KAJIAN INHIBITOR α-GLUKOSIDASE AKTINOMISET ENDOFIT ASAL BROTOWALI (Tinospora crispa)
SRI PUJIYANTO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi ” Kajian Inhibitor αGlukosidase Aktinomiset Endofit Asal Brotowali (Tinospora crispa)” adalah
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Agustus 2012
Sri Pujiyanto NRP: G361070031
ABSTRACT SRI PUJIYANTO. The Study of α-Glucosidase Inhibitor of Endophytic Actinomycetes Isolated from Brotowali (Tinospora crispa). Under direction of YULIN LESTARI, ANTONIUS SUWANTO, SRI BUDIARTI and LATIFAH K. DARUSMAN. An α-glucosidase inhibitor is one of the compounds for the treatment of diabetes. This inhibitor can retard the liberation of glucose from dietary complex carbohydrates and delay glucose absorption, resulting in reduced postprandial plasma glucose levels and suppress postprandial hyperglycaemia. Diabetic medicinal plants are potencial sources of α-glucosidase inhibitor-producing endophytic microorganisms. Actinomycetes has been known as a source of various bioactive compounds that have been used in human health. The purpose of this study were to isolate and to select α-glucosidase inhibitor-producing endophytic actinomycetes from Tinospora crispa and to characterize the selected isolated and their α-glucosidase inhibitor. Endophytic actinomycetes were isolated from the roots, leaves and stems of T. crispa. Sterilized plant samples were inoculated on the HV Agar medium containing 50 ppm cycloheximide and 30 ppm nalidixic acid and were incubated for 2-3 weeks at room temperature. All actinomycetes isolates were tested for their ability to inhibit the α-glucosidase. Identification for the selected isolates was based on 16S rDNA sequences. The inhibitor activity to α-glucosidase was determined spectrophotometrically at 400 nm using p-nitrophenyl-α-D-glucopyranoside as a substrate, and acarbose as a positive control. Characterization and identification of inhibitor component was based on thin layer chromatography, column chromatography, phytochemicals, UV-Vis spectrophotometer and FTIR analyses.The results showed that endophytic actinomycetes isolated from T. crispa produced various inhibition activities. The highest inhibition activity to α-glucosidase was shown by BWA65 found from T. crispa. Production of α-glucosidase inhibitor compounds in this plant largely related with the contribution of its actinomycetes endophytes. The identification based on 16S rDNA sequence revealed that the isolate has 98% similarity to Streptomyces diastaticus. Separation of bioactive components by column chromatography obtained active fraction (F6), which has a low IC50 and high inhibitory activity. Based on phytochemicals, UV-Vis spectrophotometer and FTIR analyses, the active compound F6 is an auron group of flavonoid. Key words: α-glucosidase inhibitor, endophytic actinomycetes, diabetes mellitus, Tinospora crispa.
RINGKASAN SRI PUJIYANTO. Kajian Inhibitor α-Glukosidase Aktinomiset Endofit Asal Brotowali (Tinospora crispa). Dibimbing oleh YULIN LESTARI, ANTONIUS SUWANTO, SRI BUDIARTI dan LATIFAH K. DARUSMAN Pengobatan diabetes secara tradisional pada umumnya adalah dengan memanfaatkan berbagai jenis tanaman yang memiliki kandungan bahan aktif yang dapat menurunkan kadar gula dalam darah, diantaranya adalah senyawa yang dapat menghambat enzim α-glukosidase. Eksplorasi mikrob endofit diharapkan dapat menghasilkan metabolit sekunder penting yang memiliki khasiat sama dengan metabolit yang dihasilkan tanaman inangnya. Tanaman obat diabetes merupakan sumber mikrob potensial penghasil inhibitor αglukosidase. Isolat potensial dari tanaman obat tersebut diharapkan dapat digunakan untuk memproduksi senyawa inhibitor α-glukosidase secara mikrobiologis. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan isolat aktinomiset endofit dari tanaman obat diabetes, khususnya Tinospora crispa (brotowali) yang berpotensi sebagai penghasil senyawa inhibitor α-glukosidase, mengkarakterisasi dan mengidentifikasi isolat aktinomiset endofit penghasil inhibitor α-glukosidase terpilih, serta mengkarakterisasi dan mengidentifikasi senyawa inhibitor α-glukosidase yang dihasilkan oleh isolat aktinomiset endofit terpilih. Berdasar kerangka pemikiran bahwa: a) inhibitor α-glukosidase dapat dihasilkan oleh berbagai organisme, yaitu tanaman tingkat tinggi, alga, cendawan, bakteri (non aktinomiset) dan aktinomiset, b) terdapat beberapa temuan penelitian yang menyatakan bahwa beberapa mikrob endofit dapat menghasilkan senyawa yang serupa dengan tanaman inangnya, dan c) tanaman T. crispa secara empiris diketahui memiliki aktivitas antidiabetes serta menghasilkan senyawa inhibitor α-glukosidase, maka dapat dirumuskan suatu hipotesis: aktinomiset endofit penghasil senyawa inhibitor α-glukosidase dapat diisolasi dari tanaman T. crispa. Isolat aktinomiset yang diperoleh mampu menghasilkan senyawa inhibitor α-glukosidase secara in vitro. Isolasi aktinomiset endofit dilakukan dari T. crispa menggunakan media Humic Acid Vitamin B (HV) agar dengan penambahan 50 ppm cycloheximide dan 30 ppm nalidixic acid. Sebelum dilakukan isolasi, sampel tanaman disterilisasi permukaan menggunakan natrium biklorit dan alkhohol 70% secara bertahap. Aktivitas inhibitor α-glukosidase diuji berdasarkan pada penghambatan pemecahan substrat p-Nitrophenyl-α-D-glucopyranoside oleh enzim αglukosidase selama periode tertentu. Senyawa acarbose (Sigma) digunakan sebagai pembanding. Untuk mengetahui peran aktinomiset endofit dalam menghasilkan inhibitor α-glukosidase, dilakukan pengujian aktivitas inhibitor α-glukosidase terhadap tanaman T. crispa bebas endofit yang diperoleh dari kultur jaringan tanaman, tanaman asli yang diperoleh dari alam dan isolat aktinomiset endofit terpilih, kemudian hasilnya dibandingkan. Identifikasi isolat terpilih dilakukan berdasarkan sekuen 16S rDNA. Pengamatan morfologi isolat dilakukan menggunakan mikroskop cahaya pada perbesaran 100 dan 400x dan SEM pada perbesaran 10.000x. Deteksi keberadaan gen yang terlibat dalam biosintesis inhibitor αglukosidase dilakukan dengan amplifikasi gen penyandi sedoheptulosa-7-fosfat siklase menggunakan primer VOG-F 5'GGSGGSGGSGTSCTSATGGACGT-
SGCSGG-3', dan primer VOG-R 5'GCCATGTCSACGCASACSGCSGCCTCSCCGAG-3'. Hasil amplifikasi DNA dengan PCR selanjutnya disekuen dan dibandingkan dengan sekuen yang ada di database GenBank. Produksi senyawa inhibitor menggunakan media produksi cair berisi 0.1% soluble starch, 0.5% pepton, dan 0.1% yeast extract . Ekstraksi senyawa inhibitor dilakukan dengan menggunakan pelarut etil asetat. Fraksinasi senyawa aktif dilakukan dengan kromatografi kolom silika gel dengan eluen heksan:etil asetat 1:4. Analisis fraksi dilakukan dengan bantuan KLT analitik. Fraksi yang diperoleh diuji aktivitas inhibitor α-glukosidasenya. Fraksi terbaik dikarakterisasi lebih lanjut meliputi: nilai IC50, pengaruh konsentrasi substrat, pemeriksaan fitokimia, scanning serapan maksimum dengan spektrofotometer UV-Vis dan pemeriksaan dengan spektrofotometer FTIR. Tiga puluh dua isolat aktinomiset endofit telah berhasil diisolasi dari tanaman T. crispa. Isolat BWA65 dari tanaman T. crispa merupakan isolat paling berpotensi untuk dikaji lebih lanjut. Penemuan isolat aktinomiset endofit dari T. crispa yang menghasilkan inhibitor α-glukosidase dalam penelitian ini, memperkuat pendapat bahwa tanaman dapat mengandung mikrob endofit yang dapat menghasilkan beberapa senyawa biologis atau metabolit sekunder yang diduga sebagai hasil transfer genetik (rekombinasi genetik) dari tanaman inang ke mikrob endofit. Tanaman T. crispa bebas endofit yang diperoleh dari kultur jaringan tanaman hanya memiliki kemampuan yang sangat rendah untuk menghasilkan senyawa inhibitor α-glukosidase. Tanaman T. crispa yang diperoleh dari alam mampu memproduksi senyawa inhibitor jauh lebih besar dibandingkan tanaman bebas endofit yang diperoleh dari kultur jaringan. Namun demikian, kemampuan inhibitor α-glukosidase yang dihasilkan oleh aktinomiset endofit BWA65 lebih dari dua kali daripada aktivitas inhibitor α-glukosidase tanaman inang. Hasil ini mengindikasikan bahwa aktinomiset endofit dalam tanaman T. crispa tersebut memberikan kontribusi besar terhadap produksi senyawa inhibitor α-glukosidase. Hasil identifikasi berdasarkan sekuen 16S rDNA sepanjang 1343 pasang basa menunjukkan bahwa isolat BWA65 memiliki kesamaan 98% dengan Streptomyces diastaticus. Kajian tentang inhibitor α-glukosidase yang dihasilkan oleh S. diastaticus hingga saat ini belum pernah dilaporkan. Berdasarkan hal tersebut, kemungkinan besar isolat BWA65 merupakan jenis baru penghasil inhibitor α-glukosidase. Analisis menggunakan program BLASTX terhadap sekuen basa hasil amplifikasi gen sedoheptulosa-7-fosfat siklase dari isolat BWA65 menunjukkan kemiripan paling tinggi 92% dengan GAF sensor hybrid histidine kinase pada Streptomyces violaceusniger Tu4113 (no akses YP-004812094.1). Amplifikasi ulang gen sedoheptulosa-7-fosfat siklase pada isolat aktinomiset BWA65 ini dengan primer Forward: 5’-CCTACGAGGTGCGCTTCCGGGACGACGT-3’ dan Reverse: 5’-GGCGGCCTGCAGCTCGGCGGCCGTCACGT-3’, berhasil mengamplifikasi gen tersebut secara spesifik sepanjang 300 bp. Analisis hasil sekuensing menggunakan program BLASTX menunjukkan kemiripan 100% dengan gen sedoheptulosa-7-fosfat siklase dari Actinoplanes sp. SE50/110 (no akses Y18523.4) (Velina 2012, unpublished). Fraksinasi senyawa aktif dari ekstrak etil asetat kultur BWA65 diperoleh fraksi aktif (Fraksi F6) sebagai fraksi paling potensial. Fraksi ini memiliki aktivitas penghambatan sebesar 80.9% pada konsentrasi 200 ppm atau setara dengan 96.2% dari aktivitas acarbose (aktivitas penghambatan 84.1%). Pada pengujian nilai IC50, Fraksi F6 memiliki nilai IC50 10.9 ppm, lebih kecil dibanding nilai IC50 acarbose sebesar 36.65 ppm. Keunggulan senyawa pada fraksi F6 ini pada konsentrasi yang rendah (dibawah 100 ppm) aktivitasnya lebih tinggi dibanding
dengan acarbose. Pada konsentrasi 12.5; 25 dan 50 ppm fraksi F6 memiliki aktivitas penghambatan sebesar 143.1%; 152.4% dan 150.1% dibanding acarbose pada konsentrasi yang sama. Hasil pengujian aktivitas inhibitor dengan berbagai konsentrasi substrat p-Nitrophenyl-α-D-glucopyranoside menunjukkan bahwa senyawa inhibitor α-glukosidase yang dihasilkan isolat BWA65 diduga memiliki tipe penghambatan kompetitif. Berdasarkan hasil pemeriksaan dengan spektrofotometer FTIR dan penelusuran literatur mengindikasikan senyawa Fraksi F6 ini memiliki gugus fungsi: karbonil C=O, ikatan O-H, ikatan C-O, ikatan rangkap dan C=C cincin aromatik, serta memiliki serapan panjang gelombang maksimum 423 nm saat diuji dengan spektrofotometer UV-Vis. Berdasarkan hasil pemeriksaan menggunakan uji fitokimia, spektrofotometer UV-Vis maupun FTIR mengindikasikan bahwa senyawa aktif inhibitor α-glukosidase yang dihasilkan oleh isolat BWA65 merupakan senyawa flavonoid kelompok auron.
Kata kunci: aktinomiset endofit, inhibitor α-glukosidase, diabetes melitus, tanaman obat
© Hak cipta milik IPB, tahun 2012 Hak cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
KAJIAN INHIBITOR α-GLUKOSIDASE AKTINOMISET ENDOFIT ASAL BROTOWALI (Tinospora crispa)
SRI PUJIYANTO
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Mikrobiologi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji Luar pada Ujian Tertutup :
1. Prof. drh. Dondin Sajuthi, PhD 2. Dr. Yanti, MSi
Penguji Luar pada Ujian Terbuka :
1. Dr. Raymond R. Tjandrawinata 2. Dr. Aris Tri Wahyudi
HALAMAN PENGESAHAN Judul Disertasi
:
Kajian Inhibitor α-Glukosidase Aktinomiset Endofit Asal Brotowali (Tinospora crispa)
Nama
:
Sri Pujiyanto
NRP
:
G361070031
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Yulin Lestari Ketua
Prof. Dr. Ir. Antonius Suwanto, MSc. Anggota
Dr. dr. Sri Budiarti Anggota
Prof. Dr. Ir. Latifah K. Darusman, MS. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Mikrobiologi
Dekan Sekolah Pascasarjana,
Dr. Ir. Gayuh Rahayu
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr.
Tanggal Ujian:……………………….
Tanggal Lulus:…………………
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan disertasi dengan judul “Kajian Inhibitor α-Glukosidase Aktinomiset Endofit Asal Brotowali (Tinospora crispa)”. mengikuti
Program
Disertasi ini merupakan karya ilmiah penulis selama Doktor
pada
Program
Studi
Mikrobiologi,
Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari bahwa karya disertasi ini tidak mungkin tercipta tanpa bimbingan
dari
komisi
pembimbing,
untuk
itu
penulis
menyampaikan
penghargaan yang setinggi-tingginya serta ucapan terimakasih kepada: Dr. Ir. Yulin Lestari selaku ketua komisi pembimbing serta Prof. Dr. Ir. Antonius Suwanto, MSc, Dr. dr. Sri Budiarti dan Prof. Dr. Ir. Latifah K. Darusman, MS selaku anggota komisi pembimbing atas segala bimbingan, arahan, perhatian, nasehat, motivasi serta keteladanan yang telah diberikan kepada penulis mulai dari awal pemilihan tema penelitian, selama pelaksanaan penelitian hingga penulisan disertasi. Penelitian ini didanai oleh Hibah Penelitian Pascasarjana a.n. Dr. Ir. Yulin Lestari, serta sebagian dari Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS), untuk itu penulis menyampaikan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya. Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Prof. drh. Dondin Sajuthi, PhD dari PS Satwa Primata, IPB dan Dr. Yanti, MSi dari Fakultas Teknobiologi Universitas Atmajaya (selaku penguji luar pada sidang tertutup), Prof. Dr. Okky Setyawati Dharmaputra (selaku wakil PS Mikrobiologi), drh. Sulistiyani, MSc, PhD (selaku wakil Dekan FMIPA) serta Dr. Ir. Aris Tri Wahyudi, MSi dari PS Mikrobiologi, IPB dan Dr. Raymond R. Tjandrawinata dari PT. DEXA MEDICA (selaku penguji luar pada sidang terbuka), Dr. Ir. Ence Darmo Jaya Supena (selaku wakil PS Mikrobiologi/Dept. Biologi) dan Dr. Ir. Sri Nurdiati (Dekan FMIPA IPB) atas saran-saran yang diberikan untuk kesempurnaan penulisan disertasi ini. Penulis menyampaikan rasa terimakasih kepada Dr. Ir. Gayuh Rahayu selaku ketua PS Mikrobiologi serta seluruh staf pengajar PS Mikrobiologi atas curahan ilmu selama menempuh studi di PS Mikrobiologi SPs IPB. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Kepala Bagian Mikrobiologi
Departemen
Biologi dan Kepala Bagian Kimia Analitik Departemen Kimia, Fakultas MIPA IPB yang telah memberi ijin penulis untuk melaksanakan penelitian ini. Kepada seluruh tehnisi Lab. Mikrobiologi, Dept. Biologi dan Lab. Kimia Analitik, Dept.
Kimia dan PS Biofarmaka, penulis menyampaikan
terimakasih atas segala
bantuannya dalam penyelesaian penelitian ini. Kepada seluruh mahasiswa S3, S2 dan S1 sesama peneliti di Lab Mikrobiologi, penulis sampaikan terimakasih atas kerjasama yang baik dan saling pengertiannya. Kepada teman seperjuangan Dr. Ratih Dewi Hastuti dan Dr. Desniar serta teman-teman dari Undip Semarang, Dr. Sunarno, Dr. Jumari, Dr. Sri Widodo Agung Suedy dan Dr. Fuad Muhammad, penulis sampaikan terimakasih atas diskusi-diskusi, kebersamaan dan bantuannya dalam penyelesaian studi ini. Semoga kebersamaan ini tetap terjaga selamanya. Kepada kedua orang tua penulis, Bapak Dwijosumarto dan Ibu Suresmi, juga adik Sri Ristini dan keluarga, terimakasih atas doa yang tulus tiada henti yang selalu mengiringi setiap langkah untuk penyelesaian studi S3 ini. Kepada almarhum Bapak/Ibu mertua, penulis sampaikan terimakasih atas doa dan curahan waktu untuk merawat anak-anak sebelum meninggalkan kami selamanya. Kepada keluarga tercinta, istriku Nining Indrawati, SKom, MAB dan anak-anakku Annisa Ismatul Jannah, Nadia Rizka Izzati dan Royan Rasyid Habibie terima kasih atas kesabaran, pengorbanan, pengertian, dorongan dan doa yang senantiasa menemani perjalanan S3 ini. Karya ini saya persembahkan kepada keluarga tercinta. Penulis menyadari bahwa tiada karya yang sempurna, untuk itu segala masukan dan saran perbaikan senantiasa penulis harapkan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2012
Sri Pujiyanto
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Klaten pada tanggal 13 Januari 1973, sebagai anak pertama dari Bapak Dwijo Sumarto dan Ibu Suresmi. Pendidikan Sarjana Biologi dalam bidang Mikrobiologi diselesaikan di Universitas Diponegoro pada tahun 1998. Pendidikan Magister Sains dalam bidang Mikrobiologi diselesaikan di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2001. Selanjutnya, penulis mendapatkan kesempatan melanjutkan sekolah S3 di Program Studi Mikrobiologi, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2007 melalui program Beasiswa Pendidikan Pasca Sarjana (BPPS) Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Penulis adalah staf pengajar di Jurusan Biologi, FMIPA Universitas Diponegoro, Semarang. Hingga kini, penulis tercatat sebagai anggota himpunan profesi
Perhimpunan
Mikrobiologi
Indonesia
(PERMI).
Selama
menjadi
mahasiswa S3, penulis telah mempresentasikan sebagian dari penelitian disertasi pada International Seminar of Indonesian Society for Microbiology, tahun 2010 di Bogor, dengan judul “The Activity of α-Glucosidase Inhibitor of Endophytic Actinomycetes Isolated from Indonesian Diabetic Medicinal Plants”. Pada tahun 2012, sebagian hasil penelitian ini telah dipublikasikan di International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Science, Vol 4, tahun 2012, dengan judul “Αlpha Glucosidase Inhibitor Activity and Characterization of Endophytic Actinomycetes Isolated from some Indonesian Diabetic Medicinal Plants”.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL…………………………………………………………………….
xiii
DAFTAR GAMBAR………………………………………………………………….
xv
DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………………………..
xvi
PENDAHULUAN Latar Belakang………………………………………………………………
1
Perumusan Masalah………………………………………………………..
6
Tujuan Penelitian……………………………………………………………
6
Manfaat Penelitian………………………………………………………….
6
Novelty……………………………………………………………………….
7
Hipotesis……………………………………………………………………..
7
TINJAUAN PUSTAKA Penyakit Diabetes Melitus…………………………………………………
9
Inhibitor α-Glukosidase dalam Pengobatan Diabetes………………….
9
Tanaman Obat Diabetes…………………………………………………...
13
Tanaman Brotowali ………………………………………………….……..
16
Mikrob Endofit……………………………………………………………….
18
Aktinomiset Endofit dan Potensinya………………………………………
19
METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian……………………………………………..
23
Isolasi Aktinomiset Endofit…………………………………………………
23
Seleksi dan Uji Penghambatan Enzim α-Glukosidase………………….
24
Peran Aktinomiset Endofit dalam Menghasilkan inhibitor α-Glukosidase ………………………………………………………………
24
Penentuan Waktu Produksi Optimum…………………………………….
25
Identifikasi Isolat Terpilih…………………………………………………..
25
Karakterisasi Morfologi Isolat……………………………………………...
26
Deteksi Gen Sedoheptulosa-7-Fosfat Siklase…………………………..
26
Isolasi dan Identifikasi Senyawa Inhibitor α-Glukosidase………….......
27
HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi Aktinomiset Endofit…………………………………………………
33
Penapisan Aktinomiset Endofit Penghasil Inhibitor α-Glukosidase.......
35
Karakterisasi Morfologi Isolat BWA65……………………………………
40
Identifikasi Isolat Aktinomiset……………………………………………...
41
Deteksi Gen Sedoheptulosa-7-Fosfat Siklase…………………………..
43
Ekstraksi Senyawa Inhibitor ………………………………………………
45
Uji Aktivitas Inhibitor α-Glukosidase Ekstrak………………………..
46
Anaisis Fitokimia Ekstrak Etil Asetat…………………………………
48
Fraksinasi dengan Kromatografi Kolom………………………………….
49
Pencarian Eluen Terbaik………………………………………………
50
Uji Inhibisi α-Glukosidase Fraksi……………………………………..
52
Karakterisasi dan Identifikasi Senyawa Inhibitor α-Glukosidase ……..
55
Pemeriksaan dengan KLT Analitik……………………………………
55
Pengaruh Konsentrasi Substrat………………………………………
57
Identifikasi dengan Uji Fitokimia……………………………………...
59
Analisis dengan Spektrofotometer UV-Vis…………………………..
60
Identifikasi Gugus Fungsi dengan FTIR ……………………………
64
Temuan Penting dan Implikasinya……………………………………
66
KESIMPULAN DAN SARAN……………………………………………………….
69
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………...
71
LAMPIRAN………………………………………………………………………......
79
DAFTAR TABEL Halaman 1
Beberapa organisme penghasil senyawa inhibitor α-glukosidase…...
13
2
Kajian tanaman obat diabetes di berbagai negara……………………..
14
3
Kajian aktinomiset endofit pada beberapa tanaman dan potensinya...
21
4
Komposisi reaksi PCR:amplifikasi gen 16S rRNA……………………...
25
5
Komposisi reaksi PCR amplifikasi gen Sedoheptulosa-7-fosfat siklase……………………………………………………………………….
27
Isolat aktinomiset endofit dari berbagai tanaman obat diabetes dan aktivitas inhibitor α-glukosidase yang dihasilkannya…………………..
35
7
Karakteristik kultur isolat BWA65 pada berbagai media……………….
40
8
Hasil analisis sekuen DNA hasil amplifikasi gen penyandi sedoheptulosa-7-fosfat siklase isolat BWA65 menggunakan program BLASTX……………………………………………………………………..
45
6
9
Hasil ekstraksi senyawa inhibitor dengan berbagai pelarut…………… 46
10
Aktivitas inhibitor α-glukosidase berbagai ekstrak kultur aktinomiset BWA65 ……………………………………………………………………..
47
11
Kandungan fitokimia ekstrak etil asetat kultur BWA65…………………
49
12
Hasil percobaan KLT untuk menentukan pelarut terbaik…………….... 50
13
Hasil fraksinasi senyawa menggunakan kromatografi kolom gel silika…………………………………………………………………………
52
14
Aktivitas inhibitor α-glukosidase hasil fraksinasi kolom………………... 52
15
Aktivitas inhibitor α-glukosidase beberapa senyawa dibanding acarbose ……………………………………………………………………
54
16
Hasil KLT analitik Fraksi F6 dengan beberapa eluen………………….. 57
17
Pengaruh konsentrasi substrat terhadap kemampuan inhibitor α-glukosidase hasil fraksinasi…………………………………………….. 57
18
Rentangan serapan spektrum UV-Vis flavonoid ……………..………...
62
19
Ciri spektrum golongan flavonoid utama ………………………………..
62
20
Identifikasi gugus fungsi fraksi F6 dengan FTIR……………………….
65
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Diagram alur kerangka pemikiran penelitian …………………………......
5
2
Struktur senyawa acarbose …………………………………………………
10
3
Jumlah isolat aktinomiset endofit isolat dari tanaman obat………........... 33
4
Jumlah isolat aktinomiset endofit berdasarkan asal bagian tanaman.....
34
5
Aktivitas inhibitor α-glukosidase oleh aktinomiset endofit tanaman T. crispa………………………………………………………………………….
38
Aktivitas inhibitor α-glukosidase yang dihasilkan oleh tanaman hasil kultur jaringan tanaman, tanaman dari alam dan isolat aktinomiset endofit ………………………………………………………………………...
39
6
7
Morfologi isolat aktinomiset endofit BWA65 yang diamati pada media Oatmeal Agar, mikroskop cahaya dan SEM ……………………………… 41
8
Pohon filogenetik isolat BWA65 berdasarkan sekuen 16S rDNA............
