KAJIAN PENGEMBANGAN ROOF GARDEN DI METROPOLITAN DALAM UPAYA MENGATASI FENOMENA URBAN HEAT ISLAND (Studi Kasus : DKI Jakarta)
JUWITA APSARI
PROGRAM STUDI ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
RINGKASAN JUWITA APSARI. Kajian Pengembangan Roof Garden di Metropolitan dalam Upaya Mengatasi Fenomena Urban Heat Island. Studi Kasus di DKI Jakarta. Dibimbing oleh BAMBANG SULISTYANTARA. DKI Jakarta merupakan salah satu kota metropolitan di Indonesia ya ng mempunyai masalah lingkungan yang harus mendapat perhatian, terutama karena fungsinya sebagai ibukota negara dimana terdapat segala pusat kegiatan utama seperti pemerintahan dan ekonomi. Proses pembangunan fisik telah mengakibatkan degradasi lingkungan, salah satunya yaitu terjadinya fenomena Urban Heat Island (UHI). Salah satu upaya untuk mengatasi fenomena UHI yaitu pengembangan dan pengimplementasian Ruang Terbuka Hijau (RTH) di wilayah perkotaan. Dalam penerapannya, pengembangan RTH mengalami banyak masalah diantaranya keterbatasan lahan. Roof garden merupakan salah satu alternatif pemecahan masalah keterbatasan lahan tersebut. Kajian ini bertujuan untuk mengetahui tanggapan masyarakat terhadap roof garden dan UHI, mengetahui peta implementasi roof garden, serta menelusuri informasi tentang kebijakan pemerintah dalam pengembangan roof garden. Penelitian dilaksanakan di wilayah administrasi DKI Jakarta. Metode yang digunakan yaitu metode deskriptif dengan teknik survei. Sampel dikelompokkan menjadi dua kelompok besar, yaitu bangunan fungsi hunian dan bangunan fungsi non hunian. Pembagian kuisioner dilakukan dengan mendatangi para pemilik atau pengelola bangunan, melalui pos, memanfaatkan kegiatan seminar tentang roof garden yang diadakan oleh Suku Dinas (Sudin) Pertanian dan Kehutanan Jakarta Pusat, serta memanfaatkan fasilitas internet, yaitu dengan mengupload kuisioner online dalam bentuk website dengan alamat http://www.ossy.integrasolusi.com dan dipublikasikan melalui beberapa alamat mailing list. Berdasarkan survei melalui pembagian kuisioner kepada pemilik atau pengelola bangunan di DKI Jakarta diketahui bahwa secara umum tanggapan responden cukup rendah yaitu sejumlah 46.0% pengembalian untuk kelompok bangunan hunian dan 16.0% pengembalian untuk kelompok bangunan non hunian. Jumlah responden yang menjadi sampel dalam survei yaitu 65 orang, terdiri dari 29 orang (44.6%) pemilik atau pengelola bangunan hunian dan 36 orang (55.4%) pemilik atau pengelola bangunan non hunian. Karakteristik responden pada kelompok bangunan hunian tidak jauh berbeda dengan kelompok bangunan non hunian. Responden didominasi oleh laki- laki dengan rentang usia 25 sampai dengan 40 pada kelompok bangunan hunian dan rentang usia lebih dari 40 tahun pada kelompok bangunan non hunian. Berdasarkan latar belakang agama diketahui bahwa mayoritas responden beragama Islam. Sebagian besar responden menempuh tingkat pendidikan setaraf pendidikan tinggi (Akademi/Perguruan Tinggi). Jenis bangunan pada kelompok bangunan hunian terdiri dari rumah tinggal dan apartemen, dan pada kelompok bangunan non hunian responden terbanyak mengelola bangunan perkantoran sedangkan responden lainnya mengelola bangunan industri, hotel, bangunan perdagangan, rumah sakit atau bangunan kesehatan, dan bangunan pendidikan. Bangunan yang dimiliki atau
dikelola responden memiliki satu hingga dua lantai pada kelompok bangunan hunian dan lebih dari lima lantai pada kelompok bangunan non hunian, dengan status kepemilikan atas nama sendiri. Jenis konstruksi bangunan didominasi oleh tembok dengan atap genting pada kelompok bangunan hunian dan dak semen pada kelompok bangunan non hunian, memiliki beranda, serta memiliki taman di halaman bangunannya. Persepsi responden terhadap UHI meliputi arti, dampak, dan cara mengatasi UHI. Pada kelompok bangunan hunian, sebagian besar responden mengetahui arti UHI walaupun persentasenya cukup rendah (48.3%), sedangkan pada kelompok bangunan non hunian persentasenya cukup tinggi (75.0%). Secara umum sebagian besar responden mengetahui bahwa udara yang panas merupakan dampak UHI yang paling dirasakan. Mayoritas responden mengatakan bahwa penghijauan merupakan cara yang paling baik dalam mengatasi UHI. Beberapa faktor latar belakang responden mempengaruhi persepsi terhadap UHI yaitu tingkat pendidikan, pendapatan dan jenis pekerjaan, diduga bahwa responden dengan tingkat pendidikan dan pendapatan yang lebih tinggi serta bekerja sebagai pegawai swasta mempunyai pengetahuan yang lebih baik mengenai UHI. Persepsi responden terhadap roof garden meliputi arti, bentuk, manfaat dan peran roof garden dalam perbaikan iklim kota. Mayoritas responden mengetahui arti roof garden, baik pada kelompok bangunan hunian (62.1%) maupun bangunan non hunian (94.4%), dan mengemukakan pendapatnya mengena i bentuk roof garden yang lebih mengarah pada estetika dan kenyamanan. Mayoritas responden menyetujui bahwa roof garden dapat menurunkan suhu di dalam dan di sekitar bangunan serta memberikan keindahan visual, dan mengetahui peran roof garden dalam perbaikan iklim kota. Kelompok bangunan mempengaruhi persepsi responden mengenai roof garden, dimana responden pada kelompok bangunan non hunian memiliki pengetahuan yang lebih baik daripada responden pada kelompok bangunan hunian. Faktor latar belakang responden yang mempengaruhi persepsi mengenai roof garden yaitu faktor jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan dan pendapatan. Responden berjenis kelamin laki- laki, atau berusia lebih dari 40 tahun, atau mempunyai tingkat pendidikan dan pendapatan yang lebih tinggi diduga mempunyai pengetahuan yang lebih baik mengenai roof garden. Mayoritas responden menginginkan taman atap sederhana untuk diterapkan pada bangunan yang mereka miliki atau kelola, baik pada kelompok bangunan hunian (34.5%) maupun pada kelompok bangunan non hunian (58.3%). Berdasarkan hasil survei dapat diketahui bahwa pengimplementasian roof garden di DKI Jakarta belum meluas. Pada kelompok bangunan hunian, hanya sejumlah 10 bangunan (34.5%) yang mempunyai taman beranda dan hanya 1 bangunan (3.5%) yang memiliki taman atap. Pada kelompok bangunan non hunian terdapat 8 bangunan (22.2%) yang memiliki taman beranda, dan 13 bangunan (36.1%) yang memiliki taman atap. Secara umum, sebagian besar responden tertarik untuk memiliki roof garden pada bangunan yang mereka miliki atau kelola. Pada kelompok bangunan hunian, mayoritas responden tertarik memiliki roof garden dengan alasan psikologis yaitu bahwa roof garden dapat meningkatkan kenyamanan sedangkan pada kelompok bangunan non hunian, mayoritas responden tertarik memiliki roof garden dengan alasan estetika (38.5%) yaitu bahwa roof garden dapat
meningkatkan nilai keindahan pada bangunan yang mereka miliki atau kelola. Faktor yang mempengaruhi ketertarikan untuk memiliki roof garden yaitu jenis konstruksi, diduga bahwa bangunan dengan jenis konstruksi kombinasi kayu dan tembok mempunyai ketertarikan yang rendah. Kesulitan pemeliharaan dirasakan cukup rendah oleh para pemilik atau pengelola bangunan yang memiliki roof garden pada bangunannya. Sebagian besar responden mengalami kesulitan pemeliharaan dalam hal penyiraman dan drainase. Tidak terdapat kebijakan yang secara khusus mengatur tentang roof garden, namun terdapat berbagai kebijakan yang secara tidak langsung berkaitan dengan pengembangan roof garden. Aspek legal yang mendasari tertuang dalam berbagai produk hukum, mulai dari skala wilayah atau kota yaitu, Keputusan Gubernur Propinsi DKI Jakarta No 8 tahun 2002, Keputusan Gubernur Propinsi DKI Jakarta No 139 tahun 2001, Keputusan Gubernur Propinsi DKI Jakarta No 140 tahun 2001, dan Keputusan Gubernur Propinsi DKI Jakarta No 189 tahun 2002, sampai skala nasional yaitu Inmendagri No 14 Tahun 1988, UU No 28 tahun 2002, Permendagri No 2 tahun 1987, PP No 69 tahun 1996, dan UU No 23 tahun 1997.
KAJIAN PENGEMBANGAN ROOF GARDEN DI METROPOLITAN DALAM UPAYA MENGATASI FENOMENA URBAN HEAT ISLAND (Studi Kasus : DKI Jakarta)
OLEH:
JUWITA APSARI
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
LEMBAR PENGESAHAN
Judul : Kajian Pengembangan Roof Garden di Metropolitan Dalam Upaya Mengatasi Fenomena Urban Heat Island (Studi Kasus : DKI Jakarta) Nama : Juwita Apsari NRP
: A34202037
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Bambang Sulistyantara, MAgr NIP : 131 578 797
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, MAgr NIP : 130 422 698
Tanggal Lulus:
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 14 Agustus 1984, merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara pasangan Yusuf Syarifudin dan Cucu Sutiana. Pada tahun 1990 penulis menamatkan pendidikan di TK Tunas Rimba 1 Bogor dan memasuki masa pendidikan dasar di SD Panaragan 3 Bogor selama 6 tahun. Pada tahun 1996-1999 penulis bersekolah di SLTP Negeri 1 Bogor kemudian melanjutkan ke SMU Negeri 1 Bogor dan lulus pada tahun 2002. Pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI di Program Studi Arsitektur Lanskap Fakultas Pertanian. Semasa kuliah penulis aktif di beberapa organisasi intra kampus, diantaranya
Himpunan
Mahasiswa
Agronomi
(HIMAGRON)
periode
kepengurusan 2003-2004 dan Himpunan Mahasiswa Arsitektur Lanskap (HIMASKAP) pada tahun 2004. Selain itu penulis juga aktif di beberapa kegiatan insidentil seperti Masa Perkenalan Fakultas, Masa Perkenalan Departemen dan Lintas Desa. Pada tahun 2004 penulis bersama rekan-rekan mahasiswa menggagas pembentukan HIMASKAP, serta bersama rekan-rekan mahasiswa Arsitektur Lanskap dari perguruan tinggi lain membentuk Perhimpunan Mahasiswa Arsitektur Lanskap Indonesia (PERHIMALI) dan menjadi anggota Badan Pengurus Nasional (BPN) Divisi Keprofesian periode 2004-2006. Semasa menjadi mahasiswa penulis pernah menjadi asisten mahasiswa pada mata kuliah Dasar-Dasar Arsitektur Lanskap.
KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Illahi Robbi atas ridha-Nya yang telah menerangi jalan dan menuntun langkah penulis dalam menyelesaikan skripsi berjudul ”Kajian Pengembangan Roof Garden di Metropolitan dalam Upaya Mengatasi Fenomena Urban Heat Island (Studi Kasus : DKI Jakarta)”. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada: 1. Bapak Dr. Ir. Bambang Sulistyantara, MAgr selaku pembimbing skripsi atas bimbingan dan arahannya, serta rasa kekeluargaan yang hangat selama penulis menjadi bimbingannya. 2. Bapak Dr. Ir. Aris Munandar, MS dan Ibu Ir. Indung Sitti Fatimah, MSi selaku dosen penguji atas saran, kritik dan masukannya. 3. Ibu Dr. Ir. Nurhayati HSA, MS selaku pembimbing akademik yang telah banyak membantu dan memberikan dukungan kepada penulis. 4. Keluarga tercinta (Ibu, Ayah, A’Okeu dan A’Oga) atas kasih sayang yang melimpah dan dukungan serta doa yang tiada henti. 5. Panitia seminar Roof Garden dari Suku Dinas Pertanian dan Kehutanan Jakarta Pusat dan Bapak Wien dari BMG Balai Wilayah II Jakarta. 6. My second family LA39 atas persaudaraan dan kenangan manis yang kan selalu terukir di hati serta teman-teman LA35-LA42 yang telah mewarnai hari- hariku. 7. Staf Departemen Arsitektur Lanskap atas bantuannya. 8. Semua pihak yang telah membantu penulis demi kelancaran penyelesaian skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini, namun penulis berharap semoga karya kecil ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca.
Bogor, Januari 2007
Penulis
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .....................................................................................
x
DAFTAR GAMBAR.................................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. xiii PENDAHULUAN Latar Belakang ......................................................................................... Tujuan Penelitian ..................................................................................... Manfaat Penelitian ...................................................................................
1 4 4
TINJAUAN PUSTAKA Kota dan Permasalahannya ...................................................................... Roof Garden ............................................................................................ Urban Heat Island ................................................................................... Persepsi dan Preferensi ............................................................................
6 7 11 13
METODOLOGI Tempat dan Waktu................................................................................... Metode Penelitian .................................................................................... Pengambilan Sampel dan Pembagian Kuisioner ..................................... Jenis Data yang Dikumpulkan ................................................................. Metode Analisa ........................................................................................ Batasan Penelitian....................................................................................
15 16 17 18 19 20
KONDISI UMUM DKI JAKARTA ........................................................
21
HASIL DAN PEMBAHASAN Tanggapan Responden Secara Umum ..................................................... Identitas Responden ................................................................................. Keterangan Bangunan.............................................................................. Persepsi Responden Terhadap Urban Heat Island .................................. Persepsi Responden Terhadap Roof Garden............................................ Preferensi Responden Terhadap Roof Garden......................................... Pengembangan Roof Garden ................................................................... Aspek Legal dalam Pengembangan Roof Garden ................................... Rekomendasi Pengembangan ..................................................................
26 27 29 32 36 40 42 47 51
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan .............................................................................................. Saran.........................................................................................................
54 55
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................
56
LAMPIRAN...............................................................................................
59
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Tipe Green Roof ...................................................................................
8
2. Gambaran Pertanyaan Pada Kuisioner.................................................
18
3.
Jenis Bangunan yang Dikelola Responden Pada Seminar Roof Garden di Jakarta Pusat.....................................................................................
27
4.
Karakteristik Responden......................................................................
28
5.
Jenis Bangunan yang Dimiliki atau Dikelola Responden....................
30
6.
Keterangan Bangunan..........................................................................
31
DAFTAR GAMBAR No
Halaman
1.
Kerangka Pikir Studi............................................................................
5
2.
Ilustrasi Fluktuasi Suhu Pada Urban Heat Island................................
11
3.
Lokasi Penelitian..................................................................................
15
4.
Bagan alur penelitian ...........................................................................
16
5.
Kondisi Umum Iklim DKI Jakarta Periode 1994-2004 .......................
23
6.
Perbandingan Suhu Maksimum dan Minimum Antara 5 wilayah DKI Jakarta dan Bogor Tahun 1994-2004 ...................................................
25
7.
Persentase Perolehan Data Kuisioner ..................................................
26
8.
Persentase Kelompok Bangunan..........................................................
29
9. Persentase Pengetahuan Responden Mengenai Arti UHI ....................
32
10. Persentase Dampak UHI yang Diketahui Responden..........................
33
11. Persentase Tanggapan Responden Untuk Mengemukakan Cara Untuk Mengatasi UHI .....................................................................................
34
12. Persentase Jawaban Responden Mengenai Cara Untuk Mengatasi UHI.......................................................................................................
35
13. Persentase Persepsi Responden Mengenai Arti Roof Garden .............
36
14. Persentase Tanggapan Responden Mengenai Bentuk Roof Garden ....
37
15. Persentase Persepsi Responden Mengenai Manfaat Roof Garden ......
39
16. Persentase Pengetahuan Responden Mengenai Peran Roof Garden dalam Perbaikan Iklim Kota ................................................................
40
17. Persentase Preferensi Responden Mengenai Bentuk Roof Garden .....
41
18. Roof Garden Pada Gedung K FALTL Trisakti....................................
43
19. Roof Garden Pada Harco Mangga 2 Square ........................................
43
20. Taman Beranda Pada Salah Satu Gedung Perkantoran di Kawasan Industri Pulogadung ............................................................................
43
21. Persentase Ketertarikan Responden Untuk Memiliki Roof Garden ....
44
22. Persentase Alasan Responden Mengenai Ketertarikan Memiliki Roof Garden .................................................................................................
45
23. Persentase Tanggapan Responden Mengenai Kesulitan Pemeliharaan Roof Garden pada Bangunan yang Dimiliki atau Dikelola .................
46
24. Contoh Penerapan Roof Garden di Atlanta Amerika Serikat ..............
52
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1. Lembar Kuisioner ................................................................................
59
2. Kuisioner Online ..................................................................................
62
3.
Tabel data iklim DKI Jakarta dan Bogor .............................................
64
4.
Contoh jenis bangunan.........................................................................
66
5. Tabel daftar nama dan alamat responden.............................................
69
6.
Tabel hubungan kelompok bangunan dengan persepsi dan preferensi responden ............................................................................................
7.
Tabel hubungan latar belakang responden dengan persepsi terhadap Urban Heat Island ...............................................................................
8.
73
Tabel hubungan latar belakang responden dengan persepsi terhadap roof garden ...........................................................................................
9.
73
74
Tabel hubungan keterangan bangunan dengan preferensi terhadap roof garden ..........................................................................................
75
10. Tabel hubungan latar belakang responde dengan preferensi terhadap roof garden ..........................................................................................
75
11. Tabel hubungan keterangan bangunan dengan ketertarikan memiliki roof garden ..........................................................................................
76
12. Tabel hubungan latar belakang responden dengan ketertarikan memiliki roof garden ..........................................................................................
76
13. Tabel produk hukum yang berkaitan dengan pengembangan roof garden dan upaya mengatasi fenomena Urban Heat Island ............................
