KAJIAN KERAMIK BERDASARKAN PERSPEKTIF FILSAFAT ILMU
Oleh
Dr. Drs. I Made Gede Arimbawa, M.Sn
PROGRAM STUDI KRIYA SENI FAKULTAS SENI RUPA DAN DESAIN INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR 2011 1
KAJIAN KERAMIK BERDASARKAN PERSPEKTIF FILSAFAT ILMU Abstrak Kehadiran keramik sebagai hasil kebudayaan di masa lampau sebenarnya awalnya diciptakan semata-mata untuk tujuan yang bersifat fragmatis, yaitu sebagai usaha untuk pemenuhan kebutuhan akan peralatan berupa wadah. Kini usaha tersebut masih tetap eksis dan terus mengalami perkembangan yang sangat pesat. Bahkan penciptaan produk keramik tersebut dipelajari secara formal di sekolah khusus atau di perguruan tinggi. Dengan keberadaan keramik tersebut, maka timbul pertanyaan“apakah keramik termasuk ranah ilmu ?” Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka perlu dikaji dari persepektif filsafat ilmu. Karena dengan kajian tersebut dapat dijeklaskan secara logis (masuk akal), meramalkan dan membuktikan asumsi-asumsi tentang keramik. Dalam kajian keramik sebagai ilmu berdasarkan sudut pandang filsafat ilmu dapat dianalisis dari tiga hal pokok yaitu: (1) ontologi yaitu tentang “ada” dan “keberadaannya”, (2) epistemologi yakni tentang pengetahuan ilmiah, teori-teori pengetahuan yang menyangkut metode / bersistem, dan (3) aksiologi yang merupakan “kelayakan” atau kepantasan, ada analisis, tata nilai dan memiliki ciri khas, maka langkah tersebut akan memberikan kerangka dasar untuk mensintesa pemahaman tentang keramik sebagai ilmu. Kata kunci: keramik, ontologi, epistemologi, aksiologi.
2
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Pengetahuan dan Ilmu Kata ilmu sudah digunakan masyarakat sejak ratusan tahun yang silam. Di Indonesia, bahkan sebelum ada kata ilmu sudah dikenal kata-kata lain yang mengandung maksud sama, misalnya kepandaian, kecakapan, ajaran, kawruh, pangrawuh, kawikihan, jnana, widya, parujnana, dan lain-lain. Sejak lebih dari seribu tahun yang lampau nenek moyang bangsa kita telah menghasilkan banyak macam ilmu, contohnya kalpasastra (ilmu farmasi), supakasastra (ilmu tataboga), jyotisa (ilmu perbintangan), wedastra (ilmuolah senjata), yudanegara atau niti (ilmu politik), wagmika (ilmu pidato), sandisutra (sexiology), dharmawidi (ilmu keadilan), dan masih banyak lagi yang lainnya. Mengenai istilah ilmu, ada yang menamainya ilmu pengetahuan dan ada pula yang menyebutnya sains. Keberagaman sebutan tersebut merupakan suatu usaha untuk mendapatkan padanan (meng-Indonesiakan) kata science yang berasal dari bahasa Inggris atau dari bahasa Latin scientia (pengetahuan) dan scire (mengetahui atau belajar). Selain hal tersebut ada juga yang berpendapat bahwa istilah ilmu berasal dari bahasa Arab: Alima yang berarti mengerti, memahami benar-benar (Bahtiar, 2005). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan, bahwa Ilmu merupakan pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu yang dapat digunakan untuk menjelaskan gejala-gejala tertentu di bidang (pengetahuan) itu (KBBI, 1994). Kemudian Suriasumantri (1991) menjelaskan bahwa ilmu merupakan salah satu dari buah pikiran manusia, kumpulan pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu. Batas kajian ilmu adalah fakta sedangkan batas kajian filsafat adalah logika atau daya pikir manusia. Ilmu menjawab pertanyaan “why” dan “how” sedangkan filsafat menjawab pertanyaan “why, why, dan why” dan seterusnya sampai jawaban paling akhir yang dapat diberikan oleh pikiran atau budi manusia (mungkin juga pertanyaan-pertanyaannya terus dilakukan sampai never ending). Dibalik kata-kata atau istilah yang berbeda tersebut dapat ditarik beberapa pengertian sebagai berikut: 1. Ilmu adalah pengetahuan yang bersifat umum dan sistematis, pengetahuan dari mana dapat disimpulkan dalil-dalil tertentu menurut kaidah-kaidah umum.
3
2. Konsepsi ilmu pada dasarnya mencakup tiga hal, yaitu adanya rasionalitas, dapat digeneralisasi dan dapat disistematisasi 3. Pengertian ilmu mencakup logika, adanya interpretasi subjektif dan konsistensi dengan realitas sosial. 4. Ilmu tidak hanya merupakan satu pengetahuan yang terhimpun secara sistematis, tetapi juga merupakan suatu metodologi Empat pengertian tersebut dapatlah disimpulkan bahwa ilmu pada dasarnya adalah pengetahuan tentang sesuatu hal atau fenomena, baik yang menyangkut alam atau sosial (kehidupan masyarakat) yang diperoleh manusia melalui proses berfikir. Hal tersebut berarti bahwa setiap ilmu merupakan pengetahun tentang sesuatu yang menjadi objek kajian dari ilmu terkait. Sedangkan pengetahuan adalah berbagai gejala yang ditemui dan diperoleh manusia melalui pengamatan inderawi. Pengetahuan muncul ketika seseorang menggunakan indera atau akal budinya untuk mengenali benda atau kejadian tertentu yang belum pernah dilihat atau dirasakan sebelumnya. Misalnya ketika seseorang mencicipi masakan yang baru dikenalnya, ia akan mendapatkan pengetahuan tentang bentuk, rasa, dan aroma masakan tersebut. Ada yang mencoba membedakan antara pengetahuan (knowledge) dan ilmu (science). Pengetahuan diartikan hanyalah sekadar “tahu”, yaitu hasil tahu dari usaha manusia untuk menjawab pertanyaan “what”, misalnya apa batu, apa gunung, apa air, dan sebagainya. Sedangkan ilmu bukan hanya sekadar dapat menjawab “apa” tetapi akan dapat menjawab “mengapa” dan “bagaimana” (why dan how), misalnya mengapa batu banyak macamnya, mengapa gunung dapat meletus, mengapa es mengapung dalam air. Dari penjelasan dan beberapa contohnya, maka yang dimaksud pengetahuan atau kepandaian tersebut tidak saja berkenaan dengan masalah keadaan alam, tapi juga termasuk “kebatinan” dan persoalan-persoalan lainnya. Sebagaimana yang sudah dikenal beberapa macam nama ilmu, maka tampak dengan jelas bahwa cakupan ilmu sangatlah luas, misalnya ilmu
ukur,
ilmu bumi, ilmu dagang, ilmu hitung, ilmu silat,
ilmu tauhid, ilmu mantek,
ilmu batin (kebatinan), ilmu hitam, dan sebagainya. Pengetahuan dapat dikembangkan lebih lanjut menjadi ilmu apabila memenuhi tiga kriteria atau persyaratan ilmiah sebagai berikut:
4