9
Hasil amplifikasi PCR menggunakan primer VOG-F dan VOG-R …....... 44
10
Nilai IC50 berbagai ekstrak kultur BWA65………………………………….
48
11
Kromatografi lapis tipis dengan variasi campuran pelarut pengembang heksan: etil asetat 1:4………………………………………………………..
51
42
12
Nilai IC50 dari fraksi aktif hasil kromatografi kolom gel silika…………….. 53
13
Aktivitas inhibitor α-glukosidase fraksi terpilih (Fraksi F3 dan Fraksi F6) dibandingkan acarbose………………………………………………….
55
Hasil kromatografi lapis tipis Fraksi F6 menggunakan berbagai jenis eluen …………………………………………………………………………..
56
Pengaruh konsentrasi substrat terhadap kemampuan inhibitor αglukosidase hasil fraksinasi………………………………………………….
58
16
Kurva Lineweaver-Burke aktifitas α-glukosidase …………………………
58
17
Spektrum spektrofotometer UV-Vis Fraksi F6……………….................... 61
18
Spektrum spektrofotometer UV-Vis Fraksi F3 ……………………………. 61
19
Spektrum FTIR Fraksi F6……………………………………………………
54
20
Struktur dasar senyawa auron………………………………………………
65
21
Tanaman brotowali…………………………………………………………...
87
14
15
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Uji aktivitas inhibitor dan penentuan nilai IC 50 ekstrak ……………………...
79
2 Hasil uji aktivitas hasil kromatografi kolom dan penentuan nilai IC 50..........
81
3 Hasil sekuensing gen 16S rRNA isolat BWA65……………………………...
83
4 Hasil analisis BLAST sekuen gen 16S rRNA isolat BWA65………………..
85
5 Tanaman brotowali……………………………………………………………...
87
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Diabetes melitus (DM) merupakan salah satu masalah utama kesehatan dunia. Menurut perkiraan, penderita diabetes di seluruh dunia pada tahun 2025 mendatang akan mencapai 300 juta orang. Sebagian besar (lebih dari 95%) penderita diabetes merupakan penderita diabetes tipe 2 atau sering disebut noninsulin dependent diabetes (Bailey & Day 2003). DM atau kencing manis merupakan penyebab kematian tertinggi di antara penyakit non infeksi lainnya. Sekitar 1.08 juta kematian akibat penyakit kardiovaskular (pembuluh darah) yang terjadi di seluruh dunia setiap tahunnya, sebanyak 851 ribu di antaranya merupakan pasien DM. Gejala
penyakit
diabetes
adalah
adanya
keadaan
hiperglikemia
(peningkatan kadar gula darah) yang terus-menerus dan bervariasi, terutama setelah makan. Penyakit diabetes mellitus dapat menyebabkan adanya komplikasi pada tingkat lanjut. Hiperglikemia dapat menyebabkan dehidrasi dan ketoasidosis. Komplikasi jangka lama termasuk penyakit kardiovaskular, kegagalan kronis ginjal, kerusakan retina yang dapat menyebabkan kebutaan, serta kerusakan saraf yang dapat menyebabkan impotensi dan gangren dengan risiko amputasi. Penyakit DM merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkan, tetapi dapat dikontrol. Pengobatan penyakit diabetes pada prinsipnya adalah suatu usaha untuk menjaga agar kadar glukosa darah dapat dipertahankan pada kondisi normal (80-120 mg/dl). Berbagai pilihan obat diabetes baik modern maupun tradisional telah dikenal
di masyarakat. Saat ini terdapat berbagai
pilihan obat diabetes oral yang tersedia untuk penderita diabetes tipe 2 (Bailey & Day 2003). Penggunaan inhibitor enzim dalam pengobatan penyakit telah lazim digunakan dan mengalami perkembangan yang pesat. Nilai ekonomi obat yang tergolong inhibitor enzim diperkirakan mencapai 95.57 milyar dolar pada tahun 2006 (Copeland 2005). Demikian juga dalam pengobatan diabetes, salah satu target obat diabetes adalah menghambat enzim α-glukosidase.
Enzim α-
glukosidase (EC 3.2.1.20) ini berperan dalam pencernaan karbohidrat komplek (amilum) menjadi glukosa di dalam usus halus. Enzim ini menghidrolisis ikatan α1,4-D-glukosa dengan membebaskan molekul glukosa. Dengan dihambatnya
2
aktivitas enzim ini, maka asupan glukosa dari usus ke dalam darah dapat dikurangi. Senyawa aktif yang memiliki aktivitas seperti ini adalah inhibitor αglukosidase. Beberapa senyawa kimia yang telah diketahui merupakan inhibitor α-glukosidase antara lain: pradimicin (Yosuke et al. 1992), deoxynojirimycin (Fischer et al. 1995), acarbose (Hemker et al. 2001), curcumin (Du et al. 2006) dan ceptezole, suatu antibiotik beta laktam (Lee et al. 2007). Beberapa ekstrak tanaman seperti: Pinus densiflora (Kim et al. 2003), Phalleria macrocarpa (Sugiwati et al. 2006) dan Terminalia sp. (Anam et al. 2009) juga diketahui memiliki aktivitas inhibitor α-glukosidase. Selain tanaman, organisme lain seperti cendawan Ganoderma lucidum (Kim & Nho 2004) dan alga (Cannell et al. 1988) serta aktinomiset juga diketahui memiliki aktivitas inhibitor α-glukosidase. Beberapa aktinomiset yang diketahui menghasilkan inhibitor α-glukosidase adalah: Actinomadura verrucosospora (Yosuke et al. 1992), Actinoplanes sp. (Gown 2006), Streptomyces clavuligerus (Lee et al. 2007) dan Micromonospora sp. (Suthindhiran et al. 2009). Senyawa inhibitor α-glukosidase yang telah sukses dikomersialkan adalah acarbose, suatu pseudooligosakarida yang memiliki struktur mirip glukosa. Senyawa ini dihasilkan oleh Actinoplanes sp., suatu aktinomiset yang diisolasi dari suatu daerah di Kenya dan dikomersialkan oleh perusahaan Bayer, Jerman dengan nilai jual 379 juta US dolar pada tahun 2004 (Gown 2006). Pengobatan diabetes secara tradisional pada umumnya dengan memanfaatkan berbagai jenis tanaman yang memiliki kandungan bahan aktif yang dapat menurunkan kadar gula dalam darah. Berbagai tanaman obat yang secara empiris diketahui memiliki khasiat sebagai agen hipoglikemia antara lain adalah: brotowali (Tinospora crispa), pinus (Pinus densiflora), lidah buaya (Alloe vera), bawang putih (Allium sativum), bawang merah (Allium cepa), (Stevia rebaudiana), ubi jalar (Ipomoea batatas),
stevia
sambiloto (Andrographis
paniculata), mengkudu (Morinda citrifolia), delima (Punica granatum), kelapa (Cocos nucifera),
jambelang (Eugenia jambolana),
mahkota dewa (Phaleria
macrocarpha), ginseng (Panax sp), buah merah (Pandanus conoideus) dan pare (Momordica charantia) (Subroto 2006; Klein et al. 2007; Bnouham et al. 2006). Brotowali (Tinospora crispa) telah lama di kenal oleh masyarakat tradisional Indonesia sebagai bahan pembuatan jamu yang di campur dengan tanaman-tanaman herbal lainnya. Brotowali merupakan tanaman herba (perdu) yang hampir semua bagian dari tubuhnya di manfaatkan sebagai obat serba
3
guna yang dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit seperti: kencing manis, hipertensi, dan demam. Kajian ilmiah terhadap tanaman brotowali sebagai obat diabetes telah dilakukan para peneliti. Noor dan Ashcroft (1998) melaporkan bahwa ekstrak T. crispa mampu menstimulasi peningkatan sekresi insulin, sehingga dapat berperan sebagai antihiperglikemia. Noipa dan Ninlaaesong (2011) melaporkan bahwa ekstrak T. crispa dapat meningkatkan laju transpor glukosa ke dalam sel. Uji klinis oleh Sriyapai et al. (2009) menunjukkan bahwa konsumsi serbuk T. crispa dapat menurunkan kadar gula darah setelah makan. Chougale et al. (2009) melaporkan bahwa ekstrak tanaman T.cordifolia memiliki aktivitas inhibitor α-glukosidase. Patela dan Mishrab (2012) menemukan tiga senyawa dari tanaman Tinospora cordifolia yang memiliki kemampuan inhibitor α-glukosidase, yaitu jatrorrhizine, palmatine dan magnoflorine. Senyawasenyawa tersebut memiliki nilai IC50 berturut-turut sebesar 22.05, 38.42 and 7.6 µg/mL untuk jatrorrhizine, palmatine dan magnoflorine. Hasil uji in vivo juga menunjukkan adanya penekanan yang signifikan terhadap kenaikan kadar glukosa plasma darah oleh ketiga senyawa tersebut pada konsentrasi 20 mg/kg berat badan. Senyawa magnoflorine merupakan senyawa paling potensial sebagai inhibitor α-glukosidase di antara ketiga senyawa yang ditemukan tersebut. Selama ribuan tahun, senyawa bioaktif yang berasal dari alam telah memegang peran penting dalam pengobatan dan upaya mempertahankan kesehatan manusia. Senyawa-senyawa tersebut dapat dihasilkan dari berbagai sumber seperti tanaman, hewan maupun mikroorganisme (Chin et al. 2006). Bahan bioaktif alami selain dapat digunakan sebagai obat secara langsung, juga berperan sebagai bahan baku dalam pembuatan senyawa sintetik (Topliss et al. 2002). Tanaman, merupakan salah satu sumber yang sangat penting dalam upaya pengobatan dan upaya mempertahankan kesehatan masyarakat. Sampai saat ini menurut perkiraan badan kesehatan dunia (WHO), 80% penduduk dunia masih
menggantungkan
dirinya
pada
pengobatan
tradisional
termasuk
penggunaan obat yang berasal dari tanaman. Sampai saat ini seperempat dari obat-obat modern yang beredar di dunia berasal dari bahan aktif yang diisolasi dan dikembangkan dari tanaman (Radji 2005). Indonesia yang memiliki keanekaragaman hayati terbesar kedua di dunia berpotensi besar untuk mengembangkan obat herbal yang berbasis pada tanaman obat. Lebih dari 1000 spesies tumbuhan dapat dimanfaatkan sebagai
4
bahan baku obat. Tumbuhan tersebut menghasilkan metabolit sekunder dengan struktur molekul dan aktivitas biologis yang beraneka ragam serta memiliki potensi yang sangat baik untuk dikembangkan menjadi obat berbagai penyakit (Radji 2005). Permasalahan yang muncul dari pemakaian obat herbal adalah bagaimana menjaga tingkat produksi obat herbal tersebut dengan bahan baku yang terbatas karena sebagian besar bahan baku obat herbal diambil dari tanaman induknya. Terdapat kekhawatiran bahwa sumberdaya hayati ini akan musnah karena adanya kendala dalam budidayanya. Bahkan disinyalir bahwa bahan obat herbal yang diproduksi dan diedarkan di Indonesia saat ini sebagian besar bahan bakunya sudah mulai diimpor dari beberapa negara lain (Radji 2005). Mikrob endofit merupakan mikrob yang hidup di dalam jaringan tanaman pada periode tertentu dan mampu membentuk koloni dalam jaringan tanaman tanpa membahayakan inangnya. Mikrob endofit ini dapat berupa cendawan dan bakteri termasuk aktinomiset. Menurut
Tan dan Zou (2001) setiap tanaman
tingkat tinggi dapat mengandung sejumlah mikrob endofit yang mampu menghasilkan senyawa biologi atau metabolit sekunder serupa dengan inangnya yang
diduga
sebagai
akibat
koevolusi
atau
transfer
genetik
(genetic
recombination). Beberapa penelitian telah menunjukkan hasil yang mendukung pendapat tersebut. Strobell dan Daisy (2003) melaporkan bahwa Taxomyces andreanae endofit pada tanaman Taxus menghasilkaan paclitaxel. Paclitaxel adalah senyawa antikanker yang dihasilkan juga oleh tanaman Taxus brevivolia. Taechowisan et al. (2007) melaporkan Streptomyces aureofaciens, endofit pada tanaman jahe menghasilkan senyawa arylcoumarin yang memiliki aktivitas antitumor, dimana tanaman jahe juga memiliki senyawa anti tumor seperti dilaporkan oleh Katiyar et al. (1996). Penelitian Castillo et al. (2002) menunjukkan bahwa Streptomyces NRRL 30562 endofit pada tanaman Kennedia nigriscans mampu menghasilkan antibiotik spektrum luas. Tanaman ini secara tradisional digunakan suku aborigin untuk mencegah infeksi mikrob pada luka. Aktinomiset telah lama diketahui sebagai sumber berbagai senyawa bioaktif yang telah dimanfaatkan dalam berbagai bidang seperti kesehatan, pertanian, maupun industri. Sekitar 70% senyawa bioaktif baru dihasilkan oleh kelompok aktinomiset (Takahashi 2004). Berdasarkan fenomena tersebut, mikrob endofit khususnya aktinomiset pada tanaman obat diharapkan dapat menjawab
5
permasalahan keterbatasan pemakaian tanaman obat sebagai sumber senyawa bioaktif. Eksplorasi mikrob endofit diharapkan dapat menghasilkan metabolit sekunder penting yang memiliki khasiat sama dengan metabolit yang dihasilkan tanaman inangnya. Beberapa tanaman obat khas Indonesia seperti: brotowali, sambiloto, mahkota dewa, ciplukan, dan lain-lain telah diketahui secara empiris memiliki khasiat sebagai obat diabetes. Tanaman obat diabetes merupakan sumber potensial penghasil inhibitor α-glukosidase (Benalla et al 2010). Berdasarkan pendapat Tan dan Zou (2001) yang menyatakan bahwa endofit dapat menghasilkan senyawa yang sama dengan senyawa yang dihasilkan tanaman inangnya maka tanaman obat diabetes merupakan sumber potensial isolat penghasil inhibitor α-glukosidase. Isolat potensial dari tanaman obat tersebut, diharapkan dapat digunakan untuk memproduksi senyawa inhibitor αglukosidase secara mikrobiologis, dengan jumlah yang lebih banyak
dan
kualitas yang lebih baik. Dengan demikian, penelitian tentang potensi mikrob endofit terutama aktinomiset dari tanaman obat diabetes khususnya brotowali untuk menghasilkan senyawa inhibitor α-glukosidase yang berguna dalam pengobatan penyakit diabetes perlu dilakukan. Kerangka pemikiran dari penelitian ini secara ringkas dapat dilihat pada Gambar 1.
Diabetes mellitus (DM) merupakan masalah utama kesehatan (WHO 1999)
Pengobatan diabetes: menjaga glukosa darah tetap normal. Inhibitor alfa glukosidase menunda digesti karbohidrat (Bailey & Day 2003)
Aktinomiset sumber bioaktif terbesar (70%) (Takahashi 2004)
Beberapa Aktinomiset menghasilkan inhibitor αglukosidase (Gown 2006; Lee et al. 2007; Suthindhiran et al. 2009)
Brotowali secara empiris sebagai antidiabet, inhibitor αglukosidase (Subroto 2006; Chougale et al. 2009; Patela & Mishrab 2012)
Endofit mampu menghasilkan bioaktif sama dengan inangnya (Tan & Zou 2001; Strobel & Daisy 2003; Castillo et al. 2002)
Potensi aktinomiset endofit tanaman T. crispa sebagai penghasil senyawa inhibitor α-glukosidase
Gambar 1 Diagram alur kerangka pemikiran penelitian.
6
Perumusan Masalah Inhibitor α-glukosidase dapat dihasilkan oleh berbagai organisme, yaitu tanaman tingkat tinggi, alga, cendawan, bakteri non aktinomiset dan aktinomiset. Tanaman dapat mengandung mikrob endofit yang mampu menghasilkan senyawa biologi atau metabolit sekunder serupa dengan tanaman inangnya. Beberapa tanaman obat, khususnya T. crispa secara empiris diketahui memiliki aktivitas antidiabetes dan menghasilkan α-glukosidase inhibitor. Dengan demikian, dari tanaman obat yang telah diketahui memiliki aktivitas sebagai antidiabetes serta diketahui menghasilkan senyawa inhibitor α-glukosidase akan dapat diperoleh isolat endofit khususnya aktinomiset yang dapat menghasilkan senyawa inhibitor α-glukosidase pula. Berdasarkan hal tersebut, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: 1. Apakah dari tanaman T. crispa yang telah diketahui memiliki khasiat sebagai obat diabetes dapat diperoleh isolat aktinomiset endofit yang dapat menghasilkan senyawa inhibitor α-glukosidase? 2. Bagaimanakah karakteristik dan identitas isolat aktinomiset endofit penghasil inhibitor α-glukosidase yang diperoleh dari tanaman T. crispa tersebut? 3. Bagaimana karakteristik senyawa inhibitor α-glukosidase yang dihasilkan oleh isolat aktinomiset endofit tersebut?
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mendapatkan isolat aktinomiset endofit dari tanaman T. crispa yang telah dikenal memiliki khasiat sebagai antidiabetes, yang berpotensi sebagai penghasil senyawa inhibitor α-glukosidase. 2. Mengkarakterisasi
dan
mengidentifikasi
isolat
aktinomiset
endofit
penghasil senyawa inhibitor α-glukosidase terpilih. 3. Mengkarakterisasi dan mengidentifikasi senyawa inhibitor α-glukosidase yang dihasilkan oleh isolat aktinomiset endofit terpilih. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi landasan ilmiah untuk memproduksi senyawa inhibitor α-glukosidase secara mikrobiologis yang dapat digunakan sebagai agen antihiperglikemia. Inhibitor α-glukosidase memiliki nilai
7
komersial tinggi karena kebutuhan obat diabetes semakin meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penderita diabetes. Produksi senyawa inhibitor α-glukosidase secara mikrobiologis ini diharapkan lebih murah dan lebih efisien dibandingkan dengan cara mengekstrak dari tanaman obat secara langsung karena dibutuhkan tanaman obat dalam jumlah yang besar serta sulitnya penyeragaman kualitas bahan baku tanaman obat. Dengan demikian, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi terobosan teknologi dalam penyediaan bahan obat diabetes khususnya di Indonesia.
Novelty Berdasarkan penelusuran literatur yang telah dilakukan, hingga saat ini belum ada laporan kajian tentang inhibitor α-glukosidase dari aktinomiset endofit, apalagi yang diisolasi dari tanaman T. crispa yang merupakan salah satu tanaman obat tradisional di Indonesia. Beberapa informasi yang menyebutkan adanya aktinomiset penghasil inhibitor α-glukosidase di atas semuanya adalah bukan aktinomiset endofit. Dengan demikian penelitian ini memiliki unsur kebaharuan yang akan menambah khasanah ilmu pengetahuan tentang potensi aktinomiset sebagai penghasil senyawa bioaktif, khususnya senyawa inhibitor α-glukosidase dari aktinomiset endofit tanaman T. crispa.
Hipotesis Penelitian Berdasar kerangka pemikiran dari uraian pada latar belakang bahwa: a) inhibitor α-glukosidase dapat dihasilkan oleh berbagai organisme, yaitu tanaman tingkat tinggi, alga, cendawan, bakteri non aktinomiset dan beberapa aktinomiset, b) terdapat beberapa temuan penelitian yang menyatakan bahwa beberapa mikrob endofit dapat menghasilkan senyawa yang serupa dengan tanaman inangnya, dan c) tanaman T. crispa diketahui memiliki aktivitas inhibitor α-glukosidase, maka dapat dirumuskan suatu hipotesis: aktinomiset endofit penghasil senyawa inhibitor α-glukosidase dapat diisolasi dari tanaman brotowali. Isolat aktinomiset yang diperoleh mampu menghasilkan inhibitor α-glukosidase secara in vitro.
8
9
TINJAUAN PUSTAKA Penyakit Diabetes Melitus Diabetes melitus (DM) atau dikenal sebagai kencing manis adalah penyakit yang ditandai dengan hiperglikemia (peningkatan kadar gula darah) yang terus-menerus dan bervariasi, terutama setelah makan. Sumber lain menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan diabetes melitus adalah keadaan hiperglikemia kronik disertai berbagai kelainan metabolik akibat gangguan hormonal, yang menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal, dan pembuluh darah, disertai lesi pada membran basalis (Bailey & Day 2003). Semua jenis diabetes melitus memiliki gejala yang mirip dan komplikasi pada tingkat lanjut. Hiperglikemia sendiri dapat menyebabkan dehidrasi dan ketoasidosis. Komplikasi jangka lama termasuk penyakit kardiovaskular, kegagalan kronis ginjal (penyebab utama dialisis), kerusakan retina yang dapat menyebabkan kebutaan, serta kerusakan saraf yang dapat menyebabkan impotensi dan gangren dengan risiko amputasi. Komplikasi yang lebih serius lebih umum terjadi bila kadar gula darah tidak dikendalikan dengan baik (WHO 1999). Penyebab diabetes yang utama adalah karena kurangnya produksi insulin (DM tipe 1, yang pertama dikenal), atau kurang sensitifnya jaringan tubuh terhadap insulin (diabetes melitus tipe 2, bentuk yang lebih umum). Selain itu, terdapat jenis diabetes melitus yang juga disebabkan oleh resistensi insulin yang terjadi pada wanita hamil. Tipe 1 membutuhkan penyuntikan insulin, sedangkan tipe 2 diatasi dengan pengobatan oral dan hanya membutuhkan insulin bila obatnya tidak efektif. Diabetes melitus pada kehamilan umumnya sembuh dengan sendirinya setelah persalinan (WHO 1999). Inhibitor α-Glukosidase dalam Pengobatan Diabetes Inhibitor α- glukosidase merupakan obat diabetes yang digunakan per oral untuk pengobatan diabetes melitus tipe 2 yang bekerja dengan cara mencegah digesti karbohidrat terutama amilum menjadi glukosa. Karbohidrat secara normal akan dikonversi menjadi gula sederhana atau monosakarida yang dapat diabsorbsi melalui instestinum. Dengan demikian inhibitor α- glukosidase berperan dalam mengurangi pengaruh karbohidrat terhadap kandungan gula darah.
10
Inhibitor α- glukosidase digunakan untuk mempertahankan kadar gula agar tidak terjadi hiperglikemia di dalam diabetes melitus type 2. Obat ini dapat digunakan sebagai monoterapi atau digunakan bersama obat diabetes lainnya. Inhibitor α- glukosidase dapat berupa senyawa sakarida yang berperan sebagai inhibitor kompetitif dari enzim yang diperlukan untuk mendigesti karbohidrat, khususnya enzim α- glukosidase yang terdapat di dalam fili-fili usus kecil. Enzim α-glukosidase yang terdapat pada membran sel-sel usus kecil menghidrolisis oligosakarida, trisakarida dan disakarida menjadi glukosa dan monosakarida lainnya yang terdapat di dalam usus kecil. Salah satu contoh inhibitor α-glukosidase adalah acarbose. Acarbose merupakan inhibitor α-glukosidase yang telah diterima di Amerika untuk pengobatan diabetes tipe 2. Efek langsung dari antidiabetes ini adalah menunda digesti karbohidrat komplek dan disakarida menjadi monosakarida yang mudah diabsorbsi yaitu glukosa. Hal ini dapat tercapai oleh adanya penghambatan reversibel terhadap enzim α-glukosidase (termasuk sukrase dan maltase) yang terdapat di dalam duodenum. Pada pasien diabetes tipe 2, enzim ini menghambat
penundaan
absorbsi
glukosa
sebagai
kelanjutan
proses
pencernaan karbohidrat kompleks. Acarbose tidak menimbulkan pengaruh secara langsung terhadap resistensi insulin atau pengambilan glukosa yang distimulasi insulin pada manusia (Clark 1998). Acarbose merupakan pseudooligosakarida yang dihasilkan oleh genus Actinoplanes dan telah digunakan untuk pengobatan pasien diabetes. Senyawa ini sangat efektif untuk menghambat kerja enzim α-amilase, α-glukosidase, dan sukrase. Struktur senyawa acarbose dapat dilihat pada Gambar 2 berikut.
Gambar 2 Struktur senyawa acarbose (Zhang et al. 2002).
11
Inhibitor enzim memiliki nilai potensi digunakan dalam pengendalian dan pengobatan berbagai jenis penyakit.
Pengendalian kinetika pencernaan
karbohidrat dan absorbsi glukosa dapat digunakan sebagai sarana mencegah dan terapi terhadap penyakit diabetes, obesitas, hiperlipoproteinemia dan hiperlipidemia.
