1
KAJIAN HISTOPATOLOGI PARU–PARU AYAM BROILER YANG DIUJI TANTANG VIRUS AVIAN INFLUENZA (H5N1) SETELAH PEMBERIAN EKSTRAK TANAMAN SIRIH MERAH (Piper crocatum)
CORRY MARCHELINDA
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
2
PERNYATAAN MENGENAI SUMBER SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Kajian Histopatologi Paru– Paru Ayam Broiler yang Diuji Tantang Virus Avian Influenza (H5N1) Setelah Pemberian Ekstrak Tanaman Sirih Merah (Piper Crocatum) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Maret 2011 Corry Marchelinda NRP B04062542
3
ABSTRACT
CORRY MARCHELINDA (B04062542). Study on Histopathology of Lung of Broiler Chicken that was challenged by Avian Influenza (H5N1) Virus After Treatment with Sirih Merah (Piper crocatum) Extract. Under Direction of AGUS SETIYONO and WIWIN WINARSIH.
This research aim was to study the histopathological features of lungs in broiler that challenged by Avian Influenza (AI) H5N1 virus after treatment with sirih merah (Piper crocatum) extract. Fourteen Cobbs of broiler were divided into 4 groups treatment included negative control (KN) who were not given the sirih merah extract and not challenged by AI virus, positive control (K P) who were not given the sirih merah extract but challenged by AI virus, negative treatment (PN) who were given the sirih merah extract but not challenged by AI virus, positive treatment (PP) who were given the sirih merah extract and challenged by AI virus. Treatment of the sirih merah (Piper crocatum) 10% extract/ml/head broiler was for three weeks per os and then challenged with Avian Influenza H5N1 virus 104,0 EID50/0,1 ml per head intra nasal in BSL-3 facilities. The result of this research showed that the histopathological features of lung in broiler group PP would be similar to the KN with the congestion and oedema, however lesser than those PN whereas oedema was not shown. The KP group showed the worst lesion than other groups with necrose in the alveol. Based on the statistical analysis showed that KP group was significantly different compared to the KN group however no significantly different while compared to the PP and PN. In conclusion, the treatment of sirih merah (Piper crocatum) extract to broiler followed by challenging with AI H5N1 virus can reduce the mortality and damage of lungs organ. Keyword: broiler, sirih merah (Piper crocatum), AI H5N1 virus, histopathological
4
RINGKASAN
CORRY MARCHELINDA (B04062542). Kajian Histopatologi Paru–Paru Ayam Broiler yang Diuji Tantang Virus Avian Influenza (H5N1) Setelah Pemberian Ekstrak Tanaman Sirih Merah (Piper crocatum). Di bawah bimbingan AGUS SETIYONO dan. WIWIN WINARSIH.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran histopatologi organ paru-paru ayam pedaging yang ditantang virus Avian Influenza (AI) H5N1 setelah pemberian ekstrak sirih merah (Piper crocatum). Empat belas ekor ayam pedaging strain Cobbs yang dibagi menjadi 4 kelompok perlakuan, yaitu kelompok kontrol negatif (KN) yang tidak diberi ekstrak sirih merah dan tidak ditantang virus AI, kelompok kontrol positif (KP) yang tidak diberi ekstrak sirih merah namun ditantang virus AI, kelompok perlakuan negatif (PN) yang diberi ekstrak tanaman sirih merah namun tidak ditantang virus AI, dan kelompok perlakuan positif (PP) yang diberi ekstrak tanaman sirih merah maupun ditantang virus AI. Pemberian ekstrak sirih merah (Piper crocatum) 10% dosis 1 ml per ekor pada ayam pedaging selama tiga minggu per os, kemudian diinfeksi virus AI H5N1 dengan dosis 104,0 EID50/0,1 ml per ekor di laboratorium berfasilitas BSL-3 secara intra nasal. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa gambaran histopatologi paru-paru ayam kelompok PP menyerupai kelompok KN berupa kongesti dan edema, namun edema tidak ditemukan pada gambaran PN. Kelompok KP menunjukkan gambaran histopatologi terburuk dari kelompok lainnya berupa nekrosa. Berdasarkan analisis statistik, menunjukkan bahwa KP berbeda dibandingkan dengan KN, maupun dengan PP. Namun PP tidak berbeda nyata jika dibandingkan dengan PN. Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian ekstrak sirih merah (Piper crocatum) pada ayam pedaging kemudian diinfeksi dengan virus AI H5N1, mampu mengurangi mortalitas dan kerusakan organ paru-paru akibat ditantang virus AI H5N1. Kata kunci
: ayam pedanging, sirih merah (Piper crocatum), virus AI H5N1, histopatologi.
5
© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB. Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau keseluruhan karya tulis dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB.
6
KAJIAN HISTOPATOLOGI PARU–PARU AYAM BROILER YANG DIUJI TANTANG VIRUS AVIAN INFLUENZA (H5N1) SETELAH PEMBERIAN EKSTRAK TANAMAN SIRIH MERAH (Piper crocatum)
CORRY MARCHELINDA
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
7
LEMBAR PENGESAHAN
Judul
: Kajian Histopatologi Paru–Paru Ayam Broiler yang Diuji Tantang Virus Avian Influenza (H5N1) Setelah Pemberian Ekstrak Tanaman Sirih Merah (Piper Crocatum)
Mahasiswa
: Corry Marchelinda B04062542
Disetujui Komisi Pembimbing
Pembimbing 1
Pembimbing 2
Drh. Agus Setiyono, MS.Ph.D
Dr. drh. Wiwin Winarsih, MSi
NIP. 19630810 198803 1 004
NIP. 19630614 199002 2 001
Diketahui, Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor
Dr. Dra. Nastiti Kusumorini NIP. 19621205 198703 2 001
Tanggal Lulus :
8
PRAKATA Alhamdulillah, puji dan syukur saya ucapkan pada Allah SWT atas segala berkat dan karunia-Nya sehingga penyusunan dan penulisan skripsi dengan judul Kajian Histopatologi Paru–Paru Ayam Broiler yang Diuji Tantang Virus Avian Influenza (H5N1) Setelah Pemberian Ekstrak Tanaman Sirih Merah (Piper Crocatum), telah diselesaikan. Proses penyusunan skripsi selama satu tahun ini merupakan perjalanan panjang disertai usaha, doa, dan dukungan dari berbagai pihak, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada:
ALLAH SWT, atas segala rahmat dan karuniaNya.
MY LOVELY FAMILY : Papi Ardy, SE ; Mami Ermawati, SH, MM ; kakakku Ireyne I, SE, MM dan adekku tersayang Willy F, terima kasih banyak Corry ucapkan atas doa, support via telephone, kasih sayang dan perhatian dan nasehat–nasehat yang sangat berharga, selama Corry merantau di Bogor.
Drh. H. Agus Setiyono, MS, Ph.D. sebagai pembimbing pertama skripsi saya. Terimakasih atas ilmu, keterampilan, nasihat, saran, kritik, dan kesabarannya dalam membimbing saya.
DR. Drh. Wiwin Winarsih, MSi sebagai dosen pembimbing kedua skripsi saya, dan juga sebagai pembimbing akademik saya. Terimakasih atas ilmu, keterampilan, nasihat, saran, kritik, dan kesabarannya dalam membimbing saya selama menuntut ilmu di FKH-IPB.
Drh. Ekowati Handharyani, MS, Ph.D. sebagai dosen penilai seminar skripsi. Terima kasih atas ilmu, nasihat, saran, dan kritik yang telah diberikan.
DR. Drh. H. Razak Achmad Hamzah, MS. sebagai dosen penguji ujian akhir sarjana kedokteran hewan. Terima kasih atas ilmu, nasihat, saran, dan kritik yang telah diberikan.
DR. Ir. Etih Sudarnika, MSi. sebagai dosen penguji ujian akhir sarjana kedokteran hewan. Terima kasih atas ilmu, nasihat, saran, dan kritik yang telah diberikan.
Drh. Mawar Subangkit sebagai moderator seminar skripsi. Terima kasih atas ilmu, nasihat, saran, dan kritik yang telah diberikan.
9
Seluruh dosen departemen AFF, KRP dan IPHK FKH IPB. Terima kasih atas ilmu dan keterampilan yang telah diberikan selama saya menuntut ilmu.
Pak Kasnadi, Pak Endang, Pak Sholeh, Mbak kiki dan seluruh staf di Bagian Patologi, Departemen KRP.
Seluruh staf dari bagian kemahasiswaan AJMP FKH IPB. Terima kasih atas bantuan dalam mengurus surat-surat perizinan.
Special thanks to Fajar alg. dan Iin Maena, terima kasih atas ilmu bantuan, motifasi, semangatnya dan ajaran ilmu statistiknya.
Rekan-rekan sepenelitian (ayazt, zuhra ‗tek jue‘, sekar, ika, cumi, sonny, ipin, pakde). Terima kasih atas support dan bantuan teman-teman dalam penyelesaian skripsi tugas akhir ini.
Teman-teman angkatan 43sculapis tercinta, karena support, motivasi dan bantuan teman-teman semua selama proses penyelesaian skripsi ini. Corry tak akan pernah lupa akan kekompakan kita semua selama kegiatan di FKH.
Bogor, Maret 2011
Corry Marchelinda
10
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Padang, Sumatera Barat pada tanggal 20 Maret 1988. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara, dari pasangan Bapak Ardy dan Ibu Ermawaty. M. Pada usia 5 tahun, penulis memasuki jenjang pendidikan Taman KanakKanak Aisyah 4 Bustanul Atfal, Padang. Tahun 2000 penulis lulus dari SD Adabiah 6, Padang, kemudian pada tahun 2003 penulis lulus dari SLTP Adabiah, Padang. Penulis melanjutkan studi di SMAN 3 Padang dan lulus tahun 2006. Pada tahun 2006 penulis diterima sebagai mahasiswi program sarjana di Institut Pertanian Bogor melalui Ujian Saringan Masuk IPB (USMI). Setahun kemudian penulis masuk ke Fakultas Kedokteran Hewn IPB melalui seleksi Tingkat Persiapan Bersama (TPB). Selama mengikuti perkuliahan, penulis, penulis aktif dalam organisasi di FKH IPB seperti pada tahun 2006-2007 penulis menjadi bendahara Himpunan Mahasiswa Padang-Pariaman (HIMAPD) dalam Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Minang (IPMM) cabang Bogor. Pada tahun 2007-2008 penulis menjadi anggota divisi keuangan Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan Indonesia (IMAKAHI) cabang IPB-Bogor, dan bergabung sebagai anggota divisi pendidikan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FKH IPB kabinet harmoni. Kemudian pada tahun 2008-2009, penulis menjadi anggota informasi komunikasi dan usaha (infokus) Himpunan Minat dan Profesi Hewan Kesayangan dan Satwa Akuatik (HKSA) serta anggota komunikasi dan info Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan Indonesia (IMAKAHI) cabang IPB-Bogor. Tahun 2009-2010 penulis merupakan Bendahara VetZone–Majalah FKH IPB. Penulis juga aktif dalam berbagai kegiatan dan kepanitiaan yang diselenggarakan oleh berbagai organisasi di dalam dan luar FKH IPB.
11
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR GAMBAR …………………………………………………….....
xii
DAFTAR TABEL ……………………………………………………….......
xiii
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………… xiv PENDAHULUAN Latar Belakang ………………………………………………………. Tujuan ……………………………………………………………...... Manfaat ……………………………………………………………….
1 2 3
TINJAUAN PUSTAKA Virus Avian Influenza ………………………………………………... Perubahan Patologis ……………………………………………... Epidemiologi …………………………………………………...... Penggunaan Hewan Coba .…………………………………………… Paru-Paru Unggas ….…………………………………………..... Histologi dan Fisiologi Paru-Paru …………………………......... Patogenesa …..………………………………………………....... Sirih Merah (Piper crocatum) ……………………………………..... Zat-zat yang Terdapat pada Sirih Merah (Piper crocatum) ……..
4 5 6 7 9 10 12 13 14
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat .………………………………………………….. Alat dan Bahan Penelitian .………………………………………....... Alat Penelitian .………………………………………………....... Bahan Penelitian .………………………………………………… Prosedur Penelitian .………………………………………………...... Persiapan Ekstrak Tanaman Obat Sirih Merah (piper crocatum)… Hewan Coba .…………………………………………………….. Kandang .……………………………………….………………… Pemeliharaan, Pemberian Ekstrak Tanaman, dan Diuji Tantang Virus ............................................................................................... Pembuatan Preparat Histopatologi Paru-Paru …………………… Pengamatan Histopatologi Paru-Paru ……………………………. Analisis Data ……………………………….…………………….
18 18 18 18 19 19 21 21 22 23 24 25
HASIL DAN PEMBAHASAN ………………………………………………
26
SIMPULAN DAN SARAN ………………………………………………….
38
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………….......
39
12
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Morfologi virus Avian Influenza …………………..……………….....
4
2. Siklus penyebaran virus Avian Influenza ……………..………………
7
3. Ayam broiler ……………………………………………………….....
8
4. Histologi umum paru-paru ……………..……………………………..
10
5. Histologi paru-paru (alveoli) ………………………………………….
11
6. Histologi paru-paru unggas ..………………………………………….
12
7. Tanaman sirih merah (Piper crocatum)……………………………….
13
8. Pemeliharaan dan Perlakuan Ayam ......................................................
23
9a. Gambaran Histopatologi Paru-paru ayam kelompok Kontrol KN .........
27
9b. Gambaran Histopatologi Paru-paru ayam kelompok PN .......................