1. Objektif. Ilmu harus memiliki objek kajian yang terdiri dari satu golongan masalah yang sama sifat hakikatnya, tampak dari luar maupun bentuknya dari dalam. Objeknya dapat bersifat ada, atau mungkin ada karena masih harus diuji keberadaannya. Dalam mengkaji objek yang dicari adalah kebenaran, yakni persesuaian antara tahu dengan objek, dan karenanya disebut kebenaran objektif; bukan subjektif berdasarkan subjek peneliti atau subjek penunjang penelitian. 2. Metodis adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk meminimalisasi kemungkinan terjadinya penyimpangan dalam mencari kebenaran. Konsekuensi dari upaya ini adalah harus terdapat cara tertentu untuk menjamin kepastian kebenaran. Metodis berasal dari kata Yunani “Metodos” yang berarti: cara, jalan. Secara umum metodis berarti metode tertentu yang digunakan dan umumnya merujuk pada metode ilmiah. 3. Sistematis. Dalam perjalanannya mencoba mengetahui dan menjelaskan suatu objek, ilmu harus terurai dan terumuskan dalam hubungan yang teratur dan logis sehingga membentuk suatu sistem yang berarti secara utuh, menyeluruh, terpadu , mampu menjelaskan rangkaian sebab akibat menyangkut objeknya. Pengetahuan yang tersusun secara sistematis dalam rangkaian sebab akibat merupakan syarat ilmu yang ketiga. 4. Universal. Kebenaran yang hendak dicapai adalah kebenaran universal yang bersifat umum (tidak bersifat tertentu). Contoh: semua segitiga bersudut 180º. Karenanya universal merupakan syarat ilmu yang keempat. Belakangan ilmu-ilmu sosial menyadari kadar ke-umuman (universal) yang dikandungnya berbeda dengan ilmuilmu alam mengingat objeknya adalah tindakan manusia. Karena itu untuk mencapai tingkat universalitas dalam ilmuilmu sosial, harus tersedia konteks dan tertentu pula. Ciri-ciri pengetahuan dipandang dari filsafat ilmu berfungsi untuk menjelaskan secara logis (masuk akal), meramalkan dan membuktikan kenyataan (hipotesis) serta mengontrol. Semua hal tersebut bertujuan untuk menjawab permasalahan kehidupan sehari-hari dan digunakan sebagai penawaran berbagai kemudahan dan sebagai alat manusia untuk memecahkan masalah. Dengan tinjauan sudut pandang filsafat ilmu sebagai landasan proses lahirnya atau diakuinya sebuah ilmu, tentu dapat memberikan kerangka dasar, mengarahkan
5
dan menentukan corak dari keilmuan yang dihasilkan. Sebelum melangkah lebih jauh perlu diterangkan dahulu peristilahan keramik dan pengertian-pengertiannya. 1.2. Istilah dan Jenis Keramik Lempung atau tanah liat adalah bahan baku keramik, yang mempunyai sifat plastis dan mudah dibentuk dalam keadaan basah (lembab). Pada umumnya tanah liat memiliki karakter yang tidak menentu dan tidak memperlihatkan sesuatu yang alami seperti yang dimiliki batu dan kayu. Karena sifat-sifat yang penurut itu dan tidak banyak memberikan resistensi apapun sehingga lempung dapat dipergunakan untuk keperluan yang luas dan tidak terbatas sesuai dengan kebutuhan, misalnya untuk bahan bangunan, tembok pembatas pekarangan, perabotan rumah tangga, benda-benda teknis, benda hias, benda ekspresi dan lainnya Myers menyatakan bahwa, kata keramik berasal dari bahasa Yunani Kuno yaitu “keramos” yang berarti tanah liat (Myers, 1969). Mills menyebutkan bahwa kata keramik berasal dari bahasa Gerika yaitu kata “keramikos” yang berarti benda–benda yang terbuat dari tanah liat; yang merupakan suatu istilah umum untuk studi seni dari pottery dalam arti kata yang luas, termasuk segala macam bentuk benda yang terbuat dari tanah liat dan dibakar serta mengeras oleh api ( Mills, 1965). Lee, menjelaskan bahwa istilah Yunani untuk kata keramik ialah “keramos” yang berasal dari kata “keramikos” suatu daerah di Athena di sekitar pintu gerbang Dypilon tempat tinggal kebanyakan kaum perajin tanah liat, dimana mereka juga bekerja dan menjual keramik (Lee, 1971). Ditelusuri lebih jauh oleh para peneliti, ditemukan bahwa sebenarnya “keramos” itu merupakan nama salah satu dewa di Yunani. Di dalam mitologi Yunani, “keramos”, adalah putra Dewi Ariaduc (Ariadne) dengan Dewa Baccus, yang merupakan dewa pelindung para pembuat keramik (Runes, 1946). Seperti telah diketahui bahwa orang Yunani juga sangat percaya kepada banyak dewa (lihat mitologi Yunani), dimana setiap jenis pekerjaan atau kegiatan yang berhubungan dengan kebutuhan manusia ada dewa-dewanya yang diharapkan selalu dapat membantu serta melindunginya. Adapun sebutan keramik beragam, tergantung dari sudut tinjauannya. Jenis keramik yang diciptakan dan digunakan untuk menunjang aktivitas manusia adalah sangat beragam, namun secara umum dapat dibedakan sebagai berikut:
6
a) Gerabah atau terracotta (Bahasa Itali = tanah liat bakar), earthenware ( Bhs. Inggris), aardewerk (Bhs. Belanda), terbuat dari tanah liat yang plastis dan mudah dibentuk dengan tangan, yang dibakar di bawah suhu 1000º C. Keramik jenis ini struktur dan teksturnya rapuh, kasar dan terdapat pori-pori, sehingga untuk dapat kedap air biasanya dilapisi glasir, semen, cat atau bahan pelapis lainnya. Gerabah termasuk golongan keramik yang berkualitas rendah. Sebutan “gerabah lunak” karena dibakar dibawah 1000°C dan disebut “gerabah keras” karena dibakar 1000°C. Contoh gerabah misalnya: bata, genteng, paso, periuk, anglo, celengan, pot, kendi, gentong, dll. Genteng-genteng yang terbaru kini telah berglasir warna-warni yang cukup menarik dan menambah kekuatan dan mutunya. Ada pula sebutan “gerabah halus” dikarenakan pembuatannya halus dan tampak indah atau hiasannya menonjol. Sedangkan disebut “gerabah kasar” disebabkan tanpa hiasan atau polos, misalnya bata.
Gambar 1 Pembentukan dan Barang Gerabah Kasar
b) Keramik Batu atau stoneware ( Bahasa Inggris), steengoet ( Bhs. Belanda), terbuat dari campuran tanah plastis dengan tanah refractory ( tahan suhu tinggi) sehingga pembakarannya pun meningkat dari suhu pijar 1200ºC hingga 1300ºC. Seperti nama yang disandangnya, sebagai “keramik batu”, benda jenis golongan ini mempunyai struktur dan tekstur yang kokoh, kuat, padat dan berat seperti batu. Keramik batu ini termasuk golongan keramik kualitas madya atau menengah. Jenis keramik ini sering disebut pula sebagai “gerabah padat” yang dipijar sampai suhu 1200ºC.
7
Gambar 2 Pembentukan dengan alat putar dan barang Keramik Batu atau stoneware
c) Porselin atau poslen, porcelain ( Bahasa Inggris ), termasuk jenis keramik bakaran tinggi suhu pijar 1350º C atau 1400º C bahkan ada yang lebih tinggi lagi hingga 1500ºC. Bahan yang dipergunakan adalah lempung murni berwarna putih atau terang yang bersifat refractory seperti kaolin ( Bhs. China: Kaoling), alumina dan silika. Badan porselin setelah dibakar berwarna putih dan bahkan bisa tembus cahaya dan seringkali disebut sebagai “keramik putih”. Pengembara Venesia, Marco Polo, menciptakan nama porselin ketika pertama kalinya melihat bahan ajaib itu di Asia, yaitu dalam perjalanannya ke Istana Kublai Khan. Ia menamakannya “porcellana” atau kulit kerang karena permukaannya seperti gelas dan keras (Herman, 1984:6). Porselin yang tampaknya tipis dan rapuh, sebenarnya mempunyai kekuatan, dimana struktur dan teksturnya padat dan rapat serta keras seperti gelas, karena dipijar suhu tinggi dan terjadi vitrifikasi (penggelasan). Secara teknis, keramik ini mempunyai kualitas yang tinggi dan bagus, disamping mempunyai daya tarik khusus dalam hal keindahan dan kelembutan khas porselin. Juga bahan porselin yang putih tersebut sangat peka dan cemerlang terhadap warna glasir serta semakin tinggi suhu pijarnya semakin nyaring bunyinya bila body keramik di pukul / terbentur benda logam.