77
PENDAHULUAN
Latar Belakang Pertumbuhan dan perkembangan daerah perkotaan di Indonesia dewasa ini semakin meningkat. Modernitas kehidupan kota menyebabkan peningkatan kebutuhan manusia akan fasilitas dan prasarana yang memudahkan mereka untuk menjalankan berbagai aktivitas, terutama dalam hal pemuasan ekonomi. Sebagai ibukota negara, DKI Jakarta merupakan pusat dari segala aktifitas utama seperti perekonomian dan pemerintahan. Terkonsentrasinya aktifitas-aktifitas tersebut berimplikasi pada pemusatan komunitas baik untuk bermukim maupun bekerja, namun tak lepas dari sebuah realita bahwa Jakarta merupakan salah satu kota metropolitan di Indonesia yang mengalami penurunan kualitas lingkungan yang cukup signifikan. Menurut penelitian yang dilakukan Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (LAPAN) pada tahun 1994 oleh Adiningsih dkk¹ diketahui bahwa ada perbedaan suhu maksimum dan minimum antara daerah Jakarta (sebagai daerah urban) dan Bogor (rural) yang mencapai 1-3 ºC. Kondisi itu diperkuat dengan citra satelit Landsat yang memperlihatkan perkembangan Jakarta dengan jelas dan menunjukkan semakin meluasnya daerah yang memiliki aktivitas tinggi seperti perkantoran, permukiman, daerah industri, dan jalan-jalan beraspal (Tursilowati, 2004). Perubahan tata guna lahan yang signifikan ini terlihat dari berkurangnya penutupan lahan oleh vegetasi. Berdasarkan data suhu yang diperoleh dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Jakarta dan Bogor (Tabel Lampiran 3), diketahui bahwa pada tahun 2004 perbedaan suhu maksimum antara Jakarta dan Bogor mencapai 4°C dengan perbedaan tertinggi yaitu wilayah Jakarta Utara (35.4°C) dan Bogor (31.87°C). Data suhu minimum juga menunjukkan adanya perbedaan mencapai 2°C, yaitu wilayah Jakarta Timur (23.9°C) dan wilayah Jakarta Barat (22.1°C), Jakarta Selatan (22.1°C) dan Bogor (22.6°C). Fakta tersebut menunjukkan keadaan Jakarta yang mengalami sebuah fenomena yang disebut sebagai Pulau Panas Perkotaan atau Urban Heat Island (UHI). ¹ http: //www.pikiran_rakyat.com/cetak/0304/25/cakrawala/index.htm
2
Peristiwa panas kota yang berlebihan ini disebabkan oleh wajah kota yang didominasi oleh struktur bangunan, yang menjadikan kota semakin kaku dan tidak bersahabat (Sulistyantara, 2005). Selain itu UHI juga dipengaruhi oleh faktor iklim di Indonesia yaitu tropis. Intensitas radiasi matahari yang terus-menerus sepanjang tahun diterima secara ekstrim oleh permukaan bumi yang ditutupi oleh material keras seperti bangunan dan jalan. Peningkatan suhu di perkotaan merupakan salah satu indikator penurunan kualitas lingkungan yang akan berdampak pada kualitas hidup manusia yang tinggal dan beraktivitas di dalamnya. Secara psikologis, panas akan menimbulkan perasaan tidak nyaman bagi manusia sehingga mereka menjadi tergantung pada alat pendingin. Padaha l ketergantungan manusia tropis terhadap energi (listrik) sebetulnya relatif jauh lebih rendah dibanding mereka yang berada pada iklim sub tropis (Karyono, 2001). Penggunaan pendingin secara tidak langsung juga berdampak
pada
lingkungan
karena
emisi
gas
ya ng dihasilkan dapat
mempengaruhi penurunan kualitas iklim secara global, yang biasa disebut dengan efek rumah kaca (green house effect). Telah menjadi sebuah wacana yang sangat klasik bahwa Ruang Terbuka Hijau (RTH) merupakan cara yang paling efektif dalam mengatasi peningkatan suhu di kota. Kemampuan vegetasi sebagai unsur utama RTH sangat berperan penting dalam mengendalikan keseimbangan ekologis pada struktur kota. Menurut Soegijanto (1998) keberadaan RTH di sekitar bangunan akan mempengaruhi suhu di dalam bangunan. Pembangunan kota yang pesat serta laju pertumbuhan penduduk yang cepat mengakibatkan lahan kota menjadi terbatas dan mahal, sehingga penggunaan lahan lebih ditujukan untuk kepentingan komersial dan semakin menyusutkan lahan untuk RTH. Luas RTH yang terbentuk di wilayah DKI Jakarta hanya sebesar ± 9%, jauh dari standar luas yang telah ditetapkan pada Inmendagri no. 14 tahun 1988 yaitu sebesar 40% dari total wilayah. Terdapat beberapa permasalahan yang dihadapi dalam pencapaian target RTH diantaranya keterbatasan alokasi lahan, perubahan atau penyimpangan fungsi RTH, kerusakan akibat ulah masyarakat dan pencemaran lingkungan serta keterbatasan dana dan fasilitas bagi pengelolaan dan pemeliharaan RTH (NKLD,
3
2002). Perbedaan angka yang sangat signifikan tersebut seharusnya memacu warga dan pemerintah kota untuk menyiasati kendala tersebut. Dewasa ini telah dikembangkan suatu teknik penghijauan yang dilakukan ke arah vertikal yaitu Taman Atap (Roof Garden). Roof garden merupakan suatu taman yang tidak terletak di halaman rumah atau bangunan seperti umumnya, melainkan terdapat di atas atap suatu bangunan. Teknik ini dapat menjawab kekhawatiran tentang masalah keterbatasan lahan untuk dijadikan RTH, bahkan dapat memaanfaatkan potensi lahan yang selama ini kurang terperhatikan. Selain itu kehadiran bangunan yang tinggi dan kaku dapat terlihat lebih lembut akibat pengaruh dari elemen lunak yang ditanam. Kehadiran roof garden sudah mulai tampak menghiasi wajah kota Jakarta. Secara mikro, keberadaan roof garden ini dapat membantu menurunkan suhu udara di ruang bangunan di bawahnya, sehingga dapat menghemat penggunaan energi untuk mendinginkan ruangan. Dalam skala kota, roof garden belum mampu menciptakan kondisi lingkungan yang berkualitas karena jumlahnya terbatas pada beberapa bangunan saja. Bila pemanfaatan roof garden diimplementasikan secara luas, bukan tidak mungkin dapat meningkatkan kualitas lingkungan di kota dan secara tidak langsung mengatasi fenomena UHI. Kurangnya pemanfaatan roof garden ini dapat dikarenakan keterbatasan pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat, kurangnya kemampuan dan keinginan masyarakat serta kurangnya law enforcement dari pihak pemerintah. Maka dari itu diperlukan penelitian untuk mengetahui seberapa besar respon masyarakat untuk mengembangkan roof garden, aspek legal yang mendukungnya serta hambatan pengembangannya.
4
Tujuan penelitian Tujuan dari penelitian ini yaitu: 1.
Mengetahui tanggapan masyarakat terhadap roof garden dan urban heat island.
2.
Mengetahui peta implementasi roof garden di DKI Jakarta
3.
Menelusuri informasi tentang kebijakan pemerintah dalam mengatasi fenomena urban heat island.
Manfaat penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan masukan bagi pemerintah setempat dan masyarakat untuk berperan serta dalam upaya mengatasi fenomena urban heat island.
5
Perkembangan kota
Pembangunan
Penurunan RTH
struktur fisik
Urban Heat Island
Dampak negatif
- Ketidaknyamanan - Pemborosan energi - Perubahan iklim global
Upaya mengatasi Urban Heat Island
Penghijauan
Keterbatasan lahan
Roof Garden - Ketidaktahuan - Ketidakmampuan Hambatan
- Ketidakmauan - Kurang dorongan dari pemerintah
Potensi Pengembangan
Gambar 1. Kerangka Pikir Studi
TINJAUAN PUSTAKA
Kota dan Permasalahannya Berdasarkan Pasal 1 Permendagri No 2 tahun 1987, kota dideskripsikan sebagai pusat permukiman dan kegiatan penduduk yang mempunyai batas wilayah administrasi yang diatur dalam peraturan perundang- undangan serta permukiman yang telah memperlihatkan watak dan ciri kehidupan perkotaan (Hardjasoemantri, 2000). Menurut Branch (1995) dan Hardoy dalam Catanese (1986), kota merupakan kawasan yang memiliki keaktifan, keanekaragaman dan kompleksitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan kawasan lainnya. Sebuah kota akan menjadi pusat pelayanan bagi wilayah sekitarnya, dimana fungsi- fungsi penting seperti perekonomian, pemerintahan, industri, kebudayaan, pendidikan dan militer terdapat di dalamnya. Kota memiliki berbagai komponen dan unsur, mulai dari komponen yang secara fisik terlihat seperti bangunan dan infrastruktur lainnya, hingga komponen yang secara fisik tidak dapat terlihat yaitu berupa kekuatan politik dan hukum yang mengarahkan kegiatan kota. Karakteristik masyarakat yang terdapat di kota yaitu
heterogen
dan
bertingkat-tingkat
dan
secara
umum
mempunyai
kecenderungan individual dan materialistis yang tinggi. Aktifitas kota akan mempengaruhi kualitas lingkungan perkotaan, yang berkaitan erat dengan kualitas hidup penghuninya (Irwan, 1996), seperti aktifitas perekonomian yang menuntut pembangunan fisik yang seimbang, terutama pembangunan jalur transportasi serta pembangunan fasilitas pendukung. Pembangunan fisik tersebut dilakukan baik pada lahan baru atau pada lahan yang telah dibangun sebelumnya (Janala, 1995). Menurut Ambarwati (2005), salah satu penurunan kualitas lingkungan kota yang signifikan yaitu masalah perubahan cuaca dan iklim, terutama dalam hal peningkatan suhu. Masalah ini disebabkan oleh peningkatan jumlah penduduk, pembangunan dan perkembangan kota, pertumbuhan industri, kepadatan lalu lintas, deforestasi, dan sebagainya. Permasalahan suhu yang tinggi di kota-kota besar di Indonesia dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor alami dan faktor sosial. Sebagai kota tropis, persoalan
7
yang ditimbulkan oleh iklim yaitu pemanasan yang ditimbulkan oleh radiasi matahari dengan implikasi absorpsi yang lebih banyak dibandingkan dengan daerah pedesaan (rural), terjadinya Urban Heat Island, berkurangnya kecepatan angin karena kerapatan bangunan yang tinggi, dan berkurangnya vegetasi persatuan luas tertentu (Karyono, 2004). Dari sisi sosial, peningkatan aktivitas manusia sangat mempengaruhi peningkatan suhu kota. Adanya perubahan penggunaan lahan dari agraris ke non agraris yang cukup signifikan dengan dibukanya lahan- lahan alami bervegetasi menjadi lahan terbangun, baik untuk lokasi pembangunan gedung maupun untuk jalur transportasi merupakan faktor utama masalah tersebut. Penyebab lainnya yaitu jumlah penduduk, penggunaan bahan bakar fosil dan listrik, jumlah kendaraan bermotor, jumlah bangunan dan permukiman yang semuanya itu relatif mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Selanjutnya menurut Karyono (2004), sebuah kota dirancang dengan jalanjalan lebar serta ruang-ruang terbuka yang diperkeras, tanpa cukup diberi peneduh pohon. Bangunan-bangunan dirancang sedemikian rupa sehingga tidak akan nyaman tanpa pengkondisian udara, mengakibatkan peningkatan suhu udara kota yang semula sudah tinggi akibat pemanasan aspal, beton serta pembuangan panas oleh mesin- mesin pengkondisian udara itu sendiri. Kemudian ditambah panas yang diakibatkan oleh kendaraan bermotor yang menggunakan AC. Dari persoalan-persoalan yang terakumulasi ini, ketergantungan manusia yang tinggal di kota terhadap penggunaan energi semakin tinggi.
Roof Garden Perkembangan pembangunan fisik yang pesat di perkotaan telah menyebabkan perubahan wajah kota menjadi semakin kaku, namun secara manusiawi masyarakat yang tinggal di dalamnya tetap mempunyai keinginan untuk senantiasa berdekatan dengan alam (Branch, 1995). Menurut Ambarwati (2005), menghadirkan suasana alami dalam lingkungan tempat tinggal atau tempat kerja manusia merupakan sebuah usaha untuk menciptakan lingkungan yang lebih nyaman. Dari berbagai latar belakang tersebut kemudian timbul suatu cabang lanskap yang dinamakan roof landscape.
8
Roof landscape atau lebih dikenal dengan green roof, rooftop garden, atau roof garden merupakan salah satu upaya pemberdayaan potensi ruang yang tak termanfaatkan ya itu pada atap bangunan menjadi sebuah ruang hijau yang dapat memberikan banyak manfaat baik dalam skala mikro maupun skala kota. Pengembangan ruang hijau vertikal ini mempunyai peran ekologis dalam meningkatkan keragaman biologis di perkotaan (Pramukanto, 2006). Dilihat dari pengertian kata, green roof berarti ruang hijau di atas atap yang memanfaatkan vegetasi hidup (Voogt, 2004) dan lebih populer dengan nama roof garden atau taman atap. Secara sederhana roof garden dideskripsikan sebagai taman dimana semua unsur tanamannya ditanam tidak di atas tanah pada halaman bangunan, melainkan di atas atap bangunan. Pengertian roof garden yang lebih luas juga mencakup semua bentuk bak-bak tanaman yang diletakkan beberapa meter di atas permukaan tanah. Pembentukan roof garden yang paling sederhana yaitu berupa penambahan fasilitas bak tanaman yang dipasang di tepian beranda dan ditanami dengan tanaman hias pot ataupun tanaman rambat. Bentuk roof garden yang lebih kompleks yaitu berupa penanaman vegetasi pada suatu media tanam diatas lapisan kedap air dan dilengkapi sistem irigasi, drainase dan utilitas lainnya (Sukaton et al., 2004; US EPA, 2006). Pada tabel 1 dijelaskan tentang dua tipe green roof atau roof garden, yaitu tipe intensif dan tipe ekstensif.
Tabel 1. Tipe Green Roof Kriteria
Intensif
Ekstensif
Ketebalan media tanam Jenis vegetasi yang ditanam
minimal 30 cm dapat berupa pohon besar dan semak yang ditata menjadi taman yang terpelihara
2.5-7.5 cm Jenis rumput dan ground cover lain
Kemampuan menahan beban
120-225 kg per meter persegi pada struktur bangunan
Akses memasuki taman
dapat diakses oleh umum
18-75 kg per meter persegi tergantung karakteristik tanah biasanya bukan untuk akses umum
Pemeliharaan
sangat teratur
tahunan sampai tanaman tumbuh memenuhi media
Sistem irigasi dan drainase
kompleks
sederhana
(Sumber: Schloz-Barth, Katrin. 2001. ”Green roofs: Stormwater Management From the Top Down.” Environment Design and Construction)
9
Konsep taman atap telah menjadi inspirasi sejak 6 abad sebelum masehi yaitu dibangunnya Taman Gantung Babylonia yang bertujuan untuk menciptakan tiruan alam di istana. Salah satu dari tujuh keajaiban dunia ini dibangun oleh raja Kaldea, Nebupalassar dan dilanjutkan oleh puteranya Nebuchadnezar. Taman ini berupa teras-teras bertingkat pada dinding kota seluas dua hektar dengan ketinggian 3500 kaki diatas permukaan laut. Pada abad ke 19 daerah perbukitan di Islandia menjadi sumber inspirasi bentuk roof garden selanjutnya, dimana para petani menanami atap rumahnya dengan rumput. Penghijauan atap era modern dimulai di Jerman, Swiss, Austria dan negara Skandinavia pada tahun 1960-an. Sampai tahun 1996 lebih dari 3.2 juta m2 ruang hijau dibangun di atap bangunan-bangunan di Jerman. Setelah Eropa, Amerika Serikat dan Kanada juga mengembangkan roof garden. Begitu pula dengan beberapa negara di Asia seperti Singapura, Hongkong (China), Jepang dan Korea. Menghijaukan atap bangunan menjadi salah satu program pemerintah untuk meningkatkan kualitas lingkungan kota. (Sukaton et al., 2004; Pramukanto, 2006). Secara garis besar manfaat roof garden dapat dikategorikan menurut fungsi ekologis, ekonomis, dan estetika baik dalam skala mikro (bangunan dan sekitarnya) maupun skala meso (kota). Menurut Sukaton et al (2004), Pramukanto (2006) dan US EPA (2006), roof garden dapat berimplikasi terhadap peningkatan kualitas lingkungan. Tanaman sebagai unsur utama roof garden dapat meningkatkan kadar oksigen sekaligus menurunkan kadar karbondioksida di udara, dalam hal ini tanaman berperan sebagai filter alami terhadap polusi udara, debu dan suara karena dapat membantu menurunkan transfer bising dari ruang luar. Proses fotosintesis yang dialami oleh vegetasi dapat meningkatkan biomassa kota. Selain itu roof garden dapat berperan sebagai lingkungan hidup yang meyediakan habitat untuk satwa liar terutama burung dan hewan kecil lain. Roof garden merupakan salah satu sistem modifikasi atap yang dapat menurunkan intensitas urban heat island dengan menyediakan bayangan dan melalui evapotranspirasi yang melepaskan air dari tanaman ke udara di sekelilingnya sehingga kelembaban udara meningkat dan udara akan menjadi lebih segar. Keberadaan roof garden dapat menurunkan akumulasi panas dari
10
bangunan dan menurunkan emisi polutan dari AC dan gas rumah kaca (Voogt, 2004). Lapisan yang dihasilkan roof garden dapat melindungi material atap dari kerusakan mekanik (dari manusia, hewan, angin dan debu), dari radiasi ultra violet (UV) dan fluktuasi suhu harian yang ekstrim, serta meminimalkan kerusakan yang diakibatkan karena memuai dan mengkerutnya material atap. Keberadaan
vegetasi
yang
menutupi
atap
bangunan
dapat
membantu
mengendalikan radiasi matahari sebelum menyentuh permukaan (Laurie, 1979) karena proses alami vegetasi yaitu fotosintesis menyebabkan sinar matahari yang jatuh pada permukaan atap akan terlebih dahulu diabsorpsi oleh vegetasi tersebut sehingga suhu permukaan dapat ditekan mencapai angka dibawah 35ºC. Dengan menurunnya suhu permukaan pada bangunan maka suhu di dalam bangunan menjadi lebih sejuk sehingga permintaan akan penggunaan AC akan menurun dan dengan sendirinya akan menghemat biaya untuk penggunaan energi AC tersebut. Suasana nyaman yang tercipta karena keberadaan roof garden akan meningkatkan citra yang baik kepada masyarakat sehingga dapat menambah nilai ekonomi bangunan (Sukaton et al., 2004; US EPA, 2006). Selain itu roof garden dapat menjadi alternatif tempat produksi bahan makanan yang bisa diaplikasikan dalam pot, bak tanaman atau dirambatkan pada dinding atau pergola. Kehadiran roof garden pada suatu bangunan dapat menciptakan keindahan visual karena fungsi tanaman yang dapat melembutkan struktur bangunan yang kaku. Selain itu pemanfaatan roof garden yang meluas dapat melembutkan horizon kota yang monoton sehingga predikat kota sebagai ’hutan beton’ dapat diminimalisir. Ketiga
fungsi
yang
telah
dijelaskan
tersebut
mendukung
suatu
kecenderungan psikologis yang baik bagi masyarakat kota. Suhu udara yang tidak tinggi dapat meningkatkan kenyamanan bagi manusia, baik di ruang luar maupun di dalam bangunan. Hal lain yang mempengaruhi kenyamanan manusia secara klimatologis yaitu radiasi matahari dan kelembaban (Robinette dalam Miller, 1988) yang semuanya itu dapat diadaptasi oleh manfaat roof garden. Suasana udara yang nyaman serta pemandangan yang indah dapat memberikan rasa tenang sehingga produktifitas kerja dapat meningkat.
11
Saat ini keberadaan roof garden terbatas di beberapa bangunan seperti hotel dan apartemen yang memang ingin meningkatkan kualitas untuk menarik pengunjung, namun menurut US EPA (2006) roof garden dapat diaplikasikan pada fasilitas industri, pemukiman, perkantoran dan fasilitas komersil lain, tentunya disesuaikan dengan kebutuhan dan bentuk bangunan. Pengembangan roof garden di perkotaan perlu diupayakan untuk membuka peluang terciptanya kawasan hijau bersifat alami yang merupakan bagian dari penataan ruang kota sebagai kawasan hijau.
