KAJIAN EMPIRIS TERHADAP KEBIJAKAN DAN TRANSFORMASI MADRASAH PADA ERA REFORMASI Khotibul Umam (Jurusan Tarbiyah STAIN Jember, Email :
[email protected])
Abstract: The reform movement which is currently being rolled has been the most crucial phase or a phase that will determine whether it will actually make a fundamental and comprehensive change in the political, economic, legal and social as well as educational aspects. In this reform era, many government policies, especially in terms of education are not directly profitable to the Islamic education (especially madrasah) in order to advance Islamic education itself. One form of the transformation results is in the enactment of the national education system No. 2/1989, which was later revised by the Act No. 20/2003. Then this transformation is referred to as mainstreaming Islamic education into the national education as a whole; and this mainstreaming process is clearly a step that can no longer be pushed back (point of no return). Keywords: Policies, Madrasah Transformation, Reform Era.
Pendahuluan Tidak diragukan lagi, pencapaian pendidikan madrasah (MI, MTs, MA) dalam empat dasawarsa terakhir sangat fenomenal. Pencapaian paling utama dari segi hukum adalah pengakuan negara melalui UU terhadap madrasah—melalui UU Sisdiknas No. 2/1989 dan UU Sisdiknas No. 20/2003. Dengan UU ini, madrasah tidak lagi marjinal dan terasing dari pendidikan nasional secara keseluruhan. Seperti disampaikan Azra dalam "Reforms in Islamic Education: a Global Perspective Seen from Indonesian Case" (Cambridge University, UK, 9-10 April 2011) sebaliknya madrasah mengalami mainstreaming, pengarusutamaan yang membawa madrasah ke dalam transformasi dan
Kajian Empiris terhadap Kebijakan dan Transformasi Madrasah pada Era Reformasi pembaharuan yang sangat fenomenal (cf. Azra, Mainstreaming of Islamic Education: Boston University, 2004). Gerakan reformasi yang bergulir saat ini sedang berada pada sebuah fase atau tahapan paling krusial yang akan menentukan apakah ia akan benar-benar menghasilkan sebuah perubahan fundamental dan menyeluruh dalam tata kehidupan politik, ekonomi, hukum dan sosial serta pendidikan. Hal tersebut dikarenakan sejarah sebuah bangsa tidak dapat dilepaskan dari pendidikannya, tidak ada bangsa di dunia ini yang dapat bergerak secara dinamis tanpa ada proses, pergerakan, dan perkembangan pendidikannya, begitu pula bangsa Indonesia. Kebanyakan tokoh dan pemimpin bangsa Indonesia merupakan lulusan lembaga pendidikan. Dalam era reformasi ini, banyak sekali kebijakan-kebijakan pemerintah terutama dalam hal pendidikan. Kebijakan-kebijakan tersebut secara tidak langsung menguntungkan pendidikan Islam (terutama madrasah) dalam rangka untuk memajukan pendidikan Islam itu sendiri. Meski demikian, pengarusutamaan itu masih belum tuntas; dalam segi-segi tertentu madrasah masih mendapat perlakuan diskriminatif. Misalnya saja dari segi anggaran. Karena Kementerian Agama adalah instansi vertical yang tidak termasuk didesentralisasikan pemerintah daerah dan DPRD (provinsi, kabupaten/kota) tidak dapat/tidak bersedia memberikan anggaran rutin kepada madrasah, termasuk tambahan insentif kepada guru madrasah. Kondisi Madrasah di Era Reformasi Madrasah adalah lembaga pendidikan di mana anak bangsa juga mendapatkan pendidikannya sama dengan sekolah umum di bawah Kemendikbud. Perlakuan diskriminatif ini masih terus berlanjut tanpa ada usaha kongkret dari Kementerian Agama untuk menyelesaikannya. Meresponi diskriminasi itu, menurut Prof. Dr. Azyumardi Azra (2012) pernah menyarankan secara terbuka dalam wawancara dengan
2|
Khotibul Umam Harian Kompas, bahwa hanya ada tiga alternatif bagi Kemenag untuk menyelesaikan masalah ini, diantaranya yaitu: Pertama; Membiarkan dan melanjutkan status quo yang diskriminatif tersebut; Kedua; Membuat SKB Tiga Menteri, yaitu; Menag, Mendikbud, dan Mendagri yang tidak memperlakukan madrasah sebagai instansi vertikal; dan Ketiga; Menyerahkan pengelolaan madrasah kepada Kemendikbud. Dari tiga alternatif tersebut, option yang kedua itu agaknya yang bisa diterima Kemenag dan lingkungan madrasah sendiri. Sambil menunggu penyelesaian diskriminasi tersebut, pencapaian penting dalam soal kedudukan hukum di atas jelas telah mendorong pencapaian lebih lanjut yang juga tidak kalah pentingnya, yakni peningkatan kualitas pendidikan madrasah dan sekaligus penambahan kuantitas madrasah pada ketiga tingkatannya. Tabel 1 Data Perbandingan Madrasah Swasta-Negeri dari 3 Tingkatan1 NO 1
2
1
PERBANDINGAN MADRASAH MIN MTs MTsN MAS MAN S 21.317 1.486 9.624 1.468 3.195 577 (93,5 (6,5%) (89,2 (10,8%) (84,7 (15,3 %) %) %) %) Jumlah total Jumlah total Jumlah total murid murid murid 3.152.665 2.129.564 (15,9 %) 744.736 (5,7 %) (12,1%) usia sekolah 13- usia sekolah 16usia sekolah 715 tahun; 18 tahun 12 tahun Jumlah total murid ketiga tingkatan Madrasah 6.022.965 MIS
Data tahun 2005
KET Secara keseluruhan, hanya 8,5 % madrasah negeri; sedangkan swasta 91, 5 %.
