Kajian Kritis Feminist Posmodernis dalam Formulasi Aset Mental Organisasi Feminis Religius
JRAK 2,1
173
Suryan Widati Jurusan Akuntansi Politeknik Negeri Malang
Iwan Triyuwono Eko Ganis Sukoharsono Jurusan Akuntansi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya, Malang Email:
[email protected]
Abstract The aim of this research is to explore the meaning of assets in context of syariah accounting theory. This research uses critical paradigm as one of methodology in the qualitative method. The exploration is conducted by the board of leader “Persyarikatan Aisyiyah”as religious organization. It is in line with the purpose in syariah accounting theory to gaining God Consciousness in the accountant self. The results of the research find out different assets meaning. This is compatible with reality hierarchy in Syariah Accounting Theory that claiming not only material but also psychical (mental) reality. By participant observation and interview, this research find out some form that knowing as mental assets. This kind of meaning appear in Aisyiyah board of leader which is meant by activator doing religion order, in the form of wish or desire to do God’s order - Amar Ma’ruf Nahi Munkar (AMNM)- which is force Aisyiyah leader to do Altruism social action. This kind of assets are expected to be appear to reduce destruction as consequence modern accounting masculinity that claim asset meaning only as material one.
Pendahuluan Dewan Standar Akuntansi Keuangan ( Financial Accounting Standards BoardFASB) mendefinisi aset dalam rerangka konseptual yang terdapat di SFAC (Statement of Financial Accounting Concepts) No 6, prg 25 sebagai: “Assets are probable future economic benefits obtained or controlled by a particular entity as a result of past transactions or events”. Aset dalam Standar Akuntansi Keuangan (SAK) yang dibuat oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) didefinisikan sebagai sumber daya yang dikuasai oleh perusahaan sebagai akibat dari peristiwa masa lalu dan dari mana manfaat ekonomi di masa depan diharapkan akan diperoleh perusahaan (IAI, 2007). Makna aset yang sama disampaikan oleh International Accounting Standards Committee (IASC, 1997), yang mendefinisikan: “ An assets is resource controlled by the enterprise as a result of past events and from which future economic benefits are expected to flow to the enterprise.Makna aset yang dikemukakan oleh IAI dalam SAK tersebut pada dasarnya hanyalah terjemahan dari definisi aset menurut IASC, sehingga bisa dikatakan IAI tidak mempunyai definisi aset. Sementara itu IASB (2006, 4) memberikan definisi: An assets is a present economic resource to which entity has a present right or other privileged access. An asset of an entity has three essential characteristics: (a). There is an economic resource: (b) The entity has right or other privileged access to the economic resource: (c) The economic resource and the rights or other privileged access both exist at the financial statement date. Definisi ini mengidentifikasi aset dari karakteristik yang
Jurnal Reviu Akuntansi dan Keuangan ISSN: 2088-0685 Vol.2 No. 1, April 2012 Pp 173-180
Kajian Kritis ...
174
