KAJIAN PENINGKATAN PRODUKTIVITAS SAPI POTONG BERORIENTASI AGRIBISNIS PADA LAHAN KERING DATARAN RENDAH ABSTRAK Permintaan daging sapi di Indonesia cenderung terus meningkat sejalan dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat dan pertambahan penduduk. Mulai akhir tahun 1980-an sampai tahun 2003 kesenjangan antara permintaan dengan pasokan daging dalam negeri semakin besar yang menyebabkan import daging sapi bakalan meningkat terus menerus sekitar 500.000 ekor/tahun, bahkan diperkirakan telah mencapai 1.200.000 ekor yaitu sapi bakalan 400.000 ekor tambah daging setara 400.000 ekor dan jeroan setara 400.000 ekor. Namun kenyataannya populasi cenderung menurun, hal ini bukan saja disebabkan banyaknya pemotongan juga disebabkan tidak tersedianya bibit ternak yang memadai setiap tahun. Kajian ini telah dilaksanakan di Kelurahan Tatae dan Pekkabata, Kecamatan Duampanua, Kabupaten Pinrang, Propinsi Sulawesi Selatan sejak bulan Februari sampai bulan Desember 2006 yang merupakan salah satu sentra produksi sapi potong di Sulawesi Selatan. Tujuan kajian ini adalah menemukan “Pola Peningkatan Produktivitas Sapi Potong Berorientasi Agribisnis Pada Lahan Kering Dataran Rendah”, melalui sistem/model pembibitan sapi potong, pemanfaatan pakan lokal untuk penggemukan dan pengembangan hijauan makanan ternak (HMT) unggul pada lokasi pengkajian. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa Pengaruh penyuntikan estro-plan terhadap keserentakan berahi pada sapi Bali memperlihatkan bahwa penyuntikan estro-plan sebanyak 3 ml (perlakuan B) memperlihatkan respon berahi yang lebih tinggi dibandingkan penyuntikan 2 ml (perlakuan A), dengan perbedaan respon berahi sekitar 17.11% Tingginya respon berahi pada perlakuan B ternyata juga mempengaruhi terhadap keberhasilan kebuntingan. Hal ini ditandai dengan tingginya angka kebuntingan yang diperoleh pada perlakuan B (85,25%) dibandingkan dengan perlakuan A (68.28%), dan dari hasil analisa statistik menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata (P < 0.05) diantara kedua perlakuan. Perbedaan hasil kebuntingan diantara kedua perlakuan sekitar 17%. Lingkar dada, panjang badan, tinggi pundak, bobot badan dan pertambahan bobot badan harian pedet yang dihasilkan terjadinya kenaikan sesuai dengan pertambahan umur ternak dalam artian bahwa umur berkorelasi positif terdap ukuran tubuh ternak hasil IB. Dari hasil pengkajian untuk penggemukan menunjukkan bahwa ketiga formula pakan yang digunakan ternyata perlakuan C lebih tinggi (lebih baik) daripada perlakuan B maupun A sedangkan perlakuan B lebih tinggi daripada perlakuan A Hasil analisis menunjukkan bahwa jika tenaga kerja diperhitungkan sebagai biaya variabel maka baik perlakuan B (konsentrat 1% dari bobot badan + UMB + rumput lapangan 50% + limbah pertanian 50%) memperoleh keuntungan lebih tinggi yakni Rp. 183.675 perekor/bulan disusul dengan perlakuan C (konsentrat 1% dari bobot badan + UMB + rumput lapangan100%) memberikan keuntungan Rp. 181.392. per ekor/bulan kemudian terakhir perlakuan A (kontrol) memperoleh keuntungan Rp. 100.058 per www.sulsel.litbang.deptan.go.id
ekor/bulan. Introduksi hijauan unggul pada lahan kering dataran rendah menunjukkan bahwa Rata-rata produksi berat basah rumput lebih tinggi dari tahun sebelumnya yaitu rumput raja (varietas baru dari Taiwan) Pennisetum purpureum berat basah rata-rata 2866,6 gram/plot (sampel diambil / meter 2), Setaria sphacelata cv splenda berat basah rata-rata 1326,6 gr/plot tahun sebelumnya 793,65 gram/plot, Digitaria milanjiana cv. Jarra berat basah rata-rata 793,3 gram/plot tahun sebelumnya 685,05 gram/plot, Panicum infestum 670 gram/plot dan tahun sebelumnya 858,18 gram/plot. Rumput dan legume sudah menyebar ke kelompok tani lain bahkan sudah menyebar ke beberapa kecamatan seperti kecamatan cempa dan lembang. Pennisetum purpureum (varietas baru dari Taiwan), menurut tanggapan petani yang paling tinggi palatabilitasnya menyusul Setaria sphacelata cv splenda, Digitaria milanjiana cv. Jarra, Panicum infestum. Kata Kunci : Inseminasi Buatan, Pembibitan, Penggemukan, Hijauan Unggul
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
PENDAHULUAN 1.
Latar Belakang Pembangunan peternakan merupakan bagian integral dan tidak terpisahkan dari
pembangunan pertanian dan pembangunan nasional yang secara berencana dan bertahap telah dilaksanakan hingga sekarang ini. Oleh sebab itu pembangunan peternakan haruslah mengacu pada peningkatan pendapatan petani peternak, membuka kesempatan kerja melalui peningkatan populasi dan produksi ternak guna memenuhi kebutuhan dalam negeri maupun ekspor, serta peningkatan gizi masyarakat melalui penyediaan sumber protein hewani dengan tidak mengabaikan sumber daya alam dan lingkungan. Dari hasil evaluasi pelaksanaan pembangunan peternakan, disamping mampu memberikan hasil yang menggembirakan, juga terdapat kendala-kendala dalam meningkatkan populasi dan produksi ternak. Salah satu hal pokok yang menjadi kendala adalah ketersediaan lahan untuk ternak semakin kurang karena perubahan struktur fungsi lahan dari lahan pertanian tanaman pangan menjadi lahan perkebunan dan pemukiman ( Ella, 2000) Permintaan daging sapi di Indonesia cenderung terus meningkat sejalan dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat dan pertambahan penduduk. Mulai akhir tahun 1980-an sampai tahun 2003 kesenjangan antara permintaan dengan pasokan daging dalam negeri semakin besar yang menyebabkan impor daging sapi bakalan meningkat terus menerus sekitar 500.000 ekor/tahun, bahkan diperkirakan telah mencapai 1.200.000 ekor yaitu sapi bakalan 400.000 ekor tambah daging setara 400.000 ekor dan jeroan setara 400.000 ekor (Diwyanto, 2003). Besarnya permintaan daging tidak diikuti dengan suplay daging, sehingga menyebabkan pengurasan sapi potong yang produktif dalam negeri misalnya pemotongan betina fertil, jantan muda dan pejantan dan sebagainya (Suryana, 2000 dan Tambing et al., 2000). Hal ini menyebabkan populasi dasar pada daerah sentra produksi sapi potong menjadi tidak stabil dimana pengeluaran sapi lebih banyak dari pada yang lahir sehingga kalau tidak segera diperbaiki maka pada waktu tertentu sentra produksi sapi potong menjadi punah. Ternak sapi potong mempunyai peranan yang sangat penting dalam pembangunan peternakan dalam pengembangan misi peternakan yaitu sebagai berikut: (a) sumber pangan hewani asal ternak, berupa daging dan susu, (b) sumber pendapatan masyarakat
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
terutama petani ternak, (c) penghasil devisa yang sangat diperlukan untuk membiayai pembangunan nasional, (d) menciptakan lapangan kerja, (e) sasaran konservasi lingkungan terutama lahan melalui daur ulang pupuk kandang dan (f) pemenuhan sosial budaya masyarakat dalam ritus adat/kebudayaan. Sejarah perkembangan sapi potong khususnya sapi Bali di Sulawesi Selatan dimulai sejak tahun 1898 dimana Pemerintah Kolonial Belanda memasukkan sapi Bali dari Pulau Jawa diberikan kepada Raja Gowa (Sallatang, 1991). Pada tahun 1970-an Sulawesi Selatan mulai melakukan ekspor sapi potong ke Hongkong dengan populasi pada saat itu mencapai sekitar 600.000 ekor kemudian pada tahun
1984 berkembang menjadi
1.235.975 (BPS, 1985). Pada saat itu Sulawesi Selatan merupakan penghasil sapi potong terbesar di Indonesia setelah Jawa Timur (Soehadji, 1990). Dengan perkembangan sapi potong yang pesat ini, maka Sulawesi Selatan merupakan gudang ternak sapi potong yang mampu memenuhi permintaan lokal maupun inter insuler (antar pulau) daerah ini dengan volume yang cukup besar. Potensi sapi potong yang siap dikirim ke Jakarta dan Kalimantan Timur serta berbagai propinsi di Indonesia setiap tahun, berdasarkan perhitungan statistik dapat mencapai 183.080 ekor anak sapi betina dan jantan 97.355 ekor anak sapi jantan (Anonimous, 1998), dengan memiliki berat badan minimal 270 kg untuk sapi Bali dan 300 kg sapi persilangan sapi potong berdasarkan Perda tentang sapi potong yang dapat diantarpulaukan. Kontribusi sapi potong terhadap PDRB Sulawesi Selatan pada tahun 1985 tercatat Rp. 2.331,93 milyar meningkat menjadi Rp. 37.735,63 milyar tahun 1989 (Amiruddin, 1991) dan meningkat pada tahun 2002 yaitu Rp. 38.646,01 milyar (BPS, 2002). Masalah utama yang dihadapi dalam pengembangan sapi potong di Sulawesi Selatan adalah kecenderungan populasi yang semakin merosot, ini terutama disebabkan oleh rendahnya tingkat kelahiran dan permintaan semakin meningkat (Sariubang et al.,2002) dimana telah mengalami penurunan 2,6% yakni 743.374 ekor pada tahun 1998 menjadi 724.044 ekor pada tahun 2002 (Anonim 2003). Penyebab rendahnya pertambahan populasi tersebut, ada kaitannya dengan tingkat reproduksi yang juga masih rendah, seperti yang dilaporkan Sonjana, et al. (1996) bahwa calving interval atau jarak kelahiran sapi ini berkisar antara 2-3 tahun.Selain penurunan populasi juga telah terjadi penurunan kualitas dimana sapi Bali yang pada mulanya (potensi genetik) dapat
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