27
10a. Gambaran Histopatologi Paru-paru ayam kelompok Kontrol KP 100x
28
10b. Gambaran Histopatologi Paru-paru ayam kelompok Kontrol KP 400x
28
11. Gambaran Histopatologi Paru-paru ayam kelompok Kontrol PP ..........
29
12. Replikasi Virus Avian Influenza ……………………………………...
33
13. Respon Imun Terhadap Infeksi AI H5N1 .............................................
35
13
DAFTAR TABEL Halaman 1. Virus influenza berdasarkan jenisnya .....................................................
5
2. Pengelompokan ayam berdasarkan perlakuan ………………………...
22
3. Kriteria skoring organ paru–paru ............................................................
24
4. Hasil rataan skoring lesio histopatologi paru-paru setiap perlakuan …..
26
5. Perbandingan persentase angka kematian antara KP dan PP ....................
36
14
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Uji Statistik ..............................................................................................
48
15
PENDAHULUAN
Latar Belakang Flu burung atau Avian Influenza (AI) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus influenza tipe A dari golongan famili Orthomyxoviridae. Virus AI biasanya menyerang unggas dan dapat berubah-ubah bentuk dan dapat menyebabkan endemi maupun pandemi (Johanes et al. 2006). Virus AI subtipe H5N1 merupakan yang perlu diwaspadai, karena pada tahun 1997 diketahui menyerang burung-burung di seluruh dunia. Semenjak 2003, AI telah menular di negara-negara Asia dan Eropa yang menyebabkan tingginya angka kesakitan dan kematian pada ayam, itik, maupun burung liar. Virus AI H5N1 juga menyerang mamalia, seperti babi, kuda, dan binatang laut seperti ikan paus dan anjing laut. Tahun 2004, departemen pertanian telah mengumumkan secara resmi, bahwa terjadi kasus AI pertama kali yang menyerang unggas di Indonesia (Judarwanto 2005 dan Johanes et al. 2006). Virus flu burung atau Avian Influenza (AI) juga dapat menyerang manusia dalam keadaan tertentu. Departemen kesehatan Indonesia telah mengidentifikasi adanya infeksi AI pada seseorang penderita di Tangerang. Penemuan ini telah dikuatkan oleh pemeriksaan laboratorium resmi World Health Organization (WHO) di Hongkong. Hal ini merupakan penemuan penderita AI pada manusia yang pertama kali di Indonesia. Di Indonesia terjadi wabah penyakit unggas yang fatal pada bulan September hingga Oktober 2003 dan wabah tersebut telah menimbulkan kerugian ekonomi cukup besar bahkan menimbulkan kematian yang sangat tinggi (hampir 90%) pada unggas di beberapa peternakan. Bulan Januari 2004, pemerintah Indonesia menyatakan bahwa wabah tersebut disebabkan oleh flu burung HPAI dengan subtipe H5N1 (Manoi 2007). Merujuk kepada besarnya dampak negatif yang ditimbulkan oleh infeksi virus flu burung atau Avian Influenza (AI), maka dibutuhkan usaha untuk menanggulanginya. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mencari bahan yang dapat menghambat maupun membunuh virus AI atau dapat membuat induk semang menjadi tahan terhadap virus tersebut. Pemerintah mengatasi kasus AI dengan menetapkan beberapa obat, seperti Tamiflu® (oseltamivir carboxylate) dan
16
Amantadine®. Tamiflu® bekerja sebagai inhibitor neuraminidase, bahan bakunya berasal dari tanaman adas bintang (Illicium verum) yang harus diimpor dari Vietnam atau China dengan biaya yang relatif mahal. Januari 2006, dilaporkan bahwa 16% dari kasus AI pada manusia mempunyai tipe virus yang resisten terhadap Tamiflu® (Verkerk et al. 2006).
Obat lainnya, Amantadine®, yang
bekerja sebagai ion chanel blocker, tetapi dilaporkan telah memicu resistensi pada virus. Berdasarkan kenyataan tersebut, maka sangat perlu untuk segera menemukan obat alami untuk menangani kasus flu burung atau Avian Influenza (AI) dari tanaman yang berasal dari alam Indonesia.
Sebagai negara tropis,
Indonesia menyimpan banyak kekayaan hayati yang belum dimanfaatkan sepenuhnya, termasuk juga tanaman-tanaman obat yang biasa dijumpai dan juga digunakan oleh masyarakat tradisional.
Tanaman obat adalah tanaman yang
penggunaan utamanya untuk keperluan obat-obatan, dalam hal ini obat tradisional yang khasiatnya secara fitoterapi juga masih harus diteliti (Hasanah, 1992). Salah satu tanaman yang digunakan oleh masyarakat sebagai obat tradisional adalah sirih merah (Piper crocatum) yang memiliki multi-khasiat dalam mengatasi beragam penyakit. Potensi sirih merah sebagai tanaman obat multi fungsi sangat besar sehingga perlu ditingkatkan dalam penggunaannya sebagai bahan obat modern. Menurut Setiyono et al.(2008), setelah melakukan serangkaian penelitian pada tahun 2007 hasil penelitian menunjukan bahwa Sambiloto, Temu Ireng, Beluntas dan Adas memiliki potensi sebagai penghambat infeksi virus H5N1 ke sel vero.
Tujuan Tujuan kegiatan penelitian ini dititik-beratkan pada kajian tanaman obat dalam menghambat infeksi virus flu burung atau Avian Influenza (AI) pada ayam melalui studi in vivo dan potensinya sebagai sediaan anti-virus, khususnya dalam mengatasi infeksi virus AI. Tanaman obat yang akan dipakai dalam penelitian untuk ini adalah sirih merah (Piper crocatum). Penelitian ini ditujukan untuk
17
mengetahui gambaran histopatologi paru–paru ayam yang diinfeksi virus AI dan sebelumnya telah diberi ekstrak sirih merah (Piper crocatum).
Manfaat Penelitian ini diharapkan memberikan informasi dasar tentang ekstrak tanaman obat sirih merah (Piper crocatum) yang digunakan untuk pencegahan Avian Influenza (AI) dan bisa dijadikan sebagai acuan untuk penelitian selanjutnya.
18
TINJAUAN PUSTAKA
Avian Influenza Virus Avian Influenza Virus influenza merupakan virus RNA dari famili Orthomyxoviridae. Virus ini memiliki asam nukleat beruntai tunggal, terdiri dari 8 segmen gen yang mengkode sekitar 11 jenis protein. Virus influenza juga mempunyai selubung atau simpai yang terdiri dari kompleks protein dan karbohidrat. Terdapat tonjolan (spikes) yang digunakan untuk menempel pada reseptor yang spesifik pada sel inang saat menginfeksi.
Ada dua jenis spikes pada virus ini yaitu yang
mengandung hemaglutinin (H) dan yang mengandung neuraminidase (N), keduanya terletak dibagian terluar virion (Gambar 1).
Gambar 1
Morfologi virus Avian Influenza (Davidson 1995)
Horimoto dan Kawaoka (2001), menyatakan bahwa virus influenza mempunyai 4 jenis antigen yang terdiri dari hemaglutinin, neuraminidase, protein nukleokapsid, dan protein matriks.
Menurut Murphy dan Webster (1996),
berdasarkan perbedaan antigenik pada nukleoprotein dan protein matriks, virus influenza diklasifikasikan sebagai tipe A, B, dan C, sedangkan virus AI sendiri termasuk dalam virus influenza tipe A. Virus Influenza tipe A sangat patogen bagi manusia dan hewan, sehingga mempunyai peran penting dalam bidang kesehatan karena menyebabkan angka kesakitan dan kematian yang tinggi di seluruh dunia. Virus influenza tipe A ini
19
dapat menyebabkan pandemi karena mudah bermutasi, baik berupa antigenic drift ataupun antigenic shift sehingga membentuk varian-varian baru yang lebih patogen. Virus influenza B adalah jenis virus yang hanya menyerang manusia, sedangkan virus influenza C jarang ditemukan walaupun dapat menyebabkan infeksi pada manusia dan hewan. Jenis virus influenza B dan C jarang sekali menyebabkan wabah pandemi atau bahkan tidak sama sekali. Pengelompokan virus influenza berdasarkan sifatnya dijelaskan pada Tabel 1.
Tabel 1
Pengelompokan virus influenza berdasarkan jenisnya
Spesies influenza
A
B
C
Ya
Tidak
Tidak
Pan atau epidemic
epidemi
Epidemic
Shift dan Drift
Drift
Drift
Jumlah segmen RNA
8
8
7
Jumlah protein permukaan
2
2
1
Reservoir Hewan Transmisi Manusia Mutasi
Keterangan : o Pandemi (kejadian penyakit yang dalam waktu singkat menyebar ke beberapa Negara), o Epidemi (kejadian penyakit yang mengalami peningkatan) o Shift (istilah mutasi virus AI = bentuk determinan antigen berubah secara perlahan dan lambat menjadi bentuk yang berbeda pada setiap generasi virus), o Drift (istilah mutasi virus AI = mudah mengkombinasikan HA dan NA untuk menghasilkan variasi antigenik baru) Sumber : maksum 2010
Penyakit flu burung atau Avian Influenza (AI) dikelompokkan menjadi dua, yakni flu burung yang sangat patogenik (Highly Pathogenic Avian Influenza atau HPAI) yang dahulu lebih dikenal dengan fowl plaque dan flu burung yang kurang patogenik (Low Pathogenic Avian Influenza atau LPAI). Kedua jenis flu burung tersebut disebabkan oleh virus famili Orthomyxoviridae tipe A (Easterday and Hinshaw 1991). Menurut Office International des Epizooties (OIE) pada tahun 2000, subtipe yang menimbulkan HPAI hanya H5 dan H7, namun infeksi virus HPAI pada ayam sangat fatal dan menular. Umumnya unggas yang hidup di air merupakan reservoir utama dari penyakit ini.
Perubahan Patologis Perubahan makroskopik pada kasus flu burung atau Avian Influenza (AI) ditemukan sangat bervariasi pada unggas. Hal tersebut sesuai dengan lokasi lesio
20
yang terjadi, derajat keparahan, spesies unggas dan patogenisitas virus influenza itu sendiri. Bentuk ringan ditemukan dengan adanya salah satu atau campuran dari eksudat kataralis, fibrinus, serofibrinus, mukopurulen atau kaseus pada sinus. Bentuk akut terlihat jika unggas mati dalam waktu yang singkat namun biasanya tidak ditemukan adanya perubahan makroskopik tertentu karena lesio pada jaringan belum berkembang (Davison et al. 1999). Berbagai subtipe virus influenza tersebut dapat menimbulkan lesio pada stadium awal, yang meliputi edema pada kepala yang disertai oleh pembengkakan sinus, sianosis, kongesti dan hemoragi pada pial dan balung.
Kongesti dan
hemoragi mungkin ditemukan juga pada kaki bahkan ditemukan adanya fokal nekrotik pada hati, limpa, ginjal dan paru jika penyakit berlanjut. Perubahan mikroskopik pada lesio yang ditimbulkan oleh fowl plaque (HPAI) ditandai oleh adanya gambaran histopatologi berupa edema, hiperemi, hemoragi dan perivascular cuffing sel limfoid, terutama pada miokardium, limpa, paru, otak, balung dan dengan frekuensi yang lebih rendah pada hati dan ginjal (Hooper 1989). Pemeriksaan serologis dapat dilakukan untuk mengetahui adanya pembentukan antibodi terhadap AI yang dapat diamati 7-10 hari pasca-infeksi. Adapun uji serologis yang sering digunakan adalah uji hemaglutinasi inhibisi (HI) untuk mengetahui adanya antibodi terhadap hemaglutinin (H) dan agar gel presipitasi (AGP) untuk mengetahui adanya antibodi terhadap neuraminidase (N). Uji serologis lainnya adalah uji netralisasi virus (VN), neuraminidase-inhibition (NI), enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA), antibodi monoclonal, hibridisasi in situ, dan imunofluorescence. Penyakit yang mirip gejala klinisnya dan dapat dijadikan sebagai diagnosa banding dengan Avian Influenza (AI) adalah Newcastle Disease (ND), Pigeon paramyxovirus, Infectious Bronchitis (IB), Swollen Head Syndrome (SHS), dan avian mikoplasmosis (Tabbu 2000).
Epidemiologi Menurut Office International des Epizooties (OIE) 2004, terdapat 16 jenis subtipe H dan 9 jenis subtipe N dari virus AI. Berdasarkan data kasus seroprevalensi secara epidemiologi menunjukkan bahwa beberapa subtipe virus
21
influenza A telah menyebabkan wabah pandemi selama beberapa tahun antara lain H7N7 (1977), H3N2 (1968), H2N2 (1957), H1N1 (1918), H3N8 (1900), dan H2N2 (1889). Kasus AI dalam perkembangan, tidak hanya menyerang unggas, tetapi juga menyerang mamalia lainnya bahkan manusia, seperti yang terlihat pada Gambar 2.
Gambar 2 Siklus penyebaran virus Avian Influenza (Nanocid 2008)
Kamps dan Reyes (2006) menyatakan bahwa virus Avian Influenza (AI) dikenal cerdik dan susah diberantas karena sifatnya yang mudah merubah asam intinya. Selain itu, karena sifatnya dapat melakukan penyebaran melalui udara menyebabkan virus ini cepat berpindah ke hewan lainnya. Penyakit AI yang sangat patogen (HPAI) telah terdaftar sebagai penyakit list A (OIE 2000). Di Indonesia terjadi wabah penyakit unggas yang fatal pada bulan September hingga Oktober 2003 dan wabah tersebut telah menimbulkan kerugian ekonomi cukup besar bahkan menimbulkan kematian yang sangat tinggi (hampir 90%) pada unggas di beberapa peternakan.
