KAJIAN Q FEVER PADA SAPI DI RUMAH POTONG HEWAN CIBINONG: HISTOPATOLOGI ORGAN HATI DAN PARUPARU
ANDRE YUDHI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kajian Q fever pada Sapi di Rumah Potong Hewan Cibinong: Histopatologi Organ Hati dan Paru-paru adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Januari 2014 Andre Yudhi NIM B04090092
ABSTRAK ANDRE YUDHI. Kajian Q fever pada Sapi di Rumah Potong Hewan Cibinong: Histopatologi Organ Hati dan Paru-paru. Dibimbing oleh AGUS SETIYONO dan MAWAR SUBANGKIT. Query fever merupakan zoonosis yang disebabkan oleh Coxiella burnetii, agen ini dapat menginfeksi berbagai hewan terutama sapi. Q fever adalah penyakit subklinis dan biasa ditularkan melalui rute inhalasi. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang perubahan histopatologi pada sapi yang terinfeksi Q fever dengan pewarnaan Hematoxylin dan Eosin. Penelitian dilakukan dari bulan Januari sampai September 2013. Sampel penelitian terdiri atas organ hati, paru-paru, jantung, dan limpa yang diambil dari 50 ekor sapi di rumah potong hewan Cibinong. Konfirmasi Q fever dilakukan dengan pewarnaan imunohistokimia pada organ hati, paru-paru, limpa, dan jantung. Hasil penelitian menunjukan 9 dari 50 ekor sapi terinfeksi C. burnetii. Perubahan histopatologi yang terjadi pada organ hati dan paru-paru tidak berbeda antara sapi yang terinfeksi dan tidak terinfeksi Q fever. Kata kunci: C. burnetii, imunohistokimia, Q fever, sapi potong.
ABSTRACT ANDRE YUDHI. Q fever Study on Cattle at Cibinong Slaughterhouse: Histopathology of Liver and Lung. Supervised by AGUS SETIYONO and MAWAR SUBANGKIT. Query fever is a zoonosis that caused by Coxiella burnetii. This infection agents came infect any animals, especially cattle. Q fever is a subclinical disease and usually spread by inhalation route. The aim of the research was to find out the information about histopathological changes of Q fever by Hematoxylin and Eosin staining. Research was conducted from January to September 2013. The sample consists of liver, lung, heart, and spleen taken from 50 cattles at Cibinong slaughterhouse. Confirmation of Q fever diagnosis cattles was done by Immunohistochemistry staining to liver, lung, spleen and heart organ. The result showed that 9 of 50 cattles were infected by C. burnetii immunohistochemically. Histopathological changes of liver and lung were not much different between those infected and not infected cattles. Keyword : C. burnetii, cattle, immunohistochemistry, Q fever.
KAJIAN Q FEVER PADA SAPI DI RUMAH POTONG HEWAN CIBINONG : HISTOPATOLOGI ORGAN HATI DAN PARUPARU
ANDRE YUDHI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Judul Skripsi : Kajian Q fever pada Sapi di Rumah Potong Hewan Cibinong: Histopatologi Organ Hati dan Paru-paru Nama : Andre Yudhi NIM : B04090092
Disetujui oleh
drh Agus Setiyono, MS PhD APVet Pembimbing I
drh Mawar Subangkit, MSi APVet Pembimbing II
Diketahui oleh
drh Agus Setiyono, MS PhD APVet Wakil Dekan
Tanggal Lulus:
Judul Skripsi: Kajian Q fever pada Sapi di Rumah Potong Hewan Cibinong: Histopatologi Organ Hati dan Paru-paru Nama Andre Yudhi B04090092 NIM
Disetujui oleh
drh Mawar Subangkit, MSi APVet Pembimbing II
drhA
Tanggal Lulus:
09 JAN 20t4
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2013 ini adalah Kajian Q fever pada Sapi di Rumah Potong Hewan Cibinong: Histopatologi Organ Hati dan Paruparu. Dengan penuh rasa hormat, penulis mengucapkan terima kasih kepada drh Agus Setiyono, MS PhD APVet dan drh Mawar Subangkit, MSi APVet selaku dosen pembimbing skripsi yang telah banyak memberi saran dan wawasan. Di samping itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada drh Anita Esfandiari selaku dosen pembimbing akademik yang telah membimbing penulis selama menjadi mahasiswa FKH Institut Pertanian Bogor. Serta penghargaan penulis sampaikan kepada Hario Pranaditya Munif Adinegoro, Srimita Kristiani Br Sembiring dan Wulandari Utami yang telah bersama-sama berjuang dalam mengumpulkan data penelitian. Penulis juga berterima kasih kepada Bapak Kasnadi, Bapak Sholeh dan Bapak Endang yang telah membantu peneliti di laboratorium. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada seluruh temanteman Geochelone (Angkatan 46) untuk dukungan dan motivasi yang diberikan. Karya ini penulis persembahkan untuk Ayah (Junedi), Ibu (Yuliarti), kakak dan adik serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Januari 2014 Andre Yudhi
