II KAJIAN KEPUSTAKAAN
2.1 Pengomposan Pengomposan adalah dekomposisi biologis yang dikontrol agar bahan organik menjadi stabil. Proses pengomposan sama seperti dekomposisi alami kecuali ditingkatkan dan dipercepat dengan mencampur sampah organik dengan bahan-bahan lain untuk mengoptimalkan pertumbuhan mikroba. Potensi manfaat pupuk kompos dan limbah organik lainnya meningkatkan penanganan pupuk, mengurangi bau, mengurangi biji gulma dan mikroorganisme patogen. Kompos apabila diterapkan akan meningkatkan kesuburan tanah, hasil panen yang baik, dan kapasitas menahan air. Pengomposan menyebabkan kompos dapat disimpan untuk waktu yang lama. Kualitas ini membuatnya cocok untuk digunakan pada pertanian atau untuk dijual (Graves et al., 2000) Proses pengomposan sangat penting untuk dapat membuat kompos dengan kualitas baik. Proses pengomposan akan segera berlangsung setelah bahan-bahan mentah dicampur (Trautmann dan Krasny,1997). Menurut Isroi (2008) selama tahap-tahap awal proses pengomposan, oksigen dan senyawa-senyawa yang mudah terdegradasi akan segera dimanfaatkan oleh mikroba mesofilik. Suhu tumpukan kompos akan meningkat dengan cepat. Suhu akan meningkat hingga di atas 40oC-70oC. Suhu akan tetap tinggi selama waktu tertentu. Mikroba yang aktif pada kondisi ini adalah mikroba Termofilik, yaitu mikroba yang aktif pada suhu tinggi. Pada saat ini terjadi dekomposisi penguraian bahan organik yang sangat aktif. Mikroba-mikroba di dalam kompos dengan menggunakan oksigen akan menguraikan bahan organik menjadi CO2, uap air dan panas. Setelah sebagian
11 besar bahan telah terurai, maka suhu akan berangsur-angsur mengalami penurunan. Pada saat ini terjadi pematangan kompos tingkat lanjut, yaitu pembentukan komplek liat humus.
2.2 Feses Ayam Petelur Limbah yang dihasilkan dari usaha peternakan ayam terutama berupa kotoran ayam dan bau yang kurang sedap serta air buangan. Air buangan berasal dari cucian tempat pakan dan minum ayam serta keperluan domestik lainnya. Jumlah air buangan ini sedikit dan biasanya terserap ke dalam tanah serta tidak berpengaruh besar terhadap lingkungan sekitar (Rachmawati, 2007). Pemeliharaan ayam petelur biasanya dilakukan dengan sistem baterai, yakni sejumlah tertentu ayam dipelihara dalam kandang terpisah dan ditempatkan agak tinggi dari permukaan tanah, dengan dasar kandang berlubang-lubang sehingga kotoran akan jatuh dan bertumpuk di bawah kandang di atas tanah. Fontenot et al., (1983) melaporkan bahwa rata-rata produksi buangan segar ternak ayam petelur adalah 0,06 kg/hari/ekor dan kdanungan bahan kering sebanyak 26%. Kotoran ayam terdiri dari sisa pakan dan serat selulosa yang tidak tercerna. Kotoran ayam mengdanung protein, karbohidrat, lemak, dan senyawa organik lainnya. Protein pada kotoran ayam merupakan sumber nitrogen selain ada pula bentuk nitrogen inorganik lainnya. Komposisi kotoran ayam sangat bervariasi bergantung pada jenis ayam, umur, keadaan individu ayam, dan makanan (Foot et al., 1976). Sumber pencemaran usaha peternakan ayam berasal dari kotoran ayam yang berkaitan dengan unsur nitrogen dan sulfida yang terkdanung dalam kotoran tersebut, yang pada saat penumpukan kotoran atau penyimpanan terjadi proses dekomposisi oleh mikroorganisme membentuk gas amonia, nitrat, dan nitrit serta
12 gas sulfida. Gas-gas tersebutlah yang menyebabkan bau (Svensson, 1990; Pauzenga, 1991). Kdanungan gas amonia yang tinggi dalam kotoran juga menunjukkan kemungkinan kurang sempurnanya proses pencernaan atau protein yang berlebihan dalam pakan ternak, sehingga tidak semua nitrogen diabsorbsi sebagai asam amino, tetapi dikeluarkan sebagai amonia dalam kotoran (Pauzenga, 1991). Seperti disebutkan sebelumnya, dampak dari usaha peternakan ayam terhadap lingkungan sekitar terutama adalah berupa bau yang dikeluarkan selama proses dekomposisi kotoran ayam. Bau tersebut berasal dari kdanungan gas amonia yang tinggi dan gas hidrogen sulfida, (H2S), dimetil sulfida, karbon disulfida, dan merkaptan. Senyawa yang menimbulkan bau ini dapat mudah terbentuk dalam kondisi anaerob seperti tumpukan kotoran yang masih basah. Senyawa tersebut dapat tercium dengan mudah walau dalam konsentrasi yang sangat kecil. Akan tetapi, kepekaan seseorang terhadap bau ini sangat tidak mutlak, terlebih lagi bau yang disebabkan oleh campuran gas. Pada konsentrasi amonia yang lebih tinggi di udara dapat menyebabkan iritasi mata dan gangguan saluran pernapasan pada manusia dan hewan itu sendiri (Charles dan Hariyono, 1991).
