KAJIAN KELAYAKAN JALUR LINTAS SELATAN DI PROPINSI JAWA TIMUR1 Ofyar Z. TAMIN2 Harmein RAHMAN3 Russ Bona FRAZILA3 ABSTRAK Di Selatan Propinsi Jawa Timur, perlu dibangun jaringan jalan agar meningkatkan perekonomian di Selatan dan mengurangi beban lalulintas jalur Utara dan Tengah. Jaringan tersebut dipilih dari 3 alternatif koridor tertentu berdasarkan kriteria kondisi fisik, tata guna lahan, dan kependudukan. Identifikasi koridor tahap pertama dilakukan dengan analisis SWOT dengan kriteria lingkungan, pengembangan wilayah, pariwisata, perikanan, perkebunan/pertanian, pengembangan jaringan jalan, dan hankam. Koridor terpilih dianalisis kelayakan ekonominya. Manfaat koridor terpilih dihitung dengan menggunakan metoda Surplus Produsen dan Surplus Konsumen. Metoda Surplus Produsen lebih mewakili sehingga digunakan selanjutnya dalam analisis kelayakan ekonomi. Analisis biaya meliputi biaya pembangunan dan pemeliharaan jalan dan jembatan yang sangat tergantung dari kondisi topografi, tata guna lahan, kondisi eksisting jalan, dan jembatan. Hasil analisis memperlihatkan bahwa koridor terpilih layak untuk dibangun. Kata Kunci: Analisis Kelayakan Ekonomi, Surplus Konsumen, Surplus Produsen ABSTRACT The Southern part of East Java needs highway network in order to accelerate the economic development and decreases the traffic flows of the Northern and Middle corridors. The network is chosen from 3 corridor alternatives based on physical criteria, land use, and demography. The first step used SWOT analysis with the following criteria, i.e. environment, area development, tourism, fishery, agriculture, highway network development, etc. The chosen corridor was further analysed to study its economic feasibility. The benefit of the chosen corridor was calculated using Producer Surplus and Consumer Surplus methods. Producer Surplus method was considered to be representative; therefore, it was used further for economic feasibility analysis. Cost analysis includes construction and maintenance of road and bridge that are affected by terrain condition, land use, existing condition of road and bridge. The result of analysis shows that the chosen corriddor was feasible to be built. Key words: Economic Feasibility Analysis, Consumer Surplus, Producer Surplus
1. PENDAHULUAN
kriteria IDT tahun 1993/1994) dominan berada pada wilayah selatan.
1.1 Lintas Selatan Jawa Timur Dewasa ini, konsentrasi kegiatan perekonomian tertinggi di Propinsi Jawa Timur masih berada di Surabaya dan sekitarnya menyumbangkan hampir 30% total PDRB propinsi, yang disusul kemudian oleh beberapa kabupaten di wilayah tengah seperti: Jember, Probolinggo, Malang, dan Kediri. Sementara itu, wilayah lainnya di bagian selatan memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang relatif jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan lainnya (wilayah tengah dan utara). Hal ini diperburuk dengan adanya kenyataan bahwa desa tertinggal (berdasarkan 1 2 3
Walaupun sekilas tampak sebagai wilayah dengan kondisi morfologi yang terjal (kebanyakan berupa pegunungan kapur selatan) dan didominasi oleh kawasan tandus serta kurang subur, wilayah selatan ini sesungguhnya memiliki banyak potensi (seperti: pariwisata, pertambangan, industri, perkebunan) yang cukup menjanjikan namun belum dapat berkembang dengan optimal. Salah satu kendala yang dihadapi wilayah selatan dalam peningkatan perekonomiannya adalah faktor aksesibilitas.
diterbitkan di Jurnal Teknik Sipil, Universitas Tarumanagara, No.3, Tahun ke V-November 1999, hal 401−423, ISSN: 0853−5272. Staf Pengajar, Jurusan Teknik Sipil ITB, Wakil Ketua Program Magister Transportasi ITB, dan Ketua Forum Studi Transportasi antar Perguruan Tinggi (FSTPT). Staf Pengajar, Jurusan Teknik Sipil, ITB.
Kajian Kelayakan Jalur Lintas Selatan di Propinsi Jawa Timur
Saat ini, wilayah selatan yang letaknya relatif jauh dari pusat perekonomian Jawa Timur (Surabaya dan sekitarnya), prasarana transportasinya (khususnya jalan) yang menghubungkan antar wilayah selatan masih sangat tidak memadai. Oleh karena itu, dirasakan perlu untuk membangun suatu jaringan jalan lintas selatan di Propinsi Jawa Timur yang menghubungkan Jawa Timur dengan Jawa Tengah di bagian selatan, melalui Kabupaten Pacitan, Trenggalek, Tulungagung, Blitar, Malang, Lumajang, Jember, dan Banyuwangi. Selanjutnya, jaringan jalan ini diharapkan akan dapat memicu pemanfaatan potensi yang ada, serta meningkatkan perekonomian wilayah selatan yang didukung dengan tingginya intensitas interaksi antar wilayah di dalamnya. Selain itu, jaringan jalan ini juga diharapkan dapat mengalihkan sebagian besar beban lalu lintas yang biasanya menggunakan jalur utara.
karena posisi geografisnya sebagian terletak di koridor tengah. 2. Proporsi PDRB yang disumbangkan oleh kabupaten di wilayah selatan terhadap PDRB Jawa Timur umumnya di bawah rata-rata kabupaten yang berada di utara dan tengah. Tabel 1 memperlihatkan bahwa 5 dari 8 kabupaten yang berada di wilayah selatan memiliki sumbangan PDRB ke propinsi di bawah rata-rata seluruh kabupaten. Kecilnya sumbangan PDRB tersebut menunjukkan bahwa kemampuan perekonomiannya masih di bawah rata-rata kabupaten lain di Jawa Timur. Kabupaten Malang, Jember, dan Banyuwangi memiliki kontribusi pada PDRB di atas rata-rata kabupaten. Tabel 1: Perbandingan PDRB Wilayah Selatan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
1.2 Indikator Yang Melatarbelakangi Perlunya Lintas Selatan Jawa Timur Di Propinsi Jawa Timur telah terdapat jaringan jalan koridor utara dan koridor tengah yang menjadi tulang punggung perekonomian daerah. Koridor utara dan tengah ini menyebabkan kabupaten yang dilintasinya menjadi terdukung perkembangan perekonomiannya. Kabupaten yang terletak di bagian selatan pun memiliki hak yang sama untuk menikmati perkembangan perekonomian. Namun satu hal yang belum tersedia untuk mendukung laju pertumbuhan ekonomi adalah belum adanya jalan koridor lintas selatan. Beberapa indikator yang dapat digunakan untuk melatarbelakangi pemikiran perlunya pembangunan jalan lintas selatan Jawa Timur adalah sebagai berikut: 1.2.1 Indikator Aspek Perekonomian 1. Rendahnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) kabupaten yang berada di pantai selatan Jawa Timur. Seluruh kabupaten yang terletak di pantai selatan memiliki PAD yang lebih rendah dari rata-rata kabupaten di Jawa Timur, kecuali Kabupaten Malang
Kabupaten Pacitan Trenggalek Tulungagung Blitar Malang Lumajang Jember Banyuwangi Jawa Timur
Laju PDRB/thn (%) 3,39 3,35 7,73 3,27 4,85 3,93 5,23 5,58 8,21
Posisi di Jatim di di di di di di di di
bawah bawah bawah bawah bawah bawah bawah bawah
PDRB per kapita Juta (Rp) 0,71 0,59 1,27 0,68 1,02 1,02 0,91 1,22 1,68
Posisi di Jatim di di di di di di di di
bawah bawah bawah bawah bawah bawah bawah bawah
Sumber: LPM−ITB (1998) 3. Tabel 1 juga memperlihatkan bahwa 8 kabu-paten di selatan memiliki laju pertumbuhan PDRB lebih lambat dibandingkan rata-rata Jawa Timur. Hal ini mencerminkan bahwa masih banyak prasarana transportasi yang diperlukan untuk menunjang pertumbuhan perekonomian. Begitu juga dengan PDRB per kapita, terlihat bahwa kabupaten di selatan seluruhnya lebih rendah dibandingkan dengan PDRB per kapita Jawa Timur. Hal ini memperkuat kesimpulan bahwa pertumbuhan perekonomian kabupaten di selatan masih sangat terbatas. 4. Semakin banyak jumlah transmigran dari suatu kabupaten menunjukkan bahwa semakin banyak penduduk kelompok ekonomi rendah yang perlu diberdayakan. Proporsi jumlah transmigran di Jawa Timur pada tahun 1994 dibandingkan dengan jumlah penduduk keseluruhan adalah 0,09% (lihat tabel 2).
402
Kajian Kelayakan Jalur Lintas Selatan di Propinsi Jawa Timur
Tabel 2: Proporsi Jumlah Penduduk dan Transmigran No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kabupaten Pacitan Trenggalek Tulungagung Blitar Malang Lumajang Jember Banyuwangi Jawa Timur
Transmigran
Penduduk 1994
584 526.766 1.924 647.486 978 926.896 1.221 1.066.459 1.400 2.233.130 1.381 927.363 2.608 2.048.430 2.382 1.448.703 29.434 32.458.96 6
Transmigran (%) 0,11 0,30 0,11 0,11 0,06 0,15 0,13 0,16 0,09
Posisi di Jatim di atas di atas di atas di atas di bawah di atas di atas di atas
- Persentase anak terlantar dalam suatu kabupaten dibandingkan dengan jumlah penduduk kabupaten - Persentase pengemis/gelandangan dibandingkan dengan jumlah penduduk - Persentase wanita tuna susila terhadap jumlah penduduk keseluruhan Sebaliknya, ketiga indikator ini menunjukkan bahwa semakin besar persentasenya terhadap jumlah penduduk, maka menunjukkan kondisi sosial yang kurang baik.