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
2
METODE
2
Waktu dan Tempat
2
Alat dan Bahan
2
Prosedur Penelitian
3
HASIL DAN PEMBAHASAN
4
Pewarnaan imunohistokimia
4
Perubahan histopatologi pada organ hati
5
Perubahan histopatologi pada organ paru-paru
9
SIMPULAN
11
DAFTAR PUSTAKA
11
RIWAYAT HIDUP
13
DAFTAR TABEL 1 Hasil pengamatan pewarnaan IHK menggunakan poliklonal rabbit anti-Coxiella burnetii FKH IPB 2 Perubahan histopatologi organ hati sapi dengan pewarnaan HE 3 Perubahan histopatologi organ paru-paru sapi dengan pewarnaan HE
4 6 9
DAFTAR GAMBAR 1 Histopatologi sampel organ a) hati b) limpa dengan pewarnaan IHK bersifat imunoreaktif (tanda panah) terhadap rabbit anti-Coxiella burnetii antibody 2 Histopatologi organ hati yang mengalami kongesti pada sinusoid (tanda panah) dengan pewarnaan HE 3 Histopatologi organ hati yang mengalami degenerasi (tanda panah) (a) degenerasi hidropis (b) degenerasi lemak dengan pewarnaan HE 4 Histopatologi organ hati dengan pewarnaan HE yang mengalami fokus nekrosa (tanda panah hijau) dan hemoragi (tanda panah hitam) 5 Histopatologi organ hati dengan pewarnaan HE yang mengalami fokus radang dengan infiltrasi sel radang limfosit (tanda panah hijau) dan eosinofil (tanda panah hitam) 6 Histopatologi organ hati dengan pewarnaan yang mengalami pembentukan jaringan ikat (tanda panah) 7 Histopatologi organ paru-paru dengan pewarnaan HE yang mengalami a) pneumonia intertisialis b) pleuritis 8 Histopatologi organ paru-paru dengan pewarnaan HE yang mengalami kongesti (tanda panah) 9 Histopatologi organ paru-paru dengan pewarnaan HE yang mengalami kongesti
5 6 6
7
7 8 10 10 10
PENDAHULUAN Latar Belakang Query fever (Q fever) merupakan penyakit yang disebabkan oleh Coxiella burnetii. Agen infeksius ini merupakan bakteri yang memiliki bentuk pleomorfik, struktur menyerupai spora, dan terdiri atas bentuk besar dan bentuk kecil (Fournier et al. 1998). Q fever bersifat zoonosis yaitu penyakit yang dapat ditularkan dari hewan ke manusia atau sebaliknya. Hewan yang berperan penting dalam penularan ke manusia adalah sapi, domba, dan kambing karena memiliki kedekatan interaksi dengan manusia (Marrie, 2003; Soejoedono, 2004). Selain itu C. burnetii dapat menyerang hewan lainnya seperti anjing, kucing, kuda, babi, unta, kelinci, reptil, kodok, burung merpati, kalkun, ayam, bebek, rodensia, ikan, dan caplak (ArricauBouvery dan Rodolaksis 2005; Parker et al 2006; Muskens et al 2007). Menurut Van den Brom dan Vellema (2009), kejadian Q fever pada manusia memiliki hubungan erat dengan pekerjaan, seperti peternak, pembeli dan pengunjung yang datang ke peternakan; dokter hewan, pekerja di peternakan, rumah potong hewan, penyamakan kulit, pengolahan daging, susu dan wol, peneliti dan pegawai laboratorium. Infeksi C. burnetii pada manusia sering bersifat akut dan menahun serta dapat menimbulkan kondisi yang fatal, yaitu kegagalan fungsi hati, radang tulang, radang otak, gangguan pada pembuluh darah dan endokarditis yang berakibat kematian (Raoult 2002). Hasil penelitian Marrie (2003) menunjukkan bahwa C. burnetii dapat menimbulkan pneumonia yang fatal pada manusia dan penularan secara aerosol dapat menimbulkan lesi yang hebat pada paru-paru (Stein et al. 2005). Sedangkan pada hewan umumnya bersifat subklinis, yang ditandai