/SAPPK, Institut Teknologi Bandung.
Abstrak Konsep teritori Kampung Adat Sunda asli tidaklah statis seperti yang lazim digunakan untuk mendefinisikan teritori permukiman adat, yaitu melalui penanda fisik saja. Riset ini menjelajahi konseptualisasi teritori pemukiman adat serta keutuhan dan kepaduan spasial unit adat dengan cara menelusuri ritual adatnya. Dalam penelitian ini, prosesi Ngajayak dari ritual Seren Taun di Kesatuan Adat Sunda Cigugur dibaca sebagai penanda spasial yang bersifat dinamis. Area-area transisi dan peralihan atau ruang Liminal atau ‘ambang’ dilihat sebagai penanda pembentukan kebertempatatan (placemaking) yang bisa hadir dalam bentuk ruang (space), zona atau area, ataupun rangkaian batas atau jaringan ruang dan tempat. Kata-kunci : ruang liminal, liminoid, Ngajayak, Seren Taun, Kesatuan Adat Sunda Cigugur.
Pengantar Pemahaman konvensional Kampung Adat cenderung terfokus pada properti fisik yang statis yang belum cukup menjelaskan sifat teritorial Kampung Adat yang pada hakikatnya dinamis. Sifat obyektif pemukiman adat yang merupakan entitas organik ketimbang politis, memunculkan konsep batas-batas spasial yang bersifat relatif dan dinamis. Penelusuran atas batas-batas dinamis sebuah kampung adat merupakan prinsip alternatif untuk memahami keutuhan dan kepaduan spasial sebuah unit adat. Salah satunya adalah dengan menjejak prosesi ritual adat. Ritual adat sebagai bagian dari tradisi sebuah unit etnis/komunitas adat berkorelasi dengan eksistensi teritorial dari unit tersebut (Turner, 1975). Prinsip penelusuran prosesi ritual ini dapat digunakan sebagai pendekatan untuk mengenali keutuhan unit teritorial sebuah Kampung Adat Sunda lewat analisis kegiatan ritualnya - dalam skala komunal atau kampung. Pendekatan ini menjadi bermanfaat untuk menjelajahi kampung adat yang penanda-penanda fisik teritorialnya secara kasat fisik dan nyata sudah sukar dikenali.
Berikut adalah beberapa kesepakatan definisi yang digunakan dalam riset ini. Ritual merupakan rekaman ‘drama sosial’ yang mencerminkan memori kolektif sebuah komunitas, termasuk di dalamnya catatan mengenai aksi penandaan wilayah (Turner, 1975). Pola pergerakan dalam ritual membentuk tatanan spasial dari komunitas pemangku adatnya (Siregar, 1990). Otentisitas sebuah “ritual” dilegitimasi lewat sifat kegiatannya yang bersifat turun temurun dilakukan oleh sebuah komunitas (Couldry, 2000). Teritori adalah ruang yang diberi batas atau cagar yang melibatkan identifikasi psikologis terhadap tempat, seperti tindakan pengaturan dan sikap memiliki pada benda-benda yang berada didalamnya (Pastalan, 1970). Batas dari sebuah teritori bisa dikenali lewat terjadinya perubahan perilaku dan sifat privasi ketika teritori tersebut ditembus (Lang, 1987). Berkaitan dengan status peralihan ini ruang liminal adalah ruang ‘ambang’ atau peralihan dari suatu kondisi ke kondisi lainnya yang di dalamnya terjadi perubahan, ketidakpastian, atau terbaliknya hierarki sosial yang menunjukkan Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2014 | A_73
Kajian Ruang Liminal pada Konsep Teritori Pemukiman Adat Sunda Cigugur melalui Analisis Ritual “Ngajayak”
situasi yang lebih lunak. Ruang liminal bisa bersifat fleksibel, tidak kaku, lebih mengalir, dan bisa dinegosiasikan tergantung kepada kebutuhan dari pelaku ritual. Hal ini memunculkan sifat liminoid, yaitu memiliki keluwesan ambang dan permeable (Turner, 1964). Dengan demikian, penjelajahan atas ruangruang liminal pada sebuah ritual adat merupakan penelusuran atas serangkaian batas yang hadir atau “mengada” selama proses ritual berlangsung. Kehadiran batas yang bersifat serta merta (emergence) inilah yang akan disimpulkan sebagai konstituen dari sebuah teritori. Dalam penelitian ini, lingkup yang diambil adalah Kesatuan Adat Sunda Cigugur. Ritual yang dijadikan kasus adalah Upacara Seren Taun Cigugur. Perlu digaris bawahi bahwa ungkapan kesatuan adat dengan pemukiman adat bisa saja melingkupi obyek yang sama, namun pada prinsipnya keduanya adalah konsep yang berbeda. Pemukiman adat didefinisikan lewat batas-batas yang jelas dan statis. Kesatuan adat didefinisikan lewat keutuhan kompleks sosial-spasial yang dinamis. Istilah Kesatuan Adat Sunda dipilih dikarenakan Pemukiman Adat Cigugur tidak lagi memiliki tampilan formal yang cukup khas Sunda. Struktur permukimannya pun sudah mengalami transformasi sehingga penanda fisiknya sukar dikenali. Secara administrasi pemukiman adat Cigugur itu telah menjadi satu dengan Kecamatan Cigugur di bawah Pemeritahan Kota dan Kabupaten Kuningan.