Penggunaan Hewan Coba Ayam, kalkun, bebek dan unggas lainnya merupakan hewan yang biasa digunakan sebagai hewan coba laboratorium karena menurut Tabbu (2000), virus AI menimbulkan mortalitas yang tinggi pada hewan tersebut dalam kondisi alami.
22
Ayam broiler adalah galur ayam hasil rekayasa teknologi yang memiliki karakteristik ekonomis dengan ciri khas pertumbuhan cepat sebagai penghasil daging, masa panen pendek dan menghasilkan daging berserat lunak, timbunan daging baik, dada lebih besar dan kulit licin (North and Bell 1990). Gambaran performa ayam broiler secara umum terlihat pada Gambar 3.
Gambar 3 Ayam broiler (Jackie Deems 2010)
Klasifikasi ayam broiler menurut Sarwono (2003), adalah sebagai berikut : Kingdom
: Animalia
Divisi
: Chordata
Kelas
: Aves
Sub kelas
: Neonithes
Ordo
: Galiformis
Genus
: Gallus
Spesies
: Gallus domesticus.
Menurut Rasyaf (1999) ayam broiler merupakan ayam pedaging yang mengalami pertumbuhan pesat pada umur 1–5 minggu, bahkan ayam yang berumur 6 minggu sudah sama besarnya dengan ayam kampung dewasa yang dipelihara selama 8 bulan. Keunggulan ayam broiler tersebut didukung oleh sifat genetik dan keadaan lingkungan seperti makanan, temperatur dan pemeliharaan.
23
Umumnya di Indonesia ayam broiler sudah dipasarkan pada umur 5-6 minggu dengan berat 1,3–1,6 kg walaupun laju pertumbuhannya belum maksimum, karena ayam broiler yang sudah berat sulit dijual (Cahyono 1995). Menurut Mountney (1983) ayam broiler yang baik adalah ayam yang cepat tumbuh dengan warna bulu putih, tidak terdapat warna-warna gelap pada karkasnya, memiliki konfirmasi dan ukuran tubuh yang seragam. Ayam broiler akan tumbuh optimal pada temperatur lingkungan 19–21oC (Soeharsono 1976).
Gejala klinis yang
ditimbulkan akibat AI lebih cepat terlihat pada ayam broiler dibandingkan ayam layer.
Paru–Paru Unggas Paru-paru merupakan organ yang elastis, berbentuk kerucut, dan terletak di dalam rongga dada dan toraks.
Kedua paru-paru saling terpisah oleh
mediastinum sentral yang berisi jantung dan beberapa pembuluh darah besar. Tiap paru-paru mempunyai apeks (bagian atas paru-paru), basis (bagian bawah paru–paru), pembuluh darah paru-paru, bronkhial, saraf dan pembuluh limfe yang memasuki tiap paru-paru, terutama pada bagian hilus dan akan membentuk akar paru-paru (Johnson 2008). Paru–paru ayam bentuknya berlobus, secara utuh menempel pada pleura, dan memiliki berat normal sekitar 40-60 gram. Jika paru–paru berukuran terlalu besar maka bisa saja merupakan patologi, seperti bengkak karena berbagai penyakit atau terjadi akumulasi peradangan yang menimbulkan eksudat berlebih. Paru–paru yang baik berwarna merah jingga dan seperti spons, dapat terisi udara dengan baik. Secara umum, paru–paru dibagi menjadi system penyalur udara intra pulmonari, parenkim ataupun sistem respirasi dan pleura. Paru–paru ayam yang baik umumnya berwarna merah, berukuran kecil, dan menempel di kiri-kanan collumna vertebralis pada septum dorsalis di dalam ruangan cavum pulmonale.
Di bagian ventral facies septalis terdapat hillus
pulmonalis, yaitu tempat masuknya pembuluh darah dan bronkhi primer (Ritchson 2009).
24
Histologi dan Fisiologi Paru–paru Paru-paru
ayam
parabronkhus, dan alveoli.
normal
terdiri
dari
bronkhus
intrapulmonum,
Bronkhus intrapulmonum memiliki mukosa dan
adventisia. Tulang rawan jarang sekali tampak, karena sejak di vestibulum tulang rawan sudah tidak ada. Epitel mukosa berbentuk silinder banyak baris bersilia, dengan propria submukosa banyak mengandung pembuluh darah (Brown 1992). Kapiler pembuluh darah berfungsi untuk tempat pertukaran gas yang kaya O2 dan miskin O2, sistem tersebut dikenal dengan blood air barrier. Parabronkhus pada paru–paru ayam merupakan saluran yang berfungsi menyalurkan udara dari dan atau ke paru–paru. Epitel parabronkhus berbentuk kubus, di bawahnya terdapat jaringan ikat dan otot polos. Alveoli merupakan bagian terpenting dari paru–paru, karena di jaringan ini dapat mengembang bila terisi udara (fleksibel). Alveolus juga berperan atas terjadinya pertukaran gas yang kaya O2 dan miskin O2 bersama dengan kapiler sekitarnya. Histologi normal paru-paru terlihat pada Gambar 4.
Gambar 4 Histologi umum paru-paru (Caceci 2006)
Pada dinding paru-paru yakni di sekitar alveolus terdapat sel pneumosit, yang terdiri dari pneumosit type I (memranous pneumocytes) dan pneumosit type II (Granular Pneumocytes) seperti yang terlihat pada Gambar 5. Secara normal, sel pneumosit type I ini melapisi 95% dinding alveoli dan menjalankan fungsi utama paru-paru sebagai tempat pertukaran udara. Sel ini sangat rentan terhadap kekurangan oksigen (Codd et al. 2005). Sel pneumosit type II yang terdapat di epitel alveoli merupakan sel penghasil surfaktan. Surfaktan berfungsi untuk
25
mengurangi tekanan permukaan cairan yang menyelimuti alveol, menurunkan tekanan yang diperlukan oleh alveol-alveol kecil sehingga mencegah kerobekan alveol-alveol kecil menjadi alveol besar (Daniels et al. 1998).
Gambar 5 Histologi alveolus (Slomianka 2009)
Unggas tidak mempunyai alveoli paru–paru seperti yang terdapat pada paru–paru mamalia, namun unggas mempunyai jutaan faveolar paru–paru yang biasa disebut dengan parabronkhi dan akan berhubungan dengan saluran terakhir melalui dorsobronchi (Romers dan Parsons 1977).
Parabronkhi berasal dari
bronchi medioventrales di satu sisi dan bronkhi mediodorsales serta bronkhi lateroventrales di sisi lainnya. Tiap parabronkhus merupakan pipa-pipa panjang yang berdiameter 0.2-0.5mm tergantung ukuran unggas. Selanjutnya parabronkhi dari kedua sisi akan bertemu di suatu tempat dasar yang disebut planum anastomicum. Parenkim atau daerah pertukaran gas kira–kira 85% dari paru– paru, terdiri dari duktus alveolaris, sakus alveolaris, dan alveoli (Frandson 1992). Sistem penyalur udara intrapulmonar (bronchus dan bronchiolus), mencapai 6% paru–paru. Gambar 6, menunjukkan mesobronkhus yang secara struktural sangat mirip dengan bronkhus mamalia (Gambar 4). Mesobronkhus memiliki tulang rawan dan otot polos di dinding, tidak memiliki fungsi langsung dalam pertukaran gas, seperti bronkhus pada mamalia (Caceci 2006).
26
Gambar 6 Histologi paru-paru unggas (Caceci 2006)
Ketika udara kotor yang dibawa aliran darah dari jantung, kemudian masuk dalam paru–paru akan ditukar dengan udara kaya oksigen yang diperoleh paru-paru dari lingkungan luar, melalui proses yang disebut bernafas (Guyton 2008). Sistem respirasi merupakan tempat terjadinya pertukaran gas antara darah dan udara.
Sistem respirasi dibagi menjadi dua bagian pokok yaitu: bagian
konduksi dan bagian respirasi.
Bagian konduksi berperan sebagai pencuci,
memanasi atau mendinginkan dan membuat udara lebih lembab, sedangkan bagian konduksi merupakan tabung yang menghubungkan dunia luar dan paruparu, terdiri atas: hidung, faring, laring, trakea, bronkhi dan bronkhioli (Cunningham 1994).
Patogenesa Penyebaran virus Avian Influenza terjadi melalui udara.
Virus yang
tertanam pada membran mukosa akan terikat dengan mukoprotein yang mengandung asam sialat yang dapat mengikat virus.
Tetapi virus yang
mengandung neuraminidase (N) pada permukaannya dapat memecah ikatan tersebut. Virus selanjutnya akan melekat pada epitel permukaan saluran nafas untuk kemudian bereplikasi di dalam sel tersebut. Replikasi virus terjadi selama 4-6 jam sehingga dalam waktu singkat virus dapat menyebar ke sel-sel didekatnya. Masa inkubasi virus 18 jam hingga 4 hari, lokasi utama dari infeksi yaitu pada sel-sel kolumnar yang bersilia.
Sel-sel yang terinfeksi akan
membengkak dan intinya mengkerut dan kemudian mengalami piknosis.
27
Bersamaan dengan terjadinya disintegrasi dan hilangnya silia selanjutnya akan terbentuk badan inklusi (Nainggolan 2007).
Sirih Merah (Piper crocatum) Indonesia merupakan negara yang kaya akan berbagai jenis tumbuhan. Tumbuhan tersebut dapat memberikan manfaat pada berbagai bidang antara lain bidang pertanian, perkebunan, kehutanan, industri, bahan dasar obat-obatan dan sebagainya. Tumbuhan yang digunakan sebagai obat dikenal dengan nama obat tradisional dan sampai saat ini masih banyak digunakan oleh masyarakat. Hal itu perlu dilestarikan, karena obat tradisional harganya relatif lebih murah dibandingkan dengan obat sintesis, serta bahan-bahannya pun mudah didapat (Wijayakusuma 2000). Ciri khas tanaman tropis ini, berbatang bulat hijau keunguan dan tidak berbunga. Seperti sirih hijau, tanaman sirih merah juga tumbuh merambat di pagar atau pohon yang tumbuh berselang-seling dari batangnya. Penampakan Daunnya bertangkai membentuk jantung hati dan bagian atasnya meruncing. Permukaan daun mengkilap dan tidak merata yang berwarna merah keperakan (Gambar 7). Daunnya berasa pahit getar, namun beraroma lebih wangi dibanding sirih hijau. Bila dirobek, daun sirih merah akan berlendir (Duryatmo 2006).
Gambar 7 Tanaman sirih merah (Dokumen pribadi 2010)
28
Adapun kedudukan tanaman sirih merah yang termasuk dalam famili Piperaceae. Menurut Backer (1963) dalam sistematik (taksonomi) sirih merah (Piper crocatum) diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom
: Plantae (tumbuhan)
Sub kingdom : Tracheobionta (tumbuhan berpembuluh) Super Divisi : Spermatophyta (menghasilkan biji) Divisi
: Magnoliophyta (tumbuhan berbunga)
Kelas
: Magnoliopsida (dikotil/berkeping dua)
Sub kelas
: Magnoliidae
Ordo
: Piperales
Famili
: Piperaceae (suku sirih-sirihan)
Genus
: Piper
Spesies
: Piper crocatum
Zat-Zat yang Terkandung dalam Sirih Merah (Piper crocatum) Daun sirih (Piper crocatum) mengandung ragam senyawa kimia seperti minyak atsiri yang terdiri dari senyawa kavikol, karvakol, sineol, metal kavikol, eugenol, dan kavibetol. Selain itu, daun sirih juga mengandung tanin, gula, dan amilum. Menurut Rahmadi (2009), dalam daun sirih merah terkandung senyawa fitokimia yakni alkaloid, saponin, tanin dan flavonoid. Menurut Sudewo (2007), dari hasil kromotogram dapat dilihat bahwa daun sirih merah mengandung flavonoid, polifenolad, tanin dan minyak atsiri.
Diketahui bahwa senyawa
tersebut mempunyai sifat antibakteri. Flavonoid berfungsi sebagai antibakteri dengan cara membentuk senyawa kompleks terhadap protein ekstraseluler yang mengganggu integritas membran sel bakteri (Cowan 1999). Menurut Dwidjoseputro (1994), flavonoid merupakan senyawa fenol dan dapat bersifat koagulator protein. Flavonoid adalah kelompok senyawa fenol yang terbesar ditemukan di alam. Senyawa ini merupakan zat warna merah, ungu, biru dan sebagian kuning yang ditemukan dalam tumbuhan (Harborne 1987). Flavonoid dapat dikasifikasikan menjadi 3 yaitu flavoniod, isoflavonoid, dan neoflavonoid. Flavonoid merupakan senyawa polifenol yang memiliki gugus –OH.
29
Alkaloid memiliki kemampuan sebagai antibakteri dan diduga mekanisme kerjanya dengan cara mengganggu komponen penyusun peptidoglikan pada sel bakteri, sehingga lapisan dinding sel tidak terbentuk secara utuh dan menyebabkan kematian sel tersebut (Robinson 1991).
Alkaloid merupakan
metabolit sekunder yang paling banyak diproduksi tanaman. Alkaloid adalah bahan organik yang mengandung nitrogen sebagai bagian dari sistim heterosiklik. Sampai saat ini semakin banyak alkaloid yang ditemukan dan diisolasi untuk obat modern. Alkaloid bersifat basa, di alam berada sebagai garam dengan asam-asam organik. Adanya sifat basa ini mempermudah memisahkan ekstrak total alkaloid dari komponen lainnya (Harborne 1987). Alkaloid di dalam sirih merah berfungsi sebagai antikanker, antiinflamasi dan antimikroba.