2.3 Serbuk Gergaji Albasia Kayu Albasia merupakan kayu serba guna, ditanam sebagai pohon pelindung, tanaman hias, reboisasi dan penghijauan. Albasia dapat digunakan untuk berbagai produk kayu olahan dan kerajinan tangan (Nasution, 2008). Menurut Tjitrosoepomo (2000), klasifikasi dari kayu Albasia adalah sebagai berikut:
13 Divisi : Spermatophyta Kelas : Dicotyledon Ordo : Rosales Famili : Leguminosae Genus : Albizia Spesies : Albizia falcataria Menurut Atmosuseno (1996) komponen kimia suatu kayu dapat menentukan kegunaan suatu jenis kayu. Pada umumnya komponen kimia jenis kayu terdiri dari beberapa unsur penyusunnya, yaitu unsur karbohidrat terdiri dari selulosa dan hemiselulosa dan unsur non-karbohidrat terdiri dari lignin. Kayu albasia memiliki kdanungan lignin yang rendah yaitu 25,7%. Menurut Trautmann dan Krasny (1997) serbuk gergaji albasia cocok dijadikan bahan baku atau bahan tambahan untuk pembuatan kompos karena kdanungan lignin yang rendah. Lignin merupakan senyawa yang dapat ditemukan di kayu. Salah satu zat penghambat aktifitas mikroba, karena lignin membentuk jaringan di sekitar serat-serat selulosa yang akan menyebabkan aktifitas mikroba menjadi terhambat. Serbuk gergaji albasia masih dapat dikomposkan tapi yang terbaik adalah untuk mencampur mereka dengan sumber-sumber lain yang mengdanung karbon tinggi.
2.4 Nisbah C/N Dari sekian banyak elemen yang dibutuhkan untuk dekomposisi mikroba karbon dan nitrogen adalah yang paling penting. Menurut Trautmann dan Krasny., (1997) karbon adalah merupakan sumber energi dan dasar untuk membentuk sekitar 50% sel mikroba. Nitrogen merupakan komponen penting dari protein,
14 asam amino, enzim dan DNA yang diperlukan untuk pertumbuhan sel dan regenerasi sel. Bakteri membutuhkan banyak nitrogen untuk pertumbuhan yang cepat rasio karbon dan nitrogen yang ideal untuk kompos umumnya sekitar 30:1 atau karbon 30 bagian untuk setiap bagian nitrogen. Dalam sel mikroba terdiri dari karbon dan nitrogen dengan rasio rendah yaitu 6:1, karbon tambahan diperlukan untuk menyediakan energi untuk metabolisme dan sintesis sel-sel baru. Nisbah C/N yang lebih rendah dari 30:1 memungkinkan pertumbuhan mikroba dan dekomposisi yang cepat, akan tetapi kelebihan nitrogen akan hilang sebagai gas amonia yang akan menyebabkan bau tidak sedap (Tchobanoglous dan Keith, 2002). Nisbah C/N yang lebih tinggi dari 30:1 tidak dapat menyediakan cukup nitrogen untuk pertumbuhan mikroba yang optimal, hal ini menyebabkan tidak terjadi perubahan suhu pada kompos yang disebabkan oleh aktivitas mikroba. Kompos yang telah matang memiliki nisbah C/N yang lebih rendah dari 30 akan tetapi hal ini tidak mengakibatkan masalah bau seperti yang disebutkan di atas karena bahan organik telah mengalami proses dekomposisi dan sudah dalam bentuk stabil. Nisbah C/N 30:1 dalam campuran bahan kompos memiliki tujuan yang berguna, namun rasio ini mungkin perlu disesuaikan sesuai dengan bioavailabilitas
bahan
yang
bersangkutan.