8
Gambar 3 Keramik Jenis Porselin atau poslen, porcelain d) Keramik Baru atau New Ceramic, adalah jenis keramik yang bersifat teknis (Sumitro: 1984) , diproses untuk keperluan teknologi (canggih) seperti peralatan mobil ( busi), perlengkapan listrik (zekering, kompor), bahan konstruksi, piranti komputer, dapur tinggi, cerobong pesawat, kristal-optik, keramik-metal (cermet), keramik-multilapis, keramik-multifungsi, komposit-keramik, silikon, bio-keramik, keramik-magnetik, gigi porselin, dll. Bentuk dan material keramik disesuaikan dengan keperluan yang bersifat teknis, seperti tahan benturan, tahan gesek, tahan panas, tahan dingin, isolator, pelapis, piranti lunak atau komponen teknis lainnya.
Gambar 4 Keramik Baru atau New Ceramic Untuk menjawab keramik sebagai ilmu, maka diperlukan tinjauan filsafat yang menjelaskan dari sudut tinjauan ontologi (ada & keberadaannya), tinjauan epistemologi (pengetahuan ilmiah, teori-teori pengetahuan, bermetode / bersistem) dan tinjauan aksiologi ( kelayakan / kepantasan, analisis, tata nilai, ciri khas).
9
BAB II KAJIAN KERAMIK BERDASARKAN PERSPEKTIF FILSAFAT ILMU
2.1 Keramik Ditinjau dari Sudut Ontologi Kata ontologi berasal dari perkataan Yunani Ontos: ada , keberadaan. Dan logos: ilmu tentang, studi. Atau On= being, dan logos= logic. Jadi Ontologi adalah The theory of being qua being / teori tentang keberadaan sebagai keberadaan (Feldman,1976: 219). Suriasumantri menjelaskan, bahwa ontologi membahas apa yang ingin diketahui, seberapa jauh keingintahuan, atau dengan perkataan lain suatu pengkajian mengenai teori tentang ”ada” (Suriasumantri. 1985:5). Kemudian Dardiri menjelaskan ontologi adalah penyelidikan sifat dasar dari apa yang nyata secara fundamental dan cara yang berbeda di mana entitas dari kategori-kategori yang logis yang berlainan (obyek fisis, hal universal, abstrak) dapat dikatakan ”ada” (Dardiri,1986). Dari penjelasan ini dapat dipahami bahwa ontologi dipandang sebagai teori mengenai apa yang ”ada”. Istilah istilah terpenting yang terkait dengan ontologi adalah: yangada (being) kenyataan/realitas (reality) eksistensi (existence) esensi (essence) substansi (substance) perubahan (change) tunggal (one) jamak (many) a. Sejarah Singkat Perkembangan Keramik. Keramik diperkirakan sudah tua umurnya, sebagaimana halnya sejarah keramik diberbagai belahan Dunia, seperti China, Jepang, Mesir, Yunani, Korea, Thailand, Peru, Philipina, Vietnam dan lain sebagainya. Di mana ketrampilan membuat keramik tersebut muncul dan tumbuh secara alami, ada yang tumbuh dalam waktu yang bersamaan tanpa 10
adanya pengaruh hubungan kebudayaan satu dengan lainnya. Kepandaian membuat keramik dapat dikatakan setua manusia semenjak mengenal api dan dapat memanfaatkannya.
Gambar 5 Keramik Jaman Prasejarah Penemuan teknik membuat keramik atau pengetahuan mengenai sifat tanah liat yang mengeras setelah dibakar, diperoleh secara tidak sengaja oleh orang primitif pada zaman Prasejarah. Mayer menyatakan bahwa kebanyakan seni primitif dibuat dari kayu, batu dan tanah liat, yang diciptakan untuk beberapa tujuan relegi atau tujuan yang praktis (Mayer, 1969). Awal mulanya keramik dibuat cenderung sebagai “wadah”. Inspirasi pembuatan wadah tersebut berasal dari pemanfaatan buah-buahan berkulit tebal seperti labu, kelapa dan sebagainya, yang isinya dikeluarkan. Juga dari ruas-ruas pohon bambu, daun-daunan berukuran besar seperti daun pisang daun talas dan lainnya. Adanya cekungan bekas telapak kaki dan batu pada tanah basah yang digenangi air hujan juga memberi inspirasi, dimana air yang tergenang tersebut dapat bertahan lama bahkan bisa berhari-hari lamanya. Berdasarkan kenyataan tersebut, suatu ketika orang memakai keranjang bambu yang dilapisi tanah liat sebagai tempat atau wadah cairan (liquid) dan wadah semacam ini tentu tidak bertahan lama. Secara tidak sengaja keranjang tersebut dibuang keperapian dengan maksud untuk dimusnahkan. Namun yang terjadi keran-jangnya musnah, sedang tanah pelapis masih tersisa dan ditemukan mengeras dengan meninggalkan bekas anyaman keranjang. Dari pengalamanpengalaman itulah, orang mulai dengan sengaja membentuk tanah liat secara utuh sebagai wadah keperluan sehari-hari dan untuk keperluan religi lainnya. Dengan diketemukan tanah yang mengeras ini, secara tidak sengaja mereka telah menemukan keramik dengan unsur dekorasinya sekaligus. Lebih lanjut hiasan diterapkan 11
secara sengaja, yaitu menggunakan kulit kerang, kulit kayu, permukaan batu, tali, anyaman, serat tumbuh-tumbuhan, kain atau benda-benda keras lain yang bertekstur / bermotif, dengan cara mengecapkannya pada permukaan benda dalam keadaan masih basah (lembab) sebelum dibakar. Nelson, menulis bahwa suatu kenyataan yang ada pada benda-benda tembikar atau keramik masa Neolitik, tekstur yang banyak ditemukan adalah bekas anyaman (Nelson, 1960). Dengan demikian, jelas bahwa keramik lahir pada mulanya sebagai benda praktis dan sekaligus sebagai benda estetis. Sejarah perkembangan keramik secara diakronis, merupakan rangkaian peristiwa pembuatan dan penggunaan produk keramik yang berlangsung secara berkesinambungan sejak dahulu kala hingga kini. Namun dalam uraian ini tidak akan membeberkan panjang lebar secara kronologis dan detail tentang keramik. Hal ini mengingat kemampuan dan keterbatasan tempat dan referensi mengenai kepastian sejarah keramik. Manusia di planet bumi, sebenarnya telah lama mampu membuat dan menggunakan produk-produk yang terbuat dari tanah liat, sejenis gerabah kasar. Dapat dikatakan bahwa penggunaan produk-produk keramik sejalan dengan perkembangan peradaban manusia. Namun mengenai keberadaan atau kepastian penggunaan keramik pertama kali, hingga kini belum terungkap secara pasti. Hanya saja berdasarkan perkiraan yang dilandasi data emperik dan komparasi dari hasil-hasil temuan penelitian yang dilaksanakan