KAJIAN POLA DAN FAKTOR PENENTU DISTRIBUSI PENERAPAN INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI DI SULAWESI SELATAN Jermia Limbongan, dkk Abstrak Kementerian Pertanian yang dimotori oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian sejak tahun 2002-2010 telah mencanangkan beberapa Program Nasional untuk meningkatkan Ketahanan Pangan dan mempertahankan swasembada, dan Gernas Kakao. Program Nasional tersebut antara lain : 1)Pengelolaan Tanaman Terpadu yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan petani melalui penerapan teknologi yang cocok untuk kondisi setempat, 2) Program Prima Tani yang bertujuan untuk mempercepat diseminasi dan adopsi teknologi inovatif, serta untuk memperoleh umpan balik dari pengguna teknologi. 3) Program SL-PTT Padi, jagung, dan kedelai yang bertujuan untuk mempercepat alih teknologi melalui pelatihan dari peneliti atau narasumber lainnya. Penelitian dilakukan dengan metode survei di kabupaten Pangkep, Bone, Luwu, Luwu Utara, dan Jeneponto sejak Maret-Desember 2011 yang bertujuan untuk mengetahui pola distribusi inovasi pada beberapa lokasi binaan. Hasil kajian menunjukkan bahwa potensi lahan dan produktivitas komoditas padi, jagung, dan kakao masih dapat ditingkatkan. Tingkat pendidikan petani rata-rata setingkat SLTA, umur 42 tahun, 80% sebagai petani pemilik. Dari 13 koponen teknologi hanya 5 komponen yang diadopsi yaitu VUB=70%, benih bermutu=35%, Legowo=78%, tanam 2-3 batang/rumpun=76%, dan panen tepat waktu=85%. Teknologi yang banyak ditiru petani lain desa yang sama adalah Legowo, tanam 2-3 batang/rumpun, panen tepat waktu, sedangkan yang ditiru petani luar kecamatan dan kabupaten adalah VUB, tanam muda 21 hari, Legowo. Komponen teknologi yang dapat ditiru kurang dari satu tahun adalah tanam 2-3 batang/rumpun, dan Legowo. Lembaga yang berperan sebagai sumber teknologi adalah penyuluh BPP 86%, peneliti/penyuluh BPTP 60%, kemudian aparat dinas terkait 40%. Dampak adopsi di level masyarakat adalah penawaran produksi dengan skala 59%, penyerapan tenaga kerja dengan skala 51%, sikap terhadap teknologi BPTP dengan skala 48%. Spillover teknologi padi dan jagung terjadi di luar kelompok dalam satu desa yang sama, dan petani desa tetangga dalam satu kecamatan yang sama. Spillover teknologi kakao selain terjadi diantara petani di desa yang sama, juga sudah terjadi diantara petani antar kecamatan, antar kabupaten, antar propinsi, bahkan petani dari manca negara telah mengadopsi teknologi SE, sambung pucuk, dan sambung samping.
Kata Kunci : Pola Distribusi, Penerapan Inovasi, Padi, Kakao, Jagung.
1
Abstract Ministry of Agriculture that was driven by the Agency for Agricultural Research and Development since 2002-2010 has launched several national programs to improve food security and maintain self-sufficiency, and GERNAS Cocoa. National programs include: 1) Integrated Crop Management which aims to increase farmers' income through the application of suitable technology to local conditions, 2) Prima Tani Program which aims to accelerate the dissemination and adoption of innovative technologies, and to obtain feedback from users of technology. 3) SLPTT Program for rice, corn, and soybeans, which aims to accelerate the transfer of technology through training by researchers or other sources. The study was conducted by survey method in Pangkep, Bone, Luwu, North Luwu, and Jeneponto from March to December 2011 which aims to determine the distribution pattern of innovation in some locations. The study results indicate that the potential productivity of paddy, maize, and cacao still can be improved. The education level of farmers on average high school level, age 42 years, 80% as peasant proprietors. Of the 13 component technologies only 5 components are adopted i.e. prior variety = 70%, seed quality = 35%, Legowo = 78%, cropping 2-3 stems / clump = 76%, and harvest on time = 85%. The technology that many other farmers copied in the same village is Legowo, planting 2-3 stems / clump, timely harvest, while the farmers emulated outside the subdistrict and district i.e. prior variety, a young 21 days of planting, Legowo. Technology components that can be replicated for less than one year are planted 2-3 stems / clump, and Legowo. Institutions that serve as sources of technology is the extension of BPP 86%, researchers / extension BPTP 60%, then 40% related department officials. Impact of adoption at the community level is the supply-scale production = 59%, employment = 51%, attitudes toward technology BPTP with the scale = 48%. Rice and maize technology spillover occurs outside the group in the same village, and farmers in the neighboring village of the same district. Technological spillover occurs among cocoa farmers than in the same village, also has occurred among farmers between districts, between provinces, and even farmers from foreign countries have adopted the SE technology, grafting, and side-cleft grafting.
Keywords: Distribution Pattern, Application of Innovation, Rice, Cocoa, Corn.
2
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Departemen Pertanian sebagai ujung tombak
pembangunan pedesaan
yang berwawasan agribisnis pedesaan terus meningkatkan peran serta yang lebih proaktif dan sistematis, khususnya dalam mendorong peningkatkan kesejahteraan masyarakat tani dan memecahkan berbagai kendala pembangunan pertanian di pedesaan. Untuk mempercepat tercapainya tujuan tersebut, maka perlu didorong dengan penerapan inovasi teknologi pertanian pada berbagai agroekosistem. Pada tahun 2002, Badan Litbang Pertanian telah mencanangkan Program Pengelolaan
Tanaman
Terpadu
(PTT).
Pada
prinsipnya
PTT
merupakan
pendekatan dalam budidaya yang mengutamakan pengelolaan tanaman, air, dan organisme pengganggu tanaman (OPT) secara terpadu. PTT adalah kombinasi teknologi pilihan yang penerapannya disesuaikan dengan kondisi dan potensi setempat yang bertujuan untuk meningkatkan pendepatan petani melalui penerapan teknologi yang dapat meningkatkan produksi, mutu hasil, dan menjaga kelestarian lingkungan. Pada tahun 2002-2003, pelaksanaan PTT di 28 kabupaten di seluruh Indonesia menunjukkan bahwa penerapan PTT di lahan sawah irigasi telah meningkatkan hasil padi rata-rata 1 t/ha dan efisien
dalam penggunaan
benih, pupuk, dan air sehingga keuntungan petani mengalami peningkatan. Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Puslitbangtan (2007) menujukkan bahwa PTT padi dapat meningkatkan keuntungan petani sekitar 35% dibanding non-PTT. Sedangkan untuk PTT jagung yang dilakukan di Kabupaten Pangkep pada tahun 2006 dilahan yang tadi bero(kosong), petani mendapat keuntungan sekiatar Rp 7,5 juta/ha (BPP Sulsel, 2007(c)). Sejak tahun 2005-2009, (Badan Litbang Pertanian)
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
telah meluncurkan Program Nasional yang dikenal
―Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian (Prima Tani). Program ini mempunyai 4 strategi yaitu : 1) menerapkan teknologi inovasi tepat guna secara partisipatif berdasarkan paradigma penelitian untuk pembangunan, 2) Membangun model percontohan system dan usaha agribisnis teknologi inovatif yang mengintegrasikan system inovasi dan kelembagaan, 3) mendorong proses difusi dan replikasi model percontohan teknologi inovatif melalui ekspose dan demontrasi, diseminasi informasi, advokasi serta fasilitasi,
3
dan
4)
mengembangkan
agroekosistem
agroindustri
berdasarkan
karakteristik
wilayah
dan kondisi sosial-ekonomi setempat. Sebagai modus diseminasi
hasil-hasil penelitian dan pengembangan,
Prima
Tani bertujuan untuk : 1)
merancang serta menfasilitasi penumbuhan dan pembinaan percontohan sistem dan usaha agribisnis berbasis pengetahuan dan teknologi, 2) Membangun system teknologi dasar, 3) menyediakan informasi, konsultasi, dan sekolah lapang untuk pemecahan masalah melalui penerapan inovasi pertanian bagi praktisi agribisnis, dan 4) memfasilitasi dan meningkatkan kemampuan masyarakat dan pemerintah setempat untuk melanjutkan pengembangan dan pembinaan percontohan system dan usaha agribisnis berbasis pengetahuan dan teknologi mutakhir secara mandiri (Badan Litbang Pertanian, 2006). Tahun 2008-2010 Kementerian Pertanian telah meluncurkan Program Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT). SL-PTT merupakan perpaduan antara program Prima Tani yang fokusnya utamanya sekolah lapang dan Program PTT yang focus utamanya pengembangan teknologi secara terpadu. Tujuan utama SL-PTT ini adalah untuk mempercepat alih teknologi melalui pelatihan dari peneliti atau narasumber lainnya. Melalui SL-PTT ini diharapkan terjadi penyebaran teknologi PTT dari Peneliti ke petani peserta dan kemudian berlangsung difusi secara alamiah dari alumni SL-PTT kepada petanidi sekitarnya. Seiring dengan perjalanan waktu dan tahapan SL-PTT, petani diharapkan merasakan memiliki PTT yang dikembangkan (Puslitbangtan ,2008). Program Nasional yang telah dikucurkan oleh Kementarian Pertanian bersama Badan Litbang Pertanian mulai dari Program PTT, Program Prima Tani, dan Program SL-PTT mempunyai prinsip dan tujuan utama yang sama yaitu mempercepat adopsi inovasi teknologi pertanian kepada petani atau stakeholder lainnya. 1.2. Lingkup Kegiatan Kegiatan Kajian Pola dan Faktor Penentu Distribusi Penerapan Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi di Provinsi Sulawesi Selatan mempunyai lingkup kegiatan: a. Kajian pola distribusi dan penerapan inovasi teknologi padi, jagung, dan kakao di Sulawesi Selatan.
4
b. Kajian faktor Pendorong keberhasilan distribusi inovasi teknologi padi, Jagung, dan kakao di Sulawesi Selatan. c. Kajian karakteristik dan penentu spillover
teknologi padi, jagung, dan
teknologi kakao di Sulawesi Selatan. d. Kajian rekomendasi untuk perbaikan pola distribusi dan percepatan adopsi dan difusi inovasi
padi, Inovasi jagung, teknologi kakao di Sulawesi
Selatan. 1.3. Tujuan a. Memetakan pola distribusi dan penerapan inovasi teknologi padi, jagung, dan kakao di Sulawesi Selatan. b. Mengetahui faktor pendorong keberhasilan distribusi inovasi teknologi padi, jagung, dan kakao di Sulawesi Selatan. c. Mengetahui karakteristik dan penentu spillover teknologi inovasi teknologi padi, jagung, dan kakao di Sulawesi Selatan. d. Menyusun rekomendasi untuk perbaikan pola distribusi dan percepatan adopsi dan difusi inovasi teknologi padi, jagung, dan kakao di Sulawesi Selatan. 1.4. Keluaran a. Peta pola distribusi dan penerapan inovasi teknologi padi, jagung, dan kakao di Sulawesi Selatan. b. Faktor pendorong keberhasilan distribusi inovasi teknologi padi, jagung, dan kakao di Sulawesi Selatan. c. Peta karakteristik sosial ekonomi dan budaya sasaran penerima inovasi teknologi padi, jagung, dan kakao di Sulawesi Selatan. d. Rekomendasi untuk perbaikan pola distribusi dan percepatan adopsi dan difusi inovasi teknologi padi, jagung, dan kakao di Sulawesi Selatan.
5
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Padi Sawah Dari hasil penelusuran pustaka ternyata teknologi produksi yang telah diuji keberhasilannya dapat dikemukakan sebagai berikut : Pengujian polatanam IP300 padi
di kabupaten Luwu Utara tahun 2010 yang
dilaksanakan oleh Limbongan et al. (2010) menunjukkan bahwa Penanaman MT1 menggunakan pola petani, sedangkan MT2 dan MT3 dilakukan introduksi teknologi. Produksi yang dicapai pada MT1, MT2, dan MT3 berturut-turut 4,48 ; 5,20, dan 7,29 ton GKP per ha . Selama tiga kali penanaman terjadi peningkatan biaya input pada MT2 dibanding MT1 namun terjadi penurunan 5,4% (target 10%) pada MT3 dibanding MT2. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan pupuk organik dalam bentuk kompos dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman padi khususnya tinggi tanaman pada umur 2 bulan, namun tidak berpengaruh terhadap jumlah anakan. Selanjutnya hasil pengamatan produksi gabah menunjukkan penggunaan pupuk organik dapat secara nyata meningkatkan hasil padi menjadi 7,29 ton GKG per hektar dengan perolehan pendapatan sebesar Rp. 9.067.000,- per hektar. (Limbongan, dan Sahardi. 2010.) Hasil pengujian potensi hasil 3 varietas yang memberikan potensi hasil yang tinggi yaitu varietas Ciherang dengan hasil sebesar 10.522 kg/ha, Fatmawati = 10.496 kg/ha dan varietas Cigeulis = 10.224 kg/ha. Varietas Ciherang dan Cigeulis berpotensi untuk dikembangkan disamping memperoleh hasil yang tinggi juga disenangi petani dan konsumen (Arafah, 2006). Sedangkan hasil pengujian Ali Imran dan Suriany (2006) menunjukkan bahwa varietas yang mempunyai hasil gabah kering giling yang nyata lebih tinggi dibandingkan dengan Ciliwung sebanyak 5,85 t/ha adalah Ciapus 7,45; Singkil 7,44 t/ha; Cigeulis 6,86 t/ha dan Memberamo 6,67 t/ha. Selanjutnya hasil pengujian Warda dan Muh. Asaad. 2006 terhadap 43 galur/nomor yang mempunyai hasil > 6,5 t/ha GKG (hanya 3 nomor dengan hasil < 6,5 t/ha) di kabupaten Takalar. Sementara di kabupaten Pinrang, terdapat 21 nomor dengan hasil > 6,5 t/ha GKG. Galur-galur tersebut berbeda tidak nyata dengan varietas cek/pembanding dengan uji
Least Significant
Increase (LSI).
6
Hasil survai yang dilaksanakan Asaad, M. dan Djafar Baco (2006) menyimpulkan bahwa pada umumnya petani sudah mengetahui jenis tikus yang menyerang dan gejala serangannya. Sementara jenis rodentisida yang sering digunakan petani adalah Zink Phospide. Dampak dari adopsi beberapa teknologi pengendalian tikus adalah penurunan tingkat serangan tikus dan peningkatan produktivitas
padi.
Selanjutnya
disarankan
bahwa
untuk
mengoptimalkan
penerapan pengendalian tikus, beberapa kebijakan yang perlu dilakukan adalah adanya jadwal waktu yang tepat dalam pengendalian dan serempak, melakukan kajian dan demonstrasi teknologi pengendalian yang praktis, pembinaan dan penguatan kelembagaan kelompok tani, penyuluhan yang intensif serta penerapan teknologi tabela. Dari hasil analisis ekonomi diketahui bahwa dengan menggunakan cara tanam seeder (Atabela) menghasilkan nilai R/C sebesar 2,80 sedangkan cara tanam pindah (Tapin) hanya menghasilkan R/C sebesar 1,80. Nilai R/C tersebut menunjukkan bahwa baik cara tanam Atabela dan Tapin berada pada posisi yang efisien dan menguntungkan. Dari usahatani padi sawah irigasi dengan cara tanam Atabela rata-rata pendapatan bersih diperoleh sebesar Rp. 4.414.300 / ha dan cara tanam pindah hanya rata-rata sebesar Rp. 2.800.750/ha, nilai MBCR sebesar 6,33 yang berarti bahwa setiap penambahan biaya Rp. 1.000 dalam usahatani padi dengan cara tanam Atabela mendapatkan tambahan pendapatan sebesar Rp. 6.330. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa teknologi cara tanam Atabela layak secara ekonomi untuk diusahakan karena
nilai MBCR-nya lebih
besar dari 1. (Hasanuddin et al. 2006.) Varietas membramo lebih unggul dibanding dua varietas lainnya baik dari segi pertumbuhan, produksi dan tingkat efisiensinya, Membramo memperoleh tinggi tanaman 72,6 Cm, jumlah anakan sebanyak 20,6 , produksi 8050 kg/ha dengan B/C ratio sebesar 2,13, kemudian varietas Wayapo buru lebih rendah timggi tanamannya
(69,2 cm) namun jumlah anakannya (26,4/rumpun) lebih
tinggi dari pada kedua varietas lainnya dan hasilnya 7280 kg/ha sedikit lebih tinggi dari varietas Gilirang 7105 kg/ha namun B/C ratio Varietas Gilirang lebih tinggi dibanding dengan varietas Wayapo–buru nilai masing-masing B/C ratio sebesar 1,71 dan 1,58 (Razak Nasruddin, et al. 2006.)
