KAJIAN FILSAFAT TERHADAP KEBENARAN SAINS Makalah
Matakuliah: Filsafat Ilmu
Oleh: Kelompok II
Anggota:
Syahid Ismail (090901043) Widya K Marbun (09090103 ) Dede Adi Satria (0909010 ) Lilis Suryani (0909010 ) Ria Syamira Umar (0909010 ) Sahim (0909010 ) Ricardo Manalu (0909010 )
DEPARTEMEN SOSIOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2010
Perpustakaan Ashabul Muslimin @ 2012
BAB I PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang Filsafat adalah induk semua ilmu pengetahuan. Dia memberi sumbangan dan peran sebagai induk yang melahirkan dan membantu mengembangkan ilmu pengetahuan hingga ilmu pengetahuan itu itu dapat hidup dan berkembang. Sedangkan menurut Rapar (Pengantar Filsafat: 1995). Filsafat adalah mater scientiarum atau induk ilmu pengetahuan. Filsafat disebut ilmu pengetahuan karena memang filsafatlah yang telah melahirkan segala ilmu pengetahuan yang ada. Jauh dari keinginan untuk mendewakan dan memulia-kan filsafat, kehadirannya yang terusmenerus di sepanjang sejarah peradaban manusia sejak kelahirannya sekitar 25 abad yang lalu telah memberi kesaksian yang menyakinkan tentang betapa pentingnya filsafat bagi manusia. (http://fokusmaker-bkcsmd.blogspot.com/2009/03/kajian-filsafat-terhadap-kebenaran.html, diakses 15 Maret 2010) Filsafat juga membantu ilmu pengetahuan untuk bersikap rasional dalam mempertanggungjawabkan ilmunya. Pertanggungjawaban secara rasional di sini berarti bahwa setiap langkah langkah harus terbuka terhadap segala pertanyaan dan sangkalan dan harus dipertahankan secara argumentatif, yaitu dengan argumen-argumen yang obyektif (dapat dimengerti secara intersuyektif).. Menyadari akan adanya keterbatasan manusia dan hakekat ilmu pengetahuan, sebagai seorang ilmuwan sekaliber Einstein sekalipun masih menyadari sulitnya menjawab pertanyaan tentang kebenaran sains, padahal untuk menjawabnya hanya memerlukan satu kata dari dua kata yaitu ; ya atau tidak. Disini yang disadari oleh ilmuwan sekaliber Einstein bukan jawaban yang salah satu dari dua kata tersebut, tetapi alasan atau penjelasannya mengapa kita menjawab salah satu dari dua kata tersebut. Walaupun pertanyaan tersebut sulit dijawab, namun dalam realitas kehidupan, kita telah melihat dan merasakan bahwa hampir seluruh keperluan dari sendi kehidupan kita telah dipermudah dan dipenuhi oleh adanya perkembangan ilmu pengetahuan.
I.2. Perumusan Masalah, Tujuan, dan Hipotesis Alasan pengkajian terhadap kebenaran sains adalah karena sains merupakan salah satu dari pemikiran manusia dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan. Sains merupakan salah satu dari pengetahuan manusia. Dan untuk bisa menghargai dan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut secara komprehensip, maka pikiran-pikiran besar yang telah dikemukakan oleh para filusuf perlu dikaji dan dipahami guna menemukan jawaban yang lebih mendasar apakah sains akan mencapai suatu kebenaran atau tidak. Atas dasar itulah, maka tujuan penulisan paper ini adalah untuk mengkaji dan menganalisis faktor-faktor apa saja yang dapat menjawab kebenaran sains. Selain itu, papar ini akan memberikan solusi arternatif dalam menjawab persoalan tersebut, sehingga paling tidak kekurangan dan kelebihan dalam menjawab pertanyaan tersebut dapat diminimalisasikan. Perpustakaan Ashabul Muslimin @ 2012
Hipotesis yang dirumuskan adalah bahwa kebenaran sains bila ditinjau dari aspek rasionalisme maupun empirisme mempunyai kelemahan dan kelebihan. Hipotesis lain yang dapat dikemukakan adalah kekurangan dan kelebihan kebenaran sains merupakan peluang untuk menimbulkan keraguan terhadap kesimpulan sehingga menyakinkan dikembangkan lagi suatu pengkajian ulang terhadap kebenaran sains tersebut.
