10
II KAJIAN KEPUSTAKAAN
2.1
Tanaman Jagung Tanaman jagung termasuk dalam keluarga rumput-rumputan dengan nama
spesies Zea mays L. Secara umum, klasifikasi dan sistematika tanaman jagung yang dikutip dari Purwono dan Hartono (2005) adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae (tumbuh-tumbuhan) Divisi
: Spermatophyta (tumbuhan berbiji)
Subdivisi : Angiospermae (berbiji tertutup) Kelas
: Monocotyledone (berkeping satu)
Ordo
: Graminaceae (rumput-rumputan)
Genus
: Zea
Spesies
: Zea mays L.
Tanaman jagung termasuk jenis tanaman semusim. Akar tanaman jagung dapat tumbuh dan berkembang dengan baik pada kondisi tanah yang sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Pada kondisi tanah yang subur dan gembur, jumlah akar tanaman jagung sangat banyak. Sementara pada tanah yang kurang baik akar yang tumbuh jumlahnya terbatas. Batang tanaman jagung bulat silindris, tidak berlubang, dan beruas – ruas sebanyak 8 – 20 ruas. Jumlah ruas tersebut bergantung pada varietas yang ditanam dan umur tanaman. Daun jagung tumbuh melekat pada buku-buku batang. Jumlah daun tiap tanaman (pohon) bervariasi antara 8-48 helai. Ukuran daun berbeda-beda, yaitu panjang antara 30 - 150 cm dan lebar mencapai 15 cm (Rukmana, 1997). Daun
11
terdiri dari tiga bagian, yaitu leaf sheath (kelopak daun), ligule (lidah daun), dan leaf blade (helaian daun) (Purwono dan Hartono, 2005). 2.2
Jerami Jagung Jerami merupakan bagian batang tumbuhan setelah dipanen bulir-bulir buah
bersama atau tidak dengan tangkainya dikurangi dengan akar dan bagian batang yang tertinggal setelah disabit (Komar, 1984). Jerami jagung terdiri atas batang dan daun. Persentase masing-masing limbah antara lain 50% batang, 20% daun, 20% tongkol jagung dan 10% klobot jagung (McCutcheon dan Samples, 2002). Biomassa jerami jagung sebanyak 4,206 ton/ha dari varietas Bima-4 (Erawati dan Hipi, 2011). Informasi lain yang disampaikan Sariubang dkk. (2000) menyatakan bahwa satu ha lahan menghasilkan antara 2,1-6,0 ton limbah kering berupa jerami jagung. Penggunaan jerami sebagian besar, 36 sampai 62% dibakar atau dikembalikan ke tanah sebagai kompos, untuk makanan ternak berkisar antara 31 sampai 39%, sedangkan sisanya antara 7 sampai 16% digunakan untuk keperluan industri (Komar, 1984). Jerami jagung memiliki kandungan air sebanyak 49,16% dan komposisi zat makanannya berdasarkan bahan kering mengandung abu 6,58%, protein kasar 6,37%, serat kasar 27,61%, lemak kasar 0,47%, BETN 59,97%, TDN 65,82%, energi sebesar 3.047 kkal/kg dan lignin sebesar 13,01% (Laboratorium Nutrisi Ternak Ruminansia dan Kimia Makanan Ternak Fakultas Peternakan Unpad, 2015). 2.3
Ensilase Ensilase merupakan proses pembuatan silase. Silase adalah pakan yang telah
diawetkan yang diproduksi atau dibuat dari tanaman yang dicacah, pakan hijauan,
12
limbah dari industri pertanian dan lain-lain dengan kandungan air pada tingkat tertentu yang disimpan dalam suatu tempat yang kedap udara (Salim, dkk., 2002). Prinsip dasar pembuatan silase adalah membuat kondisi asam dan anaerob dalam waktu yang singkat. Ada tiga hal yang penting dalam membuat kondisi tersebut yaitu, menghasilkan asam laktat yang akan menurunkan pH, menghilangkan udara dengan cepat, dan mencegah masuknya oksigen ke dalam silo untuk menghambat pertumbuhan jamur selama masa penyimpanan. Dalam pembuatan silase perlu memperhatikan kadar air bahan. Menurut Perry dkk. (2004), pembuatan silase pada hijauan harus mengandung kadar air sekitar 60-75%. Bila kadar air tersebut melebihi ketentuan tersebut akan menghasilkan silase yang terlalu asam sehingga kurang disukai ternak (Brotonegoro, dkk., 1979). Secara garis besar proses pembuatan silase terdiri atas empat fase (Sapienza dan Bolsen, 1993), yaitu : 1) Fase aerob, fase ini dimulai sejak bahan dimasukkan ke dalam silo. Pada fase ini berlangsung dua macam proses, yaitu proses respirasi dan proteolisis yang disebabkan adanya aktifitas enzim yang berada pada tanaman. Proses respirasi secara lengkap menguraikan gula-gula tanaman menjadi karbondioksida dan air dengan bantuan oksigen menghasilkan panas. Sedangkan proteolisis yaitu proses dimana enzim protease tanaman akan menguraikan protein menjadi peptida-peptida, asam-asam amino, amida dan amonia. Gula merupakan substrat bagi bakteri penghasil asam laktat yang akan menghasilkan asam yang berfungsi sebagai pengawet bahan. Kondisi aerob yang panjang akan menyebabkan tumbuhnya ragi atau jamur dalam jumlah yang banyak. Panas yang dihasilkan melalui proses respiasi juga akan meningkatkan suhu pada