Kaitannya dengan hal ini, inhibitor α-glukosidase merupakan
enzim hidrolase amilolitik yang membebaskan glukosa dari ujung non reduksi dari molekul polisakarida dan oligosakarida (Kim & Nho 2004). Senyawa inhibitor α-glukosidase SKG-3 telah berhasil diisolasi dari Ganoderma kromatografi.
lucidum
dengan
fraksinasi
menggunakan
berbagai
teknik
Senyawa yang telah dipurifikasi dikonfirmasi menggunakan
kromatografi lapis tipis (KLT) dan High Pressure Liquid Chromatography (HPLC). Senyawa SKG-3 murni menunjukkan spot tunggal pada
pelat TLC dan
menunjukkan satu puncak pada HPLC dengan waktu retensi 13 menit. Pengaruh konsentrasi SKG-3 terhadap daya hambat terhadap berbagai glikosidase diuji dan hasilnya secara jelas menunjukkan bahwa SKG-3 potensial dalam menghambat α-glukosidase yang ditunjukkan nilai IC50 sebesar 4,6 µg/ml. SKG-3 tidak menunjukkan aktivitas penghambatan terhadap
beta glukosidase, beta
galaktosidase atau α-mannosidase yang diujikan pada konsentrasi 100 µg/ml (Kim & Nho 2004). Daya hambat SKG-3 terhadap α-glukosidase akan meningkat dengan melakukan preinkubasi senyawa SKG-3 dengan enzim mengindikasikan bahwa senyawa ini bereaksi lambat dengan enzim α-glukosidase. Senyawa SKG-3 dapat dipisahkan dari α-glukosidase dengan dialisis. Ketika α-glukosidase dicampur dengan sejumlah SKG-3 yang menghasilkan penghambatan 90%, campuran reaksi ditempatkan pada kantong dialisis, hampir semua enzim dapat diperoleh kembali dan memiliki aktivitas yang tinggi. Hasil ini menunjukkan bahwa penghambatan SKG-3 terhadap α- glukosidase bersifat reversibel (Kim & Nho 2004). Penelitian Xiancui et al. (2005) menunjukkan bahwa beberapa spesies makro alga juga dapat menghasilkan senyawa inhibitor α-glukosidase. Ekstrak kasar makroalga seperti Rhodomela confervoides, Gracillaria textorii, Plocamium telfairie, Ulva pertusa dan Enteromorpha intestinalis menunjukkan adanya penghambatan yang kuat terhadap α-glukosidase pada konsentrasi 79,6 µg/ml. Hasil penelitian Cannell et al. (1988) diperoleh senyawa pentagalloyl-glucose, suatu inhibitor α-glukosidase dari alga air tawar Spirogyra varians. Aktivitas
12
inhibitor α- glukosidase juga ditunjukkan dari ekstrak air douchi (produk makanan fermentasi kedelai dari Cina). Kultur murni Aspergillus oryzae yang digunakan untuk fermentasi douchi di laboratorium ini, mampu menghasilkan inhibitor αglukosidase lebih tinggi dari pada isolat Actinomucor elegans dan Rhizopus arrhizus (Chen et al. 2004). Suatu antibiotik beta laktam ceftezole, dilaporkan memiliki aktivitas menghambat α-glukosidase. Uji in vitro terhadap α-glukosidase, senyawa ini menunjukkan adanya hambatan yang reversibel. Senyawa SKG-3 diketahui juga merupakan
hambatan
non
kompetitif.
Percobaan
pada
mencit
diabet
menunjukkan bahwa pemberian ceptezole (10 mg/kg/hari) dapat menurunkan kadar glukosa darah sebesar 30% dalam waktu 20 menit setelah pemberian obat tersebut (Lee at al. 2007). Senyawa inhibitor α-glukosidase juga dapat dihasilkan oleh binatang spon laut Penares sp. Senyawa yang dihasilkan hewan tersebut adalah penarolide sulfat A1 dan A2, suatu makrolida yang merupakan kelompok senyawa poliketida. Senyawa tersebut memiliki nilai IC50 berturut-turut 1.2 dan 1.5 μg/ml (Nakao et al. 2000). Kajian inhibitor α-glukosidase pada beberapa organisme diringkaskan pada Tabel 1. Berdasarkan informasi pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa inhibitor αglukosidase dapat dihasilkan oleh berbagai kelompok organisme seperti: tanaman, alga, cendawan, aktinomiset maupun bakteri non aktinomiset. Dari tabel tersebut terlihat bahwa kelompok aktinomiset telah cukup banyak dilaporkan mampu menghasilkan senyawa inhibitor α-glukosidase. Namun demikian, dari semua aktinomiset penghasil inhibitor α-glukosidase tersebut, tidak satupun yang dilaporkan sebagai aktinomiset endofit. Berdasarkan fakta tersebut terbuka peluang yang besar untuk mendapatkan isolat-isolat baru aktinomiset penghasil inhibitor α-glukosidase, khususnya aktinomiset endofit yang diisolasi dari tanaman obat.
13
Tabel 1 Beberapa organisme penghasil senyawa inhibitor α- glukosidase No
Organisme penghasil
Tumbuhan Pisonia alba 1 Terminalia sp. 2 Bergenia ciliata 3 Piptadenia africana 4 5 6
Curcuma longa Pinus densiflora
Cendawan Ganoderma lucidum 1
Bahan aktif
Pustaka
ekstrak etanol ekstrak etanol 96% ekstrak kasar piptadienol
Sunil et al. 2009 Anam et al. 2009 Bhandari et al. 2008 Mbouangouere et al. 2008 Du et al. 2006 Kim et al. 2003
curcumin ekstrak etanol 70%
Kim et al. 2004
2
Penicillium sp
SKG-3, senyawa belum diidentifikasi Cyclo (dehydroala-L-Leu)
Alga 1 2
Ecklonia stolonifera Spirogyra varians
phlorotannin pentagalloyl glucosa
Moon et al. 2011 Cannell et al. 1988
ekstrak etil asetat
Suthindhiran et al. 2009 Lee et al. 2007
Aktinomiset Micromonospora 1 2 3 4
Streptomyces clavurigus Actinoplanes sp. Actinomadura verrucospora
Bakteri non aktinomiset Bacillus subtilis 1
ceftezole, suatu antibiotik beta laktam acarbose pradimicin Q, C24H16O10
Ekstrak kasar
Kwoon et al. 2000
Hemker et al. 2001 Yosuke et al. 1992
Zhu et al. 2008
Tanaman Obat Diabetes Bnouham et al. (2006) melaporkan bahwa setidaknya ada 176 spesies tanaman yang berasal dari 84 famili yang telah dikaji di berbagai negara dan menunjukkan potensi yang tinggi di dalam pengobatan penyakit diabetes. Beberapa tanaman yang sangat potensial tersebut antara lain adalah famili: Leguminoseae (11 spesies), Lamiaceae (7 spesies), Liliaceae (8 spesies), Cucurbitaceae (7 spesies), Asteraceae (6 spesies), Moraceae (6 spesies), Rosaceae (6 spesies), Euphorbiaceae (5 spesies) and Araliaceae (5 spesies). Spesies yang paling banyak dikaji adalah: Citrullus colocynthis, Opuntia streptacantha Lem. (Cactaceae), Trigonella foenum greacum L. (Leguminosae), Momordica charantia L. (Cucurbitaceae), Ficus bengalensis L. (Moraceae), Polygala senega L. (Polygalaceae) dan Gymnema sylvestre R. (Asclepiadaceae).
14
Tanaman Lagerstroemia speciosa (Lythraceae), yang di kawasan Asia Tenggara dikenal dengan nama banaba, secara tradisional telah dikonsumsi masyarakat dalam berbagai bentuk untuk pengobatan diabetes dan penyakit ginjal. Pada tahun 1990-an popularitas tanaman ini telah menarik perhatian para ilmuwan di berbagai negara. Sejak saat itu, konsistensi aktivitas anti diabetes dari tanaman ini diuji secara in vitro maupun in vivo (Klein et al. 2007). DM merupakan penyakit yang umum terjadi di berbagai negara, sehingga upaya pengobatan penyakit DM mulai tradisional hingga modern banyak dilakukan. Sejumlah penelitian tanaman obat yang memiliki khasiat sebagai antidiabetes juga telah dilakukan oleh ilmuwan di berbagai negara (Tabel 2). Tabel 2 Kajian tanaman obat diabetes di berbagai negara No
Tanaman
Negara
Informasi bahan aktif
Referensi
1
Ceiba pentandra
Afrika Selatan
Djoemeni et al. 2006
2
Helichrysum odoratissimum, Helichrysum nudifolium, Artemisia afra, Vernonia oligocephala Coccinia cordifolia, Catharanthus roseus
Afrika Selatan
ekstrak C. pentandra pada dosis rendah 40 mg/kg bb menurunkan glukosa darah 40.0% dan 48.9%, pada tikus normal dan tikus diabet secara tradisional dikonsumsi sebagai sayur atau lalap
Akhtar et al. 2007
4
Cissus sicyoides
Brazilia
5
Panax ginseng
Cina
6
Andrographis paniculata
Malaysia
7
India
8
Murraya konigii, Ocimum tenuiflorum Syzygium cumini
9
Acacia catechu,
India
ekstrak metanol daun tanaman C. cordifolia dan C. roseus memiliki efek antihiperglikemik pada tikus diabet yang diinduksi dengan aloksan senyawa aktif yang terkandung pada tanaman ini juga memiliki aktivitas antimikrob senyawa ginsenosida hasil ekstraksi secara signifikan sebagai antihiperglikemik pada mencit yang kegemukan pemberian secara oral ekstrak etanol Andrographis paniculata berperan dalam meningkatkan sensitivitas insulin dan penundaan perkembangan resistensi insulin ekstrak kloroform Ocimum tenuiflorum dan Murraya konigii menghambat α- glukosidase diperoleh senyawa mycaminose yang memiliki efek antidiabet pada tikus berbagai tanaman tersebut
3
Bangladesh
India
Mahop & Mayet 2007
Beltrame et al. 2002 Attele et al. 2002
Subrama nian et al. 2008
Bhat et al. 2008 Kumar et al. 2008 Jeyacand
15
10
Alpinia calcarata, Budea monosperma Melia dubia
India
11
Phyllanthus fraternus
India
12
Tribullus terrestris
India
13
Terminalia sp.
Indonesia
14
Shorea balanocarpoides
Indonesia
15
Andrographis paniculata
Indonesia
16
Phalleria macrocarpa
Indonesia
17
Tanaman famili Apocynaceae,Clus iaceae, Euphorbiaceae, Rubiaceae Verbascum cermanensis, Rosa damascene, Rosmarinus officinnalis Viscum album
Indonesia
20
Chrysanthemum coronarium, Dioscorea batatas, Morus alba, Citrus unshiu
Korea
21
Guaiacum coulteri, Psacalium peltatum dan Psidium guajava Azadirachta indica
Mexico
18
19
22
secara tradisional digunakan dalam ayurveda sebagai obat antidiabet ekstrak alkhohol M. dubia efektif sebagai agen hipoglikemik ekstrak etanol P. fraternus memiliki efek antidiabet dan antioksidan dibanding obat standar tolbutamide. ekstrak T. terrestris dapat menurunkan gula darah mencit hiperglikemia ektrak metanol daun terminalia mampu menghambat αglukosidase, nilai IC50 5µg/ml ekstrak kayu raru dari jenis S. balanocarpoides memiliki inhibisi terhadap α- glukosidase berkisar 88-97%. ekstrak etanol herba sambiloto mempunyai efek menurunkan glukosa darah pada uji toleransi glukosa ekstrak buah mahkota dewa memiliki aktivitas inhibitor αglukosidase yang memiliki efek antihiperglikemia pada tikus putih berbagai ekstrak memiliki aktivitas lebih tinggi dari acarbose
ran & Mahes 2007 Susheela et al. 2008 Garg et al. 2008
Lamda et al. 2011 Anam et al. 2009 Pasaribu, 2009
Yulinah et al. 2001
Sugiwati et al. 2006
Elya et al. 2012
Iran
ekstrak metanol dan air beberapa tanaman tersebut menghambat di atas 50% terhadap α- glukosidase
Gholamh oseinian et al. 2008
Inggris
terdapat senyawa aktif dalam tanaman Viscum album yang berperan meningkatkan sekresi insulin, sebagai senyawa antidiabetes pemberian ekstrak C. coronarium dan M. alba memiliki efek hipoglikemik pada tikus diabet setara dengan glibenclamide. Pemberian ekstrak C.unshiu menunjukkan efek antihiperlipidemik dibanding antidiabetik. P. peltatum dan G. coulteri memiliki efek antihiperglikemik pada kelinci diabet dan kelinci sehat. ekstrak tanaman tersebut baik
Gray & Flat 1999
Nigeria
Kim et al. 2006
Aguilar et al. 2003
Ebong et
16
dan Vernonia amygdalina
23
Lagerstroemia speciosa
Philipina
24
Flemingia sp
Taiwan
secara kombinasi atau secara sendiri dapat mereduksi kadar gula darah yang setara dengan clorpropamid. digunakan sebagai obat diabetes di Philipina, mengandung tannic acid dan penta galoil glucose (PGG) ekstrak air Flemingia sp memiliki IC50 253 µg/ml terhadap αglukosidase
al. 2008
Klein et al. 2007
Hsieh et al. 2010
Di Indonesia, juga dikenal berbagai tanaman yang dikenal memiliki kasiat sebagai obat diabetes seperti sambiloto, brotowali, ciplukan, daun dewa, pare, dan mahkota dewa. Tanaman tersebut secara empiris telah digunakan oleh masyarakat Indonesia untuk pengobatan diabetes. Beberapa kajian ilmiah juga telah dilakukan untuk mengetahui kandungan bahan aktif tanaman ataupun mekanisme kerja bahan aktif tanaman dalam menurunkan kadar gula darah. Yulinah et al. (2001) melaporkan bahwa ekstrak etanol tanaman sambiloto mampu menurunkan kadar gula darah tikus putih yang menderita hiperglikemia. Ekstrak buah mahkota dewa juga dilaporkan memiliki kemampuan sebagai anti hiperglikemia melalui aktivitas inhibitor α-glukosidase (Sugiwati et al. 2006). Pasaribu (2009) melaporkan bahwa kayu raru (Shorea sp) memiliki aktivitas inhibitor α- glukosidase. Di samping, itu masih banyak jenis-jenis tanaman dii Indonesia dari famili Apocynaceae, Clusiaceae, Euphorbiaceae, dan Rubiaceae yang memiliki aktvitas inhibitor α-glukosidase (Elya et al. 2011).
Tanaman brotowali (T. crispa) Klasifikasi tanaman brotowali adalah sebagai berikut: Kingdom: Plantae Subkingdom: Tracheobionta Super Divisi: Spermatophyta Divisi: Magnoliophyta Kelas: Magnoliopsida Sub Kelas: Magnoliidae Ordo: Ranunculales Famili: Menispermaceae Genus: Tinospora Spesies: Tinospora crispa
17
Tanaman brotowali merupakan salah satu tanaman obat yang terkenal dari Asia Tenggara. Tanaman ini sudah berabad-abad dikenal sebagai salah satu tanaman obat yang sangat manjur. Penyebaran brotowali di Asia meliputi: wilayah Cina, Semenanjung Melayu, Filipina, India dan Indonesia. Brotowali mulai tersebar ke seluruh penjuru benua setelah terjadi hubungan dagang antar benua. Hal tersebut di karenakan manfaatnya yang sangat besar sebagai bahan baku obat-obatan. Brotowali merupakan tanaman obat tradisional Indonesia yang biasa ditanam di pekarangan atau tumbuh liar di hutan. Rebusan batangnya yang terasa sangat pahit biasa dijadikan obat rematik, menurunkan kadar gula darah dan menurunkan panas. Di Indonesia, selain dikenal dengan nama bratawali, tanaman ini juga dikenal dengan nama daerah andawali, antawali, putrawali atau daun gadel. Tinospora crispa, termasuk suku Menispermaceae, klas Magnoliopsida (Dicotyledoneae), divisi Magnoliophyta (Spermatophyta). Ciri-ciri penting dari tumbuhan ini: liana, membelit dengan batang dan ranting, batang sukulen dan berbenjol-benjol; daun tunggal, tanpa stipula, tulang daun menjari, fitotaksis tersebar; bunga uniseksual, trimeros, aksiler atau cauliflorous; buah batu; tipe daun dorsiventral, stomata anomositik; berkas pembuluh kolateral terbuka; pada bagian korteks batang terdapat lengkungan sklerenkim; kandungan kimianya terdiri atas: amilum, pikroretin, pikroretosida, alkaloida, saponin, tanin. (Santa et al. 1998) Brotowali atau Tinospora crispa (L.) Miers ex Hoff. memiliki sinonim T. cordifolia (Thunb.) Miers, T. rumphii Boerl, T. tuberculata, Cocculus crispum, Menispermum crispum, M. tuberculatum, M. verrucosum. Di setiap daerah dan negara juga memiliki berbagai macam nama yang berbeda-beda. Walaupun persebarannya sudah ke seluruh benua tetapi belum di temui keragaman tingkat subgenus yang mencolok. Hal tersebut disebabkan karena tanaman ini termasuk tanaman yang mudah bertahan hidup dalam kondisi ekstrim. Hasil penelitian menunjukkan bahwa brotowali mengandung berbagai macam zat kimia yang sangat membantu sekali dalam proses penyembuhan. Brotowali telah lama di kenal oleh masyarakat tradisional Indonesia sebagai bahan pembuatan jamu yang di campur dengan tanaman-tanaman herbal lainnya.
Brotowali merupakan tanaman herba (perdu) yang hampir semua
bagian dari tubuhnya di manfaatkan sebagai obat serba guna yang dapat
18
menyembuhkan berbagai macam penyakit seperti: diabetes melitus, hipertensi, dan demam. Kajian ilmiah terhadap tanaman brotowali sebagai obat diabetes telah dilakukan para peneliti. Noor dan Ashcroft (1997) melaporkan bahwa ekstrak T. crispa mampu menstimulasi peningkatan sekresi insulin, sehingga dapat berperan sebagai antihiperglikemia. Noipa dan Ninlaaesong (2011) melaporkan bahwa ekstrak T. crispa dapat meningkatkan laju transpor glukosa ke dalam sel. Chougale et al. (2009) melaporkan bahwa ekstrak tanaman T. cordifolia memiliki aktivitas inhibitor α-glukosidase. Patela dan Mishrab (2012) menemukan tiga senyawa dari tanaman Tinospora cordifolia yang memiliki kemampuan
inhibitor
α-glukosidase,
yaitu
jatrorrhizine,
palmatine
dan
magnoflorine. Senyawa-senyawa tersebut memiliki nilai IC50 berturut-turut sebesar
22.05, 38.42 and 7.6 µg/mL untuk jatrorrhizine, palmatine dan
magnoflorine. Hasil uji in vivo juga menunjukkan adanya penekanan yang signifikan terhadap kenaikan kadar glukosa plasma darah oleh ketiga senyawa tersebut pada konsentrasi 20 mg/kg berat badan. Senyawa magnoflorine merupakan senyawa paling potensial sebagai inhibitor α-glukosidase diantara ketiga senyawa yang ditemukan tersebut. Uji klinis oleh Sriyapai et al. (2009) menunjukkan bahwa konsumsi serbuk T. crispa dapat menurunkan kadar gula darah setelah makan. Mikrob Endofit Mikrob endofit adalah mikrob yang hidup di dalam jaringan tanaman pada periode tertentu dan mampu hidup dengan membentuk koloni dalam jaringan tanaman tanpa membahayakan inangnya. Setiap tanaman tingkat tinggi dapat mengandung beberapa mikrob endofit yang mampu menghasilkan senyawa biologi atau metabolit sekunder yang diduga sebagai akibat koevolusi atau transfer genetik (genetic recombination) dari tanaman inangnya ke dalam mikrob endofit (Tan & Zou 2001). Kemampuan mikrob endofit memproduksi senyawa metabolit sekunder sesuai dengan tanaman inangnya merupakan peluang yang sangat besar dan dapat diandalkan untuk memproduksi metabolit sekunder dari mikrob endofit yang diisolasi dari tanaman inangnya tersebut. Sekitar 300000 jenis tanaman yang tersebar di muka bumi ini, masing-masing tanaman mengandung satu atau lebih mikrob endofit yang terdiri dari bakteri dan cendawan (Strobel & Daisy 2003). Apabila endofit yang diisolasi dari suatu tanaman obat dapat
19
menghasilkan metabolit sekunder sama dengan tanaman inangnya atau bahkan dalam jumlah yang lebih tinggi, maka tidak perlu mengambil tanaman aslinya untuk diambil sebagai simplisia. Berbagai jenis endofit telah berhasil diisolasi dari tanaman inangnya, dan telah berhasil dibiakkan dalam media sintetik yang sesuai. Demikian pula metabolit sekunder yang diproduksi oleh mikrob endofit tersebut telah berhasil diisolasi dan dimurnikan serta telah dielusidasi struktur molekulnya. Berbagai produk mikrob endofit yang telah dilaporkan adalah sebagai antibiotik, antivirus, antikanker, antioksidan, antidiabetes, imunosupresif dan lain-lain (Strobel & Daisy 2003). Endofit yang telah dilaporkan memiliki aktivitas antidiabet adalah Pseudomassaria sp. Endofit yang diisolasi dari hutan dekat Kinshasa, Republik Congo ini mampu menghasilkan senyawa non peptida (L-783,281). Senyawa ini memiliki aktivitas yang menyerupai insulin, tetapi tidak seperti insulin karena tidak terdegradasi di dalam sistem pencernaan, sehingga dapat digunakan secara oral. Pemberian secara oral senyawa L-783,281 terhadap hewan model mencit diabetes menunjukkan adanya penurunan kadar gula darah secara signifikan. Hasil ini memberi kemungkinan terapi baru terhadap diabetes (Strobel & Daisy 2003). . Aktinomiset Endofit dan Potensinya Aktinomiset telah lama diketahui sebagai sumber berbagai senyawa bioaktif yang telah dimanfaatkan dalam berbagai bidang seperti kesehatan, pertanian, maupun industri. Beberapa hasil penelitian di bawah ini merupakan contoh potensi aktinomiset endofit yang mampu menghasilkan senyawa bioaktif yang berguna dalam bidang medis. Streptomyces sp. strain NRRL 30562 merupakan isolat endofit dari tanaman obat snakevine (Kennedia nigriscans) yang mampu menghasilkan antibiotik berspektrum luas yang disebut munumbicin. Senyawa ini dapat menghambat pertumbuhan Bacillus anthracis, dan Mycobacterium tuberculosis yang multi resisten terhadap berbagai obat anti tuberkulosis, sehingga senyawa ini berpotensi digunakan untuk pengobatan terhadap penyakit tuberkulosis (Castillo et al. 2002). Jenis endofit lainnya yang juga menghasilkan antibiotik berspektrum luas adalah aktinomiset endofit yang diisolasi dari tanaman Grevillea pteridifolia.
20
Endofit ini menghasilkan metabolit kakadumycin. Aktivitas anti bakterinya sama seperti munumbicin (Castillo et al. 2003). Streptomyces sp. (MSU-2110) yang merupakan isolat endofit pada tanaman Monstrea sp. mampu menghasilkan antibiotik coronamycin yang dapat menghambat cendawan Cryptococcus neoformans yang bersifat patogen pada manusia (Ezra et al. 2004). Paclitaxel dan derivatnya merupakan zat yang berkhasiat sebagai anti kanker yang pertama kali ditemukan yang diproduksi oleh mikrob endofit. Paclitaxel merupakan senyawa diterpenoid yang terdapat dalam tanaman Taxus. Senyawa yang dapat mempengaruhi molekul tubulin dalam proses pembelahan sel-sel kanker ini, dapat diproduksi oleh endofit Pestalotiopsis microspora yang terdapat pada tanaman Taxus andreanae, T. brevifolia, dan T. wallichiana (Strobel 2001). Beberapa aktinomiset endofit lainnya seperti Kitasatospora dan Micromonospora telah dapat diisolasi dari tanaman Taxus yang mampu menghasilkan berbagai senyawa taxane yang memiliki aktivitas sebagai antitumor (Caruso et al. 2000). Streptomyces aureofaciens CMUAc130 yang diisolasi dari jaringan akar tanaman jahe (Zingiber officinale) dapat menghasilkan senyawa 4-arylcoumarin yang memiliki aktivitas anti tumor. Pemberian senyawa ini secara intra peritonial dapat menghambat perkembangan sel Lewis Lung Carcinoma (LLC). Senyawa 4-arylcoumarin menunjukkan aktivitas anti tumor dengan nilai T/C 80.8 dan 50,0% pada dosis 1 dan 10 mg/kg berat badan (dalam bentuk 5,7-dimetoxy-4pherylcoumarin) dan 81.5 dan 44.9% pada dosis 1 dan 10 mg/kg (dalam bentuk 5,7-dimetoxy-4-phenylcoumarin).
Kontrol
positif
yang
berupa
senyawa
adriamycin menunjukkan nilai T/C 55.9% pada dosis 2 mg/kg berat badan (Taechowisan
et
al.
2007).
Senyawa
pterocidin
yang
dihasilkan
oleh
Streptomyces hygroscopicus merupakan senyawa sitotoksik terhadap beberapa human cancer cell lines sehingga berpotensi digunakan untuk pengobatan kanker (Igarashi et al. 2006). Munumbicin C dan D yang dihasilkan dari Streptomyces endofit sangat berpotensi digunakan sebagai obat anti malaria. Hasil pengujian terhadap Plasmodium falciparum menunjukkan bahwa nilai IC50 dari munumbicin tersebut masing-masing 6.5 dan 4.5 ng/ml, lebih rendah dari IC 50 cloroquin yang merupakan gold standar obat anti malaria yaitu 7.0 ng/ml (Castillo et al. 2002). Streptomyces sp. (MSU-2110) yang merupakan isolat endofit pada tanaman Monstrea sp. mampu menghasilkan antibiotik peptida yang disebut coronamicin.
