KAJIAN CADANGAN KARBON PADA LAHAN GAMBUT TROPIKA YANG DIDRAINASE UNTUK TANAMAN TAHUNAN
MASWAR
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul ”Kajian Cadangan Karbon Pada Lahan Gambut Tropika yang Didrainase untuk Tanaman Tahunan” adalah benar karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini
Bogor, Februari 2011 Yang menyatakan
Maswar NRP A361060021
ABSTRACT MASWAR. Carbon stock study on drained tropical peat land for parennial crops. Under direction of OTENG HARIDJAJA, SUPIANDI SABIHAM, and MEINE VAN NOORDWIJK Peat lands are important sinks for atmospheric carbon (C), and current decline of their C stocks represent several percent of global C emissions, contributing to global climate change. It is therefore important to understand the effects of peat land drainage and conversion on the distribution of soil carbon and dynamics of emissions. Tropical peatland occurs in multiple forms and data are limited so far. The study reported here was conducted in West Aceh from May 2008 until October 2009. Peat land characteristics after drainage and conversion were investigated by field observation and laboratory analysis of peat soil samples. Calculations of C stock and C loss were carried out by interpretation data of bulk density (BD), ash content, carbon content and subsidence (changes in peat depth). A prestudy evaluated methods and tools for determining BD and carbon content and found that: a) the commonly used peat auger needs division by a correction factor of 1.136 to convert to the bulk density measured in large soil blocks; b) carbon content (%C) can be derived from the percentage organic matter derived from loss on ignition (LOI) by division by 1.922. A ‘triangulation’ of methods was set up to compare direct CO 2 flux measurements in chambers, calculations based on subsidence rate and change in bulk density and calculations based on differences in ash content (LOI method). Key results of field observation combined with laboratory peat soil analyses were: 1) Location and drainage influences the rates of subsidence, with rates of less than 4 cm/year for some oil palm plantation, rubber agroforests, and drained forest soils, and rates up to 10 cm/year in young oil palm newly drained. 2) the surface structure of the landscape varies over short ranges, making peat depth unattractive as measure of changes in peat C stock, 3) ash content and bulk density of the peat are related, indicating the partial loss of soil C during decomposition and compaction, 4) an “internal tracer” estimate of peat C loss yielded estimates of CO 2 flux up to 48 t CO 2 -eq per ha per year for young oil palm, highly correlated with the measured rates of subsidence of the surface, 5) an experiment with surface fertilizer application suggest considerable increase in peat C loss (based on increase in ash content and the “internal tracer’ method), 6) the spatial pattern of peat subsidence with increasing distance from the drain differed between oil palm and forest + rubber agroforest, consistent with a direct effect of fertilizer application on CO 2 emissions (as microbial activity is N limited at the prevailing high C/N ratios) beyond the drainage effect alone, 7) the pattern of weight loss of surface litter, measured in litter bags, responded to the inherent quality (C/N) rather than land use, 8) estimate of peat C loss from a documented forest fire were up to 133 t C ha-1 equivalent with 490 t CO 2 ha-1. 9) The difference between C accumulation and C loss for rubber agroforests (>15 year age) on peat, and oil palm agroforests (> 15 year age) on shallow peat indicated have a positive value (C accumulation > C loss). These results support through the triangulation of methods that drainage and fertilization of peat soils increases CO 2 emissions at rates of 30-40 t CO 2 -eq per ha per year, with higher values in early stages of conversion. Key words: Annual crops, conservation, C-stock, C-loss, drained, peat.
RINGKASAN MASWAR. Kajian Cadangan Karbon Pada Lahan Gambut Tropika yang Didrainase untuk Tanaman Tahunan. Dibimbing oleh OTENG HARIDJAJA, SUPIANDI SABIHAM, DAN MEINE VAN NOORDWIJK.
Ekosistem gambut berperan sangat penting dalam skala global, baik dari aspek ekologis, sosial maupun perekonomian masyarakat. Disisi lain, ekosistem gambut adalah unik, rapuh dan memiliki sifat tidak dapat diperbaharui. Proses pembentukannya memerlukan waktu ribuan tahun, dan bila terjadi kerusakan, sangat sulit untuk diperbaiki atau bahkan mungkin tidak bisa pulih sama sekali. Luas lahan gambut dunia sekitar 3% dari luas permukaan bumi yakni sekitar 400 juta hektar, namun menyimpan karbon sangat besar yang diperkirakan sebanyak 550 Giga ton, atau setara dengan 75% dari seluruh karbon di atmosfer. Khusus untuk Indonesia yang mewakili daerah gambut tropika, memiliki luas lahan gambut sekitar 265.500 km2, menyimpan cadangan karbon sekitar 54.016 Mega ton. Mengingat cadangan karbon yang besar pada lahan gambut sedangkan ekosistemnya sangat rapuh, maka apabila tidak dikelola dengan baik
akan menyebabkan kehilangan karbon yang
banyak, terutama dalam bentuk gas metan (CH 4 ) dan karbon dioksida (CO 2 ) ke atmosfer, sehingga akan semakin meningkatkan emisi gas rumah kaca (GRK). Kajian cadangan, kehilangan dan akumlasi karbon, serta evaluasi terhadap metode dan alat pengukuran bulk density (BD), %C-organik dan emisi CO 2 gambut, telah dilaksanakan pada lahan gambut yang didrainase di Provinsi Nangro Aceh Darussalam bagian barat, dan analisis sampel tanah gambut di Laboratorium Penelitian Tanah, Balai Penelitian Tanah Bogor pada bulan Mei 2008 sampai dengan bulan Oktober 2009. Kajian ini bertujuan untuk (1) Mengevaluasi metode dan alat penentuan karbon gambut tropika (2) Mengevaluasi karakteristik lahan dan/atau sifatsifat gambut tropika yang didrainase. (3) Menghitung cadangan karbon tersimpan pada lahan gambut tropika yang dikembangkan untuk tanaman tahunan, dan (4) Mengevaluasi kehilangan karbon pada lahan gambut tropika yang didrainase.
Kajian dilaksanakan di lahan gambut yang telah didrainase di beberapa lokasi dengan berbagai jenis penggunaan lahan yaitu: (1)
di desa Simpang, jenis
penggunaan lahan hutan, semak dan kebun karet umur 15 tahun, (2) di desa Suak Raya, jenis penggunaan lahan kelapa sawit dan karet umur 15 tahun, (3) di desa Suak Puntong jenis penggunaan lahan kelapa sawit umur 10 tahun , (4) di desa Cot Gajah Mati jenis penggunaan lahan kelapa sawit umur 1 tahun dan hutan.. Pada kajian pendahuluan telah dilakukan evaluasi terhadap beberapa alat dan metode: a) alat untuk mengambil sampel tanah yaitu: kotak sampel, ring sampel dan bor gambut, b) evaluasi metode penentuan karbon yaitu metode Walkley and Black dan Lost-onIgnition (LOI), dan c) membandingkan metoda chamber dengan peningkatan kadar abu (metoda LOI) untuk mengestimasi emisi CO 2 . Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kehilangan karbon diperlukan data karakteristik lahan, untuk itu dari sampel tanah dan pengamatan di lapang ditentukan: BD, kadar abu, kadar karbon, ketebalan gambut, subsidence, dalam muka air tanah, kemampuan tanah mengikat air (pF 1,00; 2,00; 2,54; 3,00 dan 4,20), kadar unsur hara (N, P, K, Ca, Mg, Na, Fe, Mn ), pH, kapasitas tukar kation (KTK), salinitas dan respirasi tanah. Pengambilan sampel tanah dan penentuan sifat-saifat tanah di lapang dilakukan dalam satu transek yang mewakili lokasi yang dekat sampai jauh dari saluran drainase. Pengambilan sampel tanah di lapang
menggunakan bor gambut tipe
setengah silinder dengan kapasitas 500 cm3, mulai dari permukaan sampai lapisan batas dengan tanah mineral. Untuk menentukan BD secara efektif dan effisien dapat digunakan bor gambut, namun hasilnya perlu dikoreksi atau dibagi dengan faktor koreksi yaitu 1,136, sedangkan untuk menentukan kandungan bahan organik dan C-organik digunakan metode Loss-on-Ignition (LOI), dengan faktor konversi %bahan-organik menjadi %C-organik adalah 1,922. Hasil uji T-test antara estimasi emisi CO 2 dengan metode chamber dan metode kadar abu (LOI) tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Cadangan karbon tersimpan pada lahan gambut bervariasi antara 622,24 – 3105,08 ton ha-1, variasi ini disebabkan karena perbedaan lokasi keberadaan lahan gambut, kerapatan karbon (carbon density), dan ketebalan gambut.
Transek tinggi permukaan tanah, dalam muka air tanah dan subsidence dipengaruhi oleh jarak lokasi dari saluran drainase. Secara umum semakin jauh lokasi dari saluran drainase permukaan tanah semakin tinggi, muka air tanah semakin dangkal dan subsidence semakin kecil, hubungan antara jarak tegak lurus lokasi dari saluran drainase dengan dalam muka air tanah, tinggi permukaan tanah, subsidence dan kehilangan karbon secara umum mengikuti pola persamaan logaritmik. Kehilangan karbon dari permukaan lahan gambut (0-50 cm) yang didrainase, bervariasi antara 0,651 – 13,106 ton C ha-1 th-1 atau setara 2,391 – 48,098 ton CO 2 ha1
th-1, besarnya variasi kehilangan karbon ini terlihat dipengaruhi oleh perbedaan
dalam muka air tanah maksimum, umur saluran, dan manajemen pengelolaan lahan. Kehilangan karbon pada lahan gambut yang didrainase berkorelasi positif dengan subsidence dan kondisi muka air tanah. Kejadian subsidence pada lahan gambut tropika yang didrainase berkisar antara 1,1 – 9,2 cm selama periode waktu 14 bulan, rata-rata 48,13% subsidence disebabkan oleh kehilangan karbon. Pengembalian
biomassa
sisa
tanaman
ke
lahan
gambut
berpotensi
meningkatkan cadangan karbon gambut, yang besarnya berkisar antara 33,2 – 342,3 gr C th-1 dari setiap kg biomassa yang dikembalikan. Namun demikian, disisi lain sebagian biomassa tersebut juga terdekomposisi mengemisikan karbon sebesar 116,7 – 441,0 gr C th-1 dari setiap kg biomassa. Kehilangan karbon akibat pemupukan pada lahan gambut lebih tinggi sekitar 15,3 - 32,1 ton C ha-1 atau setara 56,15 – 117,81 ton CO 2 ha-1 dibandingkan tanpa pemupukan. Pada kejadian kebakaran hutan pada lahan gambut yang didrainase mengemisikan karbon berkisar antara
92,16 - 133,38 ton C ha-1 atau setara 338,23 –
489,50 ton CO 2 ha-1. Kehilangan karbon terbawa air drainase berkisar antara 70 – 280 gr C m-3 air, tergantung dari debit air saluran dan konsentrasi karbon terlarut. Ditemukan ada indikasi akumulai C lebih besar dari kehilangan C pada kebun kelapa sawit tua (umur > 15 tahun) di lahan gambut dangkal dan kebun karet tua (umur > 15 tahun). Kata kunci: Tanaman tahunan, konservasi, cadangan C, kehilangan C, drainase, gambut.
@ Hak Cipta Milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan ataumenyebutkan sumber a. Pengutipan hanya boleh untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah, b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk laporan apapun tanpa izin IPB
KAJIAN CADANGAN KARBON PADA LAHAN GAMBUT TROPIKA YANG DIDRAINASE UNTUK TANAMAN TAHUNAN
MASWAR
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Tanah
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Penguji pada Ujian Tertutup: 1. Dr. Ir. Fahmuddin Agus. Balai Penelitian Tanah Bogor. 2. Dr. Ir. Komaruddin Idris, MS. Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penguji pada Ujian Terbuka: 1. Prof (R). Dr. Irsal Las Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor 2. Dr. Ir. Syaiful Anwar, MSc. Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Judul Disertasi
: Kajian Cadangan Karbon Pada Lahan Gambut Tropika yang Didrainase untuk Tanaman Tahunan
Nama
: Maswar
NRP
: A.361060021
Program Studi
: Ilmu Tanah
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Oteng Haridjaja, MSc. Ketua
Prof.Dr.Ir. Supiandi Sabiham, M. Agr. Anggota
Dr. Meine van Noordwijk Anggota
Diketahui Ketua Program Studi
Dr. Ir. Atang Sutandi, MSi.
Tanggal Ujian: 4 Februari 2011
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MSc.
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat dan HidayahNya untuk dapat menyusun disertasi ini. Tema yang diangkat pada penelitian ini yaitu mengenai cadangan karbon pada lahan gambut tropika, yang mana saat ini telah menjadi pusat perhatian dunia karena sangat besarnya peranan karbon dari lahan gambut tropika terhadap perbaikan dan/atau penurunan kualitas lingkungan global khususnya yang berkaitan dengan emisi gas rumah kaca. Penelitian mengenai perubahan cadangan karbon pada kondisi alaminya merupakan suatu hal yang penting buat kita untuk memahami bagaimana lahan gambut tropika merespon pengaruh antropogenik yang dialaminya. Pada umumnya sejalan dengan konversi lahan gambut baik untuk usaha pertanian maupun penggunaan lainnya seperti pembuatan jalan selalu diikuti dengan pembuatan saluran drainase untuk pembuangan air. Hal ini merupakan faktor utama yang menyebabkan terjadinya instabilitas gambut. Untuk itu, pada penelitian ini kondisi tata air pada lahan gambut yang didraining merupakan prioritas utama yang dipelajari disamping kondisi sifat fisik, kimia dan biologinya dalam kaitannya dengan kehilangan karbon pada gambut. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang akurat mengenai perbedaan perubahan cadangan karbon pada berbagai pengunaan lahan gambut yaitu: hutan, semak belukar, kebun kelapa sawit dan karet, baik karena dekomposisi bahan organik, kebakaran, pemupukan dan hanyut terbawa air dainase. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Oteng Haridjaja, MSc. sebagai ketua komisi pembimbing, Bapak Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, M. Agr., dan Dr. Meine van Noordwijk sebagai anggota komisi pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, pengarahan, motivasi dan saran serta dukungannya untuk kesempurnaan kajian ini. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Fahmuddin Agus sebagai koordinator kerjasama penelitian ”Rebuilding Green Infrastucture with Trees People Want (ReGrin)” antara Balai Penelitian Tanah Bogor dengan ICRAF, atas saran dan
arahan dalam pelaksanaan penelitian di lapang dan laboratorium dan sebagai penguji luar komisi pada sidang ujian tertutup. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Atang Sutandi, MSi., sebagai ketua Program Studi Ilmu Tanah, Bapak Dr. Ir. Komaruddin Idris, MS., sebagai penguji luas komisi pada sidang ujian tertutup, Bapak Dr. Ir. Syaiful Anwar, MSc., dan Bapak Prof (R) Dr. Ir. Irsal Las sebagai penguji luar komisi pada sidang ujian terbuka. Ucapan terima kasih disampaikan kepada ICRAF yang telah bersedia untuk menyediakan dana dan dukungan untuk terlaksananya penelitian ini. Ucapan terima kasih disampaikan pula kepada Badan LITBANG Pertanian yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti program pendidikan Pascasarjana (S.3) dan sekaligus memberikan beasiswa. Ucapan terima kasih disampaikan pula kepada SPs-IPB atas semua fasilitas yang diberikan kepada penulis selama menjalani Program Doktor pada Program Studi Ilmu Tanah. Penghargaan dan ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada Abak Bahar Dj (Alm) dan Mamak Rosna dan Ibuk Mertua Hasanur atas segala do’a dan dukungan beliau pada penulis. Khusus untuk isteri tercinta Helfianty yang dengan penuh kesabaran dan tabah selalu memotivasi dan mendoakan penulis untuk selalu berbuat yang terbaik dan maksimal, juga kepada anak-anak Alvin Al Asyraf Maswar, Arifin Al Amiri Maswar, Aqil Al Ahnaf Maswar dan Amirah Amanina Maswar yang selalu menjadi inspirasi bagi penulis untuk berbuat yang terbaik. Akhirnya kepada semua pihak yang telah membantu yang tidak dapat penulis uraikan satu per satu, disampaikan terima kasih. Semoga hasil penelitian ini dapat dijadikan pedoman/acuan bagi pengelolaan dan konservasi lahan gambut yang telah terlanjur dikonversi.
Bogor, 4 Februari 2011 Penulis
Maswar
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kayutanam, Kabupaten Padang Pariaman 27 Mei 1962 sebagai anak kedua dari pasangan Alm.H. Bahar Dj dan Hj. Rosna. Pendidikan SD diselesaikan pada tahun 1974 dari SDN 8 Pariaman, SMP tamat pada tahun 1977 dari SMPN 1 Pariaman, SMA tamat tahun 1981 dari SMAN Pariaman. Pendidikan sarjana ditempuh di Fakultas Pertanian Universitas Andalas (UNAND) Padang, lulus pada tahun 1986. Pada tahun 1998, penulis diterima sebagai GRA (Graduate Assistance) pada kerjasama antara University Putra Malaysia dengan CIFOR malaksanakan penelitian “Rehabilitation of degraded log over forests” guna melanjutkan studi jenjang Master (S.2), meraih gelar Master of Agricultural Science (M. Agric. Sc.) bidang Soil Physics and Conservation, pada Universiti Putra Malaysia, 43400 UPM Serdang, Selangor DE, Malaysia tahun 2000. Pada bulan September 2006 penulis diterima sebagai mahasiswa Program Doktor pada Program Studi Ilmu Tanah pada Sekolah Pascasarjana Institut Prtanian Bogor (SPs-IPB). Beasiswa pendidikan pascasarjana (S.3) diperoleh dari Badan LITBANG Pertanian. Pada tanggal 5 Februari 1993 penulis menikah dengan Helfianty, dan dikaruniai empat orang anak yakni: Alvin Al Asyraf Maswar (2 Desember 1993), Arifin Al Amiri Maswar (24 November 1995), Aqil Al Ahnaf Maswar (11 Mei 2002) dan Amirah Amanina Maswar (4 Juli 2005). Penulis bekerja sebagai peneliti pada Balai Penelitian Tanah, Bogor semenjak tahun 1992 sampai sekarang. Pengalaman penelitian: Sebagai site koordinator dan peneliti pada ”Penelitian Terapan Sistim DAS Kawasan Perbukitan Kritis di Yogyakarta” tahun 1992 - 1997. Sebagai peneliti pada penelitian “Rehabilitation of Logged-over Tropical Forest Ecosystem” di Pasoh Forest Reserve, Negeri Sembilan, Peninsular Malaysia (kerjasama penelitian antara UPM Malaysia dengan CIFOR) tahun 1998 - 2000. Sebagai peneliti pada kegiatan “Alternative to Slash and Burn (ASB) in SE Asia, Phase-3 tahun 2001 - 2004. Sebagai peneliti pada kerjasama penelitian antara ASEAN-Jepang dengan topik ”Multifunctionality of Agrculture” tahun 2004 - 2006. Telah mempublikasikan beberapa karya ilmiah dalam bahasa Indonesia dan Inggris, baik sebagai penulis utama maupun co-author. Dua artikel yang merupakan bagian dari disertasi ini telah disetujui untuk diterbitkan adalah: (1) Kehilangan Karbon Pada Berbagai Tipe Penggunaan Lahan Gambut Tropika yang Didrainase, di Jurnal Tanah dan Iklim, Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor. (2) Cadangan, Kehilangan dan Akumulasi Karbon Pada Perkebunan Kelapa Sawit di Lahan Gambut Tropika, di Journal of Soil and Land Utilization Management (SOLUM), Fakultas Pertanian Universitas Andalas, Padang.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL……………………………………………………………..
xxiii
DAFTAR GAMBAR……………………………………………………….....
xxv
DAFTAR LAMPIRAN...................................................................................... xxvii PENDAHULUAN…………………………………………………………….
1
Latar Belakang…………………………………………………….…... Rumusan Masalah dan Kerangka Pikir Penelitian.................................. Tujuan penelitian.……………………………………………………... Manfaat Penelitian………………………….…………………………. Hypotesis Penelitian…………………………………………………... Kebaharuan Penelitian…………………………………………………
1 4 8 8 9 9
TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………………....
11
Definisi, Proses Pembentukan, dan Pengelompokan Gambut………… Definisi gambut…………………………………………………. Proses pembentukan gambut……………………………………. Pengelompokan gambut…………………………………………. Sifat-sifat Tanah Gambut……………………………………………... Pemanfaatan Lahan Gambut di Indonesia……………………………. Pengaruh Drainase Pada Lahan Gambut............................................... Pengaruh Pola dan Dimensi Saluran Drainase..................................... Emisi dan Kehilangan Karbon Dari Lahan Gambut…………………. Pemanasan Global dan Karbon Lahan Gambut..................................... Interaksi Antara Karbon, Mikro Organisme dan Unsur Hara................
11 11 12 14 16 16 18 19 20 22 24
METODOLOGI PENELITIAN………………………………………………
27
Waktu dan Lokasi Penelitian .……………………………………….. Metode Penelitian…………………………………………………….. Tahapan Penelitian…………………………………………………… Deskripsi Lokasi Penelitian ………………………………………….. Penentuan Lokasi Titik Pengamatan ………………………………… Peralatan Penelitian……….………………………………………….. Pengambilan Sampel dan Pengamatan :…. ….………………………
27 27 28 30 35 35 36
Kajian evaluasi metode dan alat untuk menentukan kadar karbon gambut..................................................................... Pengukuran cadangan karbon dan karakteristik lahan gambut tropika yang didrainase........................................... Kajian kehilangan karbon dari berbagai penggunaan lahan gambut yang didrainase…………………………………... 1.Kehilangan karbon pada permukaan lahan gambut pada masing-masing lokasi dan faktor yang mempengaruhinya………………………………… 2.Pengamatan kehilangan karbon akibat pemupukan.... 3.Pengamatan kehilangan karbon akibat dekomposisi biomasa tanaman......................................................... 4.Pengamatan kehilangan karbon akibat kebakaran hutan............................................................................ 5.Pengamatan kehilangan karbon terbawa air drainase..
39 43
43 45 46 47 48
HASIL DAN PEMBAHASAN.........................................................................
49
Evaluasi Metode Pengukuran Karbon Tersimpan Pada Lahan Gambut..................................................................................................
49
1. Evaluasi metode pengukuran bulk density (BD) lahan gambut.................................................................................... 2. Evaluasi metode pengukuran kandungan karbon gambut...... 3. Evaluasi metoda pengukuran emisi CO 2………………………………… Karakteristik Lahan Gambut yang Didrainase...................................... 1. Keadaan umum saluran drainase pada masing-masing lokasi Kajian............................................................................................. 2.Keragaan transek dalam muka air tanah dan permukaan tanah berdasarkan jarak dari saluran drainase....................................... 3.Karakteristik bulk density, kadar abu dan karbon pada lahan gambut yang didrainase................................................................. Cadangan Karbon Pada Berbagai Kondisi Lahan Gambut Tropika yang Didrainase.................................................................................... Kehilangan Karbon Dari Lahan Gambut yang Didrainase.................. 1. Kehilangan karbon dari lapisan permukaan lahan gambut yang didrainase dan faktor-faktor yang mempengaruhinya..... a. Rata-rata kehilangan karbon dari lapisan permukaan lahan gambut yang didrainase...................... b. Karakteristik lahan yang berkaitan erat dengan kehilangan karbon pada permukaan gambut yang didrainase.......................................................................... 2. Kehilangan karbon dari dekomposisi biomasa pada berbagai penggunaan lahan gambut yang didrainase.................................. 3. Kehilangan karbon akibat pemupukan pada lahan gambut.......... 4. Kehilangan karbon akibat kebakaran hutan pada lahan gambut
xx
36
49 52 55 57 57 59 66 71 78 78 78
84 93 99
yang didrainase.............................................................................. 5. Kehilangan karbon pada lahan gambut terbawa aliran air drainase.......................................................................................... Perbedaan Antara Kehilangan dan Akumulasi Karbon Pada Lahan Gambut Tropika yang Didrainase Untuk Tanaman Tahunan................
102
PEMBAHASAN UMUM..................................................................................
113
KESIMPULAN DAN SARAN.........................................................................
129
Kesimpulan............................................................................................... Saran.........................................................................................................
129 130
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................
133
LAMPIRAN.......................................................................................................
141
108 109
xxi
xxii
DAFTAR TABEL
No
Halaman
1. Daftar kebutuhan air tanaman yang diusahakan di lahan gambut...............................................................................................
17
2. Ringkasan dari perbedaan jenis-jenis respirasi mikro organisme dan kaitannya dengan potensial redoks.............................................
25
3. Lokasi kajian berdasarkan penggunaan lahan dan wilayah administrative………………………………………………………
29
4. Peralatan yang digunakan selama kajian di lapangan......................
36
5. Sifat-sifat tanah yang diamati dan metode pengukurannya..............
40
6. Matrik korelasi nilai BD tanah gambut dengan penggunaan alat kotak sampel 1 dengan kotak sampel 2, ring sampel, dan bor gambut khusus...................................................................................
50
7. Hasil uji T-test rata-rata nilai emisi CO2 berdasarkan pengukuran metoda chamber dan metoda LOI.....................................................
55
8. Nilai hasil prediksi emisi CO2 antara metoda chamber (fluks CO2) dan metoda LOI (peningkatan kadar abu).........................................
56
9. Ketebalan gambut dan distribusi cadangan karbon di masingmasing lokasi kajian pada kondisi bulan Agustus tahun 2009..........
72
10. Kerapatan karbon pada lahan gambut yang didrainase di masingmasing lokasi kajian..........................................................................
77
11. Rata-rata kehilangan karbon dari ketebalan gambut 50 cm dan prediksi emisi CO2 pada berbagai kondisi gambut tropika yang didrainase .........................................................................................
78
12. Bentuk hubungan antara jarak dari saluran drainase dengan kehilangan karbon.............................................................................
83
13. Nilai koefisien korelasi antara kehilangan karbon dengan karakteristik lahan.............................................................................
85
14. Rata-rata nilai kehilangan karbon dan subsidence serta rata-rata kontribusi kehilangan karbon terhadap subsidence pada berbagai penggunaan lahan gambut yang didainase........................................
87
15. Hasil analisa hubungan kehilangan karbon dengan karakteristik lahan pada lahan gambut yang didrainase menggunakan prosedur stepwise.............................................................................................
88
16. Subsidence umur saluran dan muka air tanah maksimum pada masing-masing lokasi lahan gambut yang didrainase periode waktu Mei 2008 sampai Agustus 2009.............................................
90
xxiii
xxiv
17. Bentuk hubungan antara jarak dari saluran drainase dengan subsidence.........................................................................................
92
18. Kadar karbon dan nilai C/N awal serta berat biomasa yang tersisa pada periode waktu 0, 6 dan 14 bulan setelah proses dekomposisi berlangsung.......................................................................................
94
19. Kehilangan biomasa selama 14 bulan proses dekomposisi dan besarnya emisi karbon atau gas CO2 dari setiap kilo gram biomasa.
98
20. Rata-rata nilai BD dan kadar abu pada plot yang diberi pupuk dan tanpa pupuk 8 bulan setelah pempukan.............................................
99
21. Hasil uji T-test berpasangan terhadap nilai persentase abu, BD dan berat abu antara plot dipupuk dengan tanpa dipupuk........................
100
22. Perbandingan BD, %kadar abu, dan kandungan abu antara hutan alami dengan hutan terbakar di desa Simpang dan desa Cot Gajah Mati pada ketebalan permukaan gambut 5 cm..................................
104
23. Hasil uji T-tes rata-rata berat abu pada permukaan tanah pada hutan alami dan hutan terbakar di desa Simpang dan desa Cot Gajah Mati.........................................................................................
105
24. Debit air saluran drainase dan konsentrasi karbon dalam air pada beberapa lokasi lahan gambut yang didrainase.................................
109
25. Perbedaan antara kehilangan dan akumulasi karbon pada masingmasing lokasi kajian..........................................................................
111
DAFTAR GAMBAR
No
Halaman
1. Kerangka pemikiran dinamika karbon pada lahan gambut yang didrainase untuk tanaman tahunan……………………………………...
7
2. Emisi CO2 dari lahan gambut berdasarkan Negara pada tahun 2008......
21
3. Perobahan konsentrasi CO2 di atmofir di Mauna Loa selama periode waktu 50 tahun (1960 – 2010). Sumber: Dr. Pieter Tans, NOAA/ESRL (www.esrl.noaa.gov/gmd/ccgg/trends/)...................................................
23
4. Bagan alir tahapan penelitian…………………………………………...
28
5. Peta tanah dan lokasi kajian dilaksanakan...............................................
30
6. Bentuk hubungan antara hasil pengukuran bulk density menggunakan kotak sampel 1 dengan kotak sampel 2, ring dan bor.............................
50
7. Hubungan antara hasil pengukuran %C-organik metode LOI dengan %bahan organik metode Walkley dan Black............................................
52
8. Kondisi saluran drainase di masing-masing lokasi kajian.......................
57
9. Telaga (suak) di pinggir pantai tempat terakumulasinya air drainase dari lahan gambut.....................................................................................
58
10. Keragaan transek ”dalam muka air tanah” dan ”permukaan tanah” berdasarkan jarak tegak lurus lokasi dari saluran drainase pada lokasi kajian hutan di desa Simpang...................................................................
59
11. Keragaan transek ”dalam muka air tanah” dan ”permukaan tanah” berdasarkan jarak tegak lurus lokasi dari saluran drainase pada lokasi kajian semak belukar I di desa Simpang..................................................
60
12. Keragaan transek ”dalam muka air tanah” dan ”permukaan tanah” berdasarkan jarak tegak lurus lokasi dari saluran drainase pada lokasi kajian semak belukar II di desa Simpang.................................................
60
13. Keragaan transek ”dalam muka air tanah” dan ”permukaan tanah” berdasarkan jarak tegak lurus lokasi dari saluran drainase pada lokasi kajian kebun karet di desa Simpang.........................................................
60
14. Keragaan transek ”dalam muka air tanah” dan ”permukaan tanah” berdasarkan jarak tegak lurus lokasi dari saluran drainase pada lokasi kajian kebun kelapa sawit I di desa Suak Puntong..................................
61
15. Keragaan transek ”dalam muka air tanah” dan ”permukaan tanah” berdasarkan jarak tegak lurus lokasi dari saluran drainase pada lokasi kajian kebun kelapa sawit II di desa Suak Puntong................................
61
xxv
16. Keragaan transek ”dalam muka air tanah” dan ”permukaan tanah” berdasarkan jarak tegak lurus lokasi dari saluran drainase pada lokasi kajian kebun kelapa sawit I di desa Suak Raya......................................
61
17. Keragaan transek ”dalam muka air tanah” dan ”permukaan tanah” berdasarkan jarak tegak lurus lokasi dari saluran drainase pada lokasi kajian kebun kelapa sawit II di desa Suak Raya.....................................
62
18. Keragaan transek ”dalam muka air tanah” dan ”permukaan tanah” berdasarkan jarak tegak lurus lokasi dari saluran drainase pada lokasi kajian kebun karet di desa Suak Raya......................................................
62
19. Keragaan transek ”dalam muka air tanah” dan ”permukaan tanah” berdasarkan jarak tegak lurus lokasi dari saluran drainase pada lokasi kajian kebun kelapa sawit di desa Cot Gajah Mati..................................
62
20. Rata-rata nilai Bulk Desity (BD) dan kadar abu pada setiap 50 peningkatan ketebalan gambut.................................................................
67
21. Bentuk hubungan antara BD dan kadar abu pada tingkat kematangan gambut fibrik............................................................................................
69
22. Bentuk hubungan antara BD dan kadar abu pada tingkat kematangan gambut hemik...........................................................................................
69
23.
Bentuk hubungan antara BD dan kadar abu pada tingkat kematangan gambut saprik + gambut tercampur bahan mineral (peaty mineral) ......
69
24. Hubungan antara ketebalan gambut dengan cadangan karbon yang tersimpan di dalamnya.............................................................................
71
25. Hubungan antara subsidence dengan kehilangan karbon........................
86
26. Keragaan masing-masing biomasa yang tertinggal setelah 14 bulan terdekomposisi.........................................................................................
96
27. Bentuk hubungan antara rasio C/N dengan berat biomasa yang tersisa setelah 6 dan 14 bulan proses dekomposisi berjalan................................
97
28.
Keragaan kondisi hutan alami dan kondisi hutan setelah terbakar...........
108
29.
Diagram pencar hubungan antara dalam muka air tanah maksimum dengan emisi CO2 pada lahan gambut tropika yang didrainase..............
125
xxvi
DAFTAR LAMPIRAN No
Halaman
1. Legenda land unit kabupaten Aceh Barat……....................................... 142 2. Koordinat geografis titik pengamatan.....................................................
144
3. Tingkat kematangan gambut pada profil gambut di berbagai lokasi kajian…………………………………………………………………... 145 4. Data cadangan dan kehilangan karbon dan sifat-safat tanah pada semua land use kajian.............................................................................. 146 5. Gambar hubungan antara kehilangan karbon dengan jarak lokasi dari saluran drainase pada lokasi kajian hutan di desa Simpang.................... 151 6. Gambar hubungan antara kehilangan karbon dengan jarak lokasi dari saluran drainase pada lokasi kajian semak I di desa Simpang................ 151 7. Gambar hubungan antara kehilangan karbon dengan jarak lokasi dari saluran drainase pada penggunaan lahan semak II di desa Simpang...... 151 8. Gambar hubungan antara kehilangan karbon dengan jarak lokasi dari saluran drainase pada lokasi kebun karet I di desa Simpang.................. 152 9. Gambar hubungan antara kehilangan karbon dengan jarak lokasi dari saluran drainase pada lokasi kebun kelapa sawit di desa Cot Gajah Mati......................................................................................................... 152 10. Gambar hubungan antara kehilangan karbon dengan jarak lokasi dari saluran drainase pada lokasi kebun karet di desa Suak Raya................. 152 11. Gambar hubungan antara kehilangan karbon dengan jarak lokasi dari saluran drainase pada lokasi kebun kelapa sawit I di desa Suak Raya... 153 12. Gambar hubungan antara kehilangan karbon dengan jarak lokasi dari saluran drainase pada lokasi kajian kelapa sawit II di desa Suak Raya. 153 13. Gambar hubungan antara kehilangan karbon dengan jarak lokasi dari saluran drainase pada lokasi kajian kelapa sawit I di desa Suak Puntong.................................................................................................... 153 14. Gambar hubungan antara kehilangan karbon dengan jarak lokasi dari saluran drainase pada lokasi kebun kelapa sawit II di desa Suak Puntong.................................................................................................... 154 15. Gambar hubungan antara jarak dari saluran drainase dengan subsidence pada lokasi hutan di desa Simpang....................................... 154 16. Gambar hubungan antara jarak dari saluran drainase dengan subsidence pada lokasi semak I di desa Simpang................................... 154 17. Gambar hubungan antara jarak dari saluran drainase dengan subsidence pada lokasi semak II di desa Simpang................................. 155
xxvii
18. Gambar hubungan antara jarak dari saluran drainase dengan subsidence pada lokasi karet di desa Simpang....................................... 155 19. Gambar hubungan antara jarak dari saluran drainase dengan subsidence pada lokasi kelapa sawit I di desa Suak Puntong................. 155 20. Gambar hubungan antara jarak dari saluran drainase dengan subsidence pada lokasi kelapa sawit II di desa Suak Puntong............... 156 21. Gambar hubungan antara jarak dari saluran drainase dengan subsidence pada lokasi karet di desa Suak Raya..................................... 156 22. Gambar hubungan antara jarak dari saluran drainase dengan subsidence pada lokasi kelapa sawit I di desa Suak Raya...................... 156 23. Gambar hubungan antara jarak dari saluran drainase dengan subsidence pada lokasi kelapa sawit II di desa Suak Raya..................... 157 24. Gambar hubungan antara jarak dari saluran drainase dengan subsidence pada penggunaan lahan kelapa sawit I di desa Cot Gajah Mati.......................................................................................................... 157
xxviii
PENDAHULUAN Latar Belakang Ekosistem gambut mempunyai peranan yang sangat penting dalam skala global, baik dari aspek ekologis, sosial maupun perekonomian masyarakat karena menyediakan hasil hutan berupa kayu dan non kayu, menyimpan dan mensuplai air, menyimpan karbon, dan merupakan habitat bagi keanekaragaman hayati dengan berbagai jenis flora dan fauna langka yang hanya ada dijumpai pada ekosistem ini (Roulet, 2000; Zhang et al., 2002; Chmura et al., 2003; Sudip et al., 2005; Sanderson et al., 2006). Disisi lain, ekosistem gambut sangat unik, rapuh dan memiliki sifat tidak dapat diperbaharui, proses pembentukannya memerlukan waktu ribuan tahun, bila terjadi kerusakan, sangat sulit untuk diperbaiki atau bahkan tidak bisa pulih sama sekali. Luas lahan gambut dunia hanya sekitar 3% dari luas permukaan bumi yaitu sekitar 400 juta hektar (Joosten dan Clarke, 2002; Global Peatlands Initiative, 2002); Hooijer et al., 2006), namun menyimpan karbon yang sangat banyak yakni diperkirakan sebanyak 550 Giga ton, atau setara dengan 75% dari seluruh karbon di atmosfer (Alex dan Joosten, 2008; Joosten, 2009). Menurut Joosten (2009) khusus untuk Indonesia yang mewakili daerah gambut tropika, memiliki luas lahan gambut ketiga terluas di dunia setelah Rusia dan Kanada yakni sekitar 265.500 km2, jumlah ini sekitar 14% dari luas daratan Indonesia atau lebih dari setengah dari luas gambut yang berada di daerah tropika, dan berdasarkan data kondisi tahun 2008 gambut Indonesia menyimpan cadangan karbon juga peringkat tiga terbesar di dunia (setelah Kanada dan Rusia) yakni sekitar 54.016 Mega ton. Mengingat cadangan karbon yang besar pada lahan gambut
sedangkan ekosistemnya sangat rapuh, maka apabila tidak dikelola
dengan baik akan menyebabkan kehilangan karbon yang banyak, terutama dalam bentuk gas metan (CH 4 )
dan karbon dioksida (CO 2 ) ke atmosfer sehingga
semakin meningkatkan emisi gas rumah kaca (GRK). Salah satu sumber yang berkontribusi besar terhadap peningkatan CO 2 di atmosfer akhir-akhir ini adalah berasal dari emisi karbon dari proses dekomposisi dan/atau kebakaran gambut, akibat dari aktivitas alih guna (konversi) hutan dan pembuatan saluran drainase pada ekosistem gambut tersebut. Kasus untuk
2 ekosistem gambut tropika yang diwakili oleh Indonesia dan Malaysia misalnya, kehilangan karbon akibat oksidasi dari permukaan lahan gambut yang didrainase rata-rata sebesar 65 ton CO 2 ha-1 th-1 (Hooijer et al., 2006). Meski memiliki fungsi strategis, namun alih fungsi atau reklamasi lahan gambut
untuk dijadikan lahan pertanian maupun pemukiman serta untuk
infrastruktur lainnya telah terjadi semenjak beberapa dekade terakhir dan masih terus berlangsung sampai sekarang. Sebagai gambaran telah terjadi konversi dan/atau pembuatan drainase terhadap lahan gambut dunia dapat dilihat dari laporan Alex dan Joosten (2008) yang mana seluas 65 juta hektar lahan gambut dunia telah didrainase, dan telah mengemisikan CO 2 sebanyak 3 Giga ton per tahun. Khusus untuk Indonesia, menurut Hooijer et al.(2006) selama periode 1985 – 2000 sebanyak 20% atau rata-rata sebesar 1,3% per tahun hutan gambut alami telah ditebang dan/atau dikonversi untuk penggunaan lain, dan berdasarkan data konsesi Indonesia, menunjukkan bahwa 27% dari luas area konsesi untuk kelapa sawit dan hutan tanaman industri (HTI) berada pada lahan gambut, rinciannya adalah 28.009 km2 untuk perkebunan kelapa sawit dan 19.923 km2 untuk HTI. Bentuk lain dari aktivitas konversi hutan gambut alami Indonesia yang telah menyebabkan degradasi lahan adalah, setelah pembuatan drainase dilanjutkan dengan penebangan hutan, kayu-kayu dibawa keluar dari kawasan hutan melalui saluran-saluran drainase, selanjutnya lahan dibiarkan terlantar sehingga ditumbuhi oleh semak belukar. Kasus seperti ini banyak ditemui dibeberapa tempat di pulau Sumatera dan Kalimantan, seperti yang dikemukakan oleh Ardjakusuma et al. (2001) bahwa di Kalimantan Tengah banyak dijumpai lahan
bongkor
yaitu
lahan
gambut
yang
terdegradasi
(rusak)
dan
dibiarkan/ditinggalkan oleh pengelolanya, sehingga menjadi lahan tidur. Pada awal kajian ini dilaksanakan (pra penelitian) kondisi yang hampir sama dengan di Kalimantan Tengah juga terjadi di kabupaten Aceh Barat, propinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang mana banyak lahan gambut setelah hutanya ditebang dibiarkan terlantar ditumbuhi semak belukar. Pemanfaatan lahan gambut untuk komuditi tanaman tahunan (pertanian atau perkebunan dan hutan tanaman industri) mengharuskan adanya saluran drainase atau kanal untuk meningkatkan ketersediaan oksigen bagi akar supaya
3 tanaman bisa tumbuh dan berkembang dengan baik (Hooijer et al., 2006). Pembuatan drainase menyebabkan penurunan muka air tanah, akibatnya terjadi perubahan kondisi lingkungan dari anaerob menjadi aerob pada lapisan dekat permukaan gambut, sehingga meningkatkan kehilangan karbon melalui proses dekomposisi gambut (Chimner dan Cooper, 2003). Dalam kondisi seperti ini, jelas bahwa konsekwensi logis dari pembuatan drainase adalah menyebabkan terjadinya peningkatan kehilangan karbon terutama dalam bentuk: emisi CO 2 ke atmosfer, dan hanyutnya karbon terlarut (disolved organik carbon) bersama aliran air drainase yang keluar dari lahan gambut. Berbagai aktivitas pengelolaan lahan pertanian pada lahan gambut setelah pembuatan drainase, seperti pembakaran semak dan sisa-sisa tanaman di atas permukaan gambut, praktek pengolahan tanah dan pemupukan juga dapat meningkatkan laju kehilangan karbon. Hal ini menunjukkan bahwa dampak lebih lanjut yang terjadi setelah pengembangan sistim drainase di lahan gambut adalah penurunan permukaan tanah (subsidence) karena hilangnya gambut dan proses pemadatan. Berkaitan dengan hal ini, Limin et al. (2000) melaporkan bahwa besarnya penurunan permukaan lahan gambut tropika di daerah Kalampangan (eks UPT Bereng Bengkel) berkisar antara 1-3 cm per tahun. Penanaman tanaman tahunan pada lahan gambut yang didrainase seperti kelapa sawit, karet dan HTI sebenarnya juga dapat meningkatkan cadangan karbon, karena dalam proses pertumbuhan yang simultan selama proses fotosintesis tanaman mengabsorpsi CO 2 dan menyimpannya sebagai materi organik dalam biomassa tanaman. Berkaitan dengan hal ini, Agus (2007) memperkirakan bahwa jika lahan gambut dijadikan kebun kelapa sawit, dalam kurun waktu 15 sampai 25 tahun akan terjadi penambatan (sequestration) karbon sekitar 100 ton/ha. Dalam jangka panjang ranting, daun dan bahan-bahan tanaman lain yang jatuh ke permukaan tanah juga dapat menyimpan karbon sampai terdekomposisi namun disisi lain, menurut hasil study oleh Dr. Susan Page University of Leicester yang dipublikasikan oleh Hooijer et al. (2006) dan Mongabay.com (2009) selama siklus berproduksi kelapa sawit yaitu lebih dari 25 tahun, dalam setiap produksi 1 ton minyak kelapa sawit pada lahan gambut, juga
4 telah mengemisikan sebanyak 15 - 70 ton CO 2 yang berasal dari dekomposisi gambut dan pembakaran pada proses land clearing. Dari berbagai data atau informasi yang dipublikasikan oleh beberapa stake holder saat ini terlihat bahwa kegiatan konversi hutan gambut di daerah tropika menjadi bentuk penggunaan lain yang diikuti dengan pembuatan saluran drainase telah menyebabkan kehilangan karbon yang sangat besar dan berkontribusi sangat besar pula terhadap emisi GRK dan perubahan iklim global. Untuk meminimumkan dampak dari aktivitas pengelolaan lahan gambut tropika, maka perlu adanya upaya atau tindakan nyata yang dapat mendorong penurunan laju kehilangan atau emisi karbon dari lahan gambut yang telah terlanjur dikonversi dan/atau didrainase. Berkaitan dengan hal ini,
pemerintah Indonesia telah
meresponnya dengan mencanangkan target penurunan emisi GRK Indonesia sebesar 26 persen sampai tahun 2020. Pernyataan ini disampaikan oleh Presiden Republik Indonesia pada pertemuan perubahan iklim PBB yaitu Confrence of the Parties (COP-15) di Kopenhagen pada tanggal 7-18 Desember 2009. Rumusan Masalah dan Kerangka Pikir Penelitian Dalam beberapa
dasawarsa
mendatang, lahan
gambut
Indonesia
diperkirakan akan terus menjadi semakin terancam, karena dikonversi untuk dijadikan lahan pertanian, perkebunan, pemukiman dan infrastruktur lainnya. Hal ini didasarkan pada pemanfaatan lahan gambut sebagai lahan pertanian bukanlah hal yang baru bagi Indonesia, secara tradisional masyarakat lokal telah lama memanfaatkan lahan gambut untuk usaha pertanian dalam skala kecil. Bahkan pada tahun 2008 pemerintah Indonesia telah memberi izin lagi pengembangan lebih dari 2 juta hektar lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit (Rhett, 2009). Diperkirakan untuk masa yang akan datang lahan gambut Indonesia akan lebih cepat terdegradasi, karena pada proses reklamasi lahan gambut untuk budidaya pertanian dan perkebunan khususnya untuk tanaman tahunan selalu diawali dengan pembuatan drainase, penyiapan lahan (land clearing) dan persiapan lahan untuk komoditas tanaman tertentu. Adanya proses usikan selama aktivitas reklamasi dan pengelolaan lahan gambut yang meliputi: pengeringan
5 atau drainase, pembersihan dan/atau pembakaran, pengolahan tanah, serta pemupukan, merupakan faktor-faktor yang dapat mempercepat degradasi gambut. Pada pengembangan lahan gambut tropika yang didrainase untuk usaha tanaman tahunan, pada proses keberlanjutan hidupnya tanaman menyerap karbon dalam bentuk CO 2 dari atmosfer yang diperlukan dalam proses fotosintesis. Karbon yang diserap ini kemudian diubah menjadi karbohidrat yang selanjutnya disebarkan ke seluruh bagian jaringan tumbuhan dan selanjutnya ditimbun dalam bentuk akar, daun, batang, ranting, bunga dan buah. Proses pengambilan dan penyimpanan karbon oleh tanaman ini merupakan bagian dari siklus karbon yang berperan penting dalam keseimbangan karbon, hal ini semestinya juga perlu dipertimbangkan sebagai sisi positif dalam pengelolaan lahan gambut tropika yang telah terlanjur didrainase. Berdasarkan pada data dan informasi yang telah dikemukakan, tergambar bahwa pada proses konversi lahan gambut tropika khususnya untuk tanaman tahunan terjadi dinamika karbon yang sangat komplek. Untuk itu, perlu adanya kajian ilmiah yang komprehensif meliputi berbagai aspek yang terkait dengan dampak konversi dan/atau pembuatan drainase pada lahan gambut tropika, khususnya aspek yang berkaitan dengan dinamika karbon.