Volume 4. No. 01. Maret 2012 | 3
Kajian Empiris terhadap Kebijakan dan Transformasi Madrasah pada Era Reformasi Semua pencapaian madrasah itu baik secara kualitatif2 maupun kuantitatif tidak terlepas dari dinamika pendidikan madrasah sejak 1970-an, khususnya. Perkembangan itu pada gilirannya menimbulkan transformasi madrasah yang sangat fenomenal; dan transformasi itu hampir bisa dipastikan terjadi hanya di Indonesia, tidak di negaranegara Muslim lain, seperti terungkap dalam tulisan Azra, Dina Afrianty dan Hefner (2007) dalam buku suntingan Hefner dan Zaman. Gejala paling jelas adalah bahwa madrasah dalam beberapa dasawarsa terakhir kian terlibat dalam pendidikan umum; bahkan juga dalam upaya pembangunan bangsa untuk kemajuan dan kewargaan kultural. Proses transformasi itu sebagaimana sudah banyak diketahui, bermula pada 1970-an ketika Menteri Agama Prof. Mukti Ali memperkenalkan perubahan kurikulum madrasah dari yang kurang lebih 100 persen agama menjadi 70 persen umum dan 30 persen agama. Perubahan ini membuka jalan bagi penyetaraan madrasah dengan sekolah umum, yang pada akhirnya ditetapkan dalam UUD Sisdiknas No. 2/1989, yang kemudian direvisi menjadi UU No. 20/2003. Transformasi inilah yang kemudian disebut sebagai pengarusutamaan (mainstreaming) pendidikan Islam ke dalam pendidikan nasional secara keseluruhan; dan proses mainstreaming ini jelas merupakan langkah yang tidak lagi bisa dimundurkan (point of no return) . Transformasi seperti itu dalam pengamatan Azyumardi Azra (2012) hampir tidak mendapat resistansi dari masyarakat Muslim yang merupakan pendiri, pemilik, dan pengelola sebagian besar madrasah dan, sekali lagi, sebagian besar madrasah memang milik ma-
2
Atas dasar itu, Azra dkk. menyimpulkan, sistem pendidikan Islam Indonesia termasuk ke dalam ranking sistem pendidikan paling terbuka dan inovatif di dunia. Hal ini agaknya masih kurang diketahui dan disadari banyak kalangan dunia pendidikan Indonesia sendiri maupun para pengamat dan peneliti asing. Karena itu, pemahaman dan apresiasi lebih baik terhadap madrasah Indonesia pastilah perlu dikembangkan terus, baik di dalam maupun luar negeri.
4|
Khotibul Umam syarakat terbalik dengan sekolah umum yang sebagian besar adalah negeri Absennya resistansi masyarakat Muslim tersebut berkaitan dengan adanya harapan yang sudah lama diperjuangkan umat Islam untuk kesetaraan madrasah dengan sekolah umum, sehingga anakanak mereka dapat melanjutkan ke sekolah umum, dan juga setelah selesai Madrasah Aliyah (MA) dapat meneruskan pendidikan ke perguruan tinggi umum tidak hanya ke IAIN seperti pada masa-masa sebelumnya. Equivalensi itu memang memunculkan konsekuensikonsekuensi yang tidak diharapkan (unintended consequences), dan tidak jarang membuat sebagian kita “meratap” dan “menyesal”. Penetapan equivalensi itu misalnya saja mengharuskan madrasah menerapkan kurikulum sekolah umum yang ditetapkan Departemen Pendidikan, khususnya Kurikulum 1994. Pada sisi lain, untuk memelihara “karakter pendidikan Islam”, madrasah harus memiliki bobot mata pelajaran agama lebih banyak. Hasilnya, beban pelajaran secara keseluruhan di madrasah menjadi jauh lebih berat dibandingkan sekolah umum. Konsekuensi lebih berdampak luas lainnya adalah bahwa pada tingkat MA, jurusan-jurusan yang dikembangkan juga mengikuti pola penjurusan yang ada pada SMU/SMA, khususnya IPA, IPS, Bahasa, dan Keterampilan, seperti terlihat pada data di atas. Hasilnya, jurusan-jurusan inilah yang kemudian dominan di MA, termasuk MA yang ada di pesantren. Bahkan kemudian juga populer MA yang lebih menekankan pada keterampilan, sehingga lebih merupakan “Vocational Schools”. Sebaliknya, MA PK (atau MA-K) yang pernah menjadi “pilot project” Menteri Agama Munawir Sjadzali (untuk melahirkan kaderkader ulama) justru semakin terpinggirkan. Apalagi ketika MA PK ini tidak terdapat dalam nomenklatur UU Sistem Pendidikan Nasional 1989 dan 2003. Nasib tragis dialami MA PK, ketika Departemen Agama beberapa tahun lalu menghapuskan MA PK dan menjadikannya sebagai jurusan belaka pada sistem MA yang telah didominasi
Volume 4. No. 01. Maret 2012 | 5
Kajian Empiris terhadap Kebijakan dan Transformasi Madrasah pada Era Reformasi jurusan-jurusan umum inilah marjinalisasi tafaqquhfi al-din pada tingkat MA yang menimbulkan dampak luar biasa terhadap perguruan tinggi Islam dalam bentuk sangat berkurangnya input calon mahasiswa untuk jurusan/prodi agama di STAIN, IAIN, UIN dan PTAIS. Oleh karenanya, penguasa reformasipun berupaya memformulasikan arah kebijakan pembangunan pendidikan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (1999-2004), yaitu: 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu tinggi bagi seluruh rakyat Indonesia menuju terciptanya manusia Indonesia berkualitas tinggi, dengan peningkatan anggaran pendidikan secara berarti. 2. Meningkatkan kemampuan akademis dan profesional serta meningkatkan jaminan kesejahteraan tenaga kependidikan sehingga tenaga pendidik mampu berfungsi secara optimal, terutama dalam peningkatan pendidikan watak dan budi pekerti agar dapat mengembalikan wibawa lembaga dan tenaga kependidikan. 3. Melakukan pembaruan sistem pendidikan, termasuk pembaruan kurikulum, berupa diversifikasi kurikulum untuk melayani keberagaman peserta didik, penyusunan kurikulum yang berlaku nasional dan lokal sesuai dengan kepentingan tepat, serta diversifikasi jenis pendidikan secara profesional. 4. Memberdayakan lembaga pendidikan, baik sekolah maupun luar sekolah, sebagai pusat pembudayaan nilai, sikap, dan kemampuan serta meningkatkan partisipasi keluarga dan masyarakat yang didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai. 5. Meningkatkan kualitas lembaga pendidikan yang diselenggarakan, baik oleh masyarakat maupun pemerintah, untuk memantapkan sistem pendidikan yang efektif dan efisien dalam menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