Urban Heat Island Urban Heat Island (UHI) merupakan suatu istilah untuk mendeskripsikan tingginya suhu udara baik di atmosfer dan permukaan di perkotaan (daerah urban) dibandingkan dengan lingkungan sekitarnya (Sulistyantara, 2005; Voogt, 2004; US EPA, 2006). Fenomena yang pertama kali ditemukan oleh seorang ahli meteorologi bernama Luke Howard pada tahun 1818 ini disebut juga pulau panas atau pulau bahang kota karena berupa suatu kawasan dimana bila ditarik garis isoterm maka akan membentuk seperti pulau dan semakin ke pusat intensitas suhu akan meningkat. Rosenberg (2005) menyatakan bahwa suhu udara pada UHI dapat mencapai 11ºC lebih tinggi daripada daerah rural di sekitarnya, yaitu terjadi pada Central Business District (CBD), area-area komersil, dan bahkan pemukiman di suburban. Fluktuasi suhu pada UHI diilustrasikan pada Gambar 2, dimana terlihat bahwa keberadaan taman di dalam kota dapat menurunkan suhu udara.
Gambar 2. Ilustrasi Fluktuasi Suhu Pada Urban Heat Island (Setelah US EPA (2006))
12
Terdapat beberapa hal yang mempengaruhi terjadinya fenomena UHI. Menurut Sulistyantara (2005) dan Voogt (2004), salah satu faktornya yaitu iklim yang terdiri dari komponen suhu, kelembaban, curah hujan dan intensitas matahari. Bentuk UHI dipengaruhi oleh kondisi cuaca lokal terutama angin dan awan. Semakin sedikit hembusan angin dan jumlah awan akan menyebabkan peningkatan UHI. Faktor lainnya yaitu geometri kota yang terdiri dari topografi kota, struktur bangunan, pola ruang kota dan pengisian unsur alam, serta aktivitas manusia seperti pola penggunaan energi. Intensitas UHI akan meningkat sesuai dengan ukuran kota dan kerapatan penduduknya. UHI adalah sebuah contoh dari modifikasi iklim ketika urbanisasi mengubah karakteristik dari permukaan dan atmosfer bumi. UHI terbentuk karena kota menggantikan penutupan lahan alami dengan perkerasan, bangunan dan infrastruktur lain yang meminimalisir efek penyejukan alami dari bayangan dan evapotranspirasi dari vegetasi dan tanah. Menurut Laurie (1979), pembentukan UHI dipengaruhi oleh material kepadatan bangunan yang mempunyai karakteristik lambat untuk memanas dan mendingin serta menyimpan energi lebih besar, dimana permukaan gelap dan tak teratur dengan dinding vertikal lebih banyak menyerap sinar matahari. Selain itu bangunan tinggi dan jalan-jalan lebar dapat menjebak udara panas diantaranya dan memperkecil aliran udara yang mengalir di dalam kota. Pada malam hari, kota menjadi lebih hangat akibat pemancaran kembali panas yang diserap oleh jalan dan bangunan, karena daya hantar dan kapasitas panas beton, aspal, dan batu bata lebih besar dibandingkan dengan tanah dan tumbuhan. Selain itu suhu udara kota ya ng telah tinggi mendapatkan tambahan panas dari energi yang digunakan untuk proses industri, pemanasan, pendinginan dan penerangan bangunan, penggunaan lainnya dalam industri dan rumah tangga, dan transportasi, juga pengaruh dari energi metabolisme manusia (Neiburger et al., 1995; US EPA, 2006). Fenomena UHI menimbulkan beberapa dampak negatif yang dapat mempengaruhi manusia dan aktifitasnya. Menurut Neiburger et al (1995), Voogt (2004)
dan
US
EPA
(2006),
efek
panas
UHI
dapat
menyebabkan
13
ketidaknyamanan bagi manusia sehingga meningkatkan pemakaian energi untuk AC. Kondisi panas tersebut juga dapat
mengganggu kesehatan baik psikis
maupun psikologis, bahkan kadang menyebabkan pingsan dan kematian. UHI sendiri tak berdampak terhadap pemanasan global, namun dengan proses urbanisasi yang meluas dampak UHI akan meningkatkan emisi gas ke atmosfer yang memberikan kontribusi terhadap pemanasan global tersebut. Aktifitas manusia yang mengakibatkan pemanasan atmosfer secara langsung oleh pembakaran bahan bakar dan perubahan energi nuklir, serta perubahan suhu yang diakibatkan oleh peningkatan kadar CO2, gas lainnya, dan partikel di seluruh atmosfer akan memberikan pengaruh yang mendunia. Terdapat beberapa cara yang diupayakan oleh beberapa pihak untuk mengatasi fenomena UHI (Voogt, 2004; US EPA, 2006), diantaranya yaitu dengan menggunakan material atap dan perkerasan yang ramah lingkungan, pengendalian emisi kendaraan bermotor, serta memperbanyak penanaman vegetasi. Cara terakhir dinilai paling efektif dalam mengatasi fenomena tersebut. Selain proses fotosintesis yang akan menyerap energi matahari lebih besar, efek bayangan dan evapotranspirasi yang dihasilkan oleh tanaman akan meningkatkan kelembaban udara sehingga suhu menjadi lebih rendah.
Persepsi dan Preferensi Persepsi merupakan suatu proses psikologis yang menandai kemampuan seseorang untuk mengenal dan mendeskripsikan suatu objek yang ada di lingkungannya (Sutaat, 2005). Menurut Sadli (1976) dan Sarwono dalam Sutaat (2005), persepsi merupakan suatu proses pemaknaan yang bersifat aktif, yang bukan hanya dipengaruhi oleh rangsangan yang mengenainya
(Tuan dalam
Porteous, 1977) namun juga dipengaruhi oleh motivasi, sikap, pendidikan dan lingkungan sosial secara umum. Selain itu persepsi juga dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman, cara berpikir serta keadaan perasaan atau minat tiap-tiap orang sehingga seringkali dipandang bersifat subjektif. Persepsi tidak sekedar pengenalan atau pemahaman tetapi juga evaluasi bahkan juga bersifat inferensional (menarik kesimpulan).
14
Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi diantaranya jenis kelamin dan umur, latar belakang, pendidikan, pekerjaan dan pendapatan, asal/tempat tinggal, status ekonomi, waktu luang, serta kemampuan fisik dan intelektual (Brockman dan Marriem dalam Nasution, 1995). Selanjutnya ditambahkan Bartol et al. dalam Sutaat (2005) bahwa presepsi juga dipengaruhi oleh pengalaman belajar dari masa lalu, harapan dan preferensi. Persepsi terhadap lanskap diwujudkan oleh faktor penambah rangsangan lanskap yang dipengaruhi oleh pengalaman, penilaian, kepercayaan dan sikap, keadaan sosial ekonomi, serta harapan seseorang dimasa depan (Zube et al. dalam Linawati, 1995). Penilaian persepsi terhadap lingkungan didasarkan oleh faktor obyektif dan subyektif yang dapat memberi model pola suatu hubungan manusia dan lingkungannya. Preferensi adalah kecenderungan untuk memilih sesuatu yang lebih disukai daripada yang lain. Menurut Porteous (1977) keinginan pengguna terhadap suatu objek yang akan direncanakan dapat dinilai oleh para disainer dan ahli lingkungan dengan menggunakan studi prilaku individu, dimana preferensi dapat memberikan masukan sebagai bentuk partisipasi dalam proses perencanaan. Preferensi tiap individu akan berbeda tergantung pada pribadi dan pengalaman yang dimiliki.
METODOLOGI
Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di wilayah administrasi DKI Jakarta tanpa wilayah Kepulauan Seribu. Survei lapang dan pembagian kuisioner dilakukan dari bulan Maret sampai Juli 2006. Pengolahan data dan penyusunan laporan dilakukan dari bulan Juni sampai September 2006.
Gambar 3. Lokasi Penelitian
16
Metode Penelitian Metode penelitian yang dilakukan yaitu metode deskriptif dengan teknik survei. Kegiatan observasi lapang dilakukan untuk mengamati kondisi umum lokasi yang meliputi kondisi fisik seperti iklim dan penggunaan lahan, serta kondisi sosial seperti karakteristik penduduk. Berdasarkan observasi lapang kemudian disusun daftar pertanyaan yang berkaitan dengan pengembangan roof garden. Wawancara terhadap masyarakat dilakukan melalui kuisioner untuk mengetahui karakteristik masyarakat, tanggapan, persepsi dan preferensi terhadap roof garden. Untuk mengetahui aspek legal yang berkaitan dengan upaya mengatasi urban heat island maka dilakukan penelusuran produk hukum, baik dengan meminta secara langsung kepada pihak terkait maupun pencarian melalui internet.
Persiapan
Survei
Analisa data
Potensi Pengembangan Roof Garden
Pengumpulan data
Observasi
Pembagian Kuisioner
Bangunan hunian
Aspek legal
Bangunan non hunian
Gambar 4. Bagan alur penelitian
17
Terdapat tiga tahapan yang dilakukan pada penelitian ini yaitu: 1. Tahap persiapan untuk menentukan lokasi penelitian, penetapan tujuan dan pembuatan usulan penelitian, permohonan izin serta persiapan survei, diantaranya kegiatan menyiapkan isian data, kuisioner, petunjuk pelaksanaan dan penyusunan jadwal pengambilan data. 2. Tahap pengumpulan data (survei) meliputi observasi lapang, pengambilan sampel, pembagian kuisioner, serta mengumpulkan data mengenai aspek legal. 3. Tahap analisis data yang dilakukan dengan analisis deskriptif untuk membandingkan tingkat tanggapan terhadap permasalahan dari tiap komponen karakteristik sampel yang diambil.
Pengambilan Sampel dan Pembagian Kuisioner Pengambilan sampel dilakukan secara acak terpilih (purposive sampling), yang dikelompokkan menjadi dua kelompok responden berdasarkan fungsi bangunan yaitu bangunan fungsi hunian meliputi rumah dan apartemen, serta bangunan fungsi non hunian yang meliputi bangunan fungsi usaha seperti perkantoran, bangunan industri, hotel dan bangunan perdagangan, serta bangunan fungsi sosial dan budaya seperti rumah sakit. Responden dipilih sebanyak 200 pemilik atau pengelola bangunan, terdiri dari 50 responden bangunan hunian dan 150 responden bangunan non hunian. Pembagian kuisioner dilakukan dengan cara langsung yaitu dengan mendatangi para pemilik atau pengelola bangunan, dan cara tidak langsung yaitu melalui pos. Kuisioner ditinggal selama dua minggu agar tidak mengganggu waktu kerja dan dikirimkan kembali melalui pos. Cara lain penyebaran kuisioner yaitu melalui kegiatan seminar tentang roof garden yang diadakan oleh Suku Dinas (Sudin) Pertanian dan Kehutanan Jakarta Pusat kepada sejumlah peserta yang hadir yaitu sebanyak 15 orang, serta dengan memanfaatkan fasilitas internet. Sebuah kuisioner online dibuat dalam bentuk website dan diupload pada sebuah domain yaitu Space Integra dengan alamat http://www.ossy.integrasolusi.com (Lampiran 2) dan dipublikasikan melalui beberapa alamat mailing list.
18
Data yang Dikumpulkan Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data primer yang diperoleh yaitu gambaran umum lokasi secara visual berupa foto dan data yang diperoleh melalui penyebaran kuisioner yang meliputi identitas responden, keterangan bangunan, persepsi terhadap Urban Heat Island, serta persepsi dan preferensi terhadap Roof Garden (Tabel 1). Secara lebih lengkap kuisioner dapat dilihat pada Lampiran 1. Data sekunder yang diperoleh yaitu data fisik lokasi (posisi, iklim, dan penggunaan lahan), data kependudukan, dan data aspek legal.
Tabel 2. Gambaran pertanyaan pada kuisioner Kelompok Pertanyaan
Detail pertanyaan
Identitas Responden
Nama Alamat Jenis kelamin Usia Suku bangsa Agama Pekerjaan Pendapatan per bulan Pendidikan terakhir
Keterangan Bangunan
Fungsi bangunan Jumlah lantai Status kepemilikan Jenis konstruksi Jenis atap Keberadaan beranda Fasilitas taman yang dimiliki
Persepsi Mengenai Urban Heat Island
Arti Urban Heat Island Dampak Urban Heat Island Cara mengatasi Urban Heat Island
Persepsi Mengenai Roof Garden
Arti Roof Garden Bentuk Roof Garden Manfaat Roof Garden Peran Roof Garden terhadap perbaikan iklim kota
Preferensi Mengenai Roof Garden
Bentuk Roof Garden yang diinginkan
Potensi Pengembangan Roof Garden
Ketertarikan untuk memiliki Roof Garden Kesulitan dalam pemeliharaan
19
Pertanyaan pada kuisioner terdiri dari beberapa tipe, yaitu pertanyaan pilihan yang hanya dapat menjawab satu pilihan, pertanyaan pilihan yang dapat menjawab lebih dari satu pilihan, dan pertanyaan isian yang dapat dijawab secara bebas oleh responden.
Metode Analisa Metode yang digunakan untuk menganalisis hasil kuisioner agar dapat mencapai tujuan penelitian sebagai berikut: 1. Data dikumpulkan dalam komputer dengan software database Filemaker Pro 7. 2. Data yang telah terkumpul ditabulasikan dengan menggunakan software Microsoft Excel dan dipersentasekan terhadap total responden serta dianalisis secara deskriptif. 3. Uji Chi Kuadrat dilakukan untuk mengetahui hubungan persepsi dan preferensi dengan latar belakang responden. 4. Hubungan preferensi dengan keterangan bangunan yang dimiliki atau dikelola responden juga dianalisa dengan melakukan Uji Chi Kuadrat. 5. Pengolahan data dengan uji Chi Kuadrat dilakukan dengan menggunakan software Microsoft Excel. Berdasarkan uji Chi Kuadrat diperoleh nilai probabilitas (P-value), nilai Chi-tabel dan nilai Chi- hitung. Melalui perhitungan tersebut dapat diketahui ada tidaknya hubungan (berbeda nyata atau tidak berbeda nyata pada taraf 10 %) antara persepsi dan preferensi dengan latar belakang responden atau dengan keterangan bangunan, dengan ketentuan sebagai berikut: • Bila nilai Chi- hitung kurang dari nilai Chi- tabel atau P-value lebih dari 10 %, menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara latar belakang dengan persepsi atau preferensi. • Bila nilai Chi- hitung lebih dari nilai Chi-tabel atau P-value kurang dari 10 %, menyatakan bahwa ada hubungan antara latar belakang dengan persepsi atau preferensi.
20
Batasan Penelitian 1. Area studi di wilayah DKI Jakarta tanpa Kepulauan Seribu dengan spesifikasi lokasi pengambilan contoh berdasarkan fungsi bangunan yaitu bangunan fungsi hunian (rumah dan apartemen) dan bangunan fungsi non hunian terdiri dari bangunan fungsi usaha (perkantoran, bangunan industri, hotel, dan bangunan perdagangan) dan bangunan fungsi sosial budaya (rumah sakit dan bangunan pendidikan). 2. Responden adalah pemilik atau pengelola bangunan di wilayah DKI Jakarta. 3. Cakupan pengertian roof garden yaitu dalam pengertian sederhana (taman di atas atap bangunan) dan dalam pengertian yang lebih luas (bak-bak tanaman yang berada pada beberapa meter di atas tanah).
KONDISI UMUM DKI JAKARTA
Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta terletak pada 5°19'12" sampai 6°23'54" LS dan 106°22'42" sampai 106°58'18" BT dengan luas wilayah 661,5 km² termasuk di dalamnya wilayah Kepulauan Seribu atau ± 650 km² tidak termasuk wilayah Kepulauan Seribu. Secara administratif wilayah DKI Jakarta dibagi menjadi 5 wilayah kota, 1 wilayah kabupaten, 44 kecamatan dan 267 kelurahan. 5 wilayah kota tersebut yaitu Jakarta Utara, Jakarta Pusat, Jakarta Timur, Jakarta Barat dan Jakarta Selatan dan wilayah kabupaten yaitu Kepulauan Seribu. Sebagai Ibukota Negara, DKI Jakarta merupakan propinsi yang berbentuk suatu kota metropolitan. Dengan kepadatan penduduk sebesar 16.667 jiwa/km² DKI Jakarta merupakan kota terpadat di Indonesia. Data kependudukan Dinas Kependudukan Dan Catatan Sipil Propinsi DKI Jakarta2 menunjukkan jumlah penduduk DKI Jakarta sampai dengan bulan Mei 2006 yaitu 7.523.591 jiwa. Jumlah ini bertambah pada siang hari karena adanya para commuter yaitu orangorang yang bekerja atau bersekolah di Jakarta namun bertempat tinggal di wilayah sekitar Jakarta seperti Bogor, Depok, Tange rang dan Bekasi. Pemusatan
aktifitas-aktifitas
penting
seperti
pemerintahan
dan
perekonomian mengakibatkan pembangunan DKI Jakarta semakin pesat. Hal ini terlihat dari semakin banyaknya infrastruktur fisik yang dibangun seperti gedunggedung pencakar langit juga sarana transportasi (misal jalan layang). Menurut Neraca Keseimbangan Lingkungan Hidup Daerah (NKLHD) tahun 2002, luas area yang sudah terbangun di DKI Jakarta yaitu sebanyak 92 persen dari total luas wilayah. Pesatnya
pembangunan
fisik
ini
seharusnya
diimbangi
dengan
memperhatikan kualitas lingkungan hidup kota. Salah satu indikatornya yaitu keberadaan Ruang Terbuka Hijau (RTH). Menurut penelitian Janala (1995) kebutuhan luas RTH yang ideal di DKI Jakarta dapat dihitung berdasarkan kebutuhan oksigen. Setelah melakukan perhitungan, diperkirakan pada tahun 2005
2
http://www.kependudukansipil.go.id/index.php?content:read&o=profil
22
DKI Jakarta membutuhkan RTH seluas 137.896,13 hektar atau lebih besar dari luas Jakarta. Kenyataannya, pada tahun 2005 luas RTH di DKI Jakarta termasuk taman hanya mencapai 9.242 hektar, sedangkan menurut Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) RTH ideal yang hendak dicapai seluas 9.544,8 hektar dan ditargetkan terpenuhi pada tahun 2010 (Perda No 6 tahun 1999). Secara umum kondisi iklim DKI Jakarta periode 1994-2004 dapat dilihat pada Gambar 5. Data tersebut didapat dari pengamatan Badan Meteorologi dan Geofisika DKI Jakarta pada lima stasiun yang tersebar di lima wilayah kota. Data dapat dilihat secara lebih lengkap pada Tabel Lampiran 3. Berdasarkan grafik suhu udara rata-rata tahunan diketahui bahwa suhu udara di DKI Jakarta berkisar antara 26.4-29.0 ºC dan cenderung meningkat dari tahun ke tahun dengan angka tertinggi di wilayah Jakarta Utara dan Jakarta Pusat. Suhu maksimum rata-rata sebesar 33.8 ºC, lebih tinggi daripada suhu maksimum rata-rata iklim tropis pada umumnya yaitu antara 27-32 ºC. Begitu pula dengan data kelembaban udara ratarata tahunan yang tidak banyak mengalami perubahan yaitu berkisar antara 69.086.8 %. Angka terendah tersebut juga menunjukkan bahwa kondisi kelembaban di Jakarta lebih rendah daripada kondisi umum iklim tropis yaitu 75% (Soegijanto, 1998). Data intensitas matahari tidak dapat diperlihatkan secara lengkap karena terdapat dua stasiun yang tidak melakukan pengukuran secara efektif yaitu Stasiun Halim (Jakarta Timur) yang berhenti beroperasi sejak tahun 1997 dan Stasiun Cengkareng (Jakarta Barat) yang memang tidak melakukan pengukuran sejak awal berdiri. Dari ketiga stasiun lain dapat diketahui bahwa intensitas matahari di DKI Jakarta cenderung mengalami peningkatan. Hal ini diduga akibat menipisnya lapisan ozon di atmosfer. Curah hujan total tahunan me ngalami fluktuatif secara signifikan dengan curah hujan tertinggi terjadi pada tahun 1996 di wilayah Jakarta Selatan yaitu sebesar 3005.3 mm dan curah hujan terendah yaitu 594.6 mm terjadi pada tahun 1997 di wilayah Jakarta Pusat.
