KAJIAN NILAI TAMBAH PRODUK PANGAN OLAHAN UBIKAYU DI KABUPATEN TULUNGAGUNG Rita Hanafie 1* dan Triana Dewi Hapsari2 1) Fakultas Pertanian Universitas Widyagama Malang Jl. Borobudur 35 Malang 65128, Telp. 0341-492282 2) Fakultas Pertanian Universitas Jember, Jl. Kalimantan Jember *) e-mail:
[email protected]
ABSTRAK Ketergantungan masyarakat pada pangan pokok beras perlu dikurangi, dengan cara meningkatkan citra pangan lokal berbasis ubikayu. Kajian bertujuan untuk mengetahui nilai tambah dan strategi pengembangan pengusahaan produk olahan ubikayu sebagai pengganti/ pelengkap pangan pokok di Kabupaten Tulungagung. Pengambilan contoh menggunakan metode Snowball Sampling. Teknik analisis data menggunakan analisis biaya (C) dan pendapatan; analisis nilai tambah dan force field analysis (FFA). Hasil kajian menunjukkan bahwa pangan olahan ubi kayu sebagai pengganti/pelengkap pangan pokok di Kabupaten Tulungagung adalah gatot dan tiwul. Pengolahan gatot mempunyai nilai R/C 1,38 dengan nilai tambah sebesar Rp830,60 per kg bahan baku, sementara pengolahan tiwul mempunyai nilai R/C 1,19 dengan nilai tambah Rp766,35 per kg bahan baku. Berdasarkan faktor kunci pendorong dan penghambat, maka strategi pengembangan usaha yang direkomendasikan adalah menarik peran lembaga keuangan, baik bank maupun non-bank, dalam pengembangan agroindustri berbasis ubikayu. Kata kunci: nilai tambah, produk olahan, ubikayu
ABSTRACT Evaluation on added value of processed product of cassava in tulungagung district. Peoples dependance on rice as the staple food need to be reduced, by improve the image of local food based on cassava. Study aims to know the added value and development strategy for processed product of cassava agroindustry as substitution/complement of staple food in Tulungagung District. Sampling with Snowball Sampling Method. Data analysing with cost (C) and revenue (π) added value analysis and force field analysis (FFA). Studies result said that processed product of cassava as staple food subtitution/complement in Tulungagung District is gatot and tiwul. Gatot processing factory has R/C ratio value is 1,38, with added value is Rp830,60/kg raw material, while tiwul processing factory has R/C ratio value is 1,19, with added value is Rp766,35/kg raw material. Based on success drivers and inhibitors key factor, the recomended strategy for business development is attracting role of financial institutions, both banks and non-banks, in agro-entrepreneurs development based on cassava. Keywords: added value, processed product, cassava
PENDAHULUAN Tujuan pembangunan ketahanan pangan di Jawa Timur antara lain adalah meningkatkan penganekaragaman pangan dan produk-produk pangan olahan sesuai potensi sumberdaya lokal sehingga mendorong penurunan konsumsi beras perkapita dan meningkatkan keberdayaan dan kemandirian masyarakat dalam mewujudkan ketahanan pangan yang berkelanjutan dan bertumpu pada sumberdaya kelembagaan dan budaya lokal.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2013
567
Diversifikasi konsumsi pangan atau penganekaragaman konsumsi pangan, disamping untuk mengurangi ketergantungan pada pangan pokok beras, juga dalam rangka upaya peningkatan gizi masyarakat, yang sampai saat ini masih dominan pada pangan nabati sebagai sumber karbohidrat, energi maupun proteinnya (Amang dan Sawit 1999). Pangan lokal adalah makanan yang dikonsumsi oleh masyarakat setempat sesuai dengan potensi dan kearifan lokal. Indonesia memiliki kekayaan budaya pangan lokal sumber karbohidrat yang beraneka ragam. Potensi yang belum tergali ini makin lama makin tenggelam seiring dengan makin tingginya penghargaan masyarakat terhadap beras. Ini merupakan bagian dari dampak kebijakan pemerintah yaitu pemberian jatah beras kepada pegawai negeri yang secara tidak langsung memberikan sinyal bahwa beras identik dengan gengsi dan kedudukan (Setiono 2008). Disamping itu masalah lain yang membuat pangan