PEMBUATAN DAN ANALISIS KARAKTERISTIK GELATIN DARI TULANG IKAN TUNA (Thunnus albacares)
Oleh: MUSFIQ AMIRULDIN F 34103109
2007 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
“Bacalah!!
dengan
Tuhanmu,
Yang
telah
menyebut menciptakan.
menciptakan
segumpal
darah.
Tuhanmu-lah
yang
manusia Bacalah!!! Maha
nama Dia dari Dan
Pemurah.
Yang telah mengajar (manusia) dengan perantaraan
kalam.
Dia
telah
mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya” (QS. Al ‘Alaq: 1 – 5)
“Sebuah karya untuk kedua orangtuaku dan orang-orang yang menyayangiku!!!”
Musfiq Amiruldin. F 34103109. Pembuatan dan Analisis Karakteristik Gelatin Dari Tulang Ikan Tuna (Thunnus albacares). Di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. E. Gumbira Said, MA Dev dan Drs. Tazwir. 2007
RINGKASAN Gelatin merupakan suatu jenis protein yang diekstraksi dari jaringan kolagen hewan. Limbah tulang ikan tuna (Thunnus albacares) selama ini belum dimanfaatkan secara optimal, padahal di dalam tulang ikan mengandung kolagen yang dapat diekstraksi menjadi gelatin. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan teknik ekstraksi gelatin dari tulang ikan tuna dan mempelajari pengaruh perendaman tulang dengan konsentrasi basa (NaOH) yang berbeda sebelum perendaman asam (HCl) terhadap rendemen, pH, viskositas, dan kekuatan gel gelatin tulang ikan tuna serta mengkaji karakteristik gelatin dari tulang ikan tuna yang meliputi sifat fisik, sifat kimia, dan kandungan mikrobiologi. Proses penghilangan lemak dan protein non kolagen pada tulang ikan dapat menaikkan mutu gelatin. Pembuatan gelatin dari tulang ikan yang paling baik menggunakan asam klorida (HCl). Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap dengan tiga perlakuan perendaman tulang sebelum perendaman asam klorida (HCl) yaitu tanpa perendaman NaOH, perendaman NaOH 0.4% dan 0.8%. Pengamatan yang dilakukan meliputi rendemen, pH, viskositas, dan kekuatan gel gelatin. Gelatin tulang ikan tuna yang dihasilkan pada penelitian ini memiliki rendemen berkisar antara 5.76 – 8.37%, pH berkisar antara 4.15 – 5.54, viskositas berkisar antara 3.23 – 5.57 cP, dan kekuatan gel berkisar antara 104.6 – 151.8 gr bloom. Hasil analisa sidik ragam menunjukkan bahwa perbedaan konsentrasi NaOH berpengaruh nyata terhadap rendemen, pH, viskositas, dan kekuatan gel gelatin tulang ikan tuna yang dihasilkan. Dari Hasil Uji Duncan menunjukkan bahwa perlakuan sebelum perendaman HCl yang menghasilkan gelatin terbaik adalah perendaman tulang dengan NaOH 0.4% sebelum perendaman HCl. Karakteristik fisikokimia gelatin dari perlakuan terbaik (perendaman tulang dengan NaOH 0.4% sebelum perendaman HCl) dihasilkan kadar air 6.08%, kadar abu 1.02%, kadar protein 88.53%, kadar lemak 1.02%, kekuatan gel 151.8 gr bloom, viskositas 5.57 cP, pH 5.01, titik gel 9.000C, titik leleh 25.300C, titik isoelektrik 7.67, derajat putih 33.7%, kandungan Pb 0.55 ppm, kandungan Hg tidak terdeteksi, komposisi asam amino glisin 18.703%, prolin 10.65% dan hidroksiprolin 8.22%, total mikroba 4,5 x 104 unit koloni/gram, kandungan E.coli dan Salmonella negatif.
Musfiq Amiruldin. F 34103109. Processing and Characteristic Analysis of Gelatin from Yellow Fin Tuna (Thunnus albacares) Bones. Supervised By Prof. Dr. Ir. E. Gumbira Said, MA Dev and Drs. Tazwir. 2007
SUMMARY
Gelatin is one of protein extraction from animal kolagen tissues. The waste of Yellow Fin Tuna (Thunnus albacares) bones has not been used optimally, in fact in fish bones contain collagen which can be extracted for gelatin. This research was aimed to get extraction method of gelatin from Yellow Fin Tuna bones, and to know the influences of different concentration alkali (NaOH) before soaking in clorid acid (HCl) to yield, pH, viscocity, and gel strength gelatin from Yellow Fin Tuna, also to know the characteristic of the physical, chemical property and microbiology of gelatin. Degreasing and lost non collagen protein process from fish bone can be to increase gelatin quality. The best gelatin process from fish bone using clorid acid (HCl). Experimental design used complete random design with three treatments are without soaking in NaOH, soaking in 0.4% and 0.8% NaOH before soaking in clorid acid (HCl). Observation in this research contain yield, pH, viscosity, and gel strength of gelatin. Gelatin as the result of this researce has yield ranging from 5.76% to 8.37%, pH 4.15 – 5.54, viscocity is 3.23 cP until 5.57 cP, and gel strength ranging from 104.6 gr bloom to 151.8 gr bloom. From ANOVA analysis showed different concentration NaOH significantly influences to yield, pH, viscocity, and gel strength of gelatin. Based on Duncan test result showed that the best gelatin resulted from soaking in 0.4% NaOH before soaking in clorid acid (HCl). The fisicochemistry characteristic of gelatin for the best treatment (0.4% NaOH) resulted 6.08% of moisture content; 1.02% of ash content; 88.53% of protein content; 1.02% of lipid content; 151.8 gr bloom of gel strength; 5.57 cP of viscocity; pH 5.01; 9.000C of gelling point; 25.300C of melting point; 7.67 of isoelectric point; 33.7% of white degree; 0.55 ppm of Pb content; undetected of Hg content; 18.703% of glisine amino acid, 10.65% of proline and 8.22% of hidroksiproline; 4,5 x 104 unite coloni/gram of total microbe, negative for E.coli and Salmonella content.
PEMBUATAN DAN ANALISIS KARAKTERISTIK GELATIN DARI TULANG IKAN TUNA (Thunnus albacares)
Oleh: MUSFIQ AMIRULDIN F 34103109
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
2007 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PEMBUATAN DAN ANALISIS KARAKTERISTIK GELATIN DARI TULANG IKAN TUNA (Thunnus albacares)
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh: MUSFIQ AMIRULDIN F 34103109
Lahir di Jakarta, 11 Februari 1985 Tanggal lulus: 8 Agustus 2007
Menyetujui, Bogor, 8 Agustus 2007
Prof. Dr. Ir. E. Gumbira Said, MA Dev Dosen Pembimbing I
Drs. Tazwir Pembimbing II
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi yang berjudul “Pembuatan dan Analisis Karakteristik Gelatin Dari Tulang Ikan Tuna (Thunnus albacares)” merupakan hasil karya asli saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing akademik kecuali yang jelas ditunjukkan rujukannya.
Bogor, 8 Agustus 2007 Yang Membuat Pernyataan
MUSFIQ AMIRULDIN F34103109
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 11 Februari 1985 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Abdullah dan Mursinah. Penulis menempuh pendidikan di SDN 05 Meruya Utara (1991-1997), SLTPN 134 Jakarta (1997-2000), SMUN 65 Jakarta (2000-2003). Pada akhir pendidikan SMU, penulis berkesempatan untuk mengikuti Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan pada tahun 2003 penulis menjadi mahasiswa di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penulis melakukan Praktek Lapangan di PT Indofood Sukses Makmur Bogasari Flour Mills, Jakarta dengan judul “ Mempelajari
Proses
Produksi
Tepung Terigu”. Penulis menulis skripsi berjudul “Pembuatan dan Analisis Karakteristik Gelatin Dari Tulang Ikan Tuna (Thunnus albacares)” bekerjasama dengan Balai Besar Riset Pengolahan Produk Dan Bioteknologi Kelautan Dan Perikanan, Slipi, Jakarta.
Judul skripsi Nama NRP Departemen
: Pembuatan dan Analisis Karakteristik Gelatin dari Tulang Ikan Tuna (Thunnus albacares) : Musfiq Amiruldin : F34103109 : Teknologi Industri Pertanian
Menyetujui,
Prof. Dr. Ir. E. Gumbira Sa’id, MA Dev Dosen Pembimbing I
Drs. Tazwir Pembimbing II
Dr. Ir. Mulyorini R, M.Si Dosen Penguji Mengetahui,
Dr. Ir. M. Romli, MSc Ketua Jurusan
Tanggal Lulus: 8 Agustus 2007
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbil’alamin, puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat, hidayah dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan skripsi dalam rangka memenuhi tugas akhir di Departemen Teknologi Industri Pertanian. Shalawat serta salam selalu tercurah kepada Rasulullah Muhammad SAW, kepada keluarga dan sahabat-sahabatnya Skripsi yang berjudul “Pembuatan dan Analisis Karakteristik Gelatin Dari Tulang Ikan Tuna (Thunnus albacares)” disusun berdasarkan penelitian yang telah penulis laksanakan pada bulan Maret sampai Juni 2007. Suatu karunia bagi penulis dapat melaksanakan sebuah penelitian yang dibiayai oleh Balai Besar Riset Pengolahan Produk Dan Bioteknologi Kelautan Dan Perikanan, Slipi, Jakarta Tahun Anggaran 2007. Pada kesempatan kali ini penulis sampaikan ucapan terima kasih kepada para personalia di bawah ini: Prof. Dr. Ir. E. Gumbira Said, MA.Dev sebagai dosen pembimbing pertama yang telah memberi bimbingan dan pengarahan yang baik serta sumber inspirasi untuk terus melakukan yang terbaik. Drs. Tazwir sebagai pembimbing kedua yang memberi bimbingan, arahan dan perhatian yang besar selama ini. Dr. Ir. Mulyorini R, M.Si sebagai dosen penguji yang telah banyak memberi saran dan kritikan yang membangun dalam ujian dan penyusunan skripsi ini. Dr. Rosmawaty Peranginangin yang telah memberikan banyak masukan dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini. Ayahanda H. Abdullah dan Ibunda tercinta Hj. Mursinah yang telah mencurahkan kasih sayang, do’a dan dukungan tanpa akhir. Adik-adikku Aynal Fuadi dan Rizki Nur Faizi yang telah memberikan keceriaan dan hari-hari yang indah.
i
Tiska Lestari, Eko Wahyudi Apriantoro dan Rizki Ika selaku Tim Gelatin yang telah berbagi suka, duka dan juga ilmu selama menjalani penelitian. Seluruh Staf
Balai Besar Riset Pengolahan Produk Dan Bioteknologi
Kelautan Dan Perikanan, Jakarta. Teman-teman TIN’40, terima kasih atas dukungan dan pengalaman terindah yeng telah kita jalani bersama. Ayu Sinta Saputri yang telah memberikan semangat dan perhatian yang tulus. Semua pihak lain yang telah membantu dalam penelitian dan pembuatan skripsi ini. Akhirnya, dengan berbagai kekurangan yang ada, maka segala kritik dan saran sangat diharapkan. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan.
Bogor, 8 Agustus 2007
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR .......................................................................................... i DAFTAR ISI ........................................................................................................ iii DAFTAR TABEL ................................................................................................ v DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... vi DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... vii I. PENDAHULUAN ............................................................................................ 1 A. Latar Belakang ............................................................................................ 1 B. Tujuan Penelitian ......................................................................................... 3 C. Manfaat Penelitian ....................................................................................... 3 D. Hipotesis Penelitian ..................................................................................... 4 II. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................. 5 A. Ikan Tuna .................................................................................................... 5 B. Tulang Ikan .................................................................................................. 6 C. Kolagen ....................................................................................................... 8 D. Gelatin ........................................................................................................ 10 E. Proses Pembuatan Gelatin .......................................................................... 16 F. Analisis Karakteristik Gelatin ..................................................................... 20 III. METODA PENELITIAN ............................................................................. 25 A. Bahan dan Alat ........................................................................................... 25 B. Metode Penelitian ....................................................................................... 25 1. Penelitian Tahap I ................................................................................... 25 2. Penelitian Tahap II .................................................................................. 28 C. Rancangan Percobaan................................................................................. 28 D. Waktu dan Tempat Penelitian .................................................................... 29 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................... 30 A. Penelitian Tahap I....................................................................................... 30 1. Rendemen Gelatin ................................................................................... 34 2. Derajat Keasaman (pH) Gelatin .............................................................. 37 3. Viskositas Gelatin ................................................................................... 40
iii
Halaman 4. Kekuatan Gel Gelatin .............................................................................. 43 B. Penelitian Tahap II ..................................................................................... 47 1. Analisis Komposisi Kimia Gelatin ......................................................... 48 2. Analisis Sifat Fisikokimia Gelatin .......................................................... 52 3. Analisis Logam Berat Gelatin ................................................................. 57 4. Komposisi Asam Amino Gelatin ............................................................ 59 5. Analisis Mikrobiologi Gelatin ................................................................ 61 V. KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................... 64 A. Kesimpulan ................................................................................................ 64 B. Saran ........................................................................................................... 65 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 66 LAMPIRAN ........................................................................................................ 70
iv
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1. Data Impor Gelatin Indonesia Tahun 2001-2005 ................................ 2 Tabel 2. Komposisi Kimia Tulang Ikan Tuna .................................................... 6 Tabel 3. Komposisi Asam Amino Gelatin ........................................................ 11 Tabel 4. Sifat Gelatin Berdasarkan Jenisnya..................................................... 13 Tabel 5. Standar Mutu Gelatin Menurut SNI No. 06-3735 Tahun1995 dan British Standard: 757 Tahun 1975............................................... 14 Tabel 6. Standar Gelatin Pangan ....................................................................... 15 Tabel 7. Spesifikasi Gelatin Farmasi ................................................................ 16 Tabel 8. Hasil Analisis Komposisi Kimia Tulang Ikan Tuna ........................... 31 Tabel 9. Pengaruh Perlakuan Terhadap Nilai Rendemen Gelatin Tulang Ikan Tuna ............................................................................................ 37 Tabel 10. Pengaruh Perendaman Terhadap Nilai pH Gelatin Tulang Ikan Tuna .................................................................................................... 40 Tabel 11. Pengaruh Perendaman Terhadap Nilai Viskositas Gelatin Tulang Ikan Tuna ............................................................................................ 43 Tabel 12. Pengaruh Perendaman Terhadap Nilai Kekuatan Gel Gelatin Tulang Ikan Tuna ................................................................................ 46 Tabel 13. Hasil Pengukuran Mutu Gelatin Tulang Ikan Tuna, Gelatin Komersial dan Gelatin Standar Laboratorium .................................... 48 Tabel 14. Hasil Analisis Komposisi Kimia Gelatin ............................................ 49 Tabel 15. Hasil Analisis Sifat Fisikokimia Gelatin............................................. 53 Tabel 16. Hasil Analisis Logam Berat Gelatin Tulang Ikan Tuna, Gelatin Komersial dan Gelatin Standar Laboratorium........................ 58 Tabel 17. Komposisi Asam Amino Gelatin Tulang Ikan Tuna, Gelatin Komersial dan Gelatin Standar Laboratorium .................................... 60 Tabel 18. Hasil Analisis Mikrobiologi Gelatin Tulang Ikan Tuna, Gelatin Komersial dan Gelatin Standar Laboratorium........................ 62
v
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1. Gambar Penampakan Ikan Tuna (Thunnus albacares) .................... 5 Gambar 2. Susunan Molekul Kolagen .............................................................. 8 Gambar 3. Struktur Kimia Gelatin .................................................................... 12 Gambar 4. Diagram alir Proses Pembuatan Gelatin Dengan Cara Asam (Tipe A) dan Cara Basa (Tipe B) ................................................... 19 Gambar 5. Diagram Alir Proses Pembuatan Gelatin dari Tulang Ikan Tuna.... 27 Gambar 6. Tulang Ikan Tuna (Thunnus albacares) .......................................... 30 Gambar 7. Gelatin Tulang Tuna dan Gelatin Komersial .................................. 35 Gambar 8. Grafik Rendemen Gelatin Tulang Ikan Tuna .................................. 35 Gambar 9. Grafik nilai pH Gelatin Tulang Ikan Tuna ...................................... 38 Gambar 10. Grafik Viskositas Gelatin Tulang Ikan Tuna .................................. 41 Gambar 11. Grafik Kekuatan Gel Gelatin Tulang Ikan Tuna ............................. 44
vi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1. Prosedur Analisa Data .................................................................... 71 Lampiran 2. Hasil Analisa Komposisi Kimia Tulang Ikan Tuna........................ 78 Lampiran 3. Hasil Pengukuran Rendemen, Viskositas, Kekuatan Gel, dan pH Gelatin dari Tulang Ikan Tuna ........................................... 78 Lampiran 4. Hasil Analisis Ragam Rendemen Gelatin ...................................... 79 Lampiran 5. Hasil Analisis Ragam pH Gelatin ................................................... 80 Lampiran 6. Hasil Analisis Ragam Viskositas Gelatin ....................................... 81 Lampiran 7. Hasil Analisis Ragam Kekuatan Gel Gelatin ................................. 82
vii
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Gelatin merupakan suatu jenis protein yang diekstraksi dari jaringan kolagen hewan. Pada hewan, kolagen terdapat pada tulang, tulang rawan, kulit, dan jaringan ikat. Gelatin diperoleh dengan cara denaturasi panas dari kolagen (Geltech, 2007). Saat ini penggunaan gelatin sudah semakin meluas, baik untuk produk pangan maupun non pangan. Untuk produk pangan gelatin dapat dimanfaatkan sebagai bahan penstabil (stabilizer), pembentuk gel (gelling agent), pengikat (binder), pengental (thickener), pengemulsi (emulsifier), perekat (adhesive), whipping agent, dan pembungkus makanan yang bersifat dapat dimakan (edible coating). Industri pangan yang membutuhkan gelatin antara lain industri konfeksioneri, produk jelly, industri daging, industri susu, produk law fat, dan industri food supplement (Raharja, 2004). Gelatin juga digunakan dalam industri non pangan seperti industri pembuatan film, industri farmasi (seperti produksi kapsul lunak, cangkang kapsul dan tablet), industri teknik (sebagai bahan pembuat lem, kertas, cat, dan bahan perekat), dan juga digunakan dalam industri kosmetika (seperti pemerah bibir, shampo dan sabun) (Poppe, 1992). Gelatin disebut miracle food, karena gelatin memiliki fungsi yang masih sulit digantikan dalam industri makanan maupun farmasi (LPPOM MUI, 2001). Penggunaan gelatin untuk kebutuhan sahari-hari tidak dapat dihindari, karena lebih dari 60% total produksi gelatin digunakan oleh industri pangan, sekitar 20% industri fotografi dan 10% oleh industri farmasi dan kosmetik (Peranginangin, 2006). Kebutuhan industri akan gelatin selama ini dipenuhi dengan jalan mengimpornya dari Prancis, Jerman, Jepang, dan India. Impor gelatin yang tercatat dalam data BPS (2006) dapat dilihat pada Tabel 1. Penggunaan gelatin impor terutama dari negara-negara non muslim menimbulkan pertanyaan bagi
masyarakat Indonesia. Hal ini dikarenakan salah satu bahan baku gelatin berasal dari kulit dan tulang babi. Tabel 1. Data Impor Gelatin Indonesia Tahun 2002-2006 Tahun
Bobot (Kg)
Nilai (US$)
Jan-Mei 2006
1.213.111
4.215.779
2005
2.630.692
8.063.802
2004
2.145,916
8.001.714
2003
2.144.372
6.801.882
2002
4.291.579
10.749.199
Sumber : BPS (2006) Sumber utama lain yang sangat potensial sebagai bahan baku gelatin adalah kolagen yang berasal dari ikan. Tulang dan kulit ikan sangat potensial sebagai sumber gelatin karena mencakup 10-20% dari total bobot tubuh ikan. Kandungan kolagen pada tulang ikan keras (teleostei) berkisar 15 – 17%, sedangkan pada tulang ikan rawan (elasmobranch) berkisar 22 – 24% (Purwadi, 1999). Produk gelatin yang berbahan baku ikan umumnya memiliki masalah Fishy odor atau bau amis dan tidak sedap, yaitu berasal dari urea yang mudah terurai menjadi amonia. Fishy odor tersebut sangat tidak disukai konsumen dan merupakan penyebab belum dimasukkannya gelatin ikan ke dalam GRAS (Generally Recognized as Safe). Untuk itu diperlukan metode dan teknologi pembuatan gelatin ikan yang dapat mengurangi atau meminimalisasi fishy odor, menghasilkan rendemen yang tinggi serta memiliki sifat fisik, kimia dan fungsional yang menunjang sebagai bahan baku industri, baik industri pangan maupun non pangan (Surono, 1995). Ikan tuna (Thunnus albacares) merupakan salah satu ikan ekonomis penting yang dihasilkan perairan Indonesia. Total ekspor dari perusahaan pengolahan ikan yang berada di Bali saja dari bulan Februari hingga Juli 2004 adalah 3.353 ton. Ikan tuna biasanya diekspor dalam bentuk loin, steak dan fillet, sementara ekor, kulit, insang, kepala, tulang, dan isi perut dibuang atau kalaupun dimanfaatkan hanya untuk bahan tambahan pada pakan ternak dan ikan. Limbah ikan mencapai 50% dari total bobot ikan (Purwadi, 1999).
