ANALISA KRITIS TERHADAP KONSEP PEMIKIRAN FEMINIS TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh :
Anih Robbani NIM : 107044102426
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1432 H /2011 M
ANALISA KRITIS TERHADAP KONSEP PEMIKIRAN FEMINIS TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh :
Anih Robbani NIM: 107044102426
Dibawah Bimbingan Pembimbing
DR. Umar Al Haddad, MA NIP: 196809041994011001
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1432 H /2011 M
i
PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul ANALISA KRITIS TERHADAP KONSEP FEMINIS TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 17 Juni 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Strata Satu (S1) pada Program Studi Ahwal Syakhshiyyah Konsentrasi Peradilan Agama. Jakarta, 21 Juni 2011 Mengesahkan, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. DR. H. M. Amin Suma, SH, MA, MM NIP 195505051982031012
PANITIA UJIAN 1.
Ketua
:
Drs. H.A. Basiq Djalil, SH., MA NIP. 195003061976031001
2. Sekretaris
:
Hj. Rosdiana, MA NIP. 196906102003122001
3.
: Dr.Umar Al Haddad, MA NIP. 196809041994011001
Pembimbing
4. Penguji I
: Dr. H. Mamat Slamat Burhanudin, M. Ag NIP. 197006051998031004
5. Penguji II
: Hj. Rosdiana, MA NIP. 196906102003122001
ii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa : 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karena ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 21 Juni 2011
Anih Robbani
iii
KATA PENGANTAR بسم اهلل الرحمن الرحيم
Alhamdulillah penyusun panjatkan atas kehadirat Allah swt, yang telah melimpahkan berkah, rahmat, hidayah, dan inayah-Nya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan skripsi ini. Salawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Baginda besar Nabi Muhammad saw, untuk keluarga, para sahabat, dan seluruh umat di segala penjuru dunia, khususnya kita semua.Amin. Penyusun merasa bahwa skripsi dengan judul "Analisa Kritis Terhadap Konsep Pemikiran Feminis Tentang Perkawinan Beda Agama” ini bukan merupakan karya penyusun semata, tetapi juga merupakan hasil dari bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Penyusun juga merasa bahwa dalam skripsi ini terdapat banyak kekurangan, terutama disebabkan karena keterbatasan penulis sebagai manusia biasa, untuk itu saran dan kritikan yang membangun sangat penyusun harapkan. Selanjutnya tidak lupa penyusun haturkan banyak terima kasih kepada semua pihak atas segala bimbingan dan bantuan sehingga terselesainya skripsi ini, semoga amal baik tersebut mendapat balasan dari Allah swt. Amin Ya Rabbal Alamin. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada: 1. Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH, MA, MM, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
iv
2. Drs. H. Basiq Djalil, SH, MA, Ketua Program Studi Peradilan Agama Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan selaku penasehat akademis. 3. Hj. Rosdiana, MA, Sekretaris Jurusan Peradilan Agama Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Dr. Umar Al Haddad, MA. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktu dan perhatiannya dalam membimbing, serta memberikan motivasi dan masukan pada penulis. 5. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan ilmu dan pengetahuannya kepada penulis, semoga ilmu yang diberikan bermanfaat. 6. Kepala perpustakaan UIN Jakarta beserta stafnya. 7. Orang tua tercinta Bapak H. Ahmad Dimyathi dan Umi Hj. Yuyun fatimah, yang telah merawat dan membesarkan penulis, yang selalu memotivasi dengan penuh keikhlasan membantu penulis baik moril maupun materi, kakak dan adik-adik tercinta Andi Junaidi S.Sos.I, Ayub Suhendar, Yusuf Jamaludin, Dasep Sopyan, si bontot Siti Annisa Fatimah dan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada mang Aam Aminudin, S.Sos. yang telah memberikan motivasi dan bimbingan selama penulis menjalani pendidikan di Ciputat. 8. Andini Hafizhotin Nida, ketulusan dan perhatiannya yang menemani penulis saat menyusun skripsi ini tak pernah henti memberikan motivasi dan dukungan. Pancaran cintanya bersinar saat rasa malas datang, katulusan dan cinta tergambar
v
dalam kasih sayang, terimakasih cinta semoga kita dapat bersama dalam situasi yang berbeda, semoga cinta yang ada terjalin saat ini esok dan selamanya. 9. Sahabat-sahabat penulis Utsman Affandy, S.E, Ahmad Akbarullah, S.Si, Royhan IM, S.Si, H. Debi Fajrin Habibi, Asep Dadan, S.Sy, Sholeh Afif, Syarif Hadi Saputra Lubis,S.Si, Nizham Arsalan S.Si, Hanifudin Mahfudz S.Sos.I, Ali Aziz, S.Si, M. Dahri, S.Si, Azwar Anaz SH.i, SH, Troy Yudistira S.Si. CHC, Muhammad Ramdani, Lc, Saefullah S. Si. Teman-teman Peradilan Agama angkatan 2007 khususnya kelas A, HMI KOMPAKSY dan juga seluruh temanteman FDI angkatan 2006. Akhirnya penulis hanya bisa berdoa dan berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan para pembaca dan semoga amal baik mereka diterima oleh Allah swt. Amin.
Jakarta, 21 Juni 2011
Penulis
vi
DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................................... i LEMBAR PERNYATAAN ......................................................................................... iii KATA PENGANTAR ................................................................................................. iv DAFTAR ISI ............................................................................................................... vii BAB I:
PENDAHULUAN...................................................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah ..................................................................... 1 B. Batasan dan Rumusan Masalah ........................................................ 10 C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ..................................................... 12 D. Metode Penelitian............................................................................. 13 E. Review Studi Terdahulu ................................................................... 16 F. Sistematika Penulisan ...................................................................... 17
BAB II:
PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM ISLAM DAN HUKUM POSITIF ................................................................................................. 19 A. Pengertian Perkawinan Beda Agama ............................................... 19 B. Perkawinan Beda Agama dalam Islam ............................................. 23 C. Perkawinanan Beda Agama dalam Hukum Positif .......................... 39
BAB III: DESKRIPSI UMUM TENTANG FEMINISME ................................. 46 A. Pengertian Feminisme ....................................................................... 46 B. Sejarah Singkat Perkembangan Pemikiran Feminis ......................... 48 C. Macam-macam Aliran Feminisme .................................................... 53 D. Feminisme dalam Islam .................................................................... 58 vii
BAB IV:
KRITIK DAN APRESIASI TERHADAP PERKAWINAN BEDA AGAMA .................................................................................................. 62 A. Konsep Perkawinan Beda Agama Kalangan Feminis....................... 62 B. Beberapa Kritik Terhadap Konsep Perkawinan Beda Agama .......... 87 C. Analisis Penulis ................................................................................. 94
BAB V:
PENUTUP ............................................................................................. 111 A. Kesimpulan .................................................................................... 111 B. Saran-saran ..................................................................................... 114
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 116
viii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan telah terjadi sejak manusia pertama diciptakan oleh Allah swt., sebagaimana yang telah terjadi pada Nabi Adam as, sebagai manusia pertama yang telah dikawinkan oleh Allah swt. dengan Siti Hawa. Proses kejadian itu adalah merupakan proses permulaan dan pertama kali dalam sejarah kehidupan manusia di bumi ini.1 Perkawinan bertujuan membentuk keluarga yang diliputi rasa saling cinta mencintai dan rasa kasih sayang antar anggota keluarga.2 Sebagai agama universal, Islam memandang manusia sebagai kesatuan umat, dalam hal perkawinan sama sekali tidak mempersoalkan faktor-faktor perbedaan keturunan bangsa atau kewarganegaraan, yang jadi persoalan hanyalah faktor perbedaan agama. Islam menentukan bahwa keselamatan keyakinan agama harus lebih diutamakan daripada kesenangan duniawi, apalagi dalam hubungan perkawinan yang merupakan batu dasar pembinaan rumah tangga, kekeluargaan, masyarakat, faktor keyakinan agama benar-benar ditonjolkan.3
1
Tamar Djaja, Tuntutan Perkawinan dan Rumah Tangga Islam 2 ( Bandung: al-Ma‟arif, 1982), h. 3 2
Kamal Mukhtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, cet.III (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h. 8 3
Ahmad Azhar Basyir, Kawin Campur, Adopsi, Wasiat Menurut Hukum Islam ( Bandung: alMa‟arif, 1972), h. 6
1
Allah tidak berkeinginan menjadikan manusia seperti makhluk lainnya, yang hidup bebas mengikuti nalurinya tanpa suatu aturan. Kemudian, demi menjaga kehormatan dan kemuliaan manusia, Allah menciptakan hukum sesuai martabatnya, sehingga hubungan antara pria dan wanita diatur secara terhormat dan berdasarkan saling meridhai.4 Hubungan saling meridhai ini pada dasarnya bermula dari adanya rasa suka antar lain jenis, yang kemudian dengan kesepakatan keduanya berlanjut untuk melangsungkan perkawinan. Tidak diragukan lagi, jika kedudukan antara pria dan wanita sama atau sebanding atau sederajat, maka akan membahagiakan kehidupan rumah tangga yang akan dibina. Persamaan itu antara lain adalah sama dalam kedudukan, tingkat sosial, sederajat dalam akhlak, kekayaan dan agama. hal yang seperti ini dalam ajaran agama Islam, seorang yang hendak ingin melakukan suatu hubungan rumah tangga maka diharuskan sederajat seperti yang telah dihimbau oleh Nabi Muhammad saw. Rasulullah memberikan penjelasan, bahwa dalam memilih pasangan haruslah benar-benar teliti, jangan hanya melihat dari kecantikan saja, akan tetapi haruslah di lihat dari kesetaraan masing-masing agar tujuan pernikahan dapat terlaksana dengan baik. Adanya perbedaan dalam memilih pasangan suami atau istri yang tidak sekufu‟
4
As-Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, cet.VI, Penerjemah Mohammad Thalib (Jakarta: PT alMa'arif, 1980), h. 8
2
(setara) baik dalam hal harta, status, keturunan, maupun agama seringkali menjadi penyebab tidak harmonisnya rumah tangga.5 Dalam hal perkawinan, masih terdapat perdebatan yang kontroversial mengenai permasalahan tersebut, salah satu bentuk perkawinan yang masih dalam kontroversi adalah perkawinan beda agama, perkawinan yang tidak sederajat dalam hal agama. Apabila dibagi, maka perkawinan beda agama ini terbagi menjadi empat bentuk: 1. Perkawinan antara pria muslim dengan wanita ahl al-kitab 2. Perkawinan antara pria muslim dengan wanita musyrik 3. Perkawinan antara wanita muslim dengan pria ahl al-kitab 4. Perkawinan antara wanita muslim dengan pria musyrik, yakni yang bukan ahl al-kitab. Perkawinan bentuk pertama, sebagian ulama membolehkan dan sebagian lagi mengharamkannya. Ulama yang membolehkan berdasarkan firman Allah dalam surat al-Maidah (5) ayat 5, secara zahir ayat surat tersebut, dapat dipahami bahwa Allah membolehkan perkawinan pria muslim dengan wanita ahl al-kitab yang muhsanat, arti muhsanat dalam ayat itu adalah wanita-wanita yang menjaga kehormatannya, dari perbuatan zina. Selain arti itu, ada juga yang memahami kata muhsanat ketika
5
A. Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Perkawinan: Nikah, Talak, Cerai, dan Rujuk, cet. II (Bandung: al-Bayan, 1995), h. 43
3
dirangkaikan dengan utual-kitab dari surah al-Ma‟idah (5) ayat 5, dengan arti wanitawanita merdeka atau wanita-wanita yang sudah kawin.6 Sedangkan yang mengharamkannya merujuk pada firman Allah, yang terdapat dalam surat al-Baqoroh (2) ayat 221, ayat ini menunjukan bahwa Allah mengharamkan perkawinan antara pria muslim dengan wanita musyrik, begitu juga sebaliknya, wanita muslim pun dilarang menikahi pria musyrik. Mereka yang mengharamkan mengatakan bahwa Q.S. al-Ma'idah (5) ayat 5 telah dinasakh oleh Q.S. al-Baqarah (2) ayat 221. Diantara yang berpendapat demikian adalah Syi'ah Imamiyyah dan Syi'ah Zaidiyyah. Seorang sahabat Nabi, Ibnu Umar r.a., ketika ditanya tentang perkawinan antara pria muslim dengan wanita ahl al-kitab menjawab: Allah mengharamkan wanita-wanita musyrik dikawini orangorang Islam dan aku tidak melihat kesyirikan yang lebih besar dari seorang wanita yang berkata: Isa adalah Tuhan, atau Tuhannya adalah seorang manusia hamba Allah.7 Dapat disimpulkan bahwa Ibnu Umar tidak membedakan antara ahl al-kitab dan musyrik, yakni karena ahl al-kitab berbuat syirik, ia juga masuk dalam kategori musyrik. Sedangkan perkawinan bentuk kedua dan keempat, umumnya disepakati oleh jumhur ulama sebagai perkawinan yang diharamkan, berdasarkan Q.S. al-Baqarah (2) ayat 221. Adapun perkawinan bentuk ketiga, meskipun tidak disebutkan dalam al6
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur'an, cet.III, (Jakarta: Lentera Hati, 2001), h. 29 7
Muhammad 'Ali as-Sabuni, Terjemahan Tafsir Ayat Ahkam ash-Shabuni. Penerjemah Mu'ammal Hamidy, dkk (Surabaya: PT Bina Ilmu), 1985, h. 232
4
Qur'an, menurut jumhur adalah juga diharamkan. Walaupun pandangan mayoritas ulama tidak memasukkan ahl al-kitab dalam kelompok yang dinamai musyrik, tetapi ini bukan berarti ada izin untuk pria ahl al-kitab mengawini wanita muslimah. Larangan perkawinan wanita muslimah dengan orang musrik diatur dalam Islam yaitu bersumber pada firman Allah swt. dalam surat al-Mumtahanah (60) ayat 10, ayat tersebut sekaligus menjadi dalil larangan perkawinan wanita muslimah dengan laki-laki ahl al-kitab. Berdasarkan pada ketentuan tersebut, dalam melakukan perkawinan bagi orang muslim tentunya harus berpedoman pada hukum syar‟i, yang telah mengatur ketentuan segala hal yang diwajibkan, dilarang dan dibolehkan, akan tetapi disamping aturan yang telah di tetapkan dalam hukum syar‟i, bagi setiap warga negara Indonesia dalam masalah perkawinan tidak bisa hanya terpaku pada ketentuan hukum
syar‟i saja, mereka juga harus berpedoman kepada norma hukum yang
bersumber kepada Undang-undang negara yang telah ditetapkan oleh suatu pemerintahan yang sah dan di sepakati oleh instansi terkait. Adapun yang disebut Undang-undang ialah peraturan atau ketetapan yang dibentuk oleh perlengkapan negara yang mempunyai kewenangan membentuk Undang-undang, yakni Presiden dengan persetujuan DPR (UUD RI 1945 pasal 5 ayat (1) dan diundangkan sebagaimana mestinya.8
8
Kusumadi Pudjosewoyo, Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia (Jakarta: PT Penerbit Universitas, 1996), h. 74
5
Ini berarti dengan diundangkannya Undang-undang Perkawinan (UUP) merupakan suatu
pedoman bagi seluruh warga negara Indonesia, baik muslim
maupun non muslim. Undang-undang tersebut merupakan sumber hukum mengenai perkawinan, berlaku dan mengikat untuk seluruh warga negara Indonesia serta mempunyai kekuatan hukum yang bersifat memaksa dan ditetapkan dengan jelas sanksi bagi pelanggarnya. Mengenai pernikahan beda agama, sebagaimana diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), semua bentuk perkawinan beda agama adalah dilarang, tak terkecuali perkawinan antara pria muslim dengan wanita ahl al-kitab, satu-satunya bentuk perkawinan beda agama yang dibolehkan oleh jumhur ulama. Larangan ini diatur dalam pasal 40 huruf (c) KHI yang melarang perkawinan antara pria muslim dengan wanita non muslim dan pasal 44 KHI yang melarang perkawinan antara wanita muslim dengan pria non muslim.9 Aturan yang telah di tetapkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) ternyata dalam perkembangan pemikiran pada saat ini mendapat kritikan dari kalangan yang menghendaki peraturan tersebut direvisi, tentunya wajar saja jika aturan dalam Kompilasi Hukum Islam mendapat kritikan, akan tetapi kritikan tersebut harus sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh hukum Islam (syariah). Syariah itu sendiri memiliki dua dimensi, yaitu dimensi vertikal dan horizontal. Pada dimensi vertikal terkandung aturan yang mengatur hubungan antara manusia dengan tuhan (ibadah),
9
Kompilasi Hukum Islam (Hukum Perkawinan, Kewarisan dan Perwakafan ) ,Bab IV tentang larangan kawin, (Bandung: Nuansa Aulia, 2008), h.12-13
6
sementara pada dimensi horizontal syariah berisi aturan tentang hubungan antar manusia, yang kemudian dikenal dengan isitilah muamalah.10 Muamalah menurut Ibn Abidin terbagi menjadi lima bagian, yaitu: mu‘awadah maliyah (hukum kebendaan), munakahat (hukum perkawinan), muhasanah (hukum acara), amanah dan „aryah (pinjaman), dan tirkah (harta warisan).11 Berbicara tentang feminisme, maka pembahasan yang akan muncul yaitu penuntutan kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan, yang menjadi persoalan mendasar dalam membahas posisi kaum perempuan (muslimat) dalam Islam adalah posisi kaum perempuan dimasyarakat, dewasa ini telah merefleksikan inspirasi normatif kaum perempuan menurut ajaran Islam. Pernyataan ini umumnya dapat digolongkan menjadi dua golongan utama. Pertama, mereka yang menganggap bahwa sistem hubungan laki-laki perempuan di masyarakat saat ini telah sesuai dengan ajaran Islam, karenanya tidak perlu di emansipasikan lagi. Kedua, mereka yang menganggap kaum muslimat saat ini berada dalam suatu sistem yang diskriminatif, diperlakukan tidak adil, karenanya tidak sesuai dengan prinsip keadilan dan dasar Islam. Kaum muslimat dianggap sebagai korban ketidakadilan dalam berbagai bentuk dan aspek kehidupan, yang dilegitimasi oleh suatu tafsiran sepihak dan dikonstruksi melalui budaya dan syariat.
10
Abd. Salam Arief. Pembaharuan Pemikiran Islam Antara Fakta dan Realita, cet.I, (Yogyakarta: Lesfi, 2003), h. 83 11
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, cet.I, (Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 2002), h. 3
7
Mereka menganggap bahwa posisi kaum muslimat dalam kenyataan dimasyarakat saat ini tertindas oleh suatu sistem dan struktur gender, karenanya ketidakadilan tersebut harus dihentikan.12 Perhatian kalangan feminis dalam memperjauangkan hak-hak perempuan yang terjadi di Indonesia nampak jelas ketika ada seruan untuk merevisi aturan-aturan mengenai hukum keluarga, seperti yang dijelaskan diatas bahwa kaum perempuan diperlakukan tidak adil, hal ini yang mengakibatkan sebahagian aktivis pemerhati perempuan memperjuangkan yang mereka anggap merugikan kaum hawa. Salahsatu respon dari perjuangan mereka yaitu memperjuangkan aturan yang berkeadilan pada perempuan salah satunya mengenai aturan mengenai perkawinan. Aturan mengenai perkawinan yang berlaku saat ini yaitu berpedoman kepada Kompilasi Hukum Islam. Kalangan feminis menghendaki aturan tersebut harus direvisi karena menurutnya Kompilasi Hukum Islam sebagian besar isinya tidak mengakomodasikan kepentingan publik untuk membangun tatanan masyarakat yang egaliter, pluralis dan demokratis. Menurut Siti Musdah Mulia, Kompilasi Hukum Islam tidak sepenuhnya digali dari kenyataan empiris Indonesia, melainkan lebih banyak digali dari penjelasan normatif dari tafsir-tafsir ajaran keagamaan klasik dan sangat kurang mempertimbangkan bagi kemaslahatan umat Islam di Indonesia, kemudian menurutnya KHI bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam, antara lain prinsip keadilan (al-Adl), kemaslahatan
(al-Mashlahah),
kerahmatan
12
(al-Rahmah),
kebijaksanaan
(al-
Mansour Fakih, dkk, Membincang Feminisme Diskursus Gender Perspektif Islam, cet.II, (Surabaya: Risalah Gusti, 2000), h. 38
8
Hikmaha),kesetaraan (al-Musawah) dan kebijaksanaan (al-Ikha), disamping itu menurut Musdah, pasal-pasal dalam KHI bersebrangan dengan peraturan perundangundangan yang ada, bersebrangan dengan instrumen hukum Internasional bagi penegakan dan perlindungan hak asasi manusia (HAM), isi dalam KHI menurut Musdah sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan sosial yang ada, kenyataan budaya masyarakat Indonesia dan gagasan dasar bagi pembentukan masyarakat berdasarkan berkeadaban (civil society) dan terakhir menurutnya perlunya membandingkan KHI dengan hukum keluarga (the family law) yang ada di berbagai negara muslim yang lain.13 Buah dari pemikiran tersebut yaitu lahirnya gagasan revisi terhadap KHI dengan merumuskan suatu rancangan tandingan Kompilasi Hukum Islam, yaitu Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam. Isi dari pasal yang termaktub didalamnya terdapat aturan dibolehkannya perkawinan beda agama. Menurutnya, larangan dalam KHI tentang perkawinan beda agama merepresentasikan secara utuh pandangan fikih tradisional, seperti dalam buku Fikih Perempuan, melarang perkawinan beda agama karena alasan kepemimpinan. Laki-laki berhak memimpin istrinya, dan istri wajib taat kepadanya. Tidak sepatutnya orang kafir atau musyrik memegang perwalian atau kekuasaan atas orang yang telah mengucapkan dua kalimah syahadat. Sedangkan dalam buku Ilmu Fikih Islam lengkap melarang perkawinan beda agama dengan alasan tidak sekufu karena semua non-Islam
13
Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis Perempuan Pembaru Keagamaan, (Bandung: Mizan, 2005), h. 383-384
9
dianggap
musyrik
atau
mempersekutukan
Tuhan.
Sementara
dalam
CLD
memperbolehkan perkawinan beda agama selama itu dimaksudkan untuk tujuan perkawinan.14 Dapat disimpulkan, aturan yang dirumuskan oleh para feminis yang memperjuangkan kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan dalam hal ini mengenai hukum keluarga Islam, sangat kental dengan pemikiran kalangan feminis yang beranggapan kaum perempuan tertindas oleh aturan yang diskriminatif, karenanya kalangan feminis memperjuangkan keadilan dan kesetaraan antara lakilaki dan perempuan sesuai dengan apa yang mereka pahami. Berdasarkan hal tersebut, aturan mengenai pekawinan di Indonesia di atur dalam Kompilasi Hukum Islam, aturan yang berlaku dan tertulis di dalamnya dengan tegas melarang perkawinan beda agama ternyata aturan tersebut oleh kalangan feminis dianggap tidak sesuai lagi dengan peperkembangan zaman dan melanggar hak asasi manusia, tentunya hal ini sangat bertentangan dan kontradiktif. Berdasarkan hal ini, maka penulis tertarik untuk membahas dan mengkaji lebih dalam mengenai permasalahan tersebut dalam bentuk skripsi yang berjudul “Analisa Kritis Terhadap Konsep Pemikiran Feminis Tentang Perkawinan Beda Agama.” B. Batasan dan Rumusan Masalah a. Batasan Masalah
14
Siti Musdah Mulia,Menuju Hukum Perkawinan Yang Adil: Memberdayakan Perempuan Indonesia,dalam Sulistiawati Irianto,ed. Perempuan dan Hukum menuju hukum yang berperspektif kesetaraan dan keadilan, (Jakarta, Yayasan Obor Indonesia,2008), Cet-Kedua,h. 168
10
Dalam penulisan skripsi ini, untuk lebih terarah maka fokus pembahasan yang hendak dijadikan suatu penelitian dalam bentuk skripsi yaitu dengan membatasi permasalahan pada pembahasan mengenai pemikiran kalangan feminis dalam bidang perkawinan, yaitu pembahasan mengenai perkawinan beda agama. b. Rumusan Masalah Perkawinan beda agama yang dengan jelas di larang dalam Kompilasi Hukum Islam, sebagai aturan mengenai perkawinan bagi umat Islam di Indonesia tentunya bersifat mengikat dan mempunyai kekuatan hukum tetap. Larangan tersebut termaktub dalam KHI pasal 40 huruf (c) dan pasal 44, kedua pasal dengan jelas dan tegas melarang perkawinan beda agama. Pada kenyataannya, kalangan feminis membolehkan perkawinan beda agama dan menginginkan aturan tersebut menjadi suatu aturan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Berdasarkan pada hal inilah yang menjadikan suatu ketertarikan penulis untuk membahasnya dalam sebuah skripsi. Dan untuk memperjelas pemasalahan, penulis merincinya dengan mengajukan beberapa rumusan masalah kedalam beberapa pertanyaan yaitu sebagai berikut : 1. Bagaimana konsep perkawinan beda agama yang di gagas oleh kalangan feminis? 2. Apa yang melatar belakangi lahirnya pemikiran tersebut? 3. Apakah konsep pemikiran tersebut relevan dengan konteks perkembangan hukum keluarga di Indonesia?
11
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian a. Tujuan Penelitian Dalam penulisan skripsi ini tujuan yang hendak dicapai oleh penelus antara lain: 1. Untuk mengkaji lebih dalam tentang konsep perkawinan beda agama yang diusung oleh kalangan feminis. 2. Untuk mengetahui latar belakang mengenai pemikiran tersebut. 3. Untuk mengetahui relevansi pemikiran tersebut dengan konteks perkembangan hukum keluarga di Indonesia. b. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan ilmiah Dari sisi ilmiah, penyusunan skripsi ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka mengembangkan dan memperkaya khasanah pengetahuan, terutama pengetahuan yang berkaitan dengan perkawinan dalam hukum Islam. 2. Kegunaan praktis Kegunaan praktis dari penyusunan skripsi ini, yakni agar menjadi bahan acuan dan bacaan bagi para segenap kalangan mahasiswa dan pembaca umum.