7
Hasil kajian
Sirappa dan Hasanuddin (2006) menunjukkan bahwa
usahatani padi sawah sistem tabela yang dilakukan petani koperator memberikan hasil gabah dan penerimaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan petani nonkoperator. Rata-rata hasil gabah yang diperoleh petani koperator lebih tinggi (7,48 t GKP/ha) dibandingkan dengan petani non-koperator (5,30 t GKP/ha) atau meningkat sekitar 2,18 t GKP/ha (29%) dengan Gross B/C ratio sebesar 2,26 dan MRR 8,07. Adanya peningkatan produksi disebabkan karena adanya pengaruh penggunaan pupuk organik cair (agrisimba) yang diaplikasikan secara bertahap dengan dosis 12 liter / ha. Faktor yang berpengaruh terhadap efisiensi teknis adalah umur petani, jumlah tanggungan keluarga masing-masing berpengaruh positif dan jarak sawah dari tempat tinggal petani (berpengaruh negatif).( Rosmiati dan Syafruddin. 2006.) 2.2. Tanaman Kakao. Menurut hasil penelitian Limbongan et al. (2010) di kabupaten Soppeng menunjukkan sebagian besar petani menanam kakao jenis lokal dengan populasi tanaman yaitu 720 – 1000 tanaman per ha dan jarak tanam 3 x 3 meter. Baris tanaman lurus, pemeliharaan misalnya pemangkasan, pemupukan, penyiangan tidak dilaksanakan sesuai standar karena mereka kekurangan tenaga dan modal kerja. Selanjutnya penelitian sambung samping yang dilakukan Limbongan et al. (2000) di Sulteng menunjukkan persentase sambung jadi berkisar antara 69% pada klon GC7 dan 75% pada klon ICS 60 dengan tingkat produktivitas kakao mencapai 1,9 ton biji kering per ha per tahun untuk klon GC 7. Tingkat keberhasilan sambungan merupakan salah satu indikator keberhasilan teknik sambung samping selain produktivitas yang tinggi. Kemampuan petani melakukan penyambungan bervariasi karena ada yang baru belajar, ada yang sudah satu tahun melakukan sambung samping, ada yang dua tahun bahkan ada yang sudah lebih 5 tahun dan sudah berpengalaman melakukan penyambungan tanaman kakao di Negara Malaysia (Limbongan et al. 2010). Hasil penelitian di kabupaten Soppeng (Limbongan, et al. 2010) menyimpulkan bahwa angka persentase sambung jadi yang tertinggi dihasilkan dari klon Sulawesi 1 yaitu 74,2%, namun angka tersebut tidak berbeda dengan 8
persentase sambung jadi yang dihasilkan dari klon Sulawesi 2, klon M 01 dan klon 45. Persentase sambung jadi terkecil dihasilkan dari klon TSH 858 (Medan) yaitu sebesar 53,2% dimana angka tersebut berbeda nyata dengan angka persentase sambung jadi yang dihasilkan dari klon Sulawesi 1, klon Sulawesi 2, klon M 01, dan klon 45. Kenyataan ini menunjukkan bahwa setiap klon memiliki kemampuan yang berbeda untuk menghasilkan sambungan jadi.
Ternyata waktu yang
diperlukan oleh lima orang petani sampel untuk melakukan penyambungan berbeda nyata antara petani yang satu dengan petani lainnya.
Petani bernama
H. Congkeng menggunakan waktu paling sedikit yaitu hanya 3,7 menit per sambungan, sedangkan Pantong paling lama yaitu 7,5 menit per sambungan. Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaaan nyata pada kemampuan petani melakukan sambung samping. Demikian juga keberhasilan sambungan dipengaruhi oleh jenis
klon dimana entres berasal. Tingkat keberhaslan
sambungan tertinggi dihasilkan dari klon Sulawesi 1 yakni 74,5%, sedangkan terendah dari klon TSH 858 yakni 53,2%. Pola tersebut juga sejalan dengan pola pertumbuhan tanaman dimana tinggi tunas, jumlah cabang, dan jumlah daun klon TSH 858 lebih sedikit dibandingkan dengan klon lainnya. (Limbongan,et al. 2010.) Selanjutnya hasil penelitian status kelengasan daun kakao yang diberi pupuk organik yang dilaksanakan oleh Agussalim, dan Hatta Muhammad, (2006). menunjukkan bahwa pemberian bahan organik dapat menekan laju penurunan kadar lengas daun dibandingkan tanpa bahan organik. Menurut Erwiyono et al. (2000) tanggapan tanaman kakao terhadap pemberian kompos yang berasal dari berbagai sumber bahan organik berkaitan dengan adanya perbedaan kandungan hara dan mungkin juga mikroba pada masing-masing kompos yang berakibat pada perbedaaan intensitas perbaijkan kesuburan kimia di lingkungan perakaran tanaman. Menurut Tandisau et al.,(2006) implementasi pemupukan yang baik berpengaruh positif terhadap meningkatnya jumlah buah (39,5), berat biji per buah (40,3 g) dan produktivitas (1859 kg/ha. Hasil penelitian Tabrang et al.(2006) , menyatakan penggunaan pupuk organik dari limbah kakao dapat memberi peningkatan produksi 33,50 % bila dibanding tanpa pupuk organik. Pendapatan yang diperoleh dari tanaman yang dipupuk dengan limbah kakao hampir sama dengan hasil penelitian yang dilaksanakan oleh Tandisau et
al. (2006) di Kabupaten Luwu Utara yang menghasilkan pendapatan sebesar Rp. 9
11.982.000 per ha per tahun. Sedangkan hasil penelitian Tabrn et al. (2006) menyatakan penggunaan pupuk organik dari limbah kakao dapat memberi peningkatan pendapatan sebesar 34,3 % bila dibanding tanpa pupuk organik. Berdasarkan analisis usahatani kakao dalam jangka satu tahun yang dilaksanakan oleh Sunanto et al. (2006) menyatakan bahwa kelayakan usahatani kakao yang ditentukan dengan kreteria investasi NPV, B/C, dan IRR dengan tingkat bunga 15 % per tahun, yang dicapai adalah nilai NPV Rp. 4.332.533,85, nilai B/C 1,40, dan IRR 19,53 %. Dengan demikian usahatani kakao yang berada di wilayah Dusun Wonosari Kecamatan Kamanre cukup layak untuk dikembangkan. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa, penambahan pupuk organik mampu memperbaiki pertumbuhan, meningkatkan produktivitas rata-rata 27,55% dan memperbaiki kualitas hasil tanaman kakao.
Pemberian pupuk organik dari
campuran limbah kakao dengan kotoran ternak berpengaruh lebih baik terhadap produktivitas dan mutu hasil kakao dibandingkan dengan pupuk organik kotoran ternak,
limbah kakao, atau pupuk kandang saja.
Pendapatan pada tahun
pertama jika menggunakan pupuk organik campuran kotoran ternak + limbah kakao sebesar Rp. 10.028.720 dan pada tahun kedua sebesar Rp. 12.317.656, lebih tinggi dibandingkan
tanpa menggunakan pupuk organik sebesar Rp.
9.870.840 pada tahun pertama dan Rp. 7. 292.340 pada tahun kedua.
( Kadir,
et al. 2010). Pada tahun 2013 modal yang diperoleh dari sambung samping sebesar Rp. 43.955.000,- atau 3,5 kali modal yang diperoleh dari penanaman biasa. Bahkan penerapan teknologi sambung samping di Sulawesi Tenggara melalui kegiatan primatani, penerimaan petani mencapai Rp. 50 juta per ha pada tahun 2008 (BPTP Sultra, 2008). 2.3. Tanaman Jagung. Keberhasilan upaya peningkatan produktivitas/produksi dan pendapatan usahatai jagung sangat tergantung pada kemampuan penyediaan dan penerapan teknologi produksi yang meliputi: varietas unggul berikut benih berkualitas dan komponen teknologi budidaya serta pascapanen. Komponen teknologi tersebut meliputi penyiapan lahan, penanaman, pemupukan, penyiangan, irigasi, dan prosessing hasil.
10
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian telah menghasilkan berbagai inovasi teknologi yang mampu meningkatkan produktivitas jagung, diantaranya varietas unggul yang sebagian diantaranya telah dikembangkan oleh petai. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Badan Litbang Pertanian juga telah menghasilkan
pendekatan Pengelolaan Tanaman
Terpadu (PTT) yang ternyata mampu meningkatkan produktivitas jagung dan efisiensi input produksi (Balitbangtan, 2010) Di antara komponen teknologi produksi, varietas unggul mempunyai peran penting dalam peningkatan produksi jagung. Perannya menonjol dalam potensi hasil
per satuan luas, komponen
pengendalian hama/penyakit (toleran),
kesesuaian terhadap lingkungan, dan preferensi konsumen. Kini telah banyak benih varietas unggul jagung yang dipasarkan. Dari segi jenisnya, dikenal dua jenis jagung yakni hibrida dan komposit (bersari bebas). Dibanding jenis komposit, jagung hibrida umumnya mempunyai kelebihan dalam hal potensi hasil yang lebih tinggi dan pertumbuhan tanaman lebih seragam. Meskipun potensi hasilnya lebih rendah dibanding hibrida, jagung komposit unggul yang dilepas oleh Balai Penelitian Tanaman Serealia (Balitsereal) berdaya hasil cukup tinggi, mencapai 7,6-8,4 t/ha. Kelebihan dari jagung komposit adalah produksi benihnya dapat dilakukan dengan mudah oleh petani/kelompok tani. Dari beberapa varietas jagung komposit yang dihasilkan Balitsereal, yang populer dewasa ini adalah Lamuru dan Sukmaraga. Varietas Lamuru relatif toleran kekeringan. Varietas Sukmaraga direkomendasikan pengembangannya pada tanah masam, termasuk lahan pasang surut. Varietas dengan mutu protein triptofan dan lisin yang tinggi adalah Srikandi Kuning-1 dan Srikandi Putih-1. Keduanya lebih sesuai dikembangkan pada daerah rawan gizi dan dapat pula digunakan untuk pakan ternak bukan pemamah biak (monogastric) seperti ayam dan babi. Untuk lebih produktif dan berorientasi agribisnis, pengembangan jagung perlu dipadukan dengan upaya produksi biomas untuk pakan. Hal ini semakin penting artinya bagi wilayah-wilayah marginal, seperti agroekosistem lahan kering beriklim kering dan lahan sawah tadah hujan. Ada empat varietas yang dapat menghasilkan biomas segar yang tinggi, pada umur 75 hari setelah tanam (HST), yaitu Bima-1, Semar10, Lamuru, dan Bisma (Akil dkk, 2009). Salah satu upaya untuk mendapatkan hasil optimum adalah mengatur populasi tanaman. Secara umum, kepadatan tanam anjuran adalah 66.667 11
tanaman/ha. Ini dapat dicapai dengan jarak tanam antarbaris 75 cm, dan 20 cm dalam barisan dengan satu tanaman per rumpun, atau jarak antarbaris 40 cm dengan dua tanaman per rumpun. Bagi daerah yang kekurangan tenaga kerja, jarak tanam dalam barisan 40 cm dengan dua tanaman per lubang lebih memungkinkan. Apabila penanaman jagung bertujuan untuk produksi biji dan sekaligus untuk biomas hijauan, kepadatan yang dianjurkan adalah 200.000300.000 tanaman/ha dengan penanaman 3-4 benih per rumpun. Pemupukan secara berimbang dan rasional merupakan kunci utama keberhasilan peningkatan produktivitas jagung. Kadar unsur hara di dalam tanah, jenis pupuk/hara yang sesuai, dan kondisi lingkungan fisik, khususnya pedoagroklimat, merupakan faktor penting perlu diperhatikan dalam mencapai produktivitas optimal tanaman. Analisis kimia tanah merupakan informasi yang dapat membantu dalam mengevaluasi kondisi tanah bagi pertumbuhan tanaman. III. METODOLOGI 3.1. Metode Pengkajian pola dan distribusi penerapan inovasi pertanian spesifik lokasi di Sulawesi Selatan dilakukan melalui empat kegiatan yaitu: 1). Survei Pemetaan pola distribusi dan penerapan inovasi pertanian, 2). Survei untuk mengetahui faktor-faktor
penentu/mendorong
keberhasilan
distribusi
inovasi
teknologi
pertanian, 3). Survei untuk menyusun peta karakteristik sosial ekonomi dan budaya petani sasaran penerima inovasi dan 4). Rekomendasi untuk perbaikan pola distribusi dan percepatan adopsi dan difusi inovasi. Kegiatan ini akan dilaksanakan di Kabupaten Pangkep dan Bone (untuk inovasi PTT padi), Kabupaten Bone dan Jeneponto (untuk inovasi PTT jagung), dan Kabupaten Luwu dan Luwu Utara (untuk
inovasi teknologi kakao). Kegiatan
pengkajian ini berlangsung mulai bulan Maret–Desember 2011. Pelaksanaan kegiatan dilakukan dengan menggunakan metode survei yaitu melakukan wawancara terhadap 30 petani responden dan instansi terkait serta informan kunci pada setiap lokasi dan komoditas. Data yang diperoleh kemudian diolah dan disusun dalam bentuk peta distribusi dan persentase. Data sekunder yang berkaitan dengan distribusi inovasi pertanian antara lain luas areal, luas tanam,potensi areal, produksi dan produktivitas. Sedangkan
12
data sosial ekonomi dan kelembagaan dilakukan dengan menggunakan metode desk
study
yaitu sistem
penelusuran
terhadap kegiatan
sosial ekonomi
kemasyarakatan dan keberadaan lembaga baik pemerintah maupun swasta. Data yang sudah terkumpul dari kegiatan ini kemudian ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif untuk mengetahui distribusi inovasi pertanian, faktor yang mendorong keberhasilan distribusi inovasi, dan karakteristik sosial ekonomi dan budaya petani sasaran penerima ivovasi. 3.2.
Ruang Lingkup Berdasarkan agroekosistem, Sulawesi Selatan mempunyai 4 tipe wilayah
yaitu : 1) Wilayah yang mempunyai agroekosistem lahan kering dataran rendah iklim basah. Wilayah ini umumnya berada di Kabupaten Luwu, Luwu Utara, Luwu Timur, dan Kodya Palopo yang didominasi oleh pertanaman kakao, 2) Wilayah yang mempunyai agroekosistem lahan kering dataran tinggi iklim basah, yang berada di Kabupaten Enrekang umumnya didominasi pertanaman sayur-sayuran dan kopi, 3) Wilayah yang mempunyai agroekosistem lahan kering dataran rendah iklim kering yang berada di Kabupaten Jeneponto dan Takalar yang didominasi pertanaman jagung, dan 4) Wilayah yang mempunyai agroekosistem lahan sawah irigasi dan semi intensif. Wilayah ini tersebar di wilayah Bosowa-Sipilu (Pantai Timur) dan wilayah Karaeng Lompoa (Pantai Barat).
Kempat wilayah
agroeksositem tersebut merupakan lokasi Prima Tani (11 kabupaten) tahun 20052009 yang
mempunyai sosial, ekonomi, dan budaya petani yang berbeda.
