KAJIAN FORMULASI DAN ISOTHERMIS SORPSI AIR BISKUIT JAGUNG
CYNTHIA GRACIA CHRISTINA LOPULALAN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Kajian Formulasi dan Isothermis Sorpsi Air Biskuit Jagung” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir dari tesis ini. Bogor, Juni 2008 Cynthia Gracia Christina Lopulalan NRP F251050141
ABSTRACT CYNTHIA GRACIA CHRISTINA LOPULALAN. Study of Formulation and Water Sorption Isothermic of Corn Biscuit. Supervised by Sugiyono and Bambang Haryanto. The research was conducted to study the formulation of corn biscuit and to predict the biscuit’s shelf life using water sorption isothermic method. The flour used was roasted corn flour and unroasted corn flour. Results showed that biscuit’s made of 80% corn flour and 20% wheat flour were accepted by panelist and the best formulation was 80% corn flour, 20% wheat flour, 50% margarine, 50% sugar and 10% yellow egg. Roasting treatment of corn flour significantly affected fat content, carbohydrate content and digestibility of protein of the product. The water sorption isothermic curve of the product was a type III. According to the isothermic curve of roasted corn flour biscuit, the primary water fraction was 3.72 (%db), the secondary water fraction was 10.09 (%db), the tertier water fraction was 43.19 (%db). According to the isothermic curve of unroasted corn flour biscuit, the primary water fraction was 3.76 (%db), the secondary water fraction was 10.15 (%db), the tertier water fraction was 47.90 (%db). The product packaged in alufo had a longer shelf life than those packaged in PP and PE. The product made of roasted corn flour had a longer shelf life than that made of unroasted corn flour in the 85% RH. In the storage study, the product packaged in alufo had a better firmness and a lower TBA content than those packaged in PP and PE.
Keyword : corn flour, biscuit, water sorption isothermic, shelf life
RINGKASAN CYNTHIA GRACIA CHRISTINA LOPULALAN. Kajian Formulasi dan Isothermis Sorpsi Air Biskuit Jagung. Dibimbing oleh Sugiyono dan Bambang Haryanto. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pembuatan formulasi biskuit jagung untuk mendapatkan formula yang dapat diterima secara organoleptik dan menentukan umur simpan biskuit dengan metode isothermik sorpsi air. Perlakuan tepung jagung meliputi tepung jagung sangrai dan tepung jagung non sangrai. Penelitian menghasilkan formula terbaik dengan komposisi yaitu tepung jagung 80g, tepung terigu 20g, margarin 50g, gula 50g, kuning telur 10g, air 20 g serta bahan pengembang. Hasil analisis kimia menunjukkan bahwa kadar lemak, kadar karbohidrat, daya cerna protein biskuit tepung jagung sangrai lebih tinggi dari biskuit tepung jagung non sangrai. Kajian sorpsi isothermik air biskuit tepung jagung sangrai dan non sangrai menghasilkan kurva sorpsi isothermik bentuk III. Dari kurva tersebut kemudian dilakukan perhitungan umur simpan biskuit. Dari hasil analisis isothermik sorpsi air diperoleh tiga daerah fraksi air terikat yaitu Mp, Ms dan Mt. Biskuit tepung jagung sangrai (BTJS) untuk fraksi ATP dibatasi oleh Mp 3.72 (% bk) yang berkeseimbangan dengan aw = 0.20. Fraksi ATS dibatasi oleh Ms sebesar 10.09 (% bk) yang berkeseimbangan dengan aw = 0.45 dan fraksi ATT dibatasi oleh Mt sebesar 43.19 yang berkeseimbangan dengan aw = 1. Untuk biskuit tepung jagung non sangrai (BTJNS), fraksi ATP dibatasi oleh Mp 3.76 (% bk) yang berkeseimbangan dengan aw = 0.20, fraksi ATS dibatasi oleh Ms sebesar 10.15 (% bk) yang berkeseimbangan dengan aw = 0.46 dan fraksi ATT dibatasi oleh Mt sebesar 47.90 yang berkeseimbangan dengan aw = 1. Produk biskuit dihitung umur simpannya kondisi RH 85%. Umur simpan biskuit tepung jagung sangrai kemasan alufo 20.7 bulan, kemasan PP 2.2 bulan dan kemasan PE 2.4 bulan. Umur simpan biskuit tepung jagung non sangrai kemasan alufo 15.1 bulan, kemasan PP 1.6 bulan dan kemasan PE 1.8 bulan. Uji penyimpanan produk biskuit pada suhu ruang selama 30 hari (1 bulan) menunjukkan bahwa produk yang dikemas dalam kemasan alufo memiliki kerenyahan lebih baik dan nilai TBA lebih rendah dibandingkan dengan produk yang dikemas dalam PE dan PP. Hal ini terjadi karena nilai permeabilitas terhadap uap air dan oksigen kemasan alufo yang lebih kecil dari kedua kemasan lainnya.
@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan narasumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
KAJIAN FORMULASI DAN ISOTHERMIS SORPSI AIR BISKUIT JAGUNG
CYNTHIA GRACIA CHRISTINA LOPULALAN
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
Judul Tesis Nama NRP
: Kajian Formulasi dan Isothermis Sorpsi Air Biskuit Jagung : Cynthia Gracia Christina Lopulalan : F 251050141
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Sugiyono, M.App.Sc Ketua
Dr. Ir. Bambang Haryanto, M.S. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Pangan
Dr. Ratih Dewanti Hariyadi, M.Sc.
Tanggal Lulus : 17 Juli 2008
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr.Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
Tanggal Ujian : 09 Juni 2008
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis persembahkan kehadirat Tuhan Yesus Kristus yang selalu melimpahkan Berkat dan AnugerahNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Penelitian dan Penulisan Tesis ini dengan judul " Kajian Formulasi dan Isothermis Sorpsi Air Biskuit Jagung”. Penulisan tesis ini sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pangan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penulis menyampaikan terima kasih tak terhingga kepada Dr. Ir. Sugiyono, M.App.Sc dan Dr. Ir. Bambang Haryanto, M.S selaku ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu untuk memberikan arahan serta bimbingan dalam menyelesaikan tulisan ini, kepada Dr.Ir Bambang Haryanto, M.S, terima kasih untuk bantuan dana selama penelitian. Terima kasih diucapkan kepada Dr. Ir. Dede R Adawiyah, M.Si yang telah bersedia menjadi penguji luar komisi. Terima kasih diucapkan Kepada Ketua Program Studi Ilmu Pangan (IPN) Dr.Ratih Dewanti Hariyadi, M.Sc dan juga mantan Ketua Program Studi Prof.Dr.Ir. Betty Sri Laksmi Jenie, MS atas segala bantuan, perhatian dan dukungan selama penulis menempuh studi di Program Studi Ilmu Pangan. Diucapkan terima kasih kepada para laboran untuk bantuan dan kerjasama yang terjalin selama penulis melakukan penelitian. Kepada Mbak Mar, terima kasih untuk perhatian dan kerjasama dalam urusan administrasi selama penulis menempuh studi di IPN. Teman-teman IPN angkatan 2005, terkhusus untuk Fenny, Hana, Erni, Fitri, Emma, Heni, A’Akhyar, Jo dan Haris diucapkan terimakasih untuk sukacita dan dukacita selama di IPN. Terima kasih diucapkan kepada kakak-kakak terbaik penulis: Ma d, B’Simon, B’Nus, U’Nona, B’Degen, K’Bos dan Eddy untuk kebersamaan dalam suka (jalan, makan & fotonya) dan duka selama menempuh studi di IPB serta PERMAMA di Bogor. Teman-teman Wisma Agape terima kasih untuk perhatian dan dukungan selama penulis menempuh studi, terima kasih diucapkan buat Kel. Bung Mengky Leuhery. Sahabat-sahabat penulis : Berthy dan
Lydia, Opes, Jenot, Wilyer terimakasih untuk dukungan serta persaudaraan yang terus terjalin. Terima kasih diucapkan kepada Keluarga besar Lopulalan-Pattinasarany atas segala dukungan baik moral maupun materiil. Terima kasih tak terhingga diucapkan kepada Keluarga tercinta : Papi dan Mami untuk segala kasih sayang, kesabaran dan pengorbanan yang dilakukan untuk penulis hinggga penulis bisa sampai pada jenjang S2. Kakak-kakak : Bung Andre, Bung Franky dan K’Fanny, Bung Alex dan Iren serta K’Leady atas segala bantuan moril dan materil yang diberikan untuk membantu Papi dan Mami sehinggga penulis bisa menempuh semua ini. Ponakan-ponakan penulis: Vino, Rey, Nanda, Anggle, Gracia dan Andrew. Akhirnya dengan diiringi doa, semoga Tuhan Yang Maha Kuasa akan membalas segala kebaikan yang penulis terima serta permohonan maaf atas segala tindakan yang mungkin tidak berkenan selama penulis menempuh studi di IPB dan semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi yang membacanya.
Bogor, Juni 2008 Cynthia Gracia Christina Lopulalan
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Namlea pada tanggal 25 Maret 1980 dari pasangan ayah Pdt. Andreas Lopulalan, SmTh dan ibu Ny. Avia Lopulalan/Pattinasarany, S.Pd sebagai putri bungsu dari 5 bersaudara. Pendidikan Sarjana ditempuh pada Universitas Pattimura, Fakultas Pertanian, Program Study Agronomi dan lulus pada tahun 2003. Tahun 2005, penulis melanjutkan studi pada program Magister Sains Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Program Studi Ilmu Pangan.
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
Halaman ................................................................................. xv
DAFTAR GAMBAR ................................................................................. xvii DAFTAR LAMPIRAN
..................................................................... xix
I. PENDAHULUAN ................................................................................ 1.1 Latar Belakang ................................................................................ 1.2 Perumusan Masalah .................................................................... 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................ 1.4 Hipotesis ................................................................................ 1.5 Kerangka Pemikiran ....................................................................
1 1 3 4 4 4
II. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 2.1 Tanaman Jagung .................................................................... 2.1.1 Komposisi Kimia Jagung ............................................ 2.2 Pati jagung ................................................................................ 2.2.1 Gelatinisasi pati .................................................................... 2.2.2 Suhu Gelatinisasi .................................................................... 2.2.3 Sifat Birefringence.................................................................... 2.3 Biskuit ............................................................................................ 2.3.1 Bahan Baku Biskuit ........................................................ 2.3.2 Proses Pembuatan Biskuit ........................................................ 2.4 Aktivitas Air ................................................................................ 2.5 Kadar Air Kesetimbangan ........................................................ 2.6 Isothermi Sorpsi Air .................................................................... 2.6.1 Air Terikat ................................................................................ 2.7 Umur Simpan dan Metode Analisisnya ................................ 2.8 Pengemasan ................................................................................
6 6 8 10 12 14 15 16 19 21 22 24 25 26 29 31
III. BAHAN DAN METODE ........................................................ 34 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ........................................................ 34 3.2 Bahan dan Alat ................................................................................ 34 3.3 Tahap Persiapan............................................................................... 34 3.4 Metode Penelitian .................................................................... 36 3.4.1 Formulasi dan Pembuatan Biskuit Jagung................................. 36 3.4.2 Kajian Isothermik Sorpsi Air........................................................ 38 3.4.3 Kajian Penyimpanan ........................................................ 38 3.5 Analisis Data ................................................................................ 39 3.6 Metode Analisis .................................................................... 39 3.6.1 Analisis Sifat Fisik .................................................................... 39 3.6.2 Analisis Sifat Kimia ………………………………………..... 44 3.6.3 Analisa Karakteristik Fungsional & Sifat Rheologi Adonan ................................................................................ 49 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................... 4.1 Pembuatan Tepung Jagung .......................................................
51 51
4.1.1 Rendemen ............................................................................... 4.1.2 Densitas Kamba ................................................................... 4.1.3 Indeks Penyerapan Air (IPA) ........................................... 4.1.4 Warna ............................................................................... 4.1.5 Sifat Amilografi ................................................................... 4.2 Analisa Kimia Tepung Jagung ....................................................... 4.2.1 Kadar Air ............................................................................... 4.2.2 Kadar Abu ............................................................................... 4.2.3 Kadar Protein ........................................................................... 4.2.4 Kadar Lemak ................................................................... 4.2.5 Kadar Karbohidrat ................................................................... 4.2.6 Serat Kasar ............................................................................... 4.3 Uji Sifat Rheologi Adonan ....................................................... 4.4 Formulasi Biskuit ................................................................... 4.4.1 Formulasi Tahap 1 ................................................................... 4.4.2 Formulasi Tahap 2 ................................................................... 4.4.3 Formulasi Tahap 3 ................................................................... 4.5 Organoleptik .......................................................................... 4.5.1 Penampakan ................................................................... 4.5.2 Aroma ............................................................................... 4.5.3 Tekstur ............................................................................... 4.5.4 Warna ............................................................................... 4.5.5 Rasa ............................................................................... 4.5.6 Overall ............................................................................... 4.6 Analisis Kimia biskuit ................................................................... 4.6.1 Kadar Air ............................................................................... 4.6.2 Kadar Abu ............................................................................... 4.6.3 Kadar Protein ........................................................................... 4.6.4 Kadar Lemak ................................................................... 4.6.5 Kadar Karbohidrat ................................................................... 4.6.6 Serat Kasar ............................................................................... 4.6.7 Nilai Kalori ............................................................................... 4.6.8 Daya Cerna Protein................................................................... 4.6.9 Daya Cerna Pati ................................................................... 4.7 Isothermi Sorpsi Air ................................................................... 4.7.1 Kadar Air Kestimbangan dan Kurva Isothermik Sorpsi Air 4.7.2 Analisa Fraksi Terikat ....................................................... 4.7.2.1 Penentuan Kapasitas Air Terikat Primer ............................... 4.7.2.2 Penentuan Kapasitas Air Terikat Sekunder ................... 4.7.2.3 Penentuan Kapasitas Air Terikat Tersier............................... 4.7.3 Penentuan Fraksi Air Terikat ........................................... 4.7.4 Analisa Umur Simpan ....................................................... 4.8 Bilangan TBA (thibarbituric acid) ........................................... 4.9 Analisis Objektif Fisik Terhadap Tekstur (kekerasan dan kerenyahan) ....................................................... 4.10 Sifat Birefringence ................................................................... 4.11 Analisa Finansial Biskuit Jagung ..............................................
52 53 54 55 56 58 58 59 60 61 61 62 62 64 65 67 69 74 75 76 77 78 79 80 80 81 82 82 84 84 85 86 86 88 89 89 92 92 94 96 98 99 103 107 111 116
5. SIMPULAN DAN SARAN .......................................................... 120 5.1 Simpulan .................................................................................. 120 5.2 Saran .............................................................................................. 121 DAFTAR PUSTAKA
...................................................................... 122
LAMPIRAN ............................................................................................... 133
DAFTAR TABEL Halaman 1 Komposisi kimia dan zat gizi berbagai jenis jagung per 100 g bahan
9
2 Bentuk dan diameter beberapa jenis pati
.......................................
12
3 Suhu gelatinisasi berbagai jenis pati
.......................................
15
4 Syarat mutu biskuit (SNI 01-2973-1992) tahun 1992
...............
16
5 Klasifikasi biskuit menurut Manley (1983) .......................................
17
6 Jenis-jenis penyimpangan yang dapat terjadi dan penyebabnya pada biskuit *)
..........................................................................
7 Formulasi biskuit jagung
17
..............................................................
38
8 Bahan-bahan pembuatan biskuit per 100 g tepung ..........................
38
9 Setting alat texture analyzer TA-XT2i untuk produk biskuit
..
41
10 Jumlah garam dan air untuk preparasi larutan garam jenuh
..
42
..........................
56
11 Hasil rata-rata analisis warna tepung jagung
12 Komposisi kimia tepung jagung non sangrai dan sangrai 13 Bahan-bahan pembuatan biskuit per 100 g tepung
..
58
..............
65
14 Karakteristik adonan pada beberapa tingkat substitusi tepung
..
66
15 Bahan-bahan pembuatan biskuit per 100 g tepung
..............
68
16 Bahan-bahan pembuatan biskuit per 100 g tepung
..............
70
......................................
74
...................................................
75
17 Empat formula terpilih untuk uji lanjut 18 Hasil analisis organoleptik
19 Karakteristik kimia BTJNS dan BTJS
.......................................
81
20 Kadar air kesetimbangan BTJS dan BTJNS pada berbagai aw penyimpanan ...........................................................................
90
21 Hasil perhitungan kapasitas air terikat primer pada produk BTJS & BTJNS .......................................................................................
94
22 Hasil perhitungan kapasitas air terikat sekunder pada produk BTJS & BTJNS
.......................................................................................
96
23 Hasil perhitungan kapasitas air terikat tersier pada produk BTJS & BTJNS ........................................................................................
98
24 Susunan fraksi air terikat BTJS & BTJNS ........................................
99
25 Umur simpan BTJS dan BTJNS dalam kemasan Alufo, PP dan PE pada berbagai kadar air kritis (Mc) ........................................
102
26 Nilai TBA BTJS & BTJNS tiap kemasan/ minggu pengamatan ...
106
27 Investasi peralatan ...............................................................................
117
28 Biaya tetap ...........................................................................................
117
29 Biaya variabel
...............................................................................
118
30 Studi sensivitas
...............................................................................
119
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Kerangka pemikiran penelitian
...................................................
5
...........................................................................
6
3 Jenis-jenis jagung ...........................................................................
7
4 Struktur amilosa ................................................................................
11
5 Struktur amilopektin
...............................................................
11
6 Kurva sorpsi isothermis
...............................................................
25
7 Proses pembuatan tepung jagung ...................................................
35
8 Proses pembuatan tepung jagung sangrai .......................................
36
9 Proses pembuatan biskuit jagung ...................................................
37
10 Profil kerenyahan dan kekerasan yang diuji dengan texture analyzer
41
11 Lingkaran warna ............................................................................
55
12 (a) tepung jagung non sangrai (b) tepung jagung sangrai
....
56
13 Grafik farinogram tepung jagung sangrai dan non sangrai
....
63
14 Contoh grafik farinogram untuk tepung terigu kuat (strong flour)...
64
15 Adonan 80:20, air 20 g (kiri), adonan 80:20, air 50 g (kanan)
....
68
16 Adonan dengan kuning telur 20,30 dan 50 g (dari kiri ke kanan) ....
72
17 Adonan biskuit yang sudah dicetak
73
2 Tanaman jagung
........................................
18 Histogram nilai penampakan biskuit jagung
............................
75
19 Histogram nilai aroma biskuit jagung
........................................
76
20 Histogram nilai tekstur biskuit jagung
........................................
77
21 Histogram nilai warna biskuit jagung
........................................
78
22 Histogram nilai rasa biskuit jagung
........................................
79
23 Histogram nilai overall biskuit jagung
........................................
80
24 Kurva sorpsi isothermik BTJS & BTJNS ........................................
91
25 Plot kapasitas air terikat primer BTJS dengan metode BET
....
93
26 Plot kapasitas air terikat primer BTJNS dengan metode BET
....
93
27 Plot kapasitas air terikat sekunder BTJS dengan metode logaritma
95
28 Plot kapasitas air terikat sekunder BTJNS dengan metode logaritma
96
29 Plot kapasitas air terikat tersier BTJS dengan metode polinomial ordo 2 97
30 Plot kapasitas air terikat tersier BTJNS dengan metode polinomial ordo 2 .........................................................................................
97
31 Slope untuk umur simpan BTJS ………………………………….
101
32 Slope untuk umur simpan BTJNS .....................................................
101
33 Grafik nilai TBA BTJS tiap kemasan/minggu pengamatan
.....
105
34 Grafik nilai TBA BTJNS tiap kemasan/minggu pengamatan
….
106
35 Grafik perubahan nilai kekerasan BTJNS tiap kemasan/minggu pengamatan …………………………………………………..
109
36 Grafik perubahan nilai kekerasan BTJS tiap kemasan/minggu pengamatan …………………………………………………..
110
37 Grafik perubahan nilai kerenyahan BTJNS tiap kemasan/minggu pengamatan …………………………………………………..
110
38 Grafik perubahan nilai kerenyahan BTJS tiap kemasan/minggu pengamatan …………………………………………………..
110
39 (a) granula pati BTJNS (b) granula pati BTJS
112
.............................
40 Granula pati BTJS (atas) & BTJNS (bawah) kemasan PE minggu I-IV 113 41 Granula pati BTJS (atas) & BTJNS (bawah) kemasan PP minggu I-IV 114 42 Granula pati BTJS (atas) & BTJNS (bawah) kemasan Alufo minggu I-IV ..............................................................................
115
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Kuesioner penilaian organoleptik ………………………………...
130
2 Data uji organoleptik
...............................................................
131
3 Hasil uji Kruskal Wallis terhadap parameter organoleptik ………...
137
4 Hasil analisis Paired-Samples T Test kadar lemak biskuit & kadar air tepung jagung ............................................................................
143
5 Sidik ragam nilai kekerasan dan kerenyahan biskuit
................
144
6 Sidik ragam nilai TBA biskuit
....................................................
153
7 Kurva amilograf tepung jagung
....................................................
157
8 Gambar biskuit hasil penelitian
....................................................
158
9 Contoh grafik perubahan kekerasan & kerenyahan biskuit selama penyimpanan .............................................................................
159
1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jagung adalah salah satu tanaman serealia penting dan merupakan komoditi pangan yang memiliki produksi yang cukup tinggi di dunia disamping gandum dan beras. Usaha peningkatan produksi jagung dilakukan melalui usaha perluasan areal pertanaman, intensifikasi serta penggunaan bibit unggul. Dalam rangka swasembada karbohidrat sebanyak 2.100 kalori/kapita/hari, di Indonesia jagung memegang peranan kedua setelah beras. Sebagai bahan makanan, nilai gizi jagung tidak kalah bila dibandingkan dengan beras (Soeprapto 1998). Menurut Suprapto & Marzuki
(2005) bahwa beberapa daerah di wilayah Indonesia
mengkonsumsi jagung sebagai makanan pokok. Produksi jagung akhir-akhir ini mengalami peningkatan walaupun masih kalah produksinya dari beras. Produksi jagung tahun 2007 sebesar 12.45 juta ton mengalami peningkatan sebesar 6% dari tahun 2006 sebesar 11.61 juta ton. Dengan produksi yang makin meningkat memungkinkan dilakukan pengolahan jagung dalam berbagai bentuk dalam rangka memperpanjang umur simpan dengan sentuhan teknologi modern sehingga produk jagung dapat diperoleh setiap saat yang diinginkan. Dewasa ini jagung berperan sebagai bahan baku berbagai pengolahan di industri pangan maupun pakan. Biji jagung utuh dapat diolah menjadi tepung jagung, beras jagung dan makanan ringan (pop corn, jagung marning). Jagung juga dapat diproses menjadi minyak goreng, margarin serta formula makanan seperti bakery, es krim, sup. Bakery dan minuman dapat diolah menggunakan bahan baku dari pati jagung. Penelitian-penelitian beberapa tahun terakhir diarahkan pada pengolahan jagung untuk menjadi berbagai produk pangan seperti mie jagung instan, bubur jagung instan, tape jagung dan pengeringan emping jagung. Pengolahan jagung menjadi berbagai produk pangan yang bernilai gizi tinggi dirasakan perlu terus dilakukan agar dapat menjangkau pasar dari berbagai kalangan strata sosial serta berbagai kalangan umur. Biskuit terbuat dari bahan dasar tepung (Vail et al. 1978) dan diproses dengan pemanggangan sampai kadar air tidak lebih dari 5% (SNI 1992).
Terkadang pada bahan dasar diberi beberapa bahan tambahan untuk memperbaiki cita rasa dan penampakan. Biskuit merupakan produk kering yang mempunyai daya awet yang relatif tinggi, sehingga dapat disimpan dalam waktu yang lama dan mudah dibawa dalam perjalanan. Hal ini bisa terjadi karena volume dan beratnya yang relatif ringan akibat adanya proses pengeringan (Whiteley 1971). Seperti ketahui bahwa yang berkembang di pasaran saat ini adalah biskuit yang berbahan dasar tepung terigu, dimana tepung terigu tersebut terbuat dari biji gandum yang harus diimpor. Itu artinya membutuhkan biaya yang sangat besar untuk mengimpor bahan baku tersebut. Harga gandum dunia mencapai angka tertinggi dalam 4 tahun terakhir. Naiknya harga tepung terigu sejak awal januari 2008 ini menghasilkan dampak luar biasa bagi kelangsungan kegiatan usaha makanan yang berbasis tepung terigu seperti mie dan roti, yang pada akhirnya membuat banyak pengusaha yang menggunakan tepung terigu sebagai bahan utama produknya memilih gulung tikar karena tidak mampu melakukan kegiatan produksi. Apalagi, dalam waktu 1 bulan, harga tepung terigu sudah naik 2 kali, dimana harga awal Rp 153.000 per zak (isi 25 kg) menjadi Rp 158.000/ zak, lalu naik lagi menjadi Rp 167.000 per zak. Bahkan diperkirakan, harga tepung terigu ini akan terus merangkak naik sampai Rp 200.000 per zak pada bulan April 2008. Adapun sebab-sebab kenaikan harga tepung terigu ini adalah karena naiknya harga bahan baku tepung terigu yaitu gandum dipasaran dunia yang mencapai US$ 500 per ton, selain itu stok gandum internasional sangat minim karena beberapa negara penghasil gandum seperti Australia, China dan Argentina gagal panen. Ditambah lagi dengan kebijakan proyek biofuel di Amerika Serikat, dimana jagung harganya tiba-tiba melonjak karena dapat dipakai sebagai bahan biofuel. Otomatis banyak petani gandung di USA mengalihkan tanamannya, dimana sebelumnya menanam gandum, sekarang beralih menanam jagung (www.bogasari.com). Efek kenaikan harga gandum dunia diperkirakan akan mempengaruhi harga jual terigu nasional. Harga komponen gandum mencapai 90% dari struktur biaya produksi terigu. Oleh karena itu naiknya harga gandum cepat atau lambat akan menyebabkan kenaikan harga terigu secara bertahap. Setiap kenaikan harga gandum sebesar US$10 per ton bisa mengakibatkan kenaikan harga tepung terigu
sebesar US$13,5 per ton. Jika asumsi nilai tukar US dolar terhadap rupiah adalah Rp 9.000 per US$, berarti kenaikannya sebesar Rp 120 per kilogram tepung terigu atau setara kenaikan 4%. Hal ini mengakibatkan perusahaan terigu tidak punya pilihan lain selain menyesuaikan harga jual terigu mengikuti pasaran dunia (www.bogasari.com) Dengan demikian sebagai salah satu langkah dalam proses diversifikasi pangan dan sebagai suatu terobosan untuk mengatasi masalah di atas maka dapat dilakukan suatu penelitian untuk memanfaatkan sumberdaya alam yang tersedia seperti jagung agar lebih memberikan nilai tambah. Salah satu produk yang dapat diterima oleh semua kalangan masyarakat adalah biskuit. Dengan adanya sentuhan teknologi dalam rangka pemanfaatan sumberdaya alam tersebut diharapkan dapat memberikan nuansa baru dalam produk pangan dengan kualitas yang tinggi sehingga produk biskuit dapat diterima di masyarakat luas.
1.2 Perumusan Masalah Peranan jagung dalam industri pangan dewasa ini sangat penting. Hal ini terbukti dengan adanya pengolahan berbagai produk pangan yang berbahan baku jagung. Melalui pengolahan ini produk yang dihasilkan memiliki nilai gizi yang tinggi serta dapat diterima oleh masyarakat. Dalam rangka pengolahan pangan berbahan baku jagung, biskuit dapat merupakan salah satu alternatif produk pangan yang dapat dibuat dari tepung jagung. Penggurangan penggunaan tepung terigu dan digantikan dengan tepung jagung memiliki beberapa keuntungan diantaranya pemanfaatan sumber daya alam yang ada, mengurangi ketergantungan terhadap tepung terigu, mengurangi ekspor gandum yang sangat mahal. Dengan berbagai hasil produk pengolahan dari tepung jagung yang dapat diterima oleh masyarakat pada umumnya maka masalah ketergantungan terhadap produk pangan yang berbahan dasar tepung terigu secara perlahan-lahan mungkin dapat dikurangi. Eksplorasi tepung jagung yang dikaji dari berbagai segi yaitu fisik, kimia serta organoleptik diharapkan dapat menghasilkan produk biskuit yang dapat diterima oleh masyarakat dan memiliki daya simpan yang lama.
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian ini adalah mempelajari pembuatan formulasi biskuit jagung untuk mendapatkan formula yang dapat diterima secara organoleptik serta menentukan umur simpan biskuit melalui metode isothermik sorpsi air. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan suatu produk baru yang berkualitas yang dapat diterima oleh masyarakat pada umumnya serta dapat merupakan suatu inovasi baru bagi industri pangan dalam rangka pemanfaatan komoditi lokal yang tersedia.
1.4 Hipotesis Hipotesis penelitian ini adalah penyusunan formula biskuit jagung yang tepat dapat menghasilkan biskuit jagung yang berkualitas baik dari segi fisik, kimia, organoleptik serta memiliki umur simpan yang lama.
1.5 Kerangka Pemikiran Suatu negara yang berkembang membutuhkan ketersediaan kebutuhan pangan yang cukup. Permasalahan yang terjadi dewasa ini adalah belum cukupnya pangan yang tersedia untuk menjawab kebutuhan masyarakat akibat pertumbuhan penduduk yang pesat. Hal lain yang menjadi permasalahan adalah semakin tinggi nilai impor serta ketergantungan pada bahan pangan tertentu yang mengakibatkan keterbatasan produksi. Dengan demikian salah satu alternatif untuk mengatasi permasalahan di atas adalah dengan memanfaatkan komoditas lokal lewat kerjasama yang baik antar instansi terkait, akademisi, lembaga penelitian dan masyarakat selaku konsumen. Salah satu produk lokal yang menjadi andalan Indonesia adalah jagung. Dalam usaha diversifikasi pangan, jagung dapat dikembangkan menjadi berbagai produk yang dapat diterima oleh masyarakat. Salah satu produk tersebut adalah biskuit jagung. Pemilihan bentuk diversifikasi produk yang dipilih adalah biskuit dikarenakan produk ini sudah dikenal luas oleh masyarakat Indonesia untuk semua golongan umur dan tingkat sosial masyarakat. Selain itu biskuit umumnya merupakan produk pangan yang relatif murah harganya sehingga
banyak disukai dan dikonsumsi oleh masyarakat. Kerangka pemikiran penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.
- Pertumbuhan penduduk yang pesat - Ketergantungan pada bahan pangan tertentu - nilai impor yang mahal - Keterbatasan produksi gandum dalam negeri
Ketersediaan kebutuhan pangan
Pemanfaatan komoditas lokal
Jagung
-
Instansi terkait Lembaga riset dan pengembangan teknologi Kalangan akademisi Masyarakat
- Merupakan produk lokal - Lebih banyak dikonsumsi masyarakat - Memiliki potensi ekonomi tinggi
Pengembangan produk jagung sebagai usaha diversifikasi pangan
Produk tersebut dapat diterima oleh konsumen
Biskuit jagung
Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Jagung Jagung (Zea mays L.) adalah tanaman yang berasal dari daratan Amerika Serikat kemudian menyebar ke daerah sub tropik dan tropik termasuk Indonesia. Jagung tumbuh baik di daerah beriklim sedang yang panas, daerah beriklim subtropik basah, namun dapat pula tumbuh baik di daerah tropis. Jagung merupakan tanaman berumah satu (monoecioes) dan termasuk famili rumputrumputan (Gramineae). Batang jagung padat berisi teras, akar jagung terdiri dari akar tunggang, akar tunjang, akar lateral (Sumadi dan Rasyid 2002). Tanaman jagung dapat di lihat pada Gambar 2.
Gambar 2 Tanaman jagung Tongkol jagung merupakan gudang penyimpanan cadangan makanan. Tongkol ini bukan hanya tempat pembentukan lembaga tetapi juga merupakan tempat menyimpan pati, protein, minyak/lemak dan hasil lain untuk persediaan makanan dan pertumbuhan biji. Panjang tongkol bervariasi antara 8 - 42 cm dan biasanya dalam tongkol mengandung sekitar 300-1000 biji jagung. Biji jagung berbentuk bulat-bulat atau gigi kuda tergantung varietasnya. Warna biji jagung bervariasi dari putih hingga kuning (Effendi dan Sulistiati 1991). Berdasarkan pembagian fungsi, jagung putih lebih banyak digunakan dalam industri pangan sedangakan jagung kuning banyak dipakai untuk industri pakan (Sayekti 1999). Sedangkan berdasarkan komposisi pati, jagung
dikelompokkan menjadi jagung manis, jagung ketan, jagung beramilosa tinggi. Berdasarkan tipe endosperma, jagung dibedakan atas jagung mutiara, jagung gigi kuda, jagung manis, jagung berondong, jagung ketan, jagung tepung dan jagung pod. Gambar 3 menunjukkan jenis-jenis jagung berdasarkan bentuk biji.
Gambar 3 Jenis-jenis jagung (www.wikipedia.com) Johnson (1991) mendeskripsikan tipe jagung sebagai berikut : Dent corn (Zea mays identata) Dent corn atau jagung gigi kuda, jagung ini dicirikan oleh bijinya yang mengalami depresi ditengah atau dent pada bagian biji sebelah atasnya. Lekukan ini terjadi karena pengerutan lapisan tepung yang lunak ketika biji mengering. Ukuran jagung ini besar, putih, kuning dan merah. Jenis jagung ini tidak tahan terhadap hama bubuk. Flint corn (Zea mays indurata) Flint corn atau jagung mutiara, memiliki ukuran biji sedang. Bagian atas biji berbentuk bulat dan tidak berlekuk, serta hampir seluruhnya mengandung lapisan tepung yang keras (horny starch). Bagian biji yang keras ini tidak mengalami dispersi waktu masaknya atau sewaktu mengering. Biji jagung berwarna putih, kuning dan merah. Jagung ini agak lebih tahan terhadap hama bubuk sehingga dapat tahan lama jika disimpan. Sweet corn (Zea mays saccharata) Sweet corn atau jagung manis, jagung ini memiliki ciri yaitu biji yang banyak mengandung gula dan sedikit pati. Jika biji jagung ini dikeringkan maka akan berkeriput. Jagung ini sering dipanen muda untuk direbus atau dibakar. Soft corn atau flour corn (Zea mays amilase)
Soft corn atau jagung tepung. Jagung jenis ini memiliki biji yang hampir seluruhnya mengandung pati yang lunak. Jagung ini banyak ditanam di Peru, Amerika Serikat, Kolombia, Bolivia dan Afrika Selatan. Pop corn (Zea mays avertia) Pop corn atau jagung berondong, memiliki biji agak runcing, kecil dan keras, berwarna kuning atau putih. Ciri khas jagung ini adalah apabila sedikit dipanaskan akan segera mengembang. Biji yang kecil mengandung pati yang keras. Tongkol jagung ini umumnya berukuran kecil. Pod corn (Zea mays tunicata) Jagung ini mempunyai kulit yang menutupi bijinya, yang tidak terdapat pada jagung jenis lain. Dengan demikian, jagung ini memilki daya awet yang tinggi dengan daya kecambah yang tetap baik. Jagung ini tidak ditanam di Indonesia dan diduga merupakan jagung yang paling dulu ditemukan. Waxy corn (Zea mays ceratina) Waxy corn memiliki biji yang menyerupai lilin, zat patinya menyerupai tepung tapioka. Jagung ini merupakan jagung dengan kadar amilopektin 90 % dan biasanya diproduksi untuk makanan ternak. Empat bagian terbesar yang membentuk biji jagung adalah perikarp (5 %), endosperma (82 %), lembaga (12 %) dan tip cap (1 %). Endosperma terdiri atas bagian yang lunak (floury) yang sebagian besar terdiri dari granula pati dan bagian keras (horny) merupakan tempat terdapatnya interaksi kuat antara butiran pati dan protein.
2.1.1 Komposisi Kimia Jagung Komponen utama yang terdapat dalam jagung adalah karbohidrat sebesar 60 %, diikuti lemak dan protein. Karbohidrat utama pada jagung hibrida adalah pati yang terdiri dari amilosa (1000 unit glukosa) 70-75 % dan amilopektin (lebih dari 40.000 unit glukosa). Sukrosa dan zein merupakan komponen gula dan protein utama pada jagung. Lemak jagung adalah asam linoleat, oleat, palmitat, stearat, linoleat dan arakidat (Suprapto & Marzuki 2005). Kandungan vitamin A jagung merupakan kandungan vitamin yang tertinggi pada biji-bijian yaitu sebesar
440 SI. Tabel 1 menunjukkan komposisi kimia dan zat gizi berbagai jenis jagung per 100 g bahan. Tabel 1 Komposisi kimia dan zat gizi berbagai jenis jagung per 100 g bahan Komponen Energi (Kal) Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g) Kalsium (mg) Fosfor (mg) Zat besi (mg) Viatamin A (SI) Vitamin B1 (mg) Vitamin C (mg) Air (g) Bagian yang dapat dimakan ( %) Sumber : Rukmana 1997
Jagung kuning segar
Jagung kuning pipilan
140.0 4.7 1.3 33.1 6.0 118.0 0.7 435.0 0.24 8.0 60.0 90.0
307.0 7.9 3.4 63.6 9.0 148.0 2.1 440.0 0.33 0.0 24.0 90.0
Jagung kuning giling 361.0 8.7 4.5 72.4 9.0 380.0 4.6 350.0 0.27 0.0 13.1 100.0
Tepung jagung kuning 335.0 9.2 3.9 73.7 10.0 256.0 2.4 510.0 0.38 0.0 12.0 100.0
Maizena 343.0 0.3 0.0 85.0 20.0 30.0 1.5 0.0 0.00 0.0 14.0 100.0
Kandungan gula jagung sebesar 1-3 % dengan komponen terbesar adalah sukrosa. Sukrosa terdapat pada bagian lembaga sebanyak 75 % dan bagian endosperm sebanyak 25 %. Glukosa, fruktosa dan rafinosa terdapat dalam jagung dalam jumlah kecil. Dalam biji jagung terdapat serat kasar sebanyak 2.1-2.3 %. Pada bagian pericarp (kulit sekam) terdapat 41-46 % hemiselulosa (Inglet 1970). Jenis protein yang terkandung dalam jagung adalah albumin, globulin, prolamin, gluten dan skaleroprotein. Sebanyak 85 % lipid terdapat dalam lembaga dan terdiri dari asam lemak linoleat 59 %, oleat 25 %, palmitat 12 %, stearat 2 %, linoleat 0.8 % dan arakidat 0.2 %. Kandungan mineral yang terkandung dalam jagung terutama terdapat pada bagian lembaga, yaitu hampir 75 % dari total mineral. Jenis mineral yaitu kalsium, fosfor, kalium, magnesium, besi, natrium dan sulfur. Jagung kaya akan fosfor dan kalium, tetapi miskin kandungan kalsium. Kandungan magnesium, natrium dan klorin sangat sedikit pada jagung (Berger 1962). Serealia umumnya kurang akan vitamin C dan vitamin D, tetapi banyak mengandung vitamin B. Vitamin yang terdapat pada jagung adalah vitamin yang larut air yaitu niasin, asam pantotenat, riboflavin dan thiamin. Jagung mengandung niasin tetapi sekitar 50-80 % berada dalam bentuk ikatan niacytin,
sehingga jagung masih dikatakan kekurangan niasin. Kekurangan niasin dapat menyebabkan penyakit pelagra.
2.2 Pati Jagung Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik. Berbagai macam pati tidak sama sifatnya, tergantung dari panjang rantai C-nya serta apakah lurus atau bercabang rantai molekulnya. Dalam bentuk aslinya pati merupakan butir-butir kecil yang sering disebut granula. Granula pati dalam jaringan tanaman mempunyai bentuk berbeda-beda. Dengan mikroskop, granula pati dapat dibedakan berdasarkan perbedaan bentuk dan sifat birefringencenya (Winarno 1980). Butir pati bersifat semikristalin yang mempunyai unit kristal dan unit amorphorus (Banks dan Greenwood 1975 di dalam Wirakartkusumah et al. 1984). Unit kristal lebih tahan terhadap perlakuan asam kuat dan enzim, sedang unit amorphorus bersifat dapat menyerap air dingin sampai 30 % tanpa merusak struktur
pati
secara
keseluruhan
(Hodge
dan
Osman
1976
didalam
Wirakartakusumah et al. 1984). Pati disusun paling sedikit oleh tiga komponen utama, amilosa, amilopektin dan material intermediet, seperti lipid dan protein (Banks dan Greenwood 1975 di dalam Wirakartkusumah et al. 1984). Amilosa merupakan homoglikan D-glukosa dengan ikatan α-(1,4) dari cincin piranosa. Amilosa adalah bagian linear pati (Greenwood dan Munro 1979 di dalam Wirakartakusumah et al. 1984). Amilosa tediri dari 50-300 unit glukosa (Hart 1983). Meskipun polimer ini umumnya diasumsikan linier namun sebenarnya amilosa juga mempunyai cabang. Titik percabangan amilosa berada pada ikatan α-1,6. Hanya saja derajat percabangannya sangat rendah. Dalam satu rantai linier, cabang-cabang amilosa berada pada titik-titik yang sangat jauh dan sedikit (Hoseney 1988). Amilosa pati umbi-umbian mempunyai berat molekul lebih tinggi dibandingkan dengan amilosa pati biji-bijian (Hodge dan Osman 1976 di dalam Wirakartakusumah et al. 1984). Berikut disajikan struktur amilosa pada Gambar 4 di bawah ini.