BAB II DASAR TEORI
II.1. Pengertian Filsafat Kata falsafah atau filsafat dalam bahasa Indonesia merupakan kata serapan dari bahasa Arab ف ل س فة, yang juga diambil dari bahasa Yunani; Φιλοσοφία philosophia. Dalam bahasa ini, kata ini merupakan kata majemuk dan berasal dari kata-kata (philia = persahabatan, cinta dsb.) dan (sophia = "kebijaksanaan"). Sehingga arti harafiahnya adalah seorang “pencinta kebijaksanaan”. Kata filosofi yang dipungut dari bahasa Belanda juga dikenal di Indonesia. Bentuk terakhir ini lebih mirip dengan aslinya. Dalam bahasa Indonesia seseorang yang mendalami bidang falsafah disebut "filsuf".( http://id.wikipedia.org/wiki/Filsafat, diakses tgl. 15 Maret 2010) Definisi kata filsafat bisa dikatakan merupakan sebuah problem falsafi pula. Tetapi, paling tidak bisa dikatakan bahwa "filsafat" adalah studi yang mempelajari seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis.[1] Hal ini didalami tidak dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan problem secara persis, mencari solusi untuk itu, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu, serta akhir dari proses-proses itu dimasukkan ke dalam sebuah proses dialektik. Dialektik ini secara singkat bisa dikatakan merupakan sebuah bentuk dialog. Untuk studi falsafi, mutlak diperlukan logika berpikir dan logika bahasa.
II.2. Pengertian Sains Menurut Arief Sidharta (dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Sains#cite_note-0, diakses tgl. 15 Maret 2010) sains atau Ilmu adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia. Segi-segi ini dibatasi agar dihasilkan rumusan-rumusan yang pasti. Ilmu memberikan kepastian dengan membatasi lingkup pandangannya, dan kepastian ilmu-ilmu diperoleh dari keterbatasannya.
Perpustakaan Ashabul Muslimin @ 2012
Contoh: Ilmu Alam hanya bisa menjadi pasti setelah lapangannya dibatasi kedalam hal yang bahani (materiil saja) atau ilmu psikologi hanya bisa meramalkan perilaku manusia jika membatasi lingkup pandangannya ke dalam segi umum dari perilaku manusia yang kongkrit. Berkenaan dengan contoh ini, ilmu-ilmu alam menjawab pertanyaan tentang berapa jauhnya matahari dari bumi, atau ilmu psikologi menjawab apakah seorang pemudi sesuai untuk menjadi perawat.
II.3. Epistimologi Sains Epistemologi adalah kajian tentang validitas dan batas-batas (limit) ilmu pengetahuan. Ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan melalui proses tertentu yang dinamakan metode keilmuan. Metode inilah yang membedakan ilmu dengan buah pikiran lainnya, atau dengan perkataan lain, Ilmu adalah pengetahuan yang diperoleh dengan menerapkan metode keilmuan. Karena itu ilmu merupakan sebagian dari pengetahuan, yakni pengetahuan yang memilki sifat-sifat tertentu, maka ilmu juga dapat disebut pengetahuan keilmuan. Untuk tujuan ini, agar tidak terjadi kekacauan antara pengertian “Ilmu/Sains” (Science) dan “Pengetahuan” (Know-ledge), maka kita mempergunakan istilah “Sains/Ilmu” untu ilmu pengetahuan.