Seren Taun-Ngajayak Seren Taun adalah ritual syukuran panen dari masyarakat agraris Sunda yang dilakukan setiap sehabis panen. Selain di Kesatuan Adat Sunda Cigugur, Seren Taun hingga saat ini masih dilakukan di beberapa Kampung Adat Sunda lainnya, seperti Kasepuhan Ciptagelar-Sukabumi, Desa Rancakalong-Subang, dan Kampung Kanekes Baduy-Banten Selatan, tentunya dengan waktu berbeda tergantung masa panen masing-masing. Seren Taun memiliki urutan prosesi yang bervariasi di tempat dan komunitas yang berbeda. A_74 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2014
Secara umum, dalam ritual Seren Taun selalu ada tiga prosesi utama, yaitu : 1) prosesi menjemput bibit padi dan hasil panen yang disebut ‘mapag pare’ atau ‘mapag sri’; 2) prosesi mengawinkan dan mendoakan bibit padi; 3) prosesi mengolah padi dari bentuk ranggeuyan (ikatan) hingga menjadi beras yang disebut ‘nutu’. Di Pemukiman Adat Cigugur, semenjak awal penyelenggaraanya di tahun 1920, Seren Taun mengalami banyak perubahan baik berupa nama, kompleksitas komponen prosesi, tempat, waktu pelaksanaan, urutan dan runutan prosesi, serta pelaku dan jejaringnya. Di masa kini, terdapat enam prosesi utama yang dilakukan selama lima hari (18-22 Rayagung Saka Sunda), yaitu : 1) penyalaan obor sebagai pembuka yang disebut Damar Sewu; 2) pembuangan hama yang disebut Pesta Daddung/Seribu Kentongan; 3) Helaran Budaya; 4) mendoakan bibit padi yang dilakukan dengan Kidung Spiritual dan Ngareremokeun; 5) menjemput bibit padi dan hasil bumi yang disebut Ngajayak; dan 6) menumbuk padi yang disebut Nutu sebagai puncaknya. Prosesi Ngajayak atau mapag pare (menjemput padi) adalah prosesi menjemput bibit padi dan hasil bumi dari kampung-kampung yang berada dalam Kesatuan Adat Sunda Cigugur menuju ke sebuah kawasan inti yang disebut Paseban (paseba’an, tempat persembahan), dimana bangunan Pendopo-Jinem, Leuit Indung, Saung Lisung/Panutuan, dan Dapur Ageung berada untuk kemudian menjalani prosesi dikawinkan dan didoakan bagi bibit padi, dan prosesi penumbukkan atau Nutu bagi padi hasil panen. Prosesi Ngajayak berlangsung dalam iringiringan panjang, terdiri dari pimpinan rombongan (lulugu); penabuh dogdog (sejenis gendang); pemain angklung buncis; pembawa umbul-umbul; sepasang pemuda pembawa payung janur susun tiga; sebelas pasang mudamudi pembawa bibit padi dan payung janur (barisan nonoman); ibu-ibu pembawa sesaji, ikat padi, tumpeng sabogana dan makanan di atas kepala (barisan nyuhun); dan bapak-bapak pembawa rengkong pare, dongdang (sejenis tandu) hasil bumi dan jajan pasar. Pada kondisi terakhir, Ngajayak dilakukan dari empat penjuru mata angin, menuju satu titik, yaitu Tugu di
Yunita Dwi Adisaputri
tengah-tengah kawasan Paseban, menjalani prosesi berputar lalu masuk ke Saung Lisung/Panutuan untuk prosesi Nutu. Sedangkan bibit padi akan dibawa ke dalam gedung Paseban untuk bergabung dengan bibit padi yang telah dikawinkan semalam sebelumnya. Iring-iringan Ngajayak merupakan wujud gotong royong mempersembahkan hasil bumi sebagai wujud rasa syukur warga dari blok adat yang ada. Jumlah blok adat yang delapan belas menunjukkan tanggal 18 Rayagung Saka Sunda, juga ‘delapan welas’ yang bagi pelakunya bermakna welas asih atau berkah Sang Pencipta datang dari segala penjuru dalam wujud hasil bumi, kemakmuran, dan keakuran warga. Jumlah barisan nonoman yang sebelas pasang muda-mudi yang membawa bibit padi menjadi simbol dari tanggal 22 Rayagung Saka Sunda, sekaligus bermakna bahwa segala di alam ini selalu berada dalam konsep diadik, seperti lakiperempuan, siang-malam, matahari-bulan, dan menjadi penyeimbang alam, juga melambangkan proses reproduksi yang dipandang penting dalam keberlangsungan generasi berikutnya. Begitu pun Barisan Nyuhun yang membawa sesaji makanan, barisan hasil bumi dengan dongdang menunjukkan kegotongroyongan warga dalam ritual syukuran panen. Adapun barisan umbul-umbul, Angklung Buncis dan penabuh dogdog menjadi pengarah di depan. Sehingga ketika iring-iringan berjalan di sepanjang jalan, pengguna jalan lainnya (angkot, pengendara lainnya) serta merta menempatkan diri dan