Sumber: LPM−ITB (1998) Kecuali Kabupaten Malang, seluruh kabupaten di selatan memiliki proporsi transmigran per jumlah penduduk lebih tinggi dibandingkan rata-rata Jawa Timur. Hal ini mengindikasikan bahwa di kabupaten tersebut terdapat kondisi lahan pertanian yang terbatas, serta jumlah penduduk kelompok ekonomi rendah yang cukup besar. 1.2.2 Indikator Aspek Sosial Apabila aspek perekonomian dengan aspek sosial diperbandingkan, dapat disimpulkan bahwa indikator ekonomi kabupaten di wilayah selatan umumnya berada pada kinerja yang berada di bawah rata-rata Jawa Timur. Indikator sosial yang dapat diperoleh secara keseluruhan mendukung kesimpulan di atas (lihat tabel 3), yaitu: - perbandingan antara 1 tenaga kesehatan (medis dan paramedis) dengan jumlah penduduk yang dilayani; - perbandingan antara 1 buah sekolah dengan jumlah penduduk yang dilayani; - perbandingan antara 1 orang guru dengan jumlah murid yang dididik. Bagi ketiga indikator di atas berlaku premis bahwa semakin kecil jumlah penduduk yang dilayani oleh seorang tenaga kesehatan, guru, atau sekolah, maka semakin baik kualitas pelayanannya. Angka di bawah rata-rata propinsi menunjukkan pelayanan yang kualitasnya lebih baik dari rata-rata propinsi. 1.2.3 Indikator Aspek Sosial Lainnya
2. GAMBARAN WILAYAH STUDI 2.1 Kondisi Administratif Luas wilayah propinsi Jawa Timur adalah 157.922 Km2 yang terdiri dari 47.922 Km2 atau 4.792.200 Ha daratan dan 110.000 Km2 lautan. Wilayah propinsi Dati I Jawa Timur ini mencakup pula pulau-pulau kecil sebanyak 68 buah yang terletak di laut Jawa dan Samudera Hindia. Secara administratif, Propinsi Dati I Jawa Timur mencakup 7 Wilayah Kerja Pembantu Gubernur, 37 Daerah Tingkat II yang terdiri atas 29 wilayah Kabupaten Dati II termasuk 2 wilayah Kota Administratif (Jember dan Batu), 8 Kotamadya Dati II, 139 Wilayah Kerja Pembantu Bupati, 607 Kecamatan, 7.721 desa dan 657 kelurahan. 2.2 Kondisi Sosial Ekonomi Sesuai dengan kondisi alam di Propinsi Jawa Timur, ekonomi daerah ini didominasi oleh kegiatan pertanian (khususnya pertanian bahan makanan), perkebunan, industri pengolahan, dan perdagangan. Pertumbuhan ekonomi Jawa Timur dalam Pelita V (sampai tahun 1991) rata-rata masih berkisar 8% per tahun menurut harga konstan 1983. Pertumbuhan yang cukup tinggi di atas ratarata nasional ini ditunjang oleh perkembangan investasi yang yang selalu melampaui target investasi per tahunnya.
Terdapat 3 indikator aspek sosial lainnya yang dapat menunjukkan kondisi sosial suatu daerah tertentu (lihat tabel 4), yaitu:
403
Kajian Kelayakan Jalur Lintas Selatan di Propinsi Jawa Timur
Tabel 3: Indikator Sosial No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kabupaten Pacitan Trenggalek Tulungagung Blitar Malang Lumajang Jember Banyuwangi JATIM
Rasio Tingkat Kesehatan:Penduduk 1 1 1 1 1 1 1 1 1
: : : : : : : : :
924 559 2176 1092 2388 7664 884 1822 1211
Posisi di Jatim
Rasio Sekolah: Penduduk
di atas di atas di bawah di atas di bawah di bawah di atas di bawah
1 1 1 1 1 1 1 1 1
: : : : : : : : :
864 961 880 986 1076 1279 1341 1031 134 3
Posisi di Jatim di di di di di di di di
atas atas atas atas atas atas atas atas
Rasio Guru: Murid 1: 1: 1: 1: 1: 1: 1: 1: 1:
16 15 18 17 20 20 20 19 19
Posisi di Jatim di atas di atas di atas di atas di bawah di bawah di bawah sama
Sumber: LPM−ITB (1998) Tabel 4: Indikator Sosial Lain No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kabupaten
Rasio Anak Terlantar: Penduduk (1994)
Posisi di Jatim
Rasio Pengemis: Penduduk (1994)
Posisi di Jatim
Rasio WTS: Penduduk (1994)
Posisi di Jatim
0,74 0,49 0,36 1,69 0,48 0,91 0,32 0,45 0,55
di bawah di atas di atas di bawah di atas di bawah di atas di atas
Na 0,01 0,00 0,00 0,00 na 0,02 0,01 0,01
sama di atas di atas di atas di bawah Sama
0,00 0,07 0,05 0,02 0,04 0,05 0,01 0,12 0,05
di atas di bawah sama di atas di atas sama di atas di bawah
Pacitan Trenggalek Tulungagung Blitar Malang Lumajang Jember Banyuwangi Jawa Timur
Sumber: LPM−ITB (1998) Berdasarkan perkembangan investasi tersebut, tercatat laju pertumbuhan investasi Pelita V mencapai 13,26% per tahun. Perkembangan ekonomi Jawa Timur juga diikuti oleh pergeseran struktur perekonomian yang menuju perimbangan yang semakin kokoh. Kontribusi prosentase sektor pertanian terhadap PDRB yang pada awal Pelita V adalah 27,61% menurun menjadi 24,89% pada tahun 1992, sedangkan sektor industri pengolahan pada awal Pelita V tercatat 19,61% meningkat menjadi 21,47% pada tahun 1992. Sektor perdagangan dan jasa pada umumnya tetap konstan. Dalam dekade terakhir ini ternyata kegiatan industri di Jawa Timur mengalami perkembangan pesat, sehingga sampai dengan Pelita V kontribusi sektor industri menjadi 26% dari semula 22% saja (tahun 1987), sedangkan sektor pertanian menurun dari semula 37% pada tahun 1973 menjadi 30% pada Pelita V. Sedangkan, sektor perdagangan sampai tahun 1992 memberikan kontribusi sebesar 27% dari PDRB Jawa Timur dan memberikan indikasi akan meningkat terus kontribusinya pada tahun-tahun mendatang. Pertumbuhan ekonomi di Jawa Timur yang cukup pesat masih diwarnai oleh adanya
kekurangmerataan pertumbuhan pada beberapa bagian wilayah. Dari 37 Daerah Tingkat II yang mempunyai total PDRB cukup besar adalah wilayah Surabaya, Sidoarjo, Gresik, Kediri, dan Malang. Konsentrasi ekonomi yang terbesar adalah di wilayah Surabaya dan sekitarnya (hampir 30%) dari total PDRB propinsi. Laju pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi juga terjadi pada wilayah Surabaya dan sekitarnya, diikuti oleh Jember, Probolinggo, Malang, dan Kediri. Sementara itu, wilayah lainnya tergolong rendah laju pertumbuhannya. Dengan demikian kecenderungan pertumbuhan ekonomi di Jawa Timur sendiri hingga saat ini masih menghadapi permasalahan keseimbangan perkembangan wilayah. Perkembangan ekonomi Jawa Timur ditinjau dari sudut perdagangan international ditunjukkan oleh perkembangan ekspor-impor yang sangat prospektif. 3. SISTEM TRANSPORTASI JAWA TIMUR 3.1 Umum Sistem transportasi di Jawa Timur terdiri atas transportasi jalan raya, kereta api, laut/ferri,
404
Kajian Kelayakan Jalur Lintas Selatan di Propinsi Jawa Timur
dan udara. Secara keseluruhan sistem transportasi di Jawa Timur lebih didominasi oleh transportasi jalan raya. Prasarana dan sarana transportasi yang ada pada prinsipnya telah menjangkau hampir seluruh wilayah Jawa Timur sampai ke desa-desa. Dalam perkembangannya sampai saat ini, prasarana dan sarana transportasi semakin ditingkatkan antara lain dengan adanya proyek pembangunan Dry Port, internasionalisasi lapangan terbang Juanda, pembangunan jalan raya antar regional, dan lain-lain.
Sumber: Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga Tingkat 1 Jawa Timur
3.2 Transportasi Darat
3.2.2 Jaringan Jalan Rel
3.2.1 Jaringan Jalan Raya
Sampai saat ini, jaringan jalan rel di Jawa Timur pada dasarnya telah menjangkau hampir 60% wilayah. Namun demikian, jaringan jalan rel yang dioperasikan hanya sekitar 986 km, sedangkan yang tidak dioperasikan (karena alasan kelayakan) sekitar 590 km. Masalah pemeliharaan jaringan jalan rel yang tidak dioperasikan sangat berat karena cukup banyaknya pembangunan permukiman pada batas sempadan rel. Beberapa stasiun di kota kecil yang jalur relnya tidak dioperasikan lagi mempunyai kondisi sedang sampai buruk. Sementara itu, lokomotif dan gerbong baik penumpang maupun barang relatif tidak pernah bertambah.
Jaringan jalan regional utama di Jawa Timur jika dilihat dari volume serta fungsinya pada saat ini adalah: ruas jalan Surabaya-Malang, Surabaya-Mojokerto-Madiun-Ngawi, SurabayaProbolinggo-Banyuwangi, Probolinggo-JemberBanyuwangi, Malang-Blitar-Kediri, SurabayaBabat-Tuban, Kamal-Bangkalan-PamekasanSumenep. Terminal utama yang terkait dengan pergerakan regional terdapat pada semua kota berukuran sedang dan besar. Kendaraan antar wilayah yang cukup menonjol di Jawa Timur adalah truk, trailer dan bus. Pada jalur utama, volume dan kepadatan angkutan barang dan orang ini sangat tinggi. Pola pergerakan transportasi antar wilayah di Jawa Timur sangat ditentukan oleh peranan dan kedudukan kota sedang dan besar serta pola jaringan jalan. Arah pergerakan yang sangat besar terjadi dari/ke Barat-Timur, sementara arah UtaraSelatan yang menonjol hanya pada ruas Surabaya-Malang dan Probolinggo-Lumajang. Pada tahun 1989 panjang jalan di Propinsi Jawa Timur seluruhnya tercatat 25.633 km dan pada tahun 1994 meningkat 23,29% (lihat tabel 5). Jika dilihat dari komposisi kewenangannya, pada tahun 1994, panjang jalan di Jawa Timur dapat dikategorikan menjadi 3,75% jalan negara, 7,71% jalan propinsi, 10,14% jalan kotamadya, dan 78,40% jalan kabupaten.