para ahli purbakala, diperkirakan keramik mulai dibuat dan digunakan sejak tahun 15.000 SM. Sebagai kebudayaan yang sangat tua yaitu sejak manusia mengenal api. Ada pula yang memperkirakan dimulai 12.000 SM, 10.000 SM dan 5.000 SM. Norton menyebutkan sekitar 4.500 SM sudah ada yang membuat pottery dengan baik (Norton, 1960). Pada tahun 15.000 SM diperkirakan Mesir merupakan negeri produsen keramik yang telah berkembang dengan baik. Pada waktu itu orang Mesir telah membangun rumah dengan menggunakan batu bata, bahkan telah dikenal cara pembakaran kapur untuk bahan bangunan. Sedangkan penggunaan barang-barang pecah belah berglasir dengan warna yang indah sebagai peralatan rumah tangga dan bahan bangunan, diperkirakan mulai digunakan sejak tahun 12.000 SM. Kemudian dari Mesir penggunaan barang-barang keramik tersebut semakin merebak meluas ke daerah-daerah lain, seperti ke utara dan barat melalui kepulauan Siprus dan Kreta menyebar ke Yunani. Ke timur melalui Mesopotamia dan Persia ke China, 12
ke Eropa melalui Afrika Utara dan kira-kira pada abad VIII telah sampai di Spanyol, abad XV sampai di Itali, abad XVI sampai di Perancis dan Belanda. Pada abad XV di Jerman telah dikembangkan pabrik keramik batu. Penggunaan keramik secara massal dilakukan pertama kali oleh bangsa Rumania. Kapur bakar perekat (semen) oleh orang Rumania dicampur dengan benda halus dari letusan gunung berapi ternyata dapat menghasilkan bahan jauh lebih keras untuk bangunan. Dari Inggris pembuatan keramik berkembang ke Amerika dan sejak itulah diusahakan pengembangannya sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, sehingga menghasilkan produk-produk / bahan yang sangat berkualitas dan bermanfaat pada masa kini yang dikenal dengan istilah “keramik baru” (Hanover, 1925) Khusus keramik putih yang bermutu tinggi (porcelain) mengalami perkembangan secara sempurna di dataran China. Kemudian lebih kurang pada abad XV pengetahuan tersebut dibawa ke Eropa oleh Marcopolo. Di Eropa yang pertama kali dapat memproduksi keramik jenis porcelain dengan baik adalah seorang berkebangsaan Jerman yaitu Bottger (1682-1719). Bottger yang bekerja pada istana Augustus, Kepala negara Saxon dan Raja Polandia, berhasil menyusun porselin keras yang asli. Hasil penemuannya disebut Porcelain Moistener. Dicatatnya penemuan ini pada jam lima sore, 15 Januari 1708 ( Herman, 1984). b. Perkembangan Keramik di Indonesia Di Indonesia, keramik jenis gerabah dikenal sejak zaman Pra-sejarah atau zaman Neolitikum, yaitu pada tahun 3.000 sebelum Masehi, dimana manusia saat itu sudah mulai hidup menetap dan bercocok tanam serta membentuk kelompok-kelompok masyarakat. Sebagai masyarakat yang menetap, hidupnya memerlukan peralatan atau perlengkapan untuk kebutuhan sehari-hari, diantaranya adalah tempat menyimpan cairan (minuman) dan makanan yang dibuat dari gerabah tanah liat (Utomo, 1984). Para pemuka masyarakat / pemimpin, kemudian sangat mempengaruhi kehidupan selanjutnya, dimana orang yang dihormati dan dipercaya tersebut dianggap dapat melindungi warganya, bahkan sampai meninggalpun tatap dapat mempengaruhi manusia yang masih hidup. Muncullah suatu bentuk kepercayaan penghormatan kepada nenekmoyang, sebagai penghormatan maka dibuatlah perlambangan-perlambangan dan pemujaan-pemujaan untuk menenangkan arwah nenek moyang mereka. Penyertaan benda kubur seperti patung kecil (figurin), manik-manik serta tempat makanan dan minuman merupakan bentuk 13
penghormatan leluhur sebagai bekal dalam perjalanan ke alam baka (bekal kubur). Periuk kecil berisi perhiasan dan periuk besar berisi tulang-belulang adalah hasil tradisi kepercayaan masyarakat di zaman Pra-sejarah (Sutaba, 1980) Mengenai sejarah perkembangan “perkeramikan” di Indonesia dapat ditelusuri dari hasil penelitian tentang produk-produk peninggalan masa lampau. Dari hasil penyelidikan benda bersejarah, ternyata bangsa Indonesia telah lama mengenal produk-produk keramik. Diperkirakan sejak zaman pra-sejarah ± 3000 SM. Jenis barang keramik yang dibuat dan digunakan pada zaman itu berupa barang gerabah kasar — produk-produk keramik yang dibuat dengan bahan, alat dan teknik pengerjaannya yang masih sangat sederhana— yang berfungsi untuk menyimpan makanan atau cairan. Teknik pembuatan keramik seperti ini hingga sekarang masih banyak diwarisi oleh para perajin keramik tradisional, seperti pembuatan kendi, belanga, periuk, juga patung keramik untuk sarana penunjang suatu kepercayaan dan sebagainya. Pada awal pengaruh Hindu di Indonesia, batu bata telah dibuat untuk keperluan bahan bangunan besar. Hal ini dapat dilihat pada lima gundukan bekas bangunan yang menggunakan bata dengan bermacam-macam ukuran yang dibuat dari tanah liat dicampur kulit padi atau sekam. Menurut para ahli dari Museum Jakarta, puing artefak berupa sisa bangunan tersebut adalah peninggalan Kerajaan Tarumanegara lebih kurang 500 SM. Kemudian sekitar abad XV bata sudah dibuat secara massal oleh masyarakat Indonesia untuk memenuhi kebutuhan bahan bangunan. Kenyatan ini dapat dilihat dalam pembangunan candi-candi peninggalan kerajaan Hindu yang berkuasa di Jawa dimasa lampau. Seperti Candi Mendut, Pranbanan dan sebagainya. Penggunaan bata sebagai bahan bangunan terus semakin eksis pemanfaatannya hingga pada zaman kerajaan Islam semasa penjajahan Belanda. Hal ini dapat dilihat pada bangunan benteng, keraton, mesjid, makam dan rumah tinggal orang-orang kaya di masa itu. Semua bangunan itu menggunakan genteng, bata yang kadang diekspos karena dilihat memiliki nilai keindahan. Di samping itu pembuatan gerabah kasar, genteng dan peralatan rumah tangga dari keramik terus mengalami perkembangan. Sedangkan produksi keramik putih sejenis porselin belum dikenal saat itu, sehingga barangbarang keramik jenis tersebut diimpor dari Eropa, Tiongkok, Vietnam dan Jepang (Utomo, 1995).