Alkaloid memiliki
kemampuan sebagai antibakteri dan diduga dengan cara mengganggu komponen penyusun peptidoglikan pada sel bakteri, sehingga lapisan dinding sel tidak terbentuk secara utuh dan menyebabkan kematian sel tersebut. Tanin, salah satu fitokimia yang terdapat dalam sirih merah (Piper crocatum), merupakan astringen, polifenol dalam tumbuhan yang mengikat dan menciutkan protein (McGee 2004). Tanin merupakan senyawa fenol dan terdapat luas dalam tumbuhan berpembuluh (angiospermae) dan terdapat khusus dalam jaringan kayu. Tanin dapat juga ditemukan dalam jaringan daun, tunas, biji, akar, dan batang (Hemingway dan Karchesy 1989). Tanin dapat digunakan dalam bidang medis sebagai obat yang berfungsi sebagai penyembuh sakit perut khususnya antidiare, hemostatik, antihemoroid dan juga dapat digunakan sebagai obat antiseptik pada luka.
Di samping itu, tanin memiliki efek moluskisida,
antiviral, antiinflamasi dan mempercepat penyembuhan luka. Tanin juga dapat menyebabkan regresi tumor yang sudah terdapat di jaringan (Bajaj 1999). Menurut batasannya, tannin dapat bereaksi dengan protein membentuk kapolismer kuat yang tidak larut dalam air. Tanin memiliki aktivitas antibakteri, secara garis besar mekanisme yang diperkirakan menurut Akiyama et al. (2001) adalah sebagai berikut : toksisitas tanin dapat merusak membran sel bakteri, senyawa astringen tanin dapat menginduksi pembentukan kompleks senyawa ikatan terhadap enzim atau substrat mikroba dan pembentukan suatu kompleks ikatan tanin terhadap ion logam yang
30
dapat menambah daya toksisitas tanin itu sendiri. Menurut Ajizah (2004) tanin diduga dapat mengkerutkan dinding sel atau membran sel sehingga mengganggu permeabilitas sel itu sendiri. Akibat terganggunya permeabilitas sel, maka sel tersebut tidak dapat melakukan aktivitas hidup dan pertumbuhannya terhambat atau bahkan mati. Masduki (1996) menyatakan bahwa tanin juga mempunyai daya antibakteri dengan cara mempresipitasi protein, karena diduga tanin mempunyai efek yang sama dengan senyawa fenolik.
Efek antibakteri tanin
antara lain melalui : reaksi dengan membran sel, inaktivasi enzim, dan destruksi atau inaktivasi fungsi materi genetik. Saponin, yang merupakan glikosida yang membentuk basa dalam air. Apabila dihidrolisis dengan asam akan menghasilkan gula dan spogenin yang sesuai, saponin merupakan senyawa kimia aktif permukaan yang dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk busa dan menghemolisis sel darah (Harborne 1987). Berdasarkan Sholikhah (2006), saponin dapat dipakai sebagai antimikroba. Zat lainnya yang terkandung pada tanaman sirih merah yakni minyak atsiri pada sirih merah ini berfungsi sebagai antiradang dan antiseptik. Menurut Fitriani (1999), sejak dahulu orang mengetahui bahwa bunga, daun dan akar dari berbagai tumbuhan mengandung bahan yang mudah menguap dan berbau wangi yang disebut minyak atsiri. Minyak atsiri berperan sebagai antibakteri dengan cara mengganggu proses terbentuknya membran atau dinding sel sehingga tidak terbentuk atau terbentuk tidak sempurna (Ajizah 2004). Minyak atsiri yang aktif sebagai antibakteri pada umumnya mengandung gugus fungsi hidroksil (-OH) dan karbonil. Turunan fenol berinteraksi dengan sel bakteri melalui proses adsorpsi yang melibatkan ikatan hidrogen. Pada kadar rendah terbentuk kompleks protein fenol dengan ikatan yang lemah dan segera mengalami penguraian, diikuti penetrasi fenol ke dalam sel dan menyebabkan presipitasi serta denaturasi protein. Pada kadar tinggi fenol menyebabkan koagulasi protein dan sel membran mengalami lisis (Parwata dan Dewi 2008). Tanaman sirih merah (Piper crocatum) juga memproduksi berbagai macam bahan kimia lainnya untuk tujuan tertentu, yang disebut dengan metabolit sekunder. Metabolit sekunder tanaman tersebut merupakan bahan yang tidak
31
esensial untuk kepentingan hidup tanaman tersebut, tetapi mempunyai fungsi untuk berkompetisi dengan makhluk hidup lainnya. Metabolit sekunder yang diproduksi tanaman bermacam-macam seperti alkaloid, terpenoid, isoprenoid, flavonoid, cyanogenik, glukosida, glukosinolat, dan protein non asam amino. Menurut Hariana Arief (2008) kandungan kimia lain yang juga terdapat pada daun sirih merah (Piper crocatum), seperti : hidroksikavicol, kavikol, kavibetol, allylprokatekol, karvakrol, eugenol, p-cymene, cineole, caryofelen, kadimen estragol, ter-penena, dan fenil propada. Karena banyaknya kandungan zat atau senyawa kimia bermanfaat inilah, daun sirih merah memiliki manfaat yang sangat luas sebagai bahan obat. Karvakol bersifat desinfektan, anti jamur, sehingga bisa digunakan untuk obat antiseptik pada bau mulut dan keputihan. Eugenol dapat digunakan untuk mengurangi rasa sakit atau nyeri (analgesik).
32
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan dari bulan Juli hingga Agustus 2008 yang terdiri atas pemeliharaan dan perlakuan dengan pemberian ekstrak tanaman terhadap ayam broiler yang bertempat di kandang hewan laboratorium. Di Laboratorium berfasilitas Biosafety Level Three (BSL-3) PT. Vaksindo Satwa NusantaraCicadas, ayam broiler tersebut kemudian ditantang dengan virus Avian Influenza (AI) untuk dilihat efektifitas dari tanaman obat terhadap infeksi virus tersebut. Pengamatan histopatologi paru-paru ayam dilakukan di laboratorium histopatologi bagian Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Alat dan Bahan Penelitian Alat Penelitian Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain syringe 1 ml untuk masing-masing jenis ekstrak, tempat makan dan minum, kandang hewan coba yang terbuat dari papan kayu, lampu, sekam kering, botol ekstrak, skalpel, pinset anatomis, dan gunting.
Adapun peralatan yang digunakan untuk
pembuatan dan pengamatan sediaan histopatologi terdiri atas tissue casset, automatic tissue processor, mikrotom, alat embedding, pencetak parafin, peralatan pewarnaan HE, mikroskop cahaya, dan alat mikrofotografi.
Bahan Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain 14 ekor ayam broiler, pakan konsentrat, air dan ekstrak tanaman obat sirih merah (Piper crocatum) 10%. Adapun bahan yang digunakan untuk pewarnaan histopatologis yaitu : larutan Mayer’s hematoksilin dan eosin, alkohol dengan konsentrasi bertingkat, xilol, eter, buffered neutral formalin (BNF) 10% dan parafin cair.
33
Prosedur Penelitian Persiapan Ekstrak Tanaman Obat Sirih Merah (Piper crocatum) Penyiapan bahan baku dimulai dari panen bahan baku sampai proses pasca panen dan pembuatan ekstraksi tanaman obat yang dilakukan dan disiapkan oleh Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (BALITRO). Adapun prosedur pembuatan sediaan berupa : simplisia, penggilingan, ekstraksi dan pengujian komponen fitokimia. Pembuatan ekstrak dilakukan oleh BALITTRO dengan bentuk sediaan berupa larutan dalam botol dan diberi nama masing–masing tanaman obat. Ekstrak tanaman obat per botol memiliki volume sebanyak 100 ml untuk diberikan sebanyak 0,5 ml satu kali sehari pada masing-masing ayam yang tersedia di kandang. Ekstrak tanaman obat yang digunakan pada penelitian ini adalah sirih merah (Piper crocatum) 10%. Penyiapan Ekstrak Tanaman Terstandar Budidaya Penyiapan bahan baku (kecuali adas bintang) dimulai dari panen bahan baku sampai proses pasca panen. Bahan baku tanaman dipanen dari koleksi plasma nutfah tanaman obat di kebun lingkup Balai Penelitian Tanaman obat dan Aromatik. Tempat dan waktu Temu ireng dipanen dari kebun koleksi plasma nutfah di KP. Cimanggu, pada ketinggian 240 m diatas permukaan laut (dpl). Sambiloto dan sirih merah dari KP. Cicurug, pada ketinggian 550 m dpl dari kebun Percobaan Manoko, Lembang, pada ketinggian 1200 m dpl. Penanaman telah dilakukan pada bulan Desember 2007 dan pemeliharaan tanaman mengikuti SOP budidaya tanaman untuk menghasilkan potensi genetik yang optimal.
Adas bintang belum
dibudidayakan di Indonesia, sehingga bahan baku dibeli dari suplier dari Medan Sumatara Utara.
Rancangan lingkungan Pemeliharaan dilakukan agar tanaman dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik meliputi (1) penyiangan tanaman dilakukan sampai tanaman berumur
34
6-7 bulan, (2) pembumbunan mulai dilakukan pada saat terbentuk rumpun dengan 4-5 anakan agar rimpang selalu tertutup tanah, (3) pengendalian organisme pengganggu tanaman dilakukan sesuai dengan keperluan. Rancangan Perlakuan Perlakuan budidaya diarahkan pada umur panen dari bagian tanaman yang akan digunakan sebagai bahan baku. Untuk temu ireng, panen dilakukan pada umur 6 dan 7 BST. Cara panen dilakukan disesuaikan dengan tanaman. Temu ireng dipanen dengan cara membongkar seluruh rimpangnya menggunakan garpu, cangkul, kemudian tanah yang menempel dibersihkan. Pada sirih dengan cara memetik daun, sedangkan sambiloto memanen terna bagian atas. Pengamatan Parameter yang diamati adalah mutu (proksimat) dari tiap bagian tanaman yang dipanen, berdasarkan Materia Medika Indonesia (MMI) yang meliputi kadar air, kadar abu, kadar abu tak larut asam, kadar sari larut air dan kadar sari larut etanol. Selanjutnya akan dilakukan analisis kimia. Pasca panen Kegiatan pasca panen akan dilakukan di laboratorium Fisiologi Hasil Balittro mulai bulan Juni tahun 2008. Bahan yang digunakan untuk ekstrasi adalah etanol 95 %. Alat yang digunakan adalah timbangan, autoklaf, sentrifuge, inkubator, vorteks, water bath, erlenmeyer, blender, kapas, tissue, gelas ukur, tabung steril, gelas ukur, tabung steril, corong pisah, tabung kromatografi, pipa kapiler, kandang ayam, lampu listrik, tabu destruksi, labu penyuling, labu penyering, alat penyering, sochlet, alat peniup (compresor), alat pengering, pendingin tegak, eksikator. Pembuatan sediaan Prosedur pembuatan sediaan berupa simplisia dan ekstrak adalah sebagai berikut : (1). Sortasi Sebelum dicuci masing-masing bahan disortir dengan tujuan untuk memisahkan bagian tanaman yang rusak dan yang baik. (2). Pencucian
35
Masing-masing bahan dicuci dengan air mengalir sampai bersih, setelah dicuci ditiriskan dan diiris tipis-tipis. (3). Pengeringan Bahan dijemur di bawah sinar matahari dengan ditutup kain hitam dilanjutkan dengan oven pada 40º C sampai kadar air sesuai standar. (4). Penggilingan Masing-masing bahan digiling dengan menggunakan alat penggiling. Ekstraksi Bahan yang digunakan adalah sambiloto, temu ireng, sirih merah dan adas bintang. Bahan dikeringkan pada suhu tidak lebih dari 45C, sampai kadar air 10 %, kemudian digiling dengan ukuran 60 mesh. Bahan yang sudah halus masing-masing direndam dalam alkohol 95% dengan perbandingan 1 : 5. Diaduk dengan pengaduk listrik selama 4 jam, kemudian didiamkan 1 malam. Selanjutnya disaring menggunakan kertas saring. Diambil bagian cairannya, diuapkan dengan alat rotary evaporator sampai alkoholnya habis. Ekstrak pekat yang dihasilkan kemudian dimurnikan dengan etil asetat. Diperoleh ekstrak pekat murni. Formulasi Dari masing-masing ekstrak murni dibuat formula dengan melarutkan ekstrak tersebut dalam air dan ditambahkan gom Arabic sebagai pengemulsi.
Hewan Coba Hewan yang digunakan adalah ayam broiler komersial strain Cobb berumur 1 hari (Day Old Chick, DOC) dan ayam specific pathogen free (SPF) berumur 4 minggu yang diperoleh dari PT. Vaksindo Satwa Nusantara, Cicadas, Bogor.
Kandang Kandang bertempat di kandang hewan laboratorium dan dibagi menjadi 10 kelompok yang selanjutnya diberi nama masing–masing sesuai pemberian ekstrak tanaman obat. Penginfeksian ayam dengan virus AI dilakukan di PT. Vaksindo Satwa Nusantara, Cicadas, Gunung Putri, Bogor.
36
Pemeliharaan, Pemberian Ekstrak Tanaman, dan Diuji Tantang Virus Pemeliharaan ayam dilakukan selama 4 minggu di dalam kandang kayu yang diberi alas berupa sekam dengan bagian atas kandang terbuka untuk sirkulasi udara. Kandang dibersihkan setiap hari dan sekam ditambah seperlunya untuk menjaga kebersihan maupun kesehatan ayam. Pemberian pakan dan air minum dilakukan setiap hari secara ad libitum. Ayam yang digunakan berjumlah 14 ekor broiler strain Cobbs yang dibagi menjadi 4 kelompok perlakuan, yaitu kelompok kontrol negatif (KN) yang tidak diberi ekstrak sirih merah dan tidak ditantang virus AI, kelompok kontrol positif (KP) yang tidak diberi ekstrak sirih merah namun ditantang virus AI, kelompok perlakuan negatif (PN) yang diberi ekstrak tanaman sirih merah namun tidak ditantang virus AI, dan kelompok perlakuan positif (PP) yang diberi ekstrak tanaman sirih merah maupun ditantang virus AI (Tabel 2).