beras lebih disukai oleh masyarakat yaitu bahwa beras lebih mudah disiapkan dibandingkan dengan sumber karbohidrat yang lain, harganya relatif lebih murah manakala dikaitkan dengan kandungan gizinya, rasanya lebih enak, dan gizinya relatif lebih baik dibandingkan dengan sumber karbohidrat yang lain. Harga beras yang terus meningkat dan impor beras yang berkepanjangan oleh pemerintah, memaksa kita untuk melirik kembali pangan lokal sumber karbohidrat yang selama ini hanya menjadi pangan inferior. Pangan lokal disamping dapat memenuhi kebutuhan gizi akan karbohidrat juga dapat memberikan nilai tambah yang dapat meningkatkan pendapatan masyarakat manakala diolah lanjut menjadi pangan awetan dengan umur konsumsi yang lebih panjang. Kajian nilai tambah produk pangan olahan ubikayu di Kabupaten Tulungagung bertujuan: (1) untuk mengetahui ragam agroindustri produk pangan olahan ubikayu sebagai pengganti/pelengkap pangan pokok, (2) menganalisis tingkat pendapatan agroindustri produk pangan olahan ubikayu sebagai pengganti/pelengkap pangan pokok; (3) untuk menganalisis nilai tambah agroindustri produk pangan olahan ubikayu sebagai pengganti/ pelengkap pangan pokok; dan (4) untuk merancang strategi pengembangan agroindustri produk pangan olahan ubikayu sebagai pengganti/pelengkap pangan pokok.
METODOLOGI Lokasi kajian dipilih secara sengaja yaitu Kabupaten Tulungagung dengan pertimbangan bahwa wilayah tersebut adalah salah satu sentra produksi ubikayu. Jangka waktu penelitian adalah Bulan April sampai dengan Bulan Oktober 2012. Unit analisis adalah agroindustri produk pangan olahan ubikayu menjadi pangan olahan pengganti/pelengkap pangan pokok. Pengambilan contoh dilakukan dengan menggunakan metode Snowball Sampling, masing-masing 10 unit usaha. Teknik analisis data meliputi: 1. Analisis deskriptif (Nazir 1999) dilakukan untuk mengetahui ragam produk pangan olahan ubikayu sebagai pengganti/pelengkap pangan pokok yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat Kabupaten Tulungagung. 2. Analisis biaya dan pendapatan mengikuti Rahardja dan Manurung (2000) dengan rumus: Y = TR – TC ....................................................................... (1) TR = P x Q ........................................................................... (2) TC = TFC + TVC ................................................................... (3)
568
Hanafi dan Hapsari: Nilai tambah produk olahan ubi kayu di Kabupaten Tulungagung
Keterangan: Y = Pendapatan atau keuntungan TR = Total Revenue (Rp). P = Price atau harga jual produk (Rp). Q = Quantity atau jumlah produksi (kg). TC = Total Cost (Rp) TFC = Total Fixed Cost (Rp) TVC = Total Variable Cost (Rp) 3. Analisis nilai tambah menurut (Manulang 1990 dan Sudiyono 2002) dengan rumus: AV = PV – IC ................................................................................ (4) Keterangan: AV = Added Value atau nilai tambah pada hasil olahan (Rp per-kg bahan baku). PV = Product Value atau nilai produksi yaitu penjualan hasil produksi (Rp per-kg bahan baku). IC = Intermediate Cost yaitu biaya-biaya yang menunjang dalam proses produksi selain biaya tenaga kerja (Rp per-kg bahan baku). 4. Force Field Analysis (FFA) menurut (Rangkuti 2001; Sianipar dan Entang 2003) dengan tahapan mengidentifikasi masalah berdasarkan isu strategis, menganalisis masalah dengan mengidentifikasi berbagai kekuatan pendorong (driving force) dan kekuatan penghambat (restraining force). Penilaian terhadap setiap faktor pendorong dan penghambat ditinjau dari urgensi faktor, dukungan faktor dan keterkaitan antar faktor terhadap tujuan dengan menggunakan skala 1-5. Penentuan nilai urgensi faktor pendorong dan penghambat dilakukan dengan teknik komparasi (Soetriono dan Hanafie 2007) yang akan menghasilkan Total Nilai Bobot (TNB) masing-masing faktor. TNB terbesar merupakan Faktor Keberhasilan Kunci (FKK) pengembangan agroindustri produk olahan ubikayu.