seharusnya dimiliki oleh aset dalam suatu entitas . Definisi menurut FASB, IAI, IASC, dan IASB di atas masih menimbulkan pertanyaan karena aset dinilai mempunyai sifat dalam hal memberikan manfaat ekonomik (economic benefits) dan bukan sebagai sumber ekonomik (resources). IASB (2006, 1) menyatakan dalam kerangka konseptualnya menyatakan perihal aset ini “ focused on the existence of an asset and NOT on whether it should be recognized (for example, given practicality concerns) or how it should be measured. Akibatnya aset tidak teridentifikasi kecuali perusahaan melaporkannya sebagai pengeluaran kas atau persetujuan pembayaran kas di masa depan dalam rangka kepemilikan aset tersebut. Akibatnya aset mengandung cost. Akuntan biasanya juga membicarakan aset dalam bingkai kandungannya atas cost, bukan dalam istilah aset itu sendiri. Akibatnya ada pengertian bahwa aset adalah cost dan cost-nya adalah aset (Samuelson, 1996: 148;Schuetze, 1993: 68). Baik istilah aset, harta, kekayaan atau aktiva pada umumnya mengacu pada satu hal yang sama yaitu, komponen dalam laporan keuangan yaitu pos di neraca yang menunjukkan sumber daya ekonomi yang dipergunakan perusahaan untuk beroperasi. Schuetze (2001, 15) memberikanalternatif definisi aset sebagai: “Cash, contractual claims to cash, things that can be exchanged for cash, and derivative contracts having a positive value to the holder thereof.”. Definisi ini lebih komprehensif dan tidak lagi bersifat abstrak seperti definisi FASB, IAI, dan IASB di atas. Definis aset menurut berbagai pihak di atas, baik pada level institusi maupun perorangan, pada dasarnya sama saja dengan definisi aset yang dikemukakan FASB, yaitu definisi yang berangkat dari satu pengertian bahwa akuntansi modern dibentuk dengan fokus pada penciptaan laba secara ekonomi atau materi sebesar-besarnya. Sehingga yang diperhatikan akuntan pada definisi aset adalah dalam hal “ cost”-nya (Schuetze, 1993: 68). Seorang akuntan seharusnya menghasilkan informasi aset yang tidak hanya dipahami oleh akuntan sendiri tetapi juga harus dipahami oleh orang lain yang belum tentu paham dengan akuntansi. Definisi tersebut juga lebih condong untuk mendefinisikan aset haruslah hal yang nyata (materi) dan bernilai ekonomis (memberikan keuntungan). Disini aset dimaknai berdasarkan tujuan dari kepemilikannya serta perwujudannya, dimana perwujudan aset itu sendiri tidak lepas dari konstruksi pemikiran orang yang membacanya. Pemahaman ini berasal dari konstruksi akuntansi mainstream atau akuntansi modern yang cenderung bersifat maskulin (Triyuwono, 2009). Lebih lanjut akuntansi modern yang maskulin membentuk profesi akuntansi (akuntan) yang bersifat yang sama, karena dibentuk dari teori-teori filosofis yang juga bersifat maskulin. Akuntansi yang maskulin menghasilkan nilai-nilai seperti obyektifitas, materialitas, eksploitaif dan meminggirkan nilai-nilai feminim seperti feeling, caring dan sharing (Hines, 1992; Komori, 1998; Kamayanti, 2011). Nilai maskulinitas akuntansi modern dengan pemaknaan aset seperti diatas adalah materialism dan eksploitatif sehingga cenderung menganggap profit secara materi sebagai sesuatu yang paling penting (Kamayanti, 2010) sekaligus meminggirkan karakter feminin.
Metode Penelitian ini merupakan penelitian dalam ranah penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif sebagai penelitian non-mainstream adalah seperti yang digambarkan Denzin & Lincoln (1994, 4) Qualitative research is many things to many people. Qualitative research, as a set of interpretive practices, privileges no single methodology over any other. As a site of discussion, or discourse, qualitative research is difficult to define clearly. Secara filosofis, metodologi penelitian merupakan bagian dari ilmu pengetahuan yang mempelajari bagaimana posedur kerja mencari kebenaran. Ukuran kebenaran dibangun dari kenyataan dan fakta filosofis yang dibedakan menurut empirik sensual, empirik logik, empirik etis, dan empirik transendental (Muhadjir, 2000).