Tabel 2 Pengelompokan Ayam Berdasarkan Perlakuan Kelompok Ayam
Keterangan
Kontrol Negatif (KN)
Tidak diberi tanaman obat, tidak ditantang virus
Kontrol Positif (KP)
Tidak diberi tanaman obat, ditantang virus
Perlakuan Negatif (PN)
Diberi tanaman obat, tidak ditantang virus
Perlakuan Positif (PP)
Diberi tanaman obat, ditantang virus
Ayam yang digunakan pada penelitian sebelumnya diadaptasikan dahulu selama 7 hari. Setiap hari ayam broiler DOC yang telah berumur 7 hari tersebut dicekok ekstrak tanaman sirih merah 10% dengan dosis 1 ml per-ekor mulai dari umur 7 hari hingga 28 hari. Setelah berumur 28 hari, ayam siap dilakukan uji tantang dengan virus AI, namun sebelum di infeksi, 2 ekor ayam disisihkan untuk mendapatkan gambaran organ yang diberi perlakuan ekstrak tanaman sirih merah namun tidak diinfeksi AI (PN). Penginfeksian ayam dengan virus AI dilakukan selama 7 hari. Ayam SPF yang tidak diberi ekstrak tanaman obat namun ditantang virus (KP), pada umur yang sama diinfeksi virus AI H5N1 secara intra-nasal dengan dosis 104.0 EID50/0,1 ml per-ekor.
Ayam kelompok kontrol negatif (KN),
merupakan ayam yang dipelihara seperti biasa selama 28 hari dan tidak diberi
37
ekstrak tanaman sirih merah (Piper crocatum) 10% maupun diinfeksi virus Avian Influenza (AI). Ayam yang masih hidup pada minggu ke-5 dari setiap kelompok kemudian dimatikan dan dinekropsi untuk melihat gambaran kerusakan organ. Penelitian ini dilakukan pengamatan gambaran histopatologi terhadap saluran respirasi yang difokuskan pada organ paru-paru. Adapun rute pemeliharaan dan perlakuan terhadap ayam tampak pada Gambar 8.
Gambar 8 Pemeliharaan dan Perlakuan Ayam (dokumentasi pribadi, 2008)
Pembuatan Preparat Histopatologi Paru–Paru Pembuatan preparat histopatologi paru-paru yang dilakukan dan disiapkan oleh tim laboratorium histopatologi bagian patologi departemen KRP FKH IPB. Adapun prosedur pembuatan sediaan yakni organ paru-paru yang telah difiksasi dalam larutan buffer formalin 10% dipotong dengan ketebalan ±3 mm. Potongan organ tersebut dimasukkan ke dalam tissue casset, selanjutnya dilakukan dehidrasi, clearing, dan infiltrasi dengan merendam sediaan di dalam tissue casset secara berturut-turut ke dalam alkohol bertingkat 70%, 80%, 90%, alkohol absolut I, alkohol absolut II, xilol I, xilol II, parafin I, dan parafin II. Masing-masing proses perendaman pada setiap bahan dilakukan selama dua jam dan berjalan secara otomatis dalam alat automatic tissue processor.
38
Tahap selanjutnya, potongan organ paru-paru dimasukkan ke dalam alat pencetak (embedding) yang berisi parafin cair. Letak potongan organ diatur agar tetap berada di tengah blok parafin.
Setelah mulai membeku, parafin
ditambahkan kembali sampai alat pencetak penuh dan dibiarkan agar parafin mengeras. Setelah itu jaringan dipotong dengan ketebalan 5 μm menggunakan mikrotom. Hasil pemotongan yang berbentuk pita (ribbon), diletakkan di atas permukaan air hangat (45 °C) dengan tujuan untuk menghilangkan lipatan akibat pemotongan. Sediaan diangkat dari permukaan air dengan gelas objek yang telah diulasi larutan albumin yang berfungsi sebagai perekat.
Kemudian sediaan
dikeringkan di dalam inkubator dengan suhu 60 °C selama satu malam. Sediaan dimasukkan ke dalam xilol untuk dideparafinisasi sebanyak dua kali, masing-masing selama dua menit.
Selanjutnya sediaan melalui proses
rehidrasi. Proses rehidrasi dimulai dari alkohol absolut sampai ke alkohol 80%, masing-masing selama dua menit. Setelah itu, sediaan dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan. Sediaan yang telah kering diwarnai dengan pewarnaan Mayer’s Hematoksilin selama 8 menit, dibilas dengan air mengalir, dicuci dengan lithium karbonat selama 15-30 detik, dibilas dengan air, dan diwarnai dengan pewarna Eosin selama dua menit. Selanjutnya, sediaan dicuci dengan air mengalir untuk menghilangkan warna Eosin yang berlebih sebelum akhirnya dikeringkan. Setelah kering, sediaan dicelupkan ke dalam alkohol 90% sebanyak 10 kali celupan, alkohol absolut I sebanyak 10 kali celupan, alkohol absolut II selama 2 menit, xilol I selama satu menit dan xilol II selama dua menit. Sediaan ditetesi perekat permount, kemudian ditutup dengan gelas penutup, dan dibiarkan kering. Setelah perekat kering sediaan siap diamati menggunakan mikroskop cahaya.
Pengamatan Histopatologi Paru-paru Pengamatan histopatologi dilakukan secara deskriptif (kualitatif) dan skoring (kuantitatif) menggunakan mikroskop cahaya dengan perbesaran 100 kali (10x objektif dan 10x okuler) dan 400kali (40x objektif dan 10x okuler) masingmasing pada 10 lapang pandang. Organ yang diamati adalah paru–paru ayam dari semua kelompok perlakuan.
Pengamatan dilakukan untuk melihat perubahan
yang terjadi pada organ setelah diberi ekstrak tanaman sirih merah (Piper
39
crocatum) dan ditantang dengan virus AI, kemudian dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Tabel 3 Kriteria skoring organ paru–paru Skor
Keterangan
0
Normal
1
Kongesti, Edema dan Hiperemi
2
Infiltrasi sel–sel radang, hemoragi.
3
Nekrosa
Data yang digunakan adalah data kualitatif diperoleh dalam bentuk foto histopatologi organ dan data kuantitatif diperoleh dalam bentuk skoring lesio yang terjadi pada organ paru–paru. Adapun kriteria skoring yang digunakan dituliskan pada Tabel 3.
Analisis Data Pada penelitian ini akan diperoleh data dalam bentuk foto. Nilai hasil skoring (kualitatif) perubahan histopatologi dari organ paru–paru, kemudian diolah dengan analisa statistika non parametik, menggunakan uji Kruskal-Wallis dan jika hasil uji menunjukkan perbedaan nyata antar perlakuan, maka akan dilanjutkan dengan uji Dunn.
40
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil evaluasi histopatologi dari organ paru–paru ayam, tampak adanya perubahan patologi yang terjadi pada seluruh kelompok, baik kelompok kontrol (KP dan KN) maupun kelompok perlakuan (PP dan PN). Pemberian ekstrak sirih merah (Piper crocatum) 10% dan diuji tantang virus Avian Influenza (AI) dapat memberikan pengaruh pada organ paru-paru ayam, dan hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Hasil rataan skoring lesio histopatologi paru-paru pada setiap perlakuan Kelompok
Keterangan
Rataan Skoring
PN
Diberi tanaman obat, tidak ditantang virus
0.95a
KN
Tidak diberi tanaman obat, tidak ditantang virus
1.45a
PP
Diberi tanaman obat, ditantang virus
2.25b
KP
Tidak diberi tanaman obat, ditantang virus
2.65c
Keterangan
: huruf yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (p>0.05) pada kolom yang sama. Rataan skoring : 0 = x ≤ 0.5; 1 = 0.55 ≤ x ≤ 1.5; 2 = 1.55 ≤ x ≤ 2.5; 3 = 2.55 ≤ x ≤ 3.5
Berdasarkan hasil analisis statistik non parametrik dengan uji KruskalWallis, menunjukkan bahwa hasil skoring histopatologi paru-paru kelompok ayam yang tidak diberi ekstrak tanaman sirih merah (Piper crocatum) serta tidak diuji tantang dengan virus Avian Influenza (KN) tidak berbeda nyata dengan kelompok ayam yang diberi ekstrak tanaman sirih merah (Piper crocatum) namun tidak diuji tantang dengan virus Avian Influenza (PN). Histopatologi paru-paru ayam kelompok KN secara umum memperlihatkan kondisi sel yang normal, namun pada beberapa lapang pandang yang diamati menunjukkan gambaran adanya kerusakan jaringan berupa sedikit kongesti dan edema.
Hal tersebut
kemungkinan disebabkan oleh infeksi lingkungan. Gambaran histopatologi paruparu ayam kelompok KN dapat dilihat pada Gambar 9a. Berbeda dengan kelompok
KN,
gambaran
histopatologi
paru-paru
ayam
kelompok
PN,
menunjukkan adanya lesio yang terjadi pada paru-paru ayam berupa sedikit kongesti dan infiltrasi sel radang. Hal tersebut menunjukkan bahwa pemberian
41
ekstrak tanaman sirih merah secara tunggal dengan terus menerus, memberikan sedikit pengaruh terhadap kondisi sel paru-paru ayam. Khasiat tanaman sirih merah (Piper crocatum) yang bersifat imunomodulator menyebabkan munculnya infiltrasi sel radang pada sel alveoli dan hal tersebut normal terjadi (Duryatmo 2006).
Gambaran histopatologi paru-paru ayam kelompok PN tampak pada
Gambar 9b.
ed ko
(a) Gambar 9
ko
(b)
Gambaran Histopatologi Paru-Paru Ayam (a) kelompok Kontrol (KN) Pewarnaan : HE, Perbesaran 100x (b) kelompok Perlakuan (PN) Pewarnaan : HE, Perbesaran 400x Keterangan : ed = edema, ko = kongesti, in = infiltrasi sel radang
Kelompok KP juga menunjukkan adanya kerusakan jaringan yang lebih parah jika dibandingkan dengan kelompok KN maupun kelompok PN. Adapun lesio akibat infeksi virus AI pada kelompok KP umumnya berupa edema, kongesti hingga hemoragi, seperti yang terlihat pada Gambar 10a. Kerusakan yang paling menyolok pada beberapa lapang pandang dari gambaran histopatologi paru-paru ayam kelompok KP ini adalah adanya infiltrasi sel radang, bahkan ada yang membentuk fokus radang, hingga nekrosa pada beberapa sel, seperti yang terlihat pada Gambar 10b. Terjadinya perubahan patologis yang sangat menyolok pada gambaran histopatologi ayam kelompok KP tersebut dikarenakan paru-paru memang
42
merupakan salah satu organ target replikasi virus AI H5N1, sehingga banyak ditemukan fokus peradangan dan infiltrasi sel radang (Easterday dan Tumova 1987). Virus AI H5N1 bereplikasi pada saluran pernapasan, sehingga secara tidak langsung akan mengganggu suplai oksigen, yang akan menyebabkan gangguan sirkulasi pada organ paru-paru. Hal ini sesuai dengan pendapat Winekler et al. (1971) bahwa oksigen sangat penting bagi reaksi seluler sehingga terganggunya suplai oksigen berakibat reaksi seluler tidak berjalan dengan semestinya. Selain itu gangguan suplai oksigen dapat disebabkan oleh terganggunya sirkulasi darah, misalnya pada keadaan kongesti.
in
he ed
in ed ko
(a) Gambar 10
ne
(b)
Gambaran Histopatologi Paru-Paru Ayam kelompok KP (a) Perbesaran 100x (b) Perbesaran 400x Keterangan : ed = edema, ko = kongesti, in = infiltrasi sel radang he = hemoragi, ne = nekrosa
Easterday dan Hinshaw (1997), menyatakan bahwa infeksi virus H5N1 pada ayam akan menyebabkan terbentuknya fokus radang dan infiltrasi sel radang pada organ paru-paru, miokardium, otak, mata, dan otot lurik. Adanya infiltrasi sel radang menunjukkan adanya respon sistem pertahanan tubuh terhadap agen yang masuk. Sel radang merupakan respon protektif setempat yang ditimbulkan oleh cedera atau kerusakan pada jaringan yang berfungsi untuk menghancurkan, mengurangi atau mengurung agen pencedera ataupun jaringan yang cedera
43
tersebut (Dorlan 2002). Hal tersebut sesuai dengan pendapat Pricen dan Wilson (1995) yang menyatakan bahwa tanda–tanda pokok peradangan akut mencakup pembengkakan atau edema, kemerahan, panas dan gangguan fungsi. Menurut Szomolanyi-Tsuda et al. (2002), kekebalan tubuh inang akibat infeksi virus dimulai dengan peningkatan jumlah sel darah putih. Menurut Kwon et al. (2005) dalam kajian histopatologi unggas yang terkena HPAI ditemukan beberapa fokus nekrosis dengan sel inflamatoris pada multi-organ seperti paru-paru, jantung, otak, pankreas dan hati. Namun menurut Setiyono et al. (2008), dalam penelitian yang menggunakan tanaman obat dan ditantang virus AI belum dapat diterangkan sejauh mana infeksi telah terjadi dan seberapa jauh agen patogen berhasil masuk ke dalam jaringan atau organ ayam yang diinfeksi virus AI.
ko
ed ed ko ko
Gambar 11
Gambaran Histopatologi Paru-Paru Ayam kelompok PP Keterangan : ed = edema, ko = kongesti Pewarnaan HE perbesaran 10x obj (100x)
Histopatologi paru-paru kelompok ayam yang diberi ekstrak tanaman sirih merah dan diuji tantang dengan virus Avian Influenza (AI) atau disebut kelompok PP (terlihat pada Gambar 11), menunjukkan gambaran kerusakan jaringan yang umum berupa edema dan kongesti.