Dari hasil kajian
ilmiah yang komprehensif khususnya yang berkaitan dengan dampak manajemen pengelolaan lahan terhadap dinamika karbon dan karakteristik gambut, diharapkan dapat diperoleh informasi akurat dan realistis yang dibutuhkan untuk upaya mereduksi kehilangan karbon dan sekaligus mengkonservasi lahan gambut tropika, sehingga dalam pengelolaan lahan gambut tropika pada masa mendatang tidak lagi mengulangi kesalahan pada masa lalu, dan tidak lagi menjadi pro dan kontra antara berbagai pihak. Permasalahan dalam mengevaluasi dinamika karbon pada lahan gambut tropika saat ini adalah belum tersedianya metoda dan alat yang representatif. Sebagai contoh, selama ini perhitungan cadangan dan/atau kehilangan karbon pada lahan gambut tropika lebih banyak dilakukan dengan metode prediksi dan bahkan lebih banyak menggunakan data asumsi, bahkan metode yang digunakan banyak mengadopsi dari metode yang umum bukan motode yang spesifik untuk gambut tropika.
Data utama yang diperlukan untuk mengestimasi cadangan,
6 kehilangan dan dinamika karbon pada lahan gambut adalah: karakteristik fisik, kimia dan bologi gambut yang meliputi antara lain: ketebalan gambut, kerapatan dan/atau bulk density (BD), kandungan karbon dan/atau kadar abu, biomassa tumbuhan yang tumbuh di atasnya, sistim drainase, kecepatan dekomposisi bahan gambut dan biomassa tumbuhan yang gugur, serta model pertumbuhan tanaman. Dalam hal ini dalam mengevaluasi karakteristik gambut tropika diperlukan pula metoda dan/atau alat yang representatif serta spesifik untuk gambut tropika. Untuk mengestimasi kehilangan karbon lahan gambut selama ini biasanya digunakan dua metode yang umum yaitu pengukuran tingkat penurunan permukaan gambut (subsidence rate) dan pengukuran langsung fluks gas. Dalam metode subsidence, sebenarnya tidak seluruh gambut yang menyebabkan subsidence tersebut hilang, karena subsidence merupakan kombinasi dari kehilangan karbon dan proses pemadatan gambut. Apabila menggunakan metode pengukuran fluks gas misalnya CO 2 untuk mengestimasi kehilangan karbon gambut tropika, masalahnya ada pada keterbatasan kondisi lokasi dan waktu yang sempit. Pada kajian ini kondisi lahan gambut yang digunakan sebagai kajian sudah didrainase yang menyebabkan sebagaian material gambut dalam kondisi aerob, maka diasumsikan bahwa terdekomposisinya material gambut karena kondisi aerob tersebut akan menyisakan bahan mineral (kadar abu) dan terkonsolidasi pada lahan tersebut. Berdasarkan hal ini, adanya peningkatan atau perbedaan kadar abu (kandungan mineral) pada lahan gambut dapat dijadikan sebagai data/informasi untuk memprediksi kehilangan karbon, baik karena proses dekomposisi maupun kebakaran. Alasan utama kenapa lahan gambut tropika yang dipilih sebagai obyek dari kajian ini adalah karena lahan gambut tropika dapat berperan sebagai penyerap/penyimpan karbon (sink) maupun pengemisi karbon (source), yang mana kedua hal ini sangat penting bagi keseimbangan ekologi. Khusus untuk gambut tropika di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam akhir-akhir ini telah mengalami tekanan yang sangat besar untuk dikonversi. Hal ini terlihat dari semakin banyak areal gambut yang telah dibuat drainase. Sementara itu, belum ada terlihat upaya atau kajian untuk mengkonservasi kelestarian ekosistemnya. Adapun bagan alir kerangka berpikir dari penelitian ini disajikan pada Gambar 1.
7
8 Tujuan Penelitian Dari uraian yang diungkapkan dalam latar belakang, disusun beberapa tujuan penelitian yaitu: 1. Mengevaluasi metode dan alat untuk mengestimasi kandungan karbon tanah gambut tropika. 2. Mengevaluasi karakteristik lahan dan/atau sifat-sifat gambut tropika yang didrainase. 3. Menghitung cadangan karbon tersimpan pada lahan gambut tropika yang dikembangkan untuk tanaman tahunan. 4. Mengevaluasi berbagai bentuk kehilangan karbon pada lahan gambut tropika yang didrainase untuk tanaman tahunan
Manfaat Penelitian Data ataupun kesimpulan yang diperoleh dari hasil kajian ini dapat dimanfaatkan sebagai/untuk: 1. Hasil evaluasi terhadap metode dan/atau alat penentuan karbon gambut dapat digunakan untuk mengkoreksi informasi/data yang berkaitan dengan karbon pada lahan gambut tropika, dan acuan buat penelitian dinamika karbon pada lahan gambut tropika untuk masa yang akan datang. 2. Informasi mengenai dampak drainase terhadap karakteristik lahan berguna untuk manajemen pegelolaan tata air pada lahan gambut. 3. Informasi mengenai cadangan dan kehilangan karbon pada berbagai kondisi lahan gambut, berguna sebagai acuan dalam memperkirakan umur guna lahan dan tindakan konservasi yang tepat terhadap lahan tersebut. 4. Informasi mengenai bentuk-bentuk kehilangan karbon dari lahan gambut dapat dijadikan dasar acuan dalam upaya mereduksi kehilangan karbon dan emisi gas rumah kaca (GRK), khususnya untuk acuan kebijakan yang berkaitan dengan pemanfaatan lahan gambut.
9 Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: 1. Berbagai metode dan/atau alat yang digunakan untuk menentukan kandungan karbon tanah gambut memberikan nilai kandungan karbon yang beberbeda. 2. Pada lahan gambut yang didrainase ke dalaman muka air tanah dan jarak dari saluran drainase dominan mempengaruhi karakteristik lahan. 3. Lahan gambut yang memiliki keragaman dalam ketebalan dan jenis vegetasi menyimpan cadangan karbon yang berbeda. 4. Semakin banyak material gambut dalam kondisi aerob atau semakin dalam muka air tanah, dan semakin subur lahan, menyebabkan semakin banyak material gambut yang terdekomposisi, sehingga kehilangan karbon dan subsidence juga semakin besar. Kebaruan Penelitian
Kebaruan yang dapat diajukan dari kajian ini adalah: 1. Kajian ini menginformasikan nilai konstanta yang representatif untuk: a) mengkonversi nilai kandungan bahan organik menjadi kandungan C-organik atau sebaliknya untuk tanah gambut tropika, b) konstanta yang relevan untuk mengkoreksi data hasil pengukuran Bulk density (BD) tanah gambut menggunakan ring sampel atau bor gambut (yang umum digunakan selama ini). 2. Kajian ini menginformasikan nilai cadangan karbon yang tersimpan pada lahan gambut berdasarkan data kondisi aktual fisik gambut di lapangan. 3. Kajian ini mempermudah prediksi kehilangan karbon pada lahan gambut khususnya karena dekomposisi material gambut ataupun karena proses terbakarnya lahan gambut, yaitu dengan menggunakan data kadar abu dari hasil metode Loss on Ignition (LOI). 4. Kajian ini menginformasikan data nilai kehilangan karbon yang
spesifik
sesuai kondisi aktual lahan dan penyebab dari kehilangan karbon tersebut.
10
11 TINJAUAN PUSTAKA
Definisi, Proses Pembentukan, dan Pengelompokan Gambut
Definisi gambut
Gambut merupakan tanah hasil akumulasi timbunan bahan organik dengan komposisi lebih dari 65%
yang terbentuk secara alami dalam jangka waktu
ratusan tahun dari lapukan vegetasi yang tumbuh di atasnya yang terhambat proses dekomposisinya karena suasana anaerob dan basah. Setiap lahan gambut mempunyai karakteristik yang berbeda tergantung dari sifat-sifat dari badan alami yang terdiri dari sifat fisika, kimia, dan biologi serta macam sedimen di bawahnya, yang akan menentukan daya dukung wilayah gambut, menyangkut kapasitasnya sebagai media tumbuh, habitat biota, keanekaragaman hayati, dan hidrotopografi (Menteri Pertanian, Peraturan Nomor: 14/Permentan/PL.110/2/ 2009). Di dalam bidang ilmu taksonomi tanah, gambut dikenal dengan istilah ‘Histosols’, atau yang populer dalam bahasa Inggris disebut sebagai peat. Istilah ‘gambut’ sendiri diserap dari bahasa daerah Banjar, yaitu salah satu nama kecamatan di Kalimantan Selatan (Sabiham, 2006). Menurut Soil Survey Staff (2010) tanah organik (Histosols) adalah tanah yang: 1. Mempunyai bahan tanah organik mulai dari permukaan ke salah satu berikut: a. Kedalaman 10 cm atau kurang dari kontak litik atau paralitik, asalkan ketebalan bahan tanah organik lebih dari dua kali ketebalan tanah mineral di atas kontak tersebut; atau b. Kedalaman seberapapun apabila bahan tanah organik berada di atas bahan fragmen (kerikil, batu, kerakal) dan celah-celahnya terisi oleh bahan tanah organik, atau berada diatas kontak litik atau paralitik; atau 2. Mempunyai bahan organik yang memiliki batas atas di dalam kedalaman 40 cm dari permukaan; dan a. Mempunyai salah satu ketebalan berikut:
12 (1) 60 cm atau lebih, bila tiga perempat bagian atau lebih volumenya adalah serat, atau bulk density kurang dari 0,1 gr cm-3 (6,25 pon per kaki kubik); atau (2) 40 cm atau lebih, bila: (a) Bahan tanah organik jenuh air dalam waktu lama (lebih dari 6 bulan) atau telah didrainase; dan (b) Bahan organik terdiri dari bahan saprik atau hemik, atau terdiri dari bahan fibrik yang kurang dari tiga perempat bagian volumenya adalah serat dan bulk density 0,1 gr cm-3 atau lebih; dan b. Mempunyai bahan tanah organik yang: (1) Tidak memiliki lapisan mineral sampai setebal 40 cm baik pada permukaan ataupun yang batas atasnya di dalam kedalaman 40 cm dari permukaan; dan (2) Tidak memiliki lapisan-lapisan mineral, yang secara komulatif, sampai setebal 40 cm dari permukaan; dan 3. Tidak memiliki sifat-sifat tanah andik dalam lapisan setebal 35 cm atau lebih di dalam kedalaman 60 cm dari permukaan. Merupakan kaidah umum bahwa tanah diklasifikasikan sebagai suatu tanah organik (Histosols) apabila lebih dari separuh lapisan tanah teratas 80 cm (32 inchi) merupakan bahan tanah organik, atau apabila bahan tanah organik dengan ketebalan berapapun berada di atas bahan fragmen yang mempunyai celah-celah terisi bahan organik.
Proses pembentukan gambut
Lahan gambut terbentuk karena pada kondisi alami akumulasi bahan organik lebih besar dari laju dekomposisisinya sehingga terjadi penumpukan bahan organik (Roulet, 2000; Zhang et al., 2002; Chmura et al., 2003; DeBusk dan Reddy, 2003). Menurut Keddy (2000) diantara ekosistem yang ada di bumi ini, ekosistem lahan basah atau gambut adalah sistim yang paling produktif dalam menyerap karbon dari atmosfer yakni mencapai 1300 gr C m-2 th-1 dibandingkan hutan tropika sekitar 800 gr C m-2 th-1. Karbon yang diserap oleh vegetasi dari
13 atmosfer tersebut sebagian jatuh dan diakumulasikan dalam bentuk bahan tanah gambut. Menurut Bernal (2008) lahan basah daerah tropika di Costa Rica mengakumulasikan sekitar 263 gr C m-2 th-1 dan lahan basah daerah temperate di Ohio mengakumulasikan sekitar 140 gr C m-2 th-1. Namun, prediksi yang lebih rendah disampaikan oleh Chmura et al. (2003) yakni hanya sekitar 20 to 30 gr C m-2 th-1. Laju akumulasi bahan gambut sebenarnya juga dipengaruhi oleh: lokasi geogafis lahan gambut (selatan>utara), umur (muda>tua),
jenis (rawa>fens),
iklim (kering
depressi) (Asada dan Warner, 2005; Chun Mei et al., 2009). Faktor-faktor yang menyebabkan lambatnya laju dekomposisi sehingga terjadi akumulasi bahan organik pada lahan gambut alami diantaranya adalah: adanya bahan organik yang tidak mudah lapuk (Dai et al., 2002; White et al., 2002), rendahnya konsenterasi oksigen
karena dalam kondisi tergenang air,
temperatur rendah (khususnya pada daerah iklim temperate), tingkat kemasaman rendah, dan terbatasnya unsur hara (Baldock dan Skjemstad, 2000; Hobbie et al., 2000; Blodau, 2002; Dai et al., 2002; White et al., 2002; Bridgham dan Richardson, 2003; Yavitt et al., 2004; Bertrand et al., 2007). Menurut Hobbie et al. (2000) dan Yavitt et al. (2004) pada kodisi suhu dingin dan/atau anaerob aktivitas mikroorganisme perombak bahan organik terhalang, sehingga proses dekomposisi
bahan
organik
berjalan
dengan
lambat,
akibatnya
terjadi
penumpukan bahan organik. Dua kondisi inilah yaitu suhu dingin dan kekurangan oksigen (anerob) yang membedakan proses pembentukan gambut antara daerah temprate dengan daerah tropika, yang mana di daerah temprate pembentukan atau akumulasi gambut terjadi akibat suhu dingin (<80C), sedangkan di daerah tropika akumulasi
gambut
terjadi
karena
suasana
anaerob
biasanya
karena
jenuh/tergenang air (waterlogged). Menurut Maas (2003) di daerah tropis tanah gambut terdiri dari batang tubuh-tumbuhan mati yang terhambat proses dekomposisinya akibat air tergenang secara permanen/suasana anaerob dan kahat hara. Bukti-bukti yang mengindikasikan lambatnya proses dekomposisi bahan organik pada lahan gambut adalah masih dapat ditemukan bahan organik dalam bentuk seperti aslinya seperti batang, cabang dan akar-akar besar (Murdiyarso et al., 2004).
14 Berkaitan dengan proses pembentukan gambut, Sarwono (2003) merangkum teori evolusi proses pembentukan gambut yaitu: tahapan pertama, merupakan proses akumulasi bahan organik (menghasilkan bahan induk) yang dikenal dengan proses geogenesis; tahapan kedua, merupakan proses pematangan gambut yang terjadi pada awal reklamasi atau pengeringan tanah gambut dikenal dengan proses pedogenesis yang meliputi: (a) proses pematangan fisik, yaitu pematangan disebabkan oleh dehidratasi akibat pengeringan (drainase dan evaporasi), (b) proses pematangan kimia, terjadi karena bahan gambut kehilangan kelembaban dan masuknya udara ke dalam pori-porinya, (c) proses pematangan biologi, terjadi akibat pencampuran bahan gambut oleh mikrofauna, yang menghasilkan mull atau moder. Pembentukan mull terjadi pada tanah gambut yang mengandung liat dan pH tinggi sampai sedang. Sedangkan pembentukkan moder terjadi pada lapisan atas (topsoil) tanpa dan/atau dengan kadar liat yang rendah. Menurut Sabiham (2006) proses pembentukan gambut di Indonesia sama dengan gambut daerah tropis lainnya. Awal terbentuknya endapan gambut di Indonesia diperkirakan sekitar 11.000 BP (BP= Before Period, yaitu dicatat sebelum tahun 1950). Kejadian terbentuknya endapan gambut di Indonesia berkaitan erat dengan peristiwa transgresi dan regresi air laut pada Zaman Kuarter (Holosen) yang membentuk dataran-dataran pantai dan daerah cekungan, seperti di pulau-pulau sekitar Dataran Sunda dan Dataran Sahul. Lebih lanjut detegaskan oleh Sabiham (2006) bahwa dengan adanya proses sedimentasi dan progradasi menyebabkan garis pantai cenderung bertambah ke arah laut. Daerah-daerah ini kemudian ditumbuhi oleh berbagai jenis vegetasi yang mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungan dan mengisi cekungan-cekungan tersebut. Di daerah pantai dan dataran rendah (cekungan), mula-mula terbentuk gambut topogen karena kondisi anaerobik yang dipertahankan oleh tingginya permukaan air sungai, terjadi peningkatan penumpukan serasah tanaman, menghasilkan pembentukan hamparan gambut ombrogen yang berbentuk kubah (dome).
Pengelompokan gambut Menurut Soil Survey Staff (2010) berdasarkan tingkat kematangan atau kandungan serat, tanah gambut dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu:
15 a. Fibrik, memiliki kandungan serat lebih dari ¾ volume tanah (terombak < 33%). b. Hemik, kandungan seratnya antara fibrik dan saprik (terombak 33 – 66%), dan, c. Saprik kandungan seratnya kurang dari 1/6 dari volume tanah (terombak >66%). Secara umum dapat dijelaskan bahwa gambut fibrik adalah apabila bahan vegetasi aslinya masih dapat diidentifikasikan atau sedikit mengalami dekomposisi, hemik apabila tingkat dekomposisinya sedang, dan saprik apabila tingkat dekomposisinya telah lanjut. Karena bulk density (BD) meningkat dengan meningkatnya tingkat dekomposisi maka parameter ini juga telah digunakan sebagai kriteria dalam mengkarakterisasi gambut. Gambut mempunyai keberagaman yang cukup tinggi tergantung pada lingkungan fisiknya. Berdasarkan lingkungan fisiknya, lahan gambut dibedakan atas enam macam bentuk (Noor, 2001), yaitu: 1. Gambut daratan rawa pantai 2. Gambut rawa lagun 3. Gambut cekungan atau lembah kecil yang menyatu dengan daratan 4. Gambut yang terisolasi pada lembah sungai 5. Gambut endapan karang (khusus kawasan salinitas) 6. Gambut rawa delta Menurut lingkungan pembentukan dan fisiografi lahan gambut dapat dibedakan atas empat tipe lahan gambut (Noor, 2001), yaitu: 1. Gambut cekungan (basin peat) adalah gambut yang terbentuk didaerah cekungan, lembah sungai atau rawa burit atau rawa belakang. 2. Gambut sungai (river peat) adalah gambuit yang terbentuk di sepanjang sungai yang masuk kedaerah lembah kurang dari 1 km. 3. Gambut daratan tinggi (highland peat) adalah gam,but yang terbentuk di punggung-punggung bukit atau pegunungan 4. Gambut daratan pesisir atau pantai (coastal peat) adalah gambut yang terbentuk di sepanjang garis pantai.
16 Berdasarkan ketebalannya, gambut dikelompokan menjadi empat tipe (Wahyunto et al., 2003, 2004 dan 2007), yaitu: 1. Gambut dangkal dengan ketebalan 0,5 -1 m, 2. Gambut sedang dengan ketebalan 1 - 2 m, 3. Gambut dalam dengan ketebalan 2 - 3 m dan 4. Gambut sangat dalam dengan ketebalan > 3 m
Sifat-Sifat Tanah Gambut
Sifat inheren gambut yang penting
adalah sangat sensitif terhadap
perubahan lingkungan. Menurut Sarwono (2003) sifat inheren gambut tropika yang kurang menguntungkan diantaranya adalah kering tidak balik (irreversible drying) dan penurunan (subsidence). Apabila mengalami pengeringan yang berlebihan koloid gambut menjadi rusak sehingga terjadi gejala kering tidak balik dan gambut berubah sifat seperti arang sehingga tidak mampu lagi menyerap hara dan menahan air sehingga membuatnya peka tererosi. Lebih lanjut dijelaskan oleh Sarwono (2003) bahwa gambut akan kehilangan air tersedia setelah 4-5 minggu mengalami pengeringan, kondisi ini menyebabkan gambut mudah terbakar. Tanah gambut juga memiliki sifat penurunan permukaan tanah yang besar setelah dilakukan drainase. Hubungan antara subsidence dengan saluran drainase pada tanah gambut dikemukakan oleh Fitzgerald et al. (2005) sebagaimana diilustrasikan menurut persamaan berikut : Subsidence = (-0,1202 x kedalaman saluran + 0,0162) x Ln (jarak dari saluran drainase) + (0,8102 x kedalaman drainase – 0,4079) Pemanfaatan Lahan Gambut di Indonesia Pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian dan usaha-usaha yang berkaitan dengan pertanian berkembang cukup pesat. Berbagai tanaman semusim dan tanaman tahunan dapat dibudidayakan pada lahan gambut tergantung pada iklim dan dimana tanah tersebut ditemukan. Karena bulk density (BD) rendah, maka
17 tanah gambut lebih sesuai untuk tanaman sayuran (Sarwono, 2003). Di Indonesia, tanah gambut banyak diusahakan untuk tanaman padi terutama untuk gambut yang tidak terlalu dalam dan ada pula untuk tanaman buah-buahan (seperti nanas, pepaya dan rambutan) dan tanaman perkebunan (terutama kelapa, kelapa sawit, kopi dan karet), dan Acasia crasicarpa sebagai hutan tanaman industri (Sabiham, 2006). Tanaman mempunyai tahapan pertumbuhan yang sensitif terhadap stress air yang berbeda. Pengetahuan tentang tahapan tersebut akan mempermudah irigasi pada saat yang tepat sehingga mengurangi terjadinya stress air dan penggunaan air yang optimum. Untuk penanaman tanaman pada lahan gambut khususnya tanaman semusim, pengaturan irigasi harus mempertimbangkan saat dan kebutuhan tanaman dan disesuaikan dengan ketersediaan air tanah di atas water table. Menurut informasi dari berbagai sumber hasil kajian yang dirangkum oleh Ambak dan Melling (2000) kebutuhan kondisi tata air tanah yang diperlukan untuk berbagai jenis tanaman disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1. Daftar kebutuhan air tanaman yang diusahakan di lahan gambut Kebutuhan muka air Tanaman
tanah (cm)
Kelapa Sawit
50-75
Nanas
60-90
Sagu
20-40
Ubi kayu
15-30
Kacang tanah
65-85
Kedelai
25-45
Jagung
75
Ubi jalar
25
Asparagus
25
Sayuran
30-60
18 Pengaruh Drainase Pada Lahan Gambut Apabila terjadi konversi hutan gambut yang biasanya
diikuti dengan
pembuatan drainase, maka akan berdampak terhadap unit-unit hidrologi dari hutan rawa gambut tersebut. Sebagai contoh, terjadinya penurunan kadar air gambut dibawah batas kritis, menyebabkan tanah gambut yang sifatnya hidropobik tidak dapat lagi menyerap air. Pada saat tanah gambut yang didominasi oleh sisa tanaman (daun, dahan, ranting, batang) mengalami kondisi aerob menyebabkan aktivitas bakteri pembusuk akan meningkat. Setelah bakteri pembusuk mulai mendekomposisi
gambut yang terdiri dari dahan, ranting dan pohon, maka
karbon yang tersimpan did alam bagian bahan tersebut akan teremisi ke udara dalam bentuk CO 2 dan memenuhi lapisan ozon sehingga akan menciptakan efek rumah kaca (green house effect) hal ini dapat memacu terjadinya pemanasan global yang berdampak
terhadap naiknya suhu bumi dan berubahnya iklim
global. Pada kondisi lahan gambut di drainase, serasah dan bahan gambut mengalami pelapukan yang lebih cepat. karena proses dekomposisi pada kondisi aerobik jauh lebih cepat dibandingkan pada kondisi anaerobik. Menurut Kirk (2004) pengaruh peningkatan kondisi aerase terhadap peningkatan tingkat dekomposisi dapat pula diikuti oleh penurunan pH gambut, dan penurunan suhu gambut, kedua hal ini sangat penting dalam menentukan tingkat dekomposisi bahan organik. Proses yang terjadi adalah, pada kondisi lahan gambut alami di atas tanah mineral, aliran air bawah tanah yang berasal dari lahan tanah mineral disekitarnya membawa kation-kation basa masuk ke lahan gambut sehingga dapat menetralkan asam-asam organik gambut. Setelah gambut didrainase, aliran air dari luar yang masuk ke area lahan gambut menjadi terhalang oleh saluransaluran, sementara itu kation-kation basa tetap lebih banyak diambil oleh tanaman untuk meningkatkan pertumbuhannya, sehingga menyebabkan pH gambut jadi turun. Secara umum, menurut Minkkinen et al. (1999) dalam periode waktu yang lama setelah didrainase terjadi penurunan konduktivitas thermal pada permukaan gambut dan peningkatan naungan oleh tajuk tanaman yang tumbuh di atas lahan gambut tersebut menyebabkan suhu permukaan gambut menjadi turun.
19 Pengaruh Pola dan Dimensi Saluran Drainase
Lahan gambut pada kondisi alami adalah jenuh air sepanjang tahun. Konversi lahan gambut untuk usaha tanaman tahunan memerlukan sistim pengelolaan air untuk menurunkan permukaan air dan membuang air hujan yang berlebih.Untuk menghindari subsidence yang berlebihan dan mengatasi kekurangan air dimusim kering, dalam muka air tanah perlu dikontrol melalui pembuatan saluran drainase. Oleh karena karakteristik gambut sangat unik, supaya air hujan tidak mengalir sebagai aliran permukaan (run off) tetapi sebagai aliran bawah tanah, maka desain dari saluran drainase seharusnya berdasarkan kepada karakteristik hidraulik tanah gambut tersebut yaitu kecepatan infiltrasi, kapasitas penyimpanan air dan permeabilitas. Menurut Wosten dan Ritzema (2001) untuk drainase lahan gambut tropika pendekatan menurut “persamaan Hooghudt” dapat digunakan untuk menentukan jarak antar saluran drainase, yang mana jarak saluran drainase dapat berdasarkan kepada keperluan drainase selama kondisi muka air tanah normal, sedangkan dimensi saluran berdasarkan kepada kondisi muka air tanah tinggi. Ada beberapa pola dari drainase yang umum digunakan diantaranya adalah: a) pola herringbone, yaitu pola drainase dengan satu atau dua saluran vertikal yang mempunyai saluran cabang berbentuk diagonal masuk ke saluran utama tersebut, semua saluran cabang membentuk kemiringan dengan saluran utama, pola ini baik karena memungkinkan saluran menangkap air untuk masuk ke saluran dari semua permukaan lahan, b) pola gridiron, terdiri dari saluran lateral yang paralel masuk ke saluran utama, pola ini kurang ekonomis, c) pola random, digunakan pada daerah basah/tergenang tersebar di hamparan yang agak terisolasi antara satu dengan lainnya lain, dan d) pola interseptor, digunakan untuk mencegat air rembesan dari lereng bukit yang disebabkan oleh air rembesan bergerak secara horizontal melalui lapisan permeabel yang berada di atas lapisan kedap air (Anonim, 2010b).
20 Emisi dan Kehilangan Karbon Dari Lahan Gambut Secara umum, bentuk siklus karbon pada ekosistem lahan gambut adalah: awalnya karbon diserap oleh tanaman melalui proses fotosintesis, sebagian dilepaskan kembali ke atmosfer dalam bentuk CO 2 hasil dari proses respirasi tanaman, karbon yang tersisa ditransformasi menjadi struktur tanaman (akar, batang, daun, buah), dan terakhir disimpan sebagai bagian tanaman yang mati yaitu sebagai serasah di atas atau dalam gambut. Karbon tersimpan pada lahan gambut dapat hilang dari lahan gambut dalam bentuk gas dan bentuk terlarut (dissolved organic carbon). Kehilangan karbon gambut dalam bentuk gas sebagian besar dalam bentuk karbon dioksida
(CO 2 ) dan metan (CH 4 ).
Pertukaran CO 2 pada lahan gambut ditentukan oleh keseimbangan antara fiksasi karbon melalui fotosintesis dan pembebasan karbon melalui respirasi tanaman dan mineralisasi gambut. Mineralisasi karbon pada lahan gambut sangat dipengaruhi oleh muka air tanah dan suhu (Charman, 2002). Produksi gas metan pada lahan gambut oleh bakteri pada kondisi anaerobik dipengaruhi oleh temperatur dan dalam muka air tanah. Pada dekade akhir-akhir ini sebagian lahan gambut dunia telah didrainase, kondisi ini menyebabkan terjadinya perobahan keseimbangan ekosistem gambut dari sebagai penyimpan menjadi penyumbang karbon (Canadell et al., 2007; Rieley et al., 2008). Menurut Joosten (2009) secara global emisi CO 2 dari lahan gambut yang didrainase telah meningkat dari 1.058 Mega ton pada tahun 1990 menjadi 1.298 Mega ton pada tahun 2008 (> 20%). Peningkatan ini terutama terjadi pada negara-negara berkembang seperti Indonesia, China, Malaysia and Papua New Guinea. Khusus Indonesia, menurut Hooijer et al. (2006) diperkiran rata-rata 632 Mega ton CO 2 (interval 355–874 Mega ton CO 2 ) per tahun diemisikan dari lahan gambut yang didrainase. Menurut Hooijer et al. (2010) emisi CO 2 dari lahan gambut yang didrainase pada tahun 2006 adalah antara 355 - 855 Mega ton th−1, 82% dari jumlah ini berasal dari Indonesia. Data terbaru yang disampaikan Joosten (2009) emisi CO 2 tahun 2008 dari lahan gambut Indonesia adalah yang tertinggi di dunia yaitu sebanyak 500 Mega ton dibandingkan Rusia diposisi kedua hanya 139 Mega ton. Data lengkap emisi CO 2 dari negara-negara yang memiliki lahan gambut terlihat pada Gambar 2.
21 Emisi CO2 (dalam juta ton) 0 Indonesia Rusia China USA Finlandia Malaysia Mongolia Belarus Jerman Polandia Russia bagian Asia Uganda Papua New Guinea Iceland Swedia Brazil Inggris Estonia Irlandia Lithuania Belanda Norwegia Vietnam Ukraina Zambia Jepang Canada
100
200 161
300
400
500
600
500
77 67 50 48 45 41 32 24 22 20 20 18 15 12 10 10 8 6 6 6 5 5 5 5 5
Sumber : Joosten (2009) Gambar 2. Emisi CO2 dari lahan gambut berdasarkan Negara pada tahun 2008 Kebakaran hutan pada lahan gambut yang didrainase merupakan salah satu bentuk penyebab hilangnya karbon dari lahan gambut. Kebakaran hutan gambut yang parah pernah terjadi di Indonesia adalah pada tahun 1997, 1998 dan 2002, yang mana pada setiap tahun kejadian kebakaran sekitar 1,5 – 2,2 juta hektar lahan gambut terbakar di Sumatera dan Kalimantan dengan emisi karbon sebannyak 3000 – 9400 Mega ton CO 2, jumlah ini mencapai 40% dari emisi CO 2 secara global (Hooijer et al., 2006). Menurut Ballhorn et al. (2009) kebakaran seluas 13% (2,79 juta hektar) lahan gambut Indonesia pada tahun 2006 mengemisikan 98,38 ± 180,38 Mega ton CO 2 , sedangkan pada saat kejadian El Nino 1997 sebanyak 2,57 Giga ton karbon
diemisikan dari lahan gambut
Indonesia, ini semua adalah akibat dari alih fungsi lahan gambut (Page et al., 2002).
22 Karbon juga mengalir masuk dan keluar dari lahan gambut dalam bentuk karbon terlarut dalam air gambut. Jika lahan gambut mempunyai kerapatan karbon yang tinggi, maka karbon yang keluar umumnya lebih besar dari yang masuk, dalam kasus ini ada kehilangan bersih karbon dari lahan gambut melalui aliran air. Zona aerobik pada lahan gambut yang didrainase adalah salah satu sumber utama bentuk karbon terlarut. Besarnya karbon yang hanyut terbawa aliran air ini tergantung dari jumlah aliran dan produktivitas dari ekosistem. Sebagian dari karbon terlarut yang terbawa aliran drainase ini dapat teroksidasi dan hilang ke atmosfis sebagai CO 2 (Dawson et al., 2004).
Pemanasan Global dan Karbon Lahan Gambut
Perubahan iklim yang disebabkan oleh pemanasan global merupakan permasalahan seluruh dunia yang memerlukan penanganan secara serius. Penyebab utama naiknya temperatur bumi menurut sebagian ahli disebabkan oleh peningkatan secara signifikan emisi gas rumah kaca. Peningkatan emisi GRK di atmosfer sebenarnya
telah
mulai terjadi semenjak awal abad 19, dan telah
menimbulkan dampak pemanasan global serta perubahan iklim di bumi. Proses terjadinya pemanasan global dan perobahan iklim ini secara sederhana dapat dijelaskan, bahwa GRK yang terdiri dari: Carbondioxyde (CO 2 ), Methane (CH 4 ), Dinitrogenoxide (N 2 O), Hydrofluorocarbon (HFCs), Sulfurhexafluoride (SF 6 ), dan Perfluorocarbon (PFCs) memiliki kemampuan menyerap radiasi gelombang panjang yang bersifat panas di atmosfer, jika jumlah gas-gas tersebut meningkat di atmosfer maka menyebabkan suhu atmosfer menjadi meningkat, sehingga juga berpengaruh terhadap perubahan iklim di bumi (Najiyati et al, 2005). Karbon dioksida (CO 2 ) salah satu GRK konsentrasinya di atmosfer meningkat sangat drastis sejak dimulainya revolusi industri, yang mana berdasarkan pengukuran di Mauna Loa, konsentrasi CO 2 di atmosfer telah meningkat sekitar 35% yakni dari 284 ppm pada tahun 1832 menjadi 384 ppm pada
tahun
2007
(IPPC,
terakhir
(1960 -2010) peningkatan konsentrasi CO 2 di Mauna Loa
sangat
drastis,
seperti
global
yang
2007).
terlihat
Khusus
pada
pada
Gambar
periode
3.
50
Suhu
tahun
23 selama periode 100 tahun terakhir (1906–2005) juga telah meningkat sebesar 0,74°C dan khusus untuk Indonesia, antara tahun 1970 hingga 2000 telah terjadi kenaikan suhu rata-rata tahunan antara 0,2 – 1 0C dan hal ini merupakan salah satu akibat dari pemanasan global (IPCC, 2007). GRK tersebut dihasilkan terutama dari lahan gambut yang terdekomposisi, sehingga lahan gambut menjadi salah satu isu yang sangat penting dalam fenomena pemanasan global saat ini karena lahan gambut berpotensi menghasilkan emisi karbon yang sangat besar.
Gambar 3. Perobahan konsentrasi CO 2 di atmofir di Mauna Loa selama periode waktu 50 tahun (1960 – 2010). Sumber: Dr. Pieter Tans, NOAA/ESRL (www.esrl.noaa.gov/gmd/ccgg/trends/) Lahan gambut
mempunyai peranan yang besar dalam siklus karbon
global, karena karbon yang tersimpan pada lahan gambut
dapat mengalami
degradasi atau terdekomposisi, baik pada kondisi aerob maupun anaerob (IPCC, 2007). Secara global lahan gambut menyimpan sekitar 329 - 525 giga ton (Giga ton) karbon atau 15-35 % dari total karbon terestris. Sekitar 86 % (455 Giga ton) dari karbon di lahan gambut tersebut tersimpan di daerah temperate (Kanada dan Rusia) sedangkan sisanya sekitar 14 % (70 Giga ton) terdapat di daerah tropis, khusus Indonesia menyimpan sebanyak 54.016 Mega ton C (Joosten, 2009). Cadangan karbon yang besar ini pulalah yang menyebabkan tinggginya jumlah karbon yang dilepaskan ke atmosfer ketika lahan gambut di Indonesia terbakar
24 pada tahun 1997, yang berkisar antara 0,81-2,57 Giga ton C (Page, 2002). Sementara itu, pendugaan emisi yang dilakukan di lahan gambut di sekitar Taman Nasional Berbak, Sumatera menunjukan angka sebesar 7 juta ton karbon (Murdiyarso et al., 2004). Dengan demikian, gambut memiliki peran yang cukup besar sebagai penjaga iklim global. Apabila gambut tersebut terbakar atau mengalami kerusakan, materi ini akan mengeluarkan gas terutama CO 2 , N 2 O dan CH 4 ke udara dan siap menjadi perubah iklim dunia (Najiyati et al., 2005). Interaksi Antara Karbon, Mikro Organisme dan Unsur Hara Keberadaan mikro organisme pada lahan gambut sangat erat kaitannya dengan dinamika karbon, karena aktivitas biologi pada lahan gambut berkaitan erat dengan keberadaan jumlah dan jenis mikro organisme. Mikro organisme memainkan peran dominan dalam mendekomposisi dan mineralisasi bahan organik, terutama setelah lahan gambut didrainase. Menurut Limpens et al. (2008) pada skala kecil, interaksi kuat terjadi antara faktor-faktor fisik (yang mengontrol proses pengangkutan gas) dengan mikro organisme tanah, dengan menggunakan salah satu dari oksigen atau penerima elektron lainnya sebagai sumber energi untuk menghancurkan bahan organik menjadi produk akhir seperti CO 2 , CH 4 dan karbon organik terlarut. Penerima elektron dan kualitas bahan organik dalam hal ini unsur hara berperan dalam mengatur proses dekomposisi dan mempengaruhi terhadap hasil akhir dari proses dekomposisi. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi mineralisasi karbon oleh mikro organisme pada lahan gambut adalah: temperatur, muka air tanah, kandungan mineral, pH, kation-kation dan salinitas (Baldock dan Skjemstad, 2000; Blodau, 2002; Bertrand et al., 2007). Pada kondisi anaerobik, komplek polimer organik awalnya dihancurkan oleh jenis bakteri fermentasi menghasilkan produk-produk yang sederhana, sebagian dari produk ini digunakan oleh methanogen untuk menghasilkan gas CH 4 (Keller and Bridgham, 2007). Pada kondisi kekurangan oksigen, beberapa bentuk respirasi mikro organisme dapat menggunakan alternatif penerima elektron lain dan secara kontinyu dapat mendekomposisi karbon organik gambut. Alternatif penerima elektron yang berperan utama dalam mineralisasi dan mentransformasi karbon
25 organik diantaranya adalah SO 4 2-, NO3-, Fe3+ dan Mn4+ (Keller dan Bridgham, 2007). Fenomena yang terjadi dalam proses dekomposisi gambut yang berkaitan erat dengan aktivitas respirasi mikro organisme dirangkum oleh Andersen (2003) disajikan dalam Tabel 2. Table 2. Ringkasan dari perbedaan jenis-jenis respirasi mikro organisme dan kaitannya dengan potensial redoks Potensial redoks (mV) 1. C 6 H 12 O 6 + 6O 2 6 CO 2 + 6 H 2 O 700 - 300 + 2. 5C 6 H 12 O 6 + 24 NO 3 + 24 H 30CO 2 + 12 N 2 + 42 H 2 O 300 -100 3. C 6 H 12 O 6 + 12MnO 2 + 24 H+ 6CO 2 + 12Mn2++ 18 H 2 O 200 -100 + 2+ 4. C 6 H 12 O 6 + 24Fe(OH ) 3 + 48H 6CO 2 + 24Fe + 66 H 2 O 100 - (-100) 5. C 6 H 12 O 6 + 3SO 4 26CO 2 + 3S2- + 6H 2 O (-100) - (-200) 2+ 6. 2 FeS 2 + 6NO 3 + 2H 2 O 2 N 2 + 2FeOOH + 4 SO 4 + 2H CH 4 + 2H 2 O 7. 4H 2 + CO 2 (-200) - (-300) Keterangan: 1. Respirasi oksigen, 2. Respirasi Nitrat (heterotrophic denitrification), 3. Respirasi Mangan, 4. Respirasi Besi, 5. Respirasi sulfat, 6. Respirasi Nitrat dengan pyrit (autotrophic denitrification), 7. Pembentukan metan.
Secara umum diketahui bahwa lahan gambut miskin unsur hara. Dekomposisi bahan organik melalui proses mineralisasi karbon oleh mikro organisme menyebabkan unsur hara jadi tersedia bagi tanaman, yang selanjutnya meningkatkan produksi bahan organik dalam tanaman. Siklus karbon pada lahan gambut berkaitan erat dengan siklus unsur hara lainnya seperti P dan N (Kalbitz dan Geyer 2002). Pada ekosistem gambut isotop oksigen dari fosfat berpotensi menjadi sumber energi bagi aktivitas mikro organisme (Mclaughli et al., 2000; Payton et al., 2002; Stern dan Wang, 2002). Pada kondisi anaerobik, komplek polimer organik awalnya dihancurkan oleh jenis bakteri fermentasi menghasilkan produk-produk yang sederhana, sebagian dari produk ini digunakan oleh methanogen untuk menghasilkan gas CH 4 (Keller dan Bridgham, 2007). Sedangkan jenis mikro organisme yang dominan ditemui pada potensial redoks yang rendah seperti halnya kondisi pada lahan gambut biasanya adalah jenis methanogen (Keller dan Bridgham, 2007). Pada beberapa lokasi dengan kondisi lingkungan yang masam, metanogensis ditemukan optimum antara pH 5,5 – 7,0 (Mer dan Roger, 2001). Metanogensis
26 sedikit ditemukan pada gambut jika unsur hara yang diperlukannya tidak cukup tersedia (Yavitt et al., 2004). Yavitt et al. (2004) juga melaporkan bahwa unsur hara yang dibutuhkan oleh mikroorganisme perombak pada lahan gambut adalah: N, P, Mg, Fe, Co, Ni dan Mn. Mer dan Roger (2001) menemukan bahwa Mn aktif berkorelasi positif dengan kepadatan metanogen dan metanotrop. Disisi lain, juga dilaporkan oleh Mer dan Roger (2001) bahwa secara umum pada tanah yang kaya sulfat metanogenesis lebih sedikit ditemukan karena berkompetisi dengan bakteri pereduksi sulfat. Produksi CH 4 secara umum menurun apabila kadar karbon dan/atau rasio C/N menurun (Mer and Roger, 2001). Keberadaan bahan mineral pada gambut dapat melindungi karbon organik dari proses mineralisasi melalui perlindungan secara fisik dan/atau stabilsasi secara kimia. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kation-kation terutama yang divalent dan trivalent dapat berasosiasi dengan bahan organik, sehingga mampu melindungi karbon organik dari proses degradasi. Kation-kation yang dapat dipertukarkan seperti Al, Ca, Mg and Fe, disamping dapat meningkatkan interaksi antara mineral dengan bahan humik, juga mampu meningkatkan ikatan molekul bahan humik sehingga sulit terdegradasi. Pada kondisi terjadinya pembentukan kompleks antara kation-kation dengan asam-asam organik yang berasal dari hasil dekomposisi bahan organik, ini menunjukkan kation-kation mampu berperan dalam meningkatkan daya sangga ekosistem (Cruz-Guzman et al., 2003). Keberadaan oksida besi pada permukaan mineral allumino-silikat menunjukkan adanya peningkatan pengikatan bahan organik melalui proses pertukaran ligan (Chi dan Amy, 2004). Hal ini menjadi penting untuk meningkatkan ketahanan karbon organik, sehingga membuatnya lebih tahan dari proses penghancuran oleh mikro organisme. Cruz-Guzmán et al. (2003) melaporkan bahwa Ca2+ adalah salah satu kation interlayer yang dapat meningkatkan interaksi antara asam humik dan liat. Mereka juga melaporkan bahwa ≥ 80 % dan 52% dari asam humik di absorbsi melalui ferrihydrite dan Camontmorillonite. Hal ini menandakan bahwa oksida-oksida besi juga berperanan penting dalam proses degradasi bahan organik.