12
D. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library recearh), yaitu penelitian dengan cara mengkaji dan menelaah sumber-sumber tertulis dengan jalan mempelajari, menelaah dan memeriksa bahan-bahan kepustakaan yang mempunyai relevansi dengan materi pembahasan. Adapun sumber buku yang menjadi rujukan antara lain buku yang ditulis oleh Siti Musdah Mulia, ia merupakan tokoh yang berpengaruh dalam penegakan hak-hak wanita seperti yang telah dijelaskan diatas. Tujuan kalangan feminis yaitu penyamarataan hak antara laki-laki dan wanita, buku yang berjudul Muslimah Reformis Perempuan Pembaharu Keagamaan, kemudian buku Perempuan dan Hukum: Menuju Hukum Yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan, penulis Siti Musdah Mulia, dalam usaha melegalkan perkawinan beda agama, Siti Musdah Mulia membuat suatu draft tandingan Kompilasi Hukum Islam yaitu Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam, dalam perumusan aturan yang terdapat pada draf tersebut terdapat aturan yang membolehkan perkawinan beda agama. Kemudian sumber lainnya yaitu hukum positif tentang perkawinan, dalam hal ini KHI. 2. Sifat Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif analisis15, yaitu memaparkan konsep perkawinan beda agama yang digagas oleh kalangan feminis, yang dimaksud feminis
15
Winamo Surakhmad, Pengantar Penelitian-Penelitian Ilmiah: Dasar, Metode, Teknik Deskriptif analisis, yaitu suatu penelitian yang meliputi proses pengumpulan data, penyusunan, dan
13
dalam penulisan skripsi ini yaitu aliran yang memperjuangkan kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Salah satu tuntutannya yaitu menghendaki dibolehkannya dan disahkannya perkawinan beda agama, selanjutnya pemikiran mengenai hal tersebut diteliti dan kritik terhadap pemikiran yang memperbolehkan perkawinan beda agama. 3. Pengumpulan Data Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan mengkaji dan menelaah berbagai buku dan sumber tertulis lainnya yang mempunyai relevansi dengan kajian ini. Adapun sumber primer penelitian ini adalah hasil karya kalangan feminis. Sedangkan literatur-literartur yang termasuk kategori sumber sekunder adalah kitab-kitab yang membahas tentang kajian hukum Islam, pemikiran hukum kontemporer dan buku-buku yang berkaitan dengan pembahasan. Sedangkan literatur lainnya yang berkaitan dengan topik pembahasan ini dapat dijadikan sebagai penunjang dalam penelitian ini baik yang berupa sumber dari internet, majalah, jurnal, artikel, dan karya ilmiah lainnya. 4. Pendekatan penelitian
penjelasan atas data. Data yang terkumpul kemudian dianalisis dan diinterpretasi sehingga metode ini sering disebut metode penelitian analitik. Ciri yang mendasar dari metode ini adalah bahwa ia lebih memusatkan diri pada pemecahan msalah-masalah aktual. Lihat Winarno Surakhmad, Cet.V, (Bandung: Arsito, 1994), h. 139-140
14
Pendekatan yang digunakan dalam menyusun skripsi ini adalah pendekatan normatif16, artinya pendekatan yang berbasis pada teori-teori dan konsep-konsep hukum Islam. 5. Analisis data. Dalam menganalisis data dan materi yang disajikan, penyusun menggunakan analisa kualitatif dengan menggunakan cara berfikir induktif.17 Penyusun berusaha menganalisa konsep nikah beda agama yang diusung oleh kalangan feminis. 6. Pedoman Penelitian Teknik penulisan skripsi ini berpedoman pada “Pedoman Penulisan Skripsi tahun 2008”
yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta dengan beberapa pengecualian sebagai berikut: a. Dalam daftar pustaka al-Qur‟an ditempatkan pada urutan pertama b. Terjemahan al-Quran dan Hadis ditulis 1/2 spasi walaupun kurang dari enam baris.
16
Maksud pendekatan normatif adalah studi Islam yang memandang masalah dari sudut legal/formal dan atau normatifnya. Maksud legal-formal adalah hubungannya dengan halal dan haram, boleh atau tidak. Dan sejenisnya. Sementara normatif adalah seluruh ajaran yang terkandung dalam nash. Dengan demikian, pendekatan normatif mempunyai cakupan yang sangat luas. Lihat Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi Islam, (Yogyakarta: Academia Tazzafa, 2004), Cet Ke- I, h. 141 17
Analisis induktif dalam penelitian kualitatif digunakan karena beberapa alasan. Diantaranya adalah dengan proses induktif lebih dapat menggali kenyataan-kenyataan ganda yang terdapat dalam data; analisis induktif lebih dapat membuat hubungan peneliti dengan objek menjadi lebih eksplisit; analisis lebih dapat meguraikan latar secara penuh dan dapat membuat keputusan-keputusan tentang dapat tidaknya pengalihan kepada suatu latar lainnya. Lihat Lexi J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2002), Cet Ke-XVI h. 5
15
E. Review Studi Terdahulu Review studi terdahulu berfungsi untuk mengetahui apakah hal yang akan di teliti pada pembahasan ini sudah pernah di teliti sebelumnya atau belum sama sekali. Setelah penulis mencari dan menelaah skripsi yang pernah ditulis oleh mahasiswa fakultas syariah dan hukum, terlebih khusus prodi Hukum Keluarga
yang erat
kaitannya dengan pembahasan yang akan diteliti penulis, ternyata bahasan yang telah ditulis oleh mahasiswa sebelumnya ditemukan pembahasan yang berbeda dengan pembahasan skripsi yang akan penulis ajukan, sehingga kecurigaan plagiasi dalam penulisan ilmiah dapat penulis pertanggung jawabkan. Untuk itu, paling tidak penulis mengemukakan beberapa skripsi yang pernah ditulis dan masuk dalam daftar skripsi perpustakaan Syariah dan Hukum, diantaranya sebagai berikut : Pertama, Skripsi yang berjudul Kritik Feminisme Terhadap Aturan Poligami di Indonesia. Skripsi yang di tulis oleh Eri Prima (107044102065) Prodi Ahwal Syakhsiyyah Tahun 2007, dalam pembahasan yang dibahas dalam penulisan skripsi itu mengenai aturan yang digagas oleh kalangan feminis, apakah sesuai dengan Undang-undang No 1 tahun 1974 dan KHI. Perbedaan dengan pembahasan yang akan dibahas dalam skripsi ini, pembahasan yang akan difokuskan tentunya mengenai perkawinan beda agama, walaupun ada kesamaan dalam hal pembahasan mengenai pemikiran feminisme. Kedua, skripsi yang berjudul Perkawinan Beda Agama dan Pengaruhnya Terhadap Agama Anak. Skripsi ini di tulis oleh M. Fuad Hadziq (103044128076) Prodi Ahwal Syakhsiyyah Tahun 2003. Dalam penulisan skripsi ini, penulis skripsi 16
tersebut mengangkat dan membahas permasalahan mengenai pandangan hukum Islam dan hukum positif tentang perkawinan beda agama, kemudian membahas mengenai status anak, kedudukan waris dan perwalian bagi anak menurut hukum Islam dan hukum positif, dan terakhir membahas tentang orang yang menentukan agama anak tersebut di tinjau dari hukum Islam dan hukum positif. Perbedaan dalam pembahasan dengan skripsi ini adalah, dalam skripsi ini membahas tentang latar belakang timbulnya konsep pernikahan beda agama yang di gagas oleh kalangan feminis kemudian dibahas pula konsep mengenai pernikahan tersebut. Ketiga, hukum Perkawinan Beda Agama Tinjauan Agama-agama yang diakui di Indonesia. Skripsi yang disusun oleh Jamaludin (101044222192) prodi Administrasi Keperdataan Islam Tahun 2000. Permasalahan yang diangkat dan dibahas dalam skripsi ini yaitu maksud dan bagaimana kebebasan perkawinan beda agama di Indonesia menurut UUP No 1 tahun 1974, kemudian membahas tentang hukum perkawinan beda agama menurut agama-agama yang diakui di Indonesia, yang terakhir dalam skripsi ini membahas tentang problematika yang dihadapi dalam keluarga dan dampak hukum pada anak terhadap waris, nasab dan perkawinan. Dalam penulisan skripsi ini hanya membahas tentang pernikahan beda agama yang di gagas oleh kalangan feminis. Serta relevansi pemikiran
tersebut dengan
perkembangan hukum keluarga di Indonesia. F. Sistematika Penulisan Sebagai upaya menjaga keutuhan pembahasan dalam skripsi ini agar terarah, penyusun akan menggunakan sisitematika sebagai berikut: 17
BAB Pertama Berisi pendahuluan Memuat latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan kegunaan
penelitian, metode
penelitian, review studi terdahulu, dan sistematika penulisan. BAB Kedua
Berisi tentang perkawinan dalam fikih dan hukum positif, pembahasan tersebut meliputi pengertian dan dasar hukum perkawinan, macam-macam perkawinan dalam Islam, rukun dan syarat perkawinan, tujuan perkawinan dalam Islam dan membahas tentang aturan perkawinan dalam hukum positif.
BAB Ketiga
Dalam bab ini penulis akan memaparkan dan menjelaskan pembahasan mengenai feminisme itu sendiri. Pembahasan tersebut meliputi
pengertian
feminisme,
sejarah
singkat
mengenai
perkembangan pemikiran feminis, macam-macam aliran feminisme dan membahas pula mengenai feminisme dalam Islam. BAB Keempat
Berisi tentang pembahasan mengenai konsep perkawinan beda agama, isi dari bab ini membahas konsep perkawinan beda agama kalangan feminis, beberapa kritik terhadap konsep tersebut dan membahas tentang analisis penulis.
BAB Kelima
Berisi penutup, dalam pembahasan ini memaparkan tentang kesimpulan pembahasan dan saran-saran.
18
BAB II PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM ISLAM DAN HUKUM POSITIF A. Pengertian Perkawinan Beda Agama Perkawinan merupakan hal yang penting dalam kehidupan manusia, karena dengan adanya perkawinan akan tercipta suatu hubungan yang dapat melahirkan keturunan sebagai cikal bakal penerus sejarah kehidupan manusia. Dalam ajaran Islam, maksud utama dari perkawinan itu selain sebagai ibadah adalah untuk membangun ikatan keluarga yang langgeng (mitsaqan ghalidzhan) yang dipenuhi dengan sinar kedamaian (sakinah), saling cinta (mawaddah), dan saling kasih-sayang (rahmah). Dengan begitu, ikatan pernikahan yang tidak ditujukan untuk membangun rumah tangga secara langgeng, tidaklah sesuai dengan tujuan ajaran Islam. Perkawinan ditinjau dari segi bahasa (etimologi), berasal dari kata kawin yang mempunyai arti membentuk keluarga dengan lawan jenis; bersuami atau beristri, melakukan hubungan kelamin.1 Perkawinan dapat disebut pula dengan istilah nikah yang berarti ikatan (akad) perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran agama.2 Kata nikah itu sendiri merupakan kata yang berasal dari
1
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), h. 518 2
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia. h. 782
19
bahasa Arab yaitu ( ِٔىَبزًب- َٔىْسًب-ََ ْٕىِر٠ -َ ) َٔىَرyang berarti kawin.3 Secara harfiah, annikah dapat diartikan dengan beberapa istilah yaitu al- wath'u
(ُطء ْ َٛ ٌْ)َا, adh-
dhammu (َُُ )اٌَّضdan al-jam'u )ُدّْع َ ٌْ(َا. Al-wath'u berasal dari kata wathi'a - yatha'u wath'a )ًطْأٚ َ -ُطَأ٠َ -َطَأَٚ ( artinya berjalan di atas, melalui, memijak, menginjak, memasuki, menaiki, menggauli dan bersetubuh atau bersenggama. Adh-dhammu, yang terambil dari akar kata dhamma-yadhummu-dhamma
)ضًّب َ -َُُُّض٠-ََُ (ضsecara harfiah berarti mengumpulkan, memegang, menggenggam, menyatukan,
menggabungkan,
menyandarkan,
merangkul,
memeluk
dan
menjumlahkan. Juga berarti bersikap lunak dan ramah. Sedangkan al-jam'u yang berasal dari akar kata jama‟a - yajma'u -jam'an
َ -ُدَّع ْ َ٠-َخَّع َ) (خ ّْعًب
berarti:
mengumpulkan,
menghimpun,
menyatukan,
menggabungkan, menjumlahkan dan menyusun. Itulah sebabnya mengapa bersetubuh atau bersenggama dalam istilah fikih disebut dengan al-jima' mengingat persetubuhan secara langsung mengisyaratkan semua aktivitas yang terkandung dalam maknamakna harfiah dari kata al-jam'u. Sebutan lain untuk perkawinan (pernikahan) ialah az-zawaj az-ziwaj dan azzijah. Terambil dari akar kata zaja-yazuju-zaujan ( ْخًبَٚ ص-ُْجُٚض٠َ -َ )صَاجyang secara harfiah berarti: menghasut, menaburkan benih perselisihan dan mengadu domba. Namun yang dimaksud dengan az-zawaj, az-ziwaj di sini ialah at-tazwij yang 3
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia (Jakarta: PT. Mahmud Yunus Wadzuryah, 1972),
h. 467
20
mulanya terambil dari kata zawwaja- yuzawwiju tazwijan (ْدًب٠ِْٚ َرض-ُِجَٚض٠ُ -ََجَٚ )صdalam
ِ ُفَب٠ -ًَ ) َف َعyang secara harfiah bentuk timbangan "fa'ala-yufa'ilu taf'ilan" ( ًْ١ِ رَ ْفع-ًُع berarti mengawinkan, mencampuri, menemani, mempergauli, menyertai dan memperistri.4 Secara istilah (terminologi), ulama mendefinisikan perkawinan dalam beberapa redaksi, antara lain: Wahbah Al-Zuhaili medefinisikan perkawinan dengan redaksi:
زًَ ِاسْ ِزّْزَبعِ َا ٌْ َّ ْشأَ ِح ِ َٚ ً ثِب ٌْ َّ ْشأَ ِح ِخ ُ َْ َذ ِِ ٍْهَ ِاسْ ِزّْزَبعِ اٌش١ُِف١ٌِ ُضعَُٗ اٌَّشَبسِع َ َٚ عَمْ ٌذَٛ ُ٘ ششْعًب َ َُاجَٚاٌَض .ًِخ ُ ثِبٌَش
5
Artinya: “Perkawinan menurut syara yaitu akad yang ditetapkan untuk membolehkan bersenag-senang antara laki-laki dengan perempuan dan menghalalkan bersenangsenangnya perempuan dengan laki-laki”. Sementara itu Dr. Ahmad Ghandur dalam bukunya al-Ahwal al-Syakhsiyah fi al-Tasyri‟ al-Islami yang dikutip oleh Prof. Dr. Amir Syarifuddin, mendefinisikan perkawinan dengan redaksi:
ً ُ د َع ْ َ٠َٚ د ِ َب١َ اٌسَْٜ َِذ ِ َزَمَب ضَب ُٖ اٌطَجْ ِع اٌِب ْٔسَب٠ ك َِب ُ ُس َم٠ َا ٌْ َّ ْشأَ ِح ِثَّبٚ ً ِخ ُ َٓ اٌَش َ ْ١َسشَ ِح ث ْ ً اٌ ُع ُز َ ْ ُذ١ُِف٠ عَمْ ٌذ 6
.ِْٗ١ٍَع َ َاخَجَبدٚ َٚ ُٗ ًَ صَبزِج َ ق لَ ْج َ ِٛ َُّب زَمُٙ ْٕ ِِ ً ِ ٌِ ُى
4
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2004), h. 43-44 5
Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, cet.III, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), h.
29
21
Artinya: “Akad yang menimbulkan kebolehan bergaul antara laki-laki dan perempuan dalam tuntutan naluri kemanusiaan dalam kehidupan, dan menjadikan untuk kedua pihak secara timbal balik hak-hak dan kewajiban-kewajiban”. Dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 pasal 1 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita, sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ke Tuhanan yang Maha Esa.7 Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan bahwa yang dimaksud perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau Mitsaqan Ghalizan, untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.8 Dari beberapa pengertian diatas, tidak terdapat suatu pertentangan satu sama lain, hal ini dikarenakan yang menjadi sumber utama dalam mendefinisikan perkawinan bersumber pada syariat Islam, yang pada intinya dalam mendefinisikan perkawinan para ulama dalam merumuskan pengertian tersebut tak terlepas dari aturan syar’i yang bersumber pada ketetapan dalam al-Quran ataupun hadis.
6
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, cet.II, (Jakarta; Kencana, 2007), h. 39 7
Kompilasi Hukum Islam (Hukum Perkawinan,Kewarisan Dan Perwakafan),dilengkapi dengan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,UU No.41Tahun 2004 Tentang wakaf,UU No.38 Tahun 1999 Tentang Penggunaan Zakat dan UU No.8 Tahun 2001 Tentang Badan Amil Zakat Nasional.(Bandung: Nuansa Aulia, 2008), h.80 8
Kompilasi Hukum Islam (Hukum Perkawinan,Kewarisan Dan Perwakafan).. h. 2
22
Setelah membahas tentang perkawinan ditinjau dari segi bahasa dan istilah seperti yang telah dijelaskan diatas, maka arti dari perkawinan beda agama itu sendiri adalah perkawinan antara orang yang memeluk agama yang berbeda. Perkawinan beda agama merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita yang berbeda agamanya serta melibatkan dua aturan yang berbeda mengenai syarat dan tata cara pelaksanaan perkawinan yang sesuai dengan agama masing-masing.9 Dari pengertian tersebut, nampak jelas bahwa yang dimaksud dengan perkawinan beda agama adalah perkawinan yang dilakukan oleh lelaki atau wanita yang masing-masing mempunyai keyakinan yang berbeda dan berlaku dua hukum yang harus dilaksanakan. Dalam penulisan ini, pembahasan yang akan difokuskan mengenai perkawinan beda agama, lebih lanjut penulis akan membahas permasalaahan tersebut dengan mengkaji lebih dalam bagaimana ajaran agama Islam dalam mengatur tentang perkawinan yang dilakukan oleh dua insan yang bersebrangan keyakinan, pembahasan ini akan diulas dan dibahas sebagai berikut. B. Perkawinan Beda Agama Dalam Islam Dalam ajaran agama Islam, segala perbuatan dan tingkah laku manusia diatur dengan sedemikian rupa, hal ini di karenakan untuk kebahagiaan manusia itu sendiri baik di dunia maupun akhirat, perkawinan adalah salah satu perbuatan manusia yang diatur dalam syariat Islam, hal ini bertujuan sebagai penghormatan dan penghargaan 9
Rumonda Nasution, Penelitian Hukum Tentang Pelaksanaan Hukum dan Praktek Perkawinan Antar Agama dalam Harta Perkawinan dan Status Anak (Jakarta: Departemen Kehakiman, 1994), h. 42
23
yang tinggi terhadap harga diri yang diberikan oleh Islam khusus untuk manusia di antara makhluk-makhluk lainnya.10 Perkawinan merupakan salah satu perbuatan yang penting dalam ajaran Islam, oleh karena itu aturan mengenai hal tersebut dengan jelas diatur dalam al-Quran maupun hadis, aturan mengenai pelaksanaan perbuatan tersebut tentunya ada ramburambu tersendiri yang harus dipatuhi oleh setiap individu umat Islam, baik yang berupa larangan ataupun kewajiban. Dalam urusan perkawinan, ternyata masih terdapat beberapa kontroversi dalam melaksanakannya, salah satunya yaitu perkawinan beda agama, perkawinan semacam itu merupakan salah satu permasalahan yang selalu menjadi perdebatan dan menjadi suatu permasalahan yang tak kunjung usai, sebenarnya perkawinan beda agama merupakan persoalan klasik yang terjadi semenjak masa Rasullullah saw., sepeninggalnya Rasul permasalahan tersebut berlanjut pada masa sahabat-sahabat Nabi, diantaranya pada masa Khulafaurrasyidin dan pada masa shahabat-shahabat. Pada masa Kekhalifahan Umar Ibn Khattab, perkawinan beda agama mengalami sedikit perubahan ketika Umar berpendapat bahwa perkawinan tersebut menjadi haram dengan sebab hal-hal yang terjadi pada waktu itu, Umar mengharamkan perkawinan tersebut dikarenakan untuk menghindari fitnah bagi umat Islam dengan kekhawatiran beliau dengan anak yang di hasilkan dari perkawinan
10
Mahmud asy-Syubbag, Tuntunan Keluarga Bahagia Menurut Islam, cet.III, Penerjemah Bahruddin Fanani (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1994), h. 23
24
beda agama.11 Memasuki zaman yang semakin pesat yang diwarnai berbagai kebebasan dalam hal berpikir ataupun disebabkan karena pengaruh barat yang begitu marak merasuki setiap aspek kehidupan, tidak menutup kemungkinan perkawinan beda agama sangat mudah untuk dilakukan. Dalam menyikapi pengaruh dan maraknya pemikiran mengenai perkawinan beda agama, maka dalam penulisan skripsi ini dibahas pula mengenai perkawinan beda agama dalam Islam, untuk mempermudah pembahasan maka dalam skripsi ini penulis memfokuskan pembahasan mengenai perkawinan beda agama kedalam dua garis besar. Yaitu perkawinan pria muslim dengan wanita ahl al-kitab, termasuk membahas tentang perkawinan antara wanita muslim dengan pria ahl al-kitab. Perkawinan antara pria muslim dengan wanita musyrik dan dibahas pula mengenai perkawinan antara wanita muslim dengan pria musyrik yang bukan ahl al-kitab. 1. Perkawinan Pria Muslim dengan Wanita Ahl Al-Kitab Umumnya para ulama sepakat membolehkan perkawinan laki-laki muslim dengan wanita ahl al-kitab. Bagi yang memperbolehkan perkawinan semacam ini argumentasi mereka mengacu pada al-Quran yaitu surat al-Maidah (5) ayat (5) yaitu:
ٓ َ ِِ ذ ُ ََا ٌُّْسْصَٕـٚ ُْ ٌَُٙ ًٌز ِ ُْ ُطعَب ُِى َ َٚ ُْ ُزًٌ ٌَّى ِ ت َ َاا ٌْىِزَُْٛٓ أُر٠ِطعَب َُ اٌَز َ َٚ ذ ُ َِج١َزًَ ٌَىُ ُُ اٌط ِ ََُْ أَٛ١ٌَْا َش١ْ َٓ غ َ ْ١ِِٕٓ ُِسْص َ َُ٘سُٛ َُ٘ٓ اُخُّْٛ ُز١َٓ لَ ْجٍِىُُْ اِرَا ءَار ْ ِِ ت ِ َْاَا ٌْىِزُٛرَُْٚٓ ا٠ِذ َِِٓ َاٌَز ُ َََٕا ٌُّْسْصٚ ذ ِ ََِِٕا ٌُّْ ْإ
11
Ali Mustofa Yaqub, Nikah Beda Agama dalam Perspektif al-Quran dan Hadist. (Jakarta: Pustaka Darussunah, 2005), h. 29
25
ٓ َ ْ٠ِسش ِخ َ ٌْٓ ا َ ِِ خشَ ِح ِ َ اٌْأِٝ فَٛ َُ٘ٚ ُٗ ٍَُّ ع َ ط َ ْ فَمَ ْذ زَ ِج ِ َّب٠ْ ِىْ ُف ْش ثِبٌْإ٠َ ٓ ْ ََِٚ ْ ٍ ْ اَخْزَاٌَِٞب ُِزَخِزَٚ ٓ َ ْ١ُِِسَبفِس )٥ :سح اٌّبئذحٛ(س Artinya : “Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik, makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. barangsiapa yang kafir sesudah beriman (Tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi”. (QS. Al-Maidah (5): 5) Secara zahir ayat yang termaktub diatas bahwasanya al-Quran telah memperbolehkan perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita ahl al-kitab. Dalam ayat ini yang dimaksud ahl al-kitab adalah kelompok atau komunitas pemeluk agama yang memiliki kitab suci yang di wahyukan oleh Allah kepada Nabi dan Rasulnya.12 Yahudi dan Nasrani adalah dua kelompok agama yang diakui mempunyai kitab suci, karena kepada keduanya diturunkan kitab suci, yakni Taurat dan Injil. Pengungkapan term atau istilah ahl al-kitab di dalam al-Qur'an selalu menunjuk kepada Yahudi dan atau Nasrani. Dikatakan demikian, karena pengungkapan ini kadang menunjuk kepada keduanya, dan kadang pula menunjuk kepada salah satu dari keduanya. Term atau istilah ahl al-kitab yang menunjuk kepada kedua komunitas agama ini, Yahudi dan Nasrani, kadang bernada kecaman, dan kadang bernada pujian. Salah satu kecaman terhadap ahl al-kitab adalah
12
M. Galib M, Ahl al-Kitab Makna dan Cakupannya, cet.Pertama, (Jakarta: Paramadina, 1998), h. 20
26
disebabkan prilaku mereka yang mencampuradukkan kebenaran dan kebatilan. Sedangkan pujian al-Qur'an yang diberikan kepada ahl al-kitab adalah karena ada diantara mereka yang membaca ayat-ayat Allah, mengikuti ajaran Nabi, dan juga dapat dipercaya. Adapun term atau istilah ahl al-kitab yang ditujukan kepada Yahudi, selalu bernada kecaman disebabkan prilaku mereka yang selalu memusuhi Islam. Sedangkan term atau istilah ahl al-kitab yang hanya menunjuk kepada Nasrani, kadang bernada negatif atau kecaman, dan ada pula yang bernada positif atau pujian.13 Al-Qur'an dan Nabi Muhammad saw., menamakan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai ahl al-kitab untuk membedakan mereka dengan para penyembah berhala, yakni orang-orang musyrik, dan orang-orang kafir lainnya.14 walaupun kitab suci mereka diyakini oleh umat Islam telah diubah, namun hal tersebut minimal disepakati oleh para ulama sebagai golongan ahl al-kitab.15 Agama Islam merupakan agama yang memiliki kitab suci akan tetapi, walaupun Islam mempunyai kitab suci
13
Ayat yang bernada negatif misalnya kecaman al-Qur'an terhadap mereka yang sangat berlebihan dalam mengkultuskan Nabi 'Isa as. Pengkultusan ini pada gilirannya menempatkan Nabi 'Isa sebagai tuhan. Lihat Q. S. al-Maidah (5): 77. Sedangkan yang bernada pujian misalnya, Q.S. 'Ali Imran (3): 199, yang menyatakan bahwa di antara Ahl al-Kitab itu ada yang konsisten terhadap ajaran agamanya, yang pada gilirannya menerima ajaran Nabi Muhammad saw, karena demikianlah ajaran yang ada dalam kitab sucinya. 14
Departemen Agama Republik Indonesia, Ensiklopedi Islam, cet.Pertama, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Proyek Peningkatan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN Jakarta, 1987/1988), h.62 15
Sa'di Abu Habieb, Ensiklopedi Ijmak: Persepakatan Ulama dalam Hukum Islam. Pnerjemah Sahal Machfudz, dkk (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), h. 19
27
sebagaimana halnya Yahudi dan Nasrani, al-Qur'an tidak menunjuk penganut agama Islam sebagai ahl al-kitab.16 Dalam penentuan siapa sajakah yang termasuk kedalam golongan ahl al-kitab, para ulama berbeda pendapat tentang hal itu, ulama yang sering diambil pendapatnya mengenai siapakah yang dikhitab oleh al-Qur'an sebagai ahl al-kitab adalah Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Rida. Keduanya berpendapat bahwa ahl al-kitab tidaklah sebatas pada orang-orang Yahudi dan Nasrani saja. Kedua ulama besar asal Mesir itu menyebutkan bahwa orang-orang Majusi, Sabi'in, penyembah berhala di India, China dan Jepang, seperti penganut agama Hindu, Budha, Kong Hu Chu dan Shinto, yang percaya pada Tuhan YME, percaya adanya hidup sesudah mati dan sebagainya adalah termasuk ahl al-kitab yang diduga dahulu mempunyai kitab suci dan kitab mereka mengandung ajaran tauhid sampai sekarang.17 Menurut Rasyid Rida, agama-agama tersebut pada mulanya berpaham monoteisme (tauhid) dan memiliki kitab suci. Akan tetapi karena perjalanan waktu yang begitu panjang, agama-agama tersebut berbaur dengan paham-paham syirik.
