7 II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1
Sorgum (Sorghum bicolor)
2.1.1
Klasifikasi Tanaman Sorgum Sorgum (Sorgum bicolor) merupakan tanaman yang termasuk didalam
famili Graminae bersama dengan padi, jagung, tebu, gandum. Sorgum di Jawa Tengah dan Jawa Timur dikenal dengan nama jagung cantel, sedangkan di Jawa Barat dikenal dengan nama jagung cantrik dan di Sulawesi Selatan disebut batara tojeng (Suprapto dan Mudjisihono, 1987). Berdasarkan klasifikasi botaninya, Sorghum bicolor termasuk ke dalam: Kingdom
: Plantae
Subkingdom : Tracheobionta Superdivisi
: Spermatophyta
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Liliopsida/Monokotiledon
Ordo
: Cyperales
Genus
: Sorghum
Spesies
: Sorghum bicolor Tanaman sorgum setidaknya memiliki 30 spesies, namun yang sangat
umum dibudidayakan meliputi tiga spesies, yaitu Sorghum helepense (L.) Pers., Sorghum propinquum (Kunth) Hitchc., dan Sorghum bicolor (L.) Moench. (House, 1985), dari ketiga spesies tersebut yang sangat populer dan menjadi tanaman komersial di dunia adalah Sorghum bicolor (L.) Moench. Penyebaran spesies ini meliputi seluruh dunia yang dikembangkan sebagai tanaman pangan, pakan ternak, dan bahan baku berbagai industri (House, 1985).
8 2.1.2
Morfologi Tanaman Sorgum Sorgum (Sorghum bicolor) banyak ditanam di daerah beriklim panas dan
beriklim sedang.
Sorgum dibudidayakan pada ketinggian 0-700 m di atas
permukaan laut (dpl), kisaran suhu lingkungan 23°-34°C tetapi suhu optimum 23°C dengan kelembaban relatif 20-40%. Sorgum tidak terlalu peka terhadap keasaman (pH) tanah dan pH tanah yang baik untuk pertumbuhannya adalah 5,57,5 (Rismunandar, 1989). Tanaman sorgum tahan terhadap kekeringan, sebagai perbandingan satu kg bahan kering sorgum hanya memerlukan sekitar 332 kg air selama pembudidayaan, sedangkan pada jumlah bahan kering yang sama, jagung membutuhkan 368 kg, barley 434 kg, dan gandum 514 kg air (Suprapto dan Mudjisihono, 1987). Sorgum adalah jenis serealia yang di Indonesia belum banyak dimanfaatkan kegunaannya (Nurmala, 1998). Tanaman sorgum masih kurang perkembangannya, padahal hasilnya dapat merupakan bahan pangan pengganti beras atau untuk diekspor (Kartasapoetra, 1994). Secara umum, biji sorgum dapat dikenali dengan bentuknya yang bulat dan terdiri dari tiga lapisan utama, yaitu kulit luar (8%), lembaga (10%), dan endosperma (82%). 1.
Bagian Lapisan Luar Perikarp Merupakan lapisan terluar kulit biji sorgum yang terdiri dari tiga bagian, yaitu
epikarp, mesokarp dan endokarp. Biji sorgum termasuk jenis
kariopsis
(caryopsis). Seluruh perikarp bergabung dengan endosperma. Perikarp atau kulit luar merupakan bagian terluar dari biji yang melapisi endosperma.
Lapisan epikarp juga mengandung pigmen biasanya berwarna putih, kuning, jingga dan merah, yang dibagi menjadi epidermis dan hipodermis.
9 Terkadang, zat pigmen terdapat dalam epidermis.
Zat pigmen tersebut
berwarna putih, kuning, jingga, dan merah.
Mesokarp merupakan lapisan yang paling tebal dari perikarp, dan tersusun dari tiga hingga empat lapis sel yang mengandung granula pati.