mencapai berat badan 500 – 600 kg/ekor tetapi sekarang sudah sulit mendapatkan sapi Bali yang mencapai berat badan 300 kg/ekor, hal ini disebabkan terjadinya perkawinan dalam satu populasi yang terus menerus (inbreeding) dan sistem pemeliharaan yang masih tradisional (Sariubang et al., 1992) demikian juga yang dikemukakan oleh Warwick et al., (1983) bahwa perkawinan silang dalam (inbreeding) berlangsung terlalu lama dalam suatu populasi tertutup menyebabkan proporsi lokus genetik yang homozigot. Berbarengan dengan itu terjadi depresi persedarahan yang menyebabkan menurunnya daya tahan (vigor), kesuburan dan sifat-sifat produksi lainnya. Untuk keluar dari masalah ini pemerintah perlu upaya pelestarian yang diimbangi dengan pendekatan kuantitatif yakni peningkatan populasi dan kualitatif melalui peningkatan kualitas ternak. Produktivitas sapi potong sering dikaitkan dengan faktor genetik dan lingkungan. Berbagai upaya yang telah dilakukan untuk meningkatkan mutu dan produksi ternak di Sulawesi Selatan maupun wilayah lain di Indonesia, oleh karena dalam waktu yang bersamaan dapat dilakukan inseminasi pada beberapa induk yang siap kawin melalui sinkronisasi berahi (Tolleng, 1977). Tiga pokok alasan memilih program IB adalah (1) IB adalah cara yang murah untuk meningkatkan mutu genetik sapi, (2) IB adalah cara cepat dalam transformasi dan konfigurasi genetik populasi ternak, (3) alternatif murah dan cepat dari program IB ini dalam skala massal. Sulawesi Selatan memiliki lahan kering dataran rendah seluas 2.523.762 ha (Kanwil pertanian Sulawesi Selatan, 1999) yang pada umumnya cocok untuk pertanian tanaman pangan, perkebunan, hortikultura dan peternakan. Dalam mengoptimalkan usahatani pada lahan tersebut maka pemanfaatan limbah pertanian sangat potensial sebagai pakan sapi potong. Mangut Iman S. (2003) mengatakan bahwa hasil penelitian di lapangan menunjukkan produk-produk industri peternakan dan bisnis di sektor peternakan telah menyumbangkan
angka pertumbuhan ekonomi sangat mencolok, melihat peluang
strategis ini, maka pemerintah daerah perlu mengambil kebijakan dan memberi kesempatan yang luas kepada usaha kecil menengah dan kelompok peternak menjadi industri biologis dimana bahan pakan yang tidak berguna yang dimiliki petani dapat diberikan kepada sapi untuk menjadi daging dan dapat diubah menjadi kotoran sapi yang dapat diolah menjadi pupuk organik yang berkualitas. Disamping pemanfaatan sisa hasil pertanian dan industri pertanian juga perlu diupayakan penanaman hijauan pakan yang
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
berkualitas dengan memanfaatkan lahan yang diperuntukkannnya tidak bersaing dengan tanaman pangan, bahkan dapat bersinergis antara tanaman pakan dan pangan. Hal ini sangat penting mengingat penyediaan sisa hasil pertanian dan industri juga mengalami fluktasi, sedangkan kita ketahui bahwa kebutuhan pakan untuk ternak ruminansia mencapai 60-70% dari hijauan (Nitis et al, 1992) Berdasarkan hal di atas perlu dikatakan
pengkajian sistem pembibitan,
pemanfaatan pakan lokal untuk penggemukan, introduksi hijauan pakan unggul dan kelembagaan sapi potong agar pada masa yang akan datang Sulawesi Selatan akan menjadi gudang ternak yang utama di Indonesia terutama dalam meningkatkan pendapatan petani peternak dan PAD propinsi Sulawesi Selatan khususnya kabupaten yang menjadi sentra menjadi produk sapi potong. Dalam perkembangan sapi potong di Sulawesi Selatan telah membuktikan betapa akrabnya petani dengan sapi potong dalam usaha taninya, sehingga potensi pembangunan sapi potong menjadi usaha agribisnis sangat strategis. Upaya untuk memanfaatkan sapi potong sebagai komoditi subtitusi import dan promosi ekspor yang dapat diusahakan dalam bentuk usahatani agribisnis akan sangat respon oleh petani di Sulawesi Selatan, asal teknologi pemanfaatan pakan lokal (teknologi penggemukan), introduksi rumput unggul yang menguntungkan petani. Setelah teknologi tersebut tersedia akan ada beberapa faktor yang mempengaruhi peningkatan produktivitas sapi potong antara lain faktor biofisik seperti iklim, biologik dan tanah sementara faktor sosial ekonomi seperti modal, keterampilan dan pengetahuan peternak, pemasaran, kelembagaan dan kebijakan pemerintah (Armand dan Syahibuddin, 1983), hal ini sangat penting untuk berhasilnya pengkajian yang dilakukan. Dalam pengembangan sapi potong di Indonesia dewasa ini adalah tidak tersedianya sapi bibit dan bakalan yang cukup sebagai akibat dari pemotongan betina fertil yang berlebihan (pengurusan sumberdaya induk). Keadaan ini di lapangan sangat sulit dikendalikan. Sekalipun dibuat berbagai peraturan tentang pelarangan pemotongan betina bunting maupun betina fertil, karena pedagang dan jagal selain sulit untuk mendapatkan sapi jantan yang siap potong, mereka berpendapat memotong sapi betina untungnya lebih banyak karena harganya murah sehingga berbagai alasan dapat dilakukan seperti sapi betina produktif yang masuk RPH (rumah potong hewan) ditolak oleh petugas kemudian
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
dibawa kembali dan dipatahakan kakinya dan dibuat menjadi cacat lalu dimasukkan lagi ke RPH dengan alasan perlu dilakukan pemotongan paksa karena sapi mereka mendapat musibah maupun menyuap petugas dan sebagainya. Hal ini menyebabkan pemotongan dan pengeluaran sapi di Sulawesi Selatan jauh lebih besar daripada jumlah sapi yang lahir setiap tahun. Untuk keluar dari masalah ini secara nasional menjasi dilema dimana pemerintah tidak memiliki pembibitan sapi seperti Bina Mulya Ternak (BMT) yang dahulu tersebar di seluruh Indonesia (sekitar 16 PT), swasta yang melakukan pembibitan sapi selalu gulung tikar dengan alasan rugi sehingga pilihan terakhir adalah masyarakat peternak sapi potong. Kalau petani peternak menjadi tulang punggung untuk melakukan pembibitan sapi, maka tidak ada jalan lain adalah harus dimulai dari pembentukan populasi dasar induk sapi pada kelompok tani peternak dan dilakukan dengan sistem usahatani pembibitan sapi potong berwawasan agribisnis, karena pembibitan sapi potong secara tradisional sebetulnya merugikan
petani sehingga tidak menarik untuk
menjadi
suatu usaha
ataupun cabang usahatani. Apabila kajian ini berhasil maka akan tersedia bibit dan bakalan sapi potong yang cukup, sehingga konsep pengembangan sapi potong berdasarkan pengembangan kawasan yang dapat menampung pemeliharaan sapi potong 500-600% dari populasi yang ada antara lain pengembangan sapi potong pada kawasan sawah irigasi, sapi pada tanaman perkebunan, sapi pada lahan kering,sapi pada lahan sawah tadah hujan, sapi pada lahan hortikultura dan sebagainya, sehingga keterbasatasan lahan perumputan/pastura tidak lagi menjadi alasan untuk pengembangan sapi potong kedepan. Salah satu cara untuk mempertankan/meningkatkan populasi sapi potong adalah melalui sistem pembibitan sapi potong skala petani, melakukan penggemukkan agar sapi potong pada saat dagingnya optimal dan memanfaatkan hijuan unggul. Penggemukan adalah suatu istilah untuk menggambarkan keadaan hewan pada saatsaat akhir stadium pertumbuhan atau usaha memaksimalkan pertumbuhan ternak. (Tilman et. al., 1984). Usaha untuk memaksimalkan produksi ternak dengan memperhatikan faktor pakan khususnya kandungan protein yang merupakan senyawa yang kompleks berfungsi untuk membangun dan memelihara jaringan dan organ tubuh, menyediakan sumber lemak badan dan menyediakan asam amino.
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
Peranan pakan dalam usaha ternak sapi potong sangat penting karena merupakan bagian yang tidak terpisahkan dan merupakan kunci keberhasialan ternak. Jenis pakan ternak yang terpenting adalah hijauan karena merupakan pakan utama ternak ruminansia, 70% dari makanan ternak ketersediaan
ruminansia adalah hijauan (Nitis, et al, 1992), sehingga
pakan baik dari segi kuantitas, kualitas dan secara berkesinambungan
sepanjang tahun perlu diperhatikan. Pembangunan peternakan menjadi perioritas utama adalah peternakan rakyat karena 90% dikelolah oleh petani di pedesaan yang masih bersifat tradisional. Oleh karena itu kelompok ini dengan segala kelemahan dan kekurangannya perlu disiapkan menjadi pelaku aktif yang siap diri, siap kelompok dan siap hamparan untuk memasuki pembangunan ekonomi yang semakin dinamis, baik sebagai sasaran maupun sebagai peserta aktif. Sulawesi Selatan merupakan salah satu wilayah pengembangan dan industri peternakan di indonesia dalam lima tahun terakhir terjadi penurunan produktivitas. Upaya peningkatan produksi peternakan baik kualitas maupun kuantitas terus diupayakan melalui berbagai program, namun pertumbuhannya belum mampu memenuhi target yang diharapkan yaitu meningkatnya produktivitas usaha tani masyarakat sehingga berdampak terhadap peningkatan kesejahteraan petani. Salah satu kendala utama dalam peningkatan produksi peternakan di Sulawesi Selatan adalah ketersediaan lahan. Kepadatan penduduk yang semakin tinggi serta majunya perkembangan perubahan lahan pertanian ke non-pertanian, menjadi parameter utama pembangunan peternakan di wilayah Sulawesi Selatan perlu ditata kembali berdasarkan segi kelayakan fisik lahan dan daya dukung pakan. Apabila wilayah-wilayah di Sulawesi selatan masih ingin dikembangkan untuk produksi ternak, maka hal ini perlu dilihat kesiapan, baik tentang keadaan lahan, sumberdaya manusia, daya dukung pakan alami, kepadatan maupun perangkat lunak lainnya dalam suatu analisis tata ruang wilayah penyebaran dan pengembangan peternakan. Dengan demikian paradigma baru pembangunan peternakan dapat diwujudkan dimana impor daging semakin dikurangi dan promosi ekspor semakin ditingkatkan, sehingga pada saatnya nanti Sulawesi Selatan akan tampil menjadi pengekspor sapi potong di kawasan Asia.