14
Pada tahun 1937 pemerintah Hindia Belanda menaruh perhatian besar pada usaha kerajinan gerabah, yaitu dengan jalan mendirikan Balai Penelitian Keramik di Plered, Jawa Barat yang masyarakatnya mayoritas sebagai perajin gerabah. Balai yang didirikan ini awalnya sebagai balai penerangan yang berorientasi pada peningkatan potensi sumberdaya manusia, namun pada kenyataanya juga difungsikan untuk produksi agar mendapat keuntungan bagi pihak Belanda. Barang-barang keramik yang dibuat seperti: botol dan wadah cairan kimia, celengan, asbak dan sebagainya yang diglasir, selain itu juga direncanakan untuk memproduksi barang-barang untuk peralatan dapur dari aarderwerk yang diglasir. Pada waktu itu glasir sudah dapat dibuat di dalam negeri, meskipun bahanbahannya masih didatangkan dari Belanda (Hidawati, 1984). Pada zaman pergolakan fisik (1945-1950) para pegawai Balai Penelitian Plered, banyak yang mengungsi ke Jawa Tengah. Untuk meneruskan usahanya, mereka mendirikan unit perusahan di
Kebumen. Kemudian setelah merdeka mereka dipindahkan lagi ke
Yogyakarta dan oleh pemerintah Indonesia dibangun Balai penelitian Keramik Yogyakarta. Atas pertimbangan lain, Balai ini dipidahkan ke Bandung dengan tugas yang diperluas antara lain: Penelitian, mendidik kader (para perajin), mengadakan kursus. Walhasil dari pengembangan fungsi Balai ini; usaha perkeramikan Indonesia saat itu mengalami perkembangan lebih pesat. Usaha produksi keramik ini sangat relevan dan strategis untuk di kembangkan di Indonesia, hal ini mengingat potensi sumber daya alam (SDA) cukup berlimpah, hanya saja sumber daya manusia (SDA) yang ahli belum memadai pada waktu itu. Sehingga di sekolah-sekolah umum mulai diajarkan tentang kerajinan keramik yang sisipkan pada pelajaran seni rupa / keterampilan atau sebagai ekstrakurikuler. Melihat kondisi seperti itu, maka perguruan tinggi juga memandang perlu untuk mengembangkan pengetahuan tersebut. Pertama kali di jurusan Seni Rupa ITB sekitar tahun 50-an pada saat itu masih bernaung di Fakultas Teknik Universitas Indonesia (UI). Pengetahuan Keramik dijadikan mata kuliah pilihan minat pada seni murni dan hingga kini terus dikembangkan. Selanjutnya ISI Yogyakarta mengembangkan di bawah Jurusan Seni Kriya. Trisakti di bawah Jurusan Desain dan IKJ di bawah Fakultas Senirupa dan Desain serta Fakultas Seni dan Sastra pada IKIP (Utomo, 2004). Dalam perkembangan selanjutnya di masyarakat semakin banyak bermunculan industri keramik yang berskala menengah ke atas. Usaha keramik setingkat gerabah juga tumbuh di 15
beberapa tempat di Indonesia, hingga kini kegiatan ini masih ditekuni sebagai tradisi. Dalam usaha pengembangannya ada juga yang menekankan pada segi keindahan. Misalnya kerajinan keramik yang dikembangkan di daerah Kasongan Yogyakarta, kerajinan keramik di Banjarnegara dan di beberapa tempat di Bali (Sugiyono,1979) Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern antara lain dengan adanya perkembangan reaktor atom sistem pembakaran dengan temperatur tinggi, elektronika, pesawat ruang angkasa yang membutuhkan zat-zat yang mampu bekerja terus menerus dalam keadaan temperatur tinggi; maka ditemukanlah seperti yang diutarakan di depan yaitu “keramik Baru” yang menggunakan bahan-bahan kimia murni, seperti: keramik oksida murni, magnetik keramik, nitrida keramik dan sebagainya. Dari paparan sejarah keramik di atas, maka sebagai tinjauan ontologi, bahwa eksistensi keramik atau tanah yang mengeras oleh api ini dapat diketahui dari penemuan fragmenfragmen situs arkeologi kepurbakalaan, merupakan hasil kebudayaan yang sangat tua, sehingga pengetahuan tentang keramik telah dikenal sejak zaman pra-sejarah dan kemunculannya didasari dari hasil pemikiran, pengamatan dan merasakan adanya semacam tuntutan akan peralatan yang fragmatis berupa ”wadah” maupun keperluan yang bersifat religius-magis sebagai sarana penunjang aktivitas hidup manusia. Kemudian dalam perkembangan pengetahuan keramik terus mengalami pekembangan dan dipelajari secara formal. Kemudian barang / produk keramik dimuati dengan makna dan nilai-nilai lain, seperti barang keramik dijadikan sebagai barang komoditi, sehingga memiliki nilai finansial, makna konotasi; barang keramik dianggap dapat memberi suasana atau citra rasa tertentu dan sebagainya. Jadi secara ontologi dan persyaratan pengetuan tersebut, maka keramik secara objektif memang “ada”, merupakan realitas atau kenyataan konkret secara kritis, eksis dan terus mengalami perkembangan dan perubahan (change). Berdasarkan kajian tersebut, maka keramik dapat dikatakan sebagai ilmu yang diperoleh dari pengetahuan emperik. 2.2. Ilmu Keramik Ditinjau Dari Sudut Epistemologi Epistemologi, (dari bahasaYunani episteme (pengetahuan) dan logos (kata/ pembicaraan / ilmu) adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan asal, sifat, dan jenis pengetahuan. Topik tersebut termasuk salah satu yang paling sering diperdebatkan dan 16
dibahas dalam bidang filsafat, misalnya tentang apa itu pengetahuan, bagaimana karakteristiknya, macamnya, serta hubungannya dengan kebenaran dan keyakinan. Epistomologi atau teori pengetahuan berhubungan dengan hakikat dari ilmu pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki oleh setiap manusia. Pengetahuan tersebut diperoleh manusia melalui akal dan panca indera dengan berbagai metode, di antaranya; metode induktif, metode deduktif, metode positivisme, metode kontemplatis dan metode dialektis. Menurut Suriasumantri, epistemologi atau teori pengetahuan, membahas secara mendalam segenap proses yang terlihat dalam usaha untuk memperoleh pengetahuan. Ilmu merupakan pengetahuan yang didapat melalui proses tertentu yang dinamakan metode keilmuan. Metode inilah yang membedakan ilmu dengan buah pikiran atau pengetahuan yang lainya (Suriasumantri. 1985). Berdasarkan penjelasan tersebut, maka keramik adalah merupakan domain dari ilmu, karena dalam perujudannya atau kemunculannya melalui proses yang panjang dan melalui metode yang ilmiah. Sebagai ilmu, keramik harus dapat diajarkan. Misalnya di Sekolah dari TK, SD, SMP, SMU atau SMK baik sebagai mata pelajaran atau ekstrakurikuler (ketrampilan atau senirupa atau membentuk atau kerajinan) maupun sekolah khusus keramik pada tingkat menengah seperti SMIK atau SMSR atau SMK. Pada perguruan tinggi, ilmu keramik bisa masuk sebagai mata kuliah penunjang atau pengayaan jurusan dan mata kuliah khusus yang dikelola oleh program studi keramik, semua itu terdapat dalam kurikulum yang akan membentuk profil lulusan yang diinginkan oleh perguruan tinggi. Disiplin ilmu keramik pada pendidikan Sarjana (S1) pada Fakultas Seni Rupa dan Desain, bisa masuk di Jurusan Seni Murni atau Kriya atau Desain dengan Program Studi Keramik. Dimasukkannya ilmu keramik sebagai salah satu cabang ilmu senirupa yang mempelajari tentang seluk beluk penciptaan barang atau produk keramik khusus seni (art) mulai dari seni murni (kesenimanan), desain keramik pakai - fungsional (produk guna-pakai massal atau industri) dan keramik kerajinan atau kriya seperti: perabotan rumah tangga, benda hias dan lainlainnya, semuanya sebagai penunjang aktivitas manusia. Keramik sebagai mata kuliah mayor (utama) tersirat pelajaran yang bersifat paket dan mempunyai fleksibelitas yang tinggi, tergantung dari kreatifitas pengajar dan perkembangan zaman atau kepentingan ilmu serta sesuai pula dengan kebutuhan masyarakat pengguna. Sedangkan sebagai mata kuliah minor 17