27 METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Kajian dilaksanakan pada bulan Mei 2008 sampai bulan Oktober 2009. Lokasi kajian dilakukan pada kawasan lahan gambut tropika di bagian barat Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam yakni di Kabupaten Aceh Barat dan Kabupaten Nagan Raya. Lokasi penelitian dipilih untuk mewakili salah satu kondisi gambut tropika yang ada di Indonesia yang merupakan kawasan penyimpan cadangan karbon dunia, namun akhir-akhir ini sedang mengalami tekanan besar untuk dikonversi menjadi penggunaan lain. Hal ini terlihat pada kawasan tersebut telah banyak dibuat saluran-saluran drainase untuk pembuangan air yang bertujuan untuk mengeringkan lahan, dan untuk selanjutnya hutan gambut dikonversi menjadi penggunaan lain umumnya untuk perkebunan kelapa sawit dan karet, atau hanya diambil kayunya dan selanjutnya dibiarkan terlantar ditumbuhi semak belukar. Pada sisi lain, di daerah ini sampai sekarang belum banyak
dilakukan
penelitian-penelitian
untuk
upaya
mengkonservasi
kelestariannya, khususnya yang berkaitan dengan dampak dari pembuatan saluran drainase dan perubahan penggunaan lahan terhadap perubahan dinamika dan/atau kehilangan cadangan karbon serta karakteristik lahan gambut. Analisis tanah dilakukan di Laboratorium tanah Balai Penelitian Tanah, Bogor.
Metode Penelitian
Kajian ini merupakan kegiatan pengamatan di lapangan (observational exploratory) dengan melakukan diterminasi kasus pada beberapa lokasi lahan gambut yang didrainase untuk tanaman tahunan. Penentuan areal lokasi kajian dilakukan dengan menggunakan metode purposive sampling, yaitu merupakan metode penentuan lokasi kajian secara sengaja yang dianggap representatif. Pengambilan data dari masing-masing areal kajian dilakukan dalam satu transek yang dibuat tegak lurus dengan saluran drainase, sehingga diasumsikan dapat mewakili kondisi lahan gambut secara keseluruhan.
28 Tahapan Penelitian
Untuk mencapai tujuan dan membuktikan hipotesis yang dikemukakan, dilakukan beberapa tahapan penelitian seperti yang disajikan dalam Gambar 4.
• • • •
Pra Penelitian: Identifikasi penggunaan lahan dominan pada lahan gambut yang di drainase di Aceh barat. Identifikasi sejarah penggunaan lahan dari masing-masing bentuk penggunaan lahan yang ada. Pemilihan lokasi dan titik pengamatan Evaluasi metode pengukuran karbon 1. Membandingkan metoda analisa karbon organik antara LOI dengan Walkley & Black 2. Membandingkan metoda pengukuran bulk density (BD) antara: bor, ring dan box 3. Membandingkan nilai prediksi emisi CO2 antara metoda chamber dengan metoda LOI
Pengamatan Karakteristik lahan gambut dan cadangan karbon dari lahan gambut yang didrainase. • Observasi karakteristik lahan gambut pada masing-masing lokasi kajian terpilih • Observasi cadangan karbon pada gambut • Observasi cadangan karbon pada biomasa vegetasi Kehilangan karbon. • Pengamatan kehilangan karbon pada permukan lahan gambut pada berbagai lokasi gambut yang didranase dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. • Pengamatan kehilangan karbon karena dekomposisi biomasa serasah atau sisa tanaman pada permukaan berbagai tipe penggunaan lahan gambut yang didrainase. • Pengamatan kehilangan karbon akibat pemupukan pada permukaan lahan gambut yang didrainase. • Pengamatan kehilangan karbon akibat kebakaran hutan pada lahan gambut yang didrainase. • Pengamatan kehilangan karbon akibat terbawa aliran air drainase
Analisis dan Interpratasi Data
Hasil penelitian • Metode dan alat yang efektif dan efisien untuk menghitung kandungan karbon gambut • Cadangan karbon yang representatif pada masing-masing lokasi kajian • Karakteristik utama lahan gambut tropika yang didrainase yang berhubungan dengan cadangan dan kehilangan karbon • Nilai kehilangan karbon yang representatif akibat: 1. Pembuatan saluran drainase dan faktor yang mempengaruhinya 2. Pemupukan lahan gambut 3. Dekomposisi biomasa tanaman 4. Kebakaran hutan gambut 5. Terbawa aliran air drainase
Gambar 4. Bagan alir tahapan penelitian
29 Kajian diawali dengan mengumpulkan dan menganalisa data sekunder berupa peta dan citra satelit. Peta dan citra satelit yang diinterpretasi adalah: Peta Interpretasi Landform skala 1 : 100.000 Kabupaten Aceh Barat, Peta Rupa Bumi skala 1 : 50.000 lembar 0420-34; 0520-11 dan 0520-13 dan Citra satelit, pada web site http://www.maps.google.com. Tahapan selanjutnya adalah melaksanakan pra penelitian yaitu malakukan identifikasi bentuk-bentuk penggunaan lahan yang dominan ada di Propinasi Nanggroe Aceh Darussalam bagian barat melalui identifikasi dan verifikasi langsung di lapang (ground check). Kondisi lahan gambut yang diamati selama pra penelitian adalah: kondisi saluran drainase, ke dalaman muka air tanah, ketebalan gambut, tingkat kematangan gambut, sejarah penggunaan lahan, kondisi iklim yaitu suhu dan curah hujan, dan penentuan koordinat lokasi dengan GPS. Dari hasil indentifikasi dan verifikasi langsung di lapang (pra penelitian) dipilih beberapa lokasi yang dianggap representatif. Lokasi kajian ini hanya pada jenis tanah ”gambut”, yang dalam istilah ilmu tanah dikenal dengan ”Histosols” atau yang populer disebut ”peat” berdasarkan kriteria Soil Survey Staff tahun 2010. Lokasi kajian yang dipilih tersebut disajikan dalam Tabel 3 dan Gambar 5. Tabel 3. Lokasi kajian berdasarkan wilayah administratif dan jenis penggunaan lahan No
Lokasi/Wilayah Administratif
Penggunaan lahan
1. Desa Simpang, Kec. Kaway XVI
Hutan terganggu
2. Desa Simpang, Kec. Kaway XVI
Semak belukar I
3. Desa Simpang, Kec. Kaway XVI
Semak belukar II
4. Desa Simpang, Kec. Kaway XVI
Karet (umur >15 tahun)
5. Desa Suak Raya, Kec. Johan Pahlawan
Kelapa sawit I (umur 15 tahun)
6. Desa Suak Raya, Kec. Johan Pahlawan
Kelapa sawit II (umur 15 tahun)
7. Desa Suak Raya, Kec. Johan Pahlawan
Karet (umur >15 tahun)
8. Desa Suak Puntong, Kec. Kuala
Kelapa sawit I (umur 10 tahun)
9. Desa Suak Puntong, Kec. Kuala
Kelapa sawit II (umur 10 tahun)
10. Desa Cot Gajah Mati, Kec. Arongan Lambalek
Kelapa sawit I (umur 1 tahun)
11. Desa Cot Gajah Mati, Kec. Arongan Lambalek
Kelapa sawit II (umur 1 tahun)
12. Desa Cot Gajah Mati, Kec. Arongan Lambalek
Hutan terganggu
30
Cot Gajah Mati
Simpang
Suak Raya
Suak Puntong Sumber: Balai Penelitian Tanah (2006) Catatan: Keterangan legenda peta pada Lampiran 1. Gambar 5. Peta tanah dan lokasi kajian dilaksanakan Deskripsi Lokasi Penelitian
Desa Simpang, kecamatan Kaway XVI, kabupaten Aceh Barat. Menurut komunikasi pribadi (personal communication) dengan beberapa orang penduduk (Bapak Usman 60 th dan Bapak Jamal 35 th) dan Kepala Desa Simpang (Bapak M. Nasir) pada kawasan ini awal tahun 2007 telah dibuat saluran drainase dengan ukuran 4 m lebar dan 5 m dalam, sepanjang 3700 m arah Barat Laut-Tenggara. Pada kawasan ini (sepanjang saluran drainase yang telah dibuat) ada 3 jenis penggunaan lahan yang digunakan sebagai lokasi kajian yaitu: 1. Lokasi kajian untuk jenis penggunaan lahan hutan. Lokasi ini merupakan kawasan hutan alami terganggu (telah dibuat saluran drainase dan sebagian pohon telah ada yang ditebangi) dengan kerapatan pohon ± 540 tanaman ha-1 dengan lingkar batang bervariasi antara 49 - 135 cm dan tinggi antara 23 – 35 m. Dibawah tegakan/strata pohon ditumbuhi oleh jenis pandan, pakis dan
31 tumbuhan perdu yang sangat rapat, dengan berat biomassa segar berkisar antara 2400 – 4500 gr m-2. 2. Lokasi kajian untuk jenis penggunaan lahan semak belukar I dan II, dalam hal ini yang dimaksud dengan penggunaan lahan semak belukar I dan II adalah pada lokasi tersebuat ada dua lokasi semak belukar yang dijadikan sebagai areal kajian, sehingga untuk memudahkan dalam pengamatan dan penyajian data hasil kajian maka lokasi yang pertama dinamakan ” semak belukar I” dan lokasi yang lain ” semak belukar II”. Sejarah penggunaan lahan, Hutan seluas 242 Ha mulai ditebang dan dilanjutkan dengan pembakaran pada tahun 1992, awalnya lokasi ini direncanakan untuk budidaya padi. Setelah hutan dibakar dilanjutkan dengan uji coba penanaman padi ladang, namun setelah 3 (tiga) kali dilakukan penanaman padi selalu mengalami kegagalan. Selanjutnya lahan dicoba ditanami dengan tanaman keladi, namun tetap mengalami kegagalan. Akhirnya lahan dibiarkan bera ditumbuhi oleh semak belukar sampai saat sekarang. Namun demikian, pada tahun 2006 sebagian lahan, terutama yang berdekatan dengan saluran drainase telah ada yang ditanami dengan tanaman karet dan nenas. Jenis semak belukar yang tumbuh pada lokasi ini didominasi oleh jenis paku-pakuan (lampiding menurut istilah lokalnya), dan tanaman perdu seperti Melastoma malabatricum.
Berat
biomassa segar berkisar antara 1500 - 3700 gr m-2. 3. Lokasi kajian untuk jenis penggunaan lahan karet tua umur >15 tahun. Pada lokasi ini, karet telah ditanam petani sekitar tahun 1980an. Tidak ada terlihat jarak tanam yang beraturan dari tanaman karet yang tumbuh di lokasi ini, namun demikian terlihat ada sekitar 560 tanaman per hektar dengan lingkar batang berkisar antara 46 cm – 120 cm dengan perbandingan 4 : 1 (4 tanaman yang berlingkar batang >100 cm dan 1 tanaman berlingkar batang < 100 cm). Di bawah tegakan karet ditumbuhi oleh semak belukar/gulma jenis pakis dan perdu, dengan berat biomassa segarnya berkisar antara 500 – 5300 gr m-2. Desa Suak Raya, kecamatan Johan Pahlawan, kabupaten Aceh Barat Berdasarkan komunikasi pribadi dengan pemilik lahan Bapak H. Dahlan, lokasi ini pada awalnya berasal dari hutan, mulai dibuka/ditebang pada tahun
32 1987.
Dibiarkan bera selama beberapa tahun. Selanjutnya dibuat saluran
darainase ukuran 2 m lebar dan 1,5 m dalam. Kelapa sawit dan karet mulai ditanam pada tahun 1991/1992. Kondisi saat ini, pada lahan telah dibuat beberapa saluran drainase utama (saluran untuk mengalirkan air dari lahan ke saluran drainase di sepanjang jalan utama Meulaboh – Calang). Jarak antara satu saluran dengan yang lainnya berkisar antara 100 m – 150 m, diantara dua saluran utama ada saluran lain dengan ukuran 1 m lebar dan 1 m dalam, posisinya tegak lurus dengan saluran utama. Ada dua jenis penggunaan lahan yang diamati pada kawasan ini yaitu: 1. Lokasi kajian untuk jenis penggunaan lahan karet tua umur >15 tahun. Pada lokasi ini, pohon karet yang ada saat sekarang ditanam semenjak tahun 1991/1992 dengan jarak tanam tidak beraturan, namun demikian ada sekitar 500 tanaman karet per hektar. Pada kondisi sekarang lingkar batang pohon karet rata-rata antara 60 cm – 132 cm. Dibawah tegakan pohon karet, ditumbuhi oleh gulma dari jenis tumbuhan pakis-pakisan dan perdu dengan berat biomassa segar berkisar antara 4100 gr – 5500 gr m-2. Gulma jarang disiangi/dibabat bahkan selama satu tahun kajian dilaksanakan pada lokasi ini, tidak pernah petani melakukan penyiangan atau pembabatan gulma. 2. Lokasi kajian untuk jenis penggunaan lahan kelapa sawit I dan II umur 15 tahun, dalam hal ini yang dimaksud dengan penggunaan lahan kelapa sawit I dan II adalah pada lokasi tersebuat ada dua lokasi kebun kelapa sawit yang dijadikan sebagai areal kajian, sehingga untuk memudahkan dalam pengamatan dan penyajian data hasil kajian maka lokasi yang pertama dinamakan ”kelapa sawit I” dan lokasi yang lain ”kelapa sawit II”. Lahan mulai ditanami dengan kelapa sawit tahun 1991/1992, dilakukan penyisipan diantara tanaman yang sudah ada pada tahun 2002, sehingga saat sekarang populasi tanaman sekitar 125 tanaman per hektar. Penyiangan gulma dilaksanakan setiap 3 bulan sekali dengan cara disemprot menggunakan herbisida dan/atau dibabat. Bersamaan dengan penyiangan juga dilakukan pemangkasan daun kelapa sawit yang sudah tua, daun hasil pangkasan disusun dan dibiarkan melapuk diantara barisan tanaman kelapa sawit. Berat biomassa segar dari gulma (terdiri dari jenis pakis-pakisan dan tanaman perdu) pada saat
33 sebelum dilakukan penyiangan adalah sekitar 2700 gr – 3500 gr per m2. Pemilik lahan juga melakukan pemupukan Urea, SP36 dan KCl dua kali dalam satu tahun, disamping itu juga melakukan pemupupan posfat alam (pupuk asam istilah petani) sekali dalam satu tahun.
Desa Suak Puntong, kecamatan Kuala, kabupaten Nagan Raya. Lokasi kajian untuk pengamatan
jenis penggunaan lahan kebun kelapa
sawit I dan II umur 10 tahun, dalam hal ini yang dimaksud dengan penggunaan lahan kelapa sawit I dan II adalah pada lokasi tersebuat ada dua lokasi kebun kelapa sawit yang dijadikan sebagai areal kajian, sehingga untuk memudahkan dalam pengamatan dan penyajian data hasil kajian maka lokasi yang pertama dinamakan ”kelapa sawit I” dan lokasi yang lain ”kelapa sawit II”.. Berdasarkan komunikasi pribadi dengan pemilik lahan Bapak H. Kasinun, pada lokasi ini saluran drainase telah dibuat sebelum kelapa sawit ditanami. Kebun kelapa sawit sempat beberapa tahun tidak dirawat, karena situasi sosial politik yang tidak kondusif. Pada tahun 2008 (bersamaan dengan awal kajian ini dilaksanakan) pemilik lahan menata kembali lahannya dengan membangun saluran drainase utama dengan ukuran 3 m lebar x 2 m dalam, dan pada setiap jarak 50 m dibuat saluran drainase lainnya yang tegak lurus dengan saluran utama dengan ukurannya 1 m lebar x 1 m dalam. Jarak tanam kelapa sawit adalah 9 m x 9 m, diantara tanaman kelapa sawit ditumbuhi oleh gulma dari jenis tumbuhan perdu dan pakis-pakisan. Berat biomassa segar dari tumbuhan gulma pada saat akan dilakukan penyiangan berkisar antara 3100 – 5100 gr m-2. Penyiangan dilakukan setiap 6 bulan sekali dengan cara ditebas/dipotong. Bersamaan dengan waktu penyiangan juga dilakukan pembersihan/perawatan pohon kelapa sawit dengan cara memotong pelepah daun yang sudah tua. Setiap kali pemotongan daun, ada sekitar 3 - 5 daun yang dipangkas. Daun yang dipotong tersebut selanjutnya diletakan/disusun dan dibiarkan melapuk diantara barisan tanaman kelapa sawit.
Desa Cot Gajah Mati, kecamatan Arongan Lambalek, kabupaten Aceh Barat Menurut hasil komunikasi pribadi (personal communication) dengan penduduk setempat (Bapak Maryanto) pada kawasan ini, saluran drainase dibuat
34 pada tahun 2006 bersamaan dengan pembuatan jalan umum utama antara Meulaboh – Calang, setelah kejadian tsunami tahun 2004. Ukuran saluran drainase sewaktu dibuat 3 m lebar x 2 m dalam, arah alirannya Barat Laut Tenggara. Ada dua jenis penggunaan lahan yang diamati pada kawasan ini yaitu: 1. Lokasi untuk kajian penggunaan lahan hutan. Hutan yang diamati pada kawasan ini merupakan hutan alami terganggu (telah dibuat saluran drainase dan sebagian pohon telah ada yang ditebang) dengan populasi tanaman sekitar 1936 pohon per hektar, dengan lingkar batang pohon utama/besar berkisar antara 53 – 135 cm, disamping itu banyak sekali pohon kecil dengan lingkar batang 8 – 14 cm, yang diperkirakan populasinya 75% dari populasi pohon yang ada. Di bawah tegakan pohon ditumbuhi oleh tanaman jenis perdu belukar, paku-pakuan dan tanaman merambat lainnya. 2. Lokasi untuk kajian penggunaan lahan kelapa sawit I dan II, umur 1 tahun, dalam hal ini yang dimaksud dengan penggunaan lahan kelapa sawit I dan II adalah pada lokasi tersebuat ada dua lokasi kebun kelapa sawit yang dijadikan sebagai areal kajian, sehingga untuk memudahkan dalam pengamatan dan penyajian data hasil kajian maka lokasi yang pertama dinamakan ”kelapa sawit I” dan lokasi yang lain ”kelapa sawit II”. Menurut hasil komunikasi pribadi dengan Bapak Darussalam petugas Badan Rehabilitasi dan Rekontroksi untuk Aceh (BRR) lokasi ini awalnya adalah hutan, yang direncanakan untuk ditanami kelapa sawit untuk korban tsunami 2004 (setiap keluarga akan mendapan kebun kelapa sawit seluas satu hektar). Pada tahun 2007, seluas 500 hektar hutan ditebang dan dilanjutkan dengan pembakaran. Kelapa sawit mulai ditanam pada awal tahun 2008, dengan jarak tanam 9 m dalam barisan tanaman, dan 7 m antar barisan tanaman (pola tanam mengikuti sistem segi tiga atau zik-zak antara barisan tanaman), sehingga diperoleh populasi sekitar 154 tanaman per hektar. Kondisi lahan, disamping ditanami kelapa sawit muda, juga ditumbuhi semak belukar, degan berat biomassa segar berkisar antara 1400 – 2400 gr m-2. Petani membabat semak belukar dengan cara gotong royong dan selanjutnya dibakar setiap 6 bulan sekali.
35 Penentuan Lokasi Titik Pengamatan
Penentuan lokasi tempat pengamatan dan/atau pengambilan sampel tanah pada masing-masing lokasi kajian terpilih telah diupayakan dapat mewakili seluruh kondisi hamparan lahan. Hal in berdasarkan asumsi bahwa pada lahan gambut yang didrainase umumnya terjadi perbedaan tinggi muka air tanah sesuai dengan jarak lokasi dari saluran drainase, yang mana semakin jauh lokasi dari saluran drainase muka air tanah semakin dangkal (muka air tanah dekat dengan permukaan tanah). Untuk itu, sebaran titik-titik pengamatan pada masing-masing lokasi kajian diplotkan dalam satu transek yang dibuat tegak lurus dengan saluran drainase. Titik-titik
pengamatan tersebut ditempatkan menyebar sepanjang
transek, sehingga dapat mewakili lokasi yang dekat sampai dengan yang jauh dari saluran drainase. Apabila ada dua saluran drainase yang sejajar seperti yang ditemui pada lokasi di desa Suak Raya, desa Suak Puntong, dan desa Cot Gajah Mati, maka lokasi pengamatan terjauh dari saluran drainase ditempatkan pada lokasi atau jarak pertengahan antara kedua saluran drainase tersebut, karena diasumsikan bahwa pada lokasi tersebut adalah merupakan batas antara kedua saluran drainase saling mempengaruhi tinggi muka air tanah. Untuk masingmasing lokasi kajian telah ditetapkan atau dipilih sebanyak 5 titik/lokasi permanen dalam satu transek yang mewakili kondisi lahan dekat sampai dengan yang jauh dari saluran drainase sebagai lokasi/titik tempat dilakukan pengamatan sifat-sifat tanah di lapang dan pengambilan sampel tanah untuk dianalisa di laboratorium. Koordinat geografis masing-masing titik/lokasi pengamatan dan pengambilan sampel tanah disajikan dalam Lampiran 2.
Peralatan Penelitian
Peralatan yang digunakan untuk terlaksananya kajian ini disajikan dalam Tabel 4.
36 Tabel 4. Peralatan yang digunakan selama kajian di lapangan No
Peralatan
Kegunaan
1
Peta Landform skala 1 : 100.000
Memilih lokasi kajian
2
Peta rupa bumi skala 1 : 50.000
Memilih lokasi kajian
3
Citra Satelit
Memilih lokasi kajian
4
GPS, merk Garmin
Menentukan koordinat lokasi kajian
5
Peralatan yang umum untuk
Mengambil sampel tanah
pengambilan sampel tanah gambut 6
Pipa paralon 1 inchi/Piezometer
Mengukur tinggi muka air tanah
7
Slang plastik
Mengukur topografi mikro/transek
8
Digital pH meter
Mengukur pH langsung di lapang
Pengambilan Sampel dan Pengamatan Kajian evaluasi metode dan alat untuk menentukan kadar karbon gambut Untuk menentukan cadangan karbon tersimpan pada lahan gambut diperlukan data Bulk Density (BD), kandungan karbon (%C-organik), ketebalan dan luas lahan gambut. Untuk mendapatkan nilai BD dan kandungan dan perubahan cadangan karbon yang representatif, dilakukan pengujian terhadap beberapa metode dan alat untuk menentukan nilai BD, dan estimasi kandungan dan kehilangan karbon. 1. Evaluasi alat mengambil sampel tanah untuk menentukan bulk density Untuk mendapatkan nilai BD yang representatif,
dilakukan evaluasi
terhadap beberapa alat yang dapat digunakan untuk mengambil sampel tanah gambut yaitu: a) kotak sampel 1 (box sampler 1) yaitu sejenis kotak dari plat baja dengan ukuran 50 cm panjang x 50 cm lebar x 10 cm tinggi ; b) kotak sampel 2 (box sampler 2) yaitu sejenis kotak dari baja dengan ukuran 30 cm panjang x 30 cm lebar x 10 cm tinggi ; c) ring sampel (Ө = 7,6 cm, tinggi = 4 cm); dan d) bor gambut khusus dari Eijkelkamp berbentuk setengah selinder dengan luas penampang 10 cm2 dan panjang/tinggi 50 cm.
37 Sebanyak 30 titik atau lokasi telah dipilih secara acak untuk pengambilan sampel tanah dengan menggunakan masing-masing alat untuk ditentukan BD nya di laboratorium. Pengambilan sampel tanah dengan masing-masing alat tersebut dilakukan pada ke dalaman 0 – 15 cm (lapisan permukan). Sampel tanah yang terambil oleh masing-masing alat dimasukkan ke dalam kantong plastik yang mempunyai klep. Khusus untuk tanah yang terambil dari kotak sampel 1 dan kotak sampel 2, semua tanah yang terambil ditimbang (ditentukan beratnya) di lapangan, kemudian diambil 5 sampel secara acak (sekitar 100 gr) untuk masingmasing sampel, selanjutnya dimasukan ke dalam mempunyai klep untuk dianalisa di laboratorium.
kantong plastik yang Kadar air masing-masing
sampel tanah di tentukan di laboratorium dengan memanaskan dalam oven pada suhu 1000C selama 24 jam. Bulk density diperoleh dengan cara membagi total berat tanah kering dengan volumenya (gr cm-3) Nilai BD yang diperoleh selanjutnya di evaluasi dengan analisis regresi linear sederhana dan uji korelasi antara data dari masing-masing alat. Dalam hal ini, diasumsikan bahwa nilai dari alat yang paling besar volumenya yaitu kotak sampel 1 adalah yang paling representatif. Untuk itu, nilai BD dari pengukuran menggunakan kotak sampel 1 dipakai sebagai referensi untuk mengkonversi nilai BD dari alat yang lainnya, sehingga diperoleh nilai BD yang representatif untuk masing-masing alat. 2. Evaluasi metode penentuan kadar karbon (%C-organik) tanah gambut. Untuk mengetahui metode yang efektif dan efisien dan mendapatkan nilai kandungan karbon yang representatif dari hasil pengukuran, dilakukan evaluasi terhadap dua metode yang umum digunakan untuk menentukan karbon yaitu metode Walkley and Black (1934) dan metode Loss-on-Ignition (LOI) oleh Nelson and Somers (1996). Sebanyak 20 sampel tanah dari berbagai profil dan penggunaan lahan gambut diambil untuk dianalisa kandungan karbon dan bahan organiknya di laboratorium menggunakan kedua metode tersebut. Dari metode Walkley and Black diperoleh nilai %C-organik, sedangkan dari metode LOI diperoleh nilai persen bahan organik dan persen kadar abu (mineral). Untuk mengetahui kadar bahan organik dalam material gambut dengan metode Loss on
38 Ignition (LOI) dilakukan dengan cara membakar sekitar 2 gram sampel tanah gambut kering oven 1000C dalam oven tanur (furnace) pada suhu 5500C selama 6 jam. Berat sampel yang hilang selama proses pembakaran adalah merupakan jumlah bahan organik yang terkandung dalam material gambut, yang dihitung dengan rumus:
% BO =
B105O − B5500 B1050
x100% ......Rumus 1. (Nelson dan Sommers, 1996).
yang mana: % BO = persentase bahan organik gambut, B 105 0 = berat material gambut pada suhu 1050C, B 550 0 = berat material gambut yang tersis setelah pemanasan 5500C. Sedangkan untuk mengkonversi persentase bahan organik menjadi persentase karbon yang terkandung dalam material gambut dari hasil metode LOI dihitung dengan rumus: %C =
1 x% LOI 1,724
..................................Rumus 2. (Pribyl, 2010).
yang mana: %C
= Kandungan karbon bahan gambut,
%LOI
= Persentase bahan gambut yang hilang pada proses Loss on Ignition,
1,724
= Konstanta untuk mengkonversi % bahan organik menjadi % Corganik berdasarkan asumsi bahan organik mengandung 58% C .
Karbon organik (%C-organik) dari metode Walkley and Black diperoleh berdasarkan prinsip bahwa karbon sebagai senyawa organik akan mereduksi Cr6+ yang berwarna jingga menjadi Cr3+ yang berwarna hijau dalam suasana asam. Intensitas warna hijau yang terbentuk setara dengan kadar karbon dan dapat diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 561 nm (Balai Penelitian Tanah, 2005). Hasil/nilai persen bahan organik yang diperoleh dari metode LOI dibandingkan (analisis regresi dan korelasi) dengan nilai persen C-organik yang diperoleh dari metode Walkley and Black. Dari persamaan regresi antara nilai
39 persen bahan organik yang diperoleh dari metode LOI dengan nilai %C-organik dari metode Walkley and Black dapat diperoleh satu nilai konstanta untuk mengkonversi nilai persen bahan organik menjadi nilai persen karbon organik atau sebaliknya dari nilai persen karbon organik menjadi nilai persen bahan organik. Nilai konstanta tersebut dapat dianggap sebagai nilai yang representatif digunakan untuk mengkonversi persen bahan organik manjadi %C-organik untuk kajian ini. Selanjutnya nilai/konstanta yang diperoleh tersebut digunakan sebagai pengganti konstanta yang umum digunakan selama ini yaitu 1,724. 3. Evaluasi metode memprediksi emisi CO 2 Data hasil prediksi kehilangan karbon atau emisi CO 2 dari lokasi dan periode waktu yang sama menggunakan metode Chamber (fluks) dan metode kadar abu (metode LOI) dibandingkan dengan analisa T-test. Dalam kajian ini, data emisi CO 2 dari metode chamber diperoleh (menggunakan) data dari hasil kajian Etik (2009) yang mana lokasi dan periode waktu pengamatannya bersamaan dengan kajian ini, sedangkan perediksi CO 2 dari peningkatan kadar abu (metode LOI) diperoleh langsung dari hasil evalusai terhadap data peningkatan kadar abu pada lapisan 0 – 50 dari masing-masing lokasi kajian ini. Pengukuran cadangan karbon dan karakteristik lahan gambut tropika yang didrainase Untuk menduga cadangan karbon pada lahan gambut, tahapan yang dilakukan adalah mengetahui volume gambut, bulk density (BD), dan kadar C pada masing-masing lokasi terpilih. Volume gambut ditentukan dengan mengalikan luas lokasi dengan ketebalan gambutnya. Ketebalan gambut diukur dengan cara menusukkan tongkat atau bor gambut ke dalam lapisan gambut hingga mencapai lapisan tanah mineral di bawahnya. Sampel gambut diambil dengan bor gambut khusus tipe setengah silinder dari Eijkelkamp dengan kapasitas 500 cm3 mulai dari permukaan sampai lapisan dasar (batas dengan tanah mineral). Bahan gambut yang terambil oleh bor (volume 500 cm3) dimasukkan ke dalam kantong plastik yang mempunyai klep untuk dianalisa di laboratorium. Parameter sifat-sifat tanah yang dianalisa adalah yang diperkirakan berkaitan dengan cadangan karbon dan karakteristik lahan yaitu: kadar abu, kadar air pada
40 pF 1,00; 2,00; 2,54; 3,70 dan 4,20, pH, KTK,
unsur hara N. Metode yang
digunakan untuk analisa masing-masing sifat-sifat tanah disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Sifat-sifat tanah yang diamati dan metode pengukurannya No
Sifat Tanah
Metode Pengukuran
Keterangan/ Keterkaitan dengan
A. Sifat Fisik Tanah 1
Bulk density (BD)
Bor gambut khusus
Cadangan karbon
2
Partikel density
Piknometer
Cadangan karbon
3
Penurunan permukaan tanah
Stik/titik permanen
Cadangan karbon
(subsidence) 4
Tinggi muka air tanah
Piezometer
Dekomposisi gambut
5
Kadar air pada pF 1,00;
Pressure plate apparatus
Dekomposisi gambut
2,00; 2,54; 3,70 dan 4,20 6
Suhu tanah
Termometer
Dekomposisi gambut
7
Kadar abu dan Kandungan
Pengabuan kering dan
Cadangan karbon
karbon
Walkley and Black
8
Tingkat dekomposisi
Volume serat
Dekomposisi gambut
9
Permeabilitas
Auger hole
Dekomposisi gambut
B. Sifat Kimia Tanah 1
pH gambut
Digital pH meter
Kesuburan Gambut
2
N-total
Kjeldahl
Indikator kehilangan karbon
3
P-total
Pengabuan basah
Indikator kesuburan Gambut
4
Ca-total
Pengabuan basah
Indikator kesuburan Gambut
5
K-total
Pengabuan basah
Indikator kesuburan Gambut
6
Mg-total
Pengabuan basah
Indikator kesuburan Gambut
7
Na-total
Pengabuan basah
Indikator kesuburan Gambut
8
Fe-total
Pengabuan basah
Indikator kesuburan Gambut
9
Mn-total
Pengabuan basah
Indikator kesuburan Gambut
10
KTK
1 N NH4Oac pH 7,0 &
Indikator kesuburan Gambut
pH 4,0 C. Aktivitas Organisme
Respirasi Tanah
Dekomposisi gambut
perombak
Untuk menentukan cadangan karbon yang tersimpan dalam vegetasi yang tumbuh diatas permukaan lahan gambut, ditentukan dengan cara mengukur berat biomassa dari vegetasi tersebut seperti yang dijelaskan oleh Hairiah dan Rahayu (2007). Berkaitan dengan hal ini vegetasi yang tumbuh diatas permukaan lahan
41 gambut dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu ”pohon” (semua tumbuhan yang diameter batangnya > 5 cm) dan ”semak” (semua tumbuhan yang diameter batangnya < 5 cm). Khusus untuk biomassa dan karbon tersimpan dalam pohon kelapa sawit pada lahan gambut ditentukan berdasarkan umur tanaman, data yang ditampilkan dalam kajian ini diambil dari hasil penelitian Yulianti (2009). Pengukuran biomassa vegetasi tumbuhan pohon: Caranya adalah, penetapan plot dengan ukuran 5 m x 40 m, kemudian semua pohon yang diameter batangnya > 5 cm diukur diameter dan lingkar batangnya pada posisi ± 1,3 m dari permukaan tanah. Kemudian ditentukan bulk densitynya (BD) dengan cara memotong salah satu cabang sebagai sampel, lalu diukur panjang, diameter dan timbang berat basahnya. Selanjutnya tentukan kadar air cabang (sampel) tersebut dengan cara memanaskan sampel dalam oven pada suhu 1000C selama 48 jam. BD dihitung dengan cara: membagi berat kering sampel dengan volumenya (gr cm-3). Estimasi biomassa pohon dihitung dengan rumus: BK = 0,11 x BJ x D2,62......................Rumus 3. (Hairiah dan Rahayu, 2007) Yang mana: BK = Berat kering BJ = Berat jenis D = diameter pohon
Pengukuran biomassa tumbuhan bawah atau semak: Tumbuhan bawah adalah semua vegetasi yang diameter batangnya < 5 cm. Plot ukuran 0,5 m x 0,5 m dibuat pada lokasi yang dianggap mewakili kondisi lahan secara keseluruhan. Kemudian semua tumbuhan yang diameter batangnya < 5 cm dipotong dan ditimbang berat basahnya. Selanjutnya ditentukan kadar airnya dengan cara memanaskan sub sampel dalam oven pada suhu 1000C selama 48 jam. Berat kering biomassa dihitung dengan rumus: Total BK = (BK sub sampel/BB sub sampel) x Total BB sampel. ......Rumus 4. (Hairiah dan Rahayu, 2007) Yang mana : BB = Berat Basah BK = Berat Kering
42 Pengukuran dalam muka air tanah: Terjadinya perbedaan dalam muka air tanah pada hamparan lahan gambut yang didrainase merupakan indikasi adanya pengaruh drainase pada lahan gambut. Pada masing-masing titik pengamatan pada lokasi terpilih, dipasang piezometer dari pipa paralon berdiameter 1 inchi yang dibenamkan secara vertikal ke dalam tanah untuk monitoring tinggi muka air tanah. Dalam muka air tanah diamati dengan cara memasukkan tongkat kayu ke dalam piezometer sampai mencapai permukaan air tanah (ditandai dengan basahnya bagian tongkat yang tercelup ke dalam air). Kemudian bagian tongkat kayu yang sejajar dengan permukaan tanah diberi tanda. Dalam muka air tanah ditentukan dengan cara mengukur panjang bagian tongkat yang kering diatas bagian yang basah sampai bagian tongkat yang sejajar dengan permukaan tanah. Pengukuran subsidence: Penurunan permukaan tanah (subsidence) pada lahan gambut yang didrainase, merupakan indikator telah terjadi kehilangan karbon akibat material gambut terdekomposisi atau telah terjadinya pemadatan material gambut. Untuk mengamati kejadian subsidence, pada masing-masing lokasi pengamatan dipasang tongkat dari besi yang ditancapkan ke dalam tanah sampai menembus lapisan tanah mineral, kemudian pada tongkat besi yang muncul dipermukaan tanah dibuat tanda permanen (sebagai titik awal pengamatan) untuk acuan dalam memonitoring perubahan ketinggian permukaan tanah di sekitarnya. Besarnya subsidence dihitung dengan cara mengukur perbedaan/selisih titik awal pengamatan dengan titik pengamatan berikutnya pada tongkat besi tersebut. Pengukuran transek permukaan tanah: Perbedaan tinggi permukaan tanah dan muka air tanah pada masing-masing titik pengamatan di sepanjang transek (keragaan transek permukaan tanah dan muka air tanah) ditentukan dengan metode water pass menggunakan slang plastik berisi air dengan prinsip bejana berhubungan. Pada jalur sepanjang transek (mulai dari bibir saluran drainase sampai titik pengamatan terjauh dari saluran drainase) ditancapkan tongkat kayu yang tingginya sekitar 1,5 m dari permukaan tanah. Pengamatan tinggi permukaan tanah dan muka air tanah dimulai dari tongkat yang ditancapkan di bibir saluran, dalam kajian ini permukaan tanah di bibir saluran dianggap
43 sebagai titik nol (0 m) dari saluran drainase. Pada tongkat yang ditancapkan pada bibir saluran drainase tersebut diberi tanda yaitu tanda yang menunjukkan tinggi titik tersebut dari permukaan air dalam saluran drainase dan dari permukaan tanah di bibir saluran. Dari titik nol (tongkat di bibir saluran drainase) slang dihubungkan dengan tongkat yang ditancapkan pada titik pengamatan pertama (titik pengamatan pertama atau titik pengamatan terdekat dari saluran drainase). Muka air dalam slang dipastikan sejajar dengan tanda yang dibuat pada tongkat yang ditancapkan pada bibir saluran drainase, setelah muka air dalam slang sejajar dengan tanda pada tongkat dibibir saluran drainase pada tongkat yang lain (yang ditancapkan pada titik pengamatan pertama) diberi tanda pada bagian yang sejajar dengan muka air dalam slang. Selanjutnya tanda pada tongkat di titik pengamatan pertama ini diukur tingginya dari permukaan tanah dan permukaan air dalam piezometer. Selisih tinggi tanda pada tongkat dengan permukaan tanah dan muka air tanah dengan yang terukur pada tongkat di bibir saluran adalah menunjukkan perbedaan tinggi permukaan tanah dan muka air tanah antara kedua titik tersebut. Jadi, perbedaan tinggi permukaan tanah dan muka air tanah antara satu titik pengamatan dengan titik pengamatan lainnya dalam satu transek ditentukan dengan cara membandingkan perbedaan tinggi permukaan air dalam slang yang dihubungkan antara satu titik pengamatan dengan titik pengamatan lainnya. Pada lokasi kajian juga diamati kondisi pola curah hujan yang meliputi: curah hujan harian, bulanan dan tahunan. Data curah hujan ini diambil dari stasiun penakar curah hujan yang paling dekat dengan lokasi kajian yaitu dari kantor BMG di dekat lapangan terbang Nagan Raya. Kajian kehilangan karbon dari berbagai penggunaan lahan gambut yang didrainase 1. Kehilangan karbon pada permukaan lahan gambut pada masing-masing lokasi dan faktor yang mempengaruhinya Kadar abu (kandungan mineral) pada lapisan gambut yang teroksidasi akibat drainase meningkat secara simultan. Dalam kajian ini, peningkatan kadar abu (mineral) pada lapisan atas (0 – 50 cm) lokasi lahan gambut yang didrainase diasumsikan berasal dari material gambut yang telah hilang bahan organiknya
44 karena terdekomposisi. Untuk itu, apabila terjadi peningkatan kadar abu pada permukaan lahan gambut (0 – 50 cm) setelah periode waktu tertentu, merupakan indikasi telah terjadi kehilangan karbon terutama karena proses dekomposisi bahan organik. Bahan organik yang hilang akibat terdekomposisi dihitung dengan rumus: 1 − 1 − ((1 − KAbak ) × BDak × T ) ……Rumus 5. BOh = (KAbak × BDak × T ) × KAbaw (Gronlund, et al., 2008). yang mana: BOh = Bahan organik yang hilang KAbak = Kadar abu terakhir KAbaw = Kadar abu awal BDak = BD akhir T = tebal lapisan (dalam kajian ini 50 cm) Untuk memprediksi besarnya emisi gas CO 2 yang terbentuk atau teremisi akibat hilangnya karbon karena proses dekomposisi gambut digunakan rumus: CO 2 = C x 3,67 ………………Rumus 6. (Agus et al., 2009) yang mana: CO 2 = Jumlah gas CO 2 hasil dekomposisi gambut, C = Berat atau jumlah karbon yang hilang selama proses dekomposisi, 3,67 = konstanta untuk megkonversi karbon menjadi bentuk CO 2 (berdasarkan berat atom CO 2 = 40 dibagi berat atom C = 12) Tahapan selanjutnya, untuk mendapatkan faktor (sifat tanah) yang berperan nyata dalam proses kehilangan atau perubahan karbon pada lahan gambut yang didrainase, dilakukan dengan cara data kehilangan karbon yang diperoleh dari masing-masing titik pengamatan diregresi dan korelasikan dengan data sifat-sifat tanah dari masing-masing titik pengamatan tersebut. Apabila diperoleh banyak faktor atau sifat tanah yang berkorelasi nyata dengan data kehilangan karbon maka akan dilakukan prosedur stepwise untuk memilih faktor yang lebih berperan dalam proses kehilangan karbon pada lahan gambut. Analisa data menggunakan program statistik SAS versi 6.12 pada sistim Windows pada komputer
45 2. Pengamatan kehilangan karbon akibat pemupukan. Kajian ini merupakan pengamatan di lapangan, yaitu membandingkan kehilangan karbon dalam kurun waktu tertentu yaitu bulan November 2008 sampai dengan bulan Agustus 2009 (selama ± 8 bulan) pada plot/petak berpasangan pada berbagai jenis penggunaan lahan. Pada masing-masing lokasi penggunaan lahan dibuat dua buah plot yang berdampingan, salah satu plot diperlakukan dengan pupuk NPK Mutiara, sedangkan plot yang lain dibiarkan sesuai dengan kondisi alami (inherent) saat plot dibuat (tidak dipupuk). Plot yang diperlakukan, diberi pupuk NPK Mutiara dengan dosis 3 kg per plot dan diaduk secara merata pada permukaan tanah. Ukuran masing-masing plot adalah 2,5 m x 2,5 m. Pemumukan dilakukan pada bulan November 2008. Pengamatan yang dilakukan pada setiap plot adalah parameter/indikator yang diperlukan untuk mengidentifikasi adanya terjadi perubahan cadangan karbon yang meliputi: bulk density (BD) dan kadar abu. Semua parameter yang dianalisa ini dilaksanakan pengamatan dan pengambilan sampel tanahnya setelah periode waktu 8 bulan setelah pemupukan (bulan Agustus 2009). Kehilangan gambut dihitung berdasarkan peningkatan/perbedaan kadar abu antara plot yang dipupuk dengan yang tidak dipupuk. Hal ini berdasarkan asumsi bawa peningkatan kadar abu berasal dari behan organik gambut yang telah hilang akibat terdekomposisi, sehingga mengakumulasikan abu di permukaan lahan. Estimasi kehilangan bahan organik gambut dihitung dengan rumus:
Gh lg = ( BAakr − BA ppk ) x( BDakr xT ) x(
1 − 1) − ((1 − BAakr ) xBDakr xT ) ….Rumus 7 BAawl
(Grönlund et al., 2008) Yang mana: G hlg = Berat gambut hilang BA akr = Berat abu plot dipupuk BA ppk = Berat abu pupuk BD awl = Bulk density plot tidak dipupuk BDakr = Bulk density plot dipupuk T = ketebalan tanah (sampel)
46 Untuk mengkonversi total bahan organik gambut yang hilang menjadi total karbon yang hilang, dilakukan dengan cara membagi total bahan organik gambut yang hilang dengan konstanta yaitu 1,724 atau konstanta baru yang diperoleh dari kajian ini.
