Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012 ISBN No. 978-979-96964-3-9
Kajian Design Thinking: Proses Metakognisi dalam Pelaksanaan Proyek Desain Produk (Studi Kasus Proyek Studio Desain Produk bertema Eksplorasi Bentuk) F. Priyo Suprobo, S.T., M.T. 1) Fakultas Teknik, Universitas Widya Kartika Surabaya1) Jl. Sutorejo Prima Utara II/No. 1 Surabaya 60113 Telepon (031) 5922403 ekst 142 E-mail :
[email protected]) Abstrak Design thinking telah menjadi fenomena di banyak negara dan di berbagai bidang, termasuk di bidang Desain Produk. Tim Brown [2] sebagai eksekutif di IDEO, sebuah perusahaan desain dunia, merumuskan design thinking sebagai pengetahuan yang menerjemahkan data-data yang ada menjadi ide-ide yang mampu dijalankan, tercipta peluang-peluang baru, dan membantu meningkatkan kecepatan serta efektifitas penyelesaian masalah dengan solusi baru. Di sinilah timbul keingintahuan tentang adanya suatu proses metakognisi dalam pelaksanaan design thinking. Berpikir tentang pikiran adalah metakognisi [10]. Di dalam penelitian ini, pengetahuan tentang proses metakognisi diperlukan untuk mencari tahu seberapa jauh cara berpikir kita dalam proses berpikir, terutama di dalam suatu penerapan design thinking sebagai suatu pendekatan atau metode baru. Dapat dibayangkan bagaimana besarnya dampak yang diberikan atas suatu bisnis atau proyek desain produk, apabila para pengelolanya ternyata memiliki proses metakognisi yang tinggi dalam suatu kerangka kerja yang berbasis design thinking. Dalam penelitian ini, proyek akan mengambil kasus desain produk yang bertemakan eksplorasi bentuk dan melalui pendekatan kualitatif tentang suatu proses metakognisi, maka target utama keluaran penelitian ini adalah dapat disusunnya suatu model deskripsi proses metakognisi dalam proyek desain berbasis design thinking. Kata Kunci : design thinking, problem solving, desain produk, metakognisi, metode desain. Pendahuluan Design thinking telah menjadi fenomena di banyak negara dan di berbagai bidang, termasuk di bidang Desain Produk. Tim Brown [2] sebagai eksekutif di IDEO, sebuah perusahaan desain dunia, merumuskan design thinking sebagai pengetahuan yang menerjemahkan data-data yang ada menjadi ide-ide yang mampu dijalankan, tercipta peluangpeluang baru, dan membantu meningkatkan kecepatan serta efektifitas penyelesaian masalah dengan solusi baru. Di sinilah timbul keingintahuan tentang adanya suatu proses metakognisi dalam pelaksanaan design thinking. Apakah metakognisi itu? Secara sederhana metakognisi didefinisikan sebagai “thinking about thinking” atau berpikir tentang cara berpikir [10]. Cara berpikir ini oleh beberapa ahli dikategorikan menjadi banyak komponen, tetapi secara umum terbagi atas Metacognitive Knowledge dan Metacognitive Skill. Metacognitive Knowledge terbagi atas dimensi declarative [12], Procedural [9][12] dan Conditional [12]. Dimensi knowledge ini lebih menyampaikan kepada jenis masalah yang dihadapi, strategi penyelesaian masalah, kapan dan mengapa strategi tersebut dijalankan. Sedangkan Metacognitive Skill terbagi atas dimensi Planning, Monitoring dan Evaluation [12][13]. Dimensi skill ini lebih menyampaikan kepada strategi persiapan menghadapi masalah, cara-cara mengendalikan strategi dan proses membandingkan cara-cara penyelesaian masalah. Pengetahuan tentang proses metakognisi diperlukan untuk mencari tahu seberapa jauh cara berpikir kita dalam proses berpikir di dalam suatu penerapan design thinking. Manfaat ini tentunya tidak hanya dari sisi pembelajaran atau pendidikan saja. Dapat dibayangkan bagaimana besarnya dampak yang diberikan atas suatu bisnis, apabila para pengelolanya ternyata memiliki proses metakognisi yang tinggi dalam suatu kerangka kerja yang berbasis design thinking. Berapa besarkah dampak produktivitas di bisnis tersebut dan seberapa efektif serta efisiensikah sistim bisnis dijalankan? Lalu, bagaimanakah keterkaitan proses metakognisi ini dengan penerapan design thinking dalam pelaksanaan suatu proyek desain produk? Sebagai pendekatan metode yang baru di tengah-tengah metode yang sudah dijalankan cukup lama oleh bidang desain, maka resistensi yang cukup tinggi akan pasti dialami di unsur pelaksana proyek desain. Dalam proses keingintahuan yang tinggi tentang terjadinya proses metakognisi, maka penelitian ini berupaya untuk mendeskripsikannya sehingga dapat disusun suatu rekomendasi yang jelas bagi tata kelola proses pembelajaran untuk melakukan perbaikan sistim pembelajaran dan tata cara pelaksanaan pendekatan metode desain bagi para desainer.