6|
Khotibul Umam 6. Mengembangkan kualitas sumber daya manusia sedini mungkin secara terarah, terpadu, dan menyeluruh melalui berbagai upaya proaktif dan reaktif oleh seluruh komponen bangsa agar generasi muda dapat berkembang secara optimal disertai dengan hak dukungan dan perlindungan sesuai dengan potensinya. 7. Meningkatkan penguasaan, perkembangan, dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk teknologi bangsa sendiri dalam dunia usaha, termasuk usaha kecil, menengah, dan koperasi guna meningkatkan daya saing produk yang berbasis sumber daya lokal3. Kebijakan pemerintah pada masa Reformasi dalam dunia pendidikan Agama Islam bukanlah merupakan produk baru. Kebijakan pemerintah pada masa reformasi merupakan kebijakan yang melanjutkan dari segi positif dari kebijakan-kebijakan yang telah diambil oleh pemerintah sebelum masa reformasi. Salah satu kebijakan pemerintah Reformasi yang melanjutkan kebijakan pemerintah masa sebelumnya adalah kebijakan mengenai program wajib belajar sembilan tahun yaitu jenjang SD dan SMP atau sederajat. Pada Masa Reformasi pendidikan Agama Islam lebih diperhatikan dan disamakan kedudukannya dengan pendidikan umum. Salah satu buktinya adalah dengan dikeluarkannya UU No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS yang mengatur di berbagai bidang pendidikan salah satunya adalah bidang Pendidikan Agama Islam yang memiliki kedudukan sama dengan pendidikan umum4. Kebijakan-Kebijakan Pendidikan Yang Diterapkan Terhadap Madrasah Pada Era Reformasi Sejalan dengan berbagai kebijakan tersebut di atas, secara tidak langsung telah menimbulkan keadaan pendidikan Islam yang secara umum keadannya jauh lebih baik dari keadaan pendidikan Rifai, Muhammad, 2011. Sejarah Pendidikan Nasional dari Masa Klasik Hingga Modern. Jogjakarta: Ar-Ruz Media, :264-265. 4 http://walidrahmanto.blogspot.com, diakses pada tanggal 16 Oktober 2012. 3
Volume 4. No. 01. Maret 2012 | 7
Kajian Empiris terhadap Kebijakan dan Transformasi Madrasah pada Era Reformasi pada masa pemerintahan Orde Baru. Keadaan Pendidikan Islam tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut, yaitu: Pertama: Kebijakan tentang Pemantapan Pendidikan Islam sebagai Bagian dari Sistem Pendidikan Nasional. Upaya ini dilakukan melalui penyempurnaan UndangUndang Nomor 2 Tahun 1989 menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jika pada Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 hanya menyebutkan madrasah saja yang masuk ke dalam sistem pendidikan nasional, maka pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 yang masuk ke dalam sistem pendidikan nasional termasuk pesantren, Ma'had Ali, Raudhatul Athfal (Taman Kanak kanak), dan Majelis Taklim. Dengan masuknya ke dalam sistem pendidikan nasional ini, maka selain eksistensi dan fungsi pendidikan Islam semakin diakui, juga semakin menghilangkan kesan diskriminasi dan dikotomi. Berikut ini beberapa perundang-undangan dan peraturan berkaitan dengan pendidikan pada Era Reformasi: Tabel 2 Perundang-Undangan Dan Peraturan Berkaitan Dengan Pendidikan Pada Era Reformasi NO UNDANGTENTANG KEBIJAKAN UNDANG 1 Kepres RI No. Kedudukan, tugas, Bukan hanya men136 tahun 1999 fungsi, susunan or- gatur tentang guru, ganisasi dan tata dosen, standar nakerja departemen sional pendidikan, serta sertifikasi guru dan dosen yang berada di bawah Kementerian Pendidikan Nasional saja,
8|
Khotibul Umam melainkan juga tentang guru, dosen, standar nasional pendidikan, serta sertifikasi guru dan dosen yang berada di bawah Kementerian Agama 2 3
PP 60 tahun 1999 PP 61 tahun 1999
4
Kepmendiknas No. 042/U/2000
5
Kepmendiknas No. 232/U/2000
6
Kepmendiknas No. 234/U/2000 Kepdirjen Pend.Dasar & Menengah No. 37/C/KEP/PP/ 2000 Kepmendiknas No.36/D/O/2001
7
8
9
Kepmendiknas
Pendidikan Tinggi Penetapan Perguruan Tinggi sebagai badan hokum Persyaratan dan tata cara penutupan perguruan tinggi sebagai badan hukum Pedoman penyusunan kurikulum dan penilaian hasil belajar mahasiswa Pedoman perguruan tinggi Pedoman pelaksanaan evaluasi belajar tahap akhir
Petunjuk teknis pelaksanaan penilaian angka kredit dosen Penyelenggaraan
Volume 4. No. 01. Maret 2012 | 9
Kajian Empiris terhadap Kebijakan dan Transformasi Madrasah pada Era Reformasi No.107/U/2001 10 11
Kepmendiknas No.178/U/2001 Kepmendiknas No.184/U/2001
12
Kepmendiknas No.004/U/2002
13
Kepmendiknas No.045/U/2001 UndangUndang No. 20 tahun 2003 No. 14 tahun 2005 Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 Peraturan Pemerintah No. 74 tahun 2005
14
15. 16
17
Kedua:
program perguruan tinggi jarak jauh Gelar dan lulusan perguruan tinggi. Pedoman pengawasan-pengendalian dan pembinaan program diploma, sarjana, dan pascasarjana di Perguran Tinggi. Akreditasi program studi pada perguran tinggi. Kurikulum inti perguran tinggi Sistem pendidikan nasional UU Guru dan Dosen Standar Nasional Pendidikan Sertifikasi Guru dan Dosen
Kebijakan tentang Peningkatan Anggaran Pendidikan Islam. Kebijakan ini misalnya terlihat pada ditetapkannya anggaran pendidikan sebanyak 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang di dalamnya termasuk gaji guru dan dosen, biaya operasional pendidikan, pemberian beasiswa bagi
10 |