Tabel 5: Panjang Jalan di Propinsi Jawa Timur (1994) Kondisi Baik Sedang Rusak Ringan Rusak Berat Total
Negara
Status Kotamadya 1.886 2.268 511 680
Propinsi
1.036 134
Kabupaten 8.546 7.646
Jumlah 13.736 8.971
16
39
228
5.256
5.539
-
-
29
3.329
3.358
1.186
2.436
3.205
24.777
31.604
Orientasi pengembangan jangka panjang akan diarahkan pada pendayagunaan prasarana dan sarana yang ada dengan ditambah pengadaan prasarana dan sarana baru dengan teknologi yang lebih baik. Orientasi pengembangan saat ini dikembangkan untuk lebih mendukung angkutan barang dan komoditi ekspor, sehingga saat ini sudah mulai dilakukan pembangunan Dry Port di Rambipuji Jember. Pergerakan penumpang yang sangat besar adalah dari Surabaya ke Malang dan ke luar propinsi Jawa Timur. Demikian pula dengan angkutan barang. Angkutan jalan rel secara khusus juga digunakan untuk pengangkutan semen, pupuk, minyak, dan pasir. Secara keseluruhan peranan angkutan jalan rel masih dapat diharapkan berkembang. 3.3 Transportasi Laut Sistem transportasi laut secara nasional menempatkan Surabaya sebagai salah satu dari empat pelabuhan utama di Indonesia. Usaha
405
Kajian Kelayakan Jalur Lintas Selatan di Propinsi Jawa Timur
yang telah dilakukan dalam rangka mengisi fungsi peranan tersebut sampai saat ini masih terbatas pada peningkatan efisiensi dan efektivitas pelayanan jasa angkutan laut, sehingga dapat menunjang kelancaran arus barang dan meningkatkan pertumbuhan perdagangan antar pulau serta ekspor/impor. Sementara itu hubungan antara Pulau Jawa dengan Pulau Madura dilayani dengan menggunakan kapal penyeberangan yang disediakan baik oleh pemerintah maupun swasta. Sedangkan hubungan antara Pulau Madura dan kepulauan yang ada di wilayah Kabupaten Sumenep serta Pulau Bawean dilakukan dengan menggunakan kapal perintis milik pemerintah maupun kapal swasta. Hubungan antara Pulau Jawa dan Bali (Banyuwangi-Gilimanuk) dilayani dengan kapal penyeberangan.
Saleh di Malang yang berfungsi sebagai pelabuhan militer dan direncanakan juga untuk meningkatkan pelabuhan udara lswahyudi di Madiun untuk kepentingan militer dan Trunojoyo di Sumenep untuk pelabuhan perintis.
Tanjung Perak, pelabuhan Surabaya, adalah pelabuhan laut utama yang ada di Indonesia bagian Timur. Di samping itu, Jawa Timur juga dilengkapi dengan pelabuhan laut pembantu yang ada di Meneng (yang saat ini masih didominasi untuk pengangkutan minyak), Gresik (angkutan hasil dan bahan industri), Probolinggo, Panarukan, Kalianget, Pasuruan, dan Tuban.
4.1 Analisis Potensi
4. ANALISIS PEMILIHAN KORIDOR Analisis pemilihan koridor dilakukan secara kualitatif untuk memperoleh indikasi potensi serta kendala dari setiap koridor yang ditinjau sebelum dilakukan analisis kuantitatif. Dengan indikasi awal yang diperoleh dari tahap ini, diharapkan analisis kuantitatif yang bersifat rinci tersebut sudah terarah sehingga kontribusi dari sumber daya yang ada dapat memberikan hasil yang optimal.
3.4 Transportasi Udara
Potensi dari setiap kabupaten yang direncanakan akan dilewati oleh jalur lintas selatan ini adalah spesifik. Tetapi, hal yang justru dialami oleh kabupaten tersebut pada saat ini adalah eksplorasi potensi yang tidak optimal atau bahkan belum tergali sama sekali. Hal ini disebabkan karena pada umumnya secara ekonomis, biaya transportasi yang dalam hal ini merupakan salah satu komponen utama dari harga suatu produk, terlalu tinggi. Biaya transportasi yang dimaksudkan adalah biaya transportasi total termasuk nilai waktu dan biaya operasi kendaraan. Fenomena ini terjadi karena sebagian besar jalur transportasi darat masih mengandalkan jalur pantai utara. Penggunaan jalur utara tersebut, untuk kabupaten di wilayah selatan Jawa Timur sangat tidak ekonomis terutama bila tujuan atau sasaran pasarnya juga berada di wilayah selatan, seperti: Jawa Tengah bagian selatan, Yogyakarta, dan Bali.
Prasarana dan sarana transportasi udara di Jawa Timur pada hakekatnya bukan ditujukan untuk pelayanan kegiatan interregional namun untuk antar propinsi Jawa Timur dan luar propinsi. Pelabuhan udara Juanda adalah pelabuhan udara utama di Jawa Timur, dengan kenaikan angkutan penumpang setiap tahunnya meningkat rata-rata 50% dan angkutan barang 8% per tahun. Selain pelabuhan udara Juanda juga terdapat pelabuhan udara Abdurrachman
Selain memberikan dampak negatif terhadap pengembangan potensi di wilayah selatan, kondisi tersebut (konsentrasi beban lalu lintas) juga berdampak negatif terhadap jalur pantai utara sendiri. Tambahan beban dengan biaya ekonomi tinggi dari wilayah selatan tersebut, juga akan turut menurunkan Tingkat Pelayanan (Level of Service) jalur pantai utara. Indikator yang dapat dirasakan pada saat ini antara lain: rendahnya kecepatan perjalanan antar kota di
Selanjutnya, mengingat bahwa kepadatan angkutan di Tanjung Perak sudah sedemikian tinggi, sementara kondisi fisik alami Selat Madura secara teknis memerlukan biaya operasi dan pemeliharaan (pengerukan jalur) yang semakin mahal (karena pendangkalan), maka pelabuhan Meneng akan diarahkan sebagai pelabuhan alternatif Tanjung Perak untuk masa mendatang karena secara fisik alami memungkinkan ditekannya biaya operasi dan pemeliharaan yang tinggi.
406
Kajian Kelayakan Jalur Lintas Selatan di Propinsi Jawa Timur
propinsi Jawa Timur, relatif singkatnya masa layanan perkerasan, tingginya biaya operasi kendaraan karena kondisi jalan yang kurang baik, dan tingginya tingkat kecelakaan.
niaga berat, seperti: truk sedang, truk besar, bahkan trailer. Namun demikian dari tinjauan sumber bahan konstruksi, dapat diambil kesimpulan bahwa tidak ada kesulitan dalam pengadaan bahan konstruksi atau dengan kata lain biaya pengadaan bahan akan dapat ditekan seminimal mungkin. Galian batu dan pasir yang melimpah di sepanjang koridor akan dapat termanfaatkan secara optimal, baik pada saat pembangunan maupun setelah jaringan jalan tersebut selesai dibangun.
4.2 Analisis Kendala Pendekatan kendala digunakan sebagai salah satu bahan pertimbangan dalam pemilihan dan penentuan koridor secara kualitatif. Beberapa kendala yang dinilai berpengaruh pada saat perencanaan, pembangunan, dan pemeliharaan jaringan adalah: kondisi geologis, kondisi topografis, dan hutan lindung serta daerah konservasi.
Pada proses pelebaran jalan atau bahkan pembukaan koridor baru, terdapat indikasi rendahnya harga tanah di sepanjang lokasi koridor ini. Sebagian besar masyarakat yang akan mendapatkan nilai tambah dari pembangunan jaringan ini akan dengan ‘mudah’ memberikan hak atas tanahnya, sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa biaya pembebasan lahan akan minimal.
4.3 Analisis Perbandingan Kualitatif Sebagai dasar analisis dalam tahapan perbandingan kualitatif koridor dilakukan survei koridor dengan melakukan perjalanan darat menyusuri koridor yang diusulkan di setiap kabupaten di sepanjang wilayah selatan Jawa Timur. Data yang dikumpulkan berupa: kondisi fisik koridor, kondisi tata guna lahan, dan kondisi kependudukan. Pada tahapan ini, analisis yang dilakukan bersifat kualitatif dan bertujuan untuk mendapatkan indikasi tentang kondisi koridor tinjauan sebelum melakukan analisis rinci dengan parameter kuantitatif. Gambar 1 memperlihatkan 3 alternatif koridor yang akan ditinjau.
b. Kondisi tata guna lahan: kondisi tata guna lahan dengan potensi yang kurang bahkan belum tergali akan sangat terbantu dengan adanya jaringan jalan ini. Para penduduk lokal di sepanjang koridor akan dapat menjual sendiri hasil kebun, tambang, serta kerajinan rumah mereka dengan lebih mudah. Tingginya tingkat aksesibilitas lahan tersebut selanjutnya juga akan memacu perubahan tata guna lahan, pemanfaatannya akan lebih efektif dan efisien sehingga dapat bersaing secara ekonomis dengan daerah lain.
4.3.1 Koridor 1 a. Kondisi fisik: koridor diusahakan sedekat mungkin dengan garis pantai dimana sebagian besar memiliki kondisi topografis yang kurang menguntungkan dengan medan terjal dan berbatu. Walaupun demikian, sebagian koridor rintisan telah dibangun dengan lebar rata-rata 3-4 meter. Medan rintisan yang telah dibina dengan relatif baik, terutama berada di wilayah Barat (Pacitan− Trenggalek−Tulungagung). Kondisi topografis yang kurang menguntungkan ini akan berdampak langsung pada analisis ekonomi berupa tingginya biaya konstruksi, sebab dari indikasi potensi yang ada, spesifikasi jalan yang akan dibangun harus dapat memikul jalur lintas beban berat dengan lebar minimum yang dapat mengakomodasikan pergerakan kendaraan
Penyediaan jaringan jalan baru ini selanjutnya akan menjadi stimulan peningkatan produktivitas tata guna lahan, baik untuk daerah selatan sendiri maupun daerah utara yang pada saatnya nanti akan mendapatkan pesaing yang sepadan.