3. Pengamatan kehilangan karbon akibat dekomposisi biomassa tanaman. Kajian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2008 sampai dengan bulan Agustus 2009. Dalam kajian ini, biomassa berasal dari tumbuhan yang dominan ada di masing-masing lokasi kajian yakni : biomassa dari pangkasan daun dan pelepah pohon kelapa sawit Elaeis guinensis jacg yang dipotong setiap 4 bulan sekali; biomassa Melastoma malabatricum dan c) biomassa Cycas sp, (lampiding istilah lokal); bomasa ranting dan daun karet, biomassa pemangkasan mankire (istilah lokal) yaitu tumbuhan spesifik pada lokasi kelapa sawit di desa Cot Gajah Mati, biomassa pandan (Pandan sp). Sampel masing-masing spesies dikumpulkan dan dikering anginkan dan ditentukan kadar airnya. Selanjutnya sebanyak 100 gram (berdasarkan berat kering oven) biomassa kering angin dimasukkan ke dalam kantong serasah (litter bag) yang terbuat dari bahan kasa nilon dengan ukuran 35 cm x 35 cm dengan ukuran lobang kasa 1 mm. Untuk masing-masing spesies biomassa dibuat sebanyak enam kantong untuk diamati kecepatan dekomposisinya. Masing-masing kantong serasah diletakkan pada permukaan lahan atau pada lapisan oksidasi dari lahan pada masing-masing lokasi kajian. Tiga dari enam kantong serasah diambil secara acak untuk diamati beratnya yang masih tersisa setelah periode waktu 6 bulan (November 2008), sedangkan yang tiga lagi diamati setelah periode waktu 14 bulan (Agustus 2009).
Sesegera
mungkin setelah kantong serasah diambil dari lapang, masing-masing disimpan dalam kotak busa (ice box) dan dibawa ke laboratorium. Serasah yang tertinggal dalam kantong serasah setelah proses dekomposisi berjalan pada setiap pengamatan,
dengan
hati-hati
dipisahkan/dikeluarkan
dari
kantong
dan
dibersihkan atau dipisah dari akar-akar tanaman dan tanah, selanjutnya dikeringkan dalam oven pada suhu 700C selama 48 jam, sehingga diperoleh berat biomassa yang tersisa, dan kehilangan berat juga dapat dihitung yaitu dengan cara mengurangi berat awal (100 gram) dengan berat biomassa yang tersisa.
47 Untuk mengetahui kadar karbon masing-masing biomassa, baik sebelum maupun setelah proses dekomposisi berlangsung dilakukan dengan metode Loss on Ignition (LOI) yaitu dengan cara membakar sekitar 2 gram sampel biomassa kering oven 1050C dalam oven tanur pada suhu 5500C selama 6 jam. Berat sampel yang hilang selama proses pembakaran adalah merupakan jumlah bahan organik yang terkandung dalam masing-masing biomassa, yang dihitung menggunakan rumus 1. Sedangkan persentase karbon yang terkandung dalam masing-masing sampel biomassa dihitung dengan rumus 4.
4. Pengamatan kehilangan karbon akibat kebakaran hutan Untuk melihat besarnya kehilangan karbon akibat terbakarnya hutan, telah dilakukan pengamatan terhadap sifat-sifat tanah yaitu bulk density (BD) dan kadar abu (% mineral) pada permukaan tanah (lapisan 0-5 cm) pada hutan alami dan hutan yang baru terbakar di desa Cot Gajah Mati, kecamatan Arongan Lambalek dan desa Simpang, kecamatan Kaway XVI, Kabupaten Aceh Barat pada bulan Agustus 2009. Sampel tanah diambil menggunakan ring sample ukuran 4 cm tinggi dan 7,6 cm diameter, masing-masing lokasi diambil sebanyak 5 sampel secara acak. Sampel tanah dalam ring dibawa ke laboratorium untuk penentuan BD dan kadar abunya. Besarnya kehilangan karbon dihitung dengan rumus:
C hlg = (BD tbk x KA tbr x V) – (BD alm x KA alm x V) : KA gbh x %C gbh .........Rumus 8.
Rumus ini merupakan modifikasi rumus yang digunakan oleh Gronlund et al. (2008) dalam menghitung kehilangan bahan organik gambut akibat pemupukan berdasarkan peningkatan kadar abu, dan penjabaran rumus yang digunakan Turetsky dan Wieder (2001) untuk menghitung bahan organik hilang pada kebakaran lahan gambut. Yang mana: C hlg = Karbon hilang BD tbk = Bulk density (BD) hutan terbakar BD alm = Bulk density (BD) hutan alami
48 KA tbk = Kadar abu hutan terbakar KA alm = Kadar abu hutan alami V = Volume sampel KA gbh = Rata-rata kadar abu gambut awal dan biomassa hutan %C gbh = Rata-rata kadar karbon gambut alami dan biomassa hutan Untuk mengkonversi nilai besarnya kehilangan karbon menjadi nilai besarnya emisi gas CO 2 yang terjadi akibat kebakaran hutan digunakan rumus 6.
5. Pengamatan kehilangan karbon terbawa air drainase Salah satu bentuk kehilangan karbon dari lahan gambut adalah yang terlarut dalam air (dissolved organic matter) dan terbawa hanyut bersama aliran drainase. Untuk itu, telah dilaksanakan pengambilan sampel air dalam saluran drainase yang melintasi lahan gambut tersebut di desa Simpang, desa Suak Raya, Desa Suak Puntong, dan desa Cot Gajah Mati pada bulan Agustus 2009 . Sampel air saluran diambil pada bagian dasar, tengah dan atas saluran. Kecepatan air dalam saluran drainase diukur dengan cara menghanyutkan pelampung (busa gabus) diatas aliran air drainase. Waktu yang digunakan untuk menempuh jarak tertentu digunakan untuk menentukan kecepatan aliran air. Disamping itu, juga diukur luas penampang saluran yang dilewati aliran air drainase. Volume atau debit air saluran ditentukan dengan rumus:
D = (J : T) x A ……………………………………………Rumus 9. (http://www.geografi.web.id/2009/12/pengukuran-debit-air-sungaisaluran-1.html), yang mana: D = volume/debit aliran air per satuan waktu tertentu J = Jarak yang ditempuh pelampung hanyut T = Lamanya waktu yang dibutuhkan untuk menempuh jarak tertentu A = Luas penampang saluran yang dilalui air
49 HASIL DAN PEMBAHASAN
Evaluasi Metode Pengukuran Karbon Tersimpan Pada Lahan Gambut 1. Evaluasi metode pengukuran bulk density (BD) lahan gambut Nilai bulk density (BD) merupakan salah satu variabel utama untuk mengestimasi kandungan karbon tersimpan pada lahan gambut. Untuk mendapatkan nilai bulk density yang representatif dari hasil kajian ini, telah dilakukan pengujian pengukuran BD dengan penggunaan berbagai macam alat yang berbeda bentuk dan ukurannya yaitu: a) kotak sampel 1 (box sampler 1) ukuran 50 cm x 50 cm x 10 cm tinggi ; b) kotak sampel 2 (box sampler 2) ukuran 30 cm x 30 cm x 10 cm tinggi; c) ring sampel (Ө = 7,6 cm, tinggi = 4 cm); dan d) bor gambut khusus dari Eijkelkamp berbentuk setengah selinder dengan luas penampang 10 cm2 dan panjang/tinggi 50 cm. Jumlah sampel yang digunakan untuk masing-masing alat adalah 30 (n = 30). Asumsi yang menjadi dasar dari kajian ini adalah, nilai pengkuran BD yang paling representatif adalah nilai yang diperoleh dari penggunaan alat yang volumenya lebih besar yaitu kotak sampel 1. Dasar dari asumsi ini adalah, pada umumnya gambut tropika terbentuk dari biomassa hutan hujan tropis, sehingga material penyusun gambut sangat beragam (heterogen) yang mana terdiri dari bahan kayu-kayuan berupa akar, daun, ranting dan cabang dari pohon, dengan berbagai tingkat dekomposisi. Hal ini menyebabkan nilai BD gambut tropika juga sangat beragam. Untuk penentuan nilai BD, agar supaya sampel tanah yang diambil benar-benar mewakili kondisi gambut yang sebenarnya, maka diperlukan alat untuk mengambil sampel tanah yang representatif. Berdasarkan asumsi ini, nilai BD dari hasil pengukuran menggunakan alat kotak sampel 1 (volume paling besar) dijadikan sebagai referensi pembanding bagi alat-alat yang lainnya. Bentuk hubungan antara nilai pengukuran kotak sampel 1 (pada sumbu X) dengan kotak sampel 2, ring sampel, dan bor gambut (pada sumbu Y) disajikan dalam Gambar 6, sedangkan matrik korelasi nilai rata-rata BD antara hasil pengukuran dengan masing-masing alat disajikan pada Tabel 6.
BD dengan alat lain (gr cm-3)
50
0,35
Kotak sampel 2 y = 0,9988x R2 = 0,9698
Kotak sampel 2 Bor Ring
0,3 0,25
Bor y = 1,136x R2 = 0,4782
0,2 0,15
Ring y = 1,301x R2 = 0,7894
0,1 0,05 0 0
0,05 0,10 0,15 0,2 BD dengan kotak sampel 1 (gr cm-3)
0,25
Keterangan: Sampel berasal dari lapisan 0 – 15 cm dengan tingkat kematangan bervariasi antara fibrik, hemik dan saprik.
Gambar 6. Bentuk hubungan antara hasil pengukuran bulk density menggunakan kotak sampel 1 dengan kotak sampel 2, ring dan bor. Berdasarkan pada perbandingan nilai rata-rata BD dari hasil pengukuran 30 sampel tanah menggunakan kotak sampel 1 dengan alat lainnya, ditemukan bahwa: a) penggunaan alat kotak sampel 2 hasilnya relatif sama dengan kotak sampel 1, b) penggunaan bor gambut hasilnya lebih tinggi sekitar 14%, dan c) penggunaan ring sampel nilainya lebih tinggi sebesar 30%. Walaupun demikian, hasil pengukuran BD dengan kotak sampel 1 berkaitan erat dengan hasil pengukuran menggunakan alat lainnya (R2 = 0,97; 0,79 dan 0,48 masing-masing secara berurutan untuk alat kotak sampel 2, ring dan bor). Tabel 6. Matrik korelasi nilai BD tanah gambut dengan penggunaan kotak sampel 1 dengan kotak sampel 2, ring sampel, dan bor gambut khusus.
Kotak sampel 1 50 x 50 x 10 cm3 Kotak sampel 2 30 x 30 x 10 cm3 Bor
Ring
Kotak sampel 1
Kotak sampel 2
50 x 50 x 10 cm3
30 x 30 x 10 cm3
Bor
Ring
1,0000 0,0000 0,9849*** 0,0001
1,0000 0,0000
0,6988*** 0,0001
0,7421*** 0,0001
1,0000 0,0000
0,8686*** 0,0001
0,8596*** 0,0001
0,6576*** 0,0001
Keterangan: *** Nyata pada taraf kepercayaan <1%
1,0000 0,0000
51 Hasil uji korelasi nilai BD antara masing-masing alat yang digunakan menunjukkan bahwa penggunaan kotak sampel ukuran 50 cm x 50 cm x 10 cm (box sampler 1), kotak sampel ukuran 30 cm x 30 cm x 10 cm (box sampler 2), ring sampel (Ө = 7,6 cm, tinggi = 4 cm), dan bor gambut untuk menentukan BD, berkorelasi positif sangat kuat antara alat yang satu dengan alat lainnya (p<0,01) (Tabel 6). Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan alat kotak sampel 1, kotak sampel 2, ring sampel,
dan
bor gambut representatif digunakan untuk
menentukan BD, dan menghitung cadangan karbon gambut. Namun demikian, karena telah diasumsikan bahwa nilai BD yang paling representatif adalah nilai yang diperoleh dari penggunaan alat kotak sampel 1, maka nilai BD yang diperoleh dari pengukuran menggunakan ring dan bor perlu dikoreksi dengan nilai yang diperoleh dengan penggunaan kotak sampel 1. Nilai koreksi tersebut adalah: untuk bor, berdasarkan persamaan: BD representatif = nilai pengukuran bor : 1,136 sedangkan untuk ring, berdasarkan persamaan: BD representatif = nilai pengukuran ring : 1,301 Diantara keempat alat yang diuji untuk menentukan BD tanah gambut dalam kajian ini yaitu kotak sampel 1, kotak sampel 2, ring sampel, dan bor gambut, terlihat bahwa bor gambut adalah alat yang paling praktis digunakan untuk menentukan BD pada satu hamparan lahan gambut, karena dengan menggunakan bor pengambilan sampel tanah dapat dengan mudah dilakukan mulai dari lapisan atas sampai pada lapisan bawah gambut yang dalam, sedangkan apabila menggunakan kotak sampel atau ring sampel untuk mengambil sampel tanah gambut utuh terlihat kurang praktis, bahkan hampir tidak mungkin digunakan untuk menentukan BD pada lapisan gambut yang dalam dan/atau berair, karena diperlukan tenaga dan waktu yang banyak untuk mengambil sampel.
52 2. Evaluasi metode pengukuran kandungan karbon gambut
Data kandungan karbon (%C) gambut merupakan variabel utama untuk menentukan total karbon (cadangan karbon) yang tersimpan pada lahan gambut. Secara umum, cadangan karbon yang tersimpan pada hamparan tanah gambut dapat diketahui berdasarkan ketersedian data: ketebalan gambut, kandungan karbon (%C), bulk density (BD), dan luas area. Berdasarkan hal ini, untuk mendapatkan nilai karbon yang representatif dari bahan gambut, perlu dilakukan evaluasi terhadap metode penetapan nilai karbon dan/atau bahan organik gambut tersebut. Evaluasi yang
telah dilakukan adalah membandingkan antara nilai
persen bahan organik yang diperoleh dari metode Loss on Ignition (LOI) dengan nilai persen karbon organik dari metode Walkley and Black, dengan 20 jumlah sampel (n = 20) untuk masing-masing metode. Bentuk hubungan regresi linier sederhana antara hasil pengukuran persen bahan organik metode LOI dengan
C-organik metoda Walkley and Black (%)
persen karbon organik metode Walkley and Black disajikan dalam Gambar 7.
60 y = 0,5203x R2 = 0,6185
55 50 45 40 35 80
85
90
95
100
Bahan organik metode LOI (%)
Gambar 7. Hubungan antara hasil pengukuran bahan organik metode LOI dengan C-organik metode Walkley and Black Berdasarkan prosedur, ada perbedaan tahapan penetapan kandungan karbon (%C-organik) dan/atau bahan organik (%BO) antara metode Walkley and Black dengan metode LOI. Pada metode Walkley and Black, yang ditetapkan atau nilai yang diperoleh terlebih dahulu dari metode ini adalah nilai %C-organik, untuk mendapatkan %BO nilai tersebut dikalikan dengan faktor konversi biasanya sebesar 1,724, sedangkan pada metode LOI, yang ditetapkan terlebih dahulu atau
53 nilai yang diperoleh dari proses LOI (persentase bahan yang hilang dalam proses LOI) adalah nilai %BO, untuk mengkonversi nilai %BO menjadi %C-organik, yaitu dengan cara membagi nilai %BO tersebut dengan faktor konversi/konstanta biasanya 1,724. Faktor konversi 1,724 digunakan berdasarkan asumsi bahwa bahan organik terdiri dari 58% karbon. Faktor ini dikenal dengan istilah ”van Bemmelen factor” (Pribyl, 2010). Terlihat jelas disini bahwa tahapan penetapan nilai %C-organik dan/atau %BO dengan metode LOI merupakan kebalikan dari metode Walkley and Black, dan begitu juga sebaliknya. Berdasarkan hal ini, jelas bahwa nilai faktor konversi sangat berpengaruh terhadap nilai %C-organik dan/atau %BO yang dihasilkan dari kedua metode tersebut. Hasil kajian ini menemukan bahwa terdapat hubungan yang erat (R2 = 0,62) antara hasil pengukuran %BO metode LOI dengan %C-organik metode Walkley and Black (Gambar 7). Bentuk hubungan antara hasil pengukuran persen karbon metode Wakley dan Black dengan %BO metode LOI adalah: %C Walkley and Black = 0,5203 x %BO LOI Secara umum, selama ini nilai %BO diperoleh dengan cara mengalikan %C-organik dari metode Walkley and Black dengan satu konstanta yakni 1,724. Bagaimanapun, beberapa hasil penelitian menemukan bahwa faktor 1,724 ini terlalu rendah untuk beberapa jenis tanah, sehingga konsekwensinya nilai %BO yang diperoleh menjadi terlalu rendah (underestimate). Berkaitan dengan hal ini, Nelson dan Somer (1996) telah merangkum beberapa hasil penelitian nilai konversi %C-organik menjadi % bahan organik diantaranya adalah hasil penelitian: Robinson et al. (1929) dan Lunt (1931) menyatakan faktor yang tepat untuk mengkonversi nilai %C-organik menjadi %BO untuk tanah gambut adalah 1,86 – 1,89; Broadbent (1953) menyarankan nilai 1,9 dan 2,5 masing-masing untuk lapisan permukaan dan lapisan bawah tanah mineral; De Leenheer et al. (1957), Howard (1965), Ponomareva dan Platnikova (1967), dan Christensen dan Malmros (1982) menemukan faktor 1,9 – 2,0 untuk permukaan tanah mineral; dan Loftus (1996) melaporkan konstanta yang tepat adalah 2,2 dan 1,8 masing-masing secara berurutan untuk tanah mineral dan tanah organik di Pensylvania.
54 Untuk mendapatkan nilai karbon organik yang lebih representatif, diperlukan faktor konversi atau konstanta yang representatif pula. Dari hasil kajian ini, konstanta tersebut dapat diperoleh dari persamaan hubungan antara nilai % BO metode LOI dengan nilai %C-organik metode Walkley and Black. Berdasarkan hasil analisis terhadap 20 sampel tanah gambut yang digunakan pada kajian ini, didapatkan nilai %C-organik dari penetapan langsung (metode Walkley and Black) adalah berkisar antara 37,47 – 55,00%, sedangkan nilai %BO dari sampel yang sama menggunakan metode LOI adalah berkisar antara 81,20 – 99,41%. Berdasarkan data ini, diperoleh persamaan regresi linear hubungan antara nilai %BO dengan nilai %C-organik yaitu: %C metode Walkley and Black = 0,5203 x %BO metode LOI. Berdasarkan persamaan linear hubungan antara nilai %BO dengan nilai
%C-organik ini dapat diketahui/diperoleh satu nilai atau
konstanta, yaitu dengan cara mensubstitusikan nilai salah satu dari variabel persamaan tersebut (nilai %C-organik atau % BO). Sebagai contoh, nilai %BO adalah 90% apabila dimasukkan kedalam persamaan diperoleh nilai %C-organik adalah 0,5203 x 90% = 46,827%. Untuk mendapatkan/mengetahui nilai konstanta, nilai %BO dibandingkan/dibagi dengan nilai %C-organik hasilnya adalah 90% dibagi dengan 46,827% = 1,922. Nilai konstanta yang diperoleh ini terlihat lebih tinggi sebesar 12% apabila dibandingkan dengan konstanta yang umum digunakan saat ini yaitu 1,724. Hasil kajian ini mendukung rangkuman yang dikemukakan oleh Nelson dan Somer (1996) dan Pribyl (2010) yang mana dari beberapa data hasil penelitian yang telah dipublikasikan menunjukkan bahwa faktor 1,724 terlalu rendah untuk mengkonversi nilai persentase karbon menjadi persentase bahan organik. Berdasarkan hal ini, nilai konstanta 1,922 dapat dianggap lebih representatif dibandingkan nilai konstanta 1,724, untuk mengkonversi nilai %BO metode LOI menjadi nilai %C-organik, atau sebaliknya untuk mengkonversi nilai %C-organik (hasil metode Walkley and Black) menjadi nilai %BO untuk tanah gambut tropika, khususnya untuk tanah gambut di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
55 3. Evaluasi metode pengukuran emisi CO 2 Untuk melihat perbedaan hasil pengukuran emisi CO 2 dengan metode flukss menggunakan chamber dengan peningkatan kadar abu atau metode LOI, dilakukan analisa atau uji T-test terhadap nilai emisi CO 2 dari metode chamber (data dari hasil kajian Etik, 2009) dengan data emisi CO 2 yang dihitung dari peningkatan kadar abu, yang dilakukan pada periode waktu dan lokasi yang bersamaan yaitu: dari penggunaan lahan hutan di desa Simpang sebanyak 3 data, pengunaan lahan semak belukar di desa Simpang 3 data, penggunaan lahan kebun kelapa sawit umur 15 tahun di desa Suak Raya 10 data, kebun kelapa sawit umur 10 tahun di desa Suak Puntung 10 data dan dari kebun kelapa sawit umur 1 tahun di desa Cot Gajah Mati 5 data . Hasil Uji T-test nilai emisi CO 2 metode chamber dan metode LOI disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Hasil uji T-test rata-rata nilai emisi CO 2 berdasarkan pengukuran metode chamber dan metode LOI Emisi CO 2
Mean
Std.
Std.
Deviasi
Error
Variances
T
DF
Prob>|T|
Chamber
24,217
22,618
3,532
Unequal
-1,423
73,0
0,1588
LOI
31,469
21,716
3,671
Equal
-1,4190
74,0
0,1601
Untuk H0: Variances are equal, F' = 1,08
DF = (40,34)
Prob>F' = 0,8135ns
Keterangan : ns = tidak nyata pada taraf <15% Apabila dibandingkan nilai kehilangan karbon atau emisi CO 2 yang diprediksi dengan metode peningkatan kadar abu seperti yang diperoleh dari hasil kajian ini dengan pengamatan atau pengukuran CO 2 secara langsung menggunakan metode chamber, yaitu yang dilakukan oleh Etik (2009) pada lokasi dan periode waktu yang sama dengan kajian ini, hasilnya secara umum menunjukkan bahwa tidak terlihat perbedaan yang nyata antara kedua metode tersebut (Tabel 7). Berkaitan dengan hal ini, Norman et al. (1997) telah melakukan pengujian terhadap beberapa metode pengukuran flukss CO 2 diantaranya: metode open system, eddy correlation system beneath-canopy,
56 closed-static-chamber system, open-chamber system, closed-dynamyc-chamber system, hasilnya menunjukkan bahwa ada perbedaan/bias hasil pengukuran sekitar 15%, untuk itu diperlukan faktor 0,93 – 1,45 untuk untuk menjadikan data lebih rasional. Terlihat bahwa hasil prediksi emisi CO 2 berdasarkan perhitungan menggunakan data peningkatan kadar abu yang dilakukan pada kajian ini untuk beberapa penggunaan lahan masih berada dalam range atau interval hasil pengukuran CO 2 dengan chamber (Tabel 8). Hasil yang mirip dengan kajian ini juga ditemukan oleh Gronlund et al. (2008) yang mana mereka telah melakukan pengujian terhadap tiga metode untuk memprediksi emisi CO 2 pada lahan gambut yang diolah di Norwegia yaitu: 1) monitoring subsidence dalam jangka panjang, 2) perubahan kadar abu, dan 3) pengukuran fluks CO 2 , hasilnya adalah nilai prediksi emisi CO 2 dari ketiga metode tersebut tidak berbeda nyata. Berdasarkan hal ini, dapat dikatakan bahwa bahwa prediksi emisi CO 2 dengan menggunakan data peningkatan kadar abu untuk gambut tropika dapat memberikan nilai yang representatif. Tabel 8. Nilai hasil prediksi emisi CO 2 antara metode chamber (flukss CO 2 ) dan metode LOI (peningkatan kadar abu) Prediksi emisi CO 2 (ton ha-1 tahun-1) Lokasi/Desa
Penggunaan
Metode chamber
Metode peningkatan abu
Lahan Kisaran
Kisaran
Simpang
Hutan
8,757 - 27,461
7,647 - 18,128
Simpang
Semak
33,834 - 102,507
17,844 - 56,931
Suak Raya
Kelapa sawit I
0,145 - 70,085
21,243 - 30,873
Suak Raya
Kelapa sawit II
3,866 - 29,881
1,983 - 5,098
Suak Puntong
Kelapa sawit I
1,265 - 28,427
18,411 - 67,695
Suak Puntong
Kelapa sawit II
4,870 - 44,048
13,312 - 52,683
Cot Gajah Mati
Kelapa sawit
8,464 - 100,592
34,272 - 59,481
Catatan: Sumber data emisi CO 2 metode chamber adalah Etik (2009)
57 Karakteristik Lahan Gambut Yang Didrainase 1. Keadaan umum saluran drainase pada masing-masing lokasi kajian. Secara umum, bentuk dan pola saluran drainase pada setiap lokasi kajian terlihat sama yaitu berupa saluran utama (tunggal) berbentuk huruf (U) dan memanjang lurus, yang terlihat berbeda adalah ukurannya (ukuran saluran drainase pada masng-masing lokasi dijelaskan pada Bab Bahan dan Metode Penelitian). Khusus pada penggunaan lahan kelapa sawit di desa Suak Raya dan Suak Puntong pada setiap jarak 50 m, ada lagi saluran drainase tambahan (ukuran 50 cm lebar dan 75 cm dalam) yang posisinya tegak lurus dengan saluran drainase utama. Kondisi saluran drainase pada masing-masing lokasi (desa) pada kegiatan kajian dilaksanakan disajikan pada Gambar 8.
Keterangan: (a) Lokasi di desa Simpang;, (b) Lokasi di desa Suak Raya, (c) Lokasi di desa Suak Puntong, (d) Lokasi di desa Cot Gajah Mati Gambar 8. Kondisi saluran drainase di masing-masing lokasi kajian Saluran drainase di desa Simpang, merupakan saluran drainase tunggal yang membentang pada lahan gambut sepanjang 3700 m. Saluran drainase ini melalui 4 lokasi kajian atau jenis penggunaan lahan yaitu: hutan, semak I, semak
58 II dan karet. Saluran drainase di desa Simpang mengalir ke sungai Merebou di kampung Padang Mancang jaraknya sekitar 2 km dari akhir saluran pada lahan gambut. Jarak lokasi pertemuan saluran drainase dengan sungai Merebou (di kampung Padang Mancang) sampai bermuara ke laut sekitar 7 km. enurut penduduk yang tinggal di dekat lokasi pertemuan saluran drainase dengan sungai Merebou di kampung Padang Mancang yaitu Bu Jariah (pada tanggal 24 Agustus 2009), dipastikan bahwa fluktuasi pasang air laut tidak mempengaruhi aliran air drainase yang mengalir keluar dari lahan gambut (lokasi kajian ini). Saluran drainase di desa Cot Gajah Mati, kondisinya mirip dengan saluran drainase di desa Simpang, yang mana air dari saluran drainase yang melalui lahan gambut (kajian ini) dialirkan ke selokan alami yang jaraknya sekitar 2 km dari lokasi kajian, selanjutnya air selokan mengalir ke sungai Woyla yaitu pada satu lokasi yang bernama Titian Perahu yang jaraknya menurut penduduk setempat sekitar 15 km dari lokasi kajian ini. Saluran drainase di desa Suak Puntong dan Suak Raya kondisinya mirip, yakni air yang mengalir dari saluran terakumulasi pada telaga (suak-suak) di pinggir pantai (Gambar 9). Apabila genangan air pada telaga sudah penuh (perumahan disekitar mulai terendam), masyarakat bergotong royong membuat saluran pembuangan untuk mengalirkan air yang tertampung dalam telaga ke laut. Setelah air dalam telaga mengering, secara alami saluran pembuangan air telaga ini tertutup oleh pasir yang dibawa oleh hempasan ombak.
Bekas saluran pembuangan air telaga ke laut, yang telah tertutup
Gambar 9. Telaga (suak) di pinggir pantai tempat terakumulasinya air drainase dari lahan gambut
59 Menurut data pasang surut yang dikeluarkan Jawatan Hidro-Oceanografi TNI AL (2008) flukstuasi Air Tinggi (AT) dan Air Rendah (AR) dari stasiun Meulaboh adalah 50 cm. Hasil cross chek di lapang pada muara sungai Merebou, dengan melihat dan mengukur bekas flukstuasi tinggi muka air sungai saat kejadian pasang naik dan pasang surut yang ditunjukkan oleh penduduk setempat (Bapak Jali, pada tanggal 24 Agustus 2009) terlihat bahwa besarnya flukstuasi air pasang naik dan pasang surut adalah sekitar 70 cm. Dari informasi ini, dapat dipastikan bahwa pengaruh air pasang naik tidak sampai pada semua lokasi kajian ini, sehingga air yang ada pada lahan dan saluran drainase hanya berasal dari air hujan. 2. Keragaan transek dalam muka air tanah dan permukaan tanah berdasarkan jarak dari saluran drainase Keragaan transek dalam muka air tanah maksimum pada kondisi (musim kemarau) dan transek permukaan tanah, berdasarkan jarak tegak lurus lokasi dari saluran drainase pada masing-masing lokasi kajian lahan gambut tropika yang didrainase disajikan pada Gambar 10 sampai 19. Titik nol (skala 0 cm pada sumbu Y dan 0 m pada sumbu X) yang disajikan pada Gambar 10 sampai 19, adalah sebagai titik referensi yaitu kondisi tinggi permukaan tanah pada bibir/tepi saluran drainase. Sedangkan kondisi tinggi muka air tanah yang ditampilkan pada Gambar 10 - 19 adalah pada saat kondisi muka air tanah paling jauh dari permukaan tanah yaitu pada musim kemarau (bulan Mei 2008).
Muka air tanah (cm)
Permukaan tanah (cm)/
Hutan (Desa Simpang) 40 20 0 -20 0 -40 -60 -80 -100
y = 5,8827Ln(x) - 11,961 R2 = 0,8003 50
100
150
200
250
y = 13,664Ln(x) - 113,78 R2 = 0,9146
Muka air saluran Jarak dari saluran (m) Permukaan tanah
Muka air tanah
Gambar 10. Keragaan transek ”dalam muka air tanah” dan ”permukaan tanah” berdasarkan jarak tegak lurus lokasi dari saluran drainase pada lokasi kajian hutan di desa Simpang
60
Semak I (Desa Simpang) Permukaan tanah (cm)/ Muka air tanah (cm)
100 75 50 25 0 -25 0 -50 -75 -100 -125
y = 27,57Ln(x) - 63,816 R 2 = 0,9691 50
100
150 200 y = 42,053Ln(x) - 197,58 R 2 = 0,9571
Muka air saluran
250
Jarak dari saluran (m)
Permukaan tanah
Muka air tanah
Permukaan tanah (cm)/ Muka air tanah (cm)
Gambar 11. Keragaan transek ”dalam muka air tanah” dan ”permukaan tanah” berdasarkan jarak tegak lurus lokasi dari saluran drainase pada lokasi kajian semak belukar I di desa Simpang
150 100 50 0 -50 -100 -150 -200
Semak II (Desa Simpang) y = 18,756Ln(x) + 38,144 R 2 = 0,9867 50 100 y = 31,573Ln(x) - 101,11 R 2 = 0,9884
150
200
250
Muka air saluran Jarak dari saluran (m) Permukaan tanah) Muka air tanah
Permukaan tanah (cm)/ Muka air tanah (cm)
Gambar 12. Keragaan transek ”dalam muka air tanah” dan ”permukaan tanah” berdasarkan jarak tegak lurus lokasi dari saluran drainase pada lokasi kajian semak belukar II di desa Simpang
100 75 50 25 0 -25 -50 -75 -100
Karet (Desa Simpang) y = 9,2801Ln(x) + 34,731 R 2 = 0,5236 50
100
Muka air saluran
150 200 250 y = 9,5193Ln(x) - 22,347 R 2 = 0,4473
Jarak dari saluran (m) Muka air tanah
Permukaan tanah
Gambar 13. Keragaan transek ”dalam muka air tanah” dan ”permukaan tanah” berdasarkan jarak tegak lurus lokasi dari saluran drainase pada lokasi kajian kebun karet di desa Simpang.
Permukaan tanah (cm)/ Muka air tanah (cm)
61
Kelapa sawit I (Desa Suak Puntong) 4 0 2 00
y = 6,731Ln(x) - 31,231 R2 = 0,8249 2 0
20 40 60 80 -100
4 0
6 0
8 0
100
y = 23,869Ln(x) - 136,95 R2 = 0,9445
Muka air saluran
Jarak dari saluran (m) Permukaan tanah
Muka air tanah
Permukaan tanah (cm)/ Muka air tanah (cm)
Gambar 14. Keragaan transek ”dalam muka air tanah” dan ”permukaan tanah” berdasarkan jarak tegak lurus lokasi dari saluran drainase pada lokasi kajian kebun kelapa sawit I di desa Suak Puntong Kelapa sawit II (Desa Suak Puntong) 50 y = 8,7042Ln(x) - 20,554 25 R 2 = 0,5455 0 20 40 60 80 100 -25 -50 -75 y = 12,747Ln(x) - 116,55 -100 R 2 = 0,9473 -125 Muka air saluran -150 Jarak dari saluran (cm) Muka air tanah
Permukaan tanah
Gambar 15. Keragaan transek ”dalam muka air tanah” dan ”permukaan tanah” berdasarkan jarak tegak lurus lokasi dari saluran drainase pada lokasi kajian kebun kelapa sawit II di desa Suak Puntong
Muka air tanah (cm)
Permukaan tanah (cm)/
Kelapa sawit I (Desa Suak Raya) 0 -20
0
10
20
30
-40 -60 -80
y = -2,5492Ln(x) - 73,111 R2 = 0,3638
40
50
60
70
y = -4,4353Ln(x) - 10,674 R2 = 0,7168
Muka air saluran
-100 Jarak dari saluran (m) Permukaan tanah Muka air tanah
Gambar 16. Keragaan transek ”dalam muka air tanah” dan ”permukaan tanah” berdasarkan jarak tegak lurus lokasi dari saluran drainase pada lokasi kajian kebun kelapa sawit I di desa Suak Raya
Permukaan tanah (cm)/ Muka air tanah (cm)
62
60 40 20 0 -20 0 -40 -60 -80
Kelapa sawit II (Desa Suak Raya) y = 18,331Ln(x) - 29,759 R2 = 0,9316 10
20
30
40
50
60
y = 10,043Ln(x) - 52,181 R2 = 0,9823
Muka air saluran
Jarak dari saluran (m) Permukaan tanah
Muka air tanah
Muka air tanah (cm)
Permukaan tanah (cm)/
Gambar 17. Keragaan transek ”dalam muka air tanah” dan ”permukaan tanah” berdasarkan jarak tegak lurus lokasi dari saluran drainase pada lokasi kajian kebun kelapa sawit II di desa Suak Raya
Karet (Desa Suak Raya) 20 0 20 40 60 80 -20 0 y = 10,158Ln(x) - 33,635 -40 R2 = 0,9064 -60 Muka air saluran y = 10,268Ln(x) - 103,78 -80 R2 = 0,9178 -100 Jarak dari saluran (m) Permukaan tanah
Muka air tanah
Kelapa sawit (Desa Cot Gajah Mati) Muka air tanah (cm)
Permukaan tanah (cm)/
Gambar 18. Keragaan transek ”dalam muka air tanah” dan ”permukaan tanah” berdasarkan jarak tegak lurus lokasi dari saluran drainase pada lokasi kajian kebun karet di desa Suak Raya
60 y = 8,7844Ln(x) - 13,373 40 R2 = 0,7484 20 0 50 100 150 200 -20 0 -40 y = 7,9185Ln(x) - 71,135 -60 R2 = 0,9662 Muka air saluran -80 Jarak dari saluran (m) Muka air tanah Permukaan tanah
Gambar 19. Keragaan transek ”dalam muka air tanah” dan ”permukaan tanah” berdasarkan jarak tegak lurus lokasi dari saluran drainase pada lokasi kajian kebun kelapa sawit di desa Cot Gajah Mati
63 Dari Gambar 10 s.d 19 terlihat bentuk hubungan antara tinggi muka air tanah dengan jarak tegak lurus dari saluran drainase pada semua lokasi kajian, adalah semakin dekat dengan saluran drainase muka air tanah lebih jauh dari permukaan tanah dan semakin jauh dari saluran drainase muka air tanah semakin dekat dengan permukaan tanah. Secara umum, terlihat pola transek dalam muka air tanah maksimum berdasarkan jarak tegak lurus (lokasi dekat saluran sampai yang terjauh dari saluran) dengan saluran drainase adalah mengikuti pola persamaan logaritmik. Pola transek dalam muka air tanah seperti ini diperkirakan disebabkan oleh karena dalam profil gambut pergerakan air arah horizontal menuju saluran drainase lebih cepat dibandingkan dengan pergerakan arah vertikal sehingga transek dalam muka air tanah berdasarkan jarak tegak lurus dengan saluran drainase membentuk kemiringan (slopes) terhadap muka air pada saluran drainase (Susanne and Price 1999). Pola transek dalam muka air tanah yang terlihat pada hasil kajian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Finn (1983) yang mana dalam muka air tanah pada lahan yang didrainase dipengaruhi oleh dalam saluran drainase, mengikuti pola logaritmik dengan jarak tegak lurus lokasi dari saluran, curah hujan dan permeabilitas, sedangkan jenis vegetasi tidak terlihat berpengaruh terhadap tinggi muka air tanah. Hasil penelitian Andrie et al. (2010) juga menemukan bahwa pembuatan saluran drainase yang berlebihan menyebabkan perubahan sifat-sifat fisika, kimia dan biologi gambut, dampaknya dalam muka air tanah pada musim kemarau letaknya jauh dari permukaan tanah, sedangkan pada musim hujan berada dekat permukaan tanah, selain itu semakin dekat dengan saluran drainase dalam muka air tanah letaknya jauh dari permukaan tanah dan semakin jauh dari saluran drainase dalam muka air tanah letaknya dekat dengan permukaan tanah. Apabila dibandingkan data ”dalam muka air tanah” pada lokasi yang sama tetapi penggunaan lahan berbeda, seperti antara lokasi hutan, semak I, semak II dan kebun karet di desa Simpang, hasil kajian menunjukkan bahwa kemiringan (slope) muka air tanah (selisih dalam muka air tanah pada titik pengamatan 250 m dari saluran dengan tinggi muka air di permukaan saluran) adalah 59 cm, 144 cm, 166 cm dan 274 cm masing-masing secara berurutan untuk penggunaan lahan hutan, karet, semak I dan semak II (Gambar 10, 11, 12 dan 13). Secara teoritis,
64 semakin kecil nilai selisih perbedaan dalam muka air tanah (kemiringan transek dalam muka air tanah antara permukaan air di saluran dengan jarak tertentu dari saluran) pada profil lahan gambut, mengindikasikan bahwa profil gambut tersebut memiliki volume pori yang lebih banyak dibandingkan profil gambut dengan kemiringan transek dalam muka air tanah yang lebih besar. Lahan gambut yang mempunyai volume pori lebih banyak akan memudahkan pergerakan air dalam profil gambut tesebut, sehingga permeabilitasnya lebih besar. Terjadinya proses ini dapat dijelaskan oleh hasil penelitian Susanne and Price (1999) yaitu tekanan dan/atau drainase pada lahan gambut menyebabkan rusaknya struktur gambut, yang dicirikan oleh meningkatnya bulk density dan berkurangnya volume pori karena penyusutan (shrinkage), sehingga menyebabkan permeabilitas lebih rendah dan kapasitas pegang air tanah meningkat. Berdasarkan hal ini, dapat diinterpretasikan bahwa pada penggunaan lahan hutan terganggu (didrainase) kondisi gambut masih relative alami, sedangkan pada penggunaan lahan kebun karet dan semak belukar telah terjadi proses degradasi baik karena terdekomposisi ataupun mengalami pemadatan, hal ini diindikasikan oleh nilai kemiringan muka air tanah (perbedaan tinggi permukaan air di dalam saluran dengan dalam muka air tanah pada jarak tertentu dari saluran drainase) pada penggunaan lahan hutan lebih kecil dibandingkan dengan kebun karet dan semak. Dari Gambar 10 s.d 19 secara umum juga terlihat bahwa semakin jauh lokasi dari saluran drainase permukaan tanah semakin tinggi, dengan pola transek menurut persamaan logaritmik, kecuali pada penggunaan lahan kelapa sawit I di desa Suak Raya. Pada penggunaan lahan kelapa sawit I di desa Suak Raya terlihat transek permukaan tanah kebalikan dari pola yang umum, dimana semakin jauh dari saluran drainase permukaan tanah semakin rendah. Pola umum transek permukaan tanah pada kajian ini mirip dengan pola transek muka air tanah dan sejalan dengan yang dikemukakan oleh Neil et al. (2005) yang mana pada lahan gambut yang didrainase semakin dekat dari saluran drainase permukaan tanah semakin rendah dan semakin jauh dari saluran drainase permukaan tanah semakin tinggi, polanya mengikuti persamaan logaritmik. Pola umum transek tinggi permukaan tanah yang terlihat pada kajian ini, diperkirakan terjadi atau berkaitan
65 erat dengan proses subsidence yang disebabkan oleh perubahan dalam muka air tanah setelah pembuatan saluran drainase pada masing-masing lokasi tersebut. Secara umum, hasil kajian mengindikasikan bahwa setelah saluran drainase dibuat, subsidence terjadi lebih cepat/banyak pada lokasi yang dekat dengan saluran drainase dibandingkan dengan lokasi yang
jauh dari saluran
drainase sehingga terlihat permukaan tanah dekat saluran lebih rendah dibandingkan dengan lokasi yang jauh dari saluran. Hasil kajian ini sejalan dengan beberapa hasil penelitian peneliti terdahulu seperti: Neil et al. (2005) mengemukakan bahwa pada posisi dekat dengan saluran drainase subsidence terjadi lebih banyak. Lebih besarnya kejadian subsidence pada lokasi dekat saluran drainase dibandingkan dengan lokasi yang jauh dari saluran disebabkan oleh karena semakin dekat lokasi dengan saluran drainase muka air tanah lebih dalam dibandingkan dengan lokasi yang jauh dari saluran drainase, atau dapat dikatakan bahwa bagian gambut yang aerob lebih banyak pada lokasi yang dekat saluran dibandingkan yang jauh dari saluran. Pada kondisi aerob seperti ini, aktivitas mikro organisme perombak dan proses dekomposisi yang terjadi juga lebih tinggi pada lokasi dekat saluran drainase dibandingkan yang jauh dari saluran, akibatnya lebih banyak material gambut yang hilang pada lokasi dekat saluran dibandingkan yang jauh dari saluran. Hasil kajian ini juga didukung dan sejalan dengan hasil penelitian Etik (2009) yang mana pada lokasi yang sama dengan kajian ini beliau menemukan
bahwa semakin dekat dengan saluran
drainase emisi CO 2 semakin besar yang berarti proses dekomposi gambut berlangsung lebih cepat. Faktor lain yang diperkirakan menyebabkan subsidence pada lokasi yang dekat saluran drainase lebih besar dibandingkan yang jauh dari saluran drainase adalah penyusutan (shrinkage) material gambut pada lokasi dekat saluran lebih besar dibandingkan lokasi yang jauh dari saluran. Berkaitan dengan hal ini Susanne and Price (1999) menjelaskan bahwa kondisi aerob menyebabkan tegangan matrik tanah meningkat sehingga gambut mengalami penyusutan (shrinkage). Pada penggunaan lahan kelapa sawit I, umur tanaman 15 tahun dan ketebalan gambut 4 – 5 m di desa Suak Raya, adalah satu-satunya penggunaan lahan yang
keragaan transek dalam muka air tanah dan tinggi permukaan
66 tanahnya (berdasarkan jarak tegak lurus dengan saluran drainase) kebalikan dari lokasi lainnya, yang mana terlihat dalam muka air tanah dan permukaan tanah pada posisi yang lebih jauh dari saluran drainase lebih rendah dibandingkan dengan yang lebih dekat saluran (Gambar 16). Hal ini diperkirakan terjadi karena pada lokasi tersebut ada dua saluran drainase yang sejajar jaraknya hanya 140 m yaitu saluran drainase dekat jalan umum dan saluran drainase sebagai dasar transek kajian ditempatkan. Diperkirakan saluran drainase yang berada dekat jalan tersebut lebih lebar dan dalam dibandingkan saluran drainase tempat transek kajian dilaksanakan, sehingga pergerakan air lebih besar ke arah saluran drainase dekat jalan dibandingkan ke arah saluran drainase yang satu lagi. Hal ini tergambar dari kemiringan muka air tanah pada lokasi ini lebih cendrung menuju ke arah saluran drainase yang dekat jalan raya (dalam muka air tanah pada lokasi yang lebih jauh dari saluran drainase dekat jalan terlihat lebih dangkal dibandingkan yang dekat saluran). Dalam hal ini, karena dimensi saluran drainase di pinggir jalan lebih lebar dan dalam dibandingkan saluran drainase yang lain, maka pengaruhnya terhadap dalam muka air tanah juga lebih dominan dibandingkan saluran yang dimensinya lebih kecil. Terlihat bahwa pengaruh saluran drainase pertama (dasar transek kajian dibuat) terhadap dalam muka air tanah menjadi hilang karena lebih dominannya pengaruh saluran drainase yang berada dekat jalan. Pengaruh yang sama juga terlihat terhadap keragaan transek tinggi permukaan tanah, yang mana kecendrungan tinggi permukaan tanah semakin rendah pada lokasi yang semakin dekat dengan saluran drainase yang ada dipinggir jalan (Gambar 16). Jadi dari kasus ini dapat diinterpretasikan bahwa dimensi saluran drainase (lebar dan dalam) sangat berpengaruh terhadap dalam muka air tanah dan selanjutnya juga berpengaruh terhadap tinggi permukaan tanah. 3. Karakteristik bulk density, kadar abu dan karbon pada lahan gambut yang didrainase Keragaan bulk density (BD) dan kadar abu pada setiap lapisan (interval 50 cm) dari setiap lokasi kajia
disajikan pada Gambar 20, sedangkan tingkat
kematangan gambut pada masing-masing lapisan profil tanah disajikan pada Lampiran 3.