Ukuran
partikel
juga
dapat
mempengaruhi ketersediaan karbon (Trautmann dan Krasny., 1997)
2.5 Mikroorganisme Semua jenis pengomposan tergantung pada kerja bakteri dan kapang. Mikroba ini mencerna bahan organik dan mengubahnya menjadi bentuk kimia yang digunakan oleh mikroba lainnya, invertebrata, dan tanaman. Selama
15 pengomposan populasi dari berbagai jenis mikroorganisme naik dan turun berturut-turut. Mikroorganisme berkembang dengan kondisi lingkungan dan sumber makanan yang menguntungkan. Mikroorganisme akan mati atau meninggalkan lingkungan dan sunber makanan yang tidak sesuai, akan tetapi bisa saja kondisi tersebut mendukung mikroorganisme lain untuk tinggal dan beraktifitas dilingkungan tersebut (Trautmann dan Krasny., 1997)
2.5.1 Bakteri Bakteri bertanggung jawab untuk sebagian besar proses dekomposisi dan panas yang terjadi didalam kompos, bakteri merupakan kelompok yang paling beragam nutrisi dari beberapa organisme pada kompos. Bakteri menggunakan berbagai enzim untuk memecah kimia berbagai bahan organik. Bakteri adalah sel tunggal dan disusun sebagai batang berbentuk basil, kokus atau spiral (Trautmann dan Krasny., 1997) Menurut Atlas dan Bartha (1998) pada awal proses pengomposan (sampai 40°C) bakteri mesofilik mendominasi. Populasi bakteri mesofilik meningkat secara eksponensial selama tahap awal pengomposan disebabkan bakteri mesofilik mengambil keuntungan dari senyawa sederhana yang tersedia seperti gula dan pati. Panas yang dihasilkan pada tahap awal proses pengomposan merupakan aktivitas metabolisme bakteri mesofilik. Proses pengomposan berjalan dengan baik dan benar ditdanai dengan suhu yang naik pada tumpukan kompos. Suhu naik di atas 40°C bakteri mesofilik tidak lagi berkembang dan bakteri termofilik mengambil alih. Bakteri termofilik merupakan bakteri yang tahan terhadap panas karena mempunyai dinding endospora tebal yang sangat
16 tahan terhadap panas, dingin dan kekeringan. Bakteri akan beraktifitas ketika kondisi lingkungan sangat menguntungkan. (Atlas dan Bartha, 1998) Aktivitas bakteri termofilik menurun, suhu turun dan bakteri mesofilik mendominasi lagi, hal tersebut disebabkan senyawa yang dapat digunakan oleh bakteri termofilik telah habis. Jumlah dan jenis mikroba mesofilik yang beraktifitas pada kompos sampai menjadi matang tergantung pada apa spora dan organisme yang hadir dalam kompos dan lingkungan sekitarnya. Selama pematangan fase berlangsung keragaman komunitas bakteri secara bertahap meningkat, maka karbon yang tersedia dalam kompos menjadi habis dan populasi bakteri sekali lagi turun (Dwidjoseputro, 1989)
2.5.2 Kapang Kapang adalah sekelompok mikroba yang tergolong dalam fungi dengan ciri khas memiliki filamen (miselium). Kapang adalah fungi multiseluler yang mempunyai filamen dan pertumbuhannya mudah dilihat karena penampakannya yang berserabut seperti kapas. Pertumbuhannya mula-mula akan berwarna putih, tetapi jika spora telah timbul akan terbentuk berbagai warna tergantung dari jenis kapang (Pelczar dan Chan, 2005) Menurut Syamsuri (2004) kebanyakan kapang bersifat mesofilik yaitu tumbuh baik pada suhu kamar. Suhu optimum pertumbuhan untuk kebanyakan kapang adalah sekitar 25-300C tetapi beberapa dapat tumbuh pada suhu 35-370C atau lebih tinggi. Beberapa kapang bersifat psikrotrofik dan beberapa bersifat termofilik. Semua kapang bersifat aerobik, yaitu membutuhkan oksigen untuk pertumbuhannya, dan akan lebih baik pada kondisi asam atau pH rendah.