407
Kajian Kelayakan Jalur Lintas Selatan di Propinsi Jawa Timur
WILAYAH 1
WILAYAH 2
WILAYAH 3
KAB. LUMAJANG
KAB. JEMBER
KAB. TRENGGALEK KAB. PACITAN
KAB. TL-AGUNG
KAB. BLITAR
KAB. MALANG
SAMUDERA HINDIA
Gambar 1: Pembagian Wilayah Studi
KAJIAN KELAYAKAN JALUR LINTAS SELATAN DI PROPINSI JAWA TIMUR
Alternatif 3 koridor 3 Alternatif 2 koridor 2 Alternatif 1 koridor 1
408
KAB. BANYUWANGI
Kajian Kelayakan Jalur Lintas Selatan di Propinsi Jawa Timur
c. Kondisi kependudukan: dengan adanya pembangunan jalan ini maka daerah yang masih kurang berkembang (daerah tertinggal) akan dapat meningkatkan kemudahan peme-nuhan kebutuhan sehariharinya. Sebagai contoh air yang sulit didapat di wilayah selatan akan lebih mudah diangkut. Selain itu seiring dengan meningkatkan utilitas tata guna lahan maka kemakmuran rakyatpun akan semakin meningkat. Sehingga, dalam tinjauan kualitatif, mereka akan memiliki tingkat pertahanan diri yang lebih tinggi, baik terhadap gejolak ekonomi, sosial kemasyarakatan maupun hal lain yang dapat mengganggu stabilitas nasional secara keseluruhan. 4.3.2 Koridor 2 a. Kondisi fisik: pada koridor ini, ditemukan
lebih banyak jalur rintisan yang telah ada, bahkan sebagian besar sudah dalam kondisi mantap (established). Dengan kondisi ini dapat diambil kesimpulan bahwa biaya konstruksi akan jauh lebih rendah. Hal tersebut ditambah lagi dengan tersedianya bahan konstruksi di sekitar koridor sehingga biaya pengadaannya akan dapat ditekan sampai batas minimal. Pembebasan lahan masih harus dilakukan di beberapa tempat, namun diantisipasi, prosesnya akan berjalan dengan mudah sebab penduduk di sekitar lokasi proyek akan dapat langsung merasakan manfaatnya. b. Kondisi tata guna lahan: kondisi tata guna lahan yang sebagian memang sudah berkembang, akan terus meningkat dengan tersedianya jaringan jalan ini; namun tingkat pertumbuhannya tidak akan sebesar koridor 1. Hal ini selanjutnya akan berpengaruh pada analisis surplus produsen dengan nilai manfaat yang tidak setinggi yang terjadi pada alternatif koridor 1. c. Kondisi kependudukan: peningkatan kemu-dahan pemenuhan kebutuhan seharihari tidak akan terlalu terasa pada alternatif ini sebab kondisi wilayah yang ada pada saat ini memang sudah terbina dan mantap (established). Pada alternatif koridor ini, kelemahan yang juga dapat diidentifikasi pada tahapan awal adalah kurang
mendukung terhadap program pengentasan kemiskinan dengan program Inpres Desa Tertinggal (IDT). Selanjutnya hal ini, pada tahapan analisis kuantitatif akan tetap diindikasikan dan menjadi bahan pertimbangan utama. 4.3.3 Koridor 3 a. Kondisi fisik: pada koridor ini, hampir seluruh badan jalan yang direncanakan memanfaatkan jalur rintisan yang telah ada, dengan sebagian besar juga sudah dalam kondisi mantap (established). Penyesuaian yang dilakukan hanyalah dengan strategi peningkatan, baik dari sisi kapasitas arus (lebar jalan) maupun beban (struktur perkerasan) lalu lintas yang dipikulnya. Serupa dengan kondisi koridor 2, biaya konstruksi pada alternatif ini juga akan rendah. Walaupun demikian, kesulitan yang mungkin dihadapi adalah pembebasan lahan yang masih harus dilakukan di beberapa tempat, hal ini karena daerah yang harus dibebaskan tersebut relatif lebih mapan. Selanjutnya, posisi koridor 3 yang berada paling jauh dari garis pantai dibandingkan dengan koridor lain; di satu sisi akan memberikan dampak paling kecil terhadap peningkatan kesejahteraan penduduk di sepanjang garis pantai selatan Jawa Timur, namun dari sisi lain akan berdampak cukup signifikan terhadap peningkatan kapasitas jaringan jalan Barat−Timur dari tinjauan Jawa Timur secara keseluruhan. b. Kondisi tata guna lahan: serupa dengan koridor 2, kondisi tata guna lahan yang sebagian memang sudah berkembang, akan terus meningkat dengan tersedianya jaringan jalan ini, namun pengaruhnya memang paling minim terhadap pengembangan wilayah di sepanjang garis pantai Selatan. Perkembangan daerah di sisi koridor (ribbon development) inipun tidak akan terlalu pesat mengingat sebagian daerah yang dilalui memang telah berada pada sekitar batas kapasitas pemanfaatan suatu lahan. c. Kondisi kependudukan: juga hampir sama dengan koridor 2, peningkatan kemudahan pemenuhan kebutuhan sehari-
409
Kajian Kelayakan Jalur Lintas Selatan di Propinsi Jawa Timur
hari tidak akan terlalu terasa pada alternatif ini sebab kondisi wilayah yang ada pada saat ini memang sudah terbina dan mantap (established). Namun demikian dari tinjauan kepentingan Jawa Timur secara keseluruhan, koridor ini akan dapat meningkatkan aksesibilitas beberapa lokasi penting, yang selanjutnya berpengaruh pada pilihan dalam menentukan lokasi berusaha bagi penduduk Jawa Timur.
•
•
4.3.4 Analisis SWOT Setelah mengadakan pengamatan terhadap potensi dan kendala serta mengadakan pengamatan lapangan terhadap kondisi koridor, kondisi tata guna lahan, dan kondisi kependudukan untuk setiap alternatif koridor, maka dilakukan tahap pembandingan antara alternatif yang satu dengan alternatif yang lain. Perbandingan ini menggunakan analisis terhadap kekuatan, kelemahan, kesempatan yang dimiliki, dan ancaman terhadap setiap alternatif, dengan metoda SWOT (Strength, Weakness, Opportunity and Threats). Selanjutnya dengan metoda pembobotan terhadap komponen analisis SWOT dilakukan penilaian untuk memperoleh kesimpulan tentang alternatif yang paling menguntungkan untuk direalisasikan. Analisis SWOT digunakan sebagai upaya kualitatif untuk menguji suatu proyek secara obyektif. Selain nilai positif, dalam hal ini diwakili oleh kekuatan dan keuntungan yang diperoleh, juga dikaji nilai negatif yang diwakili oleh kelemahan dan ancaman yang dimiliki atau ditimbulkan proyek tersebut. Komponen pembangunan yang dinilai adalah: • Lingkungan: pada dasarnya menilai kemungkinan setiap alternatif koridor untuk mendukung pendayagunaan sumberdaya alam yang baru serta mengantisipasi gangguan terhadap aspek lingkungan yang ditimbulkan oleh setiap alternatif koridor. • Pengembangan wilayah: menitikberatkan penilaian terhadap kemampuan koridor untuk membuka isolasi wilayah selatan/tertinggal. • Pariwisata: menilai setiap koridor dalam ke-mampuannya untuk mengembangkan
•
•
•
•
potensi pariwisata di pantai selatan Jawa Timur. Perikanan: menilai kemampuan setiap alter-natif koridor untuk mendukung perkembangan sektor perikanan (khususnya perikanan laut) di pantai selatan yang sangat potensial. Pertanian/perkebunan/kehutanan: menilai kemampuan setiap alternatif koridor dalam mendukung perkembangan sektor pertanian, perkebunan, dan kehutanan, dengan parameter besarnya volume yang dapat diangkut, aksesibilitas dan biaya angkutan dari sentra pertanian yang dapat dikembangkan ke sentra produksi pengolahan atau lokasi konsumen. Jaringan transportasi lalu lintas Jawa Timur bagian selatan: menilai keterpaduan sistem agar dapat terbentuk sistem jaringan Jawa Timur selatan yang menyatu dari Kabupaten Pacitan hingga Banyuwangi Industri: menilai kemampuan setiap alternatif koridor dalam mendukung potensi pengembangan industri di Jawa Timur bagian selatan. Sosial budaya: menilai pelayanan sosial yang dapat diberikan oleh setiap alternatif koridor, serta kemungkinan masuknya budaya dari luar dengan adanya peningkatan aksesibilitas di pantai selatan Jawa Timur. Aspek Hankam: menilai kemudahan penga-wasan regional dari segi pandang Hankamnas.
Dalam melakukan analisis SWOT ini, maka wilayah studi dibagi menjadi 3 (tiga) wilayah dengan dasar pertimbangan bahwa ketiga alternatif koridor di setiap wilayah tersebut memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Ketiga wilayah tersebut (lihat gambar 1), yaitu: 1. Wilayah 1 meliputi Kabupaten Pacitan dan Trenggalek. Pada kedua kabupaten ini hanya ada satu koridor yang diusulkan karena alternatif koridor 1, 2, 3 terletak dalam satu koridor. Dengan demikian tidak diperlukan adanya analisis perbandingan untuk menentukan koridor terpilih. 2. Wilayah 2 meliputi Kabupaten Tulung Agung, Blitar, Malang, dan Lumajang. Berbeda dengan kedua kabupaten terdahulu, di wilayah 2 ini terdapat tiga alternatif
410
Kajian Kelayakan Jalur Lintas Selatan di Propinsi Jawa Timur
koridor sehingga perlu dilakukan analisis perbandingan untuk menentukan koridor terpilih. 3. Wilayah 3 meliputi Kabupaten Jember dan Banyuwangi. Di Kabupaten Jember dan Banyuwangi terdapat beberapa taman nasional dan suaka margasatwa yang keberadaannya harus tetap dijaga dan dilindungi seperti: Taman Nasional Merubetiri, Suaka Margasatwa Alas Purwo dan Sadengan. Sehingga, hal ini menjadi dasar pertimbangan dalam melakukan pertimbangan untuk ketiga alternatif koridor di kedua kabupaten ini. Adapun hasil analisis SWOT terhadap setiap alternatif dapat dilihat pada tabel 6−8. Untuk menentukan prioritas pengembangan alternatif koridor-koridor tersebut maka hasil analisis SWOT di atas dikonversikan ke dalam bentuk nilai. Dalam mengkuantitatifkan hasil tersebut, tidak seluruh komponen kegiatan digunakan dalam penilaian, karena tidak seluruh komponen pembangunan tersebut memiliki kriteria-kriteria yang dapat diukur secara kuantitatif. Komponen kegiatan dan kriteria yang disertakan dalam penilaian ada 7 jenis dan tiap komponen memiliki bobot yang berbeda-beda. Ketujuh komponen kegiatan tersebut, adalah: 1. Lingkungan, dengan kriteria: - melewati kawasan lindung - pemindahan penduduk 2. Pengembangan wilayah, dengan kriteria: - melalui daerah terpencil/tertinggal - peningkatan akses/kedekatan dengan kawasan potensial 3. Pariwisata, dengan kriteria: - jarak menuju obyek wisata 4. Perikanan, dengan kriteria: - jarak ke pantai 5. Perkebunan/pertanian, dengan kriteria: - peningkatan akses/kedekatan dengan kawasan perkebunan 6. Pengembangan jaringan jalan, dengan kriteria: - penambahan kepadatan jaringan 7. Pertahanan keamanan, dengan kriteria: - kedekatan dengan pantai
Nilai yang diberikan untuk setiap koridor berdasarkan setiap kriteria di atas berkisar antara nilai 1 hingga 3. Koridor yang memiliki total nilai tertinggi merupakan koridor dengan prioritas tertinggi. Hasil penilaian ini dapat dilihat pada tabel 9−10 berikut. Dari tabel 9 dapat dilihat bahwa alternatif koridor terpilih untuk kabupaten Tulung Agung, Blitar, Malang, dan Lumajang (Wilayah 2) adalah koridor 1 (atau koridor paling selatan. Sedangkan dari tabel 10 terlihat bahwa alternatif koridor terpilih untuk kabupaten Jember dan Banyuwangi (Wilayah 3) adalah koridor 2, sedangkan untuk Kabupaten Pacitan dan Trenggalek (Wilayah 1) hanya ada satu koridor yaitu koridor 1 (koridor paling selatan). 5. ANALISIS BIAYA KONSTRUKSI 5.1 Umum Biaya konstruksi merupakan komponen biaya utama pada analisis ekonomi yang menjadi dasar penentuan layak tidaknya proyek ini dilaksanakan secara kuantitatif. Wilayah studi yang meliputi Jawa Timur bagian selatan dari Kabupaten Pacitan sampai Banyuwangi, dibagi menurut keseragaman fisik daerah yang lebih kecil serta pertimbangan lain yang dianggap signifikan dalam menentukan biaya kontruksi. Dalam hal ini biaya konstruksi tersebut merupakan fungsi dari: kondisi topografi, kondisi tata guna lahan, kondisi eksisting jalan dan jembatan, dan lain-lain. Pembagian ini dimaksudkan agar dapat dihitung biaya konstruksi tipikal untuk setiap kondisi daerah secara spesifik. 5.2 Rangkuman Biaya Nilai harga satuan yang dipergunakan mengacu pada standar Ditjen Bina Marga baik untuk desain jalan maupun jembatan. Tabel 11 menyajikan rangkuman biaya konstruksi untuk setiap alternatif yang diusulkan. Terlihat bahwa kondisi topografis Jawa Timur bagian selatan yang terjal dan bergunung sangat berpengaruh terhadap tingginya biaya konstruksi.