23
Suhu Udara Rata-Rata Tahunan
Suhu (oC)
29.50 29.00 28.50 28.00 27.50 27.00 26.50 26.00 25.50 25.00
Utara Timur Pusat Barat Selatan
1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Tahun
Kelmbaban udara (%)
Kelembaban Udara Rata-Rata Tahunan 100.00 80.00
Utara
60.00
Timur
40.00
Pusat Barat
20.00
Selatan
0.00 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Tahun
Intensitas Matahari Rata-Rata Tahunan
Intensitas matahari (%)
70.00 60.00 Utara
50.00
Timur
40.00
Pusat
30.00
Barat
20.00
Selatan
10.00 0.00 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Tahun
Curah Hujan Total Tahunan
CH (mm)
3500.00 3000.00 2500.00
Utara Timur
2000.00
Pusat
1500.00
Barat
1000.00
Selatan
500.00 0.00 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Tahun
Gambar 5. Kondisi Umum Iklim DKI Jakarta Periode 1994-2004 (Sumber: BMG Balai Wilayah II Jakarta, 2006)
24
Gambar 6 memperlihatkan grafik suhu maksimum dan minimum antara 5 wilayah di DKI Jakarta dan Bogor dari tahun 1994-2004. Data suhu maksimum dan suhu minimum antara DKI Jakarta dan Bogor dapat diketahui secara lengkap pada Tabel Lampiran 3. Grafik perbandingan suhu maksimum menunjukkan perbedaan angka sampai dengan 3ºC antara Bogor dengan 5 wilayah di DKI Jakarta. Angka pada grafik perbandingan suhu minimum menunjukkan perbedaan sampai dengan 2 ºC antara Bogor dengan wilayah Jakarta Utara dan Jakarta Timur, sedangkan antara Bogor dengan wilayah Jakarta Pusat, Jakarta Barat dan Jakarta Selatan cenderung memiliki suhu minimum yang relatif sama. Perbedaan suhu tersebutlah yang dikemukakan oleh LAPAN sebagai fenomena Urban Heat Island. Padatnya penduduk yang bermukim dan beraktifitas mendukung terjadinya fenomena Urban Heat Island di DKI Jakarta. Selain infrastruktur fisik yang menjadikan Jakarta mendapat predikat ’hutan beton’, ketergantungan manusia pada alat yang memerlukan energi pun besar. Bangunan-bangunan berlantai banyak mengkonsumsi energi yang cukup besar yaitu 150-300 KWh/m².tahun, tergantung jenis bangunan. Penggunaan energi terbesar yaitu 60-80 % untuk mengoperasikan sistem mesin pendingin (AC) dan sistem tata cahaya (Soegijanto, 1998). Dari mesin pendingin sampai mesin industri, semua mengeluarkan emisi berupa kalor yang dibuang ke udara. Panas yang kemudian memenuhi udara Jakarta juga ditambah dari panas dari kendaraan bermotor beserta panas dari AC kendaraan bermotor tersebut dan panas dari metabolisme manusia itu sendiri.
25
Suhu Maksimum
Suhu (oC)
1994 36.00 35.00 34.00 33.00 32.00 31.00 30.00 29.00 28.00
1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 Jakarta Utara
Jakarta Timur
Jakarta Pusat
Jakarta Barat
Jakarta Selatan
Bogor
2002 2003
Wilayah
2004
Suhu (oC)
Suhu Minimum 1994
25.00 24.00 23.00 22.00 21.00 20.00 19.00 18.00
1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 Jakarta Utara
Jakarta Timur
Jakarta Pusat
Jakarta Barat
Jakarta Selatan
Bogor
Wilayah
2002 2003 2004
Gambar 6. Perbandingan Suhu Maksimum dan Minimum Antara 5 wilayah DKI Jakarta dan Bogor Tahun 1994-2004 (Sumber: BMG Balai Wilayah II Jakarta, 2006; BMG Bogor, 2006)
HASIL DAN PEMBAHASAN Tanggapan Responden Secara Umum Total responden yang mengisi kuisioner yaitu sejumlah 65 orang responden, terdiri dari 47 orang responden (72.3%) melalui penyebaran langsung dan pos, 15 orang responden (23.1%) melalui seminar roof garden, dan 3 orang (4.6%) melalui internet. Pada ketegori bangunan hunian diperoleh responden sebanyak 29 orang responden, terdiri dari 23 orang (79.3%) dari penyebaran langsung, 4 orang (13.8%) dari seminar dan 2 orang (6.9%) dari internet. Pada kelompok bangunan non hunian diperoleh responden sebanyak 36 orang responden, terdiri dari 24 orang (66.7%) dari penyebaran langsung dan pos, 11 orang (30.6%) dari seminar dan 1 orang (2.8%) dari internet. Persentase perolehan data kuisioner dapat dilihat pada gambar 7.
Gambar 7 Persentase perolehan data kuisioner. Secara umum perolehan kuisioner dari penyebaran langsung dan pos cukup rendah yaitu hanya sejumlah 46.0% pengembalian untuk bangunan hunian (23 responden dari 50 kuisioner yang dibagikan) dan 16.0% pengembalian untuk bangunan non hunian (24 responden dari 150 kuisioner yang dibagikan). Banyaknya jumlah responden menyebabkan kurangnya kontak langsung, sehingga diduga bahwa banyak responden yang tidak menghiraukan kuisioner untuk diisi dan dikirimkan kembali, lupa dan akhirnya tidak mengacuhkan, atau bahkan tidak menerima sama sekali kuisioner yang telah dititipkan untuk disampaikan pada mereka.
27
Tambahan data diperoleh melalui Seminar Roof Garden yang diadakan oleh Sudin Pertanian dan Kehutanan Jakarta Pusat sebanyak 15 orang responden yaitu sebanyak peserta seminar yang hadir. Seminar ini diadakan untuk mensosialisasikan roof garden pada sejumlah pengelola bangunan yang terdapat di Jakarta Pusat. Tabel 3 memperlihatkan persentase jenis bangunan yang dikelola oleh responden pada seminar tersebut, dengan presentase responden terbesar yaitu pengelola bangunan hotel (33.3%). Tabel 3 Jenis bangunan yang dikelola responden pada seminar roof garden di Jakarta Pusat Jenis bangunan
Jumlah
Persentase
Rumah Tinggal
4
26.7
Bangunan Hotel
5
33.3
Bangunan Perkantoran
4
26.7
Bangunan Perdagangan
1
6.7
Bangunan Pendidikan
1
6.7
Kecilnya jumlah responden yang diperoleh melalui internet disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya faktor teknis yaitu keterlambatan dalam pembuatan website, kesalahan dalam pengisian field database sehingga kapasitas muatan tidak banyak dan keterbatasan waktu pada domain sehingga website tidak dapat diakses kembali. Faktor lainnya yaitu karakteristik responden yang tidak memenuhi syarat, yaitu tidak berdomisili di DKI Jakarta dan bukan merupakan pemilik atau pihak pengelola bangunan yang sah.
Identitas Responden Berdasarkan data yang diperoleh dari 29 orang responden pada kelompok bangunan hunian dan 36 orang responden pada kelompok bangunan non hunian, dapat diketahui identitas keseluruhan responden menurut karakteristiknya seperti pada Tabel 4. Karakteristik responden yang ditanyakan meliputi jenis kelamin, usia, agama, pekerjaan, pendapatan per bulan dan pendidikan terakhir.
28
Tabel 4 Karakteristik responden No
Bangunan hunian (n=29) Karakteristik Responden
1
2
3
4
5
6
Jenis Kelamin a. Laki-laki b. Perempuan c. Tidak menjawab Usia a. 25-40 tahun b. > 40 tahun c. Tidak menjawab Agama a. Islam b. Kristen c. Katolik d. Tidak menjawab Pekerjaan a. Pegawai negeri b. Pegawai swasta c. Wiraswasta d. Lainnya e. Tidak menjawab Pendapatan perbulan a. < Rp. 500.000 b. Rp. 500.000 – Rp. 1.500.000 c. Rp. 1.500.000 – Rp. 3.000.000 d. Rp. 3.000.000 – Rp. 5.000.000 e. Rp. 5.000.000 – Rp. 10.000.000 f. > Rp. 10.000.000 g. Tidak menjawab Pendidikan terakhir a. SMA/sederajat b. Akademi/sederajat c. PT/sederajat d. Tidak menjawab
Bangunan non hunian (n=36)
Jumlah
Persentase
Jumlah
Persentase
18 10 1
62.1 34.5 3.5
26 6 4
72.2 16.7 11.1
15 13 1
51.7 44.8 3.5
10 20 6
27.8 55.6 16.7
23 4 2 0
79.3 13.8 6.9 0.0
28 2 2 4
77.8 5.6 5.6 11.1
5 16 3 4 1
17.2 55.2 10.3 13.8 3.5
5 28 0 1 2
13.9 77.8 0.0 2.8 5.6
1 5 8 3 5 3 4
3.5 17.2 27.6 10.3 17.2 10.3 13.8
0 3 11 5 8 0 9
0.0 8.3 30.6 13.9 22.2 0.0 25.0
4 4 20 1
13.8 13.8 68.9 3.5
7 10 17 2
19.4 27.8 47.2 5.6
Pada kelompok bangunan hunian, responden didominasi oleh laki- laki (62.1%) dengan rentang usia 25 sampai dengan 40 tahun (51.7%). Berdasarkan latar belakang agama diketahui bahwa mayoritas responden beragama Islam (79.3%). Sebagian besar responden (68.9%) menempuh tingkat pendidikan
29
sampai dengan pergur uan tinggi. Sebanyak 55.2% responden bekerja sebagai pegawai swasta dengan tingkat pendapatan yang beragam. Karakteristik responden pada kelompok bangunan non hunian tidak jauh berbeda dengan kelompok bangunan hunian. Mayoritas responden (72.2%) berjenis kelamin laki- laki namun dengan usia mayoritas (44.8%) lebih dari 40 tahun. Latar belakang agama responden yaitu sebanyak 77.8% beragama Islam. Sebagian besar responden (77.8%) bekerja sebagai pegawai swasta yaitu sebagai pengelola bangunan dengan tingkat pendapatan yang beragam. Tingkat pendidikan yang ditempuh oleh responden sebagian besar yaitu setaraf tingkat pendidikan tinggi (Akademi/Perguruan Tinggi).
Keterangan Bangunan Berdasarkan data yang diperoleh dari 65 orang responden yang terdiri dari 29 orang responden (44.6%) pada kelompok bangunan hunian dan 36 orang responden (55.4%) pada kelompok bangunan non hunian (Gambar 8) dapat diketahui berbagai macam keterangan yaitu jenis bangunan, jumlah lantai, status kepemilikan, jenis konstruksi bangunan, jenis atap, keberadaan beranda dan fasilitas taman yang dimiliki.
55,4%
44,6% Bangunan Hunian Bangunan Non Hunian
Gambar 8 Persentase kelompok bangunan. Keterangan jenis bangunan secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 5. Pada kelompok bangunan hunian terdiri dari rumah tinggal (89.7%) dan apartemen (10.3%). Pada kelompok bangunan non hunian responden terbanyak (44.4%) mengelola bangunan perkantoran dan responden lainnya mengelola
30
bangunan industri (13.9%), hotel (13.9%), bangunan perdagangan (11.1%), rumah sakit atau bangunan kesehatan (11.1%) dan bangunan pendidikan (5.6%). Tabel 5 Jenis bangunan yang dimiliki atau dikelola responden Jenis bangunan
Jumlah
Persentase
26
89.7
3
10.3
Bangunan Perdagangan
4
11.1
Bangunan Pendidikan
2
5.6
Rumah Sakit/Bangunan Kesehatan
4
11.1
Bangunan Perkantoran
16
44.4
Bangunan Industri
5
13.9
Bangunan Hotel
5
13.9
Bangunan hunian (n=29) Rumah Apartemen Bangunan non hunian (n=36)
Keterangan lainnya mengenai bangunan dapat dilihat pada Tabel 6. Pada kelompok bangunan hunian, sebagian besar responden (89.7%) memiliki bangunan dengan jumlah lantai satu hingga dua lantai. Hal ini dikarenakan responden terbanyak merupakan pemilik bangunan rumah tinggal, sedangkan responden lainnya (10.3%) merupakan pengelola apartemen yang memiliki bangunan tinggi dengan jumlah lantai lebih dari lima lantai. Mayoritas responden memiliki bangunan atas nama mereka sendiri. Jenis konstruksi bangunan sebagian besar yaitu tembok dengan atap genting dan memiliki beranda. Hampir semua responden memiliki taman pada bangunannya. Sebagian besar responden (72.4%) memiliki taman di halaman bangunannya, sedangkan hanya 10 dari 21 responden (47.6%) yang memanfaatkan beranda sebagai taman. Pada kelompok bangunan non hunian, mayoritas responden (61.1%) merupakan pemilik atau pengelola dari bangunan tinggi. Sebanyak 72.2% responden memiliki bangunan atas nama sendiri, artinya status kepemilikan dari bangunan tersebut adalah atas nama sebuah perusahaan yang mengelola dan menyewakan bangunannya untuk digunakan oleh perusahaan lain. Jenis konstruksi bangunan didominasi oleh tembok dengan jenis atap dak semen dan memiliki beranda. Sebagian besar responden (91.7%) memiliki taman di halaman
31
bangunannya, karena para pemilik atau pengelola bangunan menyadari bahwa setiap bangunan yang memiliki taman akan mempunyai citra yang baik di mata masyarakat.
Tabel 6 Keterangan bangunan Bangunan hunian No 1
2
3
4
5
6
Keterangan Bangunan
Bangunan non hunian
Jumlah
Persentase
Jumlah
Persentase
a. 1-2 lantai
26
89.7
6
16.7
b. 3-5 lantai
0
0.0
8
22.2
c. > 5 lantai
3
10.3
22
61.1
a. Milik sendiri
22
75.9
26
72.2
b. Milik bersama
5
17.2
4
11.1
c. Mengontrak/sewa
0
0.0
1
2.8
d. Lainnya
2
6.9
5
13.9
a. Kayu
0
0.0
0
0.0
b. Tembok
19
65.5
33
91.7
c. Kombinasi kayu/tembok
10
34.5
3
8.3
a. Genting
21
72.4
0
0.0
b. Seng/asbes
1
3.5
4
11.1
c. Dak semen
2
6.9
24
66.7
d. Kombinasi
5
17.2
8
22.2
a. Ya
21
72.4
23
63.9
b. Tidak
6
20.7
11
30.6
c. Tidak menjawab
2
6.9
2
5.6
a. Taman di halaman bangunan
21
72.4
33
91.7
b. Taman beranda
10
34.5
8
22.2
c. Taman atap
1
3.5
13
36.1
Jumlah lantai
Status kepemilikan
Jenis konstruksi
Jenis atap
Terdapat beranda
Fasilitas taman yang dimiliki
32
Persepsi Responden Terhadap Urban Heat Island Persepsi responden terhadap Urban Heat Island (UHI) meliputi arti, dampak, dan cara mengatasi UHI. Persentase persepsi responden mengenai arti UHI dapat dilihat pada Gambar 9. Pada kelompok bangunan hunian, perbandingan persentase jawaban responden hampir berimbang yaitu 48.3% mengetahui arti UHI dan 44.8% tidak mengetahui arti UHI, sedangkan 6.9% tidak menjawab. Pada kelompok bangunan non hunian, sebagian besar (75.0%) responden mengetahui arti UHI. .
Gambar 9 Persentase persepsi responden mengenai arti UHI. Persepsi mengenai arti UHI dipengaruhi oleh kelompok bangunan, dimana terdapat perbedaan persepsi antara responden pada kelompok bangunan hunian dan responden pada kelompok bangunan non hunian. Berdasarkan Tabel Lampiran 6 dapat diketahui hubungan kedua variabel tersebut, dimana nilai chihitung lebih dari nilai chi-tabel atau P-value kurang dari 0.10. Perbedaan persepsi tersebut diduga karena sistem informasi lebih berkembang pada lingkungan kerja (bangunan non hunian) dibandingkan lingkungan permukiman (bangunan hunian) sehingga kalangan masyarakat terutama mereka yang awam terhadap isu-isu lingkungan kurang memperoleh informasi mengenai UHI. Selain itu persepsi mengenai arti UHI juga dipengaruhi oleh latar belakang responden, yaitu faktor tingkat pendapatan dan pendidikan. Berdasarkan perhitungan diperoleh hasil nilai chi- hitung lebih dari nilai chi-tabel atau P-value kurang dari 0.10 (Tabel Lampiran 7). Artinya terdapat perbedaan persepsi antara responden dengan tingkat pendapatan dan pendidikan yang berbeda, semakin tinggi tingkat pendapatan dan pendidikan persepsi tentang arti UHI pun semakin
33
tinggi. Hal ini diduga karena dengan pendapatan yang tinggi, maka kesempatan memperoleh informasi akan lebih banyak, baik melalui jalur pendidikan maupun teknologi informasi yang kian berkembang. Persentase persepsi responden terhadap dampak UHI dapat dilihat pada Gambar 10. Pertanyaan pada kuisioner boleh dijawab responden lebih dari satu pilihan karena setiap pilihan tidak terikat satu sama lain, maka tiap pilihan memiliki persentase masing- masing atau bersifat independen. Pertanyaan mengenai dampak UHI (sebagaimana dikemukakan oleh Neiburger et al., 1995; Voogt, 2004 dan US EPA, 2006 ) yang ditanyakan kepada responden terdiri dari 4 pilihan jawaban yaitu: A) Udara yang panas B) Gangguan pada kesehatan C) Pemborosan energi untuk pendingin ruangan, dan D) Dampak lain yang mungkin responden ketahui. 70,0
66,7
Persentase
60,0
52,8
50,0 40,0
Bangunan hunian Bangunan non hunian
37,9
41,7
24,1
30,0
20,7 13,8
20,0
8,3
10,0
Ket: A : Udara yang panas B : Gangguan pada kesehatan C : Pemborosan energi untuk pendingin ruangan D : Lainnya
0,0
A
B
C
D
Dampak Urban Heat Island
Gambar 10 Persentase dampak UHI yang diketahui responden. Secara umum persepsi responden mengenai dampak UHI didominasi oleh kelompok responden pada kelompok bangunan non hunian, namun responden pada kelompok bangunan hunian cenderung lebih mengetahui dampak lain UHI dari pilihan jawaban yang diajukan. Gambar 10 memperlihatkan bahwa kelompok responden pada bangunan hunian tidak banyak mengetahui dampak dari UHI, dimana jawaban yang paling banyak dipilih oleh responden yaitu udara yang panas (37.9%). Pada kelompok bangunan non hunian mayoritas responden
34
memilih jawaban udara yang panas (66.7%) dan pemborosan energi untuk pendingin ruangan (52.8%). Dampak lain yang diketahui oleh responden yaitu dampak psikologis pada manusia akibat udara yang panas, serta dampak yang lebih bersifat global, seperti polusi udara yang menimbulkan efek rumah kaca yang kemudian merusak lapisan ozon. Dampak ini juga dikemukakan oleh Voogt (2004) dan US EPA (2006). Berdasarkan uji Chi Kuadrat dapat diketahui hubungan kelompok bangunan dengan persepsi mengenai dampak UHI, dimana nilai chi- hitung kurang dari nilai chi-tabel atau P-value lebih dari 0.01 (Tabel Lampiran 6). Artinya tidak ada pengaruh kelompok bangunan terhadap persepsi responden mengenai dampak UHI atau tidak ada perbedaan persepsi mengenai dampak UHI antara responden pada kelompok bangunan hunian dengan responden pada kelompok bangunan non hunian. Walaupun demikian, secara keseluruhan persepsi mengenai dampak UHI dipengaruhi oleh latar belakang responden yaitu jenis pekerjaan. Berdasarkan Tabel Lampiran 7 diketahui bahwa nilai chi- hitung lebih dari nilai chi-tabel atau P-value kurang dari 0.10. Artinya terdapat perbedaan persepsi mengenai dampak UHI antara responden dengan jenis pekerjaan yang berbeda. Pertanyaan lain yang diajukan berkaitan dengan persepsi mengenai UHI yaitu cara mengatasi dampak UHI yang responden ketahui. Pertanyaan ini berbentuk isian agar responden lebih bebas mengemukakan pendapat dan sarannya. Baik pada kelompok bangunan hunian maupun bangunan non hunian, persentase responden yang menjawab dan tidak menjawab pertanyaan hampir berimbang (Gambar 11).