mempersilakan iring-iringan lewat. Suara yang didengar dan umbul-umbul yang terlihat dari jauh menjadi penanda pula bagi penari Lengser yang berada di dekat Tugu untuk memulai prosesi. Dalam pelaksanaannya, blok-blok adat yang berlokasi jauh dari Kecamatan Cigugur (Garut, Tasikmalaya, Bandung, Majalengka, Subang, dst.) akan bergabung dengan blok terdekat sesuai dengan lokasi mereka terhadap Paseban. Jika di barat, maka akan bergabung dengan iring-iringan blok Cisantana-Pasir-Lumbu yang akan datang dari barat Tugu. Jika dari Timur akan bergabung dengan blok CipariKarang Anyar, dari utara dengan blok PakuwonPaleben, dan dari selatan dengan blok CipagerSukamulya. Nama blok adat tersebut sekarang ini adalah kampung-kampung atau padukuhan
yang masih menjadi tempat domisili warga adat dari Kesatuan Adat Sunda Cigugur (hasil wawancara sesepuh dan warga adat Kesatuan Adat Sunda Cigugur 2009-2014). Sehingga dapat dipahami, prosesi Ngajayak merupakan reprensentasi dari keberadaan teritori Kesatuan Adat Sunda Cigugur yang hadir selama ritual Seren Taun berlangsung. Dengan penelusuran ke enam prosesi utama tersebut, diketahui bahwa prosesi Ngajayak paling representatif untuk membaca kehadiran teritori dan jejaring yang terjadi dari komunitas pelaku ritual. Setelah dilakukannya penelusuran historis, terlihat bahwa ritual Ngajayak menunjukan pola kemunculan yang stabil di sepanjang penyelenggaraan Seren Taun (1920-2014). Tulisan ini, akan secara khusus mengurai ritual Ngajayak dari Seren Taun Cigugur sebagai penanda non fisik teritori berupa ruang liminal yang bergerak dan mengalir (liminoid), dan mengkonstruksikan teritori dari Kesatuan Adat Sunda Cigugur yang bersifat luwes dan permeable dari situ. Metode Penelitian dilakukan secara kualitatif dengan pendekatan etnografi (Cresswell, 2007,2008). Pendekatan etnografi pada ritual Ngajayak ini menjadi penanda utama dari sebuah etnik dengan karakternya. Secara praktis etnografi menjadi cara untuk memperoleh data yang lengkap tentang masyarakat yang berkait dengan penyelenggaraan ritual Seren Taun. Penelitian bersifat eksploratif (Groat & Wang, 2002), mengurai prosesi Ngajayak untuk menelusuri ruang-ruang liminal yang darinya akan diinterpertasikan konsep penandaan teritori. Untuk memahami sifat liminoid dari ruang liminal pada ritual Ngajayak, diperlukan infomasi yang dapat menjelaskan proses historis perkembangan Seren Taun Cigugur. Data yang dihasilkan akan dianalisis secara bertahap hingga dihasilkan data berupa serangkaian peta proyeksi prosesi Ngajayak dan diagram jejaring organisasi sosial dari waktu ke waktu. Dari lapisan-lapisan informasi ini teritorial Kesatuan Adat Sunda Cigugur dapat dikonstruksikan. Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2014 | A_75
Kajian Ruang Liminal pada Konsep Teritori Pemukiman Adat Sunda Cigugur melalui Analisis Ritual “Ngajayak”
Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data primer dilakukan dengan obeservasi partisipatif pada masa persiapan, selama prosesi dan setelah ritual Seren Taun. Data yang diambil berupa: wawancara terhadap anggota komunitas dan sesepuh adat, dilengkapi konsultasi dengan ahli sejarah Sunda serta komunitas pecinta budaya Sunda lainnya; Geo Position Sensing (GPS) dari titik-titik tempat prosesi berlangsung; catatan lapangan; pemetaan prosesi; foto dan video dari prosesi ritual; dan dokumentasi terkait prosesi dari tahuntahun sebelumnya. Data sekunder yang diambil antara lain penelitian terdahulu terkait Seren Taun di Kesatuan Adat Cigugur; dokumen terkait sejarah Seren Taun Cigugur; data demografis dari Kecamatan Cigugur dan penelitian tentang teritorialitas dan ritual. Metode Analisis Data Analisis dilakukan secara bertahap berdasarkan penelusuran perkembangan Seren Taun Cigugur dari tahun 1920 hingga tahun 2014 yang dibagi menurut periode kepemimpinan sesepuh adat dari Kesatuan Adat Sunda Cigugur, yaitu 1) Periode Pangeran Madrais (1920-1939) dengan nama ritual Karayunan, 2) Periode Pangeran Teja Buwana (1940-1976) dengan nama ritual Bendrong, dan 3) Periode Pangeran Djatikusumah (1977-2014) dengan nama Seren