Keberhasilan yang dicapai pada Prima Tani di setiap lokasi/kabupaten berbedaberbeda, tergantung dari respon petani dan pemerintah setempat. Hasil yang dicapai Prima Tani di Kabupaten Jeneponto tahun 2007 (awal Prima Tani) mampu meningkatkan produksi jagung dari 3,0-3,5 t/ha menjadi 5,07,0 t/ha dan pada tahun 2008, dan pada tahun 2008 telah berhasil mengembangan teknologi pengelolaan air (BPTP Sulsel, 2007(a) dan BPTP Sulsel 2008
(a)
). Prima Tani di Kabupaten Pangkep, tahun 2007-2009 telah berhasil
meningkatkan produksi padi dari 4,5-5,5 t/ha (varietas Cisadane) menjadi 6,0-9,0 t/ha dengan mengembangan varetas unggul baru yaitu Cigeulis, Cisantana, Luk Ulo, Mekongga, Setail ,Aek Sibundo (beras merah), Membramo, dan Cimelati. Selain itu, Prima Tani Pangkep telah mengembangan teknologi legowo dengan peningkatan produksi sekitar 25-30%, pengembangan teknologi pupuk organik 13
bekerjasama dengan kelompok tani dan berhasil menembus pasaran di luar Kabupaten Kangkep. Untuk meningkatkan pengetahuan dan teknologi petani, Prima Tani Kabupaten Pangkep telah membangun Klinik Agribisnis Pertanian yang sumber dananya dari Pemerintah Kabupaten Pangkep sebesar Rp 20 juta, telah mengembangkan sistem pompanisasi dengan membuat sumur bor sekitar 20 buah disertai 10 buah mesin pompa air yang dibiayai oleh Pemerintah Kabupaten Pangkep dan satu mesin pompa air dengan kempauan 25-30 ha sawah.
Dengan
adanya sumur bor dan pompa air yang dibiayai oleh Pemerintah Kabupaten Pangkep dapat meningkatkan pemanfaatan lahan sawah yang sebelum Prima Tani (60-75% bero) pada MK1 turun menjadi 15-20% bero (setelah Prima Tani). Pada tahun 2008, Prima Tani kabupaten pangkep mengembangan teknologi Biogas dengan total biaya Rp 50 juta yang bersumber dari Pemerintah Kabupaten Pangkep (BPTP Sulsel, 2007(c) dan BPTP Sulsel 2008(b)). Prima Tani Kabupaten Luwu yang komoditas utamanya kakao telah berhasil mengembangkan teknologi sambung samping yang luasnya sekitar 30 ha. Teknologi ini dapat meningkatkan produksi dari 0,90-1,0 t/ha menjadi 1,20 t/ha atau terjadi peningkatan sekitar 33%. Selain teknolgi ambung samping yang dintroduksi pada kakao di lokasi Prima Tani Luwu, juga teknologi lainnya seperti teknologi pengendalian hama PBK, teknologi pembuatan kompos dari kulit buah kakao, teknologi pengolahan hasil : pembuatan kripik pisang, nata decoco, dan manisan kedondong. Dibidang kelembagaan,
Prima Tani kabupaten Luwu juga
berhasil mengembangan pembinaan Koperasi Suka Makmur dengan menjalin kerjasama dengan Bank BRI dengan realisasi pinjaman tahun 2006 Rp 157 juta dan tahun 2007 Rp 55 juta sehingga dana pinjaman dari BRI sekitar Rp 212 juta untuk mengembangan usaha sarana produksi (BPTP Sulsel, 2006 dan BPTP Sulsel 2007(b)). Disamping ada beberapa lokasi Prima Tani yang berhasil mengembangkan inovasi teknologi pertanian, ada juga beberapa lokasi yang tidak berhasil mengembangkan inovasi teknologi. Kendala yang dihadapi bagi adalah kurangnya respon petani dan pemerintah kabupaten. Ada beberapa kabupaten yang petaninya hanya mengharap bantuan saja tanpa mau
merespon untuk
mengembangkan inovasi teknologi. Begitu juga pemerintah kabupaten, ada beberapa pemerintah kabupaten yang enggan mengeluarkan dana untuk merespon Program Prima Tani dan malah sebaliknya dia mengharapkan bantuan 14
dana dari program tersebut. Kesemuanya itu merupakan kondisi sosial,ekonomi, dan budaya petani yang beraneka ragam di Provinsi Sulawesi Selatan. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Deskripsi Lokasi Kabupaten Jeneponto termasuk salah satu daerah penghasil jagung di Sul Sel, luas areal pertanaman jagung di daerah ini mencapai 48.087 ha dengan produksi 219.880,56 ton dengan tingkat produktivitas 4,91 t/ha (BPS Jeneponto, 2010). Di kabupaten Luwu kakao termasuk salah satu komoditas unggulan daerah. Luas pertanaman kakao Di Kecamatan Kamanre mencapai 3.155,75 ha dengan potensi areal mencapai 10.636,25 ha (Sahardi et al.,2009). Sedangkan Kabupaten Luwu Utara mempunyai luas 56.238,69 ha, total produksinya mencapai 33.900,19 ton dengan tingkat produktivitas 830 kg/ha (Anonim, 2010). Potensi lahan sawah di kabupaten Pangkep pada tahun 2006 seluas 28.207 ha dengan produktivitas padi sebesar 4,97 ton/ha dan kemudian berkembang terus hingga mencapai 22.782 ha dengan produktivitas 5,69 ton/ha pada tahun 2010. Sedangkan di kabupaten Bone potensi lahan sawah pada tahun 2006 seluas 118.221 ha dengan produktivitas padi sebesar 4,54 ton/ha dan kemudian berkembang terus hingga mencapai 139.918 ha dengan produktivitas 5,78 ton/ha pada tahun 2010. Sedangkan potensi lahan untuk pertanaman jagung pada tahun 2006 seluas 29.060 ha dengan produktivitas 2,51
ton/ha dan kemudian
berkembang terus hingga mencapai 50.215 ha dengan produktivitas 5,02 ton/ha pada tahun 2010 (BPS Sulsel, 2010) 4.2. Karakteristik Responden Karakteristik petani responden secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 1. Identitas petani
dibedakan menurut umur, pendidikan, partisipasi anggota
keluarga dalam usahatani, jumlah anggota keluarga dan pengalaman petani dalam usahatani. Tingkat pendidikan petani responden di masing-masing lokasi penelitian rata-rata 7-9 tahun atau setara dengan tamat Sekolah Dasar atau sebahagian telah tamat Sekolah Menengah Pertama, ada beberapa diantaranya tamat SMA. Kondisi tersebut berimplikasi bahwa dengan tingkat pendidikan yang rendah,
15
kepala rumah tangga sebagai pengambil keputusan usahatani akan sulit menerima inovasi teknologi. Menurut IPB (2003) salah satu masalah pertanian nasional secara umum adalah rendahnya kualitas SDM petani Indonesia. Tabel 1. Karakteristik Petani Responden Penerapan Inovasi Pertanian di Sulawesi Selatan, 2011 Kabupaten No
1. 2. 3. 4. 5. 6.
7. 8.
Uraian
Umur (thn) Pendidikan (thn) Tanggungan Keluarga - < 15 thn (orang) - > 15 thn (orang) Pengalaman Berusahatani (thn) Luas Lahan (Ha) Status Lahan (%) - Milik - Sewa - Garap Mata Pencaharian Utama (%) - Usahatani Pangan - Usahatani Perkebunan Mata Pencaharian Sampingan (%) - Usahatani Sayuran - Peternak - Lainnya
Pangkep
Bone
Jeneponto
Luwu
Luwu Utara
42 8
44 9
42 9
38 8
42 7
2 3 28 0,8
2 3 30 0,79
2 3 27 0,75
1 2 22 1,65
1 3 33 1,4
80 15 5
98 71
96 7
100 -
100 -
90 -
100 -
100 -
100
100
10 -
28,6 12,0
52 7 7
30
23,1
Jika dilihat dari tingkat pendidikan petani Indonesia yang tidak tamat dan tamat SD sebanyak 81,25%, tamat SMP sebanyak 13,08%, tamat SMA 9,5%, dan tamat Perguruan Tinggi sebanyak 0,30%. Sumber daya pertanian yang beranekaragam kurang dapat terkelola dan dimanfaatkan secara optimal oleh sebahagian besar petani karena kurang mempunyai kemampuan/keterampilan yang cukup memadai dalam mengembangkan usahatani.
Rata-rata umur petani
responden 38-42 tahun, dengan tanggungan keluarga <15 tahun 1-2 orang, >15 tahun 2-3 orang. Rata-rata umur petani tersebut masih tergolong usia produktif atau kepala keluarga relative masih muda dan responsive terhadap inovasi teknologi.
Hal ini juga merupakan faktor pendukung dalam pengembangan
inovasi teknologi pertanian.
16
Rata-rata
responden
pada
lima
kabupaten
menunjukkan
bahwa
pengalaman berusahatani mencapai 22-33 tahun dengan luas penguasaan lahan bervariasi antara 0,75-1,65 ha pada masing-masing kabupaten. Dari 30 kepala keluarga di masing-masing lokasi penelitian, sebagian besar petani adalah pemilik (80%-100%) dan hanya 15% petani penyewa yang ada di Kabupaten Pangkep, 57% petani penggarap masing-masing di Kabupaten Pangkep dan Jeneponto. Sedangkan petani penggarap banyak terdapat di Kabupaten Bone yaitu mencapai 71%. Usahatani tanaman pangan sebagai mata pencaharian utama banyak diusahakan di kabupaten Pangkep, Bone, dan Jeneponto yaitu komoditas padi dan jagung. Sedangkan usahatani perkebunan (kakao) banyak diusahakan petani di Kabupaten Luwu dan Luwu Utara. Selain komoditas utama ada juga petani yang melakukan usaha sampingan yaitu 10% petani di Kabupaten Pangkep dan 52% petani di Kabupaten Jeneponto melakukan usahatani sayuran. Ada 7% Petani peternak di Kabupaten Jeneponto, dan 28,6% di Kabupaten Bone. Usaha sampingan di Kabupaten Bone ada 12% petani berstatus sebagai pegawai dan di Kabupaten Jeneponto 7%. Di Kabupaten Luwu dan Luwu Utara usaha sampingan petani masing-masing 30% dan 23,1% melakukan usahatani nilam dan jagung. Dari kondisi tersebut dapat dianalisis bahwa kehidupan petani masih perlu ditingkatkan
karena masih
kurang diberdayakan. Ada banyak hal
yang
menyebabkan kondisi ini terus berlangsung, namun yang paling utama adalah masalah yang berkaitan dengan kualitas SDM. Pola pikir petani perlu perubahan dari hanya sekedar untuk kebutuhan sendiri (subsisten) menjadi pola pikir agribisnis, atau dengan kata lain dari pola pikir tradisional kearah pola pikir industry pengolahan. 4.3. Keragaan Penerapan Teknologi Program Prima Tani di Kabupaten Pangkep dan Bone dimulai tahun 2007 dan berakhir tahun 2009, kemudian dilanjutkan dengan Program pendampingan SLPTT. Dari kedua program tersebut diintroduksikan 13 komponen teknologi padi, Penggunaan VUB misalnya 71,4% petani mengaku bahwa penggunaan VUB produksi
bisa
lebih
tinggi,
24,6%
petani
mengaku
karena
adanya
instruksi/kebijakan, dan hanya 4,0% menguntungkan. Dari 13 komponen
17
teknologi yang diintroduksikan di Kabupaten Pangkep hanya 5 komponen yang diadopsi dengan urutan sebagai berikut; Penggunaan VUB merupakan urutan prioritas I, kemudian Benih bermutu merupakan urutan II, Sistem tanam jajar legowo III, Tanam 2-3 batang per rumpun IV, dan panen tepat waktu dan gabah segera dirontok V. Sedangkan di Kabupaten Bone urutan prioritas I adalah benih bermutu/berlabel, tanam muda (< 21 hari) prioritas II, penggunaan Varietas Unggul Baru prioritas III, tanam 2-3 batang/rumpun prioritas IV, dan jajar legowo prioritas V. Mengapa komponen teknologi Pemupukan N berdasarkan BWD, tidak diadopsi petani salah satu alasan petani adalah tidak ada alatnya. Padahal komponen teknologi tersebut bisa meningkatkan efisiensi. Demikian pula dengan komponen teknologi pengairan berselang tidak dilakukan karena responden petani lahan sawah tadah hujan. Sedangkan factor-faktor pendorong penerapan teknologi 75% petani mengaku bahwa komponen teknologi berkembang didaerah tersebut karena dorongan penyuluh aparat desa/peneliti (Tabel 2), 12% petani mengaku bahwa mereka menerapkan teknologi karena isiatif sendiri, setelah melihat petani lain berhasil. Demikian pula ada 8% petani menerapkan komponen teknologi tersebut karena mengikuti petani tetangga dan 5% petani mengaku menerapkan paket teknologi karena selalu ingin kebersamaan atau mengikuti kesepakatan kelompok. Di Kabupaten Jeneponto, jagung ditanam pada lahan kering dengan luas areal mencapai 46.509 ha, produksi 208.802,9 ton, rata-rata produktivitas yang dicapai masih rendah, yaitu
4,5 t/ha (BPS Jeneponto, 2009). Rendahnya
produktivitas yang dicapai disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya: terjadinya fluktuasi curah hujan pada periode pertumbuhan tanaman, benih bermutu kurang baik, dan kurangnya input pupuk yang digunakan petani.
18
Tabel 2. Komponen teknologi Padi, aspek pertimbangan dan Urutan Prioritas, 2011 Kab. Pangkep No. 1.
2.
3. 4.
5.
6.
7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Komponen Teknologi
Priori tas
Penggunaan VUB Produksi lebih tinggi Menguntungkan Intruksi/kebijakan Benih Bermutu/Berlabel Produksi lebih tinggi Menguntungkan Resiko kegagalannya rendah Tanam Muda (< 21 hari) Instruksi/kebijakan Menguntungkan Tanam 2-3 batang per rumpun Mudah diterapkan, tidak rumit Teknologi tersedia dan murah Instruksi/kebijakan Sistem Tanam Jajar Legowo Instruksi/kijakan Resiko Kegagalannya Rendah Produksi Lebih Tinggi Menguntungkan Pemupukan N Berdasarkan BWD Menguntungkan Produksi Lebih tinggi Mudah diterapkan, tidak rumit Pemupukan P dan K Berdasarkan PUTS Pengendalian OPT Berdasarkan Konsep PHT Pengendalian Gulma Secara Terpadu Pengairan Berselang Pemberian Pupuk Organik Mudah diterapkan, tidak rumit Teknologinya tersedia dan murah Penyiangan dengan landak atau gasrok Panen Tepat waktu dan gabah segera dirontok Menguntungkan Pasarnya ada
I
II
Petani (%) 71,4 4,0 24,6 26,0 12,0 62,0 15,3 10,5
IV
III
90,0 2,2 7,8 62,4 8,0 29,6 -
Kab. Bone Priori tas III
I
II IV
V
V
40,2 20,4 -
Petani (%) 79,5 8,1 11,4 69,0 11,0 20,0 60,7 22,2 92,0 1,9 6,1 10,0 10,4 62,0 22,4 54,0 20,0 21,2 -
VI
80,5 19,0
55,2 23.3 93,0 7,9
Di antara komponen teknologi produksi jagung, varietas unggul (baik hibrida maupun bersari bebas) mempunyai peranan penting dalam upaya meningkatkan produktivitas jagung. Peranannya menonjol baik dalam potensi peningkatan hasil maupun sebagai salah satu komponen pengendalian penyakit. Selain penggunaan varietas, komponen teknologi
produksi jagung terutama
pemupukan juga sangat berpengaruh terhadap peningkatan produktivitas jagung. Data
menunjukkan
bahwa
tanaman
yang
kekurangan
nitrogen
sangat
berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil jagung sampai 30%. Kekurangan
19
fosfor juga mempengaruhi dalam aspek metabolisme dan pertumbuhan, khususnya pembentukan tongkol dan biji tidak normal (Sutoro,dkk., 1988). Kekurangan Kalium mengakibatkan kekurangan hasil jagung sekitar 10%. Menurut Thamrin, dkk. (2006); Taufik dan M. Thamrin (2009); Mollah dkk. (2006) bahwa pemupukan NPK dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman dan komponen hasil jagung yang lebih tinggi. Selanjutnya dikatakan bahwa untuk mencapai hasil jagung hibrida yang optimal, ketiga jenis pupuk tersebut mutlak diberikan pada lahan kering. Data komponen teknologi jagung, aspek pertimbangan dan urutan prioritas, pada tahun 2011 dapat dilihat pada Tabel 3. Pada Tabel 3 terlihat bahwa baik di Kabupaten Jeneponto maupun di Kabupaten Bone penggunaan varietas menempati urutan prioritas I. Persentasi petani di Kabupaten Jeneponto dan Bone masing-masing 71,4% dan 82,0%, bahwa penggunaan varietas unggul produksi lebih tinggi, dan masing-masing 28,6% dan 18,0% menguntungkan. Varietas yang banyak digunakan petani pada dua kabupaten tersebut adalah Bisi2 dan Bisi12. Menurut Subandi et al (2006) bahwa Dalam upaya peningkatan produksi, pijakan utama yang digunakan dalam program pengembangan jagung adalah tingkat produktivitas yang telah dicapai saat ini. Pada daerah-daerah yang telah mencapai produktivitas tinggi (> 6,0 t/ha), programnya adalah pemantapan produktivitas. Untuk meningkatkan produksi di daerah yang tingkat produktivitasnya masih rendah (<5,0 t/ha) diprogramkan adanya pergeseran penggunaan jagung ke jenis hibrida dan komposit unggul dengan menggunakan benih berkualitas.