Gambar 11 Persentase tanggapan responden untuk mengemukakan cara untuk mengatasi UHI.
35
Berdasarkan jawaban yang dikemukakan oleh responden mengenai cara untuk mengatasi UHI, diketahui bahwa sebagian besar responden mengatakan bahwa penghijauan merupakan cara yang paling baik dalam mengatasi UHI, baik dalam skala mikro (taman-taman di sekitar bangunan) maupun skala meso (hutan atau RTH kota. Gambar 12 memperlihatkan presentase jawaban mayoritas responden, yaitu 78.9% pada kelompok bangunan hunian dan 77.8% pada kelompok bangunan non hunian.
Gambar 12 Persentase jawaban responden mengenai cara untuk mengatasi UHI. Persepsi mengenai cara mengatasi UHI tidak dipengaruhi oleh kelompok bangunan, dimana nilai chi- hitung kurang dari nilai chi-tabel atau P-value lebih dari 0.10 (Tabel Lampiran 6). Artinya tidak ada perbedaan persepsi mengenai cara mengatasi UHI antara responden pada kelompok bangunan hunian dengan responden pada kelompok bangunan non hunian. Demikian juga hubungan antara persepsi mengenai cara mengatasi UHI dengan latar belakang responden. Berdasarkan Tabel Lampiran 7 diperoleh hasil bahwa dimana nilai chi- hitung kurang dari nilai chi-tabel atau P-value lebih dari 0.10, artinya latar belakang responden tidak mempengaruhi persepsinya mengenai cara mengatasi UHI. Cara lain yang dikemukakan responden yaitu lebih bersifat pengendalian pencemaran udara seperti pengurangan penggunaan bahan yang dapat merusak lapisan ozon yang berasal dari aktifitas industri maupun kendaraan bermotor, serta pemilihan bahan pada bangunan seperti pengurangan penggunaan kaca.
36
Persepsi Responden Terhadap Roof Garden Persepsi responden terhadap roof garden meliputi arti, bentuk, manfaat dan persepsi responden mengenai peran roof garden terhadap perbaikan iklim kota. Persentase persepsi responden mengenai arti roof garden dapat dilihat pada Gambar 13.
Gambar 13 Persentase persepsi responden mengenai arti roof garden. Mayoritas responden mengetahui arti roof garden, baik pada kelompok bangunan hunian maupun bangunan non hunian, namun tingkat persepsi kelompok responden pada kelompok bangunan non hunian lebih tinggi (94.4%). Berdasarkan uji Chi Kuadrat pada Tabel Lampiran 6 dapat diketahui bahwa terdapat hubungan antara kelompok bangunan dengan persepsi mengenai arti roof garden, dimana nilai chi- hitung lebih dari nilai chi-tabel atau P-value kurang dari 0.10. Artinya persepsi reponden mengenai arti roof garden dipengaruhi oleh kelompok bangunan, atau terdapat perbedaan persepsi mengenai arti roof garden antara responden pada kelompok bangunan hunian dan responden pada kelompok bangunan non hunian. Hal ini diduga karena istilah roof garden lebih populer di kalangan responden pada kelompok bangunan non hunian yang memang memiliki roof garden pada bangunannya. Berdasarkan Tabel Lampiran 8 diperoleh hasil bahwa terdapat beberapa faktor latar belakang responden yang mempengaruhi persepsinya terhadap arti roof garden, yaitu jenis kelamin, tingkat pendapatan dan pendidikan. Terdapat perbedaan persepsi antara responden laki- laki dan responden perempuan, dimana responden laki- laki lebih mengetahui arti roof garden. Demikian pula terdapat
37
perbedaan persepsi antara responden dengan tingkat pendapatan dan pendidikan yang berbeda. Persepsi responden mengenai bentuk roof garden dijawab secara bebas, agar responden dapat mengemukakan pendapatnya sesuai dengan persepsi yang dimiliki. Berdasarkan jawaban responden tersebut kemudian dipilah kelompok jawaban yang mendekati pengertian istilah roof garden sesuai referensi. Menurut Sukaton et al. (2004), secara sederhana roof garden dideskripsikan sebagai taman dimana semua unsur tanamannya ditanam tidak di atas tanah pada halaman bangunan melainkan di atas atap bangunan, dan secara lebih luas juga mencakup semua bentuk bak-bak tanaman yang diletakkan beberapa meter di atas permukaan tanah. Pada Gambar 14 dapat diketahui bahwa telah banyak dari responden yang dapat mendeskripsikan bentuk roof garden dengan benar. Mayoritas responden mengemukakan pendapatnya mengenai bentuk roof garden lebih mengarah pada fungsi estetika dan kenyamanan, namun ada sebagian kecil responden yang kurang benar dalam mendeskripsikan bentuk roof garden. Pada kelompok bangunan hunian sebanyak 48.3% menjawab dengan benar, sedangkan 44.8% lainnya tidak menjawab. Pada kelompok bangunan non hunian persentase responden yang menjawab dengan benar lebih besar yaitu 52.8% dan persentase responden yang tidak menjawab lebih kecil yaitu 19.4%, namun persentase responden yang menjawab dengan kurang benar lebih besar (27.8%).
Gambar 14 Persentase tanggapan responden mengenai bentuk roof garden.
38
Berdasarkan uji Chi Kuadrat untuk hubungan kelompok bangunan dengan persepsi mengenai bentuk roof garden diperoleh hasil nilai chi hitung kurang dari nilai chi tabel atau P-value kurang dari 0.10 (Tabel Lampiran 6). Artinya persepsi mengenai bentuk roof garden akan dipengaruhi oleh kelompok bangunan, atau terdapat perbedaan persepsi antara responden pada kelompok bangunan hunian dengan responden pada kelompok bangunan non hunian. Hal ini diduga karena responden pada bangunan non hunian lebih sering melihat roof garden pada bangunan yang mereka miliki atau kelola, atau pada bangunan tinggi lain seperti hotel, bangunan perkantoran, bangunan perdagangan dan bangunan komersil lainnya. Faktor latar belakang responden yang juga mempengaruhi persepsi responden mengenai bentuk roof garden yaitu jenis kelamin, dimana nilai chi hitung kurang dari nilai chi tabel atau P-value kurang dari 0.10 (Tabel Lampiran 8). Artinya terdapat perbedaan persepsi mengenai bentuk roof garden antara responden laki- laki dengan responden perempuan. Persepsi responden mengenai manfaat roof garden dapat dilihat pada Gambar 15. Pertanyaan ini bersifat independen sehingga responden dapat memilih lebih dari satu jawaban. Berdasarkan berbagai manfaat roof garden yang dikemukakan oleh Sukaton et al. (2004), Voogt (2004), Pramukanto (2006) dan US EPA (2006), diajukan beberapa pilihan jawaban yaitu: A) Menurunkan suhu di dalam dan di sekitar bangunan B) Memberikan keindahan visual C) Meningkatkan nilai ekonomi bangunan D) Sebagai tempat rekreasi E) Menghemat penggunaan energi listrik untuk pendingin F) Manfaat lain yang mungkin responden ketahui
39
90,0 80,0
Persentase
70,0
62,1
Bangunan hunian Bangunan non hunian
77,8
75,0
62,1
60,0 50,0
41,7
40,0 24,1
30,0
47,2
41,7 34,5
27,6
20,0
10,3 2,8
10,0 0,0
A
B C D E Manfaat Roof Garden
Ket: A : Menurunkan suhu di dalam dan di sekitar bangunan B : Memberikan keindahan visual C : Meningkatkan nilai ekonomi bangunan D : Sebagai tempat rekreasi E : Menghemat penggunaan energi listrik untuk pendingin F : Lainnya
F
Gambar 15 Persentase persepsi responden mengenai manfaat roof garden. Mayoritas responden pada kelompok bangunan hunian maupun pada kelompok bangunan non hunian menyetujui bahwa roof garden dapat menurunkan suhu di dalam dan di sekitar bangunan serta memberikan keindahan visual. Berdasarkan jawaban ini dapat disimpulkan bahwa mayoritas responden lebih mengetahui manfaat roof garden yang mendukung kenyamanan dan bersifat lokal. Berdasarkan uji Chi Kuadrat, pada Tabel Lampiran 6 dapat diketahui hubungan kelompok bangunan dengan persepsi responden mengenai manfaat roof garden. Hasil yang diperoleh yaitu nilai chi hitung kurang dari nilai chi tabel atau P-value lebih dari 0.10. Artinya kelompok bangunan tidak mempengaruhi persepsi mengenai manfaat roof garden, atau persepsi responden mengenai manfaat roof garden tidak berbeda nyata antara responden pada kelompok bangunan hunian dengan responden pada kelompok bangunan non hunian. Persepsi mengenai manfaat roof garden juga tidak dipengaruhi oleh latar belakang responden, dimana nilai chi- hitung kurang dari nilai chi-tabel atau P-value lebih dari 0.10 (Tabel Lampiran 8). Menurut US EPA (2006), pengaplikasian roof garden pada bangunanbangunan di perkotaan dapat membantu memperbaiki iklim kota. Pada Gambar 16 diperlihatkan persentase persepsi responden mengenai peran roof garden dalam perbaikan iklim kota. Pada kelompok bangunan hunian, persentase responden
40
yang mengetahui, tidak mengetahui, dan tidak menjawab hampir berimbang, sedangkan pada kelompok bangunan no n hunian mayoritas responden mengetahui peran roof garden dalam perbaikan iklim kota.
Gambar 16 Persentase persepsi responden mengenai peran roof garden dalam perbaikan iklim kota. Persepsi responden mengenai peran roof garden dalam perbaikan iklim kota dipengaruhi oleh kelompok bangunan. Pada Tabel Lampiran 6 dapat diketahui hasil uji Chi Kuadrat, dimana nilai chi- hitung lebih dari nilai chi-tabel atau P-value kurang dari 0.10. Artinya terdapat perbedaan persepsi mengenai peran roof garden dalam perbaikan iklim kota antara responden pada kelompok bangunan hunian dan responden pada kelompok bangunan non hunian. Hal ini diduga karena persepsi responden pada kelompok bangunan hunian lebih terbatas pada bangunan yang mereka tempati. Faktor latar belakang responden yang juga mempengaruhi persepsinya mengenai peran roof garden dalam perbaikan iklim kota yaitu jenis kelamin. Berdasarkan uji Chi Kuadrat diketahui bahwa nilai chi-hitung lebih dari nilai chitabel atau P-value kurang dari 0.10 (Tabel Lampiran 8). Artinya terdapat perbedaan persepsi mengenai peran roof garden dalam perbaikan iklim kota antara responden laki- laki dan responden perempuan. Preferensi Responden Terhadap Roof Garden Preferensi terhadap roof garden hanya meliputi bentuk roof garden yang diinginkan oleh responden. Pilihan jawaban yang diajukan bersifat independen sehingga responden dapat memilih lebih dari satu pilihan jawaban. Hal ini
41
dimaksudkan karena responden dapat saja menginginkan lebih dari satu bentuk roof garden untuk bangunan yang mereka miliki atau kelola. Persentase preferensi responden mengenai bentuk roof garden yang diinginkan dapat dilihat pada Gambar 17. Pilihan jawaban yang diajukan terdiri dari: A) Taman beranda B) Taman atap sederhana C) Taman atap lengkap/kompleks
70,0
Bangunan hunian Bangunan non hunian
58,3
60,0 Persentase
50,0 40,0 30,0
36,1
34,5 27,6
20,0
Ket: A : Taman beranda B : Taman atap sederhana C : Taman atap lengkap/kompleks
20,7
16,7
10,0 0,0 A
B
C
Bentuk Roof Garden yang diinginkan
Gambar 17 Persentase preferensi responden mengenai bentuk roof garden.
Mayoritas
responden
menginginkan
taman
atap
sederhana
untuk
diterapkan pada bangunan yang mereka miliki atau kelola, baik pada kelompok bangunan hunian (34.5%) maupun pada kelompok bangunan non hunian (58.3%). Hal ini diduga berkaitan dengan faktor biaya pembuatan maupun pemeliharaan. Pada kelompok bangunan hunian, persentase responden yang menginginkan taman beranda lebih tinggi daripada taman atap lengkap/kompleks, sedangkan pada kelompok bangunan non hunian persentase responden yang menginginkan taman atap lengkap/kompleks lebih tinggi daripada taman beranda. Preferensi mengenai bentuk roof garden tidak dipengaruhi oleh kelompok bangunan. Hal ini diketahui dari hasil uji Chi Kuadrat, dimana nilai chi- hitung kurang dari nilai chi-tabel atau P-value lebih dari 0.10 (Tabel Lampiran 6).
42
Artinya preferensi mengenai bentuk roof garden tidak berbeda nyata antara responden pada kelompok bangunan hunian dan responden pada kelompok bangunan non hunian. Selanjutnya uji Chi Kuadrat dilakukan untuk mengetahui hubungan preferensi mengenai bentuk roof garden dengan keterangan bangunan yang dimiliki atau dikelola oleh responden. Berdasarkan Tabel Lampiran 9 diketahui bahwa nilai chi- hitung kurang dari nilai chi-tabel atau P-value lebih dari 0.10. Artinya preferensi mengenai bentuk roof garden yang diinginkan tidak dipengaruhi oleh keterangan bangunan, atau tidak ada perbedaan preferensi antara pemilik atau pengelola bangunan denga n keterangan bangunan yang berbeda. Demikian
juga
latar
belakang
responden
tidak
mempengaruhi
preferensinya terhadap bentuk roof garden yang diinginkan. Berdasarkan Tabel Lampiran 10 diperoleh hasil bahwa latar belakang responden tidak mempengaruhi preferensi terhadap bentuk roof garden yang diinginkan, dimana seluruh nilai chihitung kurang dari nilai chi-tabel atau P-value lebih dari 0.10. Artinya preferensi mengenai bentuk roof garden tidak berbeda nyata antara responden dengan berbagai latar belakang yang berbeda.
Pengembangan Roof Garden Melalui survei yang dilakukan terhadap 65 responden yang terdiri dari 29 orang pemilik atau pengelola bangunan hunian dan 37 orang pemilik atau pengelola bangunan non hunian, dapat diketahui peta implementasi roof garden pada beberapa bangunan di DKI Jakarta. Pada kelompok bangunan hunian terdapat 10 bangunan (34.5%) yang mempunyai taman beranda dan hanya 1 bangunan (3.5%) yang memiliki taman atap yaitu pada apartemen, sedangkan pada kelompok bangunan non hunian terdapat 8 bangunan (22.2%) yang memiliki taman beranda, dan 13 bangunan (36.1%) yang memiliki taman atap (Tabel 5). Contoh gambar roof garden yang terdapat pada beberapa bangunan di DKI Jakarta dapat dilihat pada Gambar 18 sampai dengan Gambar 20, baik dala m pengertian sederhana yaitu taman atap (Gambar 18 dan Gambar 19) dan dalam pengertian yang lebih luas yaitu taman beranda (Gambar 20).
43
Gambar 18 Roof Garden Pada Gedung K FALTL Trisakti.
Gambar 19 Roof Garden Pada Harco Mangga 2 Square.
Gambar 20 Taman Beranda Pada Salah satu gedung perkantoran di Kawasan Industri Pulogadung.
44
Secara umum, sebagian besar responden tertarik untuk memiliki roof garden pada bangunan yang mereka miliki atau kelola, baik pada kelompok banguna n hunian (58.6%) maupun pada kelompok bangunan non hunian (57.7%) (Gambar 21). Pada kelompok bangunan hunian persentase responden yang tidak tertarik sama dengan persentase responden yang tidak menjawab yaitu 20.7%, sedangkan pada kelompok bangunan non hunian persentase responden yang tidak menjawab lebih besar (34.6%) daripada persentase responden yang tidak tertarik (7.7%).
Gambar 21 Persentase ketertarikan responden untuk memiliki roof garden. Berdasarkan uji Chi Kuadrat dapat diketahui bahwa ketertarikan responden untuk memiliki roof garden pada bangunan yang mereka miliki atau kelola tidak dipengaruhi oleh kelompok bangunan, dimana nilai chi- hitung kurang dari nilai chi- tabel atau P-value lebih dari 0.10 (Tabel Lampiran 6). Artinya ketertarikan responden untuk memiliki roof garden tidak berbeda nyata antara responden pada kelompok bangunan hunian dan responden pada kelompok bangunan non hunian. Ketertarikan memiliki roof garden dipengaruhi oleh jenis konstruksi, dimana nilai chi- hitung lebih dari nilai chi-tabel atau P-value kurang dari 0.10 (Tabel Lampiran 11). Artinya terdapat perbedaan faktor jenis konstruksi terhadap ketertarikan responden untuk memiliki roof garden. Hal ini diduga bahwa tingkat ketertarikan akan lebih rendah pada banguna n dengan jenis konstruksi kombinasi kayu dan tembok. Berdasarkan Tabel Lampiran 12 diketahui bahwa seluruh nilai chi- hitung kurang dari nilai chi-tabel atau P-value lebih dari 0.10. Dengan
45
demikian diketahui bahwa latar belakang responden tidak mempengaruhi ketertarikan memiliki roof garden pada bangunan yang dimiliki atau dikelola atau tidak terdapat perbedaan yang nyata antara responden dengan latar belakang yang berbeda mengenai ketertarikan memiliki roof garden. Gambar 22 memperlihatkan persentase alasan responden mengenai ketertarikan memiliki roof garden pada bangunan yang mereka miliki atau kelola. Berdasarkan alasan-alasan yang dikemukakan oleh responden secara bebas, kemudian dipilah berdasarkan empat kategori alasan yaitu: A) Alasan ekologis B) Alasan ekonomis C) Alasan estetika D) Alasan psikologis
47.4
50.0 40.0 Persentase
31.6
30.0 20.0
Bangunan hunian Bangunan non hunian
38.5 30.8
23.1
Ket: A : Ekologis B : Ekonomis C : Estetika D : Psikologis
15.8
10.0
5.3
7.7
0.0 A
B C Kategori Alasan
D
Gambar 22 Persentase alasan responden mengenai ketertarikan memiliki roof garden. Pada dasarnya tidak ada perbedaan yang nyata antara responden pada kelompok bangunan hunian dan responden pada kelompok bangunan non hunian mengenai alasan ketertarikan mereka untuk memiliki roof garden, karena berdasarkan uji Chi Kuadrat diperoleh hasil nilai chi- hitung kurang dari nilai chitabel atau P-value lebih dari 0.10 (Tabel Lampiran 6). Pada kelompok bangunan hunian, mayoritas responden tertarik memiliki roof garden dengan alasan psikologis (47.4%) yaitu bahwa roof garden dapat meningkatkan kenyamanan.