67
Simpang, Hutan
Simpang, Karet
Simpang, Semak I
Cot Gajah Mati, Karet
Simpang, Semak II
Cot Gajah Mati, Kelapa sawit I
Cot Gajah Mati, Kelapa sawit II
Suak Raya, Karet
Suak Raya, Kelapa sawit I
Suak Raya, Kelapa sawit II
Suak Puntong, Kelapa sawit I
Suak Puntong, Kelapa sawit II
Gambar 20. Rata-rata nilai Bulk Desity (BD) dan kadar abu pada setiap 50 cm peningkatan ketebalan gambut
68 Hasil kajian menunjukkan bahwa BD dan kadar abu pada lapisan permukaan (0-50 cm) pada semua lokasi kajian lebih besar dibandingkan lapisan dibawahnya (Gambar 20). Hal ini mengindikasikan bahwa pada lapisan atas lahan telah terjadi proses dekomposisi dan pemadatan gambut, sehingga mengakibatkan subsidence. Menurut Gronlund et al. (2008) subsidence terjadi karena dua proses yaitu pemadatan dan kehilangan gambut akibat proses mineralisasi. Menurut Susanne dan Jonathan (1999) meningkatnya BD lahan gambut berkaitan erat dengan proses pengeringan akibat drainase, yang mana isapan matrik tanah menjadi lebih besar karena penurunan kadar air sehingga menyebabkan terjadinya penyusutan (shrinkage) pada material gambut, kondisi ini berdampak terhadap penurunan volume pori. Berkaitan dengan teori tersebut, indikasi telah terjadi pemadatan pada permukaan lahan pada semua lokasi kajian ini ditandai oleh nilai BD pada permukaan gambut lebih tinggi dibandingkan lapisan di bawahnya. Pada sisi lain, indikasi telah terjadi kehilangan gambut akibat proses dekomposisi
dapat diketahui dari kadar abu pada lapisan
permukaan gambut lebih tinggi dibandingkan kadar abu lapisan di bawahnya (Gambar 20). Menurut Gronlund et al. (2008)
peningkatan kadar abu pada
permukaan lahan gambut disebabkan oleh hilangnya bahan organik dari lapisan gambut tersebut karena proses mineralisasi menyisakan bahan mineral (abu) yang terkonsentrasi pada lapisan atas lahan. Secara umum, dari kajian ini terlihat ada kecendrungan kenaikan BD diikuti pula oleh kenaikan kadar abu (Gambar 20). Hal ini mengindikasikan bahwa ada keterkaitan antara BD dengan kadar abu. Untuk melihat keterkaitan antara BD dengan kadar abu, telah dilakukan analisa regresi linear sederhana. Hasil analisa regresi linear sederhana antara BD dengan kadar abu pada berbagai tingkat kematangan gambut disajikan dalam Gambar 21 - 23.
69
Bulk Density (gr cm-3)
Fibrik 0,25 y = 0,012x + 0,0122 R2 = 0,4176 n = 146
0,20 0,15 0,10 0,05 0,00 0
5
10
15
20
25
30
35
Kadar abu (%)
Gambar 21. Bentuk hubungan antara BD dan kadar abu pada tingkat kematangan gambut fibrik
Bulk Density (gr cm-3)
Hemik 0,25 0,20
y = 0,0083x + 0,0249 R2 = 0,3642 n = 252
0,15 0,10 0,05 0,00 0
5
10
15
20
25
30
35
Kadar abu (%)
Gambar 22. Bentuk hubungan antara BD dan kadar abu pada tingkat kematangan gambut hemik
Bulk Density (gr cm-3)
Saprik 0,25
y = 0,0026x + 0,0676 R2 = 0,3243 n = 241
0,20 0,15 0,10 0,05 0,00 0
5
10
15
20
25
30
35
Kadar abu (%)
Gambar 23. Bentuk hubungan antara BD dan kadar abu pada tingkat kematangan gambut saprik + gambut tercampur bahan mineral (peaty mineral)
70 Dari Gambar 21 – 23 terlihat bahwa pada semua tingkat kematangan gambut (fibrik, hemik dan saprik), peningkatan kadar abu diikuti pula oleh peningkatan BD. Kondisi ini menunjukkan bahwa dekomposisi gambut (ditunjukkan oleh peningkatan kadar abu) menyebabkan terjadinya peningkatan BD. Hal ini terjadi karena dalam proses dekomposisi, material gambut dirombak menjadi bagian yang lebih halus, sehingga menyebabkan peningkatan BD. Hasil penelitian Dorien et al. (2006) di Kalimantan selama periode waktu 6 tahun menemukan bahwa telah terjadi subsidence pada lahan gambut sebesar 2,2 – 4,0 m, dan kejadian ini menyebabkan peningkatan BD gambut. Dari data untuk Gambar 21 - 23, ditemukan bahwa BD gambut pada tingkat kematangan fibrik berkisar antara 0,01 – 0,07 gr cm-3, hemik 0,05 – 0,10 gr cm-3, saprik 0,06 – 0,35 gr cm-3, sedangkan kadar abu pada tingkat kematangan fibrik berkisar antara 0,68 – 4,01%, hemik 2,00 – 8,73% dan saprik + peaty mineral 3,03 – 29,37%. Terlihat ada ditemukan gambut dengan BD yang rendah tetapi memiliki kadar abu yang tinggi (Gambar 23), hal ini dapat terjadi karena dalam profil gambut tersebut terdapat rongga, sehingga sewaktu pengambilan sampel dengan bor material gambut yang terambil hanya sedikit, dalam penentuan BD total berat tanah gambut yang terambil/berada pada kondisi ada ronngga tersebut tetap dibagi sesuai volume bor yaitu 500 cm3. Dari hasil analisa hubungan liniear antara kadar abu dengan BD ditemukan bahwa semakin matang gambut kemiringan (slope) hubungan antara kadar abu dengan BD semakin kecil yaitu 0,012; 0,0083 dan 0,0026 masing-masing untuk fibrik, hemik dan saprik secara berurutan (Gambar 21; 22 dan 23). Hal ini menunjukkan bahwa pada peningkatan kadar abu yang sama, pengaruhnya terhadap peningkatan BD lebih besar pada tingkat kematangan gambut fibrik dibandingkan hemik dan saprik, dan hemik lebih tinggi dari saprik (fibrik > hemik > saprik).
71 Cadangan Karbon Pada Lahan Gambut Tropika Yang Didrainase Cadangan karbon yang tersimpan pada satu hamparan lahan gambut adalah yang ada pada: vegetasi pohon (aboveground biomassas), semak belukar (belowground biomassas), serasah (litters) dan dalam tanah (soils). Hasil pengamatan ketebalan gambut dan perhitungan cadangan karbon yang tersimpan di dalamnya pada masing-masing lokasi kajian disajikan pada Tabel 7, sedangkan bentuk hubungan antara ketebalan gambut dengan cadangan karbon disajikan pada Gambar 24. Cadangan karbon pada masing-masing lokasi kajian gambut yang dikemukakan dalam kajian
ini adalah berdasarkan hasil pengamatan
langsung di lapangan pada kondisi lahan bulan Agustus 2009. Terlihat bahwa lapisan gambut yang paling tebal ditemukan pada lokasi di desa Simpang dengan jenis penggunaan lahan hutan, sebaliknya yang paling tipis ditemukan pada lokasi di desa Suak Puntong jenis penggunaan lahan kebun kelapa sawit I dan II (Tabel 9). Berdasarkan hasil analisis regresi antara ketebalan gambut dengan cadangan karbon menunjukkan bahwa cadangan karbon yang tersimpan pada lahan gambut berkaitan erat dengan ketebalan gambutnya (R2 = 0,87), yang mana semakin tebal lapisan gambut cadangan karbon yang tersimpan
Cadangan karbon (ton ha-1)
di dalamnya juga semakin banyak (Gambar 24).
3500
y = 2,7321x + 261,67 R2 = 0,8707
3000 2500 2000 1500 1000 500 0 0
200
400
600
800
1000
1200
Ketebalan gambut (cm)
Gambar 24. Hubungan antara ketebalan gambut dengan cadangan karbon yang tersimpan di dalamnya.
Tabel 9. Ketebalan gambut dan distribusi cadangan karbon di masing-masing lokasi kajian pada kondisi bulan Agustus tahun 2009
Simpang
Ketebalan gambut (cm) 1000
Simpang
Lokasi/Desa
Karbon (ton ha-1) Penggunaan lahan Pohon 236,3
Serasah 17,07
Total 3105,08 Hutan
Umur tanaman (tahun) -
Gambut 2841,7
Semak 10,05
621
1768,1
11,63
-
-
1779,73 Semak belukar I
-
Simpang
349
989,8
10,97
-
-
1000,77 Semak belukar II
-
Simpang
166
607,1
12,92
165,3
-
785,35 Karet
15
Suak Puntong
126
606,5
13,41
14,42
-
634,33 Kelapa sawit I
10
Suak Puntong
118
596,6
11,22
14,42
-
622,24 Kelapa sawit II
10
Suak Raya
424
2108,9
8,77
16,26
-
Suak Raya
154
735,8
7,22
16,26
-
Suak Raya
482
1916,7
10,61
119
-
Cot Gajah Mati
227
677,9
12,26
0,71
-
690,87 Kelapa sawit I
1
Cot Gajah Mati
240
915,5
12,26
0,71
-
928,47 Kelapa sawit II
1
Cot Gajah Mati
227
670
9,17
123
20,35
822,51 Hutan
-
2133,93 Kelapa sawit I 759,28 Kelapa sawit II 2046,34 Karet
15 15 15
Keterangan: (-) Tidak tersedia data 72
73
Hasil kajian menemukan bahwa cadangan karbon yang tersimpan pada berbagai lokasi lahan gambut yang didrainase bervariasi antara 622,24 – 3105,08 ton ha-1. Khusus untuk cadangan yang tersimpan dalam tanah, terlihat bahwa cadangan karbon pada tanah gambut yang tertinggi ditemukan pada lokasi di desa Simpang khususnya penggunaan lahan hutan yaitu sebanyak 2841,70 ton ha-1 dengan ketebalan gambut mencapai > 10 m, sedangkan yang terendah ditemukan pada lokasi di desa Suak Puntong yaitu 596,60 ton ha-1 dengan ketebalan gambut 118 cm, jenis penggunaan lahan kebun kelapa sawit. Terlihat jelas bahwa cadangan karbon pada tanah gambut bervariasi berdasarkan ketebalan gambut (Gambar 24), dalam hal ini dengan berbedanya lokasi, ke dalaman gambut juga berbeda. Hooijer et al., (2006) melaporkan bahwa kandungan karbon pada lahan gambut di Asia Tenggara tergantung pada bulk density dan persentase karbon material gambut, yang mana BD dan persentase karbon tersebut bervariasi karena adanya perbedaan lokasi, asal bahan dan tingkat dekomposisi material gambut. Apabila dibandingkan cadangan karbon yang tersimpan pada gambut di desa yang sama tetapi penggunaan lahan berbeda terlihat bahwa: a) Di desa Simpang: Urutan ketebalan gambut dan cadangan karbon dari yang paling tinggi sampai yang terendah adalah hutan > semak I > semak II > kebun karet, b) Di desa Suak Raya urutan ketebalan gambut dan cadangan karbon dari yang tertinggi sampai yang terendah adalah kelapa sawit I > kebun karet > kelapa sawit II, c) Di desa Cot Gajah Mati kelapa sawit II > kelapa sawit I > hutan. Terlihat disini bahwa secara umum cadangan karbon yang tersimpan dalam tanah gambut lebih dipengaruhi oleh lokasi keberadaan lahan dari pada pengaruh penggunaan lahan. Hal ini ditunjukkan oleh data cadangan karbon pada penggunaan lahan hutan di desa Simpang lebih tinggi dibandingkan penggunaan lahan lainnya, sedangkan di desa Cot Gajah Mati cadangan karbon pada kebun kelapa sawit lebih tinggi dari lokasi hutan. Hal ini menunjukkan bahwa tidak selalu cadangan karbon yang tersimpan pada tanah gambut di hutan lebih tinggi dari hutan yang telah dikonversi. Pada sisi lain kajian ini juga menemukan bahwa, apabila data dari hasil kajian ini dibandingkan dengan dari hasil kajian yang telah pernah dipublikasikan lebih dahulu dari kajian ini yaitu mengenai data ketebalan gambut dan cadangan
74 karbon di Provinsi Nanggro Aceh Darussalam, menunjukkan bahwa ada perbedaan antara nilai cadangan karbon lahan gambut dari hasil pengukuran atau perhitungan secara langsung dibandingkan dengan metode prediksi. Sebagai contoh, Sofyan
dan Wahyunto (2003)
mengemukakan bahwa di Propinsi
Nanggroe Aceh Darussalam tidak ada ditemukan gambut dengan kriteria ke dalaman ”sangat dalam” (ketebalan 401- 800 cm). Namun kenyataannya, dari kajian ini (pengukuran langsung di lapang) ditemukan ada gambut yang ketebalannya menurut kriteria ”sangat dalam” tersebut yaitu pada lokasi di desa Suak Raya pada jenis penggunaan lahan kelapa sawit I (424 cm), di desa Suak Raya penggunaan lahan karet (482 cm), dan di desa Simpang penggunaan lahan semak belukar I (621 cm), bahkan juga ada ditemukan gambut dengan ketebalan mencapai lebih dari 1000 cm yaitu di desa Simpang jenis penggunaan lahan hutan. Adanya perbedaan hasil pengukuran ketebalan gambut secara langsung (hasil kajian ini) dibandingkan dengan metode interpretasi dari data citra satelit Landsat TM-7 dan citra satelit Landsat MSS (Multi Spectral Scanner, paper print) berwarna semu (false color) seperti yang digunakan Sofyan
dan Wahyunto
(2003), mengindikasikan bahwa pengunaan data citra satelit untuk memprediksi cadangan karbon pada lahan gambut belum sepenuhnya mencerminkan nilai yang representatif (sesuai kondisi di lapangan), khususnya dalam memprediksi ketebalan gambut, sementara data ketebalan gambut merupakan variabel utama untuk menghitung cadangan karbon pada lahan gambut, disamping data bulk density (BD), kadar abu atau persentase karbon (%C-organik), dan luas area. Apabila dilihat dari distribusi cadangan karbon pada lahan gambut, hasil kajian menunjukkan bahwa sebagian besar cadangan karbon ekosistem gambut berada pada material tanah gambutnya (Tabel 9). Berdasarkan data dari Tabel 9 dapat dihitung distribusi cadangan karbon yang tersimpan pada masing-masing lokasi kajian, yaitu perbandingan antara persentase karbon yang tersimpan dalam tanah, biomassa vegetasi yang tumbuh di atasnya dan serasah yang jatuh ke permukaan tanah. Distribusi karbon pada masing-masing lokasi lahan gambut yang didrainase adalah:
75 1. Di desa Simpang, penggunaan lahan hutan, cadangan karbon secara berurutan adalah 91,52%; 7,61%; 0,55% dan 0,32% berada pada tanah, pohon, semak dan serasah. 2. Di desa Simpang, penggunaan lahan semak belukar I, cadangan karbon 99,75% pada tanah dan 0,65% pada vegetasi semak belukar. 3. Di desa Simpang, penggunaan lahan semak belukar II, cadangan karbonya 98,90% berada pada tanah dan 1,10% pada vegetasi semak belukar. 4. Di desa Simpang, penggunaan lahan karet umur >15 tahun, cadangan karbon 77,30% pada tanah, 21,05% pada pohon karet, dan 1,65% pada semak/gulma. 5. Di desa Suak Puntong, penggunaan lahan kelapa sawit I umur 10 tahun, cadangan karbon 95,61% pada tanah, 2,27% pada pohon kelapa sawit dan 2,11% pada gulma. 6. Di desa Suak Puntong,penggunaan lahan kelapa sawit II umur 10 tahun, cadangan karbon 95,88% pada tanah, 2,32% pada kelapa sawit dan 1,80% dalam biomassa gulma. 7. Di desa Suak Raya, penggunaan lahan karet umur >15 tahun, cadangan karbon 93,66% pada tanah, 5,82% pada pohon karet dan 0,52% pada biomassa gulma. 8. Di desa Suak Raya, penggunaan lahan kelapa sawit I umur 15 tahun, cadangan karbon 98,83% dalam tanah, 0,76% pada pohon kelapa sawit dan 0,41% dalam gulma. 9. Di desa Suak Raya, penggunaan lahan kelapa sawit II umur 15 tahun, cadangan karbon 96,91% dalam tanah, 2,14% dalam pohon kelapa sawit, dan 0,95% dalam gulma. 10. Di desa Cot Gajah Mati, penggunaan lahan hutan, cadangan karbon 82,55% dalam tanah, 14,95% pohon, 2,47% serasah dan 1,11% pada semak. 11. Di desa Cot Gajah Mati, penggunaan lahan kelapa sawit I umur 1 tahun, cadangan karbonnya 98,12% dalam tanah, 1,77% dalam gulma, dan 0,10% dalam pohon kelapa sawit. 12. Di desa Cot Gajah Mati, penggunaan lahan kelapa sawit II umur 1 tahun, cadangan karbonnya 98,60% dalam tanah. 1,32% dalam biomassa gulma dan 0,08% pada pohon kelapa sawit.
76 Menurut Lasco (2002) cadangan karbon tersimpan dalam vegetasi di hutan tropika Asia berkisar antara 40-250 ton C ha-1. Data kajian ini mendukung apa yang dikemukakan Lasco (2002) terebut, yang mana terlihat bahwa cadangan karbon tersimpan pada vegetasi hutan gambut tropika di Aceh berkisar antara 152,51 – 263,38 ton C ha-1 yang diwakili oleh data dari hutan di desa Cot Gajah Mati dan di desa Simpang Informasi mengenai kerapatan karbon (carbon density) pada lahan gambut juga berguna untuk menduga cadangan karbon pada material gambut tersebut. Yang dimaksud dengan kerapatan karbon pada lahan gambut pada kajian ini adalah total karbon yang terkandung dalam setiap meter kubik (m3) gambut pada kondisi alaminya di lapangan. Nilai rata-rata kerapan karbon gambut pada masing-masing lokasi kajian ini disajikan dalam Tabel.10. Umumnya kerapatan karbon pada lahan gambut meningkat setelah lahan gambut tersebut didrainase dan/atau dikonversi menjadi penggunaan lainnya. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa nilai kerapatan karbon pada berbagai lokasi lahan gambut yang didrainase bervariasi dari 28,30 - 57,17 kg C m-3 (Tabel 8). Page et al. (2002) menyarankan bahwa nilai 60 kg C m-3 adalah representatif untuk kerapatan karbon (carbon density) gambut di Asia Tenggara, sedangkan hasil penelitian Wahyunto et al. (2010) melaporkan bahwa kerapatan karbon lahan gambut Indonesia pada penggunaan lahan hutan sekunder, semak belukar, tanaman semusim (sawah dan lahan kering), kebun kelapa sawit secara berurutan adalah 27,06 - 94,37 kg m-3, 25,54 – 121,39 kg m-3, 29,13 – 86,23 kg m-3, dan 38,57 – 126,61 kg m-3. Secara umum dari data Tabel 8 terlihat bahwa kerapatan kabon paling rendah ditemukan pada lokasi desa Simpang dan Cot Gajah mati pada jenis penggunaan lahan hutan, kemudian diikuti lokasi di desa Simpang pada jenis penggunaan lahan karet.umur >15 tahun
dan tertinggi di lokasi Suak
Puntong pada penggunaan lahan kelapa sawit umur >10 tahun. Hal ini mengindikasikan bahwa kerapatan karbon pada lahan gambut yang didrainase berkaitan dengan penggunaan lahan. Menurut Laiho dan Finér (1996) bahwa pemadatan gambut juga terjadi karena peningkatan berat dari vegetasi yang tumbuh di atasnya. Dari hasil kajian ini mengindikasikan bahwa konversi hutan gambut menjadi penggunaan lain, khususnya kelapa sawit dan karet nyata
77 meningkatkan kerapatan karbon, sedangkan pada penggunaan lahan semak belukar belum terjadi perubahan peningkatan kerapatan karbon gambut yang signifikan dibandingkan kondisi hutan (Tabel 10). Berkaitan dengan perubahan kerapatan karbon gambut, Minkkinen dan Laine (1998) melaporkan bahwa setelah 60 tahun lahan gambut didrainase, kerapatan karbonnya meningkat sebesar 26 ± 15 kg m-3, besarannya tergantung pada: lokasi, unsur hara dan iklim makro. Tabel 10. Kerapatan karbon pada lahan gambut yang didrainase di masingmasing lokasi kajian Lokasi
Kerapatan karbon (kg m-3)
Penggunaan lahan
Umur tanaman (tahun)
Simpang
35,45
Karet
15
Simpang
29,27
Semak belukar II
-
Simpang
28,51
Semak I
-
Simpang
28,42
Hutan
-
Suak Puntong
52,17
Kelapa sawit II
10
Suak Puntong
47,00
Kelapa sawit I
10
Suak Raya
49,74
Kelapa sawit I
15
Suak Raya
47,86
Kelapa sawit II
15
Suak Raya
39,69
Karet
15
Cot Gajah Mati
39,42
Kelapa sawit I
1
Cot Gajah Mati
29,22
Hutan
-
Keterangan: (-) Tidak tersedia data umur tanaman.
Proses terjadinya peningkatan kerapatan karbon pada lahan gambut yang didrainase dapat disebabkan oleh beberapa kasus, diantaranya: a) terjadinya subsidence pada lahan gambut yang didrainase menyebabkan struktur gambut menjadi lebih padat, sehingga meningkatkan BD sekaligus kerapatan karbon gambut (Laiho dan Laine, 1994), b) pemadatan gambut juga terjadi karena peningkatan berat dari vegetasi yang tumbuh di atasnya (Laiho dan Finér, 1996), dan c) peningkatan proses oksidasi pada lapisan gambut yang aerobik akibat drainase juga merupakan salah satu penyebab meningkatnya BD dan sekaligus
78 kerapatan karbon gambut. Dari hasil analisa regresi linear berganda hubungan antara cadangan karbon dengan ketebalan dan kerapatan karbon gambut, adalah seperti yang diilustrasikan melalui persamaan regresi linier berganda, yaitu: Cadangan karbon (kg m-2) = -0,88,97 + 31,85 ketebalan gambut (m) + 2,62 kerapatan karbon (kg m-3), dengan nilai R2 = 0,9443 Kehilangan Karbon Dari Lahan Gambut yang Didrainase 1. Kehilangan karbon dari lapisan permukaan lahan gambut yang didrainase dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. a. Rata-rata kehilangan karbon dari lapisan permukaan lahan gambut yang didrainase. Data hasil pengamatan rata-rata kehilangan karbon dan prediksi emisi CO 2 pada berbagai lokasi kajian lahan gambut yang didrainase disajikan dalam Tabel 11. Tabel 11. Rata-rata kehilangan karbon dari ketebalan gambut 50 cm dan prediksi emisi CO 2 dari masing-masing lokasi kajian gambut tropika yang didrainase.
(ton ha-1 th-1)
(ton ha-1 th-1)
Cot Gajah Mati
C hilang (kg m-2 per 14 bulan) 0,256*
3,84
14,093
Hutan
Cot Gajah Mati
1,529
13,106
48,098
Kelapa sawit I
1
Cot Gajah Mati
0,564*
8,46
31,048
Kelapa sawit II
1
Simpang
0,402
3,446
12,646
Hutan
-
Simpang
0,076
0,651
2,391
Karet
15
Simpang
0,998
8,554
31,394
Semak I
-
Simpang
1,047
8,974
32,936
Semak II
-
Suak Puntong
1,236
10,594
38,881
Kelapa sawit I
10
Suak Puntong
1,292
11,074
40,643
Kelapa sawit II
10
Suak Raya
0,185
1,586
5,82
Karet
15
Suak Raya
0,802
6,874
25,229
Kelapa sawit I
15
Suak Raya
0,138
1,183
4,341
Kelapa sawit II
15
Lokasi/ Desa
C hilang
Setara emisi CO 2
Penggunaan lahan
Umur tanaman (tahun) -
Keterangan (*): Untuk penggunaan lahan hutan dan kelapa sawit II di desa Cot Gajah Mati data berdasarkan hasil pengamatan bulan Nopember 2008 – Agustus 2009 (sekitar 8 bulan). (-) Tidak tersedia data umur tanaman
79
Hasil kajian menunjukkan bahwa. selama periode waktu 14 bulan terjadi kehilangan karbon dari lapisan permukaan (0 – 50 cm) gambut yang didrainase pada berbagai lokasi dan kondisi lahan, besarnya berkisar antara 0,076 – 1,529 kg C m-2. Berdasarkan hasil pengukuran selama periode waktu 14 bulan dan sebagian 8 bulan, apabila dikonversi menjadi data kehilangan karbon dalam periode satu tahun diperoleh data rata-rata kehilangan karbon dari masing-masing lokasi kajian adalah berkisar antara 0,651 – 13,106 ton C ha-1 th-1 atau setara dengan emisi gas CO 2 sebesar 2,391 – 48,098 ton CO 2 ha-1 th-1 (Tabel 11). Apabila kehilangan karbon dianalisa berdasarkan penggunaan lahan, maka dengan menggunakan data kehilangan karbon pada penggunaan lahan hutan terganggu yaitu di lokasi hutan desa Simpang dan desa Cot Gajah Mati sebagai referensi kondisi standar atau normal kehilangan karbon, maka dapat diperoleh besarnya nilai kehilangan karbon pada setiap jenis penggunaan lahan dibandingkan hutan yaitu: 1,00 hutan : (0,17 - 0,19) karet di desa Simpang: (0,31 0,34) kelapa sawit II di desa Suak Raya : (0,41 - 0,46) karet di desa Suak Raya : (1,79 – 1,99) kelapa sawit I di desa Suak Raya : (2,20 - 2,46) kelapa sawit II di desa Cot Gajah Mati : (2,23 - 2,48) semak I di desa Simpang : (2,34 – 2,60) semak II di desa Simpang: (2,65 - 2,76) kelapa sawi I di desa Suak Puntong : (2,88 -3,21) kelapa sawit II : (3,41 – 3,80) kelapa sawit I di desa Cot Gajah Mati. Dari hasil analisa di atas terlihat bahwa kehilangan karbon pada penggunaan lahan karet yaitu di lokasi desa Simpang dan desa Suak Raya, dan penggunaan lahan kelapa sawit II (gambut dangkal) di desa Suak Raya lebih rendah dibandingkan dengan kehilangan karbon pada penggunaan lahan hutan terganggu. Kehilangan karbon yang lebih besar dari
hutan terlihat pada
penggunaan lahan: kelapa sawit I di desa Suak Raya, semak I di desa Simpang, semak II di desa Simpang, kelapa sawit I di desa Suak Puntong, kelapa sawi II di desa Suak Puntong dan kelapa sawit I di desa Cot Gajah Mati. Lebih rendahnya nilai kehilangan karbon pada penggunaan lahan karet umur 15 tahun apabila dibandingkan dengan hutan, mengindikasikan bahwa manajemen yang selama ini dilakukan oleh petani atau pemilik lahan kebun karet yang telah berumur lebih 15 tahun yaitu dengan cara membiarkan tanaman karet tumbuh secara alami tanpa pemupukan dan penyiangan (weeding), mampu
80 menekan
laju
proses
dekomposisi
gambut.
sehingga
dapat
mereduksi
kehilangan atau emisi karbon, sedangkan lebih rendahnya kehilangan karbon pada penggunaan lahan kelapa sawit II (umur 15 tahun) di desa Suak Raya dibandingkan lahan hutan, hal ini diperkirakan karena kondisi lahan gambut sudah stabil (tingkat dekomposisi saprik), yang diindikasikan dari
kecilnya
subsidence yang terjadi selama periode waktu 14 bulan yaitu rata-rata hanya 1,1 cm. Kehilangan karbon yang lebih tinggi dari penggunaan lahan hutan terlihat pada penggunaan lahan kelapa sawit I (umur 1 tahun) di desa Cot Gajah Mati yakni sekitar 3,41 – 3,80 kali lebih tinggi dibandingkan kehilangan karbon yang terjadi di hutan. Hal ini diperkirakan terjadi karena kondisi lahan di lokasi desa Cot Gajah mati pada penggunan lahan kebun kelapa sawit baru dibuat saluran drainase yaitu pada tahun 2006 (umur saluran 2 tahun) sehingga permukaan gambut baru dan sedang mengalami perobahan kondisi anaerobik manjadi kondisi aerobik, sehingga proses oksidasi sedang berlangsung sangat aktif, menyebabkan kehilangan karbon juga lebih cepat dan banyak. Berdasarkan data pengamatan subsidence pada penggunaan lahan kelapa sawit I di desa Cot Gajah Mati, menunjukkan bahwa pada lokasi tersebut subsidence lebih tinggi dibandingkan pada penggunaan lahan hutan yakni rata-rata 8,2 cm selama periode 14 bulan (Tabel 12). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Dawson et al. (2004) yang menyatakan bahwa subsidence yang besar pada awal-awal saluran drainase dibuat terlihat terjadi pada kebanyakan negara. Di samping itu, manajemen yang diterapkan oleh petani pada penggunaan lahan kelapa sawit I di desa Cot Gajah Mati yaitu membakar hasil pemangkasan gulma (khususnya terjadi pada bulan Oktober 2008) pada permukaan lahan juga diperkirakan berkontribusi besar terhadap kehilangan karbon dan peningkatan kadar abu pada permukaan lahan. Kehilangan karbon yang lebih besar dari hutan juga terjadi pada penggunaan lahan kelapa sawit di desa Suak Puntong dimana rata-rata kehilangan karbon sekitar 3 kali lebih tinggi dibandingkan kehilangan karbon pada penggunaan lahan hutan. Hal ini diperkirakan juga disebabkan karena lahan baru mengalami proses perubahan kondisi anaerob ke kondisi aerob yang drastis.
81 Menurut informasi dari pemilik lahan Bapak H. Kasinun, sejarah penggunaan lahan lokasi ini adalah: sebelum bulan Mei 2008 lahan dibiarkan terlantar atau tidak dirawat karena kondisi darurat sipil, pada bulan Mei 2008 saat pengamatan mulai dilaksanakan saluran drainase dibuat lebih dalam (sekitar 2,5 m) sehingga kelihatan jelas dari saluran tersebut semua lapisan gambut yang tebalnya sekitar 1 – 1,5 m berada di atas muka air tanah (Gambar 8c). Hal inilah yang diperkirakan menyebabkan proses dekomposisi gambut berlangsung lebih cepat dan kehilangan karbon juga lebih besar dibandingkan lokasi lainnya (Tabel 9). Menurut Hooijer et al. (2006) kehilangan gambut melalui emisi CO 2 dari lahan gambut yang didrainase secara umum meningkat dengan meningkatnya ke dalaman drainase dan peningkatan suhu. Peneliti lain juga telah melaporkan besarnya kehilangan karbon akibat drainase di daerah boreal dan temperate, hasilnya menunjukkan bahwa karbon yang hilang akibat lahan gambut didrainase diperkirakan sebesar 2,5 dan 3,5 ton C ha-1 th-1, dan proses mineralisasi gambut tertinggi terjadi pada ke dalaman muka air tanah antara 80 – 90 cm (Joosten dan Clarke, 2002; Schipper dan McLeod. 2002). Yang menarik dari hasil kajian ini adalah, tidak selamanya kehilangan karbon dan/atau emisi CO 2 pada konversi hutan gambut menjadi peruntukan tanaman tahunan khususnya karet dan/atau kelapa sawit lebih besar dari hutan, seperti yang kebanyakan dipublikasikan akhir-akhir ini. Berkaitan dengan hal ini, yang terlihat lebih berperan terhadap kehilangan karbon pada lahan gambut tropika yang didrainase untuk usaha tanaman tahunan adalah manajemen pengelolaan lahan yaitu pengelolaan biomassa dan pemupukan. Salah satu contoh pengelolaan biomassa adalah membiarkan permukaan lahan tertutup vegetasi sepanjang tahun (tanpa penyiangan) dan mengembalikan biomassa ke lahan, seperti yang dilakukan petani karet di desa Simpang dan Suak Raya. Penanaman kelapa sawit pada gambut dangkal dengan pengembalian biomassa pangkasan pelepah daun kelapa sawit dan hasil pangkasan biomassa (gulma) ke lahan, juga terlihat mampu menekan kehilangan karbon dan/atau emisi CO 2 lebih rendah dibandingkan hutan yang didrainase seperti yang dilakukan petani pada kebun kelapa sawit II di desa Suak Raya..
82 Berdasarkan data hasil perhitungan kehilangan karbon dari kajian ini dan data emisi CO 2 dari hasil penelitian Etik (2009) terlihat bahwa dalam satu hamparan lahan gambut yang sama, besarnya kehilangan karbon atau emisi CO 2 sangat bervariasi. Secara umum, dari beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa ke dalaman muka air tanah merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi besar atau kecilnya kehilangan karbon dan/atau emisi CO 2 pada lahan gambut yang didrainase. Dari hasil kajian ini ditemukan bahwa dalam muka air tanah dipengaruhi oleh jarak tegak lurus lokasi dari saluran drainase, dan besar atau kecilnya kehilangan karbon tentu juga dipengaruhi oleh jarak lokasi dari saluran drainase. Untuk melihat pola hubungan antara besarnya kehilangan karbon dengan jarak lokasi dari saluran drainase dapat diketahui dari regresi antara jarak lokasi dari saluran drainase dengan kehilangan karbon, seperti yang disajikan dalam Tabel 12, Sedangkan keragaan hubungan antara kehilangan karbon dan jarak dengan saluran drainase pada semua lokasi kajian dapat dilihat pada Lampiran 5 s.d Lampiran 14. Secara umum fenomena yang terlihat adalah, semakin jauh lokasi dari saluran drainase kehilangan karbon semakin kecil. Fenomena ini sejalan dengan hasil pengamatan terhadap dalam muka air tanah maksimum dan subsidence, yang mana semakin jauh dari saluran drainase dalam muka air tanah maksimum semangkin dangkal dan subsidence semakin kecil. Hasil ini mengindikasikan bahwa ada keterkaitan antara dalam muka air tanah, kehilangan karbon dan subsidence. Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa kehilangan karbon berkorelasi positif sangat nyata dengan subsidence dan dalam muka air tanah maksimum (Tabel 13). Dari data yang ada yaitu pola transek dalam muka air tanah, pola transek kejadian subsidence dan kehilangan karbon, keterkaitan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: Berdasarkan hasil kajian, semakin jauh dari saluran drainase dalam muka air tanah semakin dangkal, kondisi ini menyebabkan pada lokasi dekat saluran drainase volume gambut dalam kondisi aerob lebih banyak dibandingkan yang jauh dari saluran, sehingga aktivitas dekomposisi gambut juga lebih banyak pada lokasi yang dekat saluran dibandingkan yang jauh dari saluran. Hal inilah yang menyebabkan material gambut yang hilang dan mengalami penyusutan pada lokasi dekat saluran drainase lebih banyak dibandingkan dengan
83 lokasi yang jauh dari saluran. Data yang dapat dijadikan sebagai pendukung teori atau penjelasan ini adalah. hasil pengamatan Etik (2009) yang dilakukan pada lokasi dan waktu yang sama dengan kajian ini, yaitu emisi CO 2 secara umum meningkat dengan meningkatnya ke dalaman muka air tanah, dan semakin jauh dari saluran drainase emisi CO 2 semakin menurun. Tabel 12. Bentuk hubungan antara jarak dari saluran drainase dengan kehilangan karbon Lokasi/ Desa
Persamaan regresi
R2
Cot Gajah Mati
y = -0,1937Ln(x) + 2,4252
0,66
Kelapa sawit I
Simpang
y = -0,1016Ln(x) + 0,8881
0,78
Hutan
-
Simpang
y = -0,0431Ln(x) + 0,2424
0,60
Karet
15
Simpang
y = -0,2684Ln(x) + 2,0994
0,64
Semak I
-
Simpang
y = -0,2176Ln(x) + 1,9679
0,56
Semak II
-
Suak Puntong
y = -0,5909Ln(x) + 3,3245
0,98
Kelapa sawit I
10
Suak Puntong
y = -0,2506Ln(x) + 2,267
0,33
Kelapa sawit II
10
Suak Raya
y = -0,0415Ln(x) + 0,3343
0,34
Karet
15
Suak Raya
y = -0,0075Ln(x) + 0,9189
0,004
Kelapa sawit I
15
Suak Raya
y = -0,0187Ln(x) + 0,1663
0,21
Kelapa sawit II
15
Penggunaan lahan
Umur tanaman (tahun) 1
Hasil pengamatan pola transek keragaan permukaan tanah pada penggunaan lahan kelapa sawit I di desa Suak Raya berbeda dibandingkan dengan pola transek permukaan tanah lokasi lainnya, hal yang serupa juga terlihat terjadi terhadap pola transek besarnya kehilangan karbon pada lokasi tersebut. Perbedaan yang dimaksud adalah pola transek permukaan tanah yang umum adalah semakin jauh dari saluran drainase permukaan tanah semakin tinggi, sedangkan pola transek permukaan tanah pada lokasi kelapa sawit I
di desa Suak Raya
kebalikannya (semakin jauh dari saluran drainase semakin rendah). Hal yang serupa juga terlihat pada pola transek kehilangan karbon, yang mana secara umum semakin jauh dari saluran drainase kehilangan karbon semakin kecil (mengikuti pola persamaan logaritmik), namun pada lokasi kelapa sawit I di desa Suak Raya ada kecendrungan semakin jauh dari saluran drainase kehilangan karbon semakin
84 besar (Lampiran 11). Terlihat bahwa pada semua lokasi kajian, analisa regresi terhadap data kehilangan karbon dengan jarak lokasi dari saluran dapat dijelaskan dengan model persamaan logaritmik (R2 > 0,2074), namun model persamaan logaritmik tersebut tidak dapat menjelaskan model fenomena kehilangan karbon pada penggunaan lahan kelapa sawit I di desa Suak Raya karena koefisien determinasi (R2) sangat kecil yaitu 0,0035 (Lampiran 11).
b. Karakteristik lahan yang berkaitan erat dengan kehilangan karbon pada permukaan gambut yang didrainase. Kehilangan karbon pada penggunaan lahan gambut yang didrainase pasti berkaitan dengan karakteristik dan/atau sifat-sifat fisik. kimia dan biologi serta kondisi lingkungan. Untuk mengetahui faktor atau karakteristik lahan yang berkaitan erat dengan kehilangan karbon, telah dilakukan uji korelasi antara nilai kehilangan karbon dari masingmasing titik pengamatan dengan nilai karakteristik sifat-sifat lahan pada titik pengamatan yang sama. Hasil analisis uji korelasi antara kehilangan karbon dengan karakteristik lahan disajikan pada Tabel 13, sedangkan data lengkap karakteristik lahan disajikan pada Lampiran 4. Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa kehilangan karbon
berkorelasi
positif sangat nyata dengan subsidence dan dalam muka air tanah maksimum (Tabel 13). Hasil ini sejalan dengan teori yang berlaku umum yaitu penurunan muka air tanah mengakibatkan perubahan kondisi anaerob pada lapisan permukaan tanah yang mengering sehingga menyebabkan dekomposisi material gambut lebih cepat pada lapisan di atas muka air tanah tersebut, sehingga menyebabkan lebih banyak karbon yang hilang karena terdekomposisi. Berkaitan dengan hal ini. Hooijer et al. (2006) membuat hubungan linear antara ke dalaman drainase dengan emisi karbon yakni setiap 10 cm drainase teremisi karbon 2,48 ton C ha-1 th-1 atau setara 9,1 ton CO 2 ha-1 tahun-1. sedangkan. berdasarkan metode pengamatan subsidence. Wösten dan Ritzema (2001) memperkirakan bahwa untuk setiap10 cm ke dalaman drainase terjadi emisi sebanyak 3,54 ton C ha-1 tahun-1 atau setara dengan 13 ton CO 2 ha-1 tahun-1.
85 Tabel 13. Nilai koefisien korelasi antara kehilangan karbon dengan karakteristik lahan Variabel
Koefisien Korelasi 3
Partikel Density(gr cm )
P< tn
-0,14
0,32
Bulk Density(gr/cm )
-0,04
0,79
pF1500 (%v/v)
0.01
0.96
pF1000 (%v/v)
-0.003
0.98
pF33 (%v/v)
0.07
0.63
pF10 (%v/v)
0.15
0.30
pF01 (%v/v)
0.13
0.37
N-total (%)
-0.04
0.75
Hidr. Cond.(cm/jam)
-0,21
0,14
Respirasi (ppm CO 2 )
0,26
0,07
pH
-0,04
0,80
KTK
-0,28
0,05*
P-total (mg/kg)
-0,26
0.07
3
tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn
Variabel
KoefesienP< Korelasi
Fe (mg/kg)
0,27
0,06
Mn (mg/kg)
-0,19
0,19
K (mg/kg)
-0.28
0.05
Ca (mg/kg)
0.07
0.64
Mg (mg/kg)
0.05
0.70
Na (mg/kg)
-0.20
0.16
Rataan MAT (cm)
0.44
0.001**
MAT-min (cm)
0.36
0.01*
MAT-maks (cm)
0,58 0,001***
Flukstuasi MAT (cm) 0,18 0,20 Subsidence (cm)
tn tn tn tn tn tn
tn
0,92 0,001***
Salinitas (mmhos/cm) 0,11 0,46tn
tn
Keterangan: *** nyata pada taraf 0.1 %; ** nyata pada taraf 1 %. * nyata pada taraf 5%; tn tidak nyata
Hasil analisis regresi linear sederhana antara kondisi ke dalaman muka air tanah dengan kehilangan karbon, secara umum menunjukkan bahwa kehilangan karbon nyata meningkat dengan meningkatnya dalam muka air tanah. Bentuk hubungan antara kehilangan karbon dengan tinggi muka air tanah diekspresikan menurut persamaan regresi linear sederhana sebagai berikut.: C hilang = -0.059 + 0.014 Tinggi muka air tanah maksimum (R2 = 0,27) C hilang = 0.06 + 0.016 Tinggi muka air tanah rata-rata (R2 = 0,25) Hasil uji korelasi juga menunjukkan bahwa kehilangan karbon berkorelasi positif dengan subsidence (Tabel 13). Bentuk hubungan antara subsidence (tanpa memperhatikan kontibusi dari proses pemadatan) dengan kehilangan karbon disajikan dalam Gambar 25.
Subsidence (cm)
86
16 14 y = 6,2906x + 0,7523 2 12 R = 0,8357 10 8 6 4 2 0 0,00 0,50 1,00 1,50 2,00 2 -1 Kehilangan karbon (kg m th )
2,50
Gambar 25. Hubungan antara kehilangan karbon dengan subsidence Dari persamaan regresi liner antara subsidence dengan kehilangan karbon terlihat bahwa subsidence berkaitan erat dengan kehilangan karbon dengan R2 = 0,84 (Gambar 25). Besarnya kontribusi kehilangan karbon terhadap kejadian subsidence dapat diketahui dengan cara membandingkan data besarnya kehilangan karbon dengan data total karbon
pada material gambut yang
mengalami subsidence. Sebagai contoh, gambut dengan BD 0,05 gr cm-3 mengalami subsidence sebesar 5 cm dengan besarnya kehilangan karbon 0,50 kg m-2, dari data ini dapat dihitung: berat gambut setebal 5 cm luas 1 m2 dan BD 0,05 adalah 5 cm x 0,05 gr cm-3 x 10000 cm2 = 2500 gr atau 2,50 kg, karena karbon yang hilang adalah 0,50 kg m-2, berdasarkan hal ini dapat dihitung kontribusi kehilangan karbon terhadap subsidence yaitu 0,50 kg m-2 : 2,50 kg x 100% = 20%, dan sisanya yaitu sebesar 80% akibat dari pemadatan gambut. Hasil perhitungan kontribusi kehilangan karbon terhadap subsidence pada masing-masing lokasi kajian disajikan pada Tabel 14. Hasil kajian menunjukkan bahwa kontribusi kehilangan karbon terhadap kejadian subsidence bervariasi dari 23% - 84% dengan rata-rata 48% (Tabel 12). Menurut Schipper dan McLeod (2002) 63% subsidence terjadi karena proses konsolidasi atau pemadatan gambut, dan 37 % lagi terjadi karena hilangnya bahan organik gambut karena proses dekomposisi atau mineralisasi gambut. Pada penelitian Gronlund et al. (2008) ditemukan bahwa pada kejadian subsidence 62% disebabkan oleh pemadatan dan 32% oleh kehilangan gambut. Hasil kajian ini mengindikasikan
bahwa terjadinya peningkatan BD pada lapisan permukaan
87 gambut adalah disebabkan karena proses subsidence, pada sisi lain peningkatan kadar abu pada lapisan permukaan gambut disebabkan oleh material gambut yang hilang karena terdekomposisi yang menyisakan bahan mineral (abu) yang terkonsolidasi pada lapisan permukaan gambut. Tabel 14.