21
Senyawa ini juga memiliki kemampuan dalam menghambat
Plasmodium
falciparum dengan IC50 sebesar 9 ng/ml sehingga berpotensi juga digunakan sebagai obat antimalaria (Ezra et al. 2004). Ringkasan kajian aktinomiset endofit pada beberapa tanaman dan potensinya dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Kajian aktinomiset endofit pada beberapa tanaman dan potensinya No
4
Aktinomiset endofit Microbispora Streptomyces Micromonospora Pseudonocardia oroxyli sp. Streptomyces Microbispora Micromonospora Nocardiades Streptomyces sp
5
Streptomyces sp
6
Streptomyces hygroscopicus Streptomyces sp
1 2 3
7
Tanaman inang
Potensi
Pustaka
Brassica campestris
biokontrol terhadap Plasmodiospora brassicae belum dilaporkan
Sun et al. 2008
biokontrol patogen tanaman
Coombs & Franco 2003
biokontrol terhadap Candida albicans dan Fusarium oxysporum menghasilkan cyclopentenone senyawa sitotoksik (pterocidin) menghasilkan coronamicin (antifungi, antimalaria) menghasilkan coumarin (antitumor)
Taecowisan & Lumyong 2003 Lin et al. 2005
Oroxylum indicum Gandum
Zingiber officinale Alpinia galanga Aegiceras comiculatum Monstrea
Gu et al. 2006
Igarashi et al. 2006 Ezra et al. 2004
8
Streptomyces aureofaciens
Zingiber officinale
9
Kitasatospora Micromonospora Streptomyces Streptomyces sp
Taxus sp
menghasilkan taxane (antikanker)
Caruso et al. 2000
Kennedia nigriscans
menghasilkan munumbicin (antifungi, antimalaria, anti TBC
Castillo et al. 2002
10
Taecowisan et al. 2007
Studi awal telah dilakukan Irawan (2008) dengan melakukan isolasi aktinomiset endofit dari tanaman ciplukan, temulawak dan brotowali. Lima belas isolat aktinomiset yang telah diperoleh, dua diantaranya mampu menghasilkan inhibitor α-glukosidase, yaitu isolat Tc-2.1 (dari brotowali) dan Cx-10.1 (dari temu lawak). Hasil pengujian awal menunjukkan ekstrak kasar isolat Cx-10.1 memiliki daya hambat lebih besar dibandingkan dengan Glucobay 0.1% terhadap enzim α-glukosidase. Tabel 3 di atas menunjukkan bahwa sejumlah aktinomiset endofit dapat diisolasi dari berbagai jenis tanaman. Isolat-isolat aktinomiset endofit tersebut
22
juga dilaporkan mampu menghasilkan senyawa bioaktif dalam medium sintetik di laboratorium. Kenyataan ini mengindikasikan adanya peluang yang besar untuk mendapatkan isolat-isolat baru aktinomiset endofit dalam rangka pencarian senyawa bioaktif baru, khususnya senyawa inhibitor α-glukosidase.
23
METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Departemen Biologi dan di Laboratorium Kimia Analitik Departemen Kimia, FMIPA IPB dari bulan April 2009 sampai dengan Maret 2012. Isolasi Aktinomiset Endofit Sampel tanaman brotowali (Tinospora crispa) diperoleh dari Kebun Koleksi Tanaman Obat, Pusat Studi Biofarmaka, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sampel tanaman berupa bagian akar, batang dan daun tanaman brotowali. Disamping brotowali, beberapa tanaman obat yang telah diketahui memiliki kasiat sebagai obat diabetes juga dilakukan isolasi aktinomiset endofitnya, yaitu: lidah buaya (Alloe vera), mahkota dewa (Phaleria macrocarpa), temu ireng (Curcuma aeruginosa), pegagan (Centela asiatica), tempuyung (Xoncus arvensis), sambiloto (Andrographis paniculata), secang (Caesalpinia sappan), temu lawak (Curcuma xanthorriza), pete (Parcia speciosa) sambung nyawa (Gynura procumbens), ciplukan (Physalis peruviana) dan rosela (Hibiscus sabdariffa). Bagian tanaman yang diisolasi dicuci dengan air lalu dilakukan sterilisasi permukaan mengikuti metode seperti yang diterangkan Coombs dan Franco (2003). Sampel tanaman direndam dalam alkhohol 70% selama 1 menit, larutan hipoklorit 1% selama 5 menit, lalu alkhohol 70% selama satu menit, dan terakhir dibilas dengan akuades steril.
Sampel tanaman yang telah steril selanjutnya
dihaluskan secara aseptik dengan mortar dan ditambahkan 4 ml 12.5 mM buffer fosfat. Sebanyak 100 µl suspensi sampel diinokulasikan pada medium Humic Acid Vitamin B (HV) agar dengan penambahan 50 ppm cycloheximide dan 30 ppm nalidixic acid. Inkubasi dilakukan selama 14-21 hari pada suhu ruang. Untuk konfirmasi keberhasilan proses sterilisasi permukaan, bilasan terakhir akuades juga dilakukan pencawanan pada medium HV agar. Koloni-koloni aktinomiset yang tumbuh diisolasi dan dimurnikan lebih lanjut menggunakan medium Yeast Malt Extract Agar (YMA). Koleksi isolat disimpan dalam medium YMA miring pada suhu 4 0C dan larutan gliserol 15% pada suhu -20 0C.
24
Seleksi dan Uji Aktinomiset Endofit Penghasil Inhibitor α-glukosidase Semua isolat yang diperoleh ditumbuhkan ke dalam medium cair berisi 0.1% soluble starch, 0.5% pepton, dan 0.1% yeast extract (pH 7) selama 14 hari dengan kecepatan agitasi 120 rpm pada temperatur ruang. Biomassa sel dipisahkan dengan sentrifugasi dengan kecepatan 1432 x g selama 20 menit dan supernatan yang diperoleh diuji aktivitas inhibitor α-glukosidasenya.
Aktivitas
inhibitor α-glukosidase diuji menurut Anam et al. (2009). Uji penghambatan enzim dilakukan berdasarkan pada pemecahan substrat untuk menghasilkan produk berwarna, yang diukur absorbansinya selama periode waktu tetentu. Enzim α-glukosidase (Sigma, St. Louis) dilarutkan dalam 0.1 M buffer fosfat pH 7 dengan konsentrasi 0.25 unit/ml. Substrat yang digunakan adalah p-Nitrophenyl α-D-glucopyranoside (Sigma, St. Louis) 20 mM yang dilarutkan dalam 0.1 M buffer fosfat pH 7. Campuran reaksi terdiri dari 125
l substrat, 240
l 0.1 M
buffer fosfat pH 7 dan 10 l sampel. campuran reaksi diinkubasi pada suhu 37 0C selama 5 menit, ditambahkan 125
l larutan enzim dan diinkubasi selama 15
0
menit pada suhu 37 C. Reaksi dihentikan dengan penambahan 500
l larutan
Na2CO3 200 mM, dan p-nitrophenol yang dihasilkan diukur absorbansinya pada panjang gelombang 400 nm. Sebagai pembanding digunakan larutan acarbose 1 mg/ml. Penghambatan aktivitas enzim α-glukosidase ditentukan dengan rumus: Penghambatan (%) = (Ak-(As1-As0))/Ak x 100% (Ak: absorbansi kontrol, AS0: absorbansi sampel tanpa enzim, As1: absorbansi sampel)
Peran Aktinomiset Endofit dalam Menghasilkan Inhibitor α-glukosidase Untuk mengetahui peran isolat aktinomiset endofit dalam menghasilkan inhibitor α-glukosidase, digunakan tanaman T. crispa bebas endofit yang hasil kultur jaringan tanaman yang diperoleh dari Lab. Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan IPB.
Sebanyak 0.5 gram sampel tanaman hasil kultur
jaringan digerus secara aseptik dan ditambah 0.5 ml buffer fosfat, kemudian dipisahkan antara biomassa dan supernatan dengan sentrifugasi pada kecepatan 1432 x g. Supernatan yang diperoleh diuji aktivitas inhibitor α-glukosidasenya. Dengan cara yang sama dilakukan pula uji aktivitas inhibitor α-glukosidase terhadap tanaman T. crispa yang diperoleh dari alam. Kemampuan aktivitas
25
inhibitor α-glukosidase kemudian dibandingkan dengan aktivitas inhibitor dari kultur aktinomiset endofit terpilih.
Penentuan Waktu Produksi Optimum Kurva produksi digunakan untuk mengetahui waktu optimum yang digunakan untuk memproduksi inhibitor α-glukosidase dalam jumlah besar. Isolat terpilih ditumbuhkan dalam medium produksi menurut Chen et al. (2004) yang berisi 0.1% soluble starch, 0.5% pepton dan 0.15 yeast extract (pH 7) steril. Sebanyak 1% starter diinokulasikan ke dalam media produksi dan diinkubasi pada suhu ruang dengan kecepatan agitasi 150 putaran per menit dengan rotary shaker. Setiap 5 hari dilakukan panen kultur dengan cara sentrifugasi pada kecepatan 1432 x g selama 10 menit pada suhu 4 0C. Supernatan yang diperoleh diuji aktivitas penghambatannya terhadap enzim α-glukosidase. Pengukuran berat kering pelet dilakukan untuk mengetahui pertumbuhan isolat. Percobaan diakhiri jika produksi inhibitor α-glukosidase telah mengalami penurunan. Identifikasi Isolat Terpilih Identifikasi isolat terpilih dilakukan berdasarkan sekuen 16S rDNA. Ekstraksi DNA isolat aktinomiset BWA65 dilakukan menggunakan Genomic DNA Mini Kit (Geneaid) dilanjutkan dengan amplifikasi gen 16S rRNA menggunakan Primer 20F (5'GATTTTGATCCTGGCTCAG3') dan 1500R (5'GTTACCTTGTTACGACTT3'). Komposisi reaksi PCR seperti tertera pada Tabel 4.
Tabel 4 Komposisi reaksi PCR untuk amplifikasi gen 16S rRNA Komponen dH2O Buffer PCR MgCl2 dNTP Primer 20-F (10 pM) Primer 1500-R (10 pM) DMSO DNA template Taq DNA polimerase
Volume (µl) 19.5 4 5 1.5 1 1 0.5 7 0.5
Reaksi amplifikasi dilakukan dengan menggunakan thermal cycler (model 480, Perkin-Elmer, USA), dengan siklus sebagai berikut: 5 menit denaturasi awal pada 94 0C, 45 detik denaturasi pada 94 oC, dan 45 detik annealing primer pada
26
57 oC, 1 menit ekstensi pada 72 oC dan 7 menit ekstensi final pada 72 oC, sebanyak 30 siklus. Hasil amplifikasi kemudian dilarikan menggunakan gel agarosa 1% pada 70 Volt selama 45 menit. Hasil elektroforesis selanjutnya diwarnai menggunakan etidium bromida selama 15 menit dan divisualisasi menggunakan lampu UV transluminator. Pita DNA yang muncul didokumentasi menggunakan Gel Doc. Hasil PCR disekuen menggunakan jasa sekuensing MacroGen, Korea. Analisis sekuen DNA dilakukan menggunakan program BioEdit dan dilakukan analisis BLAST pada Bank Gen NCBI dataLibrary. Analisis filogenetik menggunakan program multiple aligment Clustal X dan konstruksi pohon filogenetik menggunakan program NJ plot. Karakterisasi Morfologi Isolat Karakterisasi morfologi isolat dilakukan dengan mengamati pertumbuhan isolat pada media Yeast Malt Extract Agar (YMA), Yeast Extract Agar (YSA) dan Oatmeal Agar (OA). Pengamatan makroskopis meliputi pertumbuhan koloni, warna miselium aerial, warna miselium substrat dan keberadaan pigmen terlarut. Pengamatan mikroskopis isolat dilakukan menggunakan mikroskop cahaya pada perbesaran 100 dan 400x, serta Scanning Electron Microscope (SEM)(JSM5310LV) pada perbesaran 10000x.
Deteksi Gen Sedoheptulosa-7-Fosfat Siklase Isolasi DNA Genom. DNA genom aktinomiset diisolasi menggunakan Genomic DNA Mini Kit (Geneaid). Tahapan kerjanya adalah sebagai berikut. Kultur sel umur 3 hari sebanyak 1.5 µl ditransfer ke dalam tabung mikro, lalu disentrifus 3354 xg selama 3 menit. Supernantan dibuang dan pelet sel yang diperoleh diresuspensi dengan 200 µl buffer lisozim. Suspensi tersebut diinkubasi 10 menit pada suhu ruang, tiap 2-3 menit dibolak-balik. Ke dalam suspensi kemudian ditambahkan 200 µl buffer GB dan diinkubasi 70 0C selama 10 menit, dan dibolak-balik tiap 3 menit hingga suspensi terlihat jernih. Tahap berikutnya adalah penambahan 200 µl etanol 96% ke dalam lisat dan diaduk dengan pipet perlahan-lahan. Hasil pelisisan sel selanjutnya ditransfer ke dalam kolom GD yang telah ditempatkan ke dalam tabung koleksi. Tabung disentrifus 8586 xg selama 2 menit, dan tabung koleksi dipisahkan. Kolom GD ditempatkan pada tabung
27
koleksi yang baru lalu ditambahkan 400 µl buffer W1, lalu disentrifus 8586 xg selama 30 detik. Kolom GD diambil dan ditempatkan pada tabung koleksi yang baru. Ke dalam kolom GD ditambah 600 µl wash buffer dan disentrifus 8586 x g selama 30 detik. Kolom GD ditempatkan kembali
pada tabung koleksi dan
disentrifus lagi selama 3 menit untuk mengeringkan matriks pada kolom GD. Kolom GD selanjutnya dipindahkan ke dalam tabung mikro dan ditambah 100 µl buffer elusi yang telah dipanaskan 70 0C. Tabung dibiarkan 3-5 menit hingga buffer elusi meresap ke dalam matriks, lalu disentrifugasi 8586 x g dan larutan DNA yang diperoleh disimpan di suhu -20 0C. Amplifikasi
Gen
Penyandi
Sedoheptulosa-7-Fosfat
Siklase.
Amplifikasi gen penyandi Sedoheptulosa-7-fosfat siklase menggunakan primer yang didesain oleh Hyun et al. (2005) sebagai berikut: primer VOG-F 5'GGSGGSGG-SGTSCTSATGGACGTSGCSGG-3' primer
VOG-R
(GGGVLMDVAG),
dan
5'GCCATGTCSACGCASACSGCSGCCTCSCCGAG-3'
(HGEAVCVDMA). Amplifikasi dengan PCR dilakukan menurut Hyun et al. (2005) dengan modifikasi. Sebagai kontrol positip dilakukan pula amplifikasi fragmen DNA dari Actinoplanes sp. SE50/100. Komposisi reaksi campuran PCR yang digunakan dalam percobaan ini seperti tertera pada Tabel 5.
Tabel 5 Komposisi PCR untuk amplifikasi gen sedoheptulosa-7-fosfat siklase Komponen dH2O Buffer PCR MgCl2 dNTP Primer VOG-F (10 pM) Primer VOG-R (10 pM) DMSO DNA template Taq DNA polimerase
Volume (µl) 12.9 5 1 0.5 2 2 0.5 2 0.1
Reaksi amplifikasi dilakukan dengan menggunakan thermal cycler (model 480, Perkin-Elmer, USA), dengan siklus sebagai berikut: 5 menit denaturasi awal pada 95 0C, 20 detik denaturasi pada 98 oC, dan 1 menit annealing primer pada 67 oC, 45 detik ektensi pada 72 oC dan 7 menit ekstensi final pada 72 oC, sebanyak 30 siklus. Hasil amplifikasi kemudian dilarikan menggunakan gel agarosa 1% pada 70 V selama 45 menit. Hasil elektroforesis selanjutnya diwarnai menggunakan etidium bromida selama 15 menit dan divisualisasi
28
menggunakan lampu UV transluminator. Pita DNA yang muncul didokumentasi menggunakan Gel Doc. Sekuensing dan Analisis Molekuler. Hasil PCR disekuen menggunakan jasa sekuensing 1ST BASE Singapura. Hasil sekuensing kemudian dibandingkan dengan sekuen yang diambil dari database di GenBank, menggunakan program BLASTX pada situs NCBI. Isolasi dan Identifikasi Senyawa Inhibitor α-Glukosidase Persiapan Kultur dan Media Fermentasi. Isolat BWA65 ditumbuhkan pada media YSA selama 7 hari selanjutnya diinokulasikan ke dalam medium cair berisi 0.1% soluble starch, 0.5% pepton, dan 0.1% yeast extract (pH 7). Kultur diinkubasi selama 7 hari dengan kecepatan agitasi 120 putaran per menit pada temperatur ruang. Kultur ini selanjutnya digunakan sebagai starter. Produksi
Senyawa
Inhibitor
α-Glukosidase.
Untuk
keperluan
karakterisasi senyawa inhibitor α-glukosidase diperlukan kultur produksi dalam jumlah besar (5 liter). Pada penelitian ini produksi skala 5 liter dilakukan dengan menggunakan galon steril bekas kemasan air minum ukuran 19 liter, dengan aerasi yang dilewatkan mikro filter 0.2 µm. Produksi inhibitor α-glukosidase dilakukan dengan menginokulasikan sebanyak 150 ml (berat kering biomassa sel 0.1 gram) kultur aktinomiset umur 7 hari ke dalam 5 liter media produksi, dan dilakukan inkubasi selama 15 hari dengan aerasi. Pemanenan kultur dilakukan dengan menyaring kultur untuk memisahkan supernatan dan biomassa. Ekstraksi
Senyawa
Inhibitor
α-Glukosidase.
Supernatan
yang
diperoleh dari kultur isolat BWA65 diekstraksi dengan menggunakan berbagai pelarut untuk mendapatkan senyawa aktif. Pelarut yang dicoba digunakan adalah: kloroform, etanol, metanol, butanol, dan etil asetat. Ekstraksi dilakukan dengan cara menambahkan pelarut ke dalam supernatan dengan perbandingan 1:1, selanjutnya dihomogenkan dengan menggunakan magnetic stirer selama 2 jam dan dibiarkan selama 2 jam hingga membentuk fraksi air dan fraksi pelarut. Fraksi pelarut kemudian dipisahkan dan dilakukan pemekatan dengan rotary evaporator hingga diperoleh fraksi pekat. Fraksi pekat yang diperoleh kemudian dikeringkan, dihitung bobotnya dan siap digunakan untuk tahap selanjutnya.
29
Fraksinasi Senyawa Inhibitor α-Glukosidase dengan Kromatografi Kolom. Sebelum kromatografi kolom dilakukan, terlebih dahulu dilakukan pencarian eluen terbaik dengan bantuan Kromatografi Lapis Tipis (KLT). Tahapan ini dilakukan untuk mencari pelarut terbaik yang dapat memisahkan komponen aktif dari ekstrak etil asetat. Tahapan ini dilakukan dengan cara cobacoba dengan menggunakan pelarut tunggal atau gabungan dari beberapa pelarut. Pelarut yang dicobakan antara lain: etanol, metanol, etil asetat, heksan, aseton dan klorofom. Hasil dari tahapan ini digunakan untuk fraksinasi senyawa aktif menggunakan kromatografi kolom. Fraksinasi dengan kromatografi kolom dilakukan dengan menggunakan kolom silika gel dengan ukuran panjang 38 cm dan diameter 1.5 cm. Preparasi kolom diawali dengan memasukkan 20 gram silika gel (Merck) ditambah dengan eluen yang akan digunakan yaitu campuran heksan : etil asetat 1:4, sambil diketuk-ketuk berulang kali hingga terbentuk kolom yang stabil. Setelah kolom siap digunakan, sebanyak 5 ml ekstrak etil asetat diinjeksikan ke dalam kolom dan dielusi dengan heksan : etil asetat 1:4 secara isokratik dengan kecepatan elusi 1 ml/menit. Fraksi-fraksi sebanyak ± 5 ml ditampung pada tabung reaksi. Tahap
selanjutnya
adalah
menggabungkan
fraksi-fraksi
yang
memiliki
kromatogram yang sama dengan bantuan KLT. Fraksi-fraksi yang diperoleh selanjutnya diuji aktivitasnya dalam menghambat α-glukosidase. Pengujian Aktivitas Inhibitor α-Glukosidase Fraksi. Aktivitas inhibitor α-glukosidase diuji menurut Moon et al. (2011) dengan modifikasi. Uji penghambatan enzim dilakukan berdasarkan pada pemecahan substrat untuk menghasilkan produk berwarna, yang diukur absorbansinya selama periode waktu tetentu. Enzim α-glukosidase (Sigma) dilarutkan dalam 0.1 M buffer fosfat pH 7 dengan konsentrasi 0.2 unit/ml. Sebagai substrat digunakan p-Nitrophenyl α-D-glucopyranoside (Sigma) 2.5 mM yang dilarutkan dalam 0.1 M buffer fosfat pH 7. Campuran reaksi terdiri dari 50 l substrat, 50 l 0.1 M buffer fosfat pH 7 dan 50 l sampel. Setelah campuran reaksi diinkubasi pada suhu 37 0C selama 5 menit, sebanyak 50
l larutan enzim ditambahkan dan selanjutnya diinkubasi
selama 15 menit pada suhu 37 0C. Reaksi dihentikan dengan penambahan 800 l larutan Na2CO3 200 mM. Senyawa p-nitrofenol yang dihasilkan dari reaksi ini diukur absorbansinya pada panjang gelombang 405 nm. Sebagai pembanding digunakan larutan acarbose.
30
Penentuan Nilai IC50. Nilai IC50 merupakan nilai yang menunjukkan konsentrasi ekstrak yang menyebabkan penghambatan sebesar 50% terhadap aktivitas enzim α-glukosidase. Penentuan nilai ini dilakukan dengan cara menguji aktifitas penghambatan ekstrak pada berbagai macam konsentrasi. Setelah didapat nilai penghambatan dari masing-masing konsentrasi ekstrak, selanjutnya dibuat persamaan garis yang merupakan fungsi dari konsentrasi ekstrak dan besaran penghambatan yang dihasilkan. Nilai-nilai konsentrasi ekstrak sebagai variabel X dan besarnya penghambatan sebagai variabel Y. Pengaruh
Konsentrasi
Substrat.
Pengaruh konsentrasi substrat
digunakan untuk menduga tipe inhibitor dari senyawa Fraksi F6. Penentuan tipe inhibitor dilakukan dengan cara menguji aktivitas inhibitor pada berbagai macam konsentrasi substrat yaitu: 20, 10, 5, 2.5, dan 1.25 mM. Data yang diperoleh kemudian dikonversi dan diinterpretasikan ke dalam persamaan Lineweaver-Burk dalam bentuk grafik. Konsentrasi substrat diubah menjadi 1/[S] pada sumbu X, dan kecepatan reaksi pembentukan produk hasil hidrólisis enzim diubah menjadi 1/V pada sumbu Y. Tahap selanjutnya menentukan persamaan garis yang terbentuk dan tipe hambatannya berdasarkan perpotongan garis dengan sumbu X dan sumbu Y antara kinetika enzim tanpa inhibitor dan kinetika enzim setelah mendapat perlakuan inhibitor. Nilai Vmak dan KM ditentukan dengan melihat perpotongan garis terhadap sumbu X dan sumbu Y dari persamaan LineweaverBurke yang diperoleh. Perpotongan dengan sumbu X merupakan nilai -1/KM dan perpotongan dengan sumbu Y merupakan nilai 1/Vmak (Copeland 2005; Wu et al 2012). Identifikasi
dengan
Spektroskopi
UV-Vis.
Identifikasi
senyawa
menggunakan spektrofotometer UV dilakukan dengan cara mengukur pola spektrum serapan senyawa dalam larutan yang sangat encer dengan pembanding
blanko
pelarut,
menggunakan
spektrofotometer
UV-Vis
(Pharmaspec UV-1700 Shimadzu) yang dapat merekam secara otomatis. Pelarut yang digunakan dalam pengukuran adalah etanol. Senyawa dalam sampel diukur pada panjang gelombang 200-900 nm. Identifikasi senyawa dilakukan dengan membandingkan pola spektrum yang dihasilkan dengan pola spektrum referensi. Identifikasi dengan FTIR. Contoh dalam bentuk serbuk sebanyak ± 2 mg dihaluskan bersamaan dengan 0.198 gram KBr dalam mortal agate. Contoh yang telah dihaluskan dan bercampur dengan KBr dimasukkan ke dalam alat pencetak
31
pelat KBr kemudian ditekan sehingga diperoleh lempeng serbuk yang transparan. Contoh lempeng tadi kemudian dimasukkan ke dalam spektrofotometer FTIR. Spektrum yang diperoleh berupa kurva transmitan dengan bilangan gelombang. Identifikasi gugus fungsi berdasarkan pada nilai bilangan gelombang gugus yang sudah diketahui (Pavia 2001)
32
33
HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi Aktinomiset Endofit Pada penelitian ini sebanyak 32 isolat aktinomiset endofit telah berhasil diisolasi dari tanaman T. crispa dan 33 isolat dari tanaman lainnya menggunakan media agar HV. Semua isolat aktinomiset endofit yang diperoleh dalam penelitian ini merupakan isolat yang dapat dikulturkan dan tidak mewakili semua populasi mikrob endofit yang hidup di tanaman-tanaman obat tersebut. Hal ini disebabkan sebagian besar mikrob (lebih dari 99%) adalah unculturable atau tidak dapat ditumbuhkan pada medium sintetik (Sharma et al. 2005). Sekitar 69,2% dari tanaman yang diuji mengandung aktinomiset endofit Tananam T. crispa merupakan tanaman obat dengan jumlah isolat aktinomiset tertinggi (32 isolat). Sejumlah isolat diperoleh dari tanaman lainnya, yaitu: Curcuma aeruginosa (9 isolat), Gynura procumbens (6 isolat), Curcuma xanthorryza (5 isolat) dan tanaman lainnya (1-4 isolat) (Gambar 3).
35
32
30 Jumlah isolat
25 20 15 10 5
9 6
5 1
1
3
3
4 0
0
Gambar 3 Jumlah isolat aktinomiset endofit yang berhasil diisolasi dari masingmasing tanaman obat. Hasil isolasi dari keseluruhan tanaman menunjukkan bahwa aktinomiset endofit paling banyak diperoleh dari bagian akar tanaman (45 isolat), diikuti bagian rimpang (14 isolat), lalu batang dan daun (masing-masing 3 isolat). Hampir 70% aktinomiset endofit diperoleh dari bagian akar (Gambar 4). Hal ini dapat dipahami karena secara umum aktinomiset merupakan bakteri tanah,
34
sehingga sangat wajar jika mikrob tersebut paling banyak berasosiasi dengan bagian tanaman yang berada di dalam tanah, yaitu bagian akar.
batang 4,6%
daun 4,6%
rimpang 21,5%
akar 69,2%
Gambar 4 Jumlah isolat aktinomiset endofit yang berhasil diisolasi berdasarkan asal bagian tanaman. Mikrob endofit merupakan mikrob, baik bakteri (non aktinomiset), aktinomiset maupun cendawan yang seluruh atau sebagian siklus hidupnya berada di dalam jaringan tanaman yang sehat.