Khotibul Umam mahasiswa yang kurang mampu, pengadaan buku gratis, pengadaan infrastruktur, sarana prasarana, media pembelajaran, peningkatan sumber daya manusia bagi lembaga pendidikan yang bernaung di bawah Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan Nasional. APBN Tahun 2010, misalnya, menetapkan bahwa dana tersebut dialokasikan bagi penyelenggaraan pendidikan yang dilaksanakan di berbagai provinsi yang jumlahnya mencapai 60% dari total anggaran pendidikan dari APBN. Adapun sisanya, yakni 40%, diberikan kepada Kementerian Pendidikan Nasional, Kementerian Agama, serta berbagai kementerian lainnya yang menyelenggarakan program pendidikan. Dengan demikian, sebagian besar anggaran pendidikan diserap oleh 33 provinsi di seluruh Indonesia. Dari 40% anggaran pendidikan tersebut diberikan kepada Kementerian Pendidikan Nasional sebesar 80 triliun, Kementerian Agama 27 triliun, dan kementerian lainnya sekitar 3 triliun. Dengan demikian, jumlah dana yang dikelola Kementerian Pendidikan Nasional, Kementerian Agama, dan Kementerian lainnya sebanyak 110 triliun. Adapun total dana pendidikan seluruhnya (20% dari APBN) sebanyak 110 triliun. Dengan adanya anggaran pendidikan yang cukup besar ini, dunia pendidikan saat ini mengalami pertumbuhan dan perkembangan, dan kemajuan yang signifikan dibanding dengan keadaan pendidikan sebelumnya, termasuk keadaan pendidikan Islam. Ketiga; Program Wajib Belajar Sembilan Tahun. Bahwa setiap anak Indonesia wajib memiliki pendidikan minimal sampai dengan tamat sekolah lanjutan pertama yakni SMP atau Tsanawiyah. Program wajib belajar ini bukan hanya berlaku bagi anak-anak yang belajar di lembaga pendidikan yang berada di bawah naungan Kementerian Pendidikan Nasional, melainkan juga bagi anak-anak yang belajar di lembaga pendidikan yang berada di bawah naungan Kementerian Agama. Dalam rangka pelaksanaan wajib belajar ini, maka pemerintah mengelua-
Volume 4. No. 01. Maret 2012 | 11
Kajian Empiris terhadap Kebijakan dan Transformasi Madrasah pada Era Reformasi rkan kebijakan sekolah gratis bagi anak-anak yang berasal dari keluarga yang kurang mampu. Yakni, bahwa mereka tidak dipungut biaya operasional pendidikan, karena kepada sekolah yang menyelenggarakan pendidikan gratis tersebut telah diberikan biaya bantuan operasional sekolah yang selanjutnya dikenal dengan istilah BOS. Keempat; Pengaturan Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Nasional (SBN), Internasional (SBI). Yaitu pendidikan yang penyelenggaraannya bertaraf nasional (SBN) dan internasional (SBI) seluruh komponen pendidikannya menggunakan standar nasional dan internasional. Visi, misi, tujuan, kurikulum, proses belajar mengajar, sarana prasana, manajemen pengelolaan, evaluasi, dan lainnya harus berstandar nasional dan internasional. Untuk keperluan ini, maka pemerintah melakukan pemetaan terhadap kondisi objektif lembaga pendidikan yang layak untuk ditetapkan sebagai sekolah yang bertaraf nasional dan yang bertaraf internasional. Untuk keperluan ini, Kementerian Pendidikan Nasional menyediakan sebuah direktorat peningkatan mutu pendidikan, yang tugasnya antara lain memberikan bimbingan dan asistensi pada sekolah yang direncanakan untuk menjadi sekolah yang bertaraf internasional. Selain itu, pemerintah juga telah menetapkan petunjuk pelaksanaan teknis (Juknis) dan petunjuk pelaksanaan (Juklak) yang berkaitan dengan penyelenggaraan SBN dan SBI tersebut. Misalnya, sekolah yang akan ditetapkan menjadi SBI harus terlebih dahulu mencapai sekolah SBN. Sekolah yang bertaraf nasional dan internasional ini bukan hanya terdapat pada sekolah yang bernaung di bawah Kementerian Pendidikan Nasional, melainkan juga pada sekolah yang bernaung di bawah Kementerian Agama. Kelima; Kebijakan Sertifikasi Guru dan Dosen Kebijakan bagi semua guru dan dosen baik negeri maupun swasta, baik guru umum maupun guru agama, baik guru yang be-
12 |
Khotibul Umam rada di bawah Kementerian Pendidikan Nasional maupun guru yang berada di bawah Kementerian Agama. Program ini terkait erat dengan program peningkatan mutu yang bertolak dari peningkatan mutu tenaga guru dan dosen sebagai tenaga profesional. Guna mendukung pelaksanaan sertifikasi guru dan dosen ini pemerintah selain mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2005 tentang Sertifikasi Guru dan Dosen, juga mengalokasikan anggaran biayanya yang diatur dari anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN sebagaimana tersebut di atas. Melalui program sertifikasi tersebut, maka kompetensi akademik, kompetensi pedagogik (teaching skills), kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial para guru dan dosen ditingkatkan5. Keenam; Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK/tahun 2004) dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP/tahun 2006). Melalui kurikulum ini para peserta didik tidak hanya dituntut menguasai materi pelajaran (subject matter) sebagaimana yang ditekankan pada kurikulum 1999 melainkan juga dituntut memiliki pengalaman proses mendapatkan pengetahuan tersebut, seperti membaca buku, memahami, menyimpulkan, mengumpulkan data, mendiskusikan, menjawab pertanyaan, melaksanakan tugas, memecahkan masalah, dan menganalisis. Dengan cara demikian, para peserta didik diharapkan akan memiliki rasa percaya diri, kemampuan mengemukakan pendapat, kritis, inovatif, krea-
5
Setiap guru dan dosen yang mengikuti kegiatan sertifikasi harus membuat portofolio yang isinya berkenaan dengan 10 aspek, yaitu; 1) Tingkat pendidikan yang dibuktikan dengan ijazah, 2) Pendidikan dan latihan yang dibuktikan dengan sertifi kat atau surat keterangan, 3) Pengalaman mengajar yang dibuktikan dengan surat keputusan penugasan sebagai guru dan dosen dengan ketentuan minimal sudah 5 tahun mengajar, 4) Pembuatan Satuan Acara Pengajaran (SAP), 5) Penilaian dari atasan, yakni kepala sekolah atau pengawas, 5) Karya ilmiah berupa buku, modul, 6) Keterlibatan dalam kegiatan ilmiah, 7) Keikutsertaan dalam organisasi kependidikan, 8) Memberikan bimbingan untuk mendapatkan prestasi dalam perlombaan, 9) Pengabdian kepada masyarakat.