13
bahan yang akan dibuat silase. Cara untuk menghindari dampak negatif dari fase aerob ini, maka pengisian dan penutupan silo harus dilakukan dalam waktu singkat dan cepat, setelah oksigen habis di dalam silo dimulailah fase fermentasi. 2) Fase fermentasi, fase ini merupakan masa aktif pertumbuhan bakteri penghasil asam laktat. Bakteri tersebut akan memfermentasi gula menjadi asam laktat disertai produksi asam asetat, etanol, karbondioksida, dan lain-lain. Masa fermentatif aktif berlangsung selama 1 minggu sampai dengan 1 bulan. Substrat yang dibuat silase dengan kandungan air 65% termasuk dalam kategori ini, sedangkan bila kandungan air lebih rendah dari 45%-50%, proses fermentasi berlangsung sangat lambat. Untuk fermentasi normal dengan kandungan air 55-60%, masa fermentasi aktif akan berakhir 1-5 minggu. Fermentasi gula yang cepat oleh bakteri penghasil asam laktat disebabkan oleh rendahnya
derajat
keasaman
dan
akan
menghentikan
pertumbuhan
mikroorganisme yang tidak diinginkan. 3) Fase stabil, fase ini terjadi setelah masa aktif pertumbuhan bakteri asam laktat berakhir. Fase ini tergantung baik atau tidaknya cara menutup silo. Selama silo ditutup dengan baik maka sangat sedikit aktivitas mikroba pada fase ini, sihingga dengan kondisi tersebut komposisi kimia di dalam silase tidak akan terjadi penurunan. Fase stabil berlangsung selama silo tertutup sampai silase akan diberikan pada ternak. Faktor utama yang berpengaruh pada kualitas silase selama fase ini adalah permeabilitas silo terhadap oksigen. Oksigen yang masuk ke dalam silo akan digunakan oleh mikroba aerob yang menyebabkan peningkatan populasi ragi atau jamur, sehingga akan terjadi kehilangan bahan kering dan peningkatan suhu silase. Tingkat kehilangan bahan kering dapat
14
diminimalkan, jika silo ditutup dan disegel dengan baik sehingga hanya sedikit aktivitas mikroba yang dapat terjadi pada fase ini. 4) Fase pengeluaran silase, fase ini dimulai pada saat silo dibuka, kemudian silase diberikan kepada ternak. Pada fase ini, oksigen secara bebas akan mengkontaminasi permukaan silase yang terbuka. Kehilangan bahan kering dan zat gizi dapat terjadi karena kerja mikroorganisme aerob yang mengkonsumsi gula, hasil akhir fermentasi dan zat gizi lainnya dalam silase. Komponen terlarut akan diuraikan menjadi karbondioksida dan air, serta akan menghasilkan panas. Selain kehilangan zat gizi yang tercerna dalam silase, beberapa spesies jamur juga dapat memproduksi aflatoksin atau komponen toksin lainnya yang dapat mengganggu kesehatan ternak. Pada fase ini mikroorganisme seperti ragi dan jamur dihadapkan pada jumlah oksigen yang tidak terbatas yang memungkinkan untuk berkembang pesat. Suhu pada silase akan mulai meningkat dan komponen-komponen yang sudah dicerna seperti gula dan hasil fermentasi akan segera hilang. 2.4
Manfaat Nitrogen dan Sulfur dalam Fermentasi Anaerob Amonia merupakan bentuk senyawa nitrogen utama yang dibutuhkan untuk
sintesis protein mikroba. Sintesis protein mikroba tergantung pada kecepatan pemecahan nitrogen makanan, kecepatan absorpsi amonia dan asam-asam amino, kecepatan alir bahan keluar dari rumen, kebutuhan mikroba akan asam amino dan jenis fermentasi rumen berdasarkan jenis makanan (Arora,1995). Kualitas dari sumber protein juga penting karena 40% zein-nitrogen, 90% casein-nitrogen dan 50% nitrogen tanaman diubah menjadi protein mikroba (Gray, dkk., 1953; Mc. Donald dan Hall,1957).