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
1.Tujuan 1. Menemukan teknologi sistem usahatani yang mampu meningkatkan produktivitas sapi potong pada lahan kering dataran rendah. 2. Mendapatkan jenis rumput unggul dan limbah pertanian sebagai pakan yang dapat menunjang agribisnis sapi potong pada lahan kering dataran rendah. 3. Menemukan pola usaha pembibitan sapi potong spesifik lokasi. 4. Menemukan teknik pembuatan pakan local untuk pengemukan sapi potong. 5. Untuk menguji adaptabilitas dan kualitas beberapa spesies hijauan pakan pada agroekologi yang berbeda 2.Keluaran 1. Rekomendasi komponen teknologi pola pada pembibitan sapi potong. 2. Tersedianya teknologi pembuatan pakan untuk penggemukan sapi potong. 3. Tersedianya teknologi pengelolaan rumput unggul pada daerah sentra pengembangan sapi potong. 3.Manfaat dan Dampak 1. Peningkatan ketersediaan bibit sapi/sapi bakalan pada daerah sentra produksi sapi potong 2. Peningkatan produktivitas ternak
melalui sistem penggemukan dengan
memanfaatkan pakan lokal 3. Tersedianya
hijauan yang
berkualitas untuk menunjang perkembangan
usahaternak sapi potong 4. Terciptanya
usahatani
sapi
potong
yang
efisien,
menguntungkan dan
berkelanjutan. 5. Ketersediaan pakan dapat berkesinambungan terutama pada musim kemarau. 6. Rumput yang ditanam merupakan rumput unggul, dapat meningkatkan nilat gizi pakan yang berasal dari limbah seperti jerami padi, jerami jagung dan jenis limbah lainnya.
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
7. Petani yang telah mengusahakan lahannya dengan usahatani tanaman-ternak memiliki sumber pakan bagi ternaknya berasal dari tanaman pakan yang sengaja ditanam di sekitar kebun.
METODOLOGI Pengkajian ini secara on farm ini telah dilaksanakan di Keluarahan Tatae dan Pekkabata, Kecamatan Duampanua, Kabupaten Pinrang sejak bulan Januari sampai dengan Desember 2006. dilakukan berdasarkan kaidah ilmiah dengan menggunakan statistik sederhana.; Dalam RPTP ini dilakukan 3 kegiatan masing-masing sebagai berikut: 1. Kajian pola Pembibitan Sapi potong pada daerah sentra produksi sapi potong 2. Kajian Pemanfaatan pakan lokal untuk penggemukan sapi sapi potong 3. Introduksi hijauan unggul pada lahan kering daratan rendah 1.Kajian Pola Pembibitan Sapi potong pada daerah sentra produksi sapi potong Pengkajian ini dilakukan dalam hamparan 125 ekor induk sapi dengan melibatkan 80 anggota peternak yang tergabung dalam “Kelompok Tani Srimulyo” di Kelurahan Tatae
dan
Pakkabata,
Kecamatan
Duampanua,
Kabupaten
Pinrang.
Untuk
mengembangkan sistem pembibitan sapi potong maka kegiatan ini melakukan IB dengan memilih 14 kooperator ( jumlah ternak 16 ekor) masing–masing perlakuan 8 ekor lalu dilakukan aplikasi sinkronisasi berahi dengan menggunakan hormon dengan perlakuan sebagai berikut : Perlakuan A = penyuntikan 2 ml/ekor B = penyuntikan 3 ml/ekor Penyuntikkan hormonal secara intramusculer dan dilakukan pengamatan berahi hari 2-3 setelah itu Inseminasi dilakukan dengan cara: Bila berahi muncul pagi hari, inseminasi dilakukan paling lambat pada sore hari Bila berahi siang hari, inseminasi dilakukan malam hari Bila sore hari/malam hari, inseminasi dilakukan pada pagi hari berikutnya
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
Dan bila hari 2-3 tidak memperlihatkan tanda berahi maka dilakukan penyuntikan pada hari ke-11 dilanjutkan pengamatan hari ke 2-3 setelah memperlihatkan berahi dilakukan inseminasi. Penentuan kebuntingan: Penentuan kebuntingan dilakukan 60-90 hari setelah inseminasi. Penentuan kebuntingan dilakukan dengan cara palpasi rektal (PKB), maupun induk yang tidak minta kawin lagi (tidak estrus) Bunting atau tidaknya bisa juga dilakukan dengan pengamatan berahi bila dalam 18-25 hari setelah inseminasi tidak memperlihatkan muncul tandatanda berahi maka diasumsikan bahwa ternak tersebut bunting. Disamping kegiatan ini juga dilakukan sinkronisasi berahi pada induk-induk yang sulit dikenali waktu berahinya dan induk-induk yang kelihatan berahi segera di IB, tetapi sapisapi yang lepas dari pengamatan dan sudah terlanjur kawin juga diamati. Untuk mendapatkan hasil yang optimal maka dilakukan pencegahan tentang penyakit berupa vaksinasi terutama antraks, SE, pemberian obat cacing hati maupun penyuntikan multivitamin. Demikian juga dengan induk yang tidak bunting diadakan pemeriksaan apabila kekurangan pakan akan diberikan tambahan pakan dan apabila terlalu gemuk akan dikurangi pemberian pakan. Service per conception (s/c) Service per conception atau jumlah pelayanan inseminasi yang diperlukan untuk mendapatkan satu kebuntingan. Angka S/C dihitung dengan membandingkan jumlah seluruh pelayanan inseminasi dengan jumlah ternak yang bunting. Conception rate Salah satu ukuran terbaik terhadap hasil inseminasi buatan adalah conception rate (CR) atau disebut laju kebuntungan. Laju kebuntingan menurut definisinya adalah jumlah sapi yang bunting yang dinyatakan dengan palpasi rectal pada inseminasi pertama. Secara matematik laju kebuntingan (dalam persen) dinyatakan sebagai berikut:
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
conceptionrate (%)
Jumlah sapi yang bunting dari hasil IB pertama x 100% Jumlah seluruhsapi betina yang di inse min asi
Persentase Estrus % Estrus
Onset Estrus (jam)
Jumlah sapi yang estrus x 100% Jumlah sapi estrus tidak estrus
= dihitung mulai dari penghentian perlakuan sampai muncul tandatanda berahi.
Lama Estrus (jam)
= dihitung mulai saat muncul tanda-tanda berahi sampai dengan Berhentinya tanda-tanda berahi.
calving rate
Jumlah sapi yang lahir dari hasil IB Jumlah sapi yang di IB
Sedangkan anak yang lahir diamati secara berkala meliputi bobot badan lahir, lingkar dada, panjang badan, tinggi pundak. Bahan dan Alat Bahan : Hormon sinkronisasi Prostaglandin, induk sapi, Semen, sabun colek, tissue, obat-obatan, vaksin dan lain-lain. Alat: Insemanation gun, Kandang jepit, Plastik sheet, Plastik Gloves, gunting spoit, timbangan, tongkat pengukur, kontainer semen, dll. 2. Kajian Pemanfaatan Pakan Lokal untuk Penggemukan Sapi Potong Materi yang digunakan dalam pengkajian ini sebanyak 18 ekor sapi jantan bakalan milik petani yang dipelihara dalam kandang secara kolektif (dengan rataan bobot badan 159 kg berayun dari 134-178 kg) berumur 1,5-2,5 tahun. Sebelum ternak diberikan perlakuan terlebih dahulu dilakukan vaksinasi Antraks, SE, diberikan obat cacing dan multivitamin untuk menjaga agar ternak tersebut selalu dalam keadaan sehat. Adapun pemberian pakan yang diberikan dengan memanfaatkan bahan lokal sesuai dengan fase
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
pengemukan. Ternak tersebut dibagi secara acak dalam 3 group dengan pemberian perlakuan pakan sebagai berikut: - Perlakuan A = Kontrol (kebiasaan petani / dipelihara secara semi intensif) - Perlakuan B = Konsentrat 1% dari bobot badan + UMB + Rumput lapangan 50% + Limbah pertanian 50% - Perlakuan C = Konsentrat 1% dari bobot badan + UMB + Rumput lapangan 100% Adapun formulasi konsentrat dan Urea Molases Blok (UMB) dengan komposisinya disajikan pada Tabel 1 dan Tabel 2 . Tabel 1. Susunan Konsentrat untuk penggemukan sapi potong No 1 2 3 4 5
Nama Bahan Dedak Bungkil Kelapa Tepung Ikan Tepung tulang Mineral Jumlah
Persentase (%) 70 20 9 0,5 0,5 100
Tabel 2. Komposisi Urea Molases Blok (UMB) No 1 2 3 4 5 6. 7
Nama Bahan Semen Urea Molases Dedak Bungkil Jagung Mineral Garam Jumlah
Persentase (%) 5 6 25 35 20 1 8 100
Proses Pembuatan Urea Molases Blok (UMB) Urea Molases Blok (UMB) mudah dibuat dengan menggunakan bahan-bahan pakan yang murah, mudah didapat dengan mengoptimalkan penggunaan bahan lokal yang tersedia seperti limbah pertanian, perkebunan, industri dll. Pertama-tama persiapkan bahan sesuai kebutuhan yang ingin dibuat. Timbanglah masing-masing bahan sesuai dengan komposisi.
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
Bahan yang berbentuk padat/kering dicampur dimulai dari yang jumlahnya paling sedikit, lalu ditambahkan ke bahan yang lebih besar sambil diaduk sampai rata. Setelah itu ditambahkan bahan yang cair sedikit demi sedikit sambil diaduk sehingga tidak terjadi gumpalan-gumpalan. Adonan dicetak dengan alat cetak sampai padat tidak mudah berjamur atau busuk. Setelah selesai dicetak dijemur dibawah sinar matahari + 24 jam. Untuk mempertahankan kualitas maka perlu dikemas dengan plastik tranparan. Kemasan tersebut disimpan di tempat yang bersih dan bebas jamur dengan sirkulasi udara yang lancar. Fermentasi jerami (limbah pertanian) sebagai pakan ternak Proses fermentasi terbuka dilakukan pada tempat yang terlindung dari sinar matahari langsung. Proses pembuatan jerami fermentasi dibagi dua tahap, yaitu tahap fermentasi dan tahap pengeringan dan penyimpanan. Tahap pertama jerami (limbah pertanian) yang baru dipanen (kandungan air sekitar 65%) dikumpulkan pada tempat yang telah disediakan. Bahan yang digunakan dalam proses fermentasi jerami adalah urea dan probiotik. Jerami (limbah pertanian) segar yang difermentasi ditumpuk hingga ketebalan 20 Cm, kemudian ditaburi dengan urea dan probiotik dan diteruskan pada lapisan timbunan jerami berikutnya yang juga setebal sekitar 20 cm. Demikian seterusnya hingga ketebalan tumpukan jerami (limbah pertanian) mencapai 1-2 m. Takaran urea dan probiotik masing-masing 6 kg untuk setiap ton jerami padi segar. Pencampuran urea dan probiotik pada jerami dilakukan secara merata, kemudian didiamkan selama 21 hari agar proses fermentasi dapat berlangsung dengan sempurna, dilihat pada gambar 3. Pada tahap kedua tumpukan jerami (limbah pertanian) yang telah mengalami proses fermentasi dikeringkan dengan sinar matahari dan dianginkan sampai cukup kering sebelum disimpan pada tempat yang terlindung dari hujan dan sinar matahari langsung Data yang dikumpulkan adalah 1. Konsumsi pakan 2. Berat Badan 3. Tinggi Pundak
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
4.
