11.
TINJAUAN PUSTAKA
Pada bagian Tinjauan Pustaka ini dibahas beberapa sub-bagian yang disesuaikan dengan judul penulisan. Penulisan ini merupakan hasil penelitian dari kajian perencanaan Kawasan Industri Maritim Mentok Kabupaten Bangka yang menggunakan analisis sistem informasi geografis dan analisis hierarki proses. Sehubungan dengan ha1 tersebut berikut ini dibahas pengelolaan wilayah pesisir, kebijakan pembangunan wilayah pesisir dan laut, dan tata ruang wilayah pesisir. Selain itu juga dibahas pembangunan industri maritim, sistem informasi geografis clan analisis hierarki proses.
A.
Pengelolaan Wilayah Pesisir Wilayah pesisir merupakan daerah pertemuan antara daratan dan laut. Ke arah
darat meliputi bagian daratan, baik yang kering maupun terendam air dan masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air laut. Sedangkan ke arah last mencakup bagian laut yang dipengaruhi oleh proses a l a z yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oieh kegiatan manusia di darat, seperti penggundulan hutan dan pencemaran (Soegiarto 1976). Dengan dernikian, wilayah pesisir berada dikawasan sepanjang pantai, baik di darat maupun laut. Berdasarkan struktur komunitas hayati, ekosistem pesisir mencakup ekosistem litoral. Zona litoral atau intertidal merupakan daerah pantai yang terletak di antara
pasaug tertinggi dan surut terendah. Pantai terdiri atas pantai pasir dangkal, pantai batu, pantai karang, dan pantai lumpur. Zona di bawah litoral adalah zona paparan atau sublitoral. Zona sublitoral dihuni oleh berbagai organisme dan komunitas seperti padang lamun, tenunbu karang dan nunput laut (Edyanto et al. 1998). Selain itu, menurut Clark (1996) ekosistem alarni yang terdapat di wilayah pesisir ini antara lain: hutan mangrove I bakau I payau yang terdiri atas vegetasi terawa payau (salt marsh), tenunbu karang (coral reef), padang lamun (seagrass bed), hutan rawa air tawar (rapak), hutan rawa gambut pantai berpasir (sandy beach), pantai berbatu (rocky beach), estuaria dan lagun. Sedangkan ekosistem buatan yang terdapat di wilayah pesisir antara lain berupa tambak, sawah pasang surut, pemukiman, kawasan pariwisata dan kawasan industri. Wilayah pesisir memiliki karakteristik dan keunikan serta beragam sumberdaya yang khas. Kekhasan ini mengisyaratkan pentingnya pengelolaan wilayah tersebut dikelola dengan pendekatan terpadu, bukan pendekatan sektoral. Karakteristik wilayah pesisir yang dimaksud menurut Bengen (200 1) adalah : Pertama, adanya keterkaitan ekologis (hubungan fimgsional) baik antar ekosistem di dalam kawasan pesisir maupun antar kawasan pesisir dengan lahan atas dan laut lepas. Dengan demikian perubahan yang terjadi pada suatu ekosistem pesisir (mangrove, misalnya), cepat atau lambat, akan mempengaruhi ekosistem lainnya. Begitu pula halnya jika pengelolaan kegiatan pembangunan (industri, pertanian, pemukiman, dan lain-lain) di lahan atas suatu DAS (daerah aliran sungai) tidak dilakukan secara arif (berwawasan ligkungan), maka dampak negatifhya akan
merusak tatanan dan fungsi ekologis kawasan pesisir dan laut. Phenomena inilah yang kemungkinan besar merupakan faktor penyebab utama kegagalan panen tambak udang yang akhir-akhir ini menimpa kawasan Pantai Utara Jawa, karena untuk kehidupan dan pertumbuhan udang secara optimal diperlukan kualitas perairan yang tidak tercemar. Kedua, dalam suatu kawasan pesisir terdapat lebih dari dua macam sumberdaya alam (minyak, tirnah, pasir kuarsa, mangrove, ikan) dan jasa-jasa lingkungan (perhubungan laut, rekreasi, perlindungan pantai, penelitian, energi laut) yang dapat dikembangkan untuk kepentingan pembangunan. Kemungkinan konflik kepentingan dalam pemanfaatan sumber daya pesisir tersebut sangat besar apabila pelaksanaan pembangunan dilakukan secara sektoral. Ketiga, dalam suatu kawasan pesisir, pada umumnya terdapat lebih dari satu kelompok masyarakat (orang) yang memiliki keterarnpilankeahlian dan kesenangan (preference) bekerja yang berbeda, sebagai petani, nelayan, petani tambak, petani rumput laut, pemandu pariwisata, pengusaha industri dan kerajinan rumah tangga, dan sebagainya. Padahal, sangat sukar atau hampir tidak mungkin, untuk mengubah kesenangan bekerja (profesi) sekelompok orang yang sudah secara mentradisi menekuni suatu bida~gpekerjaan. Keempat, pemanfaatan suatu kawasan pesisir secara monokultur (single use) adalah sangat rentan, baik secara ekologis maupun ekonomis, terhadap perubahan internal maupun eksternal, yang pada akhirnya menjurus pada kegagalan usaha. Contohnya, pembangunan tambak udang dibanyak tempat sepanjang Pantai Utara
Pulau Jawa, yang sejak tahm 1982 mengkonversi harnpir semua pesisir tennasuk mangrove sebagai kawasan liidungy menjadi tambak udang. Sehingga, pada akhir 1980-an sampai sekarang terjadi peledakan wabah virus, dan sebagian besar tambak udang di kawasan ini terserang penyakit yang merugikan ini. Kelima, kawasan pesisir pada umumnya merupakan sumberdaya milik bersama (common property resources) yang dapat dimanfmtkan o!eh semua orang (open access). Padahal setiap pengguna sumberdaya pesisir biasanya berprinsip memaksimalkan keuntungan. Oleh karenanya wajar jika pexxxmaran, over-eksploitasi sumberdaya dam dan konflik pemanfmtan ruang seringkali terjadi di kawasan ini. Terlepas dari kekayaan sumberdaya pesisir dan laut dan ketergantungan Bangsa Indonesia terhadapnya, ironisnya, wilayah pesisir dan laut mengalami tekanan yang mengakibatkan turunnya kualitas lingkungan pesisir dan lautan. Isu isu pengelolaan wilayah pesisir dan laut sedikitnya dipengaruhi oleh masalah masalah ekonomi, sosial, politik, budaya dan hukum (Syam 1999). Isu - isu yang dapat diangkat antara lain; 1. Kurangnya integrasi sektoral.
kegiatan pengelolaan karena pendekatan yang sifatnya
2. Tidak ada kejelasan kewenangan hukum dan perencanaan 3. Rendahnya penilaian akan sumberdaya pesisir dan lautan.
Adapun isu yang berkembang ini menurut Dutton et al. (2001) adalah kenyataan bahwa pengetahuan masyarakat Indonesia tentang sumberdaya pesisir dan laut yang ada masih kurang. Hal ini berakibat pada kurangnya dasar pemikiran bagi
pengambilan keputusan tentang p e d m t a n langsung sumberdaya pesisir dan laut tersebut. Disamping itu kenyataan di atas mengakibatkan kurangnya kemampuan masyarakat untuk berperan langsung dan memberikan kontribusi yang signifikan dalam perumusan kebijakan kelautan. Sementara itu masyarakat hanya menempatkan sumberdaya pesisir dan laut sebagai sumber pangan clan rekreasi, sedangkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga formal sangatlah rentan, akibatnya pengelolaan yang diterapkan belum efektif.
Oleh karena itu untuk
efektivitas pengelolaan akan sangat tergantung pada kepercayaan publik yang harus dibangun sejalan dengan proses kebijakan. Selain itu efektivitas pengelolaan akan tergantung pada perhatian yang diberikan pa& konstituen yang lebih luas yang ada dalam setiap proses pengambilan keputusan di tingkat lokal maupun nasional. Berdasarkan keterkaitan sektor, maka model pengelolaan sumberdaya pesisir dapat dibedakan atas dua jenis, yaitu pengelolaan sektoral dan pengelolaan secara terpadu. Perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir secara sektoral pada dasarnya berkaitan hmya dengan satu jenis sumberdaya atau ekosistem untuk memenuhi tujuan tertentu (sektoral), seperti perikanan, parawisata, pertambangan, industri, pemukiman, perhubungan dan sebagainya. Dalam perencanaan clan pengelolaan semacam ini aspek 'cross-sectorat' atau "cross-regional" impacts seringkali terabaikan. Akibatnya, model perencanaan dan pengelolaan sektoral ini menimbulkan berbagai dampak yang dapat merusak lingkungan, dan juga akan merugikan sektor lain. Phenomena di Pantai Utara Jawa merupakan salah satu contoh dari perencanaan pembangunan sektoral, dimana sektor industri mematikan sektor perikanan budidaya
(tambak) apabila penanganan dan pengelolaan limbah industri tidak dilakukan secara tepat dan benar (Depdagri 1998). Perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu memiliki pengertian bahwa pengelolaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan pesisir dan laut dilakukan melalui penilaian secara menyeluruh (comprehensive assessment), perencanaan tujuan dm sasaran, kemudian perencanaan dan pengelolaan segenap kegiatan pemanfaatannya guna mencapai pembangunan yang optimal clan berkelanjutan. Perencanaan dan pengelolaan tersebut dilakukan secara kontinyu dan dinamis dengan mempertimbangkan aspek sosial-ekonomis-budaya dan aspirasi masyaralcat pengguna wilayah pesisir (stakeholders) serta mengantisipasi potensi konflik kepentingan dan pemdaatan yang mungkin ada (Lawrence 1998). Menurut Bengen (2001) keterpaduan perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu ini mencakup
4 (empat) aspek, yaitu : (i) keterpaduan
wilayahlekologis (ii) keterpaduan sektor; (iii) keterpaduan disiplin ilmu; (iv) keterpaduan stakeholders. 1. Keterpaduan WilayaWEklonis Secara keruangan dan ekologis wilayah pesisir memiliki keterkaitan antara lahan atas (daratan) dan laut lepas. Hal ini disebabkan wilayah pesisir merupakan daerah pertemuan antara daratan dan laut. Dengan keterkaitan tersebut, maka pengelolaan kawasan pesisir dan laut tidak terlepas dari pengelolaan lingkungan yang dilakukan di kedua kawasan tersebut. Berbagai dampak lingkungan yang mengenai kawasan pesisir dan laut adalah akibat dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan pembangunan yang dilakukan di
lahan atas seperti pertanian, perkebunan, kehutanan, industri, pemukiman dan sebagainya. Dernikian juga dengan kegiatan yang dilakukan di laut lepas, seperti kegiatan pengeboran munyak lepas pantai dan perhubungan laut. Penanggulangan pencemaran yang diakibatkan
oleh industri dan limbah
rumah tangga, sedimentasi akibat erosi dari kegiatan perkebunan dan kehutanan, dan limbah pertanian tidak dapat hanya dilakukan di kawasan di pesisir saja, melainkan harus mulai dilakukan dari sumber danlpaknya. Oleh karena itu pengelolaan di wilayah ini harus diintegrasikan dengan wilayah daratan dan laut serta daerah aliran sungai @AS) menjadi satu kesatuan dan keterpaduan pengelolaan. Pengelolaan yang baik di wilayah pesisir akan hancur dalam sekejap jika tidak diirnbangi dengan perencanaan DAS yang baik pula. Keterkaitan antar ekosistem yang ada di wilayah pesisir harus selalu diperhatikan.
Keterpaduan Sektor Sebagai konsekwensi dari besar dan beragamnya sumber dayaalam di kawasan pesisir dan laut adalah banyaknya instansi atau sektor-sektor pelaku pembangunan yang bergerak dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut. Akibatnya, seringkali terjadi tumpang tindii pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut antar satu sektor dangan sektor lainnya.
Agar pengelolaan
sumberdaya alam di kawasan pesisir dapat dilakukan secara optimal dan berkesinambungan,
maka
dalarn
perencanaan
pengelolaan
hams
diintegrasikan semua kepentingan sektoral. Kegiatan suatu sektor tidak dibenarkan mengganggu, apalagi sampai mematikan kegiatan sektor lain. Keterpaduan sektoral ini, meliputi keterpaduan secara horisontal (antar sektor) dan keterpaduan secara vertikal (dalam satu sektor).
Oleh karena itu,
penyusunan tata ruang dan panduan pembangunan di kawasan pesisir sangat perlu dilakukan untuk menghiidari benturan antara satu kegiatan dengan kegiatan pembangunan lainnya.
3. Ketervaduan Disivlin Ilmu Wilayah pesisir dan laut memiliki keunikan, baik sifat dan karakteristik ekosisitem pesisir maupun sifat dan karasteristik sosial budaya masyarakat pesisir. Sehingga dalam mengkaji wilayah pesisir dan laut tidak diperlukan satu disiplii ilmu saja, tetapi dibutuhkan berbagai disiplin ilmu yang menunjang, sesuai dengan karakteristik pesisir dan lautan tersebut. Dengan
dinamika perairan pesisir yang khas, dibutuhkan disiplin ilmu khusus pula, seperti hidrooseanografi dan sebagainya. Selain itu, kebutuhan akan disiplin ilmu lainnya juga sangat penting. Secara m u m , keterpaduan disiplin ilmu dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan laut meliputi ilmu-ilmu ekologi, oseanografi, keteknikan, ekonomi, hukum dan sosiologi. 4 . Keterpaduan Stakeholder
Segenap keterpaduan di atas akan berhasil diterapkan apabila ditunjang oleh keterpaduan dari pelaku
dan pengelola pembangunan (stakeholders) di
kawasan pesisir dan laut. Umumnya pelaku pembangunan dan pengelola sumberdaya alam wilayah pesisir antai-a lain terdiri dari pemerintah (Pusat dan Daerah), masyarakat pesisir, swasta/investor dan juga Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang masing-masing mempunyai kepentingan terhadap pemanfaatan sumberdaya alam di kawasan pwisir. Penyusunan perencanan pengelolaan terpadu hams mengakomodir segenap kepentingan pelaku pembarigunan sumberdaya pesisk clan laut. Oleh karena itu, perencanaan dan pengelolaan pembangunan harus menggunakan pendekatan dua arah, yaitu pendekatan "topdown" dan pendekatan "bottomup". Keterpaduan merupakan aspek yang sangat esensial dalam sistem pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut, yang tidak hanya menjamin kecocokan secara internal antara kebijakan dan program aksi, antar proyek dan program, tetapi juga menjamin kesesuaian antara perencanaan dan pelaksanaan. Menurut Kay dan Alder (1999)
berdasarkan jenis keterpaduan dapat dibedakan atas tiga jenis, yaitu keterpaduan
sistem, keterpaduanfirngsi, dan keterpaduan kebijakan. Keterpaduan sisiem memasukkan pertimbangan dimensi spasial dan temporal sistem sumberdaya pesisir dalam persyaratan fisik perubahan lingkungan, pola pemanfaatan sumberdaya dan penataan sosial ekonomi. Keterpaduan ini menjamin bahwa isu-isu relevan yang muncul dari hubungan secara fisik-biologi, sosial dan ekonomi ditangani secara memadai.
Keterpaduan ini membutuhkan berbagai
ketersediaan inforrnasi seperti terlihat pada Tabel 1. Tabel 1. Kebutuhan Informasi untuk Pengelolaan Pesisir (Bengen 200 1). Biologi
Jenis dan luas ekosistem, produktivitas primer, keanekaragaman dan kelimpahan spesies daerah pemijahan (nurseryground), siklus hidup
Fisik
Geologi, suhu, salinitas, nutrien, pasang surut, arus, dan permukaan laut, distribusi dan jenis sedimen ,erosi
Sosio-Ekonorni
Distribusi dan perturnbuhan penduduk, aktivitas ekonomi, pemanfaatan lahan
Hukum dan
Sistem pemilikan lahan, hukurn dan peraturan yang relevan, tanggung jawab lembaga-lembaga, pemdaatan sumberdaya manusia
Kelembagaan
Keterpaduan fungsional berkaitan dengan hubungan antara berbagai kegiatan pengelolaan, seperti konfirmasi antara program dan proyek dengan tujuan
dan sasarannya. Keterpaduan ini juga mengupayakan tidak terjadinya duplikasi di antara lembaga yang terlibat, tetapi saling melengkapi. Penyusunan zonasi pesisir
yang mengalokasikan pernanfhatan sumberdaya secara spesifik merupakan salah satu bentuk efektif dari keterpaduan hgsional.
Keterpaduan kebijakan sangat esensial untuk menjamin konsistensi dari program pengelolaan pesisir terpadu dalam konteks kebijakan pemerinah pusat dan daerah, serta untuk memelihara koordinasi. Tujuan akhir keterpaduan kebijakan adalah mengintegrasikan program pengelolaan pesisir secara terpadu ke dalam rencana pembangunan ekonomi. Demikian juga strategi penyuluhan pesisir harus dapat menyesuaikan perubahan yang terjadi di wilayah pesisir clan konsisten dengan tujuan pembangunan ekonomi nasional. Untuk mewujudkan pengelolaan terpadu, lembaga - lembaga yang terkait dalam pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan laut harus mengetahui kegiatan apa saja yang dapat dan tidak dapat dipadukan, dan bagaimana cara memadukannya (Aunuddin et al. 2001). Secara sederhana dapat dikatakan bahwa dua kegiatan atau lebih dapat dipaduksui apabila memenuhi azaz kompatibilitas. Azaz kompatibilitas ini terdiri dari 3 macam: yaitu complete compability, partial compability dan incompability.