46
Pada kelompok bangunan non hunian, mayoritas responden tertarik memiliki roof garden dengan alasan estetika (38.5%) yaitu bahwa roof garden dapat meningkatkan nilai keindahan pada bangunan yang mereka miliki atau kelola. Faktor yang mempengaruhi alasan ketertarikan untuk memiliki roof garden yaitu status kepemilikan, dimana nilai chi-hitung lebih dari nilai chi-tabel atau P-value kurang dari 0.10 (Tabel Lampiran 11). Hal ini diduga bahwa bangunan dengan status kepemilikan milik sendiri akan lebih memperhatikan estetika dan kenyamanan. Berdasarkan Tabel Lampiran 12 dapat diketahui bahwa latar belakang responden tidak mempengaruhi alasan mengenai ketertarikan memiliki roof garden, dimana nilai chi- hitung kurang dari chi-tabel atau P- value lebih dari 0.10. Artinya alasan responden mengenai ketertarikan memiliki roof garden tidak berbeda nyata antara responden dengan latar belakang yang berbeda. Dalam pemeliharaan roof garden setiap pemilik atau pengelola bangunan pada umumnya mengalami kesulitan. Gambar 23 memperlihatkan persentase responden sebagai pemilik atau pengelola bangunan mengenai kesulitan dalam pemeliharaan pada roof garden di bangunan mereka.
Gambar 23 Persentase tanggapan responden mengenai kesulitan pemeliharaan roof garden pada bangunan yang dimiliki atau dikelola. Pada kelompok bangunan hunian mayoritas responden (45.5%) tidak menjawab,
sedangkan
persentase
responden
yang
mengalami
kesulitan
pemeliharaan pada roof garden di bangunan mereka yaitu 27.3%, sama dengan persentase responden yang tidak mengalami kesulitan. Demikian pula pada
47
kelompok bangunan non hunian, persentase responden ya ng mengalami kesulitan pemeliharaan pada roof garden di bangunan mereka sama dengan persentase responden yang tidak mengalami kesulitan, yaitu 47.6%. Sebagian besar responden mengalami kesulitan pemeliharaan dalam hal penyiraman dan drainase. Penyiraman pada roof garden harus dilakukan secara intensif karena lebih rawan kekeringan. Hal ini karena media tanam pada roof garden terletak pada konstruksi bangunan, bukan seperti taman yang umumnya terletak pada tanah yang mempunyai water table sebagai cadangan air. Sistem drainase yang tidak baik juga dapat menimbulkan kesulitan, terutama pada roof garden kompleks. Kesulitan tersebut diantaranya kebocoran, saluran yang mampat, dan bahkan dapat merusak konstruksi bangunan. Kekhawatiran mengenai kesulitan pemeliharaan pun dirasakan oleh responden yang tidak memiliki roof garden pada bangunannya. Sebagian besar responden kurang memiliki persepsi mengenai cara pemeliharaannya, terutama dalam hal penyiraman dan drainase. Selain itu juga terdapat kekhawatiran bahwa sistem perakaran tanaman dan kebocoran dapat merusak konstruksi bangunan. Hal yang paling umum yaitu mengenai biaya pemeliharaan yang dirasakan akan mahal. Aspek Legal dalam Pengembangan Roof Garden Setiap upaya yang dilakukan untuk memperbaiki kondisi lingkungan kota harus didukung oleh pemerintah serta dilandasi oleh kebijakan sebagai pedoman dalam pelaksanaannya. Aspek legal yang mendasari yaitu mulai dari skala lokal atau kota sampai skala nasional. Daftar produk hukum secara terstruktur dapat dilihat pada Tabel Lampiran 13. Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta periode 20002010 yang diatur dalam Peraturan Daerah (PERDA) DKI Jakarta No 6 tahun 1999 menyatakan bahwa arahan penataan ruang wilayah akan ditujukan untuk melaksanakan tiga misi utama yaitu: 1) Membangun Jakarta yang berbasis pada masyarakat;
2)
Mengembangkan
lingkungan
kehidupan
perkotaan
yang
berkelanjutan; dan 3) Mengembangkan Jakarta sebagai kota jasa skala nasional dan internasional.
48
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No 69 tahun 1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban serta Bentuk dan tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang, masyarakat harus turut berperan serta dalam pemanfaatan ruang yang berbentuk kegiatan menjaga, memelihara dan meningkatkan kelestarian lingkungan. Pernyataan ini didukung oleh Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No 2 tahun 1987 tentang Pelestarian Lingkungan Hidup bahwa pelestarian lingkungan hidup harus diupayakan untuk mengatasi tekanan, perubahan atau dampak negatif yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan. Sebagaimana tercantum dalam UU No 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup bahwa proses pembangunan yang berkelanjutan harus berwawasan lingkungan hidup, dimana pengelolaan hidup wajib dilakukan secara terpadu dalam berbagai bidang seperti penataan ruang, perlindungan sumberdaya, konservasi, keanekaragaman hayati dan perubahan iklim (Permendagri No 2 tahun 1987). Masyarakat merupakan unsur utama dalam sebuah lingkungan perkotaan, maka dari itu setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat dan juga berhak untuk berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup untuk menunjang keberlangsungan hidupnya. Selain itu masyarakat juga wajib memelihara
kelestarian
fungsi
lingkungan
hidup
serta
mencegah
dan
menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup (UU No 23 tahun 1997). Selanjutnya dicantumkan dalam UU No 23 tahun 1997 tersebut bahwa pemerintah
wajib
mewujudkan,
menumbuhkan,
mengembangkan
dan
meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab para pengambil keputusan, masyarakat, serta kerjasama antara masyarakat, dunia usaha dan pemerintah dalam upaya pelestarian lingkungan hidup. Berdasarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri) No 14 tahun 1988 tentang penataan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Wilayah Perkotaan dinyatakan bahwa dalam rangka meningkatkan kualitas hidup di perkotaan maka diperlukan upaya untuk mempertahankan dan mengembangkan kawasan hijau (RTH kota) yang dapat berupa pertamanan kota, pertanian, jalur pesisir pantai, jalur sungai, dan bentuk RTH lainnya. RTH dikembangkan sesuai kawasan
49
peruntukan ruang kota, pada tanah dengan bentang alam bervariasi, dan pada tanah yang dikuasai badan hukun atau perorangan yang tidak dimanfaatkan atau diterlantarkan. Dalam RTRW DKI Jakarta periode 2000-2010 telah ditetapkan RTH di ibukota yang terdiri dari kawasan hijau binaan dan kawasan hijau lindung yaitu 13, 9% dari luas wilayah atau sekitar 9544,81 hektar. Tujuan umum pembangunan RTH yaitu untuk mengurangi dampak langsung dari timbulnya berbagai gejala kerawanan sosial, mengurangi dampak langsung maupun tidak langsung dari penurunan kualitas tata ruang, menjaga keseimbangan ekosistem kota, serta meningkatkan harkat, martabat dan kesejahteraan masyarakat. Kegiatan pembangunan RTH kota dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah (Pemda) dan melibatkan peran serta swasta dan masyarakat. Pihak Pemda yang berwenang dalam hal ini khususnya yaitu Dinas Pertamanan, yang mempunyai fungsi diantaranya penelitian dan pengembangan pola umum pertamanan, pembinaan, pengendalian dan pengawasan taman umum rekreasi, taman pekarangan, taman bangunan umum dan taman tertentu (Keputusan Gubernur No 8 tahun 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Pertamanan DKI Jakarta). Pada struktur organisasi Dinas Pertamanan terdapat bagian yang sangat berperan dalam pengembangan bentuk RTH yaitu Seksi Perancangan dan Seksi Taman. Seksi Perancangan mempunyai tugas untuk melakukan pendataan, pengukuran, analisa teknis dan penggambaran, menentukan spesifikasi teknis dan penghitungan rencana anggaran biaya, memelihara peta-peta dan gambar, serta membuat data visual taman kota, taman bangunan umum, jaur hijau kota, keindahan kota dan pengembangan kawasan termasuk taman interaksi sosial. Seksi Taman mempunyai tugas melakukan inventarisasi dan pendataan taman kota, taman bangunan umum dan taman rekreasi. Pada penjelasan disebutkan bahwa taman bangunan umum adalah bagian dari kavling bangunan umum yang tidak dibangun berfungsi sebagai taman, termasuk taman diatap bangunan (roof garden). Hal ini menunjukkan bahwa roof garden telah tercantum sebagai salah satu bentuk RTH kota yang perlu diperhatikan. Walaupun demikian dalam pengimplementasiannya di kehidupan perkotaan ternyata belum mendapat perhatian yang besar, baik oleh masyarakat
50
maupun oleh pemerintah. Penerapan roof garden lebih banyak dilakukan oleh pihak swasta yang lebih berorientasi kepada tujuan komersil. Sebagaimana telah dikemukakan oleh Pramukanto (2006) keberadaan roof garden dapat mengoptimalkan pemberdayaan ruang yang tak termanfaatkan Pernyataan ini didukung oleh Keputusan Gubernur DKI Jakarta No 140 tahun 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Tata Kota Propinsi DKI Jakarta bahwa tanah dan bangunan harus dimanfaatkan dalam arti luas yaitu ditinjau dari pembangunan fisik dan berbagai kegiatan di atas dan dibawahnya. Berdasarkan UU No 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, suatu bangunan harus memenuhi beberapa syarat, salah satunya yaitu persyaratan arsitektur bangunan yang meliputi penampilan bangunan, tata ruang dalam, keseimbangan,
keserasian
dan
keselarasan
dengan
lingkungannya,
serta
pertimbangan keseimbangan antara nilai sosial budaya terhadap penerapan perkembangan
arsitektur
dan
rekayasa.
Persyaratan
tersebut
harus
mempertimbangkan terciptanya ruang luar bangunan dan RTH yang seimbang. Dengan demikian pemilik maupun pengguna bangunan mempunyai kewajiban untuk memelihara dan merawat bangunan secara berkala. Bangunan yang dimaksud tersebut diatas merupakan bagian dari pembangunan kawasan perkotaan yang wajib memperhatikan lingkungan sekitar, yang meliputi kawasan perumahan/pemukiman (padat, horizontal, vertikal), pusat perkantoran,
pendidikan,
olahraga,
kesenian,
tempat
ibadah,
pusat
perdagangan/perbelanjaan, hotel, dan lainnya sebagaimana tercantum dalam Keputusan Gubernur No 189 tahun 2002 tentang Jenis Usaha/Kegiatan yang Wajib Dilengkapi Dengan Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) di Propinsi DKI Jakarta. Walaupun dalam berbagai kebijakan telah disebutkan secara tidak langsung mengenai hal- hal yang berkaitan dengan upaya pengembangan RTH khususnya roof garden, namun tidak semua lapisan masyarakat mengetahui bahwa pengembangan roof garden didukung oleh pemerintah melalui kebijakankebijakan tersebut. Oleh karena itu masyarakat membutuhkan informasi yang tepat untuk mendukung mereka dalam penerapan roof garden serta kesadaran
51
akan pentingnya peningkatan kualitas lingkungan terutama untuk mengatasi fenomena UHI. Dalam hal ini Dinas Pertamanan terutama Seksi Penyuluhan/Penertiban mempunyai tugas untuk melakukan pembinaan kepada mitra kerja dan masyarakat (Keputusan Gubernur No 8 tahun 2002). Selain itu Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Propinsi DKI Jakarta terutama Bidang Pengembangan Informasi dan Kemitraan Lingkungan juga mempuyai tugas melaksanakan pengumpulan, pengolahan data dan informasi lingkungan, serta melaksanakan penyebaran informasi lingkungan kepada masyarakat (Keputusan Gubernur DKI Jakarta No 139 tahun 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Propinsi DKI Jakarta ).
Secara spesifik kewajiban pemerintah dalam memberikan informasi kepada pemilik dan pengguna bangunan yaitu melalui pembinaan baik di daerah maupun secara nasional, dimana penyelenggaraannya dilaksanakan bersama-sama dengan masyarakat yang terkait dengan bangunan. Hal ini berkaitan dengan hak pemilik dan pengguna bangunan dalam penyelenggaraan bangunan untuk mendapatkan keterangan tentang bangunan dan lingkungan yang harus dilindungi dan dilestarikan (UU No 28 tahun 2002). Walaupun demikian idealnya kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah, tanpa pelaksanaan serta penegakan hukum yang tepat maka pengembangan bentuk RTH terutama roof garden secara meluas pada setiap lapisan masyarakat akan sulit terwujud. Rekomendasi Pe ngembangan Pengembangan roof garden akan terlaksana apabila dilakukan kerjasama dari semua pihak, baik pemerintah, swasta dan masyarakat. Walaupun telah ada berbagai kebijakan yang secara tidak langsung memberikan dukungan, namun akan lebih tepat jika pemerintah menyusun suatu kebijakan yang khusus mewajibkan penerapan roof garden
pada bangunan-bangunan di perkotaan.
Selain itu juga pemerintah perlu melakukan tindakan yang konkrit dalam hal pengembangan roof garden tersebut, seperti yang telah dilakukan oleh beberapa negara seperti Jerman, Hongkong, Singapura dan Korea (Pramukanto, 2006) dan berbagai wilayah di Amerika Serikat (US EPA, 2006).
52
Gambar 24 memperlihatkan contoh roof garden pada bangunan balai kota di Atlanta Amerika Serikat.
Gambar 24 Contoh penerapan roof garden di Atlanta Amerika Serikat. (Sumber: http://www.epa.gov/heatisland)
Gambar diatas merupakan contoh roof garden tipe ekstensif dengan ciri tanaman jenis penutup tanah, media tanam yang tidak tebal, sistem irigasi dan drainase yang sederhana serta pemeliharaan yang tidak harus teratur (Tabel 1). Tipe roof garden seperti contoh diatas merupakan roof garden yang ideal bagi bangunan yang tidak menuntut pemeliharaan yang intensif, dan dalam hal biaya pembuatannya tidak terlalu mahal. Walaupun demikian fungsinya sebagai pengendali iklim mikro tetap berjalan. Maka dari itu disarankan kepada pemilik atau pengelola bangunan yang tidak tertarik memiliki roof garden dengan alasan biaya dan pemeliharaan untuk menerapkan roof garden tipe ekstensif tersebut. Tipe roof garden ini dapat pula berbentuk penempatan pot-pot tanaman sehingga tidak membutuhkan instalasi media tanam pada atap bangunan. Seksi Pengembangan Kawasan/Penghijauan Dinas Pertamanan DKI Jakarta dalam hal ini seharusnya sangat berperan dalam mengembangkan bentuk lain dari penghijauan, termasuk diantaranya roof garden. Diantara tugas seksi ini yaitu melakukan pengembangan penataan kawasan, penghijauan, pengembangan RTH di lingkungan pemukiman padat, inventarisasi dan pendataan kawasan penghijauan, serta melakukan pembinaan RTH dan taman yang dikelola oleh bandan atau instansi lain. Sosialisasi mengenai roof garden kepada masyarakat sangat penting, maka dari itu informasi harus sampai kepada masyarakat dengan cepat dan mudah. Salah satu tindakan sosialisasi telah dilakukan oleh Suku Dinas Pertanian dan
53
Kehutanan Jakarta Pusat dengan melakukan seminar mengenai roof garden dengan peserta seminar dari bangunan tinggi di wilayah Jakarta Pusat, baik bangunan yang telah memiliki roof garden maupun yang tidak memiliki roof garden. Hal ini merupakan langkah awal yang baik dan untuk selanjutnya diharapkan agar pemerintah dapat melakukan sosialisasi kepada pemilik bangunan fungsi lainnya dari berbagai ketinggian yang berbeda, serta melakuk an pengawasan dalam penerapannya. Dalam pencapaian target kebutuhan RTH dari segi kualitas maupun kuantitas diperlukan ketegasan dalam penegakan peraturan, yang dalam hal ini bukan saja menyangkut hukuman atas pelanggaran namun juga mengenai penghargaan yang akan diberikan kepada masyarakat jika mereka mendukung program pengembangan RTH khususnya roof garden. Salah satu bentuk penghargaan atau sanksi yang diberikan dapat berkaitan dengan pajak bangunan. Pemilik atau pengelola bangunan yang mempunyai roof garden pada banguna nnya diberikan keringanan pajak dibandingkan dengan bangunan yang tidak mempunyai roof garden. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan penghargaan kepada pemilik atau pengelola bangunan yang memperhatikan kualitas lingkungannya.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Secara umum persepsi masyarakat mengenai roof garden dan urban heat island telah cukup baik. Sebagian besar responden mengetahui mengenai arti, dampak dan cara mengatasi UHI, serta arti, bentuk, manfaat, dan peran roof garden dalam perbaikan iklim kota. Bentuk roof garden yang diinginkan oleh sebagian besar responden yaitu taman atap sederhana. Pengimplementasian roof garden di DKI Jakarta belum meluas. Pada kelompok bangunan hunian, dari jumlah 29 bangunan terdapat 10 bangunan (34.5 %) yang mempunyai taman beranda dan hanya 1 bangunan (3.5%) yang memiliki taman atap. Pada kelompok bangunan non hunian, dari jumlah 36 bangunan terdapat 8 bangunan (22.2%) yang memiliki taman beranda, dan 13 bangunan (36.1%) yang memiliki taman atap. Sebagian besar responden tertarik untuk memiliki roof garden. Walaupun demikian pengembangan roof garden yang telah berlangsung saat ini maupun arah pengembangan ke depan belum cukup banyak berperan dalam upaya mengatasi
fenomena
UHI,
karena
sebagia n
besar
masyarakat
lebih
mengorientasikan penerapan roof garden pada kepentingan estetika dan kenyamanan. Tidak terdapat kebijakan yang secara khusus mengatur tentang roof garden, namun terdapat berbagai kebijakan yang secara tidak langsung berkaitan dengan pengembangan roof garden. Aspek legal yang mendasari tertuang dalam berbagai produk hukum, mulai dari skala wilayah atau kota yaitu, Keputusan Gubernur Propinsi DKI Jakarta No 8 tahun 2002, Keputusan Gubernur Propinsi DKI Jakarta No 139 tahun 2001, Keputusan Gubernur Propinsi DKI Jakarta No 140 tahun 2001, dan Keputusan Gubernur Propinsi DKI Jakarta No 189 tahun 2002, sampai skala nasional yaitu Inmendagri No 14 Tahun 1988, UU No 28 tahun 2002, Permendagri No 2 tahun 1987, PP No 69 tahun 1996, dan UU No 23 tahun 1997.
55
Saran Dalam pengembangan roof garden perlu melibatkan partisipasi dari pemerintah, swasta dan masyarakat. Oleh karena itu disarankan kepada pemerintah untuk: 1. Meningkatkan sosialisasi dan penyebaran informasi kepada masyarakat luas, khususnya para pemilik atau pengelola bangunan. 2. Menyusun kebijakan yang mengatur mengenai penerapan roof garden, dan lebih jauh lagi dapat mengatur tentang penghargaan atau sanksi. 3. Melakukan penelitian dan evaluasi mengenai pengembangan roof garden, serta teknologi yang dapat diterapkan dalam pengimplementasian roof garden.