Panjang Badan
5. Lingkar Dada 6. Analisis Ekonomi Metode Analisis Untuk menghitung pertambahan berat badan digunakan rumus
ADG
W2 W1 t 2 t1
Dimana : W2 = Bobot Badan akhir W1 = Bobot badan awal t2 = Waktu penimbangan akhir t1 = Waktu penimbangan awal (Cole, 1996) Dalam analisa ekonomi digunakan batasan sebagai berikut : penerimaan (output) adalah pertambahan bobot badan selama proses penggemukan yamg dinilai dengan harga penjualan. Biaya pakan (input) adalah jumlah biaya makanan yang dikonsumsi selama masa penggemukkan baik rumput maupun konsentrat. Pendapatan (net outptut) adalah selisih antara biaya makanan dengan besarnya penerimaan (output). Bahan dan Alat Bahan: Dedak, Bungkil kelapa, Tepung ikan, Tepung tulang, Garam, Probiotik, Urea, Molases, Bungkil Jagung, Mineral, Obat cacing, Antibiotik, Vaksin Antraks, SE. dll. Alat: Kandang Jepit, timbangan, tongkat pengukur, pita ukur, skop dll. C. Introduksi hijauan unggul pada lahan kering dataran rendah Pengkajian ini dilakukan di kelurahan Tatae dan Pekkabata, Kecamatan Duampanua, Kabupaten Pinrang mulai bulan Januari sampai dengan Desember 2006. Kegiatan ini mencakup pengkajian penanaman tanaman pakan yang dilakukan dalam plot-plot percobaan dengan ukuran 20 x 5 m. di kelurahan Tatae Spesies tanaman pakan hijauan berupa rumput unggul adalah, Panicum maximum cv. Riversdale, S. sphacelata
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
cv. Splendida, B. decumbens cv. Tully dan D. milanjiana cv Jarra, di Pekkabata rumput yang ditanam adalah Panicum infestum, Arachis pintoi cv Amrillo, S. sphacelata cv. Splendida , dan D. milanjiana cv Jarra Di kelurahan Pekkabata dilakukan penanaman di pinggir saluran irigasi disamping untuk menahan erosi juga untuk meningkatkan efisiensi penggunaan lahan. Bahan dan Alat Bahan: Hijauan unggul, Urea, TSP,KCL, dll Alat: Cangkul, parang, ember, tali, pagar duri, timbangan, tongkat pengukur, dll.
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik biofisik. Lokasi kegiatan kajian pada dua kelurahan yaitu kelurahan Pekkabata dan Tatae yang berdampingan dalam satu hamparan yang hanya dbatasi jalanan pertanian (farm road), terletak pada ketinggian 7 ml dpl.Batas wilayah kelurahan Pekkabata di sebelah utara : Kelurahan Lanpa, selatan: Desa Kaliang, Barat : Desa Paria dan di sebelah timur : Kelurahan Pekkabata. Luas hamparan sawah sekitar 100 ha. Jarak lokasi dari kota propinsi 204 km ke arah utara. Kelurahan Pekkabata dihuni oleh penduduk dari suku jawa yang datang pada tahun 1930-an. Sekitar 2000 Kelurahan dimekakarkan menjadi 2 yaitu Kelurahan Pekkabata dan Tatae. Hujan mulai turun dari bulan Juli dan curah hujan tinggi terjadi pada bulan Januari-April. Biasanya curah hujan sangat rendah antara bulan Mei-Juli. Air Irigasi tersedia sepanjang tahun berasal dari sungai Lasape yang terletak disebelah selatan kelurahan. Saluran air yang masuk di lokasi klegiata adalah saluran sekunder Kolo-Koli dan saluran Paria, dilengkapi dengan saluran tersier. Air irigasi sebagian besar dimanfaatkan untuk mengairi sawah. Hanya sebagai kecil untuk memelihara ikan. Topografi lokasi seluruhnya datar, sebelah selatan sedikit lebih tinggi dari bagian utara, sehingga air irigasi mengalir dari sebelah seklatan ke utara. Kesuburan
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
tanah baik, dengan kedalaman semakin sempitnya penggunanya berturut-turut untuk perkebunan,pemukiman, tempat rekreasi, rawa dan bangunan umum (Tabel 3) Tabel 3. Tata Guna Lahan di Lokasi Kajian No 1 2 3 4 5 6
Tipe Lahan Kelurahan Pekkabata Pemukiman 52,55 Bangunan umum 1,63 Sawah 345,50 Perkebunan 106,00 Rawa 5,50 Rekreasi/olahraga 6,00 Jumlah 517,18 Sumber : Kecamatan Duampanua, 2004
Kelurahan Tatae 64,21 18,00 875,60 0,45 5,00 963,26
Lahan yang digunakan sebagai sawah irigasi dengan saluran pengairan yang cukup baik. Prasarana jalan yang ada adalah jalam kabupaten sepanjang 10,75 km dan jalan desa 8,95 km dengan kondisi jalan aspal 10,3 km, jalan yang dikeraskan dengan 4,8 km. Sarana Transportasi darat terdiri dari kendaraan umum roda 4 sebanyak 75 buah, dokar 10 buah, becak 40 buah dan kuda 10 ekor. Sarana informasi pribadi yang dimiliki TV pribadi 1102 buah, radio 1717 buah dan VCD 257 buah. Untuk sarana peribadatan terdapat 11 mesjid, sanggar 1 buah, gereja 1 buah. Prasarana pendidikan yang ada TK 1 buah, SD 10 buah, SLTP 3 buah. Untuk kegiatan olah raga terdapat lapangan sepak bola 4 buah, lapangan bola voli 3 buah, lapangan basket 3 buah dan bulu tangkis 4 buah. Industri kecil yang ada seperti pembuatan tempe 15 buah, tahu 3 buah dan bulutangkis 4 buah. Sarana penggilingan padi ada 12 buah, hand spayer 9 buah, bajak/garu 23 buah, perontok gabah 24 buah dan traktor 18 buah. Jenis kooperasi yang ada adalah KUD 1 buah dan koperasi non KUD 3 buah. Ternak (Sapi) Jumlah ternak dirinci tiap Kecamatan di Kabupaten Pinrang tahun 2004 disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Populasi Ternak di Kabupaten Pinrang Kecamatan Suppa
Sapi 5.614
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
Kerbau 130
Jenis Ternak Kuda 90
Babi -
Kambing/Domba 2.954
Mattiro 1.216 322 Sompe Lanrisang 599 17 Mattiro Bulu 5.429 634 162 Wat.Sawito 144 148 Paleteang 863 46 101 436 Tiroang 142 66 Pattampanua 1.222 98 130 Cempa 414 78 Duampanua 3.598 286 217 Batulappa 2.998 596 539 Lembang 14.557 3.028 1.928 2.761 Jumlah 36.796 4.818 3.798 3.197 Sumber: Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Pinrang, 2004.
2.564 535 1.984 540 436 442 853 489 957 535 3.160 15.449
Pengolahan tanah tidak lagi menggunakan tenaga hewan. Pengangkutan gabah hasil sawah juga tidak lagi mengunakan kuda tetapi menggunakan taksi (sepeda pengangkat gabah). Tidak ada pasar khusus tempat menjual ternak lokasi. Pembeli mendatangi sendiri peternak untuk menawar ternak petani. Jenis sapi yang dipelihara adalah jenis sapi Bali. Penyakit pernah ditemukan pada ternak petani seperti cacingan, mencret, dan penyakit ngorok. Rumput sebagai sumber pakan diambil dari pematang sawah, lapangan, kebun, tanah kosong, pinggiran irigasi dan limbah pertanian dll. Sistem pemeliharaan ternak dilakukan dengan mengandangkan ternak. Pemberian pakan dilakukan dengan potong – angkut. Rumput dipotong dari tempat sumber pakan pakan ke tempat pemeliharaan. Disamping itu juga yang menggembalakan ternaknya di lapangan rumput pada siang hari dan membawanya ke kandang pada sore hari. Sistem pembiakan sapi dilakukan dengan inseminasi buatan (IB) atau kawin alami. Karakteristik Sosial Ekonomi Jumlah penduduk dirinci menurut umur di Kecamatan Duampanua 5. Tabel 5. Profil demografi penduduk Kecamatan Duampanua. No.