2
Untuk penggunaan dalam bahan pangan dan non pangan, kekuatan gel, viskositas dan titik leleh merupakan sifat khas gelatin yang sangat penting. Sifat-sifat di atas dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti konsentrasi larutan gelatin, waktu pemanasan gel, pH dan kandungan asam. Selain itu, teknik ekstraksi seperti tingkat keasaman, jenis larutan perendaman, lama perendaman dan suhu ekstraksi diduga mempengaruhi sifat-sifat gelatin tersebut (Norland, 1990). Beberapa penelitian mengenai gelatin yang diekstrak dari ikan yang telah dilakukan adalah dari ikan kakap putih, kakap merah, cucut, pari, paus dan patin (Dahlia, 2004; Chasanah, 2000; Yustika, 2000; Indrialaksmi, 2000; Gomes-Gulien dan Montero, 2001; Astawan et al., 2002; Aviana, 2002; Sopian, 2002; Rusli, 2004). Penelitian gelatin dari ikan tuna baru memanfaatkan kulitnya saja (Fahrul, 2005; Roswita, 2006). Oleh karena itu perlu dilakukan pengkajian pembuatan gelatin dari tulang ikan tuna serta karakteristisasi gelatin yang diperoleh.
B. Tujuan Penelitian Tujuan umum
penelitian ini adalah untuk mendapatkan teknik
ekstraksi gelatin dari tulang ikan tuna (Thunnus albacares). Secara khusus penelitian ini bertujuan sebagai berikut: 1. Mempelajari pengaruh perendaman tulang dengan konsentrasi basa (NaOH) yang berbeda sebelum perendaman asam (HCl) terhadap rendemen, pH, viskositas, dan kekuatan gel gelatin tulang ikan tuna (Thunnus albacares). 2. Mengkaji karakteristik gelatin dari tulang ikan tuna (Thunnus albacares) yang meliputi sifat fisik, sifat kimia dan kandungan mikrobiologi.
C. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memanfaatkan limbah tulang ikan tuna menjadi gelatin sehingga dapat memacu tumbuhnya industri pengolahan gelatin di Indonesia yang akhirnya dapat mengurangi ketergantungan akan gelatin impor.
3
D. Hipotesis Penelitian Proses pembuatan gelatin dari tulang ikan tuna tanpa perendaman dalam larutan NaOH dan dengan perendaman dalam larutan NaOH sebelum perendaman asam berpengaruh terhadap mutu fisikokimia gelatin yang dihasilkan.
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Ikan Tuna Ikan tuna (Thunnus albacares) termasuk dalam keluarga Scombridae, dengan tubuh seperti cerutu, mempunyai kulit yang licin dengan sirip dada melengkung dengan ujung yang lurus dan pangkal yang lebar (Bykov, 1983). Gambar penampakan Ikan tuna (Thunnus albacares) dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Diagram Ikan Tuna (Thunnus albacares) (Wikipedia, 2007) Klasifikasi ikan tuna (Thunnus albacares) menurut Subardja (1989) adalah sebagai berikut: Filum
: Chordata
Sub Filum : Vertebrata Kelas
: Teleostei
Sub Kelas : Actioopterygii Ordo
: Perciformes
Sub Ordo : Scombridae Genus
: Thunnus
Spesies
: Thunnus albacares Genus Thunnus terdiri atas beberapa spesies antara lain Thunnus
albacares yang paling banyak didapati di perairan Indonesia. Jenis di atas dikenal dengan sebutan madidihang atau yellow fin tuna. Thunnus albacares memiliki ciri-ciri: badan memanjang, bulat seperti cerutu, panjang tubuhnya
mencapai 195 cm, namun umumnya 50-150 cm, memiliki dua sirip punggung, sirip depan biasanya pendek dan terpisah dari sirip belakang, pada bagian punggung berwarna biru kehitaman dan berwarna keputih-putihan pada bagian perut. Spesies ini termasuk jenis ikan buas, bersifat predator, hidup bergerombol kecil pada waktu mencari makan. Ikan tuna adalah jenis ikan dengan kandungan protein yang tinggi dan kandungan lemak yang rendah. Ikan tuna mengandung protein antara 22,6-26,2%. Disamping itu ikan tuna mengandung mineral ( kalsium, fosfor, besi, sodium ), vitamin A dan vitamin B (Bykov, 1983).
B. Tulang Ikan Tulang adalah organ keras yang merupakan bentuk bagian pada endoskleton vertebrata. Menurut Lagler (1977) tulang berfungsi sebagai berikut : 1. Melindungi tubuh, dimana tulang dapat melindungi organ-organ internal dari pengaruh luar tubuh. 2. Membentuk tubuh. 3. Memproduksi sel darah. 4. Tempat penyimpanan mineral. 5. Untuk pergerakan tubuh. 6. Pada beberapa ikan, tulang bermodifikasi menjadi sirip mempercepat penempatan sperma pada saluran reproduksi pada ikan betina. Skleton pada ikan terdiri dari : notochord, jaringan penghubung, tulang, kartilago, sisik, dan gigi (termasuk enamel dan dentin), neuralgia, dan sirip. Ikan memiliki rangka dalam yang terdiri dari tulang sejati (tulang keras), dan tulang rawan (kartilago). Dari kenampakan fisik, secara mudah terlihat bahwa tulang rawan lebih transparan (bening, tembus cahaya) dan lentur dibandingkan dengan tulang sejati (Lagler, 1977). Komposisi kimia tulang ikan tuna dapat dilihat pada Tabel 2.
6
Tabel 2. Komposisi Kimia Tulang Ikan Tuna Parameter
Persentase Bobot Kering (%)
Persentase Bobot Basah (%)
Air
-
56,11
Abu
39,19
17,20
Protein
52,54
7,56
Lemak
23,06
3,32
Sumber: Direktorat Jendral Perikanan Tangkap (1983) Perkembangan dari embrio pada tulang adalah sebagai berikut: kartilago dihasilkan oleh sel-sel masenkim, sesudah kartilago terbentuk rongga yang ada didalamnya akan terisi oleh osteoblast, yaitu sel-sel pembentuk tulang. Osteoblast juga menempati jaringan pengikat disekelilingnya dan membentuk sel-sel tulang. Jaringan utama pada tulang jaringan osseous relatif keras dan terdapat mineral, dimana yang terbesar adalah kalsium fosfat sehingga menyebabkan tulang bersifat keras. Tulang umumnya memiliki matriks berupa hialin yang homogen dan jernih. Matriks yang berserabut lebih banyak mengandung kolagen yaitu semacam zat perekat tulang, dimana didalam tulang, kolagen memberikan elastisitas dan juga berkontribusi dalam resistensi fraktur (Wikipedia, 2007). Pemanfaatan kulit, tulang dan gelembung renang ikan secara komersial dapat sebagai bahan baku industri gelatin, dimana selama ini hanya merupakan limbah. Pemanfaatan tersebut dapat menambah penghasilan secara ekonomi dan memberi keuntungan bagi pengelolaan limbah industri perikanan karena bahan tersebut dihasilkan dalam jumlah yang banyak (Choi dan Regenstein, 2000). Menurut Surono (1994) bahwa tulang dan kulit ikan sangat potensial untuk digunakan sebagai bahan baku pembuatan gelatin, karena tulang dan kulit mencakup 10 – 20% dari total bobot tubuh ikan.
7
C. Kolagen Kolagen adalah protein berbentuk serabut (fibril) yang mempunyai fungsi fisiologis yang unik. Kolagen merupakan komponen struktural utama dari jaringan pengikat putih (white connective tissue) yang meliputi hampir 30% dari total protein pada jaringan organ tubuh vertebrata dan invertebrata (Poppe, 1992). Kolagen merupakan salah satu protein terpanjang dengan jumlah paling banyak pada tubuh vertebrata. Kolagen merupakan bahan baku utama yang banyak terdapat pada kulit, urat, pembuluh darah tulang dan tulang rawan. Serat kolagen terdiri dari tiga rantai polipeptida yang saling berhubungan, masing-masing tersusun dalam jenis khusus heliks berputar. Kolagen merupakan protein yang mengandung 35% glisin dan sekitar 11% alanin serta kandungan prolin yang cukup tinggi (Lehninger, 1990). Fibril kolagen terdiri dari sub-unit polipeptida berulang yang disebut tropokolagen yang disusun dalam untaian paralel dari kepala sampai ekor. Tropokolagen terdiri atas tiga rantai polipeptida yang berpilin erat menjadi tiga untai tambang. Tiap rantai polipeptida dalam tropokolagen juga merupakan suatu heliks (Lehninger, 1990). Susunan molekul kolagen dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Susunan Molekul Kolagen (Lehninger, 1990)
8
Kolagen merupakan bahan baku gelatin yang banyak terdapat pada kulit, urat, tulang rawan, dan tulang pada hewan. Kolagen adalah serabut protein yang mempunyai fungsi biologis yang unik. Kolagen tersusun oleh unit struktural tropokolagen yang berbentuk batang dengan panjang 3000Å dengan diameter 15Å, yang mengandung tiga unit polipeptida yang saling berpilin membentuk struktur triple helix (Wong, 1989). Protein (kolagen) dapat mengalami kerusakan oleh pengaruh panas, reaksi kimia dengan asam atau basa, goncangan dan sebab-sebab lainnya. Selain itu protein juga dapat mengalami degradasi, yaitu pemecahan molekul kompleks menjadi molekul sederhana oleh pengaruh asam, basa atau enzim (Winarno, 2002). Perlakuan basa atau alkali dapat menyebabkan kolagen mengembang dan menyebar. Salah satu alkali yang dapat digunakan sebagai pelarut kolagen adalah NaOH (Christianto, 2001). Selain pelarut alkali, kolagen juga larut dalam pelarut asam seperti HCl (Artadana, 2001). Konversi kolagen yang bersifat tidak larut air menjadi gelatin yang larut air merupakan transformasi esensial dalam pembuatan gelatin. Kolagen harus diberi perlakuan awal untuk mengubahnya menjadi bentuk yang sesuai sehingga dapat diekstraksi. Ekstraksi ini dapat menyebabkan pemutusan ikatan hidrogen diantara ketiga rantai bebas, dua rantai saling berikatan dan satu rantai bebas, dan tiga rantai yang masih berikatan (Poppe, 1992). Serat kolagen akan mengembang dengan baik tetapi tidak larut bila direndam dalam larutan alkali atau larutan garam netral dan nonelektrolit. Kolagen akan terputus jika terkena asam kuat atau basa kuat dan akan mengalami transformasi dari bentuk untaian larut dan tidak tercerna menjadi gelatin yang larut air (Lehninger, 1990). Kolagen yang terdapat pada kulit dan tulang ikan mempunyai kemampuan untuk membentuk gel setelah dipanaskan. Kemampuan pembentukan gel tergantung pada karakteristik spesies ikan dan kolagen dari kulit ikan mempunyai kemampuan yang lebih tinggi dibandingkan kolagen dari tulang ikan. Kandungan NaCl yang rendah berpengaruh nyata terhadap kekuatan gel kolagen dari kulit ikan tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap kemampuan gel kolagen dari tulang (Montero dan Borderias, 1991).
9
Pada ikan terdapat tiga tipe protein, yaitu myofibril (65-75%), sarkoplasma (20-30%), dan stromata (1-3%). Protein stromata merupakan jaringan ikat yang terdiri dari komponen kolagen dan elastin (Suzuki, 1981). Kolagen murni sangat sensitif terhadap reaksi enzim dan kimia. Di samping pelarutnya, kolagen ikan mempunyai kandungan asam amino yang lebih rendah dibandingkan dengan kolagen mamalia sehingga suhu denaturasi proteinnya menjadi rendah (Ward dan Courts, 1977). Menurut De Man (1997) proses pengubahan kolagen menjadi gelatin melibatkan tiga perubahan, sebagai berikut: 1. Pemutusan sejumlah terbatas ikatan peptida untuk memperpendek rantai. 2. Pemutusan atau pengacauan sejumlah ikatan samping antar rantai. 3. Perubahan konfigurasi rantai. Perubahan konfigurasi rantai merupakan satu-satunya perubahan penting untuk pengubahan kolagen menjadi gelatin. Kondisi yang digunakan selama proses produksi gelatin menentukan sifat-sifatnya. Pada produksi normal, kulit atau tulang mula-mula diekstraksi dahulu pada kondisi nisbi lunak, dilanjutkan dengan ekstraksi berturut-turut pada kondisi lebih berat. Ekstraksi pertama menghasilkan gelatin dengan mutu baik, sedangkan ekstraksi selanjutnya menghasilkan gelatin dengan mutu tidak sebaik ekstraksi pertama.
D. Gelatin Gelatin merupakan salah satu produk turunan protein yang diperoleh dari hasil hidrolisis kolagen hewan yang terkandung dalam tulang dan kulit, dan merupakan senyawa yang tidak pernah terjadi secara alamiah. Gelatin mempunyai titik leleh 35oC, di bawah suhu tubuh manusia. Titik leleh inilah yang membuat produk gelatin mempunyai karakteristik yang unik bila dibandingkan dengan bahan pembentuk gel lainnya seperti pati, alginat, pektin, agar-agar dan karaginan yang merupakan senyawa karbohidrat (Gomez dan Montero, 2001). Secara fisik dan kimia, gelatin berwarna kuning cerah atau transparan, berbentuk serpihan atau tepung, berbau dan berasa, larut dalam air panas, gliserol dan asam asetat serta pelarut organik lainnya. Gelatin dapat mengembang dan menyerap air 5-10 kali bobot asalnya (Raharja, 2004).
10
Gelatin dapat diperoleh dengan cara denaturasi panas dari kolagen (Geltech, 2007). Pemanasan kolagen secara bertahap akan menyebabkan struktur rusak dan rantai-rantai akan terpisah. Berat molekul, bentuk dan konformasi larutan kolagen sensitif terhadap perubahan suhu yang dapat menghancurkan makro molekulnya (Wong, 1989). Gelatin merupakan molekul besar dan kompleks yang mempunyai nilai rata-rata bobot molekul berkisar 15.000 – 25.000. Komposisi kimia gelatin terdiri dari 50.5% karbon, 6.8% hidrogen, 17% nitrogen dan 25.5% oksigen. Untuk sampel yang lebih murni kandungan nitrogennya berkisar antara 18.2% sampai 18.4%. Gelatin yang diperoleh dari proses alkali lebih kaya hidroksiprolin dan rendah tirosin dibandingkan dengan gelatin yang diperoleh melalui proses asam (Smith, 1992). Senyawa gelatin merupakan suatu polimer linier asam-asam amino. Pada umumnya rantai polimer tersebut merupakan perulangan dari asam amino glisin-prolin-prolin atau glisin-prolin-hidroksiprolin. Dalam gelatin tidak terdapat asam amino triptofan, sehingga gelatin tidak dapat digolongkan sebagai protein yang lengkap (Gelatin Food Science, 2007). Gelatin tersusun atas 18 asam amino yang saling terikat dan dihubungkan dengan ikatan peptida membentuk rantai polimer yang panjang (Eastoe dan Leach, 1977). Secara lengkap komposisi asam amino gelatin disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Komposisi Asam Amino Gelatin Asam Amino
Jumlah (%)
Asam Amino
Jumlah (%)
Alanin
11,0
Lisin
4,5
Arginin
8,8
Metionin
0,9
Asam aspartat
6,7
Prolin
16,4
Asam glutamat
11,4
Serin
4,2
Genilalanin
2,2
Sistin
0,07
Glisin
27,5
Theorin
2,2
Histidin
0,78
Tirosin
0,3
Hidroksiprolin
14,1
Valin
2,6
Leusin dan iso Leusin
5,1
Phenilalanin
1,9
Sumber: Eastoe dan Leach (1977)
11
Penurunan
komposisi
asam
amino
tergantung
pada
metode
pembuatannya. Pembuatan dengan proses alkali umumnya lebih banyak mengandung hidroksiprolin dan lebih sedikit tirosin dibandingkan dengan proses asam (Ward dan Courts, 1977). Struktur kimia gelatin dapat dilihat pada Gambar 3. CHOH
CH2 CH2
CH2
N
CH
CH2 CO-NH CO
NH
CH2
CO CH-CO-NH CO R
Glisin
NH
Prolin
CH2
CH2
N
CH
CH-CO
CO
R Glisin
Hidroksiprolin
Gambar 3. Struktur Kimia Gelatin (Poppe, 1992) Berdasarkan proses pembuatannya terdapat dua jenis gelatin yaitu Tipe A dan Tipe B. Gelatin Tipe A diproduksi melalui proses asam sedangkan Tipe B diproduksi melalui proses basa. Pada proses pembuatan gelatin Tipe A melalui proses asam, bahan baku diberi perlakuan perendaman dalam larutan asam organik seperti asam klorida, asam sulfat, asam sulfit atau asam fosfat, sedangkan proses produksi gelatin Tipe B melalui proses basa, perlakuan yang diberikan adalah perendaman dalam air kapur, proses ini sering dikenal sebagai proses alkali (Utama, 1997). Gelatin Tipe A biasanya berasal dari kulit babi, sedangkan gelatin Tipe B terutama berasal dari kulit dan tulang ruminansia (Imeson, 1992). Menurut Wiyono (2001), gelatin ikan dikategorikan sebagai gelatin tipe A. Sifat gelatin berdasarkan tipenya disajikan pada Tabel 4.
12
Tabel 4. Sifat Gelatin Berdasarkan Jenisnya Sifat
Tipe A
Tipe B
Kekuatan gel (bloom)
50,0 – 300,0
50,0 – 300,0
Viskositas (cP)
1,50 – 7,50
2,00 – 7,50
Kadar abu (%)
0,30 – 2,00
0,50 – 2,00
pH
3,80 – 6,00
5,00 – 7,10
Titik Isoelektrik
7,00 – 9,00
4,70 – 5,40
Sumber: GMIA (2007) Gelatin tipe A dihasilkan dari proses asam, yang umumnya dihasilkan dari kulit babi, dimana molekul kolagennya muda, sedangkan gelatin tipe B dihasilkan dari proses asam dan basa, yang umumnya diperoleh dari tulang dan kulit sapi, dimana molekul kolagen helix ulir tiga (triple helix) lebih tua, ikatan silangnya lebih padat dan kompleks. Pada umumnya proses asam digunakan untuk bahan baku yang relatif lunak, sedangkan proses alkali diterapkan pada bahan baku yang relatif keras (GMAP, 2007). Asam mampu mengubah serat kolagen triple helix menjadi rantai tunggal, sedangkan larutan perendaman basa hanya mampu menghasilkan rantai ganda. Hal ini menyebabkan pada waktu yang sama jumlah kolagen yang dihidrolisis oleh larutan asam lebih banyak daripada larutan basa. Karena itu perendaman dalam larutan basa membutuhkan waktu yang lebih lama untuk menghidrolisis kolagen (Ward and Court, 1977). Gelatin larut dalam air, asam asetat dan pelarut alkohol seperti gliserol, propilen glykol, sorbitol dan manitol, tetapi tidak larut dalam alkohol, aseton, karbon tetra klorida, benzene, petroleum eter dan pelarut organik lainnya. Pada kondisi tertentu juga larut dalam campuran aseton-air dan alkohol-air (Viro, 1992). Gelatin memiliki sifat dapat berubah secara reversible dari bentuk sol ke gel, atau sebaliknya, juga dapat membengkak atau mengembang dalam air dingin. Sifat-sifat yang dimiliki gelatin lebih disukai dibandingkan bahanbahan semisal dengannya seperti gum xantan, karagenan, dan pektin (Utama, 1997).