Penggunaan benih
berkualitas di Kabupaten Jeneponto dan Bone masi ng-masing 21,4% dan 66,4% petani responden mengaku produksi lebih tinggi. Sebaliknya 78,6 petani di Jeneponto dan 23,6% petani di Kabupaten Bone bahwa penggunaan benih berlabel menguntungkan.
20
Tabel 3. Komponen teknologi Jagung, aspek pertimbangan dan Urutan Prioritas, 2011 Kab. Jeneponto No. 1. 2. 3.
4.
5.
6. 7. 8. 9.
10.
11.
Komponen Teknologi Penggunaan Varietas Produksi lebih tinggi Menguntungkan Benih Berlabel Produksi lebih tinggi Menguntungkan Pengolahan Lahan Mudah diterapkan Menguntungkan Produksi lebih tinggi Populasi 66.000-75.000 tanaman/Ha Instruksi/Kebijakan Produksi lebih tinggi Mudah diterapkan Menguntungkan Pembuatan draenase Mudah diterapkan Resiko kegagalan rendah Menguntungkan Pembumbunan Menguntungkan Mudah diterapkan Hama/Penyakit Resiko kegagalan rendah Produksi Lebih tinggi Pemupukan dengan BWD Mudah diterapkan Menguntungkan Pemupukan Organik Teknologi tersedia, murah Mudah diterapkan Menguntungkan Panen Tepat Waktu Instruksi/kebijakan Resiko kegagalan rendah Pasar ada Menguntungkan Dorongan Penerapan Teknologi Inisiatif Sendiri Mengikuti petani tetangga Dorongan Penyuluh/aparat/ Peneliti Mengikuti kesepakatan kelompok
Priori tas I II IV
III
VIII
V VI
Petani (%) 71,4 28,6 21,4 78,6
Priori tas I II
Petani (%) 82,0 18,0 66,4 23,6
28,6 35,7 35,7
80,0 8,2 11,8
7,2 7,2 21,4 64,3
75,2 22,0 2,0 -
14,3 14,3 71,4
III
35,7 64,3 100 14,3 71,4
VII
Kab. Bone
35,7 28,6 35,7 57,1 28,6 14,3 57,2 35,7 7,1 -
88,1 11,3 2,4 22,7 77,2
IV V VI
VII
86,5 13,5 13,5 86,5 49,0 37,0 21,0 22,1 69,0 11,0 9,8 11,2 63,2 7.6
21
Gerakan Peningkatan Produsi dan Mutu Kakao Nasional (Gernas), program ini berlangsung dari 2009-2011, yakni peremajaan, rehabilitasi dan intensifikasi. Selama tiga tahun ini, pemerintah menetapkan sasaran perbaikan kebun kakao seluas 450.000 hektare (ha). Dengan rincian
intensifikasi seluas 145.000 ha,
rehabilitasi 235.000 ha dan peremajaan 70.000 ha. Dalam tahun 2011, luas kebun kakao yang akan diintensifikasi mencapai 65.000 ha, rehabilitasi melalui sambung samping dengan klon unggul seluas 60.000 ha. Sedangkan peremajaan tanaman kakao milik petani seluas 20.000 ha. Kegiatan peremajaan tanaman kakao yang sudah tidak produktif lagi, pemerintah mengganti dengan bibit yang berasal dari teknologi Somatic Embriogenesis (SE). Teknologi ini dikembangkan oleh Pusat Penelitian Kopi dan Kakao (Puslitkoka), yang diadopsi dari Nestle, Prancis. Bibit yang diproduksi Puslitkoka itu telah didistribusikan ke petani melalui tender yang dilakukan masing-masing Dinas Pertanian/Perkebunan di wilayah program Gernas. Tahun ini, pemerintah menetapkan 40 kabupaten di sembilan provinsi, yaitu Provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Bali, NTT, Maluku, Papua Barat dan Papua. Untuk program Gernas Kakaso, Pemerintah melalui APBN 2009 menganggarkan dana sebanyak Rp1 triliun. Program yang dicanangkan pemerintah ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan petani, khususnya petani di kawasan Timur Indonesia. Perkebunan kakao telah menyediakan lapangan kerja dan sumber pendapatan sekitar 900 ribu kepala keluarga petani yang sebagian besar berada di Kawasan Timur Indonesia (Badan Litbang Pertanian, 2005). Dalam tiga tahun terakhir, selain ketiga kegiatan tersebut program pengembangan agribisnis kakao juga melakukan kegiatan pengendalian hama seluas 450 hektar. (ICN, 2010). Dalam pelaksnaan survei yang kami lakukan di Kabupaten Luwu dan Luwu Utara khususnya kegiatan peremajaan tanaman kakao yang sudah tidak produktif lagi, pemerintah mengganti dengan bibit yang berasal dari teknologi SE.
Dari
penelitian dengan teknologi SE sudah ada lima klon benih unggul yang dihasilkan yakni Sulawesi 1, Sulawesi 2, ICCRI 03, ICCRI 04 dan SKA 6. Klon tersebut merupakan pengembangan klon-klon unggul di Indonesia yang tahan terhadap hama penyakit penggerek buah kakao (PBK) dan VSD. "Klon-klon tersebut sudah dinyatakan sebagai klon unggul sesuai surat keputusan Menteri Pertanian,". Namun berdasarkan hasil observasi lapangan menunjukkan klon hasil SE Peremajaan tanaman (tanam baru) dengan menggunakan klon unggul hasil SE 22
(Somatic Embyogenesis) 70-80% petani menganggap bahwa klon unggul hasil SE tidak dapat beradaptasi baik di lapangan. Dari hasil observasi lapangan (Tabel 4) ditemukan beberapa kelemahan antara
lain tanaman mudah tumbang, mudah terserang virus VSD, tanaman
banyak yang mati, Buah kecil dan biji kecil. Petani lebih cenderung melakukan rehabilitasi menggunakan entries asal klon unggul dengan teknologi sambung samping dan sambung pucuk. Pada intensifikasi tanaman kakao,
komponen
teknologi yang banyak ditiru (spillover) adalah panen sering dengan skala peniruan sangat tinggi (90%), sedangkan komponen teknologi lainnya masih bervariasi antara 30-40%. Menurut Arifin Nu’mang agar regulasi dan kebijakan kakao ditinjau ulang sebab selama ini dalam program nasional pengembangan kakao petani diharuskan menggunakan bibit hasil SE, padahal bibit local banyak yang dikembangkan oleh penangkar bibit dan telah disertifikasi. Selanjutna Nu’mang mengatakan bahwa program gerakan nasional dari pemerintah pusat tidak lebih dari unsur menopoli dagang.
23
Tabel 4. Komponen teknologi Kakao, aspek pertimbangan dan Urutan Prioritas, 2011 Kab. Luwu No.
A. 1. 2. 3.
4.
5. 6. 7. B. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. C. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Komponen Teknologi
PEREMAJAAN Klon Unggul Hasil SE Instruksi/Kebijakan Ukuran Lubang Tanam Mudah diterapkan, tidak rumit Teknologinya tersedia dan murah Jarak Tanam Mudah diterpkan tdak rumit Produksinya lebih tinggi Menguntungkan Pemangkasan Mudah diterapkan, tidak rumit Produksinya lebih tinggi Instruksi/kebijakan Penggunaan Pohon Pelindung Mudah diterpkan tidak rumit Resiko kegagalannya rendah Penggunaan NPK tablet Produksinya lebih tinggi Menguntungkan Pengendalian OPT Resiko kegagalannya rendah Instruksi/kebijakan REHABILITASI Entries asal klon unggul Menguntungkan Produksinya lebih tinggi Sambung samping Mudah diterpkan tidak runit Teknologinya tersedia dan murah Sambung Pucuk Produksinya lebih tinggi Menguntungkan Penggunaan NPK tablet Penggunaan Pohon Pelindung Pemangkasan Pengendalian OPT INTENSIFIKASI Penggunaan Pohon Pelindung Penggunaan NPK tablet Pengendalian OPT Instruksi/kebijakan Menguntungkan Drainase Mudah diterapkan Resiko kegagalannya rendah Sanitasi Produksinya lebih tinggi Mudah diterapkan Pemangkasan Panen Sering Menguntungkan Mudah diterapkan Pasca Panen/Fermentasi Instruksi/kebijakan Resiko Kegagalannya rendah Dorongan Penerapan Teknologi Inisiatif Sendiri Mengikuti petani tetangga Dorongan Penyuluh/aparat/ Peneliti Mengikuti kesepakatan kelompok
Priori tas
Petani (%)
Kab. Luwu Utara Priori tas
100,0 VI
Petani (%)
100,0 IV
43,0 32,0 V
49,0 39,0 V
43,3 23,3 12,4 I
61,2 11,4 11,9 VI
47,9 35,0 10,0 IV
68,3 21,1 9,1 I
67,2 32,8 II
62,4 12,6 II
62,8 36,3 III
62,1 27,9 III
65,7 23,2
66,3 22,7 III
73,9 24,0 II
80,1 12,9 II
76,9 23,1 I III IV V I
77,4 19,6 I
82,0 18,0 65,5 23,1
II
IV V VI I II
71,2 19,8
III 68,2 29,8
III IV V
86,5 12,5 -
89,0 11,0 IV
62,7 30,0 -
91,0 9,0 V
82,9 17,1 VI
88,0 12,0 VI
87,9 12,1
89,4 10,6
20,0 15,0 80,0 21,0
19,0 16,0 69,9 11.2
24
4.4. Spill Over Teknologi Hasil-hasil penelitian yang didesiminasikan dan diadopsi disuatu daerah tertentu, memungkinkan juga untuk diadopsi di wilayah lain tanpa adanya investasi langsung, fenomena inilah yang dikenal dengan spillovers (Arsanti, 2009). Menurut (Hendayana et al., 2009) pada dasarnya, spillovers merupakan proses penyebaran teknologi. Untuk lebih tajam melihat terjadi atau tidaknya proses ini, perlu dilakukan analisis terhadap dampak yang ditimbulkannya. Dampak tersebut dapat dilihat dari dua pendekatan, yaitu dampak secara makro berupa antara lain perubahan produktivitas dan kesejahteraan masyarakat, maupun dampak secara mikro antara lain berupa peningkatan produksi dan keuntungan usahatani. Pada Tabel 5 dapat dilihat phenomena spillovers dengan menganalisis komponen teknologi yang ditiru oleh petani lain dalam lingkungan agroekosistem yang sama. Seperti yang terjadi di Kabupaten Pangkep bahwa komponen teknologi yang diadopsi petani hanya ada 5 komponen yaitu penggunaan VUB padi, benih bermutu/berlabel, tanam 2-3 batang per rumpun, system tanam jajar legowo, dan panen tepat waktu. Penggunaan VUB merupakan komponen teknologi tertinggi yang ditiru oleh petani lain dengan skala peniruan tinggi (70%) di Kabupaten Pangkep dan 65% di Kabupaten Bone. Varietas unggul merupakan salah satu komponen paket teknologi budidaya padi yang secara nyata dapat meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani baik di Kabupaten Pangkep maupun di Kabupaten Bone. Menurut Sembiring (2008) varietas unggul merupakan salah satu teknologi inovatif yang handal untuk meningkatkan produktivitas padi, baik memalalui peningkatan potensi maupun toleran terhadap cekaman biotic dan abiotik. Varietas padi juga termasuk teknologi yang mudah diodopsi karena teknologinya murah dan penggunaannya sangat praktis (Badan Litbang Pertanian, 2007). Oleh karena itu, perlu ada usaha untuk merakit varietas pa di sawah dengan potensi hasil lebih tinggi dari varietas yang ada untuk mencukupi kebutuhan pangan khususnya beras. Komponen teknologi Kemudian diikuti oleh system tanam jajar legowo yang 76% di Kabupaten Pangkep. Komponen teknologi panen tepat waktu dan gabah segera dirontok ditiru oleh petani dengan skala peniruan sangat tinggi yaitu
85%
dan
82%
masing
di
Kbupaten
Pangkep
dan
Bone.
25
Tabel 5. Teknologi Padi yang ditiru petani lain di Kab. Pangkep dan Kab. Bone, 2011 No. Komponen Teknologi
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10 11. 12. 13.
Skala Peniruan (%) Kab. Pangkep
Urutan
Penggunaan VUB Benih Bermutu/Berlabel Tanam Muda (< 21 hari) Tanam 2-3 batang per rumpun Sistem Tanam Jajar Legowo Pemupukan N Berdasarkan BWD Pemupukan P dan K Berdasarkan PUTS Pengendalian OPT Berdasarkan Konsep PHT Pengendalian Gulma Secara Terpadu Pengairan Berselang Pemberian Pupuk Organik Penyiangan dengan landak atau gasrok Panen Tepat waktu dan gabah segera dirontok
Skala Peniruan (%) Kab. Bone
Sangat Rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat Tinggi
-
10 15 10 -
20 50 24 14 -
70 35 76 78 -
8 -
-
-
-
-
9 -
-
-
-
-
-
-
-
-
15
85
Urutan
I III II IV
VI
Sangat Rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat Tinggi
-
15 21 12
26 33 22 36 -
65 45 23 28 -
-
---
-
-
43 82
-
26
Tabel 6 dapat dilihat sebaran atau distribusi skala peniruan komponen teknologi jagung di Kabupaten Jeneponto dan Bone. Komponen teknologi yang diadopsi petani dengan baik hanya ada 6 komponen di Kabupaten Jeneponto dan 5 komponen di Kabupaten Bone, yaitu penggunaan varietas, benih bermutu/berlabel, populasi tanaman, hama/penyakit, pengolahan lahan, dan panen tepat waktu. Secara lengkap phenomena
spillovers dapat dilihat dalam Tabel 6. Penggunaan varietas merupakan komponen teknologi tertinggi yang ditiru oleh petani lain dengan skala peniruan tinggi (56,2%) di Kabupaten Jeneponto dan 62,1% di Kabupaten Bone. Sedangkan skala peniruan lainnya bervariasi dari rendah hingga sedang dengan persentase yang beragam. Penomena spillover yang terjadi di Kabupaten Jeneponto yaitu adanya perubahan produktivitas, biaya produksi, pendapatan petani. Menurut petani
(Dg Bella) Pada
bulan Maret 2010 dilakukan panen jagung dengan produktivitas rata-rata mencapai 6,2 t/ha, produktivitas tertinggi mencapai
6,8 t/ha, terendah 5,7 t/ha.