Kelompokm umur
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan
Jumlah
1 2 3 4
00-04 05-09 10-14 15-19
2.792 3.080 3.288 2.321
5.587 6.136 6.206 4.422
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
2.795 3.056 2.918 2.101
Persentase terhadap jumlah 12,68 13,42 14,08 10,03
5 20-24 1.368 6 25-29 1.451 7 30-34 1.122 8 35-39 1.335 9 40-44 1.071 10 45-49 995 11 50-54 696 12 55-59 509 13 60-64 475 14 65 + 769 Jumlah/total 21.272 Sumber : BPS Kabupaten Pinrang, 2005
1.847 1.861 1.497 1.574 1.188 1.038 862 560 553 950 22.800
3.215 3.312 2.619 2.909 2.259 2.033 1.558 1.069 1.028 1.719 44.072
7,29 7,51 5,94 6,60 5,13 4,61 3,54 2,43 2,33 3,90 100,00
Jumlah penduduk di Kecamatan Duampanua 44.072 jiwa yang terdiri dari laki-laki 21.272 jiwa dan perempuan 22.800 jiwa. Keadaan curah hujan rata-rata di Kabupaten Pinrang 104,25 mm/bulan dengan intensitas curah hujan yang relatif tinggi terjadi selama bulan November sampai bulan Mei dengan rataan jumlah hujan adalah berkisar 7,75 hari/bulan dengan frekuensi tertinggi terjadi selama bulan Desember sampai bulan Februari. Adapun banyaknya curah hujan dan hari hujan dirinci perbulan di Kabupaten Pinrang disajikan pada Grafik 1
250 200 150 Hari Hujan Curah Hujan (mm)
100 50 0
Jan
Mar
Mei
Jul
Sept Nov
1. Kajian pola pembibitan sapi potong pada daerah sentra produksi sapi potong Pengaruh penyuntikan estro-plan terhadap keserentakan berahi pada sapi Bali tertera pada Tabel 6. Nampak bahwa penyuntikan estro-plan sebanyak 3 ml (perlakuan B) memperlihatkan respon berahi yang lebih tinggi dibandingkan penyuntikan 2 ml (perlakuan A), dengan perbedaan respon berahi sekitar 17.11%. Demikianpun munculnya berahi (perlakuan B) cepat 2 jam dibandingkan dengan (perlakuan A). Munculnya
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
berahi pertama kali pada perlakuan B sekitar 60,3 jam setelah setelah aplikasi hormone (penghentian penyuntikan), sedangkan pada perlakuan A munculnya berahi pertama kali setelah penghentian penyuntikan sekitar 62 jam. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa berahi pada perlakuan B nyata lebih cepat (P < 0.05) dibandingkan dengan perlakuan A, dengan perbedaan lama berahi diantara kedua perlakuan sekitar 2 jam. Tabel 6. Tampilan reproduksi dari penyuntikan estro-plan Parameter Respon estrus (%) Onset estrus (jam) Lama estrus (jam)
a,b
Perlakuan A 70,14 a 62,2 +5,1 a 31,1+2,9 a
B 87,25 b 60,3+ 6,0 b 34,0+3,1 b
= huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P < 0,05)
Tingginya respon berahi pada perlakuan B ternyata juga mempengaruhi terhadap keberhasilan kebuntingan. Hal ini ditandai (Tabel 7) dengan lebih tingginya angka kebuntingan yang diperoleh pada perlakuan B (85,25%) dibandingkan dengan perlakuan A (68.28%), dan dari hasil analisa statistik menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata (P < 0.05) diantara kedua perlakuan. Perbedaan hasil kebuntingan diantara kedua perlakuan sekitar 17%. Lebih tingginya kebuntingan yang diperoleh pada perlakuan B dibandingkan dengan perlakuan A, ternyata didukung pula oleh jumlah inseminasi per kebuntingan. Hasil analisa statistik menunjukkan bahwa jumlah pelayanan (inseminasi) sampai terjadi kebuntingan pada perlakuan B nyata (P < 0.05) lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan A. Rata-rata dibutuhkan sebanyak 1.70 kali inseminasi untuk terjadi kebuntingan pada perlakuan B, sedangkan pada perlakuan A dibutuhkan inseminasi sebanyak 1.95 kali baru terjadi kebuntingan. Tabel 7. Hasil inseminasi dari penyuntikan estro-plan Parameter S/C (… kali) CR (%)
a,b
Perlakuan A 1.95a 68,28a
B 1,70b 85.25b
= huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P < 0,05)
Dari hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa penyuntikan estro-plan (PGF-2α sintetis) sebanyak 3ml memperbaiki kinerja reproduksi induk sapi Bali dibandingkan dengan penyuntikan 2 ml. Hal ini ditandai dengan tingginya respon berahi serta
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
kebuntingan yang diperoleh serta jumlah inseminasi yang lebih rendah. Hal yang sama dilaporkan oleh Stephens dan Rajamahendran (1998) bahwa penyuntikan PGF-2α sebanyak dua kali pada sapi potong mampu menyerentakan berahi (90%) dengan angka kebuntingan yang lebih tinggi (62%) dibandingkan penyuntikan satu kali. Archbald et al. (1993) melaporkan bahwa penyuntikan PGF-2α sebanyak dua kali pada sapi perah menghasilkan respon estrus sebanyak 91%. Sedangkan MacMillan et al. (1991) mengatakan bahwa penyuntikan PGF-2α sebanyak satu kali pada fase luteal ataupun dua kali selang 11 hari tanpa memperhatikan siklus berahi hasilnya bervariasi antara 75%100%. Hormon PGF-2α dan analognya telah lama digunakan dalam program sinkronisasi berahi ternak. Metode yang digunakan ada dua jenis, yaitu (1) penyuntikan satu kali, dan (2) penyuntikan dua kali selang 11 atau 12 hari. Metode pertama biasanya efektif menyerentakkan berahi ternak apabila kondisi siklus berahi ternak diketahui, terutama apabila kondisi ternak berada dalam fase luteal. Sedangkan metode kedua biasanya lebih cocok diterapkan pada kondisi lapangan dimana siklus berahi ternak sulit untuk dikontrol atau diamati. Umumnya tingkat keberhasilannya dalam menyerentakkan berahi lebih tinggi pada metode penyuntikan PGF-2α sebanyak dua kali selang 11 atau 12 hari dari penyuntikan pertama dibandingkan penyuntikan satu kali. Terbukti dari hasil penelitian ini, dimana penyuntikan estro-plan (PGF-2α sintetis) secara intramuskuler sebanyak dua kali selang 11 hari memberikan respon berahi dan tingkat kebuntingan yang lebih tinggi dibandingkan dengan penyuntikan satu kali. Hal ini mungkin disebabkan setelah penyuntikan kedua semua ternak telah berada dalam fase luteal. Apabila ternak sudah berada dalam fase luteal berarti telah memiliki CL. Akibatnya hormon ini langsung bereaksi dengan melisiskan CL yang terbentuk. Lisisnya CL ini menyebabkan kadar progesteron menurun, yang mengakibatkan hilangnya hambatan terhadap hormon gonadotropin, yang selanjutnya diikuti dengan pertumbuhan dan pematangan folikel, timbul berahi dan ovulasi. Sebagaimana dikemukakan oleh Larson dan Ball (1992) bahwa penggunaan hormon PGF-2α untuk program sinkronisasi berahi ternak hanya efektif bila ternak tersebut telah memiliki CL. Selanjutnya Kune (1998) mengatakan bahwa pemberian PGF-2α akan menekan konsentrasi progesteron
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
dalam darah sehingga rasio antara konsentrasi estrogen dan progesteron meningkat, akibatnya ternak akan memperlihatkan pola tingkah laku berahi. Rendahnya respon berahi dan tingka kebuntingan pada penyuntikan PGF-2α satu kali kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya ternak belum memiliki CL dalam ovarium, ternak mengalami berahi pendek (sub estrus) ataupun mengalami gejala hipofungsi ovarium. Toelihere (1981) dalam Herdis (1999) mengatakan bahwa adanya batas ambang optimal PGF-2α dalam CL, dan bila melebihi ataupun tidak mencukupi batas ambang tersebut maka ternak tidak akan berespon terhadap penyuntikan hormon tersebut dan akibatnya pengaruh yang diharapkan gagal diekspresikan. Dengan melihat munculnya berahi pada sikronisasi dengan menggunakan hormon estroplan disebabkan kadar progesteron dalam darah akan meningkat, disisi lain, kadar hormon gonadotropin sangat rendah dan memacu lagi kinerja estrus secara periodik dimana memperlihatkan munculnya berahi sekitar 2 hari sampai 3 hari setelah aplikasi yaitu sekitar 48-75 jam atau sekitar 63,2 jam, sejalan yang dikemukakan oleh Teolihere (1985) bahwa angka kebuntingan hasil IB di Indonesia berkisar antara 40-70%. Angka ini semakin meningkat
seiring
bertambahnya keterampilan para
inseminator
dan
bertambahnya tingkat perhatian petani terhadap kondisi reproduksi ternaknya (pengamatan berahi). Pengembangan sapi melalui program IB
adalah salah satu jalan untuk
meningkatkan produktivitas sapi. Tiga pokok alasan memilih program ini IB yang dikemukakan adalah (1) IB adalah yang murah dalam meningkatkan mutu genetik (2) IB adalah cara tercepat dalam transfigurasi mutu genetik populasi ternak, (3) alternatif murah dan cepat dari program IB ini dapat diterapkan secara massal. Selanjutnya Tolleng (1997) mengatakan bahwa teknik IB salah satu alternatif mempercepat populasi oleh karena dalam waktu bersamaan dapat dilakukan inseminasi pada beberapa induk yang siap kawin melalui sinkronisasi berahi. Menurut Lompengeng et. al. (1998) bahwa sinkronisasi pada ternak sapi bali dengan menggunakan sponge yang dipasang pada alat kelamin betina dapat meningkatkan estrus 93% dan tingkat kebuntingan 90% (Ella et al., 1999). Efisiensi reproduksi digambarkan sebagai ukuran kemampuan ternak untuk menjadi bunting banyak anak/keturunan (Peter and Ball, 1987). Menurut Yusuf dan Haryani,
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
(2004) menyatakan bahwa reproduksi merupakan faktor vital dalam menentukan efisisensi reproduksi yang sering digunakan yakni service for conception (S/C), calving Rate (tingkat kebuntingan). Untuk meningkatkan reproduksi melalui induksi hormonal kombinasi gonadothopin releasing hormone (GnRH) dan Prostaglindin (PGF) 2@ Hafez, 2000) yang bertujuan meperpendek kelahiran seperti yang dilakukan Yusuf dan Tolleng (2001) menunjukkan angka 75% pada sapi bali. Thakur and Bhat (1999) yang menggunakan 85,7%. Dari hasil pengkajian menunjukkan bahwa lama estrus pada penyutikan kedua berkisar antara 25-48 jam sejalan dengan hasil penelitian Pane (1991) mengatakan bahwa kisaran berahi 27-48 jam pada observasi terhadap 250 induk sapi. Berdasarkan ukuran tubuh hasil Inseminasi Buatan yang didapatkan di lokasi kajian disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Tampilan ukuran Tubuh hasil Inseminasi Buatan Ukuran Lingkar Dada (cm) Panjang Badan (cm) Tinggi Pundak (cm) Bobot Badan(kg) Pertambahan Bobot Badan Harian(kg) N = 6 ekor ( 3 Limousin dan 3 Simental)
0 67,4 47,6 68,5 25,2 -
Umur (hari) 30 80,1 71,3 81,5 45,6 0,68
60 95,4 76,5 87,7 63,2 0,59
Lingkar dada, panjang badan, tinggi pundak, bobot badan dan pertambahan bobot badan harian pedet yang dihasilkan terjadinya kenaikan sesuai dengan pertambahan umur ternak dalam artian bahwa umur berkorelasi positif terhadap ukuran tubuh ternak hasil IB. Sejalan yang dikemukakan Talib (1989) bahwa rataan bobot lahir dari hasil persilangan Bos Taurus X Bos Banteng yaitu
antara 24,4 sampai 26,6 kg,