15
Penambahan urea sebagai salah satu senyawa non protein nitrogen (NPN) akan dimanfaatkan oleh mikroba dalam sintesa protein microbial (NRC, 1996). Penambahan 0,5% urea pada fermentasi anaerob (ensilase) dapat meningkatkan konsentrasi asam laktat, dan tidak memberikan pengaruh negatif terhadap proses fermentasinya (Cecci, dkk., 2001). Penambahan urea dan ammonia dapat meningkatkan kecernaan bahan kering, bahan organik dan komponen dinding sel dari bahan pakan yang difermentasi secara anaerob (Bolsen, dkk., 1992). Selain penambahan nitrogen, jumlah mikroba juga dipengaruhi oleh konsentrasi mineral. Pada sintesa protein dibutuhkan sulfur untuk pembentukkan asam amino yang mengandung gugus sulfur seperti sistin, sistein dan methionin. Sulfur akan menjadi faktor pembatas substrat mikroba yang menggunakan sumber nitrogen, sehingga kegunaan sulfur dalam substrat sangatlah penting (Tilman, dkk., 1998). Jumlah sulfur yang dibutuhkan untuk perkembangan mikroba rumen sangat dipengaruhi oleh laju metabolisme protein dan berbanding lurus dengan kebutuhan nitrogennya (Arora, 1995). Sumber sulfur yang dapat dipergunakan sebagai suplemen, di antaranya adalah garam sulfat seperti ammonium sulfat, natrium sulfat dan kalsium sulfat (Preston dan Leng, 1987). Suplementasi S dan N non-protein merupakan suatu kombinasi yang lebih baik untuk penggunaan pakan hijauan berkualitas rendah (Arora,1995). Perbandingan N : S dapat 13 : 5 sampai 15 : 1 untuk sapi (Bird, 1974) dan (10 – 13,5) :1 untuk domba (Bird, 1972; Moir, dkk., 1967-68). Rasio N : S dalam protein mikroba berkisar antara (11 : 1) sampai (22 : 1), dengan berpandingan rata-rata 14 : 1 (Walker dan Nader, 1968; Bird, 1973).
16
2.5
Pencernaan pada Ruminansia Pencernaan adalah proses memperkecil ukuran pakan dalam saluran
pencernaan ternak ruminansia. Ternak ruminansia berbeda dengan ternak mamalia lain karena mempunyai tiga ruangan yaitu, rumen, reticulum dan omasum (Tillman, dkk., 1998). Proses pencernaan ternak ruminansia terjadi secara mekanis di dalam mulut, secara fermentatif oleh enzim-enzim yang berasal dari mikroba rumen dan secara hidrolitis oleh enzim-enzim pencernaan (Sutardi, 1980). Rumen merupakan tabung besar dengan berbagai kantong yang menyimpan dan mencampur ingesta bagi fermentasi mikroba. Kondisi dalam rumen adalah anaerobik, dan mikroorganisme yang paling sesuai dan dapat hidup dapat ditemukan di dalamnya. Temperatur dalam rumen adalah 38 - 42˚ C, dan pH dipertahankan oleh adanya absorpsi asam lemak dan amonia. Saliva yang masuk kedalam rumen berfungsi sebagai buffer dan membantu mempertahankan pH tetap pada 6,8. Hal ini disebabkan oleh tingginya kadar ion HCO3 dan PO4 (Arora, 1995). Pada ternak ruminansia, bakteri dan protozoa lebih berperan dalam memecah bahan pakan. Terutama jenis bahan pakan berserat kasar tinggi yang tidak mampu dipecah dengan baik oleh saluran pencernaan ternak non-ruminansia. Mikroba rumen berperan mencerna pakan berserat yang berkualitas rendah dan dapat dimanfaatkan sebagai sumber protein bagi induk semang, sehingga kebutuhan asam-asam amino untuk ternak tidak sepenuhnya tergantung pada protein pakan yang diberikan (Sutardi,1980). Kelompok mikroba utama yang berperan dalam pencernaan tersebut terdiri dari bakteri, protozoa, dan jamur yang jumlah dan komposisinya bervariasi tergantung pada pakan yang dikonsumsi ternak (Preston dan Leng, 1987).