Rata-rata nilai kehilangan karbon dan subsidence serta rata-rata kontribusi kehilangan karbon terhadap subsidence pada berbagai penggunaan lahan gambut yang didainase. Karbon hilang (kg m-2 per 14 bulan)
Subsidence (cm per 14 bulan)
Kontribusi kehilangan karbon terhadap subsidence (%)
Cot Gajah Mati
1,529
8,2
57
Kelapa sawit I
Simpang
0,402
3,8
63
Hutan
Simpang
0,076
1,2
24
Karet
Simpang
0,998
8,6
70
Semak I
Simpang
1,047
7
84
Semak II
Suak Puntong
1,236
8,2
44
Kelapa sawit I
Suak Puntong
1,292
9,2
40
Kelapa sawit II
Suak Raya
0,185
2,8
25
Karet
Suak Raya
0,802
4,8
52
Kelapa sawit I
Suak Raya
0,138
1,1
23
Kelapa sawit II
Lokasi/Desa
Penggunaan lahan
Faktor atau karakteristik tanah yang berkaitan dengan kehilangan karbon dapat diketahui dengan cara mambuat hubungan antara kehilangan karbon dengan karakteristik lahan. Dengan menggunakan prosedur analisa stepwise diperoleh beberapa variabel karakteristik lahan yang berkaitan erat dengan kehilangan karbon pada lahan gambut tropika yang didrainase. Hasil analisa karakteristik lahan yang berkaitan erat dengan kehilangan karbon pada lahan gambut yang didrainase disajikan pada Tabel 15. Dari hasil analisa terhadap karakteristik lahan yang berkaitan erat dengan kehilangan karbon menggunakan prosedur stepwise. ditemukan bahwa ada empat variabel karakteristik lahan yang masuk ke dalam model hubungan antara
88 kehilangan karbon dengan karakteristik lahan yaitu: subsidence, kadar besi (Fe), muka air tanah maksimum (MAT-maksimum) dan salinitas. Dari hasil analisa menggunakan prosedur stepwise terlihat bahwa 89% kehilangan karbon pada lahan gambut yang didrainase berkaitan erat dengan kombinasi antara subsidence, kadar besi (Fe), dalam muka air tanah maksimum dan salinitas. Tabel 15. Hasil analisa hubungan kehilangan karbon dengan karakteristik lahan pada lahan gambut yang didrainase menggunakan prosedur stepwise. Step Variable Entered
Number Partial Model Removed In. R**2 R**2
C(p)
F Prob>F
1. Subsidence
1
0,8411 0,8411 52,0712 254,0106
0,0001
2. Besi (Fe)
2
0,0358 0,8768 31,9985
13,6505
0,0006
3. MAT-maksimum 3
0,0096 0,8864 28,0984
3,8717
0,0552
4. Salinitas
0,0077 0,8941 25,3416
3,2759
0,0770
4
Berkaitan dengan hasil kajian ini, menurut Couwenberg (2009) drainase menyebabkan gambut teroksidasi. sehingga mengakibatkan banyak gambut yang hilang sehingga terjadi subsidence. Hooijer et al. (2006) telah membuat satu bentuk hubungan linear antara ke dalaman drainase dengan emisi tahunan CO 2 yang mana untuk setiap 10 cm ke dalaman drainase akan mengemisikan sekitar 9,1 ton CO 2 ha-1 th-1. Wösten dan Ritzema (2001) mengemukakan bahwa dengan metode pengamatan subsidence memperkirakan bahwa untuk setiap 10 cm ke dalaman drainase terjadi emisi CO 2 sebanyak 13 ton ha-1 th-1, sehingga diperkirakan untuk tahun-tahun selanjutnya pada lahan gambut yang didrainase kehilangan karbon dan penurunan permukaan tanah akan terus berlanjut. Drainase pada lahan gambut bertujuan untuk menurunkan permukaan air tanah. Menurut Chimner dan Cooper (2003) pada keadaan muka air tanah yang dangkal akan menyebabkan lingkungan tanah pada kondisi anaerobik, sehingga mengurangi terjadinya proses dekomposisi, sebaliknya jika permukaan air tanah dalam (jauh) akan meningkatkan kondisi aerobik sejalan dengan itu juga meningkatkan proses dekomposisi bahan gambut. Dari hasil kajian ini ditemukan bahwa kedalaman muka air tanah berkaitan erat dengan kehilangan karbon. Untuk
89 itu. pengelolaan tinggi muka air tanah pada lahan gambut yang didrainase sangat penting diperhatikan dalam kaitannya dengan emisi gas rumah kaca dan konservasi lahan gambut. Dari hasil kajian terlihat pula bahwa semakin besar kehilangan karbon kadar besi pada lahan juga semakin besar. Hal ini dapat dijelaskan berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kyuma (1991) pada lahan gambut tropika di Ayu
Baloi
Malaysia
menemukan
bahwa
dekomposisi -1
gambut
tropika
-1
menghasilkan Fe lebih banyak yaitu 14,5 ton ha th dibandingkan Cu. Mn. Zn. K. P dan Mg yang hanya 0,0; 0,1; 0,1; 1,4; 2,0 dan 6,2 ton ha-1 th-1 secara berurutan. Keterkaitan erat antara kadar besi (Fe) dengan kehilangan karbon pada kajian ini membenarkan teori bahwa semakin besar kehilangan karbon maka semakin banyak pula Fe yang diakumulasikan. Fe yang diakumulasikan berasal dari bahan mineral yang terkandung dalam material gambut yang telah terdekomposisi (bahan organiknya telah hilang). Implikasi dari hasil kajian ini adalah nilai akumulasi kandungan Fe pada lahan gambut yang didrainase dapat dijadikan sebagai indikator besar kecilnya telah terjadi kehilangan karbon pada lahan gambut yang didrainase. Hasil kajian juga menemukan bahwa peningkatan kehilangan karbon pada gambut yang didrainase sejalan dengan peningkatan salinitas. Hasil ini terlihat bertentangan dengan beberapa hasil penelitian, biasanya peningkatan salinitas menurunkan tingkat dekomposisi gambut, seperti yang dikemukakan oleh Eliška dan Kateřina (2006) yang mana dekomposisi sellulosa nyata lebih lambat pada kondisi salinitas yang tinggi karena rendahnya aktivitas mikroba perombak, dan peningkatan salinitas menurunkan konsentrasi karbon organik terlarut dalam air. Namun demikian hasil kajian Tanji et al. (1999) dapat mendukung hasil kajian ini. yang mana peningkatan salinitas dapat mengurangi leaching atau hanyutnya karbon organik terlarut.
Keterkaitan Subsidence dan kondisi muka air tanah maksimum pada berbagai penggunaan lahan gambut yang didrainase: Besarnya subsidence yang terjadi selama kajian ini berlangsung (bulan Mei 2008 sampai dengan bulan Agustus 2009) disajikan dalam Tabel 16.
90 Tabel 16. Subsidence umur saluran dan muka air tanah maksimum pada masingmasing lokasi lahan gambut yang didrainase periode waktu Mei 2008 sampai Agustus 2009 Umur saluran (tahun)
Subsidence (cm)
Simpang
2
8,6
Simpang
2
7,0
93,4
Semak II
Simpang
2
3,8
69,8
Hutan
Simpang
2
1,2
56,2
Karet
Suak Puntong
0
9,2
86,4
Kelapa sawit II
Suak Puntong
0
8,2
73,4
Kelapa sawit I
Cot Gajah Mati
2
8,2
65,4
Kelapa sawit I
Suak Raya
15
4,8
58,0
Kelapa sawit I
Suak Raya
15
2,8
65,4
Karet
Suak Raya
15
1,1
52,8
Kelapa sawit II
Desa
Muka air tanah Penggunaan lahan maksimum (cm) 83,2 Semak I
Rata-rata penurunan permukaan tanah (subsidence) pada kajian ini bervariasi antara 1,1 – 9,2 cm dalam periode waktu 14 bulan. Terlihat bahwa penurunan permukaan tanah tertinggi terjadi pada lokasi kajian di kebun kelapa sawit II di desa Suak Puntong yaitu rata-rata 9,2 cm, sedangkan yang terendah pada lokasi kajian di kebun kelapa sawit II di desa Suak Raya yakni 1,1 cm. Berkaitan dengan kejadian subsidence pada lahan gambut yang didrainase, menurut hasil penelitian Schipper dan
McLeod (2002) rata-rata tingkat
subsidence pada lahan gambut yang didrainase adalah sebesar 3,4 cm th-1 (taraf kepercayaan 95% interval of 3,2 – 3,5 cm th-1) dan rata-rata kehilangan karbon 3,7 t ha-1 yr-1 (taraf nyata 95% interval of 2,5 – 5,0 t ha-1 th-1). Dawson et al. (2004) menyimpulkan beberapa hasil penelitian yang berkaitan dengan subsidence diantaranya: a) rata-rata subsidence jangka panjang berkisar antara 1 – 8 cm th-1, b) pengukuran subsidence di Asia Tenggara mengindikasikan bahwa 0,5 – 1 m gambut hilang pada tahun-tahun awal pembuatan drainase dengan rata-rata lebih kurang 6 cm per tahun, c) di gambut Florida subsidence 1,8 m dalam periode 54 tahun (1924 – 1978) dan gambut di California subsidence 1,8 – 2,0 m pada
91 periode waktu kurang dari 30 tahun, d) bagaimanapun beberapa
gambut di
Belanda hanya terjadi subsidence sebesar 2,0 m dalam periode sekitar 1000 tahun. Rendahnya subsidence di Belanda dibandingkan lokasi lainnya, kemungkinan disebabkan oleh karena muka air tanah diatur sepanjang tahun yaitu antara 20 – 50 cm dibawah rata-rata muka air tanah untuk penggunaan lahan padang pengembalaan. Apabila kejadian subsidence ini dikaitkan dengan sejarah penggunaan lahan pada masing-masing lokasi kajian (seperti yang dijelaskan dalam metode penelitian) ditemukan bahwa subsidence dipengaruhi oleh umur saluran drainase. Terlihat bahwa subsidence lebih besar pada lokasi yang baru dibuat saluran drainasenya dibandingkan dengan lokasi yang saluran drainasenya sudah lama, sedangkan. contoh adanya pengaruh perbedaan umur saluran drainase terhadap besar kecilnya subsidence, dapat dilihat dengan membandingkan subsidence pada penggunaan lahan kelapa sawit I di desa Suak Raya dengan penggunaan lahan kelapa sawit II di desa Suak Puntong, yang mana menurut sejarah penggunaan lahan, saluran drainase di desa Suak Raya dibuat sudah lebih dari 10 tahun, sedangkan di desa Suak Puntong saluran drainasenya diperdalam pada bulan Mei 2008 sehingga dapat dikategorikan sebagai kondisi baru lagi, dari hasil kajian terlihat bahwa subsidence pada penggunaan lahan kelapa sawit II desa Suak Puntong terlihat lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan lahan kelapa sawit I di desa Suak Raya (Tabel 12). Menurut Dawson et al, (2004) pada dua tahun awal setelah pembuatan saluran drainase, proses subsidence sangat cepat, yaitu 44% dari total periode waktu 20 tahun, setelah itu turun sampai konstan sebesar 7 mm per tahun. Dari kajian ini diketahui bahwa sebagian besar subsidence disebabkan oleh kehilangan karbon yaitu berkisar antara 23 – 84% (Tabel 14), di sisi lain juga ditemukan bahwa kehilangan karbon disebabkan oleh pengaruh tinggi muka air tanah (Tabel 15). Berdasarkan hal ini dapat kaitkan bahwa kejadian subsidence juga berhubungan erat dengan tinggi muka air tanah, Menurut Hooijer et al, (2006) kehilangan gambut melalui emisi CO 2 dari lahan gambut yang didrainase secara umum meningkat dengan meningkatnya ke dalaman drainase dan peningkatan suhu. Peneliti lain juga telah menghitung kehilangan karbon akibat
92 drainase di daerah boreal dan temperate, hasilnya menunjukkan bahwa diperkirakan sebesar 2,5 dan 3,5 ton C ha-1 th-1 telah hilang akibat lahan gambut di drainase, dan proses mineralisasi gambut tertinggi terjadi pada ke dalaman muka air tanah 80 – 90 cm (Joosten dan Clarke, 2002, Schipper dan McLeod, 2002). Bentuk hubungan antara subsidence dengan jarak lokasi yang tegak lurus dengan saluran drainase (mencerminkan pengaruh kondisi dalam muka air tanah karena dalam muka air tanah, juga dipengaruhi oleh jarak lokasi dari saluran drainase) pada masing-masing bentuk penggunaan lahan disajikan dalam Tabel 17, sedangkan keragaan hubungan antara jarak dari saluran drainase dengan subsidence disajikan dalam Lampiran 15 – 24. Tabel 17. Bentuk hubungan antara jarak dari saluran drainase dengan subsidence Lokasi/ Desa
Persamaan regresi
R2
Cot Gajah Mati
y = -0,5046Ln(x) + 10,073
0,57
Kelapa sawit I
Simpang
y = -0,7268Ln(x) + 6,9454
0,52
Hutan
-
Simpang
y = -0,8224Ln(x) + 4,2192
0,71
Karet
15
Simpang
y = -1,2474Ln(x) + 13,18
0,20
Semak I
-
Simpang
y = -1,3819Ln(x) + 12,073
0,40
Semak II
-
Suak Puntong
y = -3,7845Ln(x) + 20,655
0,92
Kelapa sawit I
10
Suak Puntong
y = -1,4554Ln(x) + 13,99
0,19
Kelapa sawit II
10
Suak Raya
y = -0,4062Ln(x) + 4,057
0,17
Karet
15
Suak Raya
y = -0,1346Ln(x) + 5,2166
0,02
Kelapa sawit I
15
Suak Raya
y = -0,0839Ln(x) + 1,3487
0,14
Kelapa sawit II
15
Penggunaan lahan
Umur tanaman (tahun) 1
Dari Tabel 17 dan Lampiran 15 - 24, secara umum terlihat bahwa semakin dekat lokasi dari saluran drainase subsidence semakin besar dan semakin jauh dari saluran drainase subsidence semakin kecil, mengikuti pola logaritmik. Apabila pola transek subsidence dikaitkan dengan pola transek muka air tanah, terlihat bahwa transek keragaan
dalam muka air tanah mirip dengan keragaan pola
transek subsidence, yang mana pada posisi dekat saluran drainase, muka air tanah lebih dalam dari yang jauh dari saluran, dan pola subsidence juga menunjukkan hal yang sama yaitu semakin dekat dari saluran drainase subsidence semakin
93 besar. Dalam kasus ini, diperkirakan penyebab besarnya subsidence pada lokasi yang lebih dekat dengan saluran drainase dibandingkan dengan lokasi yang lebih jauh dari saluran drainase, adalah berkaitan dengan dalam muka air tanah. Sebagaimana telah dikemukakan terdahulu pada pembahasan “kaitan kehilangan karbon dengan dalam muka air tanah” bahwa semakin tinggi muka air tanah (jauh dari permukaan tanah), kehilangan gambut juga semakin besar, konsekwensi logisnya adalah subsidence juga semakin besar. Jadi, jelas bahwa muka air tanah yang jauh dari permukaan tanah pada lokasi dekat saluran drainase adalah penyebab lebih besarnya subsidence pada posisi yang dekat saluran drainase tersebut. Kondisi yang mirip dengan hasil kajian ini juga telah dikemukakan oleh Andrie et al. (2010) yang mana semakin dekat lokasi dengan saluran drainase dalam muka air tanah letaknya jauh dari permukaan tanah dan semakin jauh dari saluran drainase dalam muka air tanah letaknya dekat dengan permukaan tanah. 2, Kehilangan karbon dari dekomposisi biomassa pada berbagai penggunaan lahan gambut yang didrainase Pada ekosistem gambut tropika, biomassa sisa tanaman dan/atau serasah yang berasal dari vegetasi yang tumbuh di atasnya merupakan salah satu komponen penting dalam keseimbangan karbon pada ekosistem tersebut. Komponen utama biomassa tanaman dan/atau serasah adalah bahan organik yang terdiri dari unsur-unsur C, H, O dan N, dalam bentuk gugus fungsional seperti OH, C-H dan N-H, Oleh sebab itu,
proses dekomposisi sisa tanaman tentu
berkaitan erat dengan unsur-unsur tersebut khususnya kandungan karbon (C) dan nitrogen (N). Pada kajian ini, biomassa yang tersisa setelah mangalami dekomposisi dalam periode waktu tertentu diekspresikan dalam bentuk persentase (yaitu
berat
bahan
yang
tersisa
dibandingkan
dengan
berat
sebelum
terdekomposisi). Kadar karbon, nilai rasio C/N dan berat biomassa yang tersisa setelah 6 dan 14 bulan proses dekomposisi berlangsung, untuk setiap spesies biomassa pada setiap lokasi kajian disajikan pada Tabel 18.
94 Tabel 18. Kadar karbon dan nilai C/N awal serta berat biomassa yang tersisa pada periode waktu 0, 6 dan 14 bulan setelah proses dekomposisi berlangsung Biomassa tersisa setelah Lokasi
Penggunaan lahan
Biomassa
Kadar
Rasio
karbon
C/N
0 bulan
(%)
6 bulan
14 bulan
(%)
Simpang
Hutan
Pandan
47,7
41,44 a
100
63,42 d
7,55 ij
Simpang
Karet
Lampiding
45,9
42,88 a
100
97,39 a
40,74 b
Melastoma
46,6
29,28 b
100
66,33 d
10,19 hi
Lampiding
45,9
42,88 a
100
97,96 a
38,20 bc
Melastoma
46,6
29,28 b
100
42,90 f
20,15 ef
Simpang
Semak
Cot Gajah
Kelapa
Mankire
46,7
19,05 d
100
65,26 d
17,70 fg
Mati
sawit
Melastoma
46,6
29,28 b
100
82,70 b
6,89 j
Suak Raya
Karet
Karet
46,6
40,91 a
100
61,48 d
19,65 efg
Lampiding
45,9
42,88 a
100
32,27 g
19,59 efg
Kelapa
Kelapa sawit
48,4
23,04 c
100
54,75 e
16,93 g
sawit
Melastoma
46,6
29,28 b
100
40,36 f
12,45 h
Lampiding
45,9
42,88 a
100
98,91 a
74,57 a
Suak Raya
Suak
Kelapa
Lampiding
45,9
42,88 a
100
78,40bc
36,20 c
Puntong
sawit
Kelapa sawit
48,4
23,04 c
100
50,04 e
23,13 d
Melastoma
46,6
29,28 b
100
50,52 e
21,59 de
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh hurf kecil yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada slang kepercayaan 5% menurut LSD, Karet = Havea brazialiensis; Kelapa sawit = Elaeis guinensis jacg; Lampiding = Cycas sp; Melastoma = Melastoma malabatricum; Mankire = Memecylon sp,
Hasil kajian memperlihatkan bahwa rata-rata berat biomassa yang tersisa setelah 14 bulan proses dekomposisi berlangsung bervariasi antara 6,89 – 74,57% dari berat awalnya. Hasil analisis anova dan uji LSD menunjukkan bahwa secara umum, biomassa yang tersisa setelah 14 bulan proses dekomposisi berbeda nyata berdasarkan jenis spesies biomassa dan lokasi tempat proses dekomposisi berlangsung (Tabel 18).
95 Dari hasil kajian terlihat bahwa, pada spesies biomassa yang sama namun lokasi (desa) berbeda, berat biomassa yang tersisa terlihat berbeda nyata. Hal ini misalnya terjadi pada spesies lampiding, yang mana biomassa yang tersisa setelah 14 bulan dekomposisi berdasarkan anova dan uji lanjut LSD berbeda nyata antara desa Simpang, desa Suak Puntong dan desa Suak Raya (Tabel 18). Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan lokasi menyebabkan pebedaan total biomassa yang terdekomposisi dan/atau tersisa. Apabila dibandingkan data berat biomassa yang tersisa pada lokasi yang sama namun spesies yang berbeda, berdasarkan analisa anova dan uji lanjut LSD setelah 14 bulan proses dekomposisi berlangsung terlihat bahwa rata-rata berat biomassa yang tersisa berbeda nyata antara masing-masing spesies. Sebagai contoh pada penggunaan lahan kelapa sawit di desa Suak Raya, ada tiga jenis spesies biomassa yaitu kelapa sawit, lampiding dan melastoma, biomassa yang tersisa setelah 14 bulan proses dekomposisi adalah biomassa lampiding (74,57%) nyata lebih tinggi dari biomassa kelapa sawit (16,93%), dan juga nyata lebih tinggi dari biomassa melastoma (12,45%). Hal ini menunjukkan bahwa jenis spesies biomassa berpengaruh nyata terhadap besar kecilnya biomassa yang tersisa setelah proses dekomposisi berjalan lebih dari satu tahun (14 bulan). Hasil
kajian
menemukan
bahwa
setelah
14
bulan
biomassa
terdekomposisi, masih ada tersisa bahan/material yang belum terdekomposisi, jumlahnya bervariasi dari 6,89 – 74,57% untuk semua lokasi lahan gambut yang didrainase dan untuk semua jenis biomassa. Hal ini menunjukkan bahwa apabila biomassa tumbuhan seperti hasil pemangkasan daun kelapa sawit, penyiangan gulma dan biomassa tumbuhan lainnya dikembalikan atau diupayakan tetap berada pada lahan, berpotensi mengakumulasikan karbon atau material yang besarnya bervariasi antara 3,21% - 34,23% dari total berat biomassa keringnya atau sekitar 32 – 342 gr C dari setiap kg biomassa yang dikembalikan ke lahan. Keragaan dari masing-masing jenis biomassa setelah 14 bulan mengalami proses dekomposisi disajikan dalam Gambar 26.
96
Gambar 26. Keragaan masing-masing biomassa yang tertinggal setelah 14 bulan terdekomposisi Dari hasil evalusai terhadap data Tabel 18, dan hasil uji korelasi antara rasio C/N biomassa awal dengan biomassa yang tersisa setelah 6 dan 14 bulan terdekomposisi menunjukkan bahwa nilai rasio C/N biomassa awal berkorelasi positif dengan persentase biomassa yang tersisa (r = 0,45; P< 0,08 untuk 6 bulan terdekomposisi, dan r = 0,53; P < 0,03 untuk 14 bulan terdekomposisi). Bentuk hubungan antara nilai C/N dengan berat biomassa yang tersisa setelah 6 dan 14 bulan proses dekomposisi berlangsung disajikan dalam Gambar 27. Dari Gambar 27 terlihat ada kecendrungan bahwa semakin besar nilai rasio C/N biomassa sebelum proses dekomposisi terjadi, maka berat biomassa yang tersisa setelah 6 dan 14 bulan proses dekomposisi berjalan juga semakin besar. Hal ini menunjukkan bahwa selama proses dekomposisi biomassa pada permukaan lahan gambut, kualitas biomassa khususnya rasio C/N sangat berperan dalam menentukan besar kecilnya kehilangan berat biomassa tersebut. Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian Alfred dan Sullivan (2001) yang mana biomassa Imperata cylindrica (rasio C/N = 110 ± 11 ) yang tersisa setelah 24 minggu
97 terdekomposisi adalah sebanyak 55%, jumlah ini nyata lebih tinggi dibandingkan dengan biomassa Piper aduncum (rasio C/N = 26 ± 2 ) yang hanya sekitar 30%.
Biomasa tersisa setelah 6 bulan
Biomasa tersisa setelah 14 bulan
120 setelah 6 bulan y = 1,065x + 29,393 R2 = 0,1981
Biomasa tersisa (%)
100 80 60
setelah 14 bulan y = 1,0343x - 10,259 R2 = 0,2752
40 20 0 15
20
25
30
35
40
45
Rasio C/N
Gambar 27. Bentuk hubungan antara rasio C/N dengan berat biomassa yang tersisa setelah 6 dan 14 bulan proses dekomposisi berjalan Berat biomassa yang hilang selama proses dekomposisi dapat diestimasi dengan cara mengurangi berat biomassa sebelum terdekomposisi dengan berat yang tersisa setelah dekomposisi berlangsung. Besarnya berat biomassa yang hilang dan prediksi karbon dan gas CO 2 yang diemisikan dari berbagai jenis biomassa dan pada berbagai lokasi kajian disajikan dalam Tabel 19. Karbon yang hilang akibat proses dekomposisi biomassa dapat dihitung dengan cara: mengalikan berat biomassa yang hilang selama proses dekomposisi tersebut dengan persentase karbonnya, sedangkan gas CO 2 yang diemisikan dapat diprediksi dengan cara konstanta/faktor
mengalikan nilai karbon yang hilang dengan
konversi karbon menjadi CO 2 yaitu 3,67. Hasil kajian
menunjukkan bahwa setelah lebih dari satu tahun (14 bulan) biomassa terdekomposisi, kehilangan karbon dan emisi CO 2 terbesar terjadi pada biomassa melastoma pada lokasi kajian pada kebun kelapa sawit di desa Cot Gajah Mati yaitu 433,89 g C kg-1 atau setara 1592,39 g CO 2 kg-1, sedangkan yang terendah pada biomassa lampiding pada penggunaan lahan kelapa sawit di desa Suak Raya yakni 116,72 g C kg-1 atau setara 428,38 g CO 2 kg-1(Tabel 19).
98 Tabel 19. Kehilangan biomassa selama 14 bulan proses dekomposisi dan besarnya emisi karbon atau gas CO 2 dari setiap kilo gram biomassa Lokasi
Biomassa hilang
Karbon hilang
Setara emisi
(g kg-1)
(g kg-1)
(g kg-1)
Pengguna an lahan
Biomassa
Simpang
Hutan
Pandan
924,5 ij
440,99 ij
1618,42 ij
Simpang
Karet
Lampiding
592,6 b
272,00 b
998,25 b
Melastoma
898,1 hi
418,51 hi
1535,95 hi
Lampiding
618,0 bc
283,66 bc
1041,04 bc
Melastoma
798,5 ef
372,10 ef
1365,61 ef
Simpang
Semak
CO 2
Cot gajah
Kelapa
Mankire
823,0 fg
384,34 fg
1410,53 fg
Mati
sawit
Melastoma
931,1 j
433,89 j
1592,39 j
Karet
803,5 efg
374,43 efg 1374,16 efg
Lampiding
804,1 efg
369,08 efg 1354,53 efg
Kelapa sawit
830,7 g
402,06 g
1475,56 g
Melastoma
875,5 h
407,98 h
1497,30 h
Lampiding
254,3 a
116,72 a
428,38
Suak Raya Karet
Suak Raya Kelapa sawit
a
Suak
Kelapa
Lampiding
638,0 c
292,84 c
1074,73 c
Puntong
sawit
Kelapa sawit
768,7 d
372,05 d
1365,43 d
Melastoma
784,1 de
365,39 de
1340,98 de
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh hurf kecil yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada slang kepercayaan 5% menurut LSD,
Hasil kajian mengindikasikan bahwa perbedaan kehilangan karbon dan emisi CO 2 akibat dekomposisi biomassa pada permukaan lahan gambut yang didrainase dipengaruhi oleh
jenis biomassa, dan penggunaan lahan. Hal ini
terlihat dari : a) pada jenis biomassa yang sama, sedangkan penggunaan lahan berbeda,
kehilangan karbonnya juga berbeda nyata, misalnya untuk jenis
biomassa lampiding dan melastoma (Tabel 18); b) pada penggunaan lahan yang sama tetapi jenis biomassa berbeda, misalnya pada penggunaan lahan kelapa sawit di desa Suak Raya kehilangan biomassa kelapa sawit nyata lebih tinggi dari biomassa melastoma, dan kehilangan biomassa melastoma juga nyata lebih tinggi dibandingkan lampiding, hal yang sama juga terjadi pada penggunaan kelapa
99 sawit di desa Cot Gajah Mati yang mana kehilangan biomassa mankire nyata lebih tinggi dari biomassa melastoma (Tabel 19). 3, Kehilangan karbon akibat pemupukan pada lahan gambut. Secara teori, kadar abu (kadar mineral) lahan gambut meningkat setelah dilakukan pemupukan. Peningkatan ini berasal dari hilangnya bahan gambut akibat dekomposisi, sehingga terjadi penambahan mineral pada gambut. Untuk itu, data yang diperlukan untuk menghitung karbon yang hilang akibat pemupukan pada lahan gambut adalah nilai bulk density (BD) dan kadar abu masing-masing plot kajian. Data perbandingan BD dan kadar abu antara plot yang dipupuk dengan tanpa dipupuk disajikan pada Tabel 20. Tabel 20. Rata-rata nilai BD dan kadar abu pada plot yang diberi pupuk dan tanpa pupuk 8 bulan setelah pempukan Lokasi
Penggunaan lahan
Kadar abu (%)
BD (g,cm-3)
Tanpa Dipupuk 3,77
Dipupuk 0,13
Tanpa Dipupuk 0,12
Simpang
Hutan
Dipupuk 5,68
Simpang
Semak
7,22
6,13
0,19
0,14
Simpang
Karet
8,23
6,06
0,18
0,14
Suak Raya
Kelapa sawit I
5,63
3,15
0,17
0,17
Suak Raya
Kelapa sawit II
6,91
4,57
0,22
0,27
6,73 a
4,74 b
0,18 a
0,17 a
Rata-rata
Keterangan: angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama pada nilai rata-rata BD dan kadar abu tidak berbeda nyata menurut hasil uji T, Catatan: Nilai kadar abu pada plot yang diberi pupuk telah dikoreksi dengan kadar abu pupuk NPK Mutiara yaitu sebesar 23,17%
Terlihat bahwa kadar abu pada plot yang dipupuk nyata lebih tinggi dibandingkan plot yang tidak dipupuk, hal ini menunjukkan bahwa pemupukan nyata meningkatkan kadar abu, disisi lain terlihat tidak ada perbedaan nilai bulk density (BD) antara plot yang dipupuk dibandingkan dengan yang tidak dipupuk (Tabel 20). Dari data Tabel 20 dapat dihitung total berat fraksi abu (mineral) pada plot yang dipupuk dan tanpa dipupuk pada lapisan permukaan tanah ketebalan 0 – 5 cm, yaitu dengan cara: persentase abu x BD x volume tanah pada luasan 1 m2
100 dan ketebalan 5 cm (yaitu 50000 cm3). Hasil perhitungan rata-rata berat abu (pada luasan 1 m2 dan ketebalan 5 cm) pada plot yang dipupuk adalah 370, 480, 690, 745, dan 765 gr m-2 masing-masing secara berturut-turut pada plot di lokasi hutan di desa Simpang, kelapa sawit I di Suak Raya, semak di desa Simpang, karet di desa Simpang, dan kelapa sawit I di desa Suak Raya, sedangkan rata-rata nilai berat abu (pada luasan 1 m2 dan ketebalan 5 cm) pada plot yang tidak dipupuk
adalah 230, 270, 430, 425, dan 620 gr m-2 masing-masing secara
berurutan pada plot di lokasi hutan di desa Simpang, kelapa sawit I di Suak Raya, semak di desa Simpang, karet di desa Simpang, dan kelapa sawit I di desa Suak Raya. Kadar abu pada plot yang dipupuk nyata lebih tinggi dibandingkan plot tanpa pupuk, kelebihan ini berasal dari bahan mineral yang tersisa setelah bahan organik gambut hilang akibat proses mineralisasi atau terdekomposisi. Lebih tingginya kadar abu pada plot yang dipupuk dibandingkan tanpa dipupuk, data ini membenarkan asumsi bahwa pemupukan meningkatkan mineralisasi gambut. Hasil kajian ini sejalan dengan yang ditemukan Gronlund et al, (2008) yaitu pemupukan pada lahan gambut meningkatkan rata-rata 9,6 gr mineral yang berasal dari hilangnya 47 kg bahan organik gambut per m2 pada periode waktu 30 tahun. Hasil uji T-test nilai rata-rata persentase abu (mineral), BD, dan berat abu pada luasan 1 m2 dan ketebalan 5 cm disajikan pada Tabel 21. Tabel 21. Hasil uji T-test berpasangan terhadap nilai persentase abu, BD dan berat abu antara plot dipupuk dengan tanpa dipupuk Variabel
N
Nilai
Std,
Std,
Tengah
Deviasi
Error
T
Prob>|T|
Abu (%)
5
1,998
0,55
0,246
8,119
0,001***
BD (gr cm-3)
5
0,01
0,04
0,018
0,568
0,600
Berat abu (gr cm-3)
5
0,0043
0,0015
0,0007 6,259
ns
0,003***
Ketarangan: *** = nyata pada taraf 1%; ns = tidak nyata
Setelah periode waktu 8 bulan pemberian pupuk pada lahan gambut, hasil uji T-test berpasangan terhadap nilai kadar abu (% abu), BD (gr cm-3), dan total
101 berat abu (gr m-2 pada ketebalan tanah 0 - 5 cm) menunjukkan bahwa: a) persentase abu pada plot yang dipupuk nyata lebih tinggi dibandingkan dengan plot tanpa dipupuk, b) tidak ada perbedaan nilai BD antara plot yang dipupuk dengan tanpa dipupuk, dan c) rata-rata total berat abu pada plot yang dipupuk nyata lebih tinggi daripada plot yang tidak dipupuk (Tabel 20). Hal ini menunjukkan bahwa setelah 8 bulan pemumukan terhadap lahan gambut nyata meningkatkan persentase abu dan total berat abu gambut, namun demikian belum nyata meningkatkan BD gambut (Tabel 20). Interpretasi dari hasil kajian ini adalah pemupukan pada lahan gambut lebih dominan berpengaruh terhadap kehilangan karbon dari pada pengaruhnya terhadap pemadatan tanah (karena tidak terjadi peningkatan BD yang signifikan). Hal ini terjadi karena pemupukan pada lahan gambut dapat mempengaruhi aktivitas biologi dalam tanah, termasuk aktivitas mikro organisme perombak sehingga dapat mempercepat kehilangan karbon, akibatnya lebih banyak gambut yang hilang atau terdekomposisi dibandingkan yang terkonsolidasi atau pemadatan. Berkaitan dengan hal ini, menurut Zhang et al. (2007) pemupukan khususnya nitrogen meningkatkan respirasi 140% pada marsh di Cina. Hasil penelitian Gronlund et al. (2008) pada proses subsidence terjadi kehilangan karbon 62% dan pemadatan 38% pada lahan gambut yang diolah di West Norway. Rata-rata perbedaan nilai berat abu (penambahan berat abu) pada plot yang dipupuk dibandingkan plot tanpa dipupuk adalah 140, 145, 210, 260, dan 320 gr m-2 (ketebalan 5 cm lapisan permukaan tanah) masing-masing pada plot di penggunaan lahan hutan di desa Simpang, kelapa sawit II di desa Suak Puntong, kelapa sawit I di desa Suak Raya, semak di desa Simpang dan karet di desa Simpang secara berurutan. Adanya perbedaan berat fraksi abu antara plot yang dipupuk dengan tanpa dipupuk menunjukkan bahwa pemupukan telah meningkatkan dekomposisi dan/atau kehilangan bahan gambut, sehingga terjadi penambahan kadar abu pada plot yang dipupuk. Sebagaimana diketahui bahwa kadar abu atau mineral pada lahan gambut berasal dari mineral yang tersisa dari hasil pelapukan bahan organik gambut sehingga mineral menjadi lebih terkonsentrasi di sekitar gambut yang dipupuk.
102 Dari data Tabel 20 juga dapat diperkirakan besarnya kehilangan bahan gambut. Total bahan gambut yang hilang akibat pemupukan, berdasarkan peningkatan berat abu (mineral) dapat diprediksi dengan cara membagi nilai penambahan berat abu dengan nilai persentase abu pada plot yang tidak dipupuk. Hasil prediksi menemukan bahwa material gambut yang hilang akibat pemupukan lahan gambut selama periode waktu 8 bulan adalah 3172,87; 3713,53; 4241,44; 5280,53 dan 6666,67 gr m-2 masing-masing secara berurutan pada penggunaan lahan kelapa sawit II di desa Suak Raya, hutan di desa Simpang, semak di desa Simpang, karet di desa Simpang dan kelapa sawit II di desa Suak Raya. Pada kajian ini nilai %C-organik diperoleh dengan cara membagi persentase bahan organik (%BO) dengan nilai atau faktor konversi 1,9243 (yaitu: konstanta yang diperoleh pada hasil evaluasi metode penentuan kadar C gambut pada kajian ini), sedangkan nilai pesentase bahan organik diperoleh dengan mengurangi nilai 100% (total % berat gambut) dengan persentase abu (%abu). Untuk mengkonversi nilai/berat gambut yang hilang menjadi berat karbon yang hilang dapat dihitung dengan cara mengalikan nilai berat gambut yang hilang tersebut dengan persentase karbon (%C-organik) pada masing-masing gambut tersebut. Hasil prediksi menemukan bahwa besarnya karbon yang hilang selama periode waktu 8 bulan setelah pemupukan (November 2008 – Agustus 2009) secara berturut-turut adalah 1,53; 1,81; 2,01; 2,51 dan 3,27 kg C m-2 atau setara dengan 22,95; 27,15; 30,15; 37,65 dan 49,05 ton C ha-1 th-1 masing-masing pada lokasi kajian kelapa sawit II di desa Suak Raya, hutan di desa Simpang, semak di desa Simpang, karet di desa Simpang, dan kelapa sawit I di desa Suak Raya. Apabila nilai kehilangan karbon ini dikonversi menjadi CO 2 yang diemisikan, maka diperoleh nilai sebesar 84,2; 99,64; 110,65; 138,18; dan 180,01 ton CO 2 ha-1 th-1, masing-masing pada lokasi lahan kelapa sawit II di desa Suak Raya, hutan di desa Simpang, semak di desa Simpang, karet di desa Simpang, dan kelapa sawit I di desa Suak Raya. Jadi, terlihat jelas bahwa pemupukan menyebabkan kehilangan karbon dan emisi CO 2 pada lahan gambut yang didrainase jauh lebih besar dibandingkan kehilangan karbon akibat terdekomposisi karena kondisi aerob saja (22,95 – 49,05 ton C ha-1 th-1 pada pemupukan berbanding 0,65 – 13,11 ton C ha-1 th-1 pada kondisi tidak dipupuk)
103 4, Kehilangan karbon akibat kebakaran hutan pada lahan gambut yang didrainase Kebakaran lahan gambut lebih berbahaya dibandingkan kebakaran pada lahan kering (tanah mineral). Selain terbakarannya vegetasi di permukaan, lapisan serasah dan gambut juga ikut terbakar dan bahkan api dapat bertahan lama, disamping itu juga menghasilkan asap tebal akibat terjadinya pembakaran taksempurna. Limin et al. (2000) menyatakan bahwa pada kasus kebakaran hutan gambut, ke dalaman lapisan gambut yang terbakar rata-rata 2,03 cm (bervariasi antara 0 – 42,3 cm) bahkan pada tempat-tempat tertentu lapisan gambut yang terbakar dapat mencapai 100 cm. Untuk menghitung besarnya kehilangan karbon akibat terbakarnya hutan pada ekosistem gambut, telah didekati dengan membandingkan parameter sifat-sifat tanah yaitu bulk density (BD) dan kadar abu pada permukaan tanah (lapisan 0- 5) antara hutan alami dan hutan yang baru terbakar. Pengambilan sampel tanah dilaksanakan di desa Cot Gajah Mati, kecamatan Arongan Lambalek, dan Desa Simpang, kecamatan Kaway XVI, kabupaten Aceh Barat pada bulan Agustus 2009. Pada kedua lokasi pengamatan, kejadian kebakaran hutannya adalah pada bulan Juli 2009. Hasil penentuan BD dan kadar abu dari masing-masing lokasi pengamatan disajikan dalam Tabel 22, dan hasil iji T-test berat kadar abu antara hutan terbakar dan hutan alami disajikan pada Tabel 23. Berat atau kandungan abu dari lapisan permukaan tanah (0 - 5 cm) pada lokasi bekas kebakaran hutan dan hutan alami di desa Simpang dan desa Cot Gajah Mati dievaluasi, dengan cara mengalikan bobot isi (BD) dengan persentase abu (% abu). Hasil evaluasi rata-rata berat abu pada lapisan permukaan lahan (0 5 cm) di desa Simpang adalah 0,0118 gr cm-3 dan 0,0019 gr cm-3 masing-masing secara berurutan untuk areal bekas kebakaran hutan dan hutan alami. Sedangkan pada lokasi desa Cot Gajah Mati, kadar abu pada lahan bekas kebakaran hutan adalah 0,0543 gr cm-3, dan 0,0216 gr cm-3pada lahan hutan alami (Tabel 19). Hasil uji T-test menunjukkan bahwa rata-rata kadar abu permukaan tanah (0 – 5 cm) pada lokasi bekas kebakaran hutan nyata lebih tinggi dibandingakan dengan hutan alami. Data menunjukkan bahwa, pada area bekas kebakaran hutan di desa Simpang, kandungan abu pada lapisan permukaan lahan (0 – 5 cm) lebih banyak
104 sebesar 0,0099 gr cm-3 dibandingkan hutan alami, sedangan pada desa Cot Gajah Mati, berat abu pada area bekas kebakaran hutan nyata lebih tinggi sebanyak 0,0327 gr cm-3 dibandingkan hutan alami. Peningkatan kadar abu gambut pada areal bekas kebakaran hutan diasumsikan berasal dari bahan mineral yang tersimpan dalam bahan organik gambut dan biomassa tanaman yang terbakar.
Tabel 22. Perbandingan nilai BD, % kadar abu, dan berat abu pada permukaan gambut 0 - 5 cm antara hutan alami dengan hutan terbakar di desa Simpang dan desa Cot Gajah Mati
Ulangan
BD
BD
Abu
Abu
Abu
Abu
Hutan alami
Hutan terbakar
Hutan alami
Hutan terbakar
Hutan alami
Hutan terbakar
(gr cm-3)
(gr cm-3)
(%)
(%)
(gr cm-3)
(gr cm-3)
Desa Simpang 1
0,06
0,09
2,41
9,03
0,0015
0,0081
2
0,07
0,16
2,75
11,86
0,0020
0,0190
3
0,08
0,15
3,09
8,70
0,0025
0,0131
4
0,07
0,25
2,26
3,58
0,0016
0,0090
5
0,07
0,10
2,87
9,68
0,0020
0,0097
Rataan
0,07
0,15
2,676
8,57
0,0019
0,0118
Desa Cot Gajah Mati 1
0,19
0,19
10,19
17,05
0,0194
0,0324
2
0,18
0,30
10,45
17,75
0,0188
0,0533
3
0,17
0,28
14,70
18,57
0,0250
0,0520
4
0,22
0,33
10,39
23,92
0,0229
0,0789
5
0,19
0,29
11,43
18,89
0,0217
0,0548
0,19
0,278
11,432
19,236
0,0216
0,0543
Rataan
Kebakaran gambut dan biomassa tanaman yang tumbuh di atasnya menyebabkan bahan organik teroksidasi menjadi bentuk gas terutama CO 2 yang diemisikan ke atmosfer. Bahan mineral yang terkandung dalam gambut dan
105 biomassa tanaman menjadi terakumulasi pada lapisan permukaan gambut yang terbakar, sehingga meningkatkan kadar abu atau mineral lapisan permukaan gambut.