HASIL DAN PEMBAHASAN Ragam Produk Olahan Ubikayu Pengganti/Pelengkap Pangan Pokok Ubikayu merupakan tanaman bahan pangan sumber karbohidrat yang dapat tumbuh dengan baik di wilayah Kabupaten Tulungagung. Pengusahaan komoditas ini menempati posisi pertama pemanfaatan lahan pertanian di Kabupaten Tulungagung, yaitu seluas 8.579 ha. Terbatasnya produksi padi karena kondisi lahan pertanian yang tergolong kering dan tingkat kemiskinan yang ada menyebabkan mayoritas masyarakat tidak mampu membeli beras sebagai makanan pokok sehari-hari. Kandungan karbohidrat yang cukup tinggi pada ubikayu memungkinkan ubikayu (Hanafie 2007) dapat dimanfaatkan sebagai pengganti/pelengkap pangan pokok beras. Untuk dapat dikonsumsi sebagai makanan pokok, ubikayu perlu diolah lanjut. Bentuk pangan olahan ubikayu yang dapat dimanfaatkan sebagai pengganti/pelengkap pangan pokok beras adalah gatot dan tiwul. Gatot dan tiwul merupakan industri pangan olahan yang sudah turun temurun dilakukan oleh masyarakat Kabupaten Tulungagung. Gatot banyak dikonsumsi sebagai pangan kudapan (Hanafie 2009), akan tetapi karena kandungan karbohidratnya yang tinggi, paling tidak sekali dalam sehari masyarakat bisa tidak mengkonsumsi beras. Sementara itu tiwul, disamping dikonsumsi sebagai pangan kudapan, juga banyak dikonsumsi sebagai pangan pokok pengganti/pelengkap pangan pokok beras.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2013
569
Analisis Pendapatan Proses produksi gatot dan tiwul masih dilakukan dengan cara yang amat sederhana, dengan jumlah tenaga kerja rata-rata hanya dua orang. Sekali proses produksi untuk gatot rata-rata membutuhkan bahan baku sebanyak 40 kg ubikayu dan untuk tiwul rata-rata membutuhkan 20 kg gaplek. Hasil analisis biaya dan pendapatan agroindustri produk pangan olahan ubikayu menjadi gatot dan tiwul sebagai tersaji pada Tabel 1. Tabel 1. Analisis pendapatan agroindustri produk pangan olahan ubikayu per proses produksi. No 1 2
Produk Tiwul Gatot
TR (Rp) 90.000 96.000
TC (Rp) 75.673,08 69.775,82
Pendapatan (Rp) 14.326,92 26.224,18
R/C ratio 1,19 1,38
Sumber: Data Primer Diolah 2012.