16
Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina, 2000), h. 61 17
Muhammad Quraish Shihab, Wawasan al-Qur'an: Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 2003), h.367-368
28
Kitab-kitab suci mereka telah mengalami intervensi dari tangan-tangan manusia sehingga isinya menyimpang jauh dari aslinya, sebagaimana Yahudi dan Nasrani.18 Pendapat Muhammad Abduh dan Rasyid Rida ini berbeda dengan pendapat Imam syafi’i, menurutnya istilah ahl al-kitab hanya menunjuk pada orang-orang Yahudi dan Nasrani dari keturunan bani Israil. Alasannya, Nabi Musa as dan Nabi Isa as, hanya diutus pada bani Israil bukan pada bangsa-bangsa lain. Berdasarkan pendapat ini dapat disimpulkan orang-orang beragama yahudi dan nasrani yang berada di negara-negara lain termasuk kalangan Kristen yang berada di Indonesia tidak termasuk kedalam golongan ahl al-kitab.19 Walaupun sama-sama membatasi makna ahl al-kitab sebatas pada Yahudi dan Nasrani saja, pendapat Yusuf Qardawi berbeda dengan pendapat Imam Syafi'i yang memaknakan ahl al-kitab hanya kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani dari keturunan Israel. Menurut Yusuf Qardawi, Yahudi dan Nasrani dimanapun mereka berada termasuk kedalam golongan ahl al-kitab. Pendapat Imam Syafi'i ini lebih mengacu pada tataran etnis, sedangkan pemaknaan ahl al-kitab menurut
Yusuf
Qardawi lebih pada tataran teologis.20
18
Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr dalam al-Qur'an: Suatu Kajian Teologis dengan Pendekatan Tafsir Tematik (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h. 166 19
Ali Mustofa Yaqub, Nikah Beda Agama dalam Perspektif al-Quran dan Hadist, h.22-23
20
Lihat Yusuf Qardawi, Fatwa-fatwa Mutakhir Dr.Yusuf Qardawi, alih bahasa H.M.H. alHamid al-Husaini (Jakarta: Yayasan al-Hamidy, 1996), h. 580. Lihat juga Sa'di Abu Habieb, Ensiklopedi Ijmak, h. 19
29
Perbedaan pendapat mengenai siapa sebenarnya ahl al-kitab para ulama berbeda pendapat juga tentang al-mukhsanat dalam QS.Al Ma’idah (5) ayat 5. Kata tersebut berakar kata dari huruf-huruf Ha, Shad dan Nun yang secara literal berarti kokoh, kuat, suci dari perbuatan tercela.21 Dalam menafsirkan makna al-muhsanat dalam al-muhsanat min al-ladzina utu al-kitab, dalam hal ini Muhammad Najib ar-Rifa’i dalam buku Tafsir Ibnu Katsir mengatakan bahwa yang dimaksud adalah wanita-wanita yang menjaga diri dan kesuciannya dari perbuatan zina.22 Mengenai perkawinan laki-laki muslim dengan wanita ahl al-kitab para sahabat Nabi yang sepakat mengenai perkawinan dengan wanita ahl al-kitab umumnya mengacu pada dalil atau argumen diatas, mereka yang sepakat dengan perkawinan macam ini adalah Umar, Utsman, Talhah, Hudzaifah, Salman, Jabir dan sahabat-sahabat lainnya. Para sahabat ini membolehkan pernikahan tersebut bahkan diantara mereka ada yang melakukannya seperti Talhah dan Hudzaifah, sementara tidak ada satupun sahabat Nabi yang menentangnya dengan perkawinan semacam itu, dibolehkannya perkawinan ini sudah merupakan ijma shahabat. Dalam menyikapi permasalahan ini, Ibnu al-Mundzir berpendapat, bahwa jika ada riwayat dari ulama
21
M. Galib M, Ahl al-Kitab.. h. 166
22
Muhammad Najib ar-Rifa’i, Kemudahan dari Allah Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, jilid II, (Jakarta: Gema Insani, 1999), h.39
30
salaf yang mengharamkan pernikahan tersebut diatas, maka riwayat itu dinilai tidak shahih.23 Mengenai pro dan kontra tentang perkawinan pria muslim dengan wanita ahl al-kitab, dalam kaitannya dengan permasalahan perkawinan dengan ahl al-kitab, pendapat yang melarang tentang perkawinan tersebut antara lain pendapat Abdullah Ibnu Umar, menurut Abdullah Ibnu Umar, salah seorang sahabat Nabi, seorang pria muslim tidak diperbolehkan kawin dengan wanita ahl al-kitab. Imam Bukhari meriwayatkan dari beliau bahwa apabila beliau ditanya tentang hukum mengawini wanita Yahudi dan Nasrani, beliau menjawab, "sesungguhnya Allah telah mengharamkan kaum muslimin mengawini wanita musyrik, dan saya tidak mengetahui suatu kemusyrikan yang lebih besar daripada orang yang mengatakan bahwa Tuhannya adalah Isa, padahal Isa itu hanyalah salah seorang dari hambahamba Allah". Dari pernyataannya ini dapat disimpulkan bahwa Ibnu Umar tidak membedakan antara ahl al-kitab dan musyrik, bahwa ahl al-kitab itu termasuk dalam cakupan musyrik karena mereka menyembah Isa selain menyembah Allah, yang berarti menyekutukan Allah, padahal Isa yang mereka sembah itu adalah salah seorang dari hamba-hamba Allah.24 Senada dengan pendapat Ibnu Umar, Syi'ah Imamiyyah dan sebagian Syi'ah Zaidiyyah berpendapat bahwa pria muslim diharamkan kawin dengan wanita ahl al23
24
Ali Mustofa Yaqub, Nikah Beda Agama dalam Perspektif al-Quran dan Hadits, h. 28-29 Lihat Yusuf Qardawi, Fatwa-fatwa Mutakhir.. h.585-586
31
kitab. Sebagaimana pendapat Ibnu Umar, mereka berpendapat bahwa ahl al-kitab itu termasuk musyrik, karena menuhankan Isa as bagi umat Nasrani, dan menuhankan Uzair as bagi umat Yahudi. Sebagai penguat argumentasinya, mereka kemudian merujuk pada salah satu firman Allah yang melarang orang-orang muslim berpegang pada tali perkawinan dengan orang orang-orang kafir,25 ayat tersebut menyatakan:
)ٔٓ:سح اٌّّزسٕخَٛا ِف ِش (سَٛا ِثعِصَب َِ َا ٌْىُٛسى ِ ّْ ٌَب ُرَٚ Artinya: “Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (pernikahan) dengan perempuan-perempuan kafir”. (QS. Al-Mumtahanah (60): 10) Adapun tentang Q.S. al-Maidah (5): 5, mereka mengatakan bahwa ayat ini dinasakh oleh Q.S. al-Baqarah (2): 221 dalam bentuk naskh al-khas bi al-am.26 Dari kedua pendapat diatas jelas bahwa segala bentuk perkawinan beda agama dengan tegas diharamkan termasuk perkawinan dengan pria ahl al-kitab yang kebanyakan ulama memperbolehkannya. Menurut Yusuf Qardawi, dengan merujuk kepada pendapat jumhur bahwa hukum asal mengawini wanita ahl al-kitab adalah mubah. Menurutnya, hal ini sesuai dengan Q.S. al-Maidah (5): ayat 5 yang memang membolehkannya. Setelah menguraikan beberapa pendapat ulama tentang perkawinan ini, ia berkesimpulan bahwa pendapat jumhur tentang kebolehan pria muslim mengawini wanita ahl al25
Muhammad Ali Hasan, Masail Fiqhiyah al-Haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998), h. 12-13 26
Muhammad Ali as-Sabuni, Terjemahan Tafsir Ayat Ahkam ash-Shabuni, cet.Pertama. Penerjemah Mu'ammal Hamidy, dkk (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1985), h. 232
32
kitab itulah yang tepat. Qardhawi mengemukakan tiga alasan, Pertama, Q.S. alMaidah (5): ayat 5 itu turun belakangan daripada Q.S. al-Baqarah (2): ayat 221, oleh karenanya tidak mungkin Q.S. al-Maidah (5): ayat 5 dinasakh oleh oleh Q.S. alBaqarah (2): ayat 221, Kedua, Q.S. al-Baqarah (2): ayat 221 dan Q.S. al-Mumtahanah (60): ayat 10 adalah umum dan ditakhsis oleh Q.S. al-Maidah (5): ayat 5, Ketiga, lafaz musyrik dalam Q.S. al-Baqarah (2): ayat 221 tidak mencakup lafaz ahl al-kitab sama sekali dalam bahasa al-Qur'an. Untuk menguatkan pendapatnya yang ketiga ini, ia mengemukakan dalil dalam al-Qur'an yang memang membedakan keduanya seperti Q.S. al-Bayyinah (98): ayat 1. Akan tetapi, meskipun Yusuf Qardhawi membolehkan bentuk perkawinan ini, ia kemudian memberikan syarat-syarat yang sangat ketat. Diantaranya ialah dipastikan tidak terdapat fitnah dan madarat akibat dari perkawinan ini. Menurutnya, apabila dapat menimbulkan madarat bagi umum, maka perkawinan itu terlarang secara umum, dan apabila menimbulkan madarat secara khusus pada orang atau kondisi tertentu, maka ia juga terlarang untuk orang atau kondisi tertentu.27 Setelah membahas tentang perkawinan antara pria muslim dengan wanita ahl al-kitab, kemudian bagaimanakah jika perkawinan tersebut dilakukan oleh wanita muslim? mengeni perkawinan jenis ini umumnya para ulama mazhab yaitu Imam
27
Yusuf Qardawi, Fatwa-fatwa Mutakhir .. h.592
33
Malik bin Anas, Imam Syafi’i, Imam Ahmad Hambali dan Imam Hanafi mereka mengharamkan pernikahan tersebut.28 Dalam penetapan tentang keharaman wanita muslim menikahi pria ahl alkitab yaitu berdasarkan pada Qs Al-Baqoroh (2) ayt 221 yaitu:
)ٕٕٔ:سح اٌجمشحْٛ أَعْدَجَ ْزىُ ُْ (سٌََٛٚ ّش ِشوَ ٍخ ْ ُِ ِِٓ ٌش١ْ ٌَََأَِ ٌخ ُِ ْإَِِٕ ُخ خَٚ ٓ َ ُِِ ْإ٠ َٝذ زَز ِ َّش ِشو ْ ُّ ٌْ ْا اٌَُٛبرَ ْٕىِسَٚ Artinya: “Dan janganlah kamu nikahi perempuan-perempuan Musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik dari- pada perempuan musyrik walaupun dia menarik hatimu”. (Q.S. Al-Baqoroh (2): 221) Penjelasan ayat diatas ditunjukan kepada para wali untuk tidak menikahkan wanita Islam dengan laki-laki yang bukan Islam. Keharaman perkawinan antara wanita Islam dengan laki-alaki bukan Islam mutlak keharamannya, artinya wanita Islam secara mutlak haram kawin dengan laki-laki yang bukan beragama Islam, baik laki-laki musrik atau ahl al-kitab.29 Dalil lain yang menyatakan keharaman perkawinan antara wanita muslim dengan laki-laki ahl al-kitab yaitu sabda Nabi Muhammad saw., hadis Nabi dari Jabir ibn Abdillah bahwa Nabi bersabda:
28
Muhammad Jawad Mughiyah, Fiqih Lima Mazhab, cet.XV. Penerjemah Maskur A.B, dkk (Jakarta: Lentera, 2005), h. 336 29
Chuzaemah Tahido Yanggo dan Hafiz Anshary, ed., Problematika Hukum Islam Kontemporer, cet.V, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), h. 15
34
:ُيْٛ َُم٠ هلل ِ ٓ عَجْذِ َا ِ ْذ خَب ِثشِ اث ُ ْس ِّع َ :َْش لَبي١َْ اٌضُثِْٟح عَْٓ أَث٠َخش ُ ٓ ُ ْأخْ َج َش َٔب عَجْذُ اٌَ َشصَاق لَبيَ أَخْ َجشََٔب ث 30
) عجذ اٌشصاق:ٖاٚ (س.ٌَزشَا َ ُِٙ١ْ ٍَع َ َ ِٔسَبءَُٔبٚ ً ٌز ِ ِٔسَبءَ أَ ًَْ٘ َا ٌْىِزبَة ٌََٕب
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Abdur Razak ia berkata, telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraiz dari Abi Jubair ia berkata: Aku mendengar Jabir Ibn Abdillah berkata wanita ahl al-kitab bagi kami (laki-laki muslim) itu halal dan wanita (muslimah) bagi mereka (laki-laki ahl al-kitab) haram”. (H.R. Abdur Razaq). Pendapat lain yang mengharamkan perkawinan antara perempuan muslim dengan laki-laki ahl al-kitab yaitu hadis yang diriwayatkan oleh Imam Baihaqi, redaksi hadis mengenai keharaman perempuan muslim dengan laki-laki ahl al-kitab yaitu:
ْش١َ اٌضُثِٝح عَْٓ أَث ِ ْ٠َخش ُ ِْٝ ُذ عَٓ أَث١ِ أَخْ َجشََٔب عَجْذُ َا ٌَّْد:َ َا ٌْعَجَبط لَبيُٛ زَذَثََٕب أَث: ي َ ْذ لَب١ِسع َ ُٛأَخْ َجشََٔب أَث ٓ ِ ََِخَْٕب َُ٘ٓ َصَٚ َرض: ي َ َ ُخ فَمب١ِٔصشَا ْ ٌََٕاٚ َ ُخ٠ِدُٛٙ١َ ٌْسٍُِِ َا ْ ُّ ٌْ ذ ا ِ ٓ ِٔىَب ْ َي ع ُ سَْأ٠ُ ٌٍَِٗٓ عَجْذا ِ ْسِّ َع خَب ِث َش ث َ ََُٗٔأ ي َ َلَبٚ ٓ َ ُ٘طٍَمَْٕب َ خعَْٕب َ َشًا َفٍََّب س١ْ ِد وَث ُ سٍَِّب ْ ُّ ٌَََٔسُْٓ ٌَب َٔىَ َذ َٔدِذُ اٚ َلَبصٚ ْٟسعَذ ثِْٓ أَث َ َْفَ ِخ َِعُٛر ثِب ٌْى ِ َْاٌْفَز ) ٟمٙ١ اٌج:ٖاٚزشَا ٌَ ( س َ ُِٙ١ْ ٍَع َ َ ِٔسَبؤَُٔبٚ ً ٌز ِ ُُْ ٌََٕبَٙ ِٔسَب ُئٚ ٓ َ ُُْ٘ٛشِث٠َ ٌَبَٚ سًٍِّب ْ ُِ ٓ َ ْشِث٠َ ٌَب
31
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Abu Said, telah mengatakan kepada kami Abu Abbas, telah mengabarkan kepada kami Abdul Majid dari ibnu Zuraij dari Ibnu Abi Jubair bahwasnya beliau mendengar Jabir Bin Abdullah ditanya mengenai pernikahan wanita yahudi dan nasrani. Dia berkata: “Kami menikahi mereka pada saat pembebasan negeri Irak, bersama dengan Sa‟ad bi Abi Waqas dan ketika itu hampir tidak ada wanita muslimah yang kami temukan, maka setelah kita kembali kami talak mereka : dan dia berkata seorang muslim tidak mewariskan dan 30
Abu Bakar Abdur Razaq bin Hammam As-San’ani, Musannaf Abdur Razak, Cet. II (Beirut: Al Maktabah Al Islam, 1976), h. 176 31
Ahmad bin Husain al-Baihaqi. Ma‟rifat as-Sunah wal Atsar, Cet-Ke I, (Damaskus: Dar anNasr,1991), h.120
35
merekapun tidak mewariskan dan wanita dari kalangan mereka bagi kita halal sedangkan wanita kita (kaum muslimah)haram bagi (laki-laki) mereka”. (H.R: Baihaqi) Untuk konteks ke-Indonesiaan, perkawinan beda agama yang didalamnya mencakup perkawinan dengan ahl al-kitab telah difatwakan oleh MUI (Majelis Ulama Indonesia) pada tanggal 1 Juni 1980 yang isi fatwa itu mengharamkan semua jenis pekawinan beda agama, lebih lanjut isi dari fatwa itu sendiri adalah sebagai berikut: 1) Perkawinan wanita muslimah dengan pria non muslim adalah haram hukumnya; 2) Seorang laki-laki muslim di haramkan mengawini wanita bukan muslim Tentang antara laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab terdapat perbedaan pendapat. Setelah mempertimbangkan bahwa mafsadatnya lebih besar daripada maslahatnya, Majelis Ulama Indonesia memfatwakan perkawinan tersebut hukumnya haram.32 Dari beberapa penjelassan diatas, hemat penulis melakukan segala perkawinan pria muslim dengan wanita ahl al-kitab sebisa mungkin untuk dihindarkan dan lebih menjaga kemaslahatan, walaupun ahl al-kitab itu mempunyai ajaran yang jika mereka indahkan dimungkinkan juga kepada terciptanya perkawinan yang tidak otomatis buruk, tetapi tetap saja ia dinamakan sebagai kelompok "yang berbeda agama". Dari sini, sebagaimana yang ditakutkan banyak kalangan perkawinan justru akan berdampak pada perselisihan karena perbedaan prinsip keimanan, dan oleh karenanya bertentangan dengan tujuan perkawinan, yakni menciptakan keluarga yang sakinah.
32
Majlis Ulama Indonesia, Himpunan dan Keputusan Fatawa Majlis Ulama Indonesia (Jakarta: Sekertariat Majlis Ulama Indonesia Masjid Istiqlal,1995), h. 91
36
Tak hanya itu, yang lebih berbahaya kemadaratan dari perkawinan tersebut ditakutkan akan terpengaruhnya suami dan anak-anaknya kepada ajaran istrinya yang ahl al-kitab. Sedangkan bagi wanita muslim yang hendak menikahi laki-laki ahl al-kitab, perkawinan tersebut jelas dan tegas keharamannya, oleh karenanya sebisa mungkin perkawinan itu di hindarkan, selain disinyalir akan menimbulkan konflik dan ketidak jelasan bagi agama anak-anaknya, kelak lebih penting lagi rasa tunduk dan patuh terhadap aturan yang telah ditetapkan Allah yang dapat membawa kita kepada kebahagiaan dihari setelah kematian. 2. Perkawinan Pria Muslim dengan Wanita Musyrik Perkawinan antara pria muslim dengan wanita musyrik dalam kaitannya dengan hal ini, para ulama klasik ataupun kontemporer umumnya melarang perkawinan jenis ini, dalil yang digunakan diantaranya dalam surah al-Baqoroh (2) ayat 221 yaitu:
اٌَُٛبرُ ْٕىِسَٚ ُْ ُْ اَعْدَجَ ْزىٌََٛٚ ّش ِشوَ ٍخ ْ ُِ ِِٓ ٌش١ْ ٌَََأَِ ٌخ ُِ ْإ َِِٕ ٌخ خَٚ ٓ َ ِِ ُ ْإ٠ َٝذ زَز ِ َّش ِشو ْ ُّ ٌْ اْ َاٌَُٛب َر ْٕىِسَٚ هلل ُ َاٚ إٌََب ِسٌََْْٝ ِاَُٛذْع٠ ه َ ٌَ ِئْٚ ُْ أَعْدَ َجىُُْ أٌََٛٚ ن ٍ ّش ِش ْ ُِ ِِٓ ٌش١ْ َٓ خ ٌ ٌَِِعَجْ ٌذ ُِ ْإَٚ ْإُُِِٛ ْإ٠ َٝٓ زَز َ ْ١ِّش ِشو ْ ُّ ٌْ َا ) ٕٕٔ:سح اٌمشحْٛ (س َ َُٚزَ َز َوش٠ ُْ ٍََُٙزِِٗ ٌٍَِٕبطِ ٌَ َع٠ُِٓ ءَا١َُج٠َٚ ِٗ َِْٔا ٌْ َّغْ ِفشَ ِح ثِإِرَٚ َاٌْدََٕ ِخٌَٝاْ ِاَُٛذْع٠ Artinya: "Dan janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya, sesungguhnya hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik, walaupun dia menarik hatimu. dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang 37
beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik, walaupun dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran"." QS. Al-Baqoroh (2): 221) Sebab turunnnya ayat ini yaitu Ibn Abi Mursyd al Ghanawi, ketika dia meminta izin kepada Nabi saw. untuk menikahi seorang wanita muda musirykah yang memiliki kekayaan dan kecantikan, maka turunlah ayat ini. Dalam riwayat lain disebutkan, al-Wahidi meriwayatkan dari jalur as-Suddi dari Abu Malik dari Ibnu Abbas, dia berkata, ayat ini turun pada Abdullah bin Rawahah, yang ketika itu memiliki seorang budak wanita berkulit hitam. Pada suatu hari dia marah kepada budaknya dan menamparnya. Kemudian dia mendatangi Nabi saw. dan memberi tahu beliau tentang hal itu, lalu dia berkata sungguh saya akan memerdekakannya dan menikahinya. Lalu dia melakukan apa yang dikatakannya itu, sebagian orang muslim mencelanya. Mereka berkata, dia menikahi seorang budak wanita, maka Allah menurunkan ayat 221 surat al-Baqoroh.33 Dalam menafsirkan surat al-Baqoroh (2) ayat 221, dalam tafsir Ibnu Katsir dijelaskan, melalui ayat ini Allah mengharamkan atas orang-orang mukmin menikahi wanita-wanita yang musyrik dari kalangan penyembah berhala. Kemudian jika yang dimaksud bersifat umum, berarti termasuk kedalam pengertian musyrik kitabiah dan
33
Jalaluddin as-Suyuthi, Sebab Turunnnya Ayat al-Quran, cet.Pertama. Penerjemah Tim Abdul Hayyie, ( Jakarta: Gema Insani Press, 2008), h. 92
38
wasaniah. Akan tetapi dikecualikan dalam hal tersebut wanita ahl al- kitab, dalam firmannya dalam surah al-Ma’idah ayat (5) ayat 5.34 Perkawinan antara laki-laki muslim dan wanita musyrikah dan sebaliknya jelas keharamnnya dengan menjadikan ayat tersebut sebagai landasan hukum. Perkawinan yang dilakukan dengan laki-laki atau wanita yang tidak memiliki kitab samawi (ahl al kitab) mereka disebut kaum musyrikin baik mereka yang beragama Majusi, Shabi’ah, Animisme, dan lain-lain.35 C. Perkawinan dalam Hukum Positif Pada dasarnya, agama-agama yang secara hukum diakui di negara Republik Indonesia, dalam ajaran-ajarannya tidak membenarkan perkawinan beda agama secara sah.36 Aturan mengenai perkawinan yang berlaku di Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dalam pasal 2 ayat (1), dalam UndangUndang tersebut tidak secara tegas melarang perkawinan beda agama melalui pasalpasalnya. Akan tetapi sebagian pakar hukum ada yang berpendapat bahwa Pasal 2 ayat (1) undang-undang ini secara implisit melarang perkawinan beda agama. Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan: 34
Al-Imam al-Hafizh Imaduddin Abul Fida Ismail ibn Katsir, Tafsir al-Qur‟an al-„Azhim, juz II, (Kairo: Dar Ihya’ al-Kutub al-Arabiyah, t.th), h. 417 35
Chuzaemah Tahido. Yanggo dan Hafiz Anshary, ed., Problematika Hukum Islam Kontemporer, h. 18 36
Usman Suparman, Perkawinan antar Agama dan Problematika Hukum Perkawinan di Indonesia, cet.Pertama, (Semarang: Saudara, 1995), h. 50
39
Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Dari ketentuan pasal ini lebih menitikberatkan sahnya suatu perkawinan pada agama dan kepercayaannya masing-masing, hal ini berpijak pada dasar peraturan yang terdapat dalam pasal 1 ayat 2 jo pasal 8 huruf F Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang bserbunyi “Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin”.37 Ketidak tegasan mengenai aturan dibolehkan atau tidaknya perkawinan beda agama dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 menuai beberapa perdebatan diantaranya, menurut Bismar Siregar, Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tidak secara tegas mengatur tentang Perkawinan Beda Agama, menurutnya perkawinan Beda Agama tidak dibenarkan.38 Diantara yang berpendapat bahwa Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 mengatur tentang sahnya perkawinan beda agama berpendapat bahwa perkawinan ini sah karena telah tercakup dalam perkawinan campuran.39 Selanjutnya mengenai perkawinan, aturan pelaksanaannya diatur juga dalam Kompilasi Hukum Islam. Kompilasi Hukum Islam disahkan melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991, dan pelaksanaannya diatur melalui Keputusan Menteri Agama Nomor 154 Tahun 1991 tanggal 22 Juli 1991, dan
37
Budi Handrianto, Perkawinan Beda Agama dalam Syariat Islam, cet.I, (Jakarta: Khairul Bayan, 2003), h. 141 38
Bismar Siregar, Perkawinan Antar Agama Tidak Dibenarkan (Jakarta: Pelita, 1992), h. 4
39
Budi Handrianto, Perkawinan Beda Agama dalam Syariat Islam, h. 142
40
disebarluaskan melalui surat edaran direktur pembinaan badan Peradilan Agama Islam Nomor 3694/EV/HK.003/AZ/91 tanggal 25 Juli 1991.40 Terlepas dari kedudukan Instruksi Presiden (Inpres) dalam tata hukum perundangan di Indonesia yang masih menjadi polemik,41 KHI telah dirumuskan dengan sungguh-sungguh, karena Kompilasi Hukum Islam boleh dikatakan sebagai konsensus (ijma) para ulama Indonesia. KHI dibangun dengan tidak memihak kepada mazhab tertentu, tetapi dibangun sesuai dengan kesepakatan para ulama, intelektual dan tokoh masyarakat ditambah dengan membedah khazanah keilmuan Islam klasik, yang lebih dikenal 40
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998), h.26.