Endokarp merupakan lapisan bagian dalam jaringan perikarp yang tersusun dari sel-sel melintang (cross-cells) dan sel-sel tabung (tube-cells) dengan panjang 200 μm dan lebar 5 μm yang tersusun paralel sepanjang biji. Kedua sel tersebut berfungsi sebagai jaringan pengangkut air, juga bagian yang mengalami kerusakan selama proses penyosohan biji sorgum. Testa Merupakan jaringan tipis antara perikarp dan endosperma. Tepat dibawah
endokarp, terdapat lapisan testa yang mengelilingi endosperma.
Beberapa
genotipe sorgum, testa sangat banyak mengandung pigmen. Keberadaan pigmen merupakan karakter genetika. Beberapa peneliti menyatakan bahwa senyawa polifenol kadar tinggi terdapat dalam testa. 2.
Endosperma Bagian terbesar dari biji serealia adalah endosperma (81-84%). Endosperma
adalah bagian terbesar dari kernel yang terdiri dari lapisan aleuron, lapisan peripheral, corneous endosperma dan floury endosperma. Lapisan aleuron terdiri dari selapis sel berbentuk segi empat yang mengandung protein, fitin, mineral, vitamin larut air, dan enzim autolitik, namun tidak mengandung granula pati. Sebagian besar jenis sorgum memiliki endosperma berwarna kuning karena mengandung pigmen karotenoida tinggi, yang terdapat pada corneous endosperma. Jumlah kandungan karotenoida pada endosperma dapat berkurang karena oksidasi oleh cahaya matahari. Endosperma peripheral terdiri dari sel
10 berbentuk persegi panjang yang mengandung granula pati dan terselubung oleh matriks protein. 3.
Germ (lembaga) Lembaga pada biji sorgum terdiri dari dua bagian yaitu bakal embrio
(embrionic axis) dan skutelum. Skutelum merupakan penghubung antara lembaga dan endosperma. Skutelum berfungsi sebagai penyimpan zat makanan utama yaitu minyak, protein, enzim dan mineral yang dibutuhkan untuk perkecambahan. Lembaga mengandung protein yang terdiri dari asam amino lisin dan triptofan, lemak, dan mineral. Karena ukuran lembaga biji kecil, maka pengaruh terhadap komposisi keseluruhan biji sorgum kecil. Minyak pada lembaga sorgum kaya akan asam lemak tak jenuh ganda (polyunsaturated) dan mirip seperti minyak jagung. Ukuran biji sorgum kira-kira adalah 4,0 x 2,5 x 3,5 mm, dan berat biji 100 butir berkisar antara 800-5000 mg dengan rata-rata 2800 mg. Berdasarkan bentuk dan ukurannya, biji sorgum dapat digolongkan sebagai biji berukuran kecil(8-10 mg), sedang (12-24 mg), dan besar (25-35 mg). Kulit bijinya ada yang berwarna putih, merah, atau coklat (Suprapto dan Mudjisihono, 1987). 2.1.3
Kandungan Gizi Sorgum Sorgum merupakan salah satu tanaman serealia yang sangat penting untuk
memenuhi kebutuhan karbohidrat dan telah dimanfaatkan sebagai sumber pangan pokok ke- 5 di dunia setelah gandum, padi, jagung, dan barley (FAO, 2005). Biji sorgum mengandung gizi yang tidak lebih rendah dari kandungan tanaman serealia lainnya.
Sorgum mengandung karbohidrat 83%, protein 11%, lemak
3,3%, vitamin B1, Fe, P, dan Ca (Nurmala, 1998).
11 Tabel 1. Kandungan Nutrisi Dalam 100 g biji tanaman pangan. Kandungan / 100g Unsur Nutrisi Beras Jagung Singkong Sorgum Kalori (cal) 360 361 146 332 Protein (g) 6,8 8,7 1,2 11,0 Lemak (g) 0,7 4,5 0,3 3,3 Karbohidrat (g) 78,9 72,4 34,7 73,0 Kalsium (mg) 6,0 9,0 33,0 28,0 Besi (mg) 0,8 4,6 0,7 4,4 Posfor (mg) 140 380 40 287 Vit B1 (mg) 0,12 0,27 0,06 0,38
Kedelai 286 30,2 15,6 30,1 196,0 6,9 506 0,93
Sumber: Departemen Kesehatan RI (1992). Masing-masing bagian, biji sorgum memiliki kandungan gizi yang berbeda-beda.