13
Salah satu sifat fisik gelatin yang menentukan mutu gelatin adalah kemampuannya untuk membentuk gel yang disebut kekuatan gel. Kekuatan gel dipengaruhi oleh pH, adanya komponen elektrolit dan non elektrolit serta bahan tambahan lainnya. Sifat fisik lainnya adalah titik pembuatan gel, warna, kapasitas emulsi dan stabilitas emulsi (Glicksman, 1969). Ditambahkan oleh Poppe (1992) sifat fisik penting lainnya adalah viskositas. Viskositas terutama dipengaruhi oleh interaksi hidrodinamik antar molekul gelatin, selain dipengaruhi suhu, pH dan konsentrasi. Standar mutu gelatin untuk industri dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Standar Mutu Gelatin Menurut SNI No. 06-3735 Tahun1995 dan British Standard: 757 Tahun 1975 Karakteristik
SNI No. 06-3735a
British Standard 757b
Warna
Tidak berwarna sampai kekuningan
Kuning pucat
Bau, rasa
Normal
-
Kadar abu
Maksimum 16%
-
Kadar air
Maksimum 3,25%
-
Kekuatan gel
-
50-300 bloom
Viskositas
-
15-70 mps atau 1,5-7 cP
pH
-
4,5-6,5
Logam berat
Maksimum 50 mg/kg
-
Arsen
Maksimum 2 mg/kg
-
Tembaga
Maksimum 30 mg/kg
-
Seng
Maksimum 100 mg/kg
-
Sulfit
Maksimum 1000 mg/kg
-
Sumber: a) Dewan Standarisasi Nasional (SNI 06.3735-1995)(1995) b) British Standard: 757 (1975) Kegunaan gelatin terutama adalah untuk mengubah cairan menjadi padatan yang elastis, atau mengubah bentuk sol menjadi gel. Reaksi pembentukan gel oleh gelatin bersifat reversible karena bila dipanaskan akan terbentuk sol dan sewaktu didinginkan akan terbentuk gel lagi. Keadaan ini
14
pula yang membedakannya dengan gel dari pektin, alginat dan pati yang bentuk gelnya “irreversible” (Parker, 1982). Gelatin mempunyai banyak fungsi dan sangat aplikatif di berbagai industri. Penggunaan gelatin dalam pengolahan pangan lebih disebabkan oleh sifat fisik dan kimia yang khas daripada nilai gizinya sebagai sumber protein (Gelatin Food Science, 2007). Standar mutu gelatin pangan dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Standar Gelatin Pangan Parameter Kekuatan Gel (Bloom) ≥ Viskositas (cP) ≥ Kecerahan (mm) ≥ pH Bahan yang tidak larut dalam air (%) ≤ Kadar abu (%) ≤ Sulfit (%) ≤ Kadar air (%) ≤ Arsen (ppm) ≤ Logam berat (ppm) ≤ TPC ≤ Coliform (koloni/100gr) ≤ Salmonella E. coli Sumber: Norland Product (2003)
Grade A 220 4.5 300 5.5-7 0.2 1.0 0.004 14 0.0001 0.005 1000 30 Negatif Negatif
Grade B 180 3.5 150 5.5-7 0.2 2.0 0.01 14 0.0001 0.005 5000 30 Negatif Negatif
Grade C 100 2.5 50 5.5-7 0.2 2.0 0.015 14 0.0001 0.005 10000 150 Negatif Negatif
Dalam industri pangan gelatin dapat berfungsi sebagai pembentuk gel, pemantap emulsi, pengental, pengikat air, pelapis, dan pengemulsi. Gelatin sebagai pelindung koloid dapat berguna dalam industri fotografi dan pelapisan logam dalam industri electroplating (Wiyono, 2001). Dalam penggunaan gelatin pada berbagai jenis industri, terdapat beberapa faktor yang berpengaruh terhadap fungsi gelatin, yang harus diperhatikan yaitu konsentrasi, bobot molekul, suhu, pH dan penambahan senyawa lain (Meyer, 1982). Dalam air gelatin dapat membentuk larutan kental, karena sifat ini gelatin dapat digunakan sebagai bahan perekat dalam pembuatan tablet. Selain itu gelatin juga berfungsi mempertahankan kandungan zat pada tablet menjadi lebih awet, membantu penguraian obat
15
setelah ditelan dan dapat mempercepat pelepasan zat-zat obat yang aktif sehingga dapat segera diserap tubuh (Utama, 1997). Standar mutu gelatin untuk industri farmasi disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Spesifikasi Gelatin Farmasi Parameter
Kelas Khusus
Kelas 1
Kelas 2
Kelas 3
Kadar air (%)
14.0
14.0
14.0
14.0
Kekuatan gel (Bloom.g)
240
200
160
140
Viskositas (cP)
20
20
20
20
Kadar abu (%)
1.0
1.0
2.0
2.0
5.5-7.0
5.5-7.0
5.5-7.0
5.5-7.0
Arsen (Ppm)
0.8
0.8
0.8
0.8
Logam Berat (Ppm)
50
50
50
50
Mikrobiologi (Per gr)
1000
1000
1000
1000
E. coli (Per 100g)
Neg
Neg
Neg
Neg
Salmonella
Neg
Neg
Neg
Neg
pH
Sumber: Norland Product (2003)
E. Proses Pembuatan Gelatin Pada prinsipnya proses pembuatan gelatin dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu proses asam dan proses basa. Perbedaan kedua proses ini terletak pada proses perendamannya. Berdasarkan kekuatan ikatan kovalen silang dan jenis bahan yang diekstrak, maka penerapan jenis asam maupun basa organik dan metode ekstraksi lainnya seperti lama hidrolisa, pH dan suhu akan berbeda-beda (Pelu, 1998). Penggunaan asam lebih menguntungkan untuk produksi gelatin bila dilihat dari segi waktu perendaman yang lebih singkat dan biaya lebih murah. Hal ini diakibatkan karena pada perendaman asam yang singkat sudah dapat melakukan pemutusan ikatan dan struktur koil kolagen dengan lebih baik sehingga jumlah kolagen yang terekstrak hampir mendekati jumlah kolagen untuk proses basa pada perendaman tulang selama delapan minggu (Astawan, 2002).
16
Proses produksi utama gelatin dapat dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu persiapan bahan baku, konversi kolagen menjadi gelatin dan yang terakhir perolehan gelatin dalam bentuk kering. Persiapan dilakukan dengan pencucian pada tulang ikan. Tulang dibersihkan dari sisa-sisa daging dan kotoran lain yang mengandung deposit-deposit lemak yang tinggi. Untuk memudahkan pembersihan maka sebelumnya dilakukan pemanasan pada air mendidih selama 1-2 menit. Proses penghilangan lemak dari jaringan tulang disebut degreasing, dilakukan pada suhu antara titik cair lemak dan suhu koagulasi albumin tulang yaitu antara 320C – 800C sehingga dihasilkan kelarutan lemak yang optimum. Konversi kolagen menjadi gelatin biasanya didasarkan pada pengaturan suhu ekstraksi, yaitu untuk mencegah kerusakan protein pada suhu tinggi. Kisaran suhu yang digunakan antara 500C dan 1000C atau lebih rendah, pada selang pH dapat bervariasi untuk tiap metode (Hinterwaldner, 1977). Pada proses pembuatan gelatin berbahan baku tulang dan kulit, terdapat proses yeng penting dilakukan pada bahan sebelum diproses menjadi gelatin, yaitu proses liming dan degreasing. Proses degreasing bertujuan untuk menghilangkan lemak-lemak yang masih terdapat dalam jaringan kulit dan tulang dengan proses pemasakan. Penghilangan lemak pada kulit dan tulang yang paling efektif dilakukan pada suhu antara titik cair lemak dan suhu koagulasi protein, yaitu sekitar 28 – 320C. Liming bertujuan untuk melarutkan komponen non-kolagen dan untuk melunakkan kulit dan tulang dengan perendaman larutan basa, selain itu bertujuan pula untuk merusak atau memutuskan akatan kimia tertentu yang masih ada dalam kolagen dan untuk menghilangkan atau mengurangi material lain yang tidak diinginkan, seperti protein lain dan karbohidrat. Selama proses liming, lemak dikonversi menjadi sabun-sabun basa terlarut (LP POM-MUI, 2001). Menurut Hinterwaldner (1977), kalsium dalam tulang terutama dalam kalsium fosfat dalam larutan HCl terurai menjadi Ca2+ dan asam fosfat, reaksinya adalah sebagai berikut: Ca2(PO4) + 6 HCl
3 CaCl2 + 2 H3PO4
Tahap pengembangan kulit (swelling) adalah tahap yang bertujuan untuk menghilangkan kotoran-kotoran dan mengkonversi kolagen menjadi
17
gelatin (Surono, 1994). Pada tahap ini perendaman dapat dilakukan dengan larutan asam organik seperti asam asetat, sitrat, fumarat, askorbat, malat, suksinat, tartarat, dan asam lainnya yang aman dan tidak menusuk hidung. Sedangkan asam anorganik yang biasa digunakan adalah asam hidroklorat, fosfat, klorida, dan sulfat (Grossman dan Bergman, 1991). Metode pengkonversian kolagen menjadi gelatin adalah dengan denaturasi kolagen. Proses denaturasi terjadi dengan pemanasan kolagen pada suhu 400C atau lebih dengan penambahan senyawa pemecah ikatan hidrogen pada suhu kamar atau lebih rendah, berupa pemecahan struktur koil kolagen menjadi satu, dua atau tiga rantai polipeptida secara acak (Gomez dan Montero, 2001). Konversi kolagen menjadi gelatin terjadi dalam tiga tahap, yaitu hidrolisis
lateral,
hidrolisis
ikatan
polipeptida
terutama
glisin,
dan
penghancuran struktur kolagen (Ward dan Courts, 1977). Menurut Hadiwiyoto (1983) produksi gelatin meliputi tahap-tahap pengecilan ukuran bahan baku, perendaman,
pencucian,
pemanasan,
pemekatan,
pendinginan,
dan
pengeringan. Pengecilan ukuran disini menurutnya diperlukan untuk lebih memperluas permukaan bahan sehingga proses dapat berlangsung lebih cepat dan sempurna. Ekstraksi adalah proses denaturasi untuk mengubah kolagen menjadi gelatin dengan penambahan senyawa pemecah ikatan hidrogen pada suhu kamar atau suhu yang lebih rendah. Ekstraksi juga dapat dilakukan dengan menggunakan air panas, dimana pada proses ini terjadi denaturasi, peningkatan hidrolisis dan kelarutan gelatin. Waktu yang diperlukan untuk ekstraksi adalah 4-8 jam dengan suhu antara 55-1000C. Setelah diperoleh ekstrak bersih, dilakukan pengeringan untuk mengurangi kadar air sebanyak 85-90%. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan evaporator vakum dengan suhu 43-450C dan dilanjutkan dengan menggunakan freeze dryer atau oven pada suhu antara 30-600C (Viro, 1992). Larutan gelatin yang diperoleh selanjutnya mengalami proses pendinginan
untuk
memadatkan
larutan
gelatin.
Selanjutnya
adalah
pengeringan gelatin pekat yang telah padat dengan sinar matahari atau
18
menggunakan mesin pengering yang bersuhu 32– 600C, sampai diperoleh gelatin kering. Diagram alir proses pembuatan gelatin dari tulang dan kulit dengan cara asam dan cara basa dapat dilihat pada Gambar 4.
Tulang / Kulit Ikan
Pencucian dan Pembersihan Perendaman dalam Larutan Asam
Perendaman dalam Larutan Basa
Pencucian
Pencucian
Ekstraksi
Ekstraksi
Penyaringan
Penyaringan
Larutan Gelatin
Larutan Gelatin
Pengeringan
Pengeringan
Gelatin Kering Tipe A
Gelatin Kering Tipe B
Gambar 4. Diagram alir Proses Pembuatan Gelatin Dengan Cara Asam (Tipe A) dan Cara Basa (Tipe B) (Fahrul, 2005)
19
F. Analisis Karakteristik Gelatin 1. Kadar Air Kadar air merupakan persentase air yang terikat oleh suatu bahan terhadap bobot kering ovennya. Penentuan kadar air dilakukan untuk mengetahui banyaknya air yang terikat oleh komponen padatan bahan tersebut. Kandungan air dalam suatu bahan dapat menentukan penampakan, tekstur dan kemampuan bertahan bahan tersebut terhadap serangan mikroorganisme yang dinyatakan dalam aw, yaitu jumlah air bebas yang dapat
dimanfaatkan
oleh
mikroorganisme
untuk
pertumbuhannya
(Sudarmadji, 1995). 2. Kadar Abu Kadar abu menunjukkan jumlah bahan anorganik yang terdapat dalam bahan organik. Abu menunjukkan jumlah bahan anorganik yang tersisa selama proses pembakaran tinggi (suhu sekitar 6000C) selama dua jam. Jumlah abu dipengaruhi oleh jumlah ion-ion anorganik yang terdapat dalam bahan selama proses berlangsung (Rahayuningsih, 2004). 3. Kadar Lemak Analisis kadar lemak bertujuan untuk mengetahui kemungkinan daya simpan produk, karena lemak berpengaruh pada perubahan mutu selama penyimpanan. Lemak berhubungan dengan mutu dimana kerusakan lemak dapat menurunkan nilai gizi serta menyebabkan penyimpangan rasa dan bau (Winarno, 2002). 4. Kadar Protein Menurut Sudarmadji (1995) kadar protein yang dianalisa dengan cara Kjeldahl disebut sebagai kadar protein kasar dengan menentukan jumlah nitrogen yang dikandung oleh suatu bahan. Dasar perhitungan penentuan protein menurut Kjeldahl menyatakan bahwa umumnya protein alamiah mengandung unsur N rata-rata 16% (dalam protein murni). Faktor perkalian yang telah diketahui adalah 5,5 untuk gelatin (kolagen terlarut). Kadar protein dilakukan melalui tiga tahapan, yaitu destruksi, destilasi dan titrasi.
20
Destruksi merupakan proses pemanasan gelatin dengan asam sulfat pekat ditambah katalis yang berguna untuk mempercepat reaksi. Senyawa karbon dan hidrogen yang terdapat dalam rantai polipeptida teroksidasi menjadi CO, CO2 dan H2O, sedangkan senyawa nitrogennya akan berubah menjadi (NH4)2SO4. Destilasi merupakan proses dimana (NH4)2SO4 dipecah menjadi ammonia (NH3) dengan penambahan NaOH 33% dan dipanaskan. Ammonia yang dibebaskan selanjutnya ditangkap oleh H3BO3 0.02 N dan dengan penambahan indikator mengsel, larutan yang diperoleh berwarna keunguan. Larutan tersebut dititrasi dengan H2SO4 0.02 N dimana NaOH bereaksi dengan H3BO3 bebas (tidak berikatan dengan ammonium). Titrasi dihentikan ketika indikator berwarna kehijauan. 5. Derajat Keasaman Pengukuran pH dilakukan untuk menentukan kondisi dan jenis muatan yang terdapat pada gelatin. Gelatin merupakan rantai polipeptida yang terdiri atas berbagai macam asam amino. Asam amino mempunyai sifat zwitterion atau dipolar karena dalam struktur kimianya mempunyai gugus fungsi negatif (COO-) dan gugus fungsi positif (NH3+). Asam amino juga bersifat amfoter, yaitu dapat bersifat asam, netral atau basa sesuai dengan kondisi lingkungannya (Winarno, 2002). 6. Kekuatan Gel Kekuatan gel gelatin didefinisikan sebagai besarnya kekuatan yang diperlukan oleh probe untuk menekan gel setinggi empat mm sampai gel pecah. Satuan untuk menunjukkan kekuatan gel yang dihasilkan dari suatu konsentrasi tertentu disebut derajat bloom (Hermanianto, 2000). Salah satu sifat fisik yang penting pada gelatin adalah kekuatan untuk membentuk gel yang disebut sebagai kekuatan gel. Kekuatan gel dipengaruhi oleh pH, adanya komponen elektrolit dan non-elektrolit serta bahan tambahan lainnya (Glicksman, 1969). Pembentukan gel (gelasi) merupakan suatu fenomena penggabungan atau pengikatan silang rantai-rantai polimer membentuk jalinan tiga dimensi yang kontinyu, sehingga dapat menangkap air di dalamnya menjadi suatu
21
struktur yang kompak dan kaku yang tahan terhadap aliran di bawah tekanan. Pada waktu sol dari gelatin mendingin, konsistensinya menjadi lebih kental, dan selanjutnya akan berbentuk gel. Mekanisme yang tepat tentang pembentukan gel dari sol gelatin masih belum diketahui. Molekulmolekul secara individu bergabung dalam lebih dari satu bentuk kristalin membentuk jalinan tiga dimensi yang menjerat cairan dan berikatan silang secara kuat sehingga menyebabkan terbentuknya gel (Fardiaz, 1989). Menurut Wijaya (1998) kekuatan gel dari gelatin komersial bervariasi antara 50 – 300 gr bloom. Berdasarkan kekuatan gelnya gelatin dibagi menjadi tiga kategori di bawah ini: i. Gelatin dengan Bloom tinggi (250 – 300 gr bloom) ii. Gelatin dengan Bloom sedang (150 – 250 gr bloom) iii. Gelatin dengan Bloom rendah (50 – 150 gr bloom). 7. Viskositas Viskositas adalah daya aliran molekul dalam suatu larutan baik dalam air, cairan organik sederhana dan suspensi serta emulsi encer (De Man, 1997). Viskositas merupakan sifat fisik gelatin yang sangat penting setelah kekuatan gel, karena viskositas mempengaruhi sifat fisik gelatin yang lainnya seperti titik leleh, titik jendal dan stabilitas emulsi. Viskositas gelatin berpengaruh terhadap sifat gel terutama titik pembentukan gel dan titik leleh, dimana viskositas gelatin yang tinggi menghasilkan laju pelelehan dan pembentukan gel yang lebih tinggi dibandingkan gelatin yang viskositasnya rendah. Untuk stabilitas emulsi gelatin diperlukan viskositas yang tinggi (Leiner, 2006). Viskositas dipengaruhi antara lain oleh interaksi hidrodinamik antar molekul gelatin, suhu, pH, dan konsentrasi (Poppe, 1992). 8. Titik Jendal dan Titik Leleh Titik jendal adalah suhu dimana larutan gelatin dalam konsentrasi tertentu mulai membentuk gel. Titik leleh merupakan kebalikan dari titik jendal yaitu suhu dimana larutan gelatin mulai mencair (Baker, 1994).
22
9. Titik Isoelektrik Titik isoelektrik protein (pI) adalah pH dimana protein memiliki jumlah muatan ion positif dan ion negatif yang sama. Pada titik isoelektriknya, kelarutan protein rendah sehingga terjadi penggumpalan atau pengendapan protein. Dengan demikian titik isoelektrik gelatin penting diketahui karena akan berpengaruh pada penggunaannya dalam berbagai produk, terutama kaitannya dengan tingkat kelarutan gelatin (Baker, 1994). 10. Derajat Putih Derajat putih merupakan gambaran secara umum dari warna gelatin. Umumnya derajat putih gelatin diharapkan mendekati 100%, karena gelatin yang bermutu tinggi biasanya tidak berwarna (bening) sehingga aplikasinya lebih luas (Budavari, 1996). Derajat putih gelatin dipengaruhi oleh bahan baku, metode pembuatan dan ekstraksi (Poppe, 1992). 11. Komposisi Asam Amino Gelatin mengandung 19 jenis asam amino yang dihubungkan dengan ikatan peptida membentuk rantai polimer yang panjang. Komposisi asam amino dalam gelatin sangat bervariasi tergantung pada sumber kolagen tersebut, spesies hewan penghasil dan jenis kolagen (Ward dan Courts, 1977). 12. Logam Berat Logam berat merupakan jenis logam seperti merkuri, krom, cadmium, arsen, dan timbal dengan berat molekul yang tinggi. Logam berat terakumulasi di dalam tubuh makhluk hidup yang mengakibatkan kadarnya lebih besar daripada kadarnya dalam lingkungan dan akan meningkat seiring dengan meningkatnya posisi organisme pada rantai makanan. Analisis logam berat sangat penting bagi produk seperti gelatin, antara lain untuk menentukan apakah gelatin tersebut aman digunakan atau dikonsumsi terutama dalam produk farmasi (obat-obatan) dan produk pangan (De Man, 1997).
23
13. Kandungan Mikrobiologi Uji kuantitatif mikrobiologi penting dilakukan untuk mengetahui mutu bahan pangan. Apabila suatu bahan tercemar oleh mikroba yang berasal dari kotoran manusia atau hewan maka bahan tersebut positif mengandung bakteri E.coli. Adanya E.coli dalam suatu bahan merupakan indikator kontaminasi kotoran, sedangkan Salmonella sp merupakan bakteri pathogen yang berbahaya. Salmonella sp dapat menyebabkan gangguan perut, demam tifus dan paratifus (Fardiaz, 1989).
24
III. METODA PENELITIAN
A. Bahan dan Alat Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah tulang ikan tuna yang merupakan sisa proses pengolahan fillet ikan tuna di Muara Baru, Jakarta. Bahan kimia yang digunakan adalah asam klorida, natrium oksida, resin ion exchange, dan akuades. Alat-alat yang digunakan untuk penelitian dan analisa adalah pisau, ember, kompor gas, panci perebus, talenan, timbangan, neraca analitik Chyo JP-160, sikat, water bath, gelas beaker, sendok, oven, refrigrator (kulkas), blender, TA-XT plus Textur analyzer, thermometer digital Hanna, pH-meter Accument 900-Fisher Scientific, High performance liquid chromatography (HPLC) Water Associates, peralatan mikro Kjheldahl, peralatan soxhlet, kasha mesh size 250, sentryfuse, standart bloom jars, brookfield syncro-lectric viscometer, Absorbsi Atom Spektrofotometer (AAS), Kett digital whiteness powder C-100, Quebec Colony Counter,dan lain-lain.
B. Metode Penelitian 1. Penelitian Tahap I Terhadap tulang ikan tuna yang merupakan bahan baku pembuatan gelatin terlebih dahulu dilakukan analisa komposisi kimia. Analisa yang dilakukan meliputi kadar air (AOAC, 1995), kadar abu (AOAC, 1995), kadar protein (AOAC, 1995), dan kadar lemak (Apriyantono, 1989). Proses pembuatan gelatin tulang ikan tuna dengan metode asam yang digunakan meliputi persiapan bahan baku, pencucian, degreasing, pencucian dan pembersihan, pemotongan, perendaman dengan larutan basa, pencucian, perendaman dengan larutan asam, pencucian, ekstraksi, filtrasi, pengeringan, dan penggilingan. Bahan baku berupa tulang ikan tuna yang telah dipersiapkan terlebih dahulu dicuci sampai bersih dari sisa-sisa kotoran dan darah yang masih menempel pada tulang.