Tabel 1 menunjukkan bahwa agroindustri produk pangan olahan tiwul rata-rata memberikan penerimaan (Total Revenue = TR) sebesar Rp. 90.000 per-proses produksi sedangkan biaya total yang dikeluarkan (Total Cost = TC) rata-rata sebesar Rp. 75.673,08. Biaya total ini meliputi biaya tetap (berupa penyusutan alat) sebesar Rp. 673,08 dan biaya variabel (berupa bahan baku dan bahan tambahan) sebesar Rp. 75.000. Ini berarti agroindustri produk pangan olahan tiwul memberikan rata-rata pendapatan sebesar Rp 14.326,92 per-proses produksi. Nilai R/C ratio pada agroindustri produk pangan olahan tiwul sebesar 1,19 yang berarti bahwa penggunaan biaya produksi sudah efisien. Agroindustri produk pangan olahan gatot rata-rata memberikan penerimaan (TR) sebesar Rp. 96.000 per proses produksi, sedangkan rata-rata biaya total yang dikeluarkan (TC) adalah sebesar Rp. 69.775,82. Biaya total ini meliputi biaya tetap (berupa penyusutan alat) sebesar Rp. 175,82 dan biaya variabel (berupa bahan baku dan bahan tambahan) sebesar Rp. 69.600. Ini berarti agroindustri produk pangan olahan gatot memberikan rata-rata pendapatan sebesar Rp 26.224,18 per-proses produksi. Nilai R/C ratio pada agroindustri produk pangan olahan gatot sebesar 1,38 yang berarti penggunaan biaya produksi sudah efisien. Analisis Nilai Tambah Hasil analisis rata-rata nilai tambah agroindustri produk pangan olahan ubikayu sebagai pengganti/pelengkap pangan pokok sebagaimana tersaji pada Tabel 2. Nilai tambah rata-rata agroindustri produk pangan olahan gatot sebesar Rp1.230,60 per kg bahan baku. Hal ini berarti bahwa penerimaan dari agroindustri produk pangan olahan gatot dari setiap kilogram ubikayu yang diolah menjadi gatot sebesar Rp1.230,60. Keuntungan yang diperoleh dari agroindustri produk pangan olahan gatot dari setiap kilogram ubikayu sama dengan nilai tambah (Rp1.230,60 per-kg bahan baku) dikurangi dengan upah tenaga kerja (Rp 400,00 per kg bahan baku) yaitu sebesar Rp830,60 per kg bahan baku. Dengan demikian persentase rasio keuntungan sebesar 67,50% dan rasio biaya tenaga kerja sebesar 32,50%. Rasio keuntungan dari nilai tambah lebih besar dibandingkan rasio biaya tenaga kerja, dan ini berarti bahwa agroindustri gatot lebih mementingkan alokasi pendapatan manajemen perusahaan daripada alokasi pendapatan faktor tenaga kerja.
570
Hanafi dan Hapsari: Nilai tambah produk olahan ubi kayu di Kabupaten Tulungagung
Tabel 2. Hasil analisis rata-rata nilai tambah agroindustri produk pangan olahan ubikayu. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Uraian Bahan baku (kg/proses produksi) Harga bahan baku (Rp/kg) Hasil produksi (kg/proses produksi) Faktor konversi Harga produk (Rp/kg) Input lain (Rp/kg bahan baku) Nilai tambah (Rp/kg) Imbalan tenaga kerja (Rp/kg bahan baku) Pangsa tenaga kerja (%) Keuntungan (Rp/kg) Pangsa keuntungan (%)
Gatot 40,00 1.000,00 32,00 0,80 3.000,00 169,40 1.230,60 400,00 32,50 830,60 67,50
Tiwul 20,00 3.000,00 15,00 0,75 6.000,00 333,65 1.166,35 400,00 34,30 766,35 65,70
Sumber: Data Primer Diolah 2012.