Gambar 4 Struktur amilosa Amilopektin sebagaimana amilosa juga mempunyai ikatan α(1,4) pada rantai liniernya, serta ikatan α(1,6) pada titik percabangannya. Ikatan percabangan tersebut berjumlah sekitar 4-5 % dari keseluruhan ikatan yang ada pada amilopektin (Hodge dan Osman 1976 di dalam Wirakartakusumah et al. 1984). Amilopektin terdiri dari 300-500 unit glukosa, namun glukosa yang dihubungkan dengan ikatan α-1,4 hanya sekitar 25-30 unit (Hart 1983). Berikut struktur amilopektin pada Gambar 5.
Gambar 5 Struktur amilopektin Komponen penyusun pati yang ketiga bervariasi menurut sumbernya serta dipengaruhi oleh sifat botani. Persentase komponen ketiga ini sekitar 5-10 % pada pati biji-bijian (Greenwood dan Munro 1979 di dalam Wirakartakusumah et al. 1984). Perbandingan kandungan amilosa dan amilopektin berbeda menurut sumbernya. Pada umumnya pati dari jagung, gandum, beras, tapioka, sagu, kentang terdiri dari 17-27 % amilosa dan 73-83 % amilopektin (Cecil et al. 1982). Ukuran granula pati memiliki peranan penting dalam penerapan industri pangan. Sebagai contoh, granula pati yang mempunyai diameter 20 µm dapat digunakan untuk substitusi lemak karena mempunyai ukuran yang sama dengan micell dari lipid (Jane et al. 1992 di dalam Campell et al. 1996). Granula pati
mempunyai ukuran diameter berkisar 3-26 µm, namun diameter rata-rata granula pati jagung 15 µm, granula pati jagung berbentuk bulat, bersegi-segi atau poligonal. Swinkless (1985) mendeskripsikan bentuk dan diameter granula pati beberapa jenis serealia seperti yang tersaji pada Tabel 2. Tabel 2 Bentuk dan diameter beberapa jenis pati Jenis Pati Jagung Jagung tinggi amilopektin Jagung tinggi amilosa Kentang Gandum Tapioka Sorghum Beras Sagu Garut Ubu jalar Ganyong
Kisaran diameter (µm) 3-26 3-24 3-26 5-100 2-35 4-35 3-26 3-8 5-65 5-70 5-25 22-85
Diameter rata-rata (µm) 15 12 15 33 15 20 15 5 30 30 15 53
Bentuk granula Bulat, bersegi-segi Bulat Bulat, bersigi-segi Oval, membulat Bulat Oval, bersudut Bulat, bersegi-segi Bersegi-segi Oval, bersudut Oval, bersudut Bersegi-segi Oval
Sumber : Swinkels (1985)
2.2.1 Gelatinisasi Pati Proses utama yang dialami bahan pangan pati-patian yang diekstrusi adalah adannya perlakuan suhu tinggi, yang akan mengakibatkan pati mengalami gelatinisasi. Bila pati mentah dimasukan kedalam air dingin, granula patinya akan membengkak. Namun demikian jumlah air yang terserap dan pembengkakannya terbatas. Air yang terserap tersebut hanya mencapai kadar 30 %. Peningkatan volume granula pati yang terjadi di dalam air pada suhu antara 55ºC – 65ºC merupakan pembengkakan yang sesungguhnya, dan setelah pembengkakan ini granula pati dapat kembali pada kondisi semula. Granula pati dapat dibuat membengkak luar biasa, tetapi bersifat tidak dapat kembali pada kondisi semula dan perubahan ini yang disebut gelatinisasi. Suhu pada saat granula pati pecah disebut suhu gelatinisasi yang dilakukan dengan penambahan air panas (Winarno 1984). Bila suspensi pati dalam air dipanaskan, beberapa perubahan selama terjadinya gelatinisasi dapat diamati. Mula-mula suspensi pati yang keruh seperti susu tiba-tiba mulai jernih pada suhu tertentu, tergantung jenis pati yang digunakan. Terjadinya translusi larutan pati tersebut biasanya diikuti dengan
pembengkakan granula. Bila energi kinetik molekul-molekul air menjadi lebih kuat daripada daya tarik-menarik antar molekul pati di dalam granula, air dapat masuk kedalam butir-butir pati. Hal inilah yang menyebabkan bengkaknya granula pati tersebut (Winarno 1984) Ketika granula mengembang, amilosa cenderung keluar dari granula. bersama dengan amilopektin, amilosa juga mengalami hidrasi berat. Suspensi menjadi bening dan viskositasnya meningkat serta terus meningkat sehingga mencapai puncak dimana granula mengalami hidrasi maksimum. Apabila pemanasan diteruskan, maka granula menjadi rapuh, pecah dan terpotong-potong membentuk molekul polimer maupun agregat, dan viskositasnya menurun. Disini sol bersifat lengket dan teksturnya liat. Jika sol selanjutnya didinginkan, maka kebeningannya menurun dan viskositasnya dapat meningkat kembali dan membentuk gel bila konsentrasi cukup tinggi. Menurut Wuzburg (1989) bahwa pemanasan campuran granula pati dan air hingga di atas suhu kritis akan melemahkan ikatan hidrogen struktur pati pada granulanya sehingga melemahkan integritas strukturnya, dan air kemudian masuk sehingga terjadi hidrasi terhadap amilosa dan amilopektin. Perubahan dan pengembangan granula pati tersebut bervariasi menurut sumber dan cara ektraksi patinya, tetapi Collinson (1968) didalam Mucthadi et al. (1991) mengatakan bahwa secara pola perubahan, itu hampir sama. Pengembangan granula pati dalam air dingin dapat mencapai 25-30 % dari berat semula. Pada tekanan tersebut granula pati tidak terlarut dalam air dingin, tetapi terbentuk suspensi. Suspensi pati jagung jika dipanaskan 60ºC akan menyebabkan granula menyerap air sebanyak 300 % dan pada suhu 70ºC menyerap 1000 % dan pengembangan maksimum dicapai pada penyerapan air sebanyak 2500 % (Meyer 1982 didalam Muchtadi et al. 1991). Gelanitinisasi dipengaruhi oleh jumlah air (rasio pati dan air) yang tersedia. Rasio pati dan air mempengaruhi jumlah panas yang diperlukan untuk proses gelatinisasi atau suhu gelatinisasi (Wirakartakusumah 1984). Suhu gelatinisasi berbeda-beda bagi tiap pati dan merupakan suatu kisaran. Hal ini disebabkan karena populasi granula yang bervariasi dalam ukuran, bentuk dan energi yang diperlukannya untuk mengembang. Hasil penelitian Haryadi (1984),
pada rasio 5/1 dengan kenaikan suhu 10ºC/menit, kisaran suhu gelatinisasi pati sagu adalah 64.3-82.3ºC, dimana puncak gelatinisasi tercapai pada suhu 74.6ºC. Granula pati mempunyai sifat merefleksikan cahaya terpolarisasi sehingga dibawah mikroskop terlihat kristal hitam-putih. Sifat ini disebut sifat birefringence, intensitas sifat birefringence pati sangat tergantung dari derajat dan orientasi kristal (Hosseney 1988). Menurut Kulp (1975) bahwa selama proses gelatinisasi, suspensi pati berubah menjadi pasta yang semakin kental dengan semakin meningkatnya suhu. Granula pati dalam keadaan utuh tahan terhadap reaksi dengan bahan kimia dan enzim, serta hanya sedikit mengandung air. Tetapi setelah mengembang, granula menjadi rentan terhadap bahan kimia, tenaga mekanis dan kerja enzim serta mampu menyerap air lebih banyak dari beratnya sendiri. Perubahan ini terjadi pada selang suhu yang sangat kecil yang disebut selang suhu gelatinisasi. Pemasakan bahan makanan yang mengandung pati akan menyebabkan terjadinya gelatinisasi pati. Vierra (1979) menyatakan bahwa dengan pemasakan didapatkan produk yang memiliki sifat lebih mudah menyerap dan mengembang dalam air dingin. Pola gelatinisasi di atas sangat khas untuk setiap jenis pati. Oleh karena itu, ketepatan dalam pemilihan bahan baku sangat menentukan kualitas produk akhir (makanan).
2.2.2 Suhu Gelatinisasi Suhu gelatinisasi atau titik gelatinisasi adalah titik dimana granula pati pecah dan sifat birefringece mulai menghilang. Suhu gelatinisasi tidak sama pada semua jenis pati, sehingga hal ini merupakan ciri khas dari masing-masing pati. Suhu gelatinisasi dapat ditentukan dengan Brabender Viscoamylograph dan Differential Scanning Calorymetry (DSC) (BeMiller et al. 1995). Selain itu, suhu gelatinisasi dapat ditentukan juga melalui pengamatan mikroskopis, baik dengan mikroskop elektron maupun mikroskop terpolarisasi yang didasari oleh hilangnya sifat birefringence. Faktor yang berpengaruh terhadap suhu gelatinisasi adalah besarnya konsentrasi gula yang ada dalam bahan, baik sukrosa, glukosa atau fruktosa. Semakin besar konsentrasi gula maka suhu gelatinisasi juga akan semakin
meningkat. Kadar amilosa dan granula pati berpengaruh juga terhadap suhu gelatinisasi. Semakin tinggi kadar amilosa dan ukuran granula pati maka suhu gelatinisasi meningkat (Zobel 1984). Tabel 3 menampilkan suhu gelatinisasi dari beberapa sumber pati. Tabel 3 Suhu gelatinisasi berbagai jenis pati Sumber pati Jagung Kentang putih Ubi jalar Tapioka Gandum Beras Sagu
Suhu (oC) 61 – 72 62 – 68 82 – 83 59 – 70 53 – 64 65 – 73 67.5
2.2.3 Sifat Birefringence Sifat birefringence adalah sifat granula pati yang mampu merefleksikan cahaya terpolarisasi sehingga terlihat kontras gelap terang yang tampak sebagai warna biru-kuning. Warna biru kuning pada permukaan granula pati disebabkan adanya perbedaan indeks refraksi dalam granula pati. Indeks refraksi dipengaruhi oleh struktur amilosa dalam granula pati. Bentuk heliks dari amilosa dapat menyerap sebagian cahaya yang melewati granula pati. Intensitas birefringence sangat tergantung pada derajat dan orientasi kristal. Menurut French (1984) bahwa komponen yang bertanggung jawab terhadap sifat kristal adalah amilopektin yaitu sepasang rantai dengan derajat polimerisasi 15 yang membentuk heliks rangkap, sedangkan komponen yang bertanggung jawab terhadap sifat amorfous granula pati adalah amilosa. Fase amorf terdiri dari amilosa dan senyawa yang terdapat di antara kristal seperti senyawa kompleks fosfolipid-amilosa dan fosfolipid. Billiaderis (1992) menyatakan bahwa hilangnya sifat kristal pati yang mengalami kerusakan granula yaitu amilopketin yang mempunyai rantai pendek dengan ukuran tertentu yang seharusnya tersusun secara teratur dalam granula dan menjadi berantakan. Sifat kristal pati berasal dari rantai cabang amilopektin yang berukuran pendek (14-20 unit glukosa) dari ikatan α-(1,6)-D-Glukosa yang panjangnya 50-70 Aº.
Sifat birefringence pati dapat hilang dengan pemanasan di atas suhu gelatinisasi pati. Hilangnya sifat birefringence pati disebabkan pecahnya ikatan molekul sehingga ikatan hidrogen mengikat lebih banyak molekul air (Fennema 1985). Penetrasi air menyebabkan peningkatan derajat ketidakteraturan dan meningkatnya molekul pati yang terpisah serta penurunan keberadaan sifat kristal, sehingga jika pemanasan dilanjutkan maka sifat kristal akan hilang demikian juga sifat birefringence.
2.3 Biskuit Biskuit terbuat dari bahan dasar tepung (Vail et al. 1978) dan diproses dengan pemanggangan sampai kadar air tidak lebih dari 5 % (SNI 1992). Terkadang pada bahan dasar diberi beberapa bahan tambahan untuk memperbaiki cita rasa dan penampakan. Biskuit merupakan produk kering yang mempunyai daya awet yang relatif tinggi, sehingga dapat disimpan dalam waktu yang lama dan mudah dibawa dalam perjalanan, hal ini bisa terjadi karena volume dan beratnya yang relatif ringan akibat adanya proses pengeringan (Whiteley 1971). Biskuit dikatakan baik apabila memenuhi syarat yang ditetapkan SNI 01-29731992 seperti tertera pada Tabel 4. Tabel 4 Syarat mutu biskuit (SNI 01-2973-1992) tahun 1992 Kriteria Uji (Parameter) Keadaan (bau, rasa, warna, tekstur) Kadar air ( % b/b) Kadar Protein ( % b/b) Kadar Abu ( % b/b) Bahan tambahan makanan - Pewarna dan pemanis buatan Kadar cemaran logam - Tembaga (mg/kg) - Timbal (mg/kg) - Seng (mg/kg) - Merkuri (mg/kg) Cemaran mikroba - TPC (koloni/g) - Coliform (APM/g) - E.coli (APM/gr) - Kapang (Koloni/g) Sumber : Departemen Perindustrian, 1992
Syarat Mutu Normal Maks 5.0 Min 6.0 Maks 1.5 Tidak boleh ada Maks 10.0 Maks 1.0 Maks 40.0 Maks 0.05 Maks 1.0 x 106 Maks 20.0 <3 Maks 1.0 x 102
Umumnya biskuit berwarna coklat keemasan, permukaan agak licin, bentuk dan ukuran seragam, kering, renyah dan ringan serta aroma yang
menyenangkan. Bahan pembentuk biskuit dapat dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu bahan pengikat dan bahan perapuh. Bahan pengikat berfungsi untuk membentuk adonan yang kompak, sedangkan bahan perapuh terdiri dari gula, shortening, bahan pengembang dan kuning telur (Matz 1978). Biskuit yang dikenal di pasaran terdiri dari berbagai macam jenis, Manley (1983) mengklasifikasikan biskuit ke dalam beberapa jenis seperti tersaji pada Tabel 5. Vail et al. (1978) mengungkapkan bahwa mutu biskuit tergantung dari komponen pembentuknya dan penanganan bahan sebelum dan sesudah proses produksi. Penyimpangan mutu (Tabel 6) produk akhir dapat terjadi akibat penggunaan bahan-bahan tidak dalam proporsi dan cara pembuatan yang tepat. Tabel 5 Klasifikasi biskuit menurut Manley (1983) Klasifikasi Kadar air adonan ( %) Kadar air biskuit ( %) Suhu adonan (oC) Komponen penting
Crackers 30 1-2 30-38 Tepung
Waktu pemanggangan (menit) 3 Keterangan : HF = Kandungan Lemak Tinggi HS = Kandungan Gula Tinggi
Adonan Keras 22 1-2 40-42 Tepung 5.5
Adonan Lunak HF HS 9 15 2-3 2-3 20 21 Lemak Lemak & gula 15-25 7
Tabel 6 Jenis-jenis penyimpangan yang dapat terjadi dan penyebabnya pada biskuit *) Jenis Penyimpangan Keras Warna pucat Bentuk tidak rata Warna tidak rata Hambar Keras dan poros Keras dan kering *) Vail et al. (1978).
Penyebab Kurang lemak, kurang air Proporsi bahan kurang tepat, oven kurang panas Pencampuran tidak rata, penanganan tidak hati-hati, panas tidak merata Bentuk tidak rata, panas tidak rata Proporsi bahan pembentuk tidak seimbang Pencampuran tidak tepat Adonan terlalu keras dan kenyal, penanganan terlalu lama
Tipe biskuit berhubungan satu dengan yang lainnya tergantung pada jumlah tepung, lemak, gula dan air. Pengelompokkan yang telah dibuat adalah berdasarkan tekstur dan kekerasan biskuit, perubahan bentuk dalam oven serta ekstensibilitas dan jenis adonanya (Manley 1983). Biskuit dan kue kering
(cookies) mempunyai arti yang sama, akan tetapi di Indonesia biskuit dan kue kering (cookies) mempunyai penampakan yang berbeda. Biskuit digolongkan juga menurut sifat adonannya yaitu adonan pendek atau lunak, adonan keras dan adonan fermentasi. Adonan lunak, gluten tidak sampai mengembang akibat shortening efek dari lemak dan efek pelunakan dari gula atau kristal sukrosa. Jenis adonan lunak memiliki kadar gula 25-40 % dan kadar lemak 15 %, contohnya adalah biskuit glukosa, biskuit krim, biskuit buah, biskuit jahe dan biskuit kacang. Adonan keras, gluten mengembang sampai batas tertentu dengan penambahan air. Pada adonan keras terjadi pengikatan pati dengan protein, pelarutan gula, garam, pengembang dan dispersi lemak ke seluruh adonan. Adonan ini mengandung kadar gula 20 % dan kadar lemak 12-15 %, contohnya biskuit marie dan rich tea. Adonan fermentasi, gluten mengembang penuh karena air yang ditambahkan, sehingga memungkinkan kondisi tersebut yang berakibat pada perubahan bentuk akhir dengan penyusutan panjang setelah pencetakan dan pembakaran. Pada adonan fermentasi produk akhir memiliki sifat kerenyahan tertentu. Kadar gula rendah dan kadar lemak 25-30 %, contohnya biskuit crackers (Soenaryo 1985). Klasifikasi lain dari biskuit adalah berdasarkan pembentukan biskuit. Menurut Faridi & Faubion (1990), biskuit dapat dibuat dan dibentuk dengan tiga cara yaitu Rotary molded, wire cut dan pembentukan lembaran (sheeting). Perbedaan ketiga cara ini adalah kandungan gula dalam adonan sehingga akan mempengaruhi karakteristik sewaktu proses pembentukan. Menurut SNI tahun 1990, biskuit dapat diklasifiksaikan menjadi biskuit keras, crackers, cookies dan wafer. Biskuit keras dibentuk dari adonan keras dan memiliki tekstur padat. Crackers adalah biskuit yang dibuat dari adonan keras melalui fermentasi dan memiliki struktur berlapis-lapis. Jenis yang ketiga yaitu cookies merupakan jenis biskuit yang dibuat dari adonan lunak. Sifatnya yang lebih renyah karena tekstur yang kurang padat. Wafer adalah jenis biskuit dari adonan cair dengan sifat yang sangat renyah dan memiliki tekstur yang berongga.
2.3.1 Bahan Baku Biskuit
Bahan yang digunakan dalam pembuatan biskuit dibedakan menjadi bahan pengikat (binding material) dan bahan pelembut ( tenderizing material) (Matz dan Matz 1978). Bahan pengikat terdiri dari tepung, air, susu bubuk, putih telur dan cocoa, sedangkan bahan pelembut terdiri dari gula, lemak atau minyak (shortening), bahan pengembang, dan kuning telur. Matz (1972) menyatakan bahwa bahan baku utama pembuatan biskuit adalah terigu, gula, minyak dan lemak, sedangkan bahan pembantu yang digunakan adalah garam, susu, flavor, pewarna, pengembang, ragi, air dan pengemulsi. Untuk mendapatkan produk biskuit yang berkualitas maka penggunaan tepung terigu tipe lunak yang memiliki kadar protein sekitar 8 % dan kadar gluten yang tidak terlalu banyak adalah paling sesuai (Vail et al. 1978). Tepung terigu berfungsi untuk membentuk adonan selama proses pencampuran, menarik atau mengikat bahan lainnya, mendistribusikannya secara merata, mengikat selama proses fermentasi serta membentuk struktur biskuit selama pemanggangan (Matz dan Matz 1978). Gula berfungsi sebagai pemberi rasa manis, pembentuk flavor dan warna pada permukaan biskuit dan pengontrol penyebaran. Menurut Wheat Associates (1981), gula juga berperan dalam memperpanjang masa simpan biskuit, karena gula memiliki sifat higroskopis (menahan air). Dengan adanya gula, diusahakan agar waktu pemanggangan tidak terlalu lama, karena dapat menyebabkan karamelisasi yang berlebihan sehingga penampakan biskuit akan menjadi hangus. Gula yang selalu digunakan pada pembuatan biskuit adalah sukrosa (pemanis nitritif), yaitu pemanis yang mengandung energi untuk memberikan sumbangan energi ke bahan pangan. Gula yang biasanya digunakan adalah gula halus atau gula pasir. Sukrosa juga merupakan jenis pemanis yang sangat cocok digunakan dalam pembuatan biskuit, karena tingkat kemanisannya yang tinggi (100×) dan perannya dalam membentuk tekstur yang renyah (Wheat Associates 1981). Jumlah gula yang ditambahkan sangat berpengaruh terhadap tekstur dan penampakan produk akhir seperti warna. Fungsi lain dari penambahan gula adalah untuk membantu pembentukan krim dan pengocokan pada proses pencampuran serta menambah nilai gizi (Sultan 1983).
Lemak biasanya digunakan untuk memberi efek shortening dengan memperbaiki tekstur fisik seperti volume pengembangan, tekstur dan kelembutan serta memberikan flavor (Matz and Matz 1978). Lemak nabati (margarin) lebih banyak digunakan karena memberikan rasa lembut dan halus. Shortening adalah sifat lemak atau minyak yang merupakan komponen penting bagi biskuit dan kue kering lainnya, karena sifatnya sebagai bahan pengemulsi sehingga menghasilkan tekstur produk yang renyah. Tipe dan jumlah shortening dan emulsifier dalam bahan akan mempengaruhi bentuk adonan dan mutu produk akhir (Matz 1968). Penambahan susu berfungsi untuk memberikan aroma, memperbaiki tektur dan memperbaiki warna permukaan. Laktosa yang terkandung dalam susu merupakan disakarida pereduksi, yang jika bertemu dengan protein melalui reaksi Maillard dan adanya proses pemanasan akan memberikan warna coklat menarik pada permukaan cookies setelah dipanggang (Manley 1983). Telur berfungsi untuk memperbaiki tektur bakery sebagai hasil dari fungsi emulsifikasi, pelembut tekstur dan daya pengikat. Penggunaan kuning telur memberikan tekstur lembut, tetapi struktur dalam biskuit tidak sebaik jika digunakan keseluruhan bagian telur (Flick 1964 didalam Matz and Matz 1978). Rasa gurih, pengontrol waktu fermentasi serta menambah keliatan gluten merupakan fungsi dari garam (US Wheat Associates 1981). Sebagian besar formula biskuit menggunakan 1 % garam atau kurang dalam bentuk kristal-kristal kecil (halus) untuk mempermudah kelarutannya (Matz and Matz 1978). Pengembang adonan (Leavening agent) yang sering digunakan adalah backing powder. Baking powder merupakan campuran sodium bikarbonat (NaHCO3) dan asam seperti sitrat atau tartarat. Umumnya baking powder mengandung pati sebagai bahan pengisi. Sifat baking powder adalah cepat larut dalam suhu kamar dan tahan lama selama pengolahan (Matz and Matz 1978). Kombinasi sodium bikarbonat dan asam dimaksudkan untuk memproduksi gas karbondioksida baik sebelum dipanggang atau pada saat dipanaskan dioven (Manley 1983).
2.3.2 Proses Pembuatan Biskuit Cara umum pembuatan biskuit dimulai dengan pembuatan adonan. Proses pembuatan adonan biskuit berbeda-beda tergantung jenis adonan yang dibuat. Seperti yang telah disebutkan di atas ada dua jenis adonan yaitu adonan pendek atau lunak dan adonan keras. Pencampuran adonan pendek atau lunak dimulai dengan mengocok lemak dan gula sampai tercampur halus. Selama dikocok essens pewarna dan garam dimasukkan ke dalam krim. Pengembang dilarutkan dalam air atau susu cair lalu dimasukkan kedalam krim. Pada proses terakhir, terigu dimasukkan (Soenaryo 1985). Prinsip pembuatan adonan keras sama adonan pendek atau adonan lunak, namun waktu pencampuran diperpanjang. Sodium metabisulfit ditambahkan untuk mereduksi pengembang gluten (Soenaryo 1985). Adonan keras akan mengalami aging (penuaan) setelah adonan terbentuk. Waktu aging tergantung pada jenis pengembang. Aging diperlukan untuk memberi kesempatan untuk bahan pengembang bekerja. Waktu yang diperlukan untuk proses ini adalah sekitar 15 menit (Soenaryo 1985). Menurut Wheat Associates (1981), lamanya aging tergantung baking powder yang digunakan. Baking powder ada dua jenis yaitu baking powder yang reaksinya lambat dan baking powder yang reaksinya cepat. Jenis baking powder yang reaksinya cepat misalnya kalsium pirofosfat dimana setelah mixing jenis ini akan melepaskan gas dalam waktu yang relatif pendek (5-15 menit). Jenis baking powder yang reaksinya lambat yaitu sodium pirofosfat dan sodium almunium sulfat. Jenis ini tidak terlalu banyak membebaskan gas sampai adonan dipanaskan, waktu yang dibutuhkan sekitar 15-30 menit. Tahap selanjutnya dalam proses pembuatan biskuit adalah pencetakan. Adonan yang akan dicetak mengalami penipisan terlebih dahulu sampai diperoleh ketebalan yang diinginkan. Biasanya penipisan dilakukan oleh 3 buah roller. Satu buah silinder mengontrol ketebalan dari fedding dan yang kedua untuk keluaran (memeriksa kondisi tetap konstan). Sisa adonan yang tidak dicetak akan keluar dan kembali mengalami penipisan. Untuk
menghindari kelengketan adonan
dengan alat yang digunakan maka diberikan tepung pada permukaan adonan untuk mendebukan atau digunakan alat yang rendak gesekannya seperti teflon. Pemanggangan dilakukan segera setelah pencetakan, namun sebelum dipanggang, adonan terlebih dahulu dilapisi dengan susu atau lemak cair untuk memperbaiki warna. Pada saat pemanggangan struktur biskuit akan terbentuk akibat gas yang dilepaskan oleh bahan pengembang dan uap air akibat dari kenaikan suhu. Ketebalan biasanya meningkat 4-5 kali. Kadar air dari 21 % menjadi lebih kecil dari 5 %. Pemanggangan biskuit dilakukan dengan oven selama 2.5-30 menit tergantung suhu, jenis oven dan kenis biskuitnya. Makin sedikit kandungan gula dan lemak, biskuit dapat dipanggang pada suhu yang lebih tinggi (177-204oC) (Soenaryo 1985). Biskuit tipe semi sweet membutuhkan waktu pemanggangan 5-4.6 menit pada oven kontinyu dengan suhu yang berbeda-beda, bagian pertama 160ºC, kedua 200ºC, ketiga 300ºC. Oven yang biasanya digunakan terbuat dari baja (steel) bagian bawah (tray) biasanya terbuat dari kawat berlubang-lubang (Manley 1983). Biskuit yang dihasilkan segera didinginkan untuk menurunkan suhu dan pengerasan biskuit akibat memadatnya gula dan lemak. Waktu untuk mendinginkan biasanya 2-3 kali lebih lama daripada waktu dioven (Manley 1983).
2.4 Aktivitas Air Scott (1957) di dalam Hari Purnomo (1995) pertama kali menggunakan aktivitas air sebagai petunjuk akan adanya sejumlah air dalam bahan pangan yang dibutuhkan bagi pertumbuhan mikroorganisme. Aktivitas air terkait erat dengan adanya air dalam bahan pangan. Air dalam bahan pangan berperan sebagai pelarut dalam beberapa komponen disamping ikut sebagai bahan pereaksi, sedang bentuk air dapat ditemukan sebagai air bebas dan air terikat. Air bebas dapat dengan mudah hilang apabila terjadi penguapan atau pengeringan, sedangkan air terikat sulit dibebaskan dengan cara tersebut. Adanya hubungan yang erat antara kadar air dalam bahan pangan dengan daya awetnya. Pengurangan air baik secara pengeringan maupun penambahan bahan penguap air bertujuan untuk mengawetkan bahan pangan sehingga dapat tahan terhadap kerusakan mikrobiologis maupun kerusakan kimiawi (Fennema
1982). Kriteria ikatan air dalam aspek daya awet bahan pangan dapat ditinjau dari kadar air, konsentrasi larutan, tekanan osmotik, kelembaban relatif berimbang dan aktivitas air (Purnomo 1995). Aktivitas air merupakan parameter yang sangat berguna untuk menunjukkan kebutuhan air atau hubungan air dengan mikroorganisme dan aktivitas enzim. Secara umum dapat dikatakan bahwa kadar air dan aktivitas air (aw) sangat berpengaruh dalam menentukan masa simpan dari makanan, karena faktor-faktor ini akan mempengaruhi sifat-sifat fisik (kekerasan dan kekeringan), sifat-sifat fisiko kimia, perubahan-perubahan kimia (pencoklatan non enzimatis), kerusakan mikrobiologis dan perubahan enzimatis terutama pada makanan yang tidak diolah (Winarno dan Jenie 1983). Kandungan air dalam bahan pangan berubah-ubah sesuai dengan lingkungannya, hal ini sangat erat hubungannya dengan daya awet bahan pangan tersebut. Hal ini merupakan pertimbangan utama dalam pengolahan dan pengelolaan pasca olah bahan pangan. Aktivitas air didefenisikan sebagai perbandingan antara tekanan uap air dari larutan dengan tekanan uap air murni pada suhu yang sama : Aw = P/Po, dimana P
= tekanan uap air dari larutan pada suhu, Po =
tekanan uap air murni pada suhu T. Aktivitas air dapat juga dinyatakan sebagai jumlah molekul dalam larutan, dan menurut hukum Roult dapat dinyatakan sebagai berikut : Aw =
n2 , dimana n1 = jumlah molekul yang dilarutkan, n2 n1 + n 2
= jumlah molekul air. Parameter ini juga dapat didefenisikan sebagai : kelembaban relatif berimbang (equilibirium relative humidity = ERH) dibagi 100. Aw = ERH/100. Disamping formula di atas Aw juga dapat dikaitkan dengan tekanan osmotis dan diformulasikan sebagai berikut : Tekanan osmotis =
− RT log eAw , dimana R = Konstanta gas, T = Suhu absolut, V = Molal volume V air. Aw dari bahan pangan adalah untuk mengukur terikatnya air pada bahan pangan atau komponen bahan pangan tersebut, dimana Aw dari bahan pangan cenderung untuk berimbang dengan Aw lingkungan sekitarnya (Purnomo 1995).
2.5 Kadar Air Kesetimbangan
Kadar air kesetimbangan adalah kadar air pada tekanan uap yang setimbang dengan lingkungannya (Heldman dan Singh 1981). Kadar air suatu bahan yang sedang dikeringkan menunjukkan tingkat kadar air terendah yang dapat dicapai selama proses pengeringan dalam ruang pengering pada suhu dan RH tertentu. Menurut Hall (1980) kadar air kesetimbangan berhubungan langsung dengan proses pengeringan dan penyimpanan bahan pangan hasil pertanian. Bahan dalam keadaan setimbang dengan lingkungannya bila laju air yang hilang dari bahan ke lingkungan sama dengan laju air yang bertambah kedalam bahan lingkungan. Kadar air kesetimbangan suatu produk dapat dinyatakan dengan berat kering atau berat basah. Ada dua cara untuk menentukan kadar air kesetimbangan yaitu dengan metode statis dan metode dinamis. Metode
statis dilakukan dengan cara
meletakan contoh bahan pada tempat dengan RH dan suhu terkontrol. Metode dinamis adalah dengan cara meletakan bahan pada tempat dimana suhu dan RH dikontrol dan digerakkan secara mekanik, sehingga proses metode dinamis lebih cepat dari proses statis (Brooker et al. 1974). Metode dinamis membutuhkan waktu penyeimbangan yang lebih cepat dari pada metode statis namun metode ini mempunyai permasalahan pada desain dan instrumen yang digunakan. Sedangkan metode statis digunakan lebih luas walau membutuhkan waktu penyeimbangan yang lebih lama (Hall 1980). Nilai kadar air kestimbangan berbeda-beda untuk masing-masing bahan pangan. Nilai ini ditentukan oleh varietas, tingkat kematangan dan cara pengukuran. Kadar air kesetimbangan dapat dicapai dengan dua cara yaitu proses absorbsi dan proses desorbsi. Proses tercapainya kadar air kesetimbangan suatu bahan dengan lingkungannya karena bahan kehilangan sebagian kandungan airnya disebut proses desorpsi. Namun apabila bahan yang relatif kering menyerap air dari lingkungannya yang mempunyai kelembaban relatif tinggi, dikatakan bahwa bahan tersebut mencapai kadar air kesetimbangan melalui proses absorpsi.
2.6 Isothermi Sorpsi Air
Isothermi Sorpsi Air (ISA) menunjukkan hubungan antara kadar air bahan dengan RH keseimbangan ruang tempat penyimpanan bahan atau aktivitas air pada suhu tertentu (Labuza 1968). Pada bahan pangan air terdapat dalam bentuk bebas dan bentuk terikat. Air bebas menunjukkan sifat-sifat air dengan keaktifan penuh, sedangkan air terikat menunjukkan sifat-sifat air yang terikat erat dengan komponen bahan pangan lainnya. Hubungan besarnya Aw dan kadar air dalam bahan pangan pada suhu tertentu digambarkan pada Gambar 6.
Gambar 6 Kurva isothermis sorpsi air Kurva di atas menunjukkan bahwa bahan pangan yang mempunyai nilai Aw yang sama dapat mempunyai kadar air yang berbeda. Tiga daerah kapasitas air terikat terdiri dari daerah dengan nilai Aw 0.3 (ERH = 30 %), daerah dengan nilai Aw antara 0.3 – 0.75 dan daerah dengan Aw 0.75 – 1. Jika ditinjau dari aspek keterkaitan air maka pada daerah pertama, air terdapat dalam bentuk monolayer (satu lapis) dengan molekul air yang terikat sangat erat. Kadar air bahan pangan berkisar anatar 5 – 10 % sehingga air sangat sulit untuk diuapkan. Pada daerah kedua air terikat kurang erat dan merupakan lapisan-lapisan. Air yang terdapat dalam daerah ini berperan sebagai pelarut, oleh karena itu aktivitas enzim dan pencoklatan non enzimatik dapat terjadi. Daerah ketiga disebut sebagai daerah kondensasi kapiler. Di daerah ini terkondensasi pada struktur bahan pangan
hingga kelarutan komponen menjadi lebih sempurna. Keadaan dimana air dalam kondisi bebas ini dapat membantu proses kerusakan. Syarief dan Halid (1993) dan Buckle et al. (1985) menyatakan bahwa pada umumnya kurva sorpsi isothermis bahan pangan berbentuk sigmoid (menyerupai huruf S). Pada kenyataannnya grafik penyerapan uap air dari udara oleh bahan pangan (kurva adsorpsi) dan grafik pelepasan uap air oleh bahan pangan ke udara (desorpsi) tidak pernah berhimpit. Keadaan demikian disebut fenomena histerisis. Fenomena ini diperlihatkan oleh perbedaan nilai-nilai kadar air kesetimbangan yang diperoleh dari proses desorpsi dan absorbsi. Besarnya histerisis dan bentuk kurva sangat beragam tergantung faktor-faktor seperti bahan pangan, perubahan fisik yang terjadi selama perpindahan air, suhu, kecepatan desorpsi dan tingkatan air yang dipindahkan selama desorpsi (Fennema 1985). Kurva sorpsi isothermis sangat khas untuk setiap jenis bahan pangan (Winarno 1984).
2.6.1 Air Terikat
Air di dalam bahan pangan bisa terdapat di antara sel-sel maupun di dalam sel. Air bebas terdapat di dalam jaringan sedangkan air terikat biasanya terdapat di dalam sel (Winarno 1985). Menurut Kuprianof (1985) bahwa air di dalam bahan pangan dikategorikan dalam dua tipe, yaitu air bebas dan air terikat. Air bebas menunjukkan sifat-sifat air biasa dengan keaktifan penuh, sedangkan air terikat menunjukkan air terikat erat dengan komponen bahan lainnya. Air ikatan mempunyai sifat-sifat yang berbeda dari air kamba (bulk water), atau air bebas (free water) maupun air beku atau es (Soekarto 1978). Soekarto (1978) dan Van Den Berg dan Bruin (1981) juga melaporkan adanya tiga fraksi ikatan pada bahan kering, yaitu air terikat primer, sekunder dan tersier. Air terikat primer menunjukkan sifat air yang terikat sangat kuat pada bahan pangan, dengan enthalpi penguapan yang lebih besar dari pada enthalpi penguapan air murni. Air terikat sekunder menunjukkan fraksi air yang terikat kurang kuat dibandingkan air terikat primer. Air terikat sekunder di absorpsi di dekat atau di atas air terikat primer, dapat digunakan sebagai pelarut dan pereaksi. Air terikat sekunder menunjukkan fraksi air yang terikat lemah yang secara
mekanis terikat dalam jaringan matrik bahan. Sifat-sifatnya mendekati sifat air bebas. Air terikat dapat ditentukan dengan mengukur air yang tidak dapat membeku pada suhu pembekuan. Air terikat mempunyai sifat-sifat yang berbeda dari air ebas, yaitu titik beku dan tekanan uap yang lebih rendah, serta titik didih dan densitas yang lebih besar (Kuprianof 1958). Penentuan analisis air terikat dapat menggunakan beberapa model matematika dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing pada tiap model matematika tersebut. Model-model tersebut antara lain : a. Model BET
Persamaan ini dikemukakan oleh Brunauer, Emmet dan Teller (1938) yang merupakan model yang tepat diterapkan pada bahan pangan yang mempunyai kisaran aw tertentu yaitu 0.05-0.45 (Chirif dan Idlesias di dalam Rizvi 1995). Model ini dapat digunakan untuk menduga nilai lapisan air monolayer yang di absorpsi pada permukaan. Kandungan air pada lapisan monolayer ini sangat penting dalam menentukan stabilitas fisik dan kimia bahan yang dikeringkan. Secara umum model BET adalah : aw ⎛ 1 ⎞ ⎛ C −1 ⎞ =⎜ ⎟+⎜ ⎟aw (1 − aw) M ⎝ MoC ⎠ ⎝ MoC ⎠ dimana : Mo = nilai monolayer M = kadar air (g air/g bahan kering) pada aktivitas air aw C = konstanta
Hal-hal yang mendasari teori persamaan BET yang dikemukakan oleh Rizvi adalah kondensasi pada lapisan pertama sebanding dengan laju penguapan dari lapisan kedua, energi ikatan seluruh molekul penyerap (adsorban) pada lapisan pertama sama, energi ikatan pada lapisan lain sebanding dengan energi ikatan adsorban murni. b. Model Logaritma
Model ini dikemukakan oleh Soekarto (1978) yang merupakan model untuk menentukan air terikat sekunder. Model ini merupakan analogi dari perambatan panas di dalam kaleng. Kurva sorpsi isothermik yang biasanya diplot sebagai kadar air (m) terhadap aktivitas air (aw) ditukar plotnya menjadi 1-aw
terhadap m sehingga bentuk kurvanya serupa dengan kurva perambatan panas di dalam kaleng sebagai plot suhu (T) terhadap waktu pemanasan (t). Model matematika empiriknya sebagai berikut : Log (1- aw) = b (m) + a dimana : m = kadar air (g air / g bahan kering) b = faktor kemiringan a = titik potong pada ordinat
Melalui penerapan model ini akan menghasilkan garis lurus yang patah menjadi dua. Ini diartikan sebagai garis pertama mewakili air terikat sekunder dan garis lurus kedua mewakili air terikat tersier. Titik potong kedua garis dianggap sebagai kapasitas air terikat sekunder. c. Model Guggenhein – Anderson-de Boer
Model ini diturunkan oleh Guggenhein (1966), Anderson (1946) dan de Boer (1953) dimana model ini dapat menguraikan isothermi sorpsi hingga 0.94. bentuk persamaan GAB secara umum sebagai berikut : M =
Mo × C × aw (1 − K × aw)(1 − K × aw + C × K × aw)
dimana : Mo = kadar air monolayer C = c exp (HI – Ho)/RT C = kalor jenis K = k ezp (HI – Ho)/RT HI = panas kondensasi uap air murni Hn = panas sorpsi multilayer Ho = panas sorpsi monolayer R = konstanta gas T = suhu (oC)
Beberapa kelebihan dari model ini adalah memiliki latar belakang teoritis, dapat mendeskripsikan sifat sorpsi isothermis pada hampir semua bahan pangan pada kisaran aw 0.1
menggambarkan pengaruh suhu terhadap sorpsi isothermik dengan menggunakan persamaan Arhenius (Rizvi 1995). Model GAB ini dipakai untuk menentukan kapasitas air terikat tersier.