Complete compability terjadi apabiia dua kegiatan atau lebii dapat berlangsung bersamaan dalam ruang dan waktu yang sama (rnisal kegiatan silvofisheries). Partial compability terjadi apabila dua kegiatan atau lebih dapat dilakukan secara b e m t a n dalam ruang yang sama, namun dalam waktu yang berbeda ( misal pola tumpang sari pada lahan pertanian). Sedangkan incompatibility terjadi apabila dun kegiatan
tidak dapat dilakukan secara bersamaan atau berurutan dalam ruang yang sama (Nirarita et al. 1996). Kegiatan - kegiatan yang mudah dipadukan adalah kegiatan yang bersifat jasa (services) seperti pembuatan rencana dan program yang sama. Kegiatan yang agak sulit dipadukan adalah kegiatan untuk membuat atau memuskan aturan main bersama (norm creation), sedang yang sulit dipadukan adalah kegiatan yang berkaitan dengan implementasi
dari aturan main yang telah disepakati bersama dan
pengawasannya (implementation and rules observance). Apabila tingkat kesulitan tersebut diterapkan dalam pengelolaan sumberdaya, maka akan terlihat bahwa perencanaan termasuk katagori mudah, penataan agak sulit, sedangkan pelaksanaan
dan pengawasan adalah yang paling sulit dari seluruh kegiatan (Aunuddin et al. 200 1).
Dari sudut struktur hukurn, menurut Supriharyono (2000), hal-ha1 yang dapat dipadukan yaitu yang dapat diidentifikasikan atau dicari dari aspek tujuan, strategi
untuk mencapai tujuan dan pedoman pelaksanaan strategi. Dengan demikian dapat dipahami bahwa peraturan perundang - undangan yang mengatur perencanaan, penataan, pemanfaatan dan pengawasan dalam pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan laut dapat dilaksanakan secara terpadu. Pengelolaan sumberdaya secara terpadu tersebut menurut Pomeroy (1994) juga merupakan keterpaduan dari resource based management, community based management dun marketing based management. Resource based management adalah pengelolaan yang didasarkan pada kemarnpuan surnberdaya alam, sumberdaya manusia clan sumberdaya budaya. Community based management adalah pengelolaan
18
yang didasarkan pada kemampuan masyarakat. Adapun Marketing based
management adalah pengelolaan yang didasarkan pada kemampuan dalam memanfaatkan basis - basis kompetisi seperti sumberdaya, peraturan perundang undangan dan kelembagaan (basisfor competition ), memanfaatkan peluang pasar seperti sorting, grading dan processing (how to compete) dan kemarnpuan bersaing dengan para pesaing di pasar dalam maupun luar negeri (where to compete ). Keberhasilan dalam melaksanakan resource based dan community based
management secara terpadu merupakan basis yang kuat untuk melalcukan kompetisi, sedang how to compete akan mempengaruhi pilihan tentang jenis, jumlah dan mutu produk yang dihasilkan agar sesuai dengan perrnintaan pasar, serta where to compete akan mempengaruhi strategi pemasaran yang akan dilaksanakan. Kesemuanya ini
hams
didukung
dengan peraturan
perundang-undangan
dan
kemampuan
kelembagaan yang memadai.
B.
Kebijakan Pembangunan Wilayah Pesisir dan Laut Otonomi dan kewenangan daerah dalarn pengelolaan sumberdaya alam pesisir
dan laut merupakan topik yang dipandang sangat menarik bagi pemerintah daerah. Sampai saat ini masih ada persoalan otonomi daerah yang penting, yaitu belum ada kejelasan otonomi dan kewenangan pemerintah daerah dalam pengelolaan sumberdaya kelutan, dan belum banyak urusan sektor yang diserahkan kepada pemerintah daerah melalui Peraturan Pemerintah (PP) atau Keputusan Presiden (Keppres)
.-
Pasal 7 dan 8 UU No. 511974 (tentang Pemerintahan di Daerah) menyatakan otonomi daerah berarti daerah berhak, berwenang clan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan yang berlaku. Penambahan penyerahan m a n pemerintah kepada daerah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Pasal2 Peraturan Pemerintah No. 4511992 menyatakan bahwa titik berat otonomi daerah pada Daerah Tingkat II, dilaksanakan dengan menyerahkan sebagian m a n Pemerintah dan atau Pemerintah Daerah Tingkat I, kepada Pemerintah Daerah Tingkat 11 secara bertahap dan berkelanjutan (Depdagri 1998). Sementara dasar hukum yang mengatur kewenangan daerah yaitu UU No. 2411 992 (tentang Tata Ruang) memberi kewenangan kepada pemerintah daerah untuk
melakukan penataan ruang atas wilayah laut berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku. Berdasarkan Konvensi Hukum Laut UU no. 1711985, kewenangan daerah atas penataan ruang laut tersebut identik dengan kewenangan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam di laut teritorial. Jadi menurut UU No. 1711985 jo UU No. 2411 992 daerah dapat merniliki kewenangan untuk mengelola dan memanfaatkan potensi dan prospek s~lmberdayaalam pesisir dan laut dalarn batas-batas yang diatur oleh perundang-undangan yang berlaku. Perlu ditegaskan di sini bahwa daerah tidak merniliki kewenangan atas badan airnya (water column), sehinggga kewenangan tersebut bukan kewenangan otonomi yang dapat diartikan sebagai kedaulatan daerah. Kewenangan atas badan air tetap menjadi kewenangan pusat, karena untuk menjelaskan adanya kepentingan nasional dalam pengintegrasian pengelolaan baik secara regional maupun nasional (Purwaka 2000).
Dengan berpegang pada Perpu No. 411960 jo. No. 511974, sebenamya daerah telah lama melaksanakan kewenangan pengelolaan atas laut. Hal ini dapat dipertimbangkan sebagai situasi yang telah menjadi hukurn kebiasaan dalam melaksanakan adrninistrasi pemerintahan di daerah (administrative customary law), yang dapat dipakai sebagai dasar hukurn bagi kewenangan daerah atas pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam laut. Pemerintahan daerah berhak dan berwenang
mengkoordinasikan semua perencanaan pembangunan sektoral dan daerah sesuai PP No. 611988. Perencanaan ini tidak dibatasi hanya di darat saja, sehingga secara implisit berarti mengkoordinasikan perencanaan pembangunan sektor kelautan. Melalui PP No. 4511992 (tentang Otonomi Daerah) dan PP No. 811995 (tentang 26 Kabupaten Percontohan Otonomi Tingkat II), maka secara bertahap dan berkelanjutan pembangunan otonomi daerah lebih dititikberatkan ke Daerah Tingkat 11, termasuk penyerahan urusan pengelolaan sumberdaya kelautan (Depdagri 1998).
Seiring dengan nafas reformasi, yang melahirkan UU No.2211999, UU No.25 I1999 dan PP No. 2512000, telah memberikan otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada pemerintah daerah. Perwujudan otonomi tersebut dengan pembagian dan pemanfaatan sumberdaya alarn, serta adanya perimbangan keuangan antara pusat dan daerah secara proporsional sesuai dengan prinsip demokasi, keadilan clan pemerataan. Impliasi langsung dari UU No. 2211999 adalah beralihnya kewenangan yang semula wilayah laut menjadi kewenangan pusat menjadi kewenangan daerah. Peralihan kewenangan
ini dalam penentuan kebijakan
pengelolaan
dan
pengembangannya di daerah agar menjadi keuntungan daerah berupa adanya peluang yang prospektif dalam mengelola surnber daya pesisir dan laut dalam batas-batas yang telah ditetapkan (Darwin 2001). Dengan demikian, luas wiiayah kewenangan pemerintah daerah menjadi bertambah sehingga memberikan harapan yang prospektif dan merupakan peluang bagi daerah, khususnya dalam hal jurisdiksi dalam memperoleh nilai tambah atas sumber dam hayati dan non-hayati, sumber pertambangan dan energi laut, di samping sumberdaya pesisir yang sangat memunglcinkan untuk digali dan dioptimalkan, seperti sumber daya ikan, terumbu karang, rumput laut dan biota laut lainnya serta pariwisata (Bengen et al. 200 1). Dalam ha1 pengelolaan pesisir dan lautan seperti tersirat dalam UU No. 2211999 pasal 10, bahwa daerah berwenang mengelola sumberdaya alam yang tersedia di wilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai peraturan perundang-undangan.
Oleh karena itu, dalam pendayagunaan
sumberdaya alam tersebut haruslah dilakukan secara terencana, optimal dan bertanggung jawab. Pemanfaatan sumberdaya alarn harus disesuaikan dengan kelnampuan daya dukungnya dan digunakan untull sebesar-besarnya bagi kemakmuran masyarakat. Dernikian pula harus memperhatikan kelestarian dan keseimbangan lingkungan hidup untuk terciptanya pembangunan yang berkelanjutan dan menjamin kebutuhan generasi mendatang (Muchsin et al. 2001). Salah satu permasalahan yang muncul dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut di daerah selama ini adalah adanya konflik-konflik pemanfaat dm
kekuasaan. Menurut Bengen et al. (2001) upaya penanganan masalah tersebut diharapkan dapat dilakukan secara reaktif dan proaktif.
Upaya reaktif artinya
pemerintah daerah dapat melakukan resolusi konflii mediasi atau musyawarah dalam menangani masalah tersebut. Upaya proaktif adalah upaya penanganan konflik pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan secara aktif dan dilakukan untuk mengantisipasi dan mengurangi potensi-potensi k o d i k pada masa mendatang. Penanganan seperti ini dilakukan melalui penataan kembali kelembagaan pemerintah daerah, baik dalam bentuk konsep perencanaan, peraturan perundang-undangan, sumberdaya manusia, sistem adrninistrasi pembangunan yang mengacu pada rencana pengelolaan sumber daya pesisir dan laut secara terpadu. Upaya ini dilakukan dengan menyusun rencana stategis (renstra) pengelolaan sumber daya pesisir dan laut terpadu setiap daerah. Renstra memuat zonasi kawasan pesisir dan laut untuk memfokuskan sektor-sektor tertentu dalam suatu zona, menyusun rencana pengelolaan (management plan) untuk suatu kawasan atau sumberdaya tertentu. Selanjutnya membuat rcncana aksi (action plan) yang memuat rencana investasi pada berbagai sektor, baik untuk kepentingan pemerintah daerah, swasta maupun masyarakat. Keseluruhan tahapan ini merupakan rencana strategis yang penting untuk dilakukan oleh pemerintah daerah. Ditambahkan oleh Chambers (1996) proses perencanaan yang dilakukan adalah perencanaan yang bersifat community-based planning, dimana setiap komponen daerah hendaknya dilibatkan dalam setiap proses, mulai dari tahapan perencanaan sampai dengan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut.
Namun demikian tidak berarti bahwa otonomi daerah tidak memiliki dampak negatif terhadap sumberdaya pesisir dan lautan. Menurut Knight (2001) dampak negatif akan timbul apabila pemerintah daerah seperti di atas tidak memilii persepsi
yang tepat terhadap pengelolaan sumberdaya pesisir clan lautan. Artinya sumberdaya tersebut tidak semata-mata untuk dieksploitasi tetapi juga hatus diperhatikan kelestariannya. Sebab dengan persepsi demikian, maka sumberdaya pesisir dan laut yang ada diupayakan dan dieksploitasi sebesar-besarnya untuk meningkatkan pendapatan asli daerah. Menurut Peterson (1997) eksploitasi berlebih dengan tidak mengindaWa kelestarian lingkungan dan sumberdaya alarn pada akhirnya akan menimbulkan masalah lainnya di kemudian hari. Jika ha1 ini terjadi, maka pola pemanfaatan sumberdaya yang dilakukan tidak ada bedanya dengan pola yang selama
ini dilakukan. Oleh karena itu yang perlu segera dibenahi adalah bagaimana agar pemerhitah daerah memiliki persepsi yang tepat terhadap pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan yang berkelanjutan. Dalam konteks pengelolaan sumberdaya kelautan, dimana beralihnya beberapa kewewenangan pusat ke daerah, di samping terdapat keuntungan, juga sekaligus menjadi beban dan tanggung jawab
dalam pengendalian dan
pengelclaannya. Pengelolaan sumberdaya kelautan hendaknya memperhatian dampak lingkungan seperti: over eksploitasi, degradasi lingkungan, pencemaran, dan keselamatan serta keamanan pelayaran. Hal-ha1 ini menurut Aunuddin et al. (2001) hanya merupakan akibat lanjutan dari beberapa masalah berikut; i. Belurn adanya institusillembaga pengelola khusus yang menangani masalah pengembangan pesisir dan laut. Irnplikasinya, tidak tersedianya instrumen hukum wilayah perbatasan daerah tersebut (RTRW, zonasi) untuk dapat diketahui masyarakat luas, khususnya dunia usaha yang diharapkan dapat menanarnkan
investasinya, serta pedoman bagi instansi di daerah dalam pengelolaan dan pengembangan wilayah laut guna peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal. ii. Keterbatasan sumberdaya manusia (aparat pemerintah) dalam bidang pesisir dan laut yang terdidik dan terlatih, sehingga kendala yang dihadapi adalah kesulitan dalam pendayagunaan serta peningkatan perangkat instansi daerah yang a& terhadap pengelolaan wilayah pesisir dan 4 mil laut yang merupakan kewenangan kabupaten. Sebagai contoh adalah kesiapan regulasi tentang pemanfaatan lahan pesisir untuk kegiatan pembangunan (pariwisata, pemukirnan dan sebagainya), pengaturan pemanfbatan sumberdaya laut, pengaturan alur pelayaran dan lainlainnya. iii. Ketersediaan data clan informasi pesisir dan laut sangat terbatas, seperti seberapa besar potensi kelautan yang dapat terdeteksi, misalnya bahan tambang,perikanan dan pariwisata.
iv. Terbatasnya wahana clan sarana dalam penerapan dan pendayagunaan teknologi bidang kelautan. Sehingga bagairnana upaya penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi pengelolaan sumberdayz pesisir dan laut dalarn usaha meningkatkan kesejahteraan masyaraht, belurn bisa terjawab, karena keterbatasan kernampun teknologi ~~ntuic dapat menggali potensi sumberdaya pesisir dan laut. Pembangunan pesisir dan laut yang berbasis daerah dengan tujuan untuk menggerakkan otonomi daerah, maka mulai dari perencanaan, pelaksanaan hingga pengawasan pembangunan adalah tenggung jawab pemerintah dan masyarakat di daerah. Hal ini dapat memberikan insentif bagi daerah untuk sepenuhnya melakukan
pemanfaatan potensi pesisir clan laut di wilayah yang menjadi kewenangamya (Adirnihardja 200 1). Sampai saat ini pengelolan sumber daya pesisir dan lautan masih berorientasi pada pendekatan sektoral (Bengen et al. 2001), ha1 ini tidak dapat dihindari, karena: i.
Matra laut tidak dapat diregionalisasikan dan dibagi habis menjadi daerah otonom, demi persatuan, kesatuan dan ketahanan nasional sesuai dengan doktrin Wawasan Nusantara, yang mernandang wilayah perairan Indonesia sebagai kesatuan politik yang tidak dapat dipisahkan
ii.
Secara nasional masih diperlukan kesamaan perlakuan pemerintah, dalam hal
ini kebijakan dan program pembangunan wilayah pesisir. Kebijakan nasional ini, yang selanjutnya dielaborasi pemerintah daerah untuk menjadi kebijakan operasional di daerahnya, sesuai dengan kamkteristik dan prof1 lingkungan pesisirnya.
iii.
Belum terbitnya peraturan perundang-undangan yang mengatw sejauh mana ke arah laut kewenangan pemerintah daerah dalam koordinasi perencanan, penataan ruang, pelaksanaan dan pengendalian pemanfaatan surnberdaya kelautan, sehingga kewenangan sektoral pusat sangat dominan dan kewenangan daerah tidak jelas. Sebagai konsekuensi pengelolaan yang berorientasi sektoral terpusat, maka terjadi hal-ha1 sebagai berikut:
i.
Pengelolaan sumber daya pesisir dan lautan h a n g efisien dan kurang efektif,
karena semua urusan h m diselesaikan di pusat, termasuk izin penangkapan ikan skala kecil, seperti izin kapal ikan lebih dari 30 DWT, dan izin pembangunan jetti wisata bahari, h m dimintakatkan ke pusat.
ii.
Kecendenmgan terjadinya vakum kewenangan, karena adanya sikap saling menunggu antara pemerintah pusat dan daerah, sehingga banyak pe!uang pembangunan icelautan di daerah belurn tergarap secara optimal.
iii.
Kecenderungan daerah dan masyarakat untuk melaksanakan urusan yang belum menjadi kewenangannya, dan mengabaikan dampaknya, sehingga banyak kasus-kasus reklamasi pantai yang mencuat menjadi issue nasional, seperti Teluk Manado, Pantai Kenjeran-Surabaya, clan Jakarta Front City.
iv.
Meningkatnya laju degradasi sumberdaya lautan; seperti rusaknya terumbu karang, hancurnya ekosistem mangrove, dan punahnya &an jenis tertentu karena tidak adanya yang merasa bertangung jawab atas kerusakan tersebut. Untuk mengatasi pennasalahan ini maka perlu diambil langkah-langkah
sebagai berikut : i.
Melakukan hventarisasi urusan sektor pusat di bidang kelautan, seperti dari sektor perilcanan, pariwisata,
industri
maritim,
perhubungan
laut,
pertambangan dan energi, serta kehutanan.
ii.