17 Pertumbuhan kapang biasanya berjalan lambat bila dibdaningkan dengan pertumbuhan khamir dan bakteri. Oleh karena itu jika kondisi pertumbuhan memungkinkan semua mikroorganisme untuk tumbuh, kapang biasanya kalah dalam kompetisi dengan khamir dan bakteri. Tetapi sekali kapang dapat mulai tumbuh, pertumbuhan yang ditdanai dengan pembentukan miselium dapat berlangsung dengan cepat. Kapang bertanggung jawab untuk dekomposisi polimer yang banyak terdapat pada tanaman yang kompleks dalam tanah dan kompos. Dalam kompos kapang merupakan mikroorganisme yang penting karena mempunyai kemampuan memecah puing-puing yang sulit terdekomposisi termasuk selulosa. Kapang dapat menyerang residu organik yang terlalu kering, terlalu asam dan terlalu rendah dalam nitrogen (Fardiaz, 1989). Kapang mengeluarkan enzim pencernaan ke dalam makanan kemudian mereka menyerap produk pencernaan ekstraseluler. Kapang mendominasi pada suhu mesofilik ketika suhu tinggi (termofilik) sebagian besar kapang terbatas pada lapisan luar kompos. Kapang dilihat secara mikroskopis muncul sebagai koloni kabur berwarna abu-abu atau putih yang tampak di permukaan kompos. Beberapa kapang membentuk rantai sel yang disebut hifa yang terlihat seperti benang tenun melalui bahan organik. Kapang pada proses pengomposan terhubung ke jaringan luas hifa dan membantu dalam proses dekomposisi (Trautmann dan Krasny., 1997)
2.6 Suhu Menurut Miller (1991), suhu merupakan penentu dalam aktivitas pengomposan. Pengontrolan suhu dalam timbunan kompos penting untuk
18 mengoptimumkan penguraian bahan organik dan mematikan mikroorganisme pathogen (Polprasert 1989). Suhu optimum untuk penguraian pengomposan dengan range 35oC-60oC (Bach et al., 1987). Jumlah mikroorganisme patogen yang ada akan berkurang dan tidak aktif apabila suhu melebihi 57oC (Finstein dan Hogan 1993). Namun, jika suhu kompos berjalan di atas 60-65°C , populasi mikroba yang menguntungkan juga dibunuh. Menurut Polprasert (1989), suhu mesofilik (25-40oC) dicapai pada permulaan pengomposan diikuti dengan suhu termofilik (40-65oC). Kompos berdasarkan suhu tumpukan dibagi dalam 3 tahap (1) mesofilik (25-40°C) biasanya berlangsung selama beberapa hari (2) termofilik (lebih dari 40-65°C) berlangsung dari beberapa hari sampai beberapa bulan tergantung pada volume tumpukan dan komposisi bahan (3) mesofilik kembali ke tahap mesofilik untuk pematangan kompos. Pengukuran suhu periodik dapat digunakan untuk memetakan kemajuan pengomposan.
Dinamika
populasi
yang
berbeda
dari
mikroorganisme
mendominasi selama berbagai tahapan suhu. Dekomposisi awal dilakukan oleh mikroorganisme mesofilik, mikroorganisme ini cepat memecah senyawa yang mudah terdegradasi dan panas yang mikroorganisme ini hasilkan menyebabkan suhu kompos meningkat pesat. Setelah suhu melebihi 40°C mikroorganisme mesofilik menjadi kurang kompetitif dan digantikan oleh mikroorganisme termofilik. Selama tahap termofilik suhu tinggi mempercepat pemecahan protein, lemak dan karbohidrat kompleks seperti selulosa dan hemiselulosa. Pasokan senyawa tersebut lamakelamaan menjadi habis, suhu kompos secara bertahap menurun dan mikroorganisme mesofilik sekali lagi mengambil alih untuk tahap akhir atau
19 pematangan bahan organik yang tersisa. Meskipun suhu kompos mendekati suhu ruangan reaksi kimia masih terus terjadi yang membuat bahan organik sisa lebih stabil dan cocok untuk digunakan (Trautmann dan Krasny, 1997)