2.7 Umur Simpan dan Metode Analisisnya
Umur simpan (shelf life) didefenisikan sebagai kisaran waktu antara produk pangan selesai diolah oleh industri atau perusahaan sampai dikonsumsi oleh konsumen, dimana produk tersebut masih mempunyai mutu yang baik (Labuza 1982). Menurut Robertson (1993) bahwa umur simpan merupakan lamanya periode antara pengemasan produk dan penggunaannya dengan catatan mutu produk masih diterima oleh konsumen. Periode produk makanan antara pabrik dan penjualan adalah waktu selama produk berada dalam kondisi mutu yang memuaskan baik dari nilai gizi, tekstur dan penampakan. Proses penentuan umur simpan sangat tergantung pada tersedianya datadata tentang 1)mekanisme penurunan mutu produk yang dikemas, 2) unsur-unsur dalam produk yang secara langsung mempengaruhi laju penurunan mutu produk, 3) mutu produk dalam kemasan, 4) bentuk dan ukuran kemasan yang diinginkan, 5) mutu produk pada saat dikemas, 6) mutu minimum dari produk yang masih dapat diterima, 7) variasi iklim selama distribusi dan penyimpanan, 8) resiko perlakuan mekanis selama distribusi dan penyimpanan yang mempengaruhi keutuhan kemasan serta 9) sifat sekat lintasan (barrier) pada bahan kemasan untuk mencegah pengaruh unsur-unsur luar yang dapat menyebabkan penurunan mutu produk (Hine 1987). Faktor-faktor yang mempengaruhi masa simpan makanan yang dikemas adalah ukuran kemasan dalam hubungannya dengan volume, kondisi atmosfir (suhu dan kelembaban) dimana kemasan dapat bertahan selama transit dan sebelum digunakan, ketahanan keseluruhan dari kemasan terhadap keluar masuknya air, gas dan bau termasuk perekatan, penutupan dan bagian-bagian yang terlipat, keadaan ilmiah atau sifat makanan dan mekanisme berlangsungnya perubahan, misalnya kepekaan terhadap air dan oksigen serta kemungkinan terjadinya perubahan kimia internal dan fisik (Syarief et al. 1989).
Dikenal ada tiga metode dalam menentukan umur simpan yaitu metode konvensional, metode akselerasi kondisi penyimpanan dan metode nilai waktu paruh (Syarief et al. 1989). Beberapa asumsi yang harus dipertimbangkan dalam menentukan umur simpan yaitu (1) mekanisme kerusakan yang terjadi sangat tergantung pada faktor lingkungan (tekanan parsial oksigen, kelembaban relatif dan temperatur) dan faktor komposisi (pH, konsentrasi, aw, dsb), (2) laju penurunan mutu dapat ditentukan dengan menghubungkan beberapa hasil pengukuran objektif dengan hasil penilaian organoleptik dan toksikologi, (3) kemasan diasumsikan bebas dari kebocoran sehingga karakteristik penyerapan hanya tergantung pada bahan kemasan saja (Gnanasekharan dan Jhon 1993). Menurut Labuza (1982), penelitian umur simpan dapat dilakukan dengan kondisi dipercepat (accelerated shelf testing) yang selanjutnya dapat memprediksi umur simpan yang sebenarnya. Meningkatnya suhu dan kelembaban udara pada kondisi penyimpanan bahan pangan kering dapat digunakan sebagai metode untuk mempersingkat waktu perkiraan umur simpan suatu produk pangan. Kondisi akselerasi untuk produk pangan kering dapat dilakukan dengan mengkondisikan bahan pada suhu dan RH yang tinggi sehingga kadar air kritis lebih cepat tercapai daripada kondisi normal atau kondisi penyimpanan pada suhu rendah. Penambahan atau kehilangan kandungan air dari suatu bahan pangan pada suhu dan kelembaban (RH) yang konstan dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut :
dw k = (Pout − Pin )A dt x dimana : dw/dt = jumlah air yang bertambah atau berkuar per hari (gram) k/x = permeabilitas kemasan (gH2O/hari.m2.mmHg) A = luas permukaan kemasan (m2) Pout = tekanan uap air diluar kemasan (mmHg) Pin = tekanan uap air di dalam kemasan (mmHg)
Namun apabila perubahan air mempengaruhi mutu makanan maka dengan mengatahui pola penyerapan airnya dan menetapkan nilai kadar air kritisnya, umur simpan dapat ditentukan. Dengan demikian umur simpan berdasarkan laju
perubahan kadar air dapat ditentukan dengan pendekatan yang menggunakan persamaan Labuza (1982), yaitu : ⎛ Me − Mi ⎞ ln⎜ ⎟ Me − Mc ⎠ ⎝ θ= ⎛ k ⎞⎛ A ⎞⎛ Po ⎞ ⎜ ⎟⎜ ⎟⎜ ⎟ ⎝ x ⎠⎝ Ws ⎠⎝ b ⎠
dimana : θ
= Waktu yang diperlukan dalam kemasan untuk bergerak dari kadar air awal menuju kadar iar kritis atau waktu perkiraan umur simpan (hari = 24 jam). me = Kadar air kesetimbangan produk ( % bk) mi = Kadar air awal produk ( % bk) mc = Kadar air kritis produk ( % bk) k/x = Konstanta permeabilitas uap air kemsan (g/m2.hari.mmHg) A = Luas permukaan kemasan (m2) Ws = Berat kering produk dalam kemasan (g) Po = Tekanan uap jenuh (mmHg) b = Kemiringan kurva sorpsi isothermik (yang diasumsikan linier antara mi dan me).
Parameter-parameter pada persamaan Labuza (1982) di atas dapat dikelompokan menjadi tiga unsur yaitu unsur sifat fisik produk (mc, mi, Ws dan b), unsur pengemas (k/s dan A) dan lingkungan luar/dalam pengemas (RH penyimpanan dan b).
2.8 Pengemasan
Pengemasan disebut juga pembungkusan, pewadahan atau pengepakan. Dalam pertanian hal ini sangat penting. Keberadaan wadah atau pembungkus dapat membantu dalam mencegah atau mengurangi kerusakan, melindungi bahan pangan yang ada di dalamnya, dimana perlindungan dibutuhkan terhadap bahaya pencemaran seperti gangguan fisik ( gesekan, benturan, getaran). Fungsi lain dari pengemasan adalah untuk menempatkan suatu hasil pengolahan atau produk industri agar mempunyai bentuk-bentuk yang memudahkan dalam pengakutan dan distribusi. Sedangkan dari segi promosi, wadah atau pembungkus berfungsi sebagai perangsang atau daya tarik pembeli. Dengan demikian bentuk, warna dan dekorasi dari kemasan perlu diperhatikan dalam perencanaannya (Syarif et al. 1989). Kemasan secara alami telah terbentuk
seperti jagung, buah-buahan yang terbungkus kulitnya, dll. Secara tradisional digunakan bahan dari alam untuk dipakai sebagai wadah pembungkus. Pada dunia industri modern, dikenal kemasan yang bervariasi seperti kemasan dengan variasi atmosfir, kemasan aseptik, kemasan transportasi dengan suhu rendah, dll. Kemasan terbuat dari berbagai bahan dasar diantaranya : kemasan gelas, kemasan karton dan kertas, kemasan kayu, kemasan logam, kemasan plastik, kemasan aseptik. Dalam proses pengemasan dan penyimpanan bahan pangan sering terjadi penyimpangan mutu produk. Penyimpangan mutu bahan pangan dan produk olahan adalah penyusutan kualitatif dimana bahan tersebut mengalami penurunan mutu sehingga menjadi tidak layak lagi untuk dikonsumsi manusia. Bahan pangan dikatakan rusak apabila telah mengalami perubahan cita rasa, penurunan nilai gizi atau tidak aman lagi untuk dimakan karena dapat mengganggu kesehatan. Makanan rusak adalah makanan yang sudah kadaluarsa atau melampaui masa simpan (shelf-life). Makanan kadaluarsa seringkali nampak bagus padahal telah mengalami penurunan mutu dan nilai gizi. Penyusutan terjadi bisa secara kualitatif dan kuantitatif. Penyusutan kuantitatif seperti kehilangan jumlah atau bobot hasil pertanian baik karena penanganan yang kurang baik maupun karena gangguan biologi ( proses fisiologi, serangan serangga dan tikus). Pengemasan sebagai bagian intergral dari proses produksi dan pengawetan bahan pangan dapat pula mempengaruhi mutu seperti antara lain : (a). Perubahan fisik dan kimia karena migrasi zat-zat kimia dari bahan kemas (monomer plastik, timah putih, korosi), (b). Perubahan aroma (flavor), warna, tekstur yang dipengaruhi oleh perpindahan uap air dan oksigen. Produk kering terutama yang bersifat hidrofilik harus dilindungi terhadap masuknya uap air. Umumnya produk-produk ini memiliki ERH yang rendah, dengan demikian harus dikemas dengan kemasan yang memiliki permeabilitas air yang rendah untuk mencegah produk yang berkadar gula tinggi merekat atu produk-produk tepung menjadi basah sehingga tidak lagi bersifat mawur (free
flowing) (Syarief et al. 1989). Plastik banyak digunakan untuk bahan kemasan, baik dalam lembaran pembungkus, kantong, karung, botol dan sebagainya. Selain itu plastik juga
berperan di lapangan industri dimana drum dan kaleng-kaleng plastik menggantikan gelas dan logam lainnya. Plastik telah menempati bagian yang sangat penting dalam industri pengemasan. Kelebihan plastik dari bahan-bahan kemasan yang lainnya diantaranya adalah : harganya relatif murah, dapat dibentuk berbagai rupa, warna dan bentuk relatif lebih disukai konsumen, mengurangi biaya transportasi, sedangkan kelemahan plastik yang utama yaitu umumnya tidak tahan terhadap temperatur tinggi. Sebagai bahan pembungkus plastik dapat digunakan dalam bentuk tunggal, komposit atau berupa lapisan-lapisan (multi lapis) dengan bahan lain (kertas, almunium foil). Makanan ringan dapat dikemas dengan struktur lapis banyak (multilayer) misalnya polipropilen/alufo, atau lapis tunggal seperti LDPDE, HDPDE dan OPP. Jenis kemasan lain yang digunakan adalah kemasan yang bagian dalamnya dilaminasi dengan foil dan bagian luarnya menggunakan karton, sehingga melindungi dari oksigen dan penyerapan air, sinar serta kerusakan mekanis (Labuza 1982). Aluminium foil merupakan kemasan yang sangat bermanfaat. Kemasan yang berwarna biru dapat meningkatkan laju ketengikan. HDPE (High Density Polyethylene) merupakan salah satu jenis film yang lebih kaku dibandingkan LDPE, tahan minyak, melindungi produk dari uap air, permeabilitas gas kurang bagus apabila dibandingkan dengan LDPE, penampakannya opak. Ketebalan film berkisar antara 10-12 µm (Roberts 1999). PET (polyethylenethrephtalate) biasanya dilaminasi dengan LDPE. Sifat penting dari PET adalah tahan suhu pemanasan. PET dapat dilapisi dengan copolimer PVdC (polyvinyllidene chloride), tetapi pelapisan dengan LDPE yang paling murah untuk dilakukan sealing. PET digunakan dalam pengemasan makanan beku yang akan dioven atau makanan siap saji, makanan ringan, coklat dan kopi (Catala dan Rafael 2000). Penurunan mutu produk yang dikemas dapat tejadi akrena adanya transfer masa dan panas (pindah masa dan panas) melalui kemasan. Perbedaan tekanan parsial sekitar kemasan mengontrol laju permeabilitas, selain itu adanya lubang serta retaknya kemasan akan mempercepat reaksi kerusakan produk (Roberts 1999).
3. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2007-Pebruari 2008. Bertempat di Laboratorium Pilot Plant Seafast Center, Laboratorium Pengembangan produk dan Proses Pangan Seafast Center, Laboratorium Pengolahan Pangan, Fakultas Teknologi Pangan dan Gizi, IPB 3.2 Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah tepung jagung varietas P11,
tepung terigu, gula, margarin, susu skim, kuning telur, garam,
sodium bikarbonat, amonium bikarbonat, CMC, air, K2SO4, HgO, H2SO4, H3BO4, larutan NaOH-Na2S2S3, HCL 0.02 N, HCl 0.1 N, NaOH 0.1 N, larutan buffer Na-fosfat, larutan maltosa standar, larutan enzim amilase, kertas saring, indikator metil merah dan metil biru, heksan. Alat-alat yang digunakan dalam proses pembuatan biskuit jagung adalah oven, mixer, roller, pencetak biskuit, neraca, disc mill, plastik ukuran 5 kg dan 1 kg, silica gel, pengayak 100, mangkok, piring, cup kecil, sendok kecil, dan gelas takar ukuran 1000 ml. Alat-alat untuk analisa yang digunakan adalah pipet tetes, pipet volumetrik, gelas piala, cawan almunium, cawan porselen, cawan petri, gelas ukur, desikator, alat destilasi, labu kjendahl, erlenmeyer, neraca analitik,
magnetic stirer dan hot plate, desikator. 3.3 Tahap Persiapan
Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap. Tahap persiapan meliputi pembuatan tepung jagung. Pembuatan tepung jagung dengan cara jagung yang telah dipipil, disortasi dan digiling kemudian kulit ari, lembaga dan pangkal biji jagung dibuang. Selanjutnya jagung direndam selama 1 jam kemudian dilakukan pengggilingan kedua (penepungan), pengayakan dilakukan dengan ukuran 100 mesh untuk menghasilkan ukuran partikel tepung yang seragam. Selanjutnya sebagian tepung jagung disangrai untuk mengetahui daya cerna pati dan protein
dari tepung jagung. Proses pembuatan tepung jagung dapat dapat dilihat pada Gambar 7. Jagung pipilan
Penggilingan ke- 1 multimill Pemisahan lembaga, perikarp dan pangkal biji melalui pencucian Perendaman ± 1 jam
Pengeringan dengan fluidized bed dryer (20 menit/bowl, 70oC)
Penggilingan ke-2 discmill Pengeringan dengan fluidized bed dryer (10 menit/bowl, 70oC) Pengayakan (100 mesh)
Tepung jagung
Gambar 7 Proses pembuatan tepung jagung Setelah diperoleh tepung jagung maka dilanjutkan dengan pembuatan tepung jagung sangrai. Tepung jagung sangrai dibuat dengan cara memanaskan tepung jagung menggunakan wadah penggorengan sambil diaduk hingga mencapai suhu 80°C. Waktu yang dibutuhkan kira-kira 10 menit. Bagan pembuatan tepung sangrai dapat dilihat pada Gambar 8.
Tepung jagung
Pemanasan dan pengadukan sampai suhu 80°C, 10 menit
Tepung jagung sangrai
Gambar 8 Proses pembuatan tepung jagung sangrai
3.4 Metode Penelitian
Penelitian yang dilaksanakan terdiri dari empat tahap percobaan yaitu a) pembuatan tepung jagung sangrai dan non sangrai b) formulasi dan pembuatan biskuit jagung, c) kajian isothermik sorpsi air, d) kajian penyimpanan.
3.4.1 Formulasi dan Pembuatan Biskuit Jagung
Diagram alir pembuatan biskuit jagung dari campuran tepung jagung dan tepung terigu disajikan pada Gambar 9.
Gula halus + margarin + garam
Diaduk dengan mixer sampai terbentuk krim (10 menit) Ditambah susu skim dan kuning telur Diaduk sampai tercampur halus (4 menit) Dicampur tepung*, sodium dan amonium bikarbonat Ket: * formula tepung dengan rasio tepung jagung : tepung terigu pada Tabel 7.
Dimasukkan ke dalam pasta dan diaduk
Ditambah air dan diaduk
Ditambah CMC dan diaduk
Di-aging 15-30 menit
Dicetak Dipanggang dengan oven suhu 150oC, 8 menit
Biskuit jagung
Gambar 9 Proses pembuatan biskuit jagung
Proses berikutnya adalah menyusun perbandingan antara tepung jagung dan tepung terigu untuk dicobakan dalam pembuatan biskuit. Perbandingan tepung jagung dan terigu dapat dilihat pada Tabel 7 dan bahan-bahan untuk pembuatan biskuit tersaji pada Tabel 8. Tabel 7 Formulasi biskuit jagung Perbandingan Tepung jagung (%) Tepung terigu (%) 100 0 80 20 70 30 60 40 50 50 40 60
Formula 1 2 3 4 5 6
Tabel 8 Bahan-bahan pembuatan biskuit per 100 g tepung Bahan
Jumlah (gram)
Gula Margarin Susu skim Kuning telur Sodium bikarbonat Amonium bikarbonat Garam CMC air
28.2 17.9 12.8 8.5 0.34 0.26 0.3 0.43 22.2
3.4.2 Kajian Isothermis sorpsi air
Isothermik sorpsi air dan penentuan umur simpan dilakukan untuk mengkaji penentuan pola isorhermis sorpsi air, kadar air kritis dan umur simpan dari biskuit jagung dengan menggunakan metode isothermik sorpsi air secara absorpsi. Pengamatan yang dilakukan adalah mengukur kadar air kesetimbangan, kadar air kritis dan pendugaan umur simpan.
3.4.3 Kajian Penyimpanan Biskuit
Kajian penyimpanan biskuit
dilakukan dengan cara biskuit disimpan
selama 4 minggu untuk melihat perubahan nilai bilangan TBA, kekerasan dan kerenyahan biskuit serta sifat birefringence.
3.5 Analisa Data
Hasil uji organoleptik diolah dengan uji statistik nonparametrik, yaitu
Kruskal Wallis yang bertujuan untuk mengetahui apakah antara perlakuan berbeda nyata (Steel dan Torrie 1993). Apabila hasil analisis menunjukkan adanya pengaruh nyata maka dilanjutkan dengan uji Multiple Comparison yang bertujuan untuk mengetahui perlakuan mana saja yang memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap parameter yang diukur atau dianalisis. Model matematika uji tersebut adalah sebagai berikut : H=
12 n(n + 1)
Rj
∑ ni - 3(n+1)
T = (t-1) t (t+1) Pembagi = 1-
T , (n − 1)n(n + 1)
H’ =
H pembagi
Keterangan : n = total pengamatan ni = banyaknya pengamatan pada perlakuan ke-i Rj = jumlah ranking dalam perlakuan ke-j
3.6 Metode Analisis 3.6.1 Analisis Sifat Fisik
1. Analisa granula pati, (Metode mikroskop polarisasi) Sejumlah pati dilarutkan dengan aquades kemudian diletakan di atas gelas objek dan ditutup dengan gelas penutup. Selanjutnya dilakukan pengamatan di bawah mikroskop polarisasi dengan perbesaran
200 kali.
Kemudian granula pati yang terlihat difoto.
2. Rendemen (Muchtadi & Sugiyono 1992) Rendemen tepung jagung dapat dihitung berdasarkan perbandingan tepung jagung dengan berat bahan dasar kering mula-mula (sebelum diolah).
% Rendemen =
berat tepung jagung × 100% berat bahan dasar ker ing
3. Densitas kamba (Muchtadi & Sugiyono 1992) Pengukuran densitas kamba dilakukan dengan menyiapkan sampel kering dan gelas ukur 50 ml. Pada tahap awal dilakukan penimbangan dan pencacatan berat gelas ukur (a g) kemudian sampel dimasukkan ke dalam gelas ukur 50 ml sampai tanda tera. Kemudian dilakukan pengukuran berat gelas ukur yang berisi sampel (b g). Densitas kamba dihitung berdasarkan rumus : Densitas kamba = (b − a )g / 50 ml
4. Warna metode Hunter (Flyod et al. 1995) Sampel tepung difoto menggunakan khromameter CR-200 sehingga diperoleh nilai L, a dan b. Pengukuran warna didasarkan pada indeks keputihan dengan menggunakan persamaan : W = 100 −
(100 − L )2 + a 2 + b 2
dimana : W = derajat keputihan L = kecerahan a = warna merah jika bertanda + dan hijau jika bertanda – b = warna kuning jika bertanda + dan hijau jika bertanda –
5. Penentuan kerenyahan biskuit a. Kerenyahan (Manual Texture Analyzer TA-XT2i) Kerenyahan secara objektif diukur dengan menggunakan
Textur
Analyzer. Langkah pertama, alat dinyalakan kemudian alat disetting dengan kecepatan dan probe yang sesuai dengan sampel. Sampel diletakan di atas meja sampel, kemudian dengan menekan tombol pada keyboard, probe akan turun hingga memotong sampel. Pengukuran dimulai setelah tombol pada keyboard ditekan dan berakhir jika probe telah memotong sampel dan telah mencapai bagian dasar meja sampel. Hasil pengukuran ini diperoleh dalam bentuk grafik (Gambar 10) yang langsung dapat dibaca oleh komputer hingga menghasilkan suatu nilai yang merupakan nilai kerenyahan dan kekerasan dari sampel tersebut.
b. Kekerasan Firmness (kekerasan dengan menekan), spiringiness (kelentingan), diukur dengan menggunakan alat yang sama yaitu texture analyzer TA-XT2i yang dinyatakan dalam satuan gf (gram force). Alat ini dilengkapi dengan sistem komputerisasi, sehingga alat harus disetting sesuai dengan kebutuhan dan jenis produk yang diuji. Probe dan setting yang digunakan adalah probe silender. Spesifikasi alat texture analyzer TA-XT2i dapat dilihat pada Tabel 9.
Gambar 10 Profil kerenyahan dan kekerasan yang diuji dengan texture analyzer Tabel 9 Setting alat texture analyzer TA-XT2i untuk produk biskuit Product Type Objective TA-XT2 Mode Option Pre-Test speed Test speed Post-Test speed Distance Trigger type Data Acquistion Rate Probe
BISCUITS Plain dough biscuits Hardness measurement of Biscuit by probing Measure Force in Compression Return to start 2.0 mm/s 0.5 mm/s 10.0 mm/s 4 mm Auto-5 g 200 pps 2 mm cylinder probe (P/2)
6. Penentuan Kurva Sorpsi Isothermis Pertama dilakukan preparasi larutan garam jenuh. Sejumlah garam ditimbang dan dimasukkan ke dalam desikator. Selanjutnya, sambil diaduk ditambahkan sejumlah air sampai jenuh dan berlebih untuk menjaga kejenuhan larutan sehingga kelembaban relatif yang dihasilkan tetap dan tidak mempengaruhi proses sorpsi. Desikator kemudian ditutup dan dibiarkan selama 24 jam pada kondisi suhu 30oC. Jumlah garam dan air yang dibutuhkan seperti pada Tabel 10. Tabel 10 Jumlah garam dan air untuk preparasi larutan garam jenuh No.
Jenis Garam
Nama Senyawa
1 Natrium Hydoxide NaOH 2 Pottasium Asetat CH3COOK MgCl2 3 Magnesium Chloride K2CO3 4 Potassium Carbonate KI 5 Potassium Iodide NaCl 6 Natrium Chloride KCl 7 Potassium Chloride K2CrO4 8 Pottassium Chromat BaCl2 9 Barium Chloride NH4H2PO4 10 Ammonium Dihidrogen Fosfat K2SO4 11 Potassium Sulfat Sumber : Spiess dan Wolf (1987)
RH (%) 6.9 22.5 32.4 43 69 75 84 86 90.3 91 97
Kuantitas Garam (gram) 150 200 200 200 200 200 200 110 200 115 250
Air (ml) 85 25 25 90 50 80 80 50 70 50 50
Selanjutnya, sebanyak kurang lebih 5 gram produk biskuit diletakan pada cawan aluminium kering kosong yang telah diketahui beratnya. Cawan yang berisi sampel tersebut lalu diletakan dalam desikator yang berisi larutan garam jenuh. Desikator kemudian disimpan dalam inkubator dengan suhu 30oC. Sampel dalam cawan kemudian ditimbang bobotnya secara periodik sampai diperoleh bobot yang konstan yang artinya kesetimbangan tercapai. Menurut Lang dan Steinberg (1980), berat yang konstan ditandai dengan tidak adanya perubahan kadar air (berat sampel) dalam selang penimbangan satu hari. Hal ini dilakukan untuk memperoleh data kadar air keseimbangn yang akan digunakan untuk menentukan kurva isothermik sorpsi air biskuit, aw kritikal dan air terikat.
7. Penentuan kadar air kritis Penentuan kadar air kritis sampel dilakukan dengan cara menyimpan sampel biskuit pada kondisi RH 84% (larutan garam jenuh KCl) sampai RH 97% (larutan garam jenuh K2SO4). Sampel disimpan pada suhu 30oC. Sampel yang digunakan adalah sampel yang telah mengalami perubahan fisik (melempem) diukur kadar airnya dan dinyatakan sebagai kadar air kritis sampel.
9. Umur Simpan Pendugaan umur simpan dilakukan dengan menduga terlebih dahulu kenaikan kadar air produk pada selang waktu tertentu yang dapat diketahui dengan menggunakan persamaan laju perpindahan uap air (Labuza, 1982). Persamaan dasar tertentu dapat digunakan jika ada suatu model sorpsi isothermis yang menghubungkan kadar air produk dengan aktivitas lainnya. Selanjutnya umur simpan hingga produk mencapai batas kadar air dapat dihitung dengan menggunakan persamaan Labuza. ⎛ Me − Mi ⎞ ln⎜ ⎟ Me − Mc ⎠ ⎝ ts = ⎛ k ⎞⎛ A ⎞⎛ Po ⎞ ⎟ ⎟⎜ ⎜ ⎟⎜ ⎝ x ⎠⎝ Ws ⎠⎝ b ⎠
dimana : ts
=
me mi mc k/x A Ws Po b
= = = = = = = =
Waktu yang diperlukan dalam kemasan untuk bergerak dari kadar air awal menuju kadar air kritis atau waktu perkiraan umur simpan (hari = 24 jam). Kadar air kesetimbangan produk (% bk) Kadar air awal produk (% bk) Kadar air kritis produk (% bk) Konstanta permeabilitas uap air kemsan (g/m2.hari.mmHg) Luas permukaan kemasan (m2) Berat kering produk dalam kemasan (g) Tekanan uap jenuh (mmHg) Kemiringan kurva sorpsi isothermik (yang diasumsikan linier antara mi dan me).
3.6.2 Analisis Sifat Kimia
1. Kadar Air metode oven (AOAC 1995) Sejumlah sampel (± 5 g) dimasukkan ke dalam cawan yang telah diketahui beratnya. Kemudian cawan dimasukkan ke dalam oven bersuhu 100ºC hingga diperoleh berat yang konstan. Perhitungan kadar air dilakukan berdasarkan berat basah dengan menggunakan rumus : Kadar air (% bb) = (a-b) / c x 100% dimana : a = berat cawan dan sampel awal (g) b= berat cawan dan sampel akhir (g) c= berat sampel awal (g)
2. Kadar Abu (AOAC 1995) Cawan disiapkan untuk melakukan pengabuan, kemudian dikeringkan dalam oven selama 15 menit. Lalu cawan didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sampel ditimbang sebanyak 3 gram didalam cawan, kemudian dibakar dalam ruang asap sampai tidak mengeluarkan asap lagi. Kemudian dilakukan pengabuan didalam tanur listrik pada suhu 400 – 600oC selama 4-6 jam sampai terbentuk abu berwarna putih atau memiliki berat yang tetap. Sampel beserta cawan didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang. Kadar Abu (%bb ) =
berat abu ( g ) × 100% berat sampel ker ing ( g )
3. Kadar protein metode mikro Kjedahl (AOAC, 1984) Sampel ditimbang sebanyak 0.2 g kemudian dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl 100 ml lalu tambahkan 2 g K2SO4, 40 mg HgO dan 2.5 ml H2SO4 pekat, setelah itu didestruksi selama 30 menit sampai cairan berwarna hijau jernih, dibiarkan sampai dingin, lalu tambahkan 35 ml air suling dan 10 ml NaOH pekat sampai berwarna coklat kehitaman, kemudian didestilasi. Hasil destruksi ditampung dalam erlenmeyer 125 ml yang berisi H3BO3 dan indikator, lalu dititrasi dengan HCl 0.02 N, larutan blanko dianalisis seperti sampel. Kadar protein dihitung berdasarkan rumus :
%N =
(HCl − blanko )ml × NHCl × 14.007 × 100% Mg contoh
Kadar protein (% bb ) = 6.25 × % N
4. Kadar Lemak metode sokhlet (AOAC, 1984) Sebanyak 5 g sampel yang telah dikeringkan, dibungkus dengan kertas saring lalu dimasukkan ke dalam labu sokhlet. Sementara itu petroleum eter dimasukkan ke dalam labu lemak yang telah ditimbang beratnya. Selanjutnya diekstraksi selama 5 jam. Destilasi pelarut yang ada dalam labu lemak lalu dikeringkan dalam oven 105oC. Kadar lemak ditentukan dengan rumus : Kadar lemak (%bb) =
berat labu akhir − berat labu awal ×100% berat sampel
5. Kadar karbohidrat (by difference) (Apriyantono et al. 1989) Kadar karbohidrat dihitung berdasarkan analisis by different dengan rumus : Kadar karbohidrat =100 − %( protein + lemak + abu + air )
6. Nilai kalori (Almatsier, 2002) Perhitungan nilai kalori makanan dilakukan dengan menggunakan faktor atwater menurut komposisi karbohidrat, lemak, protein serta nilai energi faal makanan tersebut. Perhitungannya sebagai berikut :
Nilai energi = faktor atwater × kandungan gizi bahan pangan Energi = (4 kal / g × kand .karbohidrat ) + (9 kal / g × kand . lemak ) + (4 kal / g × kand . protein )
7. Penetapan bilangan TBA metode Tarladgis (Arpah, 1998) Sampel ditimbang sebanyak 10 g lalu dimasukkan ke dalam waring blender, kemudian ditambahkan 50 ml aquades dan dilumatkan selama 2 menit. Secara kuantitatif sampel kemudian dipindahkan
ke dalam labu
destilasi sambil dicuci dengan 47.5 ml aquades. Selanjutnya ditambahkan 2.5 ml HCl 4 M sampai pH 1.5. Batu didih dan pencegah buih ditambahkan secukupnya kemuduan labu destilasi dipasang pada alat destilasi. Sampel
selanjutnya dipanaskan sedemikian sehingga diperoleh 50 ml destilat selama 10 menit. Destilat yang diperoleh diaduk kemudian dipipet sebanyak 5 ml dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi. 5 ml pereaksi TBA ditambahkan dan dipanaskan selama 25 menit dalam air mendidih. Tabung reaksi yang telah dipanaskan kemudian didinginkan selama 10 menit dan dibaca absorbansinya pada λ 528 nm dengan larutan blanko sebagai titik nol. Larutan blanko terdiri dari 5 ml aquades dan 5 ml pereaksi dan disiapkan seperti persiapan sampel. TBA dinyatakan dalam mg malonaldehide per kg sampel.
8. Uji Organoleptik (Soekarto 1985) Uji organoleptik yang dilakukan adalah uji hedonik. Uji ini dilakukan terhadap 30 panelis tidak terlatih dengan tujuan untuk mengetahui tingkat kesukaan konsumen terhadap produk yang diuji. Parameter uji pada uji hedonik adalah penampakan, warna, aroma, tekstur, rasa dan overall. Skala hedonik yang digunakan mempunyai rentang dari sangat tidak suka (skala numerik = 1) sampai dengan skala sangat suka (skala numerik =7).
9. Daya Cerna Protein (Muchtadi 1989) Sebanyak 2 gram sampel ditimbang kemudian disuspensikan dalam 60 ml air destilata. 50 ml suspensi sampel dimasukkan dalam gelas piala kecil, kemudian diatur pHnya menjadi 8.0 dengan menambahkan HCl atau NaOH 0.1 N. Sampel diinkubasi dalam penangas air bersuhu 37ºC dan diaduk menggunakan magnetic stirer selama 5 menit. Larutan multi enzim sebanyak 5 ml ditambahkan pada suspensi sampel (saat penambahan enzim dicatat sebagai waktu ke-0) sambil tetap diaduk dalam penangas air 37ºC. Kemudian pH suspensi dicatat pada menit ke-10. Daya cerna protein dapat dihitung dengan menggunakan persamaan y = 210.464-18.103x, dimana y adalah daya cerna protein dalam persen dan x adalah perubahan pH pada menit ke-10.
10. Daya Cerna Pati in vivo (Muchtadi 1989) Suspensi tepung (1% dalam air destilata) dipanaskan dalam penangas air selama 30 menit sampai mencapai suhu 90ºC, kemudian didinginkan. 2 ml
larutan tepung dalam tabung reaksi ditambahkan 3 ml air destilata dan 5 ml larutan buffer Na-fosfat 0.1 M, pH 7.0 kemudian diinkubasi dalam penagas air 37ºC selama 15 menit. Larutan enzim alfa-amilase sebanyak 5 ml ditambahkan ke dalam larutan tersebut dan diinkubasi kembali pada suhu 37ºC selama 30 menit. Larutan alfa-amilase dibuat dengan konsentrasi 1 mg/ml larutan buffer Na-fosfat 0.05 M, pH 7.0 Sebanyak 1 ml campuran reaksi ditempatkan ke dalam tabung reaksi lain. Kemudian ditambahkan 2 ml pereaksi dinitrosalisilat, dan selanjutnya dipanaskan dalam penangas air 100ºC selama 10 menit. Setelah didinginkan, campuran reaksi diencerkan dengan menambahkan 10 ml air destilata. Pereaksi dinitrosalisilat dibuat dari 1 g 3,5-dinitrosalisilat, 30 g Na-K-tartarat dan 1.6 g NaOH dalam air destilata. Warna orange-merah yang terbentuk dari campuran reaksi diukur absorbansinya menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 520 nm. Kadar maltosa dari campuran reaksi dihitung dengan menggunakan kurva standar maltosa murni yang diperoleh dengan cara
mereaksikan
maltosa
standar
dengan
pereaksi
dinitrosalisilat
menggunakan prosedur seperti di atas. Daya cerna pati sampel dihitung sebagai presentase relatif terhadap pati murni sebagai berikut :
Daya cerna =
Kadar maltosa sampel setelah reaksi enzim ×100 Kadar maltosa pati murni setelah reaksi enzim
11. Indeks Penyerapan Air (Modifikasi Anderson et al. 1984 didalam Melianawati. 1998) 3 gram sampel dalam bentuk tepung dengan ukuran 60 mesh dimasukkan ke dalam tabung sentrifuse. Kemudian ditambahkan 30 ml aquades dan diaduk dengan menggunakan vibrator sampai semua bahan terdispersi merata. Selanjutnya tabung disentrifugasi dengan kecepatan 2000 rpm selama 15 menit. Supernatan yang diperoleh dituang ke dalam wadah lain, sedangkan tabung sentrifuse beserta residunya dipanaskan dalam oven. Tabung diletakkan dalam posisi miring (25ºC) dan oven diatur pada suhu 50ºC selama 25 menit. Akhirnya tabung setrifuse ditimbang untuk menentukan berat residunya.
Supernatan yang diperoleh kemudian diambil contoh sebanyak 2 ml dan dimasukkan ke dalam cawan yang telah diketahui beratnya. Cawan dimasukkan ke dalam oven dan dikeringkan pada suhu 110ºC selama 24 jam. Kemudian didinginkan dan ditimbang sebagai bahan kering yang terlarut supernatan. Indek penyerapan air dihitung dengan persamaan berikut : IPA (ml/g) = Berat tabung & residu setelah oven – berat tabung dan sampel awal Berat contoh
12. Serat Kasar (Apriyantono et al. 1989) Sampel dihaluskan hingga melalui saringan berdiameter 1 mm dan diaduk merata. Sebanyak 2 gram sampel ditimbang dan diekstraksi lemak sampel dengan metode soxhlet. Selanjutnya sampel dipindahkan ke dalam erlenmeyer 600 ml. 0.5 g asbes yang telah dipijarkan ditambahkan dan ditetes zat anti buih sebanyak 3 tetes (antifoam agent) kemudian ditambahkan 200 ml larutan H2SO4 mendidih dan ditutup dengan pendingin balik, dididihkan selama 30 menit dengan kadang-kadang digoyang-goyangkan. Suspensi yang diperoleh kemudian disaring dengan kertas saring. Residu yang tertinggal dalam erlenmeyer dicuci dengan air mendidih. Residu dalam kertas saring dicuci sampai air cucian tidak bersifat asam (diuji dengan kertas lakmus). Secara kuantitatif residu kemudian dipindahkan dari kertas saring ke dalam erlenmeyer dengan menggunakan spatula. Sisa residu dicuci lagi dengan 200 ml larutan NaOH mendidih sampai semua residu masuk ke dalam erlenmeyer. Kemudian dididihkan dengan pendingin balik sambil kadang-kadang digoyang-goyangkan selama 30 menit. Residu disaring dengan kertas saring yang telah diketahui beratnya atau krusgooch yang telah dipijarkan dan diketahui beratnya, sambil dicuci dengan larutan K2SO4 10%. Residu dicuci kembali dengan air mendidih kemudian dengan alkohol 95% sekitar 15 ml. Kertas saring dikeringkan dengan isinya pada suhu 110ºC sampai berat konstan (1-2 jam), selanjutnya didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Jangan lupa mengurangi berat asbes (sekali digunakan). Berat residu yang diperoleh merupakan berat serat kasar.
3.6.3 Analisa Karakteristik Fungsional & Sifat Rheologi Adonan
1. Sifat Birefringence (Wirakartakusumah 1981) Perubahan
sifat
birefringence
granula
pati
diamati
dengan
menggunakan mikroskop polarisasi yang dilengkapi kamera. Pengamatan ini dilakukan terhadap biskuit jagung tepung jagung sangrai dan non sangrai. Sampel yang dilihat sifat birefringence dicampur dengan akuades, kemudian ditambah dengan larutan iodium untuk menambah daya kontras. Selanjutnya suspensi tersebut diteteskan di atas gelas objek dan ditutup dengan gelas penutup. Preparat uji dengan menentukan cahaya melalui polarizer dan diamati hasilnya. Selama pengamatan, analyzer diputar sehingga cahaya terpolarisasi sempurna. Selanjutnya hasil pengamatan dipotret menggunakan fuji film ASA 100. % Sifat birefringence =
Jumlah granula yang berwarna kuning biru ×100% jumlah total granula
2. Sifat Amilograph (Visco Amilographer Brabender) Pengukuran sifat-sifat amilografi diukur dengan menggunakan Visco
Amilographer Brabender. Tepung jagung dilarutkan dengan aquades pada konsentrasi 10% (bahan kering) dan diaduk sampai homogen. Kemudian disiapkan alat Visco Amilographer Brabender. Pemanasan awal dilakukan sampai suhu 30ºC dan perubahan viskositas mulai dibaca. Pemanasan dilakukan selama 43.5 menit sampai suhu 95ºC (kenaikan suhu 1.5ºC per menit), dilanjutkan pemanasan selama 20 menit pada suhu konstan 95ºC dan pendinginan selama 30 menit sampai suhu 50ºC (kenaikan suhu 1.5ºC per menit). Parameter yang diperoleh dari kurva amilografi adalah suhu gelatinisasi awal, viskositas maksimum.
3. Farinograf Air dalam water bath diperiksa dan jika jumlah air telah mencukupi maka termostat disetting pada suhu 30ºC. Pemanas dan pompa dihidupkan. 300 gram tepung dimasukkan ke dalam bowl farinograf. Mesin dihidupkan dan setelah satu menit air ditambahkan dari buret yang harus selesai dalam 1.5
menit. Penambahan air diatur sehingga kurva maksimum berpusat pada 500 BU. Sisi bowl dibersihkan, lalu tutup bowl dipasang. Mesin dihentikan setelah 12 menit melalui puncak atau meninggalkan 500 BU. Adonan dikeluarkan dan bagian bowl dibersihkan dengan lap basah, kemudian dikeringkan dengan lap kering. Parameter uji farinograf yaitu : 1. Penyerapan air : jumlah air yang diperlukan untuk membentuk adonan dengan konsistensi maksimum 500 BU 2. Arrival time : waktu yang dibutuhkan untuk bagian atas kurva mencapai garis 500 BU atau hingga adonan menjadi homogen 3. Waktu puncak (dough development) : waktu dari mulai ditambahkan air hingga mencapai konsistensi maksimum 4. Stabilitas : waktu mulai dari arrival time hingga bagian atas kurva turun meninggalkan garis 500 BU 5. Indeks toleransi terhadap pengadukan : diukur dari puncak kurva hingga bagian atas kurva pada saat lima menit sesudah mencapai puncak, dinyatakan dalam satuan Brabender Unit (BU).