411
Kajian Kelayakan Jalur Lintas Selatan di Propinsi Jawa Timur
Tabel 6: Analisis SWOT Alternatif Koridor 1 (Selatan) Komponen Pembangunan Pengembangan Wilayah
Hankam
Pariwisata
Transportasi Jawa Bagian Selatan & Jawa Keseluruhan Industri Pertanian/ Perkebunan/ Kehutanan
Strengths • •
lebih membuka isolasi wilayah selatan membuka langsung desa-desa tertinggal
•
lebih mempermudah pengawasan di pantai selatan jarak dari pantai cukup dekat pemanfaatan potensi pariwisata pantai selatan jalan akses yang harus disediakan ke pantai lebih dekat jika dibandingkan dengan Koridor II & III (rata-rata 5 km dari jalur selatan ini)
• • •
• •
alternatif kawasan industri di selatan
peningkatan kesempatan pengangkutan produk ke lokasi pasar-pengolahan •
Perikanan
•
• Lingkungan
alternatif sistem jaringan di Jawa bagian Selatan menambah kepadatan jaringan
•
peningkatan kesempatan pengangkutan produk ke lokasi pasar dan pengolahan jalan akses yang harus disediakan ke pantai relatif pendek (rata-rata 5 km dari jalur selatan ini) Pendayagunaan potensi sumberdaya alam baru Perumahan yang dipindahkan relatif sedikit shg dampaknya kecil/biaya pembebasan lahan rendah
Sosial Budaya
-
Weaknesses • •
kondisi topografi agak sulit dan harus menembus kawasan lindung jarak dengan kawasan potensial cukup jauh, biaya transport tetap tinggi (relatif terhadap koridor alternatif II dan III)
Opportunities terdapat keseimbangan kesempatan membangun utara-selatan di Jatim kesempatan lebih besar bagi pengawasan keamanan Jatimsel dari intrusi musuh lewat pantai selatan
-
• -
• • •
•
labilitas kawasan Jawa bagian selatan kendala topografi perlu lebih banyak koridor jalan baru
labilitas kawasan Jawa bagian selatan, biaya konstruksi mahal • tidak terlalu banyak potensi pertanian / perkebunan yang bisa dikembangkan • jarak dengan kawasan perkebunan cukup jauh, biaya transport tetap tinggi (relatif terhadap koridor II)
• • •
memberi kesempatan tumbuh bagi potensi pariwisata pantai selatan Jatim menambah komponen overland tour JawaBali keterpaduan sistem selatan yang menyambung dari Jabar-Jateng-Jatim lebih meningkatkan kapasitas jaringan meningkatkan aksesibilitas desa-desa dan kawasan pantai
kesempatan berkembang industri di Jatimsel
-
kesempatan pemanfaatan potensi perikanan laut selatan
-
diperlukan pengendalian lingkungan/ kelestarian kawasan lindung yang tersebar di bagian selatan Jatim.
-
Sumber: LPM−ITB (1998)
412
Threats terdapat kemungkinan perambahan kawasan lindung yang ada di selatan -
-
-
kemungkinan polusi di laut selatan lebih besar kawasan pertanian yang telah ada dapat tergeser oleh kawasan terbangun
-
menunjang pariwisata
kerusakan hutan lindung
peningkatan pelayanan sosial di bagian selatan Jatim
masuknya pengaruh budaya asing/luar
Kajian Kelayakan Jalur Lintas Selatan di Propinsi Jawa Timur
Tabel 7: SWOT Alternatif Koridor 2 (Tengah) Komponen Pembangunan Pengembangan Wilayah
Strengths • • •
membuka isolasi wilayah selatan umumnya menghubungkan kota-kota kecamatan jarak dengan daerah potensial semakin dekat, menurunkan biaya transport
Weaknesses
terdapat keseimbangan kesempatan membangun di utara-selatan di Jatim
kendala topografis
Hankam
mempermudah pengawasan di pantai selatan
jarak dari pantai cukup jauh
Pariwisata
pemanfaatan potensi pariwisata pantai selatan
jalan akses yang harus disediakan ke pantai rata-rata 15 km dari jalur selatan ini
Transportasi Jawa Bagian Selatan & Jawa Secara Keseluruhan Industri/ Pertambangan Pertanian/ Perkebunan/ Kehutanan Perikanan
Lingkungan
• •
alternatif sistem jaringan di Jawa bagian selatan sebagian besar berupa peningkatan jalan yang ada
alternatif kawasan industri di selatan • •
labilitas kawasan Jawa bagian selatan, kendala topografi, biaya konstruksi mahal labilitas kawasan Jawa bagian selatan, biaya konstruksi mahal
peningkatan kesempatan pengangkutan produk ke lokasi pasar-pengolahan jarak dengan daerah perkebunan makin dekat, menurunkan biaya transport
Peningkatan kesempatan pengangkutan produk ke lokasi pasar-pengolahan
pencapaian potensi lingkungan
Sosial Budaya
-
Opportunities
jalan akses yang harus disediakan ke pantai cukup jauh (rata-rata 15 km dari jalur selatan ini) • pengendalian lingkungan/ kelestarian kawasan lindung • cukup banyak permukiman yang terkena dampak, biaya pembebasan lahan cukup tinggi -
kesempatan pengawasan keamanan Jatim bagian selatan dari intrusi musuh lewat pantai selatan • memberi kesempatan tumbuh bagi potensi pariwisata pantai selatan Jatim • menambah komponen overland tour JawaBali • keterpaduan sistem selatan yang menyambung dari Jabar-Jateng-Jatim • meringankan beban lalu lintas lintas utara • meningkatkan kapasitas jaringan kesempatan berkembang industri di Jatim bagian selatan biaya pengangkutan produk akan menjadi lebih murah
413
terdapat kemungkinan perambahan kawasan lindung yang ada di selatan
-
-
kemungkinan polusi di laut selatan kawasan pertanian yang telah ada dapat tergeser oleh kawasan terbangun
kesempatan pemanfaatan potensi perikanan laut selatan
•
menunjang pariwisata
peningkatan pelayanan sosial
Sumber: LPM−ITB (1998)
Threats
•
kerusakan hutan lindung
dampak sosial masyarakat yang dipindahkan masuknya budaya asing/ luar
Kajian Kelayakan Jalur Lintas Selatan di Propinsi Jawa Timur
Tabel 8: Analisis SWOT Alternatif Koridor 3 (Utara) Komponen Pembangunan Pengembangan Wilayah
• •
Strengths
Weaknesses
membuka isolasi wilayah selatan umumnya menghubungkan kota kecamatan
jarak dengan kawasan potensial cukup jauh, biaya transport tetap tinggi (relatif terhadap koridor II) kurang dapat mengawasi keamanan Jatim bagian selatan karena jarak dari pantai selatan cukup jauh (relatif terhadap koridor I)
Hankam
mempermudah pengawasan di pantai selatan
Pariwisata
pemanfaatan potensi pariwisata pantai selatan
Opportunities terdapat keseimbangan kesempatan membangun utara-selatan di Jatim
• Transportasi Jawa Bagian Selatan & Jawa Secara Keseluruhan
• •
alternatif sistem jaringan di Jawa bagian selatan sebagian besar berupa peningkatan jalan yang ada tanpa kendala topografis, biaya konstruksi relatif rendah dibanding Koridor I
Industri/Pertambangan
alternatif kawasan industri di selatan
Pertanian/Perkebunan/ Kehutanan
peningkatan kesempatan pengangkutan produk ke lokasi pasar-pengolahan
Perikanan
peningkatan kesempatan pengangkutan produk ke lokasi pasar pengolahan
Lingkungan Sosial Budaya
potensi lingkungan dapat tergali -
• •
labilitas kawasan Jawa bagian selatan, biaya konstruksi mahal
• •
labilitas kawasan Jawa bagian selatan, biaya konstruksi mahal jarak dengan kawasan perkebunan cukup jauh, biaya transport tetap tinggi (relatif terhadap koridor II) jalan akses yang disediakan panjang (relatif terhadap koridor I) • pengendalian lingkungan • banyak permukiman yang terkena dampak/biaya pembebasan lahan cukup tinggi -
Sumber: LPM−ITB (1998)
414
terdapat kemungkinan perambahan kawasan lindung yang ada di selatan
kesempatan pengawasan keamanan Jatimsel dari intrusi musuh lewat pantai selatan •
jalan akses yang harus disediakan jauh (relatif terhadap koridor I)
Threats
-
memberi kesempatan tumbuh bagi potensi pariwisata pantai selatan Jatim menambah komponen overland tour Jawa-Bali
-
keterpaduan sistem selatan yang menyambung dari Jabar-JatengJatim meringankan beban lalu lintas lintas utara meningkatkan kapasitas jaringan
-
kesempatan berkembang industri di Jatim bagian selatan -
kemungkinan polusi di laut selatan kawasan pertanian yang telah ada dapat tergeser oleh kawasan terbangun
kesempatan pemanfaatan potensi perikanan laut selatan
•
menunjang pariwisata peningkatan pelayanan sosial
gangguan kelestarian lingkungan • dampak sosial masyarakat yang dipindahkan masuknya budaya asing / luar
Kajian Kelayakan Jalur Lintas Selatan di Propinsi Jawa Timur
Tabel 9: Prioritas Koridor Berdasarkan Analisis SWOT Untuk Kabupaten Tulung Agung, Blitar, Malang, dan Lumajang Kriteria Lingkungan Pengembangan Wilayah Pariwisata Perikanan Perkebanan/Pertanian Pengembangan Jaringan Jalan Hankam Total Nilai
Bobot (%) 35 20 13 11 9 7 5 100
Koridor 1 2 3 3 2 3 3
Nilai Koridor 2 3 2 2 3 2 2
Koridor 3 1 1 1 1 1 1
Koridor 1 0,00 0,40 0,39 0,33 0,18 0,21 0,15 1,66
Bobot x Nilai Koridor 2 Koridor 3 0,00 0,00 0,60 0,20 0,26 0,13 0,22 0,11 0,27 0,09 0,14 0,07 0,10 0,05 1,59 0,65
Sumber: LPM−ITB (1998) Tabel 10: Prioritas Koridor Berdasarkan Analisis SWOT Untuk Kabupaten Jember dan Banyuwangi Kriteria Lingkungan Pengembangan Wilayah Pariwisata Perikanan Perkebanan/Pertanian Pengembangan Jaringan Jalan Hankam Total Nilai
Bobot (%) 30 25 13 11 9 7 5 100
Koridor 1 1 2 3 3 2 3 3
Sumber: LPM−ITB (1998) Namun demikian kondisi ini (bergununggunung) tidaklah selamanya merugikan sebab pada daerah tersebut terdapat sumber material (quarry) yang sangat cukup sehingga dapat menekan biaya konstruksi dari sisi material. Tabel 11: Biaya Konstruksi Setiap Alternatif No
Alternatif
1.