B-55
Bidang Teknik Industri Yogyakarta, 10 November 2012
Tujuan Penelitian Tujuan utama penelitian ini adalah untuk memperoleh selain model proses metakognisi dalam penerapan design thinking pada proyek desain produk yang belum pernah menjadi kajian sebelumnya. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengungkap informasi yang berkaitan dengan: 1. Kemampuan para pelaksana desain dalam mendefinisikan masalah dan dirinya sebagai problem solver, menentukan strategi penyelesaian, dan menceritakan situasi yang dialami saat strategi penyelesaian masalah dilakukan (gambaran metacognitive knowledge) yang terjadi selama proses penerapan design thinking dalam proyek desain produk 2. Kemampuan para pelaksana desain dalam merencanakan, memonitor, dan mengevaluasi (gambaran metacognitive skill) masalah yang dihadapi yang terjadi selama proses penerapan design thinking dalam proyek desain produk
Tinjauan Pustaka Design Thinking Pergerakan pola pemikiran kreatif melalui cara berpikir desain sebenarnya sudah diperkirakan oleh para ahli, diantaranya yang cukup fenomenal adalah Dr Edward de Bono [1], salah satu pakar terkemuka pada kreativitas dan cara berpikir. De Bono [1] menyampaikan bahwa creative thinking atau yang disebut juga design thinking merupakan akar kemampuan desain yang cukup fenomenal saat ini. Kemampuan berpikir desain akan lebih mendasarkan pada pola-pola baru penciptaan karena dalam prosesnya lebih menitikberatkan kepada aktivitas persepsi, posibilitas, dan praktek. Cara berpikir ini berbeda dengan cara berpikir tradisional pada umumnya yang masih mengandalkan pada pengenalan pola (misalnya analisis logika, sintesis, dan justifikasi). Pola tradisional ini biasa kita sebut critical thingking, yang bekerja dengan cara kerja linier dan kita kenal sekarang sebagai suatu metode ilmiah, sehingga tidak dipungkiri bahwa hasilnya cenderung bersifat improvement (perbaikan), bukan inovasi. Dalam perkembangannya metode design thinking ini dirumuskan menjadi 5 (lima) langkah oleh IDEO [6], yakni Penemuan Inspirasi, Interpretasi, Penggalian Ide, Eksperimen, Evaluasi dan Evolusi. Tahap Penemuan Inspirasi terdiri atas proses penetapan masalah, penetapan partisipan yang terlibat untuk diwawancarai dalam penggalian inspirasi, perencanaan riset dari mulai pembagian kerja, daftar pertanyaan, rencana tempat, peralatan serta alokasi waktu. Beberapa cara yang dilakukan untuk memperoleh inspirasi diantaranya adalah dengan membenamkan diri di dalam konteks/ lingkungan permasalahan, belajar dari partisipan individu, kelompok, para ahli, rekannya partisipan, belajar dari studi dokumen atau dokumentasi diri partisipan, dan mencari inspirasi di lokasi baru yang bersesuaian dengan tema permasalahan. Interpretasi adalah tahapan dimana mengubah cerita para partisipan menjadi ilham yang bermakna. Pengamatan, kunjungan lapangan, atau hanya sebuah wawancara sederhana dapat menjadi sebuah inspirasi yang luar biasa. Tetapi menemukan makna di dalam inspirasi tersebut dan mengubahnya menjadi peluang yang mampu diwujudkan bukanlah sebuah tugas yang mudah. Tahap Penggalian Ide berarti menghasilkan banyak ide. Brainstorming atau Curah Pendapat mendorong tim untuk berpikir ekspansif dan tanpa kendala. Ide-ide liar sering memicu pemikiran visioner. Dengan persiapan yang hati-hati dan satu set aturan yang jelas, sesi curah pendapat dapat menghasilkan ratusan ide-ide segar. Dalam tahap menghasilkan ide berdasarkan rencana aksi dan peluang ini, kuantitas ide dan potensi untuk selalu menambahkan ide yang dihasilkan sebelumnya harus menjadi fokus. Prosesnya juga dapat berbarengan sambil menghasilkan prototipe kasar yang bisa diujicobakan. Di Tahap Eksperimen ide akan dibawa untuk menjadi hidup. Membangun prototipe berarti membuat ide-ide terlihat nyata, belajar selama membuatnya dan membaginya dengan orang lain. Tahap Evaluasi dan Evolusi merupakan fase dimana perubahan terkadang diperlukan. Tanda-tanda kemajuan dari suatu perubahan harus menjadi pembelajaran. Dalam tahap ini, respon dari para sumber partisipan atas uji coba prototipe yang telah diperbaiki sangat diperlukan. Umpan balik ini ditindaklanjuti dengan melakukan perbaikan desain/model. Hubungan Design Thinking dan Metakognisi serta Penelitian terdahulu Dengan mengetahui proses metakognisi selama terjadinya tahapan design thinking, diharapkan terjadi banyak manfaat dan kontribusi di berbagai bidang, tidak hanya dari sisi pembelajaran atau pendidikan saja. Proses pembelajaran adalah sasaran yang dituju tetapi secara lebih luas apabila proses pembelajaran menjadi lebih baik dilakukan oleh seorang subyek di berbagai bidang, maka timbul dampak positif yang lebih baik di bidang tersebut. Hal itu akan memberikan kontribusi dalam hal produktivitasnya, pencapaian solusi lebih cepat, pendekatan cara kerja yang lebih efektif dan efisien atau pun pencarian konsep yang lebih baik [7]. Sebagai tambahan, seorang subyek dapat menjadi lebih memahami cara kerja berpikirnya sehingga mendorong tanggung jawab pribadi untuk mampu belajar secara mandiri [8]. Hal-hal seperti ini jelas akan mendorong kemajuan pribadi yang berpotensi dalam pencapaian diri, baik sebagai interpreneurship ataupun entrepreneurship di berbagai bidang. Dengan demikian, metakognisi tidak hanya dilihat dari segi proses pembelajaran atau pendidikan secara sempit. Dalam kaitannya dengan design thinking, Stanford University School of Education pernah menjalankan riset untuk Pendidikan Menengah dan membuahkan kondisi bahwa design thinking adalah penting dibutuhkan dan memberi B-56
Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012 ISBN No. 978-979-96964-3-9
pengaruh dalam proses cara para siswa berpikir tentang pikiran itu sendiri [5]. Tantangan di masa mendatang lebih berat sehingga dibutuhkan proses berpikir yang tidak hanya berorientasi tentang masalah, melainkan bagaimana memikirkan masalah itu juga untuk diperoleh solusinya. Hal ini selintas sepemahaman dengan De Bono [1] yang menyatakan bahwa analitis itu baik, tetapi diperlukan juga cara berpikir persepsi untuk mendapatkan berbagai posibilitas atau kemungkinan solusi. Dalam temuan lainnya di proyek desain interior, Brunner memberikan dukungan bahwa kegiatan reflektif dan metakognisi sangat diperlukan dalam desain [3]. Pemikiran reflektif memungkinkan individu untuk mengambil kendali dan tanggung jawab untuk cara berpikir mereka sendiri agar dapat berpartisipasi secara efektif di masyarakat. Sementara dalam penelitian lainnya terkait penerapan design thinking di proses pembelajaran arsitektur, Suprobo menyatakan bahwa design thinking ternyata memberikan tingkat motivasi atau dorongan diri yang besar bagi para mahasiswa partisipan dalam menyelesaikan tugas yang diberikan. Hal ini mendorong adanya dugaan bahwa berarti design thinking ini juga akan menghasilkan perubahan metakognisi yang tinggi [11]. Metakognisi secara umum terbagi atas Metacognitive Knowledge dan Metacognitive Skill. Dalam Metacognitive Knowledge terdapat beberapa komponen atau kategori yang didefinisikan sebagai berikut [9] [12]: Tabel 2 Kategori Metacognitive Knowledge
Kategori Metacognitive Knowledge
Definisi
Declarative knowledge
Merujuk kepada pengetahuan yang dimiliki seseorang tentang suatu informasi atau sumbersumber yang dibutuhkan untuk melakukan tugas yang diberikan, diantaranya adalah a) Tujuan dari tugas, b) Kebutuhan sumberdaya dan Langkah-Langkah apa yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas, c) Sifat dari tugas berkaitan dengan apa saja
Procedural knowledge
Merujuk kepada pengetahuan dan keyakinan diri seseorang untuk dapat melaksanakan suatu tugas. Sebuah persepsi diri individu akan bagaimana untuk melakukan sesuatu
Conditional knowledge
Merujuk kepada pengetahuan tentang kapan dan mengapa menggunakan strategi untuk memecahkan masalah. Pengetahuan tentang situasi dimana para pembelajar dapat menggunakan ketrampilan khusus, algoritma, teknik, dan metode.