Nilai tambah rata-rata agroindustri produk pangan olahan tiwul sebesar Rp. 1.166,35 per-kg bahan baku. Hal ini berarti bahwa penerimaan dari agroindustri produk pangan pangan olahan tiwul dari setiap kilogram gaplek yang diolah menjadi tiwul sebesar Rp. 1.166,35. Keuntungan yang diperoleh dari agroindustri produk pangan olahan tiwul dari setiap kilogram gaplek sama dengan nilai tambah (Rp. 1.166,35 per-kg bahan baku) dikurangi dengan upah tenaga kerja (Rp. 400,00 per-kg bahan baku) yaitu sebesar Rp. 766,35 per-kg bahan baku. Dengan demikian persentase rasio keuntungan sebesar 65,70% dan rasio biaya tenaga kerja sebesar 34,30%. Rasio keuntungan dari nilai tambah lebih besar dibandingkan rasio biaya tenaga kerja, dan ini berarti bahwa agroindustri produk pangan olahan tiwul lebih mementingkan alokasi pendapatan manajemen perusahaan daripada alokasi pendapatan faktor tenaga kerja. Strategi Pengembangan Agroindustri Produk Pangan Olahan Ubikayu Pengganti/Pelengkap Pangan Pokok Beberapa faktor pendorong pengembangan agroindustri produk pangan olahan ubikayu sebagai pengganti/pelengkap pangan pokok yang dapat diidentifikasi di lokasi kajian adalah ketersediaan bahan baku (D1), pengalaman secara turun temurun dalam proses pengolahan produk (D2), tambahan pendapatan bagi masyarakat pedesaan, khususnya pengusaha agroindustri (D3), teknologi dan metode pengolahan yang masih relatif sederhana (D4), masih kuatnya kebiasaan masyarakat mengkonsumsi produk olahan pangan lokal (D5) dan tersedianya pasar lokal bagi produk olahan ubikayu (D6). Sementara itu faktor penghambat pengembangan agroindustri produk pangan olahan ubikayu sebagai pengganti/pelengkap pangan pokok yang berhasil diidentifikasi adalah lemahnya manajemen usaha dan kelembagaan (H1), lemahnya keterlibatan petani sebagai pemasok bahan baku (H2), terbatasnya pengembangan mutu dan standarisasi (H3), terbatasnya akses fasilitas pembiayaan usaha kecil (H4), belum optimalnya pembinaan dan pendampingan dari stakeholder (H5) dan terbatasnya akses pengembangan pasar produk olahan (H6). Hasil analisis medan kekuatan tarik menarik antara faktor pendorong dan faktor penghambat agroindustri produk pangan olahan ubikayu sebagai pengganti/ pelengkap pangan pokok digambarkan sebagaimana tersaji pada Gambar 1.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2013
571
Gambar 1. Medan kekuatan pengembangan agroindustri produk pangan olahan ubikayu sebagai pengganti/pelengkap pangan pokok di Kabupaten Tulungagung.
Dari hasil analisis FFA diketahui bahwa ketersediaan bahan baku merupakan faktor pendorong agroindustri produk pangan olahan gatot dan tiwul yang memiliki TNB (Total Nilai Bobot) terbesar yaitu 1,48. Ini merupakan Faktor Kunci Keberhasilan (FKK) dari sisi faktor pendorong. Ini dapat dipahami mengingat bahwa ubikayu merupakan tanaman pangan yang sangat cocok diusahakan di lahan kering seperti di lokasi kajian yaitu Kabupaten Tulungagung. Dari sisi faktor penghambat, terbatasnya akses fasilitas pembiayaan usaha kecil merupakan faktor penghambat agroindustri produk pangan olahan gatot dan tiwul yang memiliki TNB terbesar yaitu 1,52. Secara keseluruhan, Force Field Analysis (FFA) menyebutkan bahwa TNB faktor pendorong (6,76) lebih kecil daripada TNB faktor penghambat (7,06). Ini artinya bahwa agroindustri produk pangan olahan berbahan baku ubikayu, baik pangan olahan gatot maupun tiwul, dihadapkan pada beberapa hambatan yang harus segera dicarikan alternatif solusinya. Dari FKK pendorong, strategi fokus yang harus dilakukan oleh pemerintah terhadap ketersediaan bahan baku adalah memperhatikan sistem insentif dalam implementasi produksi komoditas pangan non beras. Dari FKK penghambat, keseriusan pemerintah perlu diarahkan pada realisasi dana bergulir bagi pengusaha agroindustri yang tepat sasaran dan bersifat produktif. Strategi fokus berdasarkan FFA yang dapat direkomendasikan adalah menarik peran lembaga keuangan, bank maupun non bank, untuk masuk kedalam sektor pertanian, termasuk agroindustri produk pangan olahan, dengan skema yang menguntungkan pengusaha agroindustri.