Produktivitas jagung yang dicapai petani sebelum menggunakan pendekatan Prima Tani hanya mencapai 3,5 t/ha, berarti terjadi peningkatan produktivitas jagung 2,7 t/ha atau 177,1%.
Perbedaan tingkat produktivitas lebih banyak dipengaruhi oleh penggunaan
varietas. Varietas hibrida NK-33 cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan hibrida Bisi2 yaitu masing-masing
6,3-6,8 t/ha dan 5,7 – 6,2 t/ha. Berarti pada Lokasi primatani
ada penomena spillover komoditas atau varietas. Salah satu komponen teknologi yang skala peniruannya cukup tinggi adalah Penanganan panen dan pascapanen; ciri-cirinya, daun di bawah tongkol diambil/dipanen pada saat tongkol telah mulai berisi, dan brangkasannya dimanfaatkan sebagai pakan ternak sapi. Pengambilan daun di bawah tongkol selain untuk pakan juga untuk mencegah terserangnya penyakit busuk daun. Demikian juga sebelum panen dilakukan pemangkasan bagian tanaman di atas tongkol pada saat biji telah mencapai masak fisiologis atau kelobot mulai mengering (berwarna coklat). Panen sebaiknya dilakukan dalam kondisi cuaca cerah, kadar air biji mencapai + 30% (biji telah mengeras dan telah membentuk lapisan hitam/black layer minimal 50% di setiap barisan biji). Selanjutnya tongkol dijemur sampai kadar air biji mencapai + 20% dan dipipil dengan menggunakan alat pemipil. Hasil biji pipilan dijemur lagi sampai kadar air mencapai 14-15% untuk siap dijual.
27
Tabel 6. Teknologi Jagung yang ditiru petani lain di Kab. Jeneponto dan Bone, 2011 No.
Skala Peniruan (%) Kab. Jeneponto
Urutan Komponen Teknologi
Skala Peniruan (%) Kab. Bone
Sangat Rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat Tinggi
Urutan
Sangat Rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat Tinggi
1.
Penggunaan Varietas
I
-
19,1
14,8
56,2
10,9
I
-
-
25,5
62,1
12,4
2.
Benih Berlabel
II
-
-
28,9
39,1
31,0
II
-
-
33,1
57,9
9,0
3.
Pengolahan Lahan
V
-
21,0
49,9
29,1
-
VI
-
21,0
69,4
9,6
-
4.
Populasi 66.000-75.000 tanaman/Ha
III
-
46,2
53,8
-
-
III
19,9
21,1
59,0
-
-
5.
Pembuatan draenase
34,2
33,2
32,6
-
-
28,8
30,5
40,7
-
-
6.
Pembumbunan
-
43,2
56,8
-
-
-
42,4
57,6
-
-
7.
Hama/Penyakit
-
39,8
51,2
9,0
-
-
44,4
55,6
-
-
8.
Pemupukan dengan BWD
34,9
34,1
31,0
-
-
-
-
63,3
36,7
-
9.
Pemupukan Organik
67,3
23,7
9,0
-
-
-
41,7
52,3
6,0
-
10
Panen Tepat Waktu
22,4
43,6
34,0
-
-
-
-
67,3
32,7
-
VI
V
28
Jika kondisi cahaya matahari tidak memungkinkan untuk menurunkan kadar air biji karena cuaca mendung selama beberapa hari, maka untuk mempercepat pengeringan digunakan alsin pengering agar tidak timbul jamur/rusak. Alsin pengering yang digunakan bertipe flat bade yang berbahan bakar minyak tanah/solar/janggel jagung. Panen tepat waktu banyak ditiru
di Kabupaten Bone dan Jeneponto dengan skala
peniruan sedang masing-masing 63,3% dan 58%. Komponen teknologi Pembuatan saluran drainase termasuk komponen yang banyak ditiru petani di Kabupaten Bone dengan peniruan sedang yang mencapai 40,7%. Hal ini disebabakan karena tanaman jagung selain peka terhadap kekeringan juga peka terhadap kelebihan air. Dalam kondisi curah hujan yang tinggi, air yang menggenang akan menyebabkan tanaman jagung layu dan mati. Untuk mengantisipasi terjadinya genangan air pada pertanaman baik pada
lahan sawah maupun pada lahan kebun.
dilakukan pembuatan saluran drainase. Pembuatan saluran drainase dilakukan pada setiap dua baris tanaman. Saluran drainase dikerjakan bersamaan dengan penyiangan pertama (14-20 hst) untuk penghematan tenaga. pembuatan saluran dilakukan secara manual. Kegiatan ini sekaligus dilakukan untuk pembumbunan tanaman. Pada Tabel 7 dapat dilihat distribusi komponen teknologi atau persentase skala peniruan oleh petani kakao di Kabupaten Luwu dan Luwu Utara. Pada kegiatan peremajaan klon unggul hasil SE kurang mendapat respon dari petani baik di Kabupaten Luwu maupun di Luwu Utara. Komponen teknologi ukuran lubang tanam pada kegiatan peremajaan direspon oleh petani di Kabupaten Luwu Utara dengan skala peniruan tinggi (28,0%). Kemudian diikuti komponen teknologi jarak tanam dengan skala peniruan sedang (24,5%). Sedangkan di Kabupaten Luwu komponen teknologi pemangkasan meruapakan yang tertinggi ditiru oleh petani setempat dengan skala peniruan tinggi 28,9%. Kemudian diikuti oleh penggunaan pohon pelindung dan penggunaan NPK tablet dengan skala peniruan sedang dan porsentase masing-masing 26,4% dan 28,9%.
29
Tabel 7. Teknologi Kakao yang ditiru petani lain di Kab. Luwu dan Luwu Utara No.
Skala Peniruan (%) Kab. Luwu
Urutan Komponen Teknologi
A.
PEREMAJAAN
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Klon Unggul Hasil SE Ukuran Lubang Tanam Jarak Tanam Pemangkasan Penggunaan Pohon Pelindung Penggunaan NPK tablet Pengendalian OPT
B.
REHABILITASI
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Entries asal klon unggul Sambung samping Sambung Pucuk Penggunaan NPK tablet Penggunaan Pohon Pelindung Pemangkasan Pengendalian OPT
C.
INTENSIFIKASI
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Penggunaan Pohon Pelindung Penggunaan NPK tablet Pengendalian OPT Drainase Sanitasi Panen Sering Pasca Panen/Fermentas
II I IV III V
Skala Peniruan (%) Kab. Luwu Utara
Sangat Rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat Tinggi
-
10,5 18,9 -
25,5 12,4 12,1 26,4 28,9 -
27,0 15,7 28,9 15,6 18,1 -
-
8,0 8,0 14,0
12,0 8,2 12,0 10,0 -
10,0 28,8 30,0 18,0
58,2 20,0 38,0 38,0 78,0 50,0
46,4 41,8 34,0 8,0 9,0 8,0 18,0
-
9.0 -
28,0 23,0 10,0 10,0 8,0
8,0 25,0 30,0 9,0 10.0 10,0 8,0
18,0 16,0 -
Urutan
V IV
I III II
Sangat Rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat Tinggi
-
10,9 12,4 -
22,3 24,5 12,0 17,2 16,3 -
28,0 20,9 20,1 16,2 17,8 -
-
-
16,2 12,9 9,0 15,5 10,2 -
11,4 12.3 20,9 29,8 20,4
38,2 18,5 26,7 30,9 69,8 59,8
60,3 45,2 37,1 9.0 9,0 10,0 12,7
-
10,0 9,0 -
30,0 22,5 22,4 10,0 11,2 8,5
8,6 22,1 36,6 9,0 20,3 18,2 -
20,0 16,4 -
30
Dalam kegiatan rehabilitasi kakao di Kabupaten Luwu dan Luwu Utara penggunaan entries asal klon unggul sudah diadopsi dengan baik oleh petani setempat, skala peniruan sangat tinggi dengan persentase masing-masing 46,4% dan 60,3%. Komponen teknologi sambung samping dan sambung pucuk sudah sangat memasyarakat di kedua kabupaten tersebut. Menurut petani setempat Kebun yang direhabilitasi itu kondisinya bagus, tanamannya disambung dengan entres salah satu dari lima klon unggul, yaitu Sulawesi-1, Sulawesi-2, Sca-6, ICCRI-03, dan ICCRI-04. Morfologi tanamannya sangat bagus, bunga itu tumbuh sekitar 18-19 cm di atas permukaan tanah. Saat ini belum panen, mungkin satudua bulan ke depan sudah ada yang dipanen, Per tanaman itu bisa panen di atas 19-22 buah matang. Sebagai catatan itu baru panen perdana. Selanjutnya tanaman
itu
terus
berbunga.
Selama
tanaman
tersebut
dipupuk
dan
pemeliharaannya bagus akan terus berbunga. Itulah kelebihan sambung samping Bila perawatan tetap bagus, akumulasi produksinya dapat mencapai 1—2 ton per ha (Palupi, 2011). Pada Tabel 8 dapat dilihat bahwa sebagian besar komponen teknologi padi hanya ditiru oleh petani di luar kelompok dalam desa yang sama, sebagian lagi oleh petani desa tetangga dalam satu kecamatan yang sama, dan sebagian kecil petani luar kecamatan dalam kabupaten yang sama. Belum ada petani dari luar kabupaten yang meniru teknologi tersebut. Pada Tabel 9 dapat dilihat bahwa sebagian besar komponen teknologi jagung juga hanya ditiru oleh petani di luar kelompok dalam desa yang sama, sebagian lagi oleh petani desa tetangga dalam satu kecamatan yang sama, dan sebagian kecil petani luar kecamatan dalam kabupaten yang sama. Belum ada petani dari luar kabupaten yang meniru teknologi tersebut. Pada Tabel 10 dapat dilihat komponen teknologi dengan variasi asal petani yang meniru teknologi tersebut. Pada kegiatan peremajaan semua komponen teknologi pada umumnya ditiru oleh petani dari luar kelompok dalam desa yang sama, dan petani desa tetangga dalam kecamatan yang sama. Sedangkan pada kegiatan rehabilitasi daehah asal petani yang meniru cukup beragam mulai dari petani di luar kelompok dalam desa yang sama sampai pada petani luar propinsi, bahkan ada petani dari luar negeri.
31
Tabel 8. Komponen Teknologi Padi (Daerah Asal Petani Yang Meniru) No.
Komponen Teknologi
Kab. Pangkep/ Aspek Yang Dipertimbangkan
Urutan a
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10 11. 12. 13. 14.
Penggunaan VUB III 14 Benih Bermutu/Berlabel V 13 Tanam Muda (< 21 hari) 16 Tanam 2-3 batang per rumpun IV 22 Sistem Tanam Jajar Legowo I 24 Pemupukan N Berdasarkan BWD 15 Pemupukan P dan K Berdasarkan PUTS Pengendalian OPT Berdasarkan Konsep PHT Pengendalian Gulma Secara Terpadu Pengairan Berselang Pemberian Pupuk Organik 15 Penyiangan dengan landak atau gasrok 18 Panen Tepat waktu dan gabah segera II 24 dirontok Keterangan : a. Petani di luar kelompok dalam desa yang sama b. Petani desa tetangga dalam satu kecamatan yang sama c. Petani luar kecamatan dalam kabupaten yang sama d. Petani luar propinsi e. Petani luar kabupaten dalam propinsi yang sama
Kab. Bone/ Aspek yang dipertimbangkan
Urutan
b
c
d
e
a
b
c
d
E
3 4 10 9 -
6 6 4 -
-
4 -
16 18 18 24 20 14 -
6 2 3 -
8 9 2 5 -
-
-
12
8 -
-
-
10
11 12
9 -
-
-
32
Tabel 9. Komponen Teknologi Jagung (Daerah Asal Petani Yang Meniru) No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10
Komponen Teknologi Penggunaan Varietas Benih Berlabel Pengolahan Lahan Populasi 66.000-75.000 tanaman/Ha Pembuatan draenase Pembumbunan Hama/Penyakit Pemupukan dengan BWD Pemupukan Organik Panen Tepat Waktu
Keterangan : a. Petani b. Petani c. Petani d. Petani e. Petani
Kab. Jeneponto/ Aspek Yang Dipertimbangkan
Urutan I II III V IV
Kab. Bone/ Aspek yang dipertimbangkan
Urutan
a
b
c
d
e
18 12 16 24 8 8 19 4 12 23
4 8 6 9 2 2 12 3 2 2
3 3 5 5 8 -
-
-
I II III IV V
a
b
c
d
E
20 20 18 16 8 10 16 2 2 3
4 4 8 8 3 5 7 5 8 -
8 8 4 5 8 6 -
-
-
di luar kelompok dalam desa yang sama desa tetangga dalam satu kecamatan yang sama luar kecamatan dalam kabupaten yang sama luar propinsi luar kabupaten dalam propinsi yang sama
33
Tabel 10. Komponen Teknologi Kakao (Daerah Asal Petani Yang Meniru) No.
Komponen Teknologi
A.
PEREMAJAAN
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. B. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. C. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Klon Unggul Hasil SE Ukuran Lubang Tanam Jarak Tanam Pemangkasan Penggunaan Pohon Pelindung Penggunaan NPK tablet Pengendalian OPT Pupuk Organik REHABILITASI Entries asal klon unggul Sambung samping Sambung Pucuk Penggunaan NPK tablet Penggunaan Pohon Pelindung Pemangkasan Pengendalian OPT Pupuk Organik INTENSIFIKASI Penggunaan Pohon Pelindung Penggunaan NPK tablet Pengendalian OPT Drainase Sanitasi Panen Sering Pasca Panen/Fermentasi Pupuk Organik
Urutan
IV III II I V
Kab. Luwu/ Aspek Yang Dipertimbangkan a
b
c
d
e
16 12 28 22 14 24 6
22 15 14 14 6
-
-
-
30 76 28 52 53 54 55 14
29 68 21 50 47 48 46 18
22 36 8 23 11 24 25 14
8 6 3 2 2 12 8 14
8 15 12 6 8 12 14 14
14 15 16 16 6 8 6
14 9 8 8 10 6
8 15 8 16 6 8 6
8 8 6
8 8 6
Kab. Luwu Utara/ Aspek yang dipertimbangkan
Urutan
V IV I II III
V I II III IV
a
b
c
d
E
18 14 24 20 25 8 8
11 13 11 14 16 8
10 8 10 10 12 8
-
-
28 78 62 50 40 42 43 16
10 8 12 14 10 60 16
26 22 29 18 14 48 38 14
10 8 8 3 9 12 12 6
14 16 18 8 8 16 19 16
18 18 10 19 16 8 6
16 7 7 7 12 -
8 15 9 16 15 9 8
8 9 8
13 12 8
Keterangan : a. Petani di luar kelompok dalam desa yang sama, b. Petani desa tetangga dalam satu kecamatan yang sama c. Petani luar kecamatan dalam kabupaten yang sama, d. Petani luar propinsi, e. Petani luar kabupaten dalam propinsi yang sama
34
Disamping dampak yang disebutkan di atas, proses spillover karena adanya investasi dibidang penelitian dan pengembangan, akan berkontribusi terhadap pembentukan wilayah spesifik dan ekspansi tanaman ke dalam wilayah baru. Pada Tabel 11 dapat dilihat secara lengkap proses terjadinya spillover, yaitu komponen teknologi yang dominan ditiru oleh petani di luar kelompok dalam desa yang sama adalah system tanam jajar legowo, kemudian tanam 2-3 batang per rumpun, dan panen tepat waktu dan segera dirontok. Daerah asal petani yang dominan meniru komponen teknologi padi, yaitu petani desa tetangga dalam satu kecamatan yang sama, dan petani luar kecamatan dalam kabupaten yang sama. Komponen teknologi yang peniruannya di bawah satu tahun adalah tanam 2-3 batang per rumpun, dan system tanam jajar legowo. Pada table 12 komponen teknologi jagung daerah asal petani yang meniru cukup beragam yaitu komponen teknologi yang dominan ditiru oleh petani di luar kelompok dalam desa yang sama di Kabupaten Jeneponto adalah populasi tanaman 660.000-75.000 tanaman/ha dengan jarak tanam 75x20 cm 1 tanaman/lubang atau 75x40 cm 2 tanaman/lubang. Kemudian penggunaan varietas unggul, dan benih berlabel.