Teori Kritis Feminist Posmodernis sebagai Sudut Pandang Penelitian Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan mendasarkan pendekatan penelitian pada teori kritis. Tujuan penelitian kritis adalah transformasi emansipasi dan social empowerment (Guba & Lincoln, 1994). Sudut pandang penelitian ini menempatkan etika dan pilihan moral sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari suatu penelitian (Guba & Lincoln, 1994). Teori kritis berangkat dari pemikiran bahwa manusia bebas menentukan dirinya lepas dari hegemoni segala sesuatu yang mendominasi atau suatu ketidakadilan yang muncul di masyarakat. Dominasi itu adalah akuntansi modern dengan karakter maskulin yang menisbikan karakter feminin. Teori kritis melatarbelakangi lahirnya teori feminis. Gerakan Feminis memiliki latar belakang yang sama. Ingin membebaskan perempuan dari suatu dominasi berdasarkan prinsip keadilan dan kemanusiaan. Coates (1986) menunjukkan bahwa perempuan menggunakan bahasa yang bersifat khas, yang membedakannya dengan bahasa yang digunakan laki-laki. Kenyataan yang ada di masyarakat adalah masih membedakan peran sosial antara perempuan dan laki-laki. Perbedaan peran sosial yang berwujud penggunaan bahasa yang berbeda merupakan refleksi dari dua teori perbedaan dan teori dominasi (Coates, 1986). Teori inilah yang menekankan pada hierarki hakikat relasi-relasi gender dan dominasi pria atas wanita. Perempuan memilih untuk menggunakan bentuk-bentuk bahasa tertentu yang berkaitan dengan proses memahami dunia atau menafsirkan tanda-tanda yang mengelilingi kita. Santoso (2009) menyatakan kegiatan menafsirkan tanda ini sebagai membaca, yang juga dilakukan oleh perempuan atas simbol-simbol tertentu yang mereka temui dalam kehidupannya. Intervensi dalam bahasa oleh perempuan ini dapat dilawan feminis dengan menciptakan bahasa dan arti baru berdasarkan pengalamannya sendiri. (Kelly, 1994; Cameron, 1998). Kuasa Feminis untuk memberi nama dan mendefinisikan merupakan hal yang penting untuk menantang hubungan sosial yang bersifat menindas. Proses Pengumpulan Data Proses menggali dan mengumpulkan data dari para informan dilakukan dengan teknik-teknik yang relevan antara lain peneliti berpartisipasi dalam situs penelitian (participant observation) dan wawancara yang mendalam (indeph interview). Dari data yang terkumpul dibuat kompilasi tematik. Termasuk pada tahap ini peneliti berusaha keras melakukan pemahaman ke dalam alam kesadaran subyek ( contemplating the content of mind) yang berupa aktivitas-aktivitas mengingati ( remembering), meresapi (perceiving), dan mengingini (desiring) di mana ketiga jenis aktivitas kesadaran tersebut memiliki keterarahan ( directedness)(Creswell, 1998). Unit Analisis dan Informan Unit analisis penelitian ini adalah pemaknaan aset menurut pengurus. Pemilihan informan didasarkan beberapa pertimbangan antara lain: senioritas dalam kepengurusan organisasi/persyarikatan, pemahaman atas sifat dan karakteristik organisasi, dan terakhir, masih berstatus sebagai anggota/pengurus organisasi.
Hasil dan Pembahasan Aset Aisyiyah: Mental yang Melahirkan Gerakan Aset dalam organisasi religius-feminis seperti Aisyiyah, meliputi juga realitas yang lebih luas dari sekedar realitas materi yang Nampak (Widati et al.2011). Aset dalam bentuk materi (tampak) tidak mampu memberikan nilai tambah bagi organisasi tanpa didampingi aset dalam dimensi realitas psikis (mental) dan spiritual. Akuntansi Syariah yang mendorong terwujudnya masyarakat dengan nilai-nilai Humanis, Emansipatoris, Transendental dan Teleologikal (Triyuwono, 2009) selaras dengan tujuan Persyarikatan Aisyiyah, yaitu mewujudkan masyarakat yang berkarakter Baldatun Thoyyibatun wa Robbun Ghafur (Mukaddimah Anggaran Dasar Aisyiyah).
JRAK 2,1
175
Kajian Kritis ...