memberikan tambahan ilmu sesuai pilihan atau minat mahasiswa, untuk memperkaya dan memperluas wawasan keilmuan sebagai bekal nantinya dimasyarakat. Khusus ilmu dan profesi keramik tertuang dalam mata kuliah mayor keramik, dengan materi mulai dari pengolahan bahan mentah berupa material tanah (lempung), lalu teknikteknik pembentukan sederhana dan masinal (industri massal), mempelajari tungku dan sistem pembakaran, mempelajari kimia glasir sampai pada keterampilan teknik proses pembuatan produk keramik. Juga praktek kerja dilapangan baik dalam bentuk teori maupun praktek. Sebagai tambahan wawasan diberikan juga minor desain Kemampuan berolah keramik yang didasari ilmu seni dan teknologi diharapkan lulusannya dapat memiliki keahlian yang profesional dalam ilmu keramik, seni rupa dan desain. Sehingga semua mata kuliah yang diberikan merupakan kompetensi dasar yang dapat dikembangkan menuju spesialisasi sesuai dengan kemajuan masyarakat dan perkembangan zaman. Jadi secara implisit paradigma ilmu keramik merupakan bidang lintasan strategis antara Ilmu, teknologi dan seni yang mengkonstruksi menjadi bangun keilmuan. Hal tersebut mengingat dalam lingkup yang lebih luas penciptaan produk keramik tidaklah semata-mata mengandalkan keahlian tangan (virtuosity) semata, namun ditempuh dengan pemikiran yang sistematis dan terarah dengan menggunakan metode-metode tertentu serta didukung oleh seni, teknologi dan pengetahuan lainnya. Sehingga ilmu keramik dapat menyesuaikan untuk ditempatkan dibawah payung Institut atau Universitas atau di bawah bidang-bidang Teknologi, Seni, Keguruan, Kekeriyaan, Lingkungan, Desain produk dan lainnya. Lintasan ini dapat digambarkan seperti Gambar 6 berikut:
Gambar: 6 Lintasan Bidang Seni, Sains dan Teknologi dalam Paradigma Ilmu Keramik 18
2.3. Ilmu Keramik Ditinjau Dari Sudut Aksiologi Aksiologi merupakan cabang filsafat ilmu yang mempertanyakan bagaimana manusia menggunakan ilmunya, berasal dari kata Yunani axion (nilai) dan logos (teori) yang berarti teori tentang nilai. Pertanyaan di wilayah ini menyangkut antara lain: untuk apa pengetahuan ilmu itu digunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaannya dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan metode ilmiah yang digunakan dengan norma-norma moral dan professional?. Jadi Aksiologi juga diartikan teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Aksiologi terbagi dalan tiga bagian; Pertama merupakan produk moral; Kedua ekspresi keindahan; dan ketiga kehidupan sosial politik. Pengertian keramik pada umumnya adalah cakupan untuk semua benda yang terbuat dari tanah liat (lempung), yang mengalami proses kimia-fisika atau dipanaskan, baik oleh proses alam (contoh batu lahar, batu gamping, intan-berlian, marmer, dll) maupun pembakaran dengan panas api buatan dalam oven atau tungku (contoh piring, guci, dll) sehingga mengeras. Berdasarkan penjelasan di atas, maka pengetahuan keramik sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia. Mengingat pengetahuan tersebut lebih berorientasi pada hal-hal yang bersifat praktis atau memiliki manfaat yang melingkup dua hal: fisik dan psikhis; selain memberi solusi terhadap permasalahan atau fenomena yang muncul di masyarakat bersifat fisik berupa produk keramik, juga memberi pertimbangan nilai keindahan dalam suatu produk yang terkait dengan masalah psikhis. Kebanyakan produk keramik yang diciptakan tidak bertentangan dengan kaedah moral, bahkan banyak produk keramik dipakai sebagai sarana upacara keagamaan. Namun bagaimanapun juga keramik bisa berwujud apa saja, tergantung kemampuannya mengolah dan semua ini berpulang pada moral pelakunya, seperti seniman, perajin, desainer, pengusaha atau pengembang. Balai Besar Keramik Bandung, mendefinisikan keramik sebagai berikut: “Keramik adalah produk yang terbuat dari bahan galian anorganik non-logam yang telah mengalami proses panas yang tinggi. Dan bahan jadinya mempunyai struktur kristalin dan non-kristalin atau campuran dari padanya” ( Sumitro, dkk, 1984: 15). Definisi keramik yang pengertiannya luas dan umum adalah “bahan-bahan yang dibakar tinggi”, termasuk didalamnya adalah 19
semen, gibs, besi (metal) dan lain sebagainya. Karena hal itulah sebutan keramik bervariasi seperti gerabah, tembikar, mayolika, email, keramik putih, terracota, porselin, keramik batu (stoneware), benda tanah liat, barang pecah-belah, benda api, cermet (keramik-metal), gelas, semen api, keramik halus, kaca, silikon dan lain sebagainya. Pengertian keramik dapat pula dipandang dari bentuk visualnya (wujud rupa), dari bahan material ( kimia - fisik ) dan teknologinya ( teknik kimia, teknik fisika, teknologi proses, dll. ), serta dari fungsinya baik bersifat praktis, maupun sebagai konsep seni dan desain. Bila ditinjau dari sudut ilmu pengetahuan, teknologi dan seni (IPTEKS), keramik dapat digolongkan dalam lingkup silika enginnering (Teknik Kimia) karena bahan materialnya menjadi titik pusat perhatian dan karakteristiknya. Bisa juga digolongkan dalam lingkup fisika enginnering ( Teknik Fisika ). Hal tersebut bila ditinjau dari sifat fisik dan proses / metode pemanasan atau pembakarannya.
Iptek-material ini meneropong berbagai segi
keramik modern. Dari bahan baku, bahan mentah, pemrosesan, sampai dengan analisis dan penerapannya untuk berbagai rekayasa teknologi mutakhir. Rekayasa canggih tersebut meliputi elektronika dan outomotif serta komponen komputer, juga akhir-akhir ini telah merambah ke bidang kesehatan (pengganti tulang dan gigi) yang mengetengahkan keramik modern yang menakjubkan. Proses dan arah spesialisasi ilmu keramik dapat dilihat pada bagan 4. Sebenarnya, apapun yang terkandung dalam suatu benda keramik, baik sebagai benda teknis, benda praktis (pakai-guna), benda estetis, maupun sebagai benda spiritual (magis), adalah berasal dari daya “imajinasi” penciptanya saja. Namun demikian sifat tanah liat yang plastis tersebut, tidak akan banyak bermanfaat apabila tidak didukung oleh ilmu, pengetahuan, teknologi dan seni (IPTEKS) untuk merekayasa lempung menjadi keras, kedap air, tahan panas, tahan dingin, awet, berfungsi pakai dan mempunyai bentuk yang indah serta menarik. Disamping hal tersebut, arah pengembangan ilmu pengetahuan khususnya tentang ilmu keramik sampai sekarang ini telah semakin meluas dan kompleks, sehingga pengertiannya pada masa kini dan mendatang tidak lagi sederhana, dikarenakan riset bahan, seni, sosialbudaya-ekonomi dan teknologi terus bergulir serta berkembang dengan pesatnya di era keterbukaan (kesejagatan / globalisasi) yang sarat dengan persaingan.