Degreasing dilakukan untuk menghilangkan lemak yang terdapat pada tulang. Proses degreasing tersebut dilakukan dengan merebus tulang ikan tuna selama 25-30 menit pada suhu 700C. Proses selanjutnya adalah pemotongan tulang ikan tuna yang telah mengalami degreasing sebesar 2-4 cm. Selanjutnya perlakuan pertama dilanjutkan dengan perendaman asam dan perlakuan kedua dan ketiga dilakukan perendaman basa terlebih dahulu yaitu dengan NaOH 0,4% dan 0,8% selama tiga hari untuk menghilangkan lemak yang masih penempel dan protein non-kolagen yang terdapat pada tulang ikan tuna. Tulang kemudian dicuci dengan air mengalir sampai pH netral (6-7). Proses demineralisasi adalah proses perendaman dalam larutan asam untuk melanjutkan pembengkakkan tulang. Tujuannya adalah untuk menceraikan serabut-serabut kolagen menjadi serat-serat atau fibril-fibril, sehingga tulang menjadi lebih mudah untuk diekstraksi. Proses perendaman dalam larutan asam klorida dengan konsentrasi 5% dilakukan selama dua hari (sampai menjadi ossein), setiap hari larutan asam klorida diganti dengan yang baru. Perbandingan tulang dengan larutan asam klorida adalah 1:6. Tulang ikan tuna yang telah menjadi ossein dicuci dengan air mengalir hingga pH netral. Langkah selanjutnya adalah ekstraksi gelatin selama ± enam jam dengan suhu 60-650C. Filtrat yang diperoleh dari proses ekstraksi disaring dengan menggunakan saringan 200 – 250 mesh. Larutan gelatin yang diperoleh kemudian dilakukan ion exchange untuk menghilangkan ion Na+ dan Cl- yang banyak digunakan pada proses sebelumnya. Larutan gelatin yang dihasilkan kemudian dikeringkan dengan oven pada suhu 40 -500C selama ± dua hari. Gelatin yang telah kering kemudian digiling sehingga diperoleh gelatin kering dalam bentuk butiran-butiran halus (bubuk). Diagram alir proses pembuatan gelatin disajikan pada Gambar 5.
26
Tulang Ikan Tuna Pencucian
Degreasing Perebusan Tulang pada suhu 700C, 25-30 menit Pengecilan Ukuran Dipotong-potong sebesar 2-4 cm
Perlakuan I. Tidak dilakukan perendaman NaOH
Perlakuan II: Perendaman NaOH 0,4% selama tiga hari
Perlakuan III. Perendaman NaOH 0,8% selama tiga hari
Dicuci sampai pH netral (6-7) Perendaman Asam HCl 5% sampai menjadi ossein
Ossein Dicuci sampai pH netral (6-7) Ekstraksi Pemasakan ossein pada suhu 60-650C, ± enam jam Filtrasi Saringan 200-250 mesh Ion Exchange Pengeringan Oven 40-500C, ±dua hari Penghalusan
Gelatin Kering Bubuk
Gambar 5. Diagram Alir Proses Pembuatan Gelatin dari Tulang Ikan Tuna (modifikasi dari Poppe, 1992)
27
2. Penelitian Tahap II Penelitian tahap kedua ini bertujuan mengkaji karakteristik gelatin tulang ikan Tuna yang dihasilkan dengan perlakuan terbaik meliputi sifat fisik, sifat kimia dan kandungan mikrobiologi. Pada tahap ini dilakukan pembuatan gelatin dengan teknik ekstraksi terbaik yang diperoleh dari penelitian tahap pertama dengan tiga kali ulangan. Gelatin yang dihasilkan kemudian dibandingkan dengan gelatin standar laboratorium (terbuat dari ikan cod) dan gelatin komersial (terbuat dari tulang sapi). Pengamatan dilakukan terhadap parameter yang menjadi indikator mutu gelatin yang meliputi rendemen, kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, pH, kekuatan gel, viskositas, titik leleh, titik jendal, titik isoelektrik, komposisi asam amino, derajat putih, logam berat, dan uji mikrobiologi yang meliputi Total Plate Count (TPC), Escherichia coli dan Salmonella. Untuk penelitian tahap kedua, data hasil pengamatan dibandingkan secara deskriptif.
C. Rancangan Percobaan Pada penelitian tahap pertama yaitu pembuatan gelatin dari tulang ikan Tuna menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan tiga perlakuan yaitu perlakuan pertama tanpa perendaman NaOH, perlakuan kedua dan ketiga dilakukan perendaman dengan larutan NaOH 0,4% dan 0,8%. Metode rancangan yang digunakan untuk penelitian tahap pertama adalah sebagai berikut : Yi = μ + Ai + Σi (Steel dan Torrie, 1993) Keterangan : Yi = Nilai hasil pengamatan μ = Rataan umum Ai = Pengaruh perlakuan ke-i (i = 1, 2, 3) Σi = faktor galat
28
Data yang diperoleh, jika berupa data parametrik maka dianalisis menggunakan analisis keragaman dan jika berbeda nyata maka dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan (Gaspersz, 1994). Semua data pada penelitian ini diolah menggunakan program SPSS 12.0
D. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret sampai dengan bulan Juni 2007. Tempat penelitian adalah di Balai Besar Riset Pengolahan Produk Dan Bioteknologi Kelautan Dan Perikanan, Jalan K.S. Tubun Petamburan VI, Slipi, Jakarta dan Balai Pasca Panen Hasil Pertanian, Jalan Tentara Pelajar 12A, Cimanggu, Bogor.
29
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Penelitian Tahap I Pada penelitian tahap pertama dilakukan persiapan bahan baku yang digunakan untuk pembuatan gelatin, analisis komposisi kimia tulang ikan tuna, serta pencarian metode ekstraksi yang tepat untuk menghasilkan gelatin tulang ikan tuna yang dilihat dari rendemen, kekuatan gel, viskositas, dan derajat keasaman (pH). Bahan baku yang digunakan adalah limbah tulang ikan tuna yang berasal dari produksi fillet ikan tuna di daerah Muara Baru, Jakarta. Bahan baku gelatin tulang ikan tuna (Thunnus albacares) dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Tulang Ikan Tuna (Thunnus albacares) Persiapan bahan baku meliputi pemisahan tulang dari daging yang menempel dengan cara direbus pada suhu 700C selama 25 – 30 menit, dilanjutkan dengan pembersihan tulang dari sisa-sisa daging dan lemak yang menempel, setelah itu tulang ikan dipotong-potong 2 – 4 cm. Untuk analisis komposisi kimia, tulang ikan tuna yang telah dipotong-potong kemudian dihancurkan sampai homogen. Hasil analisis komposisi kimia tulang ikan tuna yang sudah dibersihkan disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8. Hasil Analisis Komposisi Kimia Tulang Ikan Tuna Parameter
Kandungan (%)
Kadar Air
28,57
Kadar Abu
28,97
Kadar Protein
23,64
Kadar Lemak
15,49
Tulang ikan yang digunakan untuk pembuatan gelatin harus dalam keadaan masih segar. Kesegaran bahan baku mempengaruhi kualitas ossein dan gelatin yang dihasilkan. Menurut Hinterwaldner (1977) semakin segar bahan baku maka kualitas gelatin akan semakin tinggi. Kadar air yang dikandung oleh tulang tuna adalah 28,57%, menandakan bahwa tulang tuna yang akan digunakan untuk pembuatan gelatin umumnya masih dalam keadaan masih segar. Kadar abu menunjukkan jumlah bahan anorganik yang terdapat dalam bahan organik. Abu menunjukkan jumlah bahan anorganik yang tersisa selama proses pembakaran tinggi (± 6000C) selama dua jam. Jumlah abu dipengaruhi oleh jumlah ion-ion anorganik yang terdapat dalam bahan selama proses berlangsung (Rahayuningsih, 2004). Kadar abu dalam tulang ikan tuna adalah 28,90%. Kandungan protein yang terdapat dalam tulang ikan tuna adalah 23,64%, sehingga tulang ikan tuna dapat digunakan dalam pembuatan gelatin. De Man (1997), menyatakan bahwa kolagen menyusun hampir sepertiga total massa protein pada vertebrata, yang terdapat pada jaringan ikat dalam otot, kulit, tulang, tulang rawan, gigi dan tendon. Kadar lemak yang terkandung pada tulang ikan tuna yaitu sebesar 15,49% akan berpengaruh pada proses ekstraksi gelatin. Kadar lemak yang terdapat pada tulang ikan tuna dapat membuat gelatin yang dihasilkan akan berwarna coklat kehitaman. Untuk itu proses degreasing sangat penting diperhatikan.
31
Pembuatan gelatin dari tulang ikan tuna dilakukan dengan proses asam dan akan menghasilkan gelatin tipe A. Menurut Wiyono (2001) pertimbangan dilakukannya proses asam karena senyawa asam dapat memutuskan ikatan hidrogen struktur koil kolagen lebih baik dalam waktu yang relatif singkat. Menurut Utama (1997) penggunaan asam dalam proses pembuatan gelatin mempunyai kelebihan yaitu mampu mengubah serat kolagen triple heliks menjadi rantai tunggal dalam waktu singkat, sedangkan larutan basa hanya mampu menghasilkan rantai ganda. Hal ini menyebabkan pada waktu yang sama jumlah kolagen yang dihidrolisis oleh larutan asam lebih banyak daripada larutan basa. Proses awal dari pembuatan gelatin adalah degreasing. Degreasing adalah proses penghilangan daging, kotoran dan lemak yang masih menempel pada tulang. Pada penelitian ini degreasing dilakukan dengan cara merebus tulang ikan tuna pada suhu 700C selama 25 – 30 menit. Suhu tersebut sesuai dengan titik kelarutan lemak dan titik koagulasi albumin tulang yang berkisar antara 32 – 800C, jika suhu yang digunakan lebih dari itu maka akan merusak dan mengurangi banyaknya kolagen yang akan dihasilkan. Menurut Hinterwaldner (1977) degreasing yang dilakukan selama 30 menit merupakan waktu yang optimum untuk mengurangi jumlah lemak dalam ossein dan menghasilkan kolagen yang berkualitas baik. Tulang ikan tuna yang telah mengalami proses degreasing dilanjutkan dengan proses pembersihan, pencucian dengan air mengalir dan pemotongan tulang menjadi 2 – 4 cm. Pencucian tulang yang baik akan menghasilkan kadar lemak yang kecil, sehingga akan mempermudah proses selanjutnya. Menurut Nurilmala (2004) pemotongan tulang bertujuan untuk memperluas permukaan tulang sehingga pada proses selanjutnya yaitu demineralisasi dan ekstraksi, reaksi berlangsung lebih cepat dan sempurna. Tulang yang telah dipotong-potong kemudian dilakukan proses demineralisasi untuk perlakuan pertama atau perendaman dalam larutan NaOH selama ± tiga hari terlebih dahulu untuk perlakuan kedua dan ketiga. Menurut Nagai dan Suzuki (1999) perendaman kulit dan tulang ikan dalam NaOH 0,1 N bertujuan untuk menghilangkan protein non-kolagen dan
32
menghilangkan lemak yang masih terkandung dalam tulang. Konsentrasi larutan larutan NaOH yang digunakan adalah 0,4% dan 0,8%. Demineralisasi yaitu proses menghilangkan kalsium dan garam di dalam tulang, sehingga dihasilkan tulang lunak yang disebut ossein dimana terdapat kolagen didalamnya. Ossein adalah tulang lunak yang mengandung kolagen, mukopolisakarida dan sejenis kecil protein lainnya (Hinterwaldner, 1977). Proses demineralisasi dilakukan dengan merendam tulang dalam larutan asam klorida 5% selama dua hari (sampai menjadi ossein) dan larutan asam klorida diganti setiap harinya. Penggantian asam klorida ini dimaksudkan untuk mempercepat proses demineralisasi dan mengurangi kadar lemak yang terlarut dalam larutan gelatin. Menurut Utama (1997) jenis asam yang digunakan berpengaruh terhadap jumlah gelatin yang dihasilkan dan sifat-sifatnya. Asam klorida merupakan jenis asam yang paling tepat digunakan dalam proses ekstraksi, walaupun rendemen yang diperoleh lebih rendah dibanding dengan asam sulfat, tetapi harga asam klorida lebih murah, residu abunya lebih rendah (karena bobot molekulnya lebih rendah) dan asam klorida bersifat kurang korosif jika dibandingkan asam sulfat. Pada tahap demineralisasi, tulang diselimuti larutan asam klorida sehingga terjadi reaksi antara kalsium fosfat pada tulang dengan asam klorida menghasilkan garam kalsium yang larut sehingga tulang menjadi lunak. Menurut Hinterwaldner (1977), kalsium dalam tulang terutama dalam kalsium fosfat dalam larutan HCl terurai menjadi Ca2+ dan asam fosfat, reaksinya adalah sebagai berikut: Ca3(PO4)2 + 6HCl
3CaCl2 + 2H3PO4
Tulang yang telah menjadi ossein selanjutnya dicuci dengan air mengalir yang bertujuan untuk menetralkan pH (6,5-7) dan mencegah terjadinya hidrolisis lanjutan. Proses pencucian tersebut sangat mempengaruhi mutu gelatin dari nilai derajat keasaman dan seberapa besar sisa-sisa lemak yang masih menempel sesudah proses demineralisasi. Tahap selanjutnya adalah konversi kolagen menjadi gelatin, dalam tahap ini ossein diekstraksi menggunakan akuades, perbandingan antara ossein dan akuades adalah 1:2, dengan menggunakan suhu 60-650C selama enam
33
jam. Suhu 60-800C merupakan suhu perubahan kolagen menjadi gelatin. Waktu ekstraksi enam jam merupakan waktu yang optimum karena jika dilanjutkan ossein akan hancur dan larut bersama akuades. Pada proses ekstraksi dilakukan pengambilan minyak yang berwarna coklat dan berbau tengik. Minyak warna coklat dan berbau tengik merupakan hasil dari auto oksidasi lemak dan reaksi maillard. Menurut De Man (1997) reaksi maillard adalah reaksi pencoklatan non-enzim pada protein yang menyebabkan penguraian beberapa asam amino tertentu, reaksi maillard ini terjadi setelah bahan baku dipanaskan saat degreasing. Pengambilan minyak tersebut perlu dilakukan karena sangat berpengaruh terhadap kualitas gelatin yang dihasilkan. Proses ekstraksi ditandai dengan mengembangnya ossein pada proses perebusan. Tahap selanjutnya adalah penyaringan dengan saringan berukuran 200 – 250 mesh. Larutan gelatin yang telah disaring kemudian dilakukan proses ion exchange dengan memakai resin kation dan resin anion. Resin yang dipakai pada penelitian ini adalah purolite. Proses ion exchange diharapkan dapat mengikat ion Cl- dan Na+ sehingga gelatin yang dihasilkan lebih murni. Larutan gelatin yang sudah di ion exchange selanjutnya dikeringkan dalam oven pada suhu 40 – 500C selama dua hari. Penggunaan suhu ini disesuaikan dengan suhu matahari pada siang hari yaitu berkisar antara 40 – 550C. Gelatin yang sudah kering dan berbentuk lembaran dihancurkan dengan menggunakan blender hingga menjadi serbuk. Gelatin tulang ikan tuna yang dihasilkan pada perlakuan pertama, kedua dan ketiga dibandingkan berdasarkan rendemen, kekuatan gel, viskositas, dan derajat keasaman. Hasil perbandingan tersebut untuk menentukan perlakuan ekstraksi yang terbaik untuk mendapatkan gelatin dari tulang ikan tuna. Gelatin tulang tuna yang dihasilkan pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 7.
34
Gambar 7. Gelatin Tulang Tuna dan Gelatin Komersial
1. Rendemen Gelatin Rendemen merupakan salah satu parameter yang penting dalam menilai efektif tidaknya proses produksi gelatin. Efisien dan efektifnya proses ekstraksi bahan baku untuk pembuatan gelatin dapat dilihat dari nilai rendemen yang dihasilkan. Semakin besar rendemen yang dihasilkan maka semakin efisien perlakuan yang diberikan. Rendemen dihitung berdasarkan perbandingan antara gelatin serbuk yang dihasilkan dengan bobot tulang ikan tuna sebagai bahan baku. Hasil rendemen gelatin tulang ikan tuna yang dibuat dalam bentuk grafik dapat dilihat pada Gambar 8.
Rendemen (%)
Rendemen 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
8.37
8.05 5.76
Tanpa Perendaman NaOH
Perendaman NaOH 0,4%
Perendaman NaOH 0,8%
Perlakuan
Gambar 8. Grafik Rendemen Gelatin Tulang Ikan Tuna
35
Dari hasil penelitian diperoleh nilai rendemen gelatin berkisar antara 5,76% sampai 8,37%. Nilai rendemen terbesar diperoleh pada perlakuan pertama yaitu tanpa perendaman NaOH terlebih dahulu sebelum perendaman asam yaitu sebesar 8,37%, sedangkan nilai rendemen terkecil dihasilkan pada perlakuan ketiga yaitu dengan perendaman NaOH 0,8% sebelum perendaman asam yaitu sebesar 5,76%. Dari hasil penelitian terlihat kecenderungan semakin kecil konsentrasi larutan NaOH yang digunakan maka nilai rendemen yang dihasilkan semakin tinggi. Hal ini diduga karena proses pencucian setelah tulang mengalami perendaman NaOH tidak sempurna, sehingga masih ada larutan NaOH yang terikat pada tulang dan tulang mengalami hidrolisis awal pada saat perendaman larutan NaOH. Larutan NaOH yang terikat pada tulang ini kemudian akan mengalami reaksi dengan HCl pada waktu perendaman asam. Reaksi antara NaOH dengan HCl mengakibatkan reaksi hidrolisis kolagen berjalan kurang sempurna. Semakin tingginya konsentrasi larutan NaOH yang digunakan cenderung mengakibatkan NaOH yang terikat dengan tulang semakin banyak dan akan mempengaruhi hidrolisis tulang menjadi ossein yang mengandung kolagen. Banyaknya NaOH yang terikat pada tulang mempengaruhi proses demineralisasi karena kondisi asam yang diperlukan tidak tercapai. Menurut Utama (1997) kondisi asam yang digunakan akan cenderung mengakibatkan menurunnya kandungan protein awal, sehingga hanya sedikit protein yang dapat dipecah menjadi asam amino. Selain itu penambahan asam klorida juga dapat merusak asam amino tertentu. Nilai rendemen yang dihasilkan juga dapat disebabkan oleh proses penirisan air pada waktu pencucian kurang sempurna yang mengakibatkan kandungan air pada tulang menjadi tinggi sehingga pada saat penimbangan bobot yang terhitung bukan bobot murni tulang. Kandungan air yang tinggi pada tulang setelah proses pencucian dapat mempengaruhi proses perendaman asam, karena sifat dari air dapat mengencerkan konsentrasi larutan asam yang digunakan sehingga proses perendaman asam menjadi kurang efektif.