II.4. Historis dan Perkembangan Sains Sejak awal perkembangan ilmu pengetahuan yang secara jelas dimulai dari bangsa Mesir hingga mengalami pertumbuhan pesat di Eropa pada abad 16 dan hingga abad 20 saat ini, secara jelas terlihat adanya tanda-tanda kebenaran, bahwa bangsa-bangsa yang lebih awal mengembangkan dan menguasai ilmu pengetahuan dan juga teknologi lebih maju dibandingkan dengan bangsa-bangsa yang baru atau sedang mengembangkan dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Kenyataan tersebut diatas memberikan isyarat bahwa terlepas dari berapa besar persentase kebenaran atau kesesuaian suatu ilmu pengetahuan untuk memenuhi suatu obyek, dia telah mampu membentuk peradaban manusia seperti apa yang kita miliki sekarang. Walaupun demikian, disadari pula bahwa untuk menemukan kebenaran sumber satu-satunya bukan hanya berasal dari ilmu pengetahuan. Ditinjau dari segi perkembangannya, seperti juga semua unsur kebudayaan manusia, ilmu merupakan gabungan dari cara-cara manusia sebelumnya dalam mencari pengetahuan. Sedangkan ditinjau dari segi cara berpikir manusia, terdapat dua pola dalam memperoleh pengetahuan, yaitu Pola pertama berpikir secara Rasional, dikenal sebagai kaum rasional dan pola kedua berpikir secara empiris, dikenal sebagai kaum emperialis (antirasionalis). Pola berpikir kaum rasionalis, diantaranya seperti Plato dan Rene Descrates bertumpuk dari aksioma dasar yang diturunkan dari ide tentang kebenaran yang menurut anggapannya adalah jelas, tegas dan pasti dalam pikran manusia. Pikiran manusia mempunyai kemampuan untuk mengetahui idea tersebut, namun manusia tidak menciptakannya dan tidak pula mempelajari lewat pengalaman. Singkatnya, bahwa bagi kaum rasionalisme idea tentang kebenaran, yang menjadi dasar bagi pengetahuannya diperoleh lewat berpikir secara rasional atau dengan kata lain kriteria kebenaran pengetahuan dikaitkan dengan kesesuaian antara pemikiran dengan kenyataan, terlepas dari pengalaman manusia. Sistem pengetahuan dibangun secara koheran diatas landasan-landasan pernyataan yang Perpustakaan Ashabul Muslimin @ 2012
sudah pasti. Namun timbul pertanyaan, dari manakah kita mendapat kebenaran yang sudah pasti bila kebenaran itu tercerai dari pengalaman manusia yang nyata ?. Disinilah kaum rasionalis mulai menemukan kesulitan untuk mendapatkan konsensus yang dapat dijadikan landasan bagi kegiatan berpikir bersama. Disini terlihat bahwa tiap orang cenderung untuk percaya kepada kebenaran yang pasti menurut mereka sendiri. Lalu bagaimana kita bisa sampai pada suatu konsensus bila hanya berdasarkan apa yang dianggap benar oleh masing-masing ?. Kenyataan yang dihadapi, tidak hanya oleh para ilmuawan, bahwa betapa sukarnya untuk sampai kepada suatu kesimpulan yang dapat disetujui bersama bila hanya berdasarkan pada cara tersebut. Cara berpikir seperti ini akan menjerumuskan kita kedalam Silopsisme, yakni pengetahuan yang benar menurut anggapan kita masing-masing. Dalam perkembangannya, kaum rasionalis dikritik oleh kaum antirasionalis. Kritit tersebut meliputi : (1). Pengetahuan rasional dibentuk oleh idea yang tidak dapat dilihat atau diraba. Eksistensi tentang idea yang sudah pasti maupun yang bersifat bawaan itu sendiri belum dapat dikuatkan oleh semua manusia dengan kekuatan dan keyakinan yang sama. Lebih lanjut, terdapat perbedaan yang nyata diantara kaum rasionalis itu sendiri mengenai kebenaran dasar yang menjadi landasan dalam menalar. Plato, St.Augustine dan Descrates mengembangkan teori-teori rasional secara sendiri-sendiri yang masing-masing berbeda. (2). Teori rasional gagal dalam menjalankan perubahan dan pertambahan pengetahuan manusia selama ini. Banyak dari idea yang sudah pasti pada suatu waktu kemudian, berubah pada waktu yang lain. Pada suatu saat dalam sejarah, idea bahwa bumi adalah pusat dari sistem matahari hampir diterima secara umum sebagai suatu pernyataan yang pasti. Seiring dengan berbagai kritik yang dilontarkan kepada kaum rasionalis, muncul suatu pola berpikir lain, yaitu emperisme yang merupakan cara berpikir yang sama sekali berlawanan dengan kaum rasionalisme. Kaum empiris, seperti John Locke (1632 –1704), David Hume (1711 –1776), George Berkeley (1685 – 1753), dan Immanuel Kant (1724 – 1804), yang bosan dengan debat yang tak berkesudahan, menganjurkan agar kita kembali ke alam untuk mendapatkan pengetahuan. Alasan mereka adalah bahwa pengetahuan tidak ada secara apriori terdapat di benak kita, melainkan harus diperoleh dari pengalaman. Teori pengetahuannya, terutama yang dikemukakan oleh Lock (bapak kaum empiris Inggris) didasarkan pada pengalaman yang ditangkap oleh pancaindera kita. Dia memandang pikiran sebagai alat atau kertas lilin yang licin (tabula rasa) yang menerima dan menyimpan sensasi pengalaman. Pengetahuan merupakan hasil dari kegiatan keilmuan (pikiran) yang mengkombinasikan sensasi-sensasi pokok (McCleary, 1998). (http://rudyct.com/PPS702-ipb/01101/FREDRIK.htm, diakses tgl 15 Maret 2010) Teori empiris sendiri memiliki dua aspek. Pertama adalah perbedaan antara yang mengetahui (subyek) dan yang diketahui (obyek). Terdapat di alam nyata yang terdiri dari fakta atau obyek yang dapat ditangkap oleh seseorang. Kedua adalah kebenaran atau pengujian kebenaran dari fakta atau obyek didasarkan kepada pengalaman manusia. Agar berarti bagi kaum empiris, maka pernyataan tentang ada atau tidak adanya sesuatu haruslah memenuhi persyaratan pengujian publik. Masalah yang rumit akan timbul bila persyaratan tentang suatu obyek atau kejadian ternyata tidak lagi terdapat untuk pengujian secara langsung.