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pembuatan Tepung Jagung
Proses pembuatan tepung jagung menggunakan cara kering. Pertama-tama jagung pipilan dibersihkan dari kotoran kemudian jagung digiling dengan menggunakan multimill. Setelah penggilingan, tepung jagung kasar dicuci berulang-ulang hingga air cucian menjadi bening. Tujuan dari pencucian ini untuk memisahkan grits jagung dari lembaga dan perikarp (dedak). Setelah pencucian,
grits jagung direndam selama 1 jam kemudian ditiriskan selama 1 jam. Selanjutnya grits jagung dikeringkan dengan menggunakan fluidized bed
dryer pada suhu 70ºC selama 20 menit. Proses pengeringan pertama selesai dilanjutkan dengan proses penggilingan grits menggunakan discmill. Setelah selesai tepung jagung kembali dikeringkan dengan fluidized bed dryer selama 10 menit dengan suhu 70ºC. Pengeringan kedua bertujuan untuk memastikan bahwa tepung jagung benar-benar telah kering untuk mencegah tepung menjadi asam. Proses berikutnya setelah pengeringan adalah pengayakan dengan menggunakan ayakan yang berukuran 100 mesh. Tahapan pembuatan tepung jagung dapat dilihat pada Gambar 7 Bab 3 dari tulisan ini. Berdasarkan SNI tepung jagung (SNI 01-3727-1995), syarat tepung jagung adalah apabila lolos ayakan 80 mesh sebanyak 70% dan lolos ayakan 60 mesh sebanyak 99%. Namun pada penelitian ini, dengan mempertimbangkan tekstur dari produk yang akan dibuat maka tepung jagung yang dibuat adalah tepung jagung yang lolos ayakan 100 mesh. Tahapan selanjutnya adalah pembuatan tepung jagung sangrai. Tepung jagung dipanaskan dengan menggunakan wadah penggorengan di atas kompor sambil diaduk hingga mencapai suhu 80ºC (10 menit), kemudian diangkat dan diayak untuk memisahkan kotoran yang mungkin terikut pada saat penyangraian Menurut Gelinas et al. (2004) bahwa pemanasan tepung dapat meningkatkan beberapa komponen gizi dari tepung tersebut. Pembuatan tepung jagung dapat dilakukan dengan beberapa metode seperti metode kering yang dilakukan pada penelitian ini. Disamping itu terdapat juga metode basah dimana dilakukan perendaman terhadap biji jagung kering sebelum
digiling. Semakin lama waktu perendaman akan memberikan rendemen yang tinggi (Gilang 2008). Metode lain yang dilakukan dalam pembuatan tepung jagung adalah metode basah dengan menggunakan kapur (akali cooked milling) (Riyani 2007). Tepung jagung yang dihasilkan berwarna kuning. Hal ini disebabkan adanya karoten pada biji jagung (Winarno 1988). Tepung jagung memiliki kandungan lemak yang rendah dibandingkan dengan tepung terigu. Namun memiliki kandungan serat yang lebih tinggi. Rendahnya lemak pada tepung jagung dapat membuat tepung menjadi lebih awet karena tidak mudah tengik akibat oksidasi lemak. Namun tingginya serat pada jagung menyebabkan tepung jagung memiliki tekstur yang lebih kasar dibandingkan dengan tepung terigu. Untuk memperoleh tepung sehalus tepung terigu maka dibutuhkan pengayakan dengan mesh yang lebih besar namun rendemen yang dihasilkan akan semakin berkurang.
4.1.1 Rendemen
Rendemen merupakan hasil persentase antara produk akhir (tepung jagung) yang dihasilkan dengan produk awal (jagung pipilan). Rendemen sangat penting diketahui untuk mendapat gambaran seberapa besar suatu produk dapat dimanfaatkan dengan baik atau untuk mengetahui nilai ekonomis dari produk tersebut. Semakin tinggi rendemen suatu produk dapat dikatakan bahwa produk tersebut memiliki nilai ekonomis yang tinggi pula. Rendemen yang dihasilkan pada pembuatan tepung jagung adalah 50%, hal ini terlihat dari hasil akhir yang diperoleh dimana jagung pipilan 5000 g akan menghasilkan tepung jagung 2500 g. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini mendekati hasil yang diperoleh Fitriani (2004) dimana penggunaan metode kering dalam pembuatan tepung jagung dan diayak dengan ayakan ukuran 100 mesh diperoleh rendemen tepung jagung sebesar 54.4%. Gilang (2008) menggunakan ayakan 100 mesh dalam pembuatan tepung jagung varietas srikandi dan pioneer 13, rendemen yang diperoleh hanya mencapai 15.89% dan 17.79%. Namun perlu diketahui bahwa rendemen tepung jagung tidak selamanya konstan. Hal ini dipengaruhi oleh alat yang digunakan untuk menggiling (multimill & discmill)
yang sudah sangat lama keberadaannya. Umur jagung pipilan kering dari saat kering hingga pengilingan. Terbukti pada saat penelitian, jagung pipilan yang baru akan memiliki rendemen yang tinggi, sedangkan jagung pipilan yang diperkirakan sudah lama akan memberikan rendemen yang kecil. Perkiraan ini didasarkan banyaknya kotoran serta adanya kutu jagung (Sithopilus zeamays). Riyani (2007) melaporkan bahwa rendemen tepung jagung 6 varietas nasional hampir mencapai 100 % baik metode kering maupun metode alkali
cooked milling. Namun, yang membedakan hasil ini dengan hasil penelitian adalah penggilingan yang dilakukan Riyani (2007) hanya satu kali dan tanpa pemisahan lembaga, perikarp dan endosperm.
4.1.2 Densitas Kamba
Densitas kamba merupakan perbandingan antara berat bahan dengan volume ruang yang ditempatinya dan dinyatakan dalam satuan g/ml. Nilai densitas kamba menunjukkan porositas suatu bahan (Khlil 1999b). Densitas kamba (bulk density) merupakan sifat fisik bahan pangan yang dipengaruhi oleh ukuran bahan dan kadar air. Dalam volume yang sama, tepung yang memiliki densitas kamba yang lebih tinggi memiliki berat yang lebih tinggi daripada tepung yang memiliki densitas kamba yang rendah. Berdasarkan hasil pengukuran densitas kamba dari kedua jenis tepung diperoleh bahwa densitas kamba tepung jagung sangrai adalah 0.50 g/ml dan tepung jagung non sangrai 0.48 g/ml. Nilai tersebut menunjukkan bahwa pada volume 1 ml, berat tepung berturut-turut adalah 0.50 g dan 0.48 g. Berdasarkan hasil analisis paired-samples T Test, nilai densitas kamba kedua jenis tepung tidak berbeda nyata. Nilai densitas kamba yang besar menunjukkan produk lebih ringkas. Tingkat keringkasan yang tinggi menunjukkan bahwa porositas yang dimiliki tepung jagung sangrai paling kecil, yaitu rongga-rongga yang terdapat di antara partikel lebih kecil atau lebih sedikit. Jumlah rongga yang banyak atau besar ukurannya (tidak sebesar partikelnya) akan menyebabkan banyak ruang kosong tersisa yang seharusnya terisi oleh partikel-partikel tersebut.
Pengetahuan tentang densitas kamba berguna bagi keperluan penyimpanan dan transportasi. Semakin besar nilai densitas kamba suatu tepung maka semakin kecil ruangan penyimpanan atau pengemasan dan biaya transportasi. Nilai densitas kamba dipengaruhi oleh ukuran partikel, kekerasan permukaan dan metode pengukuran. Kecenderungan nilai densitas kamba tepung berbanding terbalik dengan kadar air, yaitu semakin rendah kadar air menyebabkan semakin tinggi kekambaan tepung atau semakin rendah densitas kambanya. Anwar (1990) menyatakan bahwa suatu bahan pangan bersifat kamba jika nilai densitas kambanya kecil, berarti untuk berat yang ringan dibutuhkan ruang (volume) besar.
4.1.3 Indeks penyerapan air (IPA)
Indeks penyerapan air (IPA) menunjukkan kemampuan produk untuk mengikat air. Penyerapan air dapat berhubungan dengan tekstur tepung jagung dan komposisi granula yang dihasilkan. Hasil analisis IPA tepung jagung untuk kedua jenis tepung adalah 1.65 ml/g (tepung jagung non sangrai), 1.67 ml/g (tepung jagung sangrai). Berdasarkan hasil analisis paired-samples T Test ternyata daya serap kedua jenis tepung tidak berbeda nyata. Menurut Gujska dan Khan (1991), IPA dipengaruhi oleh adanya denaturasi protein, gelatinisasi pati dan pembengkakan serat kasar yang terjadi selama pengolahan menjadi tepung. IPA tergantung pada ketersediaan grup hidrofilik dan kapasitas pembentukan gel dari makromolekul yaitu pati tergelatinisasi dan terdekstrinasi, semakin besar pati yang tergelatinisasi dan terdektrinasi, semakin besar kemampuan produk menyerap air (Gomez dan Aguilera 1983). Tinggi rendahnya daya serap air pada bahan pangan tergantung dari kandungan serat bahan pangan tersebut. Kandungan serat dalam tepung dapat meningkatkan absorpsi air, hal ini disebabkan karena serat yang strukturnya kompleks dan banyak mengandung gugus OH dapat berikatan dengan lebih banyak air (Ristianti 2003). Sajilata et al. (2006) mengatakan bahwa kapasitas pengikatan air dari serat pangan umumnya tinggi, lebih tinggi dari kapasitas pengikatan air dari pati resisten.
4.1.4 Warna
Warna merupakan salah satu atribut penting untuk produk pangan. Sistem yang digunakan untuk mengetahui warna makanan pada penelitian ini adalah sistem Hunter. Pada sistem Hunter terdapat tiga parameter yaitu L, a dan b. Untuk mengetahui seberapa besar nilai L, a dan b maka dapat di lihat pada lingkaran warna (Gambar 11). Nilai L menyatakan cahaya pantul yang menghasilkan warna akromatis putih, abu-abu dan hitam. Notasi a menyatakan warna kromatik campuran merah hijau dengan nilai a positif untuk merah dan nilai a negatif untuk warna hijau. Notasi b menyatakan warna kromatik campuran biru-kuning dengan nilai b positif untuk warna kuning dan nilai b negatif untuk warna biru.
Gambar 11 Lingkaran warna Berdasarkan hasil pengukuran kedua jenis tepung dengan menggunakan kromameter diperoleh nilai L, a dan b tepung jagung non sangrai dan sangrai seperti tersaji pada Tabel 11. Nilai L kedua jenis tepung belum menunjukkan karakteristik cerah karena belum mendekati nilai 100 (60.12 dan 59.92). Nilai a kedua jenis tepung cenderung berwarna merah karena nilainya positif (+ 4.22 dan + 3.85). Hal ini juga terjadi pada nilai b dimana kedua jenis tepung menunjukkan nilai positif yang artinya lebih ke warna kuning cerah. Penampakan kedua jenis tepung jagung yang dihasilkan pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 12.
Tabel 11 Hasil rata-rata analisis warna tepung jagung Jenis Sampel
L
a
b
Tepung jagung non sangrai Tepung jagung sangrai
60.12 59.92
+ 4.22 + 3.85
+ 25.14 + 24.61
a
b
Gambar 12 Tepung jagung non sangrai (a) & tepung jagung sangrai (b) Selanjutnya berdasarkan nilai L, a dan b dapat dihitung nilai derajat putih dari kedua tepung. Hasil perhitungan derajat putih kedua tepung menunjukkan bahwa nilai derajat putih tepung sangrai (52.81) tidak berbeda nyata dengan tepung non sangrai (52.67). Derajat putih suatu bahan merupakan daya memantulkan cahaya dari bahan tersebut terhadap cahaya yang mengenai permukaan (BPPIS 1989). Desrosier (1988) menyatakan bahwa pengeringan bahan pangan akan mengubah sifat-sifat fisik dan kimia bahan pangan tersebut dan diduga dapat mengubah kemampuannya memantulkan, menyebarkan, menyerap dan meneruskan sinar sehingga mengubah warna bahan pangan.
4.1.5 Sifat Amilografi
Sifat amilografi berhubungan dengan pengukuran viskositas tepung dengan konsentrasi tertentu selama pemanasan dan pengadukan. Pengamatan fisik terhadap proses gelatinisasi dapat dilakukan dengan menggunakan alat Brabender
Viscoamilograph. Alat ini akan mencatat kenaikan viskositas selama kenaikan suhu pada laju yang tetap selama 1.5ºC per menit. Hasil pencatatan berupa kurva yang terbentuk pada kertas amilogram yang menyajikan hubungan antara viskositas dalam satuan BU pada sumbu y dan waktu proses dalam satuan menit pada sumbu x (Lampiran 7).
Proses gelatinisasi diawali dengan penyerapan air oleh granula pati sampai kadar air sekitar 30 %. Penyerapan akan semakin intensif pada suhu 55 – 60ºC yang menyebabkan granula semakin membengkak hingga pada suatu titik pembengkakan yang terjadi bersifat irreversibel (tidak dapat kembali ke ukuran semula) (Winarno 1997). Pembengkakan granula pati menyebabkan peningkatan viskositas larutan pati secara bertahap selama kenaikan suhu hingga tercapai sebuah puncak viskositas (Parker 2003). Suhu awal gelatinisasi merupakan suhu saat proses gelatinisasi mulai berlangsung. Pada kurva amilogram yang diperoleh, suhu awal gelatinisasi ditandai dengan mulai naiknya viskositas larutan tepung yang dapat dilihat pada titik dimana kurva mulai berbelok naik. Nilai suhu awal gelatinisasi adalah suhu awal pengoperasian alat (30ºC) ditambahkan dengan jumlah waktu dikali laju kenaikan suhu. Suhu awal gelatinisasi tepung jagung sangrai 72ºC lebih rendah dari suhu awal gelatinisasi tepung jagung non sangrai 74ºC. Hal ini diduga terjadi karena tepung jagung yang disangrai telah mengalami pemanasan sehingga untuk tergelatinisasi tidak membutuhkan suhu yang tinggi. Suhu awal gelatinisasi yang berbeda-beda disebabkan oleh ukuran granula pati yang berbeda. Granula pati yang berukuran besar akan tergelatinisasi pada suhu yang lebih rendah
dengan
granula yang berukuran kecil (Parker 2003). Proses gelatinisasi pati biasanya selesai pada suhu 80 – 90ºC. Setelah pembengkakan maksimal tercapai granula pati akan pecah, sehingga pemanasan lebih lanjut akan menurunkan kembali viskositas larutan pati dan kurva amilogram membentuk sebuah puncak viskositas (Parker 2003). Viskositas puncak sistem pati perlu diketahui sebagai pertimbangan pemilihan jenis pati untuk dijadikan bahan suatu produk pangan. Suhu saat terjadi viskositas puncak juga menjadi salah satu parameter penting sifat pati sebagai acuan suhu optimum untuk pemasakan bahan berpati untuk mencapai kekentalan yang diinginkan. Suhu puncak gelatinisasi diperoleh dari penjumlahan antara suhu awal pengoperasian alat (30ºC) dan hasil kali waktu dengan laju kenaikan suhu (1.5ºC per menit).
Viskositas puncak larutan tepung jagung sangrai adalah 600 BU, lebih tinggi dibandingkan dengan viskositas puncak tepung jagung non sangrai sebesar 490 BU. Viskositas puncak larutan tepung jagung sangrai terjadi pada suhu 91.5ºC, sedangkan suhu viskositas puncak larutan tepung jagung non sangrai sebesar 93ºC. Tepung yang memiliki suhu awal gelatinisasi yang tinggi akan memiliki suhu puncak gelatinisasi yang tinggi pula. Berdasarkan data yang diperoleh terlihat bahwa tepung jagung sangrai dapat mencapai viskositas yang lebih tinggi pada suhu yang lebih rendah, sehingga mungkin akan lebih baik jika digunakan sebagai bahan pengental produk pangan yang diproses pada suhu relatif rendah dibandingkan dengan tepung jagung non sangrai.
4.2 Analisa Kimia Tepung Jagung
Untuk mengetahui kandungan nilai gizi yang terdapat pada tepung jagung non sangrai dan tepung jagung sangrai, maka dilakukan analisis kimia pada kedua jenis tepung. Analisis kimia yang dilakukan adalah analisis kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar karbohidrat dan kadar serat kasar. Hasil analisis proksimat dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12 Komposisi kimia tepung jagung non sangrai dan sangrai Perlakuan Tepung Jagung Non Sangrai Tepung Sangrai 10.68a Kadar Air (% bk) 13.35b a Kadar Abu (% bk) 0.55 0.62a a 8.70a 8.85 Kadar Protein (% bk) a 2.37 3.44b Kadar Lemak (% bk) a 88.23 87.25a Kadar Karbohidrat (% bk) a 4.45 4.78a Kadar Serat Kasar Keterangan : Angka-angka pada baris yang sama diikuti huruf berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) Parameter
4.2.1 Kadar Air
Penentuan kadar air sangat diperlukan karena kadar air mempengaruhi daya simpan bahan. Makin tinggi kadar air suatu bahan maka kemungkinan bahan tersebut akan cepat mengalami kerusakan. Kadar air sangat dipengaruhi oleh cara penyimpanan atau lama waktu dari pemanenan sampai bahan diolah menjadi suatu produk. Jumlah kandungan air pada bahan hasil-hasil pertanian akan mempengaruhi daya tahan terhadap mikroba. Daya simpan suatu bahan dapat
diperpanjang dengan menghilangkan sebagian air dalam bahan sehingga mencapai kadar air tertentu. Tepung dikeringkan dengan tujuan agar kadar airnya dapat dikurangi sampai batas tertentu untuk menghambat pertumbuhan mikroba dan aktivitas enzim penyebab kerusakan. Batas kadar air minimum dimana mikroba dapat tumbuh adalah 14-15% (Fardiaz 1989). Hasil analisa menunjukkan bahwa kadar air tepung jagung non sangrai (13.35%) lebih tinggi dari kadar tepung jagung sangrai (10.68%). Berdasarkan hasil analisis paired-samples T Test kedua tepung berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%. Hal ini berarti bahwa adanya pengaruh sangrai dalam menurunkan kadar air tepung. Tepung jagung disangrai hingga suhu 80ºC selama kira-kira 10 menit. Suhu yang lebih dari 80ºC dengan waktu yang lama akan mengakibatkan gosong pada tepung bagian bawah dan adanya aroma gosong. Proses penyangraian merupakan salah satu proses pengeringan untuk mengeluarkan atau menghilangkan sebagian air dari bahan pangan dengan cara menyerapnya dengan menggunakan energi panas. Kecepatan proses pengeringan dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor-faktor internal adalah sifat kimia, struktur fisik serta ukuran bahan sedangkan faktor ekternal adalah suhu udara dan kecepatan udara (Fellows 1992). Semakin lama waktu pengeringan maka kadar air bahan yang dihasilkan akan semakin rendah. Kadar air kedua jenis tepung masih tinggi dari kadar air tepung jagung yang ditetapkan oleh Badan Standarisasi Nasional dalam SNI 01-3727-1995 yang menetapkan kadar air maksimum 10% (% bb).
4.2.2 Kadar Abu
Abu merupakan komponen anorganik yang tertinggal setelah semua karbon organik dibakar habis. Kadar abu juga dapat diartikan sebagai komponen yang tidak mudah menguap, tetap tertinggal dalam pembakaran dan pemijaran senyawa organik (Soebito 1988). Kadar abu menunjukkan besarnya kandungan mineral dalam bahan. Kandungan mineral bahan segar yang berasal dari tanaman sangat dipengaruhi oleh kondisi mineral tanah tempat tumbuhnya. Berdasarkan hasil analisa diperoleh kadar abu kedua jenis tepung adalah 0.55 % (tepung jagung non sangrai) dan 0.62 % (tepung jagung sangrai). Hasil
paired-samples T Test menunjukkan keduanya tidak berbeda nyata pada alpha 0.05. Hal ini berarti bahwa proses penyangraian dengan suhu 80ºC selama 10 menit tidak menurunkan atau menaikan kadar abu tepung jagung. Kadar abu dari suatu bahan perlu diketahui agar dapat digunakan untuk menentukan kadar mineral yang terkandung dalam bahan tersebut yang berupa abu sisa pembakaran (Sudarmadji et al. 1996).
4.2.3 Kadar Protein
Kandungan protein yang tinggi diharapkan terkandung dalam tepung jagung yang dihasilkan. Hal ini diharapkan karena proses selanjutnya dalam penggunaan tepung jagung sebagai bahan pangan dan pakan sehingga tidak memerlukan bahan substitusi lagi dalam pengolahan. Dalam SNI, kadar protein tidak merupakan syarat mutu tepung, namun keberadaan kadar protein tepung jagung dapat melengkapi nilai gizi tepung tersebut. Kadar protein kedua jenis tepung jagung dalam penelitian ini adalah 8.85% tepung jagung non sangrai dan 8.70% tepung jagung sangrai. Dari hasil ini terlihat bahwa kadar protein kedua tepung dapat dikatakan sangat rendah. Hasil analsis paired-samples T Test tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antar keduanya. Menurut Yu et al. (2006) bahwa pembekuan dan pengeringan menyebabkan kerusakan protein seperti denaturasi, struktur agregasi dan berkurangnya aktivitas enzim rehidrasi, dimana kerusakan protein ditandai dengan perubahan seluruh struktur sekunder protein (Bischof et al. 2002). Hasil penelitian Gelinas et al. (2004) menunjukkan apabila tepung terigu dipanaskan hingga suhu 80oC dan dilakukan fraksinasi untuk memisahkan protein dan pati, hasil yang diperoleh terjadi peningkatan nilai fraksi pati, gluten dan solubilitas air untuk protein, sementara untuk pati terjadi penurunan nilai fraksi pati dan gluten sedangkan nilai fraksi solubilitas air meningkat. Berdasarkan hal ini dapat diduga bahwa produk pangan dengan kandungan pati (tepung jagung) yang tinggi akan mengalami penurunan kadar proteinnya jika dipanaskan.
4.2.4 Kadar Lemak
Kadar lemak tepung jagung non sangrai dan tepung jagung sangrai masingmasing adalah 2.37% dan 3.44%. Analisis paired-samples T Test keduanya berbeda nyata pada alpha 0.05. Berdasarkan hasil analisis, dapat dikatakan bahwa proses penyangraian mampu mengurangi kadar air sehingga kandungan lain dapat ditingkatkan seperti kadar lemak. Nilai kadar lemak yang diperoleh relatif kecil apabila dibandingkan dengan kadar lemak tepung jagung varietas nasional yaitu 8-9% (Riyani 2007). Rendahnya kadar lemak pada tepung jagung karena pada proses pembuatan tepung telah dilakukan pemisahan antara grits dengan endosperm dan perikarp dimana terdapat kandungan lemak yang tinggi pada kedua bagian tersebut. Tingginya kandungan lemak pada tepung jagung apabila disimpan dalam waktu yang lama akan mengakibatkan penurunan mutu tepung seperti terjadinya ketengikan. Kadar lemak yang tinggi dapat mengganggu proses gelatinisasi, sebab lemak mampu membuat kompleks dengan amilosa sehingga amilosa tidak keluar dari granula pati. Lemak dapat mengganggu proses gelatinisasi dengan cara sebagian besar lemak akan diserap oleh permukaan granula sehingga terbentuk lapisan lemak yang bersifat hidrofobik disekililing granula. Lapisan lemak tersebut akan menghambat pengikatan air oleh granula. Dengan demikian, kekentalan dan kelekatan pati akan berkurang akibat jumlah air yang berkurang untuk terjadi pengembangan granula.
4.2.5 Kadar Karbohidrat
Karbohidrat dalam tepung terdiri dari karbohidrat dalam bentuk gula-gula sederhana, pentosa, dekstrin, selulosa dan pati (Ahza, 1983). Semakin manis rasa tepung, maka kandungan karbohidrat dalam bentuk gula-gula sederhana juga semakin tinggi dan kandungan patinya akan semakin rendah. Menurut Bender (1975) karbohidrat by difference adalah jumlah : 1) unavailable carbohydrate : pentosan, pektin, hemiselulosa dan selulosa, 2) available carbohydrate : dekstrin, pektin, pati dan gula, 3) non carbohydrate : asam organik dan serat kasar.
Berdasarkan hasil analisis, nilai kadar karbohidrat kedua jenis tepung adalah 88.23% tepung jagung non sangrai dan 87.25% tepung jagung sangrai. Nilai kedua jenis tepung tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%. Hal ini terjadi karena komponen-komponen lain sebagai faktor penambah dalam menghitung kadar karbohidrat kedua jenis tepung memiliki perbedaan yang kecil sehingga nilai kadar karbohidrat juga memiliki perbedaan yang relatif kecil.
4.2.6 Serat Kasar
Serat pangan yang terkandung dalam bahan pangan akan mempengaruhi sifat fisiknya. Beberapa jenis pangan telah diketahui dapat dijadikan sebagai sumber serat pangan dalam diet yang terbukti efektif pengaruhnya terhadap kesehatan fungsi fisiologis tubuh, terutama serat larut produk serealia seperti oat
bran, khususnya β-glukan (Sayar et al. 2005) dan psyllium, suatu produk konsentrat serat larut dari beberapa tanaman anggota genus Plantago (Trautwein
et al. 1999). Serat jagung banyak terdapat pada bagian perikarp. Pada proses pengolahan tepung jagung diperoleh nilai serat kasar kedua tepung jagung adalah 4.45% untuk tepung jagung non sangrai dan 4.78% untuk tepung jagung sangrai. Hasil analsis paired-samples T Test menunjukkan keduanya tidak berbeda nyata. Pada proses penepungan perikarp dibuang sehingga diduga menurunkan serat tepung. Namun jika hal ini dikaitkan dengan standart mutu tepung jagung berdasarkan SNI 01-3727-1995 yang mencantumkan kandungan serat kasar maksimum tepung jagung adalah 1.5% (% bb) maka nilai serat kasar hasil penelitian masih sangat tinggi.
4.3 Uji Sifat Rheologi Adonan
Kualitas tepung dapat dijadikan patokan untuk menilai kualitas dari adonan. Menurut Wheat Associates (1981), farinograf dapat mengukur kekuatan tepung untuk tujuan mixing secara komerial. Tujuan dari pengujian adalah untuk mengetahui daya serap terigu terhadap air dan untuk mengetahui mutu gluten sejauh mana mampu menahan tekanan. Terigu apabila ditambah air akan menghasilkan gluten, dan sebaliknya apabila adonan dikenai tekanan dapat
dijadikan tolak ukur terhadap mutu gluten. Apabila mutu gluten dalam tepung baik, membutuhkan waktu yang lama agar adonan menjadi kalis. Kalis tidaknya adonan dapat dilihat dengan farinograf. Farinograf memiliki sepasang alat seperti bilah pisau yang berbentuk Z yang digerakan oleh motor. Alat ini berputar pada alat yang berlawanan, berfungsi untuk mencampur tepung dengan air menjadi adonan dengan cara melipat dan menekan adonan di antara bilah pisau. Benar tidaknya uji ini ditentukan dengan banyaknya air yang ditambahkan secara coba-coba sampai bisa mencapai konsistensi 500 BU, setelah mencapai titik maksimum adonan akan rusak atau lengket. Jika mutu gluten baik konsistensi pada 500 BU atau lebih akan tahan lama dengan demikian dapat dikatakan stabilitas adonan baik. Pengukuran rheologi adonan dengan menggunakan farinograf untuk kedua jenis tepung tidak dapat menghasilkan kurva farinogram seperti yang diinginkan. Hal ini terjadi karena tingginya tingkat substitusi tepung jagung terhadap tepung terigu sehingga tepung jagung tidak mampu membentuk adonan karena kecilnya kandungan gluten pada tepung jagung. Hasil pengukuran dapat dilihat pada Gambar 13 di bawah ini dan sebagai pembanding diperlihatkan hasil uji farinograph pada jenis tepung terigu kuat (Gambar 14).
Tepung jagung non sangrai air 90%
Tepung jagung sangrai air 90%
Gambar 13 Grafik farinogram tepung jagung sangrai dan non sangrai
Gambar 14 Contoh grafik farinogram untuk tepung terigu kuat (strong flour) Muharam (1992) melaporkan bahwa 100% tepung singkong tidak mampu membentuk adonan sehingga tidak dapat diukur oleh farinograf, ketidakmampuan membentuk adonan disebabkan karena tepung singkong tidak mengandung gluten. Gaya dan jenis ikatan yang berperan selama pembentukan struktur adonan antara lain ikatan hidrogen, ikatan ionik, ikatan disulfida, kepolaran dan gaya van
der Walls.
4.4 Formulasi Biskuit
Penentuan substitusi tepung jagung terhadap tepung terigu merupakan tahap awal dalam penentuan formulasi biskuit. Formulasi merupakan tahap yang memegang peranan penting dalam proses perencanaan atau pembuatan suatu produk pangan. Keberhasilan produk pangan yang dihasilkan sangat tergantung kepada penentuan formulanya. Dengan demikian, formulasi tidak hanya ditentukan pada saat pembuatan produk baru tetapi juga
dilakukan dalam
reenginering pada produk yang sudah ada untuk menghindari kejenuhan konsumen terhadap suatu produk (Arpah 2003). Biskuit merupakan produk yang telah dikenal luas oleh masyarakat sebagai jenis makanan yang mudah diproduksi, tahan lama, praktis dan mudah divariasikan formulanya dengan harga yang relatif terjangkau. Penentuan formula awal dalam pembuatan biskuit jagung dengan tujuan untuk mendapat substitusi optimal tepung jagung terhadap tepung terigu yang masih memungkinkan untuk
pembuatan biskuit. Pembuatan adonan berdasarkan metode pembuatan adonan keras. Pertama-tama gula, margarin dan garam dikocok sampai terbentuk krim yang halus dengan waktu kira-kira 10 menit, kemudian susu skim dan kuning telur dimasukkan dan dikocok sampai tercampur halus selama kira-kira 4 menit, tepung dan bahan pengembang dimasukkan ke dalam pasta
yang halus dan
dikocok. CMC ditambahkan pada adonan bertujuan untuk mendapatkan tekstur yang lebih baik, pemakaian CMC akan memperbaiki tekstur dan kristal laktosa yang terbentuk akan lebih halus (Winarno 1992). Terakhir air dimasukkan hingga adonan stabil. Adonan kemudian diistirahatkan selama 15-30 menit sebelum dicetak. Pemanggangan dilakukan pada suhu 150ºC selama 8 menit. Perbandingan tepung jagung dan tepung terigu yang digunakan dalam formulasi awal terdiri dari beberapa tingkat100:0, 80:20, 70:30, 60:40, 50:50 dan 40:60 (% total tepung). Jumlah bahan baku yang digunakan dalam formulasi biskuit disajikan pada Tabel 13. Tabel 13 Bahan-bahan pembuatan biskuit per 100 g tepung Bahan
Jumlah (gram)
Gula Margarin Susu skim Kuning telur Sodium bikarbonat Amonium bikarbonat Garam CMC Air
28.20 17.90 12.80 8.50 0.34 0.26 0.30 0.43 22.20
Berdasarkan formulasi awal di atas maka tahap formulasi terbagi dalam 3 tahap yaitu : 4.4.1 Formulasi Tahap 1
Produk biskuit jagung dengan berbagai perbandingan tepung jagung 80:20, 70:30, 60:40, 50:50 dan 40:60 (% total tepung) setelah dicobakan dengan jumlah bahan baku sesuai Tabel 13. Hasil yang diperoleh adalah penggunaan air sejumlah 22.20 g pada perbandingan 80:20 (tepung jagung:tepung terigu) adonan tidak kalis, tidak bisa saling mengikat yang selanjutnya tidak dapat dicetak sehingga perlu dilakukan penambahan air hingga 40 g. Karakteristik formulasi dengan berbagai tingkat perbandingan dapat dilihat pada Tabel 14.
Tabel 14 Karakteristik adonan pada beberapa tingkat subtitusi tepung Perbandingan tepung (%) Tepung jagung
Tepung terigu
100
0
80
20
70
30
60
40
50
50
40
60
Karaktersitik adonan Tidak kalis, air yang dibutuhkan banyak (± 40 g) agar kalis. Tidak kalis, butuh air yang banyak (± 40 g) Tidak kalis, butuh air yang banyak (± 40 g) Tidak kalis, butuh air yang banyak (± 40 g) Adonan kalis, air cukup (± 20 g). Adonan lembek, kelebihan air. Air cukup 10 g agar adonan kalis.
Secara umum diperoleh hasil bahwa apabila perbandingan tepung jagung lebih banyak dari tepung terigu maka membutuhkan tambahan air yang sangat banyak untuk membuat adonan menjadi kalis. Air yang dibutuhkan adalah 40 g dalam 100 g tepung. Hasil yang diperoleh adonan menjadi kalis dan mudah dibentuk, namun apabila tepung terigu lebih dari tepung jagung maka air yang dibutuhkan sedikit, jika berlebih maka adonan akan lembek. Apabila perbandingan antara tepung jagung dan tepung terigu sama maka air yang dibutuhkan tidak terlalu banyak atau kira-kira 20 g/100g tepung. Air merupakan medium untuk membentuk adonan, melarutkan bahan dan mendistribusikannya ke seluruh massa adonan. Kualitas air yang digunakan mempengaruhi karakteristik adonan. Tiga hal yang perlu diperhatikan terhadap air yang digunakan adalah keamanan mikrobiologisnya, konsentrasi dan jenis bahan kimia terlarut serta warna dan kekeruhannya (Sugiyono). Matz dan Matz (1978) menyatakan bahwa air dalam pembuatan produk biskuit berfungsi sebagai bahan pembantu dalam pembuatan gluten, sehingga membentuk sifat kenyal dari gluten disamping juga untuk melarutkan gluten, garam serta bahan-bahan lain agar bisa bercampur. Apabila jumlah air yang ditambahkan terlalu banyak maka adonan akan menjadi keras, sedangkan jika air
yang ditambahkan sedikit, warna produk akan menjadi kecoklatan, bau agak gosong dan tekstur mudah hancur. Air memungkinkan terbentuknya gluten. Gandum yang mengandung protein dalam bentuk glutenin dan gliadin, jika ditambahkan air maka akan membentuk gluten, air juga berperan mengontrol kepadatan adonan. Selain itu, air juga mengontrol suhu adonan, pemanasan atau pendinginan adonan. Air dalam adonan melarutkan garam, menahan dan menyebarkan bahan-bahan secara seragam. Air membasahi serta mengembangkan pati sehingga dapat dicerna dan memungkinkan terjadinya kegiatan enzim (Almond 1989). Karakteristik tepung jagung juga mempengaruhi kebutuhan air yang tinggi yang dibutuhkan dalam membentuk adonan. Tepung jagung mengandung berbagai komponen gizi. Komponen terbanyak adalah karbohidrat dimana karbohidrat merupakan karbohidrat kompleks sumber energi terutama pati. Granula pati tersusun dari dua jenis polimer gula yaitu amilosa dan amilopektin. Amilosa sebanyak 25-30% berat pati, sedangkan amilopektin 70-75% berat pati. Pemanggangan produk biskuit pada tahap ini dengan menggunakan suhu awal (163oC) dengan waktu panggang 18 menit mengakibatkan biskuit menjadi berwarna sangat coklat. Produk biskuit yang dihasilkan masih keras dengan tekstur yang kasar karena masih terasa berpasir pada akhir rasa di mulut.
4.4.2 Formulasi Tahap 2
Dari hasil formulasi tahap pertama maka dapat dapat ditarik kesimpulan bahwa biskuit dapat dibuat dengan menggunakan lebih dari 50% tepung jagung, sehingga kelima formula yang dicobakan kemudian dipilih satu formula yaitu formula dengan perbandingan tepung jagung dan tepung terigu 80:20. Yang menjadi permasalahan pada tahap ini adalah bagaimana menghilangkan kesan tekstur yang kasar (ada rasa ampas/berpasir pada akhir rasa di mulut). Untuk mengatasi permasalahan ini maka kompisisi bahan tambahan ditingkatkan dan dicobakan dengan beberapa tingkatan volume air. Perubahan komposisi bahan-bahan pembuatan biskuit (Tabel 15) menghasilkan perbedaan pada tiap formulasi. Formulasi 80:20 dengan air 20 g diperoleh adonan yang tidak terlalu kalis, masih berguguran artinya tepung tidak
saling mengikat karena kekurangan air. Formula dengan air 30 g, adonan kalis dan mudah dicetak (Gambar 15, kiri), rasa dari produk yang dihasilkan pun sudah mulai mengalami perubahan artinya tekstur yang berpasir di akhir rasa sudah mulai berkurang. Formula dengan air 40 g, adonan sangat kalis, mudah dicetak dan rasa sudah baik, dimana rasa berpasir sudah sangat berkurang. Sementara adonan dengan air 50 g (Gambar 15 kanan), adonan sangat lembek dan sangat susah dicetak. Namun apabila dicetak sembarang kemudian dipanggang, rasa dari biskuit formula ini sudah sangat baik karena rasa berpasir sudah hilang. Tabel 15 Bahan-bahan pembuatan biskuit per 100 g tepung Bahan Gula Margarin Susu skim Kuning telur Sodium bikarbonat Amonium bikarbonat Garam CMC Air
Jumlah awal (gram) 28.20 17.90 12.80 8.50 0.34 0.26 0.30 0.43 22.20
Jumlah tahap 2 (gram) 30 30 15 10 0.34 0.26 0.30 0.43 20, 30, 40 dan 50
Gambar 15 Adonan 80:20, air 20 g (kiri), adonan 80:20, air 50 g (kanan) Formula 80:20 dengan air 20 g, 30 g dan 40 g kemudian dipilih untuk diformulasi lebih lanjut. Hasil produk yang diperoleh dari ketiga formula ini, dari segi tekstur dan rasa sudah sangat baik namun dari segi kelembutan, produk ini masih dirasakan kasar dan akan sulit untuk diterima oleh panelis walaupun perlu disadari bahwa tepung yang digunakan bukanlah 100% tepung terigu yang memiliki gluten namun tepung jagung.
Fenomena yang terjadi pada proses penambahan air adalah terjadi proses gelatinisasi pada tepung jagung karena kandungan pati yang tinggi pada tepung tersebut. Bila pati mentah dimasukan ke dalam air dingin, granula patinya akan membengkak. Namun demikian jumlah air yang terserap dan pembengkakannya terbatas. Air yang terserap tersebut hanya mencapai kadar 30%. Gelanitinisasi dipengaruhi oleh jumlah air (rasio pati dan air) yang tersedia. Rasio pati dan air mempengaruhi jumlah panas yang diperlukan untuk proses gelatinisasi, atau suhu gelatinisasi (Wirakartakusumah 1984). Suhu gelatinisasi berbeda-beda bagi tiap pati dan merupakan suatu kisaran. Hal ini disebabkan karena populasi granula yang bervariasi dalam ukuran, bentuk dan energi yang diperlukannya untuk mengembang. Hasil penelitian Haryadi (1984), pada rasio 5/1 dengan kenaikan suhu 10ºC/menit, kisaran suhu gelatinisasi pati sagu adalah 64.3-82.3ºC, dimana puncak gelatinisasi tercapai pada suhu 74.6ºC. granula pati mempunyai sifat merefleksikan cahaya terpolarisasi sehingga di bawah mikroskop terlihat kristal hitam-putih. Granula pati jagung memiliki kemampuan swelling lebih rendah dari granula pati kentang. Hal ini terjadi karena perbedaan ukuran granula, kandungan lipid serta suhu gelatinisasi (Singh et al., 2003). 4.4.3 Formulasi Tahap 3
Pada tahap formulasi ini, yang menjadi fokus adalah bagaimana mengatasi kekerasan produk yang dihasilkan pada formulasi tahap 2. Untuk mengatasi hal ini dilakukan lagi perubahan komposisi bahan pembuat biskuit sesuai Tabel 16.
Tabel 16 Bahan-bahan pembuatan biskuit per 100 g tepung Bahan Gula Margarin Susu skim Kuning telur S.bikarbonat A.bikarbonat Garam CMC Air
Jumlah awal (gr)
Karakteristik adonan & biskuit
28.20 17.90 12.80 8.50 0.34 0.26 0.30 0.43 22.2
Adonan : adonan tidak kalis, kekurangan air, Adonan tidak bisa di cetak. Adonan dengan perbandingan tepung jagung lebih banyak membutuhkan air ± 40 g, perbandingan tepung jagung sama dengan tepung terigu membutuhkan air ± 20 g dan perbandingan tepung terigu lebih dari tepung jagung membutuhkan air ± 10g.
Jumlah tahap 2(gr) 30 30 15 10 0.34 0.26 0.30 0.43 20, 30, 40,50
Karakteristik adonan & biskuit
Jumlah tahap 3(gr)
Adonan : air 20 g, adonan kurang kalis, tekstur biskuit keras. Air 30 g, adonan kalis, rasa enak, tekstur agak keras dan berpasir diakhir rasa dimulut. Air 40 g, adonan dan biskuit memiliki karakteristik sama dengan air 30 g. Air 50 g, adonan sangat lembek, tidak bisa dicetak.
50 50 15 20,30,50 0.34 0.26 0.43 -
Karakteristik adonan & biskuit Adonan : kuning telur 20 g, adonan kalis, mudah dicetak. Rasa biskuit enak, tidak ada rasa berpasir diakhir rasa. Kuning telur 30 g, memiliki karakteristik adonan dan biskuit sama dengan kuning telur 30 g. Kuning telur 50 g, adonan sangat lembek, sulit dicetak.