Endosperm merupakan bagian terbesar dari biji sorgum dan
memiliki kandungan pati tertinggi. Sedangkan lembaga adalah bagian biji sorgum yang kaya kandungan gizi berupa protein, lemak, abu dan serat, tetapi sedikit mengandung pati. Jenis pati yang terdapat pada biji sorgum terdiri dari amilosa dan amilopektin. Berdasarkan kandungan amilosanya, biji sorgum terdiri dari 2 jenis, yaitu : jenis ketan (waxy sorghum) mengandung sekitar 1-2 % amilosa dan jenis beras (non-waxy sorghum) mengandung amilosa sekitar 25 %. Protein biji sorgum pada masing-masing bagian biji sorgum berbeda-beda, demikian juga dengan jenis protein yang dikandungnya juga berbeda-beda. Kandungan lemak biji sorgum sangat berguna, tetapi lemak ini menyebabkan bau yang tidak enak dan ketengikan di dalam produk olahan makanan.
12 2.1.4
Senyawa Fungsional yang Terdapat dalam Sorgum Biji sorgum selain mengandung kandungan gizi, sebagian varietas sorgum
mengandung zat antinutrisi berupa tanin yang merupakan senyawa fenol. Kandungan senyawa fenolik pada sorgum mencapai 6% yang merupakan kandungan fenolik tertinggi diantara tanaman sereal lain.
Kandungan tanin
menyebabkan rasa pahit sehingga tidak nyaman untuk dapat dikonsumsi baik secara langsung (beras sorgum) maupun dalam bentuk olahan dari tepung sorgum. Namun demikian, masalah tersebut dapat diatasi dengan melakukan penyosohan untuk mengikis kulit dan lapisan testa, yang memiliki kandungan tanin. Tanin (proanthocyanidin) merupakan senyawa fenol yang diperkirakan sebagai senyawa anti nutrisi, namun di sisi lain telah diketahui pula peranan tanin sebagai anti oksidan (Dicko dkk., 2006). Tanin pada tanaman sorgum berfungsi melindungi biji dari jamur, serangga dan burung sebelum masa panen sehingga dapat menguntungkan secara ekonomis. Kandungan tanin berkaitan dengan proses pencernaan didalam tubuh, khususnya pada pencernaan pati. Semakin tinggi kandungan tanin sorgum, maka kemampuan pencernaan pati akan semakin menurun (Siller, 2006). Tanin dapat berikatan dengan protein dan karbohidrat membentuk senyawa komplek tak larut yang sulit dipecahkan oleh enzim pencernaan. Tanin diduga pula dapat berikatan dengan enzim pencernaan, seperti sukrase, amilase, tripsin dan lipase sehingga menghambat aktivitas enzim tersebut (Awika dan Rooney, 2004). Kandungan tanin sorgum berkisar 2-4% tergolong tinggi dan dapat menyebabkan ikatan dengan protein (Duodu dkk., 2003). Kandungan tanin pada biji sorgum dapat dikurangi dengan beberapa cara diantaranya dengan melakukan penambahan zat kimia tertentu seperti NaOH, NaHCO3 dan KOH.
Menurut Rahayu (1999)
13 perendaman sorgum dalam NaOH dapat menurunkan kandungan tanin dalam sorgum sebanyak 78,35 %. 2.1.4.1 Klasifikasi Tanin 1. Tanin Terhidrolisis Tanin ini biasanya berikatan dengan karbohidrat dengan membentuk jembatan oksigen, maka dari itu tanin ini dapat dihidrolisis dengan menggunakan asam sulfat atau asam klorida. Salah satu contoh jenis tanin ini adalah gallotanin yang merupakan senyawa gabungan dari karbohidrat dengan asam galat. Selain membentuk gallotanin, dua asam galat akan membentuk tanin terhidrolisis yang bisa disebut Ellagitanin. Berat molekul galitanin 1000-1500, sedangkan berat molekul Ellaggitanin 1000-3000. Ellagitanin sederhana disebut juga ester asam hexa hydroxy diphenic (HHDP). Senyawa ini dapat terpecah menjadi asam galic jika dilarutkan dalam air. Asam elagat merupakan hasil sekunder yang terbentuk pada hidrolisis beberapa tanin yang sesungguhnya merupakan ester asam heksa oksidifenat (Hagerman,2002). 2. Tanin Terkondensasi Tanin jenis ini biasanya tidak dapat dihidrolisis, tetapi dapat terkondensasi meghasilkan asam klorida.