dengan penurunan nafsu makan, gangguan pernapasan ringan dan gangguan reproduksi berupa abortus pada domba dan sapi. Q fever pertama kali dilaporkan berjangkit di Australia pada tahun 1935 kemudian menyebar ke seluruh dunia. Keberadaan Q fever di Indonesia dapat terjadi akibat distribusi geografisnya yang sangat luas dan kegiatan impor sapi dari negara endemik Q fever seperti Australia. Pemerintah Indonesia telah menetapkan penyakit Q fever ke dalam penyakit strategis menular (Kementan 2013), sehingga perlu perhatian lebih terhadap tingkat kejadian dan penyebaran dari penyakit ini. Hasil penelitian Mahatmi (2006) menyatakan seroprevalensi di kota Bogor pada domba dan kambing menunjukkan seropositif masing-masing 31.88% dan 20.29% menggunakan metode IFA. Penelitian pada sapi bali dan brahman cross ditemukan 6.12% positif DNA C. burnetii, serta pada kambing dan domba 3.64% positif C. burnetii menggunakan metode nested PCR. Penularan Q fever dapat terjadi melalui kontak langsung dengan hewan terinfeksi maupun oleh partikel debu yang terkontaminasi, bahan makanan asal hewan, susu, dan luka yang terkontaminasi serta melalui transfusi darah (Baca dan Paretsky 1983; Fournier et al. 1998). Penularan yang paling berbahaya adalah melalui aerosol karena berpotensi digunakan sebagai senjata biologis (Raoult et al. 2005). Pemilihan teknik diagnosa perlu diperhatikan mengingat nilai ekonomi dan bentuk penyakit yang terjadi dalam bentuk akut dan kronis. Selain itu,
2 pertimbangan perkembangbiakan agen diperlukan karena sifatnya yang berbahaya sehingga harus dilakukan di laboratorium dengan Biosafety level 3. Pemeriksaan Q fever yang umum dilakukan saat ini hanya sebatas pemeriksaan serologi. pemeriksaan dengan pewarnaan umum yang lebih ekonomis jarang dilakukan karena informasi tentang perubahan histopatologi akibat infeksi C. burnetii tidak patognomonis. Salah satu teknik diagnosa yang lebih ekonomis dari serologi adalah dengan pewarnaan imunohistokimia (IHK). Menurut Renshaw (2006), metode pewarnaan imunohistokimia merupakan metode pewarnaan yang didasarkan pada kemampuan imunogenik dan reaksi enzimatik dalam analisis lokalisasi antigen target. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang perubahan histopatologi yang patognomonis dari organ hati dan paru-paru pada sapi terinfeksi C. burnetii dengan pewarnaan Hematoksilin dan Eosin (HE) dan mengetahui kejadian Q fever di rumah potong hewan Cibinong Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran histopatologi organ hati dan paru-paru pada sapi yang terinfeksi C. burnetii dengan pewarnaan HE untuk diagnosa Q fever dan menyajikan data kejadian Q fever di RPH Cibinong
METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan pada bulan Januari sampai Oktober 2013. Pembuatan sediaan histopatologi dilakukan di Bagian Patologi, Laboratorium Histopatologi, Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari sapi yang dipotong di RPH Cibinong pada tanggal 25 Januari sampai 1 Februari 2013 Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sarung tangan, gunting, pinset, botol, kertas label, gelas ukur, pinset, cetakan blok parafin, pipet tetes, mikroskop cahaya, termometer, gelas piala, gelas objek, gelas penutup, stopwatch, tissue cassette, tissue basket, tissue tang, paraffin embedding console, automatic tissue processor, mikrotom putar, fotomicrograph, therm-o-plate dan software imaging. Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel organ hati dan paru-paru sapi, buffer neutral formalin (BNF)10%, etanol (70%, 80%, 96%, absolute I, II, III), xylene, parafin cair, aquades, pewarna Hematoksilin, pewarna Eosin, Permount®, poly-L-lysine, phospat buffer salin (PBS), fetal bovine serum (FBS)10%, H2O2 0.3%, asam sitrat, rabbit anti-Coxiella burnetii antibody FKH IPB, biotin, streptavidin radish horse peroxidase dan diaminobenzidine.