Perpustakaan Ashabul Muslimin @ 2012
BAB III PEMBAHASAN III.1. Pendekatan Ilmiah Pendekatan ilmiah pertumpu pada dua anggapan dasar, yaitu : pertama, bahwa kebenaran dapat diperoleh dari pengamatan dan kedua, bahwa gejala itu timbul sesuai dengan hubungan-hubungan yang berlaku menurut hukum tertentu (Ary dkk., 2000: 63). ( http://ebekunt.wordpress.com/2008/08/10/ilmu-dan-upaya-manusia-untukmemperoleh-kebenaran/ diakses 15 Maret 2010) Pendekatan ilmiah merupakan pengombinasian yang jitu dari pendekatan empiris dan pendekatan rasional. Kombinasi ini didasarkan pada hasil analisis terhadap kedua pendekatan tersebut. Pada satu segi kedua pendekatan tersebut bisa dipertanggung jawabkan namun pada segi yang lain terdapat beberapa kelemahan. Kelemahan pertama pendekatan empiris, bahwa pengetahuan yang berhasil dikumpulkan cenderung untuk menjadi kumpulan fakta-fakta. Kumpulan fakta-fakta tersebut belum tentu bersifat konsisten dan mungkin saja terdapat hal-hal yang bersifat kontradiktif (Suriasumantri, 2005: 52). Kelemahan kedua, terletak pada kesepakatan mengenai pemahaman hakikat pengalaman yang merupakan cara untuk memperoleh kebenaran dan indera sebagai alat yang menangkapnya.
Sedangkan kelemahan yang terdapat pada pendekatan rasional adalah terdapat pada kriteria untuk menguji kebenaran dari suatu ide yang menurut seseorang jelas dan dapat dipercaya. Apa yang menurut seseorang jelas, benar, dan dapat dipercaya belum tentu demikian untuk orang lain. Dalam hal ini pemikiran rasional cenderung bersifat solipsisteik dan subjektif (Suriasumantri, 2005: 51). Perpustakaan Ashabul Muslimin @ 2012
Kelemahan-kelemahan darikedua pendekatan tersebut bisa dihilangkan atau paling tidak dikurangi dengan mengombinasikan keduanya. Kombinasi tersebut diwujudkan dengan langkah-langkah yang sistematis dan terkontrol. Upaya memahami realitas dalam hal ini didasarkan pada kebenaran atau teori ilmiah yang ada serta mengujinya dengan mengumpulkan fakta-fakta. Suatu kebenaran dapat disebut sebagai kebenaran ilmiah bila memenuhi dua syarat utama, yaitu : pertama, harus sesuai dengan kebenaran ilmiah sebelumnya yang memungkinkan tidak terjadinya kontradiksi dalam teori keilmuan secara keseluruhan, dan kedua, harus sesuai dengan fakta-fakta empiris. Sebab teori yang bagaimanapun konsistennya sekiranya tidak didukung oleh pengujian empiris tidak dapat diterima kebenarannya secara ilmiah.