Tanin jenis ini kebanyakan terdiri dari polimer
flavonoid yang merupakan senyawa fenol. Oleh karena adanya gugus fenol, maka tanin akan dapat berkondensasi dengan formaldehida.
Tanin terkondensasi
sangat reaktif terhadap formaldehida dan mampu membentuk produk kondensasi. Tanin terkondensasi merupakan senyawa tidak berwarna yang terdapat pada seluruh dunia tumbuhan tetapi terutama pada tumbuhan berkayu.
Tanin
terkondensasi telah banyak ditemukan dalam tumbuhan paku-pakuan. Nama lain dari tanin ini adalah Proanthocyanidin. Proanthocyanidin merupakan polimer dari flavonoid yang dihubungan dengan melalui C8 dengan C4. Salah satu contohnya
14 adalah Sorghum procyanidin, senyawa ini merupakan trimer yang tersusun dari epiccatechin dan catechin (Hagerman, 2002).
Min dkk. (2003) menunjukkan
bahwa konsumsi 2% tanin meningkatkan nilai manfaat pakan sumber protein oleh ruminansia, melalui berkurangnya degradasi protein dalam rumen. Hasil akhirnya akan lebih banyak asam amino (terutama asam amino esensial) yang tersedia untuk diserap di usus halus. 2.2
NaOH Natrium hidroksida (NaOH) merupakan basa kuat yang menerima proton
dari Na+. Natrium hidroksida mengandung unsur dari golongan alkali, yakni Natrium (Na+). Ciri-ciri yang dimiliki golongan alkali seperti reduktor kuat dan mampu mereduksi asam, mudah larut dalam air, merupakan penghantar arus listrik yang baik dan panas, urutan kereaktifannya meningkat seiring dengan bertambahnya berat atom (Linggih, 1988). Umumnya NaOH digunakan sebagai pelarut, penggunaan NaOH sebagai
pelarut
disebabkan kegunaan dan
efektifitasnya seperti untuk menetralkan asam. NaOH terbentuk dari elektrolisis larutan NaCl dan merupakan basa kuat. NaOH mampu memperbesar volume partikel bahan (substrat), sehingga ikatan antar komponen menjadi renggang, juga mampu menghidrolisis gugus asetil pada khitin, sehingga khitin akan mengalami deasetilasi dan berubah menjadi khitosan yang menyebabkan kadar khitin berkurang (Suharto, 1984).
Larutan asam
merupakan pereaktif NaOH dalam bereaksi, ekses yang melebihi keperluan netralisasi akan bereaksi dengan material fospatida. Larutan basa kuat NaOH merupakan alkali paling efektif dalam meningkatkan kecernaan limbah pertanian dan industri karena mampu membengkakkan ikatan lignoselulosa menjadi lebih besar sehingga kecernaannya meningkat (Soedjono dkk., 1985).
15 2.3
Pencernaan Pakan yang dikonsumsi ternak sebelum siap dimanfaatkan oleh tubuh
ternak terlebih dahulu harus mengalami proses perombakan yang berlangsung di dalam saluran pencernaan atau dikenal dengan istilah pencernaan. Lubis (1963) menjelaskan segala perubahan yang terjadi pada zat-zat makanan baik yang bersifat mekanis maupun bersifat khemis dinamakan proses pencernaan. Menurut Sutardi (1983) pencernaan adalah proses perubahan fisik dan kimia yang dialami bahan makanan dalam alat pencernaan.
