KAJIAN EKSTRAKSI GELATIN DARI KULIT IKAN TUNA (Thunnus alalunga) DAN KARAKTERISTIKNYA SEBAGAI BAHAN BAKU INDUSTRI FARMASI
FAHRUL
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005
SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis yang berjudul KAJIAN EKSTRAKSI GELATIN DARI KULIT IKAN TUNA (Thunnus alalunga) DAN KARAKTERISTIKNYA SEBAGAI BAHAN BAKU INDUSTRI FARMASI Merupakan gagasan atau hasil penelitian tesis saya sendiri, dengan bimbingan para komisi pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditujukkan rujukannya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain.
Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Oktober 2005
Fahrul NIM F051030151
ABSTRAK FAHRUL. Kajian Ekstraksi Gelatin dari Kulit Ikan Tuna (Thunnus alalunga) dan Karakteristiknya Sebagai Bahan Baku Industri Farmasi. Dibimbing oleh USMAN AHMAD dan ROSMAWATY PERANGINANGIN. Kulit ikan tuna (Thunnus alalunga) merupakan salah satu jenis limbah yang dihasilkan dari industri pengolahan fillet ikan tuna. Hingga saat ini pemanfaatan kulit ikan tuna belum optimal. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan teknik ekstraksi gelatin dari kulit ikan tuna dengan cara asam dan mengkaji karakteristik gelatin yang dihasilkan. Jenis pelarut yang digunakan untuk larutan perendam adalah asam sitrat pH3. Perlakuan yang diterapkan dalam penelitian ini adalah lama perendaman kapur (24 dan 48 jam), konsentrasi enzim (1, 2, dan 3%), dan lama perendaman asam (12, 18, dan 24 jam). Hasil penelitian menunjukkan bahwa lama perendaman kapur 48 jam, konsentrasi enzim 1%, dan lama perendaman asam 12 jam (P2E1S1) merupakan kombinasi perlakuan terbaik dari semua perlakuan yang diterapkan. Hasil rendemen gelatin yang diperoleh sebesar 18.6%, viskositas 22.75 centipoise, pH 7.1 dan kekuatan gel 496 bloom. Sifat fisik dan kimia gelatin kulit ikan tuna cenderung lebih baik dari gelatin pembanding yaitu gelatin komersial dan gelatin standar laboratorium. Hasil analisis kandungan mikrobiologi gelatin kulit ikan tuna lebih baik dari gelatin pembanding. Sifat organoleptik gelatin kulit ikan tuna dibanding gelatin pembanding dari segi aroma cenderung sama terutama dengan gelatin komersial, walaupun dari segi penampakan dan warna masih lebih rendah dari gelatin standar laboratorium.
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Ujung Pandang pada tanggal 19 April 1974 dari Bapak Asikin Kasim dan Ibu Muriati. Penulis adalah putra ketiga dari lima bersaudara. Tahun 1993 penulis lulus dari SMA Negeri 3 Ujung Pandang, Sulawesi Selatan. Jenjang pendidikan Perguruan Tinggi mulai ditempuh di Universitas Hasanuddin jurusan Perikanan dan menyelesaikan studi pada tahun 1999. Pada tahun 2001 penulis diterima dan diangkat menjadi staf pengajar pada Sekolah Tinggi Teknokogi Kelautan (STITEK) Balik Diwa Makassar. Tahun 2003 mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan program magister sains pada Program Studi Teknologi Pascapanen, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor melalui bantuan Beasiswa Program Pascasarjana (BPPS) dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional RI. Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi pengurus (Sekertaris I) di Forum Komunikasi Mahasiswa
Pascasarjana
Institut
Pertanian
Bogor
asal
Sulawesi
Selatan
(FKMP IPB-SS). Penulis menyelesaikan pendidikan pada bulan Oktober 2005.
KAJIAN EKSTRAKSI GELATIN DARI KULIT IKAN TUNA (Thunnus alalunga) DAN KARAKTERISTIKNYA SEBAGAI BAHAN BAKU INDUSTRI FARMASI
FAHRUL
Tesis Sebagai Salah satu Syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknologi Pascapanen
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005
Judul Tesis
Nama NRP Program Studi
: Kajian Ekstraksi Gelatin dari Kulit Ikan Tuna (Thunnus alalunga) dan Karakteristiknya Sebagai Bahan Baku Industri Farmasi. : Fahrul : F051030151 : Teknologi Pascapanen
Disetujui, Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Usman Ahmad, M.Agr Ketua
Prof. Dr. Rosmawaty Peranginangin, MS, APU Anggota
Diketahui, Ketua Program Studi Teknologi Pascapanen
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. I Wayan Budiastra, M.Agr
Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc
Tanggal Ujian : 20 Oktober 2005
Tanggal lulus :………………….
PRAKATA Puji syukur ke hadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis “Kajian Ekstraksi Gelatin dari Kulit Ikan Tuna (Thunnus alalunga) dan Karakteristiknya Sebagai Bahan Baku Industri Farmasi”. Sebelum penelitian dan penyusunan tesis ini, penulis benyak mendapat bantuan dari berbagai pihak, olehnya itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setulusnya kepada: 1)
Bapak Dr. Ir. Usman Ahmad, M.Agr selaku ketua komisi pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan dan saran yang konstruktif.
2)
Ibu Prof. Dr. Rosmawaty Peranginangin, MS. APU selaku anggota
komisi
pembimbing yang telah banyak meluangkan waktunya dalam memberikan bimbingan, arahan dan saran yang konstruk tif. 3)
Bapak Dr. Ir. Suroso, M.Sc selaku penguji luar komisi yang telah banyak memberikan saran dan arahan yang konstruktif.
4)
Kepala dan Staf Pusat Riset Pengolahan Produk dan Sosisal Ekonomi Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan. Slipi, Jakarta yang telah memberikan izin untuk ikut dalam proyek penelitian pengembangan produk perikanan dari limbah hasil industri perikanan.
5)
Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor beserta para staf pengajar yang telah banyak membekali ilmu pengetahuan dan wawasan penulis.
6)
Bapak Dr. Ir. I Wayan Budiastra, M.Agr
yang telah banyak memberikan
semangat dan dorongan moral dalam menyelesaikan studi selama beliau menjabat Ketua Program Studi Teknologi Pasaca Panen 7)
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi DEPDIKNAS, yang telah memberikan bantuan dana pendidikan melalui Beasiswa Program Pasca Sarjana (BPPS).
8)
Ketua Yayasan dan Rektor Sekolah Tinggi Teknologi Kelautan (STITEK) Balik Diwa Makassar yang telah memberikan izin untuk melanjutkan studi.
9)
Pemerintah Wilayah Provinsi Sulawesi Selatan yang telah memberikan bantuan penelitian.
10) Terkhusus Bapak Asikin Kasim dan Ibunda
tercinta Muriati yang telah
membesarkan, mengasuh dan mendidik dengan penuh kasih sayang.
11) Saudaraku
Faishal dan Umrah,
Fauziah, Fatimah dan Mansyur Zein, dan
Achmad Fachri, serta ponakan-ponakanku yang pintar dan lucu Fachira “Fira” Khumaira, Muhammad Farhan “Paang” Ramadhan, dan Faiza Azizah “Chica” Khumaira yang saya cintai atas segala dukungan, pengorbanan dan doa serta pengertiannya selama ini. 12) Rekan-rekan Mahasiswa Program Studi Teknologi Pasca Panen khususnya angkatan 2003 atas segala kerjasama dan dukungannya selama ini. 13) Semua pihak yang telah memberikan dukungan dan sumbangsi pemikiran dalam penyelesaian tesis ini. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini, masih jauh dari kesempurnaan. Olehnya itu, segala saran dan kritikan yang sifatnya konstruktif dengan senang hati penulis harapkan. Semoga tesis ini bermanfaat adanya. Bogor,
Oktober 2005 Penulis
DAFTAR ISI
PRAKATA............................................................................................. .
Halaman iii
DAFTAR ISI...........................................................................................
iv
DAFTAR TABEL...................................................................................
vi
DAFTAR GAMBAR ..............................................................................
vii
DAFTAR LAMPIRAN ...........................................................................
viii
PENDAHULUAN Latar Belakang ............................................................................ Tujuan Penelitian......................................................................... Manfaat Penelitian.......................................................................
1 3 3
TINJAUAN PUSTAKA Ikan Tuna..................................................................................... Limbah Hasil Perikanan.............................................................. Kulit Ikan..................................................................................... Kapur Tohor (CaO) ..................................................................... Natrium Sulfida (Na2 S)2.5 .......................................................... Amonium Sulfat [(NH4 )2 SO4 ]..................................................... Enzim Protease ............................................................................ Kolagen ....................................................................................... Gelatin ......................................................................................... Pembuatan Gelatin ...................................................................... Mutu Gelatin ...............................................................................
4 5 6 7 7 8 8 10 13 18 20
METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu...................................................................... Bahan dan Alat............................................................................ Metode Penelitian........................................................................ Penelitian Tahap I .............................................................. Penelitian Tahap II ............................................................ Pengamatan ................................................................................. Rendemen.......................................................................... Kekuatan Gel..................................................................... Viskositas .......................................................................... Derajat Keasaman (pH) ..................................................... Kadar Air ........................................................................... Kadar Abu ......................................................................... Kadar Protein..................................................................... Kadar Lemak ..................................................................... Titik Isoelektrik ................................................................. Logam Berat ......................................................................
23 23 23 24 27 28 28 28 28 29 29 29 29 30 30 30
Asam Amino...................................................................... Titik Jendal........................................................................ Titik Leleh......................................................................... Derajat Putih ...................................................................... Penentuan To tal Plate Count ............................................. Penentuan Escherichia coli ............................................... Penentuan Salmonella ....................................................... Uji Organoleptik ................................................................
31 32 32 32 33 33 34 35
HASIL DAN PEMBAHASAN Bahan Baku................................................................................. Penelitian Tahap I ....................................................................... Rendemen Gelatin ............................................................ Viskositas Gelatin ............................................................. pH Gelatin ........................................................................ Kekuatan Gel Gelatin ........................................................ Penelitian Tahap II ..................................................................... Kadar Air ........................................................................... Kadar Abu ......................................................................... Kadar Lemak ..................................................................... Kadar Protein..................................................................... pH ...................................................................................... Komposisi Asam Amino ................................................... Logam Berat ...................................................................... Kekuatan Gel..................................................................... Viskositas .......................................................................... Titik jendal dan Titik Leleh............................................... Titik Isoelektrik ................................................................. Derajat Putih ...................................................................... Kandungan Mikrobiologi .................................................. Sifat Organoleptik .............................................................
36 37 37 39 41 42 44 44 45 46 46 47 48 50 51 52 53 53 55 55 57
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan...................................................................................... Saran............................................................................................
59 60
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................
61
LAMPIRAN ............................................................................................
68
DAFTAR TABEL Halaman 1
Penggunaan gelatin dalam industri pangan dan non pangan di dunia tahun 1999 ...............................................................................
2
2
Beberapa sifat gelatin berdasarkan tipenya ......................................
15
3
Spesifikasi Gelatin Farmasi...............................................................
16
4
Standar mutu gelatin..........................................................................
22
5
Komposisi kimia kulit ikan tuna segar dan kulit ikan tuna siap ekstraksi.............................................................................................
36
Sifat kimia gelatin kulit ikan tuna, gelatin komersial dan gelatin standar laboratorium..........................................................................
47
Komposisi asam amino gelatin kulit ikan tuna, gelatin komersial dan gelatin standar laboratorium ......................................................
49
Kandungan logam berat pada gelatin kulit ikan tuna, gelatin komersial, dan gelatin standar laboratorium .....................................
50
Sifat fisik gelatin kulit ikan tuna, gelatin komersial dan gelatin standar laboratorium..........................................................................
51
Kandungan mikrobiologi gelatin kulit ikan tuna, gelatin komersial, dan gelatin standar laboratorium ......................................................
56
6
7
8
9
10
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Reaksi pembentukan garam kalsium karboksilat..............................
7
2
Reaksi pembentukan garam natrium karboksilat ..............................
8
3
Susunan molekul kolagen.................................................................
12
4
Struktur kimia gelatin.......................................................................
15
5
Diagram alir proses pembuatan gelatin dengan cara asam (tipeA) dan cara basa (tipeB) ...........................................................
19
6
Transformasi kolagen-gelatin...........................................................
20
7
Proses ekstraksi gelatin dari kulit ikan tuna .....................................
26
8
Bagan alir pelaksanaan penelitian....................................................
27
9
Kulit ikan tuna ..................................................................................
36
10
Pengaruh lama perendaman kapur, konsentrasi enzim, dan lama perendaman asam sitrat pH 3 (kombinasi perlakuan) terhadap rendeme n (%) gelatin kulit tuna. .......................................................
38
Pengaruh konsentrasi enzim, lama perendaman kapur, dan lama perendaman asam sitrat pH 3 (kombinasi perlakuan) terhadap viskositas (cP) gelatin kulit tuna......................................
40
Pengaruh konsentrasi enzim, lama perendaman kapur, dan lama perendaman asam sitrat pH 3 (kombinasi perlakuan) terhadap pH gelatin kulit tuna. ...............................................................................
42
Pengaruh Konsentrasi Enzim, lama perendaman kapur, dan lama perendaman asam sitrat pH 3 (kombinasi perlakuan) terhadap kekuatan gel (Bloom) gelatin kulit tuna .........................
43
14
Sheet gelatin kulit ikan tuna .............................................................
44
15
Gelatin kulit ikan tuna (A1, A2, dan A3), gelatin komersial (B), dan gelatin standar laboratorium (C).................................................
58
11
12
13
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Data hasil pengukuran rendemen, viskositas, ph, dan kekuatan gel gelatin dari kulit ikan tuna .................................................................
69
2
Hasil analisis ragam rendemen gelatin kulit tuna...........................
70
3
Hasil uji beda jarak berganda Duncan (BJBD) terhadap rendemen gelatin kulit ikan tuna ......................................................................
70
4
Hasil analisis ragam viskositas gelatin kulit tuna .............................
71
5
Hasil uji beda jarak berganda Duncan (BJBD) terhadap viskositas gelatin kulit ikan tuna .......................................................................
71
6
Hasil analisis ragam pH gelatin kulit tuna.......................................
72
7
Hasil uji beda jarak berganda Duncan (BJBD) terhadap pH gelatin kulit ikan tuna ....................................................................................
72
8
Hasil analisis ragam kekuatan gel gelatin kulit tuna .........................
73
9
Hasil uji beda jarak berganda Duncan (BJBD) terhadap kekuatan gel gelatin kulit ikan tuna.................................................................
73
Hasil analisa proksimat gelatin kulit tuna, gelatin standar laboratorium, dan gelatin komersial ................................................
74
Hasil analisa titik leleh, titik jendal, dan titik isoelektrik gelatin kulit tuna, gelatin standar laboratorium, dan gelatin komersial......
74
Hasil pengukuran derajat putih gelatin kulit tuna, gelatin standar laboratorium, dan gelatin komersial..................................................
74
Hasil analisa kandungan logam berat gelatin kulit ikan tuna, gelatin standar laboratorium, dan gelatin komersial. ....................................
75
Hasil analisa kandungan mikrobiologi gelatin kulit tuna, gelatin standar laboratorium, dan gelatin komersial. ....................................
75
Hasil uji organoleptik pasangan segitiga terhadap gelatin komersial. ..........................................................................................
75
Hasil uji organoleptik pasangan segitiga terhadap gelatin standar laboratorium. .....................................................................................
75
10
11
12
13
14
15
16
17
Formulir uji organoleptik gelatin kulit ikan tuna dengan pembanding gelatin komersial dan gelatin standar laboratorium....
76
18
Chromatogram standar asam amino ..................................................
77
19
Chromatogram asam amino gelatin kulit ikan tuna ..........................
78
20
Chromatogram standar asam amino................................................
79
21
Chromatogram asam amino gelatin standar laboratorium ................
80
22
Chromatogram asam amino gelatin komersial..................................
81
PENDAHULUAN Latar Belakang Gelatin merupakan suatu jenis protein yang diekstraksi dari jaringan kolagen hewan. Pada hewan, kolagen terdapat pada tulang, tulang rawan, kulit dan jaringan ikat. Gelatin pertama kali ditemukan oleh orang Perancis yang bernama Papin pada tahun 1682.
Penemuan ini kemudian berkembang dan menjadi salah satu bahan
industri yang digunakan untuk berbagai keperluan. Saat ini penggunaan gelatin sudah semakin meluas, baik untuk produk pangan maupun non pangan. Untuk produk pangan, menurut Poppe (1992) gelatin dapat dimanfaatkan sebagai bahan penstabil (stabilizer), pembentuk gel (gelling agent), pengikat (binder), pengental (thickener), pengemulsi (emulsifier), perekat (adhesive), whipping agent, dan pembungkus makanan yang bersifat dapat dimakan (edibel coating).
Industri
pangan
yang
membutuhkan
gelatin
antara
lain
industri
konfeksioneri, produk jelly, industri daging, industri susu, produk law fat (semisal margarin), food suplement. Gelatin juga digunakan dalam indutri non pangan seperti; Industri pembuatan film, industri farmasi (seperti produksi kapsul lunak, cangkang kapsul, dan tablet), industri teknik (sebagai bahan pembuat lem, kertas, cat, dan bahan perekat), dan juga digunakan dalam industri kosmetika (seperti pemerah bibir, shampo, sabun). Kebutuhan untuk industri- industri di Indonesia selama ini sebagian
besar
mengimpor dari negara lain; khususnya dari China, Eropa, dan Amerika. LPPOMMUI (1997) menyatakan bahwa sebagian besar gelatin tipe A yang diproduksi Amerika dibuat dari kulit babi yakni 50% dari total produksi, sedangkan sisanya 33.3% dari tulang sapi dan 16.7% dari ossein. Tahun 1999 (sampai dengan bulan Juni) Indonesia mengimpor gelatin sebanyak 2.371.738 kg dengan nilai US$ 9.095.440, sedangkan pada tahun 2001 impor gelatin tersebut meningkat mencapai 4.291.579 kg dengan nilai US$ 10.749.199 (BPS, 2002) Data dari SKW Biosystem (suatu perusahaan gelatin multinasional) menunjukkan bahwa pada tahun 1999 penggunaan gelatin oleh industri dunia mencapai 254000 ton (60% industri pangan sebesar dan 40% non pangan) Gelatin yang digunakan berasal dari babi sebanyak 40% dan gelatin sapi sebanyak 60%. Di Indonesia gelatin masih merupakan barang impor, negara pengekspor utama adalah
2 Eropa dan Amerika. Secara umum terjadi peningkatan pemanfaatan gelatin dalam indutri pangan dan farmasi di Indonesia (Wiyono, 2001). Tabel 1 Penggunaan gelatin dalam industri pangan dan non pangan di dunia tahun 1999*. Jenis Industri (non pangan)
Jumlah Penggunaan (ton)
Jenis Industri (pangan)
Jumlah Penggunaan (ton)
Pembuatan film
27.000
Konfeksionari
68.000
Produk Kapsul lunak
22.600
Produk jelly
36.000
Cangkang Kapsul
20.200
Daging
16.000
Farmasi
12.600
Susu
16.000
Teknik
6.000
Produk low fat (semisal margarin)
4.000
Food suplement
4.000
*SKW Biosystem (Wiyono, 2001)
Sumber utama lain yang sangat potensial sebagai bahan baku gelatin adalah kolagen yang berasal dari ikan. Menurut Surono et al. (1995) tulang dan kulit ikan sangat potensial sebagai sumber gelatin karena mencakup 10-20 % dari total berat tubuh ikan.
Namun produk gelatin yang berbahan baku ikan umumnya memiliki
masalah Fishy odor atau bau amis dan tidak sedap, yaitu berasal dari urea yang mudah terurai menjadi amonia. Fishy odor ini sangat tidak disukai konsumen dan merupakan penyebab belum dimasukkannya gelatin ikan ke dalam GRAS (Generally Recognized as Safe). Untuk itu diperlukan metode dan teknologi pembuatan gelatin ikan yang dapat mengurangi atau meminimalisasi fishy odor, menghasilkan rendemen yang tinggi serta memiliki sifat fisik, kimia dan fungsional yang menunjang sebagai bahan baku industri baik industri pangan maupun non pangan. Untuk penggunaan dalam bahan pangan dan non pangan kekuatan gel, viskositas dan titik leleh merupakan sifat khas gelatin yang sangat penting. Sifat-sifat ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti konsentrasi larutan gelatin, waktu pemanasan gel, suhu pemanasan gel, pH dan kandungan asam (Norland, 1990). Selain itu teknik ekstraksi seperti tingkat keasaman, jenis larutan perendaman, lama perendaman dan suhu ekstraksi diduga mempengaruhi sifat-sifat gelatin tersebut.
3 Beberapa penelitian mengenai gelatin yang diekstrak dari kulit ikan telah dilakukan, namun masih terbatas pada jenis-jenis ikan laut seperti ikan cucut, pari, paus dan patin (Chasanah, 2000; Yustika, 2000; Indrialaksmi, 2000; Gomes-Guillen dan Montero, 2001; Astawan et al., 2002; Aviana, 2002; Sopian, 2002; Rusli, 2004). Kajian mengenai ekstraksi gelatin dari kulit ikan tuna dengan standar bahan baku industri farmasi belum dilakukan. Oleh karena itu diperlukan suatu penelitian yang mengkaji teknik ekstraksi gelatin dari kulit ikan tuna, sehingga limbah yang dihasilkan dari produksi fillet dapat lebih termanfaatkan. Dalam penelitian ini dilakukan ekstraksi gelatin dari kulit ikan tuna dengan cara asam, dengan tahapan awal pembersihan (deagreasing) pada lama perendaman kapur, beberapa konsentrasi enzim, dan lama perendaman asam. Jenis asam yang digunakan adalah asam sitrat. Gelatin yang dihasilkan dari perlakuan yang terbaik, selanjutnya dibandingkan dengan gelatin standar laboratorium, gelatin komersial, dan gelatin standar mutu farmasi berdasarkan indikator mutu gelatin.
Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mendapatkan teknik ekstraksi gelatin dari kulit ikan tuna secara asam sebagai bahan baku kapsul.
Dan secara khusus
penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mempelajari pengaruh lama perendaman kapur, konsentrasi enzim, dan lama perendaman asam terhadap mutu gelatin dari kulit ikan tuna sebagai bahan baku industri farmasi. 2. Mengkaji karakteristik gelatin dari kulit ikan tuna sebagai bahan baku industri farmasi, yang meliputi sifat fisik, sifat kimia, kandungan mikrobiologi, dan sifat organoleptik.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memanfaatkan limbah non ekonomis yaitu kulit ikan tuna menjadi gelatin sehingga dapat memacu pertumbuhan industri pengolahan gelatin pada umumnya dan gelatin standar farmasi pada khususnya, di Indonesia yang akhirnya dapat mengurangi impor gelatin.
TINJAUAN PUSTAKA Ikan Tuna Ikan tuna termasuk dalam keluarga Scombridae, dengan tubuh seperti cerutu, mempunyai kulit yang licin dengan sirip dada melengkung dengan ujung yang lurus dan pangkal yang lebar. Sirip ekor cagak dua dengan kedua ujungnya yang panjang dan pangkal bulat kecil, mempunyai dua sirip punggung, sirip depan pendek dan terpisah dengan sirip belakang, mempunyai jari- jari sirip tambahan (finlet) di belakang sirip punggung dan sirip dubur. Sirip dada terletak agak ke atas, sirip perut kecil sirip ekor bercagak agak ke dalam dengan jari- jari penyokong menutup seluruh ujung hypural. Klasifikasi ikan tuna (Thunnus alalunga) menurut Subardja et.al (1989). Filum : Chordata Sub Filum : Vertebrata Kelas : Osteichthyes Sub Kelas : Actioopterygii Ordo : Perciformes Sub Ordo : Scombridae Genus : Thunnus Spesies : Thunnus alalunga Ikan tuna ini memiliki ciri morfologi dengan mata agak besar, gill racker 25-31 buah pada helai insang pertama. Terdapat 7-9 finlet di belakang sirip punggung kedua. Sirip dada panjangnya 30% dar fork length dan dapat mencapai sirip punggung kedua, terdapat 7-8 finlet di belakang sirip dubur. Warna hitam legam kebiru-biruan. putihan.
Pada sisi bawah perut berwarna keputih-
Sepanjang sisi tubuh berwarna biru lemah seperti pelangi, sirip punggung
pertama berwarna kuning tua, sirip punggung kedua dan sirip dubur berwarna kuning terang. Finlet sirip dubur dan sirip ekor hitam (Subardja et.al., 1989).
5 Limbah Hasil Perikanan Produksi perikanan tangkap dalam periode sepuluh tahun terakhir (1990 – 2000) meningkat rata-rata 4.47% per tahun, yaitu dari 2.66 juta ton meningkat menjadi 4.11 juta ton (Ditjen Perikanan Tangkap, 2002). Peningkatan produksi tersebut telah meningkatkan konsumsi ikan per kapita pada tahun 1998 menjadi 21,78 kg per kapita pada tahun 2001 (Dahuri, 2002). Dengan meningkatnya jumlah konsumsi ikan, maka jumlah limbahnya akan meningkat juga, karena tidak semua ikan dapat dimakan. Limbah merupakan sisa dari proses pengolahan hasil perikanan yang tidak dimanfaatkan dan tidak mempunyai nilai ekonomis, bahkan dapat merugikan. Menurut Hardjo et al. (1989) pengertian limbah industri hasil pertanian adalah produk suatu proses industri yang belum mempunyai nilai ekonomis, yang dibatasi oleh ruang dan waktu. Selanjutnya dinyatakan bahwa limbah seyogyanya dapat dianggap sebagai sumberdaya tambahan yang dapat dimanfaatkan. Pemanfaatan limbah disamping mempunyai nilai ekonomis juga mempunyai arti penting bagi lingkungan dan dampak perlakuan yang tidak wajar terhadap limbah pada pola kehidupan perlu ditekankan. Pengambilan kembali dan pengubahan limbah bahan pangan menjadi semakin penting dilihat dari segi ekonomi pada industri pangan dan non pangan.
Hal ini
memungkinkan pemanfaatan maksimal dari bahan mentah dan memperkecil persoalan polusi dan penanganan limbah (Buckle, 1987). Selanjutnya dinyatakan bahwa dengan meningkatnya jumlah penduduk dunia dan adanya kekurangan pangan yang bermutu tinggi dengan harga murah di beberapa bagian dunia, penggunaan kembali zat-zat makanan dari sumber-sumber yang selama ini terbuang dan pemanfaatannya sebagai makanan manusia dan binatang merupakan hal penting. Ilyas dan Soeparno (1985) mengelompokkan limbah hasil perikanan berdasarkan jenisnya, yaitu: (a) hasil samping, berupa ikan mentah utuh yang merupakan hasil ikutan dari usaha penangkapan (by catch); (b) limbah pengolahan, yang terdiri atas campuran kepala, isi perut, kulit, tulang, sirip, ekor, dan lain- lain; (c) limbah surplus, berupa ikan utuh karena kelebihan pemasaran dan pengolahan; (d) limbah industri, berupa ikan utuh, potongan atau hancuran yang terjadi pada distribusi dan pemasaran.
Selama ini
pemanfaatan limbah hasil perikanan lebih banyak digunakan sebagai bahan baku pengolahan tepung ikan, kerupuk, dan silase.
6 Kulit Ikan Kulit ikan, umumnya terdiri dari dua lapisan utama yaitu epidermis dan dermis. Lapisan dermis merupakan jaringan pengikat yang cukup tebal dimana mengandung sejumlah serat-serat kolagen (Lagler et al., 1977). Pada jaringan pengikat di dalam otot ikan, paling sedikit terdiri atas kolagen tipe I dan tipe V yang telah diidentifikasi sebagai mayor dan minor kolagen (Kimura et. al., 1988). Selanjutnya Sato et al. (1991) menyatakan bahwa penguraian secara enzimatis kolagen tipe V dipengaruhi oleh tingkat kelunakan otot ikan setelah panen seperti pada ikan rainbow trout (Oncorhychus mykiss) dan sardin (Sardinops melanosticta). Kulit ikan mengandung air 69.6%, protein 26.9%, abu 2.5% dan lemak 0.7%. Secara kimiawi konstituen dari kulit dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu konstituen non protein dan protein. Kandungan air pada kulit ikan lebih sedikit jika dibandingkan kandungan air pada dagingnya, sedangkan kandungan abu lebih banyak pada kulit. Kandungan protein pada kulit hampir sama dengan kand ungan protein daging (Oosten, 1969). Menurut Judoamijoyo (1974) menyatakan bahwa kira-kira 80% dari bahan kering kulit terdiri dari protein yang banyak macamnya serta sangat kompleks komposisinya. Protein kulit dapat dibagi dalam dua golongan besar, yaitu: (1) Protein yang tergolong firous protein meliputi kolagen (yang terpenting), keratin dan elastin; (2) Protein yang tergolong globular protein meliputi albumin dan globulin. Pemanfaatan kulit, tulang dan gelembung renang ikan secara ko mersial sebagai bahan baku industri gelatin, dimana selama ini hanya merupakan limbah, dapat menanmbah penghasilan secara ekonomi dan memberi keuntungan bagi pengelolaan limbah industri perikanan karena bahan tersebut dihasilkan dalam jumlah yang banyak (Choi dan Regenstein, 2000). Menurut Surono et al. (1994) menyatakan bahwa tulang dan kulit ikan sangat potensial untuk digunakan sebagai bahan baku pembuatan gelatin, karena mencakup 10-20% dari total berat tubuh ikan.
7 Kapur Tohor (CaO) Kapur Tohor diproduksi dengan memanaskan batu kapur (CaCo3 ) pada suhu antara 9000 C hingga 12000 C. Batu kapur tohor merupakan bahan yang bersifat reaktif dengan air dan akan membentuk Ca(OH)2 yang berbentuk bubuk.
Reaksi CaO dengan air
membentuk Ca(OH)2 merupakan reaksi eksoterm yang akan melepaskan kalor dan menghasilkan bahan yang berbetuk bubuk putih (Chang dan Tikkanen, 1988). Bentuk CaCO3 setelah dibakar menjadi CaO sama dengan bentuk sebelumnya, tetapi porositasnya menjadi besar, karena setelah dibakar berarti CO 2 telah dilepaskan, dan beratnya akan menurun menjadi 56% (Gaspary dan Bucher, 1981). Reaksi kimia tersebut adalah: CaO (s) + H2O
Ca (OH) 2(S)
∆H = -64.8 KJ
Kapur (CaO) digunakan pada proses pengapuran dengan melarutkannya ke dalam air, sehingga akan terbentuk larutan Ca(OH)2 . Setelah proses pengapuran selesai, maka dilakukan buang kapur dengan menggunakan asam seperti HCl dan H2 SO 4 atau garam asam seperti (NH4 )2SO 4 , lalu dilakukan dengan pencucian dengan air untuk menghilangkan kelebihan asam. Proses pengapuran dilakukan dengan cara meredam kulit ke dalam larutan kapur jenuh yang terdiri dari air sekitar 300% dan kapur sebanyak 5 - 10% dari bobot kulit basah (William, 1974). Menurut Christianto (2001), komponen larutan basa (CaO) yang digunakan sebagai larutan perendam dapat menyebabkan meningkatnya kadar abu gelatin yang dihasilkan, terutama dalam bentuk garam- garam karboksilat. Reaksi pembentukan garam kalsium karboksilat adalah sebagai berikut
Gambar 1 Reaksi pembentukan garam kalsium karboksilat
8 Natrium Sulfida (Na2 S) Proses pembuangan rambut (epidermis) dilakukan dengan menggunakan bahan kimia, misalnya Natrium sulfida (Na2 S).
Pembuangan lapisan epidermis dilakukan
melalui perendaman kulit dalam bak pengapuran dengan larutan 300% air. 2% Na2 S, dan 4% kapur tohor (persentase dihitung dari berat kulit basah). Pengapuran dilakukan selama 48 jam dengan tiap hari kulit dikeluarkan dan larutan diaduk. Bila memakai tong berputar atau haspel untuk pengapuran, tiap jam diputar 5 menit selama jam kerja. Sisa lapisan epidermis halus dan kasar dapat dibuang dengan tangan (Judoamidjojo et al., 1979). Menurut William (1974), kapur digunakan untuk membuka tenunan serat kulit, dan Na2 S untuk membuang rambut (perontok rambut) dan melepaskan epidermis. Menurut Christianto (2001) komponen larutan basa yang digunakan sebagai larutan perendam dapat menimbulkan residu abu di dalam gelatin yang dihasilkan, terutama dalam bentuk garam- garam karboksilat. Mineral natrium sebagai residu dari Na2S berikatan dengan gugus karboksil bebas dari asam amino penyusun rantai polipeptida membentuk garam- garam karboksilat.
Gambar 2 Reaksi pembentukan garam natrium karboksilat
Amonium Sulfat [(NH4 )2 SO4 ] Pembuangan kapur dilakukan dengan menggunakan bahan-bahan berupa asamasam atau garam-garam amonium, banyaknya antara ½ - 1% dari berat kulit dicampur dalam 300% air. Garam- garam amonium daya pembuang kapurnya bisa lebih sempurna dan lebih aman. Pembuangan kapur dapat dilakukan di dalam pedal, tong berputar atau bak. Pembuangan kapur yang tidak terikat dengan kulit, cukup dengan air yang mengalir selama ½ jam. Penambahan bahan pembuang kapur harus sedikit demi sedikit sambil dilakukan pengadukan (pH cairan dijaga tidak boleh kurang dari 4). Penampang kulit
9 diperiksa dengan indikator phenolphthalein untuk mengetahui masih ada atau tidaknya kapur.
Bagian penampang yang berwarna merah menunjukkan masih adanya kapur
(Judoamidjojo et al., 1979).
Menurut William, pembuangan kapur dengan garam
amonium sulfat lebih efektif karena tidak terjadi pengendapan dan pembengkakakn. Pembuangan kapur ini bertujuan untuk membuang kapur bebas dan kapur terikat yang ada dalam kulit. Enzim Protease Proses
pembuangan
rambut
dalam
industri
penyamakan
kulit
biasanya
menggunakan bahan kimia seperti Na2 S. Namun proses ini juga dapat dilakukan dengan menggunakan enzim (Judoamidjojo et al., 1979). Menurut Varnali (2002), secara umum metode pelepasan rambut dibagi menjadi dua grup yaitu; 1) penyerangan terhadap rambut dan menghancurkannya hingga menjadi bubur (biasanya menggunakan Ca(OH)2 atau NaOH dan Na2 S); 2) dengan cara mendestruksi (modifikasi) jaringan epidermis di sekitar bulatan akar rambut, sehingga rambut dapat terlepas dengan utuh dan dapat dibuang secara mekanis.
Proses pelepasan rambut ini, baik secara umum maupun secara
konvensional, dilakukan pada proses pengapuran, melalui perusakan membran basalis di bagian epidermis sehingga rambut terlepas (Judoamidjojo et al., 1979). Enzim protease yang digunakan dalam industri kulit, semula hanya diterapkan pada proses pelumatan atau pelunakan. Fungsi dari protease ini adalah melemaskan jaringan serat-serat kolagen dan protein elastin, sehingga kulit tersebut dapat disamak dan dilembabkan untuk menghasilkan kulit jadi. Saat ini, mengingat manfaat dari protease yang begitu besar, maka pemanfaatannya tidak hanya pada proses pelunakan saja tetapi juga pada proses yang lain seperti perendaman, pelepasan rambut dan pembuangan lemak (Puvanakrishnan dan Dhar, 1988; Feigel, 1995). Menurut Puvanakrishnan dan Dhar (1988), urutan pelepasan rambut dimulai dari lapisan terluar lalu dilanjutkan dengan pembengkakan dan pemecahan lapisan dalam akar dan bagian dari rambut yang terkeratinase. Enzim protease dapat masuk ke dalam kulit hanya melalui sisi daging ketika proses pelepasan rambut dilakukan pada suhu ruang. Yates (1986) seperti dikutip Puvanakrishnan dan Dhar (1988) menyatakan bahwa aktivitas enzim sebagai perontok rambut berkolerasi erat dengan penyerangan terhadap plasma
10 darah, kasein dan beberapa substrat protein. Pelepasan dari heksosa selama tingkat awal pelepasan rambut berhubungan dengan hilangnya kolagen yang disimpan sel dalam lapisan luar akar, sebelum ada perubahan dalam struktur folikel. Menurut Sadana (2002), sistem kerja enzim protease pada proses unhairing adalah dengan cara menghidrolisis hemoglobin, Bovine Serum Albumin (BSA) dan kolagen. Keuntungan dari penggunaan enzim protease ini adalah dapat mengurangi nilai Biochemical Oxygen Demand (BOD) dan Chemical Oxygen Demand (COD) dari limbah yang dihasilkan pada proses perontokan rambut (Trismilah, 2002). Cromogenia Units (1995) menyatakan bahwa penggunaan enzim dengan tetap menggunakan 1% sulfida, diperoleh reduksi COD sebesar 30-40%, BOD sebesar 30-40%, S (Sulfida anion) sebesar 50-65%, dan total padatan sebesar 65-80% dengan peningkatan daya kembali kulit sekitar 2%.
Menurut Trusmilah (2002), penggunaan enzim protease dalam proses soaking,
unhairing maupun bating mampu menghasilkan kulit berkulitas ya ng memenuhi SNI 060234, 1989. Kolagen Kolagen merupakan komponen struktural utama dari jaringan pengikat putih (white connective tissue) yang meliputi hampir 30% dari total protein pada jaringan organ tubuh vertebrata dan invertebrata (Poppe, 1997). Kolagen berwarna putih, berupa serat tidak bercabang, dikelilingi oleh matrik mukopolisakarida dan protein lainnya. Sifat-sifat ini tergantung dari tipe jaringan dan umur hewan. Pada mamalia, kolagen terdapat dikulit, tendon, tulang rawan dan jaringan pengikat. Demikian juga pada bangsa burung dan ikan, sedangkan pada avertebrata kolagen terdapat pada dinding sel (Johns, 1977). Kandungan kolagen pada suatu jaringan tergantung pada kandungan proteinnya, karena kolagen merupakan komponen terbesar dalam prote in jaringan, dan kadar protein pada jaringan hewan tergantung pada jenis hewannya, sebagai contoh kulit hewan besar mengandung kadar protein yang lebih besar dibanding dengan kulit hewan kecil (Akademi teknologi Kulit, 1984). Kolagen yang berarti ”bahan pembentuk perekat” merupakan komponen protein utama jaringan pengikat, yang bertindak sebagai elemen penahan tekanan pada semua mamalia dan ikan (Glicksman, 1969). Unit sturuktural pembentuk kolagen adalah
11 tropokolagen yang berbentuk batang dengan panjang 3000 Å, diameter 15Å serta mengandung tiga unit polipeptida yang saling berpilin membentuk struktur heliks yang disebut rantai a. Rantai tersebut mengandung 1000 residu asam amino dengan komposisi yang sangat bervariasi (Bennion, 1980). Wong (1989) menambahkan bahwa molekul tropokolagn mempunyai empat tipe yang digambarkan dengan rantai polipeptida yang mengandung triplet glisin dengan distribusi sebagai berikut : gly- x-x; gly- x- l; gly- l-x; glyl- l, dimana l adalah residu asam amino (prolin dan hidroksi prolin) dan x adalah residu asam amino lain. Susunan molekul tropokolagen pada fibril kolagen (Gambar 3). Ada dua tipe ikatan yang merupakan struktur sekunder dan tersier kolagen yaitu: 1) Ikatan intramolekul yang terjadi antara rantai-rantai molekul tropokolagen dan; 2) Ikatan intermolekul yaitu ikatan antara molekul tropokolagen (Johns, 1977). Molekul kolagen tersusun dari kira-kira dua puluh asam amino yang memiliki bentuk agak berbeda bergantung pada sumber bahan bakunya. Asam amino glisin, prolin dan hidroksiprolin merupakan asam amino utama kolagen. Asam-asam amino aromatik dan sulfir terdapat dalam jumlah yang sedikit. Hidroksiprolin merupakan salah satu asam amino pembatas dalam berbagai protein (Estoe dan Leach, 1977).
Molekul dasar pembentuk kolagen
disebut tropokolagen yang mempunyai struktur batang dengan BM 300.000, dimana di dalamnya terdapat tiga rantai polipeptida yang sama panjang, bersama-sama membentuk struktur heliks (Bennion, 1980). Konversi kolagen yang bersifat tidak larut air menjadi gelatin yang larut air merupakan transformasi esensial dalam pembuatan gelatin. Kolagen harus diberi perlakuan awal untuk mengubahnya menjadi bentuk yang sesuai sehingga dapat diekstraksi. Ekstraksi ini dapat menyebabkan pemutusan ikatan hidrogen diantara ketiga rantai tropokolagen menjadi tiga rantai bebas, dua rantai saling berikatan dan satu rantai bebas, dan tiga rantai yang masih berikatan (Poppe, 1992). Serat kolagen akan mengembang dengan baik tetapi tidak larut bila direndam dalam larutan alkali atau larutan garam netral dan nonelektrolit. Kolagen akan terputus jika terkena asam kuat atau basa kuat dan akan mengalmi transformasi dari bentuk untaian larut dan tidak tercerna menjadi gelatin yang larut air (Lehninger, 1982).
12 Menurut Balian dan Bowes (1969), kolagen mengandung asam amino glisisn, prolin, dan hidroksiprolin serta sejumlah kecil senyawa aromatik dan sulfur yang terkandung dalam asam amino.
Lehninger (1982) menambahkan bahwa kolagen
mengandung kira-kira 35% glisin dan kira-kira 11% alanin, tetapi yang paling menonjol adalah kandungan prolin dan 4-hidroksiprolin yang tinggi yaitu sekitar 21% (bersamasama). Prolin dan hidroksiprolin merupakan asam amino yang jarang ditemukan pada protein selain kolagen dan elastin.
Gambar 3 Susunan molekul kolagen (Lehninger, 1982) Larutan tropokolagen akan terdenaturasi oleh pemanasan atau perlakuan dengan penambahan zat seperti asam, basa, urea, kalsium dan permanganat. Tropokolagen yang telah terdenaturasi akan terdisosiasi menjadi tiga komponen yaitu a, ß, dan ?. Komponen a merupakan rantai tunggal polipeptida dengan bobot molekul kurang lebih 100.000 (sepertiga dari berat molekul tropokolagen), komponen ß dan ? merupakan dimer dan trimer yang dibentuk dari ikatan silang (Parker, 1982). Tiap tiga ra ntai polipeptida dalam unit tropokolagen membentuk struktur heliks tersendiri, menahan bersama-sama dengan ikatan hidrogen antara grup –NH dari residu glisin pada rantai yang satu dengan grup –CO pada rantai lainnya. Cincin prolidin, prolin dan hidroksiprolin membantu pembentukan rantai polipeptida dan memperkuat triple heliks pada rantai ikatan hidrogen, melalui jembatan molekul air, sama seperti ikatan hidrogen langsung pada grup karbonil (Wong, 1989).
13 Kolagen yang terdapat pada kulit dan otot ikan mempunyai kemampuan untuk membentuk gel setelah dipanaskan. Kemampuan pembentukan gel ini tergantung pada karakteristik spesies ikan dan kolagen dari kulit ikan mempunyai kemampuan yang lebih tinggi dibandingkan kolagen dari otot. Kandungan NaCl yang rendah berpengaruh nyata terhadap kekuatan gel kolagen dari kulit ikan tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap kemampuan gel kolagen dari otot (Montero dan Borderias 1991). Pada ikan terdapat tiga tipe protein, yaitu protein myofibril (65–75%), sarkoplasma (20–30%), dan stromata (1–3%). Protein stromata merupakan jaringan ikat yang terdiri dari komponen kolagen dan elastin (Suzuki, 1981). Kolagen murni sangat sensitif terhadap reaksi enzim dan kimia.