20
Mencermati paparan definisi keramik yang sangat kompleks tersebut, maka sebagai ”ilmu”, keramik dapat ditanggapi dari berbagai sudut pandang, bisa dipandang sebagai ilmu bahan-material (bahan mentah), sebagai ilmu teknik atau komponen teknologi dan sebagai konsep senirupa murni, desain dan kriya. Dalam konsep penciptaan seni rupa dan desain tentu berhubungan dengan masalah rupa atau tampilan perwujudan bentuk visual dari benda keramik. Proses pembentukannya tertuang dalam suatu kegiatan pengorganisasian unsurunsur visual (bentuk / bidang / ruang, garis, tekstur, warna, dll) yang umum disebut “seni keramik”. Dan awal proses perencanaannya disebut “proses desain keramik”. Hasil produk keramik olahan tersebut bisa disebut “keramik seni murni” atau “keramik kerajinan” atau “keramik fungsional (pakai)”. Wujud keramik dalam kaitannya dengan seni, maka Read menyebutkan bahwa seni merupakan usaha manusia untuk menciptakan bentuk-bentuk yang menyenangkan. Bentuk yang menyenangkan dalam arti dapat membingkai perasaan keindahan dapat terpuaskan apabila dapat menangkap harmoni atau kesatuan bentuk yang disajikan (Read, 1959). Lalu Langer mengatakan, seni merupakan simbol dari perasaan. Seni merupakan kreasi bentuk simbolis dari perasaan manusia (Langer, 1953). Dan banyak lagi definisi ilmu seni lainnya, sebanyak manusia di Bumi ini (Kartika, 2004). Hal tersebut disebabkan seni merupakan kebutuhan manusia dan hubungannya dengan masyarakat terutama pendukung dilingkungan masing-masing baik bersifat tradisional maupun modern dengan aliran / gaya yang beragam. Langer mengatakan bahwa ada hubungan di antara semua seni, terjadinya perbedaan diantara semua seni itu sebenarnya hanyalah perbedaan fisik karena adanya perbedaan medium dan material yang digunakan. Sedangkan persamaannya adalah sama-sama mempunyai masalah didalam mengolah atau menyusun estetika (keindahan) dan sebagai ungkapan perasaan (ekspresi), sebuah fakta obyektif dan subyektif untuk dikomunikasikan sebagai behasa rupa (visual). Perbedaan material tentu akan ada perbedaan dalam proses cipta seni, yang akhirnya terjadilah cabang-cabang seni, seperti seni pertunjukan (tari, pedalangan, kerawitan / musik, peran (drama, teater, film, foto model dan lainnya), seni rupa, seni sastra dan sebagainya. Menurut Kartika, ilmu seni rupa
merupakan suatu bentuk kesenian yang
mempergunakan medium rupa (visual) sebagai medium ungkapnya. Suatu kondisi yang dipengaruhi oleh kualitas material yang digunakan dan pengorganisasian (dari unsur-unsur kasat mata) dari hasil persepsi senimannya. Material seperti pigmen (zat warna), pasir, 21
semen, gibs, plastik, fiber, benang (kain), batu, kayu, kulit, logam, tanah liat (keramik), kertas, kanvas, dan lain sebagainya adalah bahan dasar seni rupa. Seni visual (seni rupa) dibedakan menjadi dua jenis yakni trimatra / 3 dimensi dan dwimatra / 2 dimensi (Kartika, 2004), dengan unsur visual seperti: garis, warna, tekstur (bahan) dan bentuk (ruang / bidang / volume). Adapun cabang ilmu seni rupa adalah seni patung, seni lukis, seni keramik, seni grafis, seni fotografi, seni bangunan / arsitektur, tekstil dan busana, produk dan desain (interior, eksterior, komunikasi visual, grafis, kriya dan sebagainya). Benda seni rupa yang dianggap indah (relatif), memiliki sejumlah kualitas dengan nilai-nilai pokok tertentu. Kualitas estetika umumnya yang sering disebut adalah kesatuan (unity), keselarasan (harmony) kesetangkupan (symmetry), keseimbangan (balance), kontras (contrast), fokus (poin of interest), irama atau nada (rytme) dan nilai lainnya. Penyusunan atau pengorganisasian unsur-unsur visual sehingga menjadi memiliki kualitas tertentu yang dituangkan dalam kegiatan desain (perencanaan), baik sebagai seni murni untuk kesenangan atau untuk keperluan khusus maupun sebagai seni terapan baik untuk produk kerajinan maupun untuk keperluan perabotan yang bersifat umum (produk massal). Pengertian seni keramik secara “khusus” dikaitkan dengan bidang senirupa, yang ditinjau dari segi perwujudan bentuknya. Arti kata dalam bahasa Indonesia, dua kata yang dirangkai menjadi kata majemuk, sesuai dengan hukum DM, yaitu penempatan kata yang terdepan atau mendahului akan memberikan arti atau makna berbeda. Dalam hal ini secara umum disebut sebagai “seni keramik”, yaitu suatu pengertian dari proses pengubahan atau penciptaan benda yang bernilai “seni”. Seni disini bisa diinterpretasikan atau diterjemahkan sebagai ekspresi / ungkapan, bentuk (form), arti (meaning), simbol, abstraksi, wakilan (representasi), indah, cantik atau molek, kreativitas, fungsi/guna, dan lainnya. Sedangkan hasil dari pengolahan, penyusunan dan proses kreasi seni tersebut umumnya kemudian disebut sebagai “keramik seni”. Penciptaan bentuk keramik ada hubungannya dengan penyusunan dari unsur-unsur visual dan latar belakang atau tujuan dari pembuatan, yang tertuang dalam kegiatan perancangan atau mendesain, disamping menyangkut kreativitas juga bisa berupa ungkapan (ekspresi). Keramik sebagai “konsep visual” adalah cara pandang yang khas, yang berhubungan dengan pengorganisasian dan penyusunan unsur-unsur satmata (element visual) berkaitan dengan bidang senirupa dan desain. Cara pandang tersebut di
22
dalam bidang senirupa bisa berada dalam kajian seni murni atau bisa dalam kajian seni kriya (kerajinan) atau bisa juga dalam kajian seni pakai (terapan) dan kajian desain. Tidak dipungkiri lagi bahwa spesialisasi ilmu terus dilakukan, karena semakin dirasakan perlu untuk dapat lebih mendalaminya dan apalagi akan mengembangkannya. Dunia senirupa, khusus ilmu keramik dalam pandangan seni memerlukan suatu wawasan tertentu untuk memudahkan dalam mendudukkan, mencirikan, mengkonsep penciptaan karya dan memahami akan arah pengembangannya, baik sebagai seni pakai (fungsional), seni kerajinan maupun sebagai seni murni. Dalam kenyataan sehari-hari, seringkali terlihat secara visual produk atau karya keramik hanya berupa kecenderungan-kecenderungan dan perpaduan dari seni pakai, seni kerajinan dan seni murni. Belum banyak kalangan dan para pegiat senirupa serta keramikus yang mencoba menonjolkan “ciri khas” masing-masing dari ketiga bagian ilmu seni tersebut sebagai spesialisasi ilmu tersendiri. Apalagi kini pandangan seni dan teknologi dalam ilmu keramik ada yang bersifat teknis (fisika & kimia), ilmu pakaiguna (fungsi praktis), kriya (seni kerajinan), ekspresi (seni murni), dimana kini strata pengembangannya pun sangat relatif. Lihat bagan 2 yang menunjukkan wawasan senirupa dalam pengembangan keramik. Sejalan dengan perkembangan peradaban manusia, maka kehadiran seni keramik mengalami peningkatan baik kuantitas maupun kualitasnya. Disertai pula kandungan makna dan filosofis serta konsep penciptaan yang semua itu bergayut dengan nilai-nilai yang mencakup segi-segi material, teknologi, ilmu pengetahuan, seni, estetika, spiritual, fungsifungsi religi, ekspresi pribadi sampai pada kemanusiaan itu sendiri. Tanah liat atau lempung ternyata memberikan banyak kemungkinan bentuk dengan berbagai variasinya, karena bahannya mudah dibentuk, termasuk dalam pengungkapan ekspresi dari pancaran emosi dan kesadaran tentang nilai-nilai tertentu yang dianggap bermakna.