Mikrob endofit dapat
berkolonisasi di dalam jaringan tanaman dan tidak membahayakan inangnya. Setiap tanaman umumnya dapat mengandung beberapa hingga ratusan jenis mikrob endofit (Tan & Zou, 2001). Di dalam tanaman berpembuluh dapat mengandung sejumlah mikrob endofit yang mampu menghasilkan senyawa biologi atau metabolit sekunder serupa dengan inangnya. Beberapa peneliti telah melaporkan adanya aktinomiset endofit yang mampu menghasilkan senyawa aktif mirip dengan senyawa yang dihasilkan tanaman inangnya. Strobell dan Daisy (2003) melaporkan bahwa Taxomyces andreanae endofit pada tanaman Taxus menghasilkan paclitaxel. Paclitaxel adalah senyawa antikanker yang dihasilkan juga oleh tanaman Taxus brevivolia. Taechowisan et al. (2007) melaporkan Streptomyces aureofaciens, isolat endofit dari tanaman jahe penghasil senyawa arylcoumarin yang memiliki aktivitas antitumor. Tanaman jahe juga memiliki senyawa anti tumor seperti dilaporkan oleh Katiyar et al. (1996). Penelitian Castillo et al. (2002) menunjukkan bahwa Streptomyces NRRL
35
30562 endofit pada tanaman Kennedia nigriscans mampu menghasilkan antibiotik spektrum luas. Tanaman ini secara tradisional digunakan suku Aborigin sebagai antiseptis untuk mencegah infeksi luka. Penapisan Aktinomiset Endofit Penghasil Inhibitor α-glukosidase Pengujian terhadap semua isolat aktinomiset endofit diperoleh 12 isolat mampu menghasilkan inhibitor α-glukosidase, yang terdiri dari 10 isolat asal T. crispa, 1 isolat dari C. sappan dan 1 isolat dari C. aeruginosa. Lima puluh tiga isolat lainnya tidak menunjukkan adanya kemampuan inhibitor α-glukosidase (Tabel 6). Tabel 6 Isolat aktinomiset endofit dari berbagai tanaman obat diabetes dan aktivitas inhibitor α-glukosidase yang dihasilkannya Tanaman Obat
Tinospora crispa
Bagian Tanaman akar
Jumlah Isolat 32
Kode Isolat BWA 14 BWA14A BWA 15 BWA15A BWA 16 BWA 2 BWA 3 BWA 33 BWA 34 BWA 35 BWA 36 BWA 3A BWA 4 BWA 4A BWA 51 BWA 54 BWA 61 BWA 62 BWA 63 BWA 64 BWA 65 BWA 66 BWA 71 BWA 72 BWA 73 BWA 74 BWA 75
Karakteristik pada Medium YMA tidak berspora, koloni coklat, pigmen coklat tidak berspora, koloni coklat spora coklat keputihan spora abu-abu spora abu-abu spora putih-abu-abu spora putih, menghasilkan pigmen kemerahan spora putih spora putih, koloni hitam tidak berspora, koloni warna coklat tidak berspora, koloni warna coklat spora putih spora putih, koloni warna coklat spora abu-abu spora putih tidak berspora, koloni coklat tua tidak berspora, koloni coklat tua, pigmen coklat tidak berspora, koloni coklat tembaga spora krem spora putih tidak berspora, koloni warna coklat tua spora putih tidak berspora, koloni warna coklat tidak berspora, koloni coklat kekuningan spora putih, koloni warna coklat tidak berspora, koloni warna coklat spora putih
Penghambatan (%) 0.68 2.66 4.85 0.48 1.16 0.27 1.16 4.51 0.75 0.89 -
36
BWA 76
spora putih, koloni warna coklat, pigmen hitam tidak berspora, koloni warna coklat tidak berspora, koloni kuning spora putih tidak berspora, koloni warna coklat tidak berspora, koloni hitam
-
-
SNB 1 SNB 1A SND 22
tidak berspora, koloni warna pink tidak berspora, koloni warna merah tidak berspora, koloni coklat tidak berspora, koloni coklat tua tidak berspora, koloni warna coklat tidak berspora, pink koloni tidak berspora, red koloni
TLR 1 TLR 2 TLR 21 TLR 3 TLR 4
spora coklat spora putih spora abu-abu spora putih spora abu-abu
-
CP1
spora putih
-
ROB 12
tidak berspora, koloni pink
-
MDA 2 MDA 22 MDA 52
spora warna coklat spora warna coklat tidak berspora, koloni orange
-
SBL A1 SBL A2
tidakberspora, koloni hitam spora putih
-
SBLD 3
tidak berspora, koloni warna coklat
-
SC A 13 SC A 11 SC A 14 SCA 1
spora putih spora krem spora putih spora putih
BWA 82 BWA 84 BWA 85 BWA 86 BWA 93 batang daun Tanaman lainnya Gynura akar procumbens
4 SNA 11
SNA 21
Alloe vera Curcuma xanthoriza
Centela asiatica Physalis peruviana
Hibiscus sabdariffa
Phaleria macrocarpa
Andrographis paniculata
Xoncus arvensis Caesalpinia sappan
-
-
SNA 12 SNA 2 batang
-
2
daun akar daun akar batang daun rimpang
1 5
akar batang daun akar batang daun
1
akar batang daun bunga akar
1 3
batang daun buah akar
2
batang daun
1
akar batang daun akar
4
batang daun
-
-
0.55 -
37
Parcia speciosa
akar batang daun akar batang daun rimpang
Curcuma aeruginosa
9 TIR 11 TIR 12 TIR 13 TIR 14 TIR 1A TIR 1B TIR 1B2 TIR 2 TIR 3
Jumlah isolat
spora putih, koloni warna coklat spora krem spora keemasan, koloni warna coklat tidak berspora spora putih, koloni warna coklat spora putih spora putih, koloni warna coklat spora abu-abu, koloni coklat tua spora putih abu-abu
3.62 -
65
Pada pengujian lebih lanjut secara kuantitatif menggunakan p-nitrophenyl α-D-glucopyranoside sebagai substrat menunjukkan bahwa ekstrak kasar (supernatan) dari empat isolat aktinomiset endofit (BWA36, BWA65, BWA35, BWA54) dari T. crispa memiliki aktivitas α-glukosidase tertinggi. Ekstrak kasar BWA65 isolat dari T. crispa menghasilkan penghambatan tertinggi (11.01%) terhadap
α-glukosidase,
yaitu
sebesar
80%
jika
dibandingkan
dengan
penghambatan 1mg/ml acarbose (13.61%) yang digunakan sebagai kontrol (Gambar 5). Penemuan aktinomiset endofit pada tanaman brotowali belum pernah dilaporkan oleh para peneliti sebelumnya, sehingga dapat dikatakan adanya aktinomiset endofit pada tanaman brotowali pada penelitian ini merupakan hal yang baru. Laporan ini juga yang pertama kali menyebutkan adanya aktinomiset endofit penghasil senyawa inhibitor α-glukosidase. Laporan-laporan sebelumnya yang menyebutkan sejumlah aktinomiset penghasil senyawa inhibitor αglukosidase adalah bukan merupakan isolat endofit yang berasal dari jaringan tanaman.
38
16,00 13,61
14,00 Inhibisi (%)
12,00
11,01
10,00 8,00
6,35
5,64
6,00
6,34
4,00 2,00 0,00 BWA 36
BWA65
BWA 35
BWA 54
Ac
Isolat aktinomiset
Gambar 5 Aktivitas inhibitor α-glukosidase oleh supernatan dari kultur aktinomiset endofit asal T. crispa.
Penemuan isolat aktinomiset endofit dari tanaman
T. crispa yang
menghasilkan inhibitor α-glukosidase dalam penelitian ini memiliki arti penting dalam memperkuat pendapat Tan dan Zou (2001) yang menyatakan bahwa tanaman dapat mengandung mikrob endofit yang dapat menghasilkan senyawa biologis atau metabolit sekunder yang sama dengan inangnya. Informasi tentang keberadaan agen hipoglikemik pada tanaman Tinospora telah dilaporkan oleh beberapa peneliti sebelumnya ( Rajalakshmi et al. 2009; Chougale et al. 2009). Mereka melaporkan bahwa ekstrak tanaman T. cordifolia memiliki aktivitas inhibitor α-glukosidase. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pemberian ekstrak etanol dan air tanaman T. cordifolia pada dosis 400 mg/kg dapat menurunkan gula darah pada tikus dan kelinci hiperglikemia yang diinduksi dengan aloksan. Pada penelitian ini juga dibandingkan aktivitas inhibitor α-glukosidase yang dihasilkan oleh tanaman inang T. crispa, tanaman T. crispa bebas endofit hasil kultur jaringan tanaman dan isolat aktinomiset endofit. Hasil pengujian ini diharapkan dapat menggambarkan peran aktinomiset endofit dalam memberikan kontribusi terhadap produksi senyawa inhibitor. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanaman bebas endofit yang diperoleh dari kultur jaringan tanaman umur 3 bulan hanya memiliki kemampuan yang sangat rendah untuk menghasilkan senyawa inhibitor. Tanaman T. crispa yang diperoleh dari alam mampu memproduksi senyawa inhibitor jauh lebih besar (Gambar 6). Namun,
39
kemampuan inhibitor α-glukosidase yang dihasilkan oleh aktinomiset endofit BWA65 lebih dari dua kali lipat dibanding aktivitas inhibitor α-glukosidase yang dihasilkan tanaman inang. Data tersebut mengindikasikan bahwa aktinomiset endofit dalam tanaman T. crispa tersebut memberikan kontribusi yang besar terhadap produksi senyawa inhibitor α-glukosidase.
12,00
10,98
Penghambatan (%)
10,00 8,00 6,00
4,52
4,00
3,39
3,05 1,64
2,00 0,06 0,00 KJT
Kalus
Batang
Akar
Daun
BWA65
Sampel
Gambar 6 Aktivitas inhibitor α-glukosidase yang dihasilkan oleh tanaman hasil kultur jaringan tanaman (KJT, kalus), tanaman dari alam (batang, akar, daun) dan isolat aktinomiset endofit BWA65. Selain tanaman hasil kultur jaringan, diuji pula aktivitas inhibitor αglukosidase dari kalus. Kalus merupakan sekumpulan hasil proliferasi sel tanaman
yang
membentuk biomassa tetapi tidak dapat berdiferensiasi
membentuk organ tanaman seperti akar, batang dan daun. Kultur kalus biasanya dilakukan dengan tujuan untuk menghasilkan senyawa bioaktif dari suatu tanaman. Pada gambar di atas terlihat bahwa kalus tanaman brotowali memiliki aktivitas inhibitor α-glukosidase yang relatif besar jika dibanding dengan tanaman hasil kultur jaringan. Hal ini dapat disebabkan karena
pada kultur kalus,
biosintesis senyawa metabolit sekunder lebih besar jika dibanding dengan metabolisme sekunder pada tanaman hasil kultur jaringan. Dengan demikian untuk keperluan produksi metabolit sekunder, seringkali digunakan kultur kalus. Beberapa peneliti memilih menggunakan kultur kalus untuk memproduksi senyawa bioaktif. Purwianingsih dan Hamdiyati (2009). menggunakan kultur kalus
Morinda
citrifolia
L.
(Mengkudu)
yang
dielisitasi
menggunakan
Sacharomyces cerevisiae untuk memproduksi senyawa bioaktif kuinon. Sutini et
40
al. (2008) juga menggunakan kultur kalus Camellia sinensis untuk memproduksi senyawa bioaktif flavonoid, flavan-3-ol suatu metabolit sekunder yang terdapat dalam daun teh muda yang yang memiliki khasiat sebagai antiobesitas dan antioksidan. Adanya aktivitas inhibitor α-glukosidase pada kultur kalus tanaman Tinospora belum pernah dilaporkan sebelumnya. Kultur kalus tanaman Tinospora cordifolia dilaporkan memiliki aktifitas antimikrob terhadap Eschericia coli dan Staphylococcus aureus (Khalilsaraie et al. 2011).
Karakterisasi Morfologi dan Identifikasi Isolat BWA65 Dalam penelitian ini digunakan tiga jenis media untuk melihat karakteristik kultur isolat BWA65 yaitu: Yeast Extract Malt Extract Agar (YMA), Yeast Extract Soluble Starch Agar (YSA) dan Oatmeal Agar (OA). Hasil penelitian menunjukkan bahwa isolat BWA65 memiliki pertumbuhan yang baik pada media YSA dan OA, dan pertumbuhan moderat pada media YMA. Pada semua media, isolat BWA65 menghasilkan miselium aerial berwarna putih. Miselium substrat isolat BWA65 berwarna coklat apabila ditumbuhkan pada media OA dan coklat tua apabila ditumbuhkan pada media YSA maupun YMA. Isolat BWA65 ini juga memproduksi pigmen terlarut (soluble pigment) berwarna coklat tua pada media YSA dan merah muda pada media OA (Tabel 7). Tabel 7 Karakteristik kultur isolat BWA65 pada berbagai media (7 hari inkubasi pada suhu ruang) Karakteristik Kultur
Media YMA
YSA
OA
pertumbuhan
moderat
baik
baik
miselium aerial
putih
putih
putih
miselium substrat
coklat tua
coklat tua
coklat
pigmen terlarut
tidak ada
coklat
merah muda
Pengamatan morfologi isolat
BWA65 di bawah mikroskop cahaya
dengan perbesaran 400x menunjukkan adanya rantai spora berbentuk spiral. Susunan rantai spora berbentuk spiral ini merupakan karakter yang khas untuk Streptomyces. Pengujian lebih lanjut dengan menggunakan mikroskop elektron SEM menunjukkan bahwa isolat BWA65 memiliki hifa udara yang tidak
41
bercabang (unbranched aerial hyphae) serta rantai spora spiral dengan spora berbentuk silinder dan permukaannya halus (Gambar 7).
B
A
C
Gambar 7 Morfologi isolat aktinomiset endofit BWA65 yang ditumbuhkan pada media Oatmeal Agar umur 7 hari (A), dilihat dengan mikroskop cahaya (400x) (B) dan SEM (10,000x) (C), tanda panah menunjukkan rantai spora. Identifikasi Isolat Aktinomiset Hasil identifikasi molekuler menggunakan sekuen parsial 16S rDNA menunjukkan
bahwa
BWA65
memiliki
kesamaan
paling
tinggi
dengan
Streptomyces olivochromogenes dengan tingkat kemiripan 92%. Berdasarkan studi sebelumnya, S. olivochromogenes dikenal untuk menghasilkan senyawa aktif seperti: glukosa isomerase, xilosa isomerase dan fosfolipase (Azin et al.1997; Simkada et al. 2009). Sampai sekarang, belum ada laporan tentang inhibitor α-glukosidase yang dihasilkan oleh S. olivochromogenes. Identifikasi ulang isolat BWA65 dengan sekuen gen 16S rRNA yang lebih lengkap dilakukan untuk meyakinkan hasil identifikasi ini. Hasil identifikasi menggunakan sekuen 16S rDNA yang lebih lengkap sepanjang sekitar 1343 pasang basa menunjukkan bahwa BWA65 memiliki kesamaan 98% dengan Streptomyces diastaticus. Berdasarkan studi sebelumnya, S. diastaticus dikenal dapat menghasilkan senyawa aktif seperti: L-arabinofuranosidase (Tajana et al. 1992) dan antibiotik makrolida poliene (Seco et al. 2005). Hingga saat ini juga belum ada laporan tentang inhibitor α-glukosidase yang dihasilkan oleh S. diastaticus. Berdasarkan hal tersebut, kemungkinan besar isolat BWA65 merupakan jenis baru penghasil inhibitor α-glukosidase. Pohon filogenetik isolat aktinomiset endofit BWA65 berdasarkan sekuen 16S rDNA dapat dilihat pada Gambar 8.
42
Pohon filogenetik tersebut terlihat jelas bahwa isolat BWA65 memiliki kekerabatan paling dekat dengan S. diastaticus. Isolat BWA65 berada satu grup dengan
beberapa
Streptomyces
lainnya
seperti
S.
coeliflavus,
S.
olivochromogenes dan S. abikoensis. S. coeliflavus dikenal mampu menghaslkan senyawa inhibitor alfa amilase dan S. abikoensis dilaporkan dapat menghasilkan senyawa inhibitor α-glukosidase. Pada gambar pohon filogenetik tersebut juga dapat dilihat dua jenis aktinomiset non Streptomyces yaitu Actinoplanes dan Saccarothrix espanaensis. Kedua jenis anggota aktinomiset non Streptomyces ini dikenal juga dapat menghasilkan senyawa inhibitor α-glukosidase (Hyun et al. 2005). Sebagai outer group pada gambar pohon filogenetik tersebut terdapat spesies Bacillus subtilis yang merupakan wakil dari bakteri Gram positif non aktinomiset.
Gambar 8 Pohon filogenetik isolat BWA65 berdasarkan sekuen 16S rDNA.
43
Deteksi Gen Sedoheptulosa- 7- Fosfat Siklase Ketersediaan gen penyandi biosintesis senyawa inhibitor α-glukosidase akan memudahkan untuk mengembangkan primer dan probe yang dapat digunakan untuk mendeteksi adanya organisme penghasil senyawa inhibitor αglukosidase.
Hyun et al. (2005) telah berhasil membuat primer untuk gen
penyandi inhibitor α-glukosidase pada aktinomiset berdasarkan sekuen gen yang telah diketahui. Oleh karena itu, deteksi gen penyandi senyawa inhibitor αglukosidase pada aktinomiset akan menjadi lebih mudah. Primer yang spesifik dapat membantu mempercepat pencarian galur-galur aktinomiset penghasil senyawa inhibitor α-glukosidase. Pendekatan yang dapat dilakukan untuk mendeteksi adanya gen penyandi inhibitor α-glukosidase pada aktinomiset BWA65 adalah dengan menggunakan primer spesifik yang telah dikenal tersebut. Dengan cara ini akan dapat diketahui apakah isolat aktinomiset BWA65 mempunyai gen penyandi biosintesis senyawa inhibitor α-glukosidase yang mirip dengan acarbose, validamisin dan lainnya yang jalur biosintesisnya melibatkan senyawa sedoheptulosa-7-fosfat. Dengan cara ini juga dapat ditemukan dengan cepat aktinomiset
yang mempunyai gen penyandi senyawa inhibitor α-
glukosidase tersebut atau tidak. Jika deteksi gen tidak menunjukkan hasil positif maka senyawa inhibitor α-glukosidase tersebut kemungkinan merupakan senyawa baru dan belum diketahui jalur biosintesisnya. Hasil
amplifikasi
gen
penyandi
sedoheptulosa-7-fosfat
siklase
menggunakan primer VOG-R dan VOG-R setelah divisualisasi menggunakan gel agarosa 1% seperti tertera pada Gambar 9. Fragmen DNA target berukuran sekitar 540 pasang basa tampak terlihat jelas pada hasil amplifikasi menggunakan PCR yang divisualisasi pada gel agarosa. Fragmen DNA berukuran 540 pasang basa ini kemudian dipurifikasi untuk kemudian disekuen dan hasilnya dianalisis menggunakan BLASTX pada situs NCBI. Hasil analisis BLASTX dari hasil sekuen terhadap urutan asam amino yang terdapat pada bank data NCBI menunjukkan kemiripan paling besar terhadap protein histidin kinase pada Streptomyces violaceusniger (No akses YP-004812094.1) (Tabel 8) dan bukan sebagai protein sedoheptulosa-7-fosfat siklase.
44
Gambar 9 Hasil amplifikasi PCR menggunakan primer VOG-F dan VOG-R (lajur 1,2 kontrol positif; 3,4,5 isolat BWA 65; M marker; 6,7 kontrol negatif. Histidin kinase sendiri merupakan protein kelas transferase yang biasanya berupa protein transmembran yang berperan dalam transduksi sinyal melintasi membran
selular. Sebagian besar
histidin
kinase
merupakan
homodimer yang memiliki kemampuan autokinase, fosfotransfer dan aktivitas fosfatase. Molekul histidin kinase biasanya memiliki bagian reseptor di bagian luar sel (domain ekstraseluler), bagian yang melintasi membran sel (domain transmembran), dan bagian dalam sel (domain intraseluler) yang mengandung aktivitas enzimatik. Selain aktivitas kinase, domain-domain intraseluler biasanya memiliki wilayah yang mengikat ke molekul efektor sekunder atau kompleks molekul yang lebih lanjut menyebarkan transduksi sinyal dalam sel. Histidin kinase memainkan peran utama dalam transduksi sinyal di prokariot untuk adaptasi selular terhadap kondisi lingkungan dan cekaman (Dutta et al. 1999) Analisis gen penyandi sedoheptulosa-7-fosfat siklase pada penelitian ini belum sesuai dengan hasil yang diharapkan karena fragmen DNA yang didapat menggunakan primer VOG-F dan VOG-R memiliki kemiripan yang lebih besar terhadap gen-gen bukan penyandi sedoheptulosa-7-fosfat siklase. Primer VOG-F dan VOG-R pada awalnya dipilih karena primer ini telah digunakan oleh peneliti sebelumnya untuk mendeteksi adanya gen penyandi sedoheptulosa-7-fosfat siklase pada aktinomiset (Hyun et al. 2005). Ketidaksesuaian hasil ini
45
kemungkinan besar disebabkan karena primer tersebut tidak menempel secara spesifik hanya pada gen sedoheptulosa-7-fosfat siklase, tetapi juga dapat menempel pada gen lain yang ujungnya memiliki urutan basa yang komplemen dengan sebagian urutan basa pada primer VOG-F dan VOG-R, misalnya gen histidin kinase tersebut. Ketidak spesifikan ini berhasil dibuktikan oleh Velina (2012,
unpublished)
yang
berhasil
mendesain
ulang
primer
untuk
mengamplifikasi gen sedoheptulosa-7-fosfat siklase pada isolat BWA65 ini. Primer dengan urutan basa Forward: 5’-ACCTACGAGGTGCGCTTCCGGGACGACGT-3’ dan Reverse : 5’-GGCGGCCTGCAGCTCGGCGGCCGTCACGT-3’. Hasil amplifikasi menggunakan primer tersebut diperoleh amplikon berukuran sekitar 300 pasang basa. Fragmen DNA yang diperoleh kemudian dikloning ke plasmid pMD20 dan kemudian disekuen. Hasil analis sekuen fragmen DNA hasil amplifikasi tersebut menunjukkan kemiripan 100% dengan sedoheptulosa-7-fosfat siklase pada Actinoplanes SE50/100. Terdeteksinya gen penyandi sedoheptulosa-7-fosfat siklase pada isolat BWA65 ini memberikan informasi terdapatnya jalur biosintesis senyawa inhibitor α-glukosidase yang mirip dengan jalur biosintesis acarbose pada isolat BWA65. Tabel 8 Hasil analisis sekuen DNA hasil amplifikasi gen penyandi sedoheptulosa7-fosfat siklase isolat BWA65 menggunakan program BLASTX No akses
Homologi
Tingkat kemiripan
YP-004812094.1
GAF sensor hybrid histidine kinase pada Streptomyces violaceusniger Tu 4113
92%
ZP_07294440.1
Sensor histidine kinase/respone regulator pada Streptomyces himastatinicus ATCC 53653)
89%
AD106478.1
Two-component system sensor kinase pada Streptomyces bingchenggensis BCW-1
83%
Ekstraksi Senyawa Inhibitor α-Glukosidase Pelarut terbaik yang digunakan untuk ekstraksi senyawa inhibitor dari kultur BWA65 diperoleh dengan cara melakukan percobaan pendahuluan dengan menggunakan berbagai macam pelarut yaitu; kloroform, etil asetat, metanol, etanol dan butanol. Hasil ekstraksi dengan berbagai macam pelarut tersebut disajikan pada Tabel 9. Hasil percobaan menunjukkan penggunaan etil
46
asetat memberikan hasil terbaik diantara pelarut lainnya dengan rendemen ekstrak 0.03%, diikuti dengan pelarut etanol, metanol, butanol dan kloroform . Etil asetat selanjutnya digunakan untuk keperluan ekstraksi senyawa inhibitor αglukosidase dari kultur aktinomiset endofit BWA65. Tabel 9 Hasil ekstraksi senyawa inhibitor dengan berbagai pelarut Pelarut
Rendemen (%)
kloroform
0.0100
etil asetat
0.0300
metanol
0.0260
etanol
0.0299
butanol
0.0243
Uji Aktivitas Inhibitor α-glukosidase Hasil Ekstraksi dengan Berbagai Pelarut. Ekstrak kultur BWA 65 selanjutnya diuji aktivitas penghambatannya terhadap enzim α-glukosidase. Pada pengujian ini enzim α-glukosidase menghidrolisis substrat p-nitrophenyl α-D-glucopyranoside menjadi p-nitrophenol yang berwarna kuning dan glukosa. Aktivitas enzim diukur berdasarkan absorbansi p-nitrophenol yang berwarna kuning. Dengan adanya ekstrak kultur BWA65 yang berperan sebagai inhibitor α-glukosidase maka p-nitrophenol yang dihasilkan akan berkurang yang ditandai oleh berkurangnya intensitas warna kuning. Aktivitas penghambatan α-glukosidase berbagai ekstrak kultur BWA65 dapat dilihat pada Tabel 10. Hasil pengujian tersebut dapat dilihat aktivitas inhibitor kultur BWA65 yang diekstrak dengan berbagai macam pelarut. Ekstrak etil asetat memberikan aktivitas penghambatan paling tinggi dibandingkan dengan ekstrak lainnya. Pada konsentrasi 1000 μg/ml ekstrak etil asetat memberikan penghambatan sebesar 77.77%, diikuti ekstrak butanol, metanol, kloroform dan etanol dengan nilai penghambatan sebesar 75.98%, 69.94%, 69.51% dan 68.05%. Semakin rendah konsentrasi ekstrak menghasilkan penghambatan yang semakin rendah pula terhadap aktivitas enzim α-glukosidase. Berdasarkan hasil uji pendahuluan bahwa penggunaan etil asetat menghasilkan rendemen ekstrak tertinggi dan aktivitas inhibitor α-glukosidase tertinggi dibanding pelarut lainnya, serta senyawa etil asetat diketahui tidak bersifat toksik, maka untuk keperluan ekstraksi selanjutnya dipilih senyawa etil asetat.