Di samping
pelarutnya kolagen ikan mempunyai kandungan asam amino rendah dibandingkan dengan kolagen mamalia, karena itu temperatur denaturasi proteinnya menjadi rendah (Johns, 1977). Fibril kolagen terdiri dari sub-unit polipeptida berulang yang disebut tropokolagen yang disusun dalam untaian paralel dari kepala sampai ekor. Tropokolagen terdiri atas tiga rantai polipeptida yang berpilin erat menjadi tiga untaian tambang.
Tiap rantai
polipeptida dalam tropokolagen juga merupakan suatu heliks (Lehninger, 1982). Gelatin Gelatin berasal dari bahasa latin ”gelare” yang berarti membuat beku dan merupakan senyawa yang tidak pernah terjadi secara alamiah (Glicksman, 1969). Gelatin adalah protein dari kolagen kulit, membran, tulang, dan bagian tubuh berkolagen lainnya. Gelatin jika direndam dalam air akan mengembang dan menjadi lunak, berangsur-angsur menyerap air 5-10 kali bobot gelatin. Gelatin larut dalam air panas dan jika didinginkan membentuk gel. Gelatin dapat diperoleh dengan cara denaturasi panas dari kolagen. Pemanasan kolagen secara bertahap akan menyebabkan struktur rusak dan rantai-rantai akan terpisah. Berat molekul, bentuk dan konformasi larutan kolagen sensitif terhadap perubahan temperatur yang dapat menghancurkan makro molekulnya (Wong, 1989).
14 Konversi kolagen menjadi gelatin biasanya didasarkan pada pengaturan temperatur ekstraksi, yang dilakukan untuk mencegah kerusakan protein pada suhu tinggi. Kisaran temperatur ekstraksi yang digunakan antara 500C – 1000C, sedangkan nilai pH ekstraksi dapat bervariasi untuk tiap metode (Hinterwaldner, 1977). Harper et al., (1977) perbedaan gelatin dengan kolagen selain kandungan triptofan dan tirosin adalah gelatin mempunyai sifat mudah larut dan gampang dicerna sehingga dapat dipakai sebagai sumber protein dalam makanan tetapi hanya berperan sebagai suplement sebab gelatin kurang mengandung asam amino yang cukup. Gelatin termasuk molekul besar. Menurut Ward dan Court (1977) menyatakan bahwa berat molekul (BM) gelatin mencapai 90.000 sedangkan pada gelatin komersial berkisar antara 20.000 - 70.000. Balian dan Bowes (1969) menyatakan bahwa berat molekul gelatin merupakan kelipatan 768 atau kelipatan C32 H52O 12 N10 . Gelatin mengandung 19 asam amino yang dihubungkan dengan ikatan peptida membentuk rantai polimer panjang (Glicksman, 1969). Senyawa gelatin merupakan suatu polimer linier yang tersusun oleh satuan terulang asam amino glisin-prolin-prolin atau glisin-prolin- hidroksiprolin. Komposisi asam amino gelatin bervariasi tergantung pada sumber kolagen tersebut, spesies hewan penghasil dan jenis kolagen (Ward dan Court, 1977). Gelatin tidak mengandung triptofan dan hanya mengandung sedikit tirosin dan sistin (Charley, 1982). Penurunan komposisi asam amino tergantung pada metode pembuatannya. Pembuatan dengan proses alkali umumnya lebih banyak mengandung hidroksiprolin dan lebih sedikit tirosin dibandingkan dengan proses asam (Ward dan Courts, 1977). Glisin adalah asam amino utama dan merupakan 1/3 dari seluruh asam amino yang menyusun gelatin. Sekitar 1/3 asam amino diisi oleh prolin dan hidroksiprolin yang selain dalam bentuk hidroksiprolin juga terdapat dalam bentuk 2- hidroksiprolin atau 3-hidroksiprolin dalam jumlah kecil (Charley, 1982).
15
Gambar 4 Struktur kimia gelatin (Poppe, 1992)
Gelatin dibagi menjadi dua tipe berdasarkan perbedaan proses pengolahannya yaitu tipe A dan tipe B. Dalam pembuatan gelatin tipe A, bahan baku diberi perlakuan perendaman dalam larutan asam sehingga proses ini dikenal dengan sebutan proses asam. Sedangkan dalam pembuatan gelatin tipe B, perlakuan yang diaplikasikan adalah perlakuan basa, proses ini disebut dengan proses alkali (Utama, 1997). Menurut Wiyono (2001), gelatin ikan dikategorikan sebagai gelatin tipe A. Secara ekonomis, proses asam lebih disukai dibandingkan proses basa. Hal ini karena perendaman yang dilakukan dalam proses asam relatif lebih singkat dibandingkan proses basa. Tabel 2 Beberapa sifat gelatin berdasarkan tipenya* Parameter
Gelatin Tipe A
Gelatin Tipe B
Kekuatan gel (bloom)
75 - 300
75 – 275
Viskositas (Cp)
2.0 – 7.5
2.0 – 7.5
Kadar Abu (%)
0.3 – 2.0
0.05 – 2.0
pH
3.8 – 6.0
5.0 – 7.1
9.0 – 9.2
4.8 – 5.0
Titik Isoelektrik * Tourtellote (1980)
Bahan baku yang biasanya digunakan pada proses asam adalah tulang dan kulit babi, sedangkan bahan baku yang digunakan pada proses basa adalah tulang dan kulit sapi (Viro, 1992). Gelatin tipe A dihasilkan dari proses asam, yang umumnya diterapkan pada
16 kulit babi, dimana molekul kolagennya muda, sedangkan gelatin tipe B dihasilkan dari proses asam dan basa, yang umumnya diterapkan pada tulang dan kulit sapi, dimana molekul kolagen triple heliksnya lebih tua, ikatan silangnya lebih padat dan kompleks (GMAP, 2002). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa proses asam yang digunakan untuk bahan baku yang relatif lunak, sedangkan proses alkali diterapkan pada bahan baku yang relatif keras. Asam mampu mengubah serat kolagen triple heliks menjadi rantai tunggal, sedangkan larutan perendam basa hanya mampu menghasilkan rantai ganda.
Hal ini
menyebabkan pada waktu yang sama jumlah kolagen yang dihidrolis oleh larutan asam lebih banyak daripada larutan basa. Karena itu perendaman dalam larutan basa membutuhkan
waktu
yang
lebih
lama
untuk
menghidrolisis
kolagen
(Ward dan Court, 1977). Tabel 3 Spesifikasi Gelatin Farmasi* . Unit
Kelas Khusus
Kelas 1
Kelas 2
Kelas 3
%
14.0
14.0
14.0
14.0
Bloom.g
240
200
160
140
Viskositas
cP
20
20
20
20
Kadar abu
%
1.0
1.0
2.0
2.0
pH
-
5.5-7.0
5.5-7.0
5.5-7.0
5.5-7.0
Arsen
Ppm
0.8
0.8
0.8
0.8
Logam berat
Ppm
50
50
50
50
Mikrobiologi
Per gr
1000
1000
1000
1000
Per 100 g
Neg
Neg
Neg
Neg
-
Neg
Neg
Neg
Neg
Parameter Kadar air Kekuatan gel
E. coli Salmonella *Fish Gelatin. 2003
Gelatin larut dalam air, asam asetat dan pelarut alkohol seperti gliserol, propilen glykol, sorbitol dan manitol, tetapi tidak larut dalam alkohol, aseton, karbon tetra klorida, benzen, petroleum eter dan pelarut organik lainnya. Pada kondisi tertentu juga larut dalam campuran aseton-air dan alkohol-air (Viro, 1992). King (1969) menyatakan bahwa gelatin
17 mudah larut pada suhu 71.10 C dan cenderung membentuk gel pada suhu 48.90C. Sedangkan menurut Johns (1977) menyatakan bahwa pemanasan yang dilakukan untuk melarutkan gelatin sekurang-kurangnya 490C atau biasanya pada suhu 60-700 C. Gelatin memiliki beberapa sifat yaitu dapat berubah secara reversibel dari bentuk sol ke gel, mengembang dalam air dingin, dapat membentuk film, mempengaruhi viskositas suatu bahan, dan dapat melindungi sistem koloid (Parker, 1982). Menurut Johns (1977) sifat reversible tersebut yang membedakan gelatin dengan gel hidrpkoloid lain seperti pektin, pati, alginat, protein susu, dan albumin telur yang betuknya bersifat irreversble. Gelatin bersifat hidrofilik yang dapat digunakan untuk menstabilkan koloid, sehingga efektif dugunakan sebagai pengemulsi (emulsifier) dan penstabil (stabilizer) dalam sistem emulsi sehingga emulsi stabil atau tidak pecah selama penyimpanan (Glicksman, 1969). Pada suatu emulsi biasanya terdapat tiga bagian utama yaitu bagian yang terdispersi terdiri dari butiran-butiran yang biasanya terdiri dari lemak, bagian kedua disebut media pendispersi yang biasanya terdiri dari air, dan bagian ketiga adalah emulsifier yang berfungsi menjaga agar butiran minyak tadi tetap tersuspensi di dalam air. Daya kerja emulsifier terutama disebabkan oleh bentuk molekulnya yang dapat terikat baik pada minyak maupun pada air (Winarno, 1997). Menurut Graham (1977), emulsifier mempunyai dua sisi dengan sifat yang berbeda. Salah satu sisinya bersifat polar yang dapat berkaitan dengan cairan yang bersifat polar (air), sedangkan sisi yang lainnya bersifat non polar yang berkaitan dengan fase non polar (minyak). Stabilizer merupakan suatu lapisan tipis yang menyelubungi partikel dan lokasinya berada diantara kedua permukaan, yaitu antara senyawa terdispersi dan senyawa pendispersi atau tepatnya senyawa ini disebut lapisa interfarsial. Kedua lapisan tersebut (senyawa terdispersi dan senyawa pendispersi) mempunyai tegangan yang disebut tegangan permukaan yang penting peranannya dalam sistem emulsi. Gelatin merupakan salah satu senyawa aktif permukaan yang mampu menurunkan tegangan permukaan tersebut (de Man, 1989). Salah satu sifat fisik yang penting pada gelatin adalah kekuatan untuk membentuk gel yang disebut kekuatan gel. Kekuatan gel dipengaruhi oleh pH, adanya komponen elektrolit dan non elektrolit serta bahan tambahan lainnya. Viskositas gelatin sebagai larutan merupakan salah satu sifat penting juga. Viskositas dipengaruhi oleh interaksi
18 hidrodinamik antar molekul gelatin, suhu, pH dan konsentrasi. Sifat fisik lainnya adalah titik pembentukan gel, warna, kapasitas emulsi, dan stabilitas emulsi (Glicksman, 1969). Gelatin mempunyai banyak fungsi dan sangat aplikatif di berbagai industri. Gelatin sebagai pelindung koloid dapat berguna dalam industri fotografi dan pelapis logam dalam industri electroplanting (Ward dan Court, 1977). Dalam air gelatin dapat membentuk larutan kental, karena sifat ini gelatin dapat digunakan sebagai bahan perekat dalam pembuatan tablet. Standar mutu gelatin untuk industri farmasi (Tabel 3). Pembuatan Gelatin Pada prinsipnya proses pembuatan gelatin dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu proses asam dan proses basa. Perbedaan kedua proses ini terletak pada proses perendamannya. Berdasarkan kekuatan ki atan kovalen silang protein dan jenis bahan yang diekstrak, maka penerapan jenis asam maupun basa organik dan metode ektraksi lainnya seperti lama hidrolisis, pH dan suhu akan berbeda-beda (Pelu et al., 1998). Hinterwaldner (1977) menyatakan bahwa proses produksi utama gelatin dibagi dalam tiga tahap: (1) Tahap persiapan bahan baku berupa penghilangan komponen non kolagen dengan atau tanpa pengurangan ikatan antara komponen kolagen; (2) Tahap konversi kolagen menjadi gelatin; (3) Tahap pemurnian gelatin dengan penyaringan dan pengeringan. Pada proses pembuatan gelatin berbahan baku kulit, terdapat proses yang penting dilakukan pada bahan sebelum diproses menjadi gelatin, yaitu proses liming dan degreasing. LP POM-MUI (1997) menyatakan bahwa proses degreasing bertujuan untuk menghilangkan lemak-lemak yang masih terdapat dalam jaringan kulit dengan proses pemasakan. Penghilangan lemak pada kulit yang paling efektif dilakukan pada suhu antara titik cair lemak dan suhu koagulasi protein, yaitu sekitar 32-280C.
Liming
bertujuan untuk melarutkan komponen non-kolagen dan untuk melunakkan kulit dengan perendaman dalam larutan basa, selain itu bertujuan pula untuk merusak atau memutuskan ikatan kimia tertentu yang masih ada dalam kolagen dan untuk menghilangkan atau mengurangi material lain yang tidak diinginkan, seperti protein lain dan karbohidrat. Selama proses liming, lemak dikonversi menjadi sabun-sabun basa yang terlarut.
19
Gambar 5 Diagram alir proses pembuatan gelatin dengan cara asam (tipe A) dan cara basa (tipe B) Tahap pengembangan kulit (swelling) adalah tahap yang bertujuan untuk menghilangkan kotoran-kotoran dan mengkonversi kolagen menjadi gelatin (Surono et.al., 1994). Pada tahap ini perendaman dapat dilakukan dengan larutan asam organik seperti asam asetat, sitrat, fumarat, askorbat, malat, suskinat, tartarat dan asam lainnya yang aman dan tidak menusuk hidung. Sedangkan asam anorganik yang biasa digunakan adalah asam hidroklorat, fosfat dan sulfat (Grossman dan Bergman, 1991).
20 Proses produksi gelatin diawali dengan ekstraksi setelah sebelumnya dilakukan perlakuan atau penanganan awal pada bahan baku yang akan digunakan.
Ekstraksi
merupakan proses denaturasi untuk mengubah serat kolagen yang tidak larut dalam air dengan penambahan senyawa pemecah ikatan hidrogen. Menurut Hinterwaldner (1977), kisaran temperatur yang digunakan untuk ekstraksi antara 50-1000 C atau lebih rendah. Nilai pH ekstraksi dapat berbeda untuk setiap metode.
Gambar 6 Transformasi kola gen-gelatin (Glicksman, 1969)
Tahapan selanjutnya ialah penghilangan zat-zat lain yang tidak larut yang dapat mengurangi kemurnian gelatin, yaitu melalui penyarinan. Proses terakhir ialah pemekatan dan penegringan larutan gelatin. Pemekatan bertujuan untuk meningkatkan total solid sehingga mempercepat proses pengeringan. Kerusakan gelatin dapat dicegah dengan pemekatan yang dilakukan dengan singkat pada temperatur tidak lebih dari 700C. Mutu Gelatin Mutu gelatin sangat ditentukan oleh sifat-sifat fisik , kimia dan fungsional yang menjadikan gelatin sebagai karakter yang unik. Sifat-sifat fisik dan kimia gelatin antara lain: tidak berwarna atau agak berwarna kuning, transparan, rapuh, tidak berbau, tidak memiliki rasa; berbentuk lembaran, serpihan atau tepung; larut dalam air panas, gliserol dan asam asetat; dan tidak larut dalam pelarut organik (Budavari, 1996). Gelatin dapat mengembang dan menyerap air 5-10 kali dari beratnya untuk membentuk gel sebagai
21 larutan cair pada kisaran suhu 30 - 350 C. Gelatin yang diekstrak dari ikan memiliki titik jendal pada kisaran suhu 5 - 100 C (Food Chemicals Codex, 1996). Menurut Poppe (1997) bahwa gelatin memiliki titik leleh di bawah 370 C, ini artinya gelatin dapat meleleh di dalam mulut dan mudah sekali larut. pH dimana gelatin terbentuk dalam larutan netral disebut titik isoelektrik. Titik isoelektrik gelatin berkisar antara 4.8 dan 9.4 dimana gelatin yang diproses secara asam memiliki titik isoelektrik yang lebih tinggi dibanding yang diproses secara basa (Poppe, 1997). Gelatin yang dihasilkan dari proses asam memiliki titik isoelektrik point (IEP) antara 6-9 (Tessenderlo Group, 2002). Gelatin yang berbentuk gel pada konsentrasi minimum 0.5% memiliki pH dengan kisaran 4-8. pH dalam larutan air untuk gelatin tip e A yaitu antara 4.5 dan 6, dan kisaran pH untuk gelatin tipe B adalah 5-7 (USFDA, 1997). Kadar abu gelatin bervariasi berdasarkan pengolahannya.
jenis bahan baku dan metode
Gelatin dari kulit babi atau tipe A mengandung sedikit klorida,
sedangkan gelatin dari ossein (kulit anak sapi) atau gelatin tipe B terutama mengandung kalsium dan fosfat (Glicksman, 1969). Gelatin komersial memiliki kekuatan gel yang cukup bervariasi yaitu dari 90 sampai 300 gram Bloom (Igoe, 1983). Gelatin dari ikan berbeda dengan gelatin dari sapi atau babi yaitu titik lelehnya rendah, suhu pembentukan gel rendah, dan viskositasnya tinggi (Leuenberger 1991). Menurut Estoe dan Leach (1977) gelatin mengandung asam amino yang biasa terdapat pada protein kecuali triptopan dan sistein, tapi kadang-kadang keduanya terdapat dalam jumlah kecil. Gelatin yang diperoleh melalui proses basa lebih kaya hidroksiprolinnya dan rendah tirosin dibandingkan yang diperoleh secara asam. Lebih lanjut dikatakan bahwa komposisi asam amino gelatin yang diperoleh dari kolagen ikan dan elasmobranch lebih beragam dibandingkan gelatin dari sumber lainnya. Kadar prolin dan hidroksiprolin gelatin ikan lebih rendah dibandingkan gelatin dari mamalia, dan lebih rendah lagi pada ikan air dingin, sementara kandungan metioninnya lebih banyak. Salah satu penelitian menemukan bahwa gelatin ikan memiliki sifat-sifat fisik dan kimia yang sama dengan gelatin dari kulit babi dan bahkan memiliki nilai yang sangat baik berdasarkan uji organoleptik (Choi dan Regenstein, 2000).
22 Tabel 4 Standar mutu gelatin. Karakteristik Warna Bau, rasa Kadar air (%) Kadar abu (%)
SNI 06-3735a
British Standar 757b
Tidak berwarna
Kuning pucat
Normal, dapat diterima konsumen
-
Maksimum
16
Maksimum
3.25
-
Kekuatan gel (bloom)
-
50 - 300
Viskositas (cP)
-
15 - 40
pH
-
4,5 – 6,5
Logam berat (mg/kg)
Maksimum
50
-
Arsen (mg/kg)
Maksimum
2
-
Tembaga (mg/kg)
Maksimum
30
-
Seng (mg/kg)
Maksimum
100
-
Sulfit (mg/kg) Maksimum 1000 a Sumber : SNI 06-3735 (1995) b British Standar 757 (1975)
-
METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Pusat Riset Pengolahan Produk dan Sosial Ekonomi Perikanan dan Kelautan Slipi Jakarta, mulai bulan April 2005 sampai Agustus 2005.
Bahan dan Alat Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah kulit ikan tuna, dimana untuk satu kali percobaan digunakan 0.5 kg kulit ikan tuna. Bahan tersebut diperoleh dari tempat pengolahan fillet ikan tuna di Jakarta.
Kulit ikan yang telah dipilih segera
dimasukkan ke dalam peti pendingin. Kulit ikan tersebut segera dibawa ke laboratorium Pusat Riset Pengolahan Produk dan Sosial Ekonomi Perikanan dan Kelautan Jakarta untuk selanjutnya diberi perlakuan yang telah ditentukan dan diekstraksi menjadi gelatin. Bahan-bahan lainnya adalah Asam Sitrat, kapur, Natrium Sulfat, Amonium Sulfat, Enzim (Oropon), dan aquades. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: pisau, wadah plastik, panpan aluminium, peti pendingin, beaker gelas 5000 ml, neraca analitik Chyo JP-160, pHmeter Accument 900-Fisher Scientific, ruang pendingin, inkubator, desikator, waterbath, thermometer digital Hanna, curd meter, viskometer, peralatan mikro Kjheldahl, peralatan soxhlet, spectrophotometer, high performance liquid chromatography (HPLC) Water Associates, detektor model 440 Absorbance Detector Water Associates, freeze dryer, gas chromatography (GC) Hitachi 263-50, magnetic stirrer, cawan porselin, alat-alat gelas, kapas dan kain saring.
Metode Penelitian Proses pembuatan gelatin dengan metode asam yang digunakan meliputi persiapan bahan baku, pencucian, perendaman dalam larutan kapur, pencucian dan pembersihan, enzimatis, pencucian, swelling, pencucian, ekstraksi, filtrasi, pengeringan, dan penggilingan. Diagram alir proses pembuatan gelatin disajikan pada Gambar 7.
24 Bahan baku berupa kulit yang telah di persiapkan terlebih dahulu dicuci sampai bersih dari sisa-sisa kotoran dan darah yang masih menempel pada kulit. Kulit kemudian direndam dalam larutan kapur 3%, Na2 S 3%, dan air 600% dari berat kulit basah selama 24dan 48 jam.