Volume 4. No. 01. Maret 2012 | 13
Kajian Empiris terhadap Kebijakan dan Transformasi Madrasah pada Era Reformasi tif, dan mandiri. Peserta didik yang demikian itulah yang diharapkan akan dapat menjawab tantangan yang terdapat di era globalisasi, serta dapat merebut berbagai peluang yang terdapat di masyarakat. Selain itu, pada kurikulum KBK dan KTSP tersebut, setiap satuan pendidikan memiliki peluang yang luas untuk merekonstruksi kurikulum sesuai dengan visi, misi, dan tujuan yang telah ditetapkan. Pengembangan kurikulum KBK dan KTSP ini juga berlaku pada lembaga pendidikan yang berada di bawah Kementerian Agama. Ketujuh; Pengembangan Pendekatan Pembelajaran. Pengembangan pendekatan pembelajaran yang tidak hanya berpusat pada guru (teacher centris) melalui kegiatan teaching, melainkan juga berpusat pada murid (student centris) melalui kegiatan learning (belajar) dan research (meneliti) dalam suasana yang partisipatif, inovatif, aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan (Paikem)6. Dengan pendekatan ini, maka metode yang digunakan dalam kegiatan belajar mengajar bukan hanya ceramah, contoh, dan bimbingan oleh guru, melainkan juga diskusi, seminar, pemecahan masalah, penugasan, dan penemuan. Kedelapan; Penerapan Manajemen yang Berorientasi pada Pemberian Pelayanan yang Baik dan Memuaskan. Pelaksanaan pendidikan dengan mengedepankan pelayanan yang baik dan memuaskan7 kepada para pelanggan (to give Pendekatan proses belajar mengajar ini juga harus didasarkan pada asas demokratis, humanis, egaliter, dan adil, dengan cara menjadikan peserta didik bukan hanya objek pendidikan, melainkan juga subjek pendidikan yang berhak mengajukan saran dan masukan tentang sebuah pendekatan dan metode yang akan digunakan. Dalam pembelajaran tersebut juga menggunakan model pembelajaran problem Based Learning (PBL), Contextual Teaching Learning (CTL), Quantum Teaching, Interactive Learning, Cooperative Laerning dan sebagainya. 7 Berkaitan dengan ini, maka di zaman era Reformasi ini telah lahir Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang meliputi; 1) Standar isi (kurikulum), 2) Standar mutu lulusan, 3) Standar proses pembelajaran, 4) Standar pendidik dan tenaga kependidikan, 5) Standar pengelo6
14 |
Khotibul Umam good service and satisfaction for all customers) sebagaimana yang terdapat pada konsep Total Quality Management (TQM). Penerapan manajemen TQM tersebut didasarkan pada pandangan bahwa pendidikan adalah sebuah komoditas yang diperdagangkan. Agar komoditas tersebut menarik minat dan memuaskan pelanggan, maka komoditas tersebut harus diproduksi dengan kualitas yang unggul. Untuk itu seluruh komponen pendidikan harus dilakukan standardisasi, dan standar tersebut harus dikerjakan dengan sumber daya manusia yang unggul, dilakukan perbaikan secara terus-menerus, dan dilakukan pengembangan sesuai dengan kebutuhan masyarakat selaku pelanggan. Kesembilan; Kebijakan Mengubah Nomenklatur dan Sifat Madrasah menjadi Sekolah Umum yang Berciri Khas Keagamaan. Dengan ciri ini, maka madrasah menjadi sekolah umum plus, karena di madrasah (Ibtidaiyah, Tsanawiyah, dan Aliyah) ini, selain para siswa memperoleh pelajaran umum sebagaimana terdapat pada sekolah umum seperti SD, SMP, dan SMU. Namun demikian, harus diakui bahwa di antara madrasah tersebut masih banyak yang memiliki berbagai kekurangan dan kelemahan, sebagaimana hal ini juga terdapat pada sekolah umum. Dengan adanya kebijakan tersebut, maka tidaklah mustahil jika suatu saat madrasah akan menjadi pilihan utama masyarakat8. Kondisi dan Kebijakan Pendidikan Masing-Masing Pemerintahan Era Reformasi Kebijakan pendidikan pada pemerintahan B.J. Habibie adalah untuk menyelamatkan dunia pendidikan dan menjamin kelangsungan pendidikan nasional, dimana pemerintahan B.J. Habibie mulai 1999 membebaskan SPP untuk SD hingga SMTA. laan, 6) Standar sarana prasarana, 7) Standar pembiayaan, dan 8) Standar penilaian. 8 Abudin Nata, 2011. Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Prenada Media Group, , 352358.