23
Gambar: 2 Padigma Estetika dan Posisi Keramik Perkembangan keramik Indonesia dewasa ini ditandai dengan perkembangan industri, yang melibatkan banyak desainer dalam perancangan produk yang berkualitas secara massal melalui mesin-mesin berteknologi canggih. Selain keramik yang berada di jalur industri massal, adapula keramik yang diproduksi terbatas oleh kriyawan atau perajin berupa benda hias, benda rumah tangga dan cenderamata. Disamping itu terdapat pula keramik yang dibuat khusus dan benda tersebut merupakan benda tiada duanya atau merupakan satu-satunya di Dunia, yang dibuat oleh seniman individu, benda tersebut sering disebut sebagai benda “ekspresi” yang memiliki daya tarik tersendiri. Arah baru dari pengembangan riset bahan keramik pada akhir abad 20 ditandai dengan Iptek-bahan yaitu “Material Multifungsi” yang penggunaannya teramat banyak, termasuk piranti (komponen) elektronika (elektro-keramik), komponen bertegangan tinggi dan suhu tinggi seperti mesin dan cerobong pesawat, komponen untuk industri produksi seperti permrosesan gelas dan logam serta piranti dari proses manufaktur (alat potong dan lainnya). Lapisan pelindung pesawat antariksa dan kendaraan hipersonik Angkatan Laut Amerika memakai bahan multifungsi yang tahan pada suasana oksidatif dan reduktif serta menghambat suhu dingin dan aliran cepat suhu yang amat panas (Anton, 1994). Gelaskeramik alumunium silikat sebagai bahan pelapis dan komposit karbon-karbon (C-C), sangat stabil pada suhu panas 1500°C. Pemrosesan sol-gel sangat baik untuk membuat bahanmultifungsi misalnya optika silikat, keramik-metal (cermet) dan lainnya. Selain itu, pengembangan baru IPTEKS yang menggabungkan biologi, kimia-fisik dan DNArekombinan. Para ahli telah dapat menciptakan bahan untuk perbaikan enamel gigi manusia. 24
Teknologi canggih dan eksperimentasi terus berlangsung dan kemudian Zircone-Y merupakan hasil temuan cemerlang, sehingga mampu menjadikan keramik sebagai bahan mentah yang keras dan kuat, tahan terhadap goresan, panas dan berbagai bentuk efek kimia dan mekanik. Lalu pemanfaatan tulang sapi sebagai komposit keramik yang mengandung serat organik (kolagen) dan mineral, merupakan bahan baku (biologi-material) yang cukup potensial. Dan kini telah dimanfaatkan oleh perusahaan patungan dalam negeri yaitu PT. Han Kook Keramik Indonesia, yang meramu tulang sapi dengan tanah liat sebagai bahan baku peralatan rumah tangga (Brosur Pameran Industri, 1999). Riset bahan keramik dan seni terus bergulir dengan wawasan yang semakin luas, kompleks, rinci serta mendalam; sehingga pengertian keramik masa kini dan mendatang tidak lagi sederhana atau sekedar keterampilan dan ketekunan mengolah lempung belaka, tetapi sudah berwajah Iptek tinggi. Dengan demikian, spesialisasi keahlian perlu dikembangkan untuk memudahkan dalam mengarahkan dan mendalami keramik itu sendiri. Untuk memudahkan dalam menanggapi persoalan-persoalan keramik, dalam hal ini ada beberapa cara pandang yaitu keramik sebagai “meterial” (bahan), yaitu pembahasan yang meliputi bahan baku dan bahan mentah serta Iptek-material seperti masalah tanah atau lempung, batuan, bahan galian, air, bahan glasir, komposisi bahan, yang meliputi pembahasan ilmu kimia dan fisika. Keramik juga bisa dilihat dari sudut “teknik”, yang meliputi proses pembuatan, teknologi proses, penerapan kimia dan fisika, bahan konstruksi dan arsitektur, tungku dan pembakaran, komponen rekayasa teknologi pesawat (khusus cerobong roket), teknologi komponen elektronik atau elektro-ceramic berupa salah satu bahan untuk pembuatan Integrated Circuit (IC), dapur tinggi pada pengecoran logam dan keguanaan lainnya. Pandangan antara seni dan teknologi keramik yang dipergunakan secara relatif dapat dilihat pada Gambar bagan 3.
25
0
100 T E K N O L O G I
KERAMIK TEKNIS KERAMIK PAKAI S E N I
KERAMIK PAKAI KERAJINAN (KRIYA) KERAMIK PAKAI SENI (MURNI) 100
0
Sumber: Sumitro 1985 Gambar : 3 Bagan Seni dan Teknologi Keramik - Parameter Penggunaan Yang Relatif
26
BAB III PENUTUP Berdasarkan paparan dalam pembahasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa keramik tinjau berdasarkan perspektif filsafat ilmu, ternyata keramik termasuk domain ilmu.
Hal tersebut karena ditinjau dari sudut ontologi, ternyata berdasarkan sejarah
keramik diberbagai belahan dunia, seperti China, Jepang, Mesir, Yunani, Korea, Thailand, Peru, Philipina, Vietnam dan lain sebagainya, keberadaan keramik dan dikenal oleh manusia sejak mengenal api dan hingga kini terus eksis serta mengalami perkembangan signifikan seiring dengan peradaban manusia. Ditinjau dari sudut epistemologi keramik merupakan pengetahuan yang diperoleh manusia melalui akal dan panca indera dengan menggunajan berbagai metode. Sebagai ilmu, maka keramik hendaknya dapat diajarkan. Hal tersebut telah terbukti, seperti di Indonesia atau di negara-negara lain, pengetahuan keramik dijadikan mata ajar di sekolah atau sebagai matakuliah di perguruan tinggi. Ditinjau dari sudut aksiologi ternyata pengetahuan keramik sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia. Mengingat pengetahuan tersebut berorientasi pada hal-hal yang bersifat praktis atau memiliki manfaat yang besar melingkup dua hal: bersifat pemenuhan kebutuhan fisik dan psikhis; selain memberi solusi terhadap permasalahan atau fenomena yang muncul di masyarakat bersifat fisik berupa produk keramik, juga memberi pertimbangan nilai keindahan dalam suatu produk yang terkait dengan masalah yang bersifat psikhis.
27
DAFTAR PUSTAKA Anton, J.H, 1994, Mengenal Keramik Modern, Andi Offset, Yogyakarta. Astuti, A, 1982, Teori Keramik, Liberty, Yogyakarta Bakhtiar, A, 2005, Filsafat Ilmu, PT.Rajagraf Indo Persada, Jakarta Battie, David, 1996, Tembikar & Porselen (Alih Bahasa: Klara Siauw), PT.EMK, Kel. Gramedia, Jakarta Dardiri, 1986, Filsafat Ilmu, Obor, Jakarta Feldman, 1967, Art As Image & Idea, Holt Rinehart & Winston, New York Herman, L. E, 1984, Porselen Amerika: Berbagai Pengungkapan Baru dalam suatu Kesenian Kuno, Galeri Renwick, USA. Hanover, 1925, Hanover, 1925, Pottery & Porcelain, Ernes Benn Limited, London Kartasubarna, Edi, 1979, Tinjauan Keramik, Diktat, ITB, Bandung _________, 1994, Kamus Besar Bahasa Indonesia, BP, Jakarta Kartika, D. S, 2004, Seni Rupa Modern, Pn. Rekayasa Sains, Bandung Langer, 1953, Feeling and Form: A Theory of Art, Charles Scribne, New York Mills, JFM, 1965, Dictionary of Art, Pergamon, New York Myers, B. S., 1969, Dictionary of Art, The City College, New York Nelson, 1960, Ceramics, Holt R and W Inc, USA Norton, FH, 1956, Ceramics for The Artist Potter, Addison Wesley Publishing Company, Inc, USA Razak, RA, 1881, Industri Keramik, PN. Balai Pustaka, Jakarta Read, H, 1962, The Meaning of Art, Pelican Books, The Wolld Publishing Company, Cleveland and New York Ruth, L, 1971, Exploring the World of Pottery, USA Runes, D and Harry S., 1946, Encyclopedia of The Arts, USA Sachari, A, 1986, Desain Gaya dan Realitas. Jakarta: CV. Rajawali. Sugiyono, 1979, Pengetahuan Teknologi Kerajinan Keramik, Jakarta: Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan Depdibud Suriasumanrtri, S. 1992, Ilmu dalam Perspektif, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia. Sutaba, I M, 1980, Prasejarah Bali, BU. Yayasan Purbakala Bali, Denpasar Sumitro, dkk, 1984, Seni Rupa & Keramik, Berkala No..4 DKJ, Jakarta Sumitro, dkk, 1984, Seni Rupa & Keramik, Berkala No..4 DKJ, Jakarta Utomo, AM, 1986, Tinjauan Khusus Keramik, PSSRD, Universitas Udayana, Denpasar Utomo, AM, 1995, Tinjauan Keramik Kuno Indonesia, PSSRD, Unud, Denpasar 28
Utomo, AM, 1984, Keramik Banyuning dan Pering, Skripsi, FSRD-ITB, Bandung Yulinawati, A, 1983, Kerajinan Keramik Basang Tamiang dalam Upaya Peningkatan Mutunya, Skripsi, PSSRD-Unud, Denpasar Yasana, 1987, Pusat Penelitian Keramik dan Porselin Bali, BPPT-P3SKP-Bali, Denpasar
29