Proses perendaman dalam larutan kapur dan Na2 S dilakukan untuk
menghilangkan sisik dan menghilangkan lemak- lemak yang masih menempel pada permukaan bawah kulit, trimming secara mekanik dengan menggunakan pisau. Deagreasing dilakukan untuk menghilangkan lemak yang masih terikat pada kulit. Proses selanjutnya adalah pembuangan kapur dengan merendam kulit dalam air 400% dan larutan ammonium sulfat 1% kemudian diputar selama 30 menit, selanjutnya kulit dienzimatis dengan konsentrasi 1, 2, dan 3% kemudian diputar selama 2 jam dengan tujuan melepaskan lapisan epidermis kulit yang tidak mengandung kolagen dan melemaskan jaringan serat-serat kolagen dan protein elastin yang terdapat pada kulit. Proses liming adalah proses perendaman dalam larutan asam untuk melanjutkan pembengkakan kulit (swelling).
Tujuannya adalah untuk menceraikan serabut-serabut
kolagen menjadi serat-serat atau fibril- fibril, sehingga kulit menjadi terbuka. Proses perendaman dalam larutan asam dilakuk an selama 12, 18, dan 24 jam. Langkah selanjutnya adalah ekstraksi gelatin selama 2 jam dengan suhu 600 C dengan perbandingan bahan dan aquades sebanyak 1 : 3. Residu yang diperoleh dari ekstraksi pertama kemudian diekstrak kembali pada suhu 700 C selama 2 jam dengan perbandingan bahan dan aquades sebanyak 1 : 3. Filtrat yang diperoleh dari ekstraksi 1 dan 2 kemudian disaring dengan menggunakan saringan kapas dan saringan 200 – 250 mesh. Larutan gelatin yang dihasilkan kemudian dikeringkan dengan oven pada suhu 50 – 550C selama 2 – 3 hari. Selanjutnya dilakukan proses penggilingan (grinding), sehingga diperoleh gelatin kering dalam bentuk butiran-butiran halus (bubuk).
Penelitian Tahap I Penelitian tahap pertama dilakukan untuk mendapatkan kondisi optimum ekstraksi dari kulit ikan tuna, yang akan digunakan pada penelitian tahap selanjutnya. Pada tahap ini diterapkan tiga perlakuan yaitu lama perendaman pada larutan kapur (P), konsentrasi Enzim (E), dan lama perendaman asam (S), masing- masing perlakuan diulang sebanyak dua kali.
25 Pada penelitian tahap ini dilakukan pembuatan gelatin dari kulit ikan tuna dengan melakukan perendaman dalam larutan kapur selama 24 jam (P1) dan 48 jam (P2), dengan konsentrasi enzim 1% (E1), 2% (E2), 3% (E3), sedangkan perendaman dalam larutan asam dilakukan selama 12 jam (S1), 18 jam (S2), dan 24 jam (S3) dengan suhu ekstraksi 600C dengan waktu ekstraksi 2 jam. Dengan demikian terdapat sejumlah 18 perlakuan yaitu: 1). P1E1S1, 2). P1E1S2, 3). P1E1S3, 4). P1E2S1, 5). P1E2S2, 6). P1E2S3, 7). P1E3S1, 8). P1E3S2, 9). P1E3S3, 10). P2E1S1, 11). P2E1S2, 12). P2E1S3, 13). P2E2S1, 14). P2E2S2, 15). P2E2S3, 16). P2E3S1, 17). P2E3S2, 18). P2E3S3. Diagram alir proses ekstraksi gelatin dari kulit ikan tuna (Gambar 2). Penentuan teknik ekstraksi gelatin yang terbaik dipilih berdasarkan rendemen, viskositas, dan kekuatan gel yang sesuai dengan standar mutu gelatin. Pada tahap ini rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap Faktorial dengan tiga faktor (Steel dan Torrie, 1993). Model rancangan adalah: Yhij = µ + Ph + Ei + Sj + (PE)hi + (ES)ij + (PS)hj + (PES)hij + Shij Dimana: Yhij
=
hasil pengamatan
µ Ph
= =
nilai tengah umum pengaruh lama pengapuran ke- h (h = 1, 2)
Ei
=
pengaruh konsentrasi enzim ke-i (i = 1, 2, 3)
Sj
=
pengaruh lama perendaman asam ke-j (j = 1, 2, 3)
(PE)hi
=
(ES)ij
=
(PS)hj
=
(PES)hij
=
Shij
=
pengaruh interaksi lama perendaman kapur ke-h dengan konsentrasi enzim ke- i pengaruh interaksi konsentrasi enzim ke- i dengan lama perendaman asam ke-j penga ruh interaksi lama perendaman kapur ke-h dengan lamaperendaman asam ke-j penguh interaksi lama pengapuran, konsentrasi enzim, dan lama perendaman asam. faktor galat
26
Bahan Baku
Persiapan Bahan Baku
Ekstraksi
Pengolahan Gelatin
Gambar 7 Proses ekstraksi gelatin dari kulit ikan tuna (Sumber : Poppe, 1992 yang telah dimodifikasi)
27 Penelitian Tahap II Penelitian tahap keduan ini bertujuan mengkaji karakteristik gelatin kulit ikan tuna yang dihasilkan meliputi sifat fisik sifat kimia, sifat organoleptik serta kandungan mikrobiologi. Pada tahap ini dilakukan pembuatan gelatin dengan teknik ekstraksi terbaik yang diperoleh dari penelitian tahap pertama dengan 3 kali ulangan. Gelatin yang dihasilkan kemudian dibandingkan dengan gelatin standar laboratorium ”SIGMA” produksi Kanada (terbuat dari kulit ikan cod), gelatin komersial (terbuat dari tulang sapi dan telah dijual bebas), dan standar mutu gelatin farmasi Pengamatan dilakukan terhadap parameter yang menjadi indikator mutu gelatin yang meliputi rendeman, kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, pH, kekuatan gel, Viskositas, titik leleh, titik jendal, titik isoelektrik, komposisi asam amino, derajat putih, logam berat, uji organoleptik, dan uji mikrobiologi yang meliputi Total Plate Count (TPC), Escherichia coli dan Salmonella.
Untuk penelitian tahap kedua, data hasil
pengamatan dibandingkan secara deskriptif.
Gambar 8 Bagan alir pelaksanaan penelitian
28 Pengamatan Rendemen (AOAC, 1995) Rendemen diperoleh dari perbandingan berat kering sheet gelatin yang dihasilkan dengan bahan kulit (yang telah dibersihkan dari sisa daging dan lapisan lemak). Rendemen dapat diperoleh dengan menggunakan rumus : Rendemen (%) =
berat kering gelatin x 100% berat bahan
Kekuatan Gel (British Standard 757, 1975) Larutan gelatin dengan konsentrasi 6.67% (b/b) disiapkan dengan aquades. Larutan diambil sebanyak 15 ml kemudian ditempatkan pada wadah dengan volume 20 ml. Sampel diinkubasi pada suhu 100 C selama 17 ± 2 jam, kemudian diukur dengan menggunakan alat curd meter. Hasil dari pengukuran berupa grafik, selanjutnya dihitung dengan rumus :
Keterangan :
F x 980 g
Kekuatan Gel (dyne/cm2 )
=
Kekuatan Gel (bloom)
= 2.86 x 10-3 G + 20
F
= tinggi grafik sebelum patah
g
= konstanta (0.07)
G
= kekuatan gel (dyne/cm2 )
Viskositas (British Standard 757, 1975) Larutan gelatin dengan konsentrasi 6.67% (b/b) disiapkan dengan aquades, kemudian diukur viskositasnya dengan menggunakan alat Haake viscometer. Pengukuran dilakukan pada suhu 60 0 C dengan laju geser 60 rpm menggunakan spidel1.
Hasil
pengukuran dikalikan dengan faktor konversi, dimana untuk spindel 1 faktor konversinya adalah 1. Nilai viskositas dinyatakan dalam satuan centipoise (cP).
29 Derajat Keasaman (pH) (British Standar 757, 1975) Larutan gelatin dengan konsentrasi 6.67% (b/b) disiapkan dengan aquades. Larutan sampel dipanaskan pada suhu 700 C dan dihomogenkan dengan magnetic stirrer, kemudian diukur derajat keasamannya pada suhu kamar dengan pH meter. Kadar Air (AOAC, 1995) Cawan porselen dikeringkan pada suhu 1050 C selama 1 jam.
Kemudian
didinginkan dan ditimbang, contoh yang akan ditentukan kadar airnya ditimbang sebanyak 2 gram. Cawan yang telah berisi contoh dimasukkan ke dalam oven bersuhu 1050 C sampai beratnya konstan. Kadar air dihitung dengan rumus : Kadar air (%) =
(B
- A) x 100% berat contoh
Keterangan : A = berat cawan + contoh kering (gram) B = berat cawan + conto h basah (gram)
Kadar Abu (AOAC, 1995) Contoh yang telah diuapkan airnya dimasukkan ke dalam tanur bersuhu 6000C, sebelumnya berat cawan kering dan berat contoh telah diketahui. Proses penguapan dilakukan sampai semua bahan berubah warna menjadi abu-abu, kemudian contoh ditimbang. Kadar abu dihitung dengan rumus : Kadar abu (%) =
berat abu x 100% berat sampel
Kadar Protein (AOAC, 1995) Sejumlah 0.02-0.05 gram dimasukkan dalam labu Kjeldahl 100 ml kemudian ditambah 2-3 gram katalis (1.2 gram Na2 SO4 dan 1 gram CuSO4 ) dan 2-3 ml H2 SO4 pekat, lalu dilakukan destruksi hingga larutan menjadi jernih. Setelah itu didinginkan kemudian sampel didestilasi dan ditambah 35 ml aquades dan 10 ml NaOH 50%. Hasil destilasi ditampung dalam erlenmeyer berisi 5 ml H3 BO 3 dan indikator metil merah dan metil biru kemudian dititrasi dengan HCl 0.02N. Kadar protein dihitung dengan rumus
30
Kadar nitrogen (%) =
(ml HCl - ml blanko ) x normalitas
HCl x 14.007
mg contoh
x 100%
Protein kasar (%) = kadar nitrogen x 5.46 (Leach dan Eastoe, 1977)
Kadar Lemak (Apriyantono et al., 1989) Sebanyak 2 gram sampel dibungkus dalam kertas saring dan dimasukkan ke dalam labu soxhlet (labu sebelumnya dikeringkan dalam oven, dimasukkan ke dalam desikator lalu ditimbang). Dimasukkan pelarut petroleum eter kemudian dilakukan reflux selama 6 jam. Lalu labu berisi hasil reflux dipanaskan dalam oven dengan suhu 105 0 C. Setelah itu didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Kadar lemak dihitung dengan rumus : Kadar lemak (%) =
berat lemak x 100% berat sampel
Titik Isoelektrik (Wainewright, 1977) Sebanyak 0.2 gram sampel ditambah dengan 40 ml aquades sebagai pelarut dengan kisaran pH 4.5-10.5 (interval 0.5).
Pengaturan pH dilakukan dengan menambahkan
NaOH 0.5 N untuk menaikkan pH dan HCl 0.5 untuk menurunkan pH. Setelah kondisi pH tercapai, dilanjutkan dengan pengadukan selama 30 menit untuk menyempurnakan ekstraksi. Larutan yang dihasilkan dipisahkan dengan bagian yang tidak larut dengan cara disentrifuse, kemudian disaring dengan kertas saring whatman 41. Filtrat dianalisa kadar nitrogennya dengan metode mikro Kjeldahl. Kadar nitrogen terlarut yang paling rendah ditentukan sebagai daerah titik isoelektrik (pI).
Logam Berat Kandungan logam berat yang ingin dianalisa adalah Hg, Pb, Zn, Cu dan As menggunakan Absorbsi Atom Spektrofotometer (AAS).
Sebanyak 5-6 ml HCl 6 N
ditambahkan ke dalam cawan/pinggan berisi abu hasil pengabuan kering kemudian dipanaskan di atas hot plate dengan pemanasan rendah sampai kering.
Setelah itu
ditambahkan 15 HCl 3 N, lalu cawan dipanaskan di atas pemanas sampai mulai mendidih.
31 Setelah didinginkan dan disaring, filtrat dimasukkan ke dalam labu takar dan diencerkan dengan air sampai tanda tera. Blanko disiapkan menggunakan pereaksi yang sama. Alat AAS diset sesuai interuksi dalam manual alat tersebut.
Larutan standar
logam, blanko dan sampel diukur. Selama penetapan sampel, dilakukan pemeriksaan apakah nilai standar tetap konstan. Kemudian dibuat kurva standar untuk masing-masing logam (nilai absorbsi/emisi vs konsentrasi logam dalam µg/ml)
Asam Amino (Muchtadi dkk, 1992) Sebanyak 0.2 gram sampel disiapkan dalam tabung reaksi tertutup dan ditambahkan sebanyak 5 ml HCl 6 N. Sampel dimasukkan dalam oven dengan suhu 1000 C selama 18-24 jam. Selanjutnya sampel disaring dengan kertas saring whatman 40. Hasil hidrolisis dipipet sebanyak 10 µl dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Kemudian ditambahkan 30 µl larutan pengering, lalu dikeringkan dengan pompa vakum bertekanan 50 torr. Sampel yang telah dikeringkan ditambahkan larutan derivat sebanyak 30 µl dan dibiarkan selama ± 20 menit. Sampel selanjutnya diencerkan dengan 200 µl larutan pengencer natrium asetat 1 M. Sampel siap dianalisis dengan menggunakan HPLC Waters Associates. Kondisi HPLC pada saat dilakukan analisis : - Temperatur kolom : 380 C - Kolom
: pico tag 3.9 x 150 nm coulomb
- Kecepatan alir
: sistem linier gradien
- Batas tekanan
: 3000 psi
- Program
: gradien
- Fase gerak
: - Asetonitril 60% - Buffer Natrium asetat 1 M, pH 5.75
- Detektor
: UV, panjang gelombang 254 nm
Konsentrasi asam amino dihitung dengan rumus :
Konsentrasi asam amino (%) =
Ac Bs x BM x Fp x x 100% As Bc
32 Keterangan : Ac
= Luas area sampel
As
= Luas area standar
Bc
= Berat sampel ( µg)
Bs
= Berat standar (µg)
BM
= Berat molekul masing- masing asam amino
Fp
= Faktor pengencer (15)
Titik Jendal (Suryaningrum dan Utomo, 2002) Larutan gelatin dengan konsentrasi 6.67% (b/b) disiapkan dengan aquades, dan disiapkan dalam tabung reaksi volume 15 ml yang dihubungkan dengan sensor thermometer digital Hanna. Sampel diturunkan suhunya secara perlahan- lahan dengan cara menempatkan pada wadah yang telah diberi pecahan es. Titik jendal dientukan tepat pada saat sensor dapat mengangkat gel dalam tabung reaksi. Titik Leleh (Suryaningrum dan Utomo , 2002) Larutan gelatin dengan konsentrasi 6.67% (b/b) disiapkan dengan aquades. Sampel diinkubasi pasa suhu 100C selama 17 ± 2 jam. Pengukuran titik leleh dilakukan dengan cara memanaskan gel gelatin dalam waterbath.
Di atas gel gelatin tersebut
diletakkan gotri dan ketika gotri jatuh ke dasar gel gelatin maka suhu tersebut ditentukan sebagai titik leleh gelatin. Derajat Putih Analisis warna dilakukan dengan menggunakan kromameter. Alat dikalibrasi dengan warna putih yang diasumsikan mempunyai derajat putih 100%.
Kemudian
dilakukan pengukuran terhadap sampel. Hasil pengukuran berupa Y, x, dan y dikonversi menjadi Y, X, dan Z dengan rumus : Y = Y X = Y(x/y) Z = Y(1 – x – y)/y)
33 Nilai Y, X, dan Z selanjutnya dikonversi menjadi L, a, dan b dengan rumus : L = 10 Y a = (17.5 (1.02X - Y)) /
Y
b = (7.0 (Y - 0.847Z)) /
Y
Derajat putih (WO) dihitung dengan rumus : wo = 100 − (100 − L ) 2 + a 2 + b 2
Penentuan Total Plate Count (SNI 01-2339, 1991) Gelatin sebanyak 10 gr dimasukkan ke dalam blender jars dan ditambahkan 90 ml NaCl 0.9%, kemudian diblender selama beberapa detik dengan kecepatan rendah dan dilanjutkan dengan kecepatan tinggi selama dua menit.
Larutan yang didapat adala h
pengenceran 10 -1 . Selanjutnya larutan tersebut dipipet sebanyak 1 ml dan dimasukkan ke dalam cawan petri steril, dan 1 ml lagi ke dalam cawan petri yang lain sebagai duplo. Kemudian disiapkan larutan sampel dengan pengenceran 10-2 dengan memipet 1 ml larutan pengenceran 10-1 dan dimasukkan ke dalam 9 ml larutan NaCl 0.9%, lalu dikocok sampai homogen. Larutan 10-2 ini dipipet dan dimasukkan ke dalam cawan petri dan dilakukan secara duplo. Selanjutnya dengan cara yang sama dilakukan inokulasi sampel sampai pengenceran 10-8 . Ke dalam semua cawan petri yang telah berisi larutan sampel, dituangkan media tumbuh Plate Count Agar (PCA) dengan suhu 45 0 C sebanyak 15 ml dan dibiarkan selama 15 – 20 menit sampai agarnya memadat. Selanjutnya diinkubasikan pada suhu 370 C dengan posisi terbalik selama 48 jam. Disamping itu dibuat blanko, yaitu ke dalam cawan petri steril hanya dituangkan media tumbuh PCA 15 ml dan 1 ml larutan pepton 1%. Perhitungan jumlah koloni dilakukan dengan menggunakan Quebec Colony Counter. Perhitungan dilakukan sesuai dengan Standart Plate Count (SPC). Penentuan Escherichia coli (SNI 01-2332, 1991) Sebanyak 10 gr gelatin dimasukkan ke dalam blender jars dan diblender selama beberapa detik dengan kecepatan rendah dan dilanjutkan dengan kecepatan tinggi selama dua menit.
Selanjutnya dengan menggunakan pipet steril, disiapkan larutan sampel
34 dengan pengenceran 10-1 sampai 10-3, aduk sampai homogen. Inokulasikan pada media Lauryl Sulfate Tryptose (LST) broth masing- masing 3 tabung dengan 1 ml larutan sampel. Tabung-tabung tersebut diinkubasi selama 48 jam pada suhu 35 0 C. membentuk gas adalah positif untuk bakteri coliform.
Tabung yang
Selanjutnya dilakukan tes
konfirmasi bakteri E. coli. Tabung-tabung LST positif dikocok secara perlahan- lahan, lalu dipindahkan ke tabung-tabung EC broth menggunakan jarum inokulasi steril berdiameter 3 mm dan dihindari terjadinya selaput.
Tabung-tabung EC broth diinkubasi pada water bath
bersirkulasi dengan suhu 45.50 C selama 48 jam. Tabung-tabung yang mengandung gas adalah tabung-tabung positif.
Tabung-tabung EC positif dikocok perlahan- lahan,
kemudian ditumbuhkan pada media Levine’s Eosine Methylene Blue (L-EMB) agar dengan cara goresan menggunakan jarum inokulasi berdiameter 5 mm, dan dihindari terjadinya selaput. Selanjutnya diinkubasikan pada suhu 35 0 C selama 24 jam. Jika terjadi pertumbuhan pada media berarti positif E. coli. Penentuan Salmonella (SNI 01-2335, 1991) Sebanyak 10 gr gelatin dimasukkan ke dalam blender jars dan ditambahkan 90 ml lactose broth, kemudian diblender selama beberapa detik dengan kecepatan rendah dan dilanjutkan dengan kecepatan tinggi selama dua menit.
Sampel dipindahkan secara
aseptis ke dalam botol steril yang bertutup. Kedalam larutan sampel ditambahkan NaOH 1 N untuk mencapai pH 7, lalu diinkubasikan pada suhu 350C selama 24 jam. Setelah inkubasi botol sampel dikocok secara perlahan- lahan kemudian diambil 1 ml dan dipindahkan ke dalam tabung reaksi yang berisi 10 ml media Selenite Cystine Broth (SCB). Selanjutnya diinkubasikan pada suhu 350 C selama 24 jam. Selesai inkubasi, ditumbuhkan pada tiga macam media yaitu Bismuth Sulphite Agar (BSA), Salmonella Shiggella Agar (SSA), dan Brilliant Green Agar (BGA), dengan cara goresan. Kemudian diinkubasikan pada suhu 350 C selama 24 jam. Setelah inkubasi, diamati adanya koloni Salmonella dengan ciri-ciri sebagai berikut : pada media BGA, tidak berwarna, merah muda, tidak jelas atau kabur dengan media sekeliling berwarna merah mudah sampai merah; pada SSA, tidak berwarna, merah muda yang pucat, bening, kabur, ada titik hitam pada bagian tengah sel; pada BSA, berwarna coklat, hitam kadang-kadang memberi
35 cahaya metalik, sekeliling media berwarna coklat pada mulanya berubah menjadi hitam dengan makin lamanya inkubasi, koloni berwarna hijau dengan sedikit atau tanpa terjadinya warna gelap disekeliling media.
Apabila pada agar-agar tersebut tidak
ditemukan koloni tersangka maka diinkubasikan kembali selama 24 jam. Setiap koloni tersangka Salmonella dipindahkan ke agar miring Triple Sugar Iron Agar (TSIA) dengan cara menggoreskannya, lalu diinkubasikan pada suhu 35 0 C selama 24 jam. TSIA yang tersangka ditumbuhi Salmonella akan menunjukkan terbentuknya warna merah dengan atau tidak disertai timbulnya H2S yang warnanya hitam. Uji Organoleptik (Soekarto dan Hubeis, 1991) Uji organoleptik dilakukan melalui uji segitiga (Triangle Test). Sejumlah sampel disajikan bersama dengan pembanding. Kemudian sifat mutu yang meliputi warna, bau dan penampakan dinilai apakah lebih baik, sama atau kurang.