Alternatif paling Selatan mendekati Pantai Selatan, selanjutnya disebut Koridor 1 Alternatif yang berada 10–20 km dari Pantai Selatan, selanjutnya disebut Koridor 2 Alternatif paling Utara yang diusulkan, selanjutnya disebut Koridor 3
2. 3.
Biaya Konstruksi (Juta Rp.) 1.275.166 343.550 55.140
Sumber: LPM−ITB (1998) 5.3 Alinemen Horisontal Alinemen horisontal direncanakan berdasarkan peta topografi dengan konfirmasi kondisi lapangan. Panjang koridor jalan dari Pacitan− Banyuwangi dapat dilihat pada tabel 12. Tabel 12: Panjang Jalan Setiap Alternatif No
Alternatif
1.
Alternatif paling Selatan mendekati Pantai Selatan, selanjutnya disebut Koridor 1 Alternatif yang berada 10–20 km dari Pantai Selatan, selanjutnya disebut Koridor 2 Alternatif paling Utara yang diusulkan, selanjutnya disebut Koridor 3
2. 3.
Sumber: LPM−ITB (1998)
Panjang Jalan (m) 539.785 575.205 559.700
Nilai Koridor 2 2 3 2 2 3 2 2
Koridor 3 3 1 1 1 1 1 1
Koridor 1 0,30 0,50 0,39 0,33 0,18 0,21 0,15 2,06
Bobot x Nilai Koridor 2 Koridor 3 0,60 0,90 0,75 0,25 0,26 0,13 0,22 0,11 0,27 0,09 0,14 0,07 0,10 0,05 2,34 1,60
6. ANALISIS EKONOMI 6.1 Konsep Pendekatan Kelayakan ekonomis didefinisikan sebagai suatu kelayakan bagi semua pihak yang dapat memanfaatkan, baik langsung maupun tidak langsung suatu pembangunan atau peningkatan jalan. Oleh karena itu, perhitungan manfaat jalan merupakan faktor utama dalam memutuskan apakah suatu pembangunan atau peningkatan jalan dapat disebut layak. Perhitungan manfaat jalan juga dinilai lebih peka dibandingkan dengan perhitungan biaya yang merupakan aspek sipil. Manfaat pembangunan atau peningkatan jalan dapat dikelompokan menjadi dua bagian: a. Manfaat yang dapat dikuantifikasikan besarnya, meliputi: • Peningkatan pertumbuhan ekonomi: laju pertumbuhan produksi suatu jenis komoditi akan bertambah karena sarana transportasi yang membaik. Manfaat jalan dapat dihitung berdasarkan konsep surplus produsen. • Perubahan pola angkutan barang: barang yang semula diangkut melalui suatu ruas jalan tertentu akan beralih melewati ruas jalan tersebut. Manfaat yang diperoleh berupa pengurangan biaya operasi kendaraan dan waktu perjalanan.
415
Kajian Kelayakan Jalur Lintas Selatan di Propinsi Jawa Timur
b. Manfaat yang tidak dapat dikuantifikasikan besarnya, meliputi: • Kemudahan bagi murid untuk mencapai sekolah: dengan dibangunnya jalan tersebut maka akan lebih mudah bagi anak usia sekolah untuk mencapai sekolahnya. • Kemudahan mencapai Puskesmas: bagi pembangunan jalan antar kota, salah satu tujuan yang penting adalah menghilangkan isolasi wilayah dan lebih meratakan manfaat pembangunan jalan. • Segi politik dan pertahanan keamanan: adanya jaringan jalan jelas memberikan dampak positif mengingat dengan adanya jalan maka pengawasan atas kedaulatan negara dapat dilakukan dengan lebih baik. Pada umumnya, perhitungan manfaat jalan dilakukan dengan menghitung langsung dari pengguna jalan, yaitu: pengurangan Biaya Operasi Kendaraan (BOK), nilai waktu dan kecelakaan yang diperhitungkan dari perbedaan dengan proyek dan tanpa proyek, berdasarkan volume lalu lintas yang ada (JICA,1986). Namun demikian, metode tersebut hanya sesuai untuk keadaan dimana lalu lintas normal mempunyai jumlah yang cukup dan keuntunan akibat pengurangan BOK merupakan ukuran yang handal dan dapat dipercaya. Pada jalan-jalan dengan volume yang rendah, metode tersebut harus bisa memberikan justifikasi adanya pembangunan jalan atau peningkatan jalan. Hal tersebut disebabkan oleh tidak munculnya efek multiplier yang timbul dari kegiatan yang berada dalam wilayah jalan tersebut. Metode konvensional juga mengakibatkan mekanisme peroleh manfaat yang muncul dari perubahan pendapatan dan pengeluaran. ICRD (1976) memberikan beberapa arahan metodologi analisis yang bisa digunakan untuk mengevaluasi kelayakan pembangunan atau peningkatan jalan antar kota yang memperhitungkan peningkatan ekonomi wilayah yang bersangkutan. Sehingga, secara umum, terdapat dua metode pendekatan dalam memprediksi manfaat suatu proyek (jalan), yaitu dengan pendekatan Surplus Konsumen dan Surplus Produsen yang karakteristiknya dapat dibedakan seperti pada tabel 13 berikut.
Seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa telah diidentifikasi tiga alternatif koridor lintas selatan Jawa Timur. Alternatif koridor 1 melewati daerah yang relatif belum berkembang atau merupakan daerah pertanian, perkebunan dan hutan, begitu juga koridor 2, sedangkan koridor 3 (yang lebih banyak merupakan perbaikan/peningkatan jalan yang sudah ada) banyak melewati daerah-daerah perkotaan yang sudah berkembang. Tabel 13: Karakteristik Pendekatan Analisis Ekonomi Item Karakteristik regional Volume lalu lintas Metode analisis
Metoda Pendekatan Surplus Konsumen Surplus Produsen Kurang berkembang, Sudah berkembang, kegiatan ekonomi tingkat aktivitas ekonomi menengah ke bawah sudah tinggi Tinggi
Berdasarkan penghematan BOK
Sifat keuntungan
Penghematan BOK, diukur dari peramalan lalu lintas
Lain-lain
Harus memperhatikan distribusi keuntungan dan kebutuhan investasi komplementer
Rendah Sistem produksi pertanian, transfer penghematan transport kepada produsen dan pengguna investasi komplementer Pengingkatan produksi dan pendapatan, peningkatan pelayanan angkutan, peningkatan pendapatan distributor Penyelidikan produksi pertanian, distribusi dan sistem pemasaran. Pendekatan komprehensif disarankan harus memperhatikan akibat bagi petani
Sumber: LPM−ITB (1998) Melihat sifat daerah yang dilalui oleh setiap alternatif koridor tersebut, dapat disimpulkan bahwa koridor 1 (dan 2) akan menjadi jalan yang akan banyak mempengaruhi tata guna lahan daerah yang dilaluinya serta sangat berdampak bagi petani/pengelola lahan pada daerah bersangkutan, sementara itu hal tersebut tidak akan terjadi secara nyata untuk koridor 3. Koridor 3 cenderung akan mempengaruhi pengguna jalan (pengendara) eksisting yang akan menikmati peningkatan kinerja jaringan jalan. Berdasarkan pertimbangan itu, maka diputuskan untuk dilakukan analisis menggunakan kedua pendekatan untuk koridor 1. 6.2 Pendekatan Surplus Produsen Pendekatan ini mengacu pada keadaan dimana volume lalu lintas rendah yang mengakibatkan kurangnya justifikasi surplus konsumen.