41
Sebagai suatu instrumen hukum, Inpres tidak termasuk kedalam salah satu tata aturan perundang-undangan yang ditetapkan MPRS No. XX/MPRS/1966. Akan tetapi, presiden sebagai Kepala Pemerintahan berhak dan berwenang mengeluarkan Inpres kepada para pembantunya sesuai dengan pasal 4 ayat (1) UUD 1945. Permasalahannya adalah apakah inpres mengikat kepada seluruh umat Islam Indonesia atau tidak?. Para ahli hukum berbeda pendapat mengenai posisi inpres dalam tata hukum di Indonesia. Pendapat ekstrim mengatakan bahwa inpres tidak termasuk sebagai hukum positif tertulis, sebalikya, ada yang berpendapat tergolong hukum positif tertulis. Pendapat terakhir ini beralasan bahwa perundang-undangan yang ditetapkan dalam Tap MPRS No. XX/MPRS/1966 memang merupakan dasar hukum yang mempunyai kekuatan hukum positif secara tertulis. Keberadaannya dapat memaksa dan mengikat pada setiap warga negara. Sedangkan Inpres adalah instrumen hukum yang absah dilakukan presiden dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dan memaksa pada pihak yang diperintah. Oleh karena inpres juga mengikat dan memaksa kepada pihak yang diperintah, dalam hal ini instansi pemerintah, yaitu pegawai departemen agama dan para hakim di pengadilan agama, dan juga masyarakat yang memerlukan, untuk dipedomani dan disebarluaskan, maka KHI sebagai ijma' ulama dari berbagai mazhab harus dipedomani dalam menyelasaikan perkaraperkara perdata umat Islam. Lihat Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh Mazhab Negara: Kritik Atas Politik Hukum Islam di Indonesia (Yogyakarta: LKiS, 2001), h. 174-175. Pendapat yang lebih lentur dikemukakan oleh M.Yahya Harahap, ia mengemukakan bahwa tidak penting apakah kedudukan Inpres yang melahirkan KHI itu termasuk dalam tata perundang-undangan negara atau tidak. Ia mengatakan bahwa bagi mereka yang kaku dan formalistik, wujud kelahiran KHI dianggap kurang memenuhi syarat perundang-undangan. Akan tetapi, bagi mereka yang melihatnya dari sudut sosiologis, berpandangan bahwa hukum adalah pakaian masyarakat yang harus sesuai ukuran dan jahitannya dengan kebutuhan masyarakat. Tidak mesti suatu perangkat hukum harus dicipta secara kaku menurut hukum tata negara dalam bentuk undang-undang yang bernilai sebagai hukum positif dan objektif. Tetapi, suatu perangkat hukum yang dirumuskan dalam bentuk lain, asal nilai-nilainya benar-benar sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang bersangkutan, mempunyai validitas dan otoritas sebagai hukum untuk mengayomi ketertiban hidup masyarakat. Lihat M. Yahya Harahap, Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam: Mempositifkan Abstraksi Hukum Islam, dalam Cik Hasan Bisri (ed), Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum Nasional (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 37-38
41
dengan kitab kuning, dengan nuansa Indonesia. Kompilasi Hukum Islam benar-benar sangat dibutuhkan untuk ketertiban masyarakat Islam masa kini dan masa yang akan datang. Kandungan isinya pun secara sungguh-sunguh telah diupayakan agar sesuai dengan keinginan dan kesadaran masyarakat pemakainya. Bahkan, ukuran, warna dan jahitannya telah diusahakan persis sesuai dengan kesadaran yang hidup secara aktual di tengah-tengah dinamika tuntunan perkembangan sosial, budaya, ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi.42 Kompilasi Hukum Islam sebagai hukum materiil dalam wilayah atau lingkungan Pengadilan Agama di Indonesia sudah dikodifikasi dalam UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 dan dilaksanakan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, yang mengandung hukum materiil di bidang perkawinan. Akan tetapi, hal-hal yang ada di dalamnya baru merupakan pokok-pokoknya saja, dan belum secara menyeluruh terjabarkan ketentuan-ketentuan hukum perkawinan yang diatur dalam Islam. Akibatnya, para hakim yang memutus suatu perkara itu akhirnya merujuk kepada kitab fikih yang sesuai dengan mazhabnya, yang otomatis pemahaman terhadap kitab-kitab fikih itu berbeda-beda antara hakim-hakim tersebut. Sebagai akibatnya, akan menghasilkan keputusan yang berbeda mengenai satu perkara. Tetapi dengan adanya KHI, pendapat-pendapat dalam kitab-kitab fikih yang dirujuk oleh para hakim itu diunifikasi dan dikodifikasi, sehingga dalam mengambil suatu keputusan, para hakim akan merujuk pada KHI. Ini akan mengakibatkan adanya
42
M. Yahya Harahap, dalam Cik Hasan Bisri (ed), Kompilasi Hukum Islam.. h. 38
42
kepastian hukum yang seragam tanpa mengurangi kemungkinan terjadinya putusanputusan yang bercorak variabel.43 Pegangan dan rujukan hukum yang mesti mereka jadikan pedoman yang sama di seluruh Indonesia yakni Kompilasi Hukum Islam sebagai satu-satunya kitab hukum yang memiliki keabsahan dan otoritas. Kompilasi Hukum Islam yang terdiri dari tiga buku, yaitu buku I tentang hukum perkawinan, buku II tentang hukum kewarisan dan buku III tentang hukum perwakafan. Adapun mengenai perkawinan beda agama, diatur dalam buku I hukum perkawinan pada pasal 40 huruf (c) dan pasal 44 KHI. Kedua pasal itu menyatakan: Pasal 40 huruf (c): Dilarang melakukan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu, huruf (c); seorang wanita yang tidak beragama Islam. Pasal 44: Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.44 Dari kedua pasal ini, nyatalah KHI melarang perkawinan beda agama, baik itu perkawinan antara pria muslim dengan wanita non-muslim maupun sebaliknya. Secara umum, ketentuan-ketentuan yang diatur dalam KHI di bidang perkawinan pada dasarnya merupakan penegasan ulang tentang hal-hal yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Akan tetapi, penegasan ulang itu dibarengi dengan penjabaran dan penambahan lanjut atas ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. 43
M. Yahya Harahap, Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam: Mempositifkan Abstraksi Hukum Islam, dalam Cik Hasan Bisri (ed), Kompilasi Hukum Islam..h. 32 44
Kompilasi Hukum Islam (Hukum Perkawinan, Kewarisan dan Perwakafan ),Bab IV tentang Larangan Kawin, h.12-13
43
Maksud penjabaran dan penambahan lanjut tersebut bertujuan akan membawa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ke dalam ruang lingkup yang bersifat dan bernilai syariat Islam. Tidak sebagaimana KHI yang hanya diperuntukkan oleh umat Islam, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 diperuntukkan bagi seluruh rakyat Indonesia, baik yang beragama Islam maupun tidak. Oleh karenanya, KHI sebagai peraturan yang mengatur hukum perdata bagi umat Islam, sedikit banyak merevisi, dengan tidak meninggalkan seluruh peraturanperaturan yang ada dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang tetap dijadikan acuan. Dengan penjelasan lain, ketentuan pokok yang bersifat umum dalam UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 dijabarkan dan dirumuskan menjadi ketentuan yang bersifat khusus sebagai aturan hukum Islam yang akan diberlakukan khusus bagi mereka yang beragama Islam. Berkaitan dengan perkawinan beda agama, perlu juga disini diterangkan bagaimana Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 mengatur tentang perkawinan beda agama, untuk menunjukkan adanya hubungan keterkaitan antara Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dengan KHI, yaitu berupa penegasan KHI tentang hukum perkawinan beda agama terhadap Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Penegasan yang dilakukan KHI terhadap pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dapat dibaca pada kedua pasal KHI yang melarang perkawinan beda agama yang sudah disebutkan di atas. Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak melarang secara tegas melalui pasalnya tentang perkawinan beda
44
agama, ditambah lagi tidak ada satu pun pasal dalam Undang-Undang itu yang secara tegas melarang perkawinan beda agama. Undang-Undang itu hanya menyebutkan bagaimana suatu perkawinan itu disebut sah atau tidak menurut Undang-Undang. Sedangkan KHI secara tegas melalui pasal-pasalnya melarang bentuk apapun dari perkawinan beda agama, sehingga tidak adanya penafsiran ganda dan adanya kepastian hukum yang jelas. Dari sini terlihat KHI secara tegas melarang perkawinan beda agama dalam bentuk apapun, sehingga tertutup kemungkinan bagi seorang beragama Islam baik pria maupun wanita untuk melakukan perkawinan beda agama, walaupun ada ayat alQur'an yang membolehkan salah satu bentuk perkawinan beda agama.
45
BAB III DESKRIPSI UMUM TENTANG FEMINISME A. Pengertian Feminisme Dalam mengartikan istilah feminisme, para feminis berbeda pendapat mengenai pengertian hal tersebut, ini disebabkan feminisme tidak mengambil dasar konseptual dan teoritis dari rumusan teori tunggal, karena itu definisi feminisme selalu berubah-ubah sesuai dengan realita sosio-kultural yang melatar belakanginya, tingkat kesadaran, persepsi, serta tindakan yang dilakukan oleh feminis itu sendiru.1 Dalam mendefinisikan feminisme, para ilmuan mendefinisikan makna tersebut kedalam beberapa pengertian. Secara etimologis kata feminisme berasal dari bahasa latin, yaitu femina yang berarti seseorang yang memiliki sifat kewanitaan.2 Dalam bahasa inggris diterjemahkan menjadi feminine, artinya memiliki sifat sebagai perempuan. Kemudian kata itu ditambahkan “ism” menjadi feminism yang berarti hal ikhwal tentang perempuan, atau dapat berarti paham mengenai perempuan. Meneurut Yuhanar Ilyas, feminisme lebih tepat kalau didefinisikan sebagai suatu kesadaran akan ketidak adilan gender yang menimpa kaum perempuan baik
1
Euis Amalia. dkk, Pengantar Kajian Gender (Jakarta: Pusat Studi Wanita UIN Syarif Hidayattullah, 2003), h. 86 2
Aida Fitalaya Hubies. Feminisme dan pemberdayaan Perempuan (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997), h. 19
46
dalam keluarga maupun dalm masyarakat, serta tidakan sadar oleh perempuan maupun laki-lakiuntuk mengubah keadaan tersebut.3 Sedangkan menurut Kamala Bahsin dan Nighat Said Khan mereka merupakan feminis dari Asia Selatan, meneurutnya feminisme adalah suatu kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat ditempat kerja dan keluarga serta tindakan sadar oleh perempuan maupun laki-laki untuk mengubah keadaan tersebut. Hakikat dari feminisme itu sendiri adalah perjuangan untuk mencapai kesetaraan harkat serta kebebasan perempuan untuk memilih dalam mengelola kehidupan baik didalam maupun diluar rumah.4 Sedangkan menurut Arimbi Heroe Poetri yang mengutip pendapat dari Maggi Humm dalam bukunya yang berjudul “Dictionary of Feminis Theories” menyatakan bahwa feminisme adalah sebuah ideologi pembebasan perempuan karena yang melekat dalam semua pendekatannya adalah keyakinan bahwa perempuan mengalami ketidakadilan karena jenis kelamin.5 Menurut Mansour Fakih, dalam buku yang berjudul Membincang Feminisme Diskursus Gender Perspektif Islam. Feminisme adalah suatu gerakan dan kesadaran
3
Yuhanar Ilyas. Feminisme dalam Kajian Tafsir al-Quran Klasik dan Kontemporer (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), h. 40 4
Euis Amalia. Pengantar Kajian Gender.. h. 86
5
Arimbi Hereo Poetri. Percakapan Tentang Feminisme Vs Neoliberalisme (Jakarta: Watch, 2004), h. 8
47
yang berangkat dari asumsi bahwa kaum perempuan mengalami diskriminasi dan usaha untuk menghentikan diskriminasi tersebut.6 Dalam kamus politik karangn B.N Marbun, feminisme diartikan sebagai gerakan wanita yang menuntut persamaan hak dan derajat kaum wanita dengan hak dan drajat kaum pria.7 Dari beberapa penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa feminisme merupakan suatu gerakan kesadaran akan penindasan dan ketidak adilan terhadap hak-hak perempuan dan berupaya untuk merubah keadaan tersebut menuju kedalam suatu sistem yang lebih adil. Dalam upaya penegakan keadilan kalangan feminis tidak harus berjenis kelamin perempuan. Seorang laki-laki dapat menjadi feminis, asalkan memiliki kesadaran dan tekad untuk merubah ketidak adilan dan penindasan terhadap kaum perempuan. Yang menjadi perhatian utama kalangan feminis yaitu terciptanya suatu keadilan (Justice) kesetaraan (Equality) dan struktur masyarakat. B. Sejarah Singkat Perkembangan Pemikiran Feminisme Sejarah tentang Feminisme dapat dilacak perjalananya dengan faktor kelahirannya dengan tujuan dan latar belakang permasalahan yang berbeda-beda. Lahirnya gerakan feminisme tidak terlepas dari tingkat pendidikan, kesadaran, kelas
6
Mansour Fakih. dkk, Posisi Kaum Perempuan Dalam Islam; Tinjauan Dari Analisis Gender, dalam Membincang Feminisme Diskursus Gender Perspektif Islam, cet.II, (Surabaya: Risalah Gusti, 2000), h. 38 7
BN Marbun, Kamus Politik (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003), h. 67
48
sosial, sosio kultural dan sebagainya. Lahirnya gerakan feminisme berawal dari asumsi bahwa kaum perempuan pada dasarnya ditindas dan dieksploitasikan, tidak hanya itu gerakan ini muncul karena dalam sistem masyarakat patriakhi 8 kaum lakilaki mendominasi diberbagai aspek dan adanya pensubordinasian perempuan, perlakuan seperti ini yang menimbulkan perempuan berkumpul dan membuat aksi, sehingga melahirkan gerakan feminisme.9 Perkumpulan masyarakat ilmiah untuk perempuan yang sadar akan ketidak adilan yang mereka alami, Perkumpulan itu untuk pertama kalinya didirikan di Middlburg, sebuah kota di selatan belanda pada tahun 1785. menjelang Abad ke 19, feminisme lahir menjadi gerakan yang cukup mendapatkan perhatian dari para perempuan kulit putih di Eropa. Lahirnya pergerakan tersebut dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet. Kata feminisme untuk yang pertama kalinya dikreasikan oleh aktivis sosialis Utopis yaitu Charles Fourirer pada Tahun 1837. Pergerakan ini pindah ke Amerika dan berkembang pesat sejak publikasi John Stuart Mill, perjuangannya menandai kelahiran feminisme gelombang pertama.10 Gelombang pertama gerakan feminisme berkembang di Amerika pada awal 19 atau awal abad 20, gerakan ini semula difokuskan untuk mendapatkan hak untuk 8
Kata patriarkhi berasal dari bahasa latin yaitu Pater yang berarti bapak dan Arche yang berarti kekuasaan. Patriarkhi merupakan sistem struktur atau praktik sosial dimana laki-laki mendominasi, menekan dan mengeksploitasi perempuan. 9
Yuhanar Ilyas. Feminisme dalam Kajian Tafsir al-Quran Klasik dan Kontemporer, h. 41
10
Ngudi Astuti. Feminisme Muslimah Exsistensi Perempuan dalam Pentas Politik dan Penegakan Peradaban Islam, cet. Pertama, (Jakarta: Media Bangsa, 2010), h. 1
49
memilih. Akantetapi setelah hak-hak itu diperoleh pada tahun 1920, gerakan ini sempat tenggelam, akan tetapi kira-kira pada tahun 1960-an gerakan tersebut muncul kembali, dengan diplopori oleh Betty Friedan dan menerbitkan bukunya yang berjudul, The Feminine Mystique (1963). Gerakan ini sempat mengejutkan Masyarakat, karena mampu memberikan kesadaran baru, terutama bagi kaum perempuan, bahwa peran-peran tradisional selama ini ternyata menempatkan mereka dalam posisi yang tidak menguntungkan, yaitu subordinasi dan menganalisasi perempuan.11 Pada abad yang sama ide tentang feminisme tidak hanya hadir dari kalangan perempuan, tetapi juga banyak diserukan oleh kaum laki-laki diantaranya John Stuart Mill dalam bukunya “The Subjection of Women”. Mill mengkritik pekerjaan perempuan disektor domestik sebagai pekerjaan irrasional, emosional dan tirani. Ia menyuruh perempuan untuk
menekan dan menghilangkan segala aspek yang
berkaitan dengan pekerjaan domestik agar kebahagiaan tertinggi dapat dicapai. Dengan kata lain, Mill menghendaki agar perempuan berperan di sektor publik.12 Pada gelombang pertama dalam sejarah kelahiran feminisme ini yang menjadi fokus perjuangan kalangan perempuan adalah penghapusan diskriminasi, pada masa
11
Abdul Muttaqim, Tafsir Feminis Versus Tafsir Patriarki (Yogyakarta: Sabda Persada, 2003), h. 20 12
Euis Amalia, Pengantar Kajian Gender, h. 91
50
ini terdapat enam aliran feminisme antara lain: Feminisme Liberal, Feminisme Utopia, Feminisme Marxis, Feminisme Psikoanalisis dan Feminisme Radikal.13 Perkembangan gelombang kedua setelah berakhirnya perang dunia ke II, yang ditandai denga lahirnya negara-negara baru yang terbebas dari penjajahan Eropa hal ini yang menjadi lahirnya feminisme gelombang kedua pada tahun 1960-an, tujuan politik feminisme terfokus pada penentuan perempuan agar sederajat dengan lakilaki. Puncak dari perkembangan pada gelombang kedua ini adalah keikut sertaan perempuan dalam parlemen. Pada tahun ini merupakan awal perempuan mendapatkan hak pilih dan selanjutnya ikut serta secara langsung ranah politik secara langsung.14 Dampak feminisme memang nyata dalam kurun waktu 20 tahun banyak terjadi perubahan dan perkembangan yang menyangkut nasib perempuan, sampai akhir tahun 1980-an. Teori feminisme menunjukan pola berulang hasil analisisnya merefleksikan pandangan-pandangan perempuan kelas menengah Amerika Utara dan Eropa Barat. Namun sayangnya, secara akademis justru muncul kecenderungan maskulinis dibarat. Sebab secara tidak disadari, para akdemis di barat telah terkooptasi oleh hirarki, mekanisme kerja, cara berpikir, efistimologi dan metodelogi maskulin.15 Hal ini jelas akan dapat membahayakan feminisme itu sendiri pasalnya
13
Ngudi Astuti, Feminisme Muslimah ..h. 3-4
14
Ngudi Astuti, Feminisme Muslimah ..h. 4
15
Abdul Muttaqim, Tafsir Feminis Versus Tafsir Patriarki, h. 21
51
tujuan awal gerakan feminisme untuk sebuah pembebasan akan terbalik menjadi suatu penindasan. Istilah feminisme sebenarnya merupakan istilah baru di Indonesia, istilah feminisme lebih akrap dengan sebutan emansipasi, akan tetapi kajian tentang feminisme membuat ketertariakan masyrakat indonesia yang progresif, semangat dan idealis yang tinggi untuk mengubah kenyataannya yang lebih baik. Kajian mengenai paham ini mengalami pertumbuhan kira-kira tahun 1980-an. Hal ini terlihat dari keaktifan beberapa aktifis gerakan perempuan, seperti Herawati, Wardah Hafiz, Marwah Daud Ibrahim, Yulia Surya Kusuma, Ratna Megawangi dan seterusnya. Gerakan feminisme ini muncul salah satunya adalah karena adanya kesadaran bahwa dalam sejarah peradaban manusia, termasuk di Indonesia perempuan diperlakukan secara kurang adil, bahkan dilecehkan. Namun ironisnya, hal ini dilakuakan secra sistematis dengan adanya dominasi budaya yang patriarkis yang begitu kuat dalam sejarah manusia. Oleh karenanya kritik yang tajam biasanya diarahkan pada persoalan sistem patriarkhi, genderisme dan seksisme.16 Dalam realitanya, suatu sistem yang patriarki hampir masuk pada setiap segment kehidupan, cenderung melakukan kaum perempuan secara tidak adil serta memperlakukannya secara subordinat dibawah laki-laki, bahkan terkadang untuk memperkuat sistem patriarki tersebut, agama diikut sertakan dalam memberikan legitimasi dengan menafsirkan kitab suci, hadist atau teks keagamaan lainnya yang cenderung menguntungkan pihak laki-laki.
16
Abdul Muttaqim, Tafsir Feminis Versus Tafsir Patriarki, h. 23
52
C. Macam-Macam Aliran Feminisme
Meskipun para feminis memiliki kesadaran yang sama tentang ketidak adilan terhadap kaum wanita didalam keluarga ataupun masyarakat, tetapi mereka berbeda pendapat dalam menganalisis sebab-sebab terjadinya ketidak adilan serta target dan bentuk perjuangan mereka. Perbedaan tersebut mengakibatkan lahirnya beberapa aliran dalam pemikiran kalangan feminis, hal tersebut mengakibatkan lahirnya beberapa aliran feminisme. Secara garis besar aliran-aliran itu antara lain Feminisme Liberal, Feminisme Marxis, Feminisme Radikal dan Feminisme Sosialis. Pada tahun 1980-an muncul satu aliran baru feminisme yang disebut dengan Ekofeminisme, aliran ini cenderung menerima perbedaan antara laki-laki dan perempuan, mempercayai bahwa perbedaan gender bukan semata-mata konstruksi sosial budaya tetapi juga intrinsik.17 Adapun penjelasan mengenai aliran-aliran feminisme tersebut yaitu sebagai berikut:
Pertama, Feminisme liberal, aliran ini beranggapan bahwa semua manusia laki-laki dan perempuan diciptakan seimbang, serasi, dan mestinya tidak terjadi penindasan antara satu dan lainnya, aliran ini meyakini faham liberalisme. Feminisme liberal memberikan landasan teoritis akan persamaan perempuan dalam potensi rasionalitasnya dengan laki-laki. Namun, berhubung perempuan ditempatkan pada
17
Siti Muslikhati. Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan dalam Timbangan Islam (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), h. 31
53
posisi tergantung pada suami dan kiprahnya dalam sektor domestik, maka yang lebih dominan tumbuh pada perempuan adalah aspek emosional ketimbang rasional.18
Dasar perjuangan aliran ini adalah menuntut kesempatan dan hak yang sama, karena
perempuan
perempuan
adalah
makhluk
rasional,
aliran
ini
tidak
mempersoalkan struktur penindasan yang diakibatkan dari ideologi patriarki dan struktur ekonomi yang didominasi oleh kaum laki-laki, aliran ini beranggapan keterbelakangan perempuan diakibatkan oleh kesalahannya sendiri.
Aliran feminisme liberal saat ini sangat dominan, dan menjadi dasar teori moderenisasi dan pembangunan. Bagi kalangan feminisme liberal, perbedaan antara tradisional dan modern adalah pusat masalah. Dalam perspektif feminis liberal, kaum perempuan dianggap sebagi masalah ekonomi modern atau partisipasi politik.mereka beranggapan bahwa keterbelakangan perempuan diakibatkan karena akibat dari kebodohan dan sikapa irasional, serta teguh pada nilai-nilai tradisional. Industrialisasi dan modernisasi adalah jalan untuk meningkatkan status perempuan, karena akan mengurangi akibat ketidak setaraan kekuatan biologis antara laki-laki dan perempuan.19
Kedua, Feminisme Marxis aliran ini menghilangkan struktur kelas dalam masyarakat berdasarkan jenis kelamin dengan melontarkan isu bahwa ketimpangan
18
Euis Amalia, Pengantar Kajian Gender, h. 95
19
Mansour Fakih, dkk, Membincang Feminisme Diskursus Gender Perspektif Islam, h. 39
54
peran antara kedua jenis kelamin itu sesungguhnya disebabkan oleh faktor budaya alam. Aliran ini menolak anggapan tradisional dan para teolog, bahwa status perempuan lebih rendah daripada laki-laki, karena faktor biologis dan latar belakang masalah.20
Kaum feminisme marxis selalu menempatkan isu perempuan dalam kerangka kritik terhadap kapitalisme dan menganggap penyebab penindasan perempuan bersifat struktural (akumulasi capital dan divisi kerja internasional). Solusi yang ditawarkan oleh kalangan feminisme marxis adalah dengan revolusi atau memutuskan hubungan dengan kapitalis internasional dan menciptakan sistem sosialis. Mereka menganggap dengan sistem inilah yang akan memberiakan keadilan pada perempuan dan manusia secara umum. Disisi lain mereka berpendapat bahwa denga hanya melakukan revolusi saja dinilai hal ini tidak akan cukup untuk mewujudkan persamaam, menurut Friedrich Engels, perempuan akan mencapai keadaan keseimbangan yang sejati apabila urusan domestik (urusan runah tangga) kaum perempuan ditranspormasikan menjadi industry sosial, dan urusan menjaga dan mendidik anak menjadi urusan umum. Bagi teori marxis klasik, perubahab status perempuan akan terjadi melalui revolusi sosialis dengan menghapuskan pekerjaan domestik melalui industrialisasi.21
20
Euis Amalia, Pengantar Kajian Gender, h 99
21
Siti Muslikhati, Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan dalam Timbangan Islam, h,34
55
Kaum Marxis berpendapat bahwa Negara memiliki kemampuan untuk memelihara kesejahteraan, namun disisi lain, negara bersifat kapitalisme yang menggunakan sistem perbudakan kaum wanita sebagai pekerja.
Ketiga, Feminisme Radikal trend ini muncul sejak pertengahan tahun 1970-an di mana aliran ini menawarkan ideologi "perjuangan separatisme perempuan". Pada sejarahnya, aliran ini muncul sebagai reaksi atas kultur seksisme atau dominasi sosial berdasar jenis kelamin di Barat pada tahun 1960-an, utamanya melawan kekerasan seksual dan industri pornografi. Pemahaman penindasan laki-laki terhadap perempuan adalah satu fakta dalam sistem masyarakat yang sekarang ada. Dan gerakan ini adalah sesuai namanya yang "Radikal”.22
Kelompok ini beranggapan bahwa penindasan perempuan sejak awal adalah dominasi laki-laki, dimana penguasaan fisik perempuan oleh laki-laki sebagai bentuk dasar penindasan. Dalam menjelaskan penyebab penindasan perempuan aliran ini menggunakan pendekatan historis, dimana patriarki dianggap sebagai masalah universal dan mendahului segala bentuk penindasan. Bagi kaum perempuan radikal revolusi terjadi pada setiap individu perempuan dan dapat terjadi hanya pada perempuan yang mengambil aksi untuk mengubah gaya hidup, pengalaman dan hubungan mereka sendiri. Penindasan perempuan adalah masalah subjektif individual
22
. Artikel diakses dari http://id.wikipedia.org/wiki/Feminisme, pada tanggal 17 Februari 2011
56
perempuan, hal ini bertentangan dengan pendapat yang diyakini kalanga feminisme Marxis yang menilai penindasan perempuan sebagai realitas obyektif.23 Keempat, Feminisme Sosialis, aliran ini berpendapat bahwa “tak ada sosialisme tanpa pembebasan perempuan, tak ada pembebasan perempuan tanpa sosialisme”.24 Aliran ini merupakan sintetis dari feminisme Marxis dan feminisme liberal. Asumsi yang digunakan feminisme sosialis adalah bahwa hidup dalam masyarakat
kapitalis
bukan
satu-satunya
penyebab
utama
keterbelakangan
perempuan, berbeda dengan feminisme liberal yang memusatkan perhatian pada proses ditingkat mikro atau feminis radikal yang memusatkan perhatian hanya pada masalah seksualitas, kaum feminis sosialis mengaitkan dominasi laki-laki pada proses kapitalisme.
Feminisme sosialis mengkritik kaum feminis liberal karena tidak dapat mengaitkan patriarki dengan proses kapitalisme dan sistem produksi masyarakat. Aliran ini lebih memperhatikan keanekaragaman bentuk patriarki dan pembagian kerja seksual karena menurut mereka kedua hal ini tidak bisa dilepaskan dari aktivitas produksi masyarakat.