III.2. Kajian Filusuf Terhadap Kebenaran Dalam penerapan cara berpikir empiris, sama halnya dengan rasionalis dipertanyakan oleh beberapa filusuf, apakah pendekatan empiris akan membawa kita lebih dekat kepada kebenaran ?, mereka menjawab tidak, sebab menurut mereka gejala yang terdapat dalam pengalaman kita baru mempunyai arti kalau kita memberikan tafsiran kepada mereka. Fakta yang ada sebagai dirinya sendiri, tidaklah mampu berkata apa-apa, Para ilmuwanlah yang memberikan fakta sebuah arti, apakah itu sebuah nama, sebuah tempat atau apa saja. Disamping itu, bila kita hanya mengumpulkan pengetahuan mengenai berbagai gejala yang ditemui dalam pengalaman lalu apakah gunanya semua kumpulan pengetahuan serba aneka yang tidak berarti, Lebih jauh lagi mereka mempertanyakan, bagaimanakah cara kita mendapatkan pengetahuan yang utuh, apakah kita memungut begitu saja seperti mengumpulkan kerang di pantai. Siapakah yang dapat menjamin bahwa pengetahuan yang dikumpulkan itu benar, seperti apa yang dikatakan oleh Charles Darwin dalam Suriasumantri, 1999, bahwa tanpa penafsiran yang sungguh-sungguh maka alam akan mendustai kita bila dia mampu. Disini terlihat pula bahwa pendekatan empiris tidak mampu memecahkan masalah pokok dalam menentukan pengetahuan yang benar. Atas dasar uraian tersebut, maka para filusuf melontarkan beberapa kritik terhadap empirisme secara lebih tajam sebagai berikut : (1). Apakah yang disebut sebagai pengalaman ?. Pengalaman sekali waktu hanya berarti rangsangan panca indera, lain waktu lagi dia muncul sebagai sebuah sensasi ditambah dengan penilaian. Sebagai sebuah konsep, ternyata pengalaman tidak berhubungan langsung dengan kenyataan obyektif yang sangat ditinggikan oleh kaum empiris. Jika dianalisis secara kritis, maka pengalaman merupakan pengertian yang terlalu samar untuk dijadikan dasar bagi sebuah teori pengetahuan yang sistematis. (2). Sebuah teori yang sangat menitikberatkan pada presepsi panca indera kiranya melupakan kenyataan bahwa pancaindera manusia adalah terbatas dan tidak sempurna. Pancaindera kita sering menyesatkan dimana hal ini disadari pula oleh kaum empiris. Empirisme tidak mempunyai perlengkapan untuk mem-bedakan antara khayalan dan kenyataan. (3). Empirisme tidak memberikan kita kepastian. Apa yang disebut pengetahuan yang mungkin, dalam pengertian diatas sebenarnya merupakan pengetahuan yang seluruhnya diragukan.
Perpustakaan Ashabul Muslimin @ 2012
Berdasarkan uraian tersebut, lalu sekarang timbul pertanyaan, pola pikir yang bagaimana yang dapat menghasilkan Sains mencapai kebenaran. Pertanyaan ini kemudian dijawab oleh kaum rasionalis dan empiris, setelah telah mengkikis sifat-sifat ekstrim ke duanya. Jawabannya adalah bahwa mereka menyadari dengan sepenuhnya bahwa berbagai kelebihan dan kekurangan terdapat pada masing-masing pola pikir. Diatas kesadaran ini kemudian timbul gagasan dari keduanya untuk menggabungkan kedua pendekatan tersebut guna menyusun metode yang lebih dapat diandalkan dalam menemukan pengetahuan yang benar. Akhirnya dilahirkan metode ketiga yang dikenal dengan nama Metode Keilmuan. Metode ini secara ringkas merupakan suatu rangkaian prosedur yang tertentu harus diikuti untuk mendapatkan jawaban yang tertentu dari pengetahuan yang tertentu pula. Kerangka dasar prosedur ini dapat diuraikan dalam 6 (enam) langkah yaitu : (1). Sadar akan adanya masalah dan perumusan masalah, (2). Pengamatan dan pengumpulan data yang relevan, (3). Penyusunan atau klasifikasi data, (4). Perumusan Hipotesis, (5). Dedukasi dan Hipotesis, dan (6). Tes dan pengujian kebenaran (verifikasi) dari hipotesis. Dalam metode keilmuan, rasionalisme memberikan kerangka pemikiran yang koheran dan logis, sedangkan empirisme memberikan kerangka pengujian dalam memastikan suatu