Pembanding yang
digunakan adalah gelatin standar dan gelatin komersial. Panelis yang menilai adalah panelis terlatih sebanyak 15 orang. Data hasil respon dari 15 orang panelis terlatih dianalisis dengan cara tabel. Tabel yang digunakan adalah tabel beda nyata pada uji segitiga dengan hipotesis berekor satu. Jika jumlah panelis 15 orang, maka untuk dinyatakan berbeda nyata, jumlah respon yang terkecil terhadap pembanding harus mencapai 9 ora ng pada beda nyata tingkat 5% atau mencapai 10 pada beda nyata tingkat 1%.
HASIL DAN PEMBAHASAN Bahan Baku Kulit ikan tuna yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari limbah produksi fillet ikan tuna skala rumah tangga disekitar Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Muara Baru, Jakarta. Gambar 9 memperlihatkan kulit ikan tuna segar sebagai bahan baku pembuatan gelatin yang diperoleh dari industri fillet. Kulit tersebut kemudian dicuci sampai bersih, setelah itu kulit direndam dalam larutan kapur sebagai tahap awal dalam proses pembuatan gelatin kulit ikan tuna.
Gambar 9 Kulit ikan tuna.
Hasil pengujian komposisi kimia kulit ikan tuna segar dan komposisi kimia kulit ikan tuna yang telah dibersihkan (degreasing) dengan perlakuan perendaman dalam larutan kapur dan proses enzimatis ya ng telah siap untuk diekstraksi Tabel 5 Komposisi kimia kulit ikan tuna segar dan kulit ikan tuna siap ekstraksi KadarAir
Kadar Abu
Kadar Lemak
Kadar Protein
(%)
(%)
(%)
(%)
Kulit segar
60.19
7.49
0.33
22.15
Kulit siap ekstrak
85.52
0.86
0.28
20.81
Sampel
37 Penelitian Tahap I Rendemen Gelatin Rendemen merupakan salah satu parameter yang penting dalam menilai efektif tidaknya proses produksi gelatin. Efisien dan efektifnya proses ekstraksi bahan baku untuk pembuatan gelatin dapat dilihat dari nilai rendemen yang dihasilkan. Rendemen dihitung berdasarkan perbandingan antara gelatin kering yang dihasilkan dengan berat basah bahan baku atau kulit. Rendemen gelatin kulit ikan tuna yang dibuat berdasarkan lama Perendaman dalam larutan kapur, konsentrasi enzim, dan lama perendaman asam rataannya berkisar antara 5.9 sampai dengan 20.2% (Lampiran 1). Gelatin yang dapat diperoleh melalui ekstraksi kolagen secara bertingkat adalah 14% sampai 28% terhadap bahan baku (Glicksman, 1969). Rendemen tiap ulangan untuk semua perlakuan sedikit beragam, hal ini kemungkinan disebabkan oleh proses penirisan kulit yang tidak sempurna setelah pencucian yang mengakibatkan kandungan air kulit menjadi tinggi sehingga pada saat penimbangan bobot yang terhitung bukan bobot murni kulit. Kandungan air yang tinggi dari bahan dapat mempengaruhi proses perendaman bahan, karena sifat dari air dapat mengencerkan konsentrasi larutan asam yang digunakan sehingga proses perendaman menjadi kurang efektif. Efektifitas proses perendaman kulit akan semakin tinggi apabila kadar air bahan bisa dikurangi terlebih dahulu sebelum perendaman, misalnya dengan cara diperas atau dikeringkan. Selain itu pada proses produksi, yaitu pada proses pengeringan dengan oven, apabila tidak dilakukan dengan sempurna maka akan mempengaruhi kadar air. Hasil analisis ragam rendemen gelatin kulit ikan tuna (Lampiran 2) menunjukkan bahwa lama perendaman kapur, konsentrasi enzim dan lama perendaman asam serta interaksi antara lama perendaman kapur dengan konsentrasi enzim berpengaruh sangat nyata (P<0.01) terhadap rendemen gelatin kulit ikan tuna yang dihasilkan. Interaksi antar perlakuan yang diterapkan menunjukkan berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap rendemen, namun interaksi antara lama Perendaman dalam larutan kapur dengan lama perendaman asam dan interaksi antara konsentrasi enzim dengan lama perendaman asam tidak memberikan pengaruh terhadap rendemen gelatin kulit ikan tuna yang dihasilkan.
38 Kirk dan Othmer (1966) menyatakan bahwa konversi kolagen menjadi gelatin dipengaruhi oleh pH, jenis bahan pelarut, suhu, dan pengkonsentrasian. Peningkatan lama lama pemasakan (ekstraksi) atau pemanasan dalam air akan meningkatkan kelarutan kolagen sehingga rendemen gelatin akan meningkat, lebih lanjut dikatakan jika suhu ekstraksi melampaui 900 C maka konsentrasi gelatin akan meningkat dalam ekstraknya. John dan Courts (1970) menyatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi asam dan lama perendaman akan menyebabkan semakin banyaknya pemecahan ikatan hidrogen dan ikatan hidrofobik yang merupakan ikatan penstabil pada triple heliks menjadi komponen a, ß, dan ? sehingga lebih mudah dan lebih banyak yang terkonversi menjadi gelatin. Namun apabila proses perendaman terlalu lama akan mengakibatkan terjadinya kelarutan kolagen sehingga rendemen menurun. Hal ini diperkuat oleh pendapat Hinterwaldner (1977) bahwa jika lama perendaman atau waktu perendaman tidak dilakukan dengan tepat maka akan terjadi kelarutan kolagen yang menyebabkan rendemen menjadi rendah. 25
Rendemen(%)
20 15 10 5 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Kombinasi Perlakuan
Gambar 10
Pengaruh lama perendaman kapur, konsentrasi enzim, dan lama perendaman asam sitrat pH 3 (kombinasi perlakuan) terhadap rendemen (%) gelatin kulit tuna.
Berdasarkan uji lanjut (Lampiran 3) menggunakan uji beda jarak berganda Duncan (BJBD), menunjukkan bahwa perlakuan lama perendaman kapur 24 dan 48 jam dengan konsentrasi enzim 1dan 2% untuk semua waktu perendaman asam tidak berbeda nyata dengan rendemen gelatin yang dihasilkan. Rendemen gelatin tertinggi diperoleh dari perlakuan perendaman kapur 24 jam, konsentrasi enzim 3%, dan lama perendaman asam 12 jam (kombinasi perlakuan 7).
39 Viskositas Gelatin Sifat fungsional hidrokoloid yang utama adalah dalam proses pengentalan dan pembentukan gel. Staisby (1977) menyatakan bahwa viskositas larutan gelatin terutama tergantung pada tingkat hidrodinamik (tingkat dispersi) antara molekulmolekul gelatin sendiri. Disamping itu juga, viskositas tergantung pada temperatur (di atas 400 C viskositas menurun secara eksponensial dengan naiknya suhu), pH (viskositas terendah pada titik isoelektrik) dan konsentrasi dari larutan gelatin. Viskositas merupakan salah satu sifat fisik gelatin yang cukup penting. Pengujian viskositas dilakukan untuk mengetahui tingkat kekentalan gelatin sebagai larutan pada konsentrasi dan suhu tertentu. Viskositas gelatin biasanya diukur pada suhu 60o C dengan konsentrasi 6.67% (b/b). Nilai rataan viskositas yang diperoleh pada penelitian ini berkisar antara 5.15 cP sampai dengan 22.75 cP (Lampiran 1). Nilai tersebut telah memenuhi standar gelatin farmasi menurut Fish Gelatin (2003). Hasil analisis ragam viskositas gelatin kulit ikan tuna
(Lampiran 4)
menunjukkan bahwa lama perendaman kapur dan lama perendaman asam serta interaksi antara konsentrasi enzim dengan lama pererendaman asam memberikan pengaruh sangat nyata (P<0.01) terhadap viskositas gelatin ikan tuna yang dihasilkan. Konsentrasi enzim dan interaksi antar perlakuan yang diterapkan menunjukkan pengaruh nyata (P<0.05), namun interaksi lama perendaman kapur dengan konsentrasi enzim dan interaksi lama perendaman kapur dengan lama perendaman asam tidak memberikan pengaruh terhadap viskositas gelatin kulit ikan tuna yang dihasilkan. Menurut Glicksman (1969) , residu mineral yang tertinggal dalam gelatin dapat mempengaruhi karakteristik gelatin tersebut. Aldehyde yang mempertahankan ikatan silang (cross- link) dalam molekul gelatin akan membentuk polyaldehyde dengan residu mineral tersebut, sehingga menurunkan kelarutan dalam air dan meningkatkan viskositasnya. Residu mineral gelatin dari kulit ikan tuna yang memiliki kecenderungan meningkat seiring dengan lama perendaman dalam larutan kapur, akan meningkatkan viskositas gelatin yang dihasilkan. Disamping residu mineral, pH dan konsentrasi larutan juga mempengaruhi viskositas gelatin, dimana semakin besar konsentrasi maka viskositas gelatin semakin tinggi (Poppe, 1992). Peningkatan nilai pH gelatin dari kulit ikan tuna berhubungan dengan meningkatnya residu mineral gelatin, khususnya residu mineral kalsium. Nilai pH yang meningkat tersebut akan
40 menyebabkan konsentrasi larutan gelatin meningkat, sehingga viskositas yang dihasilkan semakin besar. 25
Viskositas (cP)
20 15 10 5 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Kombinasi Perlakuan
Gambar 11 Pengaruh Konsentrasi Enzim, lama perendaman kapur, dan lama perendaman asam sitrat pH 3 (kombinasi perlakuan) terhadap viskositas (cP) gelatin kulit tuna. Gambar 11 menunjukkan bahwa secara umum rata-rata nilai viskositas gelatin yang tertinggi diperoleh pada lama perendaman asam 12 jam dan terendah diperoleh dari lama perendaman asam 18 jam. Hal ini menunjukkan bahwa kekentalan dari larutan gelatin yang dihasilkan dengan lama perendaman asam 12 jam cenderung lebih baik dibanding lama perendaman asam 18 dan 24 jam. Berdasarkan konsentrasi enzim menunjukkan bahwa rata-rata nilai viskositas yang tertinggi diperoleh pada konsentrasi enzim 1% dengan lama perendaman kapur 48 jam dan cenderung menurun dengan bertambahnya konsentrasi enzim dan berkurangnya lama perendaman kapur. Hal ini menunjukkan bahwa kekentalan gelatin yang dihasilkan cenderung semakin rendah dengan bertambahnya konsentrasi enzim dan berkurangnya waktu perendaman asam. Hasil uji la njut (Lampiran 5) menggunakan uji beda jarak berganda Duncan (BJBD) menunjukkan bahwa perlakuan lama perendaman kapur 48 jam, konsentrasi enzim 1%, dan lama perendaman asam 12 jam (kombinasi perlakuan 10) berbeda nyata dengan semua perlakuan yang diterapkan, dan diperoleh nilai viskositas tertinggi yaitu sekitar 22.75 centipoise.
Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan yang terbaik
berdasarkan nilai viskositas adalah lama perendaman kapur 48 jam, konsentrasi enzim 1%, dan lama perendaman asam 12 jam (kombinasi 10), karena untuk pembentukan gel diperlukan viskositas yang tinggi.
41 pH Gelatin Pengukuran nilai pH larutan gelatin penting dilakukan, karena nilai pH larutan gelatin mempengaruhi sifat-sifat gelatin yang lainnya seperti viskositas dan kekuatan gel (Astawan et al., 2002). Menurut GMIA (2001) , nilai pH gelatin berkisar antara 5.0 – 7.5. Gelatin dengan nilai pH netral akan bersifat stabil dan penggunaannya akan lebih luas. pH gelatin berdasarkan standar mutu gelatin secara umum diharapkan mendekati pH netral (pH 7). Rataan nilai pH gelatin ikan tuna yang diperoleh berkisar 5.25 sampai dengan 7.1 (Lampiran 1). Nilai pH gelatin berhubungan dengan proses yang digunakan untuk membuatnya.
Proses asam cenderung menghasilkan nilai pH rendah, sedangkan
proses basa akan memiliki kecenderungan menghasilkan nilai pH yang tinggi. Gelatin dengan nilai pH netral cenderung lebih disukai, sehingga proses penetralan memiliki peran penting untuk menetralkan sisa-sisa asam maupun sisa-sisa basa setelah dilakkan perendaman (liming) (Hinterwaldner, 1977). Hasil analisis ragam nilai pH gelatin kulit ikan tuna (Lampiran 6) menunjukkan bahwa lama perendaman kapur, konsentrasi enzim, lama perendaman asam, dan Interaksi antara lama perendaman kapur dengan lama perendaman asam tidak berpengaruh terhadap nilai pH gelatin kulit ikan tuna yang dihasilkan. Sedangkan interaksi antara lama perendaman kapur dengan konsentrasi asam, interaksi antara konsentrasi enzim dengan lama perendaman asam memberikan pengaruh nyata (P<0.05) terhadap nilai pH gelatin. Kolagen tidak larut dalam larutan netral atau air tetapi dapat larut dalam asam kuat dan basa kuat. Winarno (1997) menyatakan bahwa kolagen dalam pH isoelektrik (kondisi netral) berada dalam ion polar atau disebut ion zwitter, sehingga dalam keadaan asam gugus amino kolagen bermuatan positif (NH3 +), dan dalam keadaan basa gugus karboksil bermuatan negatif (COO-). Proses penghilangan sisik dengan larutan kapur mengakibatkan kondisi pH kulit meningkat (di atas 7 atau basa), walaupun setelah proses tersebut dilakukan proses penghilangan kapur (deliming), dan apabila langsung ditangani dengan proses asam maka penggunaan asam akan menjadi kurang efektif sehingga kulit tersebut harus terlebih dahulu melalui proses penetralan pH dengan pencuc ian dalam air mengalir.
Dengan cara ini asam yang akan digunakan dalam proses pembukaan
42 struktur kolagen melalui penggembungan (swelling) benar-benar berfungsi dengan baik dan tidak ternetralkan oleh kondisi pH kulit basa. Gambar 12 menunjukkan bahwa pH gelatin cenderung tidak berbeda dengan semakin lamanya waktu perendaman asam. Hal ini menunjukkan bahwa konsentrasi larutan asam yang diserap oleh kulit selama perendaman umumnya rendah. Gejala ini ditunjukkan dari hasil pengamatan, dimana larutan perendaman pH 3 berubah menjadi
pH
pH 3.5.
8 7 6 5 4 3 2 1 0 1
2
3 4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Kombinasi Perlakuan Gambar 12 Pengaruh Konsentrasi Enzim, lama perendaman kapur, dan lama perendaman asam sitrat pH 3 (kombinasi perlakuan) terhadap pH gelatin kulit tuna. Berdasarkan uji lanjut (Lampiran 7) menggunakan uji beda jarak berganda Duncan (BJBD) menunjukkan bahwa nilai rata-rata pH gelatin kulit ikan tuna yang dihasilkan tidak berbeda nyata dengan semua perlakuan yang diterapkan. Nilai ratarata pH gelatin yang dihasilkan dari berbagai perlakuan umumnya cenderung netral berkisar antara 5.25 – 7.1. Kekuatan Gel Gelatin Gelatin merupakan hidrokoloid yang terkait fungsinya untuk meningkatkan kekentalan dan membentuk gel dalam berbagai produk pangan. Gelatin sangat efektif dalam membentuk gel.
Satu bagian gelatin dapat mengikat 99 bagian air untuk
membentuk gel. Efektifitas gelatin sebagai pembentuk gel berasal dari susunan asam aminonya yang unik (Fardiaz, 1989). Kekuatan gel sangat penting dalam penentuan perlakuan yang terbaik dalam proses ekstraksi gelatin, karena salah satu sifat penting gelatin adalah mampu
43 mengubah cairan menjadi padatan atau mengubah bentuk sol menjadi gel yang bersifat reversible. Kemampuan inilah yang menyebabkan gelatin sangat luas penggunaannya, baik dalam bidang pangan, farmasi, dan biadang-bidang lainnya. Nilai rataan kekuatan gel gelatin kulit ikan tuna yang diperoleh pada penelitian ini berkisar antara 74.5 sampai dengan 496 bloom. Pembentukan gel (gelasi) merupakan suatu fenomena penggabungan atau pengikatan silang rantai-rantai polimer membentuk jalinan tiga dimensi yang kontinyu, sehingga dapat menangkap air di dalamnya menjadi suatu struktur yang kompak dan kaku yang tahan terhadap aliran di bawah tekanan.
Pada waktu sol dari gelatin
mendingin, konsistensinya menjadi lebih kental, dan selanjutnya akan terbentuk gel. Mekanisme yang tepat tentang pembentukan gel dari sol gelatin masih belum diketahui. Molekul- molekul secara individu bergabung dalam lebih dari satu bentuk kristalin membentuk jalinan tiga dimensi yang menjerat cairan dan berikatan silang secara kuat sehingga menyebabkan terbentuknya gel (Fardiaz, 1989).
Kekuatan Gel (bloom)
600 500 400 300 200 100 0
1
2
3
4 5
6
7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 Kombinasi Perlakuan
Gambar 13 Pengaruh Konsentrasi Enzim, lama perendaman kapur, dan lama perendaman asam sitrat pH 3 (kombinasi perlakuan) terhadap kekuatan gel (Bloom) gelatin kulit tuna. Hasil analisis ragam kekuatan gel gelatin kulit ikan tuna (Lampiran 8) menunjukkan bahwa lama perendaman kapur, lama perendaman asam, inetraksi lama perendaman kapur dengan konsentrasi enzim, interaksi konsentrasi enzim dengan lama perendaman asam, serta interaksi antar perlakuan berpengaruh sangat nyata (P<0.01) terhadap kekuatan gel gelatin kulit ikan tuna yang dihasilkan.
44 Hasil uji lanjut (Lampiran 9) menunjukkan bahwa perlakuan lama perendaman kapur 48 jam, konsentrasi enzim 1%, dan lama perendaman asam 12 jam berbeda nyata dengan semua perlakuan yang diterapkan. Pada perlakuan ini diperoleh nilai kekuatan gel yang tertinggi yaitu 496 bloom pada kombinasi perlakuan 10.
Gambar 14 Sheet gelatin kulit ikan tuna Penelitian Tahap II Berdasarkan hasil penelitian tahap pertama, dimana diperoleh kombinasi perlakuan yang terbaik untuk ekstraksi gelatin dari kulit ikan tuna yaitu perendaman dalam larutan kapur dengan lama perendaman 48 jam, konsentrasi enzim 1%, dan perendaman dalam larutan asam sitrat selama 12 jam. Maka pada penelitian tahap kedua ini dilakukan pembuatan gelatin dengan kombinasi perlakuan tersebut dan diulang sebanyak 3 kali.
Hasil ekstraksi gelatin dari perlakuan ini kemudian
dibandingkan dengan gelatin standar laboratorium produk sigma (gelatin dari kulit ikan cod), gelatin komersial (gelatin dari tulang sapi), dan gelatin standar farmasi berdasarkan indikator mutu gelatin. Kadar Air Kadar air adalah kandungan air bahan yang dapat dinyatakan berdasarkan berat basah dan berat kering (Syarief dan Halid, 1993). Kadar air merupakan parameter penting dari suatu produk pangan, karena kandungan air dalam bahan makanan ikut
45 menentukan acceptability, kesegaran, dan daya tahan bahan tersebut (Winarno, 1997). Peranan air dalam bahan pangan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi aktivitas metabolisme seperti aktivitas enzim, aktivitas mikroba, dan aktivitas kimiawi, yaitu terjadinya ketengikan dan reaksi-reaksi non-enzimatis, sehingga menimbulkan perubahan sifat-sifat organoleptik dan nilai gizinya. (Syarief dan Halid, 1993). Hasil pengukuran kadar air gelatin (Tabel 6) menunjukkan bahwa kadar air gelatin kulit ikan tuna lebih rendah dari gelatin standar laboratorium dan gelatin komersial. Kadar air ya ng diperoleh berkisar antara 9.25% - 11.66% sehingga masih memenuhi kisaran standar mutu gelatin yaitu maksimum 16% (SNI 06-3735, 1995), dan kisaran standar mutu gelatin farmasi yaitu maksimu 14% (Fish Gelatin, 2003). Rendahnya kadar air gelatin dari kulit ikan tuna diduga disebabkan oleh singkatnya waktu perendaman asam yaitu selama 12 jam, dimana jumlah air yang diserap sangat sedikit, apabila perendaman mencapai taraf maksimal, gelatin yang terkonversi mengikat air sehingga meningkatkan kadar air bahan dan kehilangan air selama proses pengeringan,. Gelatin yang dihasilkan dari kulit ikan tuna terbentuk setelah dikeringkan pada suhu 55o C selama 48 jam. Kadar Abu Abu merupakan residu anorganik dari pembakaran bahan-bahan organik dan biasanya komponen-komponen tersebut terdiri dari kalsium, natrium, besi, magnesium, dan mangan. Abu yang terbentuk berwarna putih abu-abu, berpartikel halus dan mudah dilarutkan. Tujuan dari analisa kadar abu adalah untuk mengetahui secara umum kandungan mineral yang terdapat dalam bahan. Menurut Apriyantono et al., (1989) menyatakan bahwa nilai kadar abu suatu bahan pangan menunjukkan besarnya jumlah mineral yang terkandung dalam bahan pangan tersebut. Hasil analisa kadar abu gelatin (Tabel 6) menunjukkan bahwa gelatin dari kulit ikan tuna kadarnya sama dengan gelatin standar laboratorium dan kadar abu gelatin komersial lebih tinggi dibanding kedua genis gelatin tersebut. Tingginya kandungan mineral dari gelatin komersial dibandingkan kedua jenis gelatin tersebut disebabkan karena gelatin komersial bahan bakunya dari tulang sapi, dimana kandungan mineral pada tulang umumnya lebih banyak dibandingkan pada kulit. Nilai kadar abu dari ketiga jenis gelatin yang dianalisa berkisar antara 0.52% 1.66% termasuk dalam kisaran standar kadar abu gelatin yaitu tidak lebih dari 3% (Food Chemical Codex, 1996), standar mutu kadar abu gelatin farmasi yaitu 1% - 2%
46 (Fish Gelatin, 2003) dan standar SNI 06-3735, 1995 yaitu sebesar maksimum 3.25%. Dengan demikian berdasarkan kadar abu, gelatin dari kulit ikan tuna telah memenuhi standar mutu gelatin farmasi. Kadar Lemak Analisis terhadap kadar lemak bertujuan untuk mengetahui kemungkinan daya simpan produk, karena lemak berpengaruh pada perubahan mutu selama penyimpanan. Lemak berhubungan dengan mutu dimana kerusakan lemak dapat menurunkan nilai gizi serta menyebabkan penyimpangan rasa dan bau (Winarno, 1997). Dimana gelatin yang bermutu tinggi diharapkan memiliki kandungan lemak yang rendah bahkan diharapkan tidak mengandung lemak. Jobling dan Jobling (1983) menyatakan bahwa kadar lemak yang tidak melebihi batas 5% merupakan salah satu persyaratan mutu penting gelatin.