Volume 4. No. 01. Maret 2012 | 15
Kajian Empiris terhadap Kebijakan dan Transformasi Madrasah pada Era Reformasi Selain itu, pemerintah juga memberikan beasiswa SD kepada 1,16 juta siswa; dan 1,56 juta untuk siswa SLTP. Untuk SMTA dan perguruan tinggi, jumlahnya akan ditentukan kemudian. Pemerintah juga memberikan biaya operasional untuk SD sebanyak 69.300 buah, untuk SLTP 12.200 buah, sedangkan untuk SMTA dan perguruan tinggi akan ditentukan kemudian. Sementara itu, mengenai Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK), kebijakan NKK-BKK di zaman Orde Baru, oleh pemerintahan B.J. Habibie ditinjau kembali dan bahkan aturan-aturan yang menghambat kreativitas dan kebebasan mahasiswa dicabut. Lembaga ilmiah, seperti kampus perguruan tinggi, dibebaskan dari intervensi dan pengaruh luar9. (Maka, dalam M. Rifa`I 2011:275-276). Pemerintahan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) telah memunculkan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintah daerah yang diperkuat oleh Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 mengenai perimbangan keuangan pusat dan daerah. Dengan dikeluarkannya undang-undang ini, sebenarnya merupakan kabar gembira bahwa segala kebijakan, termasuk pendidikan, tidak lagi berada di tangan pusat, tetapi berada di tangan daerah sebagai eksekutor kebijakan di tingkat lokal. Pemerintahan Gus Dur juga terkenal karena meningkatkan gaji guru secara signifikan. Menurut ketentuan pasal 1 1 UU No. 22 tahun 1999, pendidikan termasuk salah satu bidang yang oleh pemerintah didesentralisasikan. Dengan demikian, masalah pendidikan yang semula serba ditangani pemerintah pusat, tanggung jawab masalah ini begeser ke pemerintah daerah. Dalam hal ini adalah daerah kabupaten maupun kota. Di dalam program pembangunan nasional (Propenas) 19992004, juga diakui bahwa manajemen pendidikan nasional selama ini secara holistik sangat sentralistis sehingga menutup dinamika demokratisasi pendidikan. Diakui maupun tidak, manajemen pendidikan yang sentralistis akan menyebabkan dan melahirkan kebijakan sera9
Maka, A. Makmur, dalam M. Rifai, hlm: 262
16 |
Khotibul Umam gam yang tidak mampu dan tidak dapat mewadahi segala perbedaaan, keberbedaan, atau heterogenitas kepentingan setiap daerah, sekolah, dan peserta didik. Ini kemudian mematikan partisipasi masyarakat dalam proses pendidikan serta mendorong terjadinya pemborosan dan kebocoran alokasi anggaran pendidikan. Pemerintahan Megawati menghasilkan RUU Sisdiknas yang kemudian menjadi UU Sisdiknas. Bergulirnya reformasi semula diharapkan oleh kalangan pendidik dapat menghasilkan perubahan dan kemajuan di bidang pendidikan. Namun nyatanya, setelah sekian tahun rezim reformasi berkuasa, masih saja kebijakan-kebijakan pendidikan mendapatkan kritikan tajam. Salah satunya dari seorang intelektual, Beny Susetyo10. Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) melahirkan kontroversi. Kontroversi11 dipicu adanya masalah pendidikan agama seperti dijelaskan dalam pasal 12 ayat (1) RUU Sisdiknas. Di dalam bab V tentang peserta didik, pasal 12 ayat (1) huruf (a) tersebut dinyatakan, "Setiap peserta didik pada satuan pendidikan merupakan subjek dalam proses pendidikan yang berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh penduduk yang seagama." Transisi pemerintahan Megawati kepada Susilo Bambang Yudhoyono memunculkan implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Secara umum, pada era reformasi ini, prinsip implementasi Kurikulum 2004 adalah lahirnya KBK, yang meliputi KegiaMenurutnya; setidaknya muncul dua problem, yakni pertama, apakah pendidikan agama dapat diberikan oleh guru yang seagama atau cukup guru yang memiliki kompetensi walaupun mereka berbeda keyakinan agama. Kedua, apakah pendidikan harus diberikan kepada semua jenjang dan jenis pendidikan atau apakah cukup di beberapa satuan pendidikan tertentu saja. 11 UU Sisdiknas ini justru melalaikan tugas utama negara sebagai pengayom masyarakat. Alih-alih justru mengurusi soal pendidikan agama, persoalan lebih utama, misalnya dapat memperoleh pendidikan gratis, justru lepas dari perhatian. Persoalan utama buramnya potret pendidikan nasional adalah masih banyaknya angka penduduk usia sekolah yang terpaksa mengais rezeki di perempatan-perempatan jalan. Mereka tidak bersekolah bukan karena mereka tidak mau atau enggan sekolah, tetapi karena kondisi ekonomi yang memaksanya demikian. Akan tetapi, mengapa ini luput dari perhatian mereka? 10
Volume 4. No. 01. Maret 2012 | 17
Kajian Empiris terhadap Kebijakan dan Transformasi Madrasah pada Era Reformasi tan Belajar Mengajar (KBM), penilaian berbasis kelas, dan pengelolaan Kurikulum Berbasis Sekolah. Di dalam hubungannya dengan KBM, proses belajar tidak hanya berlangsung di lingkungan sekolah, tetapi di lingkungan keluarga dan masyarakat. Akan tetapi Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dalam penerapannya juga mendapatkan banyak kendala, antara lain; 1) KBK sangat sulit diterapkan di daerah-daerah yang kekurangan fasilitas pendukung kegiatan pendidikan, 2) para guru belum sepenuhnya mengerti esensi (filosofi) KBK, 3) mengingkari filosofi kurikulum karena sarat isi dan terlalu menuntut guru secara detail, sampai pada pembuatan indikator. Tuntunan yang terlalu mendetail itu belum tentu sesuai dengan kebutuhan sekolah (Kompas, 28/02/2006, Setiawan, 2008:35), 4) Hal itu diperparah lagi dengan minimnya sarana pendukung yang dimiliki guru dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Guru dalam sistem KBK harus memiliki banyak alat bantu dalam setiap pengajarannya. Hal ini digunakan untuk memacu peserta didik agar tidak bosan. Dengan berbagai alat bantu dan sarana pendukung, KBK diharapkan mampu mengubah pola pikir yang selama ini ada. Artinya, pendidikan bukan hanya menjadi ajang transfer ilmu pengetahuan, namun lebih dari itu, pendidikan sebagai sarana pendewasaan, kemandirian, dan meningkatkan potensi. Hal ini sesuai dengan filosofi pendidikan. Persoalan yang muncul kemudian adalah banyak di antara guru yang tidak memiliki banyak biaya untuk membeli alat bantu atau peraga walaupun alat-alat tersebut tidak mesti harus dibeli dengan harga yang mahal. Selain itu pada pemerintahan SBY ini, menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) Pendidikan Nasional No. 22 tahun 2005 tentang Standar Isi (SI) untuk satuan pendidikan dasar dan menengah yang selama ini dipermasalahkan karena lambat disosialisasikan, hanya memberi kesempatan peranan orangtua dalam pelaksanaan kuriku-
18 |