Sedangkan Metacognitive Skill terbagi atas dimensi Planning, Monitoring dan Evaluation [12][13] yang dapat didefinisikan sebagai berikut: Tabel 2 Dimensi Metacognitive Skills
Dimensi Metacognitive Skills
Definisi
Planning
Perencanaan, penetapan tujuan, dan mengalokasikan sumber daya sebelum belajar
Monitoring
a. Keterampilan dan memproses urutan strategi yang digunakan untuk memproses informasi secara lebih efisien (misalnya, pengorganisasian, menguraikan, meringkas, fokus selektif) b. Penilaian pembelajaran seseorang atau penggunaan strategi c. Strategi yang digunakan untuk mengoreksi kesalahpahaman dan kinerja
Evaluation
Analisis kinerja dan efektivitas strategi setelah episode pembelajaran
Metode Penelitian a. Pendekatan Penelitian Pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan pendekatan studi kasus. Penelitian studi kasus adalah suatu penelitian kualitatif yang berusaha menemukan makna, menyelidiki proses, dan memperoleh pengertian dan pemahaman yang mendalam dari individu, kelompok, atau situasi. Sesuai dengan makna pendekatannya yang bersifat studi kasus, maka studi ini berfokus pada satu “unit tunggal” atau “suatu sistem terbatas” [4]. b. Jenis Data Penelitian Jenis data yang diungkapkan dalam penelitian ini adalah bersifat skematik, narasi, dan uraian, juga penjelasan data dari informan atau responden, baik lisan maupun data dokumen yang tertulis. Perilaku subyek yang diamati di lapangan juga menjadi data dalam hasil penelitian ini. Jenis data yang dikumpulkan diantaranya adalah catatan lapangan, dokumendokumen pendukung, dan juga foto-foto. c. Partisipan dan Lokasi Penelitian. Seturut dengan pendekatannya yang bersifat studi kasus, maka penelitian ini melibatkan lima subjek penelitian yang diperoleh dalam kasus yang sama secara purposive sampling. Karakteristik subjek yaitu mahasiswa jurusan Desain Produk IKADO (Institut Informatika Indonesia) angkatan 2011, yang memiliki proyek studio masing-masing dengan B-57
Bidang Teknik Industri Yogyakarta, 10 November 2012
bertemakan eksplorasi bentuk. Satu subjek lagi adalah dosen pengampu di jurusan Desain Produk. Adapun proyek yang dikerjakan diantaranya adalah Tas Wanita, Alat Bantu Kebugaran, Redesain Flashdisk, dan Tools Bag. IKADO sendiri adalah salah satu perguruan tinggi di bawah KOPERTIS VII Jawa Timur yang memiliki Jurusan Desain Produk dan berdomisili di Surabaya. Pemilihan ini didasarkan atas pertimbangan ketersediaan sumberdaya dan informan yang bersesuaian dengan sumberdaya peneliti. d. Teknik Pengumpulan dan Lingkup Data Untuk penerapan design thinking, penelitian ini hanya mengkajinya dalam tiga tahapan saja, yakni Penemuan Inspirasi, Interpretasi dan Penggalian Ide. Hal ini lebih dipertimbangkan dalam segi waktu penelitian yang memang secara naturalistik masih dalam tahap perkembangan. Tetapi di sisi lain, riset ini juga dapat dibatasi pada lingkup 3 (tiga) tahapan desain thinking ini karena sifat metode design thinking sendiri yang fleksibel sebagai sebuah metode [2]. Upaya yang dilakukan untuk memperoleh data penelitian yang luas serta mendalam dilakukan melalui: • Pengamatan • Wawancara mendalam dengan cara terstruktur berdasarkan pedoman yang dijadikan acuan dan bersifat terbuka • Studi Dokumentasi, terutama mengenai catatan desainer, dokumen teknis proyek dan sumber-sumber lainnya yang bermanfaat bagi penelitian. e. Teknik Analisis Data Teknik analisis yang digunakan dalam pendekatan kualitatif ini meliputi langkah-langkah sebagai berikut: • Tahap Pengumpulan Data Dalam tahap ini peneliti memasuki lingkungan penelitian, yakni situasi dimana para informan/ responden berada. Di tahap ini, peneliti melakukan pengumpulan data dengan lebih mengutamakan proses dibandingkan hasil, sehingga dalam perkembangannya selalu mengikuti temuan yang terus berkembang. • Tahap Reduksi Data Setelah semua data terkumpul dilakukan proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakkan dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Dalam tahap ini dilakukan kegiatan pengkodean dan kategorisasi. Untuk kode atas setiap kegiatan wawancara, misalnya Responden pertama dituliskan R #1, Wawancara Responden kedua dituliskan WR #2, atau hasil Dokumentasi dituliskan D. Setelah proses koding selesai, maka proses kategorisasi baru dapat dilakukan atas temuan-temuan tersebut. • Tahap Penyajian Data Tahap ini menyajikan informasi untuk memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Proses kegiatan interpretasi yang lebih menekankan pada makna, penalaran dan proses kategorisasi coba dilakukan dalam tahap ini guna membangun konsep-konsep atau model. • Tahap Penarikan Kesimpulan/ Verifikasi Tahap ini dilakukan setelah proses pembuatan kerangka pemikiran/model/konsep berhasil dilakukan verifikasi dengan menguji keabsahan datanya sehingga menjadi bentuk rekomendasi baru atas suatu model proses metakognisi penerapan design thinking. Penerapan Design Thinking Dalam penelitian kualitatif studi kasus ini, dari sekian proses design thinking yang diamati, peneliti mengikuti alur proses kegiatan para subjek, yang sampai dengan saat ini memasuki tahap penggalian ide. a. Tahap Penemuan Inspirasi Kegiatan di tahap ini terdiri atas proses penetapan masalah atau tema proyek desain. Eksplorasi bentuk menjadi fokus proyek desain. Para peserta proyek berdiskusi dan bercurah pendapat untuk menetapkan obyek desainnya. Pada akhirnya ditetapkan bahwa Responden 1 (R #1) mendesain Alat Kebugaran Portabel; Responden 2 (R #2) mendesain ulang flashdisk unik; Responden 3 (R #3) mendesain ulang tas wanita masa kini; dan Responden 4 (R #4) mendesain ulang Tools Bag. Dalam tahapan ini, kegiatan dijalankan selama kurang lebih 3 (tiga) minggu yang terdiri dari mulai penetapan partisipan yang disepakati terlibat untuk diwawancarai dalam studi lapangan, perencanaan riset dari mulai pembagian kerja, daftar pertanyaan, rencana tempat, peralatan dan alokasi waktu. Hasil penggalian inspirasi didokumentasikan oleh para peserta dan dibahas bersama di minggu keempat. b. Tahap Interpretasi Interpretasi adalah tahapan dimana mengubah cerita para partisipan dari proyek desain menjadi ilham yang bermakna. Pengamatan, kunjungan lapangan, atau hanya sebuah wawancara sederhana dapat menjadi sebuah inspirasi yang luar biasa. Tetapi menemukan makna di dalam inspirasi tersebut dan mengubahnya menjadi peluang yang mampu diwujudkan bukanlah sebuah tugas yang mudah. Kegiatan ini diwujudkan melalui pemetaan image produk kompetitor, pemetaan pengguna, dan penyusunan strategi desain.