Perubahan fisik adalah berupa
penghalusan makanan menjadi butir-butir atau partikel-partikel kecil yang terjadi di dalam mulut, sedangkan perubahan kimia adalah berupa penguraian molekul besar menjadi molekul kecil. Alat pencernaan ruminansia, selain proses tersebut di atas terjadi perubahan kimia dari pakan yang terjadi di dalam rumen dengan melibatkan peran mikroba. Perubahan kimia oleh mikroba dikenal dengan proses fermentasi. Czerkawski (1986) menyatakan saluran pencernaan pada ternak berfungsi untuk mencerna pakan, menyerap zat makanan dan mengeluarkan sisa pakan. Menurut Morrison (1979) pada proses pencernaan bahan pakan akan dipecah menjadi komponen kimia yang relatif lebih sederhana. Bahan pakan yang telah mengalami perombakan akan mudah larut dalam air dan dapat diserap oleh sistem pencernaan melalui membran mukosa, darah dan cairan limpa ke dalam organ tubuh lainnya. Proses pencernaan ruminansia dimulai dari mulut, esophagus, lambung, usus halus dan usus besar. Di rongga mulut terjadi pencernaan mekanis dimana makanan dipecah menjadi partikel-partikel yang lebih kecil dan dicampur dengan saliva yang berperan sebagai pelumas (Maynard dkk., 1984). Menurut Tillman
16 dkk. (1998) fungsi saliva adalah membasahi makanan sehingga dapat membentuk bolus yang memudahkan untuk dimamah, solubilisasi zat-zat makanan, mengontrol bolume cairan rumen, mengontrol pH rumen oleh cairan alkali (buffer) yang disekresikannya. Setelah terjadi pemecahan makanan di dalam rongga mulut, makanan tersebut masuk ke dalam lambung melalui oesophagus. Lambung ruminansia terdiri atas lambung depan yang termasuk ke dalamnya yaitu rumen (perut handuk), retikulum (perut jala), omasum (perut kitab), dan lambung sejati yaitu abomasum (perut kelenjar).
Proses pencernaan pada
lambung depan terjadi secara mikrobial karena mikroba memegang peranan penting dalam pemecahan pakan (Cole, 1962, Benerjee, 1978). Dalam lambung sejati terjadi pencernaan enzmatik karena mempunyai banyak kelenjar. Menurut Van Soest (1982) rumen dan retikulum dianggap sebagai organ tunggal (Retikulorumen) yang dipisahkan oleh lipatan ruminokularis. Di dalam retikulorumen terdapat mikroorganisme berupa bakteri dan protozoa yang melaksanakan pencernaan, menghasilkan asam lemak terbang, vitamin B kompleks, vitamin K dan sebagai sumber zat makanan bagi ternak itu sendiri (Sutardi, 1983). Pakan yang masuk ke dalam rumen akan mengalami pengadukan yang memisahkan antara makanan halus dan makanan kasar. Makanan yang masih kasar didorong kembali melalui oesophagus menuju rongga mulut untuk dilakukan pengunyahan kembali melalui oesophagus menuju rongga mulut, karena daya vakum atau hampa udara. Makanan yang cair segera ditelan kembali. Bahan yang tidak sempat difermentai masuk ke dalam retikulum, omasum, dan abomasum. Di abomasum pencernaan terjadi secara enzimatik, selanjutnya pakan dicerna dalam usus kemudian diserap dalam saluran pencernaan (Morrison, 1979 ; Czerkawski, 1986 ; Preston dkk., 1987).
17 2.4 Kecernaan 2.4.1 Kecernaan Bahan Kering Tillman dkk., (1998) menyatakan bahan pakan merupakan bahan yang dapat dimakan dan dicerna oleh ternak, terdiri atas dua komponen utama yaitu air dan bahan kering. Bahan kering dibagi lagi menjadi dua, yaitu bahan organik dan bahan anorganik. Bahan organik terdiri atas karbohidrat, lemak, protein dan vitamin. Bahan anorganik terdiri atas mineral dengan berbagai unsur-unsurnya. Makanan yang dikonsumsi ternak sebelum siap dimanfaatkan oleh tubuh ternak terlebih dahulu harus mengalami proses pencernaan yang berlangsung dalam saluran pencernaan (Arora, 1989). Pada kondisi normal, konsumsi bahan kering dijadikan ukuran konsumsi ternak.