sedangkanbobot lahir yang didapatkan dalam pengkajian ini 25.2 kg. 2. Kajian pemanfaatan pakan lokal untuk penggemukan sapi potong. Hijauan yang terdapat di daearah tropis umumnya berkualitas rendah. Ternak ruminansia yang hanya diberi hijauan saja, tidak akan dapat diharapkan produksi maupun efisiensi reproduksi yang tinggi. Manfaat hasil sampingan agro-industri sebagai pakan ternak, sangat tergantung dari ketersediaan bahan, kemampuan ekonomi petani – ternak, dan efisiensi penggunaan bahan pakan tersebut. Preston dan Leng (1987) menyatakan www.sulsel.litbang.deptan.go.id
bahwa ternak ruminansia mampu menggunakan zat-zat makanan di dalam pakan, seperti karbohidrat, protein, nitrogen bukan protein dan lemak secara efisien. Lebih lanjut disebutkan bahwa dalam penggunaan ransum diperlukan pencampuran berbagai bahan pakan dalam jumlah tertentu, disamping menyediakan Zat makanan yang secara langsung dapat diserap dari berbagai alat pencernaan pasca rumen. Menurut Abidin et al.(1988) bahwa penambahan konsentrat dalam ransum ternak ruminansia dapat meningkatkan konsentrasi produk akhir fermentasi rumen yang akan meningkatkan pertambahan bobot badan. Kebutuhan pakan bagi ternak ada dua jenis yaitu kebutuhan hidup pokok dan kebutuhan untuk produksi. Pengertian kebutuhan hidup pokok secara sederhana dan mudah diukur adalah kebutuhan untuk mempertahankan bobot badan hidup. Artinya, apabila seekor sapi tersebut tidak naik dan juga tidak turun serta tidak menghasilkan susu. Jika sapi diberi lebih dari kebutuhan hidup pokoknya maka kelebihan itu akan diubah menjadi bentuk produksi misalnya susu, daging, tenaga kerja dan pertumbuhan embrio atau fetus dalam masa kebuntingan. Kebutuhan pakan dapat dipenuhi dengan pakan hijauan segar (sebagai pakan utama) dan konsentrat (sebagai pakan penguat). Kedua jenis pakan tersebut dapat diukur jumlah pemberian sesuai dengan berat badan dan produksi yang diharapkan. Namun kedua jenis pakan tersebut belum menjamin terpenuhinya unsure-unsur mikro berupa mineral, vitamin serta asam amino tertentu yang tidak diperoleh ternak seperti pada saat di alam bebas. Dengan demikian selain pakan utama dan penguat, ternak yang dipelihara secara intensif juga perlu memperoleh bahan makanan pelengkap atau pakan suplemen ini dapat meningkatkan produksi ternak. Sedangkan ternak yang kekurangan unsur mikro tertentu dalam pakan suplemen akan menderita defisiensi atau penurunan efisiensi produksi sampai daya tahan tubuh. Pola pemeliharaan penggemukan memerlukan ketersediaan pakan yang lebih banyak dan kontinyu. Untuk itu pakan lokal sangat relevan dimanfaatkan sehingga tidak tergantung dari luar. Dengan pergeseran dan peningkatan penggunaan lahan untuk pemukiman industri dan intensifnya tanaman pangan membawa dampak semakin menyempitnya padang pengembalaan/perumputan dibeberapa daerah. Kenyataan ini lebih jauh terhadap pengadaan hijauan pakan ternak sebagai kebutuhan dasar ternak sepanjang tahun. Hal ini
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
memberikan perlunya diupayakan langkah-langkah penanggulangan melalui pemanfaatan limbah namun kendalanya adalah rendahnya protein sehingga diperlukan sentuhan teknologi untuk meningkatkan nilai gizi limbah tersebut melalui proses fermentasi dan memanfaatkan bahan lokal sebagai penyusun konsentrat. Bahan pakan lokal selalu dikaitkan dengan harga yang murah. Akan tetapi ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menggunakan sesuatu bahan pakan, seperti jumlah ketersediaannya, kandungan gizi, harga, kemungkinan adanya faktor pembatas seperti zat antinutrisi serta perlu tidaknya bahan tersebut diolah sebelum digunakan. Secara umum bahan pakan untuk ternak ruminansia maupun unggas dibagi atas dua kelompok : 1) bahan pakan umum tersedia, yaitu bahan pakan yang sering dan selalu dipakai serta tersedia relatif banyak. Contohnya adalah jagung giling, dedak padi, bungkil kelapa, bungkil kedelai, tepung kapur, tepung singkong dan sebagainya, dan 2) bahan pakan tidak umum tapi bahan tersebut potensial didaerah tertentu yang dapat dimanfaatkan ternak contohnya adalah: tepung bekicot (keong mas), biji sorghum,tepung kepala udang, bungkil inti sawit, lumpur sawit dll.selain jenis harga bahan pakan merupakan suatu hal yang harus diketahui terutama dalam penyusunan formula ransum alternatif yang lebih murah yang mempunyai kualitas yang memadai, ditinjau dari kandungan nilai gizi. Proses penggemukan merupakan tahap penting dalam proses produksi sapi potong sebelum ternak tersebut dipotong.
Kebutuhan pakan
dapat
dipenuhi dengan pakan hijauan (sebagai pakan utama) dan konsentrat (sebagai pakan penguat) dan UMB ( sebagai pakan suplemen ) yang bermanfaat untuk ternak untuk melengkapi zat-zat makanan yang diperlukan oleh tubuh sehingga komposisi seimbang untuk produksi secara optimal, oleh karena pakan suplemen dan dengan kandungan yang berbeda-beda . Adapun komposisi UMB yang digunakan dalam penggemukan ini disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Komposisi kandungan gizi dalam UMB Zat Makanan Protein Kasar Bahan Kering Serat Kasar GE Abu
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
Kandungan (%) 37,76 84,24 6,65 1,30 14,04
Calsium Phospor Sumber : Analisa Laboratorium Baliknak Bogor
15,10 0,83
Dengan pemanfaatan UMB terhindar dari defisiensi vitamin dan defisiensi mineral juga terhindar dari malnutrisi yanitu kekurusan yang disebabkan oleh rendahnya nilai gizi pakan ternak. Sebagai contoh pada musim kemarau yang panjang sehingga petani sulit menyediakan pakan yang kualitasnya sama pada musim hujan. Dengan demikian penambahan UMB sebagai pakan suplemen dapat memperbaiki nilai gizi pakan dengan cara penambahan karbohidrat dan merangsang aktivitas mikrobiologi dalam rumen untuk memfermentasi pakan berserat kasar tinggi dengan lebih efisien, sehingga produksi dapat dipertahankan baik secara kualitas maupun kuantitas, bahkan dapat ditingkatkan sehingga usaha ternak dapat menguntungkan. Pemberian pakan yang berkualitas berpengaruh terhadap pertambahan bobot badan sapi dimana formula pakan yang baik akan memperoleh laju pertumbuhan yang lebih baik seperti disajikan pada Grafik 2.
Hubungan Bobot Badan dan Pe riode Pe ngam atan
BobotBadan
250 200 A B C
150 100 50 0 I
II
III
IV
Periode Pengamatan
Tabel 10. performans dan ukuran tubuh hasil penggemukkan di kecamatan Duampanua. Parameter Perlakuan A B C Pertambahan bobot badan 0,321b 0,635a 0,659a (kg/ek/hr) Pertambahan tinggi pundak 0,054a 0,056a 0,057a (cm/ek/hr) Pertambahan lingkar dada 0,102b 0,119a 0,121a (cm/ek/hr) Pertambahan panjang badan 0,062a 0,063a 0,063a (cm/ek/hr)
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
Pertambahan lebar dada 0,008a 0,010a 0,013a (cm/ek/hr) a,b = huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan beda nyata ( P<0,05) Dari ketiga formula pakan yang digunakan ternyata bahwa perlakuan C lebih tinggi daripada perlakuan B maupun A sedangkan perlakuan B lebih tinggi daripada perlakuan A. Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh kandungan zat-zat gizi yang terdapat dalam pakan seperti karbohidrat, protein, vitamin dan mineral. Sejalan yang dikemukakan Soenarjo et. al., (1991) bahwa pemberian pakan yang berkualitas berpengaruh pada pertambahan bobot badan, dimana pakan yang baik akan mempercepat laju pertumbuhan yang optimal. Berdasarkan hasil analisa statistik pada pertumbuhan bobot badan ternak sapi menunjukkan adanya pengaruh nyata terhadap perlakuan pakan disajikan pada tabel 10. Berdasarkan Uji BNT menunjukkan bahwa perlakuan A berbeda nyata dengan perlakuan B maupun perlakuan C, sedangkan B dan C tidak berbeda nyata. Serat kasar mengandung bahan-bahan yang dibutuhkan dari dinding sel tanaman, termasuk didalamnya cellulose, pentosa, lignin dan cutine. Lignin dan cutine tidak dicerna sedangkan cellulose dan pentosa dengan bantuan mikroorganisme rumen dapat dicerna dan merupakan sumber energi yang cukup tinggi. Serat kasar termasuk golongan karbohidrat yang berfungsi mengisi dan menjaga agar alat pencernaan bekerja dengan baik serta mendorong kelenjar-kelenjar pencernaan untuk mengeluarkan enzim-enzim pencernaan. Dengan adanya kandungan serat kasar yang cukup di dalam pakan ternak ruminansia menyebabkan jumlah konsumsi bahan kering (dry mater intake) semakin tinggi digunakan untuk menyusun sel-sel tubuh. Hal ini sesuai dengan dilaporkan Leng (1984) bahwa salah satu alternatif pemecahan masalah kecernaan hijuan adalah menstimulasi fungsi rumen agar mikroba rumen dapat berkembang lebih baik untuk mencerna serat kasar. Hewan ruminansia akan mengalami ganngguan pencernaan apabila serat kasar dalam rumen terlalu rendah, sekurang-kurangnya 13% dari bahan kering dalam ransum terdiri dari serat kasar. Tabel 11. pertambahan bobot badan harian, dan konsumsi bahan kering Parameter Perlakuan A B C Pertambahan Berat Badan 0,321 0,635 0,659
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
Harian (PBBH) Konsumsi Bahan Kering (kg/ekor/hari) Konsentrat UMB Jerami/limbah pertanian R.lapangan Total
6,12 6.12
1,90 0.35 2,30 2,60 7,14
1,85 0,35 2,15 2,40 6,75
Analisis Ekonomi. Pengkajian ini dilakukan semusim produksi maka model analisis yang digunakan adalah analisis gross margin menurut petunjuk Soekartiwi et al., (1988). Hasil analisis menunjukkan bahwa jika tenaga kerja diperhitungkan sebagai biaya variabel maka baik perlakuan B (konsentrat 1% dari bobot badan + UMB + rumput lapangan 50% + limbah pertanian 50%) memperoleh keuntungan lebih tinggi yakni Rp. 183.675 perekor/bulan disusul dengan perlakuan C (konsentrat 1% dari bobot badan + UMB + rumput lapangan 100%) memberikan keuntungan Rp. 181.392. per ekor/bulan kemudian terakhir perlakuan A (kontrol) memperoleh keuntungan Rp. 100.058 per ekor/bulan disajikan pada Tabel 12. namun tambahan pendapatan lainnya dapat diperoleh dari pengomposan kotoran ternak sapi. Menurut hasil penelitian Sariubang et al., (2003) menunjukkan bahwa seekor sapi dapat menghasilkan kotoran 5 kg/ekor/hari menjdi 3 kg/ekor/hari dengan harga Rp. 400/kg. Jadi untuk seekor sapi sebanyak 90 kg/ekor/bulan atau Rp. 36.000/bulan. Tabel. 12 Analisis keuntungan penggemukkan sapi bali bakalan selama 3 bulan. Uraian Perlakuan A B C Input Bobot awal (kg) 156,2 164,3 157,0 - Bibit bakalan(Rp) 2.655.400 2.793.100 2.669.000 - Konsentrat(Rp) 200.500 198.500 - UMB(Rp) 101.250 101.250 - Jerami fermentasi(Rp) 90.000 - Rumput Lapangan(Rp) 265.000 125.000 225.000 - Obat-obatan/vitamin(Rp) 6500 6500 6500 - Vaksinasi(Rp) 5000 5000 5000 - Tempat pakan minum 7000 7000 7000 /makan (Rp) www.sulsel.litbang.deptan.go.id
Total Output Bobot akhir (kg) Pertambahan bobot badan (Rp) Keuntungan Total(Rp) Keuntungan/ekor/bulan(Rp)
2.938.900
3.328.350
3.237.250
185.09 3.239.075 300.175 100.058
221.45 3.875.375 551.025 183.675
216.31 3.785.425 544.175 181.392.