B-58
Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012 ISBN No. 978-979-96964-3-9
Kegiatan pemetaan image produk kompetitor dilakukan dengan secara bergantian berdasarkan obyek desain masingmasing peserta dan dibahas secara bersama, baik dalam jenis, hitungan hasil survei, dan perletakannya pada sumbu peta produk kompetitor. Kegiatan pemetaan pengguna dilakukan dengan secara bergantian berdasarkan obyek desain masing-masing peserta dan dibahas bersama, terkait apa yang dilihat, dipikirkan, dirasakan, didengar, dikatakan, dan dilakukan oleh pengguna sasaran. Kegiatan penyusunan strategi desain dilakukan dengan secara bersama-sama melakukan proses pengelompokan dan kategorisasi atas masalah yang telah dihasilkan di pemetaan pengguna. Kategori yang dihasilkan diberi judul tema berdasarkan kemiripan data yang dimiliki. Antar tema coba dikaitkan untuk membentuk sebuah cerita sehingga dihasilkan pemahaman yang dalam (insight)untuk memunculkan peluang Kebutuhan Desain Produk. c. Tahap Penggalian Ide dan Prototipe Dalam tahap menghasilkan ide berdasarkan rencana aksi dan peluang ini, tim akan berfokus pada kuantitas ide dan berpotensi untuk selalu menambahkan ide yang dihasilkan sebelumnya. Prosesnya juga dapat berbarengan sambil menghasilkan prototipe kasar yang bisa diujicobakan atau cukup sebuah skenario bergambar yang dipresentasikan kepada para calon konsumen untuk mendapatkan evaluasi awal. Pemanfaatan material seadanya dan menangkap perwujudan ide melalui model lain, misalnya video ataupun roll play dapat mewakili prototipe juga. Pembahasan Proses Knowledge Metacognitive Ketika para peserta memulai proyeknya dengan metode design thinking, para peserta aktif untuk mempertanyakan banyak hal yang perlu diketahuinya di awal kegiatan, terutama setelah rencana pembelajaran dipresentasikan. Suasana studio yang tercipta kemudian adalah lebih kepada diskusi dengan topik-topik diantaranya adalah tentang tema tugas proyek; batasan produk seperti apa yang akan dikerjakan; maupun ruang lingkup eksplorasi bentuk sebagai sasaran proyek. Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan di awal sebelum tugas proyek dimulai menjadi kondisi yang penting bagi para peserta. Pengembangan atas kegiatan berikutnya adalah kebutuhan untuk mengetahui lebih dalam atas apa yang telah diperoleh sebelumnya. Dalam hal ini, diantara para peserta memiliki pendekatan yang berbeda. Pendekatan pertama yang ada dalam pemikiran mereka adalah melakukan pencarian informasi lebih mendalam dari sumber-sumber luar, seperti yang terbukti berikut ini: WR #2: Saya merasa perlu untuk tahu terlebih dahulu proses yang harus saya jalani. Di rumah saya lebih sering browsing-browsing di internet untuk memperoleh informasi lebih tentang hal desain. WR #3: Saya terbiasa menghafal segala sesuatunya sehingga materi teori pun tidak ada masalah bagi saya. Jadi, memang saya perlu tahu dulu masalah atau materi apa yang ada sekarang. WR #4: Penting bagi saya untuk tahu lebih dulu apa yang sedang saya hadapi atau pelajari. Langkah awal, saya akan searching inspirasi di internet tentang proyek tersebut. Pendekatan kedua adalah langsung melakukan pengamatan dengan informasi yang seadanya, yang dimiliki. Hal tersebut terbukti dari pernyataan responden berikut ini: WR #1: Saya tidak merasa perlu untuk mengetahui segala sesuatunya lebih dulu. Saya lebih senang untuk semuanya itu langsung dipraktekkan atau diamati langsung dan saya lebih cenderung memilih bagian (materi atau topik) yang saya sukai saja. WR #4: Tapi setidaknya itu (informasi awal) jangan teori saja karena hal itu akan membuat saya mengantuk. Berdasarkan pembahasan di atas, nampaklah sejumlah konsistensi seperti tersimpulkan berikut ini: Temuan #1: bahwa informasi awal sebagai pengetahuan dasar atas suatu proyek sangat diperlukan . Temuan #2: bahwa pendekatan yang dapat dilakukan untuk memperoleh pengetahuan awal agar para peserta menjadi aktif adalah melalui presentasi dan diskusi. Temuan #3: bahwa para peserta memiliki kemampuan untuk menggali lebih dalam informasi yang dimilikinya melalui sumber dari luar, seperti internet. Temuan #4: bahwa para peserta memiliki kemampuan untuk menggali lebih dalam informasi yang dimilikinya dengan langsung mengamati atau mempraktekkannya. Temuan-temuan ini menunjukkan bahwa merujuk kepada kategori Declarative Knowledge, para peserta proyek Desain Produk bermetode Design Thinking ini memberikan dua arahan tentang bagaimana seseorang dapat mengetahui suatu informasi atau sumber-sumber yang dibutuhkan untuk melakukan tugas yang diberikan. Arahan tersebut adalah dengan mengetahui lebih dulu semua informasi awal dan kemudian melakukan pencarian sumber-sumber dari luar. Sedangkan arahan kedua adalah mengetahui informasi awal yang seadanya dan melakukan langsung pengamatan ataupun pengujian pada obyek tugas.