Asal petani yang dominan meniru
komponen teknologi jagung, yaitu petani desa tetangga dalam satu kecamatan yang sama, dan petani luar kecamatan dalam kabupaten yang sama. Sementara di Kabupaten Bone komponen teknologi yang dominan ditiru dengan urutan prioritas adalah penggunaan varietas, pengunaan benih berlabel, populasi tanaman, pengolahan lahan dan pengendalian hama penyakit. Petani yang banyak meniru adalah petani desa tetangga dalam satu kecamatan yang sama dengan variasi 3-8 orang petani. Adanya spillover seringkali menyebabkan terjadinya kesulitan dalam memperhitungkan perubahan produktivitas, apakah perubahan tersebut berasal dari inovasi di suatu wilayah ataukah berasal dari proses spillover yang berkelanjutan. Dengan demikian, maka indentifikasi pola spillover secara lebih detail, dapat dilakukan dengan mempertimbangkan penyebarannya. Pada table 11, 12, dan Tabel 13
waktu dan jangkuan
dapat dilihat berapa lama
waktu diperlukan untuk peniruan suatu teknologi. Petani biasanya tidak akan mencontoh sesuatu sebelum melihat nyata dilapangan.
35
Tabel 11. Waktu yang Diperlukan petani untuk Peniruan Teknologi Padi (lama peniruan) Kab. Pangkep/Aspek Yang Dipertimbagkan
No.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Komponen Teknologi
< 1 thn
Penggunaan VUB Benih Bermutu/Berlabel Tanam Muda (< 21 hari) Tanam 2-3 batang per rumpun Sistem Tanam Jajar Legowo Pemupukan N Berdasarkan BWD Pemupukan P dan K Berdasarkan PUTS Pengendalian OPT Berdasarkan Konsep PHT Pengendalian Gulma Secara Terpadu Pengairan Berselang Pemberian Pupuk Organik Penyiangan dengan landak atau gasrok Panen Tepat waktu dan gabah segera dirontok
0 60 0 68,12 15,15 0 0 0 0 0 20 0 80,25
1 thn
2 thn
4 thn
< 1 thn
1 thn
2 thn
3 thn
4 thn
45 30 25 20 20 0 21,08 57,16 11,76 12,44 19,44 0 72,12 12,74 0 18,08 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0
12 30 12 16 18 12 19 -
22 63 21 11 12 23 12 -
40 32 21 12 12 14 32 -
-
-
0 0 0 0 19,75
0 0 0 0 0
20 60
25 20
32 10
-
-
0 0 0 0 0
3 thn
Kab. Bone/Aspek Yang Dipertimbangkan
0 0 0 0 0
36
Tabel 12. Waktu yang Diperlukan petani untuk Peniruan Teknologi Jagung (lama peniruan) Kab. Jeneponto/Aspek Yang Dipertimbagkan
No.
Komponen Teknologi
Kab. Bone/Aspek Yang Dipertimbangkan
< 1 thn
1 thn
2 thn
3 thn
4 thn
< 1 thn
1 thn
2 thn
3 thn
4 thn
1.
Penggunaan Varietas
12
32
9
-
-
8
54
21
-
-
2.
Benih Berlabel
30
43
7
-
-
50
21
11
-
-
3.
Pengolahan Lahan
32
32
6
-
-
32
11
9
-
-
4.
Populasi 66.000-75.000 tanaman/Ha
-
40
4
-
-
12
11
6
-
-
5.
Pembuatan draenase
32
43
21
-
-
12
32
4
-
-
6.
Pembumbunan
21
54
12
-
-
23
43
8
-
-
7.
Hama/Penyakit
14
43
11
-
-
11
43
23
-
-
8.
Pemupukan dengan BWD
13
23
8
-
-
34
21
11
-
-
9.
Pemupukan Organik
-
21
8
-
-
-
43
40
-
-
10.
Panen Tepat Waktu
21
12
12
-
-
-
60
11
-
-
37
Tabel 13. Waktu yang Diperlukan petani untuk Peniruan Teknologi Kakao (lama peniruan)
Komponen Teknologi
No.
Kab. Pangkep/Aspek Yang Dipertimbagkan
Kab. Bone/Aspek Yang Dipertimbangkan
< 1 thn
1 thn
2 thn
3 thn
4 thn
< 1 thn
1 thn
2 thn
3 thn
4 thn
14 16 16 10 8 8
15 13 -
-
22 -
-
A.
PEREMAJAAN
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. B.
Klon Unggul Hasil SE Ukuran Lubang Tanam Jarak Tanam Pemangkasan Penggunaan Pohon Pelindung Penggunaan NPK tablet Pengendalian OPT Pupuk Organik REHABILITASI
15 14 14 16 12 8
10 6 -
-
16 -
-
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Entries asal klon unggul Sambung samping Sambung Pucuk Penggunaan NPK tablet Penggunaan Pohon Pelindung Pemangkasan Pengendalian OPT Pupuk organik INTENSIFIKASI
35 45 22 68 52 68 58 12
25 32 24 34 22 30 12
14 12 -
12 18 8 8 8
-
38 53 23 69 70 67 68 22
32 21 12 22 32 29 30 24
16 14 -
22 21 12 10 10
-
Penggunaan Pohon Pelindung Penggunaan NPK tablet Pengendalian OPT Drainase Sanitasi Panen Sering Pasca Panen/Fermentasi Pupuk Organik
44 65 58 8
30 22 30 8
10 -
8 33 -
-
60 70 56 10
30 22 35 42 12
18 55 -
22 25 -
-
C. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
38
Dari kecamatan Bungoro Kabupaten Pangkep terjadi spillover teknologi padi ke Kecamatan Minasa Te’ne dan kecamatan Labbakkang. Terjadinya spillover ini terutama karena kesamaan biofisik dimana kedua kecamatan tersebut memiliki kesamaan agroekosistem. Jenis spillover yang dominan adalah
spillover antar wilayah, yaitu peniruan teknologi oleh petani di luar desa. Sedangkan spillover harga hanya terjadi 22%, yaitu adanya peningkatan harga beras pada beberapa varietas khususnya cigeulis. Faktor pendorong lain terjadinya spillover adalah karena teknologinya mudah ditiru, yaitu mencapai 69%, kemudian diikuti oleh biaya penerapan teknologi murah 50%. Pada Tabel 14 dapat dilihat jenis dan factor pendorong spillover teknologi padi
jenis spillover yang dominan adalah spillover antar komoditas masing-
masing 60% dan 58% di Kabupaten Pangkep dan Kabupaten Bone. Sedangkan factor pendorong spillover yang paling tinggi persentasenya adalah karena produktivitasnya lebih tinggi, yaitu mencapai 81% di Kabupaten Pangkep dan 80% di Kabupaten Bone. Kemudian diikuti oleh factor pendorong teknologinya mudah ditiru masing-masing 69% dan 67% terjadi di Kabupaten Pangkep dan Kabupaten Bone. Tabel 14. Jenis dan Faktor Pendorong Spillover Teknologi Padi di Pangkep dan Bone, 2011 No.
Spillover
1.
Jenis Spillover - Spillover Harga - Spillover antar wilayah - Spillover antar Komoditas
2.
Faktor -
Pendorong Spillover Kesamaan agroekosistem Kesamaan social budaya Teknologinya mudah ditiru Biaya Penerapan Teknologi Murah Produktivitasnya lebih tinggi Termotivasi oleh petani lain Promosi Sosialisasi Lainnya
Kab. Pangkep
Petani (%) Kab. Bone
22,0 18,0 60,0
20,0 22,0 58,0
57 19 69 50
76 11 67 40
81 39 16 21 6
80 43 11 12 4
39
Demikian pula pada Tabel 15 jenis spillover antar komoditas jagung di Kabupaten Jeneponto dan Bone dengan persentase masing-masing 54% dan 58%. Sedangkan factor pendorong spillover adalah karena produktivitasnya lebih tinggi dengan persentase masing-masing 61% dan 70%. Kemudian diikuti oleh teknologinya mudah ditiru. Tabel 15. Jenis dan Faktor Pendorong Spillover Teknologi Jagung di Jeneponto, 2011 No.
Petani (%) Spillover
1.
Jenis Spillover - Spillover Harga - Spillover antar wilayah - Spillover antar Komoditas
2.
Faktor -
Pendorong Spillover Kesamaan agroekosistem Kesamaan social budaya Teknologinya mudah ditiru Biaya Penerapan Teknologi Murah Produktivitasnya lebih tinggi Termotivasi oleh petani lain Promosi Sosialisasi Lainnya
Kab. Jeneponto 28,0 18,0 54,0 40 18 60 36 61 35 16 21 4
Pada Tabel 16 dapat juga dilihat jenis spillover pada komoditas kakao yang umum terjadi adalah spillover antar wilayah yang mencapai 85,0% dan 80,0% masing-masing di Kabupaten Luwu dan Luwu Utara. Hal ini terlihat dari skala peniruan teknologi oleh petani yang pada umumnya dari luar desa. Factor pendorong spillover adalah produktivitasnya lebih tinggi yang mencapai 78% dan 80% masing-masing di Kabupaten Luwu dan Luwu Utara, kemudian diikuti oleh factor pendorong teknologinya mudah ditiru yang masing-masing mencapai 69% dan 67%. Factor pendorong spillover lainnya bervariasi antara dua kabupaten. Namun demikian yang dominan spillover antar wilayah, terjadi juga spillover harga yaitu masing-masing 10% dan 18%. Menurut Petani, tidak hanya produksi yang naik, tetapi harga jual juga lebih baik. ―Dulu harganya Rp15.000—Rp18.000 per kg, sekarang meningkat sedikit antara Rp18.000—Rp20.000 per kg karena mutunya biji agak bagus. Biji kakao tidak mengeras,. Kerasnya biji kakao ini, kata
40
dia, akibat hama penggerek buah kakao (PBK). Pasca rehabilitasi, PBK (Conopomorpha cramerella) belum muncul lagi. Intensifnya perawatan tanaman oleh petani sehingga lingkungan kebun tidak kondusif bagi perkembangan hama utama kakao ini. Hal ini menujukkan bahwa karena perawatan kebun yang baik dapat memberi efek spillover harga di Kabupaten Luwu Utara. Tabel 16. Jenis dan Faktor Pendorong Spillover Teknologi Kakao di Luwu dan Luwu Utara, 2011 No.
Petani (%) Spillover
1.
Jenis Spillover - Spillover Harga - Spillover antar wilayah - Spillover antar Komoditas
2.
Faktor Pendorong Spillover - Kesamaan agroekosistem - Kesamaan social budaya - Teknologinya mudah ditiru - Biaya Penerapan Teknologi Murah - Produktivitasnya lebih tinggi - Termotivasi oleh petani lain - Promosi - Sosialisasi - Lainnya
Kab. Luwu
Kab. Luwu Utara
10,0 85,0 5,0
18,0 80,0 2,0
58 28 69 52 78 42 6 26 7
66 22 67 40 80 54 12 8 4
4.5. Alur Adopsi Teknologi Desiminasi menjadi
ujung tombak
penyampaian
berbagai
inovasi
teknologi padi kepada pengguna. Selama tahun 2005-2009, BB padi sebagai sumber inovasi teknologi telah melakukan beberapa kegiatan desiminasi dan beruapaya terus-menerus
menyebarluaskan informasi hasil
penelitian
ke
pengguna. Secara rinci dapat dilihat sumber informasi teknologi masing-masing komoditas. Pada Tabel 17, 18, dan Tabel 19 dapat dilihat variasi persentasenya. Alur adopsi teknologi termasuk salah satu elemen lembaga yang dikembangkan dalam pelaksanaan Prima Tani. Lembaga tersebut berperan menjadi wadah untuk menampung permasalahan dan ketersediaan inovasi teknologi pertanian yang dibutuhkan oleh pelaku agribisnis. Inovasi teknologi pertanian tersebut berupa teknologi produksi, pasca panen, sosial kelembagaan sampai pada pemasaran. Inti dari peran lembaga ini adalah lebih mendekatkan
41
sumber-sumber informasi teknologi pertanian kepada pengguna, khususnya petani dan sekaligus menjadi wahana untuk mendapatkan umpan balik untuk penyempurnaan penyelenggaraan penelitian, pengkajian dan desiminasi. Pelayanan informasi melalui lembaga tersebut
dilakukan melalui tiga
kegiatan uatama yaitu: (1) penyebaran informasi secara tertulis maupun lisan; (2) pemberian jasa konsultasi; dan (3) pelayanan pemecahan masalah di lapangan usahatani. Tabel 17. Sumber Teknologi menurut petani Responden di Pangkep dan Bone, 2011 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Sumber Informasi Teknologi Dari Peneliti/ Penyuluh BPTP Dari Peneliti Balai Penelitian Dari Penyuluh BPP Dari Pejabat Bakorluh/Bapeluh Dari Aparat Dinas Teknis Terkait Dari Sesama Petani Dalam Desa Dari Petani Luar Desa Tokoh Masyarakat Perguruan Tinggi Swasta Lainnya
Kab. Pangkep Petani (%) 60 10 86 40 30 10 20 -
Urutan II I III IV V
Kab. Bone Petani (%) 68 12 88 40 25 10 20 -
Urutan II I III IV V -
Pada Tabel 17 lembaga yang paling berperan sebagai sumber teknologi adalah penyuluh BPP 86% dan 88%. Kemudian diikuti oleh peneliti/penyuluh BPTP sebesar 60% dan 68% dan urutan prioritas ketiga adalah aparat dinas teknis terkait. Sumber teknologi menurut petani responden di kabupaten Jeneponto dan Bone dapat dilihat pada Tabel 18. Menurut petani responden di Kabupaten Jeneponto dan Bone, yaitu penyulu BPP yang mencapai masing-masing 86% dan 68%, sumber teknologi urutan kedua adalah dari peneliti/penyuluh BPTP yang masing-masing mencapai 30% dan 58%, dan urutan prioritas ketiga adalah dari aparat dinas teknis terkait.
42
Tabel 18. Sumber Teknologi menurut petani responden di Jeneponto, 2011 No.
Sumber Informasi Teknologi
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Dari Peneliti/ Penyuluh BPTP Dari Peneliti Balai Penelitian Dari Penyuluh BPP Dari Pejabat Bakorluh/Bapeluh Dari Aparat Dinas Teknis Terkait Dari Sesama Petani Dalam Desa Dari Petani Luar Desa Tokoh Masyarakat Perguruan Tinggi Swasta Lainnya Selanjutnya pada Tabel 19
Kab. Jeneponto Petani (%) Urutan 30 25 IV 86 I 30 III 30 10 20 V 35 II 12 dapat dilihat variasi persentase sumber
teknologi, yaitu di Kabupaten Luwu Utara sumber teknologi utama adalah aparat dinas teknis terkait, kemudian diikuti oleh dari penyuluh BPP yang masingmasing mencapai 55% dan 52%. Sedangkan sumber teknologi pada
urutan
ketiga adalah dari sesama petani yang mencapai 25% di Kabupaten Luwu Utara. Sedangkan di Kabupaten Luwu sumber teknologi pada prioritas ketiga adalah dari aparat dinar terkait yang mencapai 40%. Tabel 19. Sumber Teknologi menurut petani Responden di Luwu dan Luwu Utara, 2011 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Sumber Informasi Teknologi Dari Peneliti/ Penyuluh BPTP Dari Peneliti Balai Penelitian Dari Penyuluh BPP Dari Pejabat Bakorluh/Bapeluh Dari Aparat Dinas Teknis Terkait Dari Sesama Petani Dalam Desa Dari Petani Luar Desa Tokoh Masyarakat Perguruan Tinggi Swasta Lainnya
Kab. Luwu Petani (%) 60 10 55 40 30 10 20 15 70 -
Kab. Luwu Utara
Urutan
Petani (%)
Urutan
II
25 12 52
II
III IV V VI I
70 25 10 20 8 -
I III IV -
Pada Tabel 20, 21 dan 22 tertera metode penyebaran teknologi pertanian dilakukan melalui media diseminasi. Media yang berperan besar dalam penyebaran teknologi di kabupaten Pangkep dan Bone (Tabel 20, dan 21) adalah
43
siaran TV dan radio setelah itu kunjungan lapang dan sekolah lapang. Peranan media tercetak tidak terlalu penting karena sebagian besar dari mereka mengatakan media tercetak hanya ditempelkan di kantor BPP atau di rumah kelompok tani saja. Tabel 20. Melalui media/metode Penyebaran Teknologi di Pangkep dan Bone, 2011 Kab. Pangkep No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19.