Dari masing-masing sektor, diinventarisasi urusan-urusan yang dapat diserahkan kepada pemerintah daerah, dengan pertimbangan efisiensi dan
efelctifitas. Misalnya, urusan perizinan kapal pemmgkap ikan ditingkatkan .-dari e
30 DWT sampai 100 DWT cukup Dinas Perilcanan Tingkat I. iii.
Mempertahankan m a n - m a n yang bersifat strategis nasional di tangan pemerintah pusat dan dilaksanakan dengan melibatkan masyarakat dan pemerintah daerah.
iv.
Langkah selanjutnya, urusan yang dianggap efisier, dan efektif dilaksanakan
di daerah, diserahkan berdasarkan Peraturan Pemerintah kepada Pemerintah Daerah Tingkat I, yang dilanjutkan ke Pemerintah Daerah Tingkat 11, dan masyarakat. v.
Memberikan arahan kepada pemerintah daerah agar mengalokasikan dana
APBD masing-masing untuk kegiatan kelautan, dan secara proaktif melaksanakannya di daerah. Mekanisme penyerahan urusan dimaksud adalah sebagai berikut : i.
Meniru pola pendaerahan urusan pemerintah dan pelembagaan di wilayah nC
daratan dengan tetap mempertimbangkan spesifikasi laut sebagai matra yang tidak dapat dipisahkan dan dibagi habis berdasarkan daerah otonom. ii.
Pendaerahan urusan tersebut difokuskan pada urusan pengelolaan surnberdaya pesisir dan lautan dalam bidang ekonomi untuk memberdayakan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, bukan mencampuri urusan kedaulatan dan pertahanan dan keamanan. Sebagai irnplikasi penyerahan urusan ini diperlukan :
i.
Kesediaan pusat untuk menyerahkan sebagian urusannya kepada daerah yang didukung oleh penyerahan personil, peralatan dan dukungan pembiayaan, secara bertahap dan berkesinambungan.
ii.
Kerelaan instansi vertikal pusat yang ada di daerah untuk dikoordinasikan sehingga kegiatan instansi yang satu dengan yang lain tidak tumpang tindih dalam satu kawasan, melainkan saling mendukung secara sinergis.
iii.
Peningkatan kualitas clan kineja koordinasi antara instansi pusat dengan daerah dalam perencanaan dan pengelolaan sumberdaya lautan, sehingga semua perencanaan sektor dan swasta dapat dikoordinasikan dan diintegrasikan dengan pembangunan daerah.
iv.
Pembentukan lembaga otonom daerah yang berwenang dan bertangung jawab dalarn perencanaan pengelolaan sumberdaya lautan, sehingga semua perencanaan sektor dan swasta dapat dikoordinasikan dan diintegrasikan dengan pembangunan daerah. Bila urusan ini telah diserahkan, dan pemerintah daerah diberi kewenangan,
maka daerah dapat menyusun perencanaan strategis (strategic plan) pengelolaan wilayah pesisir, yang mengakomodir berbagai perencanaan sektoral yang ada di daerah, dan mengkoordinasikan perencanaan tersebut agar kegiatan sektor yang satu dengan yang lain dapat berlangsung secara sinergi dan saling mendukung. Dari perencanaan strategis tersebut, menurut Dahuri (2000) perlu dikembangkan zonazona (development and conservation zones) pembangunan dan konservasi untuk seluruh wilayah pesisir masing-masing propinsi. Zona pembangunan wilayah pesisir
dapat terdiri dari zona untuk wisata bahari, zona pertambangan, zona budidaya perikanan, zona pertahanan dan keamanan, zona industri maritim dan zona
konservasi. Dalam zona tertentu dikembangkan rencana pengelolaan (management plan), sehingga ada bagian-bagian dari ruang perairan yang dikhususkan untuk kepentingan sektor, dan ada bagian yang menjadi zona multi guna (multiple use zone). Setelah rencana pengelolaan tersusun, kemudian disusun rencana aksi (action plan) yang memuat investasi yang akan segera dilaksanakan sektor, pemerintah daerah dan swasta secara terbuka dan transparan sehingga saling mendukung. Menurut Bengen et al. (2001) kebijakan pengelolaan wilayah pesisir terpadu dalam pembangunan daerah akan memberikan manfaat, antara lain : i.
Mengurangi beban kerja pemerintah pusat sehingga dana pembangunan sektor yang terbatas dapat dipadukan dengan dana pembangunan daerah yang semakin besar, termasuk mengalokasikan aparatur dan fasilitas yang dapat menangani pembangunan secara langsung.
ii.
Mendekatkan pelayanan kepada masyarakat dan swasta karena pemberdayaan unit-unit kerja pemerintah daerah dan kelembagan ~ilasyarakat akan memudahkan pelayanan langsung ke pengguna jasa dan proses-proses perizinan. Mereka tidak lagi meminta izin ke instansi sektor di pusat untuk urusan yang bukan strategis nasional.
iii.
Meningkatkan efisiensi dan efektifitas kegiatan-kegiatan pembangunan di wilayah pesisir, yang berimplikasi pada peningkatan perturnbuhan ekonomi dan kesejahteraaan masyarakat.
iv.
Menempatkan kepentingan nasional di daerah pada skala prioritas tinggi sehingga meningkatkan perhatian pemerintah daerah untuk ikut bertanggung jawab dalam melestarikan sumberdaya kelautannya.
v.
Berkaitan dengan manfmt tersebut, maka diharapkan kerelaan semua pihak agar memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah selebar 12 mil dari titik pasang surut terendah, karena di wilayah ini konflik dan konsentrasi pemdaatan sumberdaya pesisir terjadi. Di sisi lain diharapkan pemerintah daerah secara proaktif memperjuangkan kewenangan tersebut menjadi milik mereka dengan menunjukkan komitmen yang dalam pelaksanaan proyekproyek kelautan yang telah diserahkan sebagian kepada daerah.
C.
Tata Ruang Wilayah Pesisir Penataan ruang menurut Undang-undang nomor 2411992 (tentang Penataan
Ruang) adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang atau pelaksanaan rencana tata ruang dan pengendalian pernanfaatan ruang. Perencanaan tata ruang meliputi kegiatan menyusun, menetapkan dan mensyahkan rencana tata ruang dengan mempertirnbangkan aspek waktu, modal dan optimasi terhadap penggunaan bumi, air, angkasa dan keseimbangan serta daya dukung lingkungan. Pelaksanaan rencana tata ruang meliputi kegiatan membuat rencana teknik dan program pemdaatan ruang agar dapat berfhgsi sesuai dengan rencana tata ruang.
Pengendalian
pelaksanaan rencana tata ruang, meliputi pengaturan, pengawasan dan penertiban dalam memdaatkan ruang untuk mencapai tujuan penataan ruang (Sugandhy 1999).
Perencanam tata ruang dimaksudkan untuk menyerasikan/memadukan berbagai kegiatan pembangunan sektor dalam pengembangan wilayah dan pembangunan daerah, sehingga dalam pemanfaatan ruang dapat optimal, efisien clan serasi. Penataan ruang dimaksudkan untuk mengatur hubungan antara berbagai kegiatan penggunaan lahan dengan fungsi ruang guna tercapainya pernanfatan yang berkualitas (Arsy 1997). Selanjutnya penggunaan lahan dan h g s i ruang adalah seperti penjelasan dalam UU No. 2411992 pasal 1, kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan h g s i utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya dam dan buatan. Kawasan budidaya ialah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi utama atau potensi sumberdaya alam, SDM dan sumberdaya buatan. Sehingga penataan ruang adalah proses perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang untuk mewujudkan terselenggaranya pemanfaatan ruang yang berwawasan lingkungan dengan pengaturan pengaturan pemanfaatan kawasan lindung dan budidaya (Sugandhy 1999). Pendekatan perencanaan tata ruang melalui perencanaan tata guna lahan dapat
dilakukan dengan cara penilaian terhadap lahan dan komponen-komponennya, seperti tanah, air, iklim untuk memenuhi kebutuhan manusia yang berubah menurut waktu
dan ruang (Arsy 1997). Pengaturan pemanfaatan ruang pada hakekatnya bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu penyusunan komposisi p e d a a t a n ruang secara optimal selain bertujuan untuk meningkatkan produktifitas juga diharapkan tidak menimbulkan darnpak negatif terhadap lingkungan. Hal ini merupakan persoalan yang cukup kompleks mengingat
banyak &or dengan kepentingan yang berbeda terlibat dalam pemtaan ruang. Sehubungan dengan kompleksitas dan dinamika ekosistem pesisir
serta
permasalahannya, maka akan lebih mudah apabila pembuatan strategi optimasi dilakukan dengan pendekatan sistem @ahuri et al. 1996). Menurut Amien (1997) perencanaan tata ruang (spasial) wilayah pesisir lebih komplek bila dibandingkan dengan perencanaan spasial di daerah daratan (land-
based/terrestrial). Hal ini disebabkan oleh 3 alasan berikut: i. Perencanaan di daerah pesisir harus mengikutsertakan semua aspek yang berkaitan baik dengan wilayah daratan maupun wilayah lautan. ii. Aspek daratan clan lautan tersebut tidak dapat dipisahkan secara fisik oleh garis pantai. Kedua aspek tersebut saling berinteraksi secara terus menerus dan bersifat dinamis seiring dengan proses-proses fisik dan biogeokimia yang terjadi. iii. Bentang alam (geomorfologi dan fisiografi) daerah pesisir berubah secara cepat bila dibandingkan dengan wilayah daratan (terrestrial). Hal ini merupakan hasil interaksi yang dinamis antara daratan dan lautan. Agar mencapai hasil yang optimal, maka perencanaan tata ruang wilayah pesisir harus berdasarkan pada pendekatan hirarki. Menurut Clark (1996) pada tingkat pertama, wilayah pesisir dapat diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) zona, yaitu zona pemdaatan, zona konservasi dan zona penyangga. Zona pemanfaatan meliputi perkotaan, lokasi perindustrian dan transportasi (pelabuhan, jalan raya, jalan kereta
dan lainnya). Zoaa konservasi (budidaya) meliputi tanah pertanian, danau buatan,
dan kolam (tambak dan jaring apung), hutan budidaya dan mangrove.
Zona
penyangga (preservasi) meliputi ekosistem alami seperti hutan, sungai, estuaria, terumbu karang, danau dan lautan. Pada tingkatan selanjutnya ketiga zone tersebut di klasi£hsikan lagi menjadi bagian yang lebii detail menurut alokasi wilayah (spasial) masing-masing unit berdasarkan berbagai ahifitas pembangunan. Wilayah pesisir sebagai suatu ekosistem alami memiliki h g s i pokok bagi kegiatan mmusia, yaitu: (i) fungsi mengatur, (ii) h g s i mendukung, (iii) h g s i melakukan produksi dan (iv) h g s i menyediakan idormasi.
Fungsi mengatur
mencakup kemampuan alami ekosistem untuk melakukan pengaturan dan sekaligus menjaga agar semua komponen dan proses ekologis serta kemampuannya mendukung kehidupan dapat berlangsung. Fungsi mendukung merupakan kemampuan suatu lingkungan alami untuk menyediakan ruang dan media bagi berbagai kegiatan manusia. Fungsi produksi adalah kemampuan lingkungan alami untuk berproduksi menyediakan berbagai kebutuhan hidup manusia. Fungsi menyediakan idormasi adalah kemampuan lingkungan alami untuk menyediakan dukungan mmwia dalam mengembangkan kemampm kognitihya (Odum 1976). Keempat h g s i tersebut di atas saling terkait satu dengan lainnya dan hanya terwujud bila terpenuhi syarat-syarat : (a) ada keharmonisan spasial (keruangan), (b) kapasitas asimilasi terjaga, dan (c) pemm-aatan yang dilakukan tidak melampaui daya produksi 1 ambang batas ekologis. Keharmonisan spasial merupakan persyaratan
penting agar semua kegiatan yang dilakukan dapat saling mendukung. Berdasarkan
ha1 tersebut, maka diperlukan untuk menetapkan kawasan, yang terdiri dari: a) Kawasan Preservasi (kawasan lindung), yaitu kawasan diiana tidak diperkenankan melakukan kegiatan. b) Kawasan Konservasi, yaitu kawasan dengan kegiatan terbatas. Kawasan preservasi dan konservasi penting untuk memelihara terjadinya proses-proses alarni, seperti daur hidrologi, daur unsur hara dan asimilasinya. Luas kawasan
ini idealnya adalah 30 - 50 % dari total luas ekosistem dan disesuaikan dengan kondisi biofisik - kirnianya. c) Kawasan Pemanfaatan adalah kawasan yang menjadi tempat seluruh kegiatan pembangunan berlangsung, seperti industri, perikanan, pertanian, pemukiman clan lainnya Menurut Dahuri et al. (1996) perencanaan tata ruang mensyaratkan kehannonisan spasial dengan pembagian zona, dimana keberadaan zona preservasi
dan konservasi penting untuk memelihara berbagai proses kehidupan. Pendekatan demikian menjadi sangat penting bagi pembangunan berkelanjutan di wilayah pesisir disebabkan oleh alasan berikut hi. Meskipun zona pemdaatan meliputi areal yang sempittkecil dari total keseluruhan wilayah pesisir, tetapi memerlukan banyak energi
dan memproduksi limbah panas dan bahan pencemar lain, yang banyak menimbulkan dampak terhadap kedua zona lainnya. Pada saat energi minyak digunakan untuk mengupayakan peningkatan zona konservasi, seperti intensifikasi
pertanian,
budidaya ikan maka dari zona ini akan muncul dampak yang cukup berarti terhadap
kedua zona yang lain, seperti terhadap tanah, air, penggunaan pupuk, pestisida dan limpasan sisa bahan organik. Zona peyangga adalah zona yang memenuhi sendiri kebutuhannya dan mengelolanya sendiri, dimana perubahan yang terjadi dikendalikan tanpa campur tangan aliran energi maupun ekonomi yang dikontrol oleh manusia. Sistem alami pada zona penyangga yang berfungsi sebagai tempat pengolahan berbagai macam bahan pencemar, baik dari zona pemanfaatan maupun zona konservasi, dan juga berfimgsi sebagai pensuplai bahan-bahan alami dan semua kebutuhan di kedua zona ini. Berdasarkan pada penggunaan energi, maka fungsi kesinarnbungan dari wilayah pesisir sebagai satu kesatuan ekosistem memerlukan pengelolaan ketiga zona tersebut secara proporsional
D.
Pembangunan Industri Maritim Kerangka pembangunan sumberdaya pesisir dan laut identik dengan
pembangunan sektor yang lain yaitu harus dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat, memperluas kesempatan kerja dan meningkatkan kesempatan berusaha. Untuk itu motor pembangunan sumberdaya pesisir dan laut adalah turnbuhnya industri maritim yang berdaya saing dan memperhatikan aspek kelestarian dan daya dukung lingkungan (Purwaka 2000). Menurut Sasono et al. (1993) kepastian hukum dan terjaminnya rasa aman dalam melakukan investasi menjadi ha1 yang sangat penting dalam pembangunan industri maritim ini. Adanya investasi yang akan mengalir ke suatu daerah akan mendorong pembangunan daerah. Guna menarik investasi tersebut, pemerintah daerah melakukan
perencanam yang terarah dan jelas, serta @at memberikan suasana kondusif serta kemudahan dalam berusaha. Perencanaan pembangunan industri maritim merupakan salah satu upaya dalam rangka menarik investor tersebut. Sebagai realisasi pembangunan tersebut pemerintah daerah dapat menetapkan suatu kawasan tertentu menjadi pusat kegiatan industri rnaritim. Pembangunan kawasan industri maritim dalam usaha untuk membangun industri di suatu daerah mempunyai tiga manfaat, yaitu: (i) menghemat pengeluaran p e m e ~ t a hdalam membangun prasarana, (ii) rnenciptakan efisiensi yang lebih tinggi dalam kegiatan industri-industri, dan (iii) menciptaka. perkembangan daerah yang lebih cepat dan mengoptimalkan peranan pembangunan daerah dalam pembangunan secara keseluruhan (Syam 1999). Dari sudut pemerintah, pengembangan kawasan industri maritim akan mempertinggi efisiensi dana pembangunan daerah yang disediakan oleh pemerintah. Biaya prasarana per kapita akan bertambah rendah apabila diberikan kepada penduduk kota, asal jurnlah penduduk kota tersebut tidak terlalu berlebihan. Sebaliknya, apabila prasarana dikembangkan tersebut ke berbagai tempat dalam suatu daerah, biaya pemeliharaan dan pembinaan prasarana tersebut yang dinyatakan dalam biaya prasarana per kapita akan menjadi bertarnbah tinggi. Di samping itu, terdapat pula kemungkinan bahwa prasarana yang disediakan tersebut penggunaannya tidak optimal karena terbatasnya penduduk yang menggunakannya. Faktor yang paling penting mendorong usaha menciptakan kawasan industri maritim adalah besarnya keuntungan potensial yang akan diperoleh berbagai industri apabila tersedia fasilitas buat industri-industri tersebut. Oleh sebab itu, menurut Aziz (1994) pengembangan kawasan industri maritim dimaksudkan untuk memberikan
lebiih banyak perangsang kepada para penanam modal, langkah tersebut akan mengurangi masalah yang dihadapi untuk memperoleh tempat bangunan, clan dapat mengurangi biaya yang diperlukan untuk mendirikan industrinya karena bangunan
perusahaan dapat disewa atau dibeli dengan biaya yang relatif tidak terlalu mahal. Di samping itu, menurut Amien (1997) kawasan industri maritim dapat pula menimbulkan berbagai external economies kepada industri-industri tersebut. Sumbersumber external economies kawasan industri dapat dibedakan dalam tiga golongan, yakni: i.