Gerakan feminisme Sosialis lebih difokuskan pada penyadaran kaum perempuan akan posisi mereka yang tertindas. Menurut kalangan feminisme marxis
23
Mansour Fakih, dkk, Membincang Feminisme Diskursus Gender Perspektif Islam, h. 39-40
24
Artikel diakses dari http://id.wikipedia.org/wiki/Feminisme, pada tanggal 17 Februari 2011
57
banyak perempuan yang tidak sadar bahwa mereka adalah kelompok yang ditindas oleh system yang partiarki.25
D. Feminisme Dalam Islam Pemikiran tentang feminisme merupakan buah pemikiran dari kalangan ilmuan Barat dan Eropa. Ide dasar yang diperjuangkan oleh kalangan feminis berupa keadilan antara laki-laki dan perempuan dalam wujud kesetaraan kedudukan dan hak antara laki-laki dan perempuan. Dalam penulisan skripsi ini penulis akan membahas tentang feminisme dalam Islam, maksudnya adalah bagaimana ajaran Islam memberikan hak kepada kalangan perempuan yang dianggap oleh kelompok feminis adanya ketidak adilan dan ketimpangan antara laki-laki dan perempuan. Untuk lebih lanjut pembahasan mengenai hal tersebut akan dipapaparkan sebagai berikut. Pada zaman sebelum Islam, perempuan merupakan makhluk yang senantiasa diremehkan dan dianggap sebagai makhluk hina. Mereka diperjualbelikan laksana binatang, diperlakukan layaknya barang dan tidak memperoleh hak dan kedudukan yang sama dalam masyarakat sebagaimana mestinya. Setelah Islam datang perlakuan tersebut dihilangkan dan membebaskan mengangkat martabat kaum perempuan dan memberikan hak-haknya yang telah hancur dirampas oleh kaum laki-laki.26
25
Euis Amalia, Pengantar Kajian Gender.. h. 102
26
Dadang Anshori, Membincang Feminisme (Bandung: Pustaka Pelajar, 1997), h. 47
58
Ajaran agama Islam memberikan kemuliaan bagi kaum perempuan, memerdekakannya dan memberikan kehormatan padanya. Islam tidak hanya mengangkat derajat laki-laki tetapi memberikan derajat yang sama pada perempuan sebagai manusia yang sempurna semenjak awal Islam diturunkan dan ajarannya diterapkan dalam kehidupan.27 Laki-laki dan perempuan merupakan satu makhluk yang sama dimata Allah, mereka adalah kelompok manusia yang satu, masing masing tidak berbeda dari segi kemanusiaannya,
yang
membedakan
status
mereka
dimata
Allah
adalah
ketaqwaannya sebagaimana Allah berfirman:
شعُىْبًا وَقَبَا ِئلَ لِ َتعَازَفُىاْ إِّنَ َا ْك َس َمكُ ْم عِّنْدَ َاهللِ اَتْ َقكُ ْم ُ ْج َعلْ َّنكُم َ َخلَقْ َّنكُ ْم مِّن َذ َك ٍس َوأُّنثًَ و َ يَا اَ ُيهَا اَلّنَاسُ إِّنَا )١۳:علِي ٌم خَبِي ٌس (سىزة الحجسات َ هلل َ اِّنَّ َا Artinya: “ Hai manusia sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kalian saling kenal mengenal, sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa diantara kamu, sesungguhnya Allah maha mengetahui dan maha mengenal”. (QS. Al- hujrat (49): 13) Isu lain yang diperjuangkan oleh kalangan feminis yaitu mengenai kesetaraan an antara hak dan kewajiban, mereka menilai bahwa dalam masyarakat ketidaksetaraan antara hak dan kewajiban lebih memihak dan diskriminatif sehingga kalangan perempuan dirugikan, hal seperti ini sebenarnya tidak sejalan dengan ajaran
27
Masdar Mas’udi, Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan, (Bandung: Mizan, 1998), h.
67
59
agama Islam yang menjunjung tinggi dan memberikan hak dan kewajiban yang sama pada laki-laki dan perempuan, dalam hal ini merujuk pada firman Allah swt dalam Al-Quran Surat al-Bqoroh (2) ayat 228 yaitu:
)۲۲۸:ف (سىزة البقسة ِ ن بَِا ْل َم ْعسُو َ ِعلَ ْيه َ ن مِ ْثلُ َالَرِي َ َُوَله Artinya: “Dan para perempuan mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya dengan cara yang ma’ruf”. (Q.S. Al- Baqoroh (2): 228) Menurut Syaikh Muhammad Abduh ayat ini menegaskan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, sekaligus menjadi kaedah baku untuk memberikan perimbangan antara hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan, disamping itu lebih luas bahwa al-Quran menjelaskan sepanjang perempuan mengerjakan kewajibannya maka ia berhak menerima balasan seperti yang telah dilakukannya. 28 Dalam konteks kehidupan berumah tangga antara suami dan istri mempunyai bobot hak yang sama, hal ini dapat dilihat dari tujuan perkawinan itu sendiri yang diharuskan menjalin suatu kebahagiaan antara keduanya, selain demi reproduksi dan pelestarian keturunan, dalam membina rumah tangga Islam telah menentukan sejumlah hak suami (yang merupakan kewajiban istri) dan hak istri (yang merupakan kewajiban suami). Dalam konteks berumah tangga Islam memandang bahwa istri bukanlah mitra (syarikah) suami lebih dari itu adalah sahabat suami. Artinya, keduanya bukan saja harus bekerja sama, dan tolong menolong tetapi juga saling
28
Muhammad Guntur Romli. Muslim Feminis Polemik Kemunduran dan Kebangkitan Islam (Jakarta: Preedom Institute, 2010), h. 200
60
mencurahkan cinta dan kasih saying,29 hal ini dijelaskan dalam al-Quran Surat alA’raf ayat 189 yaitu:
)١۸۹:سكُنَ ِإلَ ْيهَا (سىزة األعساف ْ جهَا لِ َي َ ْج َعلَ مِ ّْنهَا شَو َ َخلَ َقكُم مِنْ ّنَفْسٍ وَحِدَةٍ و َ هُىَ َالَرِي Artinya : “Dialah yang menciptakan kamu dari jiwa yang satu (Adam) dan daripadanya dia menciptakan pasangannya, agar merasa senang kepadanya”.(Q.S. AL-A’raf (7): 189) Dari beberapa penjelasan diatas pada hakikatnya dalam ajaran Islam posisi antara laki-laki dan perempuan sama dihadapan Allah, yang membedakan adalah ketaqwaan kepadanya, perempuan diciptakan oleh Allah sebagai mitra yang diberi tanggung jawab untuk melestarikan jenis manusia dan memelihara kehidupan. Keduanya diberikan tanggung jawab yang sama untuk memelihara alam dan melestarikannya. Selain itu Islam menjunjung tinggi keadilan dari segala bentuk tingkah laku dan perbuatan manusia tanpa ada yang dirugikan satu sama lain.
29
Siti Muslikhati, Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan dalam Timbangan Islam. h
122-123
61
BAB IV KRITIK DAN APRESIASI TERHADAP PERKAWINAN BEDA AGAMA A. Konsep Perkawinan Beda Agama Kalangan Feminis Feminisme memulai gerakannya berawal dari adanya kesadaran bahwa kondisi perempuan jauh tertinggal dibandingkan dengan laki-laki. Meskipun kemudian terdapat banyak teori yang proposisinya saling tumpang tindih, namun ada kesamaan umum dari teori-teori tersebut, yaitu asumsi yang dipakai tentang sistem patriarkhi. Secara tradisional, manusia diberbagai belahan dunia menata diri atau tertata dalam bangunan masyarakat patriarkhi. Pada masyarakat seperti ini, laki-laki ditempatkan superior terhadap perempuan diberbagai sektor kehidupan, baik domestik maupun publik.1 Dikotomi domestik-publik (juga nature dan culture) yang terbentuk dalam konteks tertentu telah menempatkan perempuan (mewakili sifat nature) pada kiprah-kiprah dalam sektor domestik, sementara laki-laki (mewakili sifat culture) ditempatkan sebagai kelompok yang berhak mengisi sektor publik. Cara-cara seperti ini ikut mereproduksi realitas tentang stratifikasi bidang kegiatan, dimana bidang publik dinilai lebih tinggi daripada domestik. Peradaban pun diasumsikan bergerak dari alam (perempuan) ke budaya (laki-laki).
1
Irwan Abdullah. Sangkan Paran Gender (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1997), h. 22
62
Dalam perspektif feminis, spesifikasi peran-peran manusia (laki-laki dan perempuan) dalam masyarakat dipandang timpang (tidak egaliter). Artinya konstruksi sosial selama ini dianggap sangat berpihak kepada laki-laki, dan pada saat yang sama sangat menyudutkan kaum hawa. Beberapa hal yang bisa dianggap tidak menguntungkan perempuan adalah Pertama, terjadi marginalisasi perempuan dengan menganggap aktifitas perempuan sebagai tidak produktif dan bernilai rendah. Kedua, perempuan berada dalam kondisi tersubordinasi oleh laki-laki, terutama dalam pengambilan keputusan. Ketiga, terjadi penindasan pada perempuan karena beban pekerjaan yang lebih panjang dan berat. Keempat, terjadinya kekerasan dan penyiksaan (violence) terhadap perempuan baik secara fisik maupun mental.2 Dalam konteks keindonesiaan feminisme sebenarnya merupakan hal yang baru di Indonesia, masyarakat Indonesia lebih akrap dengan sebutan emansipasi ketimbang feminisme. Konsep feminisme yang berawal dari barat jika melihat kenyataan dalam masyarakat Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam tentunya menuai pro dan kontra mengenai feminisme itu sendiri. dikalangan umat Islam feminisme berkembang kedalam dua kelompok: Pertama, mereka yang berargumen bahwa hubungan antara perempuan muslimah dan laki-laki muslim dalam masyarakat sekarang ini sesuai dengan nilai-nilai Islami. Kedua, mereka yang berpendapat bahwa perempuan muslim sekarang hidup dalam diskriminasi dan dibawah sistem yang tidak adil, sehingga situasi ini tidak sesuai dengan prinsip dasar
2
Mansour Fakih. Analisis Gender dan Transformasi Sosial (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996), h. 35
63
nilai-nilai Islam. Perempuan muslim dapat dikatakan sebagai korban ketidakadilan dalam berbagai situasi dimana korban dapat dijustifikasi, tetapi penafsiran hukum direkonstruksi untuk ketidak beruntungan mereka. Perempuan muslim dibawah tekanan dan karena alasan didasarkan pada ideologi, berdasar agama, maka teks harus didekonstruksi.3 Pergerakan para aktivis Islam yang pro terhadap feminisme nampaknya semakin gencar dilakukan, hal ini dapat ditelusuri dari beberapa cara antaralain: Pertama, pembrdayaan kaum perempuan, yang dilakukan melalui pembentukan pusat stadi wanita diperguruan-perguruan tinggi, pelatihan-pelatihan gender, baik yang dilakukan dalam seminar-seminar maupun konsultasi. Kedua, melalui buku-buku yang ditulis dalam aneka ragam tema yang membahas tentang perempuan. Ketiga, melakukan kajian historis tentang kesetaraan laki-laki dan perampuan dalam sejarah masyarakat Islam yang berhasil menempatkan perempuan benar-benar sejajar dengan laki-laki dan membuat mereka mencapai tingkat prestasi yang istimewa dalam berbagai bidang, baik politik, pendidikan maupun keagamaan. Keempat, melakukan kajian-kajiana kritis terhadap teks-teks keagamaan, baik al-Quran maupun hadis, yang secara literal menampakkan ketidak setaraan antara laki-laki dan perempuan.4
3
Mansour Fakih. dkk. Posisi Kaum Perempuan Dalam Islam; Tinjauan Dari Analisis Gender, dalam Membincang Feminisme; Diskursus Gender Perspektif Islam. cet.II, (Surabaya: Risalah Gusti, 2000), h. 37 4
Ahmad Baidowi. Tafsir Feminis: Kajian Perempuan dalam Al-Quran dan para Mufasir Kontemporer, Cet Ke-1 (Bandung :Nuansa, 2005), h. 47-48
64
Kalangan feminisme muslim tampaknya lebih gencar melakukan kajiankajian mengenai teks-teks yang terdapat dalam al-Quran maupun hadits, yang mereka anggap banyak dari ayat-ayat al-Quran maupun hadits tidak memberikan keadilan pada kalangan perempuan. Dapat kita perhatikan gerakan yang dilakukan oleh kalangan feminisme yang menafsir ulang mengenai ayat perkawinan beda agama, meskipun tidak sedikit yang menentang pemikiran mereka namun aktivitas pemerhati feminisme masih melakukan perjuangan mereka dengan berbagai cara baik melalui karangan yang berupa buku, jurnal, seminar, diskusi dan lain-lain. Para aktivis feminisme dalam pergerakannya melakukan berbagai usaha dalam meraih apa-apa yang mereka anggap merugikan kaum perempuan, salah satu yang dijadikan sorotan oleh mereka yaitu menciptakan suatu aturan hukum yang berkeadilan khusunya pada kaum perempuan, maka tak heran jika dalam pergerakannya mereka sempat menyodorkan suatu aturan baru mengenai hukum perkawinan. aturan yang berlaku selama ini bagi umat muslim mengenai perkawinan segala aturan mengenai perkawinan telah diatur secara merinci dalam Kompilasi Hukum Islam yang telah di sahkan dan menjadi pedoman bagi hakim pengadilan agama diseluruh Indonesia, aturan yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam meliputi aturan mengenai perkawinan, waris dan perwakafan. Berbicara mengenai Kompilasi Hukum Islam, aturan yang terdapat didalamnya sebelum disahkan ternyata tidak berjalan mulus, aturan tersebut mengalami beberapa keritikan dikalangan umat Islam sendiri, berbagai alasan
65
penolakanpu dilontarkan oleh berbagai elemen masyarakat pada saat itu. Kendati demikian Kompilasi Hukum Islam dapat dijadikan suatu peraturan resmi dan berkekuatan hukum tetap bagi setiap orang Islam dalam bidang perkawinan, waris dan wakaf. Pro-dan kontra tidak hanya terjadi sebelum Kompilasi Hukum Islam disahkan, kritik dan usaha untuk melakukan perombakan pada aturan yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam semakin gencar dilakukan, pada tahun 2001 sekelompok kalangan yang menamakan dirinya sebagai kelompok kerja pengarusutamaan gebder (POKJA PUG) Departemen Agama Republik Indonesia, yang dipimpin oleh Siti Musdah Mulia, melakukan suatu penelitian untuk merevisi aturan yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam, mereka menuntut bahwa aturan mengenai perkawinan harus disesuaikan dengan karakter masyarakat Indonesia dan sebagai respon terhadap
kebutuhan untuk menegakan nilai demokrasi dan pluralis di
Indonesia, karena mereka menilai aturan yang terdadpat dalam Kompilasi Hukum Islam tidak relevan lagi dan bertentangan dengan prinsip demokrasi, keadilan dan bertentangan dengan hak asasi manusia. Setidaknya ada beberapa alasan yang menjadi argumentasi mereka untuk merevisi Kompilasi Hukum Islam dengan aturan-aturan yang baru antara lain alasan mereka yaitu, Kompilasi Hukum Islam tidak sepenuhnya digali dari kenyataan empiris Indonesia, melainkan lebih banyak digali dari penjelasan normatif dari tafsirtafsir ajaran keagamaan klasik dan sangat kurang mempertimbangkan bagi kemaslahatan umat Islam di Indonesia, disamping itu menurut mereka Kompilasi 66
Hukum Islam bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam antaralain prinsip keadilan
(al-Adl),
kemaslahatan
(al-Mashlahah),
kerahmatan
(al-Rahmah),
kebijaksanaan (al-Hikmaha), kesetaraan (al-Musawah) dan kebijaksanaan (al-Ikha), dalam
Kompilasi
Hukum
Islam
pasal-pasal
yang
termaktub
didalamnya,
bersebrangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada, seperti aturan Kompilasi Hukum Islam bersebrangan dengan instrumen hukum internasional bagi penegakan dan perlindungan Hak Asasi Manusia, isi dalam Kompilasi Hukum Islam sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan sosial yang ada,bersebrangan dengan kenyataan budaya masyarakat Indonesia, bersebrangan dengan gagasan dasar bagi pembentukan masyarakat berdasarkan berkeadaban (civil society) dan terakhir perlunya membandingkan Kompilasi Hukum Islam dengan hukum keluarga (the family law) yang ada diberbagai negara muslim yang lain lain.5 Menurut kalangan yang menuntut untuk merevisi Kompilasi Hukum Islam yang di pimpin oleh Siti Musdah Mulia, hal ikhwal mengenai peraturan yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam tak bisa disepadankan dengan ayat-ayat universal alQuran yang kebenarannya melintasi ruang dan waktu sebagai tafsir terhadap agama, hingga revisi Kompilasi Hukum Islam boleh saja dilakukan bahkan bisa menjadi wajib sekiranya memuat pasal diskriminatif atas seseorang sebab Kompilasi Hukum Islam bukanlah kitab suci yang harus disakralkan. Dengan demikian, nampak jelas bahwa pergerakan dari sebagian kalangan yang mengatas namakan kelompok kerja 5
Siti Musdah Mulia. Muslimah Reformis Perempuan Mizan, 2005), h. 383-384
67
Pembaru Keagamaan (Bandung:
pengurusutamaan gender Departemen Agama dalam menyodorkan suatu aturan tandingan terhadap Kompilasi Hukum Islam bertumpu pada ayat universal al-Quran berupa keadilan (al-adalah), kemaslahatan umat, pluralisme, Hak Asasi Manusia (HAM), dan kesetaraan (al-musawah). Oleh karena isi dalam Kompilasi Hukum Islam tidak sesuai dengan poin-poin yang telah dijelaskan diatas maka kalangan feminisme merancang suatu aturan tandingan yang dinamakan CLD-KHI (Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam). Penulisan CLD-KHI dirancang oleh para penggagasnya dalam usaha menawarkan perubahan dan pembaharuan terutama dalam bidang perkawinan dan waris. Khusus dalam seluruh pasal yang masuk kategori bias gender dan tidak memberi perlindungan memadai terhadap hak-hak perempuan dan anak-anak harus dihapuskan lewat kacamata pluralisme agama, disamping butuhnya bangsa ini dengan fikih dengan konteks keindonesiaan, sebab konstruksi hukum dalam Kompilasi Hukum Islam belum dikerangkakan sepenuhnya dari sudut pandang masyarakat Islam Indonesia. Ia tidak lebih dari cerminan penyesuaian fikih Timur Tengah dan dunia Arab. Isi dalam Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam yang didalamnya terdapat suatu gagasan baru yang sangat jauh berbeda dengan aturan yang ada dalam Kompilasi Hukum Islam, aturan-aturan yang diajukan meliputi aturan mengenai perkawinan yang lebih disoroti dan terjadi banyak perbedaan dengan yang ada dalam Kompilasi Hukum Islam. Salah satu perubahan mendasar adalah mengenai perkawinan beda agama, Dalam Kompilasi Hukum Islam, perkawinan beda agama 68
terlarang. Akibatnya, banyak pasangan berbeda agama tak bisa menikah di Kantor Urusan Agama. Tak aneh, pasangan seperti ini kemudian mencari alternatif hukum lain, misalnya melakukan perkawinan di luar negeri. Kalangan feminisme berpandangan bahwa larangan perkawinan beda agama bertentangan dengan prinsip Islam yang menjunjung pluralisme, mereka berpendapat tidaklah tepat jika perbedaan agama (ikhtilaf al-din) menjadi penghalang (mani) untuk berlangsungnya suatu perkawinan. Karena itu, dalam pasal 54 Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam, pasangan beda agama diizinkan menikah.6 Kemudian dalam menjalankan perkawinan beda agama, maka dalam menjalankan hal tersebut haruslah saling menghargai dan menjunjung tinggi hak kebebasan dalam menjalankan agama dan keyakinan masing-masing. Tidak hanya sebatas itu sebelum melangsungkan perkawinan maka menurut kalangan penggagas draf tersebut pemerintah berkewajiban memberi penjelasan mengenai perkawinan tersebut. Hal ini diharuskan agar mereka dapat memahami konsekuaensi dari hal-hal yang akan terjadi akibat perkawinan semacam ini. Dalam CLD-KHI hal ini diatur dalam pasal 54 ayat 2 dan 3.7 Konsekuensi dari ketentuan baru itu adalah bagaimana dengan agama yang dianut oleh anak dari pasangan beda agama. Dalam Kompilasi Hukum Islam, disebut
6
Lihat Siti Musdah Mulia, Menuju Hukum Perkawinan Yang Adil:Memberdayakan Perempuan Indoneis. Dalam Sulistyowati Irianto (ed) Perempuan dan Hukum menuju hukum yang berpersfektif kesetaraan dan keadilan.(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), h. 167 7
Musdah Mulia, Menuju Hukum Perkawinan Yang Adil:Memberdayakan Perempuan Indoneis.. h. 168
69
bahwa anak dari pasangan beda agama harus mengikuti agama ayahnya. Namun, dalam peraturan yang dibuat oleh kalangan feminisme dirumuskan suatu aturan baru yaitu jika sang anak belum dewasa, agama bagi sang anak diputuskan atas persetujuan bersama ayah dan ibunya. Artinya, tidak mutlak lagi harus mengikuti agama sang ayah. Jika anak tersebut belum dewasa maka agama anak untuk sementara ditentukan berdasarkan kesepakatan kedua orang tuanya.8 Pendapat kalang feminisme dalam memperbolehkan aturan mengenai perkawinan beda agama dalam hal tidak terlepas dari cara mereka manafsirkan ayat mengenai dibolehkannya perkawinan dengan non-Islam (ahl al-kitab), yang dalam al-Quran dibolehkan, sementara itu mereka menafsirkan pula mengenai larangan perkawinan dengan orang musirik yang termaktub dalam surat al-Baqoroh (2) ayat 221 dan larangan perkawinan dengan orang kafir Q.S. al-Mumtahanah (60): 10, lalu bagaimanakah mereka memahami ayat-ayat tersebut? berikut ini adalah cara pandang mereka dalam memahaminya. Dalam al-Quran surat al-Baqoroh terdapat larangan mengawini wanita musyrik, dalam menentukan siapa saja yang tergolong kategori musyrik para ulama berbeda pendapat mengenai hal tersebut. Menyikapi permasalahan ini menurut Musdah Mulia, para ulama selama ini terlalu sempit dalam menafsirkan istilah musyrik, arti musyrik sering diartikan dengan seseorang yang menyekutukan Allah dengan sesuatu, menyembah berhala, api dan lainnya. Menurutnya realitas dalam 8
Musdah Mulia, Menuju Hukum Perkawinan Yang Adil:Memberdayakan Perempuan Indoneis.. h. 168
70
masyarakat bahkan umat muslim itu sendiri telah terjadi pendewaan dan penyembahan terhadap kekuasaan, harta,
jabatan atau pada makhluk tuhan.
Memakai terminologi musyrik hanya untuk kalangan diluar Islam adalah sungguh menyesatkan. Menurutnya inilah yang sesungguhnya membuat umat Islam kehilangan untuk introspeksi atau mengoreksi diri sendiri dari bahaya syrik.9 Dalam menyikapi permasalahan ini nampaknya Musdah mengutip pendapat Muhamad Abduh dan Rasid Ridha, kedua ulama ini berpendapat bahwa yang dimaksud dengan wanita musyrik dalam surat al-Baqoroh (2) ayat 221, terbatas pada perempuan arab pada masa nabi. Indikasi yang dikemukakan olehnya yaitu bahwa dalam teks ayat tersebut disamping larangan menikahi orang musyrik juga diikuti dengan anjuran mengawini budak. Menurutnya ayat tersebut jelas konteksnya adalah orang-orang musyrik pada masa nabi, dan mereka sudah tidak ada lagi sekarang, sebagaimana kelompok budak. Surat al-Baqoroh (2) ayat 221 telah di naskh (dibatalkan) oleh surah al-Ma’idah (5) ayat 5 hal ini dikarenakan bahwa surat alBaqoroh (2) ayat 221 diturunkan lebih awal.10 Larangan perkawinan beda agama yang ditetapkan dalam al-Quran, disamping perkawinan dengan wanita musyrik terdapat juga larangan perkawinan dengan orang kafir, yaitu dalam surat al-Mumtahanah (60) ayat 10. Musdah Mulia
9
Siti Musdah Mulia. Muslimah Reformis..h.64
10
Siti Musdah Mulia. Muslimah Reformis ..h 62. Lihat pula Zainun Kamal, Menafsir Kembali Perkawinan Antar Umat Beragama,dalam Mariah Ulfah Anshor dan Martin Lukito Sinaga (ed). Tafsir Ulang Perkawinam Lintas Agama Perspektif Perempuan dan Pluralisme, Cet Pertama, (Jakarta: Yayasan Obor, 2004), h. 156
71
berpendapat bahwa larangan muslimah menikah dengan laki-laki kafir dalam alQur'an terkait konteks waktu turunnya ayat itu (QS. Al Mumtahanah (60): Ayat 10) pada kondisi perang. Sehingga baginya jika konteksnya sudah tidak ada peperangan lagi maka larangan tercabut dengan sendirinya.11 Pendapat Musdah sejalan dengan pendapat Abdul Muqsith Ghazali, yang turut aktif menggagas konsep tentang dibolehkannya perkawinan beda agama ia berpendapat bahwa larangan seorang muslim mengawini orang kafir di zaman Rasulullah saw, lebih bersifat politis dari pada teologis. Bahkan, tanpa tanggungtanggung ia beralasan dengan menuduh bahwa Nabi saw, tidak pernah mempersoalkan keyakinan pamannya Abu Thalib. Berangkat dari hal tersebut Abdul Muqsith Ghazali menyimpulkan bahwa pelarangan pernikahan dengan orang-orang kafir Mekah tersebut bukan karena argumen teologis-keyakinan, melainkan lebih sebagai argumen politik. Menurutnya kalau larangan itu bersifat teologis, maka bukan hanya perkawinan yang akan dilarang, melainkan seluruh jenis komunikasi dengan orang kafir harus ditutup, termasuk komunikasi dengan Abu Thalib (paman Nabi) yang masih kafir. Menurutnya, fakta sejarah menunjukkan bahwa Nabi Muhammad bukan hanya tak mempersoalkan keyakinan Abu Thalib, melainkan
11
Siti Musdah Mulia. Muslimah Reformis.. h. 63
72
justru Abu Thalib orang yang paling gigih melindungi Nabi Muhammad dan pengikutnya.12 Selain itu Abdul Muqsith Ghazali berpendapat bahwa perkawinan beda agama diperbolehkan karena dalam menafsirkan ayat mengenai hal tersebut ia mengqiyaskannya dengan hadis tentang kewajiban menuntut ilmu. Dalam hadits tersebut tidak ditemukan kata, "Muslimatin" namun pada kenyataannya waniita juga diwajibkan menuntut ilmu. Di dalam al-Quran tidak dicantumkan hukum perkawinan wanita Muslimah dengan laki-laki non-Muslim. hal ini dikaranakan bermakana alikhtifa'. Karena itu berlaku hukum sebaliknya (Mafhumm al mukhalafah). Selain itu dalam teks-teks agama tidak ditemukan dalil yang melarang perkawinan perempuan Muslimah dengan laki-laki non- muslim. Menurut Abdul Moqsith Ghazali, tidak ada dalil yang melarang, itu adalah dalil diperbolehkannya perkawinan diantara mereka. la menyebutkan salah satu kaidah ushuliyah, 'adam al-dalil huwa aldalir'. Karena tidak ada dalil aI-Quran yang melarang, maka berarti sudah menjadi dalil diperbolehkannya, sehingga pernikahan perempuan Muslimah dengan laki-laki nonMuslim diperbolehkan.13 Sementara itu pendapat lain mengenai perkawinan beda agama dalam Fikih Lintas Agama
yang ditulis oleh Nurcholis Madjid dan kawan-kawan mereka
12
Abd Moqsith Ghazali. Argumen Pluralisme Agama Membangun Toleransi Berbasis AlQur'an, h. 345-346 13
Imam Hurmain. Pernikahan Beda Agama dalam Perspektif Jaringan Islam Liberal: Analisis terhadap pemikiran JIL tentang Pernikahan beda Agama, artikel diakses pada uinsuska.info/ushuluddin/attachments/074_Pernikahan Lintas Agama.