Rendahnya kadar lemak ini memungkinkan tepung gelatin dapat
disimpan dalam waktu relatif lama tanpa menimbulkan bau dan rasa tengik. Tabel 6 menunjukkan bahwa hasil analisa kadar lemak ketiga jenis gelatin relatif hampir sama dan rata-rata rendah yaitu berkisar antara 0.23% - 0.25%, dimana gelatin dari kulit ikan tuna cenderung memiliki kadar lemak yang terendah dibanding kedua jenis gelatin lainnya.
Kadar lemak gelatin yang rendah ini memungkinkan
untuk menyimpan gelatin dalam waktu relatif lama tanpa menimbulkan perubahan mutu yang berarti. Kadar lemak pada gelatin sangat bergantung pada perlakuan (treatment) selama proses pembuatan gelatin baik pada tahap pembersihan kulit (degreasing) hingga pada tahap penyaringan filtrat hasil ekstraksi, dimana setiap perlakuan yang baik akan mengurangi kandungan lemak yang ada dalam bahan baku sehingga produk yang dihasilkan memiliki kadar lemak yang rendah. Rendahnya kadar lemak gelatin kulit ikan tuna yang dihasilkan menunjukkan bahwa perlakuan yang diterapkan selama proses pembuatan gelatin sangat efisien. Kadar Protein Gelatin sebagai salah satu jenis protein konversi yang dihasilkan melalui proses hidrolisis kolagen, pada dasarnya memiliki kadar protein yang tinggi. Gelatin merupakan suatu bahan makanan tambahan berupa protein murni, yang diperoleh dari penguraian kolagen dengan menggunakan panas.
47 Tingginya kadar protein gelatin kulit ikan tuna mengindikasikan bahwa gelatin tersebut memiliki mutu yang baik. Berdasarkan berat keringnya, gelatin terdiri dari 98% - 99% protein. Tabel 6 Sifat kimia gelatin kulit ikan tuna, gelatin komersial dan gelatin standar laboratorium. Gelatin
Parameter Gelatin Kulit Tuna
Gelatin Komersial
Gelatin Standar lab.
Kadar Air (%)
9.25
11.66
11.45
Kadar Abu (%)
0.52
1.66
0.52
Kadar lemak (%)
0.23
0.23
0.25
90.00
85.99
87.26
7.10
5.90
5.00
Kadar protein (%) Nilai pH
Hasil pengukuran kadar protein ketiga jenis gelatin berkisar antara 85.99% – 90.00% (Tabel 6), dimana kadar protein tertinggi diperoleh dari gelatin kulit ikan tuna dan terendah diperoleh dari gelatin komersial. Tingginya nilai kadar protein gelatin kulit ikan tuna dibanding gelatin standar laboratorium , namun nilainya tidak jauh berbeda , kecenderungan kadar protein yang hampir sama antara gelatin kulit ikan tuna dengan gelatin standar laboratorium ini disebabkan karena bahan baku keduanya samasama dari kulit ikan. Hal ini menunjukkan bahwa gelatin dari kulit ikan memiliki kadar protein yang lebih tinggi dibanding gelatin tulang sapi. Nilai pH Nilai pH menunjukkan derajat keasaman dari suatu bahan dan merupakan salah satu sifat kimia gelatin yang penting, karena mempengaruhi sifat-sifat yang lainnya. Mengetahui pH dari gelatin akan memudahkan dalam aplikasi gelatin tersebut, misalnya gelatin dengan pH netral akan sangat baik bila digunakan untuk produk farmasi, daging, fotografi, cat, dan sebagainya. Sedangkan gelatin dengan pH rendah akan sangat baik digunakan dalam produk juice, jelly, sirop, dan sebagainya. Daya mengikat air, viskositas, dan kapasitas emulsi bahan kolagen yang diekstrak dari jaringan pengikat otot dan kulit ikan sangat dipengaruhi oleh pH dan konsentrasi NaCl (Montero dan Bonderias, 1991; Montero et al., 1991). Meyer (1982) menyatakan bahwa dalam penggunaan gelatin pada berbagai jenis industri
48 terdapat beberapa faktor yang berpengaruh terhadap fungsi gelatin yang harus diperhatikan yaitu konsentrasi, berat molekul, suhu, pH, dan penambahan senyawa lain. Hasil pengukuran nilai pH gelatin kulit ikan tuna
menunjukkan pH netral
(Tabel 6) dan nilainya lebih tinggi dibanding nilai pH gelatin komersial dan gelatin standar laboratorium.
Nilai pH gelatin kulit ikan tuna ini menunjukkan bahwa
perlakuan selama proses sangat efektif , seperti perendaman kapur pada saat deagreasing dan kurangnya larutan asam sitrat yang terperangkap dalam kulit selama proses swelling sehingga dengan mudah hilang pada saat pencucian sebelum kulit diekstrak. Dengan demikian gelatin kulit ikan tuna hasil penelitian memiliki pH yang cukup baik untuk pembentukan gel dan telah memenuhi standar mutu gelatin farmasi yang berkisar antara 5 – 7. Komposisi Asam Amino Gelatin sebagai protein hasil ekstraksi dari kolagen memiliki komposisi asam amino yang mirip dengan asam amino yang dikandung kolagen. Menurut Eastoe dan Leach (1977) bahwa molekul kolagen tersusun dari kurang lebih dua puluh asam amino yang memiliki bentuk berbeda-beda tergantung pada sumber bahan bakunya. Asam amino glisin, prolin dan hidroksi prolin merupakan asam amino utama kolagen. Asam-asam amino aromatik dan sulfur terdapat dalam jumlah sedikit. Berdasarkan hasil pengujian komposisi asam amino (Tabel 7) menunjukkan bahwa komposisi masing- masing asam amino gelatin kulit ikan tuna umumnya lebih rendah dibanding gelatin standar dan gelatin komersial, namun nilainya tidak jauh berbeda. Perbedaan kompisisi asam amino ini disebabkan karena bahan baku ketiga jenis gelatin berbeda.
Ward dan Courts (1977) menyatakan bahwa gelatin
mengandung sembilan belas jenis asam amino yang dihubungkan dengan ikatan peptida membentuk rantai polimer yang panjang.
Komposisi asam amino dalam
gelatin bervariasi tergantung pada sumber kolagen tersebut, spesies hewan penghasil dan jenis kolagen. Komposisi asam amino sangat penting dalam karakteristik sifat gelatin. Pada analisis komposisi asam amino, penentuan asam amino dilakukan dengan teknik High Performance Lyquid Chromatography (HPLC).
49 Tabel 7 Komposisi asam amino gelatin kulit ikan tuna, gelatin komersial gelatin standar laboratorium Asam Amino Asama aspartat Asam glutamat Serin Glisin Histidin Arginin Theorin Alanin Prolin Hidroksiprolin Tirosin Valin Methionin Sistin Isoleusin Leusin Phenilalanin Lisin Hidroksilisin Total
dan
Gelatin Kulit Tuna (%)
Komersial (%)
Standar Lab. (%)
3.24 8.93 1.27 22.96 0.05 8.25 1.50 8.30 11.92 8.22 0.03 1.01 0.34 0.01 0.15 0.10 0.50 75.78
4.93 9.43 2.18 23.01 0.03 8.95 2.87 10.24 12.34 8.74 0.15 1.60 0.55 0.07 1.13 1.92 2.86 91.00
5.15 9.47 1.97 23.18 0.02 8.12 2.93 10.07 12.54 8.85 0.11 1.25 0.42 0.10 1.03 1.96 1.53 88.70
Hasil pengujian komposisi asam amino menunjukkan bahwa ketiga jenis gelatin mengandung glisin dan prolin yang cukup tinggi dibanding asam amino lainnya, dimana asam amino tersebut merupakan asam amino penyusun gelatin. Charley (1982) menyatakan bahwa susunan asam amino gelatin hampir sama dengan kolagen, dimana glisin sebagai asam amino utama dan merupakan 2/3 dari seluruh asam amino yang menyusunnya, 1/3 asam amino yang tersisa diisi prolin dan hidroksi prolin. Hasil pengujian ini juga menunjukkan bahwa kandungan hidroksiprolin gelatin kulit ikan tuna yang dideteksi tidak jauh berbeda dengan kandungan hidroksiprolin gelatin standar dan gelatin komersial. Pada ketiga jenis gelatin yang diuji tidak ditemukan adanya asam amino leusin dan triptopan yang merupakan asam amino esensial, dan hal inilah yang menyebabkan
50 gelatin dikatakan sebagai protein yang kandungan gizinya tidak lengkap. Oleh karena itu dalam penggunaannya sebagai bahan baku industri farmasi dan juga bahan pangan, gelatin kulit ikan tuna ini hendaknya dikombinasikan dengan bahan pangan yang banyak mengandung leusin dan triptopan sehingga kekurangan asam amino tersebut dapat tertutupi. Muchtadi (1993) menyatakan bahwa data mengenai komposisi asamasam amino (esensial) suatu protein bahan pangan sangat berguna untuk meningkatkan nilai gizinya, yaitu dengan cara menambahkan (suplementasi) asam amino esensial yang defisien, atau dengan cara mencampurkan protein terebut dengan protein lain (komplementasi), sehingga akan diperoleh protein campuran dengan komposisi asam amino esensial yang lebih baik, karena kekurangan masing- masing saling tertutupi. Logam Berat Logam berat merupakan jenis logam seperti merkuri, krom, cadmium, arsen, dan timbal dengan berat molekul yang tinggi. Logam berat terakumulasi di dalam tubuh makhluk hidup yang mengakibatkan kadarnya lebih besar daripada kadarnya dalam lingkungan dan akan meningkat seiring dengan meningkatnya posisi organisme pada rantai makanan. Analisis logam berat sangat penting bagi produk seperti gelatin kulit ikan tuna, antara lain untuk menentukan apakah gelatin tersebut aman digunakan atau dikonsumsi terutama dalam prodik farmasi (obat-obatan) dan produk pangan. Tabel 8 Kandungan logam berat pada gelatin kulit ikan tuna, gelatin komersial, dan gelatin standar laboratorium. Gelatin Jenis Logam
Kulit Ikan Tuna (mg/kg)
Komersial (mg/kg)
Standar Lab. (mg/kg)
Raksa (Hg)
Ttd
Ttd
Ttd
Timbal (Pb)
Ttd
Ttd
Ttd
Tembaga (Cu)
5.11
7.75
4.85
Arsen (As)
Ttd
Ttd
Ttd
Seng (Zn)
15.24
21.35
11.87
Hasil analisis logam berat gelatin dari ketiga jenis gelatin (Tabel 8) menunjukkan bahwa kandungan logam berat gelatin komersial lebih tinggi dibanding gelatin kulit ikan tuna dan gelatin standar laboratorium, akan tetapi secara umum
51 konsentrasi logam berat pada masing- masing gelatin tergolong rendah dan sesuai dengan standar mutu gelatin farmasi (Fish, 2003). Hal ini menunjukkan bahwa gelatin yang diproduksi dari kulit ikan tuna dapat digunakan dalam industri farmasi dan industri pangan. Kekuatan Gel Kekuatan gel gelatin didefinisikan sebagai besarnya kekuatan yang diperlukan oleh probe untuk mene kan gel setinggi empat mm sampai gel pecah. Satuan untuk menunjukkan kekuatan suatu gel yang dihasilkan dari suatu konsentrasi tertentu disebut derajat bloom (Hermanianto et al., 2000). Tabel 9 Sifat fisik gelatin kulit ikan tuna, gelatin komersial dan gelatin standar laboratorium. Gelatin
Parameter Gelatin Kulit Tuna
Kekuatan gel (bloom)
Gelatin Komersial
Gelatin Standar lab.
496
328.58
TM
Viskositas (cP)
22.75
5.90
7.00
Titik jendal (o C)
12.6
19.50
1.20
Titik leleh (o C)
28
29.60
16.30
Titik isoelektrik
8
7.00
8.00
65.68
66.10
62.89
Derajat putih
Kekuatan gel merupakan sifat fisik gelatin yang utama, karena kekuatan gel menunjukkan kemampuan gelatin dalam pembentukan gel. Glicksman (1996) menyatakan bahwa salah satu sifat fisik yang penting pada gelatin adalah kekuatan untuk membentuk gel yang disebut sebagai kekuatan gel.
Selanjutnya menurut
Stanisby (1977) menyatakan bahwa pembentukan gel terjadi karena pengembangan molekul gelatin pada waktu pemanasan. Panas akan membuka ikatan-ikatan pada molekul gelatin dan cairan yang semula bebas mengalir menjadi terperangkap di dalam struktur tersebut, sehingga menjadi kental. Setelah semua cairan terperangkap menjadi larutan kental, larutan tersebut akan membentuk gel secara sempurna jika disimpan pada suhu dingin (10o C) selama 17 ± 2 jam. Hasil pengukuran kekuatan gel seperti ditunjukkan (Tabel 9) bahwa kekuatan gel gelatin dari kulit ikan tuna lebih tinggi dibanding gelatin komersial. Kekuatan gel
52 gelatin ikan tuna yang dihasilkan telah memenuhi standar gelatin farmasi yang berkisar 140 – 240 bloom. Pada pengukuran kekuatan gel ini, gelatin standar laboratorium tidak membentuk gel setelah disimpan pada suhu 10o C selama 19 jam sehingga tidak diperoleh nilai kekuatan gel dari gelatin tersebut. Gelatin standar laboratorium tidak membentuk gel karena berdasarkan keterangan dari produk tersebut bahwa fungsi dari gelatin ini bukan sebagai bahan pembentuk gel (gelling agent) tetapi hanya sebagai bahan pemblok saja (blocking agent) sehingga kekuatan gel tidak begitu penting untuk produk ini. Berdasarkan nilai kekuatan gel dari kulit ikan tuna yang mencapai 496 bloom, menunjukkan bahwa gelatin dari kulit ikan tuna dapat digunakan secara luas terutama sebagai bahan baku industri farmasi yang membutuhkan gel yang kuat seperti soft kapsul, hard kapsul dan tablet. Tetapi tidak menutup kemungkinan untuk digunakan dalam produk yang membutuhkan kekuatan gel yang rendah, dengan cara menurunkan konsentrasi larutan gelatin yang digunakan. Sebagaimana dinyatakan bahwa kekuatan gel dari gelatin swangat dipengaruhi oleh konsentrasi gelatin, pH, suhu dan waktu inkubasi (Geltech, 2000). Viskositas Viskositas merupakan sifat fisik gelatin yang penting setelah kekuatan gel, karena viskositas mempengaruhi sifat fisik ge latin yang lainnya seperti titik leleh, titik jendal dan stabilitas emulsi. Viskositas gelatin berpengaruh terhadap sifat gel terutama titik pembentukan gel dan titik leleh, dimana viskositas gelatin yang tinggi menghasilkan laju pelelehan dan pembentukan gel yang lebih tinggi dibandingkan gelatin yang viskositasnya rendah.
Dan untuk stabilitas emulsi gelatin diperlukan
viskositas yang tinggi (Leiner, 2002). Viskositas gelatin kulit ikan tuna jauh lebih tinggi dibanding gelatin standar dan gelatin komersial (Tabel 9). Hal ini menunjukkan bahwa kekentalan gelatin dari kulit ikan tuna lebih tinggi dari kedua jenis gelatin pembanding. Dengan demikian gelatin kulit ikan tuna cocok digunakan pada industri farmasi dan pembentukan film yang memerlukan viskositas yang tinggi. Sifat viskositas yang rendah (dan kekuatan gel yang tinggi) diperlukan untuk pembuatan produk confectionery dan viskositas yang tinggi untuk penggunaan pembentukan film (Gelatin Food Science, 2002).
53 Dan jika dibandingkan secara keseluruhan gelatin kulit ikan tuna dan gelatin standar memiliki viskositas yang lebih tinggi dibandingkan gelatin sapi (gelatin komersial).
Hal ini sesuai dengan pernyataan Leuenberger (1991) bahwa pada
dasarnya, gelatin ikan dapat dibedakan dari gelatin sapi dan babi berdasarkan sifat fisiknya yaitu titik leleh yang rendah, suhu pembentukan gel yang rendah dan viskositas larutan yang tinggi. Titik Jendal dan Titik Leleh Titik jendal adalah suhu dimana larutan gelatin dalam konsentrasi tertentu mulai membentuk gel. Sedangkan titik leleh merupakan kebalikan dari titik jendal yaitu suhu dimana larutan gelatin mulai mencair. Tabel 9 menunjukkan bahwa titik jendal dan titik leleh gelatin kulit ikan tuna jauh diatas gelatin standar tetapi lebih rendah dari gelatin komersial.
Hal ini
disebabkan karena gelatin komersial bahan bakunya dari tulang sapi, dimana gelatin yang dioleh dari sapi dan babi memiliki titik jendal dan titik leleh yang lebih tinggi dibandingkan gelatin dari ikan. Hasil pengukuran tersebut juga menunjukkan bahwa nilai titik jendal berbanding lurus dengan nilai titik leleh, dimana jika titik jendalnya rendah maka titik lelehnya juga rendah, demikian pula sebaliknya. Nilai titik jendal dari gelatin kulit ikan tuna ini masih berada sedikit di atas kisaran suhu pembentukan gel gelatin ikan pada umumnya. Sebagaimana dinyatakan bahwa gelatin yang diekstrak dari ikan memiliki titik jendal pada kisaran 5 – 10oC (Food Chemical Codex, 1996).
Berbeda dengan gelatin standar yang juga bahan
bakunya kulit ikan , titik jendalnya jauh dibawah kisaran titik jendal gelatin ikan secara umum. Makanya pada pengukuran kekuatan gel, gelatin standar tidak membentuk gel karena suhu inkubasinya hanya berkisar 10o C. Nilai titik leleh gelatin kulit ikan tuna dan kedua jenis gelatin pembanding, semuanya masih termasuk dalam kisaran standar nilai titik leleh gelatin secara umum. Sebagaimana dinyatakan Poppe (1997) bahwa gelatin memiliki titik leleh dibawah 37o C, ini artinya gelatin dapat meleleh di dalam mulut dan mudah sekali larut. Titik Isoelektrik Titik isoelektrik protein (pI) adalah pH dimana protein memiliki jumlah muatan ion positif dan negatif yang sama. Pada titik isoelektriknya, kelarutan protein rendah sehingga terjadi penggumpalan atau pengendapan protein. Dengan demikian titik
54 isoelektrik gelatin penting diketahui karena akan berpengaruh pada penggunaannya dalam berbagai produk terutama kaitannya dengan tingkat kelarutan gelatin. Baker et al., (1994) menyatakan bahwa pada bahan pangan, titik isoelektrik sangat penting karena pada titik ini beberapa bahan bersifat maksimum dan minimum, sebagai contoh kelarutan protein selalu minimum pada titik isoelektriknya. Hasil pengujian titik isoelektrik (Tabel 9) menunjukkan bahwa gelatin kulit ikan tuna titik isoelektriknya sama dengan gelatin standar yaitu 8 dan lebih tinggi dibanding gelatin komersial. Rendahnya titik isoelektrik gelatin komersial dibanding gelatin kulit ikan tuna dan gelatin standar disebabkan gelatin diduga diolah dengan proses basa, karena umumnya gelatin yang diekstrak dari tulang sapi diproses secara basa. Titik isoelektrik protein dapat bervariasi tergantung jumlah gugus karboksil amida pada gelatin.
Apabila titik isoelektrik protein tinggi (9.4), maka tidak ada
modifikasi terhadap gugus amid a dan apabila titik isielektriknya rendah (4.8) maka 9095% protein dari gelatin merupakan gugus karboksil. Titik isoelektrik gelatin berkisar antara 4.8 – 9.4, dimana gelatin yang dihasilkan dengan proses asam mempunyai titik isoelektrik yang lebih tinggi dibanding gelatin yang dihasilkan dari proses basa (Poppe, 1992) . Seperti sifat protein lainnya, gelatin bersifat amfoter, sehingga gelatin dapat digunakan pada kondisi asam maupun basa. Pada larutan asam, gelatin akan berperan sebagai alkali atau bermuatan positif, sedangkan dalam larutan basa gelatin akan berperan sebagai asam atau bermuatan negatif (Lehninger, 1982). Gelatin dapat digunakan baik pada kondisi asam maupun basa.
Pada
penggunaan dalam larutan asam (pH rendah), gelatin akan bereaksi sebagai alkali atau bermuatan positif, sedangkan dalam larutan basa (pH tinggi), gelatin akan bereaksi sebagai asam atau bermuatan negatif.
Kemampuan gelatin yang dapat bereaksi
sebagai asam maupun basa ini maka gelatin disebut sebagai protein ampoteric (Budavari, 1996). Oleh karena itu pada titik isoelektriknya protein memiliki tingkat kelarutan yang rendah maka hendaknya dalam melarutkan gelatin kulit ikan tuna dilakukan di atas atau dibawah pH 8. Titik isoelektrik gelatin juga erat kaitannya dengan viskositasnya, dimana viskositas gelatin terendah diperoleh pada pH titik isoelektriknya (Poppe, 1992)). Oleh karena itu untuk mendapatkan viskositas gelatin yang tinggi maka larutan yang digunakan untuk melarutkan gelatin tersebut hendaknya lebih besar atau lebih rendah dari pH titik isoelektriknya.