Taun. Seiring dengan periode perubahan tersebut, prosesi Ngajayak pun mengalami perubahan waktu pelaksanaan, tempat mulai (titik berangkat), jalur prosesi, dan perlakuan di titik pertemuan (center). Dari setiap periode, akan dihasilkan peta proyeksi dari prosesi Ngajayak yang akan dibandingkan satu sama lain dan diinterpretasikan teritori dan makna teritorial yang terkandung di dalamnya. Analisis dan Interpretasi Dengan menelusuri prosesi Ngajayak, diketahui titik mulai iring-iringan sebagai titik peralihan (arbitrary point), Tugu Paseban sebagai titik perputaran (pivot point), dan jalur sebagai tempai prosesi berlangsung (route of procession) hingga ke Tugu. Ujung-ujung titik mulai prosesi merupakan Posko Blok Adat, yang A_76 A_74 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2014
areanya merupakan batas tepi dari prosesi atau bisa dikatakan sebagai liminal place. Kesemuanya akan diterjemahkan ke dalam peta sehingga bisa ditemukan konstruksi teritori kesatuan adat. Berdasarkan hasil penelusuran di lapangan, diketahui Seren Taun di Kesatuan Adat Sunda Cigugur mengalami perubahan yang secara garis besar dapat dibagi kedalam tiga periode besar sesuai kepemimpinan sesepuh adat dan perubahan nama ritual, yaitu Karayunan, Bendrong, dan Seren Taun. Analisis ini dikhususkan untuk prosesi Ngajayak dari masingmasing tersebut di atas. Prosesi Ngajayak dinilai paling konsisten muncul dan mampu menggambarkan teritori kesatuan adat dan jejaring yang muncul selama ritual berlangsung.
Karayunan (1920-1939) Karayunan berarti mengayun-ayun perwujudan simbol kesuburan dalam kepercayaan Sunda lokal, yaitu Nyi Pwah Aci atau secara luas dikenal sebagai Dewi Sri. Karayunan menjadi sebutan untuk Seren Taun di masa P. Madrais. Karayunan dimulai pada 18 Rayagung Saka Sunda dengan prosesi Ngajayak yang dilakukan oleh penduduk dimulai dari rumah masingmasing di kampung-kampung (dalam Kesatuan Adat Sunda Cigugur). Mereka akan membawa hasil bumi berupa pare ranggeuyan dan sepasang bibit padi yang diambil dari tanah garapannya menuju Paseban. Prosesi Ngajayak digambarkan dengan warna hijau pada pada peta proyeksi. Proyeksi prosesi Ngajayak dalam ritual Karayunan dapat dilihat pada Gambar 1. Titik awal/mulai prosesi tidak ditentukan di satu posko, terlihat dari ujung garis hijau yang lebih masuk ke desa atau kantong perkumiman atau kampung yang ikut serta dalam Karayunan (anggota Kesatuan Adat Sunda Cigugur). Penduduk akan membawa bibit padi dan sesaji dari rumah masing-masing, bertemu di balai kampung atau balai desa, dan bersama-sama menuju Paseban. Sesampai di Tugu akan ada prosesi memutari Tugu untuk kemudian menuju Leuit dan Saung Lisung.
Yunita Dwi Adisaputri
dimungkinkan pada keadaan sebenarnya dari kampung-kampung yang ikut serta lebih banyak dari yang didapat dari hasil wawancara. Dari Peta tersebut menunjukkan arah empat penjuru mata angin dalam prosesi tidak menjadi aturan kaku di masa itu. Hanya ketika sudah mendekati Paseban, dimana jalan memang mengarah empat penjuru dengan Tugu di tengah Alunalun depan Paseban menjadi pusatnya.
Gambar 1.Peta proyeksi prosesi Ngajayak ritual Karayunan.
Area abu-abu adalah kampung yang ikut serta dalam Karayunan Kesatuan Adat Sunda Cigugur dapat diartikan sebagai ruang liminal, ujung garis hijau terdapat titik mulai prosesi yang menjadi titik peralihan (arbitrary point), Tugu menjadi titik perputaran (pivot point) sekaligus pusat (Center), dan garis hijau menunjukkan jalur prosesi (route of ritual). Dengan demikian dapat diperkirakan teritori Kesatuan Adat Sunda Cigugur saat itu terdiri dari kantong-kantong area sebagai ruang liminal (kampung-kampung) yang dihubungkan oleh jalur yang berwarna hijau (jalur Ngajayak) dan berpusat di Paseban. Dengan prosesi Ngajayak, kuat dugaan adanya sistem organisasi sosial yang lebih egaliter antara kantong-kantong penghasil sumber daya (kampung-kampung) dalam sebuah jejaring penghidupan (kahuripan) dalam sebuah kasepuhan adat Cigugur saat itu.
Foto 1. Paseban Tri Panca Tunggal di Periode P. Madrais. Lingkaran merah adalah Tugu. Sumber : Dokumentasi koleksi P. Djatikusumah.