Konsumsi bahan kering bergantung pada banyak faktor, diantaranya
adalah kecernaan bahan kering pakan, kandungan energi metabolis dan kandungan serat kasar (Kearl, 1982). Bahan kering yang dikonsumsi dikurangi jumlah yang disekresikan merupakan jumlah yang dapat dicerna (Tillman dkk, 1998). Kualitas dan kuantitas bahan kering harus diketahui untuk meningkatkan kecernaan bahan makanan yang akan mempengaruhi jumlah konsumsi pakan (Ranjhan, 1977).
Menurut D’Mello (2004) kualitas dari bahan kering akan
mempengaruhi kualitas bahan organik dan mineral yang terkandung dalam bahan pakan.
Konsumsi bahan kering merupakan faktor penting untuk menunjang
asupan zat makanan yang akan digunakan untuk hidup pokok dan produksi. Kecernaan bahan kering yang tinggi pada ternak ruminansia menunjukkan tingginya zat makanan yang dicerna terutama yang dicerna oleh mikroba rumen. Semakin tinggi nilai persentase kecernaan bahan pakan tersebut, berati semakin baik kualitasnya. Kisaran normal kecernaan bahan kering menurut Schneider dan Flatt (1975) yaitu 50,7-59,7%.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kecernaan
18 bahan kering, yaitu jumlah ransum yang dikonsumsi, laju perjalanan makanan di dalam saluran pencernaan dan jenis kandungan gizi yang terkandung dalam ransum tersebut (Ranjhan, 1977). Faktor-faktor lain yang mempengaruhi nilai kecernaan bahan kering ransum menurut Schneider dan Flatt (1975) adalah tingkat proporsi bahan pakan dalam ransum, komposisi kimia, tingkat protein ransum, persentase lemak dan mineral. 2.4.2
Kecernaan Bahan Organik Kecernaan bahan organik merupakan faktor penting yang menentukan
kualitas ransum. Setiap jenis ternak ruminansia memiliki mikroba rumen dengan kemampuan
yang berbeda-beda
dalam
mendegradasi
ransum,
sehingga
mengakibatkan perbedaan kecernaan dalam rumen (Sutardi, 1979). Kecernaan ransum didefinisikan sebagai bagian ransum yang tidak diekskresikan di dalam feses sehingga diasumsikan bagian tersebut diserap oleh tubuh hewan. Kecernaan dinyatakan dengan dasar bahan kering (McDonald dkk., 2002). Kecernaan in vitro dipengaruhi oleh pencampuran ransum, cairan rumen, pH, pengaturan suhu fermentasi, lamanya waktu inkubasi, ukuran partikel sampel dan larutan penyangga (Selly, 1994). Derajat keasaman atau pH cairan rumen merupakan faktor penting dalam pemanfaatan bahan organik pada sistem pencernaan ruminansia (Driwanti, 1999), sedangkan faktor yang mempengaruhi degradasi ransum di dalam saluran pencernaan ruminansia adalah struktur makanan, ruminasi, produk saliva dan pH optimum (Anggorodi, 1994). Menurut Arora (1989) bahan organik merupakan bahan kering yang telah dikurangi abu, komponen bahan kering bila difermentasi di dalam rumen akan menghasilkan asam lemak terbang yang merupakan sumber energi bagi ternak. Gatenby (1986) menyatakan bahwa kecernaan bahan organik dalam saluran
19 pencernaan ternak meliputi kecernaan zat makanan berupa komponen bahan organik seperti karbohidrat, protein, lemak dan vitamin. Menurut Tillman dkk., (1998) bahan-bahan organik yang terdapat dalam pakan tersedia dalam bentuk tidak larut, oleh karena itu diperlukan adanya proses pemecahan zat tersebut menjadi zat yang mudah larut.
Anggorodi (1995) dan Tillman dkk (1998)
menjelaskan faktor yang mempengaruhi kecernaan bahan organik adalah kandungan serat kasar dan mineral dari bahan pakan. Kecernaan bahan organik erat kaitannya dengan kecernaan bahan kering, karena sebagian dari bahan kering terdiri dari bahan organik (Sutardi, 1981).
Syaro dkk., (2005) menyatakan
penurunan kecernaan bahan kering akan mengakibatkan kecernaan bahan organik menurun atau sebaliknya.