Pada Tabel 16, terlihat bahwa bahan yang ditambahkan adalah lemak (margarin), gula dan kuning telur. Lemak yang digunakan dalam pembuatan biskuit berguna untuk memperbaiki citarasa dan penampilan serta memerangkap udara. Sifat lemak yang perlu diperhatikan adalah konsistensinya atau titik cairnya. Pemilihannya tergantung dari jenis biskuit yang dibuat. Dalam pembuatan biskuit jagung ini digunakan lemak nabati yaitu margarin. Margarin adalah sebagai pengganti mentega dengan rupa, bau dan konsistensi rasa serta nilai gizi yang hampir sama dengan mentega. Margarin merupakan emulsi dengan tipe water in oil (W/O), fase air berada dalam fase minyak atau lemak. Gula yang selalu digunakan pada pembuatan biskuit adalah sukrosa (pemanis nitritif), yaitu pemanis yang mengandung energi untuk memberikan sumbangan energi ke bahan pangan. Gula yang biasanya digunakan adalah gula halus atau gula pasir. Sukrosa juga merupakan jenis pemanis yang sangat cocok digunakan dalam pembuatan biskuit, karena tingkat kemanisannya yang tinggi (100×) dan perannya dalam membentuk tekstur yang renyah (Wheat Associates 1981). Jumlah gula yang ditambahkan sangat berpengaruh terhadap tekstur dan penampakan produk akhir seperti warna. Fungsi lain dari penambahan gula adalah untuk membantu pembentukan krim dan pengocokan pada proses pencampuran serta menambah nilai gizi (Sultan 1983). Telur berfungsi untuk memperbaiki tekstur bakery sebagai hasil dari fungsi emulsifikasi, pelembut tekstur dan daya pengikat. Penggunaan kuning telur memberikan tekstur lembut, tetapi struktur dalam biskuit tidak sebaik jika digunakan keseluruhan bagian telur (Flick, 1964 dalam Matz and Matz, 1978). Sebagai pengemulsi, kuning telur dapat membantu mempertahankan kestabilan adonan. Selain itu telur juga berperan meningkatkan dan menguatkan flavour, warna dan kelembutan (Matz dan Matz 1978). Menurut Whiteley (1971), adanya albumin telur membantu pembentukan struktur adonan selama pemanggangan biskuit, karena membantu memerangkap udara saat adonan dikocok sehingga udara dapat menyebar merata di seluruh adonan. Selain itu telur dapat meningkatkan kerenyahan (crispy) biskuit. Dari hasil penambahan margarin, gula dan kuning telur diperoleh produk biskuit yang lebih renyah dan enak. Namun terlihat jelas bahwa pori-pori biskuit
sangat renggang akibat tidak adanya air untuk mengikat komponen-komponen pembentuk adonan biskuit tersebut. Air tidak digunakan pada proses ini karena penambahan air akan membuat adonan sangat lembek dan akan sulit untuk dicetak. Pada Gambar 16 terlihat bahwa dengan menggunakan kuning telur 20 gram adonan terlihat sangat kalis namun pada saat proses pencetakan adonan ini agak keras, sementara adonan dengan 30 g kuning telur menghasilkan produk yang sangat baik. Untuk adonan dengan 50 g kuning telur sangat lembek dan ketika dicetak adonan ini sangat berminyak. Ketika dipanggang terjadi peningkatan volume biskuit karena pembenggkakan yang sangat tinggi.
Gambar 16 Adonan dengan kuning telur 20,30 dan 50 g (dari kiri ke kanan) Menurut Wong (1989), tepung ditransformasi menjadi suatu adonan dengan penambahan lemak, gula, air dan bahan tambahan (seperti pengemulsi, bahan pengembang atau isolat protein). Pada saat pengadukan adonan, campuran ini terintegrasi ke dalam jaringan gluten membentuk matriks kompleks proteinpati-lipid. Formulasi yang tepat akan menghasilkan adonan yang mudah dicetak seperti yang terlihat pada Gambar 17. Pembentuk struktur adonan adalah tepung, dimana komponen terbesarnya adalah pati. Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik. Pati terdiri dari dua fraksi, yaitu fraksi yang larut air yang disebut amilosa dan fraksi tidak larut air disebut amilopektin. Menurut Krieger IM dan MV Taranto (1983) tidak ada perbedaan diantara protein dan pati, keduanya berperan dalam prinsip pembentukan struktur material, selama udara terperangkap dalam matriks pati-protein.
Gambar 17 Adonan biskuit yang sudah dicetak Pemanggangan
dilakukan
segera
setelah
pencetakan,
pada
saat
pemanggangan struktur biskuit akan terbentuk akibat gas yang dilepaskan oleh bahan pengembang dan uap air akibat dari kenaikan suhu. Ketebalan biasanya meningkat 4-5 kali. Kadar air dari 21% menjadi lebih kecil dari 5%. Pemanggangan biskuit dilakukan dengan oven selama 2.5-30 menit, tergantung suhu, jenis oven dan jenis biskuitnya. Makin sedikit kandungan gula dan lemak, biskuit dapat dibakar pada suhu yang lebih tinggi (177-204oC) (Soenaryo 1985). Pada proses pemanggangan, beberapa reaksi terjadi dengan kecepatan yang berbeda. Reaksi yang terjadi tersebut adalah : 1) pengembangan dan perpindahan gas, 2) koagulasi gluten dan telur serta gelatinisasi pati, 3) dehidrasi parsial dari penguapan uap air, 4) pengembangan cita rasa (flavor), 5) perubahan warna akibat reaksi browning dan Maillard antara susu, gluten dan protein telur dengan gula pereduksi, 6) pembentukan crust dari dehidrasi permukaan, 7) penggelapan crust dari reaksi Maillard, browning dan karamelisasi dari gula (Potter 1973). Selama pemanggangan, ikatan antara lipid polar khususnya glikolipid dan protein gluten menjadi lemah akibat denaturasi protein. Apabila temperatur adonan meningkat pati akan tergelatinisasi (suhu di atas 50ºC), perpindahan lokasi lipid terjadi dimana molekul lipid menjadi kompleks yang kuat dengan pati. Surfaktan
yang
berfungsi
sebagai
pelembut
dan
pencegah
ketengikan
memperlihatkan perpindahan dari gluten protein untuk berkelompok dengan pati (Wong 1989). Biskuit yang dihasilkan segera didinginkan untuk menurunkan suhu dan pengerasan biskuit akibat memadatnya gula dan lemak. Waktu untuk mendinginkan biasanya 2-3 kali lebih lama daripada waktu dioven (Manley 1983).
Berdasarkan formulasi tahap 3, terdapat beberapa pertimbangan dalam penggunaan kuning telur. Penggunaan kuning telur dalam jumlah yang besar dalam dunia industri dirasakan sangat tidak ekonomis karena harga telur yang mahal dipasaran. Dengan demikian dari formula tahap 3, dicobakan penggunaan kuning telur 10 g dengan dilakukan penambahan air untuk membantu dalam memperbaiki tekstur. Setelah dicobakan maka hasil yang diperoleh adalah biskuit jagung yang renyah dan tanpa ada rasa berpasir pada akhir rasa. Selanjutnya secara subjektif dipilih 4 formula sesuai Tabel 17 untuk uji organoleptik. 4 formula terpilih berasal dari tahapan formulasi 2 dan 3. Uji organolpetik bertujuan untuk memilih produk yang paling disukai oleh panelis dengan menggunakan uji hedonik (kesukaan). Tabel 17 Empat (4) Formula terpilih untuk uji organoleptik. BAHAN Tepung jagung Tepung terigu Margarin Gula Susu skim Telur Garam Sodium bikarbonat Amonium bikarbonat CMC Air
Formula 1
2
3
4
80 g 20 g 30 g 30 g 15 g 10 g 0.30 g 0.34 g 0.26 g 0.43 g 30 g
80 g 20 g 50 g 50 g 15 g 20 g 0.34 0.26 0.43 10 g
80 g 20 g 30 g 30 g 15 g 10 g 0.30 g 0.34 g 0.26 g 0.43 g 40 g
80 g 20 g 50 g 50 g 15 g 10 g 0.34 0.26 0.43 20 g
4.5 Organoleptik
Soekarto (1985) menyatakan bahwa uji organoleptik terhadap suatu makanan adalah penilaian dengan menggunakan alat indera yaitu indera penglihatan, pencicip, pembau dan pendengar. Berdasarkan hasil formulasi maka diperoleh 4 formula yang diuji lanjut dengan komposisi bahan tersaji pada Tabel 16 di atas. Uji organoleptik yang dilakukan tidak menunjukan penerimaan secara umum namun dilakukan untuk mengetahui seberapa besar produk dapat diterima. Jumlah panelis yang melakukan uji organoleptik adalah 30 orang panelis tidak terlatih, berumur antara18 - 35 tahun, dengan perbandingan panelis pria sebanyak 12 orang dan panelis wanita 18 orang.
Hasil uji statistik dari uji organoleptik dapat dilihat pada Tabel 18. Secara keseluruhan hasil uji organoleptik untuk parameter penampakan menunjukkan bahwa pilihan panelis
tertinggi pada formula 3 namun tidak berbeda nyata
dengan formula 1 dan 4. Formula 2 dan 4 lebih disukai oleh panelis dari segi aroma dibandingkan dengan 2 formula lainnya. Tekstur biskuit yang lebih disukai adalah tekstur biskuit formula 2. Parameter warna tidak berbeda nyata untuk semua formula sedangkan parameter rasa, formula 2 dan 4 lebih disukai dari dua formula lainnya oleh panelis. Secara keseluruhan (overall), formula 2 dan 4 lebih disukai oleh panelis. Tabel 18 Hasil analisis organoleptik Kode Formula
Nilai Penampakan
Aroma
Tekstur
Warna
Rasa
Overall
1
5.13ab
4.83a
4.37a
5.50a
4.23a
4.33a
2
5.00a
5.633b
6.13b
5.60a
6.20b
6.10c
3
5.53b
5.00a
4.60a
5.17a
4.53a
4.87b
4
5.33ab
5.500b
6.17b
5.43a
5.87b
5.83c
Keterangan : Angka-angka pada baris yang sama diikuti huruf berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)
4.6.1 Penampakan
Penampakan merupakan parameter organoleptik yang penting karena sifat sensoris yang pertama kali dilihat oleh konsumen. Pada umumnya konsumen memilih makanan yang memiliki penampakan menarik (Soekarto 1985). Penampakan suatu produk pangan akan menjadi daya tarik yang kuat bagi konsumen sebelum konsumen melihat parameter lainnya seperti rasa, aroma dan tekstur. Rerata nilai penampakan disajikan pada Gambar 18. 5.60
5.53 5.33
5.40 5.20
5.13 5.00
3 2
5.00
1
4.80
4
4.60 FORMULA
Gambar 18 Histogram nilai penampakan biskuit jagung
Hasil analisis Krusskal Wallis menunjukkan bahwa formula 3 berbeda nyata dengan formula 2 namun tidak berbeda nyata dengan kedua formula yang lain terhadap tingkat penilaian panelis untuk parameter penampakan. Hal tersebut disebabkan karena bentuk dari biskuit yang dihasilkan seragam sehingga meskipun tingkat penambahan tepung jagung semakin besar tidak akan berpengaruh terhadap adonan sehingga pada saat pencetakan biskuit tidak mengalami kesukaran.
4.5.2 Aroma
Aroma adalah bau yang ditimbulkan oleh rangsangan kimia yang tercium oleh syaraf-syaraf olfaktori yang berada dalam rongga hidung. Aroma banyak menentukan kelezatan makanan dan mempengaruhi penerimaannya. Makanan yang rasa dan penampilannya dinilai jika aromanya tidak disertai akan mengurangi penerimaannya (Winarno 1988). Winarno (2002) menyatakan bahwa aroma lebih banyak dipengaruhi oleh panca indera penciuman. Pada umumnya bau yang dapat diterima oleh hidung dan otak lebih banyak merupakan campuran empat macam bau yaitu harum, asam, tengik dan hangus. Skor rerata penerimaan aroma biskuit meningkat dengan adanya penambahan margarin, gula dan telur yang sangat berpengaruh dalam cita rasa biskuit. Hal ini dibuktikan juga melalui Krusskal Wallis pada nilai F 0.05 dimana formula 2 dan 4 berbeda nyata terhadap kedua formula yang lain (Tabel 17 dan Gambar 19). 5.80
5.63 5.50
5.60 5.40 5.20 5.00
3 5.00
2 4.83
4.80
1 4
4.60 4.40 FOR M U L A
Gambar 19 Histogram nilai aroma biskuit jagung Semakin tinggi penambahan margarin, gula dan telur akan mempengaruhi aroma dari biskuit jagung sehingga lebih disukai oleh panelis. Namun, dengan
penambahan bahan-bahan tersebut maka aroma jagung menjadi tidak tercium. Menurut Beynun Van et al. (1985) pati serealia yang umum (seperti jagung, gandum, sorgum dan padi) mempunyai cita rasa (flavor) biji-bijian mentah. Pati dari kentang dan tapioka relatif bebas dari cita rasa biji-bijian, cita rasa tersebut berhubungan dengan kandungan lipid.
4.5.3 Tekstur
Tekstur merupakan parameter kritis pada penampakan, flavor, dan penerimaan keseluruhan dari produk bakery (Setser 1995). Pada biskuit, tekstur merupakan atribut produk yang cukup penting karena biskuit biasanya dinilai dari teksturnya. Setiap bentuk makanan mempunyai sifat tekstur tersendiri tergantung pada keadaan fisik, ukuran dan bentuk sel yang dikandungnya. Penilaian tekstur dapat berupa kekerasan, elastisitas atau kerenyahan (Peckham 1969). Tekstur pada biskuit meliputi kekerasan, kemudahan untuk dipatahkan, dan konsistensi pada gigitan pertamanya (Fellows 2000). Lebih lanjut Fellows menerangkan bahwa tekstur pada makanan sangat ditentukan oleh kadar air, kandungan lemak, dan jumlah serta jenis karbohidrat dan protein yang menyusunnya. Dalam hal ini, tekstur biskuit dipengaruhi oleh semua bahan baku yang digunakan meliputi tepung jagung, gula, lemak, susu, telur, dan bahan pengembang. Proses substitusi tepung jagung dalam formula biskuit yang lebih dari 50% (80%) yang digunakan dalam formulasi biskuit jagung sangat mempengaruhi tekstur biskuit yang dihasilkan. Perbedaan penilaian panelis terhadap tekstur biskuit dapat dilihat pada Gambar 20. 7.00
6.17
6.13
6.00 5.00
4.60
4.37
3
4.00
2
3.00
1 4
2.00 1.00 0.00 F OR M U LA
Gambar 20 Histogram nilai tekstur biskuit jagung
Berdasarkan hasil uji organoleptik yang dilakukan, formula 1 dan 3 memiliki daya terima yang sangat rendah karena biskuit masih sedikit keras dan kurang renyah. Sementara pada formula 2 dan 4 memiliki tekstur yang lebih renyah dari formula 1 dan 2, hal terjadi diduga akibat penambahan telur, margarin dan gula yang mempengaruhi daya terima produk oleh panelis.
4.5.4 Warna
Salah satu parameter penting dalam penilaian suatu produk pangan seperti biskuit. Hal ini disebabkan karena warna memiliki daya tarik bagi konsumen untuk membeli atau untuk mencicipi. Sukarni dan Kusno (1980) menyatakan bahwa warna merupakan sifat sensoris pertama yang dapat dilihat langsung oleh panelis. Warna bahan yang menyimpang dari normal atau tidak sesuai dengan selera, maka bahan tersebut tidak dipilih untuk dikonsumsi, walaupun nilai gizi dan faktor lainnya normal. Warna penting bagi banyak makanan, baik bagi makanan yang tidak diproses maupun bagi yang dimanufaktur. Bersama-sama dengan bau, rasa dan tekstur, warna memegang peranan penting dalam penerimaan makanan. Selain itu, warna dapat memberikan petunjuk mengenai perubahan kimia dalam makanan seperti pencoklatan dan pengkaramelan (de Man 1997). Penilaian panelis terhadap
SKOR
parameter warna biskuit disajikan pada Gambar 21. 5.70 5.60 5.50 5.40 5.30 5.20 5.10 5.00 4.90
5.60 5.50 5.43 3 2
5.17
1 4
F OR M U LA
Gambar 21 Histogram nilai warna biskuit jagung Hasil yang diperoleh berdasarkan Gambar 21 adalah warna yang menarik terdapat pada warna biskuit formula 2, kemudian 1, 4 dan 3, namun berdasarkan hasil Krusskal Wallis keempat formula tidak menunjukkan perbedaan yang nyata.
Hal ini diduga terjadi karena warna tepung jagung yang kuning (80%) ditambah dengan bahan-bahan yang lain akan memberikan warna kuning yang menarik yang disukai oleh panelis. Warna biskuit yang dapat diterima oleh konsumen adalah warna kuning sampai kuning kecoklatan. Warna coklat pada biskuit yang dihasilkan setelah pemanggangan merupakan reaksi pencoklatan nonenzimatis atau reaksi Maillard. Reaksi pencoklatan dapat didefinisikan sebagai urutan peristiwa yang dimulai dengan reaksi gugus amino pada asam amino, peptida, atau protein dengan gugus hidroksil glikosidik pada gula, yang diakhiri dengan pembentukan polimer nitrogen berwarna coklat atau melanoidin (de Man 1997).
4.5.5 Rasa
Rasa merupakan persepsi dari sel pengecap meliputi rasa asin, manis, asam, dan pahit yang diakibatkan oleh bahan yang terlarut dalam mulut (Meilgaard et al. 1999). Rasa dinilai dengan adanya tanggapan rangsangan kimia oleh pencicip (lidah), dimana akhirnya kesatuan interaksi antara sifat-sifat seperti aroma, rasa, tekstur merupakan keseluruhan rasa atau cita rasa (flavor) makanan yang dinilai. Gambar 22 menunjukkan hasil analisis organoleptik untuk parameter rasa biskuit. 7.00
6.20
5.87
6.00 SKOR
5.00
4.53
4.23
4.00
3 2
3.00 2.00
1
1.00
4
0.00 FORMULA
Gambar 22 Histogram nilai rasa biskuit jagung Uji kesukaan terhadap rasa biskuit jagung menunjukkan bahwa rasa biskuit cukup disukai oleh panelis. Berdasarkan Gambar 22, formula 2 memiliki nilai rerata yang lebih tinggi dari ketiga formula lain. Penambahan margarin, gula dan telur sangat mempengaruhi rasa biskuit. Semakin tinggi nilai penambahan bahanbahan tersebut semakin disukai oleh panelis kerena rasa yang semakin enak.
Berdasarkan hasil Krusskal Wallis, formula 2 dan 4 tidak berbeda nyata namun kedua formula ini berbeda nyata dengan formula 3 dan 1.
4.5.6 Overall
Daya terima terhadap makanan dapat diukur dari cita rasanya, faktor yang dinilai dari cita rasa yaitu rupa (meliputi warna, bentuk dan ukuran), aroma dan rasa (Nasution 1990). Parameter keseluruhan (overall) digunakan dalam uji hedonik untuk mengukur tingkat kesukaan panelis terhadap keseluruhan atribut yang ada pada produk. Penilaian panelis terhadap parameter overall disajikan pada Gambar 23.
8.00 6.10 SKOR
6.00
4.87
5.83 4.33
4.00
3 2 1
2.00
4
0.00 FORMULA
Gambar 23 Histogram nilai overall biskuit jagung Pengaruh substitusi tepung jagung 80% yang disertai dengan penggunaan margarin, gula dan telur yang tinggi sangat mempengaruhi penerimaan secara keseluruhan biskuit oleh panelis. Formula 2 dengan jumlah tepung jagung 80 g, margarin 50 g, gula 50 g serta telur 20 g memiliki daya terima keseluruhan yang lebih tinggi dari formula yang lain (Gambar 23) namun hasil uji Krusskal Wallis menunjukkan bahwa formula ini tidak berbeda nyata dengan formua 4, dimana perbedaan kedua formula ini adalah jumlah telur yang digunakan. Formula yang memiliki daya terima keseluruhan yang rendah oleh panelis adalah formula 3.
4.6 Analisis Kimia Biskuit
Tahapan selanjutnya dalam penelitian ini adalah menganalisis karaktersitik kimia biskuit jagung. Dari hasil uji organoleptik, penerimaan produk biskuit secara keseluruhan yang memiliki nilai tertinggi adalah formula 2. Namun hasil
uji Krusskal Wallis tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dengan formula 4. Dengan demikian dipilih formula 4 untuk analisis lanjut sebagai akibat pertimbangan dari segi ekonomi. Karakteristik kimia yang dianalisis pada penelitian ini meliputi kadar air, abu, protein, lemak, karbohidrat, daya cerna protein, daya cerna pati, serat kasar dan nilai TBA. Pengujian tersebut dilakukan terhadap dua biskuit sampel yaitu biskuit tepung jagung non sangrai (BTJNS) dan biskuit tepung jagung sangrai (BTJS).
Hasil analisis karakteristik kimia
sebagaimana disajikan pada Tabel 19. Tabel 19 Karakteristik kimia BTJNS dan BTJS Jenis Sampel BTJNS BTJS a 3.62a Kadar Air (% bk) 4.24 a Kadar Abu (% bk) 1.62 1.41a a 8.20 7.69a Kadar Protein (% bk) a 21.47 22.53b Kadar Lemak (% bk) a 67.66 69.43b Kadar Karbohidrat (% bk) a 81.14 87.09b Daya Cerna Protein 28.85 28.50 Daya Cerna Pati 7.23a 6.61a Serat Kasr a 0.26 0.2a TBA Keterangan : Angka-angka pada baris yang sama diikuti huruf berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) Parameter
4.6.1 Kadar Air
Kadar air kedua biskuit sampel masing-masing adalah 4.24% (BTJNS) dan 3.62% (BTJS). Namun hasil Paired-samples T Test menunjukkan bahwa kedua nilai kadar air tidak memberikan perbedaan yang nyata. Hal ini diduga terjadi karena kedua biskuit sama-sama mendapat perlakuan panas yang sama pada saat pemanggangan (150ºC). Dengan demikian kadar air kedua biskuit dapat memenuhi standar yang ditetapkan oleh SNI 01-2973-1992. Air merupakan kandungan penting dalam makanan. Air dapat berupa komponen intrasel dan ekstrasel, sebagai medium pendispersi atau pelarut dalam berbagai produk, sebagai fase terdispersi dalam beberapa produk yang diemulsi seperti mentega dan margarin (de Man 1997). Buckle et al. (1987) menyatakan bahwa air merupakan komponen penting dalam bahan pangan karena dapat mempengaruhi tekstur, penampakan dan citarasa makanan. Kandungan air dalam
bahan pangan juga ikut menentukan daya terima, kesegaran dan daya tahan produk. Dari hasil uji kadar air dapat dilihat bahwa proses penyangraian tidak memberikan pengaruh yang besar dalam menurunkan kadar air, diduga juga karena suhu penyangraian hanya mencapai 80oC. Selain itu nilai kadar air juga dipengaruhi oleh suhu dan lama waktu pemanggangan dalam oven, jumlah air yang ditambahkan ke dalam adonan serta tingkat kadar air bahan yang digunakan dalam pembuatan biskuit.
4.6.2 Kadar Abu
Abu dalam bahan pangan ditetapkan dengan menimbang sisa mineral hasil pembakaran bahan organik pada suhu sekitar 550oC (Apriyantono et al. 1989). Kadar abu merupakan besarnya kandungan mineral dalam tepung. Mineral merupakan zat anorganik dalam bahan yang tidak terbakar selama proses pembakaran. Kadar abu sangat dipengaruhi oleh jenis bahan, umur bahan dan lain-lain. Kandungan abu dari suatu bahan pangan juga merupakan residu bahan anorganik yang tersisa setelah bahan organik dalam makanan didestruksi. Kandungan mineral ditentukan dengan menetapkan kandungan abu dari bahan tersebut. Abu sisa pembakaran itu dianggap sebagai mineral dari bahan pangan (Sulaeman et al. 1995). Berdasarkan Tabel 18 dapat dilihat kadar abu masing sampel adalah 1.62% (BTJNS) dan 1.41% (BTJS), hasil paired-samples T Test menunjukkan kadar abu kedua sampel tidak berbeda nyata. Hasil yang diperoleh telah sesuai dengan SNI mutu dan cara uji biskuit (1992) dimana kadar abu yang ditetapkan maksimum 1.5%.
4.6.3 Kadar Protein
Protein merupakan suatu zat makanan yang sangat penting bagi tubuh, hal ini dikarenakan protein disamping berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh juga berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur. Selama proses pencernaan, protein akan diubah menjadi asam-asam amino (unit penyusun protein) yang kemudian diserap oleh tubuh. Pada umumnya kadar protein dalam bahan pangan menentukan mutu bahan pangan tersebut (Winarno 2002).
Penentuan kadar protein pada penelitian ini dilakukan dengan metode mikro Kjeldhal. Prinsip dari metode ini adalah semua senyawa bernitrogen dalam sampel diubah menjadi amonium sulfat dengan penambahan asam sulfat pekat. Selanjutnya dengan destilasi NH3 dapat dipisahkan setelah sebelumnya ditambahkan basa. Amoniak yang diperoleh ditampung menggunakan asam borat dan terakhir dititrasi dengan larutan HCl 0.02 N. Perhitungan kadar protein dilakukan atas dasar asumsi bahwa kandungan nitrogen dalam sampel adalah sebesar 17.2% atau lebih rendah. Dari hasil analisis diperoleh kadar protein kedua jenis biskuit masingmasing adalah 8.20% (BTJNS) dan 7.69% (BTJS). Hal ini menunjukkan bahwa kadar protein kedua jenis biskuit masih rendah. Kadar protein minimum biskuit yang ditetapkan dalam SNI 01-2973-1992 adalah 9%. Dengan demikian kadar protein kedua jenis biskuit belum memenuhi standar yang ditetapkan oleh SNI 012973-1992. Berdasarkan hasil paired-samples T Test, kadar protein kedua jenis biskuit tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Dengan demikian penggunaan tepung sangrai tidak berpengaruh dalam meningkatkan nilai protein biskuit. Menurut Muchtadi dan Sugiyono (1989), kandungan protein jagung tergantung dari umur dan varietas jagung. Pada jagung muda, kandungan lemak dan proteinnya lebih rendah bila dibandingkan dengan jagung yang tua. Hal lain yang mempengaruhi rendahnya kadar protein adalah adanya pemanggangan, dimana pemanggangan berpengaruh terhadap kadar lisin pada akhir produk, karena asam amino ini amat terbatas pada kebanyakan tepung serealia. Tingkat kerusakan asam amino bebas ternyata berkaitan erat dengan banyaknya gula pereduksi yang ada (Robert Harris
et al. 1989). Penambahan susu bubuk tak berlemak dalam jumlah sedang ke dalam adonan sangat meningkatkan susut lisin, hal ini terjadi kemungkinan karena meningkatnya reaksi Maillard sebagai akibat tingginya konsentrasi gula pereduksi (misalnya laktosa) (Robert Harris et al. 1989). Tepung terigu yang digunakan dalam pembuatan biskuit jagung ini adalah tepung terigu merk kunci biru dengan kadar protein 8%. Tepung terigu merk kunci biru tergolong soft flour dengan kadar protein berkisar antara 7-8,5% (Astawan 1999).
4.6.4 Kadar Lemak
Kadar lemak yang diperoleh pada penelitian ini adalah 21.47% (BTJNS) dan 22.53 % (BTJS). Dari hasil ini terlihat bahwa kadar lemak BTJS lebih tinggi dari kadar lemak BTJNS, berdasarkan analisis paired-samples T Test diperoleh bahwa kedua jenis biskuit berbeda nyata. Kadar lemak minimum biskuit yang ditetapkan dalam SNI 01-2973-1992 adalah 9,5%. Dengan demikian kadar lemak biskuit hasil penelitian memenuhi standar yang ditetapkan oleh SNI 01-29731992. Lemak adalah sekelompok ikatan organik yang terdiri atas unsur-unsur C,H dan O yang mempunyai sifat dapat larut dalam zat-zat pelarut tertentu (zat pelarut lemak), seperti petroleum benzene, ether. Lemak di dalam makanan yang memegang peranan penting ialah lemak netral (glycerin) (Sediaoetama 2006). Lemak memiliki efek shortening pada makanan yang dipanggang seperti biskuit, kue kering dan roti sehingga menjadi lebih lezat dan renyah. Lemak akan memecah struktur kemudian melapisi pati dan gluten, sehingga dihasilkan biskuit yang renyah (Gaman dan Sherington 1992). Matz (1978) menyatakan bahwa lemak dapat memperbaiki struktur fisik seperti pengembangan, kelembutan tekstur dan aroma. Tingginya kadar lemak disebabkan karena bahan yang digunakan dalam pembuatan biskuit mengandung kadar lemak yang cukup tinggi seperti margarin.
4.6.5 Kadar karbohidrat
Kadar
karbohidrat
dihitung
secara
by
difference,
yaitu
dengan
mengurangkan 100% dengan kadar abu, kadar protein dan kadar lemak. Karbohidrat adalah polihidroksi aldehid atau pilohidroksiketon yang memegang peranan penting dalam alam karena merupakan sumber energi utama bagi manusia dan hewan (Gaman dan Sherrington 1992) Karbohidrat merupakan sumber kalori utama bagi manusia. Karbohidrat juga mempunyai peranan penting dalam menentukan karakteristik bahan makanan, misalnya rasa, warna, tekstur. Sedangkan dalam tubuh, karbohidrat berguna untuk mencegah timbulnya ketosis, pemecahan protein tubuh yang
berlebihan, kehilangan mineral, dan berguna untuk membantu metabolisma lemak dan protein (Winarno 2002). Hasil perhitungan kadar karbohidrat dalam penelitian ini masing-masing adalah 67.66% (BTJNS) dan 69.43% (BTJS), hasil paired-samples T Test menunjukkan bahwa nilai kadar karbohidrat kedua biskuit berbeda nyata artinya bahwa adanya pengaruh penyangraian terhadap peningkatan kadar karbohidrat. Hal ini diduga terjadi berhubungan dengan penurunan kadar air, dimana jika kadar air suatu produk turun maka konsentrasi komponen lain akan meningkat. Kadar karbohidrat minimum biskuit yang ditetapkan dalam SNI 01-2973-1992 adalah 70%. Dengan demikian kadar karbohidrat biskuit dalam penelitian ini belum memenuhi standar yang ditetapkan oleh SNI 01-2973-1992.
4.6.6 Serat Kasar
Serat kasar sangat penting dalam penilaian kualitas bahan makanan karena angka ini merupakan indeks dan menentukan nilai gizi bahan makanan tersebut. Yang dimaksud dengan serat kasar di sini adalah senyawa yang tidak dapat dicerna dalam organ pencerna manusia ataupun hewan. Serat kasar terdiri dari sedikit lignin dan pentosa. Ditinjau dari segi kecernaan dalam sistem pencernaan manusia, karbohidrat terbagi atas karbohidrat yang dapat dicerna seperti glukosa, fruktosa, sukrosa, pati, glikogen, dekstrin serta yang tidak dapat dicerna yaitu berupa polisakarida penguat tekstur. Kelompok polisakarida penguat tekstur banyak mengandung serat yang dapat mempengaruhi proses pencernaan. Serat dibedakan menjadi dua jenis yaitu serat kasar yang disusun oleh selulosa, lignin dan sebagian kecil hemiselulosa serta serat makan (dietary fiber) terdiri dari selulosa, hemiselulosa, lignin dan subtansi pektat (Muhtadi et al, 1992) Hasil analisa serat kasar kedua jenis biskuit masing-masing adalah 7.23% (BTJNS) dan 6.61% (BTJS). Nilai ini tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%. Proses substitusi yang tinggi akan meningkatkan serat kasar yang diperoleh. Omobuwajo (2003), proses substitusi tepung sukun pada pembuatan biskuit sebesar 67-100% meningkatkan serat kasar sebesar 2 % dibandingkan dengan biskuit tanpa substitusi (100% tepung gandum) tidak mengandung serat (0%).
Ngantung (2003) menyatakan bahwa kadar serat tertinggi terdapat pada perlakuan dengan penambahan tepung kedelai 15% dan terendah terdapat pada perlakuan tanpa penambahan tepung kedelai. Kadar serat ini mengalami kenaikan seiring dengan banyaknya penambahan tepung kedelai.
4.6.7 Nilai kalori
Almatsier (2002) menyatakan bahwa manusia membutuhkan energi untuk mempertahankan hidup, menunjang pertumbuhan dan melakukan aktivitas fisik. Energi dapat diperoleh dari karbohidrat, lemak dan protein yang ada dalam bahan makanan. Berdasarkan hasil perhitungan nilai energi biskuit tepung jagung maka diperoleh nilai energi biskuit tepung non sangrai jagung adalah 506.19 kkal dan energi biskuit tepung jagung sangrai adalah 501.70 kkal. Hasil ini jika dibandingkan dengan nilai kalori biskuit Marie (100 % tepung terigu) adalah 446.9 (nilai berdasarkan informasi nilai gizi dalam kemasan produk (nutrition fact)) maka nilai energi biskuit penelitian masih lebih tinggi. Sedangkan nilai kalori yang ditetapkan oleh SNI tentang biskuit (1992) adalah 400 kal/100 g, sehingga dapat dikatakan bahwa nilai energi biskuit penelitian telah memenuhi syarat mutu yang ditetapkan. Rata-rata berat biskuit tepung jagung non sangrai adalah 5.7 g dan 6.4 g untuk biskuit tepung jagung sangrai. Secara umum, untuk memenuhi kebutuhan energi maka disarankan untuk mengkonsumsi biskuit masing adalah sebanyak 17 keping (BTJNS) dan 15 keping (BTJS).
4.6.8 Daya Cerna Protein
Protein yang terkandung dalam makanan setelah dikonsumsi akan mengalami pencernaan (pemecahan oleh enzim-enzim protease). Nilai gizi suatu protein ditentukan oleh daya cernanya yang berarti juga menentukan ketersediaan asam amino secara biologis. Jika suatu protein memiliki daya cerna tinggi maka sebagian besar asam-asam aminonya dapat dimanfaatkan oleh tubuh. Sebaliknya, jika protein memilik daya cerna yang rendah maka sebagian besar akan dibuang oleh feses (Muchtadi 1989).
Penentuan daya cerna protein dilakukan secara in vivo maupun in vitro. Metode in vivo seringkali dianggap terlalu mahal. Sehingga sering digunakan metode in vitro dengan menggunakan enzim-enzim pencernaan serta membuat kondisi yang mirip dengan yang sesungguhnya terjadi dalam pencernaan manusia (Muchtadi 1989). Mutu protein biskuit jagung dari kedua tepung sangat baik walaupun tidak mencapai 100%. Dari hasil analisis diperoleh nilai daya cerna protein biskuit tepung jagung sangrai adalah 87.09% dan daya cerna protein biskuit tepung jagung non sangrai adalah 81.14%. Hasil uji paired-samples T Test memperlihatkan perbedaan yang nyata antara kedua jenis biskuit. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi daya cerna protein diantaranya adalah reaksi Maillard dan adanya pemanasan (Homisah 1997). Menurut Muchtadi (1989) kekahwatiran utama sebagian besar peneliti adalah mengenai pengaruh pemanggangan terhadap kadar lisin tersedia (available
lysine) pada produk roti, mengingat lisin merupakan asam amino pembatas pada serealia termasuk gandum. Lisin akan mengalami kerusakan (terikat) akibat terjadinya reaksi Maillard, dan pada tingkat kerusakan tersebut berkaitan erat dengan jumlah gula pereduksi yang tersedia. Jansen et al. (1984) di dalam Muchtadi (1989) menjelaskan bahwa bertambahnya waktu pemanggangan akan meningkatkan kehilangan lisin, baik yang terdapat secara alami maupun ditambahkan. Sejalan dengan hal di atas, Matz (1977) di dalam Muchtadi (1989) menjelaskan bahwa penambahan susu skim dalam jumlah sedang ke dalam adonan sangat meningkatkan kehilangan kehilangan
lisin,
karena
meningkatnya
reaksi
Maillard
sebagai
akibat
meningkatnya kadar gula pereduksi (laktosa dari susu). Penurunan daya cerna protein dapat disebabkan karena reaksi antara sisi rantai asam-asam amino yang terikat dalam protein dengan senyawa hasil oksidasi lemak. Lemak yang teroksidasi akan menghasilkan radikal-radikal bebas (terutama dari asam lemak tidak jenuh), yang kemudian membentuk karbonil atau peroksida. Kedua senyawa tersebut dapat bereaksi dengan protein membentuk ikatan silang dalam rantai protein melalui ikatan-ikatan protein-lipid, sehingga terjadi penurunan nilai gizi protein serta kerusakan asam-asam amino.
4.6.9 Daya Cerna Pati
Daya cerna pati adalah kemampuan enzim pemecah pati dalam menghidrolisis pati menjadi unit-unit yang lebih kecil. Pengukuran daya cerna pati dapat dilakukan secara in vitro menggunakan berbagai macam enzim pada kondisi tertentu seperti pH, buffer, waktu inkubasi dan suhu. Setelah dihidrolisis jumlah gula yang berhasil direduksi merupakan hasil dari daya cerna pati (Tharanthan dan Mahadevarma 2003). Dari data yang diperoleh pada penelitian ini, diketahui bahwa daya cerna pati kedua sampel sangat rendah yaitu 28.85% (BTJNS) dan 28.50% (BTJS). Daya cerna hasil penelitian masih sangat rendah apabila dibandingkan dengan daya cerna pati tepung ubi jalar 84.78%, suweg 61.75% dan tepung terigu 75.25%. Tingginya daya cerna pati dipengaruhi oleh rasio amilosa yang tinggi serta ukuran granula pati yang relatif kecil (2-4 mikron) (Hidayat et al 2007). Beberapa hal yang menyebabkan penurunan daya carna pati diantaranya adalah penggunaan suhu yang terlalu tinggi pada waktu pengolahan. Proses pemanasan akan menyebabkan rusaknya ikatan hidrogen pada pati sehingga amilosa dan amilopektin keluar dari granula pati. Kerusakan granula menyebabkan granula menyerap air, sehingga sebagian fraksi pati terpisah dan masuk ke dalam media yang ada. Amilosa akan larut dan sudah tidak dapat lagi dikenali oleh enzim pencernaan sementara amilopektin dapat terurai pula, sehingga penguraian pati tidak sempurna dan daya cernanya pun berkurang (Greenwood 1989). Menurut Tharanthan dan Mahadevarma (2003) bahwa perlakuan panas selama pengolahan diduga dapat meningkatkan interaksi tersebut sehingga menyebabkan aktivitas enzim α-amilase dalam menghidrolisis pati menjadi menurun. Penggunaan suhu tinggi pada proses pengolahan pangan dengan kandungan pati yang tinggi juga dapat menyebabkan terbentuknya retrogadasi amilosa menjadi resistant starch, interaksi antara pati dengan komponen non pati dan jumlah resistant starch yang terdapat dalam pati. Resistant starch merupakan fraksi pati yang tidak dapat dihidrolisis pada usus halus tetapi kemudian difermentasi oleh mikroflora usus (Tharanthan dan Mahadevarma 2003).
Selain hal di atas, proses pencernaan pati dipengaruhi juga oleh interaksi antara pati dengan komponen pangan lainnya seperti lipid, protein dan pati itu sendiri dapat mempengruhi daya cerna pati. (Tharanthan dan Mahadevarma 2003). Komponen pangan yang dapat menurunkan daya cerna pati adalah serat pangan. Dalam bentuk utuh, serat dapat bertindak sebagai penghambat fisik pada pencernaan yaitu terhalangnya granula pati oleh serat sehingga sulit dicerna oleh enzim-enzim amilolitik manusia. Serat juga dapat memperlambat lewatnya makanan pada saluran pencernaan dan menghambat pergerakan enzim sehingga proses pencernaan menjadi lambat (Rimbawan dan Siagian 2004).
4.7 Isothermi Sorpsi Air
Sifat higroskopis sebelum maupun sesudah diolah dimiliki secara alami oleh setiap komoditas pertanian. Sifat higroskopis adalah kemampuan menyerap air dari udara sekelilingnya dan juga melepaskan sebagian air yang terkandung ke udara. Sifat ini digambarkan dengan kurva isothermik yaitu suatu kurva yang menggambarkan hubungan antara kadar air bahan dengan kelembaban relatif kesetimbangan ruang tempat penyimpanan bahan atau aktivitas air (aw) pada suhu tertentu.
4.7.1 Kadar Air Kestimbangan dan Kurva Isothermik Sorpsi Air
Untuk membuat kurva sorpsi isothermik maka dilakukan penyimpanan ke dalam beberapa desikator dengan kelembaban relatif yang berbeda dengan kisaran 7%-91% (Tabel 20) hingga mencapai kadar air kesetimbangan untuk semua larutan garam jenuh (sekitar 14 hari). Air merupakan komponen yang paling dominan didalam bahan pangan, selain itu air akan mempengaruhi variabelvariabel dalam proses pengolahan, karakteristik produk dan stabilitas produk. Selama penyimpanan dalam berbagai kondisi RH akan terjadi interaksi antara produk dengan lingkungannya. Uap air akan berpindah dari lingkungan ke produk atau sebaliknya sampai tercapai kondisi kesetimbangan. Perpindahan uap air ini terjadi karena perbedaan RH lingkungan dengan produk, dimana uap air akan berpindah dari RH tinggi ke RH rendah. Tercapainya kondisi kesetimbangan antara sampel dan lingkungan ditandai oleh selisih antara 3 penimbangan berturut-
turut tidak lebih dari 5 mg/g sampel yang disimpan pada RH di bawah 90% dan tidak lebih dari 10 mg/g sampel yang disimpan pada RH di atas 90% (Lionoven dan Ross di dalam Adawiyah 2006). Selama proses penyeimbangan pada aw > 0.84 ditumbuhi oleh jamur dengan pertumbuhan dari ringan hingga berat yang mulai terlihat pada hari ke-7 pengamatan. Pada saat pertumbuhan jamur maka berat sampel menjadi naik, hal ini disebabkan karena pada saat terjadi pertumbuhan jamur maka penambahan air dari mikroorgansime yang tumbuh sehingga berada di atas RH lingkungan dan menyebabkan desorpsi.