Skoring histopatologi paru-paru ayam
kelompok PP berbeda nyata dengan kelompok PN. Hal ini menunjukkan bahwa kerusakan yang diakibatkan oleh virus AI setelah diberi ekstrak tanaman sirih
44
merah (Piper crocatum) 10% memberikan dampak yang baik dalam mengurangi lesio yang timbul akibat infeksi virus AI H5N1. Berbeda dengan efek yang diberikan oleh sirih merah (Piper crocatum) 10% pada kelompok PN yang menunjukan bahwa sirih merah mampu meningkatkan sistem pertahanan tubuh terhadap infeksi yang menyerang.
Hal tersebut dibuktikan dengan adanya
infiltrasi sel radang berupa limfosit dan heterofil dalam kondisi normal. Namun, jika gambaran histopatologi paru-paru ayam kelompok PP dibandingkan dengan kelompok KN tampak berbeda nyata. Hal ini menunjukan bahwa sirih merah hanya mampu mengurangi lesio akibat infeksi virus AI H5N1, namun tidak mampu mempertahankan gambaran kondisi sel normal paru-paru. Gambaran histopatologi paru-paru ayam kelompok kontrol positif (KP) terdapat perbedaan nyata jika dibandingkan dengan kelompok PP. Kelompok PP mempunyai gambaran histopatologi yang lebih baik dan memiliki lesio yang lebih sedikit dibandingkan dengan kelompok Kp, namun kondisi kelompok PP tidak mampu menyamai kelompok kontrol negatif (KN) yang pada penelitian ini dijadikan patokan sebagai gambaran normal. Hal ini menunjukkan bahwa potensi ekstrak sirih merah (Piper crocatum) pada penelitian ini mempunyai efektifitas dalam menekan kerusakan sel akibat infeksi virus AI. Pernyataan tersebut juga didukung dengan data persentase mortalitas yang terjadi pada ayam kelompok PP yang dibandingkan dengan kelompok KP. Berdasarkan gambaran histopatologi paru-paru ayam secara keseluruhan, maka tampak bahwa pemberian ekstrak tanaman sirih merah (Piper crocatum) maupun diinfeksi virus Avian Influenza (AI) dapat memberikan perubahan yang cukup signifikan terhadap gambaran histopatologi paru-paru. Tingkat kerusakan jaringan atau organ juga tergantung terhadap kemampuan immunitas ayam serta virulensi dari agen itu sendiri dan disebabkan oleh reseptor yang dimiliki ayam terhadap virus AI, yakni gugus α-2,3 sialic acid dan α-2,6 sialic acid yang terdapat pada paru-paru maupun sel kolon (Kim et al. 2005), sehingga ayam mudah terinfeksi virus ini.
Kuchipudi et al. (2009) juga menyatakan bahwa
saluran pernafasan (trakhea dan paru-paru) ayam mempunyai reseptor α-2,3 sialic acid yang banyak, sehingga virus dapat masuk dan bereplikasi. Kuchipudi et al. (2009) menemukan rasio reseptor α-2,3 sialic acid galactose yang dibandingkan
45
dengan α-2,6 sialic acid galactose pada epitel saluran respirasi ayam, berdasarkan perhitungan fluoroscent energy values adalah 10:1. Berdasarkan perbandingan tersebut berarti bahwa paru-paru ayam mempunyai kemampuan lebih besar sebagai tempat masuk dan bereplikasi virus AI karena memiliki reseptor α-2,3 sialic acid yang lebih banyak. Yao (2008) mengatakan bahwa virus AI berikatan pada reseptor α-2,3 sialic acid, sedangkan virus influenza pada manusia mempunyai reseptor α-2,6 sialic acid galactose.
Menurut Kurniawan (1973) paru-paru merupakan alat
tubuh yang paling sering mengalami kelainan patologi. Selain kelainan primer mengenai paru-paru, kelainan sistemik atau alat tubuh yang lain dapat pula menimbulkan perubahan pada paru-paru. Hasil dari penelitian ini tampak bahwa adanya perbedaan nyata antara kelompok KP dengan KN. Hal ini disebabkan karena virus yang digunakan merupakan virus AI H5N1 yang berikatan dengan reseptor α-2,3 sialic acid, dan reseptor AI yang mendominasi di daerah paru-paru adalah α-2,3 sialic acid, seperti yang telah dijelaskan oleh Kuchipudi et al. (2009). Gambaran histopatologi paru-paru ayam pada semua kelompok, baik kelompok kontrol maupun perlakuan, menunjukkan adanya kongesti. Kongesti yang terjadi juga dimungkinkan terjadi karena adanya gangguan sirkulasi dan metabolisme, baik pada organ paru-paru sendiri maupun organ lain. Kongesti adalah akumulasi pasif darah dalam pembuluh darah paru-paru terjadi pada peradangan dan akibat gagal jantung, secara mikroskopik kongesti tampak sebagai dilatasi (pelebaran) kapiler pada septum alveolus. Kongesti juga merupakan suatu keadaan yang disertai dengan kondisi meningkatnya volume darah dalam pembuluh darah yang melebar pada suatu alat atau bagian tubuh (Sutrisna 2007). Kongesti dapat terjadi melalui dua mekanisme yaitu (1) kenaikan jumlah darah yang mengalir ke daerah atau (2) penurunan jumlah darah yang mengalir dari daerah. Jika aliran darah ke dalam daerah bertambah dan menimbulkan kongesti, maka disebut kongesti aktif.
Sementara kongesti pasif tidak menyangkut
kenaikan jumlah darah yang mengalir ke suatu daerah, tetapi lebih merupakan gangguan aliran dari daerah itu. Apapun yang dapat menekan venula-venula dan
46
vena-vena yang mengalirkan darah dari jaringan dapat menimbulkan kongesti pasif (Price dan Lorraine 2006). Dalam Gu et al. (2007), kongesti adalah pembendungan darah, sehingga terjadi akumulasi eritrosit dalam darah yang diakibatkan adanya gangguan sirkulasi pada pembuluh darah. Saat kondisi vena yang terbendung (kongesti), maka terjadi peningkatan tekanan hidrostatik intravaskular yang menimbulkan perembesan cairan plasma ke dalam ruang interstitium. Cairan plasma ini akan mengisi pada sela-sela jaringan ikat longgar dan rongga badan, sehingga terjadi edema.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kongesti dapat berlanjut
menjadi edema. Edema adalah akumulasi cairan (plasma) dalam alveoli (Atmore dan Carlyle 1961). Kongesti yang parah dapat menimbulkan perdarahan sehingga cairan edema bercampur sel darah merah. Kongesti parah ini tampak juga pada gambaran histopatologi paru-paru ayam kelompok KP. Perdarahan tersebut dapat menimbulkan reaksi makrofag, sehingga tampak banyak makrofag berisi pigmen hemosiderin disebut hemosiderofag (Kurniawan 1973). Dalam Spector (1993), edema adalah jumlah abnormal dari cairan kompartemen ekstrasel, hal ini juga merupakan suatu sistem homeostasis dari tubuh akibat suatu gangguan. Gambaran histopatologi paru-paru ayam kelompok PP yang tampak lebih baik daripada gambaran KP, merupakan pengaruh efektifitas dari tanaman ekstrak sirih merah (Piper crocatum) 10% yang diberikan. Zat aktif yang terkandung dalam ekstrak tanaman sirih merah (Piper crocatum) mempunyai bermacam potensi, namun kerjanya dalam menghambat infeksi virus AI masih belum diketahui. Menurut Sudewo (2007) melalui metode kromatografi sirih merah mengandung flavonoid, alkaloid senyawa polifenolat, tanin dan minyak atsiri. Senyawa–senyawa tersebut secara umum diketahui memiliki sifat antibakteri. Dalam Setiyono et al. (2008), hasil analisis kandungan bahan kimia sirih merah (Piper crocatum) berdasarkan metode Gas Kromatografi dan Spektrometri Massa (GC-MS) yang digunakan pada penelitian ini adalah kavikol (0.78%), kavibetol (1.39%) dan 5-amino-1,2,4-triazolo (5.75%) dan menurut Ajizah (2004), minyak atsiri mengandung beragam senyawa kimia seperti karvakol, sineol, metal kavikol, eugenol, kavikol dan kavibetol.
47
Tamiflu® (oseltamivir carboxylate) merupakan obat yang ditetapkan oleh pemerintah dalam mengatasi kasus Avian Influenza (AI).
Tamiflu® bekerja
sebagai inhibitor neuraminidase, bahan bakunya berasal dari kandungan asam sikhimik tanaman adas bintang (Illicium verum). Dalam adas bintang (Illicium verum) juga terdapat kavikol, yang juga merupakan zat aktif yang digunakan dalam menghambat protein virus neuraminidase (N) dan melepas ikatan antara haemaglutinin (H) virus AI dengan komposisi sialic acid dinding sel pada saat virus keluar dari sel inang yang terinfeksi (Mahardika 2008). Namun pada tahun 2006, dilaporkan bahwa 16% dari kasus AI pada manusia mempunyai tipe virus yang resisten terhadap Tamiflu® (Verkerk et al. 2006 dalam Setiyono et al. 2008). Pendapat tersebut sesuai dengan data dari Depkes RI (2010) yakni bahwa virus AI yang ditemukan tahun 2008-2010 secara genetik dan antigenik berbeda dengan virus AI yang ditemukan saat terjadi kasus AI tahun 2003-2007. Perubahan tersebut tidak lepas dari karakter dasar virus AI yang mudah bermutasi. Proses replikasi yang terjadi pada virus Avian Influenza (AI) yang tergolong ke dalam virus influenza tipe A terlihat pada Gambar 12.
Gambar 12 Replikasi virus Avian Influenza (Kiersten 2009)
Menurut Maksum (2006) infeksi AI dapat terjadi secara inhalasi maupun ingesti dan virus AI H5N1 dapat menyebar secara sistemik. Virion masuk ke dalam sub-mukosa melalui kapiler dan melakukan replikasi di dalam endotel,
48
menyebar melalui sistem peredaran darah dan limfe, kemudian menimbulkan kerusakan pada sel-sel organ lain.
Virus AI mempunyai ―senjata‖ untuk
mempertahankan diri di alam dan menjadi karakteristik khusus dari virus AI. Hal tersebut terjadi karena adanya kemampuan untuk bermutasi di dalam genom RNA. Kemampuan bermutasi ini dipengaruhi oleh 2 faktor yaitu faktor internal dan eksternal.
Faktor internal terjadi karena adanya enzim polimerase yang
berperan dalam proses replikasi virus yang tidak dilengkapi dengan sistem proofreading dan menjadi faktor utama yang mendorong virus AI bermutasi. Proofreading merupakan kemampuan polimerase DNA untuk membaca rangkaian DNA dan memperbaiki kesalahan penyusunan bagian dari salinan untaian DNA. Virus AI yang telah terjadi kesalahan dalam pembacaan susunan asam amino pada rantai RNA, dan kesalahan tersebut tidak dapat terdeteksi mengakibatkan munculnya varian baru dari virus AI. Faktor internal lain yang berperan dalam proses mutasi yaitu proses multiplikasi virus AI yang terjadi dalam inti sel. Inti sel cenderung mempunyai luasan yang sempit, sedangkan virus AI mempunyai 8 segmen RNA yang saling lepas satu dengan lainnya.
Kondisi ini dapat memperbesar kemungkinan
kesalahan penyusunan asam amino dalam RNA pada saat proses replikasi. Faktor eksternal yang memicu terjadinya mutasi virus AI terkait dengan program vaksinasi yang kurang tepat, yaitu penggunaan vaksin dengan kandungan yang tidak homolog (berbeda) dengan virus AI lapangan. Penggunaan vaksin ini tidak akan memberikan perlindungan yang sempurna. Proses mutasi AI secara umum dibedakan menjadi dua macam yaitu antigenic drift dan antigenic shift (Maksum 2010). Lingkungan dan cara pemeliharaan juga diduga memberikan pengaruh terhadap ketahanan tubuh ayam terhadap infeksi virus AI yang diberikan, selain dipengaruhi oleh efektifitas ekstrak tanaman sisir merah (Piper crocatum). Gejala yang ditimbulkan akibat infeksi virus AI sangat bervariasi, hal tersebut tergantung pada virus, spesies, umur, intercurrent infeksi, lingkungan, dan status imun inang (Easterday dan Hinshaw 1991). Selain itu ketepatan dosis pemberian ekstrak sirih merah untuk menanggulangi infeksi virus AI juga mempengaruhi kinerja ekstrak tanaman ini. Namun menurut Maksum (2006), aktivitasnya virus mendapatkan
49
perlawanan dari sel pertahanan tubuh, baik yang spesifik maupun non spesifik, maka pengaruh virus dalam tubuh ditentukan oleh kekebalan tubuh inangnya. Wibawan et al. (2009), menyatakan bahwa ayam memiliki sistem pertahanan atau sistem imunitas yang cukup berkembang, sehingga sangat responsif terhadap antigen yang memaparnya. Sementara itu Harada et al. (1999) menjelaskan bahwa zat toksik dapat mengganggu sistem sirkulasi sehingga sel-sel kekurangan oksigen dan zat-zat makanan. Carlander (2002) menyatakan, ayam memiliki sensitifitas tinggi terhadap protein asing, sehingga dengan jumlah sedikit dapat memberikan respon pembentukan antibodi. Setelah virus masuk ke dalam tubuh maka terjadi reaksi homeostasis tubuh untuk mengeluarkan dan memusnahkan benda asing yang masuk.