DAFTAR PUSTAKA Ambarwati, D.O. 2005. Hubungan Penggunaan Lahan dan Ruang Terbuka Hijau dengan Suhu Udara Kota Cibinong Kabupaten Bogor [laporan praktek lapang]. Bogor. IPB, Fakultas MIPA, Departemen Geofisika dan Meteorologi. Badan Pengelola Lingkungan Hid up DKI Jakarta. Neraca Kesembangan Lingkungan Hidup Daerah. 2002. http://www.bplhdJakarta.go.id/info/nkld /docs.htm [27 Juli 2006]. Branch, M.C. 1995. Perencanaan Kota Komprehensif: Pengantar dan Penjelasan. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press. 393 hal. Catanese, A.J dan James C.S. 1986. Pengantar Perancangan Kota. Jakarta. Erlangga. 455 hal. Dinas Kependudukan Dan Catatan Sipil Propinsi DKI Jakarta. 2006. http://www.kependudukansipil.go.id/index.php?content:read&o=profil [31 Juli 2006] Departemen Dalam Negeri. 1988. Instruksi Menteri Dalam Negeri No.14 tahun 1988. Pedoman tentang Penataan RTH di Wilayah Perkotaan. Tidak dipublikasikan. Irwan, Z.D. 1996. Membangun Bentuk dan Struktur Hutan Kota Untuk Mengatasi Kendala Lahan Perkotaan. Jurnal Arsitektur Lanskap Indonesia 1/1/101996 hal 6-11. Janala, Cholot. 1995. Studi Ruang Terbuka Hijau Daerah Khusus Ibukota Jakarta Berdasarkan Pendekatan Kebutuhan Oksigen [skripsi]. Bogor: IPB, Fakultas Pertanian, Jurusan Budidaya Pertanian. Karyono, T.H. 2001. Wujud Kota Tropis di Indonesia: Suatu Pendekatan Iklim, Lingkungan dan Energi. Jurnal Dimensi Teknik Arsitektur Vol 29. No 2 hal 141-146. Hardjasoemantri, K. 2000. Hukum Tata Lingkungan. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press. 603 hal. Laurie, I.C, editor. 1979. Nature in Cities: The Natural Environment in The Design and Development of Urban Green Space. John Wiley & Sons Ltd. 428p. Lembaran Negara Republik Indonesia. 1997. Undang-Undang No. 23 tahun 1997. Pengelolaan Lingkungan Hidup. http://www.ypb.or.id/lh/uu9723.html [27 Juli 2006].
57
. 2002. Undang-Undang No. 28 tahun 2002. Bangunan Gedung. http://www.pu.go.id/itjen/hukum/28-02.htm [27 Juli 2006]. . 1996. Peraturan Pemerintah No. 69 tahun 1996. Pelaksanaan Hak dan Kewajiban serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang. http://www.pu.go.id/itjen/hukum/pp69-96.htm [27 Juli 2006]. Linawati. 1995. Persepsi Masyarakat terhadap Taman Kota (Studi Kasus di Jalan Thamrin, Jakarta) [skripsi]. Bogor: IPB, Fakultas Pertanian, Jurusan Budidaya Pertanian. Miller, R.W. 1988. Urban Forestry: Planning and Managing Urban Greenspaces. New Jersey. Prentice-Hall, Inc. 404p. Neiburger, M, James G.E dan William D.B. 1995. Atmosfer Kita. ITB. 409 hal.
Memahami Lingkungan
Nasution, A.I. 1995. Studi Persepsi Masyarakat terhadap Kelestarian Taman Lingkungan (Kasus: Jakarta) [skripsi]. Bogor. IPB, Fakultas Pertanian, Jurusan Budidaya Pertanian. Pemerintah Daerah Propinsi DKI Jakarta. 1998. Peraturan Daerah No. 7 tahun 1997. Organisasi dan Tata Kerja Dinas Pertamanan dan Keindahan Kota DKI Jakarta. Tidak dipublikasikan. . 2002. Keputusan Gubernur Propinsi No. 139 tahun 2001. Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Propinsi DKI Jakarta. Tidak dipublikasikan. . 2002. Keputusan Gubernur No. 140 tahun 2001. Organisasi dan Tata Kerja Dinas Tata Kota Propinsi DKI Jakarta. Tidak dipublikasikan. . 2002. Keputusan Gubernur No. 189 tahun 2002. Jenis Usaha/Kegiatan yang Wajib Dilengkapi Dengan Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) di Propinsi DKI Jakarta. Tidak dipublikasikan. Porteous, J.D. 1977. Environment and Behaviour: Planning and Everyday Urban Life. Addison-Wesley Publishing Co. Massachussetts. 446p Pramukanto, Q. 2006. Taman Atap, “Stepping Stone” Hijau Jejaring Ekologi Kota. http:// ww.kompas.co.id/kompas_cetak/0506/02/metro/1789613.htm [20 Maret 2006]. Rosenberg, M.T. 2005. Urban Heat Islands “It Sure is Hot in The City”. http: // geography.about.com/library/weekly/aa121500a.htm [18 Desember 2005]. Sadli, S. 1976. Persepsi Sosial Mengenai Perilaku Menyimpang [thesis]. Direktorat Pendidikan Tinggi. Depdikbud.
58
Soegijanto.1998. Bangunan di Indonesia dengan Iklim Tropis Lembab Ditinjau dari Aspek Fisik Bangunan. Fakultas TI ITB. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Depdikbud. Sukaton, A, Jimmy S dan Bambang S. 2004. Panduan Rancang Bangun Roof Garden. Jakarta. Suku Dinas Pertamanan Jakarta Pusat. 71 hal. Sulistyantara, B. 2005. Materi Perkuliahan Ruang Terbuka Hijau. IPB. Bogor. Tidak Dipublikasikan. Supriyanto. 2004. Perancangan Taman Lingkungan Kawasan Padat Penduduk di Kelurahan Jatinegara Kaum, Kecamatan Pulo Gadung, Jakarta Timur [laporan magang]. Bogor. IPB, Fakultas Pertanian, Jurusan Budidaya Pertanian. Sutaat. 2005. Persepsi Legislatif Tentang Pembangunan Kesejahteraan Sosial di Daerah.http://www.depsos.go.id/Balatbang/Puslitbang%20UKS/2005/Sut aat.htm [25 September 2006] Tursilowati, L. 2004. Bandung dan Pulau Panasnya. http://www.pikiran_rakyat.com/cetak/0304/25/cakrawala/index.htm [18 Desember2005] U.S.
Environmental Protection Agency. 2006. http://www.epa.gov/heatisland [16 Juni 2006]
Heat
Island
Effect.
. Global Warming-Actions. http://www.epa.gov/globalwarming [16 Juni 2006] Voogt,
J.A. 2004. Urban Heat Islands: Hotter Cities. http://www.actionbioscience.org/environment/voogt.html [16 Juni 2006]
LAMPIRAN
Lampiran 1. Lembar Kuisioner
KUISIONER Assalamualaikum Wr Wb / Selamat Pagi / Selamat Siang, perkenalkan nama saya Juwita Apsari, mahasiswi Arsitektur Lanskap Fakultas Pertanian IPB. Saat ini saya sedang mengadakan penelitian sebagai salah satu syarat penyusunan skripsi dengan judul “Kajian Pengembangan Roof Garden di Metropolitan dalam Upaya Mengatasi Fenomena Urban Heat Island (Studi Kasus DKI Jakarta)”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tanggapan masyarakat mengenai Roof Garden (taman atap) sebagai salah satu upaya mengatasi fenomena Urban Heat Island (pulau panas perkotaan) yang saat ini menjadi permasalahan kota-kota besar di dunia. Untuk itu saya sangat mengharapkan bantuan dan kebenaran jawaban dari pertanyaan yang saya ajukan. Setelah kuis ioner ini diisi, mohon kirimkan kembali kepada saya paling lambat 2 minggu dari sekarang (amplop beserta perangko dan alamat telah dilampirkan).
Identitas Responden Nama : Jenis Kelamin: L/P Usia
:
Alamat: Agama : a) Islam b) Kristen Pekerjaan
c) Katolik d) Budha
e) Hindu f) Kepercayaan
g) Lainnya...
:
a) Pegawai Negeri b) Pegawai Swasta
c) Wiraswasta d) TNI/Polri
e) Lainnya......
Pendapatan per bulan : a) < Rp. 500.000 b) Rp. 500.000 – Rp. 1.500.000 c) Rp. 1.500.000 – Rp. 3.000.000 Pendidikan terakhir a) SD/sederajat b) SMP/sederajat
d) Rp. 3.000.000 – Rp. 5.000.000 e) Rp. 5.000.000 – Rp. 10.000.000 f) > Rp. 10.000.000
: c) SMA/sederajat d) Akademi/sederajat
e) PT/sederajat f) Tidak sekolah
60
Keterangan Bangunan (pilih salah satu) Apakah jenis bangunan yang Anda tempati? a) Tempat tinggal b) Perdagangan g) Perkantoran
c) Bangunan pendidikan d) Rumah sakit/kesehatan h) Lainnya...
e) Bangunan industri f) Hotel
Berapakah jumlah lantai dari bangunan Anda? a) 1-2 lantai b) 3-5 lantai
c) > 5 lantai
Apakah status kepemilikan dari bangunan Anda? a) Milik sendiri b) Milik bersama
c) Mengontrak/sewa d) Lainnya...........
Apakah jenis konstruksi bangunan Anda? a) Kayu b) Tembok
c) Kombinasi kayu/tembok
Apakah jenis atap pada bangunan Anda? a) Genting b) Seng/asbes
c) Dak semen d) Kombinasi
Apakah terdapat beranda pada bangunan Anda? Ya/Tidak* Fasilitas taman yang dimiliki (pilihan boleh lebih dari satu): a) Taman di halaman bangunan b) Taman beranda
c) Taman atap
Persepsi Mengenai Urban Heat Island (Pulau Panas Perkotaan) Apakah Anda mengetahui arti urban heat island? Ya/Tidak* Jika ya, apa dampak urban heat island yang Anda ketahui? (pilihan boleh lebih dari satu) a) b) c) d)
Udara yang panas Gangguan pada kesehatan Pemborosan energi untuk pendingin ruangan Lainnya………...
Bagaimana cara mengatasi urban heat island yang Anda ketahui?.............
Persepsi Mengenai Roof Garden (Taman Atap) Apakah Anda mengetahui arti Roof Garden? Ya/Tidak* Dalam benak Anda, bagaimana bentuk Roof Garden?............
61
Apa manfaat Roof Garden yang Anda ketahui? (pilihan boleh lebih dari satu) a) Menurunkan suhu di dalam dan di sekitar bangunan b) Memberikan keindahan visual c) Meningkatkan nilai ekonomi bangunan d) Sebagai tempat rekreasi e) Menghemat penggunaan energi listrik untuk pendingin f) Lainnya.... Apakah Anda mengetahui peran Roof Garden terhadap perbaikan iklim kota? Ya/Tidak*
Preferensi Mengenai Roof Garden Bagaimana bentuk Roof Garden yang Anda inginkan? (pilih salah satu) a) Taman beranda b) Taman atap sederhana (penempatan pot, jenis tanaman yang banyak, tidak ada fasilitas) c) Taman atap lengkap/kompleks
Jika Anda memiliki Roof Garden pada bangunan Anda, apakah Anda mengalami kesulitan dalam pemeliharaannya?Ya/Tidak* Jika Ya, sebutkan.................
Jika Anda tidak memiliki Roof Garden pada bangunan Anda, apakah Anda tertarik untuk memilikinya di kemudian hari? Ya/Tidak* Kemukakan alasannya...............
* coret yang tidak perlu Jika Anda memiliki taman seperti yang dimaksud di atas, dapatkah saya memperoleh gambar/foto untuk melengkapi laporan ini? (boleh dalam bentuk foto cetak atau file digital). Foto dapat dilampirkan kedalam amplop atau dikirimkan melalui email (
[email protected]) * Terimakasih *
62
Lampiran 2. Kuisioner Online
Halaman Index
Halaman Kuisioner
Halaman Database Jawaban
63
Halaman Kendali
Tabel Lampiran 3. Data Iklim DKI Jakarta dan Bogor
Iklim rata-rata tahunan DKI Jakarta Suhu (°C) Wilayah
Tahun 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
Utara 27.5 27.9 27.8 28.2 28.6 27.8 28.1 29.0 28.4 28.7 28.7
Timur 26.8 27.2 26.8 27.4 27.5 26.9 27.1 27.0 27.7 27.5 27.7
Pusat 27.8 27.8 27.8 28.2 27.9 27.6 27.9 27.8 28.5 28.5 28.6
Kelembaban (%) Wilayah Barat 26.4 26.6 26.6 26.9 27.5 26.9 27.1 27.2 27.4 27.5 27.0
Selatan 26.8 27.1 27.1 27.7 27.8 27.2 27.3 27.2 27.7 27.8 27.7
Utara 72.6 74.0 75.5 71.0 74.1 72.8 72.7 72.2 70.1 71.1 73.3
Timur 77.7 79.7 83.3 75.7 81.0 78.0 78.2 76.7 76.8 77.0 78.6
Pusat 73.8 77.7 69.0 72.6 77.3 76.2 77.4 76.9 77.9 73.9 73.8
Barat 81.0 84.1 83.0 79.5 83.9 85.5 86.0 86.8 83.4 80.5 77.7
Curah hujan (mm)
Intensitas matahari (%)
Wilayah
Wilayah
Tahun
Selatan 77.6 80.7 81.8 75.6 82.1 80.6 80.8 82.4 79.4 78.0 78.7
Utara
Timur
Pusat
Barat
Selatan
Utara
Timur
Pusat
Barat
Selatan
1994 1995
1426.8 1627.5
1920.0 2946.0
1556.2 1946.0
1439.0 2047.0
1488.0 2579.0
50.9 49.8
60.5 56.1
43.4 45.5
-
53.1 50.9
1996 1997 1998 1999
2226.6 1199.4 1721.2 1507.1
2297.8 1253.2 2346.6 1930.2
2436.7 594.6 2107.9 1780.4
2024.0 1075.7 1664.2 1471.8
3005.3 1688.6 2663.8 2518.6
46.4 61.7 39.9 53.7
32.5 30.3 -
48.4 52.3 30.7 30.0
-
52.0 60.4 48.2 54.0
2000 2001 2002
1424.0 1898.6 1671.6
1905.3 2595.6 2528.8
1559.0 2029.5 1580.9
1573.0 1435.5 2144.9
2035.0 2385.0 2599.7
47.9 51.4 58.3
-
47.6 51.3 58.5
-
53.9 50.2 58.4
2003
1253.9
1969.9
1490.3
703.8
2381.6
59.8
-
64.3
-
56.7
2004
1682.8
2094.7
1967.9
1344.0
2489.6
61.1
-
62.4
-
57.6
(Sumber: BMG Balai Wilayah II Jakarta, 2006)
Suhu maksimum dan minimum DKI Jakarta dan Bogor Suhu Maksimum (°C) Tahun
1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
Jakarta Utara 33.6 34.3 35.0 35.0 35.5 34.7 35.0 35.3 35.1 35.4 35.4
Jakarta Timur 34.3 34.1 33.6 34.5 34.5 33.6 33.9 34.4 34.3 34.2 34.3
Wilayah Jakarta Jakarta Pusat Barat 33.7 33.1 33.4 32.9 33.2 33.1 33.6 33.4 33.8 34.2 33.1 33.9 33.6 34.0 34.1 34.1 34.3 34.3 34.8 34.6 35.1 33.7
Suhu Minimum (°C) Jakarta Selatan 34.1 34.6 34.5 35.5 35.1 34.3 34.7 34.6 35.0 35.2 35.2
(Sumber: BMG Balai Wilayah II Jakarta; BMG Bogor)
Bogor 30.9 31.4 31.6 31.9
Jakarta Utara 23.1 23.6 23.2 23.3 23.8 23.3 23.6 23.6 23.6 23.8 23.5
Jakarta Timur 22.9 23.3 23.1 23.5 23.8 21.8 23.7 23.3 23.8 22.0 23.9
Wilayah Jakarta Jakarta Pusat Barat 21.1 20.5 22.3 21.7 22.0 21.6 21.6 20.9 22.1 21.9 22.0 21.6 22.3 22.2 22.7 21.8 22.2 21.7 22.1 22.3 22.5 22.1
Jakarta Selatan 21.6 22.2 20.5 21.2 22.7 21.0 22.3 22.0 22.1 22.1 21.1
Bogor 22.6 22.7 22.7 22.6
66
Lampiran 4. Contoh Jenis Bangunan Bangunan Hunian
Bangunan Apartemen
Bangunan Rumah Tinggal
67
Bangunan Non Hunian
Bangunan Perkantoran
Bangunan Perdagangan
Bangunan Hotel
68
Bangunan Non Hunian (lanjutan)
Bangunan Industri
Bangunan Rumah Sakit
Bangunan Pendidikan
69
Tabel Lampiran 5. Daftar Nama dan Alamat Responden
Kategori Bangunan Hunian No
Kategori Bangunan
Nama Responden
1
Apartemen
T Desky Arifin
2
Apartemen
Purwanto
3
Apartemen
Nien Novitasari
4
Rumah Tinggal
5
Rumah Tinggal
Hudaya
6 7
Rumah Tinggal Rumah Tinggal
Endro AS Kistizal
Komplek Mako Akabri Rt 008/003 Jatinegara Pulogadung Komplek Setneg Sunter Podomoro Jl Salemba Raya 18
8
Rumah Tinggal
Trida zamardi
Jl Salemba
9
Rumah Tinggal
Andri Y. Setiadi
Jl. Cipinang Jaya GG Kav.85-86
10 11
Rumah Tinggal Rumah Tinggal
Atrida Surya Sofian
12
Rumah Tinggal
E Sukandar
13
Rumah Tinggal
14
Rumah Tinggal
Drg. Artiani Soelistiowati Dyah D
15
Rumah Tinggal
Yan Susyandani
16
Rumah Tinggal
Lemana Ruswan
Cempaka Putih Tengah Jl Cempaka Putih Tengah 27B No E34 Jakarta Pusat 10510 Jl Cempaka Putih Tengah 27A/E25 Jakarta 10510 Jl Cempaka Putih Tengah 13/11A Jakarta Pusat 10510 Jl Botin Komplek Ditkesad C-5 Jakarta Timur Jl Cipta Guna Blok B No 9 Komp. Pondok Gede Housing I 17414 Cipinang Muara Jakarta Timur
17
Rumah Tinggal
Rudy A
18 19
Rumah Tinggal Rumah Tinggal
Budi Lim Marco Hadiwana
20
Rumah Tinggal
Priskila
21
Rumah Tinggal
Emil S
22
Rumah Tinggal
Lenny
23
Rumah Tinggal
Fadhol
-
Alamat Apartemen Brawijaya Jl Brawijaya XII No 1 Jakarta Apartemen Eksekutif Menteng Jl Pegangsaan Barat Kav -12 Menteng Jakarta Pusat Casablanca Mansion Jl Raya Casablanca kav 9 Jakarta Jl Wirajasa Jakarta Timur
Jl Persada 12A Menteng Dalam Jakarta Selatan Taman Alfa Indah Blok H5/5 Kemanggisan Utara 7 No 70 Jakarta Barat Bukit Duri Selatan VIII/25 Rt 05/04 Jakarta Selatan Bangka 2A no 10 Mampang Pela Jakarta Selatan Kelapa Gading Jl Gading Elok Barat II Blok CD 1/2 Jakarta Utara Kebon Nanas Selatan I Jakarta Timur
70
Kategori Bangunan Hunian (Lanjutan) No
Kategori Bangunan
Nama Responden
Alamat
24
Rumah Tinggal
Fardy
Jl Mahoni Jakarta Pusat
25
Rumah Tinggal
Lilis N S
Kalibaru Timur V Jakarta Pusat
26
Rumah Tinggal
Suhandi
Jl Ashira Rt 06/01 No 19B Kebon Jeruk Jakarta Barat
27
Rumah Tinggal
Mulice
Bumi Nasio Indah Blok B8/2 Jatiasih, Pondok Gede Jakarta Timur
28
Rumah Tinggal
Safitri
Jl Karet Ps Baru Barat 1 No 33 Jakarta Pusat
Kategori Bangunan Non Hunian No
Kategori Bangunan
Nama Responden
1
Bangunan Industri
Drs Arifin
2
Bangunan Industri
Rachmat Aryanto
3
Bangunan Industri
Asep Siswandi
4
Bangunan Industri
Masturi AS
5
Perdagangan
6
Perdagangan
Abdul Somad
PD Pasar Jaya (Pasar Hias Rias Cikini) Jl Cikini Raya No 90 Jakarta Pusat
7
Perdagangan
Ir Yoyo Budiman
Mangga 2 Square Jl Gunung Sahari Raya No 1 Jakarta Utara
8
Perkantoran
Dicky Julian
E-Trade Building Jl. Wahid Hasyim No 55 Jakarta 10350
9
Perdagangan
Wagiran
PD Pasar Jaya Pasar Senen Blok 3
-
Alamat PT Rheem Indonesia Jl Pulo Gadung Kav 33 Kawasan Industri Pulogadung PT Traktor Nusantara Jl Pulogadung Raya No 32 Kawasan Industri Pulogadung Jakarta 13930 PT Mitra Pratama Listrindo Jl Pulogadung No 21 Kawasan Industri Pulogadung PT Tira Austenite Tbk Jl Pulo Ayang kav RI Kawasan Industri Pulogadung Jakarta 13930 Blok M Plaza