36
Protein akan rusak terdenaturasi tidak hanya oleh panas, tetapi juga oleh pengaruh pH, yaitu terjadi perubahan struktur utama rantai peptida pada protein. Jika protein terdenaturasi susunan ikatan rantai polipeptida terganggu dan molekul protein terbuka menjadi struktur acak dan selanjutnya terkoagulasi, sehingga jumlah kolagen yang terekstraksi lebih rendah. Konversi kolagen menjadi gelatin dipengaruhi oleh pH, jenis bahan pelarut, suhu, dan pengkonsentrasian. Peningkatan lama pemasakan (ekstraksi) atau pemanasan dalam air akan meningkatkan kelarutan kolagen sehingga rendemen gelatin akan meningkat (Lehninger, 1997). Ward dan Courts (1977) menyatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi asam dan lama perendaman akan menyebabkan semakin banyaknya pemecahan ikatan hidrogen dan ikatan hidrofobik yang merupakan ikatan penstabil pada triple heliks menjadi komponen α, β, γ sehingga lebih mudah dan lebih banyak yang terkonversi menjadi gelatin. Namun apabila proses perendaman terlalu lama akan mengakibatkan terjadinya kelarutan kolagen sehingga rendemen menurun. Hasil rendemen gelatin tulang ikan tuna dengan perbedaan perlakuan dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Pengaruh Perlakuan Terhadap Nilai Rendemen Gelatin Tulang Ikan Tuna Perlakuan
Rendemen (%) ± Standar Deviasi
HCl 5% (1)
8,37 ± 0,34 a
NaOH 0,4%; HCl 5% (2)
8,05 ± 0,46 a
NaOH 0,8%; HCl 5% (3)
5,75 ± 0,25 b
Keterangan: Data yang diikuti huruf berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05) Berdasarkan analisis sidik ragam dapat diketahui bahwa setiap perlakuan berbeda nyata (P<0,05) atau Fhitung > Ftabel. Hal ini berarti bahwa perlakuan tanpa perendaman NaOH, dengan perendaman NaOH 0,4% dan 0,8% berpengaruh terhadap rendemen gelatin yang dihasilkan. Dari uji lanjut metode Duncan dapat diketahui bahwa pada perlakuan tanpa perendaman NaOH dengan perendaman NaOH 0,4% mempunyai hasil yang tidak berbeda nyata, sedangkan jika dibandingkan
37
dengan perendaman NaOH 0,8% hasilnya berbeda nyata. Dari persentase rendemen yang dihasilkan berarti perlakuan tanpa perendaman NaOH dan dengan perendaman NaOH adalah dua perlakuan terbaik yang terlalu tidak berbeda. Rendemen yang cukup tinggi pada perlakuan tanpa perendaman NaOH tersebut diakibatkan oleh proses hidrolisis kolagen menjadi gelatin pada perlakuan tersebut berlangsung cukup baik. Perlakuan ini merupakan yang terbaik dilihat dari rendemen yang dihasilkan. 2. Derajat Keasaman (pH) Gelatin Pengukuran nilai pH larutan gelatin penting dilakukan, karena nilai pH larutan gelatin mempengaruhi sifat-sifat gelatin lainnya seperti viskositas dan kekuatan gel. Gelatin dengan pH netral akan bersifat stabil dan penggunaannya akan menjadi lebih luas (Astawan, 2002). Nilai pH gelatin berhubungan dengan proses yang digunakan untuk membuatnya. Proses asam cenderung menghasilkan pH rendah, sedangkan proses basa akan memiliki kecenderungan menghasilkan pH yang tinggi. Gelatin dengan nilai pH netral cenderung lebih disukai, sehingga proses penetralan memiliki peran penting untuk menetralkan sisa-sisa asam maupun
sisa-sisa
basa
setelah
dilakukan
perendaman
(liming)
(Hinterwaldner, 1977). Nilai rataan pH gelatin dengan perlakuan berbeda yang diperoleh pada penelitian ini disajikan pada Gambar 9. pH 6 5
5.03
5.54
4.15
pH
4 3 2 1 0 Tanpa Perendaman NaOH
Perendaman NaOH 0,4%
Perendaman NaOH 0,8%
Perlakuan
Gambar 9. Grafik nilai pH Gelatin Tulang Ikan Tuna
38
Berdasarkan hasil pengukuran pH gelatin didapatkan bahwa pH gelatin berkisar antara 4,15 sampai dengan 5,54. Nilai ini masih memenuhi standar gelatin tipe A disyaratkan Tourtellote (1980) yaitu berkisar antara 3,8 – 6,0. Nilai pH yang paling mendekati kondisi netral (pH 7) dimiliki oleh perlakuan tulang dengan perendaman NaOH 0,8% sebelum perendaman asam yaitu sebesar 5,54 dan nilai pH yang paling menjauhi kondisi netral dimiliki oleh perlakuan tanpa perendaman NaOH yaitu sebesar 4,15. Dari grafik dapat diketahui bahwa semakin besar konsentrasi NaOH yang digunakan untuk perendaman awal sebelum perendaman HCl maka nilai pH yang dihasilkan akan mendekati pH netral. Hal ini diduga karena pada perendaman NaOH, sisa-sisa pencucian NaOH masih ada yang tertinggal di dalam tulang dan akan bereaksi dengan HCl pada proses perendaman asam sehingga nilai pH gelatin yang dihasilkan lebih tinggi daripada nilai pH gelatin tanpa perendaman NaOH. Konsentrasi asam yang semakin tinggi akan berpengaruh terhadap pH gelatin karena semakin tinggi konsentrasi HCl maka akan semakin banyak kandungan asam yang terperangkap dalam tulang sehingga pH semakin rendah. Nilai pH gelatin juga disebabkan oleh HCl yang digunakan ketika proses demineralisasi diduga masih terbawa ketika dilakukan proses ekstraksi, sehingga mempengaruhi tingkat keasaman gelatin yang dihasilkan. Nilai pH ini sangat bergantung pada proses pencucian setelah proses demineralisasi. Proses pencucian yang baik akan menyebabkan kandungan asam yang terperangkap di dalam ossein semakin sedikit, sehingga nilai pH akan semakin mendekati pH netral (Hinterwaldner, 1977). Hasil pengukuran nilai pH gelatin tulang ikan tuna dengan perbedaan perlakuan dapat dilihat pada Tabel 10.
39
Tabel 10. Pengaruh Perendaman Terhadap Nilai pH Gelatin Tulang Ikan Tuna Perlakuan
pH ± Standar Deviasi
HCl 5% (1)
4,16 ± 0,20 a
NaOH 0,4%; HCl 5% (2)
5,03 ± 0,08 b
NaOH 0,8%; HCl 5% (3)
5,54 ± 0,27 c
Keterangan: Data yang diikuti huruf berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05) Berdasarkan analisis sidik ragam dapat diketahui bahwa setiap perlakuan adalah berbeda nyata (P<0,05) atau Fhitung > Ftabel. Hal ini berarti bahwa perlakuan tanpa perendaman NaOH, dengan perendaman NaOH 0,4% dan 0,8% sebelum perendaman dengan HCl berpengaruh terhadap pH gelatin yang dihasilkan. Dari uji lanjut metode Duncan dapat diketahui bahwa perlakuan tanpa perendaman NaOH, perlakuan perendaman NaOH 0,4% dan perendaman NaOH 0,8% mempunyai hasil yang berbeda nyata, sehingga masing-masing perlakuan ini akan menghasilkan nilai pH yang berbeda. Dari nilai pH yang dihasilkan, perlakuan dengan perendaman NaOH 0,8% merupakan perlakuan terbaik untuk menghasilkan gelatin dari tulang ikan tuna karena paling mendekati kondisi pH netral.Nilai pH pada gelatin tulang ikan tuna masih tergolong asam, hal ini disebabkan selain pembuatan menggunakan asam kuat (HCl) juga disebabkan oleh kurang optimalnya proses pencucian ossein, sehingga HCl yang digunakan ketika proses demineralisasi diduga masih terbawa ketika dilakukan proses ekstraksi. Nilai pH dari perlakuan terbaik yaitu dengan perlakuan perendaman NaOH 0,8% yaitu sebesar 5,54 telah memenuhi standar gelatin tipe A yaitu 3,80 – 6,00 (GMIA, 2007). Gelatin yang dihasilkan pada perlakuan dengan perendaman NaOH 0,8% dapat digunakan untuk pangan dan farmasi karena memenuhi standar gelatin pangan dan farmasi yang dikeluarkan oleh Norland (2003) yaitu sebesar 5,5 – 7,0.
40
3. Viskositas Gelatin Viskositas merupakan salah satu sifat fisik gelatin
yang cukup
penting. Viskositas adalah daya aliran molekul dalam suatu larutan. Pengujian viskositas dilakukan untuk mengetahui tingkat kekentalan gelatin sebagai larutan pada konsentrasi dan suhu tertentu. Viskositas gelatin biasanya diukur pada suhu 600C dengan konsentrasi 6,67% (b/b) (Leiner, 2006). Viskositas larutan gelatin terutama tergantung pada tingkat hidrodinamik antara molekul-molekul gelatin itu sendiri. Disamping itu juga, viskositas tergantung pada temperatur (di atas 400C viskositas menurun secara eksponensial dengan naiknya suhu), pH (viskositas terendah pada titik isoelektrik) dan konsentrasi dari larutan gelatin (Ward dan Courts, 1977). Nilai rataan viskositas gelatin yang diperoleh pada penelitian ini berkisar antara 3,23 cP sampai dengan 5,57 cP. Hasil dari pengukuran viskositas gelatin tulang ikan tuna dengan perbedaan perlakuan dapat dilihat pada Gambar 10.
Viskositas
Viskositas (cP)
6
5.57
5.33
Perendaman NaOH 0,4%
Perendaman NaOH 0,8%
5 4
3.23
3 2 1 0 Tanpa Perendaman NaOH
Perlakuan
Gambar 10. Grafik Viskositas Gelatin Tulang Ikan Tuna
41
Nilai viskositas yang dihasilkan berkisar antara 3,23 cP – 5,57 cP telah memenuhi persyaratan yang dikemukakan Tourtellote (1980) yaitu 2,0 cP – 7,5 cP. Nilai viskositas tertinggi terdapat pada perlakuan kedua yaitu perlakuan dengan perendaman NaOH 0,4% selama tiga hari dan dilanjutkan dengan perendaman HCl 5% selama dua hari dengan nilai sebesar 5,57 cP. Nilai viskositas terendah terdapat pada perlakuan pertama yaitu perlakuan tanpa perendaman NaOH terlebih dahulu dengan nilai sebesar 3,23 cP. Dari grafik di atas dapat terlihat bahwa perendaman tulang dengan larutan NaOH akan mengakibatkan nilai viskositas larutan gelatin yang dihasilkan semakin tinggi sampai konsentrasi larutan NaOH tertentu, kemudian akan turun kembali nilai viskositas gelatin tersebut. Hal ini diduga karena dengan perendaman tulang dalam larutan NaOH terlebih dahulu sebelum perendaman tulang dalam larutan asam akan menyebabkan pemotongan rantai-rantai asam amino semakin sedikit sehingga dihasilkan rantai yang lebih panjang yang berakibat tingginya nilai viskositas. Viskositas berhubungan dengan bobot molekul rata-rata gelatin dan distribusi molekul, sedangkan bobot molekul gelatin berhubungan langsung dengan panjang rantai asam aminonya. Berarti semakin panjang rantai asam amino maka nilai viskositas akan semakin tinggi. Konsentrasi larutan asam yang berbeda berpengaruh terhadap bobot molekul yang dihasilkan (Ward dan Courts, 1977). Gudmunsson dan Hafsteinsson (1997) menyatakan bahwa adanya perbedaan viskositas gelatin, bisa jadi merupakan hasil dari adanya perbedaan rata-rata bobot molekul dan distribusi molekulernya. Bobot molekul yang lebih tinggi akan meningkatkan viskositas. Menurut Glicksman (1969), residu mineral yang tertinggal dalam gelatin dapat mempengaruhi karakteristik gelatin tersebut. Aldehyde yang mempertahankan ikatan silang (cross-ling) dalam molekul gelatin akan membentuk polyaldehyde dengan residu mineral tersebut, sehingga menurunkan kelarutan dalam air dan meningkatkan viskositasnya. Viskositas juga dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain konsenterasi, suhu, tingkat dispersi dan teknik perlakuan. Viskositas larutan gelatin akan meningkat dengan peningkatan konsenterasi gelatin dan penurunan suhu.
42
Hasil pengukuran viskositas gelatin tulang ikan tuna dengan perbedaan perlakuan dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Pengaruh Perendaman Terhadap Nilai Viskositas Gelatin Tulang Ikan Tuna Perlakuan
Viskositas (cP) ± Standar Deviasi
Tanpa Perendaman NaOH
3,23 ± 0,25 a
Perendaman NaOH 0,4%
5,56 ± 0,40 b
Perendaman NaOH 0,8%
5,33 ± 0,28 b
Keterangan: Data yang diikuti huruf berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05) Berdasarkan analisis sidik ragam dapat diketahui bahwa perbedaan setiap perlakuan adalah berbeda nyata (P<0,05) atau Fhitung > Ftabel. Hal ini berarti bahwa perlakuan tanpa perendaman NaOH, dengan perendaman NaOH 0,4% dan 0,8% sebelum perendaman dengan HCl berpengaruh terhadap viskositas gelatin yang dihasilkan. Dari uji lanjut metode Duncan dapat diketahui bahwa pada perlakuan perendaman NaOH 0,4% dengan perendaman NaOH 0,8% mempunyai hasil yang tidak berbeda nyata, sedangkan jika dibandingkan dengan perlakuan tanpa perendaman NaOH hasilnya berbeda nyata. Dari tingginya nilai viskositas yang dihasilkan berarti perlakuan dengan perendaman NaOH 0,4% dan 0,8% merupakan dua perlakuan terbaik untuk menghasilkan gelatin dari tulang ikan tuna dan kedua perlakuan ini tidak terlalu berbeda. Viskositas
dari
perlakuan
terbaik
yaitu
dengan
perlakuan
perendaman NaOH 0,4% dan 0,8% yaitu sebesar 5,57 cP dan 5,33 cP telah memenuhi standar gelatin tipe A yaitu 1,50 cP – 7,50 cP (GMIA, 2007). Nilai viskositas yang tinggi diperlukan untuk pembentukan gel pada larutan gelatin.
43
4. Kekuatan Gel Gelatin Gelatin merupakan hidrokoloid yang terkait fungsinya untuk meningkatkan kekentalan dan membentuk gel dalam berbagai produk pangan. Gelatin sangat efektif dalam membentuk gel. Satu bagian gelatin dapat mengikat 99 bagian air untuk membentuk gel. Efektifitas gelatin sebagai pembentuk gel berasal dari susunan asam aminonya yang unik (Fardiaz, 1989). Kekuatan gel sangat penting dalam penentuan perlakuan yang terbaik dalam proses ekstraksi gelatin, karena salah satu sifat penting gelatin adalah mampu mengubah cairan menjadi padatan atau mengubah bentuk sol menjadi gel yang bersifat reversible. Kemampuan inilah yang menyebabkan gelatin sangat luas penggunaannya, baik dalam bidang pangan, farmasi, maupun bidang-bidang lainnya. Kekuatan gel adalah salah satu dari tekstur suatu bahan dan merupakan gaya untuk menghasilkan deformasi tertentu. Kekuatan gel gelatin didefinisikan sebagai besarnya kekuatan yang diperlukan oleh probe untuk menekan gel sedalam empat mm sampai gel pecah. Satuan untuk menunjukkan kekuatan suatu gel yang dihasilkan dari suatu konsentrasi tertentu disebut bloom (Lachman, 1994). Hasil pengukuran kekuatan gel gelatin pada perlakuan yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 11.
Kekuatan Gel (gr bloom)
Kekuatan Gel 160 140 120 100 80 60 40 20 0
151.8
140.5
104.6
Tanpa Perendaman NaOH
Perendaman NaOH 0,4%
Perendaman NaOH 0,8%
Perlakuan
Gambar 11. Grafik Kekuatan Gel Gelatin Tulang Ikan Tuna
44
Kekuatan gel yang dihasilkan pada penelitian pembuatan gelatin dari tulang ikan tuna berkisar antara 104,6 gr bloom sampai 151,8 gr bloom. Nilai ini masih memenuhi nilai yang disyaratkan Tourtellote (1980) yaitu berkisar antara 75 – 300 gr bloom. Kekuatan gel tertinggi dimiliki oleh perlakuan tulang dengan perendaman NaOH 0,4% sebelum perendaman asam yaitu sebesar 151,8 gr bloom dan nilai kekuatan gel terendah dimiliki oleh perlakuan tanpa perendaman NaOH yaitu sebesar 104,6 gr bloom. Dari grafik di atas dapat terlihat bahwa perendaman tulang dengan larutan NaOH mengakibatkan nilai kekuatan gel gelatin yang dihasilkan semakin tinggi sampai konsentrasi larutan NaOH tertentu, kemudian akan turun kembali nilai kekuatan gel gelatin tersebut. Hal ini diduga karena dengan perendaman tulang dalam larutan NaOH terlebih dahulu sebelum perendaman tulang dalam larutan asam akan menyebabkan pemotongan rantai-rantai asam amino semakin sedikit dan dapat mencegah terjadinya hidrolisis lanjutan pada kolagen yang sudah terkonversi menjadi gelatin sehingga dihasilkan rantai asam amino yang lebih panjang yang berakibat tingginya nilai kekuatan gel. Menurut Ward dan Courts (1977) kekuatan gel tergantung dari panjang rantai asam aminonya. Jika kondisi kolagennya telah terhidrolisa secara sempurna, maka kekuatan gel dapat meningkat. Hal ini terjadi karena kolagen yang telah terhidrolisa dapat menghasilkan rantai polipeptida yang panjang. Gel gelatin dapat stabil dengan adanya tekanan dari luar ikatan kovalen yaitu ikatan hidrogen, karena ikatan kovalen mempercepat gel mencair. Menurut Glicksman (1969) kekuatan gel dipengaruhi oleh asam, alkali dan panas yang akan merusak struktur gelatin sehingga gel tidak terbentuk. Pembentukan dan kekuatan gel yang dihasilkan tergantung pada kandungan rantai α dan distribusi bobot molekul. Penurunan kekuatan gel seiring dengan peningkatan bobot molekul gelatin. Gelatin dengan molekul yang lebih besar mempunyai rantai yang dihubungkan dengan ikatan kovalen. Ikatan kovalen antar rantai mengurangi jumlah ikatan hidrogen (ikatan non-kovalen) sehingga jaringan ikat antar molekul lemah. Hasil
45
pengukuran kekuatan gel gelatin tulang ikan tuna dengan perbedaan perlakuan dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Pengaruh Perendaman Terhadap Nilai Kekuatan Gel Gelatin Tulang Ikan Tuna Perlakuan
Kekuatan Gel (gr bloom) ± Standar Deviasi
HCl 5% (1)
104,63 ± 5,38 a
NaOH 0,4%; HCl 5% (2)
151,53 ± 3,44 b
NaOH 0,8%; HCl 5% (3)
140,53 ± 8,44 b
Keterangan: Data yang diikuti huruf berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05) Berdasarkan analisis sidik ragam dapat diketahui bahwa setiap perlakuan adalah berbeda nyata (P<0,05) atau Fhitung > Ftabel. Hal ini berarti bahwa perlakuan tanpa perendaman NaOH, dengan perendaman NaOH 0,4% dan 0,8% sebelum perendaman dengan HCl berpengaruh terhadap kekuatan gel gelatin yang dihasilkan. Dari uji lanjut metode Duncan dapat diketahui bahwa pada perlakuan perendaman NaOH 0,4% dengan perendaman NaOH 0,8% mempunyai hasil yang tidak berbeda nyata, sedangkan jika dibandingkan dengan perlakuan tanpa perendaman NaOH hasilnya berbeda nyata. Dari tingginya nilai kekuatan gel yang dihasilkan berarti perlakuan dengan perendaman NaOH 0,4% dan 0,8% merupakan dua perlakuan terbaik untuk menghasilkan gelatin dari tulang ikan tuna dan kedua perlakuan tersebut tidak terlalu berbeda. Kekuatan gel yang cukup tinggi pada perlakuan dengan perendaman NaOH 0,4% dan 0,8% ini diakibatkan oleh proses hidrolisis kolagen menjadi gelatin pada perlakuan tersebut berlangsung cukup baik. Perlakuan ini merupakan yang terbaik dilihat dari kekuatan gel yang dihasilkan. Kekuatan gel dari perlakuan terbaik yaitu dengan perlakuan perendaman NaOH 0,4% dan 0,8% yaitu sebesar 151,8 gr bloom dan 140,5 gr bloom telah memenuhi standar gelatin tipe A (GMIA, 2007) yaitu 50,0 gr bloom – 300,0 gr bloom.
46
Jika ditinjau dari nilai kekuatan gel gelatin yaitu sebesar 151,8 gr bloom, gelatin hasil penelitian ini memenuhi standar pangan yang dikeluarkan oleh Norland product yaitu 100 – 220 gr bloom, selain itu gelatin terbaik hasil penelitian ini dapat diaplikasikan pada produk pangan berbahan dasar daging karena mempunyai kekuatan gel lebih dari 150 gr bloom (Weishardt, 2005). Berdasarkan
hasil
penelitian
terlihat
adanya
kecenderungan
hubungan antara nilai pH, viskositas dan kekuatan gel. Apabila nilai pH tinggi maka viskositas dan kekuatan gel pun tinggi. Hal ini diduga karena pH tinggi tidak menyebabkan hidrolisis lanjutan dan kerusakan pada gelatin sehingga viskositas dan kekuatan gel tinggi juga. Berdasarkan kriteria gelatin yang telah disyaratkan pada standar gelatin komersial, maka diambil perlakuan terbaik yaitu perendaman dalam NaOH 0,4% dan dilanjutkan dengan perendaman HCl 5%, karena perlakuan tersebut menghasilkan kekuatan gel,viskositas dan pH yang tinggi. Pada penelitian selanjutnya dilakukan pengujian lebih lanjut pada gelatin yang diperoleh dari perlakuan terbaik yaitu perendaman dalam NaOH 0,4% dan dilanjutkan dengan perendaman HCl 5% yang selanjutnya dibandingkan dengan gelatin komersial dan gelatin standar laboratorium.
C. Penelitian Tahap II Berdasarkan hasil penelitian tahap pertama, dimana hasil dari perlakuan terbaik untuk memperoleh gelatin dari tulang ikan tuna adalah perlakuan dengan perendaman NaOH 0,4% dan dilanjutkan dengan perendaman HCl 5%. Gelatin yang dihasilkan dari perlakuan ini kemudian diuji lebih lanjut yang meliputi: analisis komposisi kimia gelatin, kekuatan gel, viskositas, nilai pH, titik gel, titik leleh, titik isoelektrik protein, derajat putih, logam berat, analisis komposisi asam amino dan pengujian mikrobilogi yang dibandingkan dengan gelatin komersial dan gelatin standar laboratorium. Hasil pengukuran terhadap sifat fisika kimia, uji logam berat dan uji mikrobiologi gelatin tulang ikan tuna, gelatin komersial dan gelatin standar laboratorium disajikan pada Tabel 13.