Tabel 23. Hasil uji T-tes rata-rata berat abu pada permukaan tanah pada hutan alami dan hutan terbakar di desa Simpang dan desa Cot Gajah Mati Penggunaan lahan
N Ratarata
Std, Deviasi
Std, Error
Keragaman
T
DF Prob>|T|
Variabel: Berat abu pada lokasi di desa Simpang Hutan Alami
5
0,0019 0,0003
0,00012
Unequal
-3,1717
4,0
0,0338
Hutan Terbakar 5
0,0118 0,0105
0,00468
Equal
-3,1717
8,0
0,0132
Untuk H0: Variances are equal, F' = 1502,53 DF = (4,4) Prob>F' = 0,0000
Variabel: Berat abu di desa Cot Gajah Mati
Hutan Alami
5
0,0216 0,0063
0,00283
Unequal
-2,8910
4,7
0,0370
Hutan Terbakar 5
0,0543 0,0209
0,00935
Equal
-2,8910
8,0
0,0202
Untuk H0: Variances are equal, F' = 10,91 DF = (4,4) Prob>F' = 0,0399
Dengan menggunakan asumsi bahwa kelebihan berat abu pada lokasi bekas hutan terbakar dibandingkan hutan alami adalah berasal dari bahan mineral atau sisa bahan (gambut, pohon, semak dan serasah) yang ada pada permukaan lahan gambut sebelum terbakar, maka berat bahan atau material (pohon, gambut, semak dan serasah) yang terbakar dapat diprediksi. Dari hasil analisa laboratorium, diperoleh bahwa rata-rata kadar abu yang berasal dari campuran bahan gambut, biomassa pohon dan semak belukar, serta serasah pada kedua lokasi pengamatan adalah 2,65% untuk penggunaan lahan hutan alami di desa Simpang dan 5,84% untuk Cot Gajah Mati. Berdasarkan data kandungan abu (bahan mineral) yang berasal dari material yang terbakar, dapat diprediksi berat rata-rata bahan organik yang terbakar dalam peristiwa kebakaran hutan, yaitu
106 dengan cara membagi kelebihan berat abu (berat abu lahan pada hutan terbakar – berat abu lahan hutan alami) dengan rata-rata kadar abu (%abu) dalam material gabungan antara pohon, gambut, semak dan serasah. Berdasarkan ini, pada kejadian kebakaran hutan di desa Simpang bulan Juli 2009, berat kering material gabungan antara pohon, gambut, semak dan serasah yang terbakar dapat diprediksi yaitu: (0,0099 gr cm-3) x (50000 cm-3 = volume tanah 1 m2 dan ke dalaman 5 cm) : (2,65% atau 2,65:100) = 18679,25 gr m-2, sedangkan untuk kejadian kebakaran hutan di desa Cot Gajah Mati, berat bahan kering material gabungan antara pohon, gambut, semak dan serasah yang terbakar pada saat kejadian kebakaran hutan bulan Juli 2009 diprediksi yakni: (0,0327 gr cm-3) x (50000 cm-3 = volume tanah 1 m2 dan ke dalaman 5 cm) : (5,84% atau 5,84:100) = 27996,58 gr m-2. Dari hasil analisa laboratorium terhadap material gabungan antara pohon, gambut, semak dan serasah diperoleh rata-rata kandungan karbon (%C) adalah 49,34% untuk penggunaan lahan hutan di desa Simpang dan 47,64% untuk penggunaan lahan hutan di desa Cot Gajah Mati masing-masing dari total berat kering bahan. Dari data-data yang telah diperoleh ini, besar karbon yang hilang atau diemisikan akbibat kejadian kebakaran hutan dapat dihitung, yakni dengan cara mengalikan total berat kering material gabungan antara pohon, gambut, semak dan serasah yang terbakar dengan nilai persentase kandungan karbonnya (%C). Dalam hal ini, jumlah karbon yang hilang atau diemisikan pada kejadian kebakaran hutan di desa Simpang bulan Juli 2009 adalah: 18679,25 gr C m-2 x (49,34 : 100) = 9216,34 gr C m-2 atau setara dengan 92,16 ton C ha-1, sedangkan jumlah karbon yang hilang atau diemisikan pada kejadian kebakaran hutan di desa Cot Gajah Mati pada bulan Juli 2009 adalah: 27996,58 gr C m-2 x (47,64 : 100) = 13337,57 gr C m-2 atau setara dengan 133,38 ton C ha-1. Turetsky dan Wieder (2001) juga pernah menghitung kehilangan karbon pada satu kali kejadian kebakaran lahan gambut di dekat Patuanak, Canada bagian barat, menggunakan metode hampir sama dengan kajian ini yaitu dengan cara membandingkan kadar abu antara lahan yang terbakar dengan yang tidak terbakar, hasilnya mendapatkan bahwa total karbon yang hilang akibat satu kali kejadian kebakaran lahan gambut adalah 2,2 ± 0,5 kg C m–2.
107 Telah diketahui bahwa berat atom karbon (C) adalah 12, dan berat atom oksigen (O) adalah 16, maka berat molekul CO 2 adalah 12 + (16 x 2) = 44. Maka, untuk mengkonversi C menjadi bentuk CO 2 diperlukan faktor konversi yang nilainya adalah 44: 12 = 3,67. Berdasar nilai konversi ini, besarnya gas CO 2 yang diemisikan ke atmosfer pada saat kejadian kebakaran hutan gambut pada bulan Juli 2009 di desa Simpang adalah besarnya karbon yang terbakar yaitu 92,16 ton ha-1 x 3,67 = 338,23 ton CO 2 ha-1, sedangkan pada saat kejadian kebakaran hutan bulan Juli tahun 2009 di desa Cot Gajah Mati perkiraan besarnya gas CO 2 yang diemisikan adalah 133,38 ton C ha-1 x 3,67 = 489,50 ton CO 2 ha-1. Dari hasil kajian terlihat bahwa kejadian kebakaran hutan di desa Cot Gajah Mati mengemisikan karbon 1,45 kali atau 45% lebih besar dibandingakn dengan karbon yang hilang pada kebakaran hutan di desa Simpang. Hal ini diperkirakan terjadi karena adanya perbedaan jenis dan komposisi vegetasi yang tumbuh pada masing-masing lokasi. Keragaan kondisi hutan alami dan sesudah kejadian kebakaran dari kedua lokasi kajian (desa Simpang dan desa Cot Gajah Mati) disajikan dalam Gambar 28. Hasil observasi menunjukkan bahwa peristiwa kebakaran hutan bulan Juli 2009 di desa Simpang dan desa Cot Gajah Mati telah menghanguskan semua lapisan serasah (bandingkan Gambar 28 c dengan d, dan Gambar 28 g dengan h) dan vegetasi semak-semak (Gambar 28 b dan f), Namun demikian, terlihat ada perbedaan pada vegetasi pohon, yang mana terlihat pohon-pohon di desa Simpang masih banyak yang berdiri tegak dan tidak terbakar (Gambar 28 b), sedangkan pohon-pohon di desa Cot Gajah Mati sebagian besar ikut terbakar dan rubuh (Gambar 28 f), Hal ini diperkirakan disebabkan oleh karena pohon-pohon di desa Simpang (didominasi kayu lhon) yang sangat keras (BD = 0,91 gr cm-3) sehingga lebih sulit terbakar dibandingkan jenis pohon di desa Cot Gajah Mati yang mempunyai BD lebih rendah yakni 0,61 gr cm-3. Lebih banyaknya pohon yang terbakar pada hutan di Cot Gajah Mati dibandingkan hutan di desa Simpang inilah yang diperkirakan sebagai penyebab lebih besarnya kehilangan karbon di desa Cot Gajah Mati dibandingkan yang terjadi di desa Simpang.
108
Keterangan: (a) hutan alami di desa Simpang, (b) hutan setelah terbakar di desa Simpang, (c) permukaan tanah hutan alami di desa Simpang, (d) permukaan tanah hutan setelah terbakar di desa Simpang, (e) hutan alami di desa Cot Gajah Mati; (f) hutan setelah terbakar di desa Cot Gajah Mati, (g) permukaan tanah hutan alami di desa Cot Gajah Mati, (h) permukaan tanah hutan setelah terbakar di desa Cot Gajah Mati
Gambar 28. Keragaan kondisi hutan alami dan kondisi hutan setelah terbakar 5. Kehilangan karbon pada lahan gambut terbawa aliran air drainase Salah satu bentuk kehilangan karbon dari lahan gambut yang didrainase adalah yang terlarut dan terbawa bersama aliran air drainase. Untuk pengkajian hal tersebut, telah dilaksanakan pengukuran debit air saluran drainase dan konsentrasi karbon terlarut dalam air pada berberapa lokasi di kabupaten Aceh Barat. Data debit dan kelarutan karbon dalam air dari berbagai lokasi kajian disajikan dalam Tabel 24. Hasil pengamatan menunjukkan
bahwa jumlah karbon yang terlarut
dalam air drainase dari berbagai penggunaan lahan bervariasi antara 70 sampai 280 gr C m-3 air, sedangkan debit air yang mengalir dalam saluran drainase juga bervariasi antara 0,07 – 0,68 m3 jam-1. Hasil analisis anova dan uji lanjut LSD menunjukkan bahwa karbon yang terlarut dalam air drainase berbeda berdasarkan lokasi, Karbon terlarut dalam saluran drainase paling tinggi detemukan di desa Cot Gajah Mati dan yang terendah di desa Simpang. Menurut hasil penelitian
109 Sapek et al, (2007) kandungan karbon terlarut dalam saluran drainase pada lahan gambut di Polandia adalah sebesar 19 mg dm-3 air. Tabel 24. Debit air saluran drainase dan konsentrasi karbon dalam air pada beberapa lokasi lahan gambut yang didrainase Lokasi Saluran
C terlarut
C hilang
Dominasi penggunaan
Debit
dalam air
(kg jam-
lahan
(m3 jam-1)
(gr m-3)
1
)
Desa Simpang
Hutan, semak dan karet
2257,2 a
70,0 a
158,00 b
Desa Suak Raya I
Kelapa sawit dan karet
414,0 bc
85,0 b
35,19 c
Desa Suak Raya II
Kelapa sawit
273,6 c
90,0 bc
24,62 d
Desa Suak Puntong
Kelapa sawit
435,6 bc
100,0 c
43,56 c
Desa Cot Gajah Mati
Kelapa sawit
640,8 b
280,0 d
179,42 a
Catatan: Angka angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut LSD pada taraf nyata 5%
Dari Tabel 21 menunjukkan bahwa apabila lahan gambut didrainase, maka kehilangan karbon tidak hanya terjadi karena diemisikan menjadi CO 2 ke atmosfer akibat proses dekomposisi gambut, tetapi juga hanyut terbawa air drainase. Besarnya karbon yang hanyut terbawa drainase dipengaruhi oleh debit air drainase dan konsentrasi karbon terlarut dalam air drainase tersebut. Bagaimanapun, pengaruh konsentrasi karbon terlarut dalam air drainase terhadap kehilangan karbon terlihat lebih dominan dibandingkan pengaruh debit air drainase. Sebagai contoh, terlihat bahwa debit air di desa Cot Gajah Mati adalah 0,178 m3 det-1, nilai ini nyata lebih rendah dibandingkan dengan debit air di desa Simpang yaitu 0,627 m3 det-1, namun kehilangan karbon per kejadian waktu (jam) di desa Cot Gajah Mati terlihat lebih tinggi 13,5% dibandingkan di desa Simpang, yang mana karbon yang hilang bersama aliran air drainase di desa Cot Gajah Mati adalah 179,42 kg jam-1 dan di desa Simpang sebesar 158,00 kg jam-1(Tabel 24).
110 Perbedaan Antara Kehilangan dan Akumulasi Karbon Pada Lahan Gambut Tropika yang Didrainase Untuk Tanaman Tahunan
Perbedaan antara kehilangan dengan akumulasi karbon dapat dijadikan sebagai salah satu cermin kualitas tata kelola dalam satu hamparan lahan. Berdasarkan pada data yang dipublikasikan Joeni et al. (2005) bahwa total guguran serasah di hutan gambut tropika alami yaitu di Klampangan adalah 9,12 ± 0,03 ton ha-1 th-1, yang berasal dari guguran daun (65,69%), ranting (17,30%) , lain-lain (7,85%), batang (6,72%) dan buah/bunga (2,45%). Berdasarkan kajian ini diperoleh rata-rata kandungan karbon serasah hutan adalah 50%, maka dapat diperkirakan besarnya masukan karbon yang berasal dari serasah hutan setiap tahunnya yaitu: 50% x 9,12 ton ha-1 th-1 = 4,56 ton ha-1 th-1. Oleh karena sebagian dari serasah tersebut juga terdekomposisi yaitu sekitar 62% th-1 (Joeni et al., 2005) maka besarnya karbon yang terakumulasi dari guguran serasah di hutan gambut tropika setiap tahunnya adalah sekitar 1,73 ton ha-1 th-1. Untuk masingmasing lokasi kajian ini khususnya pada jenis penggunaan lahan kebun kelapa sawit juga dapat diprediksi besarnya akumulasi karbon setiap tahunnya yaitu: a) di desa Suak Raya, dengan produksi biomassa segar sekitar 2700 – 3500 gr m-2 dalam periode waktu 4 bulan, dengan kadar air sekitar 80% dan kandungan karbon rata-rata 50% dan tingkat dekomposisi 56% th-1 diperoleh akumulasi karbon dari pangkasan biomassa tersebut sekitar 1,16 ton C ha-1 th-1, dan dari biomassa pangkasan pelepah/daun sekitar 0,27 ton C ha-1 th-1. b) di desa Suak Puntong, dengan produksi biomassa segar sekitar 3100 – 5100 gr m-2 dalam periode waktu 6 bulan, dengan kadar air sekitar 80% dan kandungan karbon ratarata 50% dan tingkat dekomposisi 71% th-1 diperoleh akumulasi karbon dari pangkasan biomassa tersebut sekitar 1,77 ton C ha-1 th-1 dan dari biomassa pangkasan pelepah/daun sekitar 0,36 ton C ha-1 th-1. c) di desa Cot Gajah Mati, karena menajemen yang diterapkan oleh petani setempat yaitu membakar pangkasan biomassa pada lahan, sehingga tidak ada terjadi akumulasi karbon pada lahan. Khusus untuk penggunaan lahan kebun karet di desa Simpang dan desa Suak
Raya
belum
dapat
diprediksi
karbon
yang
terakumulasi
dari
biomassa/serasah yang jatuh ke permukaan lahan, karena petani tidak melakukan pemangkasan gulma dan data produksi serasah yang jatuh kepermukaan lahan
111 setiap tahunnya tidak tersedia. Berdasarkan data kandungan, kehilangan dan akumulasi karbon yang telah di tampilkan dan dibahas terdahulu dapat diperkirakan kondisi dinamika karbon sederhana (hanya berdasarkan data akumulasi dan kehilangan karbon) pada masing-masing lokasi kajian, yang disajikan pada Tabel 25.
Tabel 25. Perbedaan antara kehilangan dan akumulasi karbon pada masingmasing lokasi kajian Kehilanga n C
Akumulas iC
(ton ha-1 th-1)
(ton ha-1 th-1)
Cot Gajah Mati
3,84
Cot Gajah Mati
Lokasi/ Desa
Keseimbanga nC (ton ha-1 th-1)
Penggunaan lahan
Umur tanama n (tahun)
1,73
-2,11
Hutan terganggu
-
13,106
0
-13,11
Kelapa sawit I
1
Cot Gajah Mati
8,46
0
-8,46
Kelapa sawit II
1
Simpang
3,446
1,73
-1,72
Hutan
-
Simpang
0,651
-
-
Karet
15
Simpang
8,554
-
-
Semak I
-
Simpang
8,974
-
-
Semak II
-
Suak Puntong
10,594
2,13
-8,46
Kelapa sawit I
10
Suak Puntong
11,074
2,13
-8,94
Kelapa sawit II
10
Suak Raya
1,586
-
-
Karet
15
Suak Raya
6,874
1,43
-5,44
Kelapa sawit I
15
Suak Raya
1,183
1,43
0,25
Kelapa sawit II
15
Keterangan: (-) tidak tersedia data yang lengkap Kehilangan karbon pada lahan gambut yang didrainase tidak dapat dihindarkan. Secara umum, terjadi neraca karbon yang negatif (kehilangan lebih besar dari akumulasi) pada lahan gambut yang didrainase (Tabel 25). Namun terlihat bahwa di desa Suak Raya terjadi neraca karbon yang positif yaitu +0,25 ton ha-1 th-1 pada penggunaan lahan kebun kelapa sawit II. Hal ini mengindikasikan bahwa pada lahan gambut dangkal yang didrainase dan digunakan untuk perkebunan kelapa sawit, dengan pengelolaan biomassa dikembalikan atau dibiarkan tetap berada di lahan, setelah tanaman berumur 15
112 tahun dapat mengakumulasikan karbon. Hal yang sama juga terindikasi pada perkebunan karet yang telah berumur 15 tahun di lahan gambut yang didrainase yang mana kehilangan karbon akibat terdekomposisi hanya sekitar 0,651 - 1,586 ton ha-1 th-1, namun karena tidak tersedia data produksi serasah yang jatuh ke lahan setiap tahunnya, maka nilai neraca karbon pada perkebunan karet di lahan gambut yang real belum dapat diketahui. Pada kajian ini terlihat bahwa terjadi defisit neraca karbon pada lahan hutan di lokasi kajian yaitu berkisar antara 1,72 – 2,11 ton ha-1 th-1(Tabel 25). Data ini terlihat sejalan dengan skenario yang dikemukakan Bahruni (2010) yang mana terjadi defisit neraca karbon hutan Indonesia pada tahun 2008 dan 2009 (saat kajian ini dilaksanakan) berkisar antara 31 – 52 juta ton atau rata-rata 41,5 juta ton. Kondisi ini diperkirakan bisa terjadi sesuai dengan kesimpulan Anonim (2010a) yang mana dalam mitigasi perubahan iklim, hutan berperan dalam waktu terbatas, karena pada hutan klimaks stok karbon relatif stabil, penyerapannya sangat kecil, dibandingkan tegakan muda. Pada hutan yang dikelola secara lestari stok karbon dapat dianggap konstan, kecuali ada gangguan deforestasi dan degradasi yang mengancam emisi dari stok karbon hutan tersebut. Perkebunan kelapa sawit dan/atau karet pada lahan gambut diasumsikan selama ini mengemisikan karbon yang besar ke atmosfer karena adanya drainase lahan untuk pertumbuhannya. Sebagai contoh, skenario sekali siklus perkebunan kelapa sawit di lahan gambut seperti yang dikemukakan Agus (2007) yaitu untuk kebun sawit yang mempunyai ke dalaman drainase rata-rata 80 cm, terjadi emisi CO 2 sekitar 73 ton ha-1 th-1 atau 1820 ton ha-1 25 tahun, jadi net emisi CO 2 selama 25 tahun (dengan memperhitungkan penambatan CO 2 sebanyak 367 ton ha-1 selama 25 tahun) adalah sekitar 1453 ton ha-1. Hasil kajian menemukan bahwa tidak selalu emisi karbon dari perkebunan kelapa sawit dan/atau karet di lahan gambut mengemisikan karbon lebih besar dari hutan (Tabel 25). Hal ini sangat tergantung pada kondisi lahan dan vegetasi yaitu: ke dalaman muka air tanah, umur drainase, umur tanaman dan pengelolaan (biomassa dan pemupukan) pada lahan gambut).
PEMBAHASAN UMUM
Metoda penentuan cadangan karbon pada lahan gambut Akhir-akhir ini banyak metode, alat dan formula yang digunakan untuk menentukan atau memprediksi cadangan ataupun dinamika keseimbangan karbon pada lahan gambut, namun ironisnya hasilnya sangat bervariasi antara masingmasing metode, alat dan formula tersebut. Tersedianya data kandungan karbon (% C) dan BD yang representatif dari lahan gambut merupakan informasi penting yang dapat digunakan untuk memprediksi nilai cadangan, kehilangan atau emisi dan dinamika karbon dari lahan tersebut. Dari kajian ini, diperoleh informasi penting bahwa metode dan alat yang digunakan untuk menghitung cadangan dan/atau emisi karbon pada lahan gambut tropika harus akurat, karena apabila terjadi variasi data yang kecil saja sudah menimbulkan bias yang besar apabila dikonversi kedalam bentuk cadangan dan/atau emisi karbon dalam satu hamparan penggunaan lahan. Sebagai contoh, variasi nilai pengukuran bulk density (BD) sebesar 0,001 gr cm-3 dapat menyebabkan bias berat material gambut sebesar 10 ton ha-1 untuk setiap 1 m ketebalan gambut. Hasil kajian pengukuran BD gambut dengan beberapa jenis alat menunjukkan bahwa nilai BD tanah gambut yang diperoleh berkorelasi positif sangat kuat antara satu alat dengan alat yang lainnya (r > 0,65). Penggunaan bor gambut untuk mengambil sampel utuh (undisturb) tanah gambut adalah merupakan alat yang umum dan praktis digunakan saat ini. Namun demikian, terlihat bahwa menggunakan bor gambut untuk mengambil sampel utuh tanah gambut ternyata menghasilkan nilai BD lebih tinggi (overestimates) sekitar 14% dibandingkan dengan alat yang dianggap representatif mengukur BD tanah gambut yaitu kotak sampel ukuran 50 cm panjang x 50 cm lebar x 10 cm tinggi. Berdasarkan hal ini, untuk mendapatkan nilai BD gambut yang representatif pada pengukuran menggunakan bor gambut, perlu dilakukan revisi atau koreksi terhadap data BD yang diperoleh, yaitu dengan cara membagi data tersebut dengan konstanta yaitu 1,136. Dari hasil analisis korelasi dan regresi antara hasil penetapan persen bahan organik (% BO) dengan metoda Loss on Ignition (LOI) dan penetapan persen karbon organik (% C-organik) dengan metoda Walkley dan Black terhadap sampel
114 tanah gambut tropika menunjukkan bahwa nilai % BO berkaitan erat dengan nilai % C-organik (R2 = 0,6185). Hasil yang serupa dengan kajian ini juga telah dikemukakan oleh beberapa peneliti, seperti yang dirangkum oleh Pribyl (2010) yang mana korelasi antara metoda LOI dan Walkley dan Black memiliki koefisien korelasi yang sangat kuat (r2 > 0,90). Namun demikian, terlihat bahwa apabila menggunakan faktor konversi yang umum digunakan saat ini yaitu 1,724 untuk mengkonversi nilai % BO yang diperoleh dari metoda LOI menjadi % C-organik atau sebaliknya dari nilai % C-organik metoda Walkley dan Black menjadi % BO memberikan bias sekitar 12%, yang mana apabila menggunakan faktor konversi 1,724: nilai % C-organik yang diperoleh dari hasil konversi data % BO metoda LOI lebih tinggi (overestimates) sekitar 12% dibandingkan hasil yang diperoleh secara langsung dari metoda Walkley dan Black, dan begitu pula sebaliknya nilai prediksi % BO yang diperoleh dari konversi data % C-organik metode Walkley dan Black lebih rendah (underestimates) sekitar 12% dibandingkan dengan nilai yang diperoleh dari metode LOI secara langsung. Menurut Pribyl (2010) metode Loss on Ignition adalah metoda yang cepat dan relatif murah digunakan untuk mengestimasi bahan organik secara langsung, sedangkan penggunaan metoda Walkley dan Black untuk mengestimasi kandungan bahan organik memiliki tiga sumber penyimpangan yaitu: a) penyimpangan akibat dari prosedurnya sendiri, b) penggunaan faktor koreksi untuk menghitung bahan organik yang tidak seluruhnya terbakar (digestion), dan c) faktor konversi yang digunakan untuk mengestimasi bahan organik dari nilai kandungan karbon. Selanjutnya ditegaskan oleh Pribyl (2010) bahwa akurasi faktor konversi untuk mengestimasi % BO dan/atau % C-organik tergantung pada akurasi metode yang digunakan untuk mengukur % BO dan % C-organik tersebut. Underestimtaion nilai % BO terjadi apabila faktor konversi % C-organik menjadi % BO terlalu rendah, dan overestimation terjadi apabila nilai faktor konversi terlalu tinggi. Dari hasil evaluasi terhadap data hasil kajian ini diperoleh nilai faktor konversi baru yaitu 1,922 untuk mengkonversi % BO menjadi % C-organik atau sebaliknya dari % Corganik menjadi % BO untuk tanah gambut tropika. Kelebihan lain dari metode LOI adalah hasil atau data yang diperoleh lebih banyak yaitu data % BO dan % C-organik dan juga sekaligus dapat diperoleh data
115 kadar abu (mineral) yang terkandung dalam material gambut tersebut, sedangkan dari metode Walkley dan Black yang dapat diperoleh hanya data % C-organik dan % BO. Hal ini didasarkan pada prinsip dasar metode LOI adalah berat material gambut yang hilang akibat pembakaran dapat diasumsikan sebagai bahan organik yang terkandung dalam meterial gambut tersebut dan berat material yang tersisa (kadar abu) adalah berat total bahan mineralnya (Pribyl, 2010). Tersedianya data kadar abu, % C dan BD yang representatif dari lahan gambut dapat digunakan untuk mengestimasi nilai kandungan dan/atau emisi karbon dari lahan tersebut. Hasil kajian menunjukkan bahwa estimasi emisi CO 2 secara langsung dengan metoda chamber terlihat tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dibandingkan dengan hasil estimasi menggunakan data peningkatan kadar abu (metode LOI). Hasil ini sejalan dengan hasil kajian Gronlund et al. (2008) yang mana telah menggunakan data kadar abu gambut untuk mengestimasi kehilangan karbon dan membandingkannya dengan pengukuran fluks CO 2 dari lahan gambut yang diolah untuk usaha pertanian, khususnya pada lahan gambut yang dipupuk di Norwegia hasilnya juga tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata. Turetsky dan Wieder (2001) juga telah menggunakan data kadar abu untuk menghitung kehilangan bahan organik akibat kebakaran hutan gambut di Kanada. Berkaitan dengan hal ini, dapat disimpulkan bahwa metoda LOI efektif dan effesien digunakan untuk mengestimasi kandungan bahan organik, kadar mineral (abu) dan karbon gambut, karena relatif cepat dan biaya lebih murah dibandingkan metode Walkley dan Black.
Cadangan dan kehilangan karbon gambut tropika serta permasalahannya Lahan gambut tropika seperti di Indonesia, mempunyai kapasitas penyimpanan karbon yang sangat tinggi (3-6 kali lebih tinggi daripada lahanlahan gambut di daerah beriklim sedang). Hasil kajian menemukan bahwa ketebalan gambut tropika di Aceh Barat dapat mencapai lebih dari 10 m dengan cadangan karbon yang tersimpan dapat mencapai lebih dari 3105,08 ton C ha-1 yang mana 91,52% tersimpan dalam material gambut, 7,61% dalam biomassa pohon, 0,55% dalam serasah dan 0,32% dalam biomassa semak (belowground biomass). Pada perkebunan yang sudah produktif di lahan gambut seperti Karet
116 cadangan karbon yang tersimpan pada vegetasi pohon yang dibudidayakan di atas lahan gambut dapat mencapai 165 ton ha-1. Namun demikian, pada beberapa bagian lahan gambut di Indonesia khususnya di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam terlihat lahan gambut tersebut telah banyak yang didrainase dan dikonversi menjadi penggunaan lain, diantaranya adalah untuk pengembangan tanaman tahunan seperti karet dan kelapa sawit, bahkan ada yang dibiarkan terlantar ditumbuhi oleh semak belukar. Meski mempunyai peran penting dalam menjaga lingkungan dari ancaman pemanasan global, lahan gambut tropika di Indonesia khususnya yang ada di propinsi Nanggroe Aceh Darussalam bagian barat masih terus mendapat tekanan berat untuk dibuat saluran drainase dan dikonversi. Terjadinya alih guna hutan gambut alami dapat berdampak menurunkan cadangan karbon tersimpan pada ekosistem gambut tersebut. Hal ini dapat terjadi karena total karbon yang tersimpan pada biomassa hutan, semak serta serasah pada kondisi penggunaan lahan hutan yang mencapai 152,51 – 263,38 ton C ha-1 atau sekitar (8,48 – 18,54%) dari total cadangan karbon yang tersimpan pada kondisi hutan, diprediksi akan hilang kalau hutan gambut tersebut dikonversi. Pada sisi lain, pembuatan drainase pada lahan gambut juga dapat menyebabkan terganggunya sistem hidrologis secara keseluruhan khususnya kondisi kedalaman muka air tanah (water table). Penurunan muka air tanah setelah lahan gambut didrainase dapat menyebabkan teremisinya karbon khususnya CO 2 dari lahan gambut tersebut, sehingga dapat berdampak negatif terhadap lingkungan sekitar dan global. Hasil kajian menemukan bahwa penurunan permukaan air tanah pada lahan gambut tropika yang didrainase di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dapat mencapai kedalaman -120 cm dari permukaan tanah.. Besar atau kecilnya penurunan permukaan air tanah pada lahan gambut yang didrainase terlihat sangat dipengaruhi oleh jarak lokasi dari saluran drainase, yang mana secara umum terlihat bahwa semakin jauh lokasi dari saluran drainase kedalaman muka air tanah semakin dangkal (dekat permukaan tanah), mengikuti pola persamaan logaritmik. Hasil penelitian Andrie et al. (2010) pada lahan gambut tropika di Kalimantan juga menemukan bahwa semakin dekat dengan saluran drainase kedalaman muka air tanah letaknya jauh dari permukaan tanah dan semakin jauh
117 dari saluran drainase kedalaman muka air tanah letaknya dekat dengan permukaan tanah. Menurut Couwenberg (2009) drainase bertujuan untuk menurunkan muka air tanah dan/atau mengeringkan permukaan tanah, turunnya muka air tanah menyebabkan gambut teroksidasi, sehingga mengakibatkan banyak material gambut dan karbon hilang karena terdekomposisi, akibatnya cadangan karbon menjadi
berkurang
dan
sekaligus
terjadi
penurunan
permukaan
tanah
(subsidence). Berkaitan dengan hal ini, terlihat jelas bahwa pada lahan gambut yang didrainase untuk tanaman tahunan manajemen pengelolaan kedalaman muka air tanah sangat diperlukan, agar tanaman dapat tumbuh dan berkembang dengan baik dan disisi lain kehilangan karbon akibat dekomposisi material gambut dapat direduksi. Dari hasil kajian ditemukan bahwa akibat penurunan muka air tanah maksimum (kondisi musim kemarau) yang berkisar antara 39 – 120 cm, menyebabkan terjadinya subsidence berkisar antara 1,1 – 9,2 cm, kejadian subsidence sebesar ini akibat dari telah teremisi karbon berkisar antara 0,651 – 13,106 ton C ha-1 atau setara 2,391 – 48,098 ton CO 2 ha-1 th-1 dan akibat dari pemadatan material gambut selama periode waktu 14 bulan. Dari hasil kajian juga ditemukan indikasi bahwa kejadian subsidence pada lahan gambut tropika yang didrainase bervariasi sesuai dengan: a) variasi umur saluran drainase (umur drainase 1-3 tahun subsidence lebih besar dari umur saluran > 3 tahun), b) jarak dari saluran drainase (semakin dekat saluran drainase subsidence semakin besar), dan c) manajemen pengelolaan lahan khususnya pemupukan melalui tanah pada lahan gambut (pemupukan nyata meningkatkan kehilangan karbon dan subsidence). Tergambar jelas bahwa pada lahan gambut yang dialih fungsikan dan didrainase untuk usaha pertanian, perkebunan dan penggunaan lainnya menyebabkan kejadian kehilangan karbon dan subsidence tidak dapat dihindari. Berdasarkan hasil kajian ini, diperkirakan untuk tahun-tahun selanjutnya pada lahan gambut yang didrainase dan diusahakan untuk pengembangan pertanian dan perkebunan khususnya untuk tanaman tahunan kejadian kehilangan karbon dan penurunan permukaan tanah akan terus berlanjut, karena untuk mendapatkan kondisi lahan yang dapat mendukung pertumbuhan tanaman yang optimal diperlukan upaya penurunan kedalaman muka air tanah menyebabkan banyak
118 material gambut yang berada dalam kondisi aerob dan berpotensi menyebabkan kehilangan karbon. Usaha pertanian dan/atau perkebunan di lahan gambut tidak bisa dilepaskan dari manajemen pemupukan, pengelolaan tata air dan pengendalian gulma. Pemberian pupuk dan pembakaran gulma yang umum dilaksanakan pada usaha pertanian/perkebunan pada lahan gambut juga ditemukan sebagai faktor yang berkontribusi besar dalam meningkatkan kehilangan karbon. Data dari hasil kajian ini memperlihatkan bahwa ditemukan berbagai macam penyebab hilangnya karbon dari lahan gambut yang didrainase seperti: kehilangan karbon akibat kondisi aerob yang disebabkan oleh penurunan muka air tanah, pengaruh pemupukan melalui tanah, kebakaran hutan, dan terbawa air drainase. Tersedianya data kehilangan karbon dan didukung data lainnya seperti karakteristik dan manajemen pengelolaan lahan seperti yang ditemukan pada kajian ini, sangat relevan untuk dijadikan sebagai acuan dalam mengelola lahan gambut yang didrainase khususnya untuk usaha pertanian dan/atau perkebunan dalam kaitannya dengan upaya konservasi lahan gambut dan reduksi emisi GRK. Oleh sebab itu, agar supaya pertumbuhan dan produksi tanaman dapat optimal dan kehilangan karbon dapat direduksi, maka usaha pertanian dan/atau perkebunan pada lahan gambut harus melalui perencanaan dan tindakan yang matang terutama dari aspek pengelolaan tata air, cara pemberian pupuk, dan mengelola biomassa hasil pangkasan tanaman utama dan gulma. Hasil kajian menemukan bahwa sumber atau penyebab kehilangan karbon dari lahan gambut yang didrainase bermacam-macam, yang terbesar adalah dari kejadian kebakaran hutan yaitu rata-rata sebesar 92,16 – 133,38 ton C ha-1 atau setara 338,23 – 489,50 ton CO 2 ha-1
pada setiap kejadian kebakaran hutan
gambut alami, dan dari dekomposisi material gambut yang aerob akibat turunnya muka air tanah berkisar antara 0,651 – 13,106 ton C ha-1 th-1 atau setara 2,391 – 48,098 ton CO 2 ha-1 th-1. Menurut Hooijer et al. (2006) luas lahan gambut Indonesia yang telah didrainase mencapai 4,8 juta hektar dan kejadian kebakaran hutan tahun 2006 menghanguskan 2,79 juta hektar hutan gambut. Apabila data dari hasil kajian ini dikaitkan dengan data yang umum beredar saat ini yaitu yang dikemukakan Hooijer et al. (2006), maka diperkirakan besarnya gas CO 2 yang
119 diemisikan dari lahan gambut Indonesia pada tahun tersebut yaitu sekitar 955,14 – 1596,58 juta ton CO 2 , dengan rinciannya: 11,48 – 230,87 juta ton dari dekomposisi material gambut dan 943,66 – 1365,71 juta ton dari kebakaran hutan. Nilai perkiraan ini terlihat masih lebih rendah dari yang diprediksi oleh Hooijer et al. (2006) yang mana emisi CO 2 dari dekomposisi lahan gambut Indonesia yang didrainase sekitar 58% dari 887 juta ton per tahun (total emisi CO 2 global) yaitu sekitar 514,46 juta ton per tahun, dan dari kebakaran hutan sekitar 1400 juta ton per tahun. Terlihat disini bahwa prediksi emisi CO 2 dari proses dekomposisi lahan gambut Indonesia yang didrainase yang dilakukan oleh Hooijer et al. (2006) jauh lebih tinggi (yaitu 514,46 juta ton CO 2 th-1 : 4,8 juta hektar = 107,18 ton CO 2 ha-1 th-1) dibandingkan dengan yang diperoleh dari kajian ini hanya sekitar 2,39 – 48,10 ton CO 2 ha-1 th-1, sedangkan prediksi emisi CO 2 akibat kebakaran hutan Indonesia relatif hampir sama yaitu:1400 juta ton CO 2 : 2,79 juta hektar = 501,79 ton ha-1 hasil prediksi Hooijer et al. (2006) dibandingkan 338,23 – 489,50 ton CO 2 ha-1 dari hasil kajian ini. Adanya perbedaan besar antara nilai kehilangan karbon atau emisi CO 2 hasil kajian ini dibandingkan dengan estimasi Hooijer et al. (2006) diperkirakan disebabkan karena beberapa kemungkinan yaitu: a) data yang digunakan Hooijer et al. (2006) berasal dari beberapa lokasi gambut tropika sedangkan kajian ini spesifik untuk daerah gambut tropika di Aceh Barat, b) Hooijer et al. (2006) mengestimasi secara umum berdasarkan berbagai kondisi gambut di daerah tropika, sedangkan data dari kajian ini berdasarkan hasil dari proses spesifik lokasi. Alih fungsi hutan gambut alami dan pembuatan drainase, menyebabkan terjadinya emisi karbon yang dipercepat tidak dapat dihindari. Hal ini terjadi karena proses kehilangan karbon tidak berhenti pada saat hutan ditebangi atau dialih fungsikan saja, namun pada saat aktivitas pertanian atau perkebunan berlangsung proses kehilangan karbon gambut juga meningkat. Pada penanaman kelapa sawit misalnya, untuk pertumbuhan yang optimal pada lahan gambut kelapa sawit memerlukan tinggi muka air tanah berkisar antara 50 – 75 cm (Ambak dan Melling, 2000) dan juga pemupukan. Apabila dikaitkan dengan prediksi yang dikemukakan Wösten dan Ritzema (2001) yang mana setiap 10 cm kedalaman drainase akan mengemisikan CO 2 sebanyak 13 ton C ha-1 th-1, maka
120 untuk perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut dengan tinggi muka air tanah 50 – 75 cm berpotensi menyebabkan kehilangan karbon dalam bentuk CO 2 sebanyak 65,0 – 97,5 ton CO 2 ha-1 th-1 atau sebesar 17,7 – 26,5 ton C ha-1 th-1. Namun demikian, kenyataan yang terlihat dari hasil kajian ini adalah, kehilangan karbon pada kebun kelapa sawit di lahan gambut tropika yang didrainase untuk tanaman tahunan adalah berkisar antara 1,183 – 13,106 ton C ha-1 th-1 atau setara 4,341 – 48,098 ton CO 2 ha-1 th-1, nilai ini terlihat jauh lebih rendah dari yang diprediksi Wösten dan Ritzema (2001). Dari data hasil kajian ini juga mengindikasikan bahwa usaha tanaman tahunan khususnya karet dan kelapa sawit pada lahan gambut tidak selalu mengemisikan karbon lebih besar dari kondisi hutan didrainase/terganggu, seperti isu yang banyak berkembang saat ini. Sebagai contoh, emisi atau kehilangan karbon pada kebun karet tua umur 15 tahun hanya 0,651 – 1,586 ton C ha-1 th-1 atau setara emisi CO 2 sebesar 2,391 – 5,820 ton C ha-1 th-1, dan pada kebun kelapa sawit tua (umur 15 tahun) pada lahan gambut dangkal di desa Suak Raya hanya sekitar 1,183 ton C ha-1 th-1 atau setara 4,341 ton CO 2 ha-1 th-1. Apabila dilihat hanya berdasarkan pada data kehilangan dan akumulasi karbon, terlihat bahwa pada kebun kelapa sawit umur 15 tahun yang dikelola secara tradisional (biomassa pangkasan gulma dan pelepah sawit dibiarkan tetap di permukaan lahan) memberikan nilai perbedaan antara akumulasi dan kehilangan karbon yang positif, artinya karbon yang terakumulasi lebih besar dari yang hilang. Kondisi yang sama juga terlihat pada perkebunan karet umur >15 tahun yang dikelola secara tradisional (tanpa pemupukan dan penyiangan) juga menunjukkan kecendrungan memiliki nilai perbandingan antara akumulasi dan kehilangan karbon yang positif. Berdasarkan hasil personal komunikasi dengan petani karet di desa Suak Raya pada kondisi kebun karet yang dikelola secara tradisional ini, dengan luasan 2 ha dapat menghasilkan karet segar 193 kg berat kotor dalam satu minggu, atau berdasarkan data BPS
kabupaten Aceh Barat (2008) rata-rata
produktivitas kebun karet rakyat pada tahun 2007 adalah 0,58 ton ha-1. Data hasil kajian ini memberikan informasi yang penting bagi upaya pengelolaan lahan untuk masa yang akan datang dalam kaitannya dengan upaya penurunan (reduksi) emisi gas rumah kaca seperti yang telah dicanangkan oleh pemerintah Indonesia
121 pada pertemuan perubahan iklim PBB, COP-15 di Kopenhagen pada tanggal 7 – 18 Desember 2009. Kehilangan karbon pada lahan gambut yang didrainase berkorelasi positif sangat nyata (P < 0,0001) dengan tinggi muka air tanah maksimum. Bentuk hubungan antara kehilangan karbon dengan tinggi muka air tanah maksimum diekspresikan dengan persamaan: C hilang (ton ha-1 th-1) = -0,059 + 0,014 tinggi muka air tanah maksimum (cm). Menurut Chimner dan Cooper (2003) pada keadaan muka air tanah yang dangkal menyebabkan lingkungan tanah pada kondisi anaerobik sehingga
mengurangi terjadinya proses
dekomposisi,
sebaliknya jika permukaan air tanah dalam (jauh dari permukaan) akan meningkatkan kondisi aerobik, sejalan dengan hal tersebut juga meningkatkan proses dekomposisi bahan gambut. Dari informasi ini, terlihat jelas bahwa pengelolaan kedalaman muka air tanah sangat penting diperhatikan dalam kaitannya dengan kehilangan karbon pada lahan gambut yang didrainase. Pada sisi lain, juga terlihat bahwa kehilangan karbon dan subsidence ternyata lebih besar pada kondisi saluran drainase baru dibuat (umur 0 – 3 tahun), seperti yang terjadi pada lokasi kajian di desa Simpang, Suak Puntong dan Cot Gajah Mati. Berdasarkan data kajian ini terlihat bahwa faktor yang lebih berperan dalam menentukan kehilangan karbon pada lahan gambut yang didrainase adalah kondisi umur saluran dan kedalaman muka air tanah dibandingkan pengaruh jenis penggunaan lahan. Pada kebakaran hutan besar
tahun 1997/1998 di Indonesia, telah
menyebabkan polusi asap yang menutupi sebagian besar wilayah atmosfer di Asia Tenggara dan menimbulkan kerugian besar akibat terganggunya transportasi, kerugian industri pariwisata, dan meningkatnya biaya perawatan kesehatan. Terbakarnya kawasan hutan rawa gambut telah merusak beberapa tempat penyimpanan karbon terpenting di dunia khususnya Indonesia, dan melepaskan sejumlah besar karbon ke udara. Dari hasil kajian ini, pada kejadian kebakaran hutan di Aceh Barat bulan Juli 2009 telah mengemisikan sekitar 92,16 – 133,38 ton C ha-1 atau setara 338,23 – 489,50 ton CO 2 ha-1. Kebakaran hutan pada lahan gambut
mengemisikan
karbon
atau
GRK,
disamping
itu
juga
telah
menghanguskan biodiversity (khususnya flora) yang ada pada lahan tersebut. Hal
122 ini terlihat pada kejadian kebakaran hutan di Aceh Barat bulan Juli 2009 telah menghanguskan tumbuhan dan lapisan serasah, sedangkan selama kebakaran lahan gambut pada tahun 1997/98 di Indonesia karbon yang diemisikan sama jumlahnya dengan 13 - 40% dari emisi tahunan yang disebabkan oleh pembakaran bahan bakar fosil di seluruh dunia (Hooijer et al., 2006). Dari aspek ekologi saja, terlihat jelas bahwa kebakaran hutan gambut telah mempercepat rusaknya ekosistem gambut yang unik dan jasa-jasa ekologi yang dihasilkannya. Hasil kajian ini menguatkan indikasi bahwa kebakaran lahan gambut ternyata telah memperbesar dampak negatif dari drainase dan mempercepat degradasi lahan gambut. Berkaitan dengan hal ini, upaya terbaik yang dapat diupayakan untuk mencegah kebakaran pada lahan gambut adalah dengan mengkonservasi gambut sesuai kondisi alaminya dan/atau memberikan perhatian khusus terhadap aspekaspek pengelolaan air yang tepat, dan pemanfaatan lahan yang sesuai dengan kemampuannya. Dalam hal ini, berarti bahwa drainase/pengeringan dan konversi hutan rawa gambut alami yang banyak keanekaragaman hayatinya serta berpotensi besar mengemisikan GRK harus dihindari, karena apabila ekosistem gambut mengalami degradasi berat, maka sifat-sifat alaminya akan hilang secara permanen dan tidak dapat direhabilitasi kembali.. Pemupukan melalui tanah pada lahan gambut yang diusahakan untuk tanaman tahunan tidak dapat dihindarkan, karena terbatasnya unsur hara yang tersedia secara alami pada lahan gambut. Dari hasil kajian menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kadar abu yang nyata pada lahan gambut yang dipupuk dibandingkan yang tidak dipupuk. Menurut Gronlund et al. (2008) peningkatan kadar abu pada lahan gambut yang dipupuk adalah berasal dari mineral dari sisa proses dekomposisi bahan gambut (mineral yang tersisa setelah bahan organik gambut terdekomposisi/hilang). Menurut Lai et al. (2002) dan Zhang et al. (2007) pemupukan khususnya N meningkatkan respirasi, dampak dari peningkatan respirasi menurut Silva et al. (2008) adalah meningkatkan karbon yang hilang dan/atau emisi CO 2 . Dari kajian ini terlihat jelas bahwa pemupukan melalui tanah menyebabkan peningkatan dekomposisi gambut yang diindikasikan oleh kehilangan karbon yang lebih besar (berkisar antara 15,3 - 32,1 ton C ha-1 selama periode waktu 8 bulan atau setara dengan 22,95 - 48,15 ton C
ha-1 th-1)
123 dibandingkan tanpa dipupuk. Berkaitan dengan hal ini, ada beberapa hal penting yang perlu dipertimbangkan pada pemupukan melalui tanah pada lahan gambut yaitu: a) penggunaan pupuk khususnya nitrogen, akan menurunkan rasio C/N dan meningkatkan aktivitas perombakan bahan oprganik oleh jasad renik, b) pemupukan melalui tanah dengan jenis pupuk yang dapat meningkatkan pH gambut juga mempercepat perombakan gambut oleh jasad renik, c) penggunaan pupuk yang mengandung ion polivalen ke dalam tanah seperti Al3+ dan Fe3+ dapat membentuk kompleks kelat (chelate) dengan asam organik gambut sehingga dapat membantu mengurangi dekomposisi gambut dan emisi CO 2 . Berkaitan dengan hal ini, dalam pengelolaan lahan gambut untuk usaha pertanian dan/atau perkebunan yang biasanya menggunakan pupuk melalui tanah, hal yang penting sekali untuk dipertimbangkan adalah penggunaan dosis dan jenis pupuk yang tepat, yaitu sebaiknya disesuaikan dengan kebutuhan tanaman agar supaya tidak terjadi kelebihan pupuk atau ada pupuk yang tidak diserap oleh tanaman sehingga berdampak terhadap peningkatan proses dekomposisi dan kehilangan karbon gambut. Disamping itu, cara pemberian pupuk juga perlu dipertimbangkan, dalam hal ini kalau memungkinkan sebaiknya pupuk-pupuk yang dapat mempercepat proses dekomposisi gambut sebaiknya diberikan tidak melalui tanah, tetapi melalui melalui daun dan/atau batang, dan kalau terpaksa melalui tanah sebaiknya dilakukan dengan cara menugal atau menggunakan pupuk berbentuk tablet yang dibenamkan ke dalam tanah pada bagian tertentu saja (dekat perakaran). Kehilangan karbon karena dekomposisi biomassa serasah atau sisa tanaman yang jatuh atau dibiarkan tinggal di permukaan lahan pada lahan gambut yang didrainase juga tidak dapat dihindarkan, karena kondisi permukaan lahan yang kering (suasana aerob) menyebabkan proses dekomposisi biomassa yang jatuh ke permukaan
tanah
lebih
cepat.