416
Kajian Kelayakan Jalur Lintas Selatan di Propinsi Jawa Timur
Keuntungan akibat perubahan volume dan biaya transport sangat bergantung pada besarnya keuntungan akibat perubahan harga produk (pertanian) di lokasi produksi. Pendekatan surplus produsen dilakukan dengan memperhatikan sektor tertentu (misalnya pertanian dan produk tertentu). Bagi produk tersebut perlu diperhatikan berbagai data produksi misalnya jenis produksi dan harga jualnya dari tahun ke tahun. Beberapa asumsi yang digunakan adalah: a. Proyek jalan akan mengakibatkan terjadinya peningkatan luas areal tanam atau tingkat produksi. b. Biaya transportasi berkurang karena aksesibilitasnya lebih baik dari investasi lainnya. Dari sisi lain, pengelola angkutan juga akan memperoleh keuntungan dengan menurunnya BOK akibat peningkatan kinerja jaringan jalan, sementara tarif angkutan tetap. c. Produk dijual dengan harga seragam di lokasi yang berjarak tertentu yang sama (rata-rata) dari seluruh wilayah tinjauan d. Tambahan produksi tidak akan berakibat jatuhnya harga pasar. Dengan kata lain, harga jual tetap sehingga petani dapat menjual hasilnya sebanyak mungkin. e. Konsumsi rumah tangga tetap dan tidak dipengaruhi oleh besarnya produksi. f. Biaya transportasi dan produksi sama untuk semua petani. Dengan demikian keuntungan yang diperoleh dapat digambarkan sebagaimana diilustrasikan pada gambar 2. Dengan adanya jalan baru, maka unit biaya transportasi turun dari C2 menjadi C2’, sehingga dengan harga jual yang sama petani dapat memproduksi komoditas yang lebih banyak jumlahnya dan komponen lainnya adalah sebagai berikut: - Total pendapatan: TR2 = C4 . Q2 - Pendapatan petani: FR2 = C3’ . Q2 - Total pengeluaran petani): FC2 = 0,5(C1+C3’)Q2 - Surplus petani: FS2 = FR2 – FC2 = C3’Q2 - 0,5(C1+C3’)Q2 - Peningkatan Surplus Petani karena jalan baru: FS2 – FS1 - Produser surplus total: TS2 = 0,5(C4 – C2’) - Surplus pengelola transportasi):
TRS2 = TPS2 – FS2 - Peningkatan surplus pengelola transportasi setelah ada jalan baru: TsS2 – TrS1 Dalam analisis ekonominya diputuskan untuk menggunakan angka-angka yang merupakan rata-rata daerah dan komoditas yang dianggap terpengaruh. Hasil yang diperoleh tentunya akan merupakan hasil yang cukup kasar namun diharapkan mampu memberikan gambaran tingkat kelayakan dari proyek yang ditinjau. Analisis Surplus Produsen dilakukan untuk setiap kabupaten yang dilalui oleh jalur lintas selatan Jawa Timur dan komoditas tinjauannya adalah pertanian, yang merupakan angka ratarata dari komoditas pertanian, yaitu: padi (sawah dan ladang), jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, kedelai, dan kacang hijau. Selain itu juga dilakukan tinjauan terhadap produk perkebunan yang juga merupakan angka rata-rata dari komoditas kelapa, kopi, dan cengkeh. Besaran-besaran, termasuk harga dan tingkat pertumbuhan, semuanya merupakan rata-rata dari ke-8 kabupaten tinjauan atau rata-rata Jawa Timur. 6.3
Pendekatan Surplus Konsumen
6.3.1 Konsep Pendekatan Pendekatan Surplus Konsumen mengasumsikan adanya pengurangan harga yang dikeluarkan oleh konsumen untuk memperoleh atau menggunakan produk tertentu. Selisih harga awal dengan harga baru yang harus dikeluarkan merupakan penghematan bagi konsumen; sementara itu sesuai dengan fungsi (kurva) sediaannya maka akan terdapat penambahan volume. Sehingga, manfaat total yang didapat adalah perkalian jumlah volume baru dengan selisih harga yang terjadi. Keuntungan tersebut dapat dilihat pada gambar 3. Proyek transportasi yang berupa peningkatan jaringan jalan, manfaat dari suatu proyek, umumnya adalah berupa penghematan biaya transportasi berupa BOK dan Nilai Waktu.
417
Kajian Kelayakan Jalur Lintas Selatan di Propinsi Jawa Timur
C3’ C3
St
St’
Unit harga produksi
C4
Sf
C2 C2’ C1
Biaya produksi
Q1
Q2
Gambar 2: Keuntungan karena Pembangunan Jalan Dengan Metode Surplus Produsen Sumber: LPM−ITB (1998) Keterangan: C1 = Unit harga produksi (marginal cost) C2 = Unit harga produksi dan unit biaya transportasi sebelum adanya jalan baru C2’ = Unit harga produksi dan unit biaya transportasi setelah adanya jalan baru C3 = Biaya produksi untuk jumlah Q1 (harga petani) C3’ = Biaya produksi untuk jumlah Q2 (harga petani) C4 = Biaya produksi dan biaya transportasi = Harga Jual Seiring dengan adanya proyek peningkatan jaringan berupa perbaikan maupun jalan baru, maka akan terjadi peningkatan kinerja jaringan sehingga menurunkan biaya transportasi. Turunnya biaya transportasi akan menyebabkan perubahan pola penyebaran lalu lintas. Manfaat proyek merupakan selisih antara jumlah kendaraan pada jaringan jalan tinjauan dikalikan dengan biaya transportasi pada kondisi tanpa proyek dan kondisi dengan proyek. Untuk meninjau manfaat proyek Lintas Selatan Jawa Timur, jaringan jalan yang ditinjau adalah jaringan jalan di Jawa Timur yang sejajar dengan Lintas selatan Jawa Timur, yaitu:
- Jalur Tengah-Selatan: jaringan jalan yang melalui Pacitan, Trenggalek, Tulungagung, Blitar, Malang dan kemudian bersatu dengan jalur tengah. Untuk memperoleh volume lalu lintas pada setiap ruas tinjauan serta perubahan polanya akibat adanya jalan baru dilakukan pemodelan transportasi dengan menggunakan model 4tahap, dengan memodelkan sistem jaringan transportasi di Jawa Timur serta membaginya menjadi zona-zona pergerakan (dalam hal ini sistem zona didasarkan kepada sistem perwilayahan administratif tingkat II yaitu kabupaten/ kotamadya).
- Jalur Utara: jaringan jalan yang melalui kota Tuban, Gresik, Surabaya, Pasuruan, Probolinggo, Situbondo, dan Banyuwangi. - Jalur Tengah: jaringan jalan yang melalui kota Ngawi, Nganjuk, Jombang, Malang, Lumajang, Jember, dan Banyuwangi.
418
Kajian Kelayakan Jalur Lintas Selatan di Propinsi Jawa Timur
Harga (Price) Kurva Demand
P
Perubahan surplus akibat P turun menjadi P’
N
P’
M
N’
Q1
Q2
Volume (Quantity)
Gambar 3: Perubahan Surplus Konsumen Sumber: LPM−ITB (1998) 6.3.2 Prediksi Kebutuhan Transportasi
6.3.3 Analisis Hasil Pemodelan
Prediksi kebutuhan transportasi melalui model 4-tahap terdiri atas: - Bangkitan/Tarikan Pergerakan - Sebaran Pergerakan - Pemilihan Moda Transportasi - Pembebanan Perjalanan dan Pemilihan Rute
Hasil akhir pemodelan kebutuhan pergerakan berupa volume lalulintas setiap ruas menurut skenario yang ditetapkan digambarkan dalam bentuk peta. Ketebalan garis pada setiap ruas menggambarkan besarnya volume lalu lintas yang diperkirakan. Hasil pemodelan untuk tahun 2025 (menurut skenario) dapat dilihat pada gambar 4−6.
Untuk keperluan analisis manfaat proyek, pemodelan kebutuhan pergerakan dilakukan untuk beberapa tahun tinjauan menurut skenario sebagai berikut: - Skenario 1: jaringan jalan Jawa tanpa adanya jalur lintas selatan. - Skenario 2: jaringan jalan Jawa dengan adanya jalur lintas selatan menggunakan koridor 1 - Skenario 3: jaringan jalan Jawa dengan adanya jalur lintas selatan menggunakan koridor 3.
Timur Timur yang Timur yang
Sementara itu, jaringan jalan dengan lintas selatan koridor 2 tidak dianggap sebagai skenario tersendiri, karena tidak memiliki perbedaan (dari sisi kinerja jaringan jalan) yang signifikan dibandingkan dengan jaringan jalan Jawa Timur dengan jalur lintas selatan koridor 1.
Tampak bahwa berdasarkan hasil pemodelan, terdapat banyak ruas jalan di Jawa Timur yang harus melayani volume lalu lintas yang sangat tinggi, terutama di jalur utara (karena besarnya kebutuhan pergerakan dari/ke Surabaya). Hal tersebut pada awalnya dapat dikurangi dengan meningkatkan jaringan jalan lainnya, seperti berupa pembangunan/peningkatan lintas selatan koridor 3. Namun hal tersebut sudah tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan pergerakan yang semakin meningkat sehingga diperlukan jalan baru yang dapat mengurangi kepadatan lalu lintas pada jaringan yang sudah ada. Jadi, untuk jangka pendek, pembangunan dan peningkatan lintas selatan koridor 3 dapat menjadi solusi tingginya kebutuhan pergerakan di Jawa Timur, namun untuk jangka panjang, pembangunan lintas selatan Jawa Timur koridor 1 nampaknya merupakan solusi yang harus ditempuh.
419
Kajian Kelayakan Jalur Lintas Selatan di Propinsi Jawa Timur
6.4 Parameter Kelayakan Ekonomi
dari nol. NPV pada akhir umur rencana harus lebih besar dari nol.
Perhitungan kelayakan pembangunan atau peningkatan jalan dilakukan dengan menghitung beberapa parameter kelayakan ekonomi yaitu:
6.4.3 Internal Rate of Return (IRR)
Pada prinsipnya perhitungan kelayakan pembangunan jalan mengacu pada perbandingan antara kondisi/skenario tanpa dan dengan proyek, sehingga diketahui keuntungan yang timbul karena adanya pembangunan jalan. Selain itu, perhitungan dilakukan atas dasar penyesuaian nilai rupiah pada tahun dasar. Tiga skenario tingkat bunga diuji masing-masing merefleksikan kondisi ekonomi makro. Tingkat bunga tersebut adalah sebesar 10%, 12%, 15% per tahun. Estimasi perencana yang digunakan adalah 20 tahun, dengan harapan agar selama umur tersebut, keuntungan yang dihasilkan dapat menutup biaya yang dikeluarkan.