47
Tabel 13. Hasil Pengukuran Mutu Gelatin Tulang Ikan Tuna, Gelatin Komersial dan Gelatin Standar Laboratorium. Parameter
Gelatin Tulang
Gelatin
Gelatin Standar
Ikan Tuna
Komersial
Laboratorium*)
pH
5,01
5,90
5,00
Viskositas (cP)
5,57
5,90
7,00
151,80
178,90
-
Titik Gel ( C)
9,00
16,20
1,20
Titik Leleh (0C)
25,30
29,70
16,30
Titik Isoelektrik Protein
7,67
7,00
8,00
Derajat Putih (%)
33,70
38,20
35,89
Kadar Air (%)
6,08
11,66
11,45
Kadar Abu (%)
1,02
1,66
0,52
Kadar Protein (%)
88,53
85,99
87,26
Kadar Lemak (%)
1,02
0,23
0,25
Pb
0,55
Ttd
Ttd
Hg
Ttd
Ttd
Ttd
Total Plate Count (TPC)
4,5 x 104
5,7 x 103
4 x 103
E.coli
Negatif
Negatif
Negatif
Salmonella
Negatif
Negatif
Negatif
Kekuatan Gel (gr bloom) 0
*) Fahrul (2004).
1. Analisa Komposisi Kimia Gelatin Gelatin merupakan suatu bahan tambahan makanan, berupa protein murni, yang diperoleh dari penguraian kolagen dengan menggunakan panas. Berdasarkan hasil analisis komposisi kimia gelatin tulang ikan tuna dan gelatin komersial dapat dilihat bahwa protein merupakan kandungan yang tertinggi di dalam gelatin. Hasil analisis komposisi kimia pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 14.
48
Tabel 14. Hasil Analisis Komposisi Kimia Gelatin Parameter
Gelatin Tulang
Gelatin
Gelatin Standar
Ikan Tuna
Komersial
Laboratorium*)
Kadar Air (%)
6,08
11,66
11,45
Kadar Abu (%)
1,02
1,66
0,52
Kadar Protein (%)
88,53
85,99
87,26
Kadar Lemak (%)
1,02
0,23
0,25
*) Fahrul (2004). Hasil pengukuran komposisi kimia akan dibahas lebih lanjut sebagai berikut: a. Kadar Air Kadar air adalah kandungan air bahan yang dapat dinyatakan berdasarkan bobot basah dan bobot kering. Kadar air merupakan parameter penting dari suatu produk pangan, karena kandungan air dalam makanan ikut menentukan acceptability, kesegaran, penampakan, tekstur, citarasa, dan mutu bahan pangan serta daya tahan bahan (Winarno, 2002). Air merupakan kandungan penting dalam suatu bahan pangan. Air dapat berupa komponen intrasel atau ekstrasel dari suatu produk. Peranan air dalam bahan pangan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi aktivitas metabolisme seperti aktivitas enzim, aktivitas mikroba, dan aktivitas kimiawi, yaitu terjadinya ketengikan dan reaksi-reaksi nonenzimatis, sehingga menimbulkan perubahan sifat-sifat organoleptik dan nilai gizinya (De Man, 1997). Berdasarkan hasil pengukuran kadar air dapat diketahui bahwa kadar air gelatin tulang ikan tuna adalah 6,08%, kandungan air tersebut lebih rendah jika dibandingkan dengan gelatin komersial yang sebesar 11,66% dan juga lebih rendah dari gelatin standar laboratorium yang kadar airnya sebesar 11,45%. Rendahnya kadar air gelatin tulang ikan tuna diduga karena pengaruh pengeringan yang terlalu lama dan tidak merata serta alat pengering yang masih menggunakan oven. Pengeringan gelatin komersial biasanya menggunakan freeze dryer, sehingga pada proses pengeringan gelatin tulang ikan tuna banyak air yang menguap.
49
Kadar air gelatin tulang ikan tuna yang dihasilkan masih memenuhi standar SNI (1995) yaitu maksimum 16% dan Norland Product (2003) yaitu maksimum 14%. Kadar air yang rendah akan mempengaruhi mutu gelatin terutama pada ketengikan gelatin dan warna yang kurang cerah. b. Kadar Abu Nilai kadar abu suatu bahan pangan menunjukkan besarnya jumlah mineral yang terkandung dalam bahan pangan tersebut (Apriyantono, 1989). Abu adalah zat anorganik yang tidak ikut terbakar dalam proses pembakaran zat organik. Zat tersebut adalah kalsium, kalium, natrium, besi, magnesium dan mangan (Desrosier, 1988). Hasil penelitian kadar abu gelatin tulang ikan tuna adalah 1,02%, kandungan abu tersebut lebih rendah jika dibandingkan dengan gelatin komersial yang bernilai 1,66% dan lebih rendah jika dibandingkan kadar abu gelatin standar laboratorium yang sebesar 0,52%. Tingginya kandungan mineral yang dimiliki gelatin komersial dibandingkan gelatin tulang ikan tuna dan gelatin standar laboratorium disebabkan karena gelatin komersial bahan bakunya dari tulang sapi, dimana kandungan mineral pada tulang sapi lebih besar daripada tulang ikan. Tingginya kadar abu pada gelatin tulang ikan tuna bila dibandingkan dengan gelatin standar laboratorium diduga akibat kurang maksimalnya proses demineralisasi,
sehingga
masih
banyak
mineral
yang
belum
terdemineralisasi dan juga dapat dikarenakan serbuk ossein masih banyak yang terbawa pada saat penyaringan. Menurut Ward dan Courts (1977) kadar abu dalam gelatin diindikasikan merupakan kalsium. Tingginya kalsium mengakibatkan warna gelatin dalam larutan menjadi keruh. Kadar abu gelatin tulang ikan tuna yang dihasilkan telah memenuhi syarat SNI (1995) yaitu maksimum 3,25% dan Norland Product (2003) yaitu maksimum 2,0%. Rendahnya kandungan kadar abu di dalam gelatin tulang ikan tuna maka gelatin tersebut dapat diaplikasikan kedalam produk pangan.
50
c. Kadar Protein Protein merupakan kandungan yang tertinggi di dalam gelatin. Gelatin sebagai salah satu jenis protein konversi yang dihasilkan melalui proses hidrolisis kolagen, pada dasarnya memiliki kadar protein yang tinggi. Gelatin merupakan suatu bahan makanan tambahan, berupa protein murni, yang diperoleh dari penguraian kolagen dengan menggunakan panas (Raharja, 2004). Kadar protein gelatin tulang ikan tuna hasil penelitian ini adalah 88,53%, kadar tersebut lebih tinggi dari gelatin komersial yang berjumlah 85,99% dan gelatin standar dengan 87,26%. Tingginya kadar protein pada gelatin tulang ikan tuna, namun tidak jauh berbeda, diduga diakibatkan oleh bahan baku yang berasal dari tulang ikan, yang diketahui bahwa akan memiliki kandungan protein yang tinggi. Protein yang terdapat di dalam tulang ikan merupakan protein bentuk serat. Kadar protein pada gelatin dipengaruhi oleh baik tidaknya kualitas ossein yang dihasilkan pada proses demineralisasi. Kesegaran bahan baku juga mempengaruhi kualitas ossein yang dihasilkan, sehingga kadar protein gelatin dipengaruhi oleh kesegaran bahan baku tulang ikan tuna. d. Kadar Lemak Kadar lamak berpengaruh terhadap perubahan mutu produk pangan selama penyimpanan. Kerusakan lemak yang utama diakibatkan oleh proses oksidasi sehingga timbaul bau busuk dan rasa tengik, yang disebut proses ketengikan. Gelatin yang bermutu tinggi diharapkan memiliki kandungan lemak yang rendah bahkan diharapkan tidak mengandung lemak. Kadar lemak yang tidak melebihi batas 5% merupakan salah satu persyaratan mutu penting gelatin. Rendahnya kadar lemak ini memungkinkan tepung gelatin dapat disimpan dalam waktu relatif lama tanpa menimbulkan bau dan rasa tengik (De Man, 1997).
51
Kadar lemak gelatin tulang ikan tuna adalah 1,02%. Nilai ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan gelatin komersial yang berjumlah 0,23% dan gelatin standar laboratorium yang kadar lemaknya sebesar 0,25%. Kadar lemak gelatin tulang ikan tuna yang cukup tinggi ini kurang memungkinkan untuk menyimpan gelatin dalam waktu relatif lama tanpa menimbulkan perubahan mutu yang berarti. Tingginya kadar lemak tersebut diduga diakibatkan oleh lemak yang terdapat di dalam bahan baku tulang ikan masih terbawa ketika proses pembuatan gelatin. Selain itu kandungan lemak yang tinggi juga disebabkan kurang optimalnya proses pencucian dan pengambilan lemak saat proses ekstraksi berlangsung Pengurangan kadar lemak dalam gelatin dapat dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya dengan penyimpanan cairan hasil ekstraksi ke dalam suhu 100C, sehingga larutan lemak menggumpal dan berada diatas, kemudian dilakukan pembuangan lemak dengan cara memotong bagian atas yang mengandung lemak. Kadar lemak pada gelatin sangat bergantung pada perlakuan selama proses pembuatan gelatin, baik pada tahap pembersihan tulang maupun proses degreasing hingga pada tahap penyaringan filtrat hasil ekstraksi, dimana setiap perlakuan yang baik akan mengurangi kandungan lemak yang ada dalam bahan baku sehingga produk yang dihasilkan memiliki kadar lemak yang rendah.
2. Analisis Sifat Fisikokimia Gelatin Sifat fungsional gelatin merupakan sifat fisikokimia yang sangat mempengaruhi perilaku gelatin dalam sistem makanan selama proses penyimpanan, penyiapan, dan pengkonsumsian (De Man, 1997). Hasil analisis sifat fisikokimia gelatin tulang ikan tuna, gelatin komersial dan gelatin standar laboratorium dapat dilihat pada Tabel 15.
52
Tabel 15. Hasil Analisis Sifat Fisikokimia Gelatin Parameter
Gelatin Tulang
Gelatin
Gelatin Standar
Ikan Tuna
Komersial
Laboratorium*)
Kekuatan Gel (gr bloom)
151,8
178,90
-
Viskositas (cP)
5,57
5,90
7,00
pH
5,01
5,90
5,00
Titik Gel (0C)
9,00
16,20
1,20
Titik Leleh (0C)
25,30
29,70
16,30
Titik Isoelektrik Protein
7,67
7,00
8,00
Derajat Putih (%)
33,7
38,2
35,89
*) Fahrul (2004). Hasil analisis sifat fisikokimia gelatin dibahas lebih lanjut di bawah ini: a. Kekuatan Gel Kekuatan gel adalah kekuatan untuk membentuk gel yang disebut sebagai kekuatan gel, karena kekuatan gel menunjukkan kemampuan gelatin dalam pembentukan gel. Oleh karena itu kekuatan gel merupakan salah satu sifat fisik yang penting pada gelatin (Glicksman, 1969). Menurut Ward dan Courts (1977) pembentukan gel terjadi karena pengembangan molekul gelatin pada waktu pemanasan. Panas akan membuka ikatan-ikatan pada molekul gelatin dan cairan yang semula bebas mengalir menjadi larutan kental. Larutan tersebut akan membentuk gel secara sempurna jika disimpan pada suhu dingin (100C) selama 17 ± 2 jam. Hasil pengukuran kekuatan gel dapat diketahui bahwa kekuatan gel gelatin tulang ikan tuna adalah 151,8 gr bloom, nilai tersebut lebih rendah dari gelatin komersial yang bernilai 178,90 gr bloom. Pada gelatin standar laboratorium tidak membentuk gel setelah disimpan pada suhu 100C selama 17 jam sehingga tidak diperoleh nilai kekuatan gel dari gelatin tersebut. Gelatin standar laboratorium tidak membentuk gel kemungkinan dikarenakan berdasarkan keterangan dari produk tersebut bahwa fungsi dari gelatin ini bukan sebagai bahan pembentuk gel (gelling
53
agent) tetapi hanya sebagai bahan pemblok (blocking agent) saja sehingga kekuatan gel tidak begitu penting untuk produk di atas. Menurut Glicksman (1969) kekuatan gel dipengaruhi oleh asam, alkali dan panas yang akan merusak struktur gelatin sehingga gel tidak terbentuk. Menurut Geltech (2000) kekuatan gelatin sangat dipengaruhi oleh konsentrasi gelatin, pH, suhu, dan waktu inkubasi. Lebih rendahnya kekuatan gel gelatin tulang ikan tuna dari gelatin komersial dikarenakan bahan baku yang berbeda dimana gelatin komersial berasal dari tulang sapi. Nilai kekuatan gel gelatin tulang ikan tuna yaitu sebesar 151,8 gr bloom, gelatin hasil penelitian ini memenuhi gelatin standar pangan dan farmasi yang dikeluarkan oleh Norland Product yaitu 140 – 240 gr bloom dan standar gelatin yang dikeluarkan oleh British Standard (1975) yaitu 50 – 300 gr bloom. b. Viskositas Gelatin Viskositas merupakan sifat fisik gelatin yang penting setelah kekuatan gel, karena viskositas mempengaruhi sifat fisik gelatin yang lainnya seperti titik leleh, titik jendal dan stabilitas emulsi. Viskositas gelatin berpengaruh terhadap sifat gel terutama titik pembentukan gel dan titik leleh. Dimana viskositas gelatin yang tinggi menghasilkan laju pelelehan dan pembentukan gel yang lebih tinggi dibandingkan gelatin yang viskositasnya rendah, dan untuk stabilitas emulsi gelatin diperlukan viskositas yang tinggi (Leiner, 2006). Dari hasil pengukuran dapat diketahui bahwa viskositas gelatin tulang ikan tuna adalah 5,57 cP. Nilai tersebut lebih rendah dari gelatin komersial yang bernilai 5,90 cP dan viskositas gelatin standar laboratorium yang nilainya 7,00 cP . Hal ini diakibatkan oleh penguraian kolagen menjadi gelatin belum optimal bila dibandingkan pada proses pembuatan gelatin komersial dan gelatin standar laboratorium sehingga rantai amino yang terbentuk tidak cukup panjang dan viskositasnya menjadi rendah (Lehninger, 1997). Nilai viskositas gelatin tulang ikan tuna adalah 5,57 cP, nilai viskositas tersebut memenuhi gelatin standar pangan (Norland Product,
54
2003) yaitu lebih besar dari 2,5 cP dan standar mutu gelatin (British Standard, 1975) yaitu 1,5 – 7 cP. Nilai viskositas gelatin tulang ikan tuna yang lebih rendah dari gelatin komersial (sapi) tidak sesuai, karena menurut Leuenberger (1991) bahwa pada dasarnya gelatin ikan dapat dibedakan dari gelatin sapi dan babi berdasarkan sifat fisiknya yaitu viskositas larutan yang tinggi, titik leleh yang rendah dan suhu pembentukan gel (titik gel) yang rendah. c. Titik Gel dan Titik Leleh Gelatin Titik gel adalah suhu dimana larutan gelatin dalam konsentrasi tertentu mulai membentuk gel. Titik leleh gelatin adalah suhu ketika gelatin yang membentuk gel mencair ketika dipanaskan perlahan-lahan (Baker, 1994). Dari hasil pengukuran titik gel dan titik leleh gelatin dapat diketahui bahwa titik gel dan titik leleh gelatin tulang ikan tuna adalah 9,000C dan 25,300C, suhu tersebut lebih rendah dari titik gel dan titik leleh gelatin komersial yaitu 16,200C dan 29,700C, tetapi lebih tinggi dari titik gel dan titik leleh gelatin standar sebesar 1,200C dan 16,300C. Hasil pengukuran tersebut juga menunjukkan bahwa suhu titik gel berbanding lurus dengan suhu titik leleh, dimana jika titik gelnya rendah maka titik lelehnya juga rendah, demikian pula sebaliknya. Rendahnya titik gel dan titik leleh gelatin tulang ikan tuna dan gelatin standar laboratorium disebabkan karena gelatin komersial bahan bakunya berasal dari tulang sapi, dimana gelatin yang diperoleh dari sapi dan babi memiliki titik jendal dan titik leleh yang lebih tinggi dibandingkan gelatin dari ikan (Poppe, 1992). Gelatin dari tulang sapi atau babi mempunyai keunggulan dibandingkan dari hewan lainnya. Rendahnya titik gel dan titik leleh gelatin tulang ikan tuna dan gelatin standar diakibatkan oleh rendahnya kandungan asam amino glisin dan hidroksiprolin di dalam gelatin, yang mengakibatkan hilangnya ikatan hidrogen dari gelatin terhadap air dalam larutan (Utama, 1997).
55
Titik gel gelatin tulang ikan tuna yang sebesar 9,000C sesuai menurut Food Chemical Codex (1996) yang menyatakan bahwa gelatin yang diekstrak dari ikan memiliki titik gel pada kisaran 5 – 100C. Berbeda dengan gelatin standar yang juga bahan bakunya ikan, titik gelnya jauh dibawah kisaran titik jendal gelatin ikan secara umum. Makanya pada pengukuran kekuatan gel gelatin standar tidak membentuk gel karena suhu inkubasinya hanya berkisar ±100C. Titik leleh gelatin tulang ikan tuna yang sebesar 25,300C, masih termasuk dalam kisaran standar suhu titik leleh gelatin secara umum. Sebagaimana menurut Food Chemical Codex (1996) bahwa produk gelatin adalah produk yang pada suhu < 350C sudah mengalami pelelehan dan dapat mencair dalam mulut. d. Titik Isoelektrik Gelatin Titik Isoelektrik protein (pI) adalah pH dimana protein memiliki jumlah muatan ion positif dan negatif yang sama (Lehninger, 1997). Pada titik
isoelektriknya,
kelarutan
protein
rendah
sehingga
terjadi
penggumpalan atau pengendapan protein. Dengan demikian titik isoelektrik gelatin penting diketahui karena akan berpengaruh pada penggunaannya dalam berbagai produk terutama kaitannya dengan tingkat kelarutan gelatin. Menurut Baker (1994) pada bahan pangan, titik isoelektrik sangat penting karena pada titik ini beberapa bahan bersifat maksimum dan minimum, sebagai contoh kelarutan protein selalu minimum pada titik isoelektriknya. Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa titik isoelektrik gelatin tulang ikan tuna adalah 7,67. Nilai tersebut lebih tinggi dari pada gelatin komersial yang bernilai 7,00 dan lebih rendah dari gelatin standar yang bernilai 8,00. Titik isoelektrik yang lebih tinggi dari pada titik isoelektrik gelatin komersial karena proses pembuatannya menggunakan metode asam, sedangkan gelatin komersial yang berasal dari tulang sapi biasanya menggunakan metode basa. Menurut Poppe (1992) titik isoelektrik protein dapat bervariasi tergantung jumlah gugus karboksil amida pada gelatin. Apabila titik isoelektrik protein tinggi (9,4), maka tidak ada modifikasi terhadap gugus amida dan apabila titik
56
isoelektriknya rendah (4,8) maka 90 – 95% protein dari gelatin merupakan gugus karboksil. Titik isoelektrik gelatin berkisar antara 4,8 – 9,4, dimana gelatin yang dihasilkan dengan proses asam mempunyai titik isoelektrik yang lebih tinggi dibanding gelatin yang dihasilkan dari proses basa. Seperti sifat protein lainnya, gelatin bersifat amfoter, sehinga gelatin dapat digunakan pada kondisi asam maupun basa. Pada larutan asam, gelatin akan berperan sebagai alkali atau bermuatan positif, sedangkan dalam larutan basa gelatin akan berperan sebagai asam atau bermuatan negatif (Lehninger, 1997). Kemampuan gelatin yang dapat bereaksi sebagai asam maupun basa ini, maka gelatin disebut sebagai protein ampoterik (Budavari, 1996). Oleh karena itu pada titik isoelektriknya protein memiliki tingkat kelarutan yang rendah, maka hendaknya dalam melarutkan gelatin tulang ikan tuna dilakukan di atas atau di bawah pH 7,67. Titik isoelektrik gelatin juga erat kaitannya dengan viskositas gelatin itu sendiri, dimana viskositas gelatin terendah diperoleh pada pH titik isoelektriknya (Poppe,1992). Oleh karena itu untuk mendapatkan viskositas larutan gelatin yang tinggi, maka larutan yang digunakan untuk melarutkan gelatin tersebut hendaknya lebih besar atau lebih rendah dari pH isoelektriknya. e. Derajat Putih Derajat putih merupakan gambaran secara umum dari warna gelatin, dimana umumnya derajat putih gelatin diharapkan mendekati derajat putih blanko sebesar 85,4%. Gelatin yang bermutu tinggi biasanya tidak berwarna (bening) sehingga aplikasinya lebih luas. Menurut Budavari (1996) salah satu sifat fisik gelatin adalah tidak berwarna atau agak berwarna kuning dan transparan. Dari hasil pengukuran ini derajat putih dapat diketahui bahwa derajat putih gelatin tulang ikan tuna adalah 33,7%, nilai ini lebih rendah dari nilai derajat putih gelatin komersial yang bernilai 38,2% dan gelatin standar yang bernilai 35,89%. Rendahnya nilai derajat putih pada gelatin
57
tulang ikan tuna disebabkan oleh kualitas bahan baku yang mengalami proses pemanasan pada saat degreasing sehingga terjadi proses pencoklatan non-enzim atau reaksi maillard yang menyebabkan terjadinya pigmen coklat atau melanoidin. Poppe (1992) menyatakan bahwa derajat putih gelatin dipengaruhi oleh bahan baku, metode pembuatan dan ekstraksi. Teknik pengeringan gelatin juga berpengaruh terhadap nilai derajat putih. Hasil penelitian Sopian (2002) menunjukkan bahwa derajat putih gelatin kulit ikan pari dengan perlakuan pengering oven lebih rendah dibandingkan pada perlakuan pengering freeze dryer. Dengan demikian dapat diduga bahwa gelatin komersial dan gelatin standar kemungkinan besar tidak menggunakan pengering oven seperti pada gelatin tulang ikan tuna.