B-59
Bidang Teknik Industri Yogyakarta, 10 November 2012
Dalam hal merujuk kepada pengetahuan dan keyakinan diri untuk dapat melaksanakan suatu tugas atau proyek sebagai kategori Procedural Knowledge, para responden memberikan arahan untuk melakukan studi lapangan, belajar sambil melakukan, dan kerjasama antar peserta sebagai tim. Dalam hal studi lapangan, ditemukan dokumen pendukung diantaranya adalah sekumpulan dokumentasi produk-produk kompetitor obyek tugas dan data-data hasil survei pengguna. Dalam hal kegiatan praktek dengan belajar sambil melakukan ada beberapa hal yang ternyata kenyataannya sangat memberi pengaruh. Dalam hal keyakinan mereka untuk melakukan kegiatan praktek ini tidak dapat dipungkiri bahwa ditemukan mereka memiliki minat untuk berpraktek yang cukup tinggi. Hal ini memberi pengaruh ‘sebab’ yang berakibat positif. WR #1: Saya lebih mantap belajar secara praktek karena mantap dalam menerimanya. Menurut saya kalau sudah bisa mempraktekkannya (belajar dengan langsung melakukan) pasti bisa bikin teorinya. Kalau tahu teorinya saja, belum tentu bisa prakteknya. WR #2: Dengan praktek saya tidak hanya membayangkan yang terjadi saja. Saya bisa langsung melakukan dan hal itu membantu saya untuk lebih mengerti maksud dan tujuannya. WR #3: Saya lebih suka praktek karena saya bisa lebih mengerti maksud dan tujuan produk yang akan saya buat. Studio Desain Produk ini menurut saya nyaman, jadi saya bisa lebih konsentrasi. WR #4: Saya senang dengan kegiatan praktek dan langsung bisa diujicobakan. Sementara di sisi lain, pengaruh positif lainnya yang mendukung keyakinan pentingnya kegiatan praktek ini adalah orientasi pencapaian yang tinggi juga dari peserta. Tetapi hal ini juga membawa konsekuensi pada temuan dari pembimbingnya bahwa pengetahuan atas detail tahapan kerja juga mesti diperhatikan. Apabila detail tahapan kerja ini kurang diperhatikan, maka sangat dimungkinkan membawa pengaruh negatif berupa kesalahan ataupun kualitas keluaran yang kurang bagus pada saat melakukan praktek kerja. WR #5: Kegiatan model praktek dalam menyelesaikan masalah dan menemukan solusi lebih diapresiasi oleh para peserta. Hal ini juga dimungkinkan karena mereka memiliki gambaran atau angan-angan untuk output (hasil keluaran) yang bagus dan ini terlihat dari semangat mengerjakan yang bagus. Tetapi terlihat bahwa tahapan-tahapan detail dalam proses kegiatan kurang diperhatikan dan terkesan asal pokoknya dikerjakan, seperti coba-coba. Hal ini juga yang membuat maunya output (hasil keluaran) bagus tapi setelah melakukan, ternyata mereka menemui kesulitan. Dalam hal ini ketekunan dan ketelitian dirasa kurang. Diantara yang tekun dan teliti adalah Yogi (R #2), Kevin (R #1) sebenarnya lebih menguasai teknik dan ketelitiannya selama ini tertutupi oleh Yogi. Diantara yang kurang teliti adalah Arnando (R #4) tetapi dia bagus di konsep. Walaupun Amelia (R #3) bisa mandiri, teliti dan detail, dia masih bisa sharing dan bekerjasama baik dengan Arnando. Berdasarkan pembahasan tersebut, maka ditemukan bahwa ketidaktelitian sebenarnya ditemukan lebih kepada WR #1 dan WR#4 yang hakekatnya adalah pendukung bukti temuan #4 yang lebih memilih untuk melakukan pendekatan langsung mengamati dan mempraktekkan dalam mengetahui suatu informasi. Dengan demikian, kekurangpahaman atas suatu detail tahapan kerja dalam kegiatan praktek disebabkan oleh informasi awal yang seadanya dan cenderung untuk langsung mempraktekkannya. Hal ini berdampak pada hasil keluaran yang berkesan masih coba-coba atau belum bagus. Dalam hal kerjasama diantara para peserta, para responden berkeyakinan bahwa metode ini adalah yang baik juga untuk dilakukan dalam mencapai tujuan tugas atau proyek. WR #2: Model-model kerja secara praktek dan kerjasama adalah yang lebih saya sukai. WR #4: Saya lebih senang, tugas proyek atau kuliah pada umumnya sebaiknya dimodel diskusi atau belajar kooperatif. Bahkan bila diijinkan kita mengerjakan satu proyek besar tetapi bagian-bagiannya dapat menjadi proyek masing-masing peserta. Sehingga kita tetap dapat saling bertukar pengetahuan dan ketrampilan. Dalam kenyataannya selama proses proyek, keyakinan para responden di atas didukung juga oleh pernyataan pembimbing dan beberapa temuan observasi lainnya, diantaranya adalah sebagai berikut: WR #5: Person masing-masing saling kooperatif, baik dalam proses kerja desain dengan kita (pembimbing) maupun diantara mereka sendiri dalam penyelesaian tugas. Justeru kalau pembekalan teori malah mereka malas. Temuan #5: Suasana Studio terlihat Hidup Kegiatan studio diisi oleh aktifitas diskusi dengan banyak pertanyaan dari para responden, cenderung spontanitas dan saling bersifat mendukung atas pertanyaan-pertanyaan yang timbul sebelumnya. Pembimbing mencoba melayaninya dan sesekali melemparkan pilihan untuk pengambilan keputusan diserahkan kepada para peserta dengan tetap memberikan aturan atau batasan yang bersesuaian dengan tema proyek, yakni eksplorasi bentuk. Temuan #6: Kegiatan Pemetaan Image Produk Kompetitor terlihat Hidup Para peserta terlihat antusias, nyaman, sekali waktu sambil bercanda mengkomentari hasil-hasil survei rekannya. Arahan kegiatan dipandu oleh dosen dan dokumentasi adalah image chart produk kompetitor. Temuan #7: Kegiatan Pemetaan Pengguna Produk terlihat Hidup B-60
Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012 ISBN No. 978-979-96964-3-9
Model yang dijalankan dalam kegiatan ini adalah Roll-Play, dimana secara bergantian peserta yang tidak mendapat giliran akan berperan sebagai pengguna. Kegiatan berlangsung hidup, spontanitas, natural dan nyaman bagi seluruh responden. Temuan #8: Kegiatan Penyusunan Strategi terlihat Hidup Para responden secara spontanitas bekerja memindah-mindahkan post-it yang ada di pemetaan pengguna dan melakukan pengelompokan sambil saling berdebat kecil tetapi secara hasil akhir, semuanya bisa dituntaskan dan berhasil memunculkan potensi kebutuhan yang diharapkan. Dalam hal merujuk kepada pengetahuan tentang kapan dan mengapa menggunakan strategi untuk memecahkan masalah desain sebagai kategori Conditional Knowledge, para responden memberikan arahan bahwa hal tersebut didasarkan pada nilai fleksibilitas dan motivasi. Dalam kenyataannya selama proses proyek, keyakinan para responden atas hal ini didukung juga oleh pernyataan pembimbing dan beberapa temuan observasi lainnya, diantaranya adalah sebagai berikut: WR #3: Dalam menghadapi tugas, saya biasa bekerja secara fleksibel, dapat secara individu ataupun kelompok. Saya