Foto 2. Prosesi mengitari Tugu dari Ngajayak ritual Karayunan di depan Paseban. Sumber : Dokumentasi Susteran Ursulin Cisantana dari koleksi P. Djatikusumah.
Bendrong (1940-1976) Bendrong adalah sebutan untuk Seren Taun setelah memasuki periode P. Teja Buwana. Bendrong berasal dari kata ‘ngarondang’ atau ‘ngagendrong’, yaitu bunyi yang dihasilkan dari alu dan lisung ketika menumbuk padi. Prosesi Ngajayak di masa ini sempat dilakukan dalam waktu yang berbeda. Hal ini diakibatkan ketidakstabilan keamanan pada masa itu. Bendrong sempat vakum selama Perang Dunia II (1943-1945), di mana keluarga pemangku adat diungsikan seluruhnya ke Cirebon, dan sebagian besar penduduk bermigrasi ke luar dari Desa Cigugur saat itu (ke Garut, Tasikmalaya, Subang, Majalengka, Bandung, dst.). Setelah itu, banyak terjadi pemberontakan yang mengakibatkan gangguan keamanan di desa Cigugur. Akhirnya, Bendrong beberapa kali dilakukan dalam satu hari dengan prosisi Ngajayak dan Nutu digabungkan dalam satu hari, hanya pada 22 Rayagung Saka Sunda.
Pemetaan periode ini didapat dari hasil wawancara terhadap sesepuh yang masih menjadi saksi hidup Karayunan. Sangat Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2014 | A_77 A_75
Kajian Ruang Liminal pada Konsep Teritori Pemukiman Adat Sunda Cigugur melalui Analisis Ritual “Ngajayak”
pendiri Desa Cigugur bersama P. Madrais. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa setiap sesepuh bertanggung jawab atas kampungnya yang beranggotakan keluarga besar dari keturunannya dan terikat dalam Kesatuan Adat Cigugur.
Seren Taun (1977-2014)
Gambar 2.Peta proyeksi prosesi Ngajayak ritual Bendrong.
Foto 3. Paseban Tri Panca Tunggal di Periode P. Teja B. Lingkaran merah adalah Tugu. Sumber : Dokumentasi koleksi P. Djatikusumah
Istilah Seren Taun dikenal setelah periode P. Djatikusumah. Seren Taun berasal dari bahasa Sunda, terdiri dari dua kata, yaitu nyerenkeun (mengganti,mengantar) dan taun (tahun). Sepanjang Seren Taun dilakukan pada masa P. Djatikusumah, banyak perubahan yang terjadi, termasuk dalam prosesi Ngajayak, baik kompleksitas komponen prosesi maupun dampak spasial-teritorialnya. Profil demografi penduduk Desa Cigugur ditahun 1970-an sudah heterogen, namun yang menjadi pelaku ritual Seren Taun adalah warga Kesatuan Adat Cigugur. Pada tahun 1977-1981 prosesi Ngajayak dari ritual Seren Taun secara spasial mengalami penyempitan. Terlihat dari jalur prosesi yang ditandai garis warna hijau pada peta Gambar 3. Titik ujung garis adalah posko blok adat yang di masa itu mulai dibentuk sebagai konsekuensi dari tekanan politik yang berdampak pada organisasi sosial pelaku dan spasial dari ritual itu sendiri. Teritori Kesatuan Adat Sunda Cigugur seakan menyempit.
Foto 2. Prosesi mengitari Tugu dari Ngajayak ritual Karayunan di depan Paseban. Sumber : Dokumentasi koleksi P. Djatikusumah.
Prosesi Ngajayak dalam ritual Bendrong memiliki karakter yang sama dengan Ngajayak pada ritual Karayunan. Hanya titik mulai prosesi yang lebih sedikit yang terlihat pada ujung-ujung garis hijau yang sedikit lebih pendek pada peta proyeksi Gambar 2. Hal ini mengindikasikan menyempitnya teritori dari Kesatuan Adat Sunda Cigugur. Di saat yang sama pula muncul sistem blok adat yang jumlahnya empat puluh, sesuai dengan jumlah sesepuh adat yang menjadi A_78 A_74 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2014
Gambar 3.Peta proyeksi prosesi Ngajayak ritual Seren Taun (1977-1981).