3 Prosedur Pengambilan Sampel Organ Pengambilan sampel dilakukan setelah proses penyembelihan. Sampel organ yang diambil adalah hati, paru-paru, limpa, dan jantung dengan ukuran (1x1x1) cm dari 50 ekor sapi. Sampel organ difiksasi dalam botol dengan BNF 10% dan diberi keterangan. Pembuatan Preparat Jaringan Sampel organ dipotong dengan ketebalan kurang lebih 3 mm, lalu dimasukkan ke dalam tissue cassete. Setelah itu dilakukan dehidrasi menggunakan etanol konsentrasi bertingkat (70%, 80%, 96%, absolut I dan absolut II) masingmasing 2 jam. Selanjutnya clearing menggunakan xylen I dan II masing-masing 2 jam. Tahap berikutnya sampel organ diinfiltrasi dengan parafin. Semua proses tersebut dilakukan dengan menggunakan automatic tissue processor. Kemudian sampel organ diblok dengan parafin menggunakan paraffin embedding console. Blok jaringan dipotong dengan ketebalan 5 μm menggunakan mikrotom putar. Kemudian potongan jaringan dimasukkan ke dalam water bath (45 °C) untuk menghilangkan lipatan akibat pemotongan. Sediaan diangkat dengan gelas objek kemudian dikeringkan dalam incubator dengan suhu 60 °C selama 1 hari. Pada tahapan teknik IHK, gelas objek yang digunakan dilapisi dengan poly-L-lysin agar jaringan tetap menempel ketika pewarnaan. Pewarnaan IHK Preparat jaringan dideparafinisasi dan didehidrasi, kemudian dipanaskan dalam larutan PBS asam sitrat pada suhu 95°C selama 15 menit, lalu didinginkan sampai suhu 37 °C. Preparat dicuci dengan PBS sebanyak 3 kali selama 5 menit. Tahap berikutnya adalah blocking endogenous peroksidase menggunakan H2O2 0.3% pada suhu ruang selama 30 menit, kemudian preparat dicuci kembali dengan PBS sebanyak 3 kali selama 5 menit. Setelah itu blocking normal serum dengan FBS 10% selama 30 menit, lalu dicuci dengan PBS sebanyak 3 kali selama 5 menit. Selanjutnya diinkubasi dengan rabbit anti-C. burnetii antibody pada suhu 4 °C selama satu malam. Kemudian preparat dicuci dengan PBS sebanyak 3 kali selama 5 menit dan ditetesi biotin selama 30 menit. Selanjutnya dicuci kembali dengan PBS dan ditetesi streptavidin sebagai antibodi sekunder yang telah dilabel, kemudian preparat ditetesi DAB kurang dari 8 detik. Proses selanjutnya adalah counterstain dengan merendam preparat dalam pewarna Hematoksilin sebanyak 5 celupan. Counterstain ini akan memberi warna biru pada inti sel sehingga kontras dengan warna kromogen yang ditunjukkan antigen atau imunogen pada pewarnaan IHK. Pewarnaan HE Pewarnaan HE diawali dengan deparafinasi dan rehidrasi. Selanjutnya sediaan diwarnai dengan pewarna Hematoksilin selama 8 menit, dibilas dengan air mengalir. Kemudian dicuci dengan Lithium Karbonat selama 15-30 menit, dibilas dengan air mengalir. Selanjutnya diwarnai dengan pewarna Eosin selama 2 menit. Setelah itu dilakukan tahapan dehidrasi dengan etanol dan clearing menggunakan xylen. Setelah diwarnai, sediaan dikeringkan terlebih dahulu sebelum ditetesi
4 dengan perekat Permount® dan kemudian ditutup dengan gelas penutup. Setelah itu, preparat siap untuk diamati dengan menggunakan mikroskop cahaya. Pemeriksaan Preparat Histopatologi Pengamatan mikroskopik preparat histopatologi menggunakan mikroskop cahaya dengan pembesaran 100x dilanjutkan dengan 400x. Pewarnaan IHK digunakan sebagai alat screening Q fever. Sapi dinyatakan positif terinfeksi C. burnetii apabila terjadi reaksi imunoreaktif terhadap rabbit anti-Coxiella burnetii antibody pada salah satu organ atau lebih.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pewarnaan Imunohistokimia Hasil pewarnaan IHK pada organ hati, paru-paru, jantung, dan limpa menunjukan 9 dari 50 ekor sapi positif terinfeksi C. burnetii. Organ yang memperlihatkan reaksi imunoreaktif adalah hati dan limpa, sedangkan organ paruparu dan jantung memperlihatkan reaksi non-imunoreaktif (Tabel 1). Reaksi imunoreaktif yang hanya terlihat pada beberapa organ saja diduga karena C. burnetii telah beredar melalui aliran darah. Menurut Baca et al. (1983) C. burnetii yang masuk ke dalam tubuh hewan akan menyerang sel makrofag di jaringan tubuh (limfonodus, limpa, paru-paru, dan hati) dan monosit yang beredar dalam aliran darah. Pada fase akut, kehadiran C. burnetii dapat ditunjukkan dalam darah, paru-paru, limpa, dan hati (Maurin and Raoult 1999). Tabel 1 Hasil pengamatan pewarnaan IHK menggunakan poliklonal rabbit antiCoxiella burnetii FKH IPB Organ Limpa Jantung Hati Paru-paru a) b)