Kawasan industri maritim mempererat hubungan di antara berbagai industri sehingga lebih mudah untuk memperoleh bahan mentah yang akan diperlukan
dan menjual hasil produksinya ke industri lain. Hal ini bukan saja akan menyebabkan turunnya biaya pengangkutan, tetapi juga akan memperlancar jalannya proses produksi. ii.
Pasar tenaga kerja di kawasan industri maritim keadaannya lebih sempurna daripada kalau letak industri tersebar. Apabila terdapat kawasan industri maritim, maka tenaga kerja mahir akan berpindah ke daerah tersebut untuk mencari pekerjaan, sehingga memperbesar penawaran tenaga kerja mahir clan tenaga kerja berpendidikan yang biasanya sulit diperoleh di daerah yang kurang maju. Dengan penawaran tenaga kerja mahir yang cukup, suatu industri maritim lebih mudah memperoleh tenaga kerja yang diperlukan atau kalau industri tersebut hendak mengganti pekerjanya, dengan cepat ha1 tersebut dapat dilakukan.
Selain itu permintaan tenaga kerja yang
berpendidikan dan mahir yang memadai dilakukan dengan usaha-usaha
pendidikan sehingga menjamin kontinuitas penawaran tenaga kerja di masa yang akan datang. iii.
Dengan adanya kawasan industri maritim, masing-masing industri tidak perlu menyediakan unit service tersendiri untuk mesin-mesin dan peralatan lainnya karena pada umumnya service yang diperlukan dapat disediakan oleh perusahaan yang khusus melaksanakan jasa tersebut. Demikian pula latihan untuk para pekerja, fasilitas sosial bagi para pekerja seperti rumah sakit, tempat rekreasi, pendidikan untuk anak pekrja, tidak perlu disediakan sendirisendiri oleh masing-masing industri. Keuntungan lain, menurut Damanhuri (1996) dengan bertambah tingginya
efisiensi industri-industri dalam kawasan industri maritim, maka kemampuan bersaing akan bertambah besar, yang pada akhirnya akan menyebabkan semakin luasnya pemasaran hasil industri tersebut. Selanjutnya, produksi akan meningkat dan mempercepat laju pertumbahan ekonomi. Tambahan pula, adanya kawasan industri maritirn akan meningkatkan jumlah industri yang diturnbuhkan sekaligus peluang yang besar untuk meningkatkan pendapatan daerah. Industri maritim merupakan salah satu industri penting yang dipilih sebagai satu dari beberapa ujung tombak industri berbasis teknologi dan menjadi bagian dari strategi globalisasi demi melancarkan pembangunan dalarn negeri clan kemajuan peranan Indonesia dalam persaingan internasional. Berdasarkan penilaian ekonomi, kegiatan investasi yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan yaitu perikanan, pertambangan dan energi, transportasi, pariwisata, bangunan laut
termasuk galangan kapal niaga, pelabuhan, galangan kapal ikan, dan kegiatan pengelolaan sumberdaya laut, antara lain pengembangan sumberdaya pelaut, pengelolaan benda berharga dari laut dan bioteknologi kelautan (Purwaka 2000). Sementara garis-garis besar haluan negara (GBHN) menyatakan bahwa sumberdaya pesisir dan lautan merupakan modal b a r pembangunan yang penting. Berdasarkan hasil studi Bappenas, kontribusi pemanfatan sumberdaya kelautan terhadap produk domestik regional bruto (PDRB)mencapai Rp 36,6 trilyun atau 22 % tahun 1988, dan tahun 1990 kontribusi sektor kelautan sudah mencapai Rp 433
trilyun atau 24 % dari PDRB dan menyediakan kesempatan kerja bagi 16 juta jiwa (Dahuri et a1 1996). Kontribusi ekonomi tersebut semakin besar, karena banyak kegiatan pembangunan sektoral, regional, swasta, dan masyarakat mengambil tempat di kawasan pesisir, seperti budidaya perikanan, wisata bahari, industri maritim, pertambangan lepas pantai, pelabuhan laut dan reklamasi pantai. Sehingga pemanfiiatan potensi dan prospek sumberdaya kelautan merupakan kegiatan pembangunan yang penting. P~tensiindustri dan jasa maritim yang dimiliki Indonesia sangat besar. Sebagai negara bahari, pangsa pasar industri dan jasa maritim selama ini masih dikuasai oleh armada niaga berbendera asing.
Menurut catatan Dewan Kelautan Nasional,
kemampuan daya angkut armada niaga nasional untuk muatan dalam negeri baru mencapai 543 persen, sedangkan untuk ekspor baru mencapai 4 persen, sisanya
d i a i oleh armada niaga asing (Kusumastanto 2000). Sampai akhir Pelita VI
dibutuhkan sebanyak 2.320 unit kapal (4.817.410 GT) yang umumnya terdiri dari kapal barang di atas 500 DWT dan kapal ikan di atas 60 GT @PPT 1996). Peningkatan jumlah penumpang clan barang yang dimuat serta eksploitasi perikanan tangkap domestik merupakan peluang bagi pengembangan sub-sektor industri maritim khususnya industri galangan kapal. Dernikian juga meningkatnya konsurnsi domestik dan luar negeri terhadap ikan dan hasil ikan meningkath industri pengolahan ikan. Diperkirakan angkutan barang akan semakin meningkat dengan semakin meningkatnya jumlah barang yang diekspor, yang sebagian besar dilakukan menggunakan angkutan laut, aka.semakin cerah. Hal ini terutarna untuk angkutan melalui laut pada pelayaran penyeberangan di dalam negeri maupun pelayaran antar negara ASEAN, khususnya dengan Singapura, Malaysia clan Philipina dan pelayaran antar negara-negara lainnya di dunia. Apalagi dengan kondisi moneter yang h a n g menguntungkan, dimana Indonesia dipacu untuk meningkatkan ekspornya. Kondisi
ini tentunya sangat menguntmgkan bagi pengembangan sektor jasa angkutan laut clan jasa penunjmgnya (Sasono et al. 1993). 1. Industri Perikanan
Agar potensi sumberdaya perikanan marnpu memberikan sumbangan yang berarti bagi perekonomian nasional, maka langkah strategis yang dilakukan adalah meningkatkan kinerja industri perikanan, seperti industri penanganan pasca panen dan industri pengolahan melalui pemberian insentif dan kemudahan guna mendorong
perkembangan industri perikanan tersebut.
Pengembangan industri perikanan
dilakukan dengan memperhatikan dua l a n h penting sesuai dengan harapan untuk dapat memberikan sumbangan bagi pemulihan ekonomi yaitu aspek pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraau rakyat (Dahuri 2000). Oleh karenanya investasi dalam pembangunan perikanan diperlukan untuk meningkatkan modal sebagai usaha untuk meningkatkan daya saing sektor perikanan, serta meningkatkan share dalam perekonomian nasional. Pada kondisi perekonomian saat ini investasi sektor perikanan selain untuk meningkatkan produksi, juga hams
diarahkan untuk meningkatkan penyerapan tenaga kerja (Kusnadi 2000). Pada sisi yang lain, pembangunan sektor perikanan juga diharapkan untuk mampu membantu memulihkan perekonomian nasional, salah satunya dengan menempatkan sektor perikanan sebagai salah satu sumber devisa. Konsekuensinya pengembangan usaha perikanan juga hams mengarahkan kepada komoditi-komoditi yang berorientasi ekspor. Seiring dengan terjadinya kelangkaan sumber-sumber modal yang diperlukan, maka investasi industri perikanan harus efisien (Fridman 1998). Dalam kerangka teoritis, pendekatan yang dapat dilakukan adalah dengan mengacu pada sektor-sektor yang mempunyai indeks ICOR (Incremental Capital Output Ratio) yang rendah. Diharapkan dari besaran indeks ICOR yang rendah ini, maka investasi yang diperlukan akan menghasillcan output (diukur dengan Produk Domestik Bruto) sektor perikanan atau jenis usaha yang bersangkutan yang semakin besar. Selain konsep efisiensi pemakaian modal (capital) juga dituntut adanya peningkatan produktivitas tenaga kerja. Produktivitas tenaga kerja dapat dicirikan dari besaran indeks ILOR (Incremental Labour Output Ratio) yang semakin rendah. Untuk dapat
memungkihn terjadinya peningkatan produktivitas tenaga kerja, maka faktor tehologi menjadi kendala yang cukup signifikan. Sehingga investasi diharapkan juga mampu untuk
meningkatkan tehologi industri perikanan baik budidaya,
penangkapan maupun pengelolaan produk pasca panen (Syam 1999). Secara ekonomis investasi dilakukan pada sektor-sektor yang efisien, baik dalam menghasillcan output maupun peningkatan produkstivitas tenaga kerja. Namun demikian dalam pilihan dan prioritas investasi maka faktor ketersediaan sumberdaya
alam hayati dan lahan serta penguasaan teknologi harus diperhatikan (FA0 2000). Menurut Budiharsono (2001) untuk jenis industri pengolahan m t a n prioritas investasi secara berturut-turut adalah : (i) industri pengolahan dan pengawetan lainnya untuk ikan dan biota air lainnya seperti tepung ikan, kecap ikan, tepung udang dan sejenisnya (ICOR : 2,95); (ii) industri pengalengan ikan dan biota perairan lainnya (seperti sardencis, udang dan sejenisnya) (ICOR : 3,45), (iii) industri penggaramanlpengeringan ikan dan biota perairan lainnya seperti ikan tembang, teri, udang cumi-cumi dan sejenisnya (ICOR : 3,55); dan (iv) Industri pemindangan ikan dan biota air lainnya seperti bandeng, tongkol dan sejenisnya (ICOR :4,65). Sedangkan perkiraan kebutuhan investasi pembangunan perikanan didekati berdasarkan pertumbuhan output PDB yang diinginkan. Menurut Kusumastanto (2000) dengan proyeksi pertumbuhan PDB sebesar 6,0%/tahun, maka proyeksi kebutuhan investasi pembangunan perikanan dari tahun 1999-2003 dapat dilihat dalam Tabel 2.
Tabel 2. Proyeksi Kebutuhan Investasi Perikanan, Investasi Industri Perikanan, serta PDB Perikanan dengan clan Tanpa Industri Perikanan; atas harga dasar konstan tahun 1995 periode tahun 1999-2003. Satuan :Rp.Milyar
7
No. Keterangan 1.
-
Proyeksi PDB Perikanan (tanpa industri pengolahan dan pengawetan ikan hasil perikanan)
2.
1999
2000
Tahun 200 1
2002
2003
11.428
12.1 13
12.839
13.609
14.425
(73,02%)
(73,02%)
(73,01%)
(73,03%)
(73,01%)
Proyeksi Kebutuhan Investasi Perikanan (tanpa industri pengolahan dan pengawetan hasil perikanan)
3.
4.
5.
6.
7.
-
Proyeksi PDB Industri Pengolahan dun p e n b e t a n Zkan) Proyebi Kebutuhan Investasi Industri Pengolahan dun Pengavetan Hasil ~erikanan) Proyeksi PDB Perikanan ( t e k s u k industri pengolahan dan pengawetan hasid ~ e l i k a l m ) Proyeksi Kebutuhan Investasi Perikanan (termasuk industri pengolah-an dan pengawetan hasil perikanin) Proyeksi Pertumbuhan
4.4 76
(26,98%) 1.079 (34,86%)
16.589 (100%) 3.095 (100 %) 6%
PDB umber : PKSPL IPB 1998 K ferangan: rgka d a h m n g crdak prosentasi terhadap nilai total (termasuk indu bni pengoi
an komodir rail perikai
n ).
Berdasarkan penelitian PKSPL IPB tenaga kerja sektor perikanan mempunyai koefisien jurnlah tenaga kerja sebesar 0,139 18. Koefisien ini berdampak pada jurnlah tenaga kerja di sektor perikanan sebesar 1.286.222. Bila dikaitkan dengan Produk Domestik Bruto maka jumlah tenaga kerja tersebut akan berpengaruh terhadap produktivitas. Nilai koefisien tenaga kerja di atas menghdikasikan bahwa untuk
menghasilkan output sektor perilcanan sebesar satu miliar rupiah diperlukan 139 ribu tenaga kerja. Sehingga diproyeksikan bahwa tenaga kerja yang akan dilibatkan diperkirakan seperti dalam Tabel 3 berikut ini. Tabel 3. Proyeksi Tenaga Kerja yang Terserap Secara Langsung dalam Sub-Sektor Perikanan, 1999-2003.
No.
Tahun
1. 2. 3. 4. 5.
1999 2000 2001 2002 2003
Proyeksi PDB Per-ikanan Total (ter- Proyeksi Tenaga Kerja Yang Terserap masuk industri pengolahan per-ikanan) secara langsung (Koefisien tenaga kerja atas harga konstan 1993 dan tahun = 0,1391 8) satuan :orang dasar 1995 satuan Rp. milyar) 15.650 16.589 17.585 18.634 19.758
2.178.167 2.308.857 2.447.480 2.593.480 2.749.918
Sumber : PKSPL IPB 1998 2. Industri Pariwisata
Pariwisata sebagai salah satu unsur industri maritim memiliki prospek pembangunan yang cerah dalam menunjang pembangunan ekonomi nasional secara mum. Namun dalam pembangunan terdapat berbagai permasalahan yang dihadapi yang dapat menghambat laju pembangunan nasional, seperti sarana dan fasilitas pariwisata mash h a n g , serta surnberdaya manusia belum memadai. Oleh karena itu menurut Kartodiharjo (2000) diperlukan strategi untuk menanggulangi perrnasalahan tersebut. Adapun strategi yang dirnaksud adalah:
-
Penambahan prasarana dan sarana pariwisata bahari yang memadai untuk menunjang pembangunan pariwisata, seperti sarana akomodasi, transportasi, restoran dan sarana penunjang lainnya (seperti operator wisata, telekomunikasi, pemeliharaan kesehatan dan kebersihan,jaminan keselamatan dan kenyamanan).
-
Perluasan akses terhadap objek dan lokasi-lokasi pariwisata.
Tersedimya
aksesibilitas yang luas menuju objek wisata sangat penting dan menentukan, seperti pelabuhan (udara dan laut) prasarana dan sarana transportasi yang lancar ke objek-objek wisata.
-
Peningkatan kualitas sumberdaya manusia pelaku pembangunan pariwisata melalui pendekatan pengetahuan, pendekatan keterampilan dan pendekatan sosial budaya juga penyediaan data dan informasi serta peningkatan kegiatan dan pengembangan promosi wisata
3. Industri Pertambangan dan Energi Pertambangan dan energi selama ini menjadi primadona penghasil devisa negara.
Namun sumberdaya, seperti timah, minyak dan gas pada suatu saat akan habis. Selain itu juga terdapat berbagai permasalahan yang dihadapi dalam kegiatan eksploitasi sumberdaya, seperti sumberdaya manusia belum menguasai teknologi pertambangan dan energi, sarana penunjang belum memadai dan belum adanya teknologi yang ramah lingkungan.
Oleh karena itu, menurut Dahuri (2000)
diperlukan adanya strategi pembangunan pada sektor ini. Adapun strategi yang dimaksud adalah:
-
Peningkatan kemampuan eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya dilakukan melalui peningkatan kualitas sumberdaya manusia dalam mengelola dan mernanfaatkan sumberdaya, meningkatkan kemampuan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tinggi, meningkatkan sarana penunjang untuk mengelola sumberdaya pertambangan dan energi.
-
Pengembangan teknik dan tehologi eksploitasi sumberdaya yang ramah
lingkungan. Teknik dan telcnologi eksploitasi ramah lingkmgan adalah yang memberikau dampak seminimal mungkin terhadap lingkungan sekitarnya.
-
Penggalakan kegiatan penelitian clan eksplorasi surnber-sumber energi alternatif serta menggalakkan kegiatan eksploitasi sumber energi yang selama ini relatif belurn dimanfmtkan, seperti energi panas samudera/OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion), panas bumi (geothermal), energi ombak (wave energy), energi pasang surut (tidal energy) dan energi gambut.
4. Industri Pembangunan Kapal
Pada masa yang akan datang peluang pembangunan angkutan laut, baik dalam maupun luar negeri akan terus meningkat. Menurut Kusumastanto (2000) untuk mengoptimumkan peluang tersebut diperlukan adanya strategi pembangunan. Adapun strategi tersebut adalah:
-
Peningkatan kemampuan dan kapasitas armada perkapalan nasional melalui peningkatan kinerja kapal angkutan dan penguasaan akses pasar.
-
Peningkatan kualitas sumberdaya manusia melalui pelatihan keterampilan dan pengembangan lembaga peiatiban.
-
Pembenahan manajemen pelayaran, meliputi peningkatan efisiensi pelayanan pelabuhan termasuk administrasi, pengembangan sistem transportasi yang terpadu
di pelabuhan untuk memudahkan kegiatan kepelabuhanan. Industri maritim Indonesia sangat berpotensi dalarn menjawab tantangan masa depan dan memberi nilai tambah yang cukup tinggi untuk produk-produk tramportasi
laut yang dapat menghasilkan tambahan devisa ekspor. Salah satunya adalah industri
kapal, yang telah berhasil memproduksi bebeberapa jenis kapal, baik sebagai hasil alih tehologi maupun kerjasama dengan pihak luar negeri. Industri pembangunan kapal pemah berkembang pesat di Indonesia. Industri yang dibangun termasuk galangan kapal nasional meliputi jenis kapal niaga, kapal untuk tujuan tertentr; kapal ikan, dan kapal perang. Menurut Idris et al. (2001) aktivitas galangan kapal untuk pasar domestik saat ini adalah sebagai berikut: i.