sendiri orangnya terbuka dan mudah mempengaruhi orang. Terkadang hal seperti ini diperlukan dalam kerjasama tim. WR #5: Semangat untuk mengerjakan dari para peserta sangat bagus. Mereka dalam menerima masukan juga sangat fleksibel. Mereka sangat mudah termotivasi oleh film-film tentang proses perancangan produk di luar negeri, gambaran profesi dan masalah yang dihadapi, dan juga gambaran perusahaan desain. Keluhan ataupun komplain hampir tidak ada selama proses kerja. Temuan #9: Fleksibilitas terbagi atas unsur Penerimaan Masukan dan Kerjasama Tim Berdasarkan hasil wawancara dapat ditarik kesimpulan bahwa para peserta dalam menghadapi kondisi penyelesaian masalah mengharapkan adanya keleluasaan dalam berproses untuk menerima masukan dari dosen atau pembimbing ahli dan dalam bekerjasama di dalam tim. Temuan #10: Unsur penunjang lainnya adalah motivasi Dalam hasil wawancara dan observasi di studio ditemukan bahwa sebenarnya para responden adalah juga pembelajar yang bersemangat dan mandiri tetapi akan lebih bersemangat lagi apabila terinspirasi oleh metode pembelajaran berbasis design thinking ini yang berisikan kegiatan-kegiatan inspiratif. Bila kendala dihadapi, maka motivasi yang tinggi sangat dibutuhkan. Dapat digambarkan peta konsep dari proses Knowledge Metacognitive dalam pelaksanaan proyek desain produk berbasis design thinking ini sebagai berikut:
Gambar 1. Peta Konsep Proses Metakognisi Pengetahuan Proyek Desain Produk berbasis Design Thinking
Manifestasi Metacognitive Skill Proses metacognitive skill ini akan membahas lebih detail manifestasi atau perwujudan dari ketrampilan cara berpikir para responden dalam menyelesaikan proyek desainnya sampai dengan tahapan yang direncanakan. Adapun dimensi proses yang akan diamati adalah ketrampilan untuk merencanakan, memonitor, dan mengevaluasi proses berpikirnya. Merujuk pada ketrampilan metakognisi di dimensi perencanaan, para responden pembelajar mewujudkannya dalam hal merekam dokumen perencanaan proyek dalam bentuk catatan maupun dokumen softcopy dari pembimbing. Isi dokumen perencanaan proyek tersebut meliputi deskripsi proyek, tujuan, strategi dan metode pengajaran, kerangka pembahasan, jenis tugas, aspek penilaian, alokasi waktu dan tempat, serta referensi yang dibutuhkan. Untuk memperdalam apa yang telah diketahuinya, para responden merencanakan waktu dan tempat secara khusus serta mencari informasi tambahan dari sumber-sumber di luar proyek. B-61
Bidang Teknik Industri Yogyakarta, 10 November 2012
WR #1: Saya lebih cenderung memilih bagian materi yang saya sukai dan saya akan menghabiskan waktu saya untuk materi itu kebanyakan di rumah. WR #2: Saya biasa merencanakan dan mengalokasikan waktu untuk belajar, terlebih lagi di rumah. Di rumah saya lebih sering browsing-browsing di internet untuk memperoleh informasi lebih tentang hal desain. WR #3: Saya biasanya akan mencari informasi lebih lanjut sesampainya di rumah bahkan juga di luar rumah sehingga saya bisa mendapatkan inspirasi. Dan kenyamanan suatu tempat juga berpengaruh bagi kelancaran kerja atau proses belajar. WR #4: Penting bagi saya untuk tahu lebih dulu apa yang sedang saya hadapi atau pelajari. Langkah awal, saya akan searching inspirasi di internet tentang proyek tersebut. Kalau untuk mengalokasikan waktu 100% (di rumah atau kampus), saya belum dapat melakukan tetapi saya berusaha untuk lebih banyak berinteraksi dengan masyarakat umum. Berdasarkan pembahasan hasil wawancara tersebut di atas, nampaklah sejumlah konsistensi seperti tersimpulkan berikut ini: Temuan #11: bahwa para responden melakukan kegiatan perencanaan proyek dengan melakukan perekaman dokumen perencanaan proyek dari pemberi tugas. Temuan #12: bahwa para responden melakukan penyempurnaan atas perencanaan proyek yang ada melalui pencarian informasi dari luar, diantaranya dengan media internet dan kegiatan mencari inspirasi di luar rumah atau berinteraksi bersama masyarakat umum. Temuan #13: bahwa para responden melakukan pendalaman rencana dengan menetapkan waktu dan lokasi yang khusus, baik di rumah maupun di luar rumah untuk menyelesaikan tugasnya. Merujuk pada ketrampilan metakognisi di dimensi monitoring, para responden pembelajar mewujudkannya dalam proses penyelesaian tugas yang dimanifestasikan dari sisi eksternal dan internal. Yang dimaksud dengan konsep sisi internal adalah bagaimana perwujudan ketrampilan metakognisi dalam penyelesaian proyek adalah muncul dari kemampuan dirinya sendiri, sedangkan konsep sisi eksternal adalah bagaimana perwujudan ketrampilan metakognisi dalam penyelesaian proyek adalah muncul dari luar kemampuan dirinya sendiri. Sisi Internal lebih ditentukan oleh kegiatan peninjauan ulang suatu proses kerja dan melakukan uji coba atau praktek sendiri. WR #2: Saya akan meninjau ulang proses-proses yang sudah saya kerjakan sebelumnya. Apakah setiap proses sudah dilakukan dengan benar atau tidak? WR #5: Mereka secara umum biasanya mencoba mencari penyelesaian masalah atas tugas yang dihadapi secara mandiri. Biasanya dengan langsung praktek dan menemui kesulitan langsung diselesaikan saat itu. Apabila mentah lagi, baru dikonsultasikan. Sisi Eksternal lebih ditentukan oleh kegiatan yang bersifat peninjauan dengan membandingkan hasil yang diperoleh dalam tahapannya berdasarkan sumber dari luar, seperti internet, melakukan konsultasi dengan ahli, berinteraksi dengan masyarakat umum, sampai dengan melibatkan para peserta lain dalam model kerjasama. WR #1: Saya akan mencari dosen dan meminta penjelasan sampai saya memahami betul masalah yang sedang saya hadapi. WR #2: Kalaupun saya tidak mendapatkan pemecahan masalah setelah saya melakukan proses kegiatan berulang-ulang, maka saya akan bertanya dan meminta pendapat kepada yang ahli untuk membimbing saya menyelesaikan masalah tersebut. WR #3: Cenderung bagi saya untuk mencoba menyelesaikan sendiri semua masalah yang saya hadapi dengan mencari sumber dari luar karena saya mudah untuk mempengaruhi orang (lebih bermakna maksudnya berkomunikasi dengan orang lain). WR #4: Saya akan searching inspirasi di internet tentang proyek ini, melihat dari pengalaman orang-orang yang mungkin saja juga pernah mengalami hal yang sama. Saya juga lebih banyak berinteraksi dengan masyarakat. Dengan nongkrong atau ngopi di warung atau Mall, saya menemukan banyak teman baru dan di situ saya bisa bertukar pendapat atas proyek yang sedang saya kerjakan. Lalu apabila belum mengerti, saya akan kontak dosen. Dan memang tugas pembimbing itu berat tetapi saya lebih nyaman dengan dosen yang sudah punya pengalaman atau pernah kerja di luar mengajarnya. WR #5: Mereka konsultasi dengan intens dan mereka melakukan bahkan terkadang di luar jam mengajar. Rajin untuk BBM (Blacberry Massenger, media komunikasi semacam SMS). Temuan #14: Kerjasama antar peserta Kegiatan penyelesaian proyek desain dimanifestasikan ketrampilan metakognisinya dengan secara berkala bekerjasama dalam penetapan peta image kompetitor, peta pengguna, dan penyusunan strategi. Pemetaan ini dilakukan dengan diskusi, curah pendapat sampai dengan cara berpikir visual. Pembuatan semacam sumbu