Aset dalam bingkai organisasi religius seperti Aisyiyah dimaknai sebagai penggerak. Sebagai penggerak yang mengarahkan pemiliknya untuk melakukan suatu tindakan dikatakan sebagai aset mental. “Peneliti: bagimana ibu memaknai aset. utamanya dalam Amal Usaha Aisyiyah? Ibu Umi: aset ya aktiva itu kan? Atau kalau bisa saya artikan aset adalah penggerak. Peneliti: memangnya yang membuat kita bisa berkembang sejauh ini dan bergerak menjalankan kegiatan, cuma komponen aktiva dalam neraca saja bu? Ada hal lain apa tidak? Ibu Umi: Ya ada, dari sisi keuangan sebenarnya pinjaman itu kan juga penggerak koperasi. Peneliti: lha pinjaman kan disisi pasiva bu? Ibu Umi: O iya ya...gmana ya, ya memang kenyataannya begitu. Aset itu dalam arti sebagai penggerak. Pada intinya, kalau menurut saya, memaknai aset Aisyiyah itu ya penggerak bu..” (Ibu Umi Habibah 1)
176
Mental diartikan sebagai kepribadian yang merupakan kebulatan dinamik yang dimiliki seseorang yang tercermin dalam sikap dan perbuatan atau terlihat dari psikomotornya (Hawari, 2001: 112). Dalam ilmu psikiatri dan psikoterapi, kata mental sering digunakan sebagai ganti dari kata personality (kepribadian) yang berarti bahwa mental adalah semua unsur-unsur jiwa termasuk hati, emosi, sikap (attitude) dan perasaan yang dalam keseluruhan dan kebulatannya akan menentukan corak laku, cara menghadapi suatu hal yang menekan perasaan, mengecewakan atau menggembirakan, menyenangkan dan sebagainya (Hawari, 2001: 112). Jadi mental adalah pendorong seseorang melakukan suatu tindakan nyata dengan motivasi tindakan tertentu. Mental ini menentukan karakter manusia yang tercermin dalam tindakannya. Mental melahirkan tindakan, dimana tindakan adalah merupakan penampakan paling mudah dilihat dari fenomena jiwa (Samudji, 2010: 94). Aspek mental ini terdapat dalam diri pengurus, anggota, maupun simpatisan. Aspek mental yang melahirkan tindakan sosial tertentu yang didasarkan pada niat dan kesadaran perintah Tuhan melahirkan pemaknaan aset adalah unsur mental yang menggerakkan pengurus untuk menjalankan tujuan organisasi. Aset kita ini adalah pengajian rutin di tiap ranting (ibu Asmawati R. 2).
Dari pernyataan nara sumber diatas, dapat kita simpulkan esensi aset adalah suatu penggerak seseorang melakukan suatu tindakan atau kegiatan tertentu yang selaras dengan tujuan organisasi.
Wujud Aset Mental: Perintah Amar Ma’ruf nahi Munkar dan Altruisme dalam Diri Pengurus Penggerak yang berupa perintah Allah Amar Ma’ruf nahi Munkar ibarat mekanisme reward and punishment dari Allah. Secara harfiah, Amar Ma’ruf Nahi Munkar (yang berasal dari kata AL- Amru bi ‘l- ma’ruf wa ‘n-nahyu ‘an ‘l-munkar) berarti menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar (Ilyas, 1999). Aisyiyah menjadikan perintah ini sebagai landasan kegiatannya dalam rangka melaksanakan perintah Tuhan. Penggerak berbentuk perintah Tuhan ini tidak akan dapat dilaksanakan tanpa adanya keiklasan hati untuk melakukan hal-hal yang memberikan manfaat bagi orang lain, tanpa harapan imbalan. Niat dari hati yang iklas untuk menolong orang lain inilah yang dinamakan sikap altruistik (Samudji, 2010). Altruistik merupakan istilah yang merujuk pada tindakan kebajikan, Altruistik adalah sikap perilaku sosial dari seseorang yang dengan rela mengorbankan sesuatu untuk orang lain tanpa mengharapkan imbalan dalam bentuk apapun (Samudji, 2010: 103). Bagi
1 2
Ibu Umi Habibah adalah pengurus amal usaha koperasi Bueka Aisyiyah periode 2010-2011. Ibu Asmawati R. adalah salah satu pengurus dalam Pimpinan Daerah Aisyiyah kota Malang .
seseorang yang memiliki perilaku ini, altruistik bersifat menyenangkan. Ada situasi psikologis yang menunjuk adanya kepuasan seseorang jika dapat melakukan sesuatu yang membahagiakan orang lain. Wujud nyatanya adalah kegiatan sosial dan bukan semata-mata kegiatan sakral dalam berorganisasi.Akibatnya Aisyiyah lebih sering menyebut dirinya bukan sebagai organisasi atau yayasan tapi sebagai gerakan. “Permasalahan umat itu sangat luas, tidak pernah berhenti. Satu masalah terselesaikan, datang masalah yang lain. Jadi tidak ada kata berhenti atau beristirahat apabila sudah berniat berjuang di jalan Allah.Makanya Aisyiyah itu dikatakan sebagai gerakan.” (Ibu Rukmini 3).