17
2.6
Analisis Kecernaan Secara in Vitro Kecernaan adalah dugaan awal ketersediaan berbagai nutrien yang
terkandung dalam bahan pakan. Kecernaan bahan pakan pada ternak ruminansia dapat diukur dengan menggunakan metode in vivo, in vitro, dan in sacco. Salah satu metode pengukuran kecernaan yaitu metode in vitro, dimana suasananya dikondisikan seperti kondisi rumen yang sebenarnya, sehingga mikroorganisme yang berada dalam cairan rumen dapat hidup dan beraktivitas tanpa terganggu (Tillman, dkk., 1998). Teknik in vitro atau disebut dengan teknik rumen buatan yaitu suatu percobaan fermentasi bahan pakan secara anaerob dalam tabung fermentor dan menggunakan larutan penyangga yang merupakan saliva buatan. Evaluasi kecernaan pakan yang dapat dilakukan meliputi kecernaan bahan kering (KcBK), kecernaan bahan organic (KcBO), produksi VFA dan NH3 (Amonia) (Widodo, dkk., 2012). Nilai kecernaan in vitro biasanya memberikan hasil yang lebih tinggi 1-2% dibandingkan dengan kecernaan secara in vivo (Tillman, dkk., 1998). Metode in vitro memiliki beberapa keunggulan diantaranya waktu yang relatif singkat dan efisien, dapat mengurangi pengaruh yang disebabkan hewan induk semang dengan hasil yang memuaskan, sampel yang dibutuhkan hanya sedikit, sampel dalam jumlah besar dapat dikerjakan dalam waktu yang bersamaan (Widodo, dkk., 2012).
2.7
Konsentrasi NH3 dalam Rumen Protein pakan akan mengalami proses degradasi di dalam rumen menjadi
peptida-peptida dan akhirnya menjadi asam-asam amino. NH3 bersal dari protein
18
pakan yang didegradasi oleh enzim proteolitik. Protein dihidrolisis di dalam rumen, pertama kali oleh mikroba rumen (Arora, 1995). Protein bahan makanan yang masuk ke dalam rumen mula-mula akan mengalami proteolisis oleh enzim-enzim protease menjadi oligopeptida, sebagian dari oligopeptida akan dimanfaatkan oleh mikroba rumen untuk menyusun protein selnya, sedangkan sebagian besar akan dihidrolisa lebih lanjut menjadi asam amino yang kemudian secara cepat dideaminasi menjadi asam keto alfa dan amonia (Sutardi, 1977). Konsentrasi amonia di dalam rumen dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah solubilitas dan laju degradasi protein pakan. (Widyobroto, dkk., 1995). Amonia merupakan sumber nitrogen utama dan penting untuk sintesis protein mikroba. Konsentrasi nitrogen amonia sebesar 5 mg% setara dengan 3,57 mM sudah mencukupi kebutuhan mikroba (Sutardi, 1977). Konsentrasi NH3 cairan rumen sapi Jawa (8,75 mgN/100ml atau 6,25 mM) lebih tinggi dari pada sapi PO (7,49 mgN/100ml atau 5,35mM) (Purbowati, dkk., 2014). Konsentrasi amonia yang optimum untuk menunjang sintesis protein mikroba dalam cairan rumen sangat bervariasi, berkisar antara 85 - 300 mg/l (setara dengan 6 – 21 mM) (McDonald, dkk., 2010). Mikroba rumen membutuhkan NH3 antara 3,5-14 mM (Sutardi, 1992). Amonia akan dapat dipergunakan untuk meng-aminasi asam-asam keto menjadi asam-asam amino, tetapi kebanyakan dirubah menjadi urea dan dikeluarkan melalui urine atau dikembalikan ke tractus alimentarius melalui air liur (Tillman, dkk., 1998). Konsentrasi NH3 yang melebihi batas optimum tidak akan memberikan tambahan protein mikrobial, melainkan akan terakumulasi NH3 di dalam rumen. Faktor yang mempengaruhi konsentrasi amonia adalah kadar protein pakan, kelarutan protein, sumber dan proporsi karbohidrat terlarut (Ranjhan, 1980).