Seren Taun pernah dilarang diselenggarakan oleh Pemerintah Orde Baru di tahun 1982-1998. Dalam masa pelarangan tersebut, pernah pula diijinkan untuk diadakan satu kali oleh Pe-
Yunita Dwi Adisaputri
merintah Daerah Kuningan pada tahun 1992, bertempat di Balai Desa Cigugur, dengan catatan hanya dibolehkan prosesi Ngajayak saja. Sebagai konsekuensinya, dibuatlah prosesi mengupas bulir padi yang disebut Mesek Pare, sebagai pengganti dari prosesi Ngajayak dan Nutu. Pada tahun 1981, organisasi sosial Kesatuan Adat Sunda Cigugur yang semula berbentuk kasepuhan diresmikan menjadi organisasi sosial adat dalam bentuk Paguyupan Adat Cara Karuhun Urang (PACKU). Blok Adat yang semula berjumlah empat puluh pada tahun 1920-1980 disederhanakan menjadi delapan belas pada 1981. Saat pelarangan Seren Taun terjadi di tahun 1982, muncul komponen organisasi sosial baru yang bertugas membantu para sesepuh adat mengkoordinir pengumpulan beras hasil Mesek Pare, yaitu Ais Pangampih. Sesepuh adat bersama Ais Pangampih menjadi tim yang bertugas mengatur segala urusan sosial blok adat. Di tahun 1985, setelah PACKU membubarkan diri dalam tekanan politik, dibuatlah organisasi sosial Adat Karuhun Urang (AKUR) sebagai wadah dari organisasi sosial dari Kesatuan Adat Sunda Cigugur. Kemudian jumlah blok adat disederhanakan kembali di tahun 2010 menjadi hanya sepuluh blok adat. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan semakin sedikitnya jumlah penghayat Sunda Wiwitan dalam setiap blok. Anggota AKUR tidak lagi hanya penghayat Sunda Wiwitan, tapi lebih heterogen selama masih dalam keturunan atau keluarga dari empat puluh sesepuh pendiri Desa Cigugur. Dengan semakin kompleksnya permasalahan sosial yang dihadapi, dibentuk pula komponen baru yang bertugas mengelola administrasi anggota dan dokumentasi (Girang Serat) serta mengawasi manajemen tiap blok (Paniten). Dampak spasial dari prosesi Mesek Pare sangatlah unik. Dalam prosesi Mesek Pare, setiap keluarga dalam komunitas diwajibkan mengupas padi setiap malamnya selama setahun dalam jumlah tertentu. Beras yang dihasilkan akan dikumpulkan di rumah Ais Pangampih untuk dibawa ke Paseban pada 18 Rayagung Saka Sunda. Kemudian, beras yang terkumpul didoakan bersama sesepuh adat pada 22 Rayagung Saka Sunda. Setelah itu, beras akan
dibagikan kembali kepada warga. Sebelum mengupas padi, dilakukan doa dalam tata cara Sunda Wiwitan yang disebut ngadapur atau kurasan dengan doanya disebut pangjajap surasa (pengantar rasa) di depan hawu (tungku) masing-masing rumah. Hal ini berlaku pula bagi warga yang telah tinggal jauh di luar Desa Cigugur. Selama masa pelarangan Seren Taun berlangsung, tidak terbaca keberadaan teritori secara fisik (Gambar 4). Namun, jejaring ‘dapur’ terbentuk sebagai media penyampai doa. Selama itu itu pula teritori Kesatuan Adat hanya berupa Inti (Paseban) dan sphere berupa jejaring dapur (Gambar 5).
Gambar 4.Peta proyeksi prosesi Mesek Pare ritual Seren Taun (1982-1998).
Gambar 5.Diagram jejaring dapur prosesi mesek Pare ritual Seren Taun (1982-1998).
Sejak diperbolehkan kembali oleh Pemerintah Era Reformasi di tahun 1999, Seren Taun berkembang semakin kompleks, dan pelaku pun bertambah heterogen. Namun semakin besarnya event ritual berkebalikan dengan kenyataan keberadaan teritori kesatuan adat pemelirahanya. Hal ini bisa dilihat pada peta gambar 6. Ujung garis hijau yang menunjukkan jalur Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2014 | A_79 A_75
Kajian Ruang Liminal pada Konsep Teritori Pemukiman Adat Sunda Cigugur melalui Analisis Ritual “Ngajayak”
prosesi Ngajayak memendek, sehingga teritori seakan menyempit, sedangkan ruang liminal dari blok adat semakin besar yang ditunjukkan dengan area blok adat (Gambar 6). Hal ini tidak serta merta berarti teritori kesatuan adat menyempit. Keberadaan jejaring yang terbentuk setelah masa pelarangan 1982-1998 perlu dipertimbangkan.
Gambar 6.Peta proyeksi prosesi Ngajayak ritual Seren Taun (2006-2012).
Gambar 7.Perkembangan organisasi sosial Kesatuan Adat Sunda Cigugur.
Pelarangan tersebut mengakibatkan, komponen organisasi sosial juga mengalami perubahan. Blok adat yang jumlahnya disederhanakan menjadi sepuluh (2010) dengaan penambahan komponen dalam tim penanggungjawab blok, yaitu sesepuh adat, Ais Pangampih (koordinator), Girang Serat (administrasi, dokumentasi) dan Paniten (pengawas) seperti terlihat pada Gambar 7, memiliki konsekuensi terhadap keberadaan ruang liminal dari konstruksi teritori kesatuan adat. Hasilnya terlihat pada diagram proyeksi teritori (Gambar 8). A_80 A_74 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2014
Gambar 8.Proyeksi teritori Kesatuan Adat Sunda Cigugur.