73
menguraikan pendapat, bahwa perkawinan wanita muslim dengan laki-laki nonMuslim dibolehkan sebagaimana dibolehkannya laki-laki muslim menikah dengan wanita Yahudi dan Nasrani (ahl al-kitab). bila perkawinan laki-laki Muslim dengan wanita non-Muslim (Kristen dan Yahudi) diperbolehkan, bagaimana dengan yang sebaliknya?, yaitu pernikahan wanita Muslim dengan laki-laki non-Muslim, baik Kristen, Yahudi atau agama-agama non-semitik lainnya. Menyikapi permasalahan ini menurutnya terdapat persoalan serius, karena tidak ada teks suci, baik al-Qur‟an, hadis atau kitab fikih sekalipun yang memperbolehkan pernikahan seperti itu. Menurutnya hal seperti itu menarik juga untuk dicermati, karena tidak ada larangan yang sharih. Yang ada justru hadis yang tidak begitu jelas kedudukannya, Rasulullah saw. bersabda, kami menikahi wanita-wanita ahl al-kitab dan laki-laki ahl al-kitab tidak boleh menikahi wanita-wanita kami (Muslimah). Khalifah Umar ibn Khatthab dalam sebuah pesannya, Seorang Muslim menikahi wanita Nasrani, akan tetapi lakilaki Nasrani tidak boleh menikahi wanita Muslimah.”14 Menurut kalangan yang membolehkan perkawinan beda agama, bagi mereka hukum pernikahan seorang wanita Muslim dengan laki-laki non-Muslim adalah termasuk ijtihad yang bersifat kontekstual, oleh karena itu, persoalan pernikahan laki-laki non-Muslim dengan wanita Muslim merupakan wilayah ijtihadi dan terikat dengan konteks tertentu, diantaranya konteks dakwah Islam pada saat itu, yang mana jumlah umat Islam tidak sebesar saat ini, sehingga pernikahan antar agama 14
Mun‟im A. Sirry (ed). Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, cet. V (Jakarta: Paramadina bekerjasama dengan The Asia Foundation, 2004), h.163
74
merupakan sesuatu yang terlarang. Karena kedudukannya sebagai hukum yang lahir atas proses ijtihad, maka amat dimungkinkan bila dicetuskan pendapat baru, bahwa wanita Muslim boleh menikah dengan laki-laki non-Muslim, atau pernikahan beda agama secara lebih luas diperbolehkan, apapun agama dan aliran kepercayaannya. 15 Dalam kaitannya dengan perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita ahl al-kitab dalam KHI secara tegas dilarang, menyikapi permasalahan ini menurut Musdah Mulia bahwa, jenis perkawinan tersebut dibolehkan untuk sebaliknya, alasan yang ia kemukakan adalah dalam literatur bahasa arab dikenal dengan namanya aliktifa, yakni cukup menyebutkan sebagian saja dan dari situ dipahami bagian lainnya. Ia bependapat bahwa ayat tersebut membolehkan perkawinan dengan wanita ahl alkitab, maka mafhum mukhalafah-nya perempuan muslimpun tidak dilarang menikahinya.16
Mengenai siapa saja yang termasuk golongan ahl al-kitab pendapat yang dikemukakan oleh kalangan feminis, penentuan siapa sajakah yang termasuk kedalam golongan ahl al-kitab nampaknya mereka sependapat dengan Muhammad Abduh dan Rasid Ridha yang menganggap bahwa yang termasuk kedalam golongan ahl al-kitab yaitu Majusi, Sabian, Hindu (Brahmanisme), Budha, Konfucius, Shinto, dan agamaagama lain dapat dikategorikan sebagai ahl al-kitab. Menurutnya dalam ajaran kitab
15
Mun‟im A. Sirry (ed). Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis.
h.164 16
Siti Musdah Mulia. Muslimah Reformis. Perempuan Pembaru Keagamaan, h. 63
75
mereka mengandung paham monotheisme (tauhid) sampai sekarang karena itu halal menikahi perempuan-perempuan mereka. Menurut Ridha, agama-agama tersebut pada mulanya memiliki kitab suci dan berpaham monotheisme (tauhid). Karaena perjalanan waktu yang begitu panjang, agama tersebut kerasukan paham-paham syirik.17
Penjelasan dan konsep yang ditawarkan oleh kalangan feminisme mengenai dibolehkannya perkawinan beda agama, seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa permasalahan mengenai perkawinan beda agama merupakan permasalahan klasik yang telah ada sejak lama, namun jika kita kaitkan dengan semakin berkembangnya hukum Islam di Indonesia maka timbul suatu pertanyaan apakan konsep tersebut relevan dengan konsep perkembangan hukum yang terjadi saat ini?. Untuk mengetahui hal tersebut lebih lanjut maka dalam hal ini penulis perlu kiranya menelusuri konsep ini lebih jauh lagi. Perkembangan hukum merupakan salah satu kebutuhan masyarakat yang hidup di negara hukum, hal ini bertujuan untuk memberikan rasa aman bagi anggota masyarakat yang menghuni pada suatu negara, perkembangan hukum sangatlah penting dilakukam. Menurut Saifullah dalam bukunya yang berjudul “Refleksi Sosiologi Hukum” berpendapat, jika hukum tidak mengalami perubahan maka akan menemui banyak kendala baik yang berhadapan langsung dengan rasa keadilan 17
Zainun Kamal. Menafsir Kembali Perkawinan Antar Umat Beragama,dalam Mariah Ulfah Anshor dan Martin Lukito Sinaga (ed), Tafsir Ulang Perkawinam Lintas Agama Perspektif Perempuan dan Pluralisme,h. 154
76
masyarakat maupun persoalan penegakan hukum (law enforcement). Selama perubahan hukum dilakukan responsif dan mengikuti koridor hukum yang berlaku dalam kehidupan masyarakat, maka hukum akan selalu selaras dengan kehidupan masyarakat.18 Perubahan dan perkembangan pemikiran hukum Islam yang berpijak pada kemaslahatan akan berubah sesuai dengan waktu dan ruang bukan saja dibenarkan, tetapi merupakan suatu kebutuhan, khususnya bagi umat Islam yang mempunyai kondisi dan budaya yang berbeda dengan Timur Tengah, seperti Indonsia. Hal ini didasarkan pada pertimbangan: Pertama, banyak ketentuan-ketentuan hukum Islam yang berlaku di Indonesia merupakan produk ijtihad yang didasarkan pada kondisi dan kultur Timur Tengah. Padahal, apa yang cocok dan baik bagi umat Islam di Timur Tengah, belum tentu baik dan cocok bagi umat Islam di Indonesia. Kedua, kompleksitas masalah yang dihadapi umat Islam dewasa ini terus berkembang dan semakin beragam.19 Secara sosiologis, hukum merupakan refleksi dari tata nilai yang diyakini masyarakat sebagai suatu pranata dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Itu berarti, muatan hukum yang berlaku selayaknya mampu menangkap aspirasi masyarakat yang tumbuh dan berkembang bukan hanya yang bersifat 18
Saifullah. Refleksi Sosiologi Hukum, (Bandung: Refika Aditama, 2007), h. 26
19
Abdul Halim. Ijtihad Kontemporer: Kajian Terhadap Beberapa Aspek Hukum Keluarga Islam Indonesia, dalam Ainurrofiq (ed.), Mazhab Jogja: Menggagas Paradigam Ushul Fiqh Kontemporer, cet. I (Yogyakarta: Fakults Syari„ah UIN Sunan Kalijaga dan ar-Ruzz Press, 2002), h. 231
77
kekinian, melainkan juga sebagai acuan dalam mengantisipasi perkembangan sosial, ekonomi, dan politik dimasa depan. Indonesia yang mayoritas penduduknya negara muslim terbesar, tentunya kebutuhan akan hukum Islam menjadi salah satu yang sangat penting, jika hukum itu disandarkan dengan kata Islam berarti hukum Islam adalah hukum yang dibangun berdasarkan pemahaman manusia atas nash al-Quran maupun al-Sunnah untuk mengatur kehidupan manusia, yang berlaku secara universal relevan pada setiap zaman (waktu) dan makan (ruang) manusia.20 Dalam memahami aturan yang terdapat dalam al-Quran maupun al-Sunnah dalam menentukan suatu aturan maka peran para ilmuan atau ulama sangatlah penting, hal ini untuk menunjang suatu prodak hukum yang dapat memberikan kemaslahatan yang sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan dalam al-Quran maupun al-Sunah. Dalam upaya legalisasi hukum, terlebih lagi hukum Islam peran pemerintah merupakan salah satu pern penting dalam upaya positivasi hukum, sambutan baikpun nampaknya sejalan dengan cita-cita umat muslim mengenai penegakan hukum Islam itu sendiri. Jika ditinjau dalam kebijakan pembangunan nasional sebagaimana diuraikan dalam GBHN tahun 1999, hukum agama mendapatkan tempat yang penting, hukum Islam dengan sarat nilai yang universal dan merupakan bagian dari ajaran agama yang dipeluk oleh sebahagian besar rakyat Indonesia mempunyai peluang yang lebih besar dibanding dengan agama lalin. Dengan demikian positivasi
20
Said Agil Husin Al-Munawar. Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, cet. Ke-1, (Jakarta: Penamadina,2004), h.6
78
hukum Islam menjadi sebuah keniscayaan sosial. Untuk menjawab tuntutan akan kebutuhan umat Islam terhadap hukum Islam, dalam rangka mewujudkan hal tersebut perlu melewati proses pembentukan hukum yang telah ditetapkan. Adapun proses terlahirnya suatu hukum terlebih lagi hukum Islam, cara yang digunakan untuk menggali sumber-sumber hukum yaitu dengan cara ijtihad. Ijtihad jika ditinjau dari segi obyek kajiannya, dibedakan menjadi dua bentuk yaitu ijtihad ishtinbati dan ijtihad thatbiqi. Ijtihad istinbathi, yaitu ijtihad yang dilakukan berdasarkan pada nash-nash syariat dalam menyimpulkan ide hukum yang terkandung didalamnya, hasil ijtihad yang diperoleh berasal dari penelitian suatu masalah hukum yang dihadapi. Secara teori untuk melakukan ijtihad isthinbathi diperlukan cara khusus seperti penguasaan terhadap ilmu-ilmu yang berhubungan dengan al-Quran, hadist Rosullullah dan lain-lain. Sedangkan ijtihad tathbiqi ialah ijtihad yang dilakukan berdasar pada suatu permasalahan yang terjadi dilapangan, dalam hal ini seorang mujtahid harus langsung berhadapan dengan obyek hukum yang terhadapnya ide atau substansi hukum Islam produk ijtihadnya akan diterapkan.21 Proses ijtihad ini nampaknya menjadi proses positivisme hukum Islam di Indonesia, ijtihad yang dilakukan hemat penulis telah menghantarkan perkembangan hukum Islam di Indonesia menjadi suatu hukum yang mewakili penegakan syari‟at Islam di tanah air. Perkembangan hukum Islam nampaknya semakin menuju pada
21
Samsul Bahri. Membumikan Syariat Islam Strategi Positivism Hukum Islam Melalui Yurisprudensi Mahkamah Agung, (Semarang: Pustaka Rizki Putra,2007), h.146
79
titik terang kendati tidak secara menyeluruh diterapkan dalam berbagai bidang, akantetapi nampaknya lambat laut aturan itu menjadi kebutuhan yang diharapkan oleh berbagai kalangan muslim tanah air. Proses perkembangan hukum Islam, mengenai hukum keluarga nampaknya para ulama atau mujtahid telah berhasil melakukan suatu trobosan pembaruan hukum Islam. Usaha mereka untuk menjadikan peraturan yang bernuansa Islami mulai menuai hasil yang positif, langkah nyata dari para ulama Islam yang melakukan ijtihad didukung baik oleh pemerintah. Perjuangan melegal-positifkan hukum Islam mulai menampakkan hasil ketika akhirnya hukum Islam mendapat pengakuan konstitusional yuridis. Berbagai peraturan perundang-undangan yang sebagian besar materinya diambil dari kitab fikih yang dianggap representatif telah disahkan oleh pemerintah Indonesia. Diantaranya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Khusus untuk yang terakhir, merupakan tindak lanjut dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria. Setelah lahirnya Undang-Undang yang berhubungan erat dengan nasib legislasi hukum Islam di atas, kemudian lahir Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, sebuah lembaga peradilan yang khusus diperuntukkan bagi umat Islam. Hal ini mempunyai nilai strategis, sebab keberadaannya telah membuka kran lahirnya peraturan-peraturan baru sebagai pendukung (subtansi hukumnya).
80
Sehingga pada tahun 1991 Presiden Republik Indonesia mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991, yang berisi tentang sosialisasi Kompilasi Hukum Islam (KHI). Terlepas dari pro dan kontra keberadaan KHI, nantinya diproyeksikan sebagai Undang-Undang resmi negara (hukum materiil) yang digunakan di lingkungan Pengadilan Agama sebagai hukum terapan. Perkembangan terakhir, sebagai tuntutan reformasi di bidang hukum khususnya lembaga peradilan dimulai dengan diamandemennya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970, tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman oleh Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999, tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970, yang kini kembali direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, tentang Kekuasaan Kehakiman. Perubahan Undang-Undang diatas secara otomatis membawa efek berantai pada Peradilan Agama, sehingga Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, tentang Peradilan Agama juga mengikuti jejak, yakni diamandemen dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989, tentang Peradilan Agama.22 Lahirnya Undang-Undang di atas membawa lompatan besar hukum Islam dalam perkembangan hukum nasional. Sebab unsur-unsur hukum positif yang berupa nilai, norma, peraturan, pengadilan, penegakan hukum, dan kesadaran hukum masyarakat menjadi sempurna. Dengan demikian hukum Islam yang telah menjadi bagian hukum nasional dengan sempurna ialah hukum perkawinan, hukum waris,
22
Abdul Manan. Reformasi Hukum Islam di Indonesia,(Jakarta: Rajawali Pers: 2006), h. 181
81
hukum hibah serta wasiat, hukum wakaf, hukum zakat dan hukum bisnis Islam (ekonomi syari‟ah). Dari berbagai peratuaran diatas dalam penulisan skripsi ini tidak akan membahas secara keseluruhan mengeni perkembangan hukum Islam di Indonesia, dalam pembahasn ini lebik difokuskan mengeni aturan perkawinan. Aturan mengenai perkawinan secara khusus diberikan kepad umat muslim tanah air dengan lahirnya Kompilasi Hukum Islam melalui instruksi presiden No.1 Tahun 1991, tanggal 10 juni 1991, menurut Ismail Suny bagi umat Islam sudah jelas bahwa dalam bidang perkawinan, kewarisan dan wakaf bagi umat Islam hukum yang berlaku adalah hukum Islam yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang.23 Sebelum adanya aturan mengenai perkawinan para hakim menggunakan rujukan 13 kitab fikih untuk memutus dan mengadili perkara dipengadialan agama yang sebahagian kitab itu berlaku dikalangan Mazhab Syafi‟I. keputusan ini sesuai dengan edaran Departemen Agama Biro Pengadialan Agama Nomor. B/1/735 tanggal 18 Februari 1958 yang ditunjukan kepada pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama seluruh Indonesia.24 Dengan adanya keputusan seperti ini berakibat terhadap putusan hakim yang berbeda-beda disetiap daerah, menyadari hal itu maka para pakar hukum Islam telah berusaha membuat hukum Islam yang lebih komprehensif agar hal ini bertujuan agar 23
Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, cet-ke 5 (Jakarta: CV. Akademika Pressindo,2007), h. 53 24
Abdul Manan. Reformasi Hukum Islam di Indonesia,h.178
82
hukum Islam tetap eksis dan dapat dipergunakan untuk menyelesaikan segala masalah umat dalam era globalisasi saat ini. Langkah awal yang dilakukan para pembaharu hukum Islam adalah mendongkrak paham ijtihad telah tertutup, dan membuka kembali kajian-kajian hukum Islam dengan metode komprehensif yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Para pembaharu juga harus berusaha agar hukum Islam tetap eksis sepanjang zaman. Para pembaharu harus mengusahakan agar hukum Islam menjadi salah satu sumber hukum Nasional dan dapat menjadi pedoman dalam berbangsa dan bernegara. Menurut Nourrozzaman, Hasbi as-Shidiqi adalah orang pertama yang mengeluarkan gagasan agar fikih yang ditetapkan di Indonesia harus berkeperibadian Indonesia, untuk mewujudkan hal itu maka menurutnya perlu dibuat Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. menurut Hasbi dalam rangka pembaharuan hukum Islam di Indonesia perlu dilaksanakan metode talfiq dan secara selektif memilih pendapat mana yang cocok dengan kondisi Indonesia. disamping itu menurutnya, perlu juga digunakan metode komparasi, yaitu metode memperbandingkan suatu pendapat dengan pendapat lain dari seluruh aliran hukum yang ada atau yang pernah ada dan memilih yang lebih baik dan mendekati kebenaran, serta didukung oleh dalil yang kuat.25 Langkah yang ditempuh oleh Hasbi as-Shidiqi, mendapat sambutan hangat dari ahli hukum Islam Indonesia, langkah yang ia tempuh merupakan langkah menuju 25
Abdul Manan. Reformasi Hukum Islam di Indonesia, h. 179-180
83
perkembangan hukum Islam di Indonesia. Dalam proses perkembangan hukum Islam langkah yang dibentuk untuk keseragaman putusan ditempuh dengan membuat suatu aturan yang dirumuskan menjadi kedalam suatu Kompilasi Hukum Islam. Dalam Kompilasi Hukum Islam aturan yang ditetapkan didalmnya mengacu kedalam berbagai kajian fikih klasik, sebelum peraturan itu disahkan terlebih dahulu dilakukan beberapa proses sebelum aturan yang terdapat didalmnya dijadikan suatu aturan tetap dan mengikat. Adapun proses yang dilakukan adalah mencakup beberapa tahap antaralain: tahap pertama adalah persiapan, kedua tahap pengumpulan data yang dilakukan melalui 1. Jalur ulama, 2. Jalur kitab-kitab fikih, 3. Jalur yurisprudensi pengadilan agama, 4. Jalur studi perbandingan di negara-negara lain khususnya di negara-negara timur tengah, tahap ketiga, tahap penyusunan rancangan Kompilasi Hukum Islam dari data-data tersebut, dan tahap keempat, tahap penyempurnaan dengan mengumpulkan masukan-masukan akhir dari para ulama/ cendikiawan muslim seluruh Indonesia yang ditunjuk melalui lokakarya.26 Setelah tahap-tahap tersebut dilakukan maka KHI pun terrangkum menjadi suatu peraturan bagi umat muslim pencari keadilan dan merupakan keseragaman yang menjadi pedoman bagi hakim pengadilan agama diseluruh Indonesia. aturan mengenai perkawinan telah diatur melalui Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam dalam bentuk impres, aturan didalamnya melarang tentang
26
Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, cet-ke 5 (Jakarta: CV. Akademika, 2007), h. 37
84
perkawinan beda agama yang menjadi pembahasan dalam skripsi ini akan tetapi dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tidak secara tegas perkawinan tersebut dilarang hal ini menjadi perdebatan mengenai hal tersebut. Aturan yang terkait larangan perkawinan beda agama dalam Kompilasi Hukum Islam, dilarang sepenuhnya tak terkecuali perkawinan dengan ahl al-kitab yang dalam al-Quran perkawinan semacam ini dibolehkan, KHI secara tegas melarang segala perkawinan beda agama dengan menuangkannya dalam bentuk peraturan yang termaktub dalam pasal 44 dan pasal 40 huruf C. Aturan yang termaktub dalam KHI bahwasanya isi dari pasal 44 KHI yang sesuai dengan Q.S. al-Baqarah (2): 221 dan ijma ulama, yaitu melarang perkawinan wanita muslim dengan pria non-muslim termasuk ahl al-kitab, dan isi sebagian dari pasal 40 huruf C KHI yang sesuai dengan Q.S al-Baqarah (2): 221, yaitu melarang pria muslim menikah dengan wanita musyrik, tidaklah menjadi persoalan. Karena sudah sesuai dengan yang termaktub dalam al-Qur'an dan ijma ulama. Dalam pembentukan aturan mengenai larangan semua jenis perkawinan beda agama KHI lebih menitik beratkan pada konsep maslahat yang berasaskan keadilan dan dan kemanfaatan. Prinsip ini merupakan prinsip gabungan yang dipegang para Imam Mazhab, khususnya aliran ar-Ra‟yu dan al-Hadits yang telah terbukti membawa ketertiban dan kesejahteraan dalam masyarakat. Tidak ada perselisihan dalam dikalangan ahli hukum islam tentang masalah ini, bahkan mereka sepakat
85
bahwa dalam pembaharuan hukum Islam segala sesuatu yang telah ditetapkan hendaknya melahirkan kemaslahatan bagi manusia yang bersifat dharuriyat, hajiyat dan takhsiniat.27 Dari penjelasan diatas perkembangan hukum Islam yang terjadi di Indonesia, khususnya dalam hukum perkawinan prinsip yang digunakan dalam membuat suatu peraturan hukum berpijak pada prinsip maslahat, yang didalamnya bertumpu pada keadilan dan kemanfaatan. Disamping itu KHI dibentuk berdasarkan sumber aturan hukum Islam yang disepakati oleh para ulama terdahulu dan melakukan kajian komparasi terhadap kajian-kajian mengenai hukum Islam yang ada dan memilih yang lebih baik dan mempunyai dalil yang kuat. Berdasrkan penjelasan tersebut maka konsep perkawinan yang di gagas oleh kalangan feminis tidak relevan untuk konteks perkembangan hukum keluarga Islam di Indonesi, prinsip yang digunakan dalama pembentukan peraturan yang digagas oleh kalangan feminis, bertentangan denga mayoritas ahli hukum Islam klasik ataupun kontemporer dan bertentangan dengan ijma, tidak hanya itu dalil-dalil yang mereka gunakan tidak sepenuhnya berdasarkan ketentuan dalam al-Quran yang menjadi dalil yang sangat kuat dalam membentuk hukum Islam. Konsep yang ditawarkan mengenai perkawinan beda agama sangat bertentangan dengan prinsip kemaslahatan dan maqasid syari‟ah yang menjadi pondasi pembentukan hukum keluarga Islam Indonesia.
27
Abdul Manan. Reformasi Hukum Islam di Indonesia,h. 178-179
86
B. Beberapa Kritik Terhadap Konsep Perkawinan Beda Agama Kalangan feminisme yang dalam membentuk suatu aturan senantiasa menjunjung tinggi prinsip hak asisi manusia, demokrasi, gender, pluralisme dan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Aturan mengenai dibolehkannya perkawinan beda agama pun tidak terlepas dari prinsip-prinsip tersebut, maka tak heran jika banyak kalangan atau ilmuan muslim yang tidak setuju dan memberikan kritikan yang sangat pedas terhadap konsep tersebut, berikut adalah berbagai kritikan mengenai konsep perkawinan beda agama yang digagas oleh kalangan feminisme. Menurut Ali Musthofa Yakub, dalil-dalil atau ijma yang mengatur tentang perkawinan beda agama menurutnya hal itu termasuk wilayah ijtihadi dengan dalil naqli yang jelas, termasuk perkawinan dengan wanita ahl al-kitab yang dibolehkan dalam al-Quran, ia menjelaskan bahwasanya tidak ada ruang untuk berijtihad hal ini sesuai dengan kaidah
ِغ نالِجْخِياَ ِد فِى يَ ٌْرِ ِد اننَّص َ ال َيسَا َ
28
Artinya: “Tidak ada celah ijtihad dalam permasalahan yang telah ada nashnya” Berdasarkan hal ini, asumsi rasio yang membolehkan pernikahan laki-laki muslim dengan perempuan muslimah atas dasar hak dan keberagaman (pluralisme) tidak bisa dibenarkan. Pernikahan adalah bagian dari ibadah umat Islam yang
28
Abdul Aziz Azam. Al Qawaid Al Fiqhiyyah, Cet. Pertama (Mesir: Daar Al Hadits, 2005), h.
243
87
acuannya adalah al-Quran, hadis dan ijma (konsensus) sahabat, bukan berdasarkan rasio dan selera semata. Menurutnya sejak masa nabi Islam sudah mengenal pluralitas agama, yaitu kenyataan bahwa di jazirah arab saat itu memeluk berbagai agama, hal ini sama dengan di Indonesia yang masyarakatnya memeluk berbagai agama, tapi pada masa nabi tidak ada pluralisme agama. Pluralisme merupakan suatu paham yang mengajarkan bahwa kebenaran agama-agama itu relatif. Masing-masing agama tidak boleh meng-klaim bahwa ajaran agamanya saja yang benar, karena kebenaran adalah mutlak milik tuhan. Islam tidak mengajarkan pluralisme, Islam hanya mengakui adanya pliralitas agama, bukan pluralisme. Hal ini sesuai yang telah ditetapkan dalam al-Quran:
)۸٥:ٌسزِيٍْ (سٌرة ال عًزا ِ خزَ ِة يٍَِ َانْخَا ِ سالَ ِو دِيْنًا َفهَ ْى يُقْبَم يِنْ ُو ًَىُ ٌَ فِى َانَا ْ ٍ يَبْخَ ِغ غَ ْيزَ َانِْإ ْ ًََي Artinya: “Barang siapa yang mencari agama selain islam tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk golongan-golongan yang merugi”. (Q.S Ali Imran (3): 85) Dalam ayat lain dijelaskan
)١۹: ٌسالَو (سٌرة ال عًزا ْ ٍ عِنْ َذَاهللِ َانِْإ َ ٌْ انذِي َ ِا Artinya: “Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah adalah Islam”.(Q.S Ali Imran (3): 19) Menurut Ali Musthafa Yakub, MA. bahwasanya perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita ahl al-kitab hanyalah suatu kebolehan, bukan anjuran, apalagii
88
perintah. Ia-pun menentang pendapat yang dikemukan diatas yaitu konteks dakwah pada saat dilarangnya perkawinan dengan wanita ahl al-kitab hal itu dikarenakan kuantitas umat Islam tidak sebesar saat ini, karenanya ketika umat Islam sekarang sudah bertambah amat banyak maka menurut mereka dengan sendirinya perkawinan tersebut dibolehkan, apapun agama dan kepercayaannya. Menurutnya pendapat seperti ini tidak dibenarkan, perkawinan yang aman dan benar yaitu mewujudkan keluarga yang sakinah, hal ini dapat terwujud dengan melakukan perkawinan dengan seagama Islam.29 Ayat al-Quran yang digunakan oleh kalangan feminis yaitu surat al-Baqoroh (2) ayat 221 dan surat al-Mumtahanah (60) ayat 10, secara zahir ayat dalil tersebut melarang segala bentuk perkawinan dengan non muslim. surat al-Mumtahanah (60) ayat 10 yang artinya: Apabila kamu bahwa wanita-wanita mukminah itu benar-benar beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) yang kafir. Wanita-wanita muslimah tidak halal (dinikahi) oleh lelaki-lelaki kafir, dan lelaki-lelaki kafir itu tidak halal (menikahi) wanita-wanita muslimah. Menurut Ali Mustafa Yakub ayat ini dengan jelas melarang perkawinan antara lelaki muslim dengan wanita kafir dan sebaliknya beliau beralasan dengan mengutip pendapat Ibnu Katsir dalam kitabnya tafsir al-Quran al-Adzim beliau mengatakan.