Infeksi Coxiella burnetii −b) +a) 8 0 1 0
42 50 49 50
Jumlah sediaan yang bersifat imunoreaktif terhadap poliklonal rabbit anti-Coxiella burnetii FKH IPB Jumlah sediaan yang bersifat non imunoreaktif terhadap poliklonal rabbit anti-Coxiella burnetii FKH IPB
5
Gambar 1 Histopatologi sampel organ a) hati b) limpa dengan pewarnaan IHK bersifat imunoreaktif (tanda panah) terhadap rabbit anti-Coxiella burnetii antibody, bar = 30 µm. C. burnetii pada organ hati terlihat sebagai warna cokelat di intraseluler makrofag di daerah porta. Sedangkan pada preparat organ limpa, warna cokelat berada di intrasitoplasma makrofag di daerah pulpa merah (Gambar 1). Warna cokelat tersebut merupakan reaksi imunoreaktif terhadap poliklonal rabbit antiCoxiella burnetii yang berasal dari kromogen (Ramos-vara. 2005). Penelitian Lepidi (2009) menunjukan C. burnetii yang dideteksi dengan pewarnaan IHK pada organ hati terlihat di intraseluler makrofag dengan peradangan granuloma yang disertai terbentuknya jaringan ikat. Pewarnaan IHK dapat dimanfaatkan untuk mendeteksi C. burnetii pada jaringan tanpa memerlukan agen hidup atau jaringan segar untuk diagnosa. IHK merupakan teknik pewarnaan antigen dengan prinsip ikatan antibodi (Ab) dan antigen (Ag) pada jaringan (Raoult et al. 1994). Pewarnaan IHK terdiri atas dua metode yaitu langsung dan tidak langsung. C. burnetii yang berada dalam jaringan tidak dapat terwarnai oleh kromogen, sehingga dibutuhkan antibodi sekunder yang bertindak mengikat antigen dalam jaringan (Porter et al. 2011). Histopatologi Hati dengan Pewarnaan Hematoksilin dan Eosin Perubahan histopatologi yang dapat ditemukan pada interstisium adalah kongesti. Tabel 2 menunjukan kongesti terjadi pada hati yang terinfeksi dan tidak terinfeksi C. burnetii. Kongesti pada hati yang terinfeksi C.burnetii dapat terjadi akibat pembentukan emboli pada pembuluh darah (Maurin dan Raoult 1999). Kongesti merupakan keadaan terdapat darah secara berlebihan di dalam pembuluh darah pada daerah tertentu. Kongesti dicirikan dengan sel eritrosit memenuhi ruang sinusoid yang berdilatasi (Gambar 2). Bentuk kongesti yang terjadi pada sampel hati positif Q fever hampir sama dengan hati negatif Q fever. Kerusakan sel hepatosit yang ditemukan pada organ hati adalah degenerasi hidropis dan degenerasi lemak. Degenerasi hidropis ditemukan pada hati yang terinfeksi dan tidak terinfeksi C. burnetii. Sedangkan degenerasi lemak hanya ditemukan pada hati yang tidak terinfeksi C. burnetii. Perubahan ini bukan tanda spesifik dari infeksi C. burnetii karena dapat disebabkan oleh iskemia, anemia, metabolisme abnormal dan zat kimia yang besifat toksik (Cheville 1999).
6 Tabel 2 Perubahan histopatologi organ hati sapi dengan pewarnaan HE Query fever
Perubahan Histopatologi Fokus radang Jaringan ikat Kongesti Hemoragi Degenerasi hidropis Degenerasi lemak Nekrosa a) b)
+a) 1/9 1/9 4/9 2/9 1/9 0/9 3/9
−b) 11/41 7/41 7/41 8/41 3/41 2/41 3/41
Jumlah Perubahan histopatologi yang ditemukan pada sapi positif Q fever Jumlah Perubahan histopatologi yang ditemukan pada sapi negatif Q fever
Gambar 1 Histopatologi organ hati yang mengalami kongesti pada sinusoid (tanda panah) dengan pewarnaan HE, bar = 30 µm.
Gambar 3 Histopatologi organ hati yang mengalami degenerasi (tanda panah) (a) degenerasi hidropis (b) degenerasi lemak dengan pewarnaan HE, bar = 30 µm. Sel hepatosit yang mengalami degenerasi hidropis ditandai dengan sitoplasma yang membentuk vakuola-vakuola, hal ini terjadi karena peningkatan kadar air di intraseluler. Perubahan histopatologi ini dapat ditemukan di daerah vena sentral dan di daerah periporta (Gambar 3).