Pengaruh infeksi virus AI H5N1
terhadap sel paru-paru hingga memicu munculnya sistem pertahanan tubuh terlihat pada Gambar 13.
Gambar 13
Respon Imun Terhadap Infeksi AI H5N1 Sumber : Nature 2007
Budiantono (2003) menyatakan bahwa infeksi HPAI pada saluran pernafasan dapat menyebabkan lesio inflamasi. Inflamasi merupakan salah satu reaksi tubuh terhadap infeksi virus. Respon inflamasi terjadi dalam 3 proses yakni perubahan diameter vaskuler, kenaikan permeabilitas vaskuler dan terbentuknya cairan eksudat, serta pembentukan eksudat seluler berupa emigrasi
50
neutrofil ke dalam rongga ekstra-vaskuler (Underwood 1999).
Menurut
Shackelford dan Elwell (1999) pada inflamasi akut terjadi infiltrasi sel radang berupa leukosit dalam jumlah yang sedikit dan didominasi oleh sel polimorfonuklear (PMN). Dalam Fenner et al. (1987), virus AI berikatan dengan reseptor glikoprotein pada permukaan sel menyebabkan virus dapat bereplikasi. Mekanisme obat anti viral mempunyai kesamaan prinsip dengan proses imunitas tubuh, yakni mengganggu replikasi virus.
Adanya gangguan dalam tahapan
replikasi virus dapat mengganggu terbentuknya virus baru. Target kerja dari senyawa pada obat anti viral adalah protein HA, NA M2, NS1 dan polymerase holo-enzim (Noah 2003). Menurut Setiyono et al. (2008), hasil uji tantang dengan virus flu burung atau Avian Influenza (AI) serotipe H5N1 pada dosis 104.0 EID50/0.1ml per-ekor secara intra-nasal menunjukkan bahwa virus ini menyebabkan kematian (mortalitas) pada ayam broiler strain cobbs yang digunakan sebagai hewan coba. Ekstrak tanaman sirih merah (Piper crocatum) 10% diaplikasikan secara per-oral dengan dosis 0.5ml/ekor selama tiga minggu, sebelum dilakukannya uji tantang virus AI. Hal ini diharapkan agar dapat mengurangi infeksi yang disebabkan oleh virus AI.
Tabel 5 Perbandingan persentase angka kematian antara KP dan PP Kelompok Jumlah
Jumlah ayam mati
%
% Kemampuan daya
ayam
setelah infeksi AI
Mortalitas
hambat mortalitas
KP
8
8
100%
0%
PP
8
3
37,5%
62,5%
Keterangan : KP (tidak diberi ekstrak sirih merah (Piper crocatum) 10% dan diinfeksi AI) PP (diberi ekstrak sirih merah (Piper crocatum) 10% dan diinfeksi AI) Sumber : Setiyono et al. (2008)
Data mortalitas yang terjadi pada ayam dengan perlakuan setelah pemberian ekstrak tanaman sirih merah 10% dan ditantang virus AI H5N1 (PP) maupun ayam yang tidak diberi ekstrak sirih merah (Piper crocatum) 10% namun di uji tantang virus (KP) tampak pada Tabel 5. Ayam kelompok kontrol positif (KP) mengalami mortalitas 100% atau semua ayam mengalami kematian pada hari ke-7 post-infeksi virus AI. Berbeda dengan ayam kelompok (PP) yang hanya
51
terdapat tiga ekor ayam yang mati pada hari ke-7. Hal tersebut berarti bahwa ekstrak sirih merah 10% dalam komposisi tunggal ini mampu menekan angka mortalitas sebesar 62.5% melalui uji tantang virus AI H5N1 jika dibandingkan dari nilai mortalitas pada ayam KP. Menurut Togatorop et al. (1981), mortalitas atau angka kematian yaitu angka yang menunjukkan jumlah ayam yang mati selama pemeliharaan dan juga merupakan faktor penting yang harus diperhatikan selama pemeliharaan. Dalam Santoso et al. (2005), North (1984) menyatakan bahwa tingkat kematian ayam banyak terjadi pada minggu-minggu pertama pemeliharaan dan sangat ditentukan oleh kondisi anak ayam (DOC) pada saat penetasan sampai pemeliharaan ayam. Hal tersebut juga dimungkinkan dengan kemampuan adaptasi yang berbeda pada setiap DOC. Tingkat mortalitas dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya bobot badan, bangsa, tipe ayam, iklim, kebersihan lingkungan, sanitasi peralatan maupun kandang dan penyakit, serta suhu lingkungan (Sugiarti 1981). Bahkan sesuai dengan khasiat zat aktif dari ekstrak sirih merah mempunyai pengaruh dalam menghambat infeksi virus AI. Berdasarkan dari data mortalitas dan gambaran histopatologi pada seluruh kelompok perlakuan, maka dapat diketahui bahwa ekstrak tanaman sirih merah (Piper crocatum) 10% dapat memberikan efektifitas yang baik terhadap kondisi sel secara normal, dan diduga menimbulkan efek imunomodulator.
Hal ini
dibuktikan dengan adanya gambaran infiltrasi sel radang yang teramati pada sel alveol normal. Dilihat dari segi ketahanan terhadap infeksi virus AI, maka bahan aktif dari ekstrak tanaman sirih merah (Piper crocatum) 10% yang digunakan pada penelitian ini mampu menghambat infeksi dari virus AI namun tidak mampu menginaktifkan virus AI. Hal ini dibuktikan oleh Setiyono et al. (2008) dari 8 ekor ayam pada kelompok PP (diberi ekstrak kemudian di infeksi virus) terdapat 5 ekor yang bertahan hidup sampai hari ke-7 post infeksi virus AI. Gambaran histopatologi dan hasil analisis statistik non parametrik dengan uji Kruskal-Wallis juga memberikan hasil bahwa ayam pada kelompok PP lebih baik daripada kelompok KP. Hal tersebut menunjukkan bahwa bahan aktif yang terkandung juga diduga mempunyai efektivitas dalam mengganggu proses replikasi virus, sehingga virus yang telah menginfeksi sel tidak bisa menyebar ke sel yang lain.
52
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa ayam dengan perlakuan pemberian ekstrak sirih merah (Piper crocatum) 10% dan kemudian diinfeksi virus AI H5N1 mempunyai gambaran histopatologi yang lebih baik dibandingkan dengan ayam yang tidak diberi ekstrak sirih merah namun diinfeksi dengan virus AI. Ekstrak sirih merah (Piper crocatum) mampu menekan angka mortalitas dan mengurangi kerusakan jaringan akibat infeksi virus AI H5N1 pada organ paru-paru ayam.
Saran Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan dosis bertingkat pada ekstrak sirih merah. Selain itu, perlu dievaluasi secara histopatologi pada organ lain, seperti : otak, usus, bursa Fabricius, hati, dan ginjal untuk memperkuat informasi mengenai potensi ekstrak sirih merah (Piper crocatum) dalam menanggulangi infeksi virus AI H5N1.
53
DAFTAR PUSTAKA
ACVP.
2004. Avian Influenza Factsheet. [terhubung www.acvp.org/news/factavianflu. [10 Mai 2010].
berkala].
Ajizah, A. 2004. Sensitivitas Salmonella typhimurium Terhadap Ekstrak Daun Psidium Guajava L. Bioscientiae. Vol. 1, No. 1:31-8. Akiyama H, Fuji K, Yamasaki O, Oono T, Iwatsuki T. 2001. Antibacterial Action of Several Tanins Agains Staphylococcus aureus. J. Antimicrobial Chemotherapy. Vol. 48:487-91. Atmore HS and Carlyle TJ. 1961. Veterinary Pathology. Lea and Febiger. Philadelphia. Backer. 1963. Flora of Java. Published under The auspices of the rijksherbarium. Leyden. p.:167. Bajaj. 1999. Senyawa Flavonoida, Fenil Propanoida dan Alkaloida. Dalam Lenny S. 2006. Universitas Sumatera Utara Repository. [terhubung berkala]. http://library.usu.ac.id/download/fmipa/ 06003489.pdf. [20 Mai 2010] Bernhard W, A Gebert, G Vieten, GA Rau1, JM Hohlfeld, AD Postle, and JFreihorst. 2001. Pulmonary surfactant in birds: coping with surface tension in a tubular lung. J. American of Respiratory Cell and Molecular Biology 30: 6-11. Bernhard, W, PL. Haslam, and J. Floros. 2004. From birds to humans: new concepts on airways relative to alveolar surfactant. J. of Experimental Biology 208:849-857. Brown RE, JD. Brain, and N. Wang. 1997. The Avian Respiratory Sistem: A Unique Model for Studies of Respiratory Toxicosis and for Monitoring Air Quality. Environ Health Perspectives 105:188-200. Budiantono. 2003. Kajian Histopatologi kasus Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI) di Bali Tahun 2003. [study retrospektif]. http://bppv – dps.info [23 Juli 2010] Caceci T. 2006. Mesobronchus & Air Passages. [terhubung berkala]. http://education.vetmed.vt.edu/Curriculum/VM8054/Labs/Lab26/EXAMP LES/EXMSBRNC.HTM. [04 agustus 2010] Cahyono B. 1995. Cara Meningkatkan Budidaya Ayam Ras Pedaging (Broiler). Penerbit Pustaka Nusatama. Yogyakarta.
54
Carlander D. 2002. Avian IgY Antibody In Vitro and In Vivo. Comprehensive Summaries of Uppsala Dissertations from Faculty of Medicine 119. ACTA Universitatis Uppsala, Center Texas A & M University Kingsville. Codd JR, DF Boggs, SF Perry, and DR Carrier. 2005. Activity of three muscles associated with the uncinate processes of the giant Canada Goose (Branta canadensis maximus). J. Experimental Biology 208:849-857. Cowan M. 1999. Plant Products as Antimicrobial Agents, Clinical Microbiology Reviews Vol. 12, No. 4:564–82. Cunningham JG. 1994. Textbook of Veterinary Physiology. 2nd edition. W.B. Saunders Co. Philadelphia. London. Toronto. Sydney. Tokyo. Daniels CB, OV Lopatko, and S Orgeig. 1998. Evolution of surface activity related functions of vertebrate pulmonary surfactant. Clin Exp Pharmacol Physiol. 25:716-721. Davidson, Michael W. 1995. The Figure of Influenza (flu) Virus. Molecular Expressions, The Florida State University. National High Magnetic Field Laboratory, 1800 East Paul Dirac Drive, The Florida State University, Tallahassee, Florida 32306 [terhubung berkala]. http://micro.magnet.fsu. edu/cells/viruses/influenzavirus.html [06 mei 2010]. Dellman and Brown. 1998. Buku Teks Histologi Veteriner II Ed. Ke-3. Penerjemah : Hartono R. dan Juwono SS. Universitas Indonesia Press. [Depkes RI] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Flu Burung. [terhubung berkala]. www. ppmplp. Depkes. go. id. [06 mei 2010] Dorland. 2002. Kamus Kedokteran. Jakarta : EGC. Duryatmo S. 2006. Wajah Ganda Sirih Merah. Dalam Majalah Trubus 434; 93. Dwidjoseputro D. 1998. Dasar-dasar Mikrobiologi. Djambatan : Jakarta. Easterday BC, Tumova B. 1987. The influenza viruses and influenza. New york : academic press. Halm. 549-572 Easterday BC and VS Hinshaw. 1991. Avian influenza In: Disease of Poultry 9th ed. B. Calnek, H. Barnes, C. Beard, W. Reid and H. Yoder (Jr) (Eds.). Iowa State University Press, Ames. pp. 532-551. Easterday BC, VS Hinshaw and DA Halvorson. 1997. Influenza: Diseases of Poultry. B.W. Calnek, H.J.Barnes, C.W. Beard, L.R. MCDougald and Y.M. Saif (Ed.). Iowa, USA. pp. 583-595.
55
Fenner FJ, Kay JM, Reid L, dan Jones R. 1993. Virologi Veteriner. Harya Putra, Penerjemah. Semarang : IKIP Semarang Press. Terjemahan dari Veterinary Virology. Frame D. 2000. H7N3 Outbreak Halted by Vaccine in Word l Poultry Special. pp. halm : 20-21 Frandson RD. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Ed. Ke-4. Srigandono B dan K. Praseno. Penerjemah. Jogyakarta : Gajah Mada University Press. Terjemahan dari Anatomy and Physiology of Farm Animals. Fitriani R. 1999. Minyak Atsiri, Pati, Vitamin dan Mineral Rimpang Kencur. Skripsi program sarjana strata 1 Pendidikan Kimia Universitas Lambung Mangkurat. Banjarmasin. Georgina. 2009. Gambar Avian Influenza, Bird Flu Virus H5N, Asian Epidemiology. http://www.level1diet.com/bird-flu-protection.html., dalam Dr . Sampurna Roy MD, Avian Influenza in bird. [terhubung berkala]. histopathology-india.net. [23 Juli 2010] Gongylus. 2009. Piper crocatum. [terhubung berkala]. http://terrarienpflanzenlexikon de/piper-crocatum/ [23 Juli 2010] Gu J, Walkes J, Ci M, Smythe W, and Reardon M. 2007. Educational Site for Pathologist and Other Medical Profesional–Avian bird. [terhubung berkala]. http://www.histopathology-india.net. [07 Juli 2010] Guyton, AC. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta: EGC. Penerjemah Ken Ariata Tengadi. Terjemahan dari Textbook of Medical Physiology Harborne J. 1987. Metode Fitokimia. Bandung : Institut Teknologi Bandung Hariana, A. 2008. Kandungan Kimia Sirih Merah (Piper crocatum). [terhubung berkala]. http://balittro.litbang.deptan.go.id/ind/ [23 Juli 2010] Harada T, Akiko E, Gary AB, Robert M.1999. Liver and Gallbladder. Di dalam : Maronpot RR, editor. Pathology of the Mouse : Reference and Atlas. United States of America: Cache River Press Hasanah M, Mustika I, Sitepu D. 1992. Persyaratan Bahan Tanaman Bermutu Tanaman Obat. Prosiding Forum Komunikasi Ilmiah Hasil Penelitian Plasma Nutfah dan Budidaya Tanaman Obat, Bogor, 2-3 Maret 1992. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, hlm. 69.