Kapal terakhir dari program Caraka Jaya tahap 11 (24 kapal dengan kapasitas masing-masing 3.650 DWT) telah diserahkan Mei 1994. Tahap terakhir yaitu tahap 11 telah dimulai tahun 1995, dimana mesin dan peralatan yang diimpor telah tiba di galangan kapal nasional. Sembilan galangan kapal berpartisipasi dalam pembangunan kapal Caraka Jaya tahap 111 ini sedangkan tahap kedua hanya diikuti oleh lirna galangan kapal saja.
ii.
Program pembesi-tuaan dan pembangunan kapal tanker dari Pertamina sedang dilaksanakan dengan menggunakan prinsip BBHP (Bare Boat Hire Purchase). Sebelumnya, pengadaan kapal tanker menggunakan prinsip LlTC (Long Term Time Charter). Empat galangan kapal aktif berpartisipasi dalam pembangunan duabelas tanker standar, yaitu dua unit 1.500 DWT, enam unit 6.500 DWT, dan empat unit 17.000 DWT. Tiga galangan kapal memenangkan tender pembangunan tiga kapal tunda pemadam kebakaran 4.200 HP. Program pembesituaan dan pembangunan
kapal baru Pertamina ini akm dilanjutkan untuk memenuhi target 96 kapal bagi masa depan. iii.
Pembangunan kapal penumpang PAX 500180m telah diselesaikan tahun 1995. Kapal ini adalah kapal terkecil dari seri standar kapal penumpang antar pulau, selain PAX 1000 dan PAX 2000. Sepuluh buah PAX 500 akan dibangun di rnasa datang.
iv.
Di bawah program pembangunan kapal dari Ditjen Perhubungan Darat, lima galangan telah memenangkan order pembangunan delapan kapal ferry penumpang dan kapal RoRo yang memiliki bobot antara 100 GT, 150 GT, 300 GT, dan 500 GT. Kapal yang juga akan dibangun adalah satu unit 600 GT, empat unit 500 GT, dan satu unit 200 GT. Hingga tahun 1994 telah dibangun kira-kira enampuluh kapal ferry bagi penumpang dan mobil untuk pemerintah maupun swasta.
v.
Pembangunan empat kapal navigasi untuk Dirjen Perhubungan Laut sudah dilaksanakan pada tahun 1995, dan memperoleh dukungan finansial pemerintah Jepang. Program pembangunan kapal dari PT, Pengerukan pada tahun yang sama, akan diberikan kepada galangan nasional yakni satu Kapal Tunda, lima Split Barge, dan dua Cutter Dredger. Selain pembangunan kapal baja menurut pesanan pemerintah, banyak pula
kapal penangkap ikan dari kayu dan kapal curah kayu berukuran hingga 100 GT dibangun berdasarkan pesanan dari sektor swasta. Galangan-galangan yang melaksanakan pembangunan kapal-kapal ini tersebar di seluruh Indonesia.
5. Industri Pemeliharaan dan Perbaikan Kapal
Total kapasital kapal curah dan tanker yang dipunyai ataupun disewa oleh perusahaan pelayaran Indonesia diperkirakan mencapai 10.000.000 DWT. Galangangalangan telah penuh terisi sampai akhir Maret 1996. Kira-kira 30% dari kapal Indonesia masih hams di "dock" di luar negeri, karena lebih dari 20.000 DWT yang tidak &pat diakomodasi mengingat ukuran dok domestik terbatas. Walaupun tidak ada galangan perbaikan kapal baru ataupun ekspansi dari yang sudah ada, kebutuhan untuk meningkatkan kapasitas perbaikan sangat dirasakan (Aunuddin et al. 2001). Pada saat ini galangan-galangan kapal sedang menginvestasikan peralatan modern dan memasukkan teknologi baru untuk meningkatkan produktivitas. Menurut Idris et al. (2001) hingga tahun 1996 jumlah galangan yang berdomisili di Indonesia adalah sebanyak 223 galangan dengan komposisi sebagaimana Tabel 4 berikut: Tabel 4. Jumlah Galangan Pembangunan Kapal pada Tahun 1995 Status Kepernilikan BUMN di bawah Departemen Perindustrian BUMN di bawah BPIS Unit Operasional di bawah denartemen lain Swasta Total Sumber: Rakornas XTV Ristek, 1996
I
Jumlah 3
I
1
204 223
Adapun dari aspek ukuran galangan beserta kapasitas dan fasilitas terbesar industri perkapalan nasional saat ini adalah seperti terlihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Ukuran Galangan Pembangunan Kapal pada Tahun 1995
Jumlah Galangan
Ukuran/Kapasitas Sampai 500 GT
149 57 7 4
501 - 1.000 GT 1.001 - 3.000 GT 3.001 - 5.000 GT
l~otal I Sumber: Rakornas XIV Ristek, 1996
223
Adapun penyebaran lokasi industri galangan kapal tersebut pada tahun 1996, berdasarkan jumlah perusahaan pada masing-masing wilayah dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 6. Distribusi Lokasi Industri Galangan Kapal pada Tahun 1996
1
I
I
I
Jenis Jawa Sumatera Kalirnantan Industri I I 65 Galangan 1 97 1 63 Kapal 157 41 9 Komponen ~ a ~ i Lepas 10 5 3 paitai Pemecah 0 17 3 Kapal Sumber: Rakornas XIV Ristek, 1996 I
1
Maluku Sulawesi & Papua
/
1
NTT & Total Bali
Galangan kapal nasional yang dirniliki sekitar 65 persen mempunyai kapasitas hingga 500 GT, dan sekitar 25 persen berkapasitas antara 501 hiigga 1.000 GT, sementara sisanya mempunyai kapasitas antara 1.001 hingga 30.000 GT.
6. Industri Penunjang Perkapalan Pembangunan kapal dengan tipe standar yang berulang-ulang telah meningkatkan pembangunan industri penunjang hingga tahun 1996. Menurut Idris et a1 (2001) kapal-kapal yang telah distandarisasi antara lain kapal patroli cepat 57
ml8.000 HP/30 knot dan 28 ml2.440 HPl30 knot, kapal tunda sampai 4.200 HP dan beberapa tipe kapal lainnya. Secara keseluruhan kapal-kapal ini telah membantu terciptanya industri penunjang yang semakin bertambah jumlahnya. Bahan-bahan pembangunan kapal, permesinan, peralatan, dan komponen telah diproduksi oleh industri penunjang. Bahan-bahan dimaksud meliputi pelat baja, rantai jangkar, tali kabel, jangkar, mesin utama (di atas 500 HP "assembling", atau diproduksi sebagian), genset, main switch board, radio, mesin kulkas, hatch cover,
dan lain sebagainya. Industri komponen kapal ini belum mengalami perkembangan yang patut dibanggakan karena selain terbatasnya permintaan pasar, terutama juga karena keterikatan dengan prinsipal atau pemilik merek. Pada dasarnya sebagian besar komponen-komponen kapal dapat dibuat industri maritim nasional, akan tetapi hambatan utama adalah skala ekonomis dari hasil produksi karena pasaran yang ada di dalam negeri pada saat ini sangat terbatas. Di samping itu hambatan-hambatan lainnya adalah kurangnya standarisasi, keterkaitan dengan pihak prinsipal terhadap komponen yang dirakit berdasarkan lisensi clan terbatasnya kemampuan teknis yang dimiliki karena peralatan-peralatan tersebut mempunyai kualifikasi khusus. Dengan meningkatkan standarisasi diharapkan dapat dirangsang pertumbuhan industri komponen kapal dan mampu pula
bersaing di pasar dunia. Untuk itu pemerintah mendorong adanya kerjasama erat antara pabrik industri penunjang tersebut den-
perusahaan luar negeri untuk
membangun mesin dan peralatan lainnya tidak hanya bagi pasar domestik tetapi juga
mtuk ekspor. Sejauh ini produk-produk yang telah diekspor antara lain adalah pelat baja, rantai, pressure veessels, heat exchangers, dan cat kapal.
7. Industri Pelayaran
Transportasi laut di Indonesia adalah bagian dari usaha industri jasa. Menurut BPPT (1996) dan Idris et al. (2001) di dalam pengoperasiannya pelayaran laut dapat dibedakan menjadi pelayaran dalam negeri, pelayaran luar negeri atau samudera, dan pelayaran khusus. a) Pelavaran Dalam Neaeri Pelayaran dalam negeri terdii dari pelayaran nusantara, pelayaran rakyat, clan pelayaran 1okaVperintis (pelayaran untuk daerah-daerah terpencil). Pelayaran dalam negeri bertujuan khusus melayani kebutuhan angkutan laut di wilayah perairan Indonesia baik angkutan barang maupun penumpang. Pelayaran dalam negeri khususnya angkutan barang pemah mengalami saatsaat kritis sejak adanya SK Menteri Perhubungan no: KM 57lPhb 84 tanggal 29 Maret 1984 yang isinya melarang kapal niaga berusia tua (di atas 25 tahun) untuk beroperasi di wilayah perairan Indonesia. Akibatnya banyak kapal niaga terkena kebijaksanaan tersebut, sehingga saat ini armada pelayaran dalam negeri mengalami
kebgan
ruang
muat.
Untuk
mengantisipasinya, pemerintah
kemudian
melaksanakan program pengadaan kapal niaga Caraka Jaya. b) Pelavaran Luar Neneri atau Samudera
Pelayaran luar negeri dimaksudkan untuk memperlancar muatan perdagangan ekspor-impor yang hampir seluruhnya melalui laut, karena perdagangan luar negeri melalui udara volumenya masih sangat kecil. Pelayaran luar negeri dibedakan atas pelayaran samudera umum (general cargo) dan pelayaran samudera khusus (migas,
kayu "bulk", dan curah). Armada pelayaran samudera nasional sampai pada tahun 1994195 merniliki 25 kapal dengan kapasitas 322 ribu DWT, yang mengalami
peningkatan muatan dari tahun sebelumnya yaitu dari 27 juta ton menjadi 39,8 juta ton atau naik 47,4 persen. c)
Pelayaran Khusus Pelayaran khusus dirniliki oleh industri yang memerlukan angkutan laut untuk
mengangkut hasil industrinya, baik ekspor maupun impor seperti kehutanan, perikanan, aneka industri daii pertarnbangan. Armada pelayaran khusus biasanya mempunyai dermaga sendiri. Peaurunan muatan luar negeri atau samudera terjadi pa& Pelita IV karena adanya kebijaksanaan kebebasan kapal asing mengangkut muatan dari wilayah Indonesia sehingga armada pelayaran dalam negeri kalah bersaing dalam tarif. Perkembangan seluruhjenis operasi pelayaran di atas selama kurun waktu awal PJPT I dan akhir PJPT II disajikan pada Tabel 7 berikut hi.
Tabel 7. Perkembangan Angkutan Laut Dalam Negeri Khusus Barang pada PJPT I
Jenis Pelayaran
Awal PJPT I
Barang Produktivitas (Ton/DWTh) (Ton) Nusantara 3.538.685 53 Lokal 1.208.000 19,l 3 19.340 19,l Rakyat Luar Negeri 9.917.000 4,7 Sumber: Rakomas XIV Ristek 1996
Akhir PJPT I Barang (Ton) 11.018.359 3.434.438 6.410.353 2.128.775
Produktivitas (Ton/DWT/Thn) 11,8 29,O 16,O 66
8. Armada Kapal di Indonesia Jumlah maupun kapasitas armada kapal di Indonesia sejak awal PJPT I sampai akhir PJPT I mengalami fluktuasi. Menurut Idris et al. (2001) hal ini disebabkan adanya kebijaksanaan pemerintah mengenai larangan operasi bagi kapal niaga yang sudah berusia di atas 25 tahun. Kemudian setelah diiasakan terjadi kekurangan ruang muat kapal, maka larangan tersebut ditangguhkan, padahal sudah banyak kapal yang berusia di atas 25 tahun terlanjur di-scrap. Di samping itu berkurangnya armada dalam negeri juga disebabkan adanya perubahan teknologi angkutan laut dari penggunaan kapal-kapal konvensional ke penggunaan kapal-kapal modem seperti container ship, ro-ro, dan multi-purpose ships. Untuk mengatasi kekurangan ruang muat bagi armada pelayaran dalam negeri khususnya angkutan barang, pemerintah telah membangun kapal-kapal Caraka Jaya Niaga III sebanyak 32 unuit yang telah selesai dibangun. Armada kapal sampai dengan tahun 1990 adalah sebanyak 311 unit pelayaran nusantara, pelayaran lokal 1.097 unit, pelayaran rakyat 3.721 unit dan pelayaran khusus sebanyak 3.263 unit.
Sedangkan kapasitas armada angkutan laut sampai tahun 1990 adalah 611.3 10 DWT untuk pelayaran nusantara, 158.401 GT pelayaran lokal, 199.230 GT pelayaran
rakyat, dan 1.960.230 GT pelayaran khusus. Sementara jumlah dan kapasitas kapal pelayaran domestik dan ekspor/import pada 1994 disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Jumlah dan Kapasitas Kapal Niaga Indonesia pada tahun 1994 Kapal Barang Domestik Jumlah 2.064 Kapasitas (DWT) 3.690.138 Sumber: Rakornas XN Ristek, 1996
I
EksportImpor 72 620.000
Dengan adanya kebijakan pemerintah, yakni Kebijakan Paket November 1988, armada niaga juga tunrt beroperasi mencari muatan, baik untuk tujuan ekspor, impor, maupun antar-pulau. Pada tahun 1994, pangsa muatan armada niaga adalah seperti diperlihatkan pada tabel di bawah ini. Pangsa armada nasional untuk mengangkut muatan ekspor dan impor hanya tinggal 3,2 persen, dan muatan antarpulau sebesar 59,4 persen. Ada kecenderungan bahwa pangsa pasar tersebut akan terus mengecil bila tidak ada peremajaan armada niaga nasional, seperti yang tertera pada Tabel 9. Tabel 9. Industri Pelayaran Volume dan Pangsa Muatan Armada Niaga pada Tahun 1994 Pelayaran Nasional Asing Total Nasional Antar-Pulau Asine I 1 Total Sumber: Rakornas XIV Ristek, 1996 Tujuan Muatan Eksporhpor
Volume 7.335.963 222.392.921 229.728.884 82.332.806 56.439.358 I 138.772.162
Pangsa 3 ,2 96,8 100,O 59,4 40.6 100,O
I
9. Industi Bioteknologi Kelautan Secara garis besa. industri bioteknologi kelautan yang dapat diiembangkan dengan memanfaatkan keanekaragaman hayati perairan adalah produksi bahan alami
dari laut, pengendalian pencemaran di wilayah pesisir dan lautan, pengendalian "biofouling", perbaikan sistem akuakultur. Organisme laut yang meliputi mikroba dan L'phytoplankton", alga biru-hijau (cyanobacteria), alga hijau, alga coklat, alga merah, "sponges", "coelenterates", "bryozoans", "molluscs", "tunicates", "echinoderms" merupakan sumber bahan aktif dan bahan kimia yang sangat potensial untuk menghasilkan produk maupun proses yang bernilai tinggi (Dahuri 2000). Dari biota laut tersebut dapat dihasillcan berbagai bahan alami yang bermanfaat antara lain untuk industri farmasi (seperti anti-tumor, anti-kanker, anti-biotik, anti"inJammatory"), bidang pertanian (hgisida, pestisida, growth stimulator), industri komestik dan makanan (seperti zat pewarna alami, "biopolisakarida"). Selanjutnya dari biota laut juga dapat dihasilkan protein serta bahan diet sebagai sumber makanan sehat (asam lemak talc jenuh, omega-3, vitamin, asam amino, dan berbagai jenis gula rendah kalori). Dalam pengembangan industri produk dam laut tersebut, diperlukan strategi untuk mefigurnpullcan, membudidayakan serta menyeleksi biota laut yang mampu menghasilkan bahan alami yang diinginkan.
Selanjutnya perlu dikembangkan
teknologi kultivasi, budidaya, ekstraksi dan pemurnian bahan alami tersebut. Teknologi isolasi clan purilikasi produk, translasi produk ke dalam bentuk yang stabil merupakan ha1 yang sangat penting dalam proses pengembangan produk dari laut.
Hal-ha1 yang perlu mendapat perhatian dalam pengembangan industri produk
alam laut antara lain : (i) konsentrasi yang sangat rendah walaupun dihasilkan pada bioreaktor terkendali pada kondisi yang optimal, dan (ii) ketergantungan pada faktor m u s h yang sulit dikendalikan (khususnya untuk bahan alami yang diekstrak langsung dari organisme laut). Masalah pertama dapat diatasi dengan penerapan teknologi rekayasa genetika. Untuk yang kedua dapat diatasi dengan mempelajari
dan meneliti berbagai W o r yang berkaitan dengan produksi bahan alami seperti musim ,siklus hidup, fase reproduksi, jenis makanan, faktor fisika clan kirnia, lokasi geografis, kedalaman serta asosiasi dengan simbion (Dahuri 2000). Menurut Rorrer et al. (1993) diacu dalam Dahuri (2000) agar lebih mampu mengendalikan faktor lingkungan yang mempengaruhi produksi bahan alami dari laut, teknik kultur sel dan jaringan tanaman laut dapat diiembangkan, khususnya
untuk produksi eicosanoid dari makroalga Laminaria setchelli, Porphyra perforata, Gracilariopsis lemaneijormi. Menurut Dahuri (2000) beberapa industri bioteknologi yang dapat dikembangkan dari keragaman hayati yang bersumber dari kelautan diantaranya adalah: (i) produksi bahan baku industri, (ii) produksi bahan pangan, dan (iii) polisakarida dari alga. 1. Produksi bahan baku industri
Organisme laut (termasuk cyanobacteria, mikroalga dan makroalga) dapat menghasilkan berbagai produk yang mungkin dikembangkan secara komersial untuk dimanfaatkan pada industri antara lain biopigmen dan biopolisakarida, bahan tambahan pada makanan (vitamin, asarn amino). Organisme-organisme
58
tersebut mengandung berbagai pigmen seperti klorofil, karotenoid, phycocyanin (pigmen b i n )dan phycoerythrin (pigmen merah). Biopigmen dapat dikembangkan untuk diaplikasikan pada industri makanan, komestik
clan farmasi. Beberapa kelompok cyanobacteria mengandung asam lemak talc jenuh (yang bermanfhat bagi kesehatan) dalam konsentrasi yang cukup
tinggi yang dapat dikembangkan untuk suplemen makanan.