B-62
Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012 ISBN No. 978-979-96964-3-9
matriks x dan y ditemukan dip eta image kompetitor. Pembuatan diagram secara terorganisasi ditemukan di pemetaan pengguna dan penyusunan strategi. Proses selanjutnya adalah merujuk pada ketrampilan metakognisi di dimensi evaluasi, dimana para responden pembelajar mewujudkannya dengan melakukan refleksi atas manfaat dan pelajaran yang didapat, menilai keberhasilan tahapan proyek, serta meminta respon calon konsumen. Dalam refleksi sendiri dibedakan atas sifatnya yang bermanfaat positif secara langsung dan sifatnya yang bertahap dalam pengambilan pelajaran atas kesalahan, yang cenderung tidak langsung terimplementasikan. WR #1: Seru sekali prosesnya (design thinking) dan sangat membantu terutama dalam proses pengaturan atau pemilihan strategi, seperti mengatur strategi perang saja. Saya sendiri tidak akan mengulangi kesalahan yang sudah dibuat dan saya akan berusaha menemukan solusinya, biar kalau mau buat produk tidak buang-buang material. WR #2: Setelah semua proses yang dilewati, saya melakukannya dengan mencek ulang dan apabila ditemukan kesalahan, saya akan mengulang proses tersebut untuk memperbaikinya. Saya biasanya menganalisisnya dan menarik pelajaran atas apa yang sudah saya buat dan prosesnya biasanya saya catat. Hal itu dapat lebih membantu jika terjadi kesalahan lagi dapat langsung cepat mengatasinya. WR #3: Saya merasa mampu mengikuti prosesnya (design thinking) karena dengan adanya kegiatan pengelompokkan dan pengkategorian tema permasalahan, saya dapat lebih mengerti secara mendalam permasalahan proyek desain saya. Di sisi lain, dalam setiap kesalahan yang saya buat, saya selalu ingin menarik pelajaran agar ke depannya saya tidak mengulang kesalahan itu lagi. WR #4: Saya merasakan bahwa permasalahan desain yang dikupas itu tuntas sampai dengan hal yang terkecil sekalipun sehingga saya merasakan manfaat proses informasi yang didapat. Temuan #15: para responden melakukan perekaman atas setiap hasil kerja yang diperoleh dalam bentuk gambar digital untuk pemetaan kompetitor, pengguna, dan penyusunan strategi. Sementara setiap tahapannya, mereka memasukkan perkembangannya dalam bentuk catatan maupun print-out di dokumen pribadi, yang disebut log book, berupa kertas A3. Dalam manifestasi penilaian keberhasilan sebenarnya para responden secara umum mampu mengukur keberhasilannya sendiri dan mengkonfirmasikan keberhasilannya tersebut dengan pembimbing. WR #5: Mereka mengukur keberhasilannya sendiri sudah mampu dari mulai tahap awal sampai dengan akhir tahapan. Cara mengukur tingkat keberhasilannya, mereka langsung berdiskusi dengan dosen. Bukti dari sejauhmana mereka mampu mengukur keberhasilannya adalah dengan mengetahui sejauhmana definisi arti berhasil dalam pendekatan design thinking ini. Dalam pendefinisiannya ada yang lebih berorientasi ke dalam diri dan juga di luar diri, yakni bermanfaat bagi orang lain atau calon konsumen. WR #2: Saya bisa lebih mengerti maksud dan tujuan kegiatan proyek ini. WR #3: Saya bisa menciptakan sebuah produk yang mereka (konsumen) inginkan. Saya dapat mengerti lebih dalam atas permasalahan yang ada. Saya lebih mengerti maksud dan tujuan produk yang akan saya buat. WR #4: Saya senang untuk selalu menghasilkan sesuatu yang baru, bahkan yang belum dipikirkan orang lain. Saya menilai diri saya berhasil karena saya telah mencoba dan menciptakan sesuatu. Saya merasakan manfaat tugas studio desain produk ini. Dalam manifestasi evaluasi melalui tanggapan calon konsumen, hal ini dilakukan oleh Responden 3 (R #3) dengan hasil wawancara sebagai berikut: WR #3: Saya akan mencari informasi dan tanggapan para konsumen tentang produk yang saya buat dan saya akan memperbaiki kesalahan yang ada dan akhirnya saya bisa menciptakan produk yang mereka inginkan Dalam manifestasi ketrampilan metakognisi ini pada kenyataannya di lapangan dilakukan dengan semangat iterasi atau perulangan atas setiap tahapan di design thinking, yakni di saat penemuan inspirasi, interpretasi, dan penggalian ide. Atas ketiga tahap yang telah diselesaikan secara umum para responden berhasil menyelesaikan semua tahapannya sesuai target dan jadwal yang telah disepakati dalam perencanaan proyek. WR #5: Target jadwal memang sudah ditetapkan dan disepakati. Saya memang tidak memantau secara mendalam antara satu pertemuan ke pertemuan berikutnya, selain kita kontak hanya melalui BBM, tetapi di saat pertemuan, target hasil-hasil yang sudah disepakati selalu sudah selesai sehingga kita dapat tinggal membahasnya bersama. Dapat digambarkan peta konsep dari manifestasi Metacognitive Skill dalam pelaksanaan proyek desain produk berbasis design thinking ini sebagai berikut:
B-63
Bidang Teknik Industri Yogyakarta, 10 November 2012
Gambar 1. Peta Konsep Manifestasi Ketrampilan Metakognisi Proyek Desain Produk berbasis Design Thinking
Kesimpulan Dan Saran Berdasarkan temuan-temuan sebagai gambaran kegiatan metakognisi di atas, penelitian ini menghasilkan pedoman yang dapat dijadikan model apabila pendekatan suatu proyek desain produk adalah dengan metode design thinking. Secara ringkas pedoman tersebut tertuang dalam tabel 3 dan 4 untuk pedoman kognisi pengetahuan dan manifestasi ketrampilan kognisi. Tabel 3 Pedoman Kognisi Pengetahuan dalam Design Thinking
Kategori
Pedoman Kognisi yang diperlukan di saat menjalankan Proyek Desain berbasis Design Thinking
Declarative knowledge
Pengetahuan Awal atas suatu Proyek Desain sangat diperlukan dan dapat diperdalam melalui pencarian sumber informasi dari luar maupun mengetahui informasi awal yang seadanya dulu, lalu langsung melakukan pengamatan ataupun pengujian pada obyek tugas. Bagi pemberi Tugas sebaiknya menggunakan metode presentasi, diskusi dan kegiatan inspiratif lainnya (seperti pemutaran film, penggunaan alat peraga, dsb) kepada para pelaksana proyek.