Teritori kesatuan adat tidak bersifat rigid, tetapi fluent dan dinamis, serta memiliki sphere. Di masa sekarang, dapat dilihat event dari ritual Seren Taun Cigugur membesar, teritori utama (warna oranye) dari Kesatuan Adat Cigugur mengecil, dan area sphere (warna hijau) menjadi lebih luas. Dari perbandingan ketiga diagram pada Gambar 8 dapat disimpulkan area sphere (hijau) menandai jejaring di luar teritori utama (oranye). Dan dari perbandingan peta prosesi Ngajayak, area oranye dan hijau bersifat
Yunita Dwi Adisaputri
fleksibel atau liminoid. Karena itulah semua yang terkait di dalam area oranye dan hijau ini perlu untuk dikonservasi secara utuh sebagai sebuah unit budaya. Baik itu pelaku (Kesatuan Adat Sunda Cigugur) maupun sumber daya (pertanian, sumber air, peternakan, ekologi dan ekosistemnya) yang menjamin keberlangsungan ritual Seren Taun dan Kesatuan Adat Sunda Cigugur sebagai sebuah entitas budaya utuh. Kesimpulan Proyeksi Ngajayak – salah satu dari 6 ritual utama Seren Taun- bukan semata-mata sebuah ritual. Darinya dapat dilakukan penguraian komponen ritual yang dapat digunakan untuk merekonstruksi ruang yang merupakan wilayah kesatuan adat. Dengan keterlibatan blok-blok adat dalam prosesi ini terlihat bahwa kesatuan adat yang terbentuk merupakan jejaring dari padukuhan-padukuhan yang secara arsitektural berwujud permukiman. Blok adat adalah istilah yang digunakan dalam struktur jejaring organisasi sosial. Sedangkan wujud fisik dari blok adat adalah padukuhan atau kampung yang merupakan tempat bermukim warga adat, terutama yang masih menjadi keturunan dan keluarga besar dari empat puluh sesepuh pendiri Kesatuan Adat Cigugur. Pada prosesi Ngajayak, tempat berlangsungnya prosesi bukan pada titik atau area, tapi pada jalur yang berujung pada Tugu sebagai Focal Point. Jalur prosesi menjadi penanda adanya ruang liminal. Ruang Liminal yang bergerak yang tercipta melalui penanda fisik sementara yang digunakan dalam prosesi Ngajayak, seperti payung janur, umbul-umbul, penjor, termasuk bunyi suara alat musik yang dimainkan selama prosesi. Bisa dikatakan prosesi Ngajayak juga merupakan wujud dari ruang liminal yng bergerak dinamis atau liminoid. Titik awal prosesi menjadi penanda keberadaan titik perlihan. Pada wujud fisik, biasanya di setiap posko blok akan dipasang penjor yang ukurannya lebih kecil dari penjor yang dipasang di sekitar Tugu. Penggunaan penanda fisik sementara yang berbeda-beda menunjukkan perlihan dari suatu keadaan ke keadaan yang hirarkinya lebih tinggi ke arah pusat (Tugu).
Dengan demikian, konstruksi teritori dari Kesatuan Adat Sunda Cigugur diketahui memiliki sphere, teritori utama, dan pusat yang terletak di Paseban. Dalam teritori utama dan sphere terdapat kantong-kantong permukiman (padukuhan, kampung) yang terikat dan terhubung oleh prosesi Ngajayak ritual Seren Taun. Jejaring yang ada bersifat keturunan (kinship) dari sesepuh adat dan konsesus (di antara sesepuh adat yang mengikat pula kepada keturunannya). Di masa sekarang, teritori utama itu akan ditandai dengan penanda fisik sementara selama ritual Seren Taun berlangsung, bersifat fleksibel dan permeabel. Sedangkan dalam kondisi keseharian, yang terlihat hanyalah pusatnya yaitu Paseban dengan keberadaan Tugu, dan sphere saja. Permukiman warga yang berada dalam blok adat tidak terlihat. Kantong permukiman atau blok adat bisa saja meluas dan menyempit bahkan berpindah tempat atau bergabung dengan blok lain yang lebih besar. Sehingga bisa juga disimpulkan Seren Taun adalah wujud kesatuan utuh kahuripan atau sumber kehidupan bagi kesatuan adat yang memegang teguh tradisi tersebut. Teritori dari Kesatuan Adat Sunda di masa kini tidaklah besifat kaku dan terlihat secara fisik, namun lebih bersifat fleksibel dan permeable. Teritori ini bisa saja mengalami transformasi lagi sesuai dinamika masyarakatnya. Ruang-ruang liminal yang ada dapat ternegosiasikan akibat dorongan kebutuhan fungsi dan keterbatasan sumber daya. Kajian di atas menunjukan bahwa perubahan teritori kesatuan adat sudah terjadi sembilan kali. Karakter perubahanya adalah keberadaan dan panjangnya prosesi Ngajayak, penyebab perubahannya adalah perubahan kondisi sosial politik dan keterbatasan sumber daya (pelaku ritual, sawah-hasil bumi, sumber air, dan lingkungan). Daftar Pustaka Altman, Irwin, Martin Chemers. (200). Culture and Evironment. California : Cole Publishing Co. Couldry, Nick. 2003. Media Rituals : A Critical Approach. England : Routledge. (diakses dari www.goodreads.com 6 November 2013) Creswell,John W. 2007.Qualitative Inquiry and