Selanjutnya
cyanobacteria juga dapat menghasilh tocopherol yang dapat diaplikasikan sebagai antioksidan alami dalam industri makanan. Karena
keterkaitannya
yang erat dengan industri lain (makanan, komestik, fmasi), pengembangan industri bahan alami
ini juga membutuhkan kerjasama dengan industri
pemakai secara terpadu. 2. Produksi bahan vangan
Beberapa spesies cyanobacteria telah dimanfaatkan sebagai surnber pangan sejak ratusan tahun yang lalu. Sebagai contoh adalah spesies laut Spirulina
plantesis dan Spirulina geitleri yang dimanfaatkan oleh bangsa Afrika dan Mexico sebagai bahan pangan yang kaya akan protein. Saat ini Spirulina telah diproduksi secara besar-besaran sebagai surnber makanan sehat di beberapa negara.
3. Polisakarida dari alga Alga adalah non-vascular, tanaman fotosintesis yang mengandung chlorophyll-a dan memiliki sistem reproduksi yang sederhana. Pemanfmtan alga terutama di Indonesia masih sangat terbatas dan perlu ditingkatkan.
Walaupun saat ini rumput laut (seaweed) merupakan komoditi ekspor yang penting dari Indonesia, tetapi mash diekspor dalam bentuk bahan mentah yang kemudian diirnpor kembali sebagai produk jadi. Selanjutnya, eksploitasi alga juga masih terbatas pada makro algae (seaweeds). Alga dikonsumsi sebagai bahan pangan terutarna karena kandungan vitamin dan mineralnya. Di negara-negara yang penduduknya biasa mengkonsumsi
alga seperti Jepang, alga dikonsumsi sebagai makanan tambahan bukan sebagai makanan utama. Konsumsi alga di Jepang adalah 10 g/orang/hari. Alga mengandung karbohidrat, polisakarida (40-50%), dan protein (7-30 %) dan sedikit lemak. Karbohidrat alga tidak dapat diasimilasi untuk
menghasilh energi, sehingga banyak dipakai sebagai makanan diet. Saat ini industri makroalga pada umumnya terfokus pada produksi polisakarida dengan hasil anatara 10-65% berat kering alga. Polisakaradida dengan nilai komersial yang penting adalah polisakarida dari alga coklat (seperti asam alginat dan lxminannya, fucoidan dan laminaran) dan dari alga merah (agar, cczrrageenan). Beberapa contoh polisakarida yang mempunyai nilai ekonomi penting dapat dilihat pada Tabel berikut:
.
Tabel 10 Beberapa Polisakarida yang mempunyai nilai ekonomi
Penprgunaan Milrrobiologi, sediaan makanan dan p~~galengan, mayonnaise, keju, jelly clan ice cream, stabiliser dan emulsifier, "carrier" un;uk obat
Komposisi Sumber Alga merah (Gellidium, Agarose dan Gracilaria, Gigartina) agaropectin
Alginat
Alga coklat (Macrocystis)
Carrageenan
Manuronic acid dan guluronic acid residues
Alga merah (Chondrus, Galactose residue Gigartina, Iridae)
ice cream, produk kertas & adhesic pengental cat, "filler" drug Stabiliser emulsi
1 dalarn makanan, obat, minuman
Fucoidan
Alga coklat ~ l g coklat a (Laminaria, Ascophyllum, Fucus) Sumber: Ha iito, (1998).
1 L,aminaran
L-Fucose residue Glucose residue
10. Strategi Pembangunan Industri Maritim Meningkatnya kegiatan pembangunan dan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan juga diikuti oleh semaraknya industri maritim.
Menurut Kusurnastanto
(2000) untuk mengotimumkan peluang industri maritim tersebut diperlukan arahan strategi pembangunan. Adapun strategi tersebut adalah:
-
Meningkatkan kualitas SDM untuk mendukung industri maritim melalui program pendidikan dan pelatihan keterampilan, program peningkatan profesionalisme yang dilaksanakan secara konsisten dan kontinyu.
-
Meningkatkan kemampuan penguasaan dan penerapan IPTEK kemaritiman yang tinggi melalui pendidikan dan penelitian.
-
Menggalakkan keterlibatan swasta untuk membangun industri maritim.
-
Dengan meningkatnya kegiatan pembangunan industri maritim dan membaiknya perekonomian Indonesia maka permintaan terhadap bangunan industri maritim
akan meningkat.
Sejalan dengan meningkatnya permintaan tersebut, untuk
memanfmtkan peluang tersebut, perlu pembangunan prasarana dan sarana untuk seluruh unsur pembangunan industri maritim sebagai upaya mengoptimurnkan peluang pembangunan industri maritim.
-
Meningkatnya aktivitas pembangunan industri maritim membuka peluang bagi jasa-jasa maritim, seperti kebutuhan akan sumberdaya manusia yang bergerak dalam bidang pesisir dan kelautan, jasa penelitian dan sebagainya.
Untuk
mengoptimalkan peluang tersebut, maka perlu pengembangan kualitas SDM berupa peningkatan kualitas pendidikan clan lembaga-lembaga pendidikan, penelitian dan pengembangan sumberdaya pesisir dan kelautan. Sementara itu strategi pembangunan industri maritim Kabupaten Bangka pada garis besarnya diarahkan untuk mengembangkan industri maritim yang tersebar di beberapa wilayah. Kemudian merencanakan suatu kawasan yang berpotensi dan memiliki prospek menjadi pusat industri maritim. Selanjutnya kawasan industri maritim ini diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah sekitarnya.
Untuk mendapatkan gambaran secara lebih komprehensif, prospek industxi
maritim di Kabupaten Bangka dapat dianalisa dari kemampuan kekuatan, peluang, kelemahan dan ancaman pengembangan industri maritim yang dimiliki daerah ini. a) Kekuatan
Pulau Bangka terletak di jalur pelayaran nasional dan internasional, baik dari Benua Eropa maupun Asia. Demikian pula letak Pulau Bangka di lintasan penerbangan udara internasional yang menghubungkan Benua Eropa ke Australia. Letak yang strategis dan memenuhi persyaratan teknis merupakan kekuatan yang dimiliki daerah ini untuk mengembangkan industri maritirn, terutama industri galangaddoking perkapalan serta industri penunjangnya. Kabupaten Bangka yang dikelilingi oleh laut, memiliki potensi perikanan dan hasil laut lainnya yang relatif besar. Potensi ini dapat dhdaatkan sebagai bahan baku industri pengolahan hasil laut serta pengembangan industri kapal penangkap ikan dan industri maritim lainnya. Kabupaten Bangka yang memiliki laut dan pesisir pantai yang kaya decgan cadangan bahan galian timah, bahan galian golongan C serta bahan tambang lainnya. Itu semua merupakan potensi yang dapat diandalkan untuk pengembangan industri dalam pengelolaan hasil tambang tersebut. Pulau Bangka memiliki biota laut yang relatif banyak dan pantai indah, disamping objek wisata budaya clan sejarah. Objek wisata agro merupakan modal utama untuk pengembangan industri pariwisata.
Sarana clan prasarana perhubungan udara,laut dan darat yang ada di daerah ini dan dalam kondisi yang relatif baik dan memadai, dan mampu mempermudah dan memperlancar arus orang dan barang dari dan ke luar daerah.
Kelengkapan sarana dan prasarana ini merupakan daya tarik tersendiri bagi investor untuk menan-
investasinya.
Tenaga teknis yang sangat terampil dm eks karyawan PT. Timaah, serta tenaga terlatih lulusan Politeknik Manufhktw Bangka merupakan sumberdaya manusia yang dapat diandalkan untuk pengembangan industri maritim di daerah ini terutama industri galangaddoking perkapalan. Kondisi sosial ekonomi, sosial budaya serta kemanan dan ketertiban masyarakat di daerah ini yang relatif stabil, aman dan terkendali serta jarang pula terjadi kerusuhan sosial, menjadikan daerah Bangka sebagai daerah yang menarik dan aman untuk berinvestasi di masa kini maupun yang akan datang.
b) Peluanz
Indonesia sebagai negara negara kepulauan dan prospek perdagangan internasional yang membutuhkan armada kapal baru serta reparasi kapal dalam jumlah yang cukup banyak, merupakan peluang pasar untuk pengembangan industri galangan kapal dan doking perkapalan di Kabupaten Bangka. Dengan semakin padatnya industri di Pulau Jawa, Singapura dan di beberapa negara Asia Selatan lainnya, serta semakin sulit dan mahalnya harga tanah serta tingginya tingkat upah di kawasan tersebut, menjadikan Pulau Bangka
sebagai altematif yang sangat potensial untuk re-lokasi clan restrukturisasi industri maritim di masa yang akan datang. Dengan se&
berkembangnya daerah pertumbuhan Singapura, Johor dan
Riau (SUORI), serta daerah perhunbuhan Batarn, Rempang dan Pulau Galang
(BARELANG), serta Natuna di bagian utara Bangka, telah menjadikan daerah-daerah tersebut sebagai pasar yang potensial bagi industri daerah ini. Terlebih lagi pasar di Pulau Sumatera dan Jawa belum tergarap secara maksimal selama ini. Kondisi ekonomi nasional saat ini dimana kurs dollar yang relatif tinggi, ternyata tidak banyak berpengaruh terhadap jumlah industri, tingkat produksi dan nilai produksi dari industri maritim yang ada di daerah ini. Nampak
bahwa industri galangan kapddoking perkapalan serta industri yang mengolah hasil laut mampu bersaing dengan produksi sejenis yang dihasilkan oleh daerah lainnya (memiliki nilai competitive advantage yang tinggi). Otonomi Daerah yang lebih dititikberatkan pada daerah kabupatentkota, yang mulai dilaksanakan tahun 200 1, memberikan peluang kepada Kabupaten Bangka untuk lebih aktif dan kreatif mengembangkan daerah terutama untuk memacu sektor-sektor unggulan dan komoditi unggulan yang mampu bersaing di tingkat regional dan internasional. Penetapan Bangka Belitung sebagai salah satu kawasan andalan di Indonesia oleh Bappenas memberikan peluang bagi daerah ini untuk dapat berkembang sejajar dengan daerah lainnya yang telah lebih dulu majdberkembang. Dukungan politis, administrasi dan yuridis formal dari pemerintah pusat
seperti ini merupakan peluang yang sangat berarti bagi daerah dan hams dirnanfaatkan semaksirnal mungkin. Di sarnping kekuatan serta peluang yang dimiliki sebagaimana yang telah dikemukaan di atas, Pulau Bangka juga memiliki kelemahan dan ancaman yang datang dari luar, seperti uraian berikut ini. c) Kelemahan
Masih rendahnya penguasaan teknologi industri
pengolahan hasil laut
sehingga belum dapat memenuhi standar mutu yang baik terutama pada bentuk, cita rasa, teknologi pengepdcan, higienis, dan lainnya sehingga masih kalah bersaing dengan produk sejenis dari daerah lainnya. Industri perkapalan yang padat modal dan teknologi (terkecuaii kapal kayu), memerlukan dukungan investor nasional dan internasional, karena investor lokal belum memiliki kemarnpuan modal dan teknologi yang memadai untuk itu. Dalam ha1 ini, bahan baku (raw material) untuk industri ini masih didatangkan dari Pulau Jawa sehingga menambah biaya pengiriman. Industri penunjang terhadap industri perkapalan seperti industri cat, plaat baja, kawat las dan lainnya, belum ada di daerah ini. Untuk itu masih diperlukan pasokan dari luar daerah, sehingga akan mempengaruhi biaya produksi. Tenaga listrik yang ada di daerah ini belum mencukupi, dernikian pula jaringan telepon belum merata ke seluruh kecamatan.
Belum tersedianya jalur penerbangan intemasional yang langsung ke Bangka, miskinnya jenidmacam paket wisata yang dapat ditawarkan kepada wisatawan, kurangnya promosi, clan lain-lain, merupakan kelemahan daerah ini dalam mengembangkan industri pariwisata. Kurangnya data kelautan hail penelitian, lcurangnya tenaga ahli kelautan, terbatasnya kewenangan daerah dalam pengelolaan kelautan, belum tersusunnya Rencana Tata Ruang Kelautan serta belum tersedianya pusat penelitian kelautan di Kabupaten Bangka merupakan kelemahan Mastruktur.
d) Ancaman o Keberhasilan Kawasan Indonesia Tirnur dalam rangka mengembangkan
industri maritim, terutama Pulau Sulawesi, dan Riau Kepulauan yang juga mulai mengembangkan industri ini, tentunya merupakan saingan utama bagi daerah Kabupaten Bangka untuk dapat berkompetisi dalam merebut pasaran. o Jalur pemasaran hasil produksi dari industri yang mengelola hasil laut yang
nantinya bila telah berkembang masih akan tetap dikuasaildipegang oleh pihak lain (bukan dari daerah Bangka) karena kemampuan management pemasaan masyarakat lokal belum memadai. Dengan melihat kondisi dan perkembangan industri maritim di Kabupaten Bangka saat ini, kekuatan atau potensi dan peluang yang dirniliki, serta antisipasi cepat mengatasi faktor kelemahan dan ancaman, maka Kabupaten Bangka memiliki prospek yang cerah dalam pengembangan industri maritim dimasa yang akan datang.
Rencana Pemerintah Kabupaten Bangka mtuk menyiapkan Rencana Umum Tata Ruang Kawasan Industri Galangan Kapal dan Industri Penunjang di Mentok dan Rencana PT. Timah untuk menyiapkan Rencana Umum Tata Ruang Kawasan Industri Docing Perkapalan di Air Kantung Sungailiat serta industri penunjangnya, adalah langkah strategis untuk menyongsong era otonomi daerah melalui implemcntasi langkah nyata sesuai potensi daerah.. Langkah strategis lainnya adalah menyiapkan sumberdaya manusia yang berkualitas untuk dapat mengembangkan industri yang mengolah hasil laut, hasil tambang, serta industri pariwisata. Disamping itu, penciptaan ikiim yang kondusif yang menguntungkan untuk berinvestasi adalah mutlak diperlukan dibarengi dengan pemberian insentif yang wajar serta kemudahan-kemudahan yang diperlukan, terutama yang menyangkut perizinan dan kepastian hukurn. Sementara itu penguatan industri yang dikelola rnasyarakat terus digalakkan untuk peningkatan peran serta masyarakat. Pemberdayaan masyarakat melalui sektor industri maritirn ini hams diprioritaskan, terutama pada industri kecil atau industri rumah tangga yang mengelola hasil laut agar tidak dimatikan oleh industri sejenis yang dikelola secara modern dan berskala besar lcarena teknologi yang ada saat ini sangat memungkinkan untuk itu.
E.
Sistem Informasi Geografis (SIG) Uraian sub-bab Sistem informasi geografis (SIG) ini terdiri dari dua bagian,
yaitu: (i) sistem informasi geografis, termasuk pembahasan tentang pengintegrasian penginderaan jauh ke dalam SIG, dan (ii) aplikasi SIG dalam pengelolaan wilayah pesisir. 1. Sistem Informasi Geografis Sistem informasi geografis (SIG) merupakan sistem informasi yang bersifat terpadu, karena data yang dikelola adalah data spasial dan menggunakan analisis spasialkeruangan (Prahasta, 2001). Kernampuan SIG dalam analisis keruangan dan pemantauan terhadap perubahan lingkungan pesisir dapat digunakan untuk mempercepat dan mempermudah penataan ruang wilayah pesisir yang sesuai dengan daya dukung lingkungannya. Pengguna SIG berperan menyusun data dasar dan model analisa spasial sehingga didapat model dasar yang digunakan sebagai dasar pertimbangan untuk menyusun skenaris-skenario perencanaan cian identifikasi proyek pembangunan. Secara diagramatis peranan SIG seperti terlihat pada Gambar 1. SIG sebagai sistem komputer terdii dari perangkat keras, perangkat lunak,
clan personal (orang) yang dirancang untuk secara efisien memasukkan, menyimpan, memperbaharui, memanipulasi, strukturisasi data, generalisasi data, transformasi data, pencarian data, menganalisa, persentasi grafik clan menyajikan semua jenis informasi yang berorientasi geografis. Peranan model dalam merumuskan kriteria ke dalam bahasa SIG memegang peranan penting, bahkan inti persoalan dan kinerja SIG
sangat ditentukan oleh sejauh mana menmudcan kriteria dan menterjemahkannya
kedalam suatu model. SIG diharapkan akan realistis dalam mengatasi suatu masalah pembangunan wilayah pesisir.