KESIMPULAN 1. Pangan olahan pengganti/pelengkap pangan pokok beras di Kabupaten Tulungagung adalah gatot dan tiwul. 2. Produk pangan olahan ubikayu menjadi gatot dan tiwul cukup menguntungkan dengan nilai R/C sebesar 1,38 dan 1,19. 3. Nilai tambah agroindustri produk pangan olahan gatot dan tiwul masing-masing sebesar Rp. 830,60 per kg bahan baku dan Rp. 766,35 per kg bahan baku. 572
Hanafi dan Hapsari: Nilai tambah produk olahan ubi kayu di Kabupaten Tulungagung
4. Faktor pendorong dalam pengusahaan agroindustri produk pangan olahan ubikayu sebagai pengganti/pelengkap pangan pokok adalah ketersediaan bahan baku, sementara faktor penghambat adalah terbatasnya akses fasilitas pembiayaan usaha kecil. Strategi pengembangan agroindustri produk pangan olahan ubikayu sebagai pengganti/pelengkap pangan pokok adalah menarik peran lembaga keuangan, baik bank maupun non-bank, dalam pengembangan agroindustri produk pangan olahan berbasis ubikayu.
DAFTAR PUSTAKA Amang, B. dan Sawit, H., 1999. Kebijakan Beras dan Pangan Nasional: Pelajaran dari Orde Baru dan Era Reformasi. IPB Press. Jakarta. Badan Pusat Statistik. 2010. Kabupaten Tulungagung dalam Angka. Tulungagung: Badan Pusat Statistik. Hanafie, Rita. 2007. Diversifikasi Konsumsi Pangan Pokok Rumahtangga Perdesaan. Jurnal Agrika 1/1/Mei. Hanafie, Rita. 2009. Pola Konsumsi Pangan Pokok Rumahtangga Perdesaan. Jurnal IPS XI/Mei. Manulang, K. 1990. Pengukuran Produktivitas Dengan Metode Nilai Tambah. Jakarta: Pusat Produktivitas Nasional. Nazir, M. 1999. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. Rahardja, Prathama dan Manurung, M. 1999. Teori Ekonomi Mikro Suatu Pengantar. Jakarta: Universitas Indonesia. Rangkuti. 2001. Analisis SWOT: Teknik Membedah Kasus Bisnis. Jakarta: Gramedia. Saliem, H. 2002. Analisis Permintaan Pangan di Kawasan Timur Indonesia. Jurnal Agro Ekonomi no 2/XX/Oktober/2002. Setiono, M, 2008. Kajian Potensi Dan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis UmbiUmbian Lokal dalam Upaya Mengurangi Kebutuhan Terigu dan Beras. Balai Besar Industri Agro, Bogor. Sianipar J.P.G dan Entang. H.M 2003. Teknik-Teknik Analisis Manajemen. Jakarta: Lembaga Administrasi Negara. Soekartawi. 1999. Agribisnis: Teori dan Aplikasinya. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. _______. 2000. Pengantar Agroindustri. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Soetriono, 2003. Studi Potensi dan Peluang Usaha Agroindustri dan Agribisnis di Jalur Lintas Selatan Kabupaten Banyuwangi. Jember: Lembaga Penelitian Universitas Jember. Soetriono dan Hanafie. 2007. Filsafat Ilmu dan Metode Penelitian. Yogjakarta: Penerbit Andi. Sudiyono, A. 2002. Pemasaran Pertanian. Malang: UMM Press. Departemen Pertanian Tanaman Pangan. 2012. UU Pangan No. 18 Tahun 2012. http://www.tanamanpangan.deptan.go.id/doc_pengumuman/UU_Pangan_No.18_pdf. 15 April 20130
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2013
573