3 Introduksi hijauan unggul pada lahan kering daratan rendah. Memasuki tahun kedua dilokasi pengkajian pengamatan dilakukan pada pertanaman rumput komponen pengamatan difokuskan pada adaptabilitas tanaman, palabilitas dan pola penyebaran ditingkat petani.
Dikelurahan Tatae ditanam jenis
rumput Setaria sphacelata cv splenda, Digitaria milanjiana cv. Jarra, Panicum infestum, Stylosanthes guianensis, namun dari awal pertanaman pada tahun pertama Stylosanthes guianensis menunjukkan respon yang kurang adatif. Sedang di kelurahan Pekkabata ditanam Setaria sphacelata cv splenda, Digitaria milanjiana cv. Jarra, Panicum infestum dan Arachis pintoi cv amarillo. Tinggi Tanaman Diantara beberapa rumput yang ditanam Setaria sphacelata cv splenda menunjukkan rataan tinggi tanaman yang tertinggi 72,3 cm pada 20 hari setelah defoliasi menyusul Digitaria milanjiana cv. Jarra, Panicum infestum, guianensis.
dan Stylosanthes
Namun Stylosanthes guianensis menunjukkan pertumbuhan yang kurang
bagus seperti tahun pertama. Di beberapa plot tidak mampu merespon dengan baik karena genangan air, dan kurang mampu berkompetisi dengan rumput liar. Pengamatan tinggi tanaman pada lokasi I yaitu kelurahan Tatae yaitu : Tabel 13 Tinggi tanaman dan panjang rambatan No
1 2 3 4 5 Ket
Jenis hijauan
Setaria sphacelata cv splenda Digitaria milanjiana cv. Jarra ** Panicum infestum Stylosanthes guianensis ** Pennisetum purpureum ***
Plot I
85,7 45,8 25,6 98,8
: * Pengamatan dilakukan pada 20 hari setelah defoliasi ** Merambat *** Varietas baru (Taiwan)
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
Tinggi tanaman (cm)* Plot II Plot III Rataan
70,9 50,3 30,2 20,4 120,8
60,3 60,5 20,5 30,8 158,8
72,3 52,2 25,4 25,6 126,1
Perbedaan pertumbuhan tiap jenis tanaman disamping disebabkan oleh potensi genetiknya juga disebabkan oleh respon masing-masing tanaman terhadap iklim seperti jenis tanah dan kandungan air tanah, intensitas radiasi matahari, curah hujan (Tadjang, 1980).
Selanjutnya Lompengeng et.al., (2000) melaporkan bahwa rumput Setaria
sphacelata cv splenda, Digitaria milanjiana cv. Jarra, Stylosanthes guianensis dan Pennisetum purpureum kurang adaptif pada lahan kering jenis tanah PMK (pod solid merah kuning). Pada jenis lahan ini hanya mampu bertahan pada defoliasi kedua akibat kekeringan dan kurangnya unsur hara. Hanya beberapa jenis leguminosa pohon yang adaptif yaitu Sesbania glandifora, Sesbania sesban, dan Gliricidia sepium. Untuk pengamatan tinggi tanaman pada lokasi II Pekkabata yaitu pada pinggir saluran irigasi Tabel 14. Tinggi tanaman dan panjang rambatan No 1 2 3 4 Ket
Jenis hijauan Setaria sphacelata cv splenda Digitaria milanjiana cv. Jarra ** Panicum infestum Arachis pintoi cv amarillo **
Tinggi tanaman (cm)* Plot I Plot II Rataan 65,4 71,7 68,55 43,5 27 35,25 20,5 25,6 23,05 21,8 34,7 28,25
: * Pengamatan dilakukan pada 30 hari setelah tanam ** Merambat
Hasil pertumbuhan tinggi tanaman relatif lebih rendah karena musim kemarau. Kebutuhan air tanaman dipenuhi melalui penyiraman. Pada plot ini tidak dilakukan pengamatan produksi biomas karena umur tanaman masih muda dan musim tidak memungkinkan, namun dari semua indikator pertumbuhan tanaman seperti pada tahun I pada lokasi yang berbeda kempat jenis rumput dan legum tersebut masuk dalam kategori adatif. Produksi Hijauan Tabel 15. Produksi Hijauan di Lokasi Penanaman Tata’E No
Jenis hijauan
1 2 3 4 5
Setaria sphacelata cv splenda Digitaria milanjiana cv. Jarra ** Panicum infestum Stylosanthes guianensis ** Pennisetum purpureum ***
Berat basah (gr)/plot I 1800 780 690 3400
II 1200 700 780 2300
Ket : * Pengamatan dilakukan pada 30 hari setelah tanam
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
III 980 900 540 2900
Berat kering (gr)/plot I 498,60 258,78 197,31 850,30
II 327,76 247,20 210,20 560,80
III 289,30 240,85 120,80 600,79
** Merambat *** Varietas baru (Taiwan)
Produksi hijauan di Tatae dari berat basah lebih tinggi dari tahun sebelumnya pada lokasi yang sama. purpureum
Rumput raja yang varietas baru dari Taiwan Pennisetum
menampakkan hasil berat basah yang tinggi rata-rata 2866,6 gram/plot
(sampel diambil / meter 2). Menyusul Setaria sphacelata cv splenda berat basah rata-rata 1326,6 gr/plot lebih tinggi dari tahun sebelumnya 793,65 gram/plot, Digitaria milanjiana cv. Jarra
berat basah rata-rata 793,3 gram/plot sedang tahun sebelumnya 685,05
gram/plot. Berat basah rata rata Panicum infestum 670 gram/plot dan tahun sebelumnya 858,18 gram/plot. Perbedaan berat basah beberapa jenis tanaman rumput disebabkan pengambilan sample pada saat umur tanaman berbeda, kondisi iklim dan curah hujan. Hal ini sesuai dengan Idris (2003), Djarre (1989) mengatakan bahwa sampel yang diambil pada tanaman yang sama tetapi umur berbeda umumnya berat basah lebih tinggi (jarak defoliasi yang sama). Selanjutnya dijelaskan tanaman tua mempunyai rumpun yang lebih tinggi dari sebelumnya. Berat kering rata-rata tanam rumput Pennisetum purpureum 670,63 gram, Setaria sphacelata cv splenda 371,7 gram, , Digitaria milanjiana cv. Jarra 248,9 gram, Panicum infestum 176 gram. Tabel 16. Produksi Hijauan di Lokasi Penanaman Pekkabata No 1 2 3 4
Jenis hijauan Setaria sphacelata cv splenda Digitaria milanjiana cv. Jarra Panicum infestum Arachis pintoi cv amarillo
Berat basah (gr)/plot I II 650 1570 570 1200 800 1250 460 560
Berat kering (gr)/plot I II 178,86 230,80 138,89 200,97 170,90 200,30 120,78 170,20
Pola Penyebaran Rumput di Tingkat Petani Pola penyebaran rumput unggul yang diintroduksi di lokasi pengkajian sudah menyebar pada beberapa petani lain di sekitar lokasi pengkajian, bahkan sudah menyebar ke kecamatan lain. Tabel 17. Pola Penyebaran Rumput Introduksi
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
No
Nama Petani
Kec
1
Rahman
Lembang
2
Supu’
Lembang
3
Herwin
Lembang
4
Suki
Lembang
5
H. Laesang
Cempa
6
H. Madong
Cempa
7
Jamalu
Duampanua
8
Sujoko
Duampanua
Tanggapan Jenis Setaria sphacelata yang paling palatabel kemudian rumput raja Pennisetum purpureum, Digitaria milanjiana dan Panicum infestum sedang Arachis pintoi cv amarillo cenderung dikembangkan disela tanaman tahunan. Pennisetum purpureum yang paling palatable kemudian Digitaria milanjiana, Panicum infestum sedang Arachis pintoi cv amarillo kurang mampu berkompetisi dengan gulma Jenis Setaria sphacelata yang paling palatabel kemudian rumput raja Pennisetum purpureum, Digitaria milanjiana dan Panicum infestum Jenis Setaria sphacelata yang paling palatabel kemudian rumput raja Pennisetum purpureum dan Arachis pintoi cv amarillo, Ketiga rumput tersebut perlu pemeliharaan dan pemupukan setelah defoliasi ke tiga. Pennisetum purpureum dan Setaria sphacelata sangat cocok untuk penggemukan ditambah dedak sebagai sumber energi, sedang Arachis pintoi cv amarillo kurang diminati karena membutuhkan lahan yang luas tapi biomasnya rendah Jenis Setaria sphacelata yang paling palatabel kemudian rumput raja Pennisetum purpureum, Digitaria milanjiana dan Panicum infestum Jenis Setaria sphacelata yang paling palatabel kemudian rumput raja Pennisetum purpureum, Digitaria milanjiana dan Panicum infestum, kurang berminat mengembangkan Arachis pintoi cv amarillo Jenis Setaria sphacelata yang paling palatabel kemudian rumput raja Pennisetum purpureum, Digitaria milanjiana dan Panicum infestum
Secara umum jerami padi dan rumput alam merupakan ransum basal namun pada musim tertetu seperti setelah panen dan musim kemarau cenderung kekurangan pakan baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Introduksi rumput unggul akan memenuhi kebutuhan hijauan pada musim tersebut akan menambah kualitas ransum basal yang berasal dari limbah pertanian bila dicampur.
Menurut Haryanto dan Lubis (2004),
Samsoe et. al., (2002) bahwa secara umum kandungan zat makanan yang diperlukan
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
pada pakan dari limbah relatif rendah sehingga perlu upaya penambahan seperti rumput unggul, dedak, bungkil kelapa maupun sumber pakan lainnya. Penyebaran rumput unggul dilokasi kajian belum seperti diharapkan, namun melihat pola penyebarannya sudah ke kelompok tani yang lain baik di kec Duampanua maupun kecamatan lainnya seperti Lembang Cempa. Demikian pula terhadap tanggapan petani yang mengembangkan rumput, umumnya Jenis yang palatabel adalah Pennisetum purpureum menyusul Setaria sphacelata dan Digitaria milanjiana, sedang untuk Arachis pintoi cv amarillo ada petani mengaku mengembangkannya disela tanaman tahunan. KESIMPULAN Dari rangkaian kegiatan ini dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
Pengaruh penyuntikan estro-plan terhadap keserentakan berahi pada sapi Bali memperlihatkan bahwa penyuntikan estro-plan sebanyak 3 ml (perlakuan B) memperlihatkan respon berahi yang lebih tinggi dibandingkan penyuntikan 2 ml (perlakuan A), dengan perbedaan respon berahi sekitar 17.11%
Tingginya respon berahi pada perlakuan B ternyata juga mempengaruhi terhadap keberhasilan kebuntingan. Hal ini ditandai dengan tingginya angka kebuntingan yang diperoleh pada perlakuan B (85,25%) dibandingkan dengan perlakuan A (68.28%), dan dari hasil analisa statistik menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata (P < 0.05) diantara kedua perlakuan. Perbedaan hasil kebuntingan diantara kedua perlakuan sekitar 17%.