Undang-uadang dan Peraturan
ED1;Numerik
Kriteria
I -
lnformasi Numerik
- + L :
Sintesis
Tematik
Citra Satelit
SIG Manajemen Data Analisis b Modeling
Mormasi
(P_I
Hasilhasid: Kebijakan Juklak
Model-model
m i p ~ o s ~ 1sO U T P U T Gambar 1. Peran SIG dalam Pengelolaan Kawasan Pesisir (Dahuri 1998) Berdasarkan analisis SIG terhadap bentangan alam setidaknya dapat
dihasilkau: (1) perencanaan tata ruang yang melestarikan ekosistem; (2) evaluasi lahan untuk penggunaan lahan yang sesuai dengan daya dukungnya; (3) evaluasi lahan untuk keperluan obsewasi tanah, dan, (4) studi tentang dampak lingkungan suatu aktifitas yang rentan terhadap dampak lingkungan (Dahuri 1998).
Pertimbangan pertama yang melandasi pemakaian SIG dalam pengelolaan sumberdaya alam pesisir adalah: (1) pembangman berkelanjutan mempersyaratkan bahwa perencanaan dan pengambilan keputusan hendaknya berdasarkan informasi yang sah dan akurat, (2) hampir semua pernasalahan dalam pengelolaan sumberdaya alam berkaitan dengan dimensi ruang dan waktu, dan (3) perencanaan sumberdaya dam memerlukan kombinasi berbagai macam informasi (Dahuri 1998). Kelebihan SIG adalah memiliki kemampuan yang tidak dimiliki sistem lainnya, seperti komputer design (Computer Aided DesignICAD) adalah sistem komputer berbasis grafik namun kemampuan analisis terbatas dan kecil sekali kemampuan berhubungan dengan basis data. IConiputer kartografi yang memanfaatkan geografis digital (peta), tetapi struktur data sederhana sehingga tidak dapat menyajikan informasi kontur permukaan bumi. Sedangkan sistem manajemen basis data memiliki keterbatasan dalam pengelolaan analisis spasial tetapi b e r h g s i sebagai tempat menyimpan clan mengambil data atribut non-grafik, sistem pengolahan basis data digunakan SIG sebagai input atribut data. Penginderaan jauh memiliki keterbatasan pembuatan atribut data tetapi memiliki kemampuan analisis spasial yang baik. Semua kemampuan sistem tersebut terintegrasi pada SIG (Rahardjo, 1996). Terdapat beberapa kemampuan SIG yang tidak dimiliki oleh sistem komputer lainnya yang merupakan integrasi dari semua sistem tersebut, seperti terlihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Hubungan antara komputer disain, komputer kartografi, pengelolaan basis data dan penginderaan jauh dengan Sistem Informasi Geografis (Dahuri 1998) Basis data merupakan komponen penting dalam SIG. Upaya pembuatan dan pemeliharaan basis data diperhitungkan sebelum memutuskan penggunaan SIG, khususnya di negara dimana basis data digital tidak tersedia meski SIG telah digunakan. Diperkirakan lebih dari 80% investasi dibutuhkan untuk membangun basis data sebelum digunakan (Pheny et al. 1992, diacu dalam Dahuri 1998). Komponen penting lainnya adalah pengguna (user). Pengguna ini perlu melakukan pelatihan untuk memperdalam SIG. Menurut Sutanto (1994) potensi SIG untuk aplikasi yang lebih besar lagi dengan kemampuan mengintegrasikan data dari berbagai sektor, memerlukan pengetahuan pengguna dari berbagai disiplin ilmu, di samping keahlian khusus untuk memaksimalkan pemanfaatan teknologi ini. Fungsi utarna SIG adalah pengmpulan data, penyimpanan, manipulasi, analisis dan presentasi hasil. Data biasanya terdiri atas spasial dan atribut. Spasial
data mengacu kepada entitas (objek) dimaua lokasi itu berada di permukaan bumi
(koordinat). Atribut data merupakan karakteristik dari entitas lokasi tersebut seperti karateristik Kota Jakarta, karateristik wilayah pesisir dan sebagainya. Spasial data dapat bertipe vektor atau raster. Pada data vektor, entitas geografik seperti titik, garis dan area (poligon) yang ditunjukan dengan koordinat X Y. Pada data raster, tampilan
geografis diwujudkan sebagai unit area yang terputus-putus (diskret) seperti grid (sebagai pixel = satuan homogen terkecil) atau segitiga dan heksagonal yang tidak beraturan. Cata raster ini mudah di-overlay-kan, kamna struktur datanya sederhana dibanding data vektor (Prahasta 2001). Banyak perangkat lunak SIG yang berorientasi vektor maupun raster dengan kemampuan yang terus meningkat. Secara umurn data raster memerlukan diiensi yang cukup untuk menyimpan data. Masalah kekurangan memori ini diatasi dengan peningkatan efisiensi peyimpanan data, seperti struktur data quadtree. Maguire dan Dangermond (1991) dalam Dahuri (1998) mengidentihikan bahwa fhgsi SIG adalah pengurnpdan, pembaharuan dan perbaikan data, penyimpanan dan stx&turisasi data, generalisasi data, transformasi data, pencarian datii, analisis, dan presentasi hasil analisis. Kemampuan-kemampuan tersebut umum dimiliki oleh beberapa perangkat lunak SIG, dengan kemampm yang memuaskan dan mudah digunakan. Beberapa perangkat lunak m e d i perbedaan pada beberapa fimgsi seperti output kartografi, presentasi dan cara analisis. Terdapat dua fungsi utama SIG yaitu kemampuan mencari data (Query) dan analisis. Query data dapat
menghubungan antara data spasial dan data atribut. Fungsi query pada data spasial adalah pencarian datdokasi dan overlay (tumpang tindih) beberapa peta. Menurut Aronoff (1989) algoritme dalam SIG dibutuhkan untuk mentransformasi data dasar ke dalam informasi berbentuk kartogdik. Data tersebut secara dibagi ke dalam tipe titik, garis, dan wilayah, berdasar pada geometrinya. Contoh yang baik pada tipe titik adalah puncak gunung dan kota. Tipe data garis meliputi sungai, jalan, atau kontur topografik. Tipe data wilayah ditunjukkan dengan penggunaan lahan, klasifikasi tanah, drainase basin, dan tipe lahan pertanian. Tipetipe data geografik tersebut berinteraksi dengan setiap data yang lain.
Secara
keseluruhan ada enam tipe binary mengenai titik dengan titik, titik dengan garis, titik dengan wilayah, garis dengan garis, garis dengan wilayah, dan wilayah dengan wilayah. Algoritme hams ditulis mengenai tipe tersebut. Perbailcan data geografik sering mencakup pertimbangan jarak, seperti mendapatkan tetanggga terdekat di antara himpunan titik-titik. Ada dua pendekatan utama dalam organisasi data internal dalam SIG,
organisasi selular dan organisasi linked yang berturut-turut menghubungkan secara kasar dengan data diskret dan data kontinu. Organisasi seluler menggunakan matriks sel dengan ukuran seragam dan data disirnpan dalam setiap sel. Organisasi tersebut menghubungkan secara langsung dengan format raster untuk input dan format
matriks untuk output. Perkembangan perangkat lunak umumnya lebih mudah untuk untuk penyimpanan variabel pendekatan seluler yang selanjutnya paling zocok * permukaan. Namun pendekatan ini boros sehubungan dengan ruang penyimpanan
komputer. Organisasi linked memakai nilai koordinat. Jadi wujud titik digambarkan secara langsung oleh koordinat-koordinatnya, wujud garis dengan rantai koordinat, wilayah dengan data nominal dengan batas wilayahnya dan wilayah dengan data numerik dengan kurva kontur. Organisasi data ini menghubungkan secara langsung dengan format data yang dirnasukkan melalui digitizer dan output oleh plotter tambahan. Penyimpanm data seperti ini memerlukan ruang penyimpanan yang besar. Organisasi linked menggunakan peta nilai kooordinat dan peta kontur. Kekurangan organisasi linked yaitu kompleksitas pengembangan perangkat lunak dalam mengupdate dan mengedit data. Organisasi data eksternal meliputi pemeriksaan, operasi dan karakteristik data. Hal ini menghubungkan sistem komputer untuk mengerjakan seluruh operasi yang dirancang. Apakah data yang disimpan dengan yang diiasukkan dan diproses sebagai yang diperlukan? atau apakah data harus diproses awal untuk memperkaya inforrnasi yang diarsipkan? Ini merupakan macam pertanyaan yang harus dipertimbangkan bila menangani organisasi data eksternal karena berhubungan erat dengan organisasi penyimpan bantuan. Ada dua bentuk organisasi data bantu, bank data dan basis data. Bank data
diorientasikan 'terpisah' dengan informasi, dipisahkan juga pada basis tipe dari wujud atau pada unit geografkya atau keduanya. Data umumnya disimpan padafile disk atau file pita.
Pada sisi lain, basis data diorientasikan interaksi untuk
menambahkan antarwujud yang menghubungkan informasi. hubungan
Data menunjukkan
sebagian-seluruh yang diorganisasi secara hierarki.
Jadi pembagian
wilayah dan anak smgai merupakan contoh pendekatan ini. Secara keseluruhan, idonnasi nongeometrik m m g b diorganisasi kedalam basis data, sementara itu idormasi geometrik mungkin diorganisasi sebagai bank data. Pengorganisasian SIG berdasarkan kemampuan analisis yang dapat dilakukan dapat dilihat pada Garnbar 3. FORMAT TRANSFORMATION MAINTENANCE AND ANALYSIS OF THE SPATIAL DATA
GEOMETRIC TRANSFORMATION TRANSFORMATION BETWEEN MAP PROJECTION CONFLATION EDGE MATCHING
t MAINTENANCE AND ANALYSIS OF THE ATRIBUTE DATA
C
EDITING OF GEOGRAPHIC ELEMENT LINE COORDINAT THlNNiNG ATRIBUTE EDITING FUNCTION ATRIBUTE QUERY FUNCTIONS RETRIEVALCLASSIFICATION MEAS-
INTEGRATED ANALYSIS OF SPATIAL AND ATRIBUTE DATA
E
RETRIEVAL CLASSIFICATION MEASUREMENT
OVERLAY INFORMATION
- NEIGHBOURHOOD OPERATIONS
SEARCH LINE-IN-POLYGON AND POINT-IN-POLYGON TOPOGRAPHIC FUNCTION THIESSEN POLYGONS
t CONNECTIVITY FUNCTIONS
INTERPOLATION CONTOUR GENERATION CONTIGUITY MEASURES PROXIMITY NETWORK SPREAD SEEK INTERVISIBILITY
OUTPUT FORMATTING
E
-
MAP ANNOTATION
ILLUMINATION PERSPECTIVE VIEW
TEXT LABELS TEXTURE PATTERNS AND LINE STYLES GRAPHICS SYMBOLS
Gambar 3. Pengklasifikasian Analisis Sistem Informasi Geografis (Aronoff 1989)
Menurut Gmawan (1998) SIG dalam pengelolaan sumberdaya pesisl; dapat digunakan mtuk menyajikan data dasar kemmgan (Gambar 4) yang terkait dengan masalah: (i) fisik pesisir, yaitu berupa data dasar keruangan termasuk topografihatimetri pesisir, morfologi, penutupan tanaman, aliran sedimen, erosi dan deposisi, iklim, batas habitat dan lain sebagainya; dan (ii) lingkup manusia/sosial, yaitu berupa data dasar keruangan termasuk batas administratif, distribusi populasi, jaringan transportasi, distribusi clan berbagai karakteristik manusia/sosial lainnya. Tipe kegunaan SIG dalam pengelolaan sumberdaya alarn pesisir adalah untuk: (i) mengetahui tingkat eksploitasi sumberdaya alam (SDA), (ii) mempertemukan keinginan manusia (ymg sangat bervariasi dari nelayan lokal sampai jaringan hotel
berskala internasional), dan (iii) menjaga keberadaan/kelangsungan ekosistem pesisir
r
Keseimbangau dari :
Prospek eksploitasi Mempmnukaa
keinginanmasysrakat Menjaga keberadaan
PROSPEK :
- Lokasi sumberdaya - Kualitas sumberdaya
TUNAN PERENCANAAN
-
\
- (dinamika Airan
ANALISIS :
KEPUTUSAN :
suakrdaya
kuantitas) KEINGINAN :
- p emu at - Tersirat
KEBERADAAN :
\1- '
/
Pengembangan pemanfaatan Pemantauan dan Pernecahankonflik
,am labrmflaut
- Penutupan lahadaut A
Gambar 4. Tipe Kegunaan SIG dalarn Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Secara Terpadu (Gunawan 1998)
Menurut Gunawan (1998) berbagai bentuk analisis spasial dapat dilakukan dengan menggunakan SIG, yaitu: (1) operasi titik (point operation), yaitu tipe analisis dengan memasukan beberapa formula aljabar clan overlay beberapa layer data; (2) operasi
tetangga
(Neighbourhood
Operation)
yakni
tipe
analisis
yang
menghubungkan titik pada suatu lokasi di permukaan bumi dengan semua informasi atributnya, dengan lingkungan di sekitamya, sebagai contoh menentukan kesesuaian lahan untuk berbagai kegiatan pembangunan; (3) analisis jaringan (Network analisis) yakni tipe analisis yang menghubungkan beberapa tampilan data (fkature) berupa garis, seperti menentukan jaian dengan jarak terdekat diantara dua kota. Alat untuk melakukan analisis-analisis seperti tersebut di atas telah tersedia pada beberapa perangkat lunak SIG. Aplikasi penggunaan ketiga tipe analisis tersebut, sepenuhnya tergantung kepada keahlian pengguna untuk menentukan tipe analisis mana yang
akan dipakai.
Beberapa perangkat lunak SIG menyediakan fasilitas bahasa
pemrograman makro yang dapat diintegrasikan pada semua bentuk pekerjaan SIG. Dengan bahasa pemrograman tersebut pengguna dapat membuat aplikasi rutin untuk tujuan tertentu. Produkloutput SIG &pat berupa peta (berwarna atau hitarn putih), tabel, kesimpulan statistik, dan laporan (Dahuri 1998). Sebagai salah satu sumber data dalam analisis SIG adalah penggunaan data yang dihasilkm dari penginderaan jauh. Penginderaan jauh merupakan salah satu input data spasial bagi SIG, yang dapat secara temporal dan homogen untuk cakupan wilayah yang luas dengan ketelitian yang tinggi, setelah diolah dengan algoritma dan perangkat lunak pengolah citra agar akurat (Siregar 1998). Menurut Danoedoro
(1996) beberapa cara untuk mengintegrasikan penginderaanjauh dengan SIG, antara lain melalui: a) Foto udara dan hasil fotografi dari citra satelit setelah diolah, diklasifksikan, dan diinterpretasikan secara manual clan dijadikan peta tematik. Kemudian, peta tersebut dapat digitasi dan diinterpretasikan ke dalam SIG. b) Data digital penginderaan jauh dianalisis dan diklasifikasi secara digital, output
dari proses tersebut berupa peta konvensional kemudian digitasi ke dalam SIG. c) Data digital dianalisis dan diklasifikasi dengan menggunakan metade digital otomatis, dan hasilnya langsung &pat ditransfer ke dalam SIG. d) Data mentah hasil penginderaan jauh dimasukkan langsung ke dalam SIG apabila terdapat perangkat lunak yang dapat menganalisis data citra dan SIG sekaligus.
Data penginderaan jauh umumnya bersifst raster yang baik dan mudah digunakan SIG, sebab mudah di overlay. Menurut Susilo (2000) terdapat beberapa keuntungan pengintegrasian penginderaan jauh dengan SIG, yaitu: i.
Data penginderaan jauh dapat digunakan dengan cepat pa& saat memperbaharui peta, khususnya pada kasus data hasil survey lapang yang larnbat dan belurn tentu selesai pada selang waktu proyek.
ii.
Basis data SIG dapat menyediakan data tambahan untuk membantu dalam klasifikasi atau analisis data penginderaan jauh, dengan demikian dapat meningkatkan ketepatan peta yang dihasilkan.
Sebagai contoh
penambahan data seperti topografi, geologi, tanah dapat berguna sebagai penunjuk yang vital bagi interpretasi penutupan lahan dibandingkan respon dari informasi spektral data penginderaan jauh.
iii.
Data penginderaan jauh sangat b e r m d m t bila dikombinasi dengm SIG dari sumber data lainnya, atau citra dari berbagai waktu dan spektnun
yang berbeda disajikan secara bersama-sama.
SIG memiliki fasilitas
untuk menerima (integrasi) data dari berbagai format data, khususnya data spasial yang teliti, penutupan spektral dan temporal untuk anaiisis dan pemodelan fenomena-fenomena alami yang kompleks. Keunggdan teknologi S1G yang terintegrasi dengan penginderaan jauh, merupakan sistem yang akurat dan ampuh untuk pengelolaan sumberdaya alam k a w m pesisir dan lautan. 2. Aplikasi SIG untuk Pengelolaan Wilayah Pesisir
Aplikasi SIG digunakan untuk penggunaan lahan di bidang pertanian, kehutanan serta pembangunan pemukiman. Menurut Dahuri (1998) penggunaan SIG telah tersebar pada bidang lingkungan, perairan, dan sosial ekonomi. SIG juga
digunakan di bidang militer, pemodelan perubahan iklirn, dan geologi. Tabel 11 memperlihatkan aplikasi SIG di wilayah pesisir khususnya di bidang perikanm. Penentuan SIG untuk berbagai penggunaan hams ditetapkan terlebih dahulu. Sebagian besar penggunaan SIG adalah untuk pengelolaan sumberdaya alam. Menurut Dahuri (1998) kriteria utama yang hams dipertimbangkan pada saat evaluasi kesesuaian SIG bagi pengelolaan wilayah pesisir adalah sebagai berikut : a)
Model dan struktur data yang digunakan dapat dipakai pada wilayah yang luas dengan ketelitian dan resolusi yang tinggi.