Khotibul Umam lum struktur pendidikan dasar dan menengah, yang menurut Permen itu ialah: 1) Mata pelajaran. 2) Muatan lokal. 3) Pengembangan diri. Selain itu, kebijakan pendidikan di zaman pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono adalah munculnya kurikulum baru, yaitu kurikulum 2006 melalui Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dan menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Permasalahan Pendidikan Islam Era Reformasi dan Solusi Pemecahannya Walaupun pembangunan pendidikan nasional yang dilaksanakan selama ini telah mencapai berbagai keberhasilan, pembangunan pendidikan nasional masih menghadapi masalah dan tantangan yang cukup kompleks. Permasalahan pendidikan yang dimaksud telah diidentifikasi dan dirumuskan dalam Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2005-2009, yaitu: Masih rendahnya pemerataan dan akses pendidikan, masih rendahnya mutu, relevansi, dan daya saing pendidikan, masih lemahnya tata kelola, akuntabilitas, dan citra publik pengelolaan pendidikan. Untuk mengatasi permasalahan yang masih dihadapi tersebut, Renstra Depdiknas 2005-2009 telah merumuskan tiga pilar kebijakan umum pembangunan pendidikan nasional, yaitu: Peningkatan pemerataan dan perluasan akses pendidikan, peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing pendidikan, penguatan tata kelola, akuntabilitas, dan citra publik pengelolaan pendidikan. Oleh karena itu, untuk mengembangkan pendidikan Islam memerlukan pemahaman berbagai disiplin ilmu atau memerlukan pelibatan berbagai jenis keahlian. Pengembangan pendidikan Islam yang dilakukan melalui berbagai pendekatan, yaitu: 1) Pendekatan multidisiplin, yakni cara bekerjanya pengembang pendidikan Islam berupaya berkonsultasi pada ahli-ahli agama, sosiologi, psikologi, antropologi, politik, ekonomi, dan sebagai-nya; 2) Pendekatan interdisip-
Volume 4. No. 01. Maret 2012 | 19
Kajian Empiris terhadap Kebijakan dan Transformasi Madrasah pada Era Reformasi liner, yakni cara kerja sejumlah ahli dari beragam keahlian dan spesialisasi untuk menghasilkan secara bersama tentang model pendidikan Islam; dan 3) Pendekatan sistemik, yakni cara kerja olah ilmu yang bertolak dari asumsi adanya interdependensi dan sekaligus tampil sebagai jaringan kerja antara berbagai aktivitas dari berbagai komponen; sctidak-tidaknya dirancangnya interdependensi dalam makna waktu, urutan kerja, dan hasil. Misalnya antara aktivitas menyelenggarakan pendidikan guru MBI (Madrasah Bertaraf Internasional), pembangunan gedung MBI, pengalokasian biaya penyelenggaraan MBI, pengangkatan guru baru MBI (termasuk alokasi dana gaji guru baru), penerimaan siswa MBI, dan berbagai aktivitas lain yang terkait. Dapat dibayangkan kalau urutan tersebut dibalik, misalnya penerimaan siswa MBI dulu, kemudian menyiapkan guru MBI dan seterusnya, atau ada aktivitas yang ditiadakan, maka penyelenggaraan MBI akan menjadi kacau12. Kemudian, perincian program, sasaran, dan kegiatan pokok dari Renstra 2005-2009 yang dijadikan kebijakan pendidikan nasional di tahun 2006 adalah sebagai berikut: 1. Pendidikan anak pada usia dini mencakup antara lain memfasilitasi penyediaan sarana dan prasarana, pengembangan kurikulum, dan bahan ajar bermutu. 2. Percepatan wajib belajar pendidikan sembilan tahun, yang mencakup, antara lain merehabilitasi prasarana ruang belajar yang rusak berat, meningkatkan kualifikasi dan kompetensi guru, serta memenuhi kekurangannya. 3. Meningkatkan peran pendidikan menengah terutama dalam penyediaan prasarana, menghadapi lulusan pendidikan dasar, serta menyiapkan pendidikan kejuruan sesuai dengan permintaan dunia kerja. 4. Peningkatan pendidikan tinggi, terutama dalam pelaksanaan Tridharma Perguruan Tinggi dan kerja sama dengan dunia usaha,
12
Muhaimin, 2011. Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 10-11
20 |
Khotibul Umam industri dan pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan daya saing bangsa, serta pemantapan peran sebagai Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). 5. Mengintensifkan pendidikan nonformal dengan merevitalisasi fungsi-fungsi lembaga pendidikan yang ada di masyarakat, serta mempermudah akses dalam memperoleh bahan ajar. 6. Meningkatkan mutu pendidik dan tenaga kependidikan dengan memantapkan kebijakan peningkatan profesionalisme guru dan tenaga pendidikan, peningkatan kapasitas organisasi, serta pembinaan tenaga pendidikan di daerah. 7. Meningkatkan pengelolaan dan pengaturan (governance) manajemen layanan agar lebih efisien, efektif dan akuntabel dengan menuntaskan semua Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah yang diamanatkan oleh UU No. 20 Tahun 2003, mengembangkan sistem perencanaan dan pembiayaan yang berkeadilan dan meningkatkan kapasitas institusi yang bertanggung jawab dalam pendidikan nasional. 8. Mengefektifkan penelitian dan pengembangan dengan lebih memfokuskan upaya penelitian dalam rangka meningkatkan kegiatan belajar mengajar, melaksanakan evaluasi kurikulum yang sesuai dengan kompetensi nasional, serta mengembangkan kurikulum dan sistem penilaian. 9. Mengembangkan budaya baca dan pembinaan perpustakaan dengan menyelenggarakan kampanye dan promosi budaya baca tulis, serta memperluas dan meningkatkan kualitas layanan perpustakaan. 10.Mengintensifkan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dengan memantapkan program tematik dan riset dasar dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan, serta melaksanakan penelitian dan pengembangan bidang pengukuran, serta standarisasi pengujian dan mutu pendidikan. 11.Menyerasikan dan menguatkan kelembagaan pengarusu-tamaan gender dan anak dengan menyusun penguatan kelembagaan pen-
Volume 4. No. 01. Maret 2012 | 21
Kajian Empiris terhadap Kebijakan dan Transformasi Madrasah pada Era Reformasi garusutamaan gender dan mengembangkan model pendidikan keluarga berwawasan gender. 12.Meningkatkan pengawasan dan akuntabilitas aparat negara dengan mengembangkan sistem pengawasan kependidikan, menata dan menyempurnakan kebijakan, sistem, struktur kelembagaan dan prosedur pengawasan, serta menindak lanjuti temuan pengawasan sesuai dengan peraturan yang berlaku. 13.Mengefektifkan penyelenggaraan program pimpinan kenegaraan dan kepemerintahan, dengan menyediakan kebutuhan fasilitas kerja, mendukung kelancaran pelaksanaan tugas dan fungsi manajemen yang efektif dan efisien. 14.Meningkatkan pengelolaan sumber daya manusia aparatur negara dengan menyempurnakan sistem manajemen pengelolaan SDM dan mengembangkan profesionalisme aparatur Negara. 15.Meningkatkan sarana dan prasarana aparatur negara dengan meningkatkan prasarana pendukung pelajaran, meningkatkan pengawasan dan pendayagunaan aparatur Negara.13 Langkah-langkah ke depan terhadap reformasi pendidikan Islam yang harus dilakukan pada era Reformasi ini, harus meliputi beberapa hal, yaitu: 1. Agama yang disajikan dalam proses pendidikan haruslah agama yang lebih menekankan kepada “keshalehan actual” dan bukan semata-mata “keshalehan ritual”. Hal ini penting ditekankan mengingat millennium III semakin diwarnai selain oleh “trust” juga oleh “kompetisi”. 2. Pendidikan tersebut harus mampu menyiapkan generasi terdidik yang pluralis yang siap menghadapi dan mengatasi kemajemukan baik internal dan eksternal. Dalam konteks ke-Indonesiaan ini sekaligus merupakan sumbangan bagi upaya memperkokoh persatuan dan kesatuan nasional.