7 Menurut Carlton dan Mc Gavin (1995) daerah vena sentral mendapatkan suplai darah terakhir dalam lobus hati, sehingga jika terjadi hipoksia akan memicu terjadinya degenerasi. Perubahan histopatologi degenerasi lemak ditandai dengan sitoplasma yang terisi oleh lemak membentuk vakuol-vakuol besar (Gambar 3). Penyebab degenerasi lemak pada hati biasanya sama dengan degenerasi hidropis karena degenerasi lemak dapat terjadi sebagai lanjutan degenerasi hidropis yang tidak dapat kembali normal (Jones et al. 1997; Cheville 1999). Perubahan histopatologi lainnya yang terlihat adalah nekrosa dan hemoragi. perubahan ini ditemukan pada hati positif maupun negatif Q fever. Tingginya aliran darah kapiler dan penumbatan dari trombo emboli yang disebabkan oleh infeksi C. burnetii menyebabkan pecahnya pembuluh darah kapiler di sinusoid. Gambar 4 menunjukan adanya akumulasi eritrosit di luar pembuluh darah kapiler. Selain infeksi C. burnetii, perubahan ini dapat disebabkan juga oleh infeki bakterial lainnya dan induksi zat zat kimia yang bersifat toxik (Cheville 1999). Nekrosa merupakan tahapan perubahan lanjut dari degenerasi lemak yang tidak bisa dijangkau proses degeneratif. Susunan sel hepatosit sudah tidak berbatas dengan jelas karena adanya sel hepatosit yang rusak sehingga terlihat seperti adanya ruang-ruang kosong pada lobus hati (Gambar 4).
Gambar 4 Histopatologi organ hati dengan pewarnaan HE yang mengalami fokus nekrosa (tanda panah hijau) dan hemoragi (tanda panah hitam), bar = 30 µm.
Gambar 5 Histopatologi organ hati dengan pewarnaan HE yang mengalami fokus radang dengan infiltrasi sel radang limfosit (tanda panah hijau) dan eosinofil (tanda panah hitam), bar = 30 µm.
8
Gambar 6
Histopatologi organ hati dengan pewarnaan yang mengalami pembentukan jaringan ikat (tanda panah), bar = 30 µm.
Kerusakan sel ini dapat melibatkan sekelompok besar sel dan disekitar sel tersebut sering ditemukan sel radang. Menurut (Maurin dan Raoult 1999) perubahan histopatologi pada hati yang ditimbulkan C. burnetii menunjukkan adanya nekrosa dari sel hepatosit pada daerah tertentu, dan adanya infiltrasi sel radang yang terdiri dari makrofag dengan limfosit, polimorfonuklear leukosit, sel raksasa, dan fibrin. Perubahan histopatologi yang dapat diamati pada hati positif Q fever dan negatif Q fever adalah infiltrasi sel radang. Sel radang yang ditemukan di daerah porta dan di sekitar fokus nekrosa didominasi oleh limfosit dan eosinofil (Gambar 5). Selain karena infeksi C. burnetii, infitrasi sel radang dapat disebabkan oleh agen patogen lainnya seperti bakteri, cacing parasitik, atau virus. Sel radang limfosit merupakan tanda peradangan kronis dan eosinofil mengindikasikan peradangan yang ditimbulkan oleh parasit. Keberadaan sel radang dominan terjadi di daerah porta karena daerah ini merupakan pintu utama aliran darah yang berasal dari saluran pencernaan dan dari organ lain (Samuelson 2007). Hati dapat terinfeksi oleh agen infeksius melalui 3 cara yaitu hematogenous, penetrasi langsung, dan melalui sistem biliar. Infeksi yang paling umum terjadi yaitu melalui jalur hematogenous karena organ hati menerima banyak darah dari arteri hepatika dan vena porta (Carlton dan Mc Gavin 1995). Perubahan histopatologi lainnya yang dapat diamati adalah pembentukan jaringan ikat. Jaringan ikat dapat ditemukan pada hati positif maupun negatif Q fever. Perubahan ini terbentuk sebagai proses lanjutan dari nekrosa hepatosit. Sel hepatosit yang mengalami nekrosa akan digantikan oleh sel fibroblast (Gambar 6). Selain itu pembentukan jaringan ikat dapat di duga juga sebagai proses persembuhan luka. Pembentukan jaringan ikat merupakan proses aktif yang melibatkan berbagai jenis protein, fibroblas, dan sel-sel darah putih yang akan diakumulasikan pada permukaan daerah yang mengalami kerusakan (Willard dan Tvedten 1999).