Tabel 20 Kadar air kesetimbangan BTJS dan BTJNS pada berbagai aw penyimpanan Garam aw Ka (% bk) BTJS NaOH 0.06 2.07 CH3COOK 0.22 3.76 MgCl2.6H2O 0.32 4.86 K2CO3 0.43 6.06 KI 0.69 9.35 NaCl 0.75 10.20 KCl 0.84 21.53 BaCl2.2H2O 0.86* 24.01 K2CrO4 0.90* 26.80 NH4H2PO4 0.91** 30.04 K2SO4 0.97** 38.22 Keterangan : * pertumbuhan jamur ringan ** pertumbuhan jamur berat BTJS=biskuit tepung jagung sangrai BTJNS=biskuit tepung jagung non sangrai
Ka (% bk) BTJNS 2.15 3.84 5.00 6.12 9.58 11.20 21.66 24.27 28.21 30.82 44.23
Kurva isothermik biskuit tepung jagung sangrai dan non sangrai diperoleh dengan cara memplotkan kadar air keseimbangan (%) dari percobaan masingmasing dengan aw atau RH lingkungannya. Kedua kurva (Gambar 24) memiliki pola yang hampir sama dimana pada aw dibawah 0.84 terjadi proses penyerapan air yang rendah, akan tetapi diatas aw 0.84 terjadi penyerapan air yang tinggi. Menurut Bell dan Labuza (2000) dalam Adawiyah (2006), bentuk kurva tersebut termasuk dalam kurva isothermis sorpsi tipe III yang mewakili sifat isothermi sorpsi air untuk bahan yang berbentuk kristal seperti gula sukrosa. Produk biskuit yang dihasilkan menggunakan
gula sebesar 50% per 100 g tepung artinya
kandungan gula produk cukup tinggi sehingga membentuk pola kurva sorpsi tipe III. Hal ini terjadi karena pengikatan air melalui jembatan hidrogen hanya terjadi pada gugus hidroksil bebas yang terdapat di permukaan kristal saja. Pada aw rendah, interaksi air dengan molekul gula tidak cukup kuat untuk memutuskan gaya interaktif antar individu molekul gula di dalam kristal. Akan tetapi ketika aw meningkat, interaksi air-gula secara keseluruhan meningkat dan cukup kuat untuk menyebabkan gangguan terhadap inetraksi gula-gula dan air mulai berpenetrasi ke dalam kristal, melarutkan gula dan membentuk permukaan baru (Adawiyah 2006). Kurva yang dihasilkan menyerupai kurva sorpsi isothermik gula sukrosa (Adawiya 2006). Nilai pelarutan sukrosa pada penelitian ini terjadi pada aw 0.84. Hasil ini sama dengan yang diperoleh Adawiyah (2006), hasil yang sama diperoleh Yustikawati (1997) di dalam (Adawiyah 2007). Menurut Kou et al (1999); Mathlouthi dan Roge (2003) di dalam Adawiyah (2006) bahwa nilai 0.86 sebagai batas aw pelarutan sukrosa. Titik saturasi sukrosa pada suhu ruang adalah ketika kelembaban lingkungan 85% (0.85) (Chinacoti 1993 di dalam Adawiyah 2006). Bell dan Labuza (2000) di dalam Adawiyah (2006) mengungkapkan bahwa air mulai melarutkan gula pada aw 0.7 -.0.8. Bentuk kurva sorpsi isothermik beragam tergantung sifat alami bahan pangan, suhu, kecepatan adsorpsi dan tingkatan air yang dipindahkan selama adsorpsi atau desorpsi (Fennema 1985).
Kadar air (% bk)
Dari kurva ISA yang ada dapat ditentukan ketiga daerah frakasi air terikat.
50 40 30 BTJS
20
BTJNS
10 0 0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
aw
Gambar 24 Kurva sorpsi isothermik BTJS & BTJNS
1.2
4.7.2 Analisa Fraksi Terikat
Kurva sorpsi isothermik dibagi menjadi tiga bagian yaitu daerah air terikat primer (monolayer), daerah air terikat sekunder (multilayer) dan daerah air terikat tersier (menunjukkan air yang terkondensasi pada
pori-pori bahan) (Labuza
1986).
4.7.2.1 Penentuan Kapasitas Air Terikat Primer
Daerah air terikat primer merupakan daerah air yang terikat sangat kuat, dengan entalphi penguapan paling lebih besar dari entalpi penguapan air murni. Pada daerah ini, air tidak dapat digunakan sebagai pelarut, pemlastis dan merupakan bagian dari padatan karena molekul air ini diikat pada bagian sisi aktif (Van Den Berg dan Bruin 1981; Aguilera dan Stanley 1999). Air ini berada pada daerah monolayer dan pada umumnya pada kisaran aw 0.2 – 0.4. Penentuan kapasitas air terikat primer menggunakan persamaan BET (Brunauer, Emmet dan Teller) yaitu : 1 aw C −1 = aw + (1 − aw) M MpC MpC dimana : M = kadar air kesetimbangan, Mp = kapasitas air terikat primer, C = konstanta dan aw = aktivitas air, yang diubah menjadi model regresi Y = a + bx, dengan ; Y=
1 aw C −1 , a= aw dan b = (1 − aw) M MpC MpC
Pada penentuan kapasitas air terikat primer, pada model BET aw yang digunakan sampai 0.5 (Rizvi, 1995). Dari model regresi yang diperoleh maka dapat ditentukan Mp dan ap. Berdasarkan hasil analisa regresi (Gambar 25 & 26), diperoleh nilai kapasitas air terikat primer pada biskuit tepung jagung sangrai (BTJS) adalah 3.76 lebih tinggi dari kapasitas air terikat primer biskuit tepung jagung non sangrai (BTNJS) sebesar 3.72. Berdasarkan hasil ini dapat dilihat bahwa kapasitas air terikat primer kedua biskuit relatif kecil, diduga terjadi karena adanya ikatan hidrogen yang sangat kuat dengan energi ikatan besar sehingga
molekul air sulit dilepaskan. Selain itu lapisan monolayer secara langsung diikat oleh gugus polar dimana kepolaran energi ikatan fraksi terikat primer pada beberapa produk lebih tinggi dari energi ikatan fraksi air terikat sekunder dan tertier. Dari data kadar air kesetimbangan padakisaran aw yang ditentukan (0.070.43) kemudian di plot terhadap aw(1-aw)/M dimana aw sebagai sumbu x untuk mendapatkan persamaan linier (Gambar 25 & 26).
aw/(1-aw)M
0.15
y = 0.2514x + 0.0171 R2 = 0.9979
0.10 0.05 0.00 0.00
0.10
0.20
0.30
0.40
0.50
aw
aw/(1-aw)M
Gambar 25 Plot Kapasitas air terikat primer BTJS, metode BET
0.14 0.12 0.10
y = 0.2501x + 0.0157 R2 = 0.9976
0.08 0.06 0.04 0.02 0.00 0.00
0.10
0.20
0.30
0.40
0.50
aw
Gambar 26 Plot kapasitas air terikat primer BTJNS, metode BET Analisis regresi linier menghasilkan parameter-parameter persamaan BET sehingga dapat ditentukan kapasitas air terikat primer biskuit tepung jagung sangrai dan non sangrai. Dari persamaan regresi maka diketahui nilai a disubstitusi menjadi 1/MpC dan nilai b menjadi (C-1)/MpC maka diperoleh nilai Mp sebagai berikut : a = 1/MpC; b = (C-1)/MpC, maka b/a = {(C-1)/MpC}.MpC,
sehingga b/a = (C-1). Secara lengkap disajikan hasil perhitungan kapasitas air terikat primer pada Tabel 21. Berikut salah satu contoh perhitungan kapasitas air terikat primer untuk BTJNS :
hasil plot aw terhadap aw/(1-aw) diperoleh
persamaan Y = 0.0157 + 0.2501x a = 0.0157, b = 0.2501 maka ; 0.2501/0.0157 = (C-1) 15.93
= C – 1, maka C = 16.93
0.0157
= 1/MpC. (16.93)
Mp
= 1/0.0157 (16.93)
Mp
= 3.7622
Tabel 21 Hasil perhitungan kapasitas air terikat primer pada produk BTJS & BTJNS Produk BTJS BTJNS
a 0.0171 0.0157
b 0.2514 0.2501
Parameter C r2 0.9979 15.7018 0.9976 16.9299
Mp 3.7244 3.7622
aw primer 0.20 0.20
Pada daerah primer, jumlah air yang terikat sedikit dan melalui ikatan hidrogen yang bernergi besar dan membentuk hidrat dengan molekul lain (karbohidrat, protein dan garam) terjadi pengikatan molekul air yang mempunyai dua kutub (positif dan negatif) sehingga sifat dua kutub inilah yang menyebabkan air dapat ditarik oleh molekul lain yang bermuatan positif dan negatif (Winarno 1989).
4.7.2.2 Penentuan Kapasitas Air Terikat Sekunder
Untuk menentukan kapasitas air terikat sekunder, yaitu titik peralihan dari air terikat sekunder ke air terikat tersier, dapat digunakan model analisa logaritmik yang dinyatakan oleh Soekarto (1978). Model matematik empirik yang disusun oleh Soekarto (1978) adalah sebagai berikut : log (1 − aw) = b(M) + a dimana : M = kadar air ( % bk), b = faktor kemiringan, a = titik potong pada ordinat
Dengan memplot log (1-aw) terhadap M akan dihasilkan garis patah yang terdiri dari dua garis lurus. Garis lurus pertama mewakili air ikatan sekunder dan garis lur kedua mewakili air ikatan tersier. Titik potong kedua garis adalah titik peralihan dari air ikatan sekunder ke tersier dan dianggap sebagai batas atas atau kapasitas ikatan air sekunder. Dimana garis pertama diwakili log (1-aw) = b1(M) + a1 maka pada titik potong berlaku rumus b1 (Ms) + a1 = b2 (Ms) – a2 dimana Ms adalah kapasitas air terikat sekunder (Soekarto, 1978). Sesuai dengan batas kapasitas air terikat primer, maka dalam penentuan kapasitas air terikat sekunder digunakan nilai kadar air pada aw = 0.22 – 0.9 (Gambar 27 & 28). Berdasarkan hasil perhitungan dengan model analisa logaritma maka diperoleh kapasitas air terikat sekunder BTJS dan BTJNS adalah 10.09 dan 10.15 (Tabel 22). Selanjutnya dari persamaan logaritma yang didapatkan maka dapat dihitung nilai as kedua sampel yaitu masing-masing 0.45 (BTJS) dan 0.46 (BTJNS). Dari hasil dapat dikatakan bahwa pada sampel yang diuji mempunyai kemampuan untuk mengikat air masih sangat kuat terbukti dengan nilai as yang masih sangat kecil.
1.20
y = 0.0238x + 0.3138 R2 = 0.9545
log (1-aw)
1.00 0.80 0.60 0.40
y = 0.0726x - 0.1785
0.20
R2 = 0.9929
0.00 0.00
5.00
10.00
15.00
20.00
25.00
30.00
kadar air (% bk)
Gambar 27 Plot kapasitas air terikat sekunder BTJS, metode logaritma
log (1-aw)
1.20
y = 0.0238x + 0.3009
1.00
R = 0.9781
2
0.80 0.60 0.40
y = 0.0709x - 0.1773
0.20
R = 0.9944
2
0.00 0.00
5.00
10.00
15.00
20.00
25.00
30.00
kadar air (% bk)
Gambar 28 Plot kapasitas air terikat sekunder BTJNS, metode logaritma Contoh perhitungan nilai Ms : hasil plot logaritma kapasitas air terikat sekunder untuk BTJNS adalah dua persaman berikut : Y = 0.0709x – 0.1773 (r2 = 0.9944) dan Y = 0.0238x + 0.3009 (r2 = 0.9781). Dari 2 persamaan ini maka diperoleh titik potong yang menunjukkan batas kapasitas air terikat sekunder (titik potong 1 dan 2), maka x1 = x2 = Ms adalah : 0.0709x1 – 0.1773 = 0.0238x2 + 0.3009 0.0471Ms
= 0.4782
Ms
= 10.15
Tabel 22 Hasil perhitungan kapasitas air terikat sekunder pada produk BTJS & BTJNS Sampel
Parameter BTJS
BTJNS
a1
-0.1785
-0.1773
b1
0.0726
0.0709
2
1
0.9944
0.9944
a2
0.3138
0.3009
b2
0.0238
0.0238
2
0.9545
0.9781
Ms as
10.0881 0.45
10.153 0.46
r
r
2
4.7.2.3 Penentuan Kapasitas Air Terikat Tersier
Daerah air terikat tersier merupakan daerah fraksi air terikat yang lemah dan mempunyai sifat mendekati air bebas. Pada fraksi ini reaksi deteorasi
terutama disebabkan oleh pertumbuhan mikroorganisme yaitu jamur (aw 0.80), khamir (aw ≈ aw 0.87) dan bakteri patogen (aw 0.91) (Van Den Berg dan Bruin 1981; Aguilera dan Stanley 1999). Penentuan air terikat tersier kedua jenis biskuit menggunakan model polinomial ordo 2 dengan menggunakan data pengamatan dari RH 43 – 97%. Berikut adalah persamaan - persamaan yang diperoleh yang dapat dilihat pada Gambar 29 dan 30.
Kadar air (% bk)
50.00 y = 183.92x 2 - 197.83x + 57.153 R2 = 0.99
40.00 30.00 20.00 10.00 0.00 0.00
0.20
0.40
0.60
0.80
1.00
1.20
aw
Gambar 29 Kapasitas air terikat tersier BTJS, metode polinomial ordo 2
Kadar air (% bk)
50.00
y = 222.18x2 - 245.1x + 70.817 R 2 = 0.9873
40.00 30.00 20.00 10.00 0.00 0.00
0.20
0.40
0.60
0.80
1.00
1.20
aw
Gambar 30 Kapasitas air terikat tersier BTJNS, metode polinomial ordo 2 Berdasarkan persamaan polinomial ordo 2 (Tabel 23), sebagai contoh untuk data kapasitas air terikat tersier BTJNS adalah Y = 222.18x2 – 245.1x + 70.817 (r2 = 0.9873), dimana Y = kadar air (% bk) dan x adalah aw maka apabila aw = 1 akan diperoleh nilai Y sebagai kapasitas air terikat tersier (Mt) sebesar 47.90 % bk. Tabel 22 menunjukkan hasil perhitungan kapasitas air terikat tersier
untuk kedua jenis biskuit. Dari keseluruhan hasil yang diperoleh memperlihatkan bahwa biskuit tepung jagung non sangrai (BTJNS) memiliki nilai Ms dan Mt yang lebih tinggi dari biskuit tepung jagung sangrai (BTJS). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penyangraian suatu bahan seperti tepung jagung dapat mengikat air bahan lebih kuat. Tabel 23 Hasil perhitungan kapasitas air terikat tersier pada produk BTJS & BTJNS Pendekatan
Parameter
Polinomial ordo 2
a b c r2 Mt
Sampel BTJS
BTJNS
183.92 -197.88 57.153 0.99 43.19
222.180 -245.1 70.817 0.9873 47.90
4.7.3 Penentuan Fraksi Air Terikat
Batasan tiga daerah fraksi air terikat selanjutnya dapat dihitung berdasarkan perhitungan kapasitas air terikat. Tiga daerah air terikat memiliki peranan penting dalam menentukan stabilitas bahan pangan. Menurut Rockland dan Beuchat (1985) bahwa dari ketiga daerah kurva sorpsi isothermik dapat ditentukan dimana daerah terjadinya berbagai reaksi kimia seperti reaksi pencoklatan, reaksi oksidasi dan daerah pertumbuhan kapang, jamur dan bakteri. Tiga daerah fraksi air terikat dibatasi oleh nilai tertinggi masing-masing daerah yang meliputi fraksi air primer (ATP) yang dibatasi oleh Mp, fraksi air sekunder (ATS) yang dibatasi oleh Ms dan fraksi air tersier yang dibatasi oleh Mt. Tabel 23 memperlihatkan biskuit tepung jagung sangrai (BTJS) untuk fraksi ATP dibatasi oleh Mp 3.72 (5 bk) yang berkeseimbangan dengan aw = 0.20, fraksi ATS dibatasi oleh Ms sebesar 10.09 (% bk) yang berkeseimbangan dengan aw = 0.45 dan fraksi ATT dibatasi oleh Mt sebesar 43.19 yang berkeseimbangan dengan aw = 1. Untuk biskuit tepung jagung non sangrai (BTJNS), fraksi ATP dibatasi oleh Mp 3.76 (% bk) yang berkeseimbangan dengan aw = 0.20, fraksi ATS dibatasi oleh Ms sebesar 10.15 (% bk) yang berkeseimbangan dengan aw = 0.46 dan fraksi
ATT dibatasi oleh Mt sebesar 47.90 yang berkeseimbangan dengan aw = 1. secara lengkap susunan fraksi air terikat dapat dilihat pada Tabel 24. Tabel 24 Susunan fraksi air terikat BTJS & BTJNS Sampel
Parameter Fraksi air terikat primer Fraksi air terikat Sekunder Fraksi air terikat tersier
Mp A wp ATP Ms A ws ATS Mt aw ATT
BTJS 3.72 0.20 3.72 10.09 0.45 6.36 43.19 1.00 33.10
BTJNS 3.76 0.20 3.76 10.15 0.46 6.39 47.90 1.00 37.74
Besarnya fraksi ATP adalah sama dengan nilai Mp, besarnya fraksi ATS merupakan selisih antara Ms dengan Mp dan besarnya fraksi ATT adalah merupakan selisih antara Mt dengan Ms. Besarnya kadar air kritis yang berada di bawah fraksi air terikat sekunder secara absorbsi dapat diperkirakan dengan mengetahui nilai kapasitas air terikat pada tiga daerah yaitu primer, sekunder dan tersier. Dengan cara ini maka stabilitas bahan pangan selama penyimpanan dapat diperkirakan, artinya bahwa kurva sorpsi isothermik mempunyai peranan penting untuk menentukan keawetan suatu produk pangan baik yang dipengaruhi oleh aktifitas mikroorganisme maupun reaksi kimia dan enzimatis.
4.7.4 Analisa Umur Simpan
Umur simpan merupakan selang waktu antara bahan pangan dari mulai diproduksi hingga tidak dapat diterima oleh konsumen akibat telah terjadi penyimpangan mutu. Umur simpan berhubungan dengan kadar air kritis yaitu kadar air dimana secara organoleptik produk sudah tidak dapat diterima oleh konsumen. Hubungan antara umur simpan dan kadar air kritis adalah untuk mengetahui berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kadar air kritis. Untuk bahan pangan yang bersifat higroskopis, faktor suhu dan kelembaban sangat penting. Kenaikan RH akan diikuti oleh peningkatan kadar air yang mempengaruhi mutu produk (Syarief et al. 1989).
Perubahan kadar air selama penyimpanan akan mempengaruhi mutu makanan, dengan demikian perlu diketahui pola penyerapan air dan menetapkan nilai kadar air kritis maka umur simpan dapat ditetapkan. Pada penelitian ini, penentuan umur simpan dihitung berdasarkan rumus Labuza (1982) yaitu : ⎛ Me − Mi ⎞ ln⎜ ⎟ Me − Mc ⎠ ⎝ ts = ⎛ k ⎞⎛ A ⎞⎛ Po ⎞ ⎜ ⎟⎜ ⎟⎜ ⎟ ⎝ x ⎠⎝ Ws ⎠⎝ b ⎠
dimana : ts = me mi mc k/x A Ws Po b
= = = = = = = =
Waktu yang diperlukan dalam kemasan untuk bergerak dari kadar air awal menuju kadar iar kritis atau waktu perkiraan umur simpan (hari = 24 jam). Kadar air kesetimbangan produk (% bk) Kadar air awal produk (% bk) Kadar air kritis produk (% bk) Konstanta permeabilitas uap air kemsan (g/m2.hari.mmHg) Luas permukaan kemasan (m2) Berat kering produk dalam kemasan (g) Tekanan uap jenuh (mmHg) Kemiringan kurva sorpsi isothermik (yang diasumsikan linier antara mi dan me).
Untuk menentukan umur simpan maka terlebih dahulu dibuat kurva berdasarkan kadar air kesetimbangan (% bk) dan kelembaban relatif yang digunakan.
Kurva sorpsi isothermik dibuat untuk memperoleh nilai slope
(Gambar 31-32). Kadar air awal produk biskuit tepung jagung sangrai adalah 3.68 (% bk) dan kadar air biskuit tepung jagung non sangrai adalah 3.99 (% bk). Kadar air kritis kedua produk biskuit diperoleh dengan cara mengamati perubahan fisik produk selama penyimpanan. Produk disimpan dalam desikator pada RH 91%. Produk diamati setiap hari hingga mengalami perubahan fisik dimana produk menjadi melempem setelah itu diukur kadar airnya. Kadar air kritis pada aw 0.91 yaitu 14.69 (% bk) untuk biskuit tepung jagung sangrai dan 13.59 (% bk) untuk biskuit tepung jagung non sangrai. Menurut Singh dalam de Man dan Jones (1995), makanan kering akan mengalami kenaikan kadar air dan menjadi tidak renyah bila disimpan pada RH tinggi. Hal ini disebabkan produk menyerap uap air yang berlebihan. Beberapa penelitian terdahulu melaporkan bahwa pada makanan jenis biskuit, termasuk
cookies, kerusakannya lebih sering dihubungkan dengan kerusakan tekstur. Suhu yang digunakan adalah 27oC dengan RH distribusi 85%. Kadar air kesetimbangan (Me) diperoleh berdasarkan persamaan linier dari kurva sorpsi pada RH 32-86%.
Kadar Air (% bk)
30 25
y = 0.2704x - 4.4801 R2 = 0.7484
20 15 10 5 0 0
20
40
60
80
100
Kelem bababn Relatif (%)
Gambar 31 Slope untuk umur simpan BTJS
Kadar Air (% bk)
30 25
y = 0.2757x - 4.518 R2 = 0.7724
20 15 10 5 0 0
20
40
60
80
100
Kelem baban Relatif (%)
Gambar 32 Slope untuk umur simpan BTJNS Hasil regresi linier kurva sorpsi isothermik biskuit tepung jagung sangrai menghasilkan persamaan y = 0.2704x – 4.4801 dan biskuit tepung jagung non sangrai adalah y = 0.2757x – 4.518. dari kurva sorpsi di atas, diperoleh nilai b (kemiringan kurva) adalah 0.2704 (BTJS) dan 0.2757 (BTJNS). Permeabilitas kemasan adalah laju transmisi uap air melalui suatu unit luasan dari material yang permukaanya rata dan datar sebagai akibat perbedaan tekanan uap air pada kedua sisi permukaannya. Data permeabilitas kemasan merupakan data sekunder
(Marleni, 2007) dimana nilai permeabilitas kemasan Alufo, PP dan PE masingmasing adalah 0.02, 0.185 dan 0.169 g/m2.mmHg.hr. Rasio luas kemasan dengan berat produk serta tekanan uap air jenuh pada konsisi penyimpanan adalah sebagai berikut, kemasan yang dipakai mempunyai ukuran (10 × 7 × 2) cm 2 untuk setiap 28.8 g berat kering produk. Tekanan uap air jenuh pada kondisi ruang penyimpanan suhu 30°C, RH 85% sebesar 31.82 mmHg. Dari semua komponen pendukung di atas kemudian dimasukan ke dalam persamaan Labuza (1982). Hasil perhitungan disajikan pada Tabel 24. Tabel 25 Umur simpan BTJS dan BTJNS dalam kemasan Alufo, PP dan PE pada RH 85% Parameter Me (% bk) Mi (% bk) Mc (% bk) k/x :(g/m2.mmHg.hari) alufo PP PE Ws (gr) A (m2) Po (mm.Hg) b (g.HO/g.bk) Umur simpan (bulan) alufo PP PE
RH 85% BTJS 18.50 3.68 14.69 0.02 0.19 0.17 28.8 0.01 31.82 0.27 20.7 2.2 2.4
BTJNS 18.92 3.99 13.59 0.02 0.19 0.17 28.8 0.01 31.82 0.28 15.1 1.6 1.8
Berdasarkan Tabel 25 di atas, diketahui beberapa hal penting yaitu umur simpan biskuit tepung jagung sangrai lebih lama dibandingkan dengan umur simpan tepung jagung non sangrai. Hal ini diduga berkaitan dengan kadar air produk dimana semakin rendah kadar air produk maka produk tersebut semakin awet dan tahan lama. Lamanya umur simpan produk biskuit jika dilihat dari jenis kemasan yang digunakan maka untuk kedua produk dengan menggunakan kemasan alufo memiliki umur simpan yang lebih lama dari kedua kemasan lainnya (PP dan PE). Rendahnya permeabilitas uap air kemasan alufo mengakibatkan laju transmisi air uap air ke dalam kemasan dapat dihambat. Selanjutnya, rendahnya permeabilitas kemasan dapat menjaga sifat higroskopis produk dari kerusakan mutu produk seperti tumbuhnya jamur akibat penetrasi uap air dari luar kemasan.
Perbedaan umur simpan berdasarkan pengamatan visual dengan pendugaan kisaran aw mulai terjadinya perubahan fisik produk disebabkan oleh perbedaan kadar air kritis. Kadar air kritis perubahan fisik produk 13-14 %, nilai ini berada di atas nilai kapasitas air terikat sekunder (10%) sehingga produk akan rusak setelah melewati daerah kapasitas air sekunder. Sedangkan umur simpan berdasarkan nilai Kapasitas air terikat sekunder, produk akan mengalami kerusakan setelah ada pada daerah kapasitas air terikat sekunder, dengan demikian umur simpan berdasarkan perubahan fisik produk lebih lama dari umur simpan yang didasarkan pada kapasitas air terikat sekunder akibat perbedaan kadar air kritisnya. Dalam proses pengemasan dan penyimpanan bahan pangan sering terjadi penyimpangan mutu produk. Penyimpangan mutu bahan pangan dan produk olahan adalah penyusutan kualitatif dimana bahan tersebut mengalami penurunan mutu sehingga menjadi tidak layak lagi untuk dikonsumsi manusia. Bahan pangan dikatakan rusak apabila telah mengalami perubahan cita rasa, penurunan nilai gizi atau tidak aman lagi untuk dimakan karena dapat mengganggu kesehatan. Makanan rusak adalah makanan yang sudah kadaluarsa atau melampaui masa simpan (shelf-life). Makanan kadaluarsa seringkali nampak bagus padahal telah mengalami penurunan mutu dan nilai gizi. Penyusutan terjadi bisa secara kualitatif dan kuantitatif. Penyusutan kuantitatif seperti kehilangan jumlah atau bobot hasil pertanian baik karena penanganan yang kurang baik maupun karena gangguan biologi ( proses fisiologi, serangan serangga dan tikus). Pengemasan sebagai bagian intergral dari proses produksi dan pengawetan bahan pangan dapat pula mempengaruhi mutu diantaranya (a) perubahan fisik dan kimia karena migrasi zat-zat kimia dari bahan kemas (monomer plastik, timah putih, korosi), (b) perubahan aroma (flavor), warna, tekstur yang dipengaruhi oleh perpindahan uap air dan oksigen.
4.8 Bilangan TBA (thibarbituric acid)
TBA (thibarbituric acid) merupakan diukur untuk mengetahui adanya ketengikan yang terjadi pada suatu produk pangan. Lemak yang tengik akan bereaksi dengan asam tiobarbiturat menghasilkan warna merah. Produk yang
mengandung lemak yang tinggi akan sangat cepat mengalami kerusakan. Kerusakan yang paling sering terjadi pada produk berlemak adalah ketengikan. Menurut Hasjmy et al. (1984), ketengikan hidrolitik merupakan hasil dari aktifitas mikroorganisme terhadap lemak yang kemudian terjadi hidrolisa sederhana terhadap lemak sedangkan ketengikan oksidatif disebabkan karena adanya oksigen dalam minyak yang menyebabkan oksidasi pada asam lemak. Awal reaksi terjadi melalui pembentukan radikal-radikal bebas dari asam lemak tidak jenuh yang bereaksi dengan oksigen membentuk peroksida aktif yang dapat membentuk hidroperoksida yang bersifat sangat tidak stabil dan mudah pecah menjadi rantai karbon yang lebih pendek oleh katalis. Senyawa rantai karbon lebih pendek inilah yang menyebabkan bau dan rasa tengik, yaitu asam lemak rantai pendek, alehid dan keton (Syarif et al. 1993). Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk menghindari proses ketengikan adalah melalui penentuan jenis kemasan yang memiliki permeabilitas uap air yang baik yang mampu melindungi produk pangan. Pengemasan disebut juga pembungkusan, pewadahan atau pengepakan. Dalam pertanian hal ini sangat penting. Keberadaan wadah atau pembungkus dapat membantu dalam mencegah atau mengurangi kerusakan, melindungi bahan pangan yang ada didalamnya, dimana perlindungan dibutuhkan terhadap bahaya pencemaran seperti gangguan fisik ( gesekan, benturan, getaran). Plastik tipis yang bersifat fleksibel (flexible films) ini mempunyai perbedaan dalam ketahanan terhadap asam, basa, lemak dan minyak serta pelarut organik. Plastik juga mempunyai sifat-sifat yang berbeda dalam daya tembusnya terhadap gas seperti nitrogen, oksigen, belerang dioksida dan uap air. Jenis-jenis plastik tipis fleksibel yang banyak digunakan untuk pengemasan bahan pangan adalah; cellulosa acetat, polyethylene, polypropylene, polyamides (nilon), polyester, polyvinyl chlorida, rubber hydrochlorida (pliofilm), rubber hydrochlorida (pliofilm), polyvinyl acetat, aluminium foil. Pada penelitin ini dipilih tiga jenis plastik sebagai kemasan biskuit hasil penelitian. 3 jenis plastik tersebut adalah PE (Polyethylene), PP (Polypropylene) dan alufo (Almunium foil). Alasan dipilh ketiga jenis kemasan ini adalah kerena tiga jenis plastik ini lebih umum dikenal dan digunakan masyarakat secara luas
dengan harga yang dapat dijangkau. Menurut Winarno (1997), berbagai kemasan plastik memiliki keunggulan dan kelemahan, khususnya daya permeabilitas (barrier) terhadap jenis gas dan uap air. Hasil pengukukuran nilai TBA kedua jenis biskuit tanpa kemasan dan penyimpanan (biskuit baru setelah diproduksi) adalah biskuit tepung jagung sangrai 0.20 dan biskuit tepung jagung non sangrai 0.26. Hasil analisis paired-
samples T test menunjukkan kedua nilai ini tidak berbeda nyata artinya perlakuan sangrai yang membedakan kedua jenis tepung tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai TBA. Laju pergerakan nilai TBA tiap kemasan untuk setiap minggu pengamatan untuk kedua jenis biskuit dapat dilihat juga pada Gambar 33 dan 34. Dari kedua gambar tersebut dapat dilihat bahwa BTJS dan BTJNS mengalami peningkatan pada tiap minggu pengamatan untuk setiap jenis kemasan, namun peningkatan
Nilai TBA (mmola malonaldehid/100g)
yang terlihat pada grafik tidak terlalu tinggi.
1.50 1.00 0.50 0.00 1
2
3
4
Minggu Pengamatan PE
PP
Alufo
Gambar 33 Nilai TBA BTJS tiap kemasan/minggu pengamatan
Nilai TBA (mmol malonaldehid/100 g)
1.50 1.00 0.50 0.00 1
2
3
4
Minggu Pengamatan PE
PP
Alufo
Gambar 34 Nilai TBA BTJNS tiap kemasan/minggu pengamatan Tabel 25 menyajikan nilai TBA kedua jenis biskuit untuk tiap kemasan per minggu pengamatan mengalami peningkatan setiap minggu. Untuk biskuit tepung jagung sangrai (BTJS) terlihat bahwa untuk kemasan PE dan PP mempunyai laju peningkatan nilai TBA lebih cepat dari kemasan Alufo. Hal ini terlihat dengan hasil uji statistik dimana untuk tiap minggu pengamatan berbeda nyata, sedangkan untuk kemasan Alufo agak lebih lambat laju peningkatan nilai TBA dimana minggu I,II tidak berbada nyata dan berbeda nyata pada minggu III dan IV. Tabel 26 Nilai TBA BTJS & BTJNS tiap kemasan/ minggu pengamatan Nilai TBA kemasan
Nilai TBA kemasan
Nilai TBA kemasan
PE/minggu
PP/minggu
Alufo/minggu
Sampel I
II a
BTJS
0.25
BTJNS
0.30b
0.26
III b
0.26a
0.26
IV b
0.34c
0.34
I c
0.32b
0.27
II a
0.26a
0.27
III a
0.27a
0.30
IV b
0.35b
0.43
I c
0.40c
0.25
II a
0.27a
0.24
III a
0.39b
IV b
0.42b
0.42c
0.46d
0.40
Keterangan : Angka-angka pada baris yang sama diikuti huruf berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)
Biskuit tepung jagung non sangrai (BTJNS), nilai TBA per kemasan untuk setiap minggu pengamatan (Tabel 26) menunjukkan bahwa setiap kemasan yang digunakan (PE, PP dan Alufo) memiliki laju pergerakan nilai TBA yang tinggi, hal ini dibuktikan dengan hasil uji statistik yang berbeda nyata tiap minggu pengamatan untuk setiap kemasan. Berdasarkan hasil yang diperoleh dapat
dikatakan bahwa kandungan lemak yang tinggi akan menyebabkan kerusakan lemak yang beraksi dan teroksidasi selama penyimpanan sehingga lemak akan berubah menjadi asam lemak bebas dan gliserol. Selama penyimpanan berlangsung, oksidasi tetap berjalan sesuai sifat permeabilitas kemasan terhadap oksigen walaupun permeabilitas kemasan sudah sangat kecil seperti permeabilitas kemasan alufo. Tingginya pergerakan nilai TBA setiap minggu pengamatan untuk BTJNS disebabkan oleh kandungan lemak yang tinggi (hasil paired-samples T Test kadar lemak BTJNS lebih tinggi dari BTJS) yang teroksidasi selama penyimpanan. Hal ini sejalan dengan Manullang et al. (1995) yang mengatakan bahwa jika kadar lemak semakin tinggi maka bilangan TBA akan semakin meningkat. Reaksi hidrolisis terjadi karena terdapat sejumlah air pada BTJNS. Namun bila nilai TBA kedua jenis biskuit dibandingkan dengan nilai TBA produk pangan lain sekitar 0.8 µ mol malonaldehid/100 g, biskuit hasil penelitian masih dapat diterima hingga akhir penyimpanan. Produk yang kualitasnya masih baik menurut SNI 01-23521991 memiliki nilai TBA kurang dari 3 mg malonaldehid/kg sampel. Kandungan gula yang tinggi akan mengurangi kecepatan timbulnya ketengikan, misalnya pada biskuit yang manis.
4.9 Analisis Objektif Fisik Terhadap Tekstur (Kekerasan dan Kerenyahan)
Tiap-tiap bahan makanan mempunyai sifat tekstur tersendiri tergantung keadaan fisik, ukuran serta ukuran selnya. Penilaian terhadap tekstur dapat berupa kekerasan, elastisitas atau kerenyahan. Kerenyahan merupakan kesan saat digigit yang merupakan faktor mutu biskuit, sangat dipengaruhi oleh kadar lemak dalam adonan. Lemak melapisi pati dan gluten dalam tepung dan memutuskan ikatannya. Analisis tekstur dilakukan dengan menggunakan Texture Analyzer TAXT2i. Aksesoris yang digunakan adalah probe silinder yang sesuai untuk produk biskuit. Spesifikasi probe dan setting untuk analisis kekerasan dan kerenyahan produk biskuit dapat dilihat pada Tabel 9 Bab III dari tulisan ini. Biskuit ditekan dengan probe sehingga menghasilkan suatu kurva yang menunjukkan profil tekstur biskuit. Nilai kerenyahan (gramforce) dilihat dari peak pertama yang
signifikan pada kurva. Nilai kekerasan (gramforce) dilihat dari peak maksimum pada kurva (Rosenthal, 1999). Semakin renyah suatu produk maka nilai peak yang dimiliki semakin tinggi. Profil perbedaan kerenyahan dengan kekerasan pada sampel secara umum dapat dilihat pada Gambar 9 Bab III dari tulisan ini. Nilai kekerasan biskuit tepung jagung sangrai dan biskuit tepung jagung non sangrai adalah 1385.04 gf dan 1570.75 gf. Berdasarkan hasil analisis paired-
samples T Test bahwa nilai kekerasan kedua biskuit berbeda nyata satu dengan yang lain, selanjutnya diukur nilai kerenyahan biskuit diperoleh nilai kerenyahan untuk biskuit tepung jagung sangrai adalah 651.80 gf dan biskuit tepung jagung non sangrai adalah 328.76 gf dan keduanya berbeda nyata. Kesimpulan yang dapat adalah bahwa semakin tinggi tingkat substitusi maka nilai kerenyahan akan semakin tinggi dan nilai kekerasan semakin rendah serta kadar air yang menurun. Terbukti dimana dengan kadar air yang rendah pada biskuit tepung jagung sangrai maka nilai kerenyahannya lebih tinggi dari biskuit tepung jagung non sangrai, dan nilai kekerasannya juga lebih rendah dari biskuit tepung jagung non sangrai. Menurut Collison (1968) bahwa lemak akan teradsorpsi ke permukaan granula pati, akibatnya akan menurunkann viskositas dan pengembangan pati. Dimana mekanisme penghambatannya adalah lemak akan membentuk suatu lapisan pada bagian luar granula pati dan sekaligus akan menghambat penetrasi air ke dalam granula. Penetrasi air yang lebih sedikit akan menghasilkan gelatinisasi yang makin rendah sehingga penigkatan kandungan lemak akan menurunkan kerenyahan biskuit. Matz dan Matz (1978) mengungkapkan bahwa kandungan protein yang tinggi cenderung akan menghasilkan biskuit yang lebih keras serta tekstur dan permukaan yang lebih kasar. Berdasarkan hasil pengukuran dengan menggunakan tekstur analyzer dapat dikatakan juga bahwa nilai kekerasan
berbanding terbalik dengan nilai
kerenyahan, dimana semakin rendah nilai kekerasan maka semakin tinggi nilai kerenyahan. Biskuit memiliki ciri utama berupa teksturnya yang renyah. Menurut Piazza dan Massi (1997), kerenyahan dipengaruhi oleh sejumlah air terikat pada matriks karbohidrat yang mempengaruhi pergerakan relatif dari daerah kristalin dan amorf. Menurut Adawiyah (2002), struktur amorf atau partially amorf dalam
bahan pangan terbentuk karena berbagai proses, salah satunya adalah proses pemanggangan. Kerenyahan biskuit dipengaruhi oleh komposisi utama biskuit, proses pemanggangan, dan jenis kemasan biskuit. Komponen yang berperan sebagai pembentuk struktur biskuit tepung jagung adalah tepung dan lemak. Air ditambahkan ke dalam formulasi biskuit untuk memperbaiki teksur biskuit tepung jagung. Menurut Bourne & Vickers 1976 di dalam Santoso et al. 2007 bahwa kerenyahan didefinisikan sebagai pemilikan sifat-sifat tekstural pada bahan makanan yang ditunjukan dengan kecenderungan untuk mudah pecah (to crack), bersifat rapuh dan mudah hancur. Kerenyahan merupakan kriteria mutu penting dari berbagai produk sereal atau snack. Kerenyahan produk pangan berkadar air rendah dipengaruhi oleh kandungan air dan akan hilang karena adanya plastisasi struktur fisik oleh suhu atau air. Produk sereal memiliki tekstur yang renyah dalam keadaan gelas, tetapi plastisasi akibat peningkatan kadar air atau suhu menyebabkan terjadinya perubahan material menjadi keadaan karet (rubbery) sehingga produk menjadi lembek (sogginess). Uap air akan menyebabkan plastisasi dan pelunakan terhadap pati atau protein yang mengakibatkan penurunan kerenyahan biskuit (Navarrete et
al. 2004), sehingga kadar air merupakan karakteristik kritis produk pangan kering karena menentukan tekstur (kerenyahan) produk yang mempengaruhi penerimaan konsumen terhadap produk (Brown 2000). Selanjutnya, pengujian tekstur dilakukan selama penyimpanan dengan menggunakan 3 jenis kemasan. Laju perubahan kekerasan dan kerenyahan kedua biskuit sampel dapat dilihat pada Gambar 35 - 38. Contoh gambar perubahan nilai kekerasan dan kerenyahan biskuit dapat dilihat pada Lampiran 9.