Lingkar dada, panjang badan, tinggi pundak, bobot badan dan pertambahan bobot badan harian pedet yang dihasilkan terjadinya kenaikan sesuai dengan pertambahan umur ternak dalam artian bahwa umur berkorelasi positif terdap ukuran tubuh ternak hasil IB
Dari hasil pengkajian untuk penggemukan menunjukkan bahwa ketiga formula pakan yang digunakan ternyata perlakuan C lebih tinggi (lebih baik) daripada perlakuan B maupun A sedangkan perlakuan B lebih tinggi daripada perlakuan A
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
Hasil analisis menunjukkan bahwa jika tenaga kerja diperhitungkan sebagai biaya variabel maka baik perlakuan B (konsentrat 1% dari bobot badan + UMB + rumput lapangan 50% + limbah pertanian 50%) memperoleh keuntungan lebih tinggi yakni Rp. 183.675 perekor/bulan disusul dengan perlakuan C (konsentrat 1% dari bobot badan + UMB + rumput lapangan100%) memberikan keuntungan Rp. 181.392. per ekor/bulan kemudian terakhir perlakuan A (kontrol) memperoleh keuntungan Rp. 100.058 per ekor/bulan
Rata-rata produksi berat basah rumput lebih tinggi dari tahun sebelumnya yaitu rumput raja (varietas baru dari Taiwan) Pennisetum purpureum berat basah
rata-rata 2866,6 gram/plot (sampel diambil / meter 2), Setaria
sphacelata cv splenda berat basah rata-rata 1326,6 gr/plot tahun sebelumnya 793,65 gram/plot, Digitaria milanjiana cv. Jarra berat basah rata-rata 793,3 gram/plot tahun sebelumnya 685,05 gram/plot, Panicum infestum
670
gram/plot dan tahun sebelumnya 858,18 gram/plot.
Rumput dan legume sudah menyebar ke kelompok tani lain bahkan sudah menyebar ke beberapa kecamatan seperti kecamatan cempa dan lembang.
Pennisetum purpureum (varietas baru dari Taiwan), menurut tanggapan petani yang paling tinggi palatabilitasnya menyusul Setaria sphacelata cv splenda, Digitaria milanjiana cv. Jarra, Panicum infestum dan
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
DAFTAR PUSTAKA Anonimous, 1998. Kebijaksanaan Operasional dan Rencana Kegiatan Sub Sektor Peternakan T. A. 2000/2001. Dirjen Peternakan, Jakarta Amiruddin,A.1991. Kebijaksanaan Pengembangan Usaha Ternak Sapi Sulawesi Selatan. Pro. Seminar Nasional Sapi Bali. Fakultas Peternakan. Universitas Hasanuddin Archbald, L.F., C. Risco, P. Chavatte, S. Constant, T. Tran, E. Klapstein and J. Elliot. 1993. Estrus and pregnancy rate of dairy cows given one or two doses of prostaglandin F2 alpha 8 or 24 hours apart. Theriogenology. 40 : 873-884. Arman C. Dan R.Syahibuddin.1983.Kemungkinan Pemanfaatan Semen Cair Sapi Brangus sebagai Pengganti Semen Beku dalam Program IB di NTB. Peternakan Sapi Bali dan Masalah. Bumi Aksara, Jakarta. BPS.1985. Sulawesi Selatan dalam Angka. Badan Pusat Statistik Propinsi Sulawesi Selatan. BPS.1994. Sulawesi Selatan dalam Angka. Badan Pusat Statistik Propinsi Sulawesi Selatan BPS.2002. Sulawesi Selatan dalam Angka. Badan Pusat Statistik Propinsi Sulawesi Selatan BPS. 2004. Kabupaten Pinrang dalam Angka. Badan Pusat Statitik Kabupaten Pinrang Dwiyanto, K. 2003. PengarahanPelatihan CLS pada lahan Kering di Sukamandi, Jawa Barat. Djarre, M. T., 1989. Diktat Kuliah Dasar-dasar Agrostologi. Jurusan Nutrisi Fak Peternakan Universitas Hasanuddin. Ella, A. 1993. Evaluasi beberapa Jenis Rumput dan Leguminosa Pohon Sulawesi Selatan. Jurnal Ilmiah Sub Balitnak Gowa. Ella, A. A.B.Lompengang dan R. Haryani. 2005 Evaluasi Produksi dan Kualitas beberapa Spesies Hijauaj Pakan Ternak pada Agrokeologi yang berbeda. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan. Idris, Y. M., 2003. Respon Pertumbuhan dan Produksi Berbagai jenis Hijauan Pakan di Bawah Naungan Pada Musim Hujan dan Kemarau dengan Interval Defoliasi di Lahan Tegalan Kab. Barru. Thesis. Program Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin.
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
Kune, P. 1998. Sinkronisasi Estrus Memakai Progesteron, Prostaglandin F2 Alfa dan Estrogen Dalam Menimbulkan Estrus dan Konsepsi pada Sapi Potong. Tesis. Program Pascasarjana-IPB, Bogor. Larson, L.L. and P.J.H. Ball. 1992. Regulation of estrus cycles in dairy cattle : a review. Theriogenology. 38 : 255-267. Lompengeng, A. B., Gatot Kartono, Fadri Djufry, Nur Imah Sidiq dan M. A. Mustaha, 2000. Pola pengembangan Pakan Ternak pada Lahan Kering Alang – Alang. Laporan Pertemuan Teknis Tim Komisi Pengkajian Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kendari. Badan Litbang Pertanian. Depatemen Pertanian. Lompengeng, A. B., A. Ella dan D. Pasambe., 2004. Potensi dan Peluang Pengembangan Ternak Kambing Ditinjau dari Ketersediaan Pakan di Sulawesi Selatan. Proseding Lokakarya Kambing Nasional. Pulibangnak. Badan Litbang Pertanian Ludlow, M. M., G. L. huidobrensis Wilson and M. R. Heslehurst. 1974. Study production of tropical pasture plant. Effect of shading on growth, photosinthesis and respiration in two legumes. Australian Journal of Agriclture. Res. 25 MacMillan, K.L. and C.R. Burke. 1996. Effect of estrous cycle control on reproductive efficiency. J. Anim.Sci. 42 : 307-336. MacMillan, K.L., V.K. Taufa, D.R. Barnes and A.M. Dav. 1991. Plasma progesterone concentrations in heifers and cow treated with a new intravaginal device. Anim. Reprod. Sci. 26 : 25-40. Mangut Imam, S. 2003. Strategi Pengmbangan Peternakan yang Berkesinambungan Proc. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Puslitbangnak, Bogor. Nitis, I.M., K. Lana I.B Sudana dan N. Sutji. 1992. Pengaruh Klasifikasi Wilayah terhadap Komposisi Botani Hijauan yang diberikan pada Kambing di Bali di Waktu Musim Kemarau Pro.Seminar Penelitian Peternakan, Bogor. Pane, I., 1991. Produktivitas dan Breeding Sapi Bali. Seminar Nasional Sapi Bali Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang. Sallatang, H.M.A., 1991. Tinjauan Aspek Sosial Budaya Pengembangan Ternak Sapi di Sulawesi Selatan. Pro. Seminar Nasional Sapi Bali. Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin. Ujung Pandang. Sariubang, M., Chalidijah, A.Prabowo dan U. Abduh. 1992. Hubungan Antara pertambahan bobot badan dan ukuran lingkar dada sapi bali betina yang diberikan perlakuan pakan. Pros. Pertemuan Pengolahan dan Komunikasi www.sulsel.litbang.deptan.go.id
Hasil Penelitian Peternakan di Sulawesi Selatan. Sub Balai Penelitian Ternak Gowa, Sulawesi Selatan. Samsoe, J.A., dan M. Ahmad., 2001. Keunggulan Kompetitif Wlayah Berdasarkan Sumberdaya Pakan Untuk Ruminansia di Sulawesi Selatan, Jurnal Agribisnis. Vol VII No 1. Pusat Bisnis Universitas Jember. Samsoe, J. A., 2002. Studi Produksi dan Daya Dukung Hijauan dan Limbah Pertanian untuk Ternak Ruminansia di Sulawesi Selatan. Wartazoa. Puslitbangnak. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian Soekatiwi, 1984. Bahan Makanan Ternak Limbah Pertanian dan Indurstri BPFE Yogyakarta. Soehadji. 1991. Kebijaksanaan Pemuliaan Ternak (Breeding Policy) khususnya dalam Pembangunan Peternakan. Proc. Seminar Nasional. Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin. Ujung Pandang. Suryana. A. 2000. Harapan dan Tantangan bagi Subsektor Peternakan dalam meningkatkan Ketahanan Pangan Nasional. Proc. Seminar Nasional. Peternakan dan Veteriner 2000. Puslitbangnak Bogor. Susanto, H. 1995. Siput Murbei Pengendalian dan Pemanfaatannya. Kanisus, Yogyakarta. Hal 1-61 Tambing, S. N., Sariubang dan Chalidijah. 2000. Bobot Lahir Kinerja Reproduksi Sapi Hasil Persilangan Bos Taurus X Bos Benteng. Proc. Seminar Peternakan dan Veteriner. Puslitbangnak, Bogor. Tilman,A.D., H. Hartadi, S. Reksohadiprodo, S. Prawirokusumo dan S. Lebdosoekojo. 1983. Ilmu Makan Ternak Dasar. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Tolleng, H. dan A. Effendi. 1993. Penampilan dan Kondisi Peternakan Sapi Bali di Daerah Pedesaan Propinsi Sulawesi Selatan. Buketin Ilmu Peternakan dan Perikanan. Universitas Hasanuddin, Makassar. Warwick, E. J., M. Astuti dan A. Wartomo. 1983. Pemulihan Ternak. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Yasin. S.dan S. H. Dilaga. 1993. Peternakan Sapi Bali dan Permasalahannya. Edisi I. Penerbit Bumi Aksara. Jakarta. Yusuf, M., dan R.Haryani. 2004. Potensi Peningkatan Efisiensi Reproduksi Ternak Sapi Rakyat di Sulawesi Selatan. Prosiding Seminar Nasional Industri Peternakan Modern. “ Pemberdayaan Peternakan Rakyat melalui Forum Komunikasi
www.sulsel.litbang.deptan.go.id
Industri Peternakan Modern”. Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI bekerjasama dengan Disnak Propinsi Sulawesi Selatan.
www.sulsel.litbang.deptan.go.id