Sebagai sebuah gerakan, Aisyiyah lebih mementingkan aksi atau tindakan berdasarkan perintah Allah.Oleh sebab itu, aset juga dimaknai sebagai unsur mental dalam rangka beribadah kepada Allah. “…memang, kalau ditanya aset kita itu apa, ya jawabnya Amal Usaha. Itu yang kelihatan, namun ada bentuk lain yang menurut saya tidak kalah penting, yaitu mental kita sebagai pengurus yang memang berniat liLlahi ta’ala untuk beribadah kepada Allah bentuknya ya menjalankan organisasi Aisyiyah.” (ibu Sugiarti 4). “Aisyiyah itu punya yang namanya Amal Usaha.Dapat pula berarti Usaha Amal.Jadi kita melakukan usaha-usaha dengan tujuan beramal, menjalankan perintah Allah.” (ibu Esty Martina5).
Atruistik juga muncul akibat pengaruh dari dalam diri.Unsur nilai dalam diri seseorang ini erat kaitannya dengan hati. Nilai lain seperti perasaan, sifat, keyakinan, moralitas, dan jenis kelamin adalah merupakan sejumlah aspek yang dapat mempengaruhi perilaku menolong. Aisyiyah yang anggotanya perempuan, sangat erat dengan unsur nilai ini. “...Sehingga dalam banyak hal itu, di Aisyiyah itu yang jalan adalah hati. Kalau kita bisa menyentuh hati, maka orang itu akan bisa melakukan banyak hal. Ada keunikan yang dikembangkan oleh perempuan yang berbeda dengan laki-laki.Sense yang dikembangkan dalam organisasi perempuan itu berdasarkan hati, sehingga persoalan yang terkait dengan hati itu jalan.Jadi tidak lagi bicara rasio penuh.Jadi hati dan rasio jalan sama-sama.Misalnya yg sudah sepuh itu ngajak yang muda gabung di Aisyiyah itu juga dengan hati.Jadi karena kita dihargai hati, maka kita ini takluk.Tidak ada beban, meski tidak ada uang.Kita ini kemana-mana ya mbayar dewedewe, tapi kita ini seneng.Karena pendekatan hati yang bisa menyentuh.Kalau hati yang bicara apapun jadi bisa.”(Ibu Sugiarti).
Pengaruh situasi dalam bentuk menciptakan suasana yang mengembangkan kekeluargaan diantara anggota. Sesuatu yang dikatakan menyentuh hati inilah yang membuat karakter altruis muncul sebagai ciri akuntansi syariah yang feminin (lihat Hines, 1992; Kamayanti, 2010). Dalam organisasi perempuan seperti Aisyiyah. Unsur ini adalah karakter feminin yang dimunculkan untuk menggantikan karakter maskulin akuntansi modern. Makna Aset Mental yang Feminin dalam Aisyiyah Akuntansi Syariah lahir dalam rangka menciptakan peradaban yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sekaligus nilai-nilai ke-Tuhanan. Banyak mekanisme kerja yang telah dipraktikkan dalam mengelola organisasi secara tidak langsung menunjukkan praktik Akuntansi itu sendiri yang meliputi mekanisme pemberian informasi dan pertanggungjawaban (lihat Triyuwono, 2009). Yang membedakan
3
4 5
Ibu Rukmini adalah Ketua Pimpinan Daerah Aisyiyah kota malang periode 2005-2010 dan 20102015. Ibu Sugiarti adalah Sekretaris Pimpinan Wilayah Aisyiyah Jawa Timur periode 2005-2010. Ibu Esty Martina adalah Ketua Umum Ketua Pimpinan Wilayah Aisyiyah Jawa Timur periode 2005-2010 dan 2010-2015.
JRAK 2,1
177
Kajian Kritis ...