13
Bastian, dalam Muhammad Rifa`I. 2011. Sejarah Pendidikan Nasional dari MAsa Klasik hingga Modern, , Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 274-276.
22 |
Khotibul Umam 3. Pengembangan sifat pluralis tersebut harus merupakan bagian tidak terpisahkan dari upaya besar mewujudkan masyarakat madani yang demokratis, terbuka dan beradab yang menghargai perbedaan pendapat. Perbedaan ini justru selalu diupayakan sebagai “rahmat” bukan sebagai “laknat”. 4. Masyarakat madani yang diharapkan adalah masyarakat yang penuh percaya diri, memiliki kemandirian dan kreativitas yang tinggi dalam memecahkan masalah yang dihadapi. 5. Pendidikan yang dilaksanakan harus menyiapkan generasi yang siap berpastisipasi aktif dalam interaksi global. Hal ini berarti pengetahuan dan ketrampilan yang diberikan harus memiliki relevansi yang kuat dengan “trend” global tersebut.14 Penutup Proses transformasi madrasah telah membuka jalan bagi penyetaraan madrasah dengan sekolah umum, baik dari segi proses, kurikulum, hasil lulusan maupun dalam hal penyetaraannya. Salah satu bentuk dari hasil transformasi tersebut ditetapkannya dalam UUD Sisdiknas No. 2/1989, yang kemudian direvisi menjadi UU No. 20/2003. Transformasi inilah yang kemudian disebut sebagai pengarusutamaan (mainstreaming) pendidikan Islam ke dalam pendidikan nasional secara keseluruhan; dan proses mainstreaming ini jelas merupakan langkah yang tidak lagi bisa dimundurkan (point of no return). Gerakan reformasi yang bergulir saat ini sedang berada pada sebuah fase atau tahapan paling krusial yang akan menentukan apakah ia akan benar-benar menghasilkan sebuah perubahan fundamental dan menyeluruh dalam tata kehidupan politik, ekonomi, hukum dan sosial serta pendidikan. Hal tersebut dikarenakan sejarah sebuah bangsa tidak dapat dilepaskan dari pendidikannya, tidak ada bangsa di dunia ini yang da-
14
Pranowo, Bambang. 2006. Dalam Quo Vadis Pendidikan Islam; Pembacaan Realitas Pendidikan Islam, Sosial dan Keagamaan. Malang: UIN Malang Press. 35-36.
Volume 4. No. 01. Maret 2012 | 23
Kajian Empiris terhadap Kebijakan dan Transformasi Madrasah pada Era Reformasi pat bergerak secara dinamis tanpa ada proses, pergerakan, dan perkembangan pendidikannya, begitu pula bangsa Indonesia. Kebanyakan tokoh dan pemimpin bangsa Indonesia merupakan lulusan lembaga pendidikan. Dalam era reformasi ini, banyak sekali kebijakan-kebijakan pemerintah terutama dalam hal pendidikan. Kebijakan-kebijakan tersebut secara tidak langsung menguntungkan pendidikan Islam (terutama madrasah) dalam rangka untuk memajukan pendidikan Islam itu sendiri. Semua pencapaian madrasah itu baik secara kualitatif maupun kuantitatif tidak terlepas dari dinamika pendidikan madrasah sejak 1970-an, khususnya. Perkembangan itu pada gilirannya menimbulkan transformasi madrasah yang sangat fenomenal; dan transformasi itu hampir bisa dipastikan terjadi hanya di Indonesia, tidak di negara-negara Muslim lain, Sesuai dengan ruh reformasi itu sendiri adalah dalam upyaa membentuk atau menata kembali. Yakni mengatur dan menertibkan sesuatu yang kacau balau, yang di dalamnya terdapat kegiatan menambah, mengganti, mengurangi dan memperbaruhi. Maka, dengan era reformasi tersebut diharapkan pengelolaan pendidikan Islam dapat lebih maju, unggul dan profesional. DAFTAR PUSTAKA Azra, Azyumardi. 2012. Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Millenium III, Jakarta: Kencana Prenada Media Group. http://walidrahmanto.blogspot.com, diakses pada tanggal 16 Oktober 2012. Muhaimin. 2011. Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Nata, Abudin. 2011. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Prenada Media Group.
24 |
Khotibul Umam Pranowo, Bambang. Editor; Prof. Dr. H. Mudjia Rahardjo, M.Si. 2006. Dalam Quo Vadis Pendidikan Islam; Pembacaan Realitas Pendidikan Islam, Sosial dan Keagamaan. Malang: UIN Malang Press. Rifa`I, Muhammad. 2011. Sejarah Pendidikan Nasional dari Masa Klasik hingga Modern. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media Suyanto & Jihad Hasyim. 2000. Refleksi dan Reformasi Pendidikan di Indonesia Memasuki Millenium III. Jogjakarta: Adicita Karya Nusa. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2005. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2003.
Volume 4. No. 01. Maret 2012 | 25