3. Analisis Logam Berat Gelatin Logam berat merupakan jenis logam seperti merkuri, krom, cadmium, arsen, dan timbal dengan bobot molekul yang tinggi. Logam berat terakumulasi di dalam tubuh makhluk hidup yang mengakibatkan kadarnya lebih besar daripada kadarnya dalam lingkungan dan akan meningkat seiring dengan meningkatnya posisi organisme pada rantai makanan (Fahrul, 2005). Analisis logam berat sangat penting bagi produk seperti gelatin, antara lain untuk menentukan apakah gelatin tersebut aman digunakan atau dikonsumsi terutama dalam produksi farmasi (obat-obatan) dan produk pangan. Hasil analisis logam berat disajikan pada Tabel 16. Tabel 16. Hasil Analisis Logam Berat Gelatin Tulang Ikan Tuna, Gelatin Komersial dan Gelatin Standar Laboratorium Parameter
Gelatin Tulang Ikan
Gelatin
Gelatin Standar
Tuna
Komersial
Laboratorium*)
Pb
0,55
Tidak Terdeteksi
Tidak Terdeteksi
Hg
Tidak Terdeteksi
Tidak Terdeteksi
Tidak Terdeteksi
*) Fahrul (2004)
58
Timbal (Pb) merupakan kontaminan yang berbahaya bagi manusia jika melebihi batas yang ditetapkan. Adanya Pb dalam gelatin dapat diakibatkan oleh pencemaran lingkungan atau penyerapan logam dari peralatan (De Man, 1997). Dari hasil analisis Pb, dapat diketahui bahwa kandungan timbal pada gelatin tulang ikan tuna terdeteksi 0,55 ppm. Pada gelatin komersial dan gelatin standar tidak terdeteksi. Kandungan timbal pada gelatin tulang ikan tuna masih tergolong sangat kecil jika dibandingkan dengan kriteria gelatin standar SNI. Adapun syarat yang ditetapkan oleh SNI (1995) maksimum adalah 30 ppm. Merkuri (Hg) dalam gelatin perlu diketahui karena dimungkinkan adanya pencemaran merkuri dalam bahan baku sehingga terkontaminasi pada gelatin. Menurut (De Man, 1997) senyawa merkuri yang ada didalam sedimen sungai atau laut diubah menjadi metal merkuri yang sangat beracun. Berdasarkan hasil pengukuran diketahui bahwa kandungan merkuri di dalam gelatin tulang ikan tuna, gelatin komersial dan gelatin standar laboratorium tidak terdeteksi. Menurut De Man (1997) kandungan merkuri yang tidak terdeteksi pada gelatin tulang ikan tuna menunjukkan bahwa gelatin tersebut masih memenuhi syarat yang ditetapkan yaitu maksimum 0,5 ppm.
4. Komposisi Asam Amino Gelatin Analisis asam amino ini bertujuan untuk mengetahui jenis dan komposisi asam amino gelatin tulang ikan tuna yang dibandingkan dengan gelatin komersial dan gelatin standar laboratorium. Asam amino merupakan struktur yang membentuk protein. Hasil pengujian komposisi asam amino dapat dilihat pada Tabel 17.
59
Tabel 17. Komposisi Asam Amino Gelatin Tulang Ikan Tuna, Gelatin Komersial dan Gelatin Standar Laboratorium Gelatin Tulang
Gelatin
Gelatin Standar
Ikan Tuna (%)
Komersial (%)
Laboratorium (%)*)
Asam Aspartat
4,958
4,93
5,15
Asam Glutamat
8,015
9,43
9,47
Serin
1,406
2,18
1,97
Glisin
18,703
23,01
23,18
Histidin
1,183
0,03
0,02
Arginin
6,230
8,95
8,12
Theorin
2,359
2,87
2,93
Alanin
4,293
10,24
10,07
Prolin
10,65
12,34
12,54
Hidroksiprolin
8,220
8,74
8,85
Tirosin
2,144
0,15
0,11
Valin
3,755
1,60
1,25
Methionin
1,402
0,55
0,42
Sistin
0,731
0,07
1,10
Isoeleusin
2,346
1,13
1,03
Leusin
4,703
-
-
Phenilalanin
2,159
1,92
1,96
Lisin
3,541
2,86
1,53
Asam Amino
)
* Fahrul (2004) Berdasarkan hasil pengujian komposisi asam amino menunjukkan bahwa komposisi umum asam amino gelatin tulang ikan tuna umumnya lebih rendah dibandingkan gelatin komersial dan gelatin standar laboratorium, namun nilainya tidak jauh berbeda. Menurut Astawan (2004) rendahnya kandungan asam amino glisin dan hidroksiprolin pada gelatin tulang ikan dapat mengakibatkan rendahnya titik leleh gelatin. Perbedaan komposisi asam amino tersebut disebabkan karena bahan baku ketiga jenis gelatin berbeda. Wards dan Courts (1977) menyatakan bahwa gelatin mengandung 19 jenis asam amino yang dihubungkan dengan
60
ikatan peptida membentuk rantai polimer yang panjang. Komposisi asam amino dalam gelatin bervariasi tergantung pada sumber kolagen tersebut, spesies hewan penghasil dan jenis kolagen. Hasil pengujian komposisi asam amino menunjukkan bahwa ketiga jenis gelatin mengandung glisin dan prolin yang cukup tinggi dibanding asam amino lainnya, dimana asam amino tersebut merupakan asam amino penyusun gelatin. Charley (1982) menyatakan bahwa susunan asam amino gelatin hampir sama dengan kolagen, dimana glisin sebagai asam amino utama dan merupakan 2/3 dari seluruh asam amino yang menyusunnya, 1/3 asam amino yang tersisa diisi prolin dan hidroksiprolin. Pada ketiga jenis gelatin yang diuji tidak ditemukan adanya asam amino triptopan yang merupakan asam amino esensial, dan hal inilah yang menyebabkan gelatin dikatakan sebagai protein yang kandungan gizinya tidak lengkap. Triptopan merupakan salah satu asam amino esensial yang dibutuhkan oleh tubuh (Glicksman, 1969). Oleh karena itu penggunaannya sebagai bahan baku industri pangan, gelatin tulang ikan tuna hendaknya dikombinasikan dengan bahan pangan yang banyak mengandung triptopan, sehingga kekurangan asam amino tersebut dapat tertutupi. Muchtadi (1993) menyatakan bahwa data mengenai komposisi asam-asam amino (esensial) suatu protein bahan pangan sangat berguna untuk meningkatkan nilai gizinya, yaitu dengan cara menambahkan (suplementasi) asam amino esensial yang efisien, atau dengan cara mencampurkan protein tersebut dengan protein lain (komplementasi), sehingga akan diperoleh protein campuran dengan komposisi asam amino esensial yang baik, karena kekurangan masing-masing saling tertutupi.
5. Analisis Mikrobiologi Gelatin Analisis mikrobiologi gelatin meliputi Total Plate Count (TPC), E.coli dan Salmonella sp yang merupakan parameter mikrobiologi yang kritis pada produk gelatin. Gelatin merupakan nutrien yang sangat baik untuk berkembak biak bakteri, karenanya dalam proses pengolahannya harus secara hati-hati untuk menghindari kontaminasi.
61
Uji kuantitatif mikrobiologi penting dilakukan untuk mengetahui mutu bahan pangan. Apabila suatu bahan tercemar oleh mikroba yang berasal dari kotoran manusia atau hewan maka bahan tersebut positif mengandung bakteri E.coli. Adanya E.coli dalam suatu bahan merupakan indicator kontaminasi kotoran, sedangkan Salmonella sp merupakan bakteri pathogen yang berbahaya. Salmonella sp dapat menyebabkan gangguan perut, demam tifus dan paratifus (Fardiaz, 1989).Hasil analisis mikrobiologi gelatin dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18. Hasil Analisis Mikrobiologi Gelatin Tulang Ikan Tuna, Gelatin Komersial dan Gelatin Standar Laboratorium Parameter
Gelatin Tulang
Gelatin
Gelatin Standar
Ikan Tuna
Komersial
Lab*)
Total Plate Count
4,5 x 104
5,7 x 103
4 x 103
E.coli
Negatif
Negatif
Negatif
Salmonella
Negatif
Negatif
Negatif
Sumber: *) Fahrul (2004) TPC merupakan metode pendugaan jumlah mikroba secara keseluruhan dalam suatu bahan. Dengan demikian nilai TPC gelatin menunjukkan gambaran jumlah koloni bakteri yang ada pada produk tersebut. Berdasarkan hasil analisa TPC dapat dilihat bahwa total mikroba yang dihitung berdasarkan Standart Plate Count (SPC) dengan tiga kali ulangan pada gelatin tulang ikan tuna adalah 4,5 x 104 unit koloni/gr. Jumlah
tersebut
lebih
besar
jika
dibandingkan
dengan
jumlah
mikroorganisme pada gelatin komersial yang berjumlah 5,7 x 103 unit koloni/gr dan gelatin standar laboratorium yang berjumlah 4 x 103 unit koloni/gr. Kandungan total mikroba pada gelatin tulang ikan tuna hasil penelitian tidak memenuhi syarat yang ditetapkan Norland (2003) yaitu lebih dari 1 x 104 unit koloni/gr. Tingginya jumlah koloni bakteri yang ditemukan pada gelatin tulang ikan tuna diduga disebabkan oleh terjadinya
62
kontaminasi pada produk tersebut terutama pada saat pengeringan, penimbangan, penggilingan dan penyimpanan. Diketahui juga bahwa kandungan E.coli dan Salmonella sp pada gelatin tulang ikan Tuna dan gelatin komersial adalah negatif. Hal ini sesuai dengan yang disyaratkan oleh Norland (2003) yaitu negatif. E.coli jika terdapat di dalam makanan akan menyebabkan keracunan yang ditandai dengan gejala-gejala sakit perut, pusing, muntah-muntah, berak-berak, demam, dan sakit kepala. Salmonella sp dapat menyebabkan gangguan perut, demam tifus dan para tifus (Fardiaz, 1989). Beberapa
negara
mempunyai
spesifikasi
tertentu
mengenai
kandungan mikrobiologi gelatin, tetapi biasanya hal itu tidak begitu berbeda. Total Plate Count untuk mesophyllic yang berlaku secara umum adalah 1000, dimana beberapa negara membatasi kehadiran Coliform, E.coli, Salmonella, spora Clostridium, Staphylococcus, dan Pseudomonas (Gelatin Food Science, 2002).
63
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Tulang ikan tuna merupakan limbah non-ekonomis, dapat digunakan sebagai alternatif bahan baku pembuatan gelatin sehingga diharapkan dapat mengurangi impor gelatin. Gelatin yang dihasilkan dari tulang ikan tuna merupakan gelatin halal yang dapat dikonsumsi oleh umat islam. Perbedaan perlakuan sebelum perendaman asam berpengaruh nyata terhadap rendemen, pH, viskositas, dan kekuatan gel gelatin yang dihasilkan. Dari hasil penelitian diketahui rendemen gelatin terbesar terdapat perlakuan tanpa perendaman NaOH yaitu 8,37%, nilai pH terbaik terdapat pada perlakuan perendaman NaOH 0,8% sebesar 5,54, viskositas dan kekuatan gel terbesar terdapat pada perlakuan perendaman NaOH 0,4% yaitu berturut-turut 5,57 cP dan 151,8 gr bloom. Perlakuan dengan perendaman tulang dalam NaOH 0,4% sebelum perendaman HCl merupakan perlakuan terbaik yang didasarkan pada persentase rendemen sebesar 8,05%, pH sebesar 5,03, viskositas sebesar 5,57 cP dan kekuatan gel sebesar 151,8 gr bloom. Sifat fisik dan kimia gelatin tulang ikan tuna dengan perlakuan perendaman NaOH 0,4% yang dihasilkan pada penelitian ini adalah sebagai berikut: kadar air 6,08%; kadar abu 1,02%; kadar protein 88,53%; kadar lemak 1,02%, nilai pH 5,01; viskositas 5,57 cP; kekuatan gel 151,8 gr bloom; titik gel 9,00C; titik leleh 25,300C; titik isoelektrik protein 7,67; derajat putih 33,70%; kandungan Pb 0,55 ppm; kandungan Hg tidak terdeteksi; TPC 4,5x104 unit koloni/gr; kandungan E.coli dan Salmonella negatif. Komposisi utama asam amino gelatin tulang ikan tuna adalah sebagai berikut: glisin 18,703%; prolin 10,650%; dan hidroksiprolin 8,220%. Sifat fisik dan kimia gelatin tulang tuna cenderung lebih rendah dibanding gelatin komersial dan gelatin standar laboratorium. Secara umum sifat fisik dan sifat kimia gelatin tulang ikan tuna telah memenuhi standar mutu gelatin pangan dan farmasi.
B. Saran
1. Untuk memperbaiki penampakan gelatin tulang tuna, maka perlu dilakukan penelitian pembuatan gelatin tulang tuna dengan berbagai teknik pengeringan. 2. Perlu dilakukan penelitian mengenai optimasi konsentrasi NaOH dan lama perendaman NaOH pada pembuatan gelatin tulang tuna. 3. Perlu dilakukan penelitian mengenai pembuatan gelatin dari tulang ikan tuna dalam skala pilot plan dan industri.
65
DAFTAR PUSTAKA
Apriyantono, A., Fardiaz, D., Puspitasari, N.L., Yasni, S., Budiyanto, S. 1989. Analisis Pangan. IPB Press. Bogor. Association of Official Agricultural Chemist (AOAC). 1995. Official Methods of Analysis of The Association of Official Analytical Chemist. Inc. Washington, DC. Astawan, M., Hariyadi, P., Mulyani, A. 2002. Analisis Sifat Reologi Gelatin dari Kulit Ikan Cucut. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. Badan Pusat Statistik. 2005. Buletin Statistik Perdagangan Luar Negri Impor. Jakarta. Baker, R.C., Hahn, P.W., Robbins, K.R. 1994. Fundamentals of New Food Product Development. Elsevier ScienceB. V., New York. British Standard 757. 1975. Sampling and Testing of Gelatin. Di Dalam Imeson. 1992. Thikcening and Gelling Agents for Food. Academic Press, New York. Budavari, S. 1996. Merck Index 12th ed. Whitehouse Station. NJ, Merck. Bykov, V. P. 1983. Marine Fishes Chemical Compotition and Processing Properties. American Pub. Co. PVF. Ltd, New Delhi. Charley, H. 1982. Encyclopedia of Food Science and Technology. Vol. 2. John Wiley and Sons, New York. Hal. 1183-8. Choi, S.S., Regenstein, J.M. 2000. Physicochemical and Sensory Characteristic of Fish Gelatin. J. Food Sci. 65 (2): 194 – 199. Christianto, A. M. 2001. Kajian Proses Produksi Gelatin Tipe B Berbahan Baku Kulit Sapi (Hide) Hasil Samping Industri Penyamakan Kulit. Skripsi Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor. De Man, J.M. 1997. Kimia Makanan. Penerjemahkan Padmawinata, K. ITB Press, Bandung. Desrosier, N.W. 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. Penerjemah Muchji M. UI Press, Jakarta. Direktorat Jendral Perikanan Tangkap. 1983. Buku Petunjuk Teknis Pengalengan Ikan Seri I Ikan Tuna. Jakarta : Direktorat Jenderal Perikanan. Eastoe, JE. dan Leach AA. 1977. Chemical Constitution of Gelatin. In: Ward AG, Courts A, editors. The Science and Technology of Gelatin. Academic Press, New York.
Fahrul. 2004. Kajian Ekstraksi Gelatin dari Kulit Ikan Tuna (Thunnus alalunga) dan Karakteristiknya Sebagai Bahan Baku Industri Farmasi. Tesis. Sekolah Pascasarjana. IPB. Bogor. Fardiaz, S. 1989. Mikrobiologi Pangan. PAU. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Food and Nutrion Board, National Academy of Science. 1996. Food Chemicals Codex 4th ed. National Academy Press, Washington DC.. Gelatin Food Science. 2007. http://www.gelatin.co.za/gltn1.html. Gelatin Manufactures Association of Asia Pacipic (GMAP). 2007. How is Gelatin Made. http://www.gmap-gelatin.com/howmade.html. Gelatin Manufactures Institute of America (GMIA). 2007. Raw Materials and Production. Gelatin Manufactures Institute of America. http://www.gelatin-gmia.com/html/rawmaterials.html. Geltech. 2007. What is Gelatin. http://www.Geltech.com/whatisgelatin.html. Glicksman, M. 1969. Gum Technology in Food Industry. Academic Press, New York. Gomez, G. M. C dan Montero. P. 2001. Extraction of gelatin from megrim (Lepidorhombus boscii) skins with several organic acids. J. Food Sci. 66 (2): 213-216. Grossman, S., dan Bergman, M. 1991. Process for The Production of Gelatin from Fish Skins. European Paten Aplication 0436266 A1. Gudmunsson, M., dan Hafsteinsson H. 1997. Gelatin from Cod Skin as Affected by Chemical Treatmens. J. Food Sci. 62 (1): 37-39, 47. Hadiwiyoto, S. 1983. Hasil-hasil Olahan Susu, Ikan, Daging dan Telur. Liberty, Yogyakarta. Hermanianto, J., B. Satiwiharja, dan A. Apriyantono. 2000. Teknologi dan Manajemen Pangan Halal. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi. IPB. Bogor. Hinterwalder, R. 1977. Raw Material. Di dalam Ward, A. G. Dan A. Courts. The Science and Technology of Gelatin. Academic Press, New York. Imeson, A. 1992. Thickening and Gelling Agents for Food. Academic Press, New York. Lachman, L., Lieberman HA, Kanig JL. 1994. Teori dan Praktek Farmasi Industri Edisi III. Penerjemah Siti Suyatmi. Penerbit UI Press, Jakarta. Lagler, K.F., Bardach, J.E., Miller, R.R., Passino, D.R.M. 1977. Ichthyology 2nd ed. John Wiley and Sons. New York : 59-60.
67
Lehninger, A.L. 1990. Dasar-Dasar Biokimia. Jilid I. Thenawijaya M, penerjemah. Erlangga, Jakarta. Terjemahan dari: Fundamental of Biochemistry. Leiner, P.B. 2006. The Physical and Chemical Properties of Gelatin. http:///www.pbgelatin.com. Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika-Majelis Ulama Indonesia (LPPOM-MUI). 2001. Gelatin Halal dan Gelatin Haram. Jurnal Halal LPPOM MUI No. 36 hal 26-27. Leuenberger, B.H. 1991. Investigation of The Viscocity and Gelatin Properties of Different Mammalian and Fish Gelatin. Food Hydrocolloids 5:353-361. Meyer, L. H. 1982. Food Chemistry. AVI Publishing Co. Inc. Westport, Connenticut. Montero, P dan Borderias J. 1991. Emulsifyng Capacity of Collagenous Material from Muscle and Skin of Hake (Merluccius merluccius) and Trout (Salmo irideus Gibb): Effect of pH and NaCl Concentration. Food Chem. Muchtadi, D. 1993. Teknik Evaluasi Nilai Gizi Protein. Program Studi Ilmu Pangan. IPB, Bogor. Nagai, T., Suzuki, N. 1999. Isolation of Collagen from Fish Waste Material- Skin, Bone and Fins. Elsevier Food Chemistry Vol 68 : 277-281. Norland, R.E. 1990. Fish Gelatin. Di dalam Voight, M.N., Botta, J.K (ed.). Advances in Fisheries Technology and Biotechnology for Increased Profitability. Lancaster, Pa.: Technomic Pub. Co. Norland Product. 2003. Fish Gelatin. http://www.norlandprod.com/techrpts.html. Nurilmala. 2004. Kajian Potensi Limbah Tulang Ikan Keras (Teleostei) Sebagai Sumber Gelatin Dan Analisis Karakteristiknya. Tesis. Sekolah Pascasarjana. IPB. Bogor. Parker, A.L. 1982. Principles of Biochemistry. Worth Publisher Inc., Sparkas Maryland. Pelu, H., Harwanti, S., Chasanah, E. 1998. Ekstraksi Gelatin dari Kulit Ikan Tuna Melalui Proses Asam. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. No. 4 (2): 66–74. BPTP. Jakarta. Peranginangin, R. 2006. Menghasilkan Rupiah Melalui Gelatin. Di dalam www.Bisnis.com.html. Poppe, J. 1992. Gelatin. Di dalam A. Imeson (ed). Thickening and Gelling Agent for Food. Academic Press, New York. Purwadi, T. 1999. Pengkajian Mutu dan Tekno-Ekonomi Perekat dari Tulang Ikan. Tesis . Sekolah Pascasarjana. IPB. Bogor.