Jenis Media/Metode Pameran Demplot Gelar Teknologi Sekolah Lapang Temu Lapang Temu Informasi Temu Aplikasi Teknologi Temu Tugas Temu Agribisnis Klinik Teknologi Pertanian Mimbar Sarasehan Kunjungan Lapang Liptan/Leaflet/Brosur Poster Majalah Koran Petunjuk Teknis Siaran Radio Siaran Tv
Kab. Bone
Petani (%)
Volume
Urutan
Petani (%)
Volume
20 20 25 15 4 30 30 15 6 12 30 60
1 1 1 1 3 2 2 2 1 2 3 100
IV
15 25 25 25 20 12 5 25 32 33 8 8 1 8 40
2 4 6 8 2 1 1 1 1 4 3 2 2 1 1 1
III
V
II I
Urutan
IV V
III II
I
Peranan media diseminasi di kabupaten Luwu dan Luwu Utara (Tabel 22) menampilkan model yang berbeda dengan Pangkep, dan Bone. Metode penyebaran teknologi pertanian di kabupaten Luwu dan Luwu Utara didominasi oleh sekolah lapang dan temu lapang, kemudian diikuti oleh pameran. Beberapa Petani menjelaskan bahwa sekolah lapang dan kunjungan lapang sangat menarik karena secara langsung mereka dapat melihat terknologinya. Pameran sebagian besar disaksikan melalui kegiatan perayaan hari-hari besar yang dilaksanakan Pemda misalnya hari kemerdekaan RI, hari pangan, hari krida, PENAS dan lainlain.
44
Tabel 21. Melalui media / metode Penyebaran Teknologi di Jeneponto, 2011 Kab.Jeneponto No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19.
Jenis Media/Metode Pameran Demplot Gelar Teknologi Sekolah Lapang Temu Lapang Temu Informasi Temu Aplikasi Teknologi Temu Tugas Temu Agribisnis Klinik Teknologi Pertanian Mimbar Sarasehan Kunjungan Lapang Liptan/Leaflet/Brosur Poster Majalah Koran Petunjuk Teknis Siaran Radio Siaran Tv
Kab. Bone
Petani (%)
Volume
Urutan
Petani (%)
Volume
Urutan
15 20 20 30 20 20 22 12 25 25 30 12 12 14 60
2 2 2 3 2 3 3 3 2 3 5 4 4 9 20
V
15 25 25 25 20 12 5 25 32 33 8 8 8 40
2 4 6 8 2 1 1 1 4 3 2 2 1 1
V IV
II V IV V III
I
III VI
III II
I
Tabel 22. Melalui media / metode Penyebaran Teknologi di Luwu dan Luwu Utara, 2011 Kab. Luwu No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19.
Jenis Media/Metode Pameran Demplot Gelar Teknologi Sekolah Lapang Temu Lapang Temu Informasi Temu Aplikasi Teknologi Temu Tugas Temu Agribisnis Klinik Teknologi Pertanian Mimbar Sarasehan Kunjungan Lapang Liptan/Leaflet/Brosur Poster Majalah Koran Petunjuk Teknis Siaran Radio Siaran Tv
Kab. Luwu Utara
Petani (%)
Volume
Urutan
Petani (%)
Volume
Urutan
34 30 23 40 22 21 21 12 23 32 25 14 12 14 25
3 3 4 5 3 2 1 2 2 8 2 3 1 -
II IV
36 30 25 45 22 21 22 20 34 14 12 -
2 2 2 3 2 4 3 5 -
II IV V I VI
I
VI III
V
III -
45
Badan Litbang Pertanian, disadari ataupun tidak, telah berperan aktif dalam mendukung terjadinya proses spillover . upaya-upaya untuk menggali dan memanfaatkan dampak positif dari proses spillover perlu dilakukan secara lebih nyata, antara lain dengan melakukan analisis dampak Spillovers untuk mengetahui pola penyebaran teknologi. Pada Tabel 23-28 dapat dilihat aspek aspek yang berubah dengan skala perubahan tinggi 43,16% petani padi di Kabupaten Pangkep mengaku bahwa pendapatannya meningkat. Selanjutnya sikap petani terhadap teknologi BPTP termasuk aspek cukup mempunyai peran terhadap dampak adopsi teknologi dengan skala perubahan tinggi yang mencapai 58%.Sedangkan di Kabupaten Bone dampak adopsi teknologi di level rumah tangga 63,2% petani mengaku bahwa pendapatan rumah tangga berubah dengan skala perubahan tinggi, dan 48,8 persen petani mengaku bahwa produktivitas usahatani berubah dengan skala perubahan tinggi. Pada Tabel 24 dapat dilihat dampak adopsi teknologi di level rumah tangga di Kabupaten Jeneponto 55,4% petani mengaku bahwa pendapatan rumah tangga berubah dengan skala perubahan tinggi. Kemudian diikuti oleh efisiensi pembiayaan usahatani yang mencapai 40% petani berubah dengan skala perubahan tinggi. Pada Tabel 25 dapat juga dilihat dampak adopsi teknologi di level rumah tangga pada petani kakao di Kabupaten Luwu, aspek yang berubah adalah sikap petani terhadap
teknologi BPTP yang mencapai 48,88% dengan skala
perubahan tinggi. Pendapatan rumah tangga juga merupakan aspek yang berubah dengan
tingkat perubahan 42,90% dengan skala perubahan tinggi
disusul kualitas produksi dan keuntungan usahatani. Sedangkan di Luwu Utara, aspek yang berubah adalah pendapatan rumah tangga yang mencapai 41,13% dengan skala perubahan tinggi, disusul kualitas produksi dan pendapatan usahatani.
46
Tabel 23. Dampak Adopsi Teknologi Di Level Rumah Tangga di Pangkep dan Bone, 2011 Kab. Pangkep/Skala Perubahan (%) No. Aspek yang Berubah Tdk ada Rendah Sedang Tinggi Sangat
Kab. Bone/Skala Perubahan Tdk ada
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat Tinggi
6,8 8,2 0 0 0 0 0 0
8,2 9,3 9.2 20,0 11 22,1 30,3 0
30.3 42,8 23,2 41,1 15,5 45,6 21,1 20,4
48,8 40,0 30,0 8,7 35,5 63,2 32,1 62,2
20,0 18,2 11,2 14,3 3,5 18,5 0 22,6
Tinggi
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Produktivitas usahatani Efisiensi pembiayaan usahatani Kualitas produksi Perbaikan /kenaikan harga jual Keuntungan usahatani Pendapatan Rumah Tangga Pola Konsumsi Rumah Tangga Sikap Petani terhadap Teknologi BPTP
7,14 9,07 0 0 0 0 0 0
7,14 11,12 7,14 15,15 8,12 9,44 35,42 0
34,29 30,12 34,62 33,33 42,23 22,20 36,12 18,00
30 30,18 36,18 5,33 36,07 43,16 28,46 58,00
21,43 19,58 12,06 1,19 13,58 15,20 0 24,00
Tabel 24. Dampak Adopsi Teknologi Di Level Rumah Tangga di Jeneponto, 2011 Kab. Jeneponto/Skala Perubahan (%) No. Aspek yang Berubah 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Produktivitas usahatani Efisiensi pembiayaan usahatani Kuaslitas produksi Perbaikan /kenaikan harga jual Keuntungan usahatani Pendapatan Rumah Tangga Pola Konsumsi Rumah Tangga Sikap Petani terhadap Teknologi BPTP
Tdk ada
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat Tinggi
3,3 5,4 0 0 0 0 0 0
8,8 8,6 9,5 21,6 12,9 22,0 36,0 0
31,2 40,0 29,2 40,1 16,2 11,2 39,6 0
4,0 40,0 30.1 9,0 30,4 55,4 33,3 34,2
19,4 19,5 11,0 16,0 3,2 12,1 0 20,1
47
Tabel 25. Dampak Adopsi Teknologi Di Level Rumah Tangga di Luwu dan Luwu Utara, 2011
No.
Aspek yang Berubah
Kab. Luwu/Skala Perubahan (%)
Kab. Luwu Utara/Skala Perubahan
Tdk ada
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat Tinggi
Tdk ada
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat Tinggi
1.
Produktivitas usahatani
8,10
8,10
49,00
14,69
22,11
9,22
9,22
50
14,20
21,43
2.
Efisiensi pembiayaan usahatani
15,50
29,89
36,40
22,00
0
14,29
28,53
34,59
21,86
0
3.
Kuaslitas produksi
0
8,10
36,40
36,10
22,11
0
9,21
34,59
35,71
21,43
4.
Perbaikan /kenaikan harga jual
0
9,37
28,60
29,12
28,14
0
14,29
28,12
28,66
28,37
5.
Keuntungan usahatani
0
8,69
44,00
36,00
14,38
0
9,22
42,88
35,16
14,29
6.
Pendapatan Rumah Tangga
0
9,37
20,21
42,90
21,40
0
14,29
21,12
41,13
21,43
7.
Pola Konsumsi Rumah Tangga
0
43,11
34,12
22,00
0
0
41,69
34,16
21,22
0
8.
Sikap Petani terhadap Teknologi BPTP
0
0
22,16
48,88
28,53
0
0
21,13
28,98
28,37
48
Pada Tabel 26 dapat dilihat secara lengkap dampak adopsi teknologi di level masyarakat
di kabupaten Pangkep dan Bone, yaitu aspek yang tinggi
perubahannya adalah penawaran produksi dengan skala perubahan tinggi 59,0%, kemudian diikuti oleh adanya penyerapan tenaga kerja dengan skala perubahan 51,60%, sikap masyarakat terhadap teknologi BPTP menempati urutan ketiga dengan skala perubahan tinggi yang mencapai 48,12%. Di kabupaten Bone, pemberdayaan petani di desa merupakan hasil dampak teknologi yang dominan yaitu 52,3%, disusul penawaran produksi dan sikap masyarakat terhadap teknologi BPTP berturut-turut mencapai angka 50,9% dan 50,0%. Sedangkan dampak adopsi teknologi di level masyarakat di Kabupaten Jeneponto (Tabel 27) mencapai 48,2% penawaran produksi berubah dengan skala perubahan tinggi. Demikian pula dengan pemberdayaan petani di desa mencapai 50,1% dengan skala perubahan tinggi. Kemudian diikuti oleh eksistensi peran kelembagaan kelompok tani berubah sebesar 40% dengan skala perubahan tinggi. Pada Tabel 28 dapat dilihat bahwa dampak adopsi teknologi di level masyarakat khususnya di kabupaten Luwu yaitu aspek yang tinggi perubahannya adalah penawaran produksi sebesar 57,16% dan pemberdayaan petani di desa sebesar 57,12%. Selanjutnya di kabupaten Luwu Utara aspek yang tinggi perubahannya adalah eksistensi peran kelembagaan kelompok tani sebesar 48,12% diikuti pemberdayaan petani di desa sebesar 40,21% dan sikap masyarakat terhadap teknologi BPTP sebesar 40,21%.
49
Tabel 26. Dampak Adopsi Teknologi di Level Masyarakat di Pangkep dan Bone, 2011 Kab. Pangkep/Skala Perubahan (%) No. Aspek yang Berubah Tdk ada Rendah Sedang Tinggi Sangat 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
9. 10.
Permintaan pasar terhadap produksi Penawaran produksi Sikap Masyarakat Terhadap Teknologi BPTP Adanya Penyerapan Tenaga Kerja Pemberdayaan Petani Di Desa Alokasi Peran Gander Dalam Usahatani Lingkungan Pemukiman Pendudk Eksistensi Peran Kelembagaan Kelompok Tani Eksistensi Peran Kelembagaan Gapoktan Eksistensi Peran Kelembagaan Permodalan, Termasuk BRI, UD
14,20 12,30 0 8,24 0 0 0 0 14,36 14,29
0 0 0 29,0 15,05 36,.20 8,36 0 28,80 36,92
21,92 9,10 26,88 50,12 23,35 27,30 43,20 49,8 14,12 36,12
43,28 59,00 48,12 12,64 51,60 26,5 47,44 40,2 32,72 13,17
Tinggi 11,60 19,60 25,00 0 0 0 0 0 0 0
Kab. Bone/Skala Perubahan Tdk ada
Rendah
Sedang
Tinggi
14,6 13,3 0 9,3 0 0 0 0 12,2 12,1
0 0 0 30,4 16,8 33,3 9,1 0 28,9 30,4
22,2 9,9 25,9 60,4 22,3 28,8 45,2 45,9 16,6 37,7
45,2 50,9 50,0 16,6 52,3 28,6 49,8 40,0 34,9 16,8
Sangat Tinggi 12,2 19,9 28,6 0 0 0 0 0 0 0
Tabel 27. Dampak Adopsi Teknologi di Level Masyarakat di Jeneponto, 2011 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Aspek yang Berubah Permintaan pasar terhadap produksi Penawaran produksi Sikap Masyarakat Terhadap Teknologi BPTP Adanya Penyerapan Tenaga Kerja Pemberdayaan Petani Di Desa Alokasi Peran Gander Dalam Usahatani Lingkungan Pemukiman Pendudk Eksistensi Peran Kelembagaan Kelompok Tani Eksistensi Peran Kelembagaan Gapoktan Eksistensi Peran Kelembagaan Permodalan, Termasuk BRI, UD
Kab. Jeneponto/Skala Perubahan (%) Tdk ada 4,1 2,1 0 0 8,4 0 0 0 0 0 0
Rendah 0 0 0 0 33,2 12,3 33,3 2,1 0 28,9 30,8
Sedang 30,2 8,8 50,0 0 53 22.3 27,4 36,8 32,1 15,5 36,4
Tinggi 40,1 48,2 38,9 0 18,6 50,1 20,1 28,3 40,0 41,1 12,3
Sangat Tinggi 16,8 18,7 22,4 0 0 0 0 0 0 0 0
50
Tabel 28. Dampak Adopsi Teknologi di Level Masyarakat di Luwu dan Luwu Utara, 2011
No.
Aspek yang Berubah
Kab. Luwu/Skala Perubahan (%)
Kab. Luwu Utara/Skala Perubahan
Tdk ada
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat Tinggi
Tdk ada
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat Tinggi
1.
Permintaan pasar terhadap produksi
16,29
0
22,63
44,16
21,43
18,37
0
42,43
39,63
20,13
2.
Penawaran produksi
16,29
0
7,14
57,16
21,43
18,37
0
8,16
38,77
20,16
3.
Sikap Masyarakat Terhadap Teknologi BPTP
0
0
28,67
44,16
26,89
0
0
28,67
40,21
28,22
4.
Adanya Penyerapan Tenaga Kerja
9,14
26,57
50
12,19
0
8,16
32,47
58,12
14,21
0
5.
Pemberdayaan Petani Di Desa
0
16,29
22,43
57,12
0
0
14,39
23,12
46,21
0
6.
Alokasi Peran Gander Dalam Usahatani
0
44,66
22,43
26,37
0
0
48,68
23,12
22,10
0
7.
Lingkungan Pemukiman Pendudk
0
7,14
42,86
42,66
0
0
4,16
44,88
22,22
0
8.
Eksistensi Peran Kelembagaan Kelompok Tani
0
0
50
42,66
0
0
0
46,18
48,12
0
9.