Nilai kekerasan (gf)
2500.00 2000.00 1500.00 1000.00 500.00 0.00 1
2
3
4
Minggu pengam atan PE
PP
Aluf o
Gambar 35 Perubahan nilai kekerasan BTJNS tiap kemasan/minggu pengamatan
Nilai kekerasan (gf)
1800.00 1600.00 1400.00 1200.00 1000.00 800.00 600.00 400.00 200.00 0.00 1
2
3
4
Minggu pengam atan PE
PP
Aluf o
Nilai kerenyahan (gf)
Gambar 36 Perubahan nilai kekerasan BTJS tiap kemasan/minggu pengamatan
800.00 700.00 600.00 500.00 400.00 300.00 200.00 100.00 0.00 1
2
3
4
Minggu pengam atan PE
PP
Alufo
Nilai kerenyahan (gf)
Gambar 37 Perubahan nilai kerenyahan BTJNS tiap kemasan/minggu pengamatan
500.00 400.00 300.00 200.00 100.00 0.00 1
2
3
4
Minggu pengam atan PE
PP
Alufo
Gambar 38 Perubahan nilai kerenyahan BTJS tiap kemasan/minggu pengamatan
Selama penyimpanan (30 hari), kedua biskuit mengalami penurunan kekerasan dan kerenyahan untuk setiap kemasan yang digunakan (Gambar 35 38). Hal ini terjadi karena selama penyimpanan, biskuit menyerap uap air dari lingkungan tempat penyimpanannya. Kadar air biskuit yang lebih rendah daripada kelembaban relatif (RH) lingkungan sekitarnya menyebabkan terjadinya penyerapan uap air dari lingkungan untuk mencapai keadaan setimbang antara biskuit dengan lingkungan. Hasil yang diperoleh dapat dikatakan bahwa dengan bertambahnya waktu penyimpanan maka semakin kecil gaya yang dibutuhkan untuk mendeformasi biskuit. Perbandingan nilai kekerasan dan kerenyahan tiap kemasan selama penyimpanan memperlihatkan bahwa kemasan alufo mempunyai kemampuan menyerap air yang lebih baik dari kemasan PE dan PP. Hal ini terbukti dengan nilai kekerasan dan kerenyahan yang tinggi selama penyimpanan hingga minggu keempat penyimpanan. Hal ini berhubungan dengan permeabilitas uap air kemasan dimana permeabilitas kemasan alufo adalah 0.02 g/m2.mmHg.hr dan lebih rendah dari kemasan PE dan PP. Seperti dijelaskan pada bagian umur simpan bahwa semakin rendah permeabilitas kemasan terhadap uap air maka semakin lama umur simpannya.
4.10 Sifat Birefringence
Granula pati mempunyai sifat dapat merefleksikan cahaya terpolarisasi sehingga kontras gelap terang tampak sebagai warna biru kuning (sifat
birefringence), dimana intensitas warnanya akan berkurang dan hilang secara bertahap dengan semakin tingginya tingkat gelatinisasi. Dengan demikian tingkat gelatinisasi dapat ditentukan dengan menghitung persentase sifat birefringence yang terlihat jika dengan mikroskop polarisasi. Semakin tinggi kadar air maka kehilangan sifat birefringence juga akan semakin tinggi. Proses pemanasan pati pada suhu tinggi dengan jumlah air yang terbatas, bagian amorfous dan kristal dari granula pati akan mengalami destabilisasi sebagai adanya penetrasi air dan panas ke dalam granula, akan tetapi karena jumlah air tersedia tidak mencukupi maka gelatinisasi hanya berlangsung sebagian (Muchtadi dan Budiatman 1991). Gambar 39 memperlihatkan bahwa
tidak semua pati pada kedua biskuit yang diamati mengalami gelatinisasi. Hal ini diduga terjadi karena adanya kekurangan air pada bagian tertentu (kadar air produk 3%) serta rasio pati yang rendah, dimana yang digunakan adalah tepung jagung bukan pati jagung.
a
b
Gambar 39 (a) granula pati BTJNS (b) granula pati BTJS Selanjutnya dilanjutkan penyimpanan biskuit dengan menggunakan tiga kemasan plastik selama sebulan dan diamati granula pati tiap minggu. Hasilnya dapat dilihat pada gambar-gambar di bawah ini. Gambar 40-42 memperlihatkan sifat birefringence BTJS dan BTJNS selama penyimpanan, ternyata granula pati masih mampu merefleksikan cahaya walaupun telah mengalami proses pemanggangan. Menurut Eliasson dan Gudmudsson (1996) mengungkapkan bahwa granula pati roti saat pemanggangan masih banyak yang utuh atau tidak tergelatinisasi. Ketidakmampuan granula pati untuk tergelatinisasi semua diduga karena kekurangan air dimana kadar air produk hanya 3%. Hal ini sejalan dengan apa yang dilaporkan oleh Collison dan Chilton (1974) bahwa tidak ada granula pati kentang yang rusak jika dipanaskan pada kadar air di bawah 30%.
(I)
(III)
(I)
(III)
(II)
(IV)
(II)
(IV)
Gambar 40 Granula pati BTJS (atas 1-4) & BTJNS (bawah 1-4) kemasan PE minggu I-IV
(I)
(II)
(III)
(IV)
(I)
(II)
(II)
(IV)
Gambar 41 Granula pati BTJS (atas 1-4) & BTJNS (bawah 1-4) kemasan PP minggu I-IV
(I)
(III)
(II)
(IV)
(I)
(II)
(III)
(IV)
Gambar 42 Granula pati BTJS (atas 1-4) & BTJNS (bawah 1-4) kemasan Alufo minggu I-IV
Berdasarkan Gambar 40-42 memperlihatkan produk masih mampu merefleksikan cahaya walaupun telah disimpan. Sifat birefringence akan meningkat sejalan dengan waktu penyimpanan. Faridah (2005) menyatakan bahwa granula pati bika ambon jelas intensitas sifat bifringence mulai hari ke-0 – ke-7 penyimpanan, dan terlihat jelas pada hari ke-5 penyimpanan. Hal ini dikarenakan karena hubungan paralel antara molekul-molekul amilosa yang berdekatan atau dengan bagian luar cabang amilopektin melalui ikatan hidrogen. Hubungan paralel ini membentuk kristal atau misel, terbentuknya daerah kristal yang tersusun secara radial menyebabkan granula pati mempunyai sifat
birefringence (Pomeranz dan Shellberger 1971). Sifat birefringence roti semakin jelas selama penyimpanan ( Hug-Iten et al. 2001).
4.11 Analisa Finansial Biskuit Jagung
Analisa ekonomi biskuit jagung bertujuan untuk mengetahui perkiraan seberapa besar keuntungan yang diperoleh dalam memproduksi biskuit jagung. Dengan
langkah
ini,
diharapkan
sebagai
informasi
pelengkap
untuk
memperkenalkan biskuit jagung secara luas kepada masyarakat sehingga dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai salah satu tambahan pendapatan masyarakat tersebut (Rieuwpassa, 2005). Dalam melakukan kajian finasial suatu produk pangan maka beberapa hal yang perlu di perhatikan adalah peralatan yang digunakan, tenaga kerja serta bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan produk. Tabel 26, 27 dan 28 menyajikan rincian hal-hal tersebut. Investasi peralatan bertujuan mengetahui peralatan apa saja yang dimiliki oleh pengusaha dalam hal ini UKM. Selanjutnya dilakukam analisa penyusutan peralatan sebagai total biaya pengeluaran tetap (Tabel 28). Biaya variabel (Tabel 29) merupakan rincian biaya bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan produk biskuit jagung. Total pengeluaran merupakan jumlah dari biaya pengeluaran tetap dan biaya variabel. Berikut kajian finansial biskuit jagung.
Nama Produk
: Biskuit Jagung
Jumlah Produksi
: 625 bungkus per hari
Harga Jual
: Rp. 1000,- per bungkus
Periode Produksi
: 25 hari
Pemasukan
Penjualan biskuit jagung per bulan 25 hari x 625 bungkus x Rp. 1000,- = Rp. 15.625.000,Tabel 27 Investasi peralatan Alat Mixer* Oven* Pencetak 3 x 20.000,-
Umur Teknis 5 tahun 10 tahun 3 tahun
Celemek 5 x 5000,Sarung tangan 2 x 5000,Ember/wadah plastik Loyang 5 x 10000,-
3 tahun 3 tahun
Rp. Rp.
3 tahun 3 tahun
Rp. 15.000,Rp. 50.000,-
Total Investasi
Harga Rp.1.000.000,Rp.7.000.000,Rp. 60.000,25.000,10.000,-
Rp.8.160.000,-
*diasumsikan harga mixer Rp.1.000.000,- dan harga oven Rp. 7.000.000,-
Biaya Pengeluaran Bulanan
Tabel 28 Biaya tetap No. 1
2 3 4
Jenis Biaya Rincian Penyusutan peralatan** Penyusutan mixer Rp. 16.667,Penyusutan oven Rp. 58.333,Penyusutan peralatan lain Rp. 4.444,Akumulasi penyusutan peralan Sewa tempat Rp.5.000.000,-/tahun Tenaga kerja (5 orang x Rp.500.000,-) Listrik dan telepon Total Biaya Pengeluaran Tetap
** Perhitungan penyusutan peralatan adalah harga/umur tehnis/12
Harga
Rp. 79.444,Rp. 419.670,Rp. 2.500.000,Rp. 500.000,Rp. 3.496.114,-
Tabel 29 Biaya variabel No
Nama Bahan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Jumlah kebutuhan dalam 1 hari 4 kg 1 kg 2.5 kg 2.5 kg 750 g 500 g 1000 g 43 g 29.24 g 26 g
Jumlah kebutuhan dalam 1 bulan 100 kg 25 kg 62.5 kg 62.5 kg 18.8 kg 12.5 kg 2.5 kg 1.08 kg 731 g 650 g
Tepung jagung Tepung terigu Margarin Gula Susu skim Telur Air CMC Sodium bikarbonat Amonium bikarbonat Pembungkus 11 (Packaging) 625 bks 15625 Total Biaya Variabel Total Pengeluaran = Biaya tetap + biaya variabel
Harga satuan (Rp)
Harga (Rp)
2000 12000 20000 5000 50000 12000 2500 14000 10000 12000
200000 375000 1250000 625000 950000 150000 6250 15120 10000 12000
200
3125000 6330870 9826984
Keuntungan
Pemasukan
=
Rp. 15.625.000,-
Pengeluaran Keuntungan Per Bulan
=
Rp. 9.826.984,Rp. 5.798.016,-
=
Tabel studi sensivitas (Tabel 30) disajikan untuk menunjukkan perubahan keuntungan jika beberapa faktor mengalami perubahan. Berdasarkan tabel sensivitas dapat dilihat bahwa penurunan harga yang relatif kecil (Rp.200,- atau 20%) menyebabkan terjadi penurunan keuntungan yang relatif besar yaitu 53%. Dengan demikian harga harus diusahakan untuk tetap stabil. Peningkatan jumlah produksi akan menaikan keuntungan sebesar 24%. Hal ini dapat terjadi apabila faktor-faktor seperti tenaga kerja dan kapasitas alat masih mencukupi kebutuhan . Perubahan komponen biaya variabel (harga telur dan susu skim) menyebabkan penurunan keuntungan. Harga telur naik 31% akan menurunkan keuntungan sebesar 1.15% sedangkan harga susu skim naik 34% akan menurunkan keuntungan sebesar 8%. Hal ini berarti bahwa produk biskuit jagung
sangat sensitif terhadap perubahan harga dan jumlah produksi serta perubahan beberapa komponen biaya. Tabel 30 Studi sensivitas Kasus
Faktor
Keterangan
0 1
Basis Harga
2
Produksi Produksi naik 10 % menjadi 700 bks Telur Harga telur naik 31% (Rp.12.000,-menjadi Rp.17.500,-) Susu Harga susu skim naik 34% skim (Rp.50.000,- menjadi Rp.75.000,-)
3 4
Keuntungan Rp.
Harga turun menjadi Rp.800,-
+/- %
5.798.016,-
Rp. 2.285.516,-
-53%
Rp. 7.285.516,-
+ 24%
Rp. 5.341.766,-
-1.15%
Rp. 4.935.516,-
-8%
Harga jual produk didasarkan pada harga pokok produk. Harga pokok produk dapat dihitung dari total pengeluaran dibagi jumlah produk yang dihasilkan, sehingga harga pokok produk biskuit jagung per bungkus adalah Rp. 684.13,-. Dengan demikian maka harga jual produk adalah Rp.1000,- dengan keuntungan Rp.315.87,-.
Break Event Point (BEP) atau titik impas dapat dihitung dari total pengeluaran dibagi dengan harga jual produk dalam 25 hari, sehingga BEP produk biskuit jagung adalah 409 bungkus per hari atau sebesar 34% dari jumlah produksi. Hal ini berarti UKM harus dapat menjual produk biskuit jagung sebanyak 34% per hari agar tidak merugi. Perhitungan Return of Investment (Rol) dilakukan dengan membagi jumlah investasi dengan keuntungan per bulan. Berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan Rol untuk produk biskuit jagung adalah 1.5 bulan. Hal ini berarti untuk mendapatkan kembali investasi yang telah dikeluarkan adalah selama 1.5 bulan.
5. SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan
1. Tepung jagung sangrai dan non sangrai yang dibuat dengan metode kering menghasilkan nilai yang tidak berbeda nyata untuk semua parameter analisis fisik seperti : rendemen, densitas kamba, indeks penyerapan air dan warna. Sifat amilografi meliputi suhu awal gelatinisasi, suhu puncak gelatinisasi dan viskositas puncak tepung jagung sangrai
lebih tinggi dengan waktu yang
singkat dibandingkan tepung jagung non sangrai. 2. Hasil analisis kimia tepung jagung sangrai dan non sangrai untuk parameter kadar abu, kadar protein, kadar karbohidrat dan serat kasar tidak berbeda nyata (sample-paired T Test), sedangkan kadar air (tepung jagung sangrai 10.68% bk, tepung jagung non sangrai 13.35% bk), kadar lemak (tepung jagung sangrai 3.44 % bk, tepung jagung non sangrai 2.37% bk). 3. Biskuit yang disubstitusi dengan tepung jagung sebesar 80% masih dapat diterima oleh panelis. Formula 4 merupakan formula terbaik dengan komposisi yaitu tepung jagung 80g, tepung terigu 20g, margarin 50g, gula 50g, kuning telur 10g, air 20 g serta bahan pengembang. 4. Karakteristik kimia BTJS dan BTJNS berbeda nyata untuk beberapa parameter sebagai berikut : biskuit tepung jagung sangrai, kadar lemak 22.53% bk, kadar karbohidrat 69.43% bk, daya cerna protein 87.09% bk. Biskuit tepung jagung non sangrai kadar lemak 21.47% bk, kadar karbohidrat 67.66% bk, daya cerna protein 81.14% bk. 5. Umur simpan produk pada RH penyimpanan 85% adalah biskuit tepung jagung sangrai kemasan alufo 20.7 bln, kemasan PP 2.2 bln, kemasan PE 2.4 bln. Biskuit tepung jagung non sangrai kemasan alufo 15.1 bln, kemasan PP 1.6 bln dan kemasan PE 1.8 bln.
5.2 Saran
1. Perlu dilakukan kajian metode pembuatan tepung jagung agar dapat meningkatan rendemen tepung jagung. 2. Formulasi lanjutan dengan menambahkan air dan telur perlu dilakukan untuk penggunaan 100% tepung jagung dalam pembuatan biskuit jagung. 3. Peluang pengembangan produk tepung jagung yang tinggi perlu diimbangi dengan ketersediaan tepung jagung yang tinggi juga ditingkat kelompok petani atau di pasar.
DAFTAR PUSTAKA Adawiyah DR. 2002. Efek Transisi Gelas terhadap Tekstur Bahan Pangan. Makalah Falsafah Sains. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. http://tumoutou.net/3_semi_012/dede_adawiyah.htm [2 Nopember 2007]. Adawiyah DR. 2006. Efek Hubungan Sorpsi Air, Suhu Transisi Gelas dan Mobilitas Air serta Pengaruhnya Terhadap Stabilitas Produk pada Model Pangan. Disertasi. Program Pasca Sarjana, IPB. Bogor. Adisarwanto T, YE Widyastuti. 1999. Meningkatkan Produksi Jagung di Lahan Kering, Sawah dan Pasang Surut. Penebar Swadaya. Jakarta. Aguilera JM, DW Stanley. 1999. Microstructural Prinsiples Food Processing and Enggineering. Second ed. An Aspen Publ, Inc. Gaithersburg. Maryland. Ahza AB. 1983. Subtitusi Parsial Tepung Gandunm (Triticum aestivum L.) dengan Tepung Sorghum ( Sorghum bicolor(L.) Moench) dan Tepung Kacang Tunggak (Vigna unguiculata (L.) Walp) pada pembuatan Roti. Tesis. Fakultas Pascasarjana IPB. Bogor. Almatsier S. 2002. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Almond N. 1989. Biscuits, Cookies and Crackers. London: New York. Apllied Science Publishers. Anni Faridah. 2005. Kajian Fenomena dan Penghambatan Retrogradasi Bika Ambon. Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Anwar F. 1990. Mempelajari Sifat Fisik, Organoleptik dan Nilai Gizi Protein Makanan Bayi dari Campuran Tepung Beras Konsentrat Protein Jagung dan Tepung Tempe [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, IPB AOAC. Association of Official Analytical Chemists. 1999. Official Methods of Analysis of Association of Official Analytical Chemists. Association of Official Analitical Chemist. Washington DC. USA AOAC. 1995. Official Method of Analysis of The Associates Analytical Chemistry, Inc., Washington D.C AOAC. 1984. Official Method of Analysis of The Associates of Official Chemist, 14th ed. AOAC, Inc. Arlington, Virginia. Apriyantono A., Fardiaz D., Puspitasari, NL, Yasni S., Budijanto S. 1989. Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Arpah M. 2003. Tehnik Desain dan Model Industri Pangan. Departemen Teknologi Pangan dan Gizi. IPB. Bogor. Arpah M. 2001. Buku dan Monograf Penentuan Kadaluarsa Produk Pangan. Program Study Ilmu Pangan. Program Pascasarjana. IPB. Bogor. Arpah M. 1998. Perbandingan Beberapa Model ASS (Accelerated Storage Studies) Dari Hukum Difusi Fick Unidireksional: Penerapan pada Penentuan Umur Simpan Biskuit. Tesis Magister Sains. Program Pasca Sarjana IPB. Bogor. Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia. 2006. Harga Gandum Mencapai Angka Tertinggi dalam 4 Tahun. www.bogasari.com. [18 Mei 2006]. Astawan M. 1999. Membuat Mi dan Bihun. Jakarta: Penebar Swadaya. Badan Standarisasi Nasional. 1995. Standar Nasional Indonesia. SNI 01-37271995. Tepung jagung. Badan Standarisasi Nasional Indonesia. Jakarta BeMiller JN, Whisler and EF Paschall. 1995. Starch : Chemistry and Technology. Eds. Academic Press. Orlando. San Diego. New York. Toronto. London. Berger J. 1962. Maize Production and The Marning of Maize. Centre d’etude de L’Azote. Genewa Beynun Van GMA dan JA Roels. 1985. Carbohydrates. Starch Conversition Technology. Marcel Dekker, Inc. New York. Billiaderis CG. 1992. Structure and Phase Transition of Starch in Food System. Food Technol. 46:98-102 Bischof JC, WF Wolkers, NM Tsuetkova, AE Oliver, JH Crowe. 2002. Lipid and Protein Changes Due To Freezing In Dunning AT-1 Cells. J Cryobiol 45:22-32. [BPPIS] Badan Penelitian Pengembangan Industri Surabaya 1989. Pembuatan Prototipe Alat Uji Derajat Putih tepung Tapioka. Surabaya Brooker OB, FW Bekker – Arkema & CW Hall. 1974. Drying Cereal Grains. The AVI Publ. Company. Inc. Westport. Connectitut. Brown A. 2000. Understanding Food: Principles and Preparation. Wadsworth Inc., Belmon.
Buckle KA, RA Edwards, GH Fleet & M Wootton. 1985. Ilmu Pangan. Penterjemah H. Purnomo dan Adiono. Universitas Indonesia Press. Jakarta. Campell MR, TG Berke & V Glover. 1996. Variation of Starch Granule Size in Tropical Maize Germ Plasm. Cereal Chemistry. 73 (5) : 536-643 Catala R, Rafael G. 2000. High Barrier Polymers for The Design of Food Packages in Food Engeneering. Chapman and Hell. Cecil JE, Lau G, Heng SH, Ku CK. 1982. The Sago Starch Industry : A Technical Profile Based on A Prelimentary Study Made in Serawak. Tropical Produk Institut, Overseas Development Administartion, London. Collison R. 1968. Swelling & Gelation Starch. Didalam Radely JA. Starch and Its Derivatives. London : Chapman and Hall Ltd. Collison WG, Chilton R. 1974. Hydration And Gelation Of Modified Potato Starches. J Food Technol. 9:87. de Man JM. 1997. Kimia Makanan. Edisi kedua. Diterjemahkan oleh Kosasih Padmawinata. Bandung : Penerbit ITB. Desrosier NW. 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. Jakarta: Universitas Indonesia (UI Press) Dewan Standarisasi Nasional 1992. SNI No. 01-2973-1992. Mutu dan Cara Uji biskuit. Dewan Standarisasi Nasional 1995. SNI No. 01-3727-1995. Tepung Jagung. [DEPTAN] Departemen Pertanian. 2002. http://ww.deptan.go.id/prod/statistik.html.
Produksi
Jagung.
Effendi S & Sulistiati. 1991. Bercocok Tanam Jagung. CV. Yasaguna, Jakarta Eliasson AC, Gudmundsson M. 1996. Physicochemical and fungsional aspect. Didalam AC Eliasson (Ed). Carbohydrates in Food. New York: Marcel Dekker Inc. Hlm 431-503. Fardiaz D. 1989. Hidrokoloid. Buku dan Monograf. Bogor: PAU. Bogor. Faridi, H. dan Faubion, J.M. 1990. Dough Rheology and Baked Product Texture. An AVI Book, New York. Fauzia I. 2000. Uji Performasi dan Analisis Keseimbangan Panas Pda Bangunan Pengering Tipe Efek Rumah Kaca Untuk Pengering Emping Jagung. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Borog
Fennema OR.1985. Food Chemistry. Marcel Dekker Inc. New York. Basel Fellows PJ. 2000. Food Processing Technology, Principle and Practice 2nd Ed.. CRC Press, England. Fitriani Dewi. 2004. Kajian Pengembangan Produk, Mikrostruktur dan Analisis Daya Simpan Mie Jagung Instant. Tesis. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Floyd CD, LW Rooney, AJ Bockholt. 1995. Measuring Desirable and Undesirable Color In White and Yellow Food Corn. Cereal Chem 72 (5):488-490. French D. 1984. Organization of Starch Granules. Di dalam : Whistler R.L, Bemiller J.N, Paschall E.F, Editor. Starch : Chemistry and Technology. New York : Academic Press. Hml 184-242. Furia TE. 1968. Handbook of Food Additives. Florida: CRC Press Inc. Gelinas P, CM McKinnon. 2004. Effect Of Flour Heating On Dough Rheology. Lebensm-Wiss. U.-Technol. 37:129-131 Ghaman PM, KB Sherington. 1992. Ilmu Pangan: Pengantar Ilmu Pangan, Nutrisi dan Mikrobiologi. Ed 2. M Gardjito, S Naruki, A. Murdiati, Sarjono (Penerjemah)Yogyakarta: Gadjah Mada Univ Pr. Gilang GFSP. 2008. Paket Teknologi Untuk Memproduksi Mi Jagung Dengan Bahan Baku Tepung Jagung. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Gnanasekharan V & DF Jhon. 1993. Shelf Life Prediction of Packaged Foods. In : Shelf Life Studies of Food and Beverages. G. Charalambous (ed) Elsevier. New York. Gomez MH, Aguilera, JM. 1983. Changes in the starch fraction during extrusion cooking of corn. Journal of Food Science. 48(2): 378-381. Greenwood CT. 1979. Observation On The Structurs Of The Starch Granules In JMV Blanshard and JR Mitchel. Polisacharides In Food Butter Worths. London. Gujska E, K Khan. 1991. Feed Moisture Effect On Functional Properties, Trypisn Inhibitor And Hemmagglutinating Active Of Extruded Bean High Starch Friction. Journal Food Science 56:443-447. Hall CW. 1980. Drying & Storage of Agricultural. The AVI Publ. Company. Westport. Connecticut.
Harris RS, RS Karmas. 1989. Evaluasi Nilai Gizi pada Pengolahan Bahan Pangan. Penerbit ITB. Bandung. Hart H. 1983. Kimia Organik, Jakarta Haryadi P. 1984. Mempelajari Kinetika Gelatinisasi Pati Sagu (Metroxylon sp). Skripsi. Faklutas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Hasjmy AD, LA Sofyan, L Aboenawan. 1984. Pengaruh Lama Penyimpanan Bahan Makanan Ternak Dalam Beberapa Macam Pembungkus Terhadap Derajat Ketengikan dan Kandungan Alfatoksin. Bogor: Laporan Penelitian Heldman SM and RP Singh. 1981. Food Process Engineering. The AVI Publ. Company Incorporation, Westport, Connecticut. USA. Hidayat Beni, Adil Basuki Ahza, Sugiyono. Karakterisasi Tepung Ubi Jalar (Ipomea batatas L.) Varietas Shiroyutaka Serta Kajian Potensi Penggunaanya Sebagai Sumber Pangan Karbohidrat Alternatif. Jurnal. Teknol. Dan Industri Pangan, Vol.XVIII No. 1 Th. 2007. Hine DJ. 1987. Shelf Life Prediction. In : Modern Processing Packaging and Distribution System for Food. Blackie. London. Hodge JE, Osman EM. 1976. Carbohydrates. Di dalam Fennema O.R. Principles of Food Science. New York: Marcel Dekker Inc. Hoseney RC. 1988. Principle of Cereal Science and Technology. Minnesota: American Association of Cereal Chemist, Inc. Hubeis M. 1984. Pengantar Pengolahan Tepung dan Serealia dan Biji-bijian. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor. Hug-Iten S, Escher F, Conde-Petit B. 2001. Structure Properties of Strach In Bread and Bread Model System : Influence of an Antistaling α-amilase. J. Cereal Chem. 78 : 421. Inglet GE. 1970. Corn : Culture, Processing, Product. The AVI Publ. Co. Inc., Connecticut. Johnson LA. 1991. Corn : Production, Processing And Utilization. The AVI Publishing Company, Westport, Connecticut. Juniawati. 2003. Optimasi Proses Pengolahan Mie Jagung Instan Berdasarkan Preferensi Konsumen. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Khalil. 1999b. Pengaruh Kandungan Air dan Ukuran Partikel Terhadap Perubahan Perilaku Fisik Bahan Pakan Lokal: Kerapatan Tumpukan, Kerapatan Pemadatan, dan Berat Jenis. Jurnal Media Peternakan. 22(1): 1-11 Krieger Irvin M, MV Taranto. 1983. Baked Goods dalam Physical Properties of Food. The AVI Publishing Company, Inc. Westport-Connecticut. Kulp K. 1975. Carbohydrate. Didalam G Reed (Ed). Enzymes in Food Processing. Academic Press. New York. Kuprianof J. 1985. Bound Water in Fundamental Aspect of Dehidration of Food Stuff Soc. Am. Indtr. 14. Labuza TP. 1984. Moisture Sorption: Practical Aspect of Isotherm Measurement and Use. Paul Minnesotta: Am Asoc Cer Chem. . 1982. Shelf Life Dating of Foods. Food and Nutrition Press Inc. Westport. Connecticut. USA. .1968. Sorption Phenomena in Foods. Food Technol 22 (3) : 263-272. Maize From Wikipedia, the free encyclopedia. www.wikipedia.com. [15 February 2007] Manley DEJR. 1983. Technology of Biscuit, Crackers and Cookies. Ellies Horwood Limited, London. Manullang M, Vivin Y. 1995. Ekstraksi Dan Analisis Polisakarida Buah Sukun (Artocarpus altilis). Bul. Tek dan Industri Pangan. Vol VI No 3, Tahun 1994. Matz SA. 1972. Bakery Technology and Engineering. The AVI Publishing Co. Inc., Westport, Connecticut. Matz SA. 1978. Cookie & Cracker Technology. AVI Publishing Co. Inc., Westport, Connecticut. Matz & Matz, TD. 1978. Cookie and Cracker Technology. AVI. Co. Inc., Westport. Meilgaard M, Civille GV dan Carr BT. 1999. Sensory Evaluation Techniques. 3rd Ed. CRC Press, New York. Mucthadi, TR. Budiatman. 1991. Teknologi Pangan Lanjut. Lab. Rekayasa Proses Pangan. PAU. IPB. Bogor. Muchtadi TR, Sugiyono. 1992. Petunjuk Laboratorium Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. PAU Pangan dan Gizi. IPB. Bogor.
Muhtadi D, Palupi NS & Astawan M. 1992. Metoda Kimia Biokimia dan Biologi dalam Evaluasi Nilai Gizi Pangan Olahan. Bogor: PAU Pangan dan Gizi IPB. Muchtadi D, Sugiyono. 1989. Teknologi Proses Pengolahan Pangan. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor Muharam S. 1992. Studi Karakteristik Fisiko Kimia dan Fungsional Tepung Singkong (Menihot esculenta Crantz) dengan Modifikasi Pengukusan, Penyngraian, dan Penambahan GMS serta Aplikasinya dalam Pembuatan Roti Tawar [skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Napitupulu A. 2006. Kajian Pemanfaatan Tepung Sorgum dalam Pembuatan Biskuit Marie. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Navarette, N., Moraga, G., Talens, P., Chiratlt, A.. 2004. Water Sorption The Effect Plasticization In Wafers. Journal Food Science and Technology. 39: 555-562. Ngantung Martina. 2003. Pengaruh Penambahan Tepung Kedelei pada Tepung Terigu Terhadap Nilai Gizi Mie Basah Yang Dihasilkan. J. Sains & Teknologi, Desember 2003. Vol.3 No.3:110-118 Omobuwajo TO. 2003. Compositional Characteristics and Sensory Quality Of Biscuit, Prawn Crackers and Fried Chips Produced From Breadfruit. I.Food Sci & Emerging Tech. 4 (219-225) Osman EM. 1972. Starch and other polysacharides. Di dalam Paul R.J, Palmer H. Food Theory and Application. New York: Jho Willey and Sons Inc. Panggabean KDM. 2004. Pengembangan Produk Jagung Instan. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Parker R. 2003. Introduction to Food Science. Delmar. Thomson Learning. United States of America Peckman GC. 1969. Food Preparation. 2nd ed. The Mac Millan Company. London. Piazza L, Massi P. 1997. Development of crispiness in cooking during baking in an industrial oven. Cereal Chemistry. 74(2): 135-140. Pomeranz Y, JA Shellenberger. 1971. Bread Science And Technology. AVI Publishing Company. Potter N. 1973. Food Science. The AVI Publishing Company, Inc. WestportConnecticut.
Purnomo H. 1995. Aktivitas Air dan Peranannya dalam Pengawetan Pangan. UIPress. Jakarta. Rieuwpassa Fredrik. 2005. Biskuit Konsentrat Protein Ikan Dan Probiotik Sebagai Makanan Tambahan Untuk Meningkatkan Antibodi IgA Dan Status Gizi Anak Balita. Disertasi. Program Pasca Sarjana, IPB. Bogor. Rimbawan, A Siagian. 2004. Indeks Glikemik Pangan, Cara Mudah Memilih Pangan yang Menyehatkan. Penebar Swadaya. Jakarta. Ristianti. 2003. Pembuatan Tepung Rumput Laut (Eucheuma cotonii) sebagai Sumber Iodium dan Dietary Fiber. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Bogor. Riyani. 2007. Teknologi Produksi Dan Karakteristik Tepung Jagung Varitas Unggul Nasional. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Rizvi SSH. 1995. Thermodynamis Properties of Food In Dehydration in Engineering Properties of Foods. Marcel Dekker. Inc. New York. Basel Robertson GL. 1993. Food Packaging. Marcel Dekker In. New York. Basel Roberts GL. 1999. Foods Packaging Principles and Practise. Marcel Dekker. Inc. New York. Rukmana R. 1997. Usaha Tani Jagung. Yogyakarta : Kanisius. Russel PL.1987. The Agening of Gels From Starches of Differentian Scanning Calorymetry. J Cereal Sci. 6:147-158. Sajilata MG, RS Singhal, dan PR Kulkarni. 2006. Resistant starch-a review. Comprehemsive Reviews in Food Science and Food Safety. Vol. 5. Santoso Umar, Triastati Murdaningsih dan Rob Mudjisihono. Produk Ekstrusi Tepung Ubi Jalar. Jurnal. Teknol. Dan Industri Pangan, Vol.XVIII No. 1 Th. 2007. Sayar S, JL Jannink, dan PJ White. In Vitro Bile Acid Binding of Flours From Oat Lianes Varying in Percentage and Molecular Weight Distribution of βGlucan. J. of Agric. And Food Chemistry. 53 : 8797 – 8803. Sayekti RBW. 1999. Karakterisasi Sifat Fisik Berbagai Varietas Jagung (Zea mays L). Skripsi Jurusan Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak. Fakultas Peternakan. IPB. Bogor. Sediaoetama AD. 2006. Ilmu Gizi: untuk Mahasiswa dan Profesi, Jilid I. Jakarta: Dian Rakyat.
Singh Jaspreet, Narpinder Singh, TR Sharma, SK Saxena. 2003. Physicochemical, Rheological And Cookie Making Properties Of Corn And Potato Flours. Journal Food Chemistry 83:387-393. Soebito, S. 1988. Analisis Farmasi. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Soekarto ST. 1978. Pengukuran Air Ikatan & Peranannya pada Pengawetan Pangan. Bul. Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia. 3:4-18 . 1985. Metode Penelitian Organoleptik. Bhatara Karya Aksara. Jakarta Soenaryo E. 1985. Pengolahan Produk Serealian & Biji-bijian. Teknologi Pangan & Gizi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor. Soeprapto HS. 1998. Jagung. Penebar Swadaya. Jakarta Soeprapto HS, HAR Marzuki. 2005. Bertanam Jagung. Jakarta. Penebar Swadaya Sudarmadji SB, Haryono dan Suhardi. 1996. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Penerbit Liberty. Yogyakarta Sugiyono (Editor). Teknologi Tepung dan Pati. Depatemen Teknologi Pangan dan Gizi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor. Sukarni M, Kusno SR. 1980. Metode Penilaian. Citarasa II. Bogor: Fakultas Pertanian, Departemen Ilmu Kesejahteraan Keluarga, IPB. Sulaeman A, Anwar F, Rimbawan dan Marliyati SA. 1995. Metode Penetapan Zat Gizi. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Fakultas Pertanian, IPB. Sultan WJ. 1983. Practical Baking. The AVI Publishing Company, Inc. Westport, Connecticut. Sumadi SH, M Rasyid. 2002. Bertanam Jagung. Jakarta. Penebar Swadaya. Suprapto HS & M Rasyid. 2002. Bertanam Jagung. Penerbit Swadaya Jakarta. Syarief R & H Halid.1992. Teknologi Penyimpanan Pangan. Penerbit Arcan. Jakarta. Syarief R, Santausa S & Isyana BS.1989. Teknologi Pengemasan Pangan. Laboratorium Rekayasa Proses Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, IPB. Bogor.
Swinkless JJM. 1985. Sources of Starch , its Chemistry and Physics. Di dalam: Beynum GMA Van, Roels J.A, editor. Starch Conversion Technology. New York: Marcel Dekker, Inc Tharanathan RN & S Mahadevama. 2003. Grain Legumes a Boon To Human Nutrition. Trend In Food Science and Technology. Vol. 14 (12) : 507-518. Trautwein EA, A Kunath-Rau, dan HF Erbersdobler. 1999. Increased fecal bile acid excretion and changes in the circulating bile acid pool are involved in the hypocholesterolemic and gallstone preventive action of psyllium in hamsters. J of Nutrition. 129 (4) : 896 – 902 US Wheat Associates. 1981. Pedoman Pembuatan Roti dan Kue. Djambatan. Jakarta Vail GE, JA Phillips, LD Rust, RM Griswold and M Justin. 1978. Foods. Houghton Miffin Company. Boston. Van Den Berg C & S Bruin. 1981. Water Activity and Its Estimation in Food Syatem. Theoritical Aspects. Academy Press, New York. Di dalam : Food Analysis 3rd Edition. S. Suzane Nielsen. Klumer Academic Plenum Publishier, New York. Vierra ER.1997. Elementery Food Science 4th Edition. Departement of Food Science, Nutrition and Culinary Arts Essay Agriculture on Technical Institut Hathirne, Massachussets. Winarno FG. 1980. Kimia Pangan. PUSBANGTEPA – Food Tecnology Development Center, IPB, Bogor. Winarno FG dan Jenie SLB. 1983. Kerusakan Bahan Pangan. PT. Gramedia. Jakarta. Winarno FG. 1992. Kimia Pangan & Gizi. PT Gramedia, Jakarta Whiteley PR. 1971. Biscuit Manufacture. Applied Science Publishing, Ltd. London. Wirakartakusumah et al., 1984. Studi tentang Ekstraksi, Sifat-Sifat Fisiko Kimia Pati. Sagu dan Pengkajian Enzima. Laporan Penelitian. IPB, Bogor. Wong Dominic WS. 1989. Mechanism And Theory In Food Chemistry. The AVI Published by Van Nonstran Reinhold. New York. Wuzburg OB. 1989. Modified Starches: Properties and Uses. Handbook of Food Aditives The Chemical Rubber. Ohio: Cleveland.
Yu Z, KP Johnston, RO William III. 2006. Srpray Freezing Into Liquid Versus Spray-Freeze Drying : Influence at Atomization On Protein Agregarion And Biological Activity. Eur J Of Pharm Sci 27:9-28. Zobel HF. 1984. Gelatinization of Starch and Mechanical Properties of Starch Paste in Starch Chemistry and Technology Ed. By R.L. Wistier. J.N. Berniller., E.F. Paschall. Academis Press. Orlando.