Reasearch Design, Choosing Among Five Approaches. University of Nebraska, Lincoln. SAGE Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2014 | A_81 A_75
Kajian Ruang Liminal pada Konsep Teritori Pemukiman Adat Sunda Cigugur melalui Analisis Ritual “Ngajayak” Creswell, J.W. (2008). Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches. California: Sage Publications, Inc. Deflem, Mathieu. (1991).Ritual, Anti-structure,and
Religion : A Discussion of Victor Turner’s Processual Symbolic Analysis”. Journal for the Scientific Study of Religion 30(1):1-25. Djukardi, Ignatius. (1993). Skripsi : Upacara Seren
Taun : Studi Tentang Revitalisasi Upacara Tradisional di Desa Cigugur, Jawa Barat (1920-1992). Jurusan Sejarah Fakultas sastra Universitas Padjadjaran. Bandung. Egenter, Nold. (1992). Architectural Anthropology Research. Structura Mundi. Egenter, Nold. (1994). Semantic and Symbolic
Architecture : An Architectural-Ethnological Survey into Hundered Villages of Central Japan.Structura Mundi. Groat, L. & Wang, D. (2002). Architectural Research Methods. New York: John Wiley & Sons. Inc. Indrawardana,Ira.2011. Sunda Wiwitan dalam Dinamika Zaman. Konferensi Internal Budaya Sunda II tema Revitalisasi Budaya Sunda : Peluang dan Tantangan dalam Dunia Global, Gedung Merdeka, Jakarta, 19-22 Desember 2011. http://www.xa.yimg.com/kq/groups/.../KIBS_ira_in drawardana.pdf diakses dan diunduh 6 November 2013 Kanekar, Aarati K. (1992). Celebration of Place : Processional Rituals and Urban Form. CEPT, Ahmedabad, India. Department of Architecture, Massachuset Institute of Technology. Lang, John. (1987). Creating Architectural Theory, The
Role of Behavior Sciences in Enviromental Design. New York : Van Nostrand Reinhold Company. Lynch, Kevin. (1960). The Image of The City. Cambridge : MIT Press. Oliver, Paul. (1997). Encyclopiedia of Vernacular Architecture of The World. Cambridge : Cambridge University Press. Oliver, Paul. (2006). Built to Meet Needs : Cutural Issues in Vernacular Architecture. England : ELSIVIER. Prasetyo, Untung dan Sarwititi Sarwoprasodjo. (2011).
Komodifikasi Upacara Tradisonal Seren Taun dalam Pembentukan Identitas Komunitas. Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia hlm. 173-196. www.journal.ipb.ac.id ( 16 Oktober 2013 ) Rapoport, Amos. (1976). The Mutual Interaction of
People and Their Built Environtment : Across Cultural Perspective. Neatherland : Elsivier Ltd.
A_74 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2014 A_82
Rapoport, Amos. (1990). The meaning of Built Environtment, 2nd Edt. Tucson : University of Arizona Press. Rapoport, Amos. (1998). House Form and Culture. London : Prentice-Hall,Inc. Rapoport, Amos. (1998). Using ‘Culture’ in Housing Design. Journal of Housing and Society vol.25 no. 1 & 2. http://www.housingeducators.org/Journals/H%26S_ Vol_25_No_12_Using_Culture_in_Housing_Design.pdf diunduh ulang 3 April 2014. Siregar, Sandi A. (1990). Bandung, The Architecture of The City In Development. Disertation Thesis. Belgia : K.U. Leuven. Turner, V., (1967). Betwixt and Between: The Liminal Period in Rites de Passage dalam The Forest of Symbols: Aspects of Ndembu Ritual , Editor : Turner, V. Cornell University Press, Ithaca, pp. 93–111. Turner, V., (1969). The Ritual Process: Structure and AntiStructure. Cornell University Press, Ithaca. Turner, V. (1969). The Ritual Process. Chicago, IL: Aldine. Turner, V. (1974). Dramas, Fields, and Metaphors: Symbolic Action in Human Society. New York: Cornell University Press. Turner, V., (1974). Liminal to Liminoid dalam Play, Flow and Ritual: An Essay in Comparative Symbology. Rice University Studies 60, 53–92. Turner, Victor. (1975). Symbolic Studies. J-Stor Annual Review of Anthropology, vol.4. Turner, V., (1977). System, and Symbol: A New Anthropological Synthesis. Daedalus 106, 61–80. Turner, V. (1982). From Ritual to Theatre: The Human Seriousness of Play. New York: PAJ Press. Turner, V. (1984). Liminality and The Performative Genres dalam Rite, Drama, Festival, Spectacle:
Rehearsals Toward A Theory of Cultural Performance, Editor : J. J. MacAloon (pp. 19–41). Philadelphia, PA: Institute for the Study of Human Issues, Inc. Wariadi, Didi. 2007. Bertahan Untuk Tidak Gugur, Religi (Adat) Cigugur dalam Sisi Senyap Politik Bising, editor A. Budi Susanto.Yogyakarta : Kanisius. (diakses melalui googlebooks.com Agustus 2014).