Procedural knowledge
Dikembangkan pemikiran dan keyakinan bagi pelaksana bahwa untuk berhasil menyelesaikan tugas harus melakukan studi lapangan, praktek: belajar sambil melakukan, dan kerjasama antar peserta sebagai tim. Bagi pemberi Tugas tetap berperan sebagai fasilitator dengan kegiatan inspiratif lainnya.
Conditional knowledge
Dikembangkan pemikiran dan keyakinan bagi pelaksana untuk menyelesaikan tugas dengan semangat fleksibilitas dan motivasi yang tinggi. Fleksibilitas haruslah dimunculkan dari situasi untuk terbuka menerima masukan dan terbuka untuk bekerjasama. Bagi pemberi tugas harus lebih berperan selain sebagai fasilitator juga pandai untuk mengetahui kapan menjadi inspirator dan motivator yang baik. Tabel 4 Pedoman Manifestasi Ketrampilan Kognisi dalam Design Thinking
Dimensi Planning
Monitoring
Pedoman Manifestasi Ketrampilan Kognisi yang diperlukan di saat menjalankan Proyek Desain berbasis Design Thinking
• Perekaman dokumen perencanaan proyek dari pemberi tugas, baik dalam bentuk pencatatan, print (hardcopy) ataupun softcopy. • Melakukan penyempurnaan atas perencanaan proyek melalui pencarian informasi dari luar, diantaranya dengan media internet dan kegiatan mencari inspirasi di luar rumah atau berinteraksi bersama masyarakat umum, terkait proyek. • Melakukan pendalaman rencana dengan menetapkan waktu dan lokasi yang khusus, baik di rumah maupun di luar rumah untuk menyelesaikan tugasnya.
• Sisi Internal lebih ditentukan oleh kegiatan peninjauan ulang suatu proses kerja dan melakukan uji coba atau praktek sendiri.
B-64
Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2012 ISBN No. 978-979-96964-3-9
Dimensi
Pedoman Manifestasi Ketrampilan Kognisi yang diperlukan di saat menjalankan Proyek Desain berbasis Design Thinking
• Sisi Eksternal lebih ditentukan oleh kegiatan yang bersifat peninjauan dengan membandingkan hasil yang diperoleh dalam tahapannya berdasarkan sumber dari luar, seperti internet, melakukan konsultasi dengan ahli, berinteraksi dengan masyarakat umum, sampai dengan melibatkan para peserta lain dalam model kerjasama. Kerjasama ini dilakukan dengan diskusi, curah pendapat sampai dengan cara berpikir visual melalui pembuatan diagram yang dikelompokkan secara bersama-sama sampai dengan pembuatan matriks.
Evaluation
• Melakukan refleksi atas manfaat dan pelajaran yang didapat, Dalam refleksi sendiri dibedakan atas sifatnya yang bermanfaat positif secara langsung dan sifatnya yang bertahap dalam pengambilan pelajaran atas kesalahan, yang cenderung tidak langsung terimplementasikan. • Menilai keberhasilan tahapan proyek, Dilakukan dengan membuat indikator keberhasilan dan menkonfirmasikan kembali dengan pemberi Tugas. • Meminta respon calon konsumen Dilakukan dengan melakukan seminimalnya investigasi atau wawancara terfokus terkait proyek kepada calon konsumen potensial dan lakukan perbaikan kembali.
Ucapan Terima Kasih Terima kasih dan penghargaan secara khusus peneliti sampaikan kepada Direktorat P2M Ditjen Pendidikan Tinggi Kemendikbud yang telah mensponsori penelitian ini dalam Program Penelitian Dosen Pemula di periode 2012 ini. Peneliti juga menyampaikan terima kasih pula kepada semua pihak yang terlibat, terutama KOPERTIS Wilayah VII, Kampus IKADO Surabaya dan LPPM Universitas Widya Kartika Surabaya yang telah membantu kelancaran kegiatan penelitian ini.
Daftar Pustaka [1] [2] [3]
[4] [5]
[6] [7] [8] [9] [10] [11]
[12] [13]
De Bono, Edward, New Thinking for the New Millennium. CA. New Millennium Entertainment, 2000. Brown, T., "Design Thinking", Harvard Business Review, p. 84 – 92, June 2008. Brunner, Lori A., "Technology and Design Thinking: A Look at Interior Design Students’ Conceptualizations," in International Association of Societies of Design Research, Hongkong Polytechnic University 13-15 November 2007. Emzir, Prof. Dr. M.Pd., Analisis Data: Metodologi Penelitian Kualitatif Cetakan ketiga. Jakarta. Rajawali Press, 2012. Goldman, Shelley and Roth, Bernie., "Destination, Imagination & The Fires Within:Design Thinking in a Middle School Classroom," in DC International Conference on Interaction Design and Children 2009. (http://www.stanford.edu/dept/SUSE/taking-design/proposals/Destination_Imagination_ the_Fire_Within.pdf)
. IDEO, Design Thinking for Educators version one. Palo Alto, April 2011. In'am, Akhsanul, "Peningkatan Kualitas Pembelajaran melalui Lesson Study berbasis Metakognisi," Jurnal SALAM, 12(1), 125-135, 2009. Israel, S.E., Using Metacognitive Assessments to create Individualized Reading Instruction. Newark, Delaware (DC): International Reading Association, 2007. Kuhn, D. & Dean, D., "A bridge between cognitive psychology and educational practice," Theory into Practice, 43(4), 268-273, 2004. Lawanto, Oenardi, "Metacognition Changes during an Engineering Design Project," 39th ASEE/IEEE Frontiers in Education Conference T2F-1. Oct 18-21, 2009, San Antonio, TX. Suprobo, F. Priyo, "Penerapan Design Thinking dalam Inovasi Pembelajaran Desain dan Arsitektur," Prosiding Seminar Nasional Dies Jurusan Arsitektur Universitas Kristen Petra, Towards Emphatic Architecture Menuju Arsitektur yang Berempati, 4-5 Mei 2012, Surabaya. Schraw, G., Crippen, K. J., & Hartley, K.,"Promoting self-regulation in science education: Metacognition as part of a broader perspective on learning," Research in Science Education, 36, 111-139, 2006. Whitebread, D., Coltman, P., Pasternak, D. P., Sangster, C., Grau, V., Bingham, S., Almeqdad, Q., & Demetriou, D.,"The development of two observational tools for assessing metacognition and self-regulated learning in young children," Metacognition and Learning, 4(1), 63-85, 2009
B-65