29
Ali Mustafa Yakub. Nikah Beda Agama dalam Al-Quran dan Hadist, cet.ke-2, (Jakarta: Pustaka Firdaus:2007), h. 53-56
89
30
ٍىذه األيت ىي انخى حزيج انًسهًاث عهى انًشزكي
Artinya: “Ayat inilah yang mengharamkan (pernikahan) perempuan muslimah dengan lelaki musyrik”. Selain pendapat Ibnu Katsir, beliaupun mengemukakan pendapat Imam alSaukani dalam kitabnya Fath al-Qadir yaitu:
فيو دنيم عهى أٌ انًؤينت ال ححم نكافز
31
Artinya: “Dalam firman Allah ini terdapat dalil bahwa wanita mukminah tidak halal (dinikahi) orang kafir”. Dari beberapa argumentasi yang dikemukakan oleh Ali
Mustafa Yakub
tampak jelas penolakannya terhadap setiap argumentasi dibolehkannya perkawinan beda agama. Beliaupun menentang keras hasil karya para feminis yang menyodorkan draf tandingan terhadap KHI, ia berpendapat bahwa Conter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam merupakan hukum iblis, jika mengikuti segala aturan yang terdapat didalamnya termasuk mengenai perkawinan beda agama akan sesat. Menurutnya Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam sudah sangat epektif dalam menjawab persoalan di Indonesia.32 Selain Ali Musthafa Yakub, Guru besar hukum Islam Universitas Indonesia, Tahir Azhari, dengan terang-terangan menganggap beberapa poin dalam CLD-KHI 30
Al Imam Al Jalil al Hafiz Imaduddin Abul Fida Ismail Ibn Katsir Al Kursy Ad Dimaski. Tafsir Al Quran Al „Azim, Juz IV (Mesir: Daar Misr Lithaba‟ah, 1988), h. 350 31
Muhammad bin Ali bin Muhammad As Saukani. Fath Al Qadir, Juz V, Cet. Ke-III (Beirut: Daar Al Ma‟rifah: 1997), h. 264 32
Muhammad Latif Fauzi. “Sharia di Ruang publik Indonesia”: Melihat Perdebatan Hukum Keluarga Islam di Era Reformasi, artikel diakses pada tanggal 8 april 2011 dari http://ern.pendis.kemenag.go.id/DokPdf/ern-v-01.pdf.
90
itu mengada-ada. Tentang perkawinan dengan perjanjian jangka waktu tertentu, misalnya, dia menyebut bahwa nikah harus berlandaskan hukum, bukan semata-mata atas kesepakatan layaknya kontrak. Kritik terhadap CLD-KHI juga dikemukakan oleh Nabilah Lubis, Profesor UIN Jakarta. Ia menyatakan bahwa UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Inpres No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam masih sangat relevan dan tetap mampu mengakomodir kepentingan umat. Ketentuan yang termuat dalam undangundang itu sudah sejalan dan sesuai dengan syariat Islam. Jika menelaah apa yang diajukan dalam CLD-KHI, misalnya mengenai pembagian waris yang sama rata antara laki-laki dan perempuan, penetapan iddah bagi laki-laki, larangan poligami, dan sebagainya bertentangan dengan kaidah Islam.33 Dalam sebuah seminar yang diselenggarakan oleh Universitas Yarsi pada tanggal 29 Oktober 2004, Rifyal Ka‟bah, Hakim Agung yang aktif dalam Muhammadiyah,menekankan bahwa Pokja, sebagai kelompok reformis, melanggar batasan-batasan yang telah diajarkan dalam al-Qur‟an, hadis dan menyerang pendapat para ulama terkenal, seperti al-Shafi‟i. Ka‟bah mengkritik beberapa istilah yang digunakan, seperti fikih padang pasir untuk menyebut pemikiran hukum klasik. Dalam buku yang berjudul Kontroversi Revisi Kompilasi Hukum Islam dalam Perspektif Pembaruan Hukum Islam di Indonesia yang ditulis oleh Huzaemah Tahido Yanggo, profesor perbandingan mazhab Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan lulusan Universitas al-Azhar. Buku tersebut ditulis untuk menjawab 33
Muhammad Latif Fauzi. “Sharia di Ruang publik Indonesia”: Melihat Perdebatan Hukum Keluarga Islam di Era Reformasi, artikel diakses pada tanggal 8 april 2011 dari http://ern.pendis.kemenag.go.id/DokPdf/ern-v-01.pdf.
91
kegelisahan masyarakat Muslim atas kontroversi CLD-KHI. Merujuk kepada alQur‟an, hadis, dan pendapat ulama, ia mengkritik delapan poin utama dalam CLDKHI. Ia menuduh CLD-KHI telah mengganti makna tekstual ayat-ayat al-Qur‟an dengan pendekatan yang didasarkan pada Maqasid Syariah yang bertujuan memelihara keadilan sosial dan kearifan lokal. Menurutnya, kelompok kerja pengurus utamaan gender tidak menyadari bahwa jalan yang mereka tempuh untuk melakukan pembaruan hukum Islam adalah salah.34 Kritik
terhadap CLD-KHI berhubungan dengan bagaimana Muslim
selayaknya menafsirkan sumber-sumber ajaran Islam. Penentang CLD-KHI menuduh CLD-KHI menyimpang dari norma-norma ideal Islam. Bahasa yang digunakan juga mengandung makna bahwa mereka menuntut autentisitas, yaitu bahwa cara dan metode mereka yang paling benar dalam memahami Islam, bukan yang diterapkan kelompok kerja pengurus utamaan gender. Penentangan terhadap CLD-KHI tidak hanya dilakukan oleh ilmuan muslim yang kompeten dibidang hukum Islam organisasi muslimpun turut serta menolak perumusan draft tersebut. Dari organisasi Majelis Mujahidin Indonesi (MMI), melalui juru bicaranya mereka menentang keras aturan yang termaktub didalmnya, Fauzan alAnshari selaku juru bicara MMI memberikan protes keras terhadap Mentri Agama terkait perumusan KHI tandingan.
34
Huzaemah Tahido Yanggo. Kontroversi Revisi Kompilasi Hukum Islam (Jakarta: Adelina,
2005),h.12
92
Penolakan terhadap CLD-KHI juga muncul dari Al-Majlis al-Alami lil-Alimat al-Muslimat (MAAI) atau Majelis Ilmuwan Muslimah Internasional
yang
mendiskusikan permasalahan mengenai CLD-KHI. Dalam diskusi tersebut, beberapa rekomendasi terumuskan. MAAI mengharap pemerintah melindungi produk hukum yang telah ditetapkan, untuk menghindari hilangnya kepercayaan publik pada ketentuan hukum Islam yang telah diberlakukan secara resmi dan dilaksanakan oleh umat Islam di Indonesia. MAAI juga menghimbau agar masyarakat Muslim Indonesia meningkatkan kewaspadaan terhadap pemikiran liberal/sekuler yang bertentangan dengan ketentuan syariat Islam. MAAI juga mengharap lembaga kajian yang sudah ada seperti MUI untuk lebih mempertimbangkan dan dapat memberdayakan serta lebih mensosialisasikan hasil-hasil fatwanya supaya lebih dikenal masyarakat dan cepat menanggapi masalah-masalah yang penting. MAAI mengingatkan kepada para pemikir bahwa kebebasan penggunaan rasio hendaknya tetap dalam koridor al-Quran dan hadis, agar tidak menyesatkan masyarakat awam serta terpeliharanya generasi muda, termasuk pemahaman tentang isu-isu kontemporer seperti demokrasi, pluralisme, dan kesetaraan gender. MAAI berpendapat bahwa CLD-KHI merupakan satu grand strategi untuk menghancurkan Islam di Indonesia. Untuk ini, MAAI menganjurkan Muslim untuk mengacu pada ayat al-Qur‟an, surat al-Jatsiyah (45) ayat 18: “Kemudian Kami jadikan kamu berada
93
di atas suatu syariat (peraturan) dan urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.”35 Pendekatan gender, pluralisme, maupun HAM dan demokrasi, tidak mesti „menabrak‟ kaidah-kaidah hukum yang memang sudah mempunyai derajat kepastian tinggi (qat‟iyul wurud) dalam syariah Islam. Mereka harus banyak belajar, sebagaiama telah dilakukan oleh Ismail Faruqi dan Naquib al-Attas meng „create‟ Islamisasi ilmu pengetahuan, yang di Indonesia dikenal dengan Islam untuk disiplin ilmu. Menurut kedua orang tersebut, tak ada satu pun ilmu pengetahuan di dunia ini, yang tidak sinergi dengan sunatullah. Demikian pula, gagasan „mewarnai‟ syariah Islam dengan pendekatan gender, pluralisme maupun HAM dan demokrasi, mestinya bukan syariah Islam yang dipaksakan untuk menyesuaikan diri dengan keempat pendekatan tersebut, justru sebaliknya. Karena memang keempat pendekatan tersebut telah terakomodasikan dalam syariah Islam. Kalau gagasan tersebut tetap dipaksakan, maka dapat dikatakan, bahwa para intelektual muslim tersebut belum dapat memahami apa yang dikatakan ruh syariah Islam itu sendiri. C. Analisis Penulis Dalam menganalisa pendapat yang membolehkannya perkawinan beda agama yang digagas oleh kalangan feminisme, hemat penulis hal yang demikian itu sangat bertentangan dengan maqasid syariah, ini dikarenakan kalangan feminisme menilai
35
Muhammad Latif Fauzi, “Sharia di Ruang publik Indonesia”: Melihat Perdebatan Hukum Keluarga Islam di Era Reformasi, artikel diakses pada tanggal 8 april 2011 dari http://ern.pendis.kemenag.go.id/DokPdf/ern-v-01.pdf.
94
bahwa dalam melakukan perkawinan beda agama yang dijunjung adalah prinsip saling menghargai dan menjunjung tinggi hak dan kebebasan menjalankan ajaran agama dan keyakinan masing-masing. Salah satu isi dari maqasid syariah yaitu menjaga agama bila konsep perkawinan beda agama dibolehkan maka hal tersebut merupakan sarana pengrusakan dari agama itu sendiri. Dalam ajaran Islam saling menghargai memang dianjurkan akan tetapi dengan adanya himbauan seperti itu, tidak berarti aturan yang dilarang dapat dibolehkan dan dibenarkan,isu mengenai perkawinan beda agama memang ada dan diatur dalm alQur‟an, aturan tersebut untuk konteks saat ini hemat penulis tidak relevan jika dibolehkan. Tentunya dengan beberapa pertimbangan yang lebih maslahat ketimbang harus melangsungkan perkawinan yang berlainan keyakinan. Tidak hanya itu jika perkawinan beda agama dilakukan untuk konteks saat ini, maka selain akan berdampak kepada kelanggenan rumah tangga yang akan dibangun, begitu juga dapat berakibat fatal, yaitu terpengaruhnya suami dan kemudian anakanaknya kepada agama istrinya atau suami yang berbeda agama. Seharusnya, hal yang mungkin terjadi adalah terpengaruhnya istri yang non Islam terhadap suami yang muslim dan sebaliknya. Bagaimanapun aturan mengenai perkawinan beda agama tidak dapat dibenarkan walau memang dalam al-Quran dibolehkan perkawinan beda agama dengan wanita ahl al-kitab jika kita perhatikan mengapa perkawinan tersebut
95
dibolehkan dalam Islam, berkenaan dengan hal ini penulis mengambil pendapat dari Qurais Shihab yaitu ada dua alasan menurut Quraish, mengapa seorang pria muslim dibolehkan menikahi wanita ahl al-kitab, yaitu Pertama, sebagai jalan keluar kebutuhan mendesak ketika itu, dimana kaum muslimin sering berpergian jauh melaksanakan jihad tanpa mampu kembali ke keluarga mereka, Kedua, untuk tujuan dakwah,36 ialah untuk menunjukkan kesempurnaan Islam dengan jalan menunjukkan keluhuran budi pekerti yang diajarkan dan diterapkan oleh suami terhadap istri penganut agama Yahudi dan Nasrani itu tanpa harus memaksanya memeluk Islam. Atas dasar ini, bukan hal yang mustahil si istri akan simpati kepada Islam dan diharapkan juga kemudian akan masuk agama Islam. Alasan pertama adalah sesuai dengan konteks pada saat itu, bahwa para sahabat dan generasi setelahnya, seperti para tabi'in, sering berjihad di jalan Allah menyebarkan ajaran Islam di daerah-daerah kekuasaan ahl al-kitab. Oleh karena jauhnya jarak daerah yang ditaklukkan itu, mereka tidak mampu kembali ke keluarga mereka. Di daerah-daerah ahl al-kitab ini juga mereka mengawini para wanita ahl alkitab. Adapun alasan kedua, untuk tujuan dakwah, ialah alasan yang paling urgen
36
M. Quraish Shihab. Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur'an (Jakarta: Lentera Hati, 2001), h. 29
96
yang banyak dibicarakan oleh para Ulama, ketika mengomentari tentang alasan dibolehkannya pria muslim menikahi wanita ahl al-kitab.37 Dakwah ini akan semakin mudah karena dalam aspek teologis, rasul, hari akhir dan prinsip-prinsip dasar agama banyak persamaan, disebabkan adanya persambungan akidah. Hal ini berbeda dengan orang musyrik, walaupun mereka tetap percaya kepada Allah swt, tetapi mereka juga menyembah berhala, tidak mempercayai kitab yang diturunkan Allah swt, Rasul-rasul-Nya, para malaikat-Nya dan aspek teologis lainnya, terlebih lagi tidak adanya persambungan akidah dengan umat Islam dan oleh karenanya secara diametral berbeda dengan umat Islam. Tambahan lagi, seorang pria muslim dibolehkan menikahi wanita ahl al-kitab adalah berdasarkan kaidah syariah yang normal. Maksudnya yaitu
para ulama yang
membolehkan perkawinan tersebut berdasarkan kaidah syariah yang normal, yaitu bahwa suami memiliki tanggung jawab kepemimpinan terhadap istri, serta memiliki wewenang dan fungsi pengarahan terhadap keluarga dan anak-anak. Adalah kewajiban seorang suami muslim berdasarkan hak-hak yang disandangnya untuk mendidik anak-anak dan keluargannya dengan akhlak Islam. Pria diperbolehkan kawin dengan non muslimah yang ahl al-kitab, agar perkawinan itu membawa misi kasih sayang dan harmonisme, sehingga terkikis dari hati istrinya rasa tidak senangnya terhadap Islam, dan dengan perlakuan suaminya yang baik yang berbeda 37
Lihat Fathurrahman Djamil. Ijtihad Majelis Tarjih Muhammadiyah (Jakarta: Logos Publishing House, 1995), h. 146. Lihat juga Syeikh Ali Ahmad al-Jurjawi, Falsafah dan Hikmah Hukum Islam, alih bahasa Hadi Mulyo dan Shobahussurur (Semarang: CV Asy-Syifa, 1992), h. 282
97
agama dengannya itu, sang istri dapat lebih mengenal keindahan dan keutamaan agama Islam secara amaliyyah praktis, sehingga ia mendapatkan dari perlakuan baik itu ketenangan, kebebasan beragama, serta hak-haknya yang sempurna, lagi tidak kurang sebaik istri.38 Akan tetapi, sebagaimana dikhawatirkan para Ulama mengkhawatirkan kelanggengan dan dampak yang dapat ditimbulkan dari perkawinan ini. Ia bahkan mengatakan bahwa jangankan perbedaan agama, perbedaan budaya bahkan tingkat pendidikan pun tidak jarang menimbulkan kesalahpahaman dan kegagalan perkawinan.39 Artinya bahwa walaupun ahl al-kitab itu ada persambungan akidah dan adanya persamaan prinsip-prinsip keagamaan, tetapi tetap saja ia dikategorikan sebagai kelompok "yang berbeda agama". Kekhawatirannya ini dilatarbelakangi dari keinginan agar tercapainya tujuan perkawinan yaitu menciptakan keluarga yang sakinah. Perkawinan baru akan langgeng dan tenteram jika terdapat kesesuaian pandangan hidup antara suami dan istri. Larangan perkawinan beda agama yang termaktub dalam KHI hemat penulis larangan tersebut sesuai dengan konteks perkembangan zaman tak terlepas larangan perkawinan dengan wanita ahl al-kitab, larangan KHI tentang perkawinan beda agama dalam KHI atas pertimbangan kemaslahatan. alasan maslahat ini pula yang
38
M. Quraish Shihab. Wawasan al-Qur'an: Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 2003), h.198 39
M. Quraish Shihab. Tafsir Al-Misbah, h. 29
98
dipakai oleh KHI untuk menutup kebolehan perkawinan ini dengan metode ijtihad Sadd az-zari'ah. Dalam hal ini, dapatlah diambil kesimpulan bahwa aturan dalam KHI sesuai dengan konteks saat ini, ketentuan-ketentuan yang ada dalam KHI tentang perkawinan beda agama, atas dasar kemaslahatan. Aturan yang termaktub Kompilasi Hukum Islam, dua pasal dalam KHI yang mengatur tentang perkawinan beda agama, tidak membagi orang-orang "yang berbeda agama" menjadi dua kelompok yang berbeda, yaitu ahl al-kitab dan musyrik, tetapi menggabungkan keduanya dengan menyebut mereka sebagai non-muslim. Sebenarnya, orang-orang non-muslim yang dimaksud oleh pasal 40 huruf C dan pasal 44 KHI itu adalah orang-orang non-muslim yang terdiri dari orang-orang ahl al-kitab dan orang-orang musyrik serta orang-orang yang disamakan dengan musyrik seperti orang-orang ateis, komunis dan lain-lain. Agaknya, ini adalah sebab dari ketegasan KHI untuk memberikan aturan pernikahan dengan orang-orang non-muslim, dengan menutup segala bentuk perkawinan beda agama, baik dengan ahl al-kitab maupun musyrik. Sebagai instrumen hukum yang harus pasti dan tidak bermakna ganda, tentunya KHI harus jelas dan tegas dalam membuat aturan-aturan publik. Atas dasar ini, adalah wajar jika KHI melarang perkawinan ini, dikarenakan KHI dijadikan acuan para hakim di pengadilan agama untuk memutus perkara, yang dalam
99
memutuskan perkara, tentunya harus jelas, tegas, pasti dan tidak bermakna ganda.40 Apabila KHI membolehkan secara kasuistis dan kondisional, maka akibatnya adalah orang-orang yang belum siap menjaga alasan dibolehkannya perkawinan dengan wanita ahl al-kitab yang dibolehkan dalam al-Quran, maka dikhawatirkan perbuatan tersebut dilakukan. Dari sini, akan mengakibatkan perkawinan beda agama, yang bisa dikatakan tidak terkontrol, kecuali jika ada perjanjian sebelum perkawinan berlangsung, bahwa si suami akan bercerai dengan istrinya apabila ia terpengaruh atau masuk agama si istri (murtad). Tetapi perjanjian ini juga tidak menyelesaikan masalah, karena walaupun ia sudah bercerai, tetap saja ia sudah terpengaruh ajaran agama istrinya akibat perkawinan itu, yang berarti ia sudah tidak beragama Islam. Sedangkan KHI sebagai acuan, tentunya tidak ingin "kebobolan". Kembali pada pembahasan mengenai Perkawinan beda agama yang digagas oleh kalangan feminisme, jika kita cermati pendapat yang dikemukakan hanya mengedepankan logika saja, nilai yang tertinggi dari suatu perkawinan adalah ibadah, akan tetapi hal ini tidak dipertimbangkan oleh mereka. Perkawinan merupakan salah satu perbuatan yang bernilai ibadah, oleh sebab itu tidak semestinya perbuatan yang
40
Keputusan yang jelas, tegas, pasti dan tidak bermakna ganda ini tidak dimaksudkan untuk mematikan kebebasan dan kemandirian para hakim dalam menyelenggarakan fungsi peradilan, juga bukan bermaksud untuk menutup melakukan terobosan dan pembaharuan hukum ke arah yang lebih aktual. Akan tetapi dengan adanya KHI sebagai kitab hukum, para hakim tidak dibenarkan menjatuhkan putusan-putusan yang berdisparitas. Dengan mempedomani KHI, para hakim diharapkan dapat menegakkan hukum dan kepastian hukum yang seragam tanpa mengurangi kemungkinan terjadinya putusan-putusan yang bercorak variable. Persamaan persepsi dan keseragaman putusan melalui KHI tetap membuka pintu kebebasan hakim untuk menjatuhkan putusan yang mengandung variable, asal tetap proporsional secara kasuistik. Lihat M. Yahya Harahap, dalam Cik Hasan Bisri (ed), Kompilasi Hukum Islam, h. 32
100
telah ditetapkan dalam al-Quran, hadis maupun ijma dinodai dengan pemikiran yang menentang ketentuan tersebut. Ajaran agama Islam sangatlah mulia yang akan senantiasa menjunjung tinggi hak manusia selaku ciptaan Allah yang taat dan tunduk pada aturannya baik itu yang berbentuk perintah maupunberbentuk larangan. Masalah terpengaruhnya suami terhadap agama istrinya, di zaman ini, tidaklah mustahil terjadi. Padahal, apabila ditilik dari tanggung jawab suami kepada istrinya, hal yang mungkin terjadi adalah suami yang mempengaruhi istri, dikarenakan suami sebagai kepala rumah tangga bertanggung jawab mengurus keluarga . Atau apabila bukan ini alasan yang tepat, dari hubungan perkawinan akan tercipta sikap saling toleransi antara suami dan istri dalam banyak hal. Atas dasar toleransi, ditambah lagi dengan bumbu-bumbu cinta, bisa saja si suami akan terpengaruh dan kemudian pindah agama. Belum lagi masalah lain yang cukup pelik, yaitu masalah menjaga anakanaknya. Kalamgan feminisme menegaskan bahwa agama anak ditentukan atas dasar pilihannya sendiri ketika menjelang dewasa, pendapat seperti ini rasanya tidak tepat pasalnya kedekatan seorang anak akan lebih terjalin erat pada ibunya pasalnya pendidikan usia dini lebih banyak dilakukan bersama ibunya maka tidak menutup kemungkinan si anak dapat mengikuti ajaran dari ibunya, apabila anak-anaknya terpengaruh kepada nilai-nilai ajaran suami atau istrinya yang non muslim hal ini akan lebih berakibat fatal.jika istrinya yang beragama non muslim maka permasalahan mengenai anak masalah ini boleh dianggap cukup pelik, karena seorang
101
anak biasanya dekat dengan ibunya. Bukankah dalam adat kebiasaan di rumah tangga, seorang ibulah yang bertugas menjaga dan mendidik anak-anaknya sedari kecil?, bukankah si anak, menurut adat kebiasaan, dalam pergaulan di dalam keluarga, lebih dekat kepada ibu daripada ayahnya? Penanaman nilai-nilai dan ajaranajaran istrinya atau suami yang non muslim itu sedari kecil akan memperkokoh pendirian si anak untuk mempelajari ajaran agama ibunya. Apabila semua ini terjadi, tentunya akibat dari perkawinan itu tidak sesuai dengan tujuan Allah menetapkan hukum bagi manusia (maqasid syari'ah), yaitu untuk menjaga kemaslahatan bagi manusia. Dalam hal ini, maslahat yang harus dijaga adalah agama. Jika agama sudak terkorbankan, maka sudak tidak lagi dinamakan menjaga maslahat, tetapi mendatangkan madarat atau kerusakan bagi manusia. Di dalam peringkat maqasid syari'ah, menjaga agama adalah peringkat pertama yang dinamakan daruriy, yaitu memelihara kebutuhan-kebutuhan yang bersifat esensial bagi kehidupan manusia.41 Dari kekhawatiran-kekhawatiran dan akibat-akibat yang dapat ditimbulkan inilah sebenarnya diperlukan pencegahan. Seseorang tidak bisa menjamin bahwa setelah ia menikah dengannon muslim, ia tidak akan terpengaruh ajaran agama istrinya dan sebaliknya si istri tidak terpengaruh oleh ajaran suaminya yang non muslim. Walaupun kalangan feminis jaminan tersebut kemungkinan masih tetap ada, tetapi menurut penyusun, ini bukanlah alasan yang tepat jika tidak didukung oleh
41
Fathurrahman Djamil. Filsafat Hukum Islam, cet. Ke-I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997) h. 126
102
kesiapan mental-sprituil yang kuat. Dari sini dapat diambil satu kaidah yang terkenal, yang juga merupakan pengejewantahan dari metode istinbat hukum sadd az-zari'ah, yaitu:
جهْبِ َا ْنًَصَانِح َ عهَى َ َد ْر ُء َا ْنًَفَاسِذ يُقَذَ ٌو
42
Artinya: “Mencegah kemafsadatan lebih didahulukan (diutamakan) daripada menarik kemaslahatan (niat mendatang kemaslahatan)” Perkawinan antara wanita muslim dengan pria non muslim, baik ahl al-kitab maupun musyrik, diharamkan adalah karena kekhawatiran akan terpengaruh atau berada di bawah kekuasaan suaminya.43 Pria, dalam hal ini pria non muslim, yang biasanya, bahkan seharusnya menjadi pemimpin dalam rumah tangga dapat mempengaruhi istrinya, sehingga bila suami tidak mengakui ajaran agama yang dianut oleh sang istri maka dikhawatirkan akan terjadi pemaksaan beragama baik terang-terangan maupun terselubung.44 Pria non muslim itu tidak mengakui kenabian Muhammad saw. Oleh karena ia tidak mengakui kenabian Muhammad saw, toleransinya terhadap Islam kurang atau bahkan tidak ada sama sekali, terlebih lagi pria musyrik yang tidak mengakui secara keseluruhan ajaran Islam. Dari sinilah dikhawatirkan akan terjadi pemaksaan. Ini berbeda dengan dibolehkannya pria muslim menikah dengan wanita ahl al-kitab adalah karena pria muslim mengakui 42
Ahmad Ibn Muhammad al-Zarqa. Syarah al-Qawaid al-Fiqhiyyah, cet. Ke-II, (Damaskus: Dar al-Qalam,1989), h. 20 43
M. Quraish Shihab. Wawasan al-Qur'an.. h. 199
44
M. Quraish Shihab. Tafsir Al-Misbah.. h. 29
103
kenabian Isa as, dan oleh karenanya, toleransinya besar terhadap agama istrinya yang ahl al-kitab. Sedangkan perkawinan antara pria muslim dengan wanita musyrik diharamkan adalah karena paham keislaman berbeda secara diametral dengan musyrik. Orang-orang musyrik tidak mempunyai kitab suci yang mu'tabar dan tidak mempunyai nabi yang menjadi teladan. Kompilasi Hukum Islam sebagai aturan publik, yang melihat alasan-alasan penguat untuk pencegahan, telah melakukannya dalam aturannya tidak membolehkan perkawinan dengan wanita ahl al-kitab. Menurut Yusuf Qardawi, pemerintah, dalam hal ini pemimpin agama, harus memberikan ketentuan terhadap perkara yang pada mulanya mubah tetapi juga dapat menimbulkan madarat.45 Tidak tanggung-tanggung, madarat yang dikhawatirkan timbul disini adalah terpengaruhnya seseorang kepada agama istrinya yang ahl al-kitab. Ini menjadi sangat penting, karena menyangkut hal yang paling dijaga oleh seorang muslim, yaitu agamanya. Dari ketentuan pasal dalam KHI tentang tidak dibenarkannya perkawinan antara pria muslim dengan wanita ahl al-kitab, yang di dalam al-Qur'an secara eksplisit dibolehkan, dapat disimpulkan bahwa KHI memakai teori Sadd az-zari'ah.