Metode BCR secara ringkas membandingkan besarnya keuntungan dengan biaya yang dikeluarkan pada akhir umur rencana. BCR>1,0 menunjukkan bahwa program pembangunan atau peningkatan jalan akan menguntungkan, sebaliknya BCR<1,0 menunjukkan bahwa proyek tersebut tidak layak. Perhitungan biaya dan keuntungan dilakukan dengan memberikan faktor diskon sesuai dengan tingkat bunga yang berlaku: t =0
Bt n
(1 + i)
dan
n
Ct
t =0
(1 + i)
Cn = ∑
IRR digunakan untuk mengetahui tingkat pada kondisi NPV=0, sehingga dengan mengetahui tingkat bunga saat ini dan juga kecenderungannya di masa mendatang maka dapat diambil keputusan untuk mengimplementasikan suatu kegiatan. Besarnya IRR harus lebih besar dari tingkat bunga yang digunakan saat ini. Apabila IRR lebih rendah maka dapat dikatakan bahwa biaya pelaksanaan akan lebih menguntungkan bila diinvestasikan di tempat lain untuk kegiatan yang lain. n
∑
t =0
6.5 Penentuan Ekonomi
6.4.1 Benefit Cost Ratio (BCR)
n
(B1-C1) + (B1+C1) + ... + (B1-C1) (1+i ) (1+i )2 (1+i )n
Proyek dinyatakan layak secara ekonomi jika NPV>0, proyek ditolak jika NPV<0.
a. Benefit Cost Ratio (BCR) b. Net Present Value (NPV) c. Internal Rate of Return (IRR)
Bn = ∑
NPV = (B0 − C0) +
n
Proyek diterima (layak) jika BCR>1,0 dan ditolak (tidak layak) jika BCR<1,0.
n
(1 + i)
n
Ct
t= 0
(1 + i)
= ∑
n
Parameter
Kelayakan
Berdasarkan analisis manfaat dengan mengunakan pendekatan Surplus Produsen serta skenario pembangunan jalan lintas selatan (koridor 1) selama lima tahun, diperoleh parameter kelayakan seperti pada tabel 14a. Dengan pendekatan Surplus Konsumen dan mengadopsi metoda perhitungan Biaya Operasi Kendaraan dan Nilai Waktu dari PCI serta skenario pembangunan jalur lintas selatan (koridor 1) maka dapat diperoleh parameter kelayakan ekonomi seperti pada tabel 14b. Rekapitulasi parameter kelayakan untuk lintas selatan adalah sebagai berikut: Tabel 14a: Parameter Kelayakan Dengan Pendekatan Surplus Produsen
6.4.2 Net Present Value (NPV) Dengan menggunakan tingkat bunga memperkirakan selisih antara biaya manfaat yang ada saat ini dan mendatang, maka suatu proyek yang diterima memiliki nilai akhir yang lebih
Bt
untuk dan masa dapat besar
420
Discount Rate NPV (Juta Rp.) BCR IRR (%)
10(%) 9.546.188 7,07
12(%) 7.415.11 8 6,02 46,30
Sumber: LPM−ITB (1998)
15(%) 5.137.64 0 4,79
Kajian Kelayakan Jalur Lintas Selatan di Propinsi Jawa Timur
Dalam smp/jam 5.000
2.500
1.000
Gambar 4: Prediksi Kondisi Jaringan Jalan di Jawa Timur Tahun 2025 tanpa Jalur Lintas Selatan (Sumber: LPM−ITB, 1998) Dalam smp/jam 5.000
2.500
1.000
Gambar 5: Prediksi Kondisi Jaringan Jalan di Jawa Timur Tahun 2025 dengan Jalur Lintas Selatan Koridor 1 (Sumber: LPM−ITB, 1998) Dalam smp/jam 5.000
2.500
1.000
Gambar 6: Prediksi Kondisi Jaringan Jalan di Jawa Timur Tahun 2025 dengan Jalur Lintas Selatan Koridor 3 (Sumber: LPM−ITB, 1998)
421
Kajian Kelayakan Jalur Lintas Selatan di Propinsi Jawa Timur
Tabel 14b: Parameter Kelayakan Dengan Pendekatan Surplus Konsumen Discount Rate NPV (Juta Rp.) BCR IRR (%)
10% -628.758 0,51
12% -665.460 0,43 3,21
15% -673.209 0,34
Sumber: LPM−ITB (1998) Dari parameter kelayakan yang diperoleh, nampak bahwa dengan pendekatan Surplus Produsen, jalur lintas selatan layak secara ekonomi. Sementara itu, dengan pendekatan Surplus Konsumen, jalur lintas selatan belum memiliki parameter kelayakan yang memenuhi syarat. Namun perlu dijadikan catatan, bahwa prediksi kebutuhan pergerakan yang dilakukan disini hanya didasarkan kepada kecenderungan dari pola kebutuhan pergerakan yang ada pada saat ini dan belum mengikutsertakan perubahan tata guna tanah di Jawa Timur bagian selatan akibat adanya jalan baru. Sehingga, dari analisis yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa jalur lintas selatan sangat mungkin merubah/meningkatkan kinerja guna lahan di Jawa Timur bagian selatan dan hasilnya diperkirakan akan sangat membantu dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat disekitarnya (dari hasil analisis surplus produsen). Selain itu, lintas selatan Jawa Timur juga akan banyak membantu mengurangi kepadatan volume lalu lintas pada jaringan jalan di Jawa Timur pada jangka panjang dan sangat mungkin menjadi layak (dari sisi surplus konsumen) bila diperhitungkan perubahan guna lahan yang akan ditimbulkan dengan dibangunnya jalan tersebut.
Di samping itu terindentifikasi pula banyaknya lahan kritis, yang bila tidak ditanggulangi dengan segera dapat berakibat semakin besarnya alokasi sumber daya (biaya, waktu dan tenaga kerja) yang harus dilakukan. Dengan adanya jalur ini diharapkan proses penanganan yang dilakukan dapat lebih efektif dan efisien serta kemudian kendali yang harus dilakukanpun dapat berjalan dengan lebih baik. Secara kualitatif jalur ini juga memberikan keuntungan berupa tingkat kendali yang lebih baik pada daerah rawan kejahatan, baik yang bersifat kriminal maupun subversif. Hal tersebut mengingat pada daerah studi terdapat banyak lokasi rawan kejahatan akibat lemahnya kendali keamanan. Dalam hal ini, lemahnya kendali keamanan ini semata-mata merupakan akibat dari sulit terjangkaunya lokasi rawan tersebut. Keuntungan lain yang teridentifikasi adalah pengembangan potensi wisata yang selama ini sulit untuk berkembang karena buruknya aksesibilitas lokasi wisata di daerah studi. Pengembangan daerah wisata ini selanjutnya dapat memberikan keuntungan turunan benefit) berupa meningkatnya (derived perekonomian daerah yang selanjutnya berdampak positif pada aspek pertahanan dan keamanan. Hal lain yang dapat disimpulkan adalah dengan terhubungkannya daerah-daerah di wilayah selatan Jawa Timur, beban lalu lintas jalur Pantura akan dapat ditekan sehingga selanjutnya dapat menurunkan pengeluaran Daerah dan Negara berupa biaya pemeliharaan jalur Pantura. 7.2 Saran
7. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan Analisis kualitatif dan kuantitatif memberikan hasil yang berbeda dari sisi tingkat kelayakan proyek. Namun demikian, hasil dari kedua analisis tersebut menyimpulkan bahwa setiap koridor yang diusulkan adalah layak implementasi. Hal ini terutama disebabkan oleh karena pada saat ini, atau pada saat sebelum dibukanya jalur lintas selatan Jawa Timur, terindentifikasi banyaknya potensi lokal kabupaten di sepanjang jalur lintas selatan yang belum termanfaatkan secara optimal.
Melihat hasil analisis yang sampai pada kesimpulan bahwa setiap koridor yang di analisis adalah layak implememtasi maka perlu dilakukan diskusi dengan pihak penentu kebijakan, dalam hal ini pemerintah daerah Propinsi Jawa Timur untuk dapat menentukan koridor terpilih yang selanjutnya akan ditelaah lebih lanjut. Perlu dilakukan studi lanjut untuk menilai secara lebih rinci koridor terpilih jalur lintas selatan Jawa Timur, yang meliputi: • analisis karakteristik tanah dasar • analisis tipe konstruksi • analisis daerah rawan bencana • analisis daerah konservasi
422
Kajian Kelayakan Jalur Lintas Selatan di Propinsi Jawa Timur
Hal tersebut bertujuan untuk memperoleh gambaran lebih baik tentang tingkat kelayakan implementasi proyek terutama dari sisi biaya konstruksi. Dalam tahapan selanjutnya perlu dilakukan penelaahan yang lebih rinci terhadap potensi khas setiap kabupaten untuk mendapatkan gambaran lebih baik tentang tingkat kelayakan implementasi proyek dari sisi potensi daerah. PENGHARGAAN Tulisan ini merupakan bagian dari kegiatan penelitian yang telah dilakukan oleh Lembaga Pengabdian kepada Masyarakat – Institut Teknologi Bandung bekerja sama dengan Bappeda Dati I Propinsi Jawa Timur yang dilaksanakan di Sub-Jurusan Rekayasa Transportasi, Jurusan Teknik Sipil ITB.
Bappeda Dati I Jawa Timur (1996) Rencana Umum Tata Ruang Propinsi Dati I Jawa Timur. Bell, M.G.H and Iida, Y. (1997) Transportation Network Analysis, John Wiley and Sons. Bruton, M.J. (1985) Introduction to Transportation Planning. Hutchinson & Co Ltd, London. Dirjen Bina Marga (1996) Indonesian Highway Capacity Manual, Departemen Pekerjaan Umum. LPM−ITB (1998) Penyusunan Pra-Feasibility Study (Pra-FS) Jalan Lintas Selatan Jawa Timur. Ortuzar, J.D. and Willumsen, L.G. (1994) Modelling Transport, 2nd Edition, John Wiley and Sons. Tamin, O.Z. (1999) Perencanaan dan Pemodelan Transportasi, Edisi 2, Penerbit ITB.
DAFTAR PUSTAKA Atkins, S.T. (1987) The Crisis for Transportation Planning Modelling. Transport Reviews, 7(4), 307−325.
423