Lampiran 1 Kuesioner penilaian organoleptik Nama Panelis Umur Panelis Jenis Produk Tanggal Penilaian Instruksi
Penilaian
: : : Biskuit Jagung : Kamis, 6 September 2007 : 1. Panelis diminta untuk memberikan penilaian anda terhadap ke-4 macam sampel biskuit jagung yang ada sesuai dengan tingkat kesukaan anda. Tidak membandingkan antar sampel. 2. Isilah nilai tingkat kesukaan anda pada kolom yang disediakan. 3. Panelis diminta untuk meminum air sebelum & sesudah mencicipi tiap sampel. :1–7
Penampakan 7 = sgt menarik 6 = menarik 5 = agk menarik 4 = biasa 3 = agk tdk menarik 2 = tidak menarik 1 = sgt tdk menarik Rasa 7 = sgt enak 6 = enak 5 = agk enak 4 = biasa 3 = agk tdk enak 2 = tidak enak 1 = sgt tdk enak
Aroma 7 = sgt harum 6 = harum 5 = agk harum 4 = biasa 3 = agk tdk harum 2 = tidak harum 1 = sgt tdk harum Warna 7 = coklat 6 = kuning kecoklatan 5 = kuning 4 = agk kekuningan 3 = agk gosong 2 = gosong 1 = sgt gosong
Kolom Penilaian Parameter
384 Penampakan Warna Rasa Aroma Tekstur Overall Saran :
Kode sampel 558 815
Tekstur 7 = sgt renyah 6 = renyah 5 = agk renyah 4 = biasa 3 = agk tdk renyah 2 = tdk renyah 1 = sgt tdk renyah Overall 7 = sangat suka 6 = suka 5 = agak suka 4 = netral 3 = agak tdk suka 2 = tidak suka 1 = sgt tdk suka
648
Lampiran 2. Data uji organoleptik 1. PENAMPAKAN Panelis
Sampel 558
648
384
1
5
4
6
7
2
6
6
5
6
3
4
4
4
4
4
6
6
6
6
5
6
4
6
5
6
3
6
3
6
7
6
6
6
6
8
6
6
6
6
9
6
6
6
6
10
6
5
6
6
11
6
6
6
6
12
6
6
6
7
13
6
5
6
4
14
4
4
3
4
15
6
5
5
5
16
7
5
6
6
17
5
6
3
2
18
6
5
6
6
19
5
6
6
6
20
6
6
5
6
21
5
3
6
5
22
6
2
6
5
23
6
5
7
4
24
4
6
4
6
25
5
3
3
5
26
6
4
4
5
27
6
6
4
6
28
6
5
4
5
29
7
7
6
7
30
4
2
4
2
jumlah
rerata
815
166
150
154
160
5.533333
5
5.133333
5.333333
2. AROMA Panelis
Sampel 558
648
384
1
5
3
4
6
2
5
6
4
7
3
5
6
3
6
4
5
6
5
6
5
5
6
5
6
6
7
6
7
5
7
4
5
5
4
8
4
6
3
5
9
5
6
6
6
10
6
6
6
6
11
5
5
6
6
12
6
5
5
5
13
4
6
4
6
14
3
5
3
4
15
4
6
4
6
16
5
7
6
6
17
3
6
3
4
18
6
6
5
5
19
5
6
2
3
20
6
6
6
6
21
5
5
5
5
22
4
5
4
6
23
5
6
6
5
24
4
6
6
6
25
6
7
6
7
26
5
5
5
5
27
5
5
4
5
28
6
4
5
6
29
6
6
6
6
30
6
6
6
6
jumlah
rerata
815
150
169
145
165
5
5.633333
4.833333
5.5
3. TEKSTUR Panelis
Sampel 558
648
384
815
1
7
4
6
5
2
5
6
3
6
3
5
6
5
6
4
5
6
5
6
5
5
7
5
7
6
3
7
3
5
7
4
7
5
7
8
5
6
3
5
9
6
6
5
7
10
5
6
5
6
11
5
6
5
6
12
3
6
3
6
13
4
6
4
6
14
3
4
2
5
15
6
7
3
6
16
5
6
6
6
17
5
6
5
5
18
5
6
4
7
19
4
7
4
7
20
5
6
5
6
21
5
6
6
6
22
3
6
5
7
23
4
6
4
6
24
3
6
3
6
25
5
6
7
7
26
3
7
2
6
27
5
6
3
7
28
5
6
5
6
29
5
7
6
7
30
5
7
4
7
jumlah
138
184
131
185
rerata
4.6
6.133333
4.366667
6.166667
4. WARNA Panelis 648
Sampel 384 558
815
1
6
4
7
4
2
6
6
6
5
3
5
6
5
5
4
5
6
6
5
5
6
7
6
6
6
4
7
6
6
7
5
6
6
5
8
4
6
5
6
9
5
6
6
6
10
5
6
5
6
11
4
6
5
5
12
5
6
6
5
13
6
6
6
6
14
5
6
5
5
15
6
7
6
6
16
5
6
5
5
17
5
5
5
5
18
6
6
6
5
19
5
6
6
6
20
5
6
5
5
21
4
3
5
6
22
5
3
6
6
23
5
3
5
5
24
6
6
5
6
25
6
3
6
5
26
5
6
5
5
27
5
6
3
6
28
5
6
6
6
29
6
6
6
6
30
5
6
5
5
jumlah
rerata
155
168
165
163
5.166667
5.6
5.5
5.433333
5. RASA Panelis 648
Sampel 384 558
815
1
6
7
4
5
2
5
6
5
5
3
3
6
2
5
4
4
6
4
5
5
5
7
6
6
6
4
6
4
7
7
5
7
6
6
8
5
6
3
6
9
2
6
2
6
10
4
6
4
6
11
6
6
6
6
12
4
6
3
5
13
5
6
5
6
14
6
6
3
6
15
5
7
4
6
16
6
6
6
6
17
4
6
4
6
18
6
7
5
7
19
4
6
4
6
20
5
6
5
6
21
4
5
4
4
22
3
5
4
7
23
4
5
4
5
24
2
7
3
6
25
3
7
4
6
26
4
6
3
6
27
4
6
5
6
28
6
6
6
6
29
6
7
6
7
30
6
7
3
6
jumlah
rerata
136
186
127
176
4.533333
6.2
4.233333
5.866667
6. OVERALL Panelis 648
Sampel 384 558
815
1
5
7
4
6
2
5
6
3
5
3
5
6
3
4
4
4
6
5
5
5
5
6
5
6
6
5
6
5
6
7
5
7
6
6
8
5
6
3
6
9
2
6
3
6
10
4
6
4
6
11
6
6
6
6
12
5
6
3
5
13
5
6
5
6
14
6
6
3
6
15
5
7
4
7
16
6
6
6
6
17
5
6
3
5
18
6
7
5
7
19
6
6
6
6
20
5
6
5
6
21
5
5
6
6
22
5
4
6
6
23
3
6
3
6
24
2
7
3
6
25
5
6
4
4
26
2
5
3
6
27
5
6
3
6
28
6
7
5
6
29
7
7
6
7
30
6
6
4
6
jumlah
rerata
146
183
130
175
4.866667
6.1
4.333333
5.833333
Lampiran 3 Hasil uji Kruskal Wallis terhadap parameter organoleptik Ranks penampakan
formula 648 384 558 815 Total
N 30 30 30 30 120
Mean Rank 63.63 50.27 44.68 83.42
Test Statisticsa,b Chi-Square df Asymp. Sig.
penampakan 24.912 3 .000
a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: formula
Multiple Comparisons Dependent Variable: penampakan Tukey HSD
(I) formula 648
384
558
815
(J) formula 384 558 815 648 558 815 648 384 815 648 384 558
Mean Difference (I-J) Std. Error .53 .275 .70 .275 -.63 .275 -.53 .275 .17 .275 -1.17* .275 -.70 .275 -.17 .275 -1.33* .275 .63 .275 1.17* .275 1.33* .275
Based on observed means. *. The mean difference is significant at the .05 level.
Sig. .218 .059 .104 .218 .930 .000 .059 .930 .000 .104 .000 .000
95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound -.18 1.25 -.02 1.42 -1.35 .08 -1.25 .18 -.55 .88 -1.88 -.45 -1.42 .02 -.88 .55 -2.05 -.62 -.08 1.35 .45 1.88 .62 2.05
Ranks formula 648 384 558 815 Total
aroma
Test Statistics Chi-Square df Asymp. Sig.
N 30 30 30 30 120
Mean Rank 45.40 67.10 44.75 84.75
a,b
aroma 30.600 3 .000
a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: formula
Multiple Comparisons Dependent Variable: aroma Tukey HSD
(I) formula 648
384
558
815
(J) formula 384 558 815 648 558 815 648 384 815 648 384 558
Mean Difference (I-J) Std. Error -.63 .244 .17 .244 -1.17* .244 .63 .244 .80* .244 -.53 .244 -.17 .244 -.80* .244 -1.33* .244 1.17* .244 .53 .244 1.33* .244
Based on observed means. *. The mean difference is significant at the .05 level.
Sig. .051 .903 .000 .051 .007 .132 .903 .007 .000 .000 .132 .000
95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound -1.27 .00 -.47 .80 -1.80 -.53 .00 1.27 .16 1.44 -1.17 .10 -.80 .47 -1.44 -.16 -1.97 -.70 .53 1.80 -.10 1.17 .70 1.97
Ranks formula 648 384 558 815 Total
tekstur
Test Statistics
N
Mean Rank 37.98 84.20 35.82 84.00
30 30 30 30 120 a,b
tekstur 59.284 3 .000
Chi-Square df Asymp. Sig.
a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: formula Multiple Comparisons Dependent Variable: tekstur Tukey HSD
(I) formula (J) formula 648 384 558 815 384 648 558 815 558 648 384 815 815 648 384 558
Mean Difference (I-J) Std. Error -1.53* .247 .23 .247 -1.57* .247 1.53* .247 1.77* .247 -.03 .247 -.23 .247 -1.77* .247 -1.80* .247 1.57* .247 .03 .247 1.80* .247
Sig. .000 .780 .000 .000 .000 .999 .780 .000 .000 .000 .999 .000
Based on observed means. *. The mean difference is significant at the .05 level.
95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound -2.18 -.89 -.41 .88 -2.21 -.92 .89 2.18 1.12 2.41 -.68 .61 -.88 .41 -2.41 -1.12 -2.44 -1.16 .92 2.21 -.61 .68 1.16 2.44
Ranks warna
formula 648 384 558 815 Total
N 30 30 30 30 120
Test Statistics
Mean Rank 46.78 74.58 62.50 58.13
a,b
warna 11.909 3 .008
Chi-Square df Asymp. Sig.
a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: formula Multiple Comparisons Dependent Variable: warna Tukey HSD
(I) formula 648
384
558
815
(J) formula 384 558 815 648 558 815 648 384 815 648 384 558
Mean Difference (I-J) -.43 -.33 -.27 .43 .10 .17 .33 -.10 .07 .27 -.17 -.07
Based on observed means.
Std. Error .209 .209 .209 .209 .209 .209 .209 .209 .209 .209 .209 .209
Sig. .169 .387 .581 .169 .964 .856 .387 .964 .989 .581 .856 .989
95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound -.98 .11 -.88 .21 -.81 .28 -.11 .98 -.45 .65 -.38 .71 -.21 .88 -.65 .45 -.48 .61 -.28 .81 -.71 .38 -.61 .48
Ranks formula 648 384 558 815 Total
rasa
Test Statistics Chi-Square df Asymp. Sig.
N 30 30 30 30 120
Mean Rank 41.83 88.00 35.02 77.15
a,b
rasa 55.341 3 .000
a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: formula Multiple Comparisons Dependent Variable: rasa Tukey HSD
(I) formula 648
384
558
815
(J) formula 384 558 815 648 558 815 648 384 815 648 384 558
Mean Difference (I-J) -1.67* .30 -1.33* 1.67* 1.97* .33 -.30 -1.97* -1.63* 1.33* -.33 1.63*
Std. Error .248 .248 .248 .248 .248 .248 .248 .248 .248 .248 .248 .248
Based on observed means. *. The mean difference is significant at the .05 level.
Sig. .000 .622 .000 .000 .000 .537 .622 .000 .000 .000 .537 .000
95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound -2.31 -1.02 -.35 .95 -1.98 -.69 1.02 2.31 1.32 2.61 -.31 .98 -.95 .35 -2.61 -1.32 -2.28 -.99 .69 1.98 -.98 .31 .99 2.28
Ranks overall
formula 648 384 558 815 Total
N 30 30 30 30 120
Test Statistics Chi-Square df Asymp. Sig.
Mean Rank 46.18 84.85 35.37 75.60
a,b
overall 46.317 3 .000
a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: formula Multiple Comparisons Dependent Variable: overall Tukey HSD
(I) formula (J) formula 648 384 558 815 384 648 558 815 558 648 384 815 815 648 384 558
Mean Difference (I-J) Std. Error -1.23* .255 .53 .255 -.97* .255 1.23* .255 1.77* .255 .27 .255 -.53 .255 -1.77* .255 -1.50* .255 .97* .255 -.27 .255 1.50* .255
Sig. .000 .162 .001 .000 .000 .723 .162 .000 .000 .001 .723 .000
Based on observed means. *. The mean difference is significant at the .05 level.
95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound -1.90 -.57 -.13 1.20 -1.63 -.30 .57 1.90 1.10 2.43 -.40 .93 -1.20 .13 -2.43 -1.10 -2.16 -.84 .30 1.63 -.93 .40 .84 2.16
Lampiran 4 Hasil analisis Paired-Samples T Test kadar lemak biskuit & kadar air tepung jagung Paired Samples Test Paired Differences 95% Confidence Interval of the Difference Std. Error Mean Std. Deviation Mean Lower Upper Pair 1
kadar air tepung jagu non sangrai - kadar a1.29500 tepung jagung sangr
.07778
.05500
.59616 1.99384
t
df
Sig. (2-tailed)
23.545
1
.027
Paired Samples Test Paired Differences
Mean Pair 1
Nilai lemak TJNS - Nilai lemak TJS
Std. Deviation
Std. Error Mean
.20506
.14500
-1.01500
95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper -2.85740
t
.82740
df
Sig. (2-tailed)
-7.000
1
.090
Paired Samples Test Paired Differences
Mean Pair 1
Std. Deviation
kadar lemak BTJNS .95000 - kadar lemak BTJS
Std. Error Mean
.05657
.04000
95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper .44175
t
1.45825
df
Sig. (2-tailed)
23.750
1
.027
Paired Samples Test Paired Differences
Mean Pair 1
daya cerna protein BTJN -5.96000 - daya cerna protein BTJ
Std. Deviation 1.25865
Std. Error Mean
95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper
.89000 -17.26852
5.34852
t
df
-6.697
Sig. (2-tailed) 1
Paired Samples Test Paired Differences
Mean Pair 1
Nilai KH BTJNS -2.03500 - Nilai KH BTJS
Std. Deviation .12021
Std. Error Mean .08500
95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper -3.11503
-.95497
t -23.941
df
Sig. (2-tailed) 1
.027
.094
Lampiran 5 Sidik ragam nilai kekerasan dan kerenyahan biskuit Nilai kekerasan BTJS &BTJNS tiap kemasan/minggu pengamatan Sampel BTJNS
Kemasan PE PP Alufo PE
Nilai kerenyahan (gf) biskuit /minggu pengamatan I II III IV b ab ab 96.17 90.30 80.23a 223.23 b ab a 381.97 137.70 87.23a 648.23 a a a 676.97 621.90 477.30 86.03a 38.27a 231.20a 147.03a 146.70a
BTJS
PP 84.87a 77.47a 76.30a 359.23b b ab a Alufo 393.47 268.77 65.30 65.30a Keterangan : Angka-angka pada baris yang sama diikuti huruf berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)
Nilai kerenyahan BTJS & BTJNS tiap kemasan/minggu pengamatan Nilai kekerasan (gf) biskuit /minggu pengamatan I II III IV b a c b 725.80 PE 413.50 839.43 1122.07 PP 1119.90b 936.57b 466.90a 287.60a BTJNS b ab ab Alufo 1617.76 1312.37 1270.27 1163.60a c b a PE 1535.57 848.77 476.40 237.20a b b a PP 1728.93 1518.93 822.50 530.07a BTJS a a a 1694.67 1536.93 1415.40a Alufo 1999.20 Keterangan : Angka-angka pada baris yang sama diikuti huruf berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) Sampel
Kemasan
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: nilai kekerasan BTJNS kemasan PE/minggu Source Corrected Model Intercept minggu Error Total Corrected Total
Type III Sum of Squares 2886878.723a 7197893.203 2886878.723 120431.453 10205203.4 3007310.177
df 3 1 3 8 12 11
Mean Square 962292.908 7197893.203 962292.908 15053.932
a. R Squared = .960 (Adjusted R Squared = .945)
F 63.923 478.140 63.923
Sig. .000 .000 .000
Multiple Comparisons Dependent Variable: nilai kekerasan BTJNS kemasan PE/minggu Mean Difference (I) minggu (J) minggu Std. Error (I-J) Tukey HSD 1 2 686.8000*100.17961 3 1059.1667*100.17961 4 1298.3667*100.17961 2 1 -686.8000*100.17961 3 372.3667*100.17961 4 611.5667*100.17961 3 1 -1059.1667*100.17961 2 -372.3667*100.17961 4 239.2000 100.17961 4 1 -1298.3667*100.17961 2 -611.5667*100.17961 3 -239.2000 100.17961
95% Confidence Interval Sig. Lower Bound Upper Bound .001 365.9896 1007.6104 .000 738.3563 1379.9770 .000 977.5563 1619.1770 .001 -1007.6104 -365.9896 .024 51.5563 693.1770 .001 290.7563 932.3770 .000 -1379.9770 -738.3563 .024 -693.1770 -51.5563 .157 -81.6104 560.0104 .000 -1619.1770 -977.5563 .001 -932.3770 -290.7563 .157 -560.0104 81.6104
Based on observed means. *. The mean difference is significant at the .05 level.
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: nilai kekerasan BTJNS kemasan PP/minggu Source Corrected Model Intercept minggu Error Total Corrected Total
Type III Sum of Squares 2887367.849a 15869310.0 2887367.849 180336.353 18937014.2 3067704.203
df 3 1 3 8 12 11
a. R Squared = .941 (Adjusted R Squared = .919)
Mean Square 962455.950 15869310.01 962455.950 22542.044
F 42.696 703.987 42.696
Sig. .000 .000 .000
Multiple Comparisons Dependent Variable: nilai kekerasan BTJNS kemasan PP/minggu
(I) minggu Tukey HSD 1
2
3
4
(J) minggu 2 3 4 1 3 4 1 2 4 1 2 3
Mean Difference (I-J) 210.5333 906.4333* 1198.8667* -210.5333 695.9000* 988.3333* -906.4333* -695.9000* 292.4333 -1198.8667* -988.3333* -292.4333
Std. Error 122.58886 122.58886 122.58886 122.58886 122.58886 122.58886 122.58886 122.58886 122.58886 122.58886 122.58886 122.58886
Sig. .375 .000 .000 .375 .002 .000 .000 .002 .158 .000 .000 .158
95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound -182.0394 603.1060 513.8606 1299.0060 806.2940 1591.4394 -603.1060 182.0394 303.3273 1088.4727 595.7606 1380.9060 -1299.0060 -513.8606 -1088.4727 -303.3273 -100.1394 685.0060 -1591.4394 -806.2940 -1380.9060 -595.7606 -685.0060 100.1394
Based on observed means. *. The mean difference is significant at the .05 level.
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: nilai kekerasan BTJNS kemasan Alufo/minggu Source Corrected Model Intercept minggu Error Total Corrected Total
Type III Sum of Squares 573670.117a 33128980.8 573670.117 745867.513 34448518.5 1319537.630
df 3 1 3 8 12 11
Mean Square 191223.372 33128980.83 191223.372 93233.439
F 2.051 355.334 2.051
Sig. .185 .000 .185
a. R Squared = .435 (Adjusted R Squared = .223)
Multiple Comparisons Dependent Variable: nilai kekerasan BTJNS kemasan Alufo/minggu Mean Difference (I-J) (I) minggu (J) minggu Tukey HSD 1 2 304.5333 3 462.2667 4 583.8000 2 1 -304.5333 3 157.7333 4 279.2667 3 1 -462.2667 2 -157.7333 4 121.5333 4 1 -583.8000 2 -279.2667 3 -121.5333 Based on observed means.
Std. Error 249.31030 249.31030 249.31030 249.31030 249.31030 249.31030 249.31030 249.31030 249.31030 249.31030 249.31030 249.31030
95% Confidence Interval Sig. Lower Bound Upper Bound .632 -493.8460 1102.9127 .318 -336.1127 1260.6460 .167 -214.5793 1382.1793 .632 -1102.9127 493.8460 .919 -640.6460 956.1127 .688 -519.1127 1077.6460 .318 -1260.6460 336.1127 .919 -956.1127 640.6460 .960 -676.8460 919.9127 .167 -1382.1793 214.5793 .688 -1077.6460 519.1127 .960 -919.9127 676.8460
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: nilai kekerasan BTJS kemasan PE/minggu Source Corrected Model Intercept minggu Error Total Corrected Total
Type III Sum of Squares 773128.967a 7211220.480 773128.967 28094.293 8012443.740 801223.260
df 3 1 3 8 12 11
Mean Square 257709.656 7211220.480 257709.656 3511.787
F 73.384 2053.434 73.384
Sig. .000 .000 .000
a. R Squared = .965 (Adjusted R Squared = .952)
Multiple Comparisons Dependent Variable: nilai kekerasan BTJS kemasan PE/minggu Mean Difference (I-J) (I) minggu (J) minggu Tukey HSD 1 2 282.6333* 3 396.2667* 4 708.5667* 2 1 -282.6333* 3 113.6333 4 425.9333* 3 1 -396.2667* 2 -113.6333 4 312.3000* 4 1 -708.5667* 2 -425.9333* 3 -312.3000*
Std. Error 48.38586 48.38586 48.38586 48.38586 48.38586 48.38586 48.38586 48.38586 48.38586 48.38586 48.38586 48.38586
Sig. .002 .000 .000 .002 .166 .000 .000 .166 .001 .000 .000 .001
95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound 127.6848 437.5819 241.3181 551.2152 553.6181 863.5152 -437.5819 -127.6848 -41.3152 268.5819 270.9848 580.8819 -551.2152 -241.3181 -268.5819 41.3152 157.3515 467.2485 -863.5152 -553.6181 -580.8819 -270.9848 -467.2485 -157.3515
Based on observed means. *. The mean difference is significant at the .05 level. Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: nilai kekerasan BTJS kemasan PP/minggu Source Corrected Model Intercept minggu Error Total Corrected Total
Type III Sum of Squares 1369977.303a 5926150.201 1369977.303 67015.367 7363142.870 1436992.669
df 3 1 3 8 12 11
a. R Squared = .953 (Adjusted R Squared = .936)
Mean Square 456659.101 5926150.201 456659.101 8376.921
F 54.514 707.438 54.514
Sig. .000 .000 .000
Multiple Comparisons Dependent Variable: nilai kekerasan BTJS kemasan PP/minggu
Tukey HSD
(I) minggu 1
2
3
4
(J) minggu 2 3 4 1 3 4 1 2 4 1 2 3
Mean Difference (I-J) Std. Error 183.3333 74.73027 653.0000* 74.73027 832.3000* 74.73027 -183.3333 74.73027 469.6667* 74.73027 648.9667* 74.73027 -653.0000* 74.73027 -469.6667* 74.73027 179.3000 74.73027 -832.3000* 74.73027 -648.9667* 74.73027 -179.3000 74.73027
Sig. .143 .000 .000 .143 .001 .000 .000 .001 .155 .000 .000 .155
95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound -55.9793 422.6460 413.6874 892.3126 592.9874 1071.6126 -422.6460 55.9793 230.3540 708.9793 409.6540 888.2793 -892.3126 -413.6874 -708.9793 -230.3540 -60.0126 418.6126 -1071.6126 -592.9874 -888.2793 -409.6540 -418.6126 60.0126
Based on observed means. *. The mean difference is significant at the .05 level.
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: nilai kekerasan BTJS kemasan Alufo/minggu Source Corrected Model Intercept minggu Error Total Corrected Total
Type III Sum of Squares 341680.860a 21579372.0 341680.860 148092.920 22069145.8 489773.780
df 3 1 3 8 12 11
Mean Square 113893.620 21579372.00 113893.620 18511.615
F 6.153 1165.721 6.153
Sig. .018 .000 .018
a. R Squared = .698 (Adjusted R Squared = .584)
Multiple Comparisons Dependent Variable: nilai kekerasan BTJS kemasan Alufo/minggu
(I) minggu Tukey HSD 1
2
3
4
(J) minggu 2 3 4 1 3 4 1 2 4 1 2 3
Mean Difference (I-J) 305.4000 347.5000 454.1667* -305.4000 42.1000 148.7667 -347.5000 -42.1000 106.6667 -454.1667* -148.7667 -106.6667
Std. Error 111.09040 111.09040 111.09040 111.09040 111.09040 111.09040 111.09040 111.09040 111.09040 111.09040 111.09040 111.09040
Based on observed means. *. The mean difference is significant at the .05 level.
Sig. .095 .056 .015 .095 .980 .566 .056 .980 .775 .015 .566 .775
95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound -50.3506 661.1506 -8.2506 703.2506 98.4161 809.9172 -661.1506 50.3506 -313.6506 397.8506 -206.9839 504.5172 -703.2506 8.2506 -397.8506 313.6506 -249.0839 462.4172 -809.9172 -98.4161 -504.5172 206.9839 -462.4172 249.0839
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: nilai kerenyahan BTJNS kemasan PE/minggu Source Corrected Model Intercept minggu Error Total Corrected Total
Type III Sum of Squares 301850.689a 575575.801 301850.689 16907.940 894334.430 318758.629
df 3 1 3 8 12 11
Mean Square 100616.896 575575.801 100616.896 2113.493
F 47.607 272.334 47.607
Sig. .000 .000 .000
a. R Squared = .947 (Adjusted R Squared = .927)
Multiple Comparisons Dependent Variable: nilai kerenyahan BTJNS kemasan PE/minggu
Tukey HSD
(I) minggu 1
2
3
4
(J) minggu 2 3 4 1 3 4 1 2 4 1 2 3
Mean Difference (I-J) 127.0667* -253.1667* 143.0000* -127.0667* -380.2333* 15.9333 253.1667* 380.2333* 396.1667* -143.0000* -15.9333 -396.1667*
Std. Error 37.53658 37.53658 37.53658 37.53658 37.53658 37.53658 37.53658 37.53658 37.53658 37.53658 37.53658 37.53658
Sig. .039 .001 .022 .039 .000 .973 .001 .000 .000 .022 .973 .000
95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound 6.8613 247.2720 -373.3720 -132.9613 22.7947 263.2053 -247.2720 -6.8613 -500.4387 -260.0280 -104.2720 136.1387 132.9613 373.3720 260.0280 500.4387 275.9613 516.3720 -263.2053 -22.7947 -136.1387 104.2720 -516.3720 -275.9613
Based on observed means. *. The mean difference is significant at the .05 level.
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: nilai kerenyahan BTJNS kemasan PP/minggu Source Corrected Model Intercept minggu Error Total Corrected Total
Type III Sum of Squares 596508.037a 1181519.763 596508.037 249376.960 2027404.760 845884.997
df 3 1 3 8 12 11
a. R Squared = .705 (Adjusted R Squared = .595)
Mean Square 198836.012 1181519.763 198836.012 31172.120
F 6.379 37.903 6.379
Sig. .016 .000 .016
Multiple Comparisons Dependent Variable: nilai kerenyahan BTJNS kemasan PP/minggu
Tukey HSD
(I) minggu 1
2
3
4
(J) minggu 2 3 4 1 3 4 1 2 4 1 2 3
Mean Difference (I-J) 266.2667 510.5333* 561.0000* -266.2667 244.2667 294.7333 -510.5333* -244.2667 50.4667 -561.0000* -294.7333 -50.4667
Std. Error 144.15760 144.15760 144.15760 144.15760 144.15760 144.15760 144.15760 144.15760 144.15760 144.15760 144.15760 144.15760
Sig. .321 .031 .019 .321 .386 .249 .031 .386 .984 .019 .249 .984
95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound -195.3767 727.9100 48.8900 972.1767 99.3566 1022.6434 -727.9100 195.3767 -217.3767 705.9100 -166.9100 756.3767 -972.1767 -48.8900 -705.9100 217.3767 -411.1767 512.1100 -1022.6434 -99.3566 -756.3767 166.9100 -512.1100 411.1767
Based on observed means. *. The mean difference is significant at the .05 level.
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: nilai kerenyahan BTJNS kemasan Alufo/minggu Source Corrected Model Intercept minggu Error Total Corrected Total
Type III Sum of Squares 639939.877a 2600841.630 639939.877 894162.793 4134944.300 1534102.670
df 3 1 3 8 12 11
Mean Square 213313.292 2600841.630 213313.292 111770.349
F 1.908 23.270 1.908
Sig. .207 .001 .207
a. R Squared = .417 (Adjusted R Squared = .199)
Multiple Comparisons Dependent Variable: nilai kerenyahan BTJNS kemasan Alufo/minggu Mean Difference (I) minggu (J) minggu (I-J) Tukey HSD 1 2 55.0667 3 199.6667 4 590.9333 2 1 -55.0667 3 144.6000 4 535.8667 3 1 -199.6667 2 -144.6000 4 391.2667 4 1 -590.9333 2 -535.8667 3 -391.2667 Based on observed means.
Std. Error 272.97173 272.97173 272.97173 272.97173 272.97173 272.97173 272.97173 272.97173 272.97173 272.97173 272.97173 272.97173
95% Confidence Interval Sig. Lower Bound Upper Bound .997 -819.0849 929.2182 .882 -674.4849 1073.8182 .213 -283.2182 1465.0849 .997 -929.2182 819.0849 .949 -729.5516 1018.7516 .277 -338.2849 1410.0182 .882 -1073.8182 674.4849 .949 -1018.7516 729.5516 .515 -482.8849 1265.4182 .213 -1465.0849 283.2182 .277 -1410.0182 338.2849 .515 -1265.4182 482.8849
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: nilai kerenyahan BTJS kemasan PE/minggu Source Corrected Model Intercept minggu Error Total Corrected Total
Type III Sum of Squares 56276.727a 237895.680 56276.727 50296.833 344469.240 106573.560
df 3 1 3 8 12 11
Mean Square 18758.909 237895.680 18758.909 6287.104
F 2.984 37.839 2.984
Sig. .096 .000 .096
a. R Squared = .528 (Adjusted R Squared = .351)
Multiple Comparisons Dependent Variable: nilai kerenyahan BTJS kemasan PE/minggu
Tukey HSD
(I) minggu 1
2
3
4
(J) minggu 2 3 4 1 3 4 1 2 4 1 2 3
Mean Difference (I-J) 84.1667 84.5000 192.9333 -84.1667 .3333 108.7667 -84.5000 -.3333 108.4333 -192.9333 -108.7667 -108.4333
Std. Error 64.74104 64.74104 64.74104 64.74104 64.74104 64.74104 64.74104 64.74104 64.74104 64.74104 64.74104 64.74104
Sig. .588 .585 .068 .588 1.000 .392 .585 1.000 .394 .068 .392 .394
95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound -123.1569 291.4903 -122.8236 291.8236 -14.3903 400.2569 -291.4903 123.1569 -206.9903 207.6569 -98.5569 316.0903 -291.8236 122.8236 -207.6569 206.9903 -98.8903 315.7569 -400.2569 14.3903 -316.0903 98.5569 -315.7569 98.8903
Based on observed means.
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: nilai kerenyahan BTJS kemasan PP/minggu Source Corrected Model Intercept minggu Error Total Corrected Total
Type III Sum of Squares 176137.727a 268083.413 176137.727 8414.760 452635.900 184552.487
df 3 1 3 8 12 11
a. R Squared = .954 (Adjusted R Squared = .937)
Mean Square 58712.576 268083.413 58712.576 1051.845
F 55.819 254.870 55.819
Sig. .000 .000 .000
Multiple Comparisons Dependent Variable: nilai kerenyahan BTJS kemasan PP/minggu
(I) minggu (J) minggu Tukey HSD 1 2 3 4 2 1 3 4 3 1 2 4 4 1 2 3
Mean Difference (I-J) 274.3667* 281.7667* 282.9333* -274.3667* 7.4000 8.5667 -281.7667* -7.4000 1.1667 -282.9333* -8.5667 -1.1667
Std. Error 26.48075 26.48075 26.48075 26.48075 26.48075 26.48075 26.48075 26.48075 26.48075 26.48075 26.48075 26.48075
Sig. .000 .000 .000 .000 .992 .987 .000 .992 1.000 .000 .987 1.000
95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound 189.5660 359.1673 196.9660 366.5673 198.1327 367.7340 -359.1673 -189.5660 -77.4007 92.2007 -76.2340 93.3673 -366.5673 -196.9660 -92.2007 77.4007 -83.6340 85.9673 -367.7340 -198.1327 -93.3673 76.2340 -85.9673 83.6340
Based on observed means. *. The mean difference is significant at the .05 level. Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: nilai kerenyahan BTJS kemasan Alufo/minggu Source Corrected Model Intercept minggu Error Total Corrected Total
Type III Sum of Squares 239398.809a 465432.241 239398.809 81012.040 785843.090 320410.849
df 3 1 3 8 12 11
Mean Square 79799.603 465432.241 79799.603 10126.505
F 7.880 45.962 7.880
Sig. .009 .000 .009
a. R Squared = .747 (Adjusted R Squared = .652)
Multiple Comparisons Dependent Variable: nilai kerenyahan BTJS kemasan Alufo/minggu Mean Difference (I-J) (I) minggu (J) minggu Tukey HSD 1 2 124.7000 3 328.1667* 4 333.2333* 2 1 -124.7000 3 203.4667 4 208.5333 3 1 -328.1667* 2 -203.4667 4 5.0667 4 1 -333.2333* 2 -208.5333 3 -5.0667
Std. Error 82.16449 82.16449 82.16449 82.16449 82.16449 82.16449 82.16449 82.16449 82.16449 82.16449 82.16449 82.16449
Based on observed means. *. The mean difference is significant at the .05 level.
95% Confidence Interval Sig. Lower Bound Upper Bound .471 -138.4196 387.8196 .017 65.0470 591.2863 .015 70.1137 596.3530 .471 -387.8196 138.4196 .139 -59.6530 466.5863 .127 -54.5863 471.6530 .017 -591.2863 -65.0470 .139 -466.5863 59.6530 1.000 -258.0530 268.1863 .015 -596.3530 -70.1137 .127 -471.6530 54.5863 1.000 -268.1863 258.0530
Lampiran 6 Sidik ragam nilai TBA biskuit Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: nilai TBA BTJS kemasan PE/minggu Source Corrected Model Intercept minggu Error Total Corrected Total
Type III Sum of Squares .011a .611 .011 5.00E-005 .622 .011
df 3 1 3 4 8 7
Mean Square .004 .611 .004 1.25E-005
F 297.000 48841.000 297.000
Sig. .000 .000 .000
a. R Squared = .996 (Adjusted R Squared = .992)
Multiple Comparisons Dependent Variable: nilai TBA BTJS kemasan PE/minggu
Tukey HSD
(I) minggu 1.00
2.00
3.00
4.00
(J) minggu 2.00 3.00 4.00 1.00 3.00 4.00 1.00 2.00 4.00 1.00 2.00 3.00
Mean Difference (I-J) -.0150* -.0950* -.0150* .0150* -.0800* .0000 .0950* .0800* .0800* .0150* .0000 -.0800*
Std. Error .00354 .00354 .00354 .00354 .00354 .00354 .00354 .00354 .00354 .00354 .00354 .00354
Sig. .044 .000 .044 .044 .000 1.000 .000 .000 .000 .044 1.000 .000
95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound -.0294 -.0006 -.1094 -.0806 -.0294 -.0006 .0006 .0294 -.0944 -.0656 -.0144 .0144 .0806 .1094 .0656 .0944 .0656 .0944 .0006 .0294 -.0144 .0144 -.0944 -.0656
Based on observed means. *. The mean difference is significant at the .05 level.
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: nilai TBA BTJS kemasan PP/minggu Source Corrected Model Intercept minggu Error Total Corrected Total
Type III Sum of Squares .033a .800 .033 5.00E-005 .833 .033
df 3 1 3 4 8 7
a. R Squared = .998 (Adjusted R Squared = .997)
Mean Square .011 .800 .011 1.25E-005
F 873.000 64009.000 873.000
Sig. .000 .000 .000
Multiple Comparisons Dependent Variable: nilai TBA BTJS kemasan PP/minggu
Tukey HSD
(I) minggu 1.00
2.00
3.00
4.00
(J) minggu 2.00 3.00 4.00 1.00 3.00 4.00 1.00 2.00 4.00 1.00 2.00 3.00
Mean Difference (I-J) Std. Error .0000 .00354 -.0300* .00354 -.1550* .00354 .0000 .00354 -.0300* .00354 -.1550* .00354 .0300* .00354 .0300* .00354 -.1250* .00354 .1550* .00354 .1550* .00354 .1250* .00354
Sig. 1.000 .004 .000 1.000 .004 .000 .004 .004 .000 .000 .000 .000
95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound -.0144 .0144 -.0444 -.0156 -.1694 -.1406 -.0144 .0144 -.0444 -.0156 -.1694 -.1406 .0156 .0444 .0156 .0444 -.1394 -.1106 .1406 .1694 .1406 .1694 .1106 .1394
Based on observed means. *. The mean difference is significant at the .05 level.
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: nilai TBA BTJS kemasan Alufo/minggu Source Corrected Model Intercept minggu Error Total Corrected Total
Type III Sum of Squares .055a .845 .055 1.00E-004 .900 .055
df 3 1 3 4 8 7
Mean Square .018 .845 .018 2.50E-005
F 732.000 33800.000 732.000
Sig. .000 .000 .000
a. R Squared = .998 (Adjusted R Squared = .997)
Multiple Comparisons Dependent Variable: nilai TBA BTJS kemasan Alufo/minggu
Tukey HSD
(I) minggu 1.00
2.00
3.00
4.00
(J) minggu 2.00 3.00 4.00 1.00 3.00 4.00 1.00 2.00 4.00 1.00 2.00 3.00
Mean Difference (I-J) .0150 -.1500* -.1650* -.0150 -.1650* -.1800* .1500* .1650* -.0150 .1650* .1800* .0150
Based on observed means. *. The mean difference is significant at the .05 level.
Std. Error .00500 .00500 .00500 .00500 .00500 .00500 .00500 .00500 .00500 .00500 .00500 .00500
Sig. .124 .000 .000 .124 .000 .000 .000 .000 .124 .000 .000 .124
95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound -.0054 .0354 -.1704 -.1296 -.1854 -.1446 -.0354 .0054 -.1854 -.1446 -.2004 -.1596 .1296 .1704 .1446 .1854 -.0354 .0054 .1446 .1854 .1596 .2004 -.0054 .0354
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: nilai TBA BTJNS kemasan PE/minggu Source Corrected Model Intercept minggu Error Total Corrected Total
Type III Sum of Squares .007a .732 .007 .000 .739 .007
df 3 1 3 4 8 7
Mean Square .002 .732 .002 2.50E-005
F 91.333 29282.000 91.333
Sig. .000 .000 .000
a. R Squared = .986 (Adjusted R Squared = .975)
Multiple Comparisons Dependent Variable: nilai TBA BTJNS kemasan PE/minggu
Tukey HSD
(I) minggu 1.00
2.00
3.00
4.00
(J) minggu 2.00 3.00 4.00 1.00 3.00 4.00 1.00 2.00 4.00 1.00 2.00 3.00
Mean Difference (I-J) .0350* -.0450* -.0200 -.0350* -.0800* -.0550* .0450* .0800* .0250* .0200 .0550* -.0250*
Std. Error .00500 .00500 .00500 .00500 .00500 .00500 .00500 .00500 .00500 .00500 .00500 .00500
Sig. .008 .003 .053 .008 .000 .001 .003 .000 .025 .053 .001 .025
95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound .0146 .0554 -.0654 -.0246 -.0404 .0004 -.0554 -.0146 -.1004 -.0596 -.0754 -.0346 .0246 .0654 .0596 .1004 .0046 .0454 -.0004 .0404 .0346 .0754 -.0454 -.0046
Based on observed means. *. The mean difference is significant at the .05 level.
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: nilai TBA BTJNS kemasan PP/minggu Source Corrected Model Intercept minggu Error Total Corrected Total
Type III Sum of Squares .026a .806 .026 .000 .833 .027
df 3 1 3 4 8 7
Mean Square .009 .806 .009 2.50E-005
a. R Squared = .996 (Adjusted R Squared = .993)
F 352.667 32258.000 352.667
Sig. .000 .000 .000
Multiple Comparisons Dependent Variable: nilai TBA BTJNS kemasan PP/minggu
(I) minggu Tukey HSD 1.00
2.00
3.00
4.00
(J) minggu 2.00 3.00 4.00 1.00 3.00 4.00 1.00 2.00 4.00 1.00 2.00 3.00
Mean Difference (I-J) Std. Error -.0150 .00500 -.0950* .00500 -.1400* .00500 .0150 .00500 -.0800* .00500 -.1250* .00500 .0950* .00500 .0800* .00500 -.0450* .00500 .1400* .00500 .1250* .00500 .0450* .00500
Sig. .124 .000 .000 .124 .000 .000 .000 .000 .003 .000 .000 .003
95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound -.0354 .0054 -.1154 -.0746 -.1604 -.1196 -.0054 .0354 -.1004 -.0596 -.1454 -.1046 .0746 .1154 .0596 .1004 -.0654 -.0246 .1196 .1604 .1046 .1454 .0246 .0654
Based on observed means. *. The mean difference is significant at the .05 level.
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: nilai TBA BTJNS kemasan Alufo/minggu Source Corrected Model Intercept minggu Error Total Corrected Total
Type III Sum of Squares .042a 1.170 .042 .000 1.213 .043
df 3 1 3 4 8 7
Mean Square .014 1.170 .014 2.50E-005
F 566.000 46818.000 566.000
Sig. .000 .000 .000
a. R Squared = .998 (Adjusted R Squared = .996)
Multiple Comparisons Dependent Variable: nilai TBA BTJNS kemasan Alufo/minggu
Tukey HSD
(I) minggu 1.00
2.00
3.00
4.00
(J) minggu 2.00 3.00 4.00 1.00 3.00 4.00 1.00 2.00 4.00 1.00 2.00 3.00
Mean Difference (I-J) -.1200* -.1550* -.1950* .1200* -.0350* -.0750* .1550* .0350* -.0400* .1950* .0750* .0400*
Based on observed means. *. The mean difference is significant at the .05 level.
Std. Error .00500 .00500 .00500 .00500 .00500 .00500 .00500 .00500 .00500 .00500 .00500 .00500
Sig. .000 .000 .000 .000 .008 .000 .000 .008 .005 .000 .000 .005
95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound -.1404 -.0996 -.1754 -.1346 -.2154 -.1746 .0996 .1404 -.0554 -.0146 -.0954 -.0546 .1346 .1754 .0146 .0554 -.0604 -.0196 .1746 .2154 .0546 .0954 .0196 .0604
Lampiran 7 Kurva amilograf tepung jagung Tepung jagung sangrai
Tepung jagung non sangrai
Lampiran 8 Gambar biskuit hasil penelitian
Biskuit tepung jagung non sangrai
Biskuit tepung jagung sangrai