178
Table 2 2: Simbol dan Atribut feminin dan maskulin
dengan organisasi lainnya, unsur mental diakui dalam praktik berorganisasi. Dan ini tidak nampak pada organisasi bisnis modern yang mengeliminasi unsur mental dan hanya fokus pada pencapaian materi seperti efisiensi, cost orientatioan bahkan profit orientation yang berkarakter maskulin (Hines, 1992). Untuk menyeimbangkannya, perlu dimunculkan aset mental yang sarat dengan nilai-nilai seperti spiritualism, caring dan altruismn. Tujuannya jelas, agar akuntansi tidak hanya memberikan manfaat ekonoms, tetapi juga manfaat sosial, lingkungan dan bahkan manfaat spiritual. Nilai feminin inilah yang harus dimunculkan dan bukannya dihilangkan dalam praktik akuntansi organisasi. Tabel 2 berikut menyajikan karakter femini yang seharusnya muncul. Dari daftar karakter feminin ini, aset yang dimaknai sebagai penggerak organisasi berwujud unsur mental sebagai ciri alami perempuan harus dimunculkan dan diakui. Bukan semata hal yang nampak seperti yang selama ini ada. hŶŝǀĞƌƐĂůDĂƐĐƵůŝŶĞ;zĂŶŐͿ
hŶŝǀĞƌƐĂů&ĞŵŝŶŝŶĞ;zŝŶͿ
>ŝŐŚƚ
ĂƌŬ
^ƵŶ
DŽŽŶ
ŝƌ
ĂƌƚŚ
ĂLJ
EŝŐŚƚ
DŽƵŶƚĂŝŶ
ĂǀĞ
ĞƐĞƌƚ
^ĞĂ
ŽŶƐĐŝŽƵƐŶĞƐƐ
hŶĐŽŶƐĐŝŽƵƐŶĞƐƐ
^ǁŽƌĚ
ŚĂůŝĐĞ
WŚĂůůƵƐ
sĂŐŝŶĂ
&Ƶůů
ŵƉƚLJ
džƚĞƌŝŽƌ
/ŶƚĞƌŝŽƌ
ƌLJ
DŽŝƐƚ
,ĂƌĚ
^ŽĨƚ
^ƚƌĂŝŐŚƚ
ƵƌǀĞĚ
džƉůŝĐŝƚ
dĂĐŝƚ
&ŽĐƵƐĞĚ
ŝĨĨƵƐĞ
WƌŽĚƵĐƚŝǀĞ
ZĞĐĞƉƚŝǀĞ
ĐƚŝŽŶ
^ƚŝůůŶĞƐƐ͕ƐŝůĞŶĐĞ
ƌĞĂƚŝǀĞĂĐƚŝŽŶ
ŽŶƚĞŵƉůĂƚŝŽŶ͕ŵĞĚŝƚĂƚŝŽŶ
ŽŝŶŐ
ĞŝŶŐ
ZĞĂƐŽŶ͕ĂƌŐƵŵĞŶƚ
džƉĞƌŝĞŶĐĞ
>ŽŐŝĐ
/ŶƚƵŝƚŝŽŶ
>ĞĨƚďƌĂŝŶ
ZŝŐŚƚďƌĂŝŶ
>ŽŐŽƐ͕ŝĚĞĂƚŝŶŐ
ƌŽƐ͕ƌĞůĂƚŝŶŐ
/ŵƉĞƌƐŽŶĂů͕ŽďũĞĐƚŝǀĞ
WĞƌƐŽŶĂů͕ĨĞĞůŝŶŐ
ŶĂůLJƚŝĐ
'ĞƐƚĂůƚ
ƵĂůŝƐƚŝĐ
,ŽůŝƐƚŝĐ
YƵĂŶƚŝƚĂƚŝǀĞ
YƵĂůŝƚĂƚŝǀĞ
>ŝŶĞĂƌ
EŽŶůŝŶĞĂƌ
>ŝŶĞĂƌƚŝŵĞ͕ŚŝƐƚŽƌLJ
ŝƌĐƵůĂƌƚŝŵĞ͕ƚŝŵĞůĞƐƐŶĞƐƐ
^ĞƋƵĞŶƚŝĂů
^ŝŵƵůƚĂŶĞŽƵƐ
ĂƵƐĞͲĞĨĨĞĐƚ
^LJŶĐŚƌŽŶŝĐŝƚLJ
WƌŽŐƌĞƐƐ͕ƉĞƌĨĞĐƚŝŽŶ
/ŶƚĞŐƌĂƚŝŽŶ
^ƚĂŶĚĂƌĚŝnjĂƚŝŽŶ
WƌŽůŝĨĞƌĂƚŝŽŶ
DĂƚĞƌŝĂůƉƌŽǀŝƐŝŽŶ
EƵƌƚƵƌŝŶŐ
WƌŽǀŝĚŝŶŐ
ĂƌŝŶŐ
Sumber: Hines (1992: 327)
Karena akuntansi secara umum memberikan informasi dan pandangan historis terhadap aktifitas manusia termasuk aktivitas keagamaan dan aktifitas sosial (McMillan, 2004; Christensen, 2004; Hardy & Ballis, 2004), yang bertujuan menciptakan peradaban yang Humanis, Emansipatoris, T ransendental, dan Teleologikal (Triyuwono, 2009). Peradaban humanis dicirikan, suatu keadaan dimana manusia hidup dengan segala sifat fitrahnya. Filosofi ini sesuai dengan tujuan dari Islam sebagai pedoman hidup yang ingin membawa manusia pada kondisi fitrahnya.Kondisi fitrah ini mendorong manusia melakukan pembebasan kaumnya atas sistem dominan yang menindas. Akibatnya terjadi mekanisme pembebasan ( emansipatoris) yang sekaligus mengembalikan kesadaran keTuhanan (berdimensi