9
Histopatologi Paru-paru dengan Pewarnaan Hematoksilin dan Eosin Hasil pengamatan histopatologi organ paru-paru dengan metode pewarnaan HE terlihat pada Tabel 3. Pengamatan sampel paru-paru yang positif Q fever ditemukan kongesti dan peradangan pada paru-paru. Sel radang yang ditemukan adalah limfosit dan eosinofil pada intertisial (pneumonia interstitial), sel radang ini juga ditemukan pada daerah pleura (pleuritis) (Gambar 7). Hasil pengamatan paruparu negatif Q fever terlihat adanya 7 paru-paru mengalami peradangan di daerah perivascular, pleura, bronkus, intertisial, dinding alveol, serta hemoragi (Gambar 5). Perubahan histopatologi hemoragi hanya ditemukan pada paru paru negatif Q fever, perubahan ini bukan tanda spesifik yang disebabkan oleh infeksi C. burnetii. Pada Gambar 7 terlihat sel eritrosit keluar dari pembuluh darah kapiler paru-paru. Hemoragi merupakan perobekan dinding pembuluh darah akibat infeksi dari agen patogen atau paparan bahan kimia (Cheville 1999). Selain itu hemoragi dapat disebabkan oleh trauma seperti saat penyembelihan. Selain hemoragi, perubahan histopatologi berupa kongesti dapat juga ditemukan. kongesti pada paru-paru bukan tanda spesifik akibat infeksi C. burnetii karena dapat ditemukan pada paru-paru positif maupun negativ Q fever. Pada Gambar 8 terlihat akumulasi sel eritrosit pada pembuluh darah kapiler paru-paru. Perubahan ini pada paru-paru yang positif Q fever diduga oleh C. burnetii karena infeksi C. burnetii dapat menyebabkan emboli pada pembuluh darah. Pada paruparu yang negatif Q fever, perubahan ini di duga oleh infeksi bakterial, jamur, virus atau kontaminasi udara lingkungan. Selain itu kongesti pada paru-paru dapat terjadi oleh proses pengeluaran darah yang tidak sempurna pada saat peyembelihan. Tabel 3 Perubahan histopatologi organ paru-paru sapi dengan pewarnaan HE Query fever Perubahan histopatologi a) −b) + Hemoragi 0/9 2/41 Pneumonia intertisialis 1/9 3/41 Pleuritis 1/9 3/41 Kongesti 2/9 7/41 a) b)
Jumlah Perubahan histopatologi yang ditemukan pada sapi positif Q fever Jumlah Perubahan histopatologi yang ditemukan pada sapi negatif Q fever
10
Gambar 7 Histopatologi organ paru-paru dengan pewarnaan HE yang mengalami a) pneumonia intertisialis b) pleuritis, bar = 30 µm.
Gambar 8 Histopatologi organ paru-paru dengan pewarnaan HE yang mengalami kongesti (tanda panah), bar = 30 µm.
Gambar 9 Histopatologi organ paru-paru dengan pewarnaan HE yang mengalami kongesti, bar = 30 µm. Peradangan pada daerah pleura diinfiltrasi oleh sel limfosit. peradangan ini dapat terjadi karena pada selaput pleura terdapat lapis kapiler paru-paru yang mensuplai darah dan jaringan pertukaran gas di daerah perifer (Akers dan Denbow 2008). Adapun sel radang eosinofil yang ditemukan pada paru-paru negatif Q fever diduga peradangan yang disebabkan oleh infeksi parasit. Perubahan yang terjadi pada organ paru-paru sapi yang positif Q fever sesuai dengan Maurin dan Raoult (1999) yang menyatakan perubahan histopatologi paruparu yang terjadi akibat C. burnetii adalah peradangan pada interstisial, dan adanya
11 eksudat pada alveolar paru-paru. Pada interstisial, sebagian besar terdapat makrofag, limfosit, dan sedikit polimorfonuklear leukosit. Sedangkan pada alveolar terdapat eksudat yang terdiri dari fibrin, eritrosit, dan sel mononuklear. Menurut Gershwin et al. (1995), tubuh akan memberikan reaksi imun dengan mengaktifkan sistem pertahanan tubuh. Peradangan yang terjadi pada paru-paru merupakan suatu respon imun tubuh terhadap C. burnetii masuk melalui rute inhalasi. Infeksi dapat terjadi karena menghirup debu yang telah terkontaminasi oleh plasenta, cairan amnion, dan feses dari hewan yang terinfeksi. Pada peradangan akut, C. burnetii akan menginfeksi dan bereplikasi pada sel makrofag saluran pernapasan yang selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalui aliran darah (Arricau-Bouvery dan Rodolakis 2004; Porter et al. 2011)
SIMPULAN Hasil penelitian ini menunjukan bahwa 9 dari 50 ekor sapi yang dipotong di RPH Cibinong pada periode bulan Januari 2013 positif Q fever dengan metode pewarnaan IHK. Perubahan histopatologi organ hati dan paru-paru yang diamati dengan pewarnaan HE tidak berbeda antara sapi yang terinfeksi dan sapi yang tidak terinfeksi C. burnetii. Perubahan yang terjadi pada organ hati adalah degenerasi hingga nekrosa pada parenkim hati, kongesti, hemoragi, serta pembentukan jaringan ikat. Sedangkan pada organ paru-paru ditemukan peradangan di daerah perivascular, pleura, intertisial, bronkus, serta terjadinya kongesti, dan hemoragi.