47
Tabel 10 Aktivitas inhibitor α-glukosidase berbagai ekstrak kultur aktinomiset BWA65 Penghambatan ekstrak (%)
Konsentrasi μg/ml
etil asetat
kloroform butanol
metanol etanol
1000
77.77
69.51
75.98
69.94
68.05
500
71.80
64.80
66.99
66.03
59.92
250
65.59
58.59
60.15
64.23
59.92
125
61.75
54.25
58.20
59.06
52.22
62.5
56.20
52.46
55.74
41.31
44.92
Penggunaan etil asetat untuk mengekstrak senyawa bioaktif khususnya senyawa inhibitor α-glukosidase telah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya. Xu et al. (2005) melakukan ekstraksi tanaman Glycyrrhiza uralensis dengan beberapa jenis pelarut. Hasil pengujian ekstrak menunjukkan bahwa ekstrak etil asetat dari tanaman tersebut menghasilkan hambatan terhadap αglukosidase tertinggi sebesar 83.2% dibanding dengan ekstrak dari pelarut yang lain. Wu
et
al.
(2009) juga
melaporkan telah
mengekstrak tanaman
Crossostephium chinense dengan etil asetat untuk mendapatkan senyawa inhibitor α-glukosidase. Hasil fraksinasi dari ekstrak etil asetat tersebut akhirnya diperoleh senyawa scopoletin, tanacetin, hispidulin, quercetagetin, celagin yang menunjukkan aktivitas penghambatan yang kuat terhadap enzim α-glukosidase secara in vitro. Pada penelitian ini ditentukan juga nilai IC 50 masing-masing ekstrak yaitu nilai yang menunjukkan konsentrasi ekstrak yang menyebabkan penghambatan sebesar 50% terhadap aktivitas enzim α-glukosidase yang diuji. Semakin kecil nilai IC50 berarti semakin kuat daya hambat senyawa inhibitor terhadap enzim αglukosidase
tersebut.
Nilai
ini
didapat
dengan
cara
menguji
aktifitas
penghambatan suatu ekstrak pada berbagai macam konsentrasi. Setelah didapat nilai penghambatan dari masing-masing konsentrasi ekstrak, selanjutnya dibuat persamaan garis yang merupakan fungsi dari konsentrasi ekstrak dan besaran penghambatan yang dihasilkan. Nilai-nilai konsentrasi ekstrak sebagai absis (variabel X) dan besarnya penghambatan sebagai ordinat (variabel Y). Hasil pengujian menunjukkan bahwa nilai IC50 terkecil diperoleh dari ekstrak etil asetat yaitu sebesar 28.6 μg/ml, dan diikuti berturut-turut oleh ekstrak butanol, kloroform,
48
metanol dan etanol dengan nilai IC50 berturut-turut sebesar 38, 54, 84 dan 102 μg/ml (Gambar 10).
120 102 Nilai IC50 (μg/ml)
100 84
80 54
60 40
38 28,6
20 0 etil asetat
kloroform
butanol
metanol
etanol
Ekstrak
Gambar 10 Nilai IC50 dari berbagai ekstrak kultur BWA65 yang diekstraksi menggunakan beberapa pelarut.
Analisis Fitokimia Ekstrak Etil Asetat. Analisis fitokimia dilakukan untuk mengetahui kandungan kualitatif senyawa metabolit sekunder dari suatu bahan alam. Dengan analisis ini dapat diketahui golongan utama senyawa aktif yang terkandung di dalam suatu ekstrak. Hasil pengujian fitokimia terhadap ekstrak etil asetat kultur BWA65 dapat dilihat pada Tabel 11. Hasil uji fitokimia secara umum menunjukkan bahwa ekstrak etil asetat kultur BWA65 mengandung senyawa golongan flavonoid, phenol hidroquinon, steroid dan triterpenoid. Daya penghambatan ekstrak etil asetat dari kultur aktinomiset endofit BWA65 diduga karena kandungan senyawa fitokimia yang terdapat di dalam ekstrak tersebut. Beberapa peneliti telah melaporkan adanya senyawa yang termasuk golongan senyawa
yang
tedapat pada ekstrak tersebut
yang
diketahui mampu
menghambat kerja enzim α-glukosidase. Senyawa flavonoid merupakan kelompok senyawa yang telah banyak dilaporkan memiliki aktivitas inhibitor α-glukosidase maupun sebagai anti hiperglikemia oleh para peneliti sebelumnya. Kim et al. (2000) telah menemukan senyawa kelompok flavonoid, yaitu luteolin yang memiliki aktivitas penghambatan terhadap enzim α-glukosidase maupun α-amilase.
Lee et al. (2008) telah
49
mengisolasi senyawa flavonoid dari kelompok flavonol dari daun tanaman Machilus philippinensis yang memiliki aktivitas inhibitor terhadap enzim αglukosidase dari Bacillus stearothermophilus. Ghosh dan Konishi (2007) menyatakan bahwa ekstrak flavonoid kelompok antosianin diketahui memiliki potensi aktivitas inhibitor α-glukosidase dan dapat menekan peningkatan kadar glukosa setelah makan. Tadera et al. (2006) menguji enam kelompok flavonoid terhadap aktivitas enzim alfa amilase dan α-glukosidase. Hasil pengujian menunjukkan bahwa flavonoid dari kelompok antosianidin, isoflavon dan flavonol dapat menghambat enzim α-glukosidase dengan nilai IC50 kurang dari 15 µM. Wu et al. (2012) menemukan beberapa senyawa flavonoid dari kelompok isoflavon dari rimpang Belamcanda chinensis yaitu: rhamnosylswertisin, genistein, genistin, mangiferin dan daidzin yang memiliki penghambatan kuat terhadap enzim α-glukosidase secara in vitro.
Tabel 11 Kandungan fitokimia ekstrak etil asetat kultur BWA65 No
Kelompok senyawa
Keberadaan
1
alkaloid
-
2
flavonoid
3
phenol hidroquinon
4
steroid
5
triterpenoid
6
tanin
-
7.
saponin
-
++++ +++ + +++
Fraksinasi dengan Kromatografi Kolom Pencarian Eluen Terbaik. Ekstrak etil asetat yang diperoleh pada percobaan ini selanjutnya difraksinasi lebih lanjut menggunakan kromatografi kolom gel silika. Sebelum dilakukan fraksinasi dengan kromatografi kolom, terlebih dahulu perlu ditentukan eluen yang tepat sebagai fasa geraknya, yang dapat memisahkan komponen aktif yang terdapat pada ekstrak etil asetat. Untuk mencari eluen terbaik (fasa gerak) yang dapat memisahkan senyawa yang paling baik, dilakukan pengujian kromatografi lapis tipis (KLT) terlebih dahulu. Pengujian ini meliputi pencarian pelarut tunggal maupun campuran yang dapat memisahkan senyawa-senyawa aktif yang terkandung di dalam ekstrak etil asetat tersebut.
50
Pemilihan pelarut campuran didasarkan pada studi literatur yang telah dilakukan peneliti sebelumnya (Kim & Nho 2004). Pengujian dengan KLT menggunakan fasa diam berupa pelat KLT gel silika GF 254 dan fasa geraknya ditentukan dengan cara coba-coba (trial and error). Dari beberapa percobaan yang dilakukan, akhirnya diperoleh pelarut yang dapat memisahkan komponen aktif dalam ekstrak yang ditandai dengan adanya hasil kromatografi yang berupa spot-spot yang terpisah dengan baik. Pelarut terbaik yang dapat memisahkan komponen aktif dari ekstrak BWA65 adalah pelarut campuran heksan dan etil asetat dengan perbandingan 1:4 (Tabel 12). Tabel 12 Hasil percobaan KLT untuk menentukan pelarut terbaik Jumlah Pelarut Nilai Rf spot aceton 1 0.142 etanol
1
0.071
kloroform
1
0.014
metanol
1
0.014
etil asetat: aseton (1:1)
2
0.428; 0.500
etil asetat:aseton (3:1)
3
0.071; 0.142; 0.214
kloroform:metanol (4:1)
1
0.428
kloroform:metanol (4:11)
1
0.857
kloroform:metanol (5:10)
1
0.857
kloroform:metanol (3:2)
1
0.428
heksan:etil asetat (1:1)
3
0.142; 0.285; 0.714
heksan:etil asetat (3:2)
2
0.214; 0.285
heksan:etil asetat (1.5:3.5)
5
heksan:etil asetat (1:4)
7
heksan:etil asetat (9:1)
1
0.142; 0.285; 0.428; 0.500; 0.786 0.240; 0.300; 0.360; 0.430; 0.460; 0.610; 0.780 0.285
heksan:etil asetat (1:1)
3
0.214; 0.285; 0.714
51
Spot ke
Nilai Rf
1
0.78
2
0.61
3
0.46
4
0.43
5
0.36
6
0.30
7
0.24
Gambar 11 Kromatografi lapis tipis dengan variasi campuran pelarut pengembang heksan: etil asetat 1:4.
Hasil pengujian diperoleh pelarut campuran heksan : etil asetat (1:4) merupakan eluen terbaik untuk pemisahan senyawa aktif inhibitor α-glukosidase yang terdapat pada ekstrak. Eluen ini dapat memisahkan komponen yang terdapat dalam ekstrak menjadi 7 spot dengan nilai Retention factor (Rf) sebesar 0.24; 0.30; 0.36; 0.43; 0.46; 0.61; dan 0.78 (Gambar 11) Setelah eluen sebagai fase gerak terbaik ditemukan, kemudian dilakukan fraksinasi dengan kromatografi kolom kilas (flash chromatography). Pada tahap ini, fasa diam yang digunakan adalah silika gel yang bersifat polar dan fase gerak yang digunakan adalah heksan : etil asetat dengan perbandingan 1:4. Hasil fraksinasi diperoleh 201 fraksi. Fraksi-fraksi ini kemudian dianalisis dengan menggunakan kromatografi lapis tipis. Fraksi-fraksi dengan pola kromatogram yang sama kemudian digabung menjadi satu. Hasil fraksinasi kolom dan pemeriksaan dengan KLT diperoleh 7 fraksi gabungan (Tabel 13). Fraksi F1 merupakan gabungan dari fraksi nomor 1-2 dengan spot tunggal dengan nilai Rf 0.88. Fraksi F2 merupakan gabungan dari fraksi nomor 37 dengan spot tunggal dengan nilai Rf 0.86. Fraksi F3 merupakan gabungan dari fraksi nomor 8-20 dengan spot dua dengan nilai Rf 0.62 dan 0.50. Fraksi F4 merupakan gabungan dari fraksi nomor 21-55 dengan spot dua dengan nilai Rf 0.40 dan 0.35. Fraksi F5 merupakan gabungan dari fraksi nomor 58-85 dengan spot dua dengan nilai Rf 0.31 dan 0.21. Fraksi F6 merupakan gabungan dari fraksi nomor 86-155 dengan spot tunggal dengan nilai Rf
0.19. Fraksi F7
52
merupakan gabungan dari fraksi nomor 156-201 dengan spot tunggal dengan nilai Rf 0.15. Tabel 13 Hasil fraksinasi senyawa menggunakan kromatografi kolom gel silika. Jumlah Berat Rendemen Fraksi Nomor fraksi RF spot (gram) (%) F1 1-2 1 0.88 0.0580 7.25 F2
3-7
1
0.86
0.1039
12.99
F3
8-20
2
0.62; 0.50
0.0273
3.41
F4
21-55
2
0.40; 0.30
0.0362
4.56
F5
56-85
2
0.31; 0.23
0.0331
4.14
F6
86-155
1
0.19
0.1452
18.15
F7
156-201
1
0.10
0.0186
2.33
kemudian
dipekatkan
Masing-masing
fraksi
gabungan
tersebut
menggunakan vacum rotary evaporator. Hasil perolehan fraksi bervariasi dengan rendemen 2.33-18.15%. Perolehan tertinggi diperoleh pada Fraksi F6 dengan berat ekstrak 0.1452 gram, diikuti oleh fraksi F2, F1, F4, F5, F3 dan F7 dengan berat berturut-turut: 0.1039; 0.0580; 0.0362; 0.0331; 0.0273; dan 0.0186 gram. Uji Penghambatan α-glukosidase Fraksi. Hasil pengujian aktivitas inhibitor α-glukosidase senyawa aktif hasil fraksinasi menggunakan kromatografi kolom menunjukkan hasil yang bervariasi (Tabel 14). Tabel 14 Aktivitas inhibitor α-glukosidase hasil fraksinasi kolom Penghambatan Fraksi (%)
Konsentrasi μg/ml
F1
F2
F3
F4
F5
F6
F7
Acb
200
59.80
72.71
83.98
66.32
30.32
80.90
57.01
84.10
100
56.42
63.13
75.32
62.49
25.25
72.09
46.69
76.57
50
53.08
56.00
62.81
58.53
24.43
67.24
39.55
44.63
25
45.62
46.77
55.45
51.24
23.01
62.21
39.03
40.82
12.5
44.05
39.15
45.62
45.77
17.91
49.00
38.28
34.25
Aktivitas Fraksi F1-F7 dalam menghambat enzim α-glukosidase pada konsentrasi 200 ppm menunjukkan adanya kemampuan penghambatan yang bervariasi antara 30.32-80.93%. Aktivitas tertinggi dihasilkan oleh fraksi F3 dengan aktivitas peghambatan sebesar 83.98% pada konsentrasi 200 ppm atau
53
setara dengan 99.86% jika dibandingkan dengan senyawa acarbose pada konsentrasi yang sama (aktivitas penghambatan sebesar 84.1%). Fraksi dengan aktivitas terbesar kedua adalah fraksi F6 dengan aktivitas penghambatan sebesar 80.9% (setara dengan 96.20% acarbose), diikuti oleh fraksi F2, F4, F1, F7 dan F5 dengan aktivitas penghambatan berturut-turut sebesar 72.71; 66.32; 59.80; 57.01 dan 30.32%. Penghitungan nilai IC50 masing-masing fraksi juga menunjukkan nilai yang bervariasi. Nilai IC50 terkecil diperoleh dari fraksi F6 yaitu sebesar 10.9 ppm, diikuti oleh Fraksi F3, F4, F2, F1, F7 dan F5, masing-masing sebesar 17.4; 20.14; 31.56; 43.25; 135.4 dan 565 ppm. Jika dibandingkan dengan nilai IC50 senyawa acarbose maka terdapat 4 fraksi yang potensial karena nilainya dibawah acarbose yaitu F6, F3, F4 dan F2. Fraksi F7 dan F5 memiliki nilai yang jauh lebih besar dari acarbose, sehingga fraksi ini dianggap tidak potensial (Gambar 12).
160 135.4
140
IC50 (ppm)
120 100 80 60
43.25
36.65
31.56
40 20
17.4
20.14
F3
F4
10.9
0 F1
F2
F6
F7
Acb
Fraksi Gambar 12 Nilai IC50 dari fraksi aktif hasil kromatografi kolom gel silika. Pada penelitian ini digunakan kontrol positif berupa senyawa acarbose. Senyawa ini dipilih karena merupakan senyawa inhibitor α-glukosidase yang paling banyak digunakan untuk pengobatan diabetes dengan nama dagang Gucobay.
Beberapa peneliti sebelumnya juga melaporkan adanya senyawa
inhibitor α-glukosidase potensial dengan pembanding senyawa acarbose sebagai kontrol positif. Kwon et al. (2000) melaporkan senyawa Cyclo(dehidroala-L-Leu)
54
yang memiliki aktivitas inhibitor α-glukosidase dengan nilai IC50 sebesar 35 µg/ml (nilai IC50 acarbose sebesar 61 µg/ml). Lee et al. (2008) menemukan senyawa flavonol monorhamniside yang memiliki aktivitas inhibitor α-glukosidase dengan nilai IC50 6.10 µM dan 1.00 µM, sementara nilai IC 50 acarbose sebesar 0.046 μM. Senyawa phlorotannin yang dilaporkan oleh Moon et al. (2011) memiliki aktivitas inhibitor α-glukosidase dengan nilai IC50 sebesar 1.37-6.13 dan nilai IC50 acarbose sebesar 187 µg/ml. Elya et al. (2011) mendapatkan ekstrak berbagai tanaman dengan nilai IC50 2.33-112.02 µg/ml dibanding nilai IC50 acarbose sebesar 117.2 µg/ml. Peneliti lain (Nie et al. 2011) melaporkan senyawa oleanic acid memiliki aktivitas inhibitor α-glukosidase dengan nilai IC50 sebesar 98.5 μM dan nilai IC50 acarbose sebesar 388 μM (Tabel 15). Hasil pengujian oleh para peneliti tersebut menunjukkan adanya nilai IC 50 yang bervariasi dari senyawa acarbose yang digunakan. Hal ini sangat tergantung pada komposisi reaksi yang digunakan untuk menguji aktivitas inhibitor α-glukosidase senyawa bioaktif tersebut. Tabel 15 Aktivitas inhibitor α-glukosidase beberapa senyawa dibanding acarbose Nilai IC50 Nilai IC50 Bahan aktif Author senyawa acarbose oleanolic acid Nie et al. 2011 98.5 µM 388 µM cyclo(dehidroala-LLeu) flavonol monorhamnosida phlorotannin
35 µg/ml
61 µg/ml
Kwon et al. 2000
1.0-6.10 µM
0.046 µM
Lee et al. 2008
1.37-6.13 µg/ml
187 µg/ml
Moon et al. 2011
ekstrak berbagai tanaman Fraksi F6
2.33-112.02 µg/ml 10.9 µg/ml
117.2 µg/ml
Elya et al. 2011
36.7 µg/ml
Penelitian ini
Fraksi F3 dan Fraksi F6 merupakan fraksi yang paling potensial karena memiliki aktivitas yang setara dengan acarbose (Gambar 13). Bahkan pada konsentrasi yang rendah (dibawah 100 ppm) aktivitas kedua fraksi ini lebih tinggi dibanding dengan acarbose. Pada konsentrasi 12.5; 25 dan 50 ppm fraksi F6 memiliki aktivitas inhibitor sebesar 49.00; 62.21 dan 67.24% atau setara dengan 143.1%; 152.4% dan 150.1% dibanding acarbose pada konsentrasi yang sama. Fraksi F3 pada konsentrasi 12.5; 25 dan 50 ppm memiliki aktivitas inhibitor
55
sebesar 45.62; 55.45 dan 62.81% atau setara dengan 133.2%; 135.8% dan 140.7% jika dibanding acarbose pada konsentrasi yang sama (aktivitas acarbose
Penghambatan (%)
sebesar 34.25; 40;82 dan 44.63% pada konsentrasi 12.5; 25 dan 50 ppm) .
90,0 80,0 70,0 60,0 50,0 40,0 30,0 20,0 10,0 0,0
F3 F6 Acb
200
100
50
25
12,5
Konsentrasi (ppm)
Gambar 13 Aktivitas inhibitor α-glukosidase dari fraksi terpilih (Fraksi F3 dan Fraksi F6) yang dibandingkan dengan acarbose (Acb). Berdasarkan nilai aktivitas inhibitor α-glukosidase, nilai IC50 dan perolehan rendemen, akhirnya dipilih Fraksi F6 untuk dikarakterisasi lebih lanjut. Fraksi F3, meskipun memiliki aktivitas terbesar, tetapi karena rendemennya terlalu kecil, tidak dipilih sebagai objek karakterisasi. Hal ini disebabkan untuk keperluan analisis diperlukan sejumlah sampel yang cukup. Fraksi F6 yang memiliki rendemen paling tinggi tentu memiliki nilai ekonomis yang lebih menguntungkan dibanding fraksi lainnya apabila senyawa ini akan diproduksi dalam skala besar. Karakterisasi dan Identifikasi Senyawa Inhibitor α-glukosidase Pemeriksaan dengan KLT Analitik. Sebelum dilakukan karakterisasi lebih lanjut terhadap Fraksi F6, perlu dilakukan uji KLT ulang terhadap Fraksi F6 ini dengan beberapa jenis eluen. Hal ini dimaksudkan untuk melihat apakah senyawa yang akan dianalisis telah cukup murni atau belum. Apabila spot pada KLT berjumlah tunggal, maka senyawa kita sudah relatif murni, namun apabila spot yang dihasilkan lebih dari satu, maka senyawa yang akan dianalisis belum murni sehingga perlu pemurnian lebih lanjut. Eluen yang digunakan adalah heksan, heksan : etil asetat 1:4, etil asetat dan metanol. Hasil pengujian menunjukkan bahwa dari semua eluen yang dicoba, hasil KLT menunjukkan
56
adanya 1 spot saja (Gambar 14). Hal ini menunjukkan bahwa senyawa yang terkandung dalam Fraksi F6 sudah cukup murni. Meskipun demikian, akan lebih baik apabila dilakukan pemurnian lebih lanjut terhadap Fraksi F6 ini dan dilakukan konfirmasi menggunakan HPLC untuk memastikan kemurnian senyawa pada Fraksi F6 tersebut.
H
HE A
E A
M
Gambar 14 Hasil kromatografi lapis tipis Fraksi F6 menggunakan berbagai jenis eluen (H: heksan, HEA: heksan etil asetat 1:4, EA: etil asetat dan M: metanol) Laju migrasi senyawa pada Fraksi F6 untuk masing-masing eluen yang digunakan pada KLT bervariasi tergantung kepolaran eluen yang digunakan (Tabel 16). Semakin polar eluen yang digunakan semakin cepat laju migrasi senyawa pada pelat KLT sehingga semakin tinggi nilai Rf yang dihasilkan. Penggunaan metanol sebagai eluen memberikan nilai Rf terbesar (Rf 0.81) dibandingkan dengan penggunaan eluen etil asetat (Rf 0.44) , heksan-etil asetat (Rf 0.19) maupun heksan saja (Rf 0.00). Kepolaran metanol lebih besar dari etil asetat, dan kepolaran etil asetat lebih besar dari heksan. Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa senyawa pada Fraksi F6 merupakan senyawa yang polar. Hal ini karena senyawa yang polar akan lebih mudah larut dalam pelarut polar. Markham (1988) menegaskan bahwa flavonoid merupakan senyawa yang polar karena memiliki sejumlah gugus hidroksil atau gugus gula (bagi glikosida) sehingga akan mudah larut dalam pelarut polar seperti metanol tersebut.
57
Tabel16 Hasil KLT analitik Fraksi F6 dengan beberapa eluen Eluen
Jumlah spot
Rf
heksan
1
0.00
heksan: etil asetat 1:4
1
0.19
etil asetat
1
0.44
metanol
1
0.81
Pengaruh Konsentrasi Substrat terhadap Aktivitas Inhibitor αglukosidase. Percobaan ini digunakan untuk menduga tipe penghambatan yang dimiliki oleh senyawa Fraksi F6. Pengujian aktivitas inhibitor dilakukan dengan menggunakan substrat p-nitrophenyl α-D-glucopyranoside dengan berbagai konsentrasi mulai dari 20 mM, 10 mM, 5 mM, 2,5 mM dan 1.25 mM. Hasil pengujian pengaruh substrat terhadap kemampuan inhibitor Fraksi F6 dapat dilihat pada Tabel 17 dan Gambar 15. Berdasarkan hasil tersebut terlihat bahwa semakin tinggi konsentrasi substrat semakin kecil hambatan yang dihasilkan oleh senyawa pada Fraksi F6. Hal ini mengindikasikan bahwa Fraksi F6 merupakan inhibitor kompetitif. Tipe penghambatan yang dimiliki Fraksi F6 ini serupa dengan tipe hambatan yang dihasilkan oleh senyawa acarbose. Sebagaimana diketahui bahwa acarbose merupakan senyawa yang memiliki jenis hambatan kompetitif. Berdasarkan analisis kinetika enzim menurut persamaan Lineweaver-Burke diperoleh grafik seperti tertera pada Gambar 16. Tabel 17 Pengaruh konsentrasi substrat terhadap kemampuan inhibitor αglukosidase hasil fraksinasi Penghambatan (%) Konsentrasi substrat (mM) Fraksi F6 Acarbose 20
55.88
30.34
10
76.90
63.71
5
79.66
81.35
2.5
87.12
88.16
1.25
89.30
87.73
58
100
Inhibisi (%)
80 60
40 20 0 0
5
10
15
20
25
Konsentrasi substrat (mM) Fraksi F6 100 ppm
Gambar 15
Acarbose 100 ppm
Pengaruh konsentrasi substrat terhadap aktivitas inhibitor αglukosidase hasil fraksinasi.