Eksistensi Peran Kelembagaan Gapoktan
0
28,57
16,29
35,71
0
0
26,87
28,37
14,50
0
10
Eksistensi Peran Kelembagaan Permodalan,
16,29
35,71
37,21
16,29
0
18,73
29,73
36,29
10,40
0
Termasuk BRI, UD
51
Keberadaan dan kinerja kelembagaan pendukung usahatani di pedesaan misalnya Kelompok Tani , Gabungan Kelompok Tani, Lembaga Keuangan Mikro, BRI Unit Desa, Koperasi, Penggilingan Padi (RMU), dan Lainnya dapat dilihat pada Tabel 29. Tabel 29. Keberadaan dan Kinerja Kelembagaan Pendukung Usahatani, 2011 No.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Jenis Kelembagaan
Keberadaan (%)
Kelompok Tani Gabungan Kelompok Tani Lembaga Keuangan Mikro BRI Unit Desa Koperasi Penggilingan Padi (RMU) Lainnya
Kegiatan
Partisipasi (%)
Desa
Kec.
(%)
100 100
0 35,77
82,05 60,0
100 91,12
0
0
0
0
0 0 88,0 0
28,16 0 10,12 0
21,45 0 22,40 0
36,51 0 20,40 0
Pada Tabel 29 terlihat bahwa kelembagaan pendukung yang sangat berperan di desa adalah kelompok tani, gabungan kelompok tani, dan adanya penggilingan padi khususnya di Pangkep dan Bone. Lembaga keuangan mikro, koperasi, BRI masih belum berperan. Keberadaan kelompok tani dan gabungan kelompok tani memang 100% ada di Desa, kegiatannya masing-masing 82% dan 60%, dan partisipasinya 100% dan 91%. Kegiatan kelompok tersebut masih perlu ditingkatkan karena disadari bahwa jika petani berusahatani secara individu akan terus berada pada pihak yang lemah karena petani secara individu akan mengelola usahatani dengan luas garapan yang kecil dan terpencar serta kepemilikan modal yang rendah. Sehingga, pemerintah perlu memperhatikan penguatan kelembagaan lewat kelompok tani karena dengan berkelompok maka petani tersebut akan lebih kuat, baik dari segi kelembagaannya maupun permodalannya.
Keberadaan kelompok tani yang ada perlu dibenahi kembali.
Kepengurusan yang tidak aktif, ditinjau ulang dan dihidupkan. Keanggotaan yang
ada,
kepemilikan
lahan
anggota
perlu
diinvertarisasi
kembali
keberadaannya, untuk memudahkan pembinaannya.
www.sulsel.litbang.deptan.go.id 52
Namun kelembagaan petani atau kelompoktani yang terbentuk masih lemah.
Menurut Purwanto et al (2007) bahwa Kelembagaan petani di desa
umumnya tidak berjalan dengan baik disebabkan oleh (1) kelompok pada umumnya dibentuk berdasarkan
kepentingan teknis
untuk memudahkan
pengkoordinasian apabila ada kegiatan dan program pemerintah, sehingga lebih bersifat orientasii program, dan kurang menjamin kemadirian kelempok dan keberlanjutan kelompok; (2) partisipasi dan kekompakan anggota kelompok dalam kegiatan kelompok masih relative rendah, ini tercermin dari tingkat kehadiran anggota dalam pertemuan kelompok (hanya mencapai 50%); (3) pembentukan dan pengembangan kelembagaan berdasarkan pendekatan yang
top down, menyebabkan tidak tumbuhnya partisipasi masyarakat. Lembaga
di
pedesaan
lahir
untuk
memenuhi
kebutuhan
sosial
masyarakatnya. Sifatnya tidak liner namun cenderung merupakan kebutuhan individu anggotanya, berupa: kebutuhan fisik, kebutuhan rasa aman, kebutuhan hubungan social, kebutuhan pengakuan, dan kebutuhan permodalan. Menurut Saptana dkk., (2002) penyebab utama lemahnya kinerja ekonomi pedesaan yang didominasi usaha pertanian adalah rendahnya kapasitas kelembagaannya. Hal ini disadari karena program pembangunan pertanian yang dilaksanakan selama ini tidak berbasiskan kelembagaan. Upaya penguatan jaringan kelembagaan pada usahatani jagung dipandang sebagai suatu keharusan, sehingga dalam kajian ini keberadaan dan kinerja kelembagaan sebagai pendukung usahatani menjadi salah satu fokus bahasan.
www.sulsel.litbang.deptan.go.id 53
V. KESIMPULAN a. Di Lokasi Prima Tani maupun SLPTT peran pengkaji BPTP sangat penting dalam mendorong penerapan teknologi. b. Dari 13 komponen teknologi padi yang diintroduksikan yang ditiru dengan baik oleh petani hanya ada 5 komponen dengan sebaran berikut; Penggunaan VUB 70%; penggunaan benih bermutu/berlabel 35%; tanam 2-3 batang per rumpun 76%; sistem tanam jajar legowo 78%, panen tepat waktu dan gabah segera dirontok 85% c. Sebelum Prima Tani di kabupaten Jeneponto dan Bone produktivitas jagung hanya mencapai < 5 t/ha, setelah Prima Tani produktivitasnya
meningkat
> 5 t/ha atau 6-7 t/ha. Komponen teknologi yang diadopsi
petani yaitu
penggunaan varietas, benih bermutu/berlabel, populasi tanaman, hama penyakit, pengolahan lahan, dan panen tepat waktu. Penggunaan varietas merupakan komponen teknologi tertinggi yang ditiru oleh petani lain dengan skala peniruan tinggi 56,2% di Jeneponto, dan 62,1% di Bone. d. Spillover teknologi padi dan jagung terjadi, namun yang dominan adalah petani di luar kelompok dalam satu desa yang sama, dan petani desa tetangga dalam satu kecamatan yang sama. e. Pada daerah-daerah yang telah mencapai produktivitas jagung yang tinggi (> 6,0 t/ha), programnya adalah pemantapan produktivitas. Sedangkan untuk meningkatkan produksi di daerah yang tingkat produktivitasnya masih rendah (< 5,0 t/ha) disarankan adanya pergeseran penggunaan jagung ke jenis hibrida dan komposit unggul dengan menggunakan benih berkualitas. f.
Kegiatan peremajaan pada tanaman kakao komponen teknologi yang diadopsi > 50% adalah penggunaan pohon pelindung, penggunaan pupuk NPK, dan
pengendalian
OPT,
sedangkan
pada
rehabilitasi
adalah
penggunaan entries klon unggul, sambung samping, dan sambung pucuk diadopsi > 70%. Kegiatan Intensifikasi komponen teknologi yang
diadopsi
> 60% adalah pengendalian OPT, drainase, sanitasi, dan panen sering. g. Spillover teknologi kakao selain terjadi diantara petani di desa yang sama, juga sudah terjadi diantara petani antar kecamatan, antar kabupaten, antar propinsi, bahkan petani dari Negara lain telah mengadopsi teknologi SE, sambung pucuk, dan sambung samping.
www.sulsel.litbang.deptan.go.id 54
VI. DAFTAR PUSTAKA Ali Imran dan Suriany. 2006. Uji Adaptasi Varietas Unggul Baru Padi di Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan. Prosiding Seminar Nasional HasilHasil Penelitian Dan Pengkajian Spesifik Lokasi di Makassar Tahun 2006. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertania. Halaman 157-163. Anonim. 2010. Daftar Rekapitulasi Areal Produksi dan Petani Perkebunan, Tanaman Perkebunan Rakyat Kab. Luwu Utara. Laporan Kegiatan Dinas Pertanian dan Perkebunan Luwu Utara. Arafah. 2006. Kajian Usahatani Padi Dengan Metode Pengelolaan Tanaman Terpadu Pada Berbagai Varietas Unggul Baru Di Kabupaten Takalar Sulawesi Selatan. Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian Dan Pengkajian Spesifik Lokasi di Makassar Tahun 2006. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertania. Halaman 144-149. Arsanti, I. W., Kajian Teoritis Spillovers: Studi kasus Varietas Baru Kentang Dataran Tinggi. Prosiding Seminar Nasional Membangun Sistem Inovasi Di Pedesaan. BBP2TP, Bogor. Asaad, M. dan Djafar Baco. 2006. Praktek Pengelolaan Hama Tikus pada Tanaman Padi, Studi Kasus Kabupaten Pinrang. Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian Dan Pengkajian Spesifik Lokasi di Makassar Tahun 2006. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertania. Halaman 198-205. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2006. Pedoman Umum Prima Tani. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan. 2006. Laporan Prima Tani Kabupaten Luwu. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan. 2007 (a) . Laporan Prima Tani Kabupaten Jeneponto. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan. 2007 (b) . Laporan Prima Tani Kabupaten Luwu. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan. 2007 (c). Laporan Prima Tani Kabupaten Pangkep. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Badan Litbang Pertanian.
www.sulsel.litbang.deptan.go.id 55
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2007. Prospek dan arah pengembangan agribisnis jagung. Balitbangtan,Departemen Pertanian. 58 hal. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2010. Panduan pengelolaan tanaman terpadu (PTT) jagung. Balitbangtan, Kementan. 24 hal. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan. 2007 (b) . Laporan Prima Tani Kabupaten Luwu. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan. 2007 (c). Laporan Prima Tani Kabupaten Pangkep. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan. 2008 (a) .Laporan Prima Tani Kabupaten Jeneponto. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan. 2008 (b) .Laporan Prima Tani Kabupaten Pangkep. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Badan Litbang Pertanian. BPS., 2010. Jeneponto Dalam Angka. Kerjasama BAPPEDA-BPS Kabupaten Jeneponto Hendayana, R. et al., 2009. Analisis Dampak Teknologi Unggulan BPTP dalam Pembangunan Pertanian Wilayah. Laporan Kegiatan Pengkajian BBP2TP. Hasanuddin T., Idaryani, dan Jamaya H. 2006. Analisis Kelayakan Penggunaan Alat Tanam Benih Langsung (Atabela) pada Usahatani Padi Sawah. Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian Dan Pengkajian Spesifik Lokasi di Makassar Tahun 2006. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertania. Halaman 229-237. Kadir,S. J. Limbongan, dan Farida Arief. 2010. Kajian Pengelolaan dan Pemanfaatan Bahan Organik In Situ untuk Budidaya Kakao Yang Efisien dan Berkelanjutan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Propinsi Sulawesi Selatan. Laporan BPTP Sulsel Tahun 2010. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi –Selatan. Limbongan,J., Syafruddin Kadir, Dharmawida Amiruddin, Basir Nappu, dan Paulus Sanggola. 2010. Pengkajian Penggunaan Bahan Tanaman Unggul Menunjang Program Rehabilitasi Tanaman Kakao di Sulawesi Selatan. Laporan BPTP Sulsel Tahun 2010. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi –Selatan. Limbongan, J., Syafruddin Kadir, Jafar Baco, dan Arafah. 2010. Pengkajian Polatanam IP-300 Padi Di Sulawesi Selatan. Laporan BPTP Sulsel Tahun 2010. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi –Selatan. www.sulsel.litbang.deptan.go.id 56
Limbongan,J., dan Sahardi. 2010. Pengaruh Pemupukan Organik dan Anorganik Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tanaman padi di Lahan Sawah Semi Intensif, Sulawesi Selatan. Laporan BPTP Sulsel Tahun 2010. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi –Selatan. Moehar Daniel. 2006. Pengembangan Agribisnis Pedesaan dalam Primatani Lahan Sawah Irigasi Sipare-Pare. Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian Dan Pengkajian Spesifik Lokasi di Makassar Tahun 2006. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertania. Halaman 238248. Nieldelina, Helmi, dan Moehar Daniel. 2006. Identifikasi Kendala dan Peluang Penerapan Komponen Teknologi dengan Pendekatan PTT di Kabupaten Asahan (Kasus Desa Sungai Balai, Kecamatan Sungai Balai). Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian Dan Pengkajian Spesifik Lokasi di Makassar Tahun 2006. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertania. Halaman 150-156. ICN. 2010. Perkembangan Agribisnis Kakao di Indonesia. Laporan Market Intellegence. Indonesian Commercial Newsletter (Mei 2010). Palupi, P., S., 2011. Liputan khusus: Secercah Harapan dari Gernas. Agrina Tabloid Agribisnis Mingguan. 11 April 2011. Puslitbangtan 2008. Panduan Pelaksanaan SL-PTT. Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian. Purwanto, Mat Syukur, dan Pujisantoso. 2007. Penguatan kelembagaan kelompok tani dalam mendukung pembangunan pertanian di Jawa Timur. BPTP Jatim. Razak Nasruddin, M.P. Sirappa, dan Arafah. 2006. Pertumbuhan Hasil dan Tingkat Efisiensi Usahatani Tiga Varietas Padi yang Ditanam Secara Tabela pada Sawah Irigasi. Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian Dan Pengkajian Spesifik Lokasi di Makassar Tahun 2006. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertania. Halaman 206212. Rosmiati dan Syafruddin K. 2006. Tingkat Adopsi dan Efisiensi Teknologi Tabela pada Usahatani Padi Sawah di Kabupaten Pinrang. Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian Dan Pengkajian Spesifik Lokasi di Makassar Tahun 2006. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertania. Halaman 220-228. Sahardi. 2009. Hasil PRA Kabupaten Luwu. Laporan Kegiatan BPTP Sul Sel. Saptana, Tri Pranadji, Syahyuti, dan Roosgandha. 2002. Transformasi Kelembagaan Tradisional. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian.
www.sulsel.litbang.deptan.go.id 57
Sembiring, H., 2008. Kebijakan Penelitian dan rangkuman hasil penelitian Balai Besar Padi dalam mendukung peningkatan produksi beras nacional. Prosiding Seminar Apresiasi hasil Penelitian padi menunjang P2BN. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Sukamandi. Sirappa M.P., dan Hasanuddin T. 2006. Analisa Usahatani Penggunaan Pupuk Organik Cair Padi Sawah di Dataran Waeapo Pulau Buru. Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian Dan Pengkajian Spesifik Lokasi di Makassar Tahun 2006. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertania. Halaman 212-219. Subandi, Zubachtirodin, S. Saenong, dan I. U. Firmansyah. 2006 a. Ketersediaan teknologi produksi dan program penelitian jagung. Prosiding seminar nasional jagung. Puslitbangtan. Bogor. Sutoro, Y. Sulaiman, dan Iskandar., 1988. Budidaya. Dalam Subandi, M. Syam, dan A. Wijono (Penyunting). Jagung. Puslitbangtan Bogor. Taufik, M., dan M. Thamrin. 2009. Analisis input-output pemupukan beberapa varietas jagung di Lahan kering. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan Vol. 28 No.2. Bogor Thamrin, M., dan P. Tandisau. 2006. Peningkatan Produktivitas Jagung Hybrid Melalui Teknologi Pemupukan Spesifik Lokasi Lahan Kering Iklim Kering. Proc. Jagung. Balitsereal. Warda dan Muh. Asaad. 2006. Keragaan Galur-Galur Padi Sawah di Kabupaten Pinrang. Prosiding Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian Dan Pengkajian Spesifik Lokasi di Makassar Tahun 2006. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertania. Halaman 164-172.
www.sulsel.litbang.deptan.go.id 58
Lampiran-lampiran.
Tabela hambur yang mengalami kekeringan Pesemaian untuk Tapin
Legowo 6: 1
Legowo 4 :1 mengalami kekeringan Di lahan tadah hujan
www.sulsel.litbang.deptan.go.id 59
Diskusi Tim Peneliti dengan Penyuluh Lokasi Primatani di Lahan Tadah hujan
Tabela Hambur mengalami kekeringan
Bibit sambung pucuk di Luwu
www.sulsel.litbang.deptan.go.id 60
Pengambilan data di Luwu Utara
Hasil sambung pucuk di Luwu
Pengambilan data di Luwu Utara
Hasil sambung samping di Luwu
www.sulsel.litbang.deptan.go.id 61