71
Kategori Bangunan Non Hunian (Lanjutan) No
Kategori Bangunan
Nama Responden
10
Perkantoran
Siba Payungle
11
Perkantoran
Hayanis AS
12
Perkantoran
Edi Kusmayadi
13
Perkantoran
Dachlan A
14
Perkantoran
Moh Masyhuri
15
Perkantoran
Bakri
16
Perkantoran
Arie Vincent
17
Perkantoran
Nenny Nurhaeni
18
Perkantoran
M Saiful A
19
Perkantoran
Seidjianto
20
Perkantoran
Ninik Resmi
21
Perkantoran
Eko DP
Merpati Building Kemayoran Jakarta Pusat
22
Perkantoran
Evi Herawaty
Gedung Garuda Indonesia Jl Gunung Sahari Raya 53 Jakarta Pusat
23
Perkantoran
Brotoseno
24
Perkantoran
Santi
25
Rumah Sakit
PT Astra Agro Lestari Jl Pulo Ayang Raya Kawasan Industri Pulogadung Jakarta Timur PT JIEP Jl Pulokambing no 1 Kawasan Industri Pulogadung Jakarta Timur RS Kramat 128 Jl Kramat Raya No 128 Jakarta 10430
-
Alamat Wisma Manulife Indonesia Jl. Pegangsaan Timur No 1A Jakarta Pusat 10320 Gedung Bangun Cipta Jl. Gatot Subroto 54 Jakarta Pusat Menara Era Jl Senen Raya No 135-137 Jakarta Pusat Plaza Permata Jl MH Thamrin 57 Jakarta Pusat Jl MH Thamrin No 8-9 Jakarta Pusat Wisma EkaJiwa Jl Mangga Raya Jakarta Pusat Plaza BII Jl MH Thamrin No 51 Jakarta Pusat PT Dian Graha Elektrika Jl Rawa Gelam III No 8 Kawasan Industri Pulogadung Jakarta Timur Jl HR Rasuna Said Kav X-O PT Sky Inc Jl Thamrin No 9 Jakarta Pusat Gedung BPPT Jl MH Thamrin No 8 Jakarta Pusat
72
Kategori Bangunan Non Hunian (Lanjutan) No
Kategori Bangunan
Nama Responden
26
Rumah Sakit
27
Rumah Sakit
Adriannas DCL
RSU FK UKI Jl Mayjen Sutoyo Cawang Jakarta Timur
28
Rumah Sakit
Ir Bambang
RS Medistra Jl. Gatot Soebroto Kav.59 Jakarta Selatan
29
Hotel
Sinung Mulyanto
30
Hotel
Eryanto
Millenium Hotel Sirih Jakarta Jl Fachruddin No 3 Hotel Oasis Amir Jl Senen Raya 135-137
31
Hotel
Lukmanto
Hotel Saripan Pasific Jl MH Thamrin No 6
32
Hotel
Dedi JS
33
Hotel
Budiman
Mandarin Orienta l JKT Jl MH Thamrin Jakarta Pusat Hotel Nikko Jl MH Thamrin 59 Jakarta Pusat
34
Bangunan Pendidikan Rustam Hakim
Gedung K Univ Trisakti Jl. Kiai Tapa No 1 Jakarta Barat 11440
35
Bangunan Pendidikan Munasyarifah
SD Percontohan 02 Menteng Jl Tegal No 10 Jakarta Pusat
-
Alamat RS Sint Carolus Jl Salemba Raya 41 Jakarta Pusat
73
Tabel Lampiran 6. Hubungan kelompok bangunan dengan persepsi dan preferensi responden
Persepsi dan Preferensi Persepsi tentang UHI
Persepsi tentang roof garden
DF
P-value
Chi-tabel
Chi-hitung
Arti UHI Dampak UHI
2 3
0.06 0.43
4.61 6.25
5.78 2.79
Cara mengatasi UHI
1 2 2 5 2
0.92 0.00 0.03 0.68 0.02
2.71 4.61 4.61 9.24 4.61
0.01 10.75 7.22 3.11 7.56
Arti roof garden Bentuk roof garden Manfaat roof garden Peran roof garden
Preferensi tentang roof garden
Bentuk roof garden yang diinginkan
2
0.23
4.61
2.95
Ketertarikan memiliki roof garden
Tertarik
2
0.18
4.61
3.41
Alasan
3
0.72
6.25
1.34
Tabel Lampiran 7. Hubungan latar belakang responden dengan persepsi terhadap Urban Heat Island
Persepsi
Arti UHI
Dampak UHI
Cara Mengatasi UHI
Latar Belakang Jenis Kelamin Usia Agama Pekerjaan Pendapatan Tingkat Pendidikan Jenis Kelamin Usia Agama Pekerjaan Pendapatan Tingkat Pendidikan
DF P-value 4 0.37 4 0.35 6 0.55 8 0.82 12 0.00 10 0.07 6 0.34 6 0.74 9 0.48 12 0.08 15 0.41 9 0.59
Chi-tabel 7.78 7.78 10.64 13.36 18.55 15.99 10.64 10.64 14.68 18.55 22.31 14.68
Chi-hitung 4.25 1.45 4.91 4.37 37.96 17.15 6.81 3.55 8.58 19.37 15.56 7.41
Jenis Kelamin
2
0.68
4.61
0.76
Usia
2
0.47
4.61
1.50
Agama
3
0.46
6.25
2.57
Pekerjaan Pendapatan Tingkat Pendidikan
4 5 3
0.61 0.41 0.85
7.78 9.24 6.25
2.69 5.02 0.80
74
Tabel Lampiran 8. Hubungan latar belakang responden dengan persepsi terhadap roof garden
Persepsi
Arti roof garden
Bentuk roof garden
Manfaat roof garden
Peran roof garden dalam perbaikan iklim kota
Latar Belakang Jenis Kelamin Usia Agama Pekerjaan Pendapatan Tingkat Pendidikan Jenis Kelamin Usia Agama Pekerjaan Pendapatan Tingkat Pendidikan Jenis Kelamin Usia Agama Pekerjaan Pendapatan Tingkat Pendidikan Jenis Kelamin Usia Agama Pekerjaan Pendapatan Tingkat Pendidikan
DF 4 4 6 8 12 6 4 4 6 10 12 6 10 10 15 20 30 15 4 4 6 8 12 6
P-value 0.07 0.29 0.61 0.17 0.00 0.04 0.99 0.04 0.74 0.92 0.53 0.15 0.99 0.89 0.93 0.95 1.00 0.69 0.01 0.14 0.10 0.52 0.11 0.30
Chi-tabel 7.78 7.78 10.64 13.36 18.55 10.64 7.78 7.78 10.64 15.99 18.55 10.64 15.99 15.99 22.31 28.41 40.26 22.31 7.78 7.78 10.64 13.36 18.55 10.64
Chi-hitung 8.60 5.02 4.52 11.54 39.34 13.20 0.22 10.00 3.54 4.59 10.95 9.40 2.56 5.06 7.90 10.94 9.90 11.80 12.71 6.89 10.55 7.17 18.25 7.25
75
Tabel Lampiran 9. Hubungan keterangan bangunan dengan preferensi terhadap roof garden Preferensi
Keterangan Bangunan
DF
P-value
Chi-tabel
Chi-hitung
16
0.16
23.54
21.39
Jumlah lantai
4
0.13
7.78
7.07
Status kepemilikan
6
0.86
10.64
2.61
Jenis konstruksi
4
0.20
7.78
6.02
Jenis atap
6
0.28
10.64
7.43
Keberadaan beranda
4
0.37
7.78
4.27
Fasilitas taman yang dimiliki
4
0.50
7.78
3.33
Jenis Bangunan Bentuk roof garden yang diinginkan
Tabel Lampiran 10. Hubungan latar belakang responden dengan preferensi terhadap roof garden Preferensi
Bentuk roof garden yang diinginkan
Latar Belakang
DF P-value
Chi-tabel
Chi-hitung
Jenis Kelamin
4
0.86
7.78
1.29
Usia
4
0.55
7.78
3.06
Agama
6
0.85
10.64
2.69
Pekerjaan
8
0.93
13.36
3.03
12
0.52
18.55
11.13
6
0.98
10.64
1.14
Pendapatan Tingkat Pendidikan
76
Tabel Lampiran 11. Hubungan keterangan bangunan dengan ketertarikan memiliki roof garden
Ketertarikan
Keterangan Bangunan
DF
P-value
Chi-tabel
14
0.93
21.06
7.20
4
0.24
7.78
5.52
6
0.37
10.64
6.52
4
0.07
7.78
8.71
Jenis atap
6
0.97
10.64
1.38
Keberadaan beranda
4
0.10
7.78
7.73
Fasilitas taman yang dimiliki
4
0.10
7.78
7.86
18
0.58
25.99
16.20
Jumlah lantai
6
0.81
10.64
3.00
Status kepemilikan
6
0.06
10.64
12.14
Jenis konstruksi
6
0.17
10.64
9.12
Jenis atap
9
0.62
14.68
7.15
Keberadaan beranda
6
0.48
10.64
5.50
Fasilitas taman yang dimiliki
6
0.95
10.64
1.63
Jenis Bangunan Jumlah lantai Memiliki roof Status kepemilikan garden Jenis konstruksi
Jenis Bangunan
Alasan ketertarikan
Tabel Lampiran 12.
Ketertarikan Memiliki roof garden
Alasan Ketertarikan
Chi-hitung
Hubungan latar belakang responden ketertarikan memiliki roof garden
Latar Belakang
dengan
DF
P-value
Chi-tabel
Chi-hitung
4 4 6 8 12 6 6 6
0.24 0.81 0.54 0.53 0.50 0.58 0.34 0.57
7.78 7.78 10.64 13.36 18.55 10.64 10.64 10.64
5.53 1.59 5.00 7.09 11.37 4.72 6.84 4.78
9
0.96
14.68
3.20
Pekerjaan
12
0.30
18.55
14.07
Pendapatan
18
0.61
25.99
15.70
9
0.65
14.68
6.88
Jenis Kelamin Usia Agama Pekerjaan Pendapatan Tingkat Pendidikan Jenis Kelamin Usia Agama
Tingkat Pendidikan
Tabel Lampiran 13. Produk Hukum Yang Berkaitan dengan Pengembangan Roof Garden dan Upaya Mengatasi Fenomena Urban Heat island No 1
2
Nama Produk Hukum Inmendagri No 14 Tahun 1988 Pedoman Tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Wilayah Perkotaan
Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No 8 tahun 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Pertamanan Propinsi DKI Jakarta
BAB
Isi
Pendahuluan
“ Dalam rangka meningkatkan kualitas hidup di wilayah perkotaan yang mencakup bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan yang terkandung di dalamnya, maka diperlukan upaya untuk mempertahankan dan mengembangkan kawasan-kawasan hijau. Pengembangan RTH di wilayah kota dititikberatkan pada hijau sebagai unsur kota baik produktif maupun non produktif dapat berupa kawasan hijau pertamanan kota, kawasan hijau pertanian, kawasan hijau jalur pesisir pantai, kawasan jalur sungai dan bentuk RTH lainnya.”
Bab V Kriteria Umum
Letak Lokasi RTH: a) RTH dikembangkan sesuai dengan kawasan-kawasan peruntukan ruang kota b) Pada tanah dengan bentang alamnya bervariasi c) Pada tanah di wilayah perkotaan yang dikuasai Badan Hukum atau perorangan yang tidak dimanfaatkan dan atau diterlantarkan
Bab VI Wewenang dan Pengelolaan RTH Kota
2a) Pelaksanaan kegiatan pembangunan RTH kota selain dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah juga menuntut peran serta swasta dan masyarakat.
Seksi Perancangan bertugas untuk: (1) Melakukan pendataan, pengukuran, analisa teknis dan penggambaran taman kota, taman bangunan umum, jalur hijau kota, keindahan kota dan pengembangan kawasan termasuk taman interaksi sosial; (2) Menentukan spesisikasi teknis dan penghitungan rencana anggaran biaya taman kota, taman bangunan umum, jalur hijau kota, keindahan kota dan pengembangan kawasan;
No
Nama Produk Hukum
BAB
Isi (3) Memelihara peta-peta dan gambar taman kota, taman bangunan umum, jalur hijau kota, keindahan kota dan pengembangan kawasan; (4) Membuat data visual taman kota, taman bangunan umum, taman lingkungan dan kawasan serta taman interaksi sosial. Seksi Taman bertugas untuk: (1) Melakukan inventarisasi dan pendataan taman kota, taman bangunan umum dan taman rekreasi; (2) Melakukan pembangunan, rehabilitasi, penataan dan pemeliharaan taman-taman beserta kelengkapannya; (3) Melaksanakan pembangunan dan pengembangan taman interaksi sosial; Seksi Penyuluhan/Ketertiban bertugas untuk: (1) Melakukan penyidikan terhadap pelanggaran peraturan daerah tentang taman dan jalur hijau (2) Melakukan pembinaan mitra kerja (3) Melakukan kegiatan koordinasi penyuluhan di bidang teknis pertamanan dan keindahan kota (4) Melakukan pembinaan masyarakat, pengelolaan taman di taman kota yang berada di jalur hijau maupun taman Seksi Pengembangan Kawasan/Penghijauan bertugas untuk: (1) Melakukan pengembangan penataan kawasan (2) Melakukan pengembangan ruang terbuka hijau di lingkungan pemukiman padat (3) Melakukan inventarisasi dan pendataan kawasan penghijauan (4) Melakukan pembinaan ruang terbuka hijau dan taman yang dikelola oleh badan atau instansi lain
No
Nama Produk Hukum
BAB
Isi
3
Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No 139 tahun 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Propinsi DKI Jakarta
Bagian ke-7 Bidang Pengembangan Informasi dan Kemitraan Lingkungan Pasal 23 (1) Tugas Subbidang Pengembangan Informasi : a) melaksanakan pengumpulan , pengolahan data dan informasi lingkungan; d) melaksanakan penyebaran informasi lingkungan kepada masyarakat
4
Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No 140 tahun 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Tata Kota Propinsi DKI Jakarta
Bab I Ketentuan Umum
Pasal 1 (19) Penggunaan tanah dan bangunan adalah pemanfaatan tanah dan bangunan dalam arti luas, ditinjau dari pembangunan fisik dan berbagai bentuk kegiatan di atas dan di bawahnya. (22) Perbaikan lingkungan adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik yang mengakibatkan lingkungan berfungsi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan.
5
Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No 189 tahun 2002 tentang Jenis Usaha/Kegiatan yang Wajib Dilengkapi Dengan Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) di Propinsi DKI Jakarta
Bab II Bidang Prasarana Wilayah
9) Pembangunan Kawasan Perumahan/pemukiman (kawasan padat, horizontal, vertikal) 14) Pembangunan pusat perkantoran, pendidikan, olahraga, kesenian, tempat ibadah, pusat perdagangan/perbelanjaan relatif terkonsentrasi
Bab X Bidang Perindustrian dan Perdagangan
B) Perdagangan 5) Pusat Pertokoan/Perdagangan
No 6
Nama Produk Hukum UU No 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung
BAB
Isi
Bab IV Bagian Ketiga Persyaratan Persyaratan Tata Bangunan Bangunan Gedung Paragraf 3 Persyaratan Arsitektur Bangunan Gedung Pasal 14 (1) Persyaratan arsitektur bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) meliputi persyaratan penampilan bangunan gedung, tata ruang dalam, keseimbangan, keserasian, dan keselarasan bangunan gedung dengan lingkungannya, serta pertimbangan adanya keseimbangan antara nilai-nilai sosial budaya setempat terhadap penerapan berbagai perkembangan arsitektur dan rekayasa. (4) Persyaratan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan bangunan gedung dengan lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus mempertimbangkan terciptanya ruang luar bangunan gedung, ruang terbuka hijau yang seimbang, serasi, dan selaras dengan lingkungannya Bab V Penyelenggaraan Bangunan Gedung
Bagian Keenam (1) Hak dan Kewajiban Pemilik dan Pengguna Bangunan Gedung Pasal 41 (1) Dalam penyelenggaraan bangunan gedung, pemilik dan pengguna bangunan gedung mempunyai hak : (e) mendapatkan keterangan tentang bangunan gedung dan/atau lingkungan yang harus dilindungi dan dilestarikan. (2) Dalam penyelenggaraan bangunan gedung, pemilik dan pengguna bangunan gedung mempunyai kewajiban: (b) memelihara dan/atau merawat bangunan gedung secara berkala
No
Nama Produk Hukum
BAB
Isi
7
Permendagri No 2 tahun 1987 tentang Pelestarian Lingkungan Hidup
Pasal 1 (7) Pelestarian daya dukung lingkungan hidup adalah rangkaian upaya untuk melindungi kemampuan lingkungan hidup terhadap tekanan atau perubahan dan/atau dampak negatif yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan, agar tetap mampu mendukung perikehidupan manusia dan mahkluk hidup lain Pasal 9 (3) Pengelolaan lingkungan hidup wajib dilakukan secara terpadu dengan penataan ruang, perlindungan sumber daya alam non hayati, sumberdaya buatan, konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, cagar budaya, keanekaragaman hayati dan perubahan iklim.
8
PP No 69 tahun 1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban serta bentuk dan tata cara peran serta masyarakat dalam Penataan Ruang
Pasal 13 Peran serta masyarakat dalam pemanfaatan ruang dapat berbentuk kegiatan menjaga, memelihara dan meningkatkan kelestarian lingkungan
9
UU No 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
Bab I Ketentuan Umum
Pasal 1(3) Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup adalah upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber daya, ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan;
No
Nama Produk Hukum
BAB Bab III Hak, Kewajiban, Dan Peran Masyarakat
Bab IV Wewenang Pengelolaan Lingkungan Hidup
Isi Pasal 5 (1) Setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan
sehat. (2) Setiap orang mempunyai hak atas informasi lingkungan hidup yang berkaitan dengan peran dalam pengelolaan lingkungan hidup. (3) Setiap orang mempunyai hak untuk berperan dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 6 (1) Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup. (2) Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban memberikan informasi yang benar dan akurat mengenai pengelolaan lingkungan hidup. Pasal 10 Dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup Pemerintah berkewajiban: (a) Mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan dan meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab para pengambil keputusan dalam pengelolaan lingkungan hidup; (b) Mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan, dan meningkatkan kesadaran akan hak dan tanggung jawab masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup; (c) Mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan dan meningkatkan kemitraan antara masyarakat, dunia usaha dan Pemerintah dalam upaya pelestarian daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup; (g) Menyelenggarakan penelitian dan pengembangan di bidang lingkungan hidup; (h) Menyediakan informasi lingkungan hidup dan menyebarluaskannya kepada masyarakat;