12 y = 11,67x + 1,166 R² = 0,998
10
1/V
8
y = 10,86x + 1,007 R² = 0,972
6
4 2
y = 0,631x + 0,577
0 -0,4
-0,2
0 -2
Fraksi F6 100 ppm
0,2
0,4
1/(S) Acarbose 100 ppm
0,6
0,8
1
Tanpa inhibitor
Gambar 16 Kurva Lineweaver-Burke aktivitas α-glukosidase. Kurva Lineweaver-Burke aktivitas α-glukosidase dapat digunakan untuk menduga tipe penghambatan enzim dari suatu senyawa inhibitor. Berdasarkan analisis grafik di atas diperoleh perubahan nilai K M yang cukup besar dan
59
perubahan Vmax yang kecil. Pola kinetika yang terbentuk setelah penambahan inhibitor Fraksi F6 mengakibatkan peningkatan K M sebesar 8.92 mM dari 1.09 mM menjadi 10.01 mM dan penurunan Vmax sebesar 0.05 A/menit dari 0,11 A/menit menjadi 0.06 A/menit. Menurut Copeland (2005) jenis penghambatan kompetitif adalah penghambatan yang terjadi dengan peningkatan nilai K M dengan nilai Vmax yang tetap. Pada penghambatan kompetitif, inhibitor berkompetisi dengan subtrat untuk memperebutkan sisi aktif enzim dan peristiwa ini menyebabkan nilai KM menjadi lebih besar dari keadaan normalnya dengan nilai Vmax relatif tetap. Secara teoritis, kurva ideal dari tipe penghambatan kompetitif adalah terjadi perpotongan garis kurva pada titik yang sama pada sumbu Y antara kurva reaksi enzim dengan penambahan inhibitor dan kurva tanpa penambahan inhibitor. Berdasarkan hal tersebut, dapat diduga bahwa tipe penghambatan Fraksi F6 adalah tipe penghambatan kompetitif. Ketidaktepatan perpotongan kurva pada sumbu Y antara kurva tanpa inhibitor dan kurva dengan penambahan inhibitor kemungkinan dapat disebabkan oleh beberapa hal antara lain kemungkinan senyawa Fraksi F6 belum murni. Kemungkinan lainnya adalah konsentrasi senyawa yang diuji belum tepat, sehingga perlu dilakukan pengujian menggunakan berbagai konsentrasi inhibitor, seperti dilakukan oleh Kimura et al. (2004). Konsekuensi dari tipe inhibitor kompetitif ini apabila nanti akan diaplikasikan pada manusia adalah harus cermat di dalam memperhitungkan dosis dengan pola makan pasien. Beberapa senyawa lain juga telah diketahui mekanisme inhibitornya. Diantara flavonoid yang dikenal memiliki aktivitas inhibitor α-glukosidase, senyawa genistein (kelompok isoflavon) memiliki mekanisme penghambatan non kompetitif (Lee & Lee 2001).
Wu et al. (2012) juga melaporkan senyawa
swertisin yang merupakan flavonoid kelompok isoflavon juga memiliki aktivitas penghambatan non kompetitif. Identifikasi Inhibitor α-glukosidase dengan Uji Fitokimia. Uji fitokimia terhadap Fraksi F6 dilakukan untuk memperkuat dugaan kelompok metabolit utama dari senyawa kimia yang terdapat pada Fraksi F6. Hasil uji fitokimia menunjukkan bahwa Fraksi F6 positif sebagai flavonoid. Hasil pengujian ini juga semakin memperkuat adanya keterkaitan antara metabolit yang dihasilkan oleh mikrob endofit dengan tanaman inangnya. Beberapa peneliti sebelumnya telah melaporkan adanya senyawa kelompok flavonoid pada tanaman T. crispa. Hasil
60
pengujian oleh Amom et al (2009) menunjukkan bahwa ekstrak tanaman T. crispa mengandung flavonoid yang memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi setara dengan antioksidan yang telah umum dikenal seperti BHT (butil hidroksi toluen) dan vitamin C. Flavonoid yang terdeteksi pada tanaman T. crispa ini antara lain catechin (1.58 μg/μl), luteolin (0.85 μg/μl), morin (1.44 μg/μl), dan rutin (1.38 μg/μl). Adanya beberapa senyawa flavonoid ini diyakini secara kolektif berfungsi sebagai antioksidan. Patela dan Mishrab (2012) menemukan tiga senyawa dari tanaman T. cordifolia yang memiliki kemampuan inhibitor α-glukosidase, yaitu jatrorrhizine, palmatine dan magnoflorine. Senyawa-senyawa tersebut memiliki nilai IC50 berturut-turut sebesar 22.05; 38.42 and 7.6 µg/ml untuk jatrorrhizine, palmatine dan magnoflorine. Hasil uji in vivo juga menunjukkan adanya penekanan yang signifikan terhadap kenaikan kadar glukosa plasma darah oleh ketiga senyawa tersebut pada konsentrasi 20 mg/kg berat badan. Senyawa magnoflorine merupakan senyawa paling potensial sebagai inhibitor α-glukosidase diantara ketiga senyawa yang ditemukan tersebut. Jika dibandingkan dengan aktivitas senyawa yang dilaporkan oleh Patela dan Mishrab (2012) di atas maka senyawa Fraksi F6 memiliki aktivitas yang lebih baik dibanding jatrorrhizine, palmatine (nilai IC50 22.05 dan 38.42) tetapi lebih rendah dari pada magnoflorine (nilai IC50 7.6 µg/ml). Namun demikian untuk aktivitas in vivo dalam menurunkan kadar gula darah pada mencit diabetes belum dapat dibandingkan, karena uji coba senyawa inhibitor dari isolat BWA65 ini masih dalam pelaksanaan. Disamping diketahui mengandung senyawa yang memiliki kemampuan inhibitor α-glukosidase, tanaman T. crispa juga diketahui memiliki kandungan senyawa bioaktif yang dapat menurunkan kadar gula darah melalui aktivitas lain. Ruana et al (2012, in press) melaporkan adanya senyawa borapetoside dari tanaman T. crispa yang mampu meningkatkan sensitivitas insulin sehingga berperan sebagai anti hiperglikemia pada tikus diabetes. Identifikasi dengan Spektrofotometer UV-Vis. Spektrum flavonoid biasanya ditentukan dalam larutan dengan pelarut metanol atau etanol. Spektrum khas terdiri dari atas dua puncak pada rentang 240-285 nm (pita II) dan 300-550 nm (pita I). Hasil pengujian Fraksi F6 dan Fraksi F3 menggunakan spektrofotometer UV-Vis dapat dilihat pada Gambar 17 dan 18.
61
Gambar 17 Spektrum serapan Fraksi F6 menggunakan spektrofotometer UV-Vis.
Gambar 18 Spektrum serapan Fraksi F3 menggunakan spektrofotometer UV-Vis.
Hasil pengujian menggunakan spektrofotometer UV-Vis yang berupa kurva yang menggambarkan nilai serapan senyawa kemudian diidentifikasi menggunakan tabel referensi. Petunjuk mengenai rentang puncak utama yang diperkirakan untuk setiap jenis flavonoid disajikan pada Tabel 18 dan Tabel 19.
62
Tabel 18 Rentangan serapan spektrum UV-Vis flavonoid (Markham 1988) Pita II (nm)
Pita I (nm)
Jenis flavonoid
250-280 250-280 250-280 245-275
flavon flavonol (3-OH tersubtitusi) flavonol (3-OH bebas) isoflavon
275-295
310-350 330-360 350-385 310-330 bahu kira-kira 320 puncak 300-330 bahu
230-270 230-270 270-280
340-390 380-430 465-560
Berdasarkan
spektrum
serapan
dengan
flavonon dan dihidroflavonol khalkon auron antosianidin dan antosianin spektrofotometer
UV-Vis
(Gambar 17), Fraksi F6 memiliki serapan maksimum pada panjang gelombang 423 nm dan tiga puncak pada daerah UV yaitu pada 255, 248 dan 242 nm maka diduga Fraksi F6 ini merupakan flavonoid yang termasuk dalam kelompok auron (Markham, 1988; Harborne, 2006). Fraksi F3 memiliki serapan maksimum pada panjang gelombang 431 nm dan 319 nm. Berdasarkan penelusuran pada tabel spektrum flavonoid (Tabel 18 dan 19) menurut Markham (1988) dan (Harborne 2006), nilai serapan maksimum Fraksi F3 tidak ada yang memenuhi kriteria dalam tabel tersebut, sehingga diduga senyawa aktif pada Fraksi F3 tersebut bukan merupakan kelompok flavonoid. Merujuk pada hasil uji fitokimia, kemungkinan senyawa Fraksi F3 ini dapat berasal dari kelompok terpenoid. Hal ini diperkuat adanya laporan yang menyatakan adanya senyawa
kelompok
terpenoid dari tanaman T. crispa yang mempunyai aktivitas inhibitor αglukosidase.
Table 19 Ciri spektrum golongan flavonoid utama (Harborne 2006) Panjang gelombang maks (nm) 475-560 390-430 365-390 350-390 250-270 330-350 250-270 275-290 ± 255 255-265
Panjang gelombang tambahan (nm) ± 275 240-270 240-260 ± 300
Petunjuk antosianin auron khalkon flavonol
Tidak ada
flavon dan biflavonil
310-330
flavonon dan flavonol
310-330
isoflavon
63
Menurut Markham (1988) auron bersama dengan khalkon, flavonon, dihidrokhalkon dan isoflavon merupakan flavonoid minor karena penyebaran masing-masing kelas ini terbatas. Auron dan khalkon merupakan pigmen kuning yang dapat dijumpai pada tanaman Compositae dan beberapa famili tanaman lainnya. Salah satu contoh auron adalah aureusidin. Senyawa ini terdapat di alam dalam bentuk glikosida. Glikosida sendiri merupakan bentuk flavonoid yang terikat dengan gula, sedangkan yang tidak terikat dengan gula disebut aglikon. Adanya gula yang terikat pada flavonoid (bentuk yang umum ditemukan) cenderung menyebabkan flavonoid lebih mudah larut dalam air dan dengan demikian campuran pelarut di atas dengan air merupakan pelarut yang lebih baik untuk glikosida. Sebaliknya aglikon yang kurang polar seperti isoflavon, flavonon, flavon serta flavonol yang termetoksilasi cenderung lebih mudah larut dalam pelarut seperti eter dan kloroform. Aglikon flavonoid adalah polifenol dan karena itu mempunyai sifat kimia senyawa fenol, yaitu bersifat agak asam sehingga larut dalam basa (Markham 1988). Flavonoid mempunyai sejumlah gugus hidroksil atau suatu gula sehingga flavonoid merupakan senyawa polar, maka umumnya flavonoid larut dalam pelarut polar seperti etanol, metanol, butanol, aseton, dimetilsulfoksida, dimetilformamida, air dan lain-lain. Adanya gugus berupa gula pada flavonoid diduga kuat sebagai bagian aktif yang memiliki aktivitas inhibitor α-glukosidase. Seperti halnya acarbose, adanya struktur gula menyebabkan senyawa ini mampu bersaing dengan substrat untuk menempati sisi aktif enzim. Percobaan pengaruh konsentrasi substrat mendukung adanya dugaan ini, dimana semakin tinggi konsentrasi sustrat, maka hambatan yang dihasilkan oleh Fraksi F6 semakin kecil. Fraksi F6 memiliki ciri-ciri seperti yang didiskripsikan di atas sehingga senyawa Fraksi F6 ini diduga kuat merupakan flavonoid kelompok auron.
64
Gambar 19 Spektrum FTIR senyawa Fraksi F6
Identifikasi Gugus Fungsi dengan FTIR. Spektrofotometer Fourier Transform Infrared (FTIR) banyak digunakan untuk analisis kualitatif maupun kuantitatif. Daerah pada spektrum IR di atas 1200 cm
-1
menunjukkan pita
serapan atau puncak serapan yang disebabkan adanya getaran kimia atau gugus fungsi dalam molekul yang dicari. Daerah di bawah 1200 cm
-1
menunjukkan pita dari getaran molekul yang dikenal dengan daerah sidik jari. Spektrum yang dihasilkan FTIR pada prinsipnya terbentuk dengan cara melewatkan radiasi IR pada contoh dan diproses menggunakan interferometer. Keadaan demikian secara kontinu akan menghasilkan sinyal pada detektor yang disebut interferogram. Hasil interferogram diubah menjadi bentuk spektrum dengan bantuan komputer berdasarkan operasi matematik Fourier Transform. Hasil analisis Fraksi F6 menggunakan spektrofotometer FTIR seperti tertera pada Gambar 19.
65
Tabel 20 Identifikasi gugus fungsi fraksi F6 dengan FTIR (Pavia et al. 2001) Bilangan gelombang -1 Fraksi F6 cm 3411.04
Bilangan gelombang -1 referensi cm dekat 3400-2400
Tipe vibrasi O-H
Ikatan H
2924.67
3000-2850
C-H
alkana
2853.68
2900-2800
C-H
aldehid
1731.20
1740-1720 1750-1730
C=O
aldehid atau ester
1638.57
1680-1630
C=O
amida
1563.45
1600-1475
C=C
aromatik atau
1640-1550
N-H
-CH2-
amina dan amida primer dan sekunder alkana
1442.46
1465
Daerah sidik jari 900-1400 849.09
900-690
C-H
aromatik atau
773.00
1000-650 900-690
C-H
alkena aromatik atau
749.62
1000-650 900-690
C-H
alkena aromatik atau
1000-650
alkena
Berdasarkan hasil pemeriksaan dengan spektrofotometer FTIR (Gambar 17) dan penelusuran literatur (Tabel 20) diduga senyawa Fraksi F6 ini memiliki gugus karbonil C=O pada bilangan gelombang 1731 cm-1, terdapat ikatan O-H pada bilangan gelombang 3411.04 cm-1, terdapat ikatan C-O pada bilangan gelombang 1300-1000 cm-1, terdapat ikatan rangkap C=C cincin aromatik pada bilangan gelombang 1563 cm-1. Hasil analisis ini memiliki kesesuaian dengan struktur dasar senyawa auron (Gambar 20).
Gambar 20 Struktur dasar senyawa auron.
66
Temuan Penting dan Implikasinya Penemuan isolat aktinomiset endofit dari tanaman T. crispa yang dapat menghasilkan inhibitor α-glukosidase semakin menambah data atau bukti ilmiah yang dapat memperkuat teori yang menyatakan bahwa suatu tanaman dapat mengandung mikrob endofit yang dapat menghasilkan metabolit sekunder sama dengan yang dihasilkan oleh tanaman inangnya. Fenomena ini tentu akan menjadi peluang besar penelitian dalam bidang mikrobiologi untuk melakukan eksplorasi mikrob dalam rangka pencarian senyawa bioaktif baru melalui pendekatan
empiris-ilmiah.
Resep-resep
pengobatan
tradisional
yang
memanfaatkan tanaman khas dari berbagai wilayah nusantara yang diwariskan secara kultural oleh nenek moyang merupakan modal informasi yang sangat berharga dalam rangka pemilihan tanaman inang sebagai sumber mikrob endofit baru penghasil senyawa bioaktif yang bermanfaat. Penelitian-penelitian tentang senyawa bioaktif yang berasal dari mikrob endofit khususnya dari tanamantanaman obat tradisional masih sangat langka, sehingga peluang untuk mendapatkan mikrob maupun senyawa jenis baru sangat besar. Temuan-temuan ini diharapkan dapat berkontribusi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Tanaman T. crispa bebas endofit yang diperoleh dari hasil kultur jaringan memiliki kemampuan yang lebih rendah dalam menghasilkan senyawa inhibitor α-glukosidase jika dibandingkan dengan tanaman T. crispa yang diperoleh dari alam. Isolat aktinomiset endofit BWA65 mampu menghasilkan aktivitas inhibitor α-glukosidase yang lebih besar dari tanaman T. crispa yang diperoleh dari alam. Fenomena tersebut mengindikasikan bahwa mikrob endofit, dalam hal ini aktinomiset endofit pada tanaman T. crispa tersebut memberikan kontribusi besar terhadap produksi senyawa inhibitor α-glukosidase. Indikasi adanya peran penting mikrob endofit dalam menghasilkan senyawa bioaktif ini merupakan fenomena menarik untuk dikaji lebih lanjut, khususnya dalam budidaya tanaman obat (penghasil senyawa bioaktif). Dalam budidaya tanaman khususnya untuk keperluan produksi senyawa bioaktif, faktor genetis tanaman dan faktor lingkungan (ekologi) sangat menentukan kualitas dan kuantitas senyawa bioaktif yang dihasilkan. Faktor lingkungan di sini meliputi antara lain adalah kandungan unsur hara tanah dan mikro klimat lokasi budidaya tanaman. Salah satu faktor yang
belum banyak dikaji adalah adanya peran mikrob endofit dalam
meningkatkan produksi senyawa bioaktif.
Berdasarkan indikasi adanya peran
penting mikrob endofit dalam menghasilkan senyawa bioaktif, maka dalam
67
budidaya tanaman obat perhatian terhadap eksistensi dan kebugaran mikrob endofit perlu dilakukan dalam rangka memaksimalkan peran mikrob endofit dalam memproduksi bahan aktif. Penelitian peningkatan senyawa bioaktif tanaman melalui pendekatan peran mikrob endofit juga masih sangat langka. Adanya fenomena peran endofit dalam menghasilkan senyawa bioaktif pada tanaman juga memiliki potensi besar dalam bidang kultur jaringan tanaman. Dalam bidang kultur jaringan, permasalahan utama yang sering dijumpai adalah adanya mikrob kontaminan yang tumbuh dalam eksplan yang ditanam. Selama ini setiap mikrob yang tumbuh dari eksplan tanaman dianggap kontaminan yang harus dihilangkan. Untuk keperluan propagasi tanaman, maka adanya mikrob yang tumbuh pada eksplan mutlak harus dicegah, tetapi untuk keperluan produksi seyawa bioaktif, adanya mikrob yang tumbuh tidak selalu harus dicegah. Berdasarkan fenomena bahwa mikrob endofit dapat memiliki kontribusi yang besar dalam menghasilkan senyawa bioaktif pada tanaman, maka adanya mikrob yang selalu hadir pada eksplan dapat berasal dari endofit sehingga tidak harus selalu dicegah, melainkan perlu dikaji peluangnya di dalam meningkatkan produksi senyawa bioaktif dari kultur jaringan tersebut. Isolat aktinomiset BWA65 memiliki kesamaan 98% dengan Streptomyces diastaticus. Adanya inhibitor α-glukosidase yang dihasilkan oleh S. diastaticus hingga saat ini belum pernah dilaporkan. Berdasarkan hal ini, kemungkinan besar isolat BWA65 merupakan Streptomyces penghasil senyawa inhibitor αglukosidase baru, sehingga senyawa yang dihasilkan kemungkinan besar merupakan senyawa inhibitor α-glukosidase jenis baru. Hasil fraksinasi senyawa aktif inhibitor α-glukosidase yang dilakukan dalam penelitian ini diperoleh Fraksi F6 yang memiliki aktivitas setara dengan acarbose. Acarbose merupakan senyawa inhibitor α-glukosidase yang sudah dikomersialkan dan digunakan secara luas untuk pengobatan diabetes. Pada konsentrasi yang rendah (di bawah 100 μg/ml) aktivitas Fraksi F6 ini lebih tinggi dibanding dengan acarbose. Berdasarkan hasil pemeriksaan menggunakan uji fitokimia, spektrofotometer UV-Vis maupun FTIR mengindikasikan bahwa senyawa aktif inhibitor α-glukosidase yang dihasilkan oleh isolat BWA65 merupakan senyawa flavonoid kelompok auron. Berdasarkan kajian literatur, hingga saat ini juga belum ada laporan tentang senyawa kelompok auron yang memiliki aktivitas inhibitor α-glukosidase. Hal ini juga membuka peluang kajian pengembangan lebih lanjut dari senyawa aktif Fraksi F6 ini.
68
69
KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN Pada penelitian ini diperoleh isolat aktinomiset endofit BWA65 dari tanaman T. crispa yang mampu menghasilkan senyawa inhibitor α-glukosidase. Berdasarkan hasil pengujian aktivitas inhibitor α-glukosidase antara tanaman T. crispa
bebas endofit,
tanaman
dari alam dan
isolat
endofit BWA65,
mengindikasikan aktinomiset endofit tersebut memiliki kontribusi penting di dalam menghasilkan senyawa inhibitor α-glukosidase pada tanaman T. crispa. Hasil identifikasi berdasarkan sekuen 16S rDNA menunjukkan isolat BWA65 memiliki kesamaan 98% dengan Streptomyces diastaticus, yang belum pernah dilaporkan memiliki aktivitas inhibitor α-glukosidase. Isolat aktinomiset endofit BWA65 merupakan isolat potensial untuk dikembangkan sebagai penghasil inhibitor αglukosidase karena selain memiliki unsur kebaharuan organisme penghasilnya, juga memiliki kemampuan inhibisi yang tinggi terhadap enzim α-glukosidase. Senyawa inhibitor α-glukosidase yang dihasilkan isolat ini dapat diproduksi menggunakan medium cair dan dapat diekstrak menggunakan pelarut etil asetat. Hasil fraksinasi komponen bioaktif menggunakan kromatografi kolom diperoleh Fraksi aktif F6 yang memiliki aktivitas inhibitor α-glukosidase setara dengan acarbose. Fraksi F6 memiliki aktivitas penghambatan sebesar 80.9% pada konsentrasi 200 ppm atau setara dengan 96.2% dari aktivitas acarbose (aktivitas inhibisi 84.1%). Pada pengujian nilai IC 50, Fraksi F6 memiliki nilai IC50 10.9 ppm lebih kecil dibanding nilai IC50 acarbose sebesar 36.65 ppm. Berdasarkan hasil pemeriksaan dengan spektrofotometer FTIR dan penelusuran literatur mengindikasikan senyawa Fraksi F6 ini memiliki gugus fungsi: karbonil C=O, ikatan O-H, ikatan C-O, ikatan rangkap C=C dan cincin aromatic. Pada pengukuran dengan spektrofotometer UV-Vis senyawa ini memiliki serapan panjang gelombang maksimum 423 nm. Berdasarkan hasil pemeriksaan menggunakan uji fitokimia, spektrofotometer UV-Vis maupun FTIR mengindikasikan bahwa senyawa aktif inhibitor α-glukosidase yang dihasilkan oleh isolat BWA65 merupakan senyawa flavonoid kelompok auron.
SARAN Pembuktian secara langsung melalui uji kemampuan kolonisasi isolat BWA65 pada tanaman T. crispa bebas endofit perlu dilakukan untuk lebih
70
menegaskan bahwa isolat BWA65 benar-benar merupakan endofit
pada
tanaman T. crispa. Perlu dilakukan uji lanjut untuk menentukan struktur kimia senyawa aktif Fraksi F6. Penentuan struktur ini berguna untuk keperluan verifikasi kebaharuan senyawa yang ditemukan dalam penelitian ini. Pengembangan lebih lanjut isolat BWA65 sebagai penghasil bahan aktif untuk obat diabetes perlu dilanjutkan melalui tahapan uji in vivo dan uji klinis agar dapat sampai ke komersialisasi produk.
71
DAFTAR PUSTAKA Aguilar FJ, Dorantes TB, Leon AG, Carrillo LV, Saenz JL, Ramos RR. 2003. Study of the antihyperglycemic effect of antidiabetic plants in rabbits with impaired glucose tolerance. Proc West Pharmacol Soc 46:148-152. Akhtar MA, Wahed II, Islam MR, Shaheen SM, Islam MA, Amran MS, Ahmed M. 2007. Comparison of long-term antihyperglycemic and hypolipidemic effects between Coccinia cordifolia (Linn.) and Catharanthus roseus (Linn.) in alloxan-induced diabetic rats. J Med Med Sci 2:29-34. Amom Z, Bahari H, Isemaail S, Ismail NA, Shah MD, Arsyad MS. 2009. Nutritional composition, antioxidant ability and flavonoid content of Tinospora crispa stem. Adv Nat Appl Sci 3:88-94. Anam K, Widharma RM, Kusrini D. 2009. Alpha glucosidase inhibitor of Terminalia species. Int J Pharmacol 5:277-280. Attele AS, Zhou YP, Xie JT, Wu JA, Zhang L, Dey L, Pugh P, Rue PA, Polonsky KS, Yuan C. 2002. Antidiabetic effects of Panax ginseng berry extract and the identification of an effective component. Diabetes 51:1851-1859. Azin M, Maozami N, Bogan MN. 1997. Production, purification and immobilization of glucose isomerase from Streptomyces olivochro-mogenes PTCC 1547. World J Microbiol Biotechnol 13:597-598. Bailey CJ, Day C. 2003. Antidiabetic drugs. Br J Cardiol 10:128-136. Benalla W, Bellahcen S, Bnouham M. 2010. Antidiabetic medicinal plants as a source of α-glucosidase inhibitors. Curr Diabetes Rev 6:247-54. Beltrame FM, Pessini GL, Doro DL, Dias BP, Bazotte RB, Garcia DA. 2002. Evaluation of the antidiabetic and antibacterial activity of Cissus sicyoides. Braz Archiv Biol Technol 45:21-25. Bhandari MR, Anurakkum NJ, Hong G, Kawabata J. 2008. Alpha glucosidase and alpha amilase inhibitory activities of Nepalese medicinal herb Pakhanbhed (Berginia ciliata). Food Chem 106:247-252. Bhat M, Zinjarde SS, Bhargava SY, Kumar AR, Joshi BN. 2008. Antidiabetic Indian plants: a good source of potent amilase inhibitor. Evid Compl Altern Med 11:1-6. Bnouham M, Ziyyat A, Mekhfi H, Tahri A. 2006. Medicinal plants with potential antidiabetic activity - a review of ten years of herbal medicine research (1990-2000). Int J Diabet Metabol 14:1-25. Cannell RJP, Farmer P, Walker JM. 1988. Purification and characterization of pentagalloylglucose, an α-glucosidase inhibitor / antibiotic from freshwater green algae Spirogyra varians. J Biochem 255:937-941.