68
Raharja, K. 2004. Manfaat Gelatin Tulang Pari (1). Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta. Smith, C.R. 1992. Journal of American Society 43. 1350 (21). Di dalam Y. H. Hui. Encyclopedia of Food Science and Technology Vol 2. John Wiley and sons, Inc., Canada. Standar Nasional Indonesia (SNI) 06.3735. 1995. Mutu dan Cara Uji Gelatin. Dewan Standarnisasi Nasional. Jakarta. Subardja, D., Rahardjo, R., Affandi, R., dan Brojo, M. 1989. Sistematika Ikan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. PAU Ilmu Hayat. Bogor. Sudarmadji, S. 1995. Prosedur Analisa Bahan Makanan Pertanian. Liberty, Yogyakarta. Surono., Djazuli, N., Budiyanto, D., Widarto., Ratnawati., Aji, U.S., Suyuni, A.M., Sugiran. 1994. Penerapan Paket Teknologi Pengolahan Gelatin dari Ikan Cucut. Laporan BBMHP. Jakarta. Tourtellote, P. 1980. Gelatin. Di dalam Mc. Graw Hill. Encyclopedia of Science and Technology. Mc. Graw Hill Book Co., New York. Utama, H. 1997. Gelatin Bikin Heboh. Jurnal Halal LPPOM-MUI No. 18: 10–12. Suzuki, T. 1981. Fish and Krill Protein Processing Technology. Applied Science Publisher, Ltd, London Viro, F. 1992. Encyclopedia of Science and Technology. Mc Graw Hill, New York. Ward, A.G., Courts, A. 1977. The Science and Technology of Gelatin. Academic Press, New York. Weishardt International. 2005. Principle Food Use. Perancis. Wijaya, I Made. 1998. The Effect of Protein Concentration and pH on The Bloom Strength of Gelatin. Gitayana. Majalah Ilmiah Teknologi Pertanian, IPB. Bogor. Wikipedia. 2007.Thunnus albacares. http://.wikipedia.org/wiki/Thunnusalbacares. Winarno, F.G. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. P.T. Gramedia Pustaka Umum, Jakarta. Wiyono, V.S. 2001. Gelatin Halal Gelatin Haram. Jurnal Halal LPPOM-MUI No. 36: 26 – 37. Wong, D.W.S. 1989. Mechanism and Theory in Food Chemistry. An AVI Book, Van Nostrand Reinhold, New York.
69
LAMPIRAN
Lampiran 1. Prosedur Analisa
1. Rendemen (AOAC, 1995) Rendemen yang diperoleh dari perbandingan bobot kering gelatin yang dihasilkan dengan bobot kering kulit yang diekstrak.
Rendemen =
Bobot kering gelatin Bobot kering kulit
x 100%
2. Kekuatan Gel (British Standard 757, 1975) Larutan gelatin dengan konsentrasi 6,67% disiapkan dengan akuades (7 gram gelatin ditambah akuades 105 ml). Larutan diaduk menggunakan magnetic stirrer sampai homogen kemudian dipanaskan sampai suhu 600 C selama 15 menit. Tuang larutan dalam Standart Bloom jars (botol dengan diameter 58-60 mm, tinggi 85 mm) tutup dan diamkan
selam 2 menit .
Inkubasikan pada suhu 100 C selam 17 ± 2 jam. Selanjutnya diukur menggunakan alat TA-XT plus texture analyzer pada kecepatan probe 0,5 mm/s dengan kedalaman 4 mm. Kekuatan gel dinyatakan dalam satuan gram bloom. 3. Viskositas (British Standard 757, 1975) Larutan gelatin dengan konsentrasi 6.67% (b/b) disiapkan dengan akuades, kemudian diukur viskositasnya dengan menggunakan alat brookfield syncro-lectric viscometer. Pengukuran dilakukan pada suhu 600C dengan laju geser 60 rpm menggunakan spindel 1. Hasil pengukuran dikalikan dengan faktor konversi, dimana untuk spindel 1 faktor konversinya adalah 1. Nilai viskositas dinyatakan dalam satuan centipoise (cP). 4. Derajat Keasaman (pH) (British Standard 757, 1975) Larutan gelatin dengan konsentrasi 6.67% (b/b) disiapkan dengan akuades.
Larutan sampel dipanaskan pada suhu 700C dan dihomogenkan
dengan magnetic stirrer, kemudian diukur derajat keasamannya pada suhu kamar dengan pH meter.
71
5. Kadar Air (AOAC, 1995) Cawan porselen dikeringkan pada suhu 1050C selama 1 jam, kemudian didinginkan dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang. Contoh yang akan ditentukan kadar airnya ditimbang sebanyak 2 gram. Cawan yang telah berisi contoh dimasukkan dalam oven bersuhu 1050C sampai bobotnya konstan. Kadar air dihitung berdasarkan persamaan berikut: Kadar air =
B–A
x 100% bobot contoh
Keterangan: A = Bobot cawan + contoh kering (g) B = Bobot cawan + contoh basah (g)
6. Kadar Abu (AOAC, 1995) Contoh yang telah diuapkan airnya dimasukkan ke dalam tanur bersuhu 0
600 C. Sebelumnya bobot cawan kering dan bobot contoh telah diketahui. Proses penguapan dilakukan sampai semua bahan berubah warna menjadi abuabu, kemudian ditimbang. Kadar abu dihitung dengan rumus: Kadar abu =
bobot abu
x 100% bobot contoh
7. Kadar Protein (Metode Semi Mikro Kjeldahl) (AOAC, 1995) Sejumlah 0.02-0.05 gram dimasukkan dalam labu Kjeldahl 100 ml kemudian ditambah 2-3 gram katalis (1.2 gram Na2SO4 dan 1 gram CuSO4) dan 2-3 ml H2SO4 pekat, lalu dilakukan destruksi hingga larutan menjadi jernih. Setelah itu didinginkan kemudian sampel didestilasi dan ditambah 35 ml akuades dan 10 ml NaOH 50%. Hasil destilasi ditampung dalam erlenmeyer berisi 5 ml H3BO3 dan indikator metil merah dan metil biru kemudian dititrasi dengan HCl 0.02N. Kadar protein dihitung dengan rumus Kadar nitrogen (%) =
(ml HCl - ml blanko) x normalitas HCl x 14.007 mg contoh
x 100%
Protein kasar (%) = kadar nitrogen x 5.46 (Leach dan Eastoe, 1977)
72
8. Kadar Lemak (Apriyantono et al., 1989)
Sebanyak 2 gram sampel dibungkus dalam kertas saring dan dimasukkan ke dalam labu soxhlet (labu sebelumnya dikeringkan dalam oven, dimasukkan ke dalam desikator lalu ditimbang). Dimasukkan pelarut petroleum eter kemudian dilakukan reflux selama 6 jam. Lalu labu yang berisi hasil reflux dipanaskan dalam oven dengan suhu 1050C. Setelah itu didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Kadar lemak dihitung dengan rumus: Kadar Lemak (%) =
berat lemak berat sampel
x 100%
9. Derajat Putih (Manual Kett digital whiteness powder C-100, 2005)
Analisis warna dilakukan dengan menggunakan Kett digital whiteness powder C-100. Sampel dalam bentuk tepung dimasukkan dalam cawan sampel, selanjutnya cawan tersebut dimasukkan ke dalam alat. Nilai dapat langsung dibaca pada layar dan dinyatakan dalam persentase derajat putih. Standar derajat putih blanko adalah 85,4%. 10. Titik Isoelektrik (Wainewright, 1977)
Sebanyak 0,2 gram sampel ditambah dengan 40 ml akuades sebagai pelarut dengan kisaran pH 4,5-10,5 (interval 0,5). Pengaturan pH dilakukan dengan menambahkan NaOH 0,5 N untuk menaikkan pH dan HCl 0,5 N untuk menurunkan pH. Setelah kondisi pH tercapai, dilanjutkan dengan pengadukan selama 30 menit untuk menyempurnakan ekstraksi. Larutan yang dihasilkan dipisahkan dengan bagian yang tidak larut dengan cara disentrifuse, kemudian disaring dengan kertas saring whatman 41. Filtrat dianalisa kadar nitrogennya dengan metode mikro Kjeldahl. Kadar nitrogen terlarut yang paling rendah ditentukan sebagai daerah titik isoelektrik (pI). 11. Logam Berat
Kandungan logam berat yang ingin dianalisa adalah Hg, Pb, Zn, Cu, dan As menggunakan Absorbsi Atom Spektrofotometer (AAS). Sebanyak 5-6 ml HCl 6 N ditambahkan ke dalam cawan berisi abu hasil pengabuan kering, kemudian dipanaskan di atas hot plate dengan pemanasan rendah sampai
73
kering. Setelah itu ditambahkan 15 ml HCl 3 N, lalu cawan dipanaskan di atas pemanas sampai mulai mendidih. Setelah didinginkan dan disaring, filtrat dimasukkan ke dalam labu takar dan diencerkan dengan air sampai tanda tera. Blanko disiapkan menggunakan pereaksi yang sama. Alat AAS diset sesuai interuksi dalam manual alat tersebut. Larutan standar logam, blanko dan sampel diukur. Selama penetapan sampel, dilakukan pemeriksaan apakah nilai standar tetap konstan. Kemudian dibuat kurva standar untuk masing-masing logam (nilai absorbsi/emisi vs konsentrasi logam dalam µg/ml). 12. Asam Amino (Muchtadi, 1992)
Sebanyak 0,2 gram sampel disiapkan dalam tabung reaksi tertutup dan ditambahkan sebayak 5 ml HCl 6 N. Sampel dimasukkan dalam oven dengan suhu 1000C selama 18-24 jam. Selanjutnya sampel disaring dengan kertas saring whatman 40. Hasil hidrolisis dipipet sebanyak 10 μl dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Kemudian ditambahkan 30 μl larutan pengering, lalu dikeringkan dengan pompa vakum bertekanan 50 torr. Sampel yang telah dikeringkan ditambahkan larutan derivat sebanyak 30 μl dan dibiarkan selama ± 20 menit. Sampel selanjutnya diencerkan dengan 200 μl larutan pengencer natrium asetat 1 M. Sampel siap dianalisis dengan menggunakan HPLC Waters Associates. Kondisi HPLC pada saat dilakukan analisis: - Temperatur kolom : 380C - Kolom
: pico tag 3,9 x 150 nm coulomb
- Kecepatan alir
: sistem linier gradien
- Batas Tekanan
: 3000 psi
- Program
: gradien
- Fase gerak
: - Asetonitril 60% - Buffer Natrium asetat 1 M, pH 5,75
- Detektor
: UV, panjang gelombang 254 nm
Konsentrasi asam amino dihitung dengan rumus: Konsentrasi asam amino (%) =
Ac As
x
Bs x BM x Fp Bc
x 100%
74
Keterangan: Ac = Luas area sampel As = Luas area standar Bc = Berat sampel (μg) Bs = Berat standar (μg) BM = Berat molekul masing-masing asam amino Fp = Faktor pengencer (15) 13. Titik Jendal (Suryaningrum dan Utomo, 2002)
Larutan gelatin dengan konsentrasi 6,67% (b/b) disiapkan dengan akuades, dan disiapkan dalam tabung reaksi volume 15 ml yang dihubungkan dengan sensor thermometer digital Hanna. Sampel diturunkan suhunya secara perlahan-lahan dengan cara menempatkan pada wadah yang telah diberi pecahan es. Titik jendal ditentukan tepat pada saat sensor dapat mengangkat gel dalam tabung reaksi. 14. Titik Leleh (Suryaningrum dan Utomo, 2002)
Larutan gelatin dengan konsentrasi 6,67% (b/b) disiapkan dengan akuades. Sampel diinkubasi pada suhu 100C selama 17 ± 2 jam. Pengukuran titik leleh dilakukan dengan cara memanaskan gel gelatin damal water batch. Di atas gel gelatin tersebut diletakkan gotri dan ketika gotri jatuh ke dasar gel gelatin maka suhu tersebut ditentukan sebagai titik leleh gelatin. 15. Penentuan Total Plate Count (SNI 01-2339, 1991)
Gelatin sebanyak 10 gram dimasukkan ke dalam blender jars dan ditambahkan 90 ml NaCl 0,9%, kemudian diblender selama beberapa detik dengan kecepatan rendah dan dilanjutkan dengan kecepatan tinggi selama dua menit. Larutan yang didapat adalah pengenceran 10-1. Selanjutnya larutan tersebut dipipet sebanyak 1 ml dan dimasukkan ke dalam cawan petri steril, dan 1 ml lagi ke dalam cawan petri yang lain sebagai duplo. Kemudian disiapkan larutan sampel dengan pengenceran 10-2 dan dimasukkan ke dalam 9 ml larutan NaCl 0,9% lalu dikocok sampai homogen. Larutan 10-2 ini dipipet dan dimasukkan ke dalam cawan petri dan dilakukan secara duplo.
75
Selanjutnya dengan cara yang sama dilakukan inokulasi sampel sampai pengenceran 10-8. Ke dalam semua cawan petri yang telah berisi larutan sampel, dituangkan media tumbuh Plate Count Agar (PCA) dengan suhu 450C sebanyak 15 ml dan dibiarkan selama 15-20 menit sampai agarnya memadat. Selanjutnya diinkubasi pada suhu 370C dengan posisi terbalik selama 48 jam. Disamping itu dibuat blanko, yaitu ke dalam cawan petri steril hanya dituangkan media tumbuh PCA 15 ml dan 1 ml larutan pepton 1%. Perhitungan dilakukan sesuai dengan Standart Plate Count (SPC). 16. Penentuan Escherichia coli (SNI 01-2332, 1991)
Sebanyak 10 gram gelatin dimasukkan ke dalam blender jars dan diblender selama beberapa detik dengan kecepatan rendah dan dilanjutkan dengan kecepatan tinggi selama dua menit. Selanjutnya dengan menggunakan pipet steril, disiapkan larutan sampel dengan pengenceran 10-1 sampai 10-3, aduk sampai homogen. Inokulasikan pada media Lauryl Sulfate tryptose (LST) broth masing-masing 3 tabung dengan 1 ml larutan sampel. Tabungtabung tersebut diinkubasi selama 48 jam pada suhu 350C. Tabung yang membentuk gas adalah positif untuk bakteri Coliform. Selanjutnya dilakukan tes konfirmasi bakteri E. coli. Tabung-tabung LST positif dikocok secara perlahan-lahan, lalu dipindahkan ke tabung-tabung EC broth menggunakan jarum inokulasi steril berdiameter 3 mm dan dihindari terjadinya selaput. Tabung-tabung EC broth diinkubasi pada water batch bersirkulasi dengan suhu 45,50C selama 48 jam. Tabung-tabung yang mengandung gas adalah tabung-tabung positif. Tabungtabung EC positif dikocok perlahan-lahan, lalu ditumbuhkan pada media Levine’s Eosine Methylene Blue (L-EMB) broth dengan cara goresan menggunakan jarum inokulasi berdiameter 5 mm, dan dihindari terjadinya selaput. Selanjutnya diinkubasikan pada suhu 350C selama 24 jam. Jika terjadi pertumbuhan pada media berarti positif E. coli.
76
17. Penentuan Salmonella (SNI 01-2335, 1991)
Sebanyak 10 gram gelatin dimasukkan ke dalam blender jars dan ditambahkan 90 ml lactose broth, kemudian diblender selama beberapa detik dengan kecepatan rendah dan dilanjutkan dengan kecepatan tinggi selama dua menit. Sampel dipindahkan secara aseptis ke dalam botol steril yang bertutup. Ke dalam larutan sampel ditambahkan NaOH 1 N untuk mencapai pH 7, lalu diinkubasikan pada suhu 350C selama 24 jam. Setelah inkubasi botol sampel dikocok secara perlahan-lahan kemudian diambil 1 ml dan dipindahkan ke dalam tabung reaksi yang berisi 10 ml media Selenite Cystine Broth (SCB). Selanjutnya diinkubasikan pada suhu 350C selama 24 jam. Selesai inkubasi, ditumbuhkan pada tiga macam media yaitu Bismuth Sulphite Agar (BSA), Salmonella Shiggella Agar (SSA), dan Brilliant Green Agar (BGA), dengan cara goresan. Kemudian diinkubasikan pada suhu 350C selama 24 jam. Setelah inkubasi, diamati adanya koloni Salmonella dengan cici-ciri sebagai berikut: -
Pada media BGA, tidak berwarna, merah muda, tidak jelas atau kabur dengan media sekeliling berwarna merah muda sampai merah;
-
Pada media SSA, tidak berwarna, merah muda yang pucat, bening, kabur, ada titik hitam pada bagian tengah sel;
-
Pada BSA, berwarna coklat, hitam kadang-kadang memberi cahaya metalik, sekeliling media berwarna coklat pada mulanya berubah menjadi hitam dengan semakin lamanya inkubasi, koloni berwarna hijau dengan sedikit atau tanpa terjadinya warna gelap disekeliling media.
Apabila pada agar-agar tersebut tidak ditemukan koloni tersangka maka diinkubasikan kembali selama 24 jam. Setiap koloni tersangka Salmonella dipindahkan ke agar miring Triple Sugar Iron Agar (TSIA) dengan cara menggoreskannya, lalu diinkubasikan pada suhu 350C selama 24 jam. TSIA yang tersangka ditumbuhi Salmonella akan menunjukkan terbentuknya warna merah dengan atau tidak disertai timbulnya H2S yang berwarna hitam.
77
Lampiran 2. Hasil Analisa Komposisi Kimia Tulang Ikan Tuna
Parameter
I
II
III
Rerata
Kadar Air (%)
28,24
29,10
28,39
28,57
Kadar Abu (%)
29,30
28,90
28,70
28,97
Kadar Protein (%)
23,72
23,25
23,95
23,64
Kadar Lemak (%)
15,66
15,45
15,38
15,49
Lampiran 3. Hasil Pengukuran Rendemen, Viskositas, Kekuatan Gel, dan pH Gelatin dari Tulang Ikan Tuna Rendemen (%)
Perlakuan 1. Tanpa perendaman NaOH 2. Perendaman NaOH 0,4% 3. Perendaman NaOH 0,8%
I
II
III
8,76
8,11
8,25
8,21
7,53
5,53
5,71
Rerata
Viscositas (cP) I
II
III
8,37
3,0
3,2
3,5
8,41
8,05
5,2
6,0
6,03
5,76
5
5,5
Kekuatan gel (gr bloom)
Rerata
pH
Rerata
I
II
III
3,23
98,8
105,7
109,4
5,5
5,57
147,6
154,8
5,5
5,33
130,8
145,8
rerata
I
II
III
104,6
4,37
4,13
3,97
4,15
153,0
151,8
4,97
5,01
5,12
5,03
145,0
140,5
5,23
5,70
5,71
5,54
78
Lampiran 4. Hasil Analisis Ragam Rendemen Gelatin
Descriptives Rendemen
N 1 2 3 Total
3 3 3 9
Mean 8.3733 8.0500 5.7567 7.3933
Std. Deviation .34210 .46130 .25325 1.27470
Minimum 8.11 7.53 5.53 5.53
Maximum 8.76 8.41 6.03 8.76
ANOVA Rendemen
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 12.211 .788 12.999
df 2 6 8
Mean Square 6.105 .131
F 46.492
Sig. .000
Rendemen Duncan Rendemen 3 2 1 Sig.
a
N 3 3 3
Subset for alpha = .05 1 2 5.7567 8.0500 8.3733 1.000 .316
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
79
Lampiran 5. Hasil Analisis Ragam pH Gelatin
Descriptives pH
N 1 2 3 Total
Mean 4.1567 5.0333 5.5467 4.9122
3 3 3 9
Std. Deviation .20133 .07767 .27429 .63322
Minimum 3.97 4.97 5.23 3.97
Maximum 4.37 5.12 5.71 5.71
ANOVA pH
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 2.964 .244 3.208
df 2 6 8
Mean Square 1.482 .041
F 36.504
Sig. .000
pH Duncan pH Gelatin 1 2 3 Sig.
a
N 3 3 3
1 4.1567
Subset for alpha = .05 2
3
5.0333 1.000
1.000
5.5467 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
80
Lampiran 6. Hasil Analisis Ragam Viskositas Gelatin
Descriptives Viskositas
N 1 2 3 Total
3 3 3 9
Mean 3.2333 5.5667 5.3333 4.7111
Std. Deviation .25166 .40415 .28868 1.14722
Minimum 3.00 5.20 5.00 3.00
Maximum 3.50 6.00 5.50 6.00
ANOVA Viskositas
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 9.909 .620 10.529
df 2 6 8
Mean Square 4.954 .103
F 47.946
Sig. .000
Viskositas Duncan Viskositas 1 3 2 Sig.
a
N 3 3 3
Subset for alpha = .05 1 2 3.2333 5.3333 5.5667 1.000 .408
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
81
Lampiran 7. Hasil Analisis Ragam Kekuatan Gel Gelatin
Descriptives GelStrength
N 1 2 3 Total
3 3 3 9
Mean 104.6333 151.5333 140.5333 132.2333
Std. Deviation 5.37990 3.44287 8.43880 21.89018
Minimum 98.80 147.60 130.80 98.80
Maximum 109.40 154.00 145.80 154.00
ANOVA GelStrength
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 3609.420 224.020 3833.440
df 2 6 8
Mean Square 1804.710 37.337
F 48.336
Sig. .000
GelStrength Duncan
a
Gel Strength 1 3 2 Sig.
N 3 3 3
Subset for alpha = .05 1 2 104.6333 140.5333 151.5333 1.000 .070
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
82