Tabel 1 I . Beberapa Aplikasi SIG di Wilayah Pesisir (Dahuri 1998) APLlKASl 1. Pengelolaan lahan
KETERANGAN Pembuatan beberapa profil DAS di areal kehutanan, lahan budidaya, daerah pemukiman, perubahan garis pantai, tanah payau, tanah pasir dengan kemiringan 3.ii0hdan parameter lain untuk memperkirakan sumber air.
2. Pengelolaan habitat air tawar
Studi kasus dalam analisis dampak pencemaran. Pembangunan basis data untuk habitat yang potensial, data atribut dari kondisi habitat dan aliran arus, DAS, lokasi pembuangan bahan pencemar, mengambarkan dampak di bagian hilir sungai terhadap prosentasi kehilangan produksi ikan. Analisis habitat yang terpengaruh bahan pencemar, dan konversi areal habitat untuk pemeliharaan ikan.
3. Pengelolaan Membangun basis data untuk beberapa atribut data, kedalaman, tipe sedimen. Membangun kriteria untuk Habitat Laut model kesesuaian habitat dengan mengambarkan hubungan antara variabel spasial. Overlay peta untuk memproduksi data yang dihasilkan. 4. Potensi pegembangan budidaya
Dalam penentuan lokasi yang sesuai untuk budidaya udang diperlukan beberapa data, antara lain: salinitas, jenis tanah, pola curah hujan, penggunaan lahan (mangrove dan non-mangrove). Data yang digunakan merupakan parameter-parameter lingkungan dan infrastruktur yang tersedia, penggunaan lahan, jenis tanah, hidrologi, geornorfologi pantai, dan karakterisitik meteorologi. Sedangkan lokasi yang sesuai unbrk pembenihan udang dan ikan memerlukan data adalah kualitas air, pola penggunaan lahan, jarak dari sumber air, dan geomorfologi.
5. Studi sumber daya wilayah pesisir
ldentifikasi variabel sosial ekonomi yang terpengaruh akibat pembangunan di wilayah pesisir. Data yag digunakan adalah populasi, ketenagakerjaan, tingkat pendapatan, tingkat pendidikan, infrastruktur dan fasilitas umum.
6. Studi indek kepekaan lingkungan terhadap pencamar minyak
Klasifikasi P. Sumatra bagian timur dan Jawa Barat bagian utara, kedalam 5 klas tingkat kepekaan lingkungan terhadap pencemaran minyak.
7. Perencanaan di wilayah pesisir
Didasarkan pada karakteristik biofisiwekologi dari wilayah pesisir dibandingkan dengan kriieria kebutuhan biofisik untuk berbagai kegiatan pembangunan. Wilayah pesisir Kalimantan Timur dapat dibagi menjadi beberapa tipe kegiatan pembangunan seperti pemukiman,sawah, tambak, pertambangan dan padang penggembalaan.
b)
Data
spasial maupun non spasial yang telah tersusun, dapat diperhki,
disimpan, dapat diambil pada saat terttntu dan dapat ditampilkan secara efesien dan efektif. c)
Tersediauya peralatan dengan kemarnpuan analisis spasial untuk pemodelan wilayah pesisir, yang dapat melakukan proses-proses analisis dan pemodelan tersebut. Pada evaluasi kesesuaian SIG untuk tujuan perencanaan dan pengelolaan
wilayah pesisir, terlebih dahulu hams diketahui kondisi spesifik dari wilayah pesisir. Untuk mengetahui kondisi spesifik wilayah pesisir memerlukan data yang akurat tentang informasi pesisir secara menyeluruh. Selain itu dinamika aktifitas di pesisir berlangsung sangat cepat.
Perubahan yang sangat cepat tersebut sangat
mempengaruhi ekosistem pesisir dan biota perairan di sekitarnya. Sehingga pengelolaan pesisir sangat membutuhkan berbagai informasi yang dapat membangun data dan bersifat mengintegrasikan secara menyeluruh. Perangkat yang dapat memberikan penilaian dan pengolahan data seperti itu terdapat pada SIG. Pada studi SIG yang dibutuhkan untuk analisis data adalah model data, struktur, algoritma hteknik pengelolaan basis data (Bartlett diacu dalam Dahcri 2000). Sebagai objek dengan sifat yang kompleks dan dinamis, wilayah pesisir dapat Wtegorikan memiliki karakteristik : a)
Euasan: merujuk pada luasan lautan yang masih terpengaruh oleh kegiatan di
daratan clan wilayah terestrial.
b)
kedalamun: berhubungan dengan volume air, dengan variabel distribusi
vertilcal dari arus dan nutrien yang mempengardu penyebaran ikan dan terurnbu karang serta pembalikan sediment (up welling). c)
Iuasan wilayah pesisir memiliki batas yang semu
boundaries), sebagai
contoh garis yang memisahkan darat dan laut; apakah wilayah pesisir itu termasuk dalam wilayah darat atau laut, belum terdefinisi secara tepat. d)
Kisaran yang lebar skala dan resolusi data spasial diperlukan untuk
menjelaskan proses dan fenomena yang berbeda di wilayah pesisir, pengukuran harus dimulai dari satuan terkecil, seperti proses kimia pada pasir
dan batu di zona intertidal, sarnpai skala puluhan, ratusan atau ribuan kilometer (seperti : daerah penangkapan ikan, perubahan garis pantai, dan area pengoperasian alat tangkap ikan). Idealnya SIG dapat mengakomodasi kondisi khusus dan kompleks dari wilayah pesisir. Pada saat ini SIG mampu ditampilkan dalam format 2 dan 3 dimensi. Tambahan dimensi lain yaitu waktu untuk menformulasikan proses dinamik seperti proses-proses di wilayah pesisir. Beberapa masalah komplek di w!ayah pesisir tidak dapat dikerjakan baik secara spasial maupun temporal dalam SIG, tetapi dapat diintegrasikan dengan
perangkat lunak lain seperti oil map untuk membuat
pemodelan sebaran tumpahan minyak di wilayah pesisir dan laut. Kemunglanan di masa datang yang akan ditingkatkan kemampuan SIG ini. Bagaimanapun juga SIG telah dapat digunakan untuk pemodelan spasial dan analisis wilayah pesisir yang sangat bermanfaat bagi perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir.
Mengingat manfaatnya dalam pengelolaan sumber daya alam (SDA), seperti daya dukung lahan, pemetaan mangrove, trumbu karang, kondisi perairan dan dinamika pantai, maka aplikasi SIG sangat dianjurkan dan telah dikembangkan di beberapa negara untuk berbagai tipe SDA, seperti areal konservasi dan pengelolaan hutan. Secara umum keuntungan penggunaan SIG pada perencanaan dan pengelolaan SDA adalah sebagai berikut (Dahuri 1998): i.
Mampu mengintegrasikan data dari berbagai format data (grafik, teksl, digital dan analog) dari berbagai sumber.
ii.
Memilila kemampuan yang baik dalam pertukaran data di antara berbagai macam disiplin ilmu dan lembaga terkait.
iii.
Marnpu memproses clan menganalisis data lebih efisien dan efektif daripada pekerjaan manual.
iv.
Mampu melakukan pemodelan, pengujian dan pembandingan beberapa alternatif kegiatan sebelum dilakukan aplikasi di lapangan.
v.
Memiliki kemampuan pembaharuan data yang efisien, terutama grafk.
vi.
Mampu menarnpung data dalam volume yang besar. SIG yang memiliki sistem terintegrasi, mampu melakukan pemodelan dengan
multi kriteria. Dengan kemarnpuan tersebut, SIG sangat bermanfaat bagi pengelolaan sumberdaya dam di wilayah pesisir, terutama pada pendekatan secara holistik/integral.
F.
Proses Hierarki Analitik (AnalyticalHierarchy Process) Analytical hierarchy process (AHP) yaitu suatu pendekatan yang digunakan
analisis kebijakan atau analisis jenjang keputusan, yang bertujuan untuk memilihlmenentukan prioritas kegiatan pada kawasan konflik penggunaan lahan dalam pemanfaatan ruang wilayah pesisir yang optimal (Saaty, 1999). Menurut Permadi (1992) AHP didesain untuk menangkap secara rasional persepsi orang yang berhubungan sangat erat dengan pennasalahan tertentu, melalui suatu prosedur yang didesain untuk sampai pada suatu skala preferensi di antara berbagai set alternatif. Analisis hierarki proses h i juga merupakan pendekatan analisis yang bertujuan untuk membuat suatu model permasalahan yang tidak mempunyai struktur, dan biasanya diterapkan untuk memecahkan masalah-masalah yang terukur (kuantitatif), maupun masalah-masalah yang memerlukan pendapat (judgment) pada situasi yang kompleks atau tidak terkerangka, situasi dimana data, informasi statistik sangat minim atau tidak ada sama sekali dan hanya bersifat kmlitatif yang diciasari oleh persepsi, pengalaman maupun intuisi. Selain itu AHP juga banyak digunakan pada pengambilan keputusan untuk banyak kriteria, perencanaan, alokasi sumberdaya, dan penentuan prioritas dari strategi-strategi yang dimiliki pelaku dalam situasi konflik. AHP merupakan analisis yang dapat digunakan dalam pengambilan keputusan dengan pendekatan sistem, dimana pengambilan keputusan memaharni suatu kondisi sitem dan membantu melakukan prediksi dalam mengambil keputusan.
Saaty
(1993)
menyarankan sedapat mungkin
menghindari adanya
penyederhanaan seperti dengan membuat asumsi-asumsi, dengan tujuan dapat diperoleh model-model yang kuantitatif. Untuk memecahkan konflik yang terjadi I
dan solusi yang diinginkan, maka perlu diketahui fkktor-faktor yang mempengaruhi keputusan dalarn pengambilan suatu kebijakan yaitu aspek tujuan utarna, subtujuan, kriteria dan alternatif. Proses analisis hierarki adalah memerinci permasalahan ke dalam komponennya, yang selanjutnya diatur dalam bentuk hierarki, dimana hierarki yang paling atas diturunkan ke dalam beberapa elemen set lainnya, sehingga akhirnya terdapat elemen yang spesifik yang dapat dikendalikanl icapai dalam situasi konflik. Prinsip dasar yang hams dipahami dalam menyelesaikan persoalan dengan pendekatan AHP yaitu (Saaty 1993): 1. Dekomposisi, setelah permasalahan atau persoalan didefinisikan maka perlu dilakukan dekomposisi, yaitu memecah persoalan yang utuh menjadi unsurunsumya. Jika menginginkan hasil yang akurat, maka dilakukan pemecahan persoalan menjadi unsur-unsw sampai tidak dapat dipecahkan lagi sehingga didapat beberapa tingkatan persoalan tadi. 2. Comparativejudgement, yaitu membuat penilaian tentang kepentingan relatif
dua elemen pada suatu tingkat terientu dalam kaitmnya dengan tingkat di atasnya. Penilaian ini mcrupakan inti dari AHP karena akan berpengaruh terhadap prioritas elemen-elemen. Hasil dari penilaian ini lebih mudah disajikan dalam bentuk matriks perbandingan berpasangan (pairwise comparison). 3. Synthesis of Priority, dari setiap matrik painvise comparison kernudian dicari
eigen vektornya untuk mendapatkan prioritas lokal. Karena matrik pairwise comparison terdapat pada setiap tingkat, maka untuk mendapatkan prioritas global harm dilakukan sintesis di antara prioritas lokal. Prosedur melakukan
sintesis berbeda menurut bentuk hiemki. Pengurutan elemen-elemen menurut kepentingan relatif melalui prosedur sintesis diiarnakan Priority Setting 4. Logical Consistency, konsistensi memiliki dua makna. Makna pertarna terkait
dengan obyek-obyek yang serupa dikelompokkan sesuai keseragaman dan relevansinya. Sedangkan makna kedua adalah tingkat hubungan antara obyek tersebut didasarkan pada kriteria tertentu. Pendekatan AHP menggunakan skala Saaty mulai dari bobot satu sampai sembilan (Saaty 1999). Nilai bobot satu menggambarkan sama penting, ini berarti bahwa atribut yang sama skalanya, nilai bobotnya satu, sedangkan nilai bobot sembilan menggambarkan kasus atribut yang penting absolut dibandingkan lainnya. Menurut Saaty (1993) beberapa keuntungan menggunakan AHP sebagai alat analisis adalah: a) AHP memberikan suatu model tunggal yang mudah dimengerti, luwes untuk aneka ragam persoalan yang tak terstruktur.
b) AHP memadukan rancangan deduktif dan rancangan berdasarkan sistem dalam memecahkan persoalan kompleks. c) AHP dapat menangani saling ketergantungan elemen-elemen dalam satu sistem dan tidak memaksakan pemikiran linier. d) AHP mencerminkan kecenderungan alami pikiran untuk memilah-milah elemen-elemen suatu sistem dalam berbagai tingkat berlainan dan mengelompokkan unsur yang serupa dalam setiap tingkat. e) AHP memberi suatu skala dalam mengukur hal-ha1 yang tidak terwujud untuk mendapatkan prioritas.
f) AHP melacak konsistensi logis dari pertimbangan-pertimbangan yang digunakan dalam menetapkan berbagai prioritas. g) AHP menuntun ke suatu taksiran menyeluruh tentang kebaikan setiap alternatif. h) AHP mempertimbangkan prioritas-prioritas relatif dari berbagai faktor sistem
dan memungkinkan orang memilih alternatif terbaik berdasarkan tujuantujuan mereka. i) AHP tidak memaksakan konsensus tetapi mensintesis suatu hasil yang representatif dari penilaian yang berbeda-beda. j) AHP memungkinkan orang memperhalus defmisi mereka pada suatu persoalan dan memperbaiki pertimbangan dan pengertian mereka melalui pengulangan.
Tahap paling penting dari AHP adalah tahap penilaian pasangan (judgment) antar faktor pada suatu tingkat hierarki. Penilaian ini dilakukan dengan memberikan bobot nurnerik atau verbal berdasarkan perbandingan pasangan antar faktor satu dengan faktor lainnya. Selanjutnya analisis untuk menentukan faktor mana yang paling tinggi atau paling rendah peranannya terhadap level di atasnya, dimana faktor tersebut berada. Penilaian diperoleh melalui responden yang akan mengevaluasi setiap himpunan faktor secara berpasangan satu dengan lainnya yang menyatakan kepentingan faktor tersebut pada tingkat yang lebih tinggi pada hierarki yang dibentuk.
Keberhasilan penggunaan AHP tergantung pada bagaimana mengatur (melalui hierarki yang tepat) persoalan yang tidak teratur untuk sampai pada pengambilan keputusan, karena A H P mampu mengkonversi faktor-faktor yang tidak terukur ke dalam aturan yang biasa sehingga bisa dibandingkan. Suatu dasar yang kuat dalam menggunakan AHP adalah kemampuan mengukur persepsi para pakar, pengambil keputusan atau masyarakat dari pada hanya mengaudallcan data sekunder dan persepsi diri sendiri mengenai data tersebut (Sugiarti 2000). Demikian pula AHP dapat digunakan untuk menganalisa keinginan berbagai pihak yang berkepentingan dalam perencanaan pembangunan kawasan industri maritim. Pembangunan kawasan industri maritim merupakan kawasan yang mempunyai potensi pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi dan dapat memberi keuntungan bagi masyarakat pesisir sehingga perlu dinilai secara ekonomis. Alat analisa ekonomi yang dapat digunakan dalam penilaian ini adalah "Benefit Cost
Analysis" yang merupakan suatu penilaian prioritas alternatif dengan tujuan untuk mendapatkan pilihan terbaik dari pengelolaan kawasan industri maritim. Analisis manfaat dan biaya merupakan metode praktis dalam menganalisa permasalahan dengan tujuan antara lain: a) Pengambilan keputusan dalam suatu kegiatan, apakah dilaksanakan atau tidak b) Pemilihan kegiatan yang paling produktif dengan ratio manfaathiaya tinggi c) Memaksimumkan total benefit dalam berbagai pengelolaan d) Peninjauan kembali keadaan rencana proyek pada suatu saat untuk melakukan
kemungkinan eliminasi.
Di samping metode praktis seperti disebutkan di atas menurut Saaty (1993) terdapat pula beberapa konsep dari AHP dalam kerangka manfiat dan biaya, yaitu: a) AHP berbeda dengan benefit cost analysis yang konvensional, karena AHP mampu mengkonversi faktor-faktor yang tidak tenrkur ke dalam aturan yang biasa yang memungkinkan untuk perbandingan dan evaluasi b) AHP &pat juga digunakan untuk memecahkan dalam pengambilan keputusan manfaatlbiaya yang kompleks dan pengalokasian yang melibatkan aktifitas campuran c) Tujua. AHP dalam pengelolaan atau kegiatan adalah untuk menganalisa kriteria yang berkaitan dengan evaluasi manfaat dari berbagai alternatif dan kriteria yang berkaitan dengan biaya (kerugian). Pada prinsipnya tujuan AHP dalam kerangka manfaat dan biaya adalah dapat menyelesaikan pennasalahan-pennasalahan faktor yang tidak terukur sehingga perhitungan benefit cost analysis dapat dilakukan.