72
Caruso MA, Colombo L, Fedeli L, Pavesi A, Quaroni S, Saracchi M, Ventrella G. 2000. Isolation of endophytic fungi and actinomycetes taxane producers. Ann Microbiol 50:3-13. Castillo UF, Strobel GA, Ford EJ, Hess WM, Porter H, Jensen JB, Albert H, Robison R, Condron MA, Teplow DB, Stevens D, Yaver D. 2002. Munumbicins, wide-spectrum antibiotics produced by Streptomyces NRRL 30562, endophytic on Kennedia nigriscans. Microbiology 148:2675-2685. Chen H, Yan X, Lin W, Zheng L, Zhang W. 2004. A new method for screening αglucosidase inhibitors and application to marine microorganisms. Pharm Biol 42:416-421. Chin YW, Balunas WJ, Chai HB, Kinghorn AD. 2006. Drug discovery from natural sources. Aaps J 8:239-252. Chougale AD, Ghadyale VA , Panaskar SN, Arvindekar AU. 2009. Alpha glucosidase inhibition by stem extract of Tinospora cordifolia. J Enz Inhib Med Chem 24:998-1001. Clark CM. 1998. Oral therapy in type 2 diabetes: pharmacological properties and clinical use of currently available agents. Diabet Spectrum 11:211-221. Coombs JT, Franco CM. 2003. Isolation and identification of actinobacteria from surface –sterilized wheat roots. Appl Environ Microbiol 69:5603-5608. Copeland RA. 2005. Evaluation of Enzyme Inhibitors in Drug Discovery: a Guide for Medical Chemists and Pharmacologists. New Jersey: WileyInterscience. Djomeni PD, Tedong L, Asongalem EA, Dimo T, Sokeng SC, Kamtchouing P. 2006. Hypoglycaemic and antidiabetic effect of root extracts of Ceiba pentandra in normal and diabetic rats . Afr J Trad Compl Altern Med 3:129-136. Du ZY, Liu RR, Shao WY, Mao X, Ma L, Gu L, Huang Z, Chan ASC. 2006. Αglucosidase inhibition of natural curcuminoids and curcumin analogs. Eur J Med Chem 41:213-218. Dutta R, Qin L, Inouye M. 1999. Histidine kinases: diversity of domain organization. Mol Microbiol 34:633-640. Ebong PE, Atangwho IJ, Eyong EU, Egbung GE. 2008. The antidiabetic efficacy of combined extracts from two continental plants: Azadirachta indica (A. Juss) (Neem) and Vernonia amygdalina (Del.) (African Bitter Leaf). American J Biochem Biotech 4:239-244. Elya B, Basah K, Munim A, Yuliastiti. 2012. Screening of α-glucosidase inhibitory activity from some plants of Apocynaceae, Clusiaceae, Euphorbiaceae, and Rubiaceae. J Biomed Biotechnol 12:1-6. Ezra D, Castillo UF, Strobel GA, Hess WM, Porter H, Jensen JB, Condron MAM, Teplow DB, Sears J, Maranta M, Hunter M, Weber B, Yaver D. 2004.
73
Coronamycins, peptide antibiotics produced by a verticillate Streptomyces Sp. (Msu-2110) endophytic on Monstera sp. Microbiology 150:785-793. Fischer PB, Chollin M, Karlsson GB, James W, Butter TD. 1995. The αglucosidase inhibitor N-butyldeoxynojirimycin inhibit human immunodeficiency virus entry at the level of post CD4 binding. J Virol 69:5791-5797. Garg M, Dhar VJ, Kalia AN. 2008. Antidiabetic and antioxidant potential of Phyllanthus fraternus in alloxan induced diabetic animals. Pharmacog Mag 4:138-143 Gholamhoseinian A, Fallah H, Sharifi F, Mirtajaddini M. 2008. The inhibitory effect of some Iranian plants extract on the α-glucosidase. Iran J Basic Sci 11:1-9. Ghosh D, Konishi T. 2007. Anthocyanins and anthocyanin-rich extracts: role in diabetes and eye function. Asia Pac J Clin Nutr 16:200-208. Gray AM, Flat PR. 1999. Insulin-secreting activity of the traditional antidiabetic plant Viscum album (mistletoe). J Endocrinol 160:409-414. Gown J. 2006. Diabetes drug produced by a microbe. Di dalam: Beth Burrows, editor. Out of Africa: Mysteries of Access and Benefit Sharing. Washington: The Edmonds Institute. hlm 1-4. Gu Q, Luo H, Zheng W, Liu Z, Huang Y. 2006. Pseudonocardia oroxyli sp. Nov., a novel actinomycete isolated from surface–sterilized Oroxylum indicum root. Int J Syst Evol Microbiol 56:2193-2197. Harborne JB. 2006. Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. Penerbit ITB Bandung. Hemker M, Stratmann A, Goeke K, Schro¨Der W, Lenz J, Piepersberg W, Pape H. 2001. Identification, cloning, expression, and characterization of the extracellular acarbose-modifying glycosyltransferase, AcbD, from Actinoplanes sp. strain SE50. J Bacteriol 183:4484-4492. Hsieh PC, Huang GJ, Ho YL, Lin YH, Huang SS, Chiang YC, Tseng MC, Chang YS. 2010. Activities of antioxidants, α-glucosidase inhibitors and aldose reductase inhibitors of the aqueous extracts of four Flemingia species in Taiwan. Bot Std 51:293-302. Hyun CG, Kim SY, Hur JH, Seo MJ, Suh JW, Kim SO. 2005. Molecular detection of α-glucosidase inhibitor-producing actinomycetes. J Microbiol 43:313318. Igarashi Y, Miura S, Fujita T, Furumai T. 2006. Cpterocidin, a cytotoxic compound from the endophytic Streptomyces hygroscopicus. J Antibiot 59:193-195. Irawan D. 2008. Isolasi aktinomiset endofit tanaman obat yang berpotensi sebagai antidiabetes melalui kajian aktivitas α-glukosidase [skripsi].
74
Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Jeyacandran R, Mahesh A. 2007. Enumeration of antidiabetic herbal flora of Tamil Nadu. Resc J Med Plant 1:144-148. Katiyar SK, Arwal R, Muhtar, H. 1996. Inhibition of tumor promotion in SENCAR mouse skin by etanol extract of Zingiber officinale rhizome. Cancer Resc 56:1023-1030. Khalilsaraie MF, Saima N, Meti NT, Bhadekar NK, Nerkar DP. 2011.Cytological study and antimicrobial activity of embryogenic callus induced from leaf cultures of Tinospora cordifolia (Willd.) Miers. J Med Plants Resc 5:30023006. Kim JS, Kwon CS, Son KH. 2000. Inhibition of α-glucosidase and amylase by luteolin, a flavonoid. Biosci Biotechnol Biochem 11:2458-2461. Kim JS, Ju JB, Choi CW, Kim SC. 2006. Hypoglycemic and antihyperlipidemic effect of four Korean medicinal plants in alloxan induced diabetic rats. Am J Biochem Biotechnol 2:154-160. Kim SD, Nho HJ. 2004. Isolation and characterization of α-glucosidase inhibitor from fungus Ganoderma lucidum. J Microbiol 42:223-227. Kim YM, Wang MH, Rhee HI. 2003. A novel α-glucosidase inhibitor from pine bark. Carbo Resc 339:715-717. Kimura A, Lee JH, Lee IS, Lee HS, Park KH, Chiba S, Kim D. 2004. Two potent competitive inhibitors discriminating α-glucosidase family I from family II. Carbo resch 339:1035-1040. Klein G, Kim J, Himmeldirk K, Cao Y, Chen X. 2007. Antidiabetes and antiobesity activity of Lagerstroemia speciosa. Evid Compl Altern Med 4:401-407. Kumar A, Ilavarasan R, Jayachandran T, Deecaraman M, Aravindan P, Padmanabhan N, Krishan MRV. 2008. Antidiabetic activity of Syzygium cumini and its isolated compound against streptozotocin-induced diabetic rats. J Med Plant Resc 29:246-249. Kwon OS, Park SH, Yun BS, Pyun YR, Kim CJ. 2000. Cyclo(Dehydroala-L-Leu), an α-glucosidase inhibitor from Penicillium sp. F70614. J Antibiot 53:954958. Lamda HS, Bhargava CS, Thakur M, Bhargava S. 2011. α-glucosidase and aldose reductase inhibitory activity in vitro and antidiabetic activity in vivo of tribulus terrestris (Dunal). Int J Pharm Pharm Sci 3:270-272. Lee DS, Lee JM, Kim SU, Chang KT, Lee SH. 2007. Ceptezole, a cephem antibiotic is an α-glucosidase inhibitor with in vivo antidiabetic activity. Int J Molec Med 20:279-283.
75
Lee DS, Lee SH. 2001. Genistein, a soy isoflavone, is a potent α-glucosidase inhibitor. FEBS Letters 501:84-86. Lee SS, Lin HC, Che CH. 2008. Acylated flavonol monorhamnosides, αglucosidase inhibitors. Phytochemistry 69:2347-2353. Lin WL, Fu LH, Sattler I, Huang X, Grabley S. 2005. New cyclopentenone derivatives from an endophytic Streptomyces sp. isolated from the mangrove plant. Aegiceras comiculatum. J Antibiot 58:594-598. Mahop MP, Mayet M. 2007. En route to biopiracy: ethnobotanical research on anti medicinal plants in the Eastern Cape Province, South Africa. Afr J Biotechnol 6:2945-2952. Markham KR. 1988. Cara Mengidentifikasi Flavonoid. Bandung: Penerbit ITB. Mbouangouere RN, Tane P, Choudary MI. 2008. Piptadenol A-C and αglucosidase inhibitor from Piptadenia africana. Resc J Phytochem 2:27-34. Moon HE, Islam MN, Ahn BR, Chowdhury SS, Sohn HS, Jung HA, Choi JS. 2011. Protein tyrosine 1B and α-glucosidase inhibitory phlorotannins from edible brown algae, Ecklonia stolonifera and Eisena bicyclis. Biosci Biotechnol Biochem 75:1472-1480. Nakao Y, Maki T, Matsunaga S, Soest RWM, Fusetani N. 2000. Penarolide sulfates A1 and A2, new α-glucosidase inhibitors from a marine sponge Penares sp. Tetrahedron 56: 8977-8987. Nie W, Luo JG, Wang XB, Yin H, sun HB, Yao HQ, Kong LY. 2011. Synthesis of new α-glucosidase inhibitors based on oleanolic acid incorporating cinnamic amides. Chem Pharm Bull 59:1051-056. Noipha K, Ninlaaesong P. 2011. The activation of GLUT1, AMPKα and PPARγ by Tinospora crispa in L6 myotubes. Spatula 1:245-249. Noor H, Ashcroft. 1998. Pharmacological characterization of the antihyperglycaemic properties of Tinospora crispa extract. J Ethnopharmacol 62:7-13. Pasaribu GT. 2009. Zat Ekstraktif kayu raru dan pengaruhnya terhadap penurun kadar gula darah secara in vitro [tesis]. Bogor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Patela MB, Mishrab SM. 2012. Magnoflorine from Tinospora cordifolia stem inhibits α-glucosidase and is antiglycemic in rats. J Func Food 4:78-86. Pavia DL, Lampman GM, Kriz GS. 2001. Introduction to Spectroscopy: a Guide for Students of Organic Chemistry. USA: Thomson Learning. Purwianingsih W, Hamdiyati Y. 2009. Metode elisitasi menggunakan ragi Sacharomyces cerevisiae untuk meningkatkan kandungan bioaktif kuinon kalus Morinda citrifolia L. (Mengkudu). Biosainstifika 1:167-178.
76
Radji M. 2005. Peranan bioteknologi dan mikrob endofit dalam pengembangan obat herbal. Majalah Ilmu Kefarmasian 2:113-126. Rajalakshmi M, Eliza J, Priya CE, Nirmala A, Daisy P. 2009. Antidiabetic properties of Tinospora cordifolia stem extracts on streptozotocin-induced diabetic rats. Afr J Pharm Pharm 3:171-180. Ruana T, Lamb SH, Chic TC, Leeb SS, Sua MJ. 2012. Borapetoside C from Tinospora crispa improves insulin sensitivity in diabetic mice. Phytomedicine (in press) Seco EM, Cuesta T, Fotso S, Laatsch H, Malpartida F. 2005. Two polyene amides produced by genetically modified Streptomyces diastaticus var 108. Chem Biol 12:535-543. Santa IG, Prajogo E, Bambang W. 1998. Studi taksonomi brotowali (Tinospora crispa (L.) Miers ex Hook F. and Thoms. Jakarta: Kelompok Kerja Nasional Tumbuhan Obat Indonesia. http://isjd.pdii.lipi.go.id/index.php/Search.html [6 Juli 2012]. Sharma R, Ranjan R, Kapardar RK, Grover A. 2005. Unculturable bacterial diversity: an untapped resource. Current Sci 89:71-77. Simkada JR, Lee HJ, Jang SY, Cho SS, Park EJ, Sohng JK, Yoo JC. 2009. A novel alkalo and thermostable phospholipase D from Streptomyces olivochromogenes. Biotechnol Lett 31:429-435. Sriyapai C, Dumma R, Kongkathip N, Kritiyanunt S. 2009. Hypoglycemic effect of Tinospora crispa dry powder in out patients with metabolic syndrome. J Healt Resc 23:125-133. Strobel GA, Daisy B. 2003. Bioprospecting for microbial endophytes and their natural products. Microbiol Molec Biol Rev 67:491-502. Strobel GA. 2001. Microbial gifts from rain forests. Can J Plant Pathol 24:14-20. Subramanian RM, Asmawi Z, Sadikun A. 2008. Effect of ethanolic extract of Andrographis paniculata nees on a combination of fat-fed diet and low dose streptozotocin induced chronic insulin resistance in rats. Diabet Croatica 37:13-22. Subroto A. 2006. Ramuan Herbal untuk Diabetes Mellitus. Jakarta: Penebar Swadaya. Sugiwati S, Kardono LBS, Bintang M. 2006. Alpha glucosidase inhibitory activity and hipoglycemic effect of Phalleria macrocarpa fruit pericarp extracts by oral administration to rats. J Appl Sci 6:2312-2316. Sun OL, Choi GJ, Choi YH, Kim CJ, Kim JC. 2008. Isolation and characterization of endophytic actinomycetes from Chinese cabbage roots and antagonists to Plasmodiophora brassicae. J Microbiol Biotechnol 18:1741-1746.
77
Sunil C, Latha G, Mohanraj P, Kalichevan K, Agastian P. 2009. Alpha glucosidase inhibitor and antidiabetic activities of ethanolic extract of Pisonia alba leaves. Int J Integrat Biol 6:41-45. Susheela T, Balaravi P, Theophilus J, Reddy JN, Redd PUM. 2008. Evaluation of hypoglycaemic an antidiabetic effect of Melia dubia CAV fruits in mice. Curr Sci 94:1191-1195. Sutini B, Tatik W, Wahyu W,Sumitro SB. 2008. Meningkatkan produksi flavan-3ol melalui kalus Camellia sinensis L. dengan elisator CU2+. Berk. Penel. Hayati: 14:39-44. Suthindhiran K, Jayasri MA, Kannabiran K. 2009. Alpha glucosidase inhibitor and α-amylase inhibitor of Micromonospora sp. VITSDK3. Int J Integrat Biol 6:115-120. Tadera K, Minami Y, Takamatsu K, Matsuoka T. 2006. Inhibition of α-glucosidase and α-amylase by flavonoid. J Nutr Sci Vitaminol 52:149-153. Taechowisan T, Lu C, Shen Y, Lumyong S. 2007. Antitumor activity of 4arylcoumarins from endophytic Streptomyces aureofaciens CMU Ac130. J Cancer Resc Ther 3:86-91. Taechowisan T, Lumyong S. 2003. Activity of endophytic actinomycetes from roots of Zingiber officinale and Alpinia galanga against phytopathogenic fungi. Ann Microbiol 53:291-298. Tajana E, Fiechter A, Zimmermann W. 1992. Purification and characterization of two alpha-L-arabinofuranosidases from Streptomyces diastaticus. Appl Environ Microbiol 58:1447-1450. Takahashi Y. 2004. Exploitation of new microbial resources for bioactive compounds and discovery of new actinomycetes. Actinomycetologica 18:54-61. Tan RX, Zou WX. 2001. Endophytes: a rich source of functional metabolites. Nat Prod Rep 18:448-459. Topliss JG, Clark AM, Ernst E, Hufford CD, Johnston GAR, Rimoldi JM, Weimann BJ. 2002. Natural and synthetic substances related to human health. Pure Appl Chem 74:1957-1985. [WHO] World Health Organization.1999. Definition, diagnosis and classification of diabetes mellitus and its complification. Dept. of noncomunicable and disease surveillance. Geneva. Wu C, Shen J, He P,Chen Y, Li L, Zhang L, Li Y, Fu, Y, Dai R, Meng W, Deng Y. 2012. The α-glucosidase inhibiting isoflavones isolated from Belamcanda chinensis leaf extract. Rec Nat Prod 6:110-120. Wu Q, Yang X, Zou L, Fu D. 2009. Bioactivity guided isolation of alphaglucosidase inhibitor from whole herbs of Crossostephium chinense. Chin J Chin Mat Med. 34:2206-2211.
78
Xiancui L, Rongli N, Xiao F, Lijun H, Lixin Z. 2005. Macroalgae as a source of alpha-glucosidase inhibitors. Chin J Oceanol Limnol 23:354-356. Xu Y, Ni J, Meng Q, Gao Y, Fan B. 2005. Preliminary study on the alphaglucosidase inhibitor from Glycyrrhiza uralensis. J Chin Med Mat 28:890891. Yosuke SU, Tokomazu, Takashi T, Toshikazu O. 1992. Novel α-glucosidase inhibitor, pradimicin Q. US Patent 5091418. Yulinah E, Sukrasno, Fitri MA. 2001. Aktivitas antidiabetika ekstrak etanol herba sambiloto (Andrographis paniculata Nees, Acanthaceae). J Mat Sains 6:13-20. Zhang CS, Stratmann S, Block O, Bruckner R, Podeschwa M, Altenbach HJ, Wehmeier, UF, Piepersberg W. 2002. Biosynthesis of the C7-cyclitol moiety of acarbose in Actinoplanes Species SE50/110. J Biol Chem 277:22853-22862. Zhu YP, Yin LJ, Cheng YQ, Yamaki K, Mori Y, Su YC, Li LT. 2008. Efffect of source of carbon and nitrogen on production of α-glucosidase inhibitor by newly isolated strain of Bacillus subtilis B2. Food Chem 109:737-742.
79
Lampiran 1 Uji aktivitas inhibitor dan penentuan nilai IC50 ekstrak
Ekstrak Etil asetat
Kadar μg/ml 1000 500 250 125 62.5
Absorbansi 1 2 0.389 0.361 0.446 0.448 0.528 0.533 0.567 0.596 0.664 0.664
S1
S0
S1-S0
0.375 0.447 0.531 0.582 0.664
0.040 0.022 0.012 0.005 0.004
0.335 0.425 0.519 0.577 0.660
Penghambatan (%) 77.77 71.80 65.59 61.75 56.20
Kloroform
1000 500 250 125 62.5
0.484 0.554 0.618 0.685 0.724
0.499 0.553 0.652 0.710 0.717
0.492 0.554 0.635 0.698 0.721
0.032 0.023 0.011 0.008 0.004
0.460 0.531 0.624 0.690 0.717
69.51 64.80 58.59 54.25 52.46
Butanol
1000 500 250 125 62.5
0.420 0.528 0.618 0.641 0.664
0.432 0.541 0.629 0.651 0.692
0.426 0.535 0.624 0.646 0.678
0.064 0.037 0.023 0.016 0.011
0.362 0.498 0.601 0.630 0.667
75.98 66.99 60.15 58.20 55.74
Metanol
1000 500 250 125 62.5
0.494 0.532 0.539 0.626 0.853
0.520 0.558 0.563 0.628 0.924
0.507 0.545 0.551 0.627 0.889
0.054 0.033 0.012 0.010 0.004
0.453 0.512 0.539 0.617 0.885
69.94 66.03 64.23 59.06 41.31
Etanol
1000 500 250 125 62.5
0.538 0.639 0.622 0.725 0.817
0.513 0.631 0.634 0.745 0.849
0.526 0.635 0.628 0.735 0.833
0.044 0.031 0.024 0.015 0.003
0.482 0.604 0.604 0.720 0.830
68.05 59.92 59.92 52.22 44.92
80
Contoh penentuan nilai IC50 Nilai IC50 ekstrak etil asetat: Dari data konsentrasi ekstrak dan aktivitas inhibitor diperoleh persamaan garis yang menunjukkan hubungan antara konsentrasi inhibitor (x) dengan aktivitas inhibitor (y) sebagai berikut: 90,00
Etil asetat
80,00
Inhibisi (%)
70,00 y = 7,673ln(x) + 24,25 R² = 0,994
60,00 50,00 40,00 30,00 20,00
10,00 0,00 0
200
400 600 800 Konsentrasi (μg/ml)
Y
= 7.673 ln(x) + 24.25
50
= 7.673 ln(x) + 24.25
ln(x) = (50-24.25):7.673 ln(x) = 3.356 x
= 28.6
1000
1200
81
Lampiran 2 Hasil uji aktivitas hasil kromatografi kolom dan penentuan nilai IC 50 Fraksi F1
Kadar μg/ml 200 100 50 25 12.5
Absorbansi 1 2 0.541 0.581 0.603 0.616 0.649 0.647 0.712 0.764 0.776 0.748
S1
S0
3 0.578 0.608 0.644 0.755 0.74
0.567 0.609 0.647 0.744 0.755
0.028 0.025 0.018 0.015 0.005
0.539 0.584 0.629 0.729 0.750
Penghambatan (%) 59.80 56.42 53.08 45.62 44.05
S1-S0
F2
200 100 50 25 12.5
0.551 0.547 0.668 0.792 0.843
0.436 0.568 0.627 0.739 0.841
0.422 0.571 0.618 0.744 0.84
0.470 0.562 0.638 0.758 0.841
0.104 0.068 0.048 0.045 0.026
0.366 0.494 0.590 0.713 0.815
72.71 63.13 56.00 46.77 39.15
F3
200 100 50 25 12.5
0.325 0.31 0.521 0.61 0.705
0.194 0.372 0.547 0.605 0.751
0.203 0.364 0.475 0.621 0.739
0.241 0.349 0.514 0.612 0.732
0.026 0.018 0.016 0.015 0.003
0.215 0.331 0.498 0.597 0.729
83.98 75.32 62.81 55.45 45.62
F4
200 100 50 25 12.5
0.41 0.511 0.54 0.638 0.747
0.519 0.53 0.636 0.691 0.713
0.503 0.527 0.545 0.676 0.747
0.477 0.523 0.574 0.668 0.736
0.026 0.02 0.018 0.015 0.009
0.451 0.503 0.556 0.653 0.727
66.32 62.49 58.53 51.24 45.77
F5
200 100 50 25 12.5
0.914 0.925 0.941 0.945 0.997
1.125 1.16 1.168 1.171 1.208
0.96 0.983 0.989 1.033 1.128
1.000 1.023 1.033 1.050 1.111
0.066 0.021 0.02 0.018 0.011
0.934 1.002 1.013 1.032 1.100
30.32 25.25 24.43 23.01 17.91
F6
200 100 50 25 12.5
0.286 0.367 0.5 0.56 0.785
0.278 0.41 0.435 0.508 0.655
0.279 0.411 0.433 0.502 0.634
0.281 0.396 0.456 0.523 0.691
0.025 0.022 0.017 0.017 0.008
0.256 0.374 0.439 0.506 0.683
80.90 72.09 67.24 62.21 49.00
82
F7
200 100 50 25 12.5
0.602 0.756 0.837 0.802 0.805
0.602 0.716 0.817 0.85 0.845
0.602 0.734 0.833 0.85 0.852
0.602 0.735 0.829 0.834 0.834
0.026 0.021 0.019 0.017 0.007
0.576 0.714 0.810 0.817 0.827
57.01 46.69 39.55 39.03 38.28
Acb
200 100 50 25 12.5
0.230 0.321 0.690 0.795 0.889
0.228 0.328 0.760 0.800 0.884
0.223 0.326 0.800 0.799 0.882
0.227 0.325 0.750 0.798 0.885
0.014 0.011 0.008 0.005 0.004
0.213 0.314 0.742 0.793 0.881
84.10 76.57 44.63 40.82 34.25
Contoh penentuan nilai IC50 Fraksi Nilai IC50 Fraksi F1: Dari data konsentrasi Fraksi F1 dan aktivitas inhibitor diperoleh persamaan garis yang menunjukkan hubungan antara konsentrasi (x) dengan aktivitas inhibitor (y) sebagai berikut:
Fraksi 1
70,00
Inhibisi (%)
60,00 50,00
y = 6,100ln(x) + 27,92 R² = 0,965
40,00 30,00 20,00 10,00 0,00 0
50
100
150
konsentrasi (ppm)
Y
= 6.100 ln(x) + 27.92
50
= 6.100 ln(x) + 27.92
ln(x) = (50-27.92):6.100 ln(x) = 3.619 x
= 43.25
200
250
83
Lampiran 3 Hasil sekuensing gen 16S rRNA isolat BWA65
84
85
Lampiran 4 Hasil analisis BLAST sekuen gen 16S rRNA isolat BWA65
86
87
Lampiran 5. Tanaman brotowali
daun batang
akar
Gambar 21 Tanaman brotowali (Koleksi Kebun Tanaman Obat ,PS Biofarmaka IPB, Cikabayan, Bogor).