55 Derajat Putih Derajat putih merupakan gambaran secara umum dari warna gelatin, dimana umumnya derajat putih gelatin diharapkan mendekati 100%, karena gelatin yang bermutu tinggi biasanya tidak berwarna (bening) sehingga aplikasinya lebih luas. Menurut Budavari (1996) bahwa salah satu sifat fisik gelatin adala h tidak berwarna atau agak berwarna kuning dan transparan. Hasil pengukuran derajat putih (Tabel 9) menunjukkan bahwa nilai derajat putih gelatin kulit ikan tuna lebih tinggi dibanding derajat putih gelatin standar dan lebih rendah dibanding gelatin komersial. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa gelatin kulit ikan tuna sedikit lebih putih dibanding gelatin standar dan gelatin komersial cenderung lebih putih dibanding gelatin kulit ikan tuna. Nilai derajat putih yang tinggi dari gelatin kulit ikan tuna yang dihasilkan tidak terlepas dari bahan baku (kulit) dan perlakuan selama proses pembuatan gelatin, dimana kulit yang digunakan adalah kulit yang masih segar dan proses deagreasing (Perendaman dalam larutan kapur dan enzimatis) dan perendaman asam sitrat yang dilakukan sangat efisien dalam melepaskan pigmen warna hitam pada lapisan kulit ikan tuna sehingga kulit siap ekstrak sudah bersih dan berwarna putih cerah. Poppe (1997) menyatakan bahwa derajat putih gelatin dipengaruhi oleh bahan baku, metode pembuatan dan ekstraksi. Teknik pengeringan gelatin juga berpengaruh terhadap nilai derajat putih. Hasil penelitian Sopian (2002) menunjukkan bahwa derajat putih gelatin kulit ikan pari dengan perlakuan pengering oven vakum lebih rendah (49% - 53%) dibanding pada perlakuan pengering freeze dryer (59% - 67%). Dengan demikian dapat diduga bahwa gelatin komersial kemungkinan besar tidak menggunakan pengering ove n seperti yang dilakukan pada pengeringan gelatin kulit ikan tuna. Kandungan Mikrobiologi Analisa kandungan mikrobiologi gelatin dilakukan terhadap Total Plate Count (TPC), Eschercia coli dan Salmonella yang merupakan parameter mikrobiologi yang kritis pada produk gelatin. Sebagaimana dinyatakan bahwa gelatin merupakan nutrien yang sangat baik untuk kebanykan bakteri, karenanya dalam proses pengolahannya harus secara hati- hati untuk menghindari kontaminasi. Beberapa negara mempunyai spesifikasi tertentu mengenai kandungan mikrobiologi gelatin, tetapi biasanya hal itu
56 tidak begitu berbeda. Total plate count untuk mesophyllic yang berlaku secara umum adalah 1000, dimana beberapa negara membatasi kehadiran Coliform, E. Coli, Salmonella, spora Clostridium, Staphylococcus,
dan
bahkan
kadang-kadang
Pseudomonas (Gelatin Food Science, 2002). Total plate count merupakan metode pendugaan jumlah mikroba secara keseluruhan dalam suatu bahan.
Dengan demikian nilai total plate count gelatin
menunjukkan gambaran jumlah koloni bakteri yang ada pada produk tersebut. Berdasarkan hasil perhitungan total plate count (Tabel 10) menunjukkan bahwa ratarata nilai total plate count gelatin kulit ikan tuna jauh lebih rendah dibanding rata-rata nilai total plate count gelatin standar dan gelatin komersial. Akan tetapi nilai total plate count dari ketiga jenis gelatin tersebut jauh diatas standar mutu gelatin farmasi dan gelatin secara umum, yaitu 1000.
Tingginya jumlah koloni bakteri yang
ditemukan pada ketiga jenis gelatin tersebut diduga disebabkan oleh terjadinya kontaminasi pada produk tersebut terutama pada saat penimbangan dan penyimpanan. Khusus untuk gelatin kulit ikan tuna kontaminasi juga dapat terjadi pada saat gelatin dikeluarkan dari pan-pan cetakan, dimana dilakukan secara manual dengan tangan sehingga bakteri yang ada pada tangan dapat berpindah ke gelatin tersebut.
Tabel 10
Kandungan mikrobiologi gelatin kulit ikan tuna, gelatin komersial, dan gelatin standar laboratorium. Gelatin
Parameter Kulit Ikan Tuna
Komersial 9
Standar Lab.
3.3 x 10
5.7 x 10
4.0 x 109
Eschercia coli
Negatif
Negatif
Negatif
Salmonella
Negatif
Negatif
Negatif
Total Plate Count
5
Apabila suatu bahan tercemar oleh mikroba yang berasal dari kotoran (feses) manusia atau hewan maka bahan tersebut positif mengandung bakteri E.coli . Adanya E. coli dalam suatu bahan merupakan indikator kontaminasi kotoran, sedangkan Salmonella sp merupakan bakteri patogen yang berbahaya.
Salmonella sp dapat
menyebabkan gangguan perut, demam tifus dan paratifus (Fardiaz, 1989). Hasil pengujian kandungan bakteri E. Coli dan Salmonella secara kwalitatif untuk ketiga jenis gelatin adalah negatif (Tabel 10), hal ini sesuai dengan standar mutu
57 gelati farmasi dan gelatin secara umum. Hasil pengujian ini menunjukkan bahwa proses pembuatan ketiga gelatin tersebut dilakukan dalam kondisi sanitasi yang baik, karena kedua jenis bakteri ini merupakan mikroorganisme indikator pada kontrol sanitasi (SNI 01-2332, 1991). Sifat Organoleptik Sifat organoleptik dari gelatin kulit ikan tuna diuji dengan menggunakan uji pasangan segitiga terhadap gelatin standar laboratorium dan gelatin komersial. Sifat organoleptik yang diamati pada penelitian ini adalah aroma/bau, penampakan, dan warna. Hasil uji organoleptik menunjukkan bahwa aroma/bau, penampakan dan warna gelatin kulit ikan tuna tidak beda nyata dengan gelatin komersial. Lampiran 15 menunjukkan bahwa jumlah panelis yang memberikan nilai kurang untuk parameter penampakan dan warna tidak lebih besar dari 9 panelis. Sedangkan uji organoleptik penampakan dan warna gelatin kulit ikan tuna berbeda nyata dengan gelatin standar laboratorium pada tingkat kepercayaan 95%, dimana penampakan dan warna gelatin kulit ikan tuna masih lebih rendah . Lampiran 16 menunjukkan bahwa jumlah panelis yang memberikan nilai kurang untuk parameter penampakan dan warna lebih besar dari 9 panelis. Berdasarkan tabel jumlah terkecil untuk menyatakan tidak beda nyata pada uji pasangan segi tiga dengan hipotesis berekor satu, bahwa jika jumlah panelis terdiri dari 15 orang, maka untuk menyatakan beda nyata pada tingkat kepercayaan 95%, panelis yang memberikan penilaian minimal 9 orang (Soekarto dan Hubeis, 1991). Hasil pengujian organoleptik terhadap parameter aroma menunjukkan bahwa aroma gelatin kulit ikan tuna tidak berbeda nyata dengan gelatin standar laboratorium dan gelatin komersial yang menjadi pembanding.
Aroma gelatin kulit ikan tuna
menurut penilaian panelis cenderung dianggap sama dengan gelatin pembanding. Bahkan ada beberapa pane lis menganggap bahwa aroma gelatin kulit ikan tuna lebih tinggi dibanding aroma gelatin standar laboratorium dan gelatin komersial, dengan anggapan bahwa gelatin kulit ikan tuna memberikan aroma cenderung netral dibanding gelatin pembanding yang sedikit berbau asam.
58
Gambar 15 Gelatin kulit ikan tuna (A1, A2, dan A3), gelatin komersial (B), dan gelatin standar laboratorium (C).
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka diperoleh beberapa simpulan sebagai berikut : 1) Secara umum kulit ikan tuna yang merupakan limbah non ekonomis dapat digunakan sebagai alternatif bahan baku pembuatan gelatain yang berstandar mutu industri farmasi, sehingga diharapkan dapat mengurangi impor gelatin, dan selain itu gelatin yang dihasilkan merupakan gelatin halal yang dapat dikonsumsi oleh ummat islam. 2) Kombinasi perlakuan terbaik (optimum) yang dihasilkan adalah lama perendaman kapur 48 jam, konsentrasi enzim 1%, dan lama perendaman asam 12 jam (P2E1S1) berdasarkan parameter viskositas sebesar 22.75 cP, pH sebesar 7.1, dan kekuatan gel sebesar 496 bloom. Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh , dapat diketahui bahwa dari satu ton kulit ikan tuna dapat dihasilkan sebesar 186 kg gelatin atau nilai rendemennya sebesar sebesar 18.6%. 3) Interaksi perlakuan lama perendaman kapur, konsentrasi enzim dan lama perendaman asam memberikan pengaruh sangat nyata terhadap mutu gelatin yaitu rendemen dan kekuatan gel, dan berpengaruh nyata terhadap viskositas dan pH gelatin kulit ikan tuna. 4) Sifat fisik dan sifat kimia gelatin kulit ikan tuna cenderung lebih baik dibanding gelatin gelatin pembanding, dan secara umum sifat fisik dan sifat kimia gelatin kulit ikan tuna memenuhi standar mutu gelatin farmasi. 5) Kandungan mikrobiologi gelatin kulit ikan tuna meliputi TPC, Eschercia coli dan Salmonella yang diperoleh lebih rendah dibanding gelatin komersial dan gelatin standar laboratorium. Walaupun demikian kandungan TPC dari ketiga jenis gelatin tidak memenuhi standar mutu gelatin farmasi. 6) Sifat organoleptik gelatin kulit ikan tuna masih lebih rendah dibanding gelatin standar laboratorium terutama penampakan dan warna, tetapi cenderung sama dibanding gelatin komersial baik dari segi bau, penampakan dan warna. 7) Secara keseluruhan dari parameter yang ada ketiga jenis gelatin (gelatin kulit ikan tuna, gelatin standar laboratorium, dan gelatin komersial) telah memenuhi standar mutu gelatin sesua i SNI 06-3735, 1995.
60 Saran Untuk mengetahui kemampuan gelatin kulit ikan tuna sebagai bahan baku industri farmasi perlu adanya uji lanjut untuk aplikasi pada produk farmasi seperti selongsong kapsul dan tablet.
DAFTAR PUSTAKA Akademi Teknologi Kulit. 1984. Teknologi Penyamakan Kulit. Akademi Teknologi Kulit, Yogyakarta. AOAC. 1995. Official Methods of Analysis of The Association of Official Analytical Chemist. Inc. Washington, DC. Apriyantono, A., Fard iaz, D., Puspitasari, N.L., Yasni, S., Budiyanto, S. 1989. Analisis Pangan. IPB Press. Bogor. Astawan, M., Hariyadi, P., Mulyani, A. 2002. Analisis sifat reologi gelatin dari kulit ikan cucut. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. 8 (1):38-46. Aviana, T. 2002. Pengaruh Jenis dan Konsentrasi larutan Perendaman serta Metode Pengeringan terhadap Sifat Fisik, Kimia, dan Fungsional Gelatin dari Kulit dan Tulang Cucut. Skripsi. Fakultas Teknik Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Badan Pusat Statistik. 2002. Buletin Statistik Perdagangan luar Negeri Impor. Jakarta. Baker, R.C., Hahn, P.W., Robbins, K.R. 1994. Fundamentals of New Food Product Development. Elsevier Science B. V. New York. Badan Pusat Statistik. 2002. Stat istik Perdagangan Ekspor-Impor Indonesia, Jakarta. Balian, G., and Bowes, J.H. 1969. The Structure and Properties of Collagen. In : A. G. Ward and A. Courts. 1977. The science and Technology of Gelatin. Academic Press. London, Ney York. Bennion, M. 1980. The Science of Food. John Wiley and Sons. New York. British Standard 757. 1975. Samp ling and Testing of Gelatins. Buckle, K.A., Edwards, R.A., Fleet, G.H., and Wootton, M. Terjemahan. Purnomo H, Adiono. UI Press. Jakarta.
1987.
Ilmu Pangan.
Budavari S. 1996. Merck Index 12th ed. Whitehouse Station. NJ, Merck. Chang, R., and W. Tikkanen. 1988. The Top Fifty Industrial Chemical. Random House. New York. Charley, H. 1982. Encyclopedia of food science and technology. Vol 2. John Wiley and Sons. New York. hal. 1183-8
62 Chasanah, E. 2000. Ekstraksi gelatin dari kulit ikan tuna melalui proses asam. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 4 (2) : 66 -74. BPTP. Jakarta. Choi, S.S., Regenstein, J.M. 2000. Physicochemical and sensory characteristic of fish gelatin. J. Food Sci. 65 (2): 194 – 199. Cromogenia Units, 1995. Ecology in The Beamhouse. Leather International Jurnal of Industry. 7: 37-39. Dahuri, R. 2002. Paradigma baru Pembangunan Indonesia Berbasis Kelautan. Orasi Ilmiah: Guru Besar Tetap Bidang Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. de Man, J.M. 1989. Kimia Makanan. Terjemahan. K. Padmawinata. Penerbit ITB. Bandung. Ditjen Perikanan Tangkap. 2002. Statistik Perikanan Tangkap Indonesia 2000. Departemen Kelautan dan Perikanan. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Jakarta. Estoe, J.E., Leach, A.A. 1977. Chemical Constitution of Gelatin. In: ward AG, Courts A. (ed). The Science and Technology of Gelatin. Academic Press. New York. Fardiaz, S. 1989. Mikrobiologi Pangan. Departemen Pendidikan dan kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. PAU Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Feigel, T. 1995. How The Process Steps Influence Quality and The Enviroment. Leather International Journal of The Industry. 3: 81-90. Fish Gelatin. 2003. Norland Product.http://www.norlandprod.com/techrpts/ fishgelrpt. html. [ 26 Juni 2005 ] Food and Nutrion Board, National Academy of Science. 1996. Food Chemicals Codex 4th ed. National Academy Press. Washington, DC. Gelatin
Food science. [ 13 Mei 2005 ]
2002.
Geltech. 2002. What is Glatin. [ 9 Juli 2005 ]
Gelatin.
http:///www.Gelatin.co.za/gltn1.html.
http:///www.Geltech.com/what is gelatin.htm.
Glicksman, M. 1969. Gum technology in Food industry, academic Press. New york. GMAP. 2004. How is gelatin made. http://www.gmap-gelatin.com/how_made.html. [ 9 Juli 2005 ]
63
Gomez-Guillen, M.C., Montero, P. 2001. Extarction of gelatin from megrim (Lepidorhombus boscii) skins with several organic acids. J. Food Sci. 66 (2): 213216. Graham, H.D. 1977. Foods Colloids. The AVI Publishing Company, Inc., Wesport. Connecticut. Grossman, S., and Bergman, M. 1991. Process for the Production of Gelatin from Fish Skins. European Paten Application 0436266 A1. Hardjo,
S., Indrasti, N.S., Bantacut, T. 1989. Biokonversi: Pemanfaatan limbah Industri Pertanian. PAU Pangan dan Gizi IPB. Bogor.
Harper, H.A., V.W. Rodwell, and P.A. Mayes. 1977. Review of hysiological Chemistry. 17th Edition. Cange Medical Publications, Los Altos, California. Hermanianto, J., B. Satiawiharja, dan A. Apriyantono. 2000. Teknologi dan Manajemen Pangan Halal. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hinterwaldner, R. 1977. Technology of gelatin manufacture. In: Ward AG, Courts A (ed.). The science and Technology of Gelatin. Academic Press. New York. hal 297-316. Igoe, R.S. 1983. Dictionary of Food I ngredients. Van Nostrand Reinhold. New York. Ilyas, S., dan Soeparno. 1985. Penelitian dan Pengembangan Limbah Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Jakarta. Indrialaksmi, O. 2000. Pembuatan dan Karakterisasi Sifat Fisik Gelatin dari Kulit dan Tulang Ikan Cucut. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Jombling, A., and Jombling, C.A. 1983. Conversation of Bone to Edible Product. In : Ledward, D.A., Taylor, A.J., Lawrie, R.A. (ed). Upgrading Waste for feed and Food. Butterworths. London. Johns, P. 1977. The Structure and Composition of collagen containing tissue. In Ledward, D.A., Taylor, A.J., Lawrie, R.A. (ed). Upgrading waste for Feed and Food. Butterworths. London. Judoamidjojo, R.M. 1974. Dasar Teknologi dan Kimia Kulit. Fakultas Teknologi Hasil Pertanian IPB. Bogor.
64 Jodoamidjojo, R.M., Fahidin dan Basuki. 1979. Komoditi Kulit di Indonesia. Departemen Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi dan Mekanisasi Pertanian. IPB, Bogor. Kimura, Z., Zhum, X.P., Matsui, R., Shijo, M, Takamizawa, S. 1988. Characterization of fish muscle tipe I collagen. J. Food Sci. Vol. 53: 1315 – 1318. King, W. 1969. Gelatin. In: Glicksman M (ed.). Gum and Technology in Food Indus try. Academic press. New york. Kirk, R.E., and D.F. Othmer. 1966. Encyclopedia of Chemycal Technology. Vol. 5. Interscience Publisher Advision of John Wiley and Sons. Inc., New York. Lagler, K.F., Bardach, J.E., Miller, R.R., Passino, D.R.M. 1977. Ichtiology 2nd ed. John Wiley and Sons. New York. Lehninger, A.L. 1982. Principles of Biochemistry. Worth Publishers, Inc., Sparks, Maryland. hal. 180 Leiner, P.B. 2004. The Physical and Chemical Properties of Gelatin. pbgelatin.co m. [ 26 Juni 2005 ]
http:///www.
Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika-Majelis Ulama Indonesia (LPPOM-MUI). 1997. Tulang yang berserakan. J. Halal. 3 (18) ; 7-13. Leuenberger, B.H. 1991. Investigation of the viscocity and gelation properties of different mammalian and fish gelatins. Food Hydrocolloids 5: 353 – 361. Meyer, L.H. 1982. food Chemistry. AVI Publishing Co. Inc., Wesport, Connecticut. Montero, P., Borderias, J. 1991. Emulsifying capacity of collagenous material from muscle and skin of hake (Merluccius merluccius) and trout (salmo irideus Gibb): effect of pH and NaCl concentration. Food Chem. 41: 251 -267. Muchtadi, D. 1993. Teknik Evaluasi Nilai Gizi Protein. Program Studi Ilmu Pangan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Norland, R.E. 1990. Fis h gelatin. In: Voight, M.N., Botta, J.K. (ed.). Advances in Fisheries Technology and Biotechnology for Increased Profitability. Lancaster, Pa.: Technomic Pub. Co. Oosten, J.V. 1969. Skin and scale. In: Brown, M.E. (ed). The Physiology of Fishes. Academic Press Inc. New york. Parker, A.L. 1982. Principles of Biochemistry. Worth Pub. Inc. Sparkas. Maryland.
65 Pelu, H., Harwanti, S., Chasanah, E. 1998. Ekstraksi gelatin dari kulit ikan tuna melalui proses asam. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 4 (2): 66 -74. BPTP. Jakarta. Poppe, J. 1997. Gelatin. In: Imeson, A. (ed). Thickening and Gelling Agents for Food. Blackie Academic and professional. London. Puvanakrishnan, R., and S. C. Dhar. 1988. Enzyme Technology in Beamhouse Practice. Central Leather Research Institute. Madras, India. Rusli, A. 2004. Kajian Proses Ekstraksi Gelatin dari Kulit Ikan Patin Segar. Thesis. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. Sadana, A. 2002. Karakterisasi protease Bacillus megaterium DSM 319 sebagai agensia pelepas rambut. Skripsi. Program Studi Teknologi Hasil Ternak. Departemen Ilmu Produksi Ternak. Fakultas Peternakan IPB, Bogor. Sato, K., Ohashi, C., Ohtsuki, K., Kawabata, M. 1991. Type V collagen in trout (Salmo gaidner) muscle and its solubility change during chilled storage of muscle. J. Agric. Food Chem. Vol. 39: 1222 – 1225. SNI 01-2332. 1991. Metode Pengujian Mikrobiologi Produk Perikanan: Penentuan Escherichia coli. Dewan Standarnisasi Nasional. Jakarta. SNI 01-2335. 1991. Metode Pengujian Mikrobiologi Produk Perikanan: Penentuan. Salmonella. Dewan Standarnisasi Nasional. Jakarta. SNI 01-2339. 1991. Penentuan Total Aerobic Plate Count (TPC). Dewan Standarnisasi Nasional. Jakarta. SNI
06-3735. 1991. Jakarta.
Mutu dan Cara Uji Gelatin.
Dewan Standarnisasi Nasional.
Soekarto ST, Hubeis M. 1991. Metodologi Penelitian Organoleptik. Program Studi Ilmu Pangan. IPB. Bogor. Sopian, I. 2002. Analisis Sifat Fisik, Kimia, dan Fungsional Gela tin yang Diekstrak dari Kulit dan Tulang Ikan Pari. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Fakultas Teknologi Pertanian. Stainsby, G. 1977. The Gelatin Gel and The Sol- Gel Transformation. In : Ward, A.G., Court, A. (ed). The Science and technology of Ge latin. Academic Press, New York. Steel, R.G.D., Torrie, J.H. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika Suatu Pendekatan Biometrik. Cetakan ke-3. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
66 Subardja, D., Rahardjo, R., Affandi, R., dan Brojo, M. 1989. Sistematika Ikan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. PAU Ilmu Hayat. Bogor Surono, Djazuli, N., Budiyanto, D., Widarto, Ratnawati, Aji, U.S., Suyuni, A.M., Sugiran. 1994. Penerapan Paket Teknologi Pengolahan Gelatin dari Ikan Cucut. Laporan BBMHP. Jakarta. Suryaningrum, T.D., Utomo, B.S.B. 2002. Petunjuk Analisis Rumput laut dan Hasil Olahannya. Pusat Riset Pengolahan Produk dan Sosial Ekonomi Perikanan dan Kelautan. Jakarta. Suzuki, T. 1981. Fish and Krill Protein Processing Technology. Publisher, Ltd. London.