transendental). Pembebasan dari dogma materi adalah segalanya sebagai karakter akuntansi modern yang maskulin (Kamayanti, 2010). Manusia juga didorong untuk menciptakan peradaban yang Rahmatan lil’alamin, dan inilah aspek teleologikal. Seorang pengurus Aisyiyah menjadikan setiap tindakannya bernilai ibadah. Inilah dimensi sikap transcendental. Pengurus Aisyiyah juga melakukan kegiatan sosial kemanusiaan yang berdimensi humanis dan emansipatoris. Terakhir, dengan Amal Usaha sebagai aset ekonominya (Widati et al., 2011), Aisyiyah tidak terjebak dalam materialisme dan memandang materi hanya sebagai sarana. Inilah dimensi teleologikal.
Penutup Aset Akuntansi dalam bingkai persyarikatan Aisyiyah dimaknai sebagai aset mental, yang dimiliki dan digunakan untuk menggerakkan organisasi dalam rangka beribadah kepada Allah. Aset bukan semata-mata yang Nampak. Tetapi juga unsure mental yang tidak Nampak. Suatu gerakan atau tindakan adalah aspek penampakan jiwa yang dalam ilmu psikologi sosial disebut sebagai mental dengan kandungan altruism yang kental. Mental ini selaras dengan karakter feminin karena Aisyiyah adalah organisasi perempuan. Aset sebagai segala sesuatu untuk beribadah kepada Allah mempunyai dua wujud, pertama gerakan menjalankan perintah Allah Amar Ma’ruf nahi Munkar dan kedua perilaku altruistik. Aset mental ini menggerakkan pengurus Aisyiyah menjadi organisasi yang berhasil menjalankan visi dan misinya. Aset mental tidak berwujud, dan tidak bisa dipertukarkan seperti halnya aset dalam akuntansi modern. Tetapi keberadaannya dirasakan penting. Untuk itu aset mental ini harus diakui sebagai penggerak Aisyiyah untuk menyebarkan nilai kesadaran ketuhanan ( God Consciousness) sekaligus menciptakan peradaban yang Rahmatan lil’alamin.
Daftar Pustaka Accounting Standard Board (ASB). 2006. Statement of Principles for Financial Reporting. World Standard Setter Meeting. September 2006. page 4. Anthony. R.N. dan V. Govindarajan. 2005. Management Control System. Salemba Empat. Jakarta. Belkaoui. A. 1980. “The Interporfessional Linguistic Communication of Accounting Concepts: an Experiment in Sociolinguistics”. Journal of accounting research.18 (2): 362-374. Booth. P. 1993. “Accounting in churches: a research framework and agenda”. Accounting. Auditing & Accountability Journal. 6 (4): 37-67. Cameron. D. 1998. Teori Bahasa Feminis. Pengantar Teori-teori Feminis Kontemporer. Jalasutra. 251-275. Christensen. M. 2004. “Accounting by Words not Number: the Handmaiden of Power in the Academy”. Critical Perspectives on Accounting.15: 485-512.