DAFTAR PUSTAKA Akers RM, Denbow DM. 2008. Anatomy and Physiology of Domestic Animals Edisi pertama. Iowa (US): Blackwell Publishing. Arricau-Bauvery N, Rodolakis A. 2004. Is a q fever an emerging or re-emerging zoonosis?. Vet Res. 36:327-349. Baca OG, Paretsky D. 1983. Q fever and Coxiella burnetii: a model for host parasite interaction. Microbiol Rev. 47(2):127-149. Carlton WW, McGavin MD. 1995. Thomson’s Special Vet Pathol. Ed ke-2. St. Louis (US): Mosby. hlm 81-109. Cheville NF. 1999. Introduction to Veterinary Pathology. Ed ke-2. Iowa (US): Iowa State University Pr. Fournier PE, Thomas JM, Raoult D. 1998. Minireview : diagnosis of q fever. J Clin Microbiol. 36:1823-1834. Jones TC, Ronald DH, Norval WK. 1997. Vet Pathol. Ed ke-6. Baltimore (US): William & Wilkins. Lepidi H, Gouriet F, Raoult D. 2009. Immunohistochemical detection of Coxiella burnetii in chronic q fever hepatitis. Clin Microbiol and Infec. 15(2):169–170. [Kementan] Kementrian Pertanian. 2013. Penetapan Jenis Penyakit Hewan Menular Strategis Nomor 4026/Kpts/OT.140/4/2013. Indonesia (ID): Kementan. Mahatmi H. 2006. Studi q fever pada ruminansia di wilayah Bogor dan provinsi Bali menggunakan metode nested polymerase chain reaction dan uji indirect immunofluorescent antibody [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
12 Marrie TJ. 2003. Coxiella burnetii pneumonia. J Eur Respir. 21:713. Maurin M, Raoult D. 1999. Q fever. Clin Microbiol Rev. 12(4):518-553. Muskens J, Mars MH, Franken P. 2007. Q fever : an overview. Tijdschr Diergeneeskd. 132:912-917. Parker NR, Barralet JH, Bell AM. 2006. Q fever. Lancet. 367:679-688. Porter SR, Czaplicki G, Mainil J, Guattéo R, Saegerman C. 2011. Q Fever: Current State of Knowledge and Perspectives of Research of a Neglected Zoonosis. Int J Microbiol [Internet]. [diunduh 2013 September 27]. Tersedia pada: www.hindawi.com/journals/ijmb/2011/248418/. Ramos-Vara J.A. 2005. Technical aspects of immunohistochemistry. Vet Pathol. 42: 405. DOI: 10.1354/vp.42-4-405. Raoult D, Laurent JC, and Mutillod M. 1994. Monoclonal antibodies to Coxiella burnetii for antigenic detection in cell cultures and in paraffin-embedded tissues. American Journal of Clinical Pathology. 101(3):318–320. Raoult, D. 2002. Q Fever : Still a mysterious disease. Q J Med. 95:491. Raoult D, Marrie T, Mege J. 2005. Natural history and patophysiology of q fever. Lancet Infect Dis. 5(4): 219. Renshaw S. 2006. Immunochemical Staining Techniques Chapter 4. Immunohistochemistry: Methods Express. London (UK): Socion Pub Ltd. Samuelson DA. 2007. Text Book of Veterinary Histology. Missouri (US): Saunders Elsevier. Soejoedono RR. 2004. Zoonosis. Bogor (ID): Laboratorium Kesmavet FKH-IPB. Stein A, Louveau C, Lepidi H, Ricci F, Baylac P, Davoust B, Raoult D. 2005. q fever pneumonia: Virulence of Coxiella burnetii pathovars in a murine model aerosol Infection. Infect Immun. 73(4):2469-2477. Van de Brom R, Vellema P. 2009. Q fever outbreaks in small ruminant and people in the Netherlands. Small Ruminant Res. 86:74-79. Willard MD, Tvedten H. 1999. Small Animal Clinical Diagnosis by Laboratory Methods. Ed ke-4. Missouri (US): Saunders.
13
RIWAYAT HIDUP Peneliti yang bernama lengkap Andre Yudhi merupakan anak ke 2 dari 4 bersaudara dari pasangan Junedi dan Yuliarti. Penulis dilahirkan di Sungai dareh, Sumatera Barat pada tanggal 10 Mei 1991. Pendidikan menengah diselesaikan di SMA Negeri 1 Pulau Punjung pada tahun 2009 dan pada tahun yang sama diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) dengan mayor Kedokteran Hewan melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama mengikuti perkuliahan di IPB, penulis pernah menjadi pengurus Himpro Ruminansia divisi Infokom pada tahun 2011/2012. Penulis juga pernah menjadi pengurus Ikatan Pelajar Mahasiswa Minang (IPMM) divisi Keanggotaan pada tahun 2010/2011, serta aktif dalam beberapa kepanitiaan di kampus.