19
2.8
Konsentrasi VFA dalam Rumen Proses pencernaan karbohidrat di dalam rumen ternak ruminansia akan
menghasilkan energi berupa asam-asam lemak terbang (VFA) antara lain yang utama yaitu asetat, propionat, butirat, valerat dan format dengan perbandingan di dalam rumen berkisar pada 50-70% asetat, 17-21% propionat, 14-20% butirat, valerat dan format hanya terbentuk dalam jumlah yang kecil (Schlegel,1994). Asam lemak terbang berperan dalam penyediaan energi bagi ternak ruminansia (Parakkasi, 1998). Karbohidrat dapat dibedakan menjadi karbohidrat struktural dan karbohidrat non-struktural. Karbohidrat struktural seperti selulosa dan hemiselulosa umumnya terikat oleh senyawa lignin yang bersifat resisten terhadap hidrolisis mikroba rumen, sehingga akan menghambat kecernaan karbohidrat tersebut. Karbohidrat non struktural seperti pati yang terdapat pada biji-bijian komponen konsentrat, umumnya lebih mudah dan lebih cepat difermentasi, sehingga menghasilkan nilai VFA yang lebih tinggi dibandingkan karbohidrat struktural. Tetapi, apabila pemberian pati terlalu tinggi, dapat menyebabkan turunnya pH dari cairan rumen yang akan menghambat perkembangan organisme selulolitik sehingga menekan angka kecernaan selulosa (Mc Donald, dkk., 2010). Karbohidrat pakan akan mengalami dua tahap pencernaan oleh enzim-enzim yang dihasilkan oleh mikroba rumen. Tahap pertama karbohidrat mengalami hidrolisis menjadi gula sederhana yaitu monosakarida, seperti glukosa, fruktosa, dan pentosa. Hasil dari tahap pertama akan masuk ke dalam siklus glikolisis Embden-Meyerhoff yang akan dirubah menjadi piruvat. Piruvat selanjutnya akan dirubah menjadi VFA yang terdiri dari asetat, butirat, dan propionat (Arora, 1995).
20
Protein kasar juga berpengaruh terhadap VFA, karena VFA yang dihasilkan selain berasal dari fermentasi karbohidrat, juga berasal dari fermentasi protein dalam rumen (Widodo, dkk., 2012). VFA yang dihasilkan sebagian besar diserap di rumen melalui difusi di dinding rumen. Sekitar 25% VFA masih bergabung dengan digesta yang mengalir meninggalkan rumen sehingga mengalami penyerapan di saluran pasca rumen (Preston dan Leng, 1987). Total konsentrasi VFA bervariasi bergantung pada jenis pakan tetapi umumnya berkisar 70-150 mM/ liter (McDonald, dkk., 2010). Kadar VFA yang baik umtuk pertumbuhan optimum mikroba rumen adalah 80-160 mM. perbandingan komponen VFA adalah 65% asam asetat, 20% asam propionate, 10% asam butirat dan 5% valerat (Sutardi, 1977). Beberapa faktor yang mempengaruhi konsentrasi VFA antara lain pemanfaatan mikroba, penyerapan serta fermentabilitas dari karbohidrat (Hindratiningrum dkk. 2011). Lebih lanjut dikemukakan oleh McDonald dkk., (2010) bahwa konsentrasi VFA yang tinggi menunjukkan kandungan protein dan karbohidrat mudah larut yang tinggi dari pakan.