Applied Science
Syarief, R., dan Halid, H. 1993. Teknologi Penyimpanan Pangan. Arcan, Jakarta. Tessenderlo Group. 2004. Gelatin Production. http://tesscorpeng.tessenderlogroup.com/ S02_Markets%20&%20 pplication/S06 Gelatin production.html. [ 21 Juli 2005 ] Trismila. 2002. Exolite. Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Bioindustri, BPPT. Jakarta. USFDA. 1997. FDA Centre of Biologics Evaluation and Research, Transmissible Spongiform Encephalopathies Advisory Committees. Transcript of Meeting April 23. Utama, H. 1997. Gelatin yang bikin heboh. Jurnal Halal LPPOM-MUI No.18: 10–12. Varnali, T. 2002. What is Leather ?. Departement of Chemistry. Faculty of Arts and Science, Bogazici University. Turkey. Viro, F. 1992. Gelatin. In: Hui, Y.H. (ed.). Encyclopedia of Food Science and Technology 2. John Wiley and Sons, Inc. New York. hal. 650-1. Ward, A.G., Courts, A. 1977. The Science and Technology of Gelatin. Academic Press. New York. William, F. 1974. The Chemistry and Technology of Leather. Elsevier Peblishing Co., New York. Winarno, F.G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. P.T. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 253 Wiyono, V.S. 2001. Gelatin Haram Gelatin Halal. 26-27.
Jurnal Halal LPPOM-MUI No. 36:
67
Wong, D.W.S. 1989. Mechanism and Theory in Food Chemistry. An AVI Book Van Nostrand Reinhold. New York. hal. 97-9. Yustika, R. 2000. Pembuatan dan Analisis sifat Kimia Gelatin Kulit dan Tulang Ikan Cucut. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
LAMPIRAN Lampiran 1. Data hasil pengukuran rendemen, viskositas, ph, dan kekuatan gel gelatin dari kulit ikan tuna .
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Sampel P24 E1 S12 P24 E1 S18 P24 E1 S24 P24 E2 S12 P24 E2 S18 P24 E2 S24 P24 E3 S12 P24 E3 S18 P24 E3 S24 P48 E1 S12 P48 E1 S18 P48 E1 S24 P48 E2 S12 P48 E2 S18 P48 E2 S24 P48 E3 S12 P48 E3 S18 P48 E3 S24
Keterangan :
Rendemen I II 19,7 16,5 15,8 16,2 11,4 12 18,3 13,3 15,4 15 19,4 17,6 19 21,4 8,9 13,5 10,6 16,8 20 17,2 13,6 10,6 17,5 11,1 10,9 8,7 7,4 6,2 8 8 5,7 8,1 7,8 13,6 6,8 5
Rerata 18,1 16 11,7 15,8 15,2 18,5 20,2 11,2 13,7 18,6 12,1 14,3 9,8 6,8 8 6,9 10,7 5,9
Viskositas I II 14,5 17 6,1 4,2 8,3 9,5 10,1 10 7,3 8,6 10,5 9,8 9,8 3,9 8,5 10,2 6,5 5,5 20,5 25 7,4 8,1 9,3 9,8 10,2 7,9 13,1 11,5 11,5 12,2 13,2 13 13,4 10,7 12,4 11,8
pH Rerata 15,75 5,15 8,9 10,05 7,95 10,15 6,85 9,35 6 22,75 7,75 9,55 9,05 12,3 11,85 13,1 12,05 12,1
I 6,81 6,31 5 6,12 5,33 6,51 5,39 7,31 6,89 7,1 5,99 6,67 5,46 5,5 6,33 6,42 6,08 5,46
II 7,21 6,17 6,2 6,04 5,93 6,11 6,07 6,77 7,21 7,1 6,15 5,55 6,88 6,02 6,21 5,76 5,5 5,04
P = Lama perendaman kulit dalam larutan kapur selama 24 jam dan 48 Jam E = Konsentrasi enzim 1%, 2%, dan 3% S = Lama perendaman kulit dalam larutan As,sitrat 12 jam, 18 jam, dan 24 jam
Rerata 7,01 6,24 5,6 6,08 5,63 6,31 5,73 7,04 7,05 7,1 6,07 6,11 6,17 5,76 6,27 6,09 5,79 5,25
Kekuatan Gel I II 366 408,5 98 75,1 216,1 275,4 249,4 249,4 110,3 137,2 258 195 184,3 23 195 220,1 84,1 64,9 496 496 98,4 184,3 183,6 212,7 137,2 182,5 282 282 297,8 297 320,1 319,1 282 282 301,3 296
Rerata 387,25 86,55 245,75 249,4 123,75 226,5 103,65 207,55 74,5 496 141,35 198,15 159,85 282 297,4 319,6 282 298,65
70 Lampiran 2 Hasil analisis ragam rendemen gelatin kulit tuna Sumber Keragaman
db
Jumlah Kuadrat
Kuadrat tengah
F hitung
P
Pengapuran (P)
1
248.588
248.588
42.365 0.000**
Enzimatis (E)
2
89.109
44.554
7.539 0.004**
Interaksi PE
2
113.816
56.908
9.698 0.001**
Asam (S)
2
66.896
33.448
5.700 0.010*
Interaksi PS
2
6.002
3.001
0.511 0.608
Interaksi ES
4
38.258
9.564
1.630 0.210
Interaksi PES
4
108.604
27.151
4.627 0.010*
Perlakuan
17
671.272
39.487
6.729 0.000**
Galat
18
105.620
5.868
Total 35 776.892 Keterangan : * = nyata (P<0.05)
** = sangat nyata (P<0.01)
Lampiran 3 Hasil uji beda jarak berganda Duncan (BJBD) terhadap rendemen gelatin kulit ikan tuna Perlakuan
N
Rerata Rendemen (%)
BJBD
P1E3S1 2 20.26 A P2E1S1 2 18.60 A B P1E2S3 2 18.50 A B P1E1S1 2 18.10 A B P1E1S2 2 16.00 A B C P1E2S1 2 15.80 A B C P1E2S2 2 15.20 A B C D P2E1S3 2 14.30 B C D P1E3S3 2 13.70 B C DE P2E1S2 2 12.10 C DEF P1E1S3 2 11.70 C DEF P1E3S2 2 11.20 C DEFG P2E3S2 2 10.70 C DEFG P2E2S1 2 9.80 DEFG P2E2S3 2 8.00 EFG P2E3S1 2 6.90 FG P2E2S2 2 6.80 FG P2E3S3 2 5.90 G Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf dan pada kolom yang sama berarti berbeda tidak nyata pada tingkat kepercayaan 95%
71 Lampiran 4 Hasil analisis ragam viskositas gelatin kulit tuna Sumber Keragaman
db
Jumlah Kuadrat
Kuadrat tengah
F hitung
P
Pengapuran (P)
1
102.347
102.347
41.301 0.000**
Enzimatis (E)
2
20.447
10.223
4.126 0.034**
Interaksi PE
2
16.676
8.338
3.365 0.057
Asam (S)
2
100.667
50.333
20.312 0.000**
Interaksi PS
2
2.516
1.258
0.508 0.610
Interaksi ES
4
271.792
67.948
27.420 0.000**
Interaksi PES
4
41.019
10.255
4.138 0.010*
Perlakuan
17
555.462
32.674
13.185 0.000**
Galat
18
44.605
2.478
Total 35 600.067 Keterangan : * = nyata (P<0.05)
** = sangat nyata (P<0.01)
Lampiran 5 Hasil uji beda jarak berganda Duncan (BJBD) terhadap viskositas gelatin kulit ikan tuna Perlakuan
N
Rerata Rendemen (%)
BJBD
P2E1S1 2 22.75 A P1E1S1 2 15.75 B P2E3S1 2 13.10 BC P2E2S2 2 12.30 BCD P2E3S3 2 12.10 CD P2E3S2 2 12.05 CD P2E2S3 2 11.85 CD P1E2S3 2 10.15 CDE P1E2S1 2 10.05 CDE P2E1S3 2 9.55 CDEF P1E3S2 2 9.35 CDEF P2E2S1 2 9.05 DEF P1E1S3 2 8.90 DEF P1E2S2 2 7.95 EFG P2E1S2 2 7.75 EFG P1E3S1 2 6.85 EFG P1E3S3 2 6 FG P1E1S2 2 5.15 G Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf dan pada kolom yang sama berarti berbeda tidak nyata pada tingkat kepercayaan 95%
72 Lampiran 6 Hasil analisis ragam pH gelatin kulit tuna Sumber Keragaman
db
Jumlah Kuadrat
Kuadrat tengah
F hitung
P
Pengapuran (P) Enzimatis (E)
1 2
0.481 0.619
0.481 0.310
2.298 0.147 1.480 0.254
Interaksi PE
2
2.004
1.002
4.789 0.022*
Asam (S)
2
0.584
0.292
1.395 0.273
Interaksi PS
2
0.761
0.380
1.818 0.191
Interaksi ES
4
3.802
0.950
4.542 0.010*
Interaksi PES
4
2.011
0.503
2.402 0.088
Perlakuan
17
10.260
0.604
2.885 0.016*
Galat
18
3.766
0.209
Total 35 14.026 Keterangan : * = nyata (P<0.05)
** = sangat nyata (P<0.01)
Lampiran 7 Hasil uji beda jarak berganda Duncan (BJBD) terhadap pH gelatin kulit ikan tuna Perlakuan
N
Rerata Rendemen (%)
BJBD
P2E1S1 2 7.10 A P1E3S3 2 7.05 A P1E3S2 2 7.04 A P1E1S1 2 7.01 A P1E2S3 2 6.31 AB P2E2S3 2 6.27 AB P1E1S2 2 6.24 AB P2E2S1 2 6.17 AB P2E1S3 2 6.11 AB P2E3S1 2 6.09 AB P1E2S1 2 6.08 AB P2E1S2 2 6.07 AB P2E3S2 2 5.79 B P2E2S2 2 5.76 B P1E2S1 2 5.73 B P1E2S2 2 5.63 B P1E1S3 2 5.60 B P2E3S3 2 5.25 B Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf dan pada kolom yang sama berarti berbeda tidak nyata pada tingkat kepercayaan 95%
73 Lampiran 8 Hasil analisis ragam kekuatan gel gelatin kulit tuna Sumber Keragaman
db
Jumlah Kuadrat
Kuadrat tengah
Pengapuran (P) Enzimatis (E)
1 2
65894.890 13548.815
65894.890 6774.407
49.562 0.000** 5.095 0.018*
Interaksi PE
2
33336.532
16668.266
12.537 0.000**
Asam (S)
2
59889.512
29944.756
22.523 0.000**
Interaksi PS
2
499.535
249.767
Interaksi ES
4
179023.488
44755.872
33.663 0.000**
Interaksi PES
4
57873.908
14468.477
10.882 0.000**
Perlakuan
17
410066.680
24121.569
18.143 0.000**
Galat
18
23931.770
1329.543
Total 35 433998.450 Keterangan : * = nyata (P<0.05)
F hitung
P
0.188 0.830
** = sangat nyata (P<0.01)
Lampiran 9 Hasil uji beda jarak berganda Duncan (BJBD) terhadap kekuatan gel gelatin kulit ikan tuna Perlakuan
N
Rerata Rendemen (%)
BJBD
P2E1S1 2 496.00 A P1E1S1 2 387.25 B P2E3S1 2 319.60 BC P2E3S3 2 298.65 CD P2E2S3 2 297.40 CD P2E2S2 2 282.00 CDE P2E3S2 2 282.00 CDE P1E2S1 2 249.40 CDE P1E1S3 2 245.75 CDE P1E2S3 2 226.50 DEF P1E3S2 2 207.55 EFG P2E1S3 2 198.15 EFG P2E2S1 2 159.85 FGH P2E1S2 2 141.35 GH P1E2S2 2 123.75 GH P1E3S1 2 103.65 I P1E1S2 2 86.55 I P1E3S3 2 74.50 I Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf dan pada kolom yang sama berarti berbeda tidak nyata pada tingkat kepercayaan 95%
74 Lampiran 10
Hasil analisa proksimat gelatin kulit tuna, gelatin standar laboratorium, dan gelatin komersial. Kadar Air (%)
Kadar Abu (%)
Kadar lemak (%)
Kadar protein (%)
Gelatin Komersial
11.66
1.66
0.23
85.99
Gelatin Standar lab
11.45
0.52
0.25
87.26
Gelatin Kulit tuna I
9.6
0.51
0.22
92.92
Gelatin Kulit tuna II
9.8
0.53
0.26
92.11
Gelatin Kulit tuna III
8.5
0.53
0.22
90.41
Sampel
Lampiran 11 Hasil analisa titik leleh, titik jendal, dan titik isoelektrik gelatin kulit tuna, gelatin standar laboratorium, dan gelatin komersial. Tititk Leleh (0 C)
Titik Jendal (0 C)
Titik Isoelektrik
Gelatin Komersial
29.6
19.5
7.0
Gelatin Standar lab
16.3
1.2
8.0
Gelatin Kulit tuna I
28.7
12.8
8.0
Gelatin Kulit tuna II
27.8
12.5
8.0
Gelatin Kulit tuna III
27.6
12.5
8.0
Sampel
Lampiran 12
Sampel
Hasil pengukuran derajat putih gelatin kulit tuna, gelatin standar laboratorium, dan gelatin komersial. Y
x
y
X
Z
L
a
b
48.45 0.3516 0.3571 47.70 39.52 69.61 0.53 15.06 Gelatin Komersial 48.40 0.3510 0.3566 47.64 39.69 69.57 0.48 14.88
Gelatin Standar lab Gelatin Kulit tuna
WO 66.08
Rerata 66.10
66.12
41.46 0.3425
0.3440
41.28 37.78
64.39 1.75 10.28
62.89
41.42 0.3422
0.3438
41.23 37.83
64.36 1.72 10.20
62.89
54.12 0.3723
0.3791
53.15 35.49
73.57 0.22 22.88
65.04
53.97 0.3651
0.3711
53.05 38.36
73.49 0.33 20.49
66.50
54.08 0.3702
0.3765
53.10 36.38
73.54 0.19 22.16
65.49
62.89
65.68
75 Lampiran 13
Hasil analisa kandungan logam berat gelatin kulit ikan tuna, gelatin standar laboratorium, dan gelatin komersial.
Sampel
Hg
Pb
Gelatin Komersial
Ttd
Ttd
Gelatin Standar lab
Ttd
Gelatin Kulit tuna I
Jenis Logam Cu
As
Zn
7.75
Ttd
21.35
Ttd
4.85
Ttd
11.87
Ttd
Ttd
5.56
Ttd
16.48
Gelatin Kulit tuna II
Ttd
Ttd
5.21
Ttd
14.86
Gelatin Kulit tuna III
Ttd
Ttd
4.56
Ttd
14.38
Lampiran 14
Hasil analisa kandungan mikrobiologi gelatin kulit tuna, gelatin standar laboratorium, dan gelatin komersial.
Sampel
TPC
E. coli
Salmonella
Gelatin Komersial
57.2 x 108
Negatif
Negatif
Gelatin Standar lab
39.6 x 108
Negatif
Negatif
Gelatin Kulit tuna I
4
Negatif
Negatif
4
Negatif
Negatif
4
Negatif
Negatif
22.5 x 10
Gelatin Kulit tuna II
36.5 x 10
Gelatin Kulit tuna III
40.5 x 10
Lampiran 15 Hasil uji organoleptik pasangan segitiga terhadap gelatin komersial.
-
Kurang --
---
Aroma/Bau
1
1
-
Penampakan
1
1
-
Parameter
+
Lebih ++
+++
9
3
1
-
10
2
1
-
Sama
Warna 1 1 9 2 2 Keterangan : Angka dalam kotak menunjukkan jumlah panelis yang memilih
-
Lampiran 16 Hasil uji organoleptik pasangan segitiga terhadap gelatin standar laboratorium.
-
Kurang --
---
Aroma/Bau
1
1
-
Penampakan
8
3
2
Parameter
+
Lebih ++
+++
7
4
2
-
-
2
-
-
Sama
Warna 8 3 4 Keterangan : Angka dalam kotak menunjukkan jumlah panelis yang memilih
-
76 Lampiran 17 Formulir uji organoleptik gelatin kulit ikan tuna dengan pembanding gelatin komersial dan gelatin standar laboratorium
Formulir Uji Organoleptik No.
:
Nama
:
Tanggal
:
Sampel
: Gelatin kulit ikan tuna
Instruksi
: * Bandingkan Warna, bau, dan penampakan sampel dengan standar * Isi dengan tanda ( √ ) pada kolom yang sesuai
Warna
GKT 1
Nomor Kode Sampel GKT 2
GKT 3
GKT 1
Nomor Kode Sampel GKT 2
GKT 3
GKT 1
Nomor Kode Sampel GKT 2
GKT 3
Lebih baik Agak lebih baik Baik Sama Buruk Agak lebih buruk Lebih buruk Bau
Lebih baik Agak lebih baik Baik Sama Buruk Agak lebih buruk Lebih buruk Penampakan
Lebih baik Agak lebih baik Baik Sama Buruk Agak lebih buruk Lebih buruk
77 Lampiran 18. Chromatogram standar asam amino
No. 2 3 4 5 6 7 8 10 12 13 14 15 16 18 19 20 21 22 Total
Waktu Retensi 1.69 2.35 3.28 4.27 5.33 6.36 7.74 8.78 10.20 11.16 11.92 12.92 13.83 15.35 16.36 17.58 19.08 20.29
Luas Area 452151 546560 377673 476355 361644 384246 461295 471205 602475 512558 592724 522260 600786 467703 531571 594646 640699 548234 9144785
Luas Puncak 4.944 5.977 4.130 5.209 3.955 4.202 5.044 5.153 6.588 5.605 6.482 5.711 6.570 5.114 5.813 6.503 7.006 5.995 100.000
78 Lampiran 19. Chromatogram asam amino gelatin kulit ikan tuna
No. 5 7 9 11 14 17 18 21 23 24 26 28 31 33 37 38 41 Total
Waktu Retensi 2.34 3.30 4.27 5.37 6.40 7.78 8.74 10.24 11.26 11.99 12.93 13.88 15.34 16.35 18.06 19.07 20.25
Luas Area 106678 183255 45985 808367 1059 100099 44693 449580 368178 8109 39336 20623 9407 7803 6183 29616 14950 2243921
Luas Puncak 8.639 11.463 3.724 24.177 1.074 8.106 3.619 12.940 14.017 0.657 3.186 1.670 0.762 1.442 0.501 2.398 1.624 100.000
79 Lampiran 20. Chromatogram standar asam amino
No. 1 2 5 7 10 11 13 14 15 18 19 22 23 24 26 27 30 33 Total
Waktu Retensi 1.18 1.66 2.84 3.52 4.48 5.14 6.16 6.96 7.54 8.48 9.34 10.23 11.10 11.62 12.79 13.74 14.90 16.66
Luas Area 216240 226762 273141 212314 225383 248704 244979 207459 265157 183362 219567 191366 172984 269770 230730 235084 285621 295804 4204427
Luas Puncak 5.143 5.393 6.497 5.050 5.361 5.915 5.827 4.934 6.307 4.361 5.222 4.552 4.114 6.416 5.488 5.591 6.793 7.036 100.000
80 Lampiran 21. Chromatogram asam amino gelatin standar laboratorium
No. 4 6 8 9 10 11 12 14 15 16 17 18 20 21 22 23 24 25 26 27 29 30 31 32 34 36 40 42 44 45 46 48 51 Total
Waktu Retensi 1.76 2.37 3.00 3.67 4.13 4.54 4.93 5.86 6.24 6.76 6.95 7.64 8.10 8.54 9.08 9.28 9.54 9.75 10.20 10.75 11.26 11.67 12.12 12.28 12.82 13.60 15.02 15.98 16.70 17.19 17.38 17.87 18.99
Luas Area 292248 10688 585744 132781 18014 2321946 1069 14928 380641 10097 170125 1000050 13299 665902 15606 4445 16332 14516 68092 35488 325197 7487 12145 16087 60425 16478 113026 12944 103259 10346 12070 14983 12983 2361804
Luas Puncak 5.258 0.453 9.080 3.437 0.763 18.367 0.723 0.632 7.924 0.428 2.718 14.401 0.563 12.791 0.661 1.701 0.692 0.615 4.251 1.503 1.869 0.991 0.514 0.681 1.580 0.698 2.402 0.548 1.623 0.438 0.511 0.634 0.550 100.000
81 Lampiran 22. Chromatogram asam amino gelatin komersial
No. 4 5 7 8 9 11 15 17 18 19 21 24 26 27 29 30 31 33 34 36 37 38 40 42 43 46 48 Total
Waktu Retensi 1.71 1.96 2.91 3.60 4.52 5.20 6.28 6.96 7.66 8.01 8.62 9.36 9.96 10.28 10.90 11.26 11.74 12.38 12.80 13.44 14.28 14.42 15.08 15.55 15.83 16.62 17.38
Luas Area 279764 70613 583269 146934 2304917 1604 419548 166641 1016932 38401 665281 6062 22077 87157 22975 21255 5241 28264 77508 41000 26478 42544 110719 43498 22671 193018 27394 2528314
Luas Puncak 5.110 2.793 7.960 2.937 15.219 1.334 6.083 2.727 9.340 1.519 12.865 2.761 0.873 3.343 0.909 2.151 1.276 1.118 3.266 1.622 1.047 1.683 3.410 1.720 0.897 4.954 100.000