JRAK 2,1
179
Kajian Kritis ...
180
Coates. J. 1986. Women. Men. and Language: A Sociolinguistic Account of Sex Difference in Language. Longman Inc.. New York. Connell. R. W. 1995. Masculinities. Oxford: Polity Press. Creswell. J.W. 1998.”Qualitative Inquiry and Research Design”. SAGE Publication. Denzin. N.K. dan YS Lincoln. 1994. “Handbook of Qualitative Research”. Sage Publications. Thousand Oaks. Dillard.J.F. 1991. “Accounting as a Critical Social Science”. Accounting. Auditing dan Accountability Journal. 4 (1): 8-28. Evans. L. 2004. “Language Translation and the Problem of International Accounting Communication”. Accounting. Auditing dan Accountability Journal. 17 (2): 210-248. Global Justice Update. 2008. “Krisis Keuangan Dunia Abad 20”. (GJU). Edisi Khusus. November 2008. h. 17. Hardy. L. dan H. Ballis. 2004. “Does One Size Fit All? The Sacred and Secular Divide Revisited with Insights from Niebuhr’s Typology of Social Action”. Accounting Auditing dan Accountability Journal.18 (2): 238-254. Hines. R.D. 1992. “Accounting: Filling. the Negative Space”. Accounting. Organization. and Society. 17 (3): 313-341. Ikatan Akuntans Indonesia. 2007. Standar Akuntansi Keuangan. Salemba Empat. Jakarta. Ilyas. Y. 1999. Kuliah Akhlaq. Penerbit LPPI UMY. Yogyakarta. Kamayanti. A. I. Triyuwono. G. Irianto. A.D. Mulawarman. 2010. “Exploring The Presence of Beauty Cage in Accounting Education: An Evidence from Indonesia”. Simposium Nasional Akuntansi XIV. Aceh. Kelly. L. 1994. Stuck in the Middle. Trouble and Strife 29/30. Kirkham. L.M. 1992. Integrating Herstory and History in Accountancy.Accounting. Organization And Society. 17(3/4). 287-297. Li. D.H. 1963. “The Semantic Aspect of Communication Theory and Accountancy”. Journal of Accounting Research. 1(1): 102-107. Macintosh. N.B. et.al.2000. Accounting as Simulacrum and Hyperreallity: Perspectives on Income and Capital. Accounting. Organization And Society. 25: 13-50. McMillan. K.P. 2004. “Trust and the Virtues: a Solution to The Accounting Scandals”.Critical Perspectives on Accounting.15: 943-953. Muhadjir. N. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Penerbit Rake Sarasin. Yogyakarta. Samudji. A. 2010. Psikologi Sosial. Penerbit Jenggala Pustaka Utama. Malang. Samuelson. R.A. 1996. “The Concept of Assets in Accounting Theory”. Accounting Horizons. 10(3): 147-157. Santoso. A. 2009. Bahasa Perempuan: Sebuah Potret Ideologi Perjuangan. Bumi Aksara. Jakarta. Schuetze. W.P. 1993. “What is an Assets?”. American Accounting Association. Accounting Horizon. 7 (3): 66-70 Schuetze. W.P. 2001. What are Assets and Liabilities? Where Is True North? (Accounting That my Sister Would Understand). Abacus. 37 (1). Triyuwono. I. 2003. “Sinergi Oposisi Biner: Formulasi Tujuan Dasar Laporan Keuangan Akuntansi Syariah”. Iqtisad journal of Islamic economic. 4 (1) Muharram 1424 H. pp. 79-90.
Triyuwono. I. 2009. Perspektif. Methodology. dan Theory Akuntansi Syariah. Rajawali Pers. Jakarta. Triyuwono. I. dan M. As’udi. 2001.Akuntansi Syari’ah: Memformulasikan Konsep Laba dalam Konteks Metafora Zakat. Salemba Empat. Jakarta. Widati. S.. I. Triyuwono dan E.G. Sukoharsono. 2011. “Makna Aset dalam Akuntansi Syariah”. Makalah. Disajikan pada International Seminar on Islamic Economic & Business. Banjarmasin. 30 November 2011.