56
Hemingway dan Karchesy. 1989. Can other animals than birds be infected with the bird flu. [terhubung berkala]. http://www.nanocid.com/english/news. [10 mai 2010] Hermawan A. 2007. Pengaruh Ekstrak Daun Sirih (Piper betle L.) terhadap Pertumbuhan Staphylococcus aureus dan Escherichia coli dengan Metode Diffusi Disk. Artikel Ilmiah. Fakultas Kedokteran Hewan Unair. [terhubung berkala]. http://www.journal.unair.ac.id [23 Juli 2010] Horimoto T, Kawaoka Y. 2001. Pandemic Threat Posed by Avian Influenza A viruses. Clin Microbiol Rev. 2001. 14(1) : 129-149. Jackie Deems. 2010. A backyard broiler flock. [terhubung berkala]. http://www.feathersite.com/Poultry/CGA/Broil/BRKMeat. [27 Juli 2010] Johannes H, Ratnasari R dan Suryani S. 2006. Cara Penularan, Gejala, dan Perawatan Flu Burung. Jakarta : Majalah Kedokteran Meditek volume 14 no 38 halm : 9-12. Johnson Dr D.R. Avian lungs and respiration: Introductory anatomy, respiratory sistem. [terhubung berkala]. www.people.eku.edu/ritchisong/birdrespiration. [ 27 Juli 2010] Judarwanto W. 2005. Penatalaksanaan Flu Burung Pada Manusia. Jakarta : Dexa Medica J. Kedokteran dan Farmasi no 4 volume 18 halm 171-173. Kamps B. S dan Reyes-Teran. 2006. Influenza Report 2006. Paris, Flying Publisher. pp. 17-38. Kim, Thandler B, Sherman JM dan Boat TF. 2005. Cells in the Respirattory and Interstinal Tract of Chicken Have Different Proportions of Both Human and Avian Influenza Virus Reseptors. J microbio 43(4) : 366-369. Kuchipudi SV, Wysocki CJ, Tyler WS. 2009. Differences in Influenza Viruse Receptors in Chichens and Ducks : Implications for Interspecies Transmission. J Mol Genet Med 3 (1) : 143-151 Kurniawan. 1973. Susunan Pernafasan. Di dalam Sutisna Himawan. 1973. Patologi. Bagian Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta : Universitas Indonesia Press. Pp : 149-180. Kwon, Phallen RF, dan Oldham MJ. 2005. An Animated Reproduction of the Replication Cycle for the Influenza A Virus dalam The Replication Cycle Continued. Di dalam Kiersten F. 2009. [terhubung berkala]. https: //sites. google.com/a/luther.edu/pandemic-viruses/bird-flu/kiersten-fevold. [ 27 Juli 2010]
57
Mahardika IGNK, Subroto dan Mursyito B. 2008. Motif Asam Amino Pembentuk Kantong Pengikat Oseltamivir pada Protein Neuraminidase Virus Avian Influenza (H5N1) asal Manusia dan Hewan di Indonesia. J Veteriner 9 (4) : 204-206 Masduki I. 1996. Efek Antibakteri Ekstrak Biji Pinang (Areca catechu) Terhadap S. aureus dan E. coli. Cermin Dunia Kedokteran 109 : 21-4. Maksum R. 2006. Avian Influenza A (H5N1) : Patogenesis, Pencegahan, dan Penyebaran pada Manusia dalam Majalah Ilmu Kefarmasian, Vol. III, No.2 : 55 – 65. Maksum R. 2010. Imunologi dan Virologi. Ikatan Apoteker Jakarta. PT. ISFI Penerbitan. Jakarta. Manoi
F. 2007. Warta Puslitbangbun. [terhubung http://baliitro.litbang.deptan.go.id. [06 mei 2010]
berkala].
McGee. 2004. Tanaman Obat Indonesia. [terhubung berkala]. http://www.iptek.net.id/ind/pd_tanobat/view.php?id=258 [13 Oktober 2010]. Mountney. 1983. Kiat Mengatasi Permasalahan Praktis Beternak Unggas Bebas Flu Burung. Di dalam Fadilah, R dan Polana, A. 2003. [terhubung berkala]. http://books.google.co.id. [20 Maret 2010] Murphy BR. and RG Webster. 1996. Orthomyxoviruses. In: Fields Virology 3rd ed. B.N. Fields, D.M. Knipe and P.M. Howley (Eds.). LippincottRavenPublisher, Philadelpia. pp. 1397-1445. Nainggolan L. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (Avian Influenza dan SARS). 4th ed. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Nanocid. 2008. Can other animals than birds be infected with the bird flu. [terhubung berkala]. http://www.nanocid.com/english/news9. [20 Mei 2010] Noah JW. 2003. Develop and Validate Several in vivo and in vitro highthroughput Assays for Respiratory Diseases, Including Both Human and Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI) Strains. [terhubung berkala]. http://www.southernresearch.org. [20 Mei 2010] North. 1984. Tingkat Kematian Akibat Flu Burung yang Sangat Tinggi. Di dalam Santoso M, Salim H, Alim H. 2005. Avian Influenza (Flu Burung). Cermin Dunia Kedokteran. No. 148. Halm. 21-24 North MO and DD Bell. 1990. Commercial Chicken Product Manual. 4th Ed. Van Nostrand Reinhold. New York
58
OIE. 2000. Highly Pathogenic Avian influenza. Manual of standard diagnostic tests and vaccine. www.oie.int. pp. 1-16. [10 Mai 2010]. OIE. 2004. Manual of Diagnostic Test and Vaccine for Terrestrial Animals. p 258-269. Parwata I dan Dewi P. 2008. Isolasi Dan Uji Aktivitas Antibakteri Minyak Atsiri Dari Rimpang Lengkuas (Alpinia Galanga L.). J Kimia 2 (2) : 100-4. Pelczar MJ. dan ES. Chan. 1981. Structure of the Hemagglutinin Precursor Cleavage Site, a Determinant of Influenza Pathogenicity and the Origin of the Labile Conformation Cell ; 95: 409-17. [terhubung berkala]. Abstract: http://amedeo.com/lit.php?id=9814710 [Mei 2010] Price dan Lorraine. 2006. Highly pathogenic Avian Influenza (HPAI) virus projects. [terhubung berkala]. Di dalam Tim RCC - ERI. 2008. http://www.rcceri.org/English/virus/page3HPAI. [07 Juli 2010] Pricen S and Wilson L. 1995. Respon Tubuh Terhadap Cedera Peradangan dan Perbaikan. Patofisiologis Konsep Klinis Proses Penyakit. Rahmadi A. Khasiat Sirih Merah Bagi Kesehatan. [terhubung berkala]. http://www.eramuslim.com/konsultasi/sehat/khasiat-sirih-merah.htm. [20 mai 2010] Rasyaf M. Beternak Ayam Pedaging. Penerbit Penebar Swadaya (anggota IKAPI) Jakarta. [terhubung berkala]. http://pratamasandra.wordpress.com/ budidaya-ayam. [10 Mai 2010] Ritchson G. 2009. "BIO 554/754 - Ornithology: Avian respiration". Department of Biological Sciences, Eastern Kentucky University. [terhubung berkala]. http://www.people.eku.edu/ritchisong/birdrespiration.html.Retrieved 00904-23. [06 mei 2010] Robinson T. 1991. Kandungan Organik Tumbuhan Tingkat Tinggi. ITB. Bandung : 132-6. Romer, Alfred Sherwood; Parsons, Thomas S. 1977. The Vertebrate Body. Philadelphia, PA: Holt-Saunders International. pp. 330–334. [terhubung berkala]. http://en.wikipedia.org/wiki/LungPicture. [07 Juli 2010] Ronohardjo. 1983. Penyakit cengesan atau selesma pada itik Tegal, Bali dan Alabio. Penyakit Hewan 15(25): 61–71. Sarwono B. 2003. Beternak Ayam Buras. Jakarta : Penerbit Swadaya
59
Setiyono A, Winarsih W, Syakir M, Bermawie N. 2008. Potensi Tanaman Obat untuk Penanggulangan Flu Burung. Laporan Akhir Penelitian. Lembaga Penelitian dan Pengembangan Masyarakat Institut Pertanian Bogor. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Shackelford dan Elwell. 1999. Avian Influenza and Pandemics—Research Needs and Opportunities. N Engl J Med ; 352:405-407. Di dalam Stöhr, K, Ph.D. 2005. [terhubung berkala]. http://content.nejm.org. [07 Juli 2010] Slomianka L. 2009. Blue Histology - Respiratory Sistem. School of Anatomy and Human Biology - The University of Western Australia Solikhah A. 2006. Sirih Merah Menurunkan Kadar Glukosa Darah. [terhubung berkala]. http//:www.pustakatani.com. [ 06 Juni 2010] Soeharsono. 1976. Responns Broiler Terhadap Berbagai Kondisi Lingkungan. Disertasi. Fakultas Pasca Sarjana. Universitas Padjadjaran. Bandung Spector WG, Spector TD. 1993. Pengantar patologi umum edisi ke 3. Soetjipto NS, Penerjemah. Jogyakarta : Universitas Gajah Mada Press Suarez D. 1998. Comparison of Highly Virulent H5N1 influenza A Viruses Isolated from Human and Chicken from Hongkong. J. Virol. 72 : 1-19 Sudewo, B. 2007. Basmi Penyakit dengan Sirih Merah. PT Agromedia Pustaka. Jakarta. Sugiarti. 1981. Sistem Pertahanan Virus ND dan AI. Info Medion Online. Di dalam Medion. 2008. [terhubung berkala]. http://info.medion.co.id. [21 Januari 2011] Sutrisna. 2007. Patologi Umum. Di dalam Santoso, U. 2009. berkala]. http://uripsantoso.wordpress.com. [06 mei 2010]
[terhubung
Szomolanyi-Tsuda. 2002. Vertebral pneumaticity, air sacs, and the physiology of sauropod dinosaurs. Paleobiology 29: 243–255. Di dalam Wedel MJ. 2003. Pernafasan Vertebrata. Tabbu CR. 2000. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya volume 1-2. Kanisius. Jogjakarta. Togatorop. 1981. The life of birds, fourth edition. Saunders College Publishing, New York, NY. Di dalam Welty JC and L Baptista. 1988. The life of birds. (ttg broiler) Underwood JCE. 1992. General Sistemic Pathology. United Kingdom : Churcill Livingstone.
60
Verkert, Marriasyi AT, Jeffery K. 2006. Avian influenza. Anat Rec 209 : 523 Wibawan I, Murtini S, Soejoedono RD, Mahardika I. 2009. Produksi IgY Antivirus Avian Influenza H5N1dan Prospek Pemanfaatannya dalam Pengebalan Pasif. J. Veteriner September 2009 Vol. 10 No. 3 : 118124 ISSN : 1411 - 8327 Wijayakusuma H. 2000. Hidup Sehat Cara Hembing. Ed ke-15. Jakarta: PT. Agromedia Pustaka. Wilson LM. 1995. Patofisiologi (Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit) 4th edisi Buku 2. Jakarta: EGC Winekler, Anstall JMM, dan Dinacler FM. 1971. Pathology an Introduction. Di dalam : Rusmiati dan A Lestari. Struktur Histologi Organ Hepar dan Ren Mencit (Mus Musculus L) jantan setelah perlakuan dengan ekstrak kayu secang (Carsalpinia sappan L) L. Vol 1. No1. Hlm 23-30 Wiyono. 2004. Isolasi dan Karakterisasi Virus Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI) subtipe H5 dari ayam asal wabah di Indonesia. JITV 9 : 61-71.
61
62
UJI STATISTIK KN vs KP vs PN vs PP H0 H1
: K1 = K2 = K3 = K4 (semua perlakuan memberikan respon yang sama) : Minimal ada satu pasang perlakuan yang memberikan respon berbeda Ranks Skoring
N
Mean Rank
0.0
14
0
1.0
17
10648
2.0
32
68921
3.0
17
4913
Total
80
84482
Simpulan uji statistik Kruskall-Wallis : Karena p-value yang diperoleh kurang dari taraf kepercayaan yang digunakan (0.05) maka tolak H0. Jadi, minimal ada satu pasangan kelompok yang berbeda nyata.
Untuk menemukan pasangan yang berbeda, maka dilanjutkan dengan uji Dunn Perlakuan
N
Mean Rank
KN
20
25.7
KP
20
58.8
33.1
PN
20
36.5
10.8
22.3
PP
20
41
15.3
17.8
Keterangan
4
N
80
Sum (t) z Pembanding
Subscript A C A 4.5
B
: a,b,c Pada angka yang ditandai dengan huruf yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95%
k
Sum (t^3)
Selisih Absolut
84482 80 1.96 18.61419