45
Yusuf Qardawi. Fatwa-fatwa Mutakhir Dr.Yusuf Qardawi, alih bahasa H.M.H. al-Hamid al-Husaini (Jakarta: Yayasan al-Hamidy, 1996), h. 592
104
Teori sadd az-zari'ah ini, menurut Fathurrahman Djamil, termasuk salah satu metode penemuan hukum dalam Islam.46 Pada dasarnya, tujuan diberlakukannya suatu hukum adalah untuk memelihara kemaslahatan dan sekaligus menghindari kerusakan baik di dunia maupun di akhirat. Segala macam kasus hukum, baik yang secara eksplisit diatur dalam al-Qur'an dan Hadits, maupun yang dihasilkan melalui ijtihad, harus bertitik tolak pada tujuan tersebut. Semua metode itu yang digunakan untuk menemukan hukum, bermuara pada upaya penemuan maslahat.47 Upaya penemuan maslahat ini juga yang dikehendaki oleh maqasid syari'ah (tujuan penetapan hukum). Maqasid syari'ah perlu difahami dalam rangka mengetahui apakah terhadap satu kasus hukum masih dapat diterapkan satu ketentuan hukum atau karena adanya perubahan struktur sosial, hukum tersebut tidak lagi dapat diterapkan.48 Salah satu metode atau cara yang efektif yang dipakai hukum Islam dalam mewujudkan kemaslahatan tersebut adalah dengan diberlakukannya teori sadd az-zari'ah. Kembali kepada kebijakan KHI yang melarang perkawinan ini, jika dipandang dari kaca mata sadd az-zari'ah, keberatan KHI terhadap dibolehkannya perkawinan ini, dapatlah dibenarkan. KHI berpendapat bahwa, kemaslahatan
46
Fathurrahman Djamil. Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, h. 54. Lihat juga Fathurrahman Djamil. Filsafat Hukum Islam,cet-ke I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 14 47
Fathurrahman Djamil. Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, h 47-48
48
Fathurrahman Djamil. Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, h. 36
105
menghendaki agar perkawinan antara pria muslim dengan wanita ahl al-kitab, yang dibolehkan oleh al-Qur'an itu dilarang. Dari sini, dapat disimpulkan bahwa metode Sadd az-zari'ah ini lebih berorientasi kepada akibat perbuatan yang dilakukan seseorang,49 yakni akibat negatif yang ditimbulkan dan juga bersifat preventif.50 Pada dasarnya perbuatan itu dibolehkan, tetapi kemudian, perbuatan yang dibolehkan itu dilarang. Larangan ini dimaksudkan untuk menghindari perbuatan atau tindakan lain yang dilarang agama. Perbuatan atau tindakan yang dilarang oleh agama disini adalah beralihnya agama suami kepada agama yang dianut oleh istrinya, dan pada umumnya, agama yang dianut oleh anaknya, sama dengan agama yang dianut oleh ibunya. Fatwa Majelis Ulama Indonesia tanggal 1 Juni 1980, ketika menutup dibolehkannya perkawinan ini, juga berpendapat bahwa pada dasarnya dibolehkan bagi pria muslim menikahi wanita ahl al-kitab.51 Tetapi, setelah mengemukakan berbagai alasan, MUI berpendapat bahwa mafsadahnya lebih besar dari maslahatnya, oleh sebab itu perkawinan ini tidak dibenarkan,52 disamping kekhawatiran karena adanya misi agama tertentu.
49
Fathurrahman Djamil. Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, h. 146
50
Fathurrahman Djamil. Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 143
51
Atho Mudzhar. Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Studi tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia 1975-1988 (Jakarta: INIS, 1993), h. 99 52
Atho Mudzhar. Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia.. h. 100
106
Disadari atau tidak, bahwa kemaslahatan, pada suatu saat,
harus
"didahulukan" daripada nas. al-Qur'an secara eksplisit telah membolehkannya, namun, kemaslahatan umat Islam menghendaki lain. Dengan menggunakan metode sadd az-zari'ah, kebolehan menikahi wanita ahl al-kitab itu menjadi haram. Haram disini bukan haram lizatihi, tetapi haram lisadd az-zari'ah.53 Artinya, suatu kasus hukum, dengan menggunakan metode ini, bisa berubah karena perubahan zaman, tempat dan struktur sosial karena pertimbangan kemaslahatan umat. Tentu saja ayat yang membolehkan itu tetap berlaku apabila keadaan memungkinkan, sebagaimana yang pernah terjadi pada masa sahabat dan tabi'in, dimana mereka ada yang menikahi wanita ahl al-kitab. Cara berfikir seperti ini sebenarnya sama dengan cara berpikir Umar bin Khattab, ketika ia menghadapi masalah-masalah sosial pada masa pemerintahannya, seperti ia tidak memotong tangan pencuri ketika musim paceklik, padahal, nas al-Qur'an dengan tegas mengaturnya. Ia melakukan tindakan itu, karena memperhatikan tujuan disyari'atkannya hukum dalam Islam (maqasid syari'ah),54 yaitu untuk kemaslahatan umat. Pendapat seperti ini, juga senada dengan pendapat yang mengatakan bahwa perkawinan dengan wanita ahl al-kitab itu adalah mubah, tetapi siasat tidak menghendakinya. Berangkat dari sini, sebenarnya KHI tidak menentang nash, melainkankan hanya menerapkan dalil-dalil yang bersifat umum, seperti dalam Q.S. al-Baqarah (2) ayat 217, Allah swt mengharamkan murtad atau
53
Fathurrahman Djamil. Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah. h. 147
54
Fathurrahman Djamil. Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, h.148
107
pindah agama, hadis nabi yang menyatakan bahwa kesamaan agama merupakan unsur yang harus diperhatikan dalam perkawinan dan hadis nabi yang menyatakan bahwa anak-anak lahir dalam keadaan fitrah (suci), hanya orang tua mereka yang membuat mereka menjadi orang-orang Yahudi, Kristen dan penganut Zoroaster. Dalil-dalil ini dianggap sebagai dalil yang mendukung tujuan tersebut. Gerakan feminisme yang berkembang dikalangan ilmuan muslim khususnya di Indonesia, yang merancang aturan mengenai perkawinan, hemat penulis gerakan tersebut memiliki relevansi dengan pergerakan feminisme liberal yang berkembang di barat. Hal ini dapat dilihat dari pergerakannya seperti: Pertama, cara pandang yang diangkat lebih mengenai tentang kesetaraan gender. Gender, sebagaimana dituturkan oleh Oakley (1972) Sex, Gender and Society yang dikutip oleh Mansour Fakih, adalah perbedaan yang bukan biologis dan bukan kodrati, yakni ungiven. Perbedaan biologis adalah kodrat tuhan dan oleh karenanya berbeda. Sedangkan gender adalah perbedaan perilaku (behavior differences) antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruk secara sosial, yakni perbedaan yang bukan kodrat atau bukan ketentuan tuhan melainkan diciptakan oleh manusia melalui proses sosial dan kultural yang panjang.55 Baik kalangan feminisme liberal maupun pergerakan feminisme yang menyusun CLD-KHI keduanya sama-sama menggunakan cara pandang gender dalam menentukan suatu prodak hukum. Kedua, konsep Hak
55
Mansour Fakih. Analisis Gender& Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), h. 71-72
108
Asasi Manusia (Human right) menjadi alasan bagi gerakan feminisme untuk menyusun segala konsep pemikirannya. Ketiga, baik kalangan feminisme yang berkembang di Indonesia dan menyodorkan aturan dalam CLD-KHI dan gerakan feminisme liberal, sama-sam mengukur keberhasilan, kebahagiaan, dan pencapaian kesetaraan dengan ukuran dunia publik, wilayah kerja, penguasaan materi dan karakter maskulin. Keempat, baik CLD-KHI maupun feminisme liberal sama-sama memilih jalur hukum/Undang-Undang sebagai sarana utama tempat perjuangan mereka. Perubahan regulasi melalui mekanisme demokrasi yang berbassis HAM adalah cara yang mereka pilih untuk mencapai tujuan mereka. Beberapa hal diatas menunjukan bahwa gerakan feminisme yang berkembang saat ini, menunjukan feminisme yang berkembang di Indonesia merupakan gerakan feminisme liberal. Dalam pergerakannya kalangan feminisme yang merancang aturan mengenai perkawinan ada kesamaan dalam hal basis Epistimologi, model gerakan bahkan mempunyai tujuan yang sama. Dalam hal epistimologi keduanya sama-sama menggunakan parameter HAM, gender dan demokrasi. Dalam hal gerakan, keduanya sama-sama memfokuskan diri pada ranah hukum dengan melibatkan diri dalam kancah demokrasi. Dari segi tujuan, keduanya sama-sama ingin memperjuangkan keharmonisan hubungan antara laki-laki dan perempuan atas dalih HAM. Dapat disimpulkan dari pendapat tersebut, konsep perkawinan beda agama yang digagas oleh kalangan feminis sangat menyimpang dan menyeatkan. Konsep tersebut tidak Relevan untuk konteks keindonesiaan apalagi dijadikan suatu aturan yang mengikat dan mempunyai ketetapan hukum, aturan yang saat ini berlaku tentang 109
perkawinan masih cukup relevan dalam menjawab kebutuhan masyarakat pencari keadilan.
110
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari pembahasan pada bab-bab terdahulu, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: Pertama, konsep perkawinan beda agama yang digagas oleh kalangan feminisme merupakan konsep yang tidak sesuai dengan mekanisme pembuatan hukum di Indonesia, oleh karenanya aturan tersebut tidak diterima dan dijadikan suatu peraturan resmi yang mengikat. Larangan perkawinan beda agama merupakan larangan yang qat’I yang telah dijelaskan dalam al-Quran dan hadis dan telah disepakati oleh mayoritas ulama. Kalangan feminis dengan dalih keadilan merumuskan suatu aturan baru mengenai perkawinan beda agama, kesesatan yang ditawarkan yaitu perkawinan orang Islam dengan bukan Islam dibolehkan. Perkawinan dilakukan berdasarkan prinsip saling menghargai dan menjunjung tinggi hak kebebasan menjalankan ajaran agama dan keyakinan masing-masing. Sebelum menjalankan perkawinan tersebut pemerintah berkewajiban memberikan penjelasan kepada kedua calon suami atau istri mengenai perkawinan antara orang Islam dengan bukan Islam sehingga masing-masing menyadari segala kemungkinan yang akan terjadi akibat perkawinan tersebut. Kemudian untuk kejelasan agama bagi anak yang dilahirkan akibat perkawinan jenis itu, kalangan feminis merumuskan aturan baru yaitu bagi anak berhak untuk memilih dan memeluk suatu agama secara bebas, jika
110
anak belum bisa menentukan pilihan agamanya, maka agama anak untuk sementara ditentukan oleh kesepakatan kedua orang tuanya. Dari aturan yang mereka rumuskan nampak jelas kesesatan dan penyimpangan dari koridor yang telah ditetapkan dalam al-Quran maupun hadis, dan menentang pendapat mayoritas ulama yang melarang perkawinan beda agama. Kedua, secara garis besar yang melatar belakangi lahirnya konsep yang memperbolehkan perkawinan beda agama karena adanya anggapan bahwa aturan mengenai perkawinan yang termaktub dalam Kompilasi Hukum Islam, tidak relevan lagi dan harus direvisi, hal ini dikarenakan aturan tersebut bertentangan dengan beberapa aturan yang berlaku saat ini diantaranya: Dalam konteks Indonesia, KHI sebagai Inpres No 1/1991 telah berseberangan dengan produk hukum nasional seperti Undang-Undang UU No 7/1984, tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, UU No 39/1999, tentang HAM. Dalam konteks internasional, juga bertentangan dengan Pernyataan Umum Hak Asasi Manusia sebagai instrumen penegakan dan perlindungan HAM. Menurut mereka KHI tak bisa disepadankan dengan ayat-ayat universal al-Quran yang kebenarannya melintasi ruang dan waktu sebagai tafsir terhadap agama, hingga revisi KHI boleh saja dilakukan bahkan bisa menjadi wajib sekiranya memuat pasal diskriminatif atas seseorang sebab KHI bukanlah kitab suci yang harus disakralkan.
111
Ketiga, perkawinan beda agama merupakan suatu kontroversi klasik yang telah terjadi semenjak masa Nabi, jika dewasa ini berkembang pemikiran mengenai feminisme yang bergerak untuk merevisi aturan dalam KHI yang melarang perkawinan beda agama, pergerakan yang mereka lakukan melalui penelitian sehingga terkonsep suatu aturan baru yaitu dibolehkannya perkawinan beda agama, jika dikaitkan dengan perkembangan hukum keluarga Islam Indonesia maka konsep yang mereka tawarkan tidak relevan dengan konteks perkembangan hukum keluarga Islam di Indonesia hal ini dapat dinilai dari beberapa sudut pandang yaitu. Pertama perkembangan hukum Islam yang terjadi aturan yang dijadikan suatu hukum tetap dengan menggunakan prinsip maslahat yang berasaskan keadilan dan kemanfaatan. Kemaslahatan ini haruslah bersifat dharuriyat, hajjiyat dan takhsiniyat. Jika perkawinan beda agama dibolehkan maka hal tersebut tidak sesuai dengan tujuan pembentukan hukum Islam dan lebih banyak madaratnya ketimbang maslahat, dalam perkembangan hukum Islam pendekatan terhadap dalil yang lebih kuat menjadi sarana pembentukan hukum itu sendiri, berbeda dengan konsep perkawinan beda agama yang digagas oleh kalangan feminisme bertentangan dengan dalil-dalil yang Qat’I dan bertentangan dengan mayoritas pendapat ulama yang melarang perkawinan beda agama. Dengan demikian bahwasanya konsep perkawinan beda agama yang digagas oleh kalangan feminisme bertentangan dengan sumber hukum Islam dan ijma ulama
112
dan akibat dari perkawinan tersebut dapat berakibat fatal dan berbenturan dengan maqasid syariah. B. Saran-saran 1. Pengaruh paham feminisme yang berkembang saat ini merupakan paham baru yang belakangan berkembang di tanah air, oleh karena itu dalam menggagas suatu aturan yang baru hendaknya mempertimbangkan kemaslahatan dan jangan sampai menyesatkan, tugas para ahli hukum Islam seharusnya turut aktif dalam memberikan pembinaan terhadap kemurnian Islam yang sesungguhnya dan sesegera mungkin menyampaikan suatu penjelasan apabila ada paham baru yang menyesatkan. 2. Dalam
memahami
peraturan
yang
telah
ditetapkan
hendaknya
mempertimbangkan dan mengkaji kemaslahatan, kultur Islami yang telah tumbuh pada masyarakat dan ketaatannya pada hukum Islam jangan sampai kebaikan tersebut goyah dengan doktrin pemikiran yang berdasarkan pada logika saja. 3. Hukum mengenai perkawinan yang berlaku di Indonesia dibuat berdasarkan pertimbangan dan pengkajian terhadap sumber-sumber hukum Islam dan pendapat para ahli hukum klasik maupun kontemporer yang relevan dengan kondisi ke Indonesiaan, aturan yang telah ditetapkan mengenai larangan secara tegas
terhadap
perkawinan beda agama semata-mata untuk
113
kemaslahatan dan kebaikan hal ini bertujuan untuk terciptanya keluarga sakinah yang dicita-citakan oleh setiap orang muslim.
114
DAFTAR PUSTAKA Al-Quran Al-Karim. Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: CV. Akademika Pressindo, 2007. Cet. Ke-V. Al-Jurjawi, Syeikh 'Ali Ahmad, Falsafah dan Hikmah Hukum Islam, alih bahasa Hadi Mulyo dan Shobahussurur, Semarang: CV Asy-Syifa, 1992. Al-Munawar, Said Agil Husin. Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, Jakarta: Penamadina, 2004, Cet. Ke-I. Al-Zarqa, Ahmad Ibn Muhammad. Syarah al-Qawaid al-Fiqhiyyah, Damaskus: Dar al-Qalam, 1989, Cet. Ke-II. Al-Zuhaili, Wahbah. Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, Beirut: Dar al-Fikr, 1989, Cet. Ke-III. Amalia, Euis, dkk. Pengantar Kajian Gender, Jakarta: Pusat Studi Wanita UIN Syarif Hidayattullah, 2003. Al-Baihaqi, Ahmad bin Husain. Ma’rifat as-Sunah wal Atsar, Damaskus: Dar anNasr, 1991, Cet. Ke-I. Ad Dimaski, Al Imam Al Jalil al Hafiz Imaduddin Abul Fida Ismail Ibn Katsir Al Kursy. Tafsir Al Quran Al ‘Azim, Mesir: Daar Misr Lithaba‟ah, 1988. Juz IV Arief, Abd. Salam. Pembaharuan Pemikiran Islam Antara Fakta dan Realita, Yogyakarta, Lesfi, 2003, Cet. Ke-I. As-Sabuni, Muhammad Ali. Terjemahan Tafsir Ayat Ahkam ash-Shabuni, alih bahasa Mu'ammal Hamidy dan Imron A. Manan. Surabaya: PT Bina Ilmu, 1985. As-San‟ani, Abu Bakar Abdur Razaq bin Hammam, Musannaf Abdur Razak, Beirut: Al Maktabah Al Islam, 1976, Cet. Ke-II. As Saukani, Muhammad bin Ali bin Muhammad. Fath Al Qadir, Beirut: Daar Al Ma‟rifah: 1997. Juz V, Cet. Ke-III. Asy-Syubbag, Mahmud. Tuntunan Keluarga Bahagia Menurut Islam, alih bahasa Bahruddin Fanani, Bandung: Remaja Rosda Karya, 1994, Cet. Ke-III. 114
Astuti, Ngudi. Feminisme Muslimah Exsistensi Perempuan dalam Pentas Politik dan Penegakan Peradaban Islam, Jakarta: Media Bangsa, 2010. Cetakan Pertama. Ar-Rifa‟I, Muhammad Najib. Kemudahan dari Allah Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, alih bahasa Syihabuddini, Jakarta: Gema Insani Press, 1999, Jilid II. Azam, Abdul Aziz. Al Qawaid Al Fiqhiyyah, Mesir: Daar Al Hadits, 2005, Cet. Pertama. Baidowi, Ahmad. Tafsir Feminis: Kajian Perempuan dalam Al-Quran dan para Mufasir Kontemporer, Bandung: Nuansa, 2005, Cet. Ke-I. Bahri, Samsul. Membumikan Syariat Islam Strategi Positivism Hukum Islam Melalui Yurisprudensi Mahkamah Agung, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2007. Basyir, Ahmad Azhar. Kawin Campur, Adopsi, Wasiat Menurut Hukum Islam. Bandung: Al- Ma‟arif, 1972. Cawidu, Harifuddin. Konsep Kufr dalam al-Qur'an: Suatu Kajian Teologis dengan Pendekatan Tafsir Tematik , Jakarta: Bulan Bintang, 1991. Dadang, Anshori. Membincang Feminisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997. Departemen Agama Republik Indonesia, Ensiklopedi Islam. Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Proyek Peningkatan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN Jakarta, 1987/1988, Cet. Ke-I. ,
al-Quran dan Terjmemahannya.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1995, Edisi ketiga. Djaja, Tamar. Tuntutan Perkawinan dan Rumah Tangga Islam. Bandung, al-Ma‟arif, 1982. Djamil, Fathurrahman. Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997, Cet. Ke-I. Ijtihad Majelis Tarjih Muhammadiyah, Jakarta: Logos Publishing House, 1995.
115
Fakih, Mansour, dkk. Membincang Feminisme Diskursus Gender Perspektif Islam,Surabaya, Risalah Gusti, 2000, Cet. Ke-II. Analisis Gender& Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006. Habieb, Sa'di Abu. Ensiklopedi Ijmak: Persepakatan Ulama dalam Hukum Islam, alih bahasa: Sahal Machfudz dan Mustofa Bisri. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997. Halim, Abdul. “Ijtihad Kontemporer: Kajian Terhadap Beberapa Aspek Hukum Keluarga Islam Indonesia,” dalam Ainurrofiq (ed.), Mazhab Jogja: Menggagas Paradigam Ushul Fiqh Kontemporer, Yogyakarta: Fakults Syari„ah UIN Sunan Kalijaga dan ar-Ruzz Press, 2002, Cet. Ke-I. Hasan, Muhammad Ali. Masail Fiqhiyah al-Haditsah pada Masalah-masalah Kontemporer Hukum Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998. Handrianto, Budi. Perkawinan Beda Agama dalam Syariat Islam, Jakarta: Khairul Bayan, 2003. Cet. Ke-I. Harahap, M. Yahya. Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam: Mempositifkan Abstraksi Hukum Islam, dalam Cik Hasan Bisri (ed), Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999. Hubies, Aida Fitalaya. Feminisme dan pemberdayaan Perempuan, Bandung: Pustaka Hidayah, 1997. Irwan, Abdullah. Sangkan Paran Gender, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997. Kamal, Zainun. Menafsir Kembali Perkawinan Antar Umat Beragama, dalam Mariah Ulfah Anshor dan Martin Lukito Sinaga (ed), Tafsir Ulang Perkawinam Lintas Agama Perspektif Perempuan dan Pluralisme, Jakarta: Yayasan Obor, 2004, Cet. Ke-I. Katsir,Al-Imam al-Hafizh Imaduddin Abul Fida Ismail ibn. Tafsir al-Qur’an al‘Azhim, Dar Ihya‟ al-Kutub al-Arabiyah, Cairo, tth, Juz II. Kompilasi Hukum Islam (Hukum Perkawinan,Kewarisan Dan Perwakafan),dilengkapi dengan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,UU No.41Tahun 2004 Tentang wakaf,UU No.38 Tahun 1999 Tentang Penggunaan Zakat dan UU No.8 Tahun 2001 Tentang Badan Amil Zakat Nasional, Bandung: Nuansa Aulia, 2008. 116
Ilyas, Yuhanar. Feminisme Dalam Kajian Tafsir al-Quran Klasik dan Kontemporer, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997. M. Galib M. Ahl al-Kitab Makna dan Cakupannya, Jakarta: Paramadina, 1998, Cet. Ke-I. Madjid, Nurcholish. Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah , Jakarta: Paramadina, 2000. Majlis Ulama Indonesia. Himpunan dan Keputusan Fatawa Majlis Ulama Indonesia, Jakarta: Sekertariat Majlis Ulama Indonesia Masjid Istiqlal, 1995. Marbun, Bn. Kamus Politik, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003. Mas‟udi, Masdar. Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan, Bandung: Mizan, 1998. Moleong, Lexi, J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung, PT. Remaja Rosda Karya, 2002, Cet. Ke-XVI. Mulia, Siti Musdah. Muslimah Reformis perempuan pembaru keagamaan, Bandung: Mizan, 2005. Menuju Hukum Perkawinan Yang Adil: Memberdayakan Perempuan Indonesia, dalam Sulistiawati Irianto,ed. Perempuan dan Hukum menuju hukum yang berperspektif kesetaraan dan keadilan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008, Cet. Ke-II. Mudzhar, Atho. Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Studi tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia 1975-1988, Jakarta: INIS, 1993. Mukhtar, Kamal. Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan. Jakarta: Bulan Bintang, 1993, Cet. Ke-III. Muhdlor, Zuhdi. Memahami Hukum Perkawinan: Nikah, Talak, Cerai, dan Rujuk. Bandung: al-Bayan, 1995, Cet. Ke-II. Mughiyah, Muhammad Jawad. Fiqih Lima Mazhab, alih bahas Maskur A.B, Afif Muhamad dan Idrus Al-Kaff, Jakarta: Lentera, 2005, Cet. Ke-XV. Muslikhati, Siti. Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan dalam Timbangan Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 2004.
117
Muttaqim, Abdul. Tafsir Feminis Versus Tafsir Ptriarki, Yogyakarta: Sabda Persada, 2003. Nasution, Khoiruddin. Pengantar Studi Islam. Yogyakarta, Academia Tazzafa, 2004, Cet. Ke-I. Nasution, Rumonda. Penelitian Hukum Tentang Pelaksanaan Hukum dan Praktek Perkawinan Antar Agama dalam Harta Perkawinan dan Status Anak. Jakarta: Departemen Kehakiman, 1994. Suparman, Usman. Perkawinan anatar Aagama dan Problematika Hukum Perkawinan di Indonesia, Serang: Saudara, 1995. Pudjosewoyo, Kusumadi. Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia, Jakarta: PT Penerbit Universitas, 1966. Poetri, Arimbi Hereo. Percakapan Tentang Feminisme Vs Neoliberalisme, Jakarta: Watch, 2004. Qardawi, Yusuf. Fatwa-fatwa Mutakhir Dr.Yusuf Qardawi, alih bahasa H.M.H. alHamid al-Husaini, Jakarta: Yayasan Al-Hamidy, 1996. Rofiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998. Romli, Muhammad Guntur. Muslim Feminis Polemik Kemunduran dan Kebangkitan Islam, Jakarta: Preedom Institute, 2010. Sabiq, As-Sayyid. Fikih Sunnah, alih bahasa Mohammad Thalib. Jakarta: PT alMa'arif, 1980. Saifullah. Refleksi Sosiologi Hukum, Bandung: Refika Aditama, 2007. Suhendi, Hendi. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002, Cet. KeI. Sirry, Mun‟im A. (ed), Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat InklusifPluralis,Jakarta: Paramadina bekerjasama dengan The Asia Foundation, 2004, Cet. Ke-V. Suma, Muhammad Amin. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2004.
118
Surakhmad, Winarno. Pengantar Penelitian-Penelitian Ilmiah: Dasar, Metode, Teknik. Bandung: Tarsito, 1994, Cet. Ke-V. Shihab, Muhammad Quraish. Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian alQur'an, Jakarta: Lentera Hati, 2001. Wawasan al-Qur'an: Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan, 2003. Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: Kencana, 2007, Cet Ke-2. Siregar, Bisamar. Perkawinan Antar Agama Tidak Dibenarkan, Jakarta: Pelita, 1992. Wahid, Marzuki dan Rumadi. Fiqh Mazhab Negara: Kritik Atas Politik Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta: LKiS, 2001. Yanggo, Chuzaimah T. dan Hafiz Anshary, ed. Problematika Hukum Islam Kontemporer, Jakarta: Pustaka Firdaus: 2008, Cet. Ke-V. Kontroversi Revisi Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Adelina, 2005. Yaqub, Ali Mustofa. Nikah Beda Agama dalam Perspektif al-Quran dan Hadist. Jakarta: Pustaka Darussunah, 2005. Yunus, Mahmud. Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: PT. Mahmud Yunus Wadzuryah, 1972. Jurnal dan Internet Muhammad Latif Fauzi, “Sharia di Ruang publik Indonesia”: Melihat Perdebatan Hukum Keluarga Islam di Era Reformasi, artikel diakses dari http://ern.pendis.kemenag.go.id/DokPdf/ern-v-01.pdf. Hurmain,Imam, Pernikahan Beda Agama dalam Perspektif Jaringan Islam Liberal: Analisis terhadap pemikiran JIL tentang Pernikahan beda Agama, artikel diakses pada http://uinsuska.info/ushuluddin/attachments/074_Pernikahan Lintas Agama.
119