kebenaran. Metode ini, oleh banyak ilmuan dunia dipergunakan secara dinamis guna menghasilkan pengetahuan yang konsisten dan sistematik serta dapat diandalkan, sebab pengetahuan telah teruji secara empiris. Dalam metode ini, sikap skeptis merupakan karakteristik seorang ilmuwan, artinya dia tidak pernah menerima kebenaran suatu pernyataan sebelum penjelasan mengenai isi pernyataan itu dapat diterima, dan disaksikan secara empiris konsekuensi kebenaran pernyataan tersebut. Dalam metode keilmuan, teori yang telah tersusun pada tahap pendekatan rasional perlu diuji kebenarannya, dan untuk pengujian ini digunakan pendekatan empiris. Tahap pengujian sangat diperlukan dalam metode keilmuan didasarkan pada anggapan bahwa bagaimanapun menyakinkannya suatu penjelasan teoritis yang diberikan, dia hanya bersifat dugaan sementara mengenai suatu obyek yang sedang dipermasalahkan. Suatu penjelasan yang belum teruji secara empiris hanyalah merupakan hipotesis atau dugaan. Hipotesis ini dibangun dari hubungan konseptual, baik yang baru disusun atau merupakan perluasan dari hipotesis terdahulu yang telah teruji kebenarannya, yang dipakai menyorot suatu obyek. Tahap ini merupakan tahap yang paling sulit dari metodologi keilmuan. Hipotesis ini yang kemudian kita uji kebenarannya secara empiris. Kalau ternyata pengujian secara empiris tidak mendukung hipotesis yang diajukan, maka dia dinyatakan benar secara keilmuan, dan bila secara empiris tidak mendukung, dia dinyatakan tidak benar secara keilmuan. Secara singkat dapat dikatakan bahwa metode keilmuan adalah suatu teori pengetahuan yang dipergunakan manusia dalam memberikan jawaban tertentu terhadap suatu pertanyaan. Metode ini menitikberatkan kepada suatu urutan prosedur yang seksama, dimana diperoleh sekumpulan pengetahuan yang diperlukan secara terus menerus dan bersifat mengoreksi diri sendiri. Metode keilmuan mendasarkan diri pada anggapan bahwa terdapat keteraturan yang dapat ditemukan dalam hubungan antara gejala-gejala dan bahwa alat panca indera manusia (atau Perpustakaan Ashabul Muslimin @ 2012
alat yang dibuat secara teliti) pada dasarnya dapat berfungsi secara layak. Lewat pengorganisasian yang sistematis dan pengujian pengamatan, manusia telah mampu mengumpulkan pengetahuan secara kumulatif, walaupun yang terus menerus bertumbuh dan mempunyai peluang yang besar untuk benar. Kendati demikian, metode keilmuan tidak mengajukan diri sebagai sebuah metode yang membahayakan manusia kepada sesuatu kebenaran akhir yang takan pernah berubah. Kesadaran ini diajukan tentu didasarkan atas beberapa keterbatasan yang dimiliki oleh metode keilmuan terutama terletak pada asumsi landasan epistemologi ilmu, yang menyatakan bahwa kita mampu memperoleh pengetahuan yang bertumpuh pada prespsi, ingatan dan penalaran.
BAB IV PENUTUP Kajian terhadap kritik yang telah dilakukan oleh filusuf tentang kebenaran sains tentu merupakan cambuk sekaligus menyadarkan kita kalangan ilmuawan yang masih muda tentang sulitnya mencapai nilai kebenaran ilmu, apalagi bila dalam pengembangannya tidak ditopang oleh cakrawala bidang keilmuan yang luas dan tidak mengikuti kerangka dasar prosedur keilmuan yang sesuai. Pengalaman-pengalaman yang dibangun sebagai dasar kebenaran harus didukung dengan teori-teori yang relevan dan memiliki sifat objektivitas yang tinggi. Sebagai seorang ilmuwan, kita harus mengakui bahwa kebenaran dalam ilmu pengetahuan bukanlah satusatunya kebenaran yang ditemui, tetapi masih terdapat kebenaran lain. Dengan demikian kebenaran ilmu pengetahuan tidak bisa berjalan sendiri-sendiri, tapi harus didampingi dengan kebenaran-kebenaran seperti, etika, agama dan lain-lain sehingga dapat menghasilkan suatu nuansa yang baik pada pengetahuan ilmiah.
Perpustakaan Ashabul Muslimin @ 2012