Besarnya
kehilangan
karbon
akibat
terdekomposisinya biomassa serasah dan atau sisa tanaman pada permukaan lahan gambut berkisar antara 116,72 – 440,99 gr C kg-1 biomassa atau setara 428,38 – 1618,42 gr CO 2 kg-1 biomassa. Dari hasil kajian ditemukan bahwa faktor yang mempengaruhi kehilangan karbon karena terdekomposisinya biomassa yang ada pada permukaan gambut adalah tipe penggunaan lahan, lokasi dan jenis vegetasi. Khusus pengaruh jenis vegetasi faktor yang berbengaruh adalah rasio C/N
124 biomassa, yang mana semakin tinggi nilai rasio C/N karbon yang hilang juga semakin sedikit. Pada sisi lain, dari hasil kajian juga terlihat bahwa setelah 14 bulan proses dekomposisi berlangsung masih ada biomassa yang tersisa. Besarnya akumulasi atau panambahan karbon (sink) dari setiap kg biomassa yang dikembalikan pada lahan adalah sekitar 32 – 342 gr setiap tahunnya. Berdasarkan hasil kajian ini, untuk menjaga keseimbangan karbon pada lahan gambut yang telah terlanjur didrainase dan dijadikan lahan usaha pertanian seperti kelapa sawit dan karet, diperlukan manajemen pengelolaan biomassa yang tepat. Manajemen yang dimaksudkan adalah membiarkan sisa-sisa tanaman atau hasil penyiangan tetap berada di lahan, seperti yang dilakukan petani di lokasi kajian ini yaitu pada saat penyiangan dan/atau pemangkasan tanaman yang dibudidayakan hasil penyiangan dibiarkan tetap tersebar di lahan, sedangkan hasil pangkasan disusun merata diantara barisan tanaman yang dibudidayakan . Menurut hasil analisis anova dan uji lanjut LSD menunjukkan bahwa karbon yang terlarut dalam air drainase berbeda berdasarkan lokasi, terlihat bahwa konsentrasi karbon terlarut dalam air drainase berkisar antara 70 - 280 gr C m-3 air. Terlihat disini bahwa selama air drainase mengalir keluar dari lahan gambut, kehilangan karbon akibat terbawa hanyut oleh air drainase tidak dapat dihindari, karena karbon dalam bentuk asam-asam organik dari hasil dekomposisi gambut terlarut dalam air. Menurut Dawson et al. (2004) karbon yang terlarut dan terbawa dalam aliran air drainase dapat teroksidasi membentuk gas CO 2 yang akan diemisikan ke atmosfer. Besarnya kehilangan karbon yang terbawa air drainase dipengaruhi oleh debit air drainase dan konsentrasi karbon terlarut dalam air drainase tersebut. Apabila hasil kajian ini dikaitkan dengan upaya konservasi lahan gambut khususnya konservasi karbon, maka pada pengelolaan lahan gambut yang didrainase untuk usaha pertanian maupun perkebunan atau penggunaan lainnya pengaturan tata air khususnya kecepatan atau debit air yang keluar dari lahan gambut sangat penting. Hal ini berdasarkan pada, debit air adalah faktor yang berpengaruh terhadap kehilangan karbon yang terbawa air drainase yang dapat dimanipulasi, sedangkan konsentrasi karbon terlarut dalam air bersifat alami, nilainya dipengaruhi oleh banyak faktor dan sulit untuk dikontrol.
125
Implikasi kajian terhadap pengelolaan lahan gambut tropka yang didrainase Pada kondisi alaminya yang tergenang air (anaerob), lahan gambut sebenarnya bersifat sebagai penyimpan (sink) karbon. Pengembangan lahan gambut tropika untuk tanaman tahunan tidak akan terlepas dari drainase, yang mana drainase bertujuan untuk meningkatkan ketersediaan oksigen (kondisi aerob) bagi akar tanaman supaya bisa tumbuh dan berkembang dengan baik. Kondisi aerob akibat pembuatan drainase pada lahan gambut yang dikembangkan untuk tanaman tahunan, berdampak terhadap kehilangan karbon terutama dalam bentuk emisi gas CO 2 . Hasil uji korelasi antara kehilangan karbon dengan kondisi kedalaman muka air tanah (kondisi muka air tanah dari permukaan tanah) menunjukkan bahwa kondisi kedalaman muka air tanah maksimum (kedalaman muka air tanah pada musim kemarau) berkorelasi kuat (r = 0,58) dengan kehilangan karbon atau emisi CO 2 . Hasil pengamatan hubungan antara kedalaman muka air tanah maksimum dengan emisi CO 2 disajikan dalam diagram pencar Gambar 29. ≤ 52 cm
53 - 89 cm
80
Emisi CO2 (ton ha-1 th-1)
70
≥ 90 cm
Hutan
60
Semak
50
Karet
40
Kelapa sawit
30 20 y = 1,309x – 90,606 R2 = 0,6273
10 0 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90 100 110 120 130
Kedalaman muka air tanah maksimum (cm)
Gambar 29. Diagram pencar hubungan antara kedalaman muka air tanah maksimum dengan emisi CO 2 pada lahan gambut tropika yang didrainase
126 Dari Gambar 29 terlihat bahwa hasil kajian mengindikasikan bahwa ditemukan tiga kelompok hubungan antara kedalaman muka air tanah maksimum dengan kehilangan karbon atau emisi CO 2 yaitu: 1. Pada kedalaman muka air tanah maksimum ≤ 52 cm , emisi CO 2 relatif lebih rendah yaitu kurang dari 15 ton CO 2 ha-1 th-1. Kondisi ini terlihat terjadi pada jenis penggunaan lahan hutan dan kelapa sawit. 2. Pada kedalaman muka air tanah maksimum antara 53 – 89 cm, emisi CO 2 bervariasi dari rendah sampai tinggi yaitu berkisar antara 1 – 75 ton CO 2 ha-1 th-1. Kondisi ini terlihat terjadi pada jenis penggunaan lahan hutan, kelapa sawit, karet dan semak belukar. 3. Pada kedalaman muka air tanah maksimum ≥ 90 cm, emisi CO
2
relatif
lebih tinggi yaitu > 20 ton CO 2 ha-1 th-1, dan terlihat polanya adalah semakin kedalaman muka air tanah emisi CO 2 semakin besar menurut persamaan regresi y = 1,309x - 90,606 (R2 = 0,6273). Kondisi ini terlihat terjadi pada jenis penggunaan lahan kelapa sawit dan semak belukar. Kata kunci pengelolaan lahan gambut yang didrainase untuk tanaman tahunan adalah “pengelolaan tata air”. Menurut Sabiham (2006) pada dasarnya gambut tidak boleh tergenang di dalam jangka waktu lama untuk mendukung pertumbuhan tanaman, namun juga tidak boleh terlalu kering agar gambut tidak menjadi kering tidak balik (irreversible drying) membentuk pasir semu. Dengan demikian pengelolaan air yang dimaksudkan pada lahan gambut yang diusahakan adalah agar permukaan air tanah harus selalu berada pada jangkauan akar tanaman, dan kelembaban tanah di bagian permukaan harus dapat mendukung gambut agar tidak menjadi kering. Pengelolaan lahan gambut tropika yang berkelanjutan berkaitan dengan konservasi simpanan karbon untuk kepentingan global, dan upaya meningkatkan produksi tanaman yang dibudidayakan untuk masa kini dan mendatang, serta melestarikan keanekaragaman hayati. Mengacu pada hasil kajian ini, terlihat ada hal penting yang dapat diintroduksikan atau dijadikan sebagai salah satu dasar acuan bagi pengelolaan lahan gambut, khususnya yang berkaitan dengan hubungan antara pengelolaan tata air dengan kehilangan karbon atau emisi CO 2 . Untuk mereduksi laju kehilangan karbon dan/atau emisi CO 2 pada lahan gambut
127 yang diusahakan untuk tanaman tahunan kedalaman muka air tanah sangat berperan penting, dari hasil kajian terlihat bahwa pada kondisi muka air tanah maksimum ≤ 52 cm dari permukaan tanah mengemisikan CO 2 relatif lebih rendah yaitu < 15 ton CO 2 ha-1 th-1, pada kondisi muka air tanah maksimum antara 53 – 89 cm emisi CO 2 berkisar antara 1 – 75 ton CO 2 ha-1 th-1, dan pada kondisi kedalaman muka air tanah maksimum ≥ 90 cm emisi CO 2 relatif lebih tinggi yaitu > 20 ton CO 2 ha-1 th-1. Hasil kajian ini mengindikasikan bahwa untuk menekan kehilangan karbon atau emisi CO 2 pada usaha tanaman tahunan di lahan gambut sebaiknya kedalaman muka air tanah maksimum ≤ 52 cm, pada kondisi ini secara umum sesuai untuk tanaman tahunan, khususnya karet dan kelapa sawit karena karet hanya membutuhkan kedalaman muka air tanah sekitar 20 cm dan kelapa sawit antara 50 - 75 cm (Ambak dan Melling, 2000). Namun demikian, pada kondisi kedalaman muka air tanah maksimum antara 53 – 89 cm emisi CO 2 yang relatif rendah juga ditemukan, kondisi ini terjadi terlihat sudah ada kaitannya dengan umur saluran drainase dan manajemen pengelolaan lahan khususnya tanpa perlakuan penyiangan. Pada kondisi muka air tanah maksimum ≥ 90 cm terlihat emisi karbon > 20 ton CO 2 ha-1 th-1, pada kondisi ini manajemen pengelolaan lahan tanpa penyiangan masih mengemisikan CO 2 relatif lebih besar dibandingkan kondisi muka air tanah maksimum ≤ 52 cm.
128
129 KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil serangkaian kajian yang telah dilaksanakan dapat diambil beberapa kesimpulan yaitu: 1. Untuk menghitung kandungan karbon gambut yang representatif diperlukan alat dan metode yang tepat. Dari hasil kajian ini diperoleh: a) untuk mengambil sampel tanah gambut secara mudah dan cepat guna penetapan BD dapat digunakan alat bor gambut, namun untuk mendapatkan nilai BD yang representatif hasilnya perlu dikoreksi dengan persamaan: BD = nilai BD pengukuran bor : 1,136, b) untuk menentukan kandungan bahan organik dan karbon gambut tropika yang relatif lebih mudah, cepat dan murah dapat digunakan metoda Loss-on-Ignition (LOI), sedangkan faktor konversi persen bahan organik menjadi % C-organik yang tepat digunakan untuk tanah gambut tropika adalah 1,922, c) Prediksi kehilangan karbon dan/atau emisi CO 2 dari proses dekomposisi gambut tidak berbeda nyata antara metoda chamber dengan metoda LOI (berdasarkan kadar abu). 2. Dampak nyata dari pembuatan drainase pada lahan gambut adalah terhadap penurunan muka air tanah, kondisi ini berpengaruh pula terhadap karakteristik lahan gambut terutama tinggi permukaan tanah dan/atau subsidence, BD, kadar abu dan kehilangan karbon. Secara umum, semangkin jauh dari saluran drainase muka air tanah semakin dangkal (dekat permukaan tanah) menyebabkan permukaan tanah cenderung semangkin tinggi,
subsidence
semakin kecil, dan kehilangan karbon semakin kecil, mengikuti pola persamaan logaritmik 3. Cadangan karbon tersimpan pada material tanah pada lahan gambut bervariasi berdasarkan ketebalan dan karakteristik (BD, kadar abu, tingkat kematangan dan kerapatan karbon) gambut, sedangkan karbon yang tersimpan pada vegetasi bervariasi berdasarkan jenis dan umur vegetasi tersebut. 4. Bentuk-bentuk umum kehilangan karbon dari lahan gambut yang didrainase antara lain adalah: a) Kehilangan karbon dari lapisan permukaan lahan akibat
130 kondisi aerob sebagai dampak dari pembuatan drainase, besarnya kehilangan karbon bervariasi sesuai dengan kondisi (umur drainase, jarak lokasi dari saluran dan manajemen pengelolaan lahan) pada lokasi tersebut, b) Pengembalian biomassa sisa tanaman ke lahan gambut yang didrainase sebagian terdekomposisi mengemisikan karbon ke atmosfer, pada sisi lain sebagian
biomassa
tersebut
terakumulasi
karena
belum/tidak
ikut
terdekomposisi yang besarnya berkisar antara 7 – 75% atau setara 32 – 342 gr C dari setiap kg biomassa yang dikembalikan ke lahan. d) Pemupukan lahan
gambut nyata meningkatkan kehilangan karbon yang diindikasikan oleh peningkatan kadar abu gambut, yang berasal dari
terdekomposisi atau
hilangnya karbon gambut tersebut berkisar antara 22,95 - 49,05 ton C ha-1 th-1 atau setara emisi 84,02 – 180,01 ton CO 2 ha-1. th-1. e) Kebakaran hutan alami menyebabkan terjadinya emisi karbon berkisar antara -1
92,16 - 133,38 ton C
-1
ha atau setara 338,23 – 489,50 ton CO 2 ha untuk setiap kejadian kebakaran. f) Konsentrasi karbon yang hilang atau terlarut dalam air drainase bervariasi berdasarkan kondisi lokasi, yang besarnya antara 70 – 280 gr C m-3 air. . Saran Berdasarkan hasil kajian, saran yang dapat diajukan adalah: Hal yang paling penting dipertimbangkan dalam pengelolaan lahan gambut untuk usaha tanaman tahunan adalah upaya untuk mereduksi dan/atau memitigasi kehilangan karbon yang diselaraskan dengan kebutuhan kondisi untuk pertumbuhan serta produksi tanaman, yaitu dengan cara: • Pengelolaan muka air tanah yang dapat mengurangi kondisi gambut yang aerob sehingga dapat mereduksi jumlah material gambut yang terdekomposisi. • Pemilihan jenis tanaman yang tepat, terutama yang dapat beradaptasi dengan kondisi lahan gambut • Teknik (waktu, cara, jenis dan dosis) pemupukan yang tepat, seperti kemungkinan pemupukan melalui daun dapat dipertimbangkan. • Upayakan tidak ada pembakaran di permukaan lahan • Upayakan permukaan lahan tertutup vegetasi sepanjang tahun (minimum weeding).
131 Pengelolaan tata air merupakan kunci utama pada lahan gambut tropika yang didrainase untuk tanaman tahunan. Untuk itu, pengaturan kedalaman muka air tanah yang mendukung keberlanjutan usaha tanaman tahunan dengan kehilangan karbon atau emisi CO 2 yang kecil pada lahan gambut tropika yang didrainase, maka kedalaman muka air tanah maksimum yang paling disarankan adalah ≤ 52 cm. Namun demikian masih memungkinkan untuk mengelola kedalaman muka air tanah maksimum pada kondisi berkisar antara 53 – 89 cm, namun diperlukan manajemen yang memungkinkan dapat mereduksi emisi CO 2 yaitu dengan cara tanpa atau minimum penyiangan (penyiangan setiap 4 atau 6 bulan sekali). Hasil kajian menemukan beberapa faktor atau konstanta dan metoda sederhana untuk memprediksi dinamika karbon pada lahan gambut tropika, diantaranya faktor untuk mengkoreksi nilai BD dari pengukuran menggunakan bor atau ring sampel dan konstanta untuk mengkonversi bahan organik menjadi karbon organik atau sebaliknya dari karbon organik menjadi bahan organik, dan metode yang praktis memprediksi kehilangan karbon untuk tanah gambut tropika. Namun karena kajian ini baru mewakili sebagian kecil dari kondisi gambut tropika, sedangkan kondisi lahan gambut tropika sangat beragam, maka untuk mendapatkan gambaran yang lebih umum/verifikasi dari hasil-hasil kajian ini, maka disarankan perlu penelitian yang sama/mirip dengan kajian ini dilakukan lebih banyak pada kondisi atau lokasi gambut tropika yang lain, seperti pada perbedaan: posisi lahan gambut, jenis dan umur tanaman, ketebalan gambut, dimensi, pola serta umur drainase.
132
133 DAFTAR PUSTAKA Agus F. 2007. Cadangan, emisi, dan konservasi karbon pada lahan gambut. Bunga Rampai Konservasi Tanah dan Air. Pengurus Pusat Masyarakat Konservasi Tanah dan Air Indonesia 2004-2007. Hal. 45 – 52. Agus F et al. 2009. Carbondioxide emission in land use transitions to plantation. Jurnal Litbang Pertanian, 28(4): 119-126. Alex K, Joosten H. 2008. Global peatland assesment. Factbook for UNFCCC policies on peat carbon emission. Alfred EH., Sullivan JNO. 2001. Leaf litter decomposition of Piper aduncum, Gliricidia sepium and Imperata cylindrical in the humid lowlands of Papua New Guinea. Plant and Soil 230: 115 – 124. Ambak K, Melling L. 2000. Management practices for sustainable cultivation of crop plants on tropical peatlands. Proc. Of The International Symposium on Tropical Peatlands 22-23 November 1999. Bogor-Indonesia, hal 119. Andersen E. 2003. Hydrology, nutrient processes and vegetation in floodplain wetlands. PhD thesis. National Environmental Research Institute, Denmark. 36 pp. http://afhandlinger.dmu.dk. Andrie E et al. 2010. The depth of ground water table dynamics and charackteristic of peatland near drainage canal ex, mega rice project in Central-Kalimantan. Makalah Seminar Ilmiah VI Lingkungan Tropis IATPI. Anonim. 2010a. Rumusan seminar dampak perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan dalam revisi RTRWP terhadap neraca karbon dalam hutan. Prosiding: "Seminar Dampak Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan". Direktorat Jendral Planologi Kehutanan, Kementerian Kehutanan Hal 2 – 6. Anonim. 2010b. Lawn Drainage. http://www.completehome.ie/page/tips/24/ Ardjakusuma S, Nuraini, Somantri E. 2001. Teknik penyiapan lahan gambut bongkor untuk tanaman hortikultura. Buletin Teknik Pertanian. Vol 6 No. 1, 2001. Badan Litbang Pertanian. Jakarta. Asada T, Warner BG. 2005. Surface peat mass and carbon balance in a hypermaritime peatland. Soil Sci. Soc. Am. J. 69:549–562. Bahruni. 2010. Neraca atau siklus karbon di dalam hutan. Prosiding: "Seminar Dampak Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan". Direktorat Jendral Planologi Kehutanan, Kementerian Kehutanan Hal 22 – 53. Balai Penelitian Tanah. 2005. Petunjuk Teknis Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air, dan Pupuk. 136 halaman. Balai Penelitian Tanah. 2006. Peta Tanah Kabupaten Aceh Barat Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
134 Baldock JA, Skjemstad JO. 2000. Role of the soil matrix and minerals in protecting natural organic materials against biological attack. Organic Geochem. 31: 697-710. Ballhorn U, Siegert F, Mason M, Limin S. 2009. Derivation of burn scar depths and estimation of carbon emissions with LIDAR in Indonesian peatlands. Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America (online). The paper can be read and downloaded at www.pnas.org/cgi/doi/10.1073/pnas. 0906457106. Bernal B. 2008. Carbon pools and profiles in wetland soils: The effect of climate and wetland type. M.S. thesis, presented in partial fulfillment of the requirements for Master’s degree in the Graduate School of the Ohio State University. Bertrand I, Delfosseb O, Mary B. 2007. Carbon and nitrogen mineralization in acidic, limed and calcareous agricultural soils: Apparent and actual effects. Soil Biol. Biochem. 39: 276-288. Blodau C. 2002. Carbon cycling in peatlands – A review of processes and controls. Environ Rev 10:111-134. BPS Kabupaten Aceh Barat. 2008. Aceh Barat Dalam Angka. 275 hal. Bridgham SD, Richardson CJ. 2003. Endogenous versus exogenous nutrient control over decomposition and mineralization in North Carolina peatlands. Biogeochemistry 65:151- 178. Canadell JG et al. 2007. Saturation of the terrestrial carbon sink. In: Canadell, J.G., D. E. Pataki and L. Pitelka (eds.): Terrestrial Ecosystems in a Changing World. Berlin, Springer Verlag, pp. 59-78. Chmura GL, Anisfeld C, Cahoon DR, Lynch JC. 2003. Global carbon sequestration in tidal, saline wetland soils. Global Biogeochemical Cycles. 17: 1111, doi: 10.1029/2002GB001917. Charman D. 2002. Peatlands and environmental change. Wiley, Chichester. Chi FH, Amy GL. 2004. Kinetic study on the sorption of dissolved natural organic matter onto different aquifer materials: the effects of hydrophobicity and functional groups. J. Colloid Interf. Sci. 274:380-391. Chimner RA, Cooper DJ. 2003. Influence of water table position on CO 2 emissions in a Colorado subalpine fen: An in situ microcosm study. Soil Biology and Biogeochemistry. 35: 345–351. Chun Mei MA et al. 2009. Climate changes in East China since the late-glacial inferred from high-resolution mountain peat humification records. Science in China Series D: Earth Sciences. Vol 52. No. 1: 118-131. Couwenberg J, Dommain R, Joosten H. 2009. Greenhouse gas fluxes from tropical peatswamps in Southeast Asia. Global Change Biology (accepted). Cruz-Guzman MR et al. 2003. Sorption-Desorption of lead (II) and mercury (II) by model association of soil colloids. Soil Sci. Soc. Am. J. 67:1378-1387.
135 Dai XY, White D, Ping CL. 2002. Evaluation of soil organic matter composition and bioavailability by Pyrolysis-gas chromatography/mass spectrometry. Journal of Analytical Applied Pyrolysis. 62. 249-258. Dawson, JJC et al. 2004. Sources and sinks of aquatic carbon linked to a peatland stream continuum. Biogeochemistry 70: 71-92. DeBusk WF, Reddy KR. 2003. Nutrient and Hydrology effects on soil respiration in a northern everglades marsh. J. Environ. Qual. 32:702-710. Dorien MK, Peter B, Dirk HH. 2006. Oxidation and compaction of a collapsed peat dome in Central Kalimantan. Geoderma. Volume 137, Issues 1-2, Page: 217-225. Eliška R, Kateřina. 2006. Wetland plant decomposition under different nutrient conditions: what is more important, litter quality or site quality? Biogeochemistry Journal. Volume 80, Number 3: 245-262. Etik PH. 2009. Emisi karbon dioksida (CO2) dan metan (CH4) pada perkebunan kelapa sawit di lahan gambut yang memiliki keragaman dalam ketebalan gambut dan umur tanaman. Disertasi S.3. Program Studi Ilmu Tanah, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 158 hal. Finn HB. 1983. Water table levels at different drainage intensities on deep peat in Northern Norway. Forest Ecology and Management Volume 5, Issue 3: 169-192 Fitzgerald N, Basher S, McLeod M. 2005. Peat subsidence near drains in the Waikato region. Environment Waikato Tachnical Report. PO BOX 4010 Hamilton East. Pp 33. Global Peatland Initiative. 2002. World Peatland Map. Gronlund A, Atle H., Anders H, Daniel PR. 2008. Carbon loss estimates from cultivated peat soils in Norway: a comparison of three methods. Nutr Cycl Agroecosyst. 81: 157 – 167. Hairiah K dan Rahayu S. 2007. Petunjuk praktis pengukuran ”karbon tersimpan” di berbagai macam penggunaan lahan. World Agroforestry Centre. 77 hal. Hobbie S, Schimel J, Trumbore S, Randerson J. 2000. Controls over carbon storage and turnover in high-latitude soils. Global Change Biology. 6. Suppl. 1: 196-210. Hooijer A, Silvius M, Wösten H, Page S. 2006. PEAT CO 2 , Assessment of CO 2 Emission from drained peatlands in SE Asia. Wetland International and Delft Hydraulics report Q3943. Hooijer et al. 2010. Current and future CO2 emissions from drained peatlands in Southeast Asia. Biogeosciences, 7: 1505–1514. IPCC. 2007. The physical science basis, contribution of working group I to the fourth assessment report of the intergovernmental panel on climate change. Cambridge University Press, Cambridge, UK and New York, USA, 996 pp.
136 Jawatan Hidro-Oceanografi TNI AL. 2008. Daftar Pasang Surut Kepulauan Indonesia Tahun 2008. Halaman 42 – 47. Joosten H, Clarke D. 2002. Wise use of mires and peatlands – Background and principles including a framework for decision-making. International Mire Conservation Group / International Peat Society, 304pp. Joosten H. 2009. Peatland status and drainage related emissions in all countries of the world. The Global Peatland CO2 Picture. Wetlands International. www.wetlands.org. 35p. Joeni S, Rahajoe A, Laode, Simbolon H, Muhidin A. 2005. Produksi biomassa dad an variasi musiman jenis-jenis dominan serta tingkat dekomposisi serasah di hutan gambut alami dan pasca kebakaran di Kelampangan, Kalimantan tengah. Laporan Teknik Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi-LIPI: 196 - 200 Kalbitz K, Geyer S. 2002.. "Different effects of peat degradation on dissolved organic carbon and nitrogen." Organic Geochemistry 33(3): 319-326. Keddy PA. 2000. Wetland Ecology: principles and conservation. Cambridge University Press. Cambridge, U.K. Keller JK, Bridgham SD. 2007. Pathways of anaerobic carbon cycling across an ombrotrophic-minerotrophic peatland gradient. Limnol. Oceanogr. 52:96107. Kirk G. 2004. The Biogeochemestry of Submerged Soils. John Wiley & Sons, Ltd. 291 hal. Kyuma K. 1991. Problems related to reclamation and development of swampy lowlands in the tropics. Jpn. J. Soil Physic. Cond. Plant Growth. 63: 43-49. Lai CT et al. 2002. Modeling the limits on the response of net carbon exchange to fertilization in a south-eastern pine forest. Plant Cell Environ. 25: 10951119. Laiho R, Finér L. 1996. Changes in root biomass after water-level drawdown on pine mires in Southern Finland. Scandinavian Journal of Forest Research 11: 251-260. Laiho R, Laine J. 1997. Tree stand biomass and carbon content in an age sequence of drained pine mires in southern Finland. Forest Ecology and Management 93: 161-169. Lasco RD. 2002. Forest carbon budged in Southeast Asia following harvesting and land cover change. Science in China (Series C): Vol 45 Supp: 55 – 64. Limin SH et al. 2000. Konsep Pemanfaatan Hutan Rawa Gambut di Kalimantan Tengah. Disampaikan pada “Seminar Nasional Pengelolaan Hutan Rawa Gambut dan ekspose hasil Penelitian di Lahan Basah”, diselenggarakan oleh Balai Teknologi Reboisasi Banjarbaru, Istana Barito Banjarmasin, Kalimantan Selatan, 9 Maret 2000. Limpens J et al. 2008. Peatlands and the carbon cycle: from local processes to global implications – a synthesis. Biogeosciences Discuss., 5: 1379–1419.
137 Maas A. 2003. Peluang dan konsekuensi pemanfaatan lahan rawa pada masa mendatang. Pengukuhan Guru Besar. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. Menteri Pertanian RI. 2009. Peraturan 14/Permentan/PL.110 /2/2009.
Menteri
Pertanian,
Nomor:
Minkkinen K et al. 1999. Post-drain-age changes in vegetation composition and carbon balance in Lakkasuo mire, Central Fin-land. Plant and Soil 207: 107120. Mer J, Roger P. 2001. Production, oxidation, emission and consumption of methane by soils: A review. European Journal of Soil Biology. 37: 25-50 Minkkinen K, Laine J. 1998. Long-term effect of forest drainage on the peat carbon stores of pine mires in Finland. Canadian Journal of Forest Research 28: 1267-1275. Mongabay.com. 2009a. Indonesia: emissions to rise 50% by 2030, 3rd largest GHG emitter. http://news.mongabay.com/2009/0922-indonesia.html. Mongabay.com. 2009b. EU is 2nd largest source of peat emissions after Indonesia, finds global peat survey. http://news.mongabay.com/2009/1104peatlands.html. Mudiyarso D et al. 2004. Petunjuk Lapangan Pendugaan Cadangan Karbon pada Lahan Gambut. Proyek Climate Change, Forest and peatlands in Indonesia. Wetlands International-Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada. Bogor. Najiyati S, Asmana A, Suryadiputra INN. 2005. Pemberdayaan Masyarakat di Lahan Gambut. Proyek Climate Change, Forest and peatlands in Indonesia. Wetlands International-Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada. Bogor. Neil F, Sarah B, Malcolm McL. 2005. Peat subsidence near drains in the Waikato region. Environment Waikato Technical Repot 2005/40. 33p. Nelson, Sommers. 1996. Organic matter. Methods of Soil Analysis. Pg 1001 – 1010 Norman et al. 1997. A comparison of six methods for measuring soil-surface carbondioxide fluxes. Journal of Geophysical Research. Vol 12. No. D24: 28,771 – 28,777. Noor M. 2001. Pertanian lahan Gambut Potensi dan Kendala. Penerbit Kanisius. Page S et al. 2002. The amount of carbon released from peat and forest fires in Indonesia during 1997. NATURE. 420:61-65. Paytan A et al. 2002. Rapid biologically mediated oxygen isotope exchange between water and phosphate. Global Biogeochemical Cycles 16(1): 1-8. Pribyl DW. 2010. A critical review of the conventional SOC to SOM conversion factor. Geoderma 156: 75 - 83. Rhett AB. 2009. Peatlands conversion for oil palm a 'monumental mistake' for Indonesia's long-term prosperity, sustainability. http//:www.mogabay.com
138 Rieley JO et al. 2008. Tropical Peatlands, carbon stores, carbon gas emissions and contribution to climate change processes. In: M. Strack (ed.) Peatlands and Climate Change. IPS. Saarijärvi. pp. 148-181. Ritzema H, Wosten H. 2002, Hidrology of Borneo’s peat swamp. STRAPEAT – Status Report Hydrology. 19pp Roulet NT. 2000. Peatlands, carbon storage, greenhouse gases, and the Kyoto protocol: Prospects and significance for Canada. Wetlands 20:605-615. Sabiham S. 2006. Pengelolaan lahan gambut Indonesia berbasis keunikan ekosistem. Orasi Ilmiah Guru Besar tetap Pengelolaan Tanah. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Sanderson E et al. 2006. Setting Priorities for the conservation recovery Wild Tiger:2005-2015, Washington DC, WCS, WWF, Smithsonian, and NFWF-STF. Sapek A, Sapek B, Chrzanowski S, Jaszynsky J. 2007. Mobilization of substances in peat soils and their transfer within the groundwater and into surface water. Agronmy Research 5(2): 155 – 163. Sarwono H. 2003. Ilmu Tanah. Jakarta : Akademika Pressindo. 354 halaman. Schipper LA, McLeod M. 2002. Subsidence rates and carbon loss in peat soils following conversion to pasture in the Waikato Region, New Zealand. Soil Use and Management, Volume 18, Number 2, pp. 91-93(3) Silva CC et al. 2008. Production of carbon dioxide and nitrous oxide in alkaline saline soil of Texcoco at different water content amanded with urea: A Laboratory study. Soil Biol & Biochem. 40: 1813-1822. Sofyan R, Wahyunto. 2003. Kandungan karbon tanah gambut di pulau Sumatera (Carbon contents of peat soils in Sumatera). Makalah disampaikan pada ”Workshop on Wise Use and Sustainable Peatlands Management Practices”, October 13th-14th, 2003, Hotel Pangrango II, Bogor. Soil Survey Staff. 2010. Key to soil taxonomy 11th United States Departement of Agriculture Natural Resources Conservation Service. Stern JC, Wang Y. 2002. Using oxygen isotopes to determine the source of phosphate in the Everglades. Eos Transactions AGU, Spring Meeting Supplement 83(19). Sudip M, Wassmann R, Vlek PLG. 2005. An appraisal of global wetland area and its organic carbon stock. Current Science, Vol. 88, No. 1: 25-35. Susanne MS, Price JS. 1999. Soil water flow dynamics in managed cutover peat field, Quebec: Field and laboratory invertigations. Water Resouces Research. Vol. 35. No. 12: 3675-3683. Tanji KK, Chow AT, Suduan G. 1999. Dissolved organic carbon (DOC) production from cultiveted organic soils on Twitchell Island, SacramentoSan Joaquin Delta, California. Technical Completion Report. Project Number W-891. University of California Water Resources Center. U.C. Barkeley. Pp. 153.
139 Tans P. 2010. Full Mauna Loa CO 2 record. NOAA/ESRL (www.esrl.noaa. gov/gmd/ccgg/trends/) Turetsky MR, Wieder RK. 2001. A direct approach to quantifying organic matter lost as a result of peatland wildfire. Can. J. For. Res. 31: 363–366. Wahyunto, Ritung S, Subagjo H. 2003. Map of peatland distribution area and carbon content in Sumatra. Wetland International-Indonesia Program and Wildlife Habitat Canada (WHC). Wahyunto, Ritung S, Suparto, SubagjoH. 2004. . Map of peatland distribution area and carbon in Kalimantan. Wetland International-Indonesia Program and Wildlife Habitat Canada (WHC). Wahyunto, Subagjo H, Ritung S, Bekti H. 2007. Map of peatland distribution area and carbon content in Papua. Wetland International-Indonesia Program and Wildlife Habitat Canada (WHC). Wahyunto, Dariah A, Agus F. 2010. Distribution, properties, and carbon stock of Indonesia peatland. Proc. of Int. Workshop Evaluation and Sustainable Management of Soil Carbon Sequestration in Asian Countries – Bogor, Indonesia Sept. 28 29. Page: 187 - 204 Walkley A, Black IA. 1934. An Examination of Degtjareff Method for Determining Soil Organic Matter and a Proposed Modification of the Chromic Acid Titration Method. Soil Sci. 37:29-37 White DM, Garland DS, Dai X, Ping CL. 2002. Fingerprinting soil organic matter in the Arctic to help predict CO flux, Journal of Cold Regions 2
Science and Technology. 35: 185-194. Wösten JHM, Ritzema HP. 2001. Land and water management options for peatland development in Sarawak, Malaysia. International Peat Journal 11: 59-66. Yavitt J, Williams C, Wieder R. 2004. Soil chemistry versus environmental controls on production of CH and CO in northern peatlands. European 4
2
Journal of Soil Science. 56. 2: 169-178. Yulianti N. 2009. Cadangan karbon lahan gambut dari agroekosistem kelapa sawit PTPN IV Ajamu kabupaten Labuhan Batu, Sumatera Utara. Tesis Sekolah Pasca Sarjana IPB Bogor. Zhang Y et al. 2002. An integrated model of soil, hydrology and vegetation for carbon dynamics in wetland ecosystems. Global Biogeochemical Cycles. 16: GB001838. Zhang et al. 2007. Effects of nitrogen on the ecosystem respiration, CH4 and N2O emissions to the atmosphere from the freshwater marshes in Northeast China. Environ Geol. 52: 529-539.
LAMPIRAN
142
Lampiran 1. Legenda Land Unit Kabupaten Aceh Barat SPT
1
Fisiografi
Sand beach recent (Mq 1.2)
Bahan Induk
Endapan laut
Penggunaan Lahan
Bentuk
Lereng
dan Lokasi
Wilayah
(%)
Agak datar
1-3
Datar
0-1
Datar
0-1
Agak datar
1-3
Agak datar
1-3
Datar
0-1
Datar
0-1
Datar
0-1
Agak datar
1-3
Agak datar
1-3
Datar
0-1
Datar
0-1
Datar
0-1
Datar
0-1
Lahan terbuka sepanjang pesisir pantai
2
Sand beach recent (Mq 1.2)
Endapan laut
Kebun kelapa sepanjang pesisir pantai bag. Belakang
3
Sand beach recent (Mq 1.2)
Endapan laut
sepanjang pesisir pantai bag. Belakang, air tanah dangkal
4
Beach ridges recent (Mq 1.1.1)
Endapan laut
Sekitar pemukiman dan bekas pemukiman air tanah agak dalam
5
Beach ridges & swales recent
Endapan laut
(Mq.1.1.1)
Sekitar pemukiman dan bekas pemukiman air tanah agak dalam
6
Beach ridges & swales recent
Endapan laut
(Mq.1.1.1) 7
8
9
Umumnya bekas sawah dan sebagian perkebunan
Beach ridges & swales recent
Endapan laut
Perkebunan karet, pemu-
(Mq.1.1.1)
dan bahan organik
kiman, dan belukar rawa
Beach ridges & swales recent
Endapan laut
(Mq.1.1.1)
dan bahan organik
Beach ridges & swales sub recent
Endapan laut
(Mq.1.1.2)
Pemukiman/pekarangan perkebunan rakyat sekitar Seunebok Tengah
10
Beach ridges & swales sub recent
Endapan laut
Pemukiman/pekarangan
(Mq.1.1.2) overflow mantle
dan endapan sungai
perkebunan rakyat sekitar Seunebok Tengah
11
Beach ridges & swales sub recent
Endapan laut
(Mq.1.1.2) 12
Beach ridges & swales sub recent
Endapan laut
(Mq.1.1.2)
13
14
Sawah-sawah sekitar Seunebok Tengah Sawah-sawah sekitar Seunebok Tengah
Beach ridges sub recent
Endapan laut
Pemukiman dan perkebunan
(Mq.1.1.2/Mfq.1.1.2)
dan sungai
dekat sungai-sungai besar
Beach ridges & swales sub recent
Endapan laut dan
Perkebunan karet/sawit
(Mq.1.1.2)
bahan organik
145 Lampiran 3. Tingkat kematangan gambut pada profil gambut di berbagai lokasi kajian Hutan, Simpang Lapisan 0-50 50-100 100-150 150-200 200-250 250-300 300-350 350-400 400-450 450-500 500-550 550-600 600-650 650-700 700-750 750-800 800-850 850-900 900-950 950-1000
Tingkat kematangan Hemik Fibrik Fibrik Fibrik Fibrik Fibrik Fibrik Fibrik Fibrik Hemik Hemik Hemik Hemik Hemik Hemik Hemik Hemik Hemik Hemik Hemik
Semak , Simpang Lapisan 0-50 50-100 100-150 150-200 200-250 250-300 300-350 350-400 400-450 450-500 500-550 550-600 600-650
Tingkat kematangan Hemik Hemik Fibrik Fibrik Fibrik Fibrik Fibrik Hemik Hemik Hemik Hemik Hemik Hemik
Karet, Simpang Lapisan 0-50 50-100 100-150 150-168
Tingkat kematangan Hemik Hemik Hemik Hemik
Karet, Suak raya Tingkat Lapisan kematangan 0-50 Hemik 50-100 Fibrik 100-150 Fibrik 150-200 Fibrik 200-250 Fibrik 250-300 Hemik 300-350 Saprik 350-400 Saprik 400-450 Saprik
Kelapa sawit I, Suakraya Tingkat Lapisan kematangan 0-50 Hemik 50-100 Fibrik 100-150 Fibrik 150-200 Hemik 200-250 Hemik 250-300 Hemik 300-350 Saprik 350-400 Saprik
Kelapa sawit II, Suak raya Tingkat Lapisan kematangan 0-50 Hemik 50-100 Hemik 100-150 Hemik 150-173 Saprik
Kelapa sawit, Cot gajah mati Tingkat Lapisan kematangan 0-50 Hemik 50-100 Fibrik 100-150 Hemik 150-200 Hemik 200-215 Hemik
Hutan, Cot gajah mati Tingkat Lapisan kematangan 0-50 Hemik 50-100 Fibrik 100-150 Fibrik 150-200 Fibrik 200-250 Hemik 250- 290 Saprik
Kelapa sawit, Suak puntong Tingkat Lapisan kematangan 0-50 Hemik 50-100 Hemik 100-150 Hemik 150-163 Hemik
136 Lampiran 4. Data cadangan dan kehilangan karbon serta sifat-safat tanah pada semua penggunaan lahan Land use, Desa
Spg Spg Spg Spg Spg Spg Spg Spg Spg Spg Spg Spg Spg Spg Spg Spg Spg Spg Spg Spg CGM CGM CGM CGM CGM CGM CGM CGM CGM CGM CGM CGM CGM CGM CGM SR SR SR SR SR SR SR SR SR SR SR SR SR SR SR SP SP SP SP SP SP SP SP SP SP
Hutan, Simpang Hutan, Simpang Hutan, Simpang Hutan, Simpang Hutan, Simpang Semak I, Simpang Semak I, Simpang Semak I, Simpang Semak I, Simpang Semak I, Simpang Semak II, Simpang Semak II, Simpang Semak II, Simpang Semak II, Simpang Semak II, Simpang Karet, Simpang Karet, Simpang Karet, Simpang Karet, Simpang Karet, Simpang Hutan, Cot gajah mati Hutan, Cot gajah mati Hutan, Cot gajah mati Hutan, Cot gajah mati Hutan, Cot gajah mati Kelapa sawit I, Cot gajah mati Kelapa sawit I, Cot gajah mati Kelapa sawit I, Cot gajah mati Kelapa sawit I, Cot gajah mati Kelapa sawit I, Cot gajah mati Kelapa sawit II, Cot gajah mati Kelapa sawit II, Cot gajah mati Kelapa sawit II, Cot gajah mati Kelapa sawit II, Cot gajah mati Kelapa sawit II, Cot gajah mati Karet, Suak raya Karet, Suak raya Karet, Suak raya Karet, Suak raya Karet, Suak raya Kelapa sawit I, Suak raya Kelapa sawit I, Suak raya Kelapa sawit I, Suak raya Kelapa sawit I, Suak raya Kelapa sawit I, Suak raya Kelapa sawit II, Suak raya Kelapa sawit II, Suak raya Kelapa sawit II, Suak raya Kelapa sawit II, Suak raya Kelapa sawit II, Suak raya Kelapa sawit I, Suak puntong Kelapa sawit I, Suak puntong Kelapa sawit I, Suak puntong Kelapa sawit I, Suak puntong Kelapa sawit I, Suak puntong Kelapa sawit II, Suak puntong Kelapa sawit II, Suak puntong Kelapa sawit II, Suak puntong Kelapa sawit II, Suak puntong Kelapa sawit II, Suak puntong
Pengmatan dari saluran (m) 10 50 100 200 250 5 10 50 150 250 5 10 50 150 250 5 10 50 150 250 5 10 90 135 190 30 40 50 60 70 20 35 50 65 90 5 10 30 50 70 5 10 30 50 70 5 10 25 40 55 5 10 40 70 100 5 10 40 70 100
Cadangan karbon (kg/m2) 294,28 253,7 286,26 289,71 296,91 179,74 180,19 164,67 187,18 172,25 123,9 74,94 95,6 109,61 90,85 32,78 47,42 53,6 54,7 115,04 99,72 43,71 65,95 58,19 67,42 64,94 115,59 139,19 57,72 80,31 65,21 64,86 89,32 61,31 58,25 163,27 193,57 209,01 200,08 192,44 211,73 244,44 203,6 176,66 218,04 57,02 71,29 72 78,27 89,34 45,19 51,8 55,5 63,97 81,84 69,1 54,38 59,9 63,04 56,83
Kehilangan karbon (kg/m2/th) 0,55 0,39 0,45 0,23 0,28 1,72 1,14 0,54 0,72 0,64 1,70 1,05 0,64 0,92 0,70 0,21 0,05 0,04 0,02 0,03 0,39 0,25 0,24 0,17 0,17 1,80 1,66 1,65 1,04 1,17 0,53 0,98 0,33 0,43 0,44 0,19 0,23 0,24 0,15 0,08 0,86 0,72 0,69 0,64 0,93 0,09 0,15 0,09 0,06 0,09 2,05 1,64 1,11 0,57 0,56 1,34 1,59 1,52 1,33 0,40
Particle Density (gr cm-3) 1,06 1,16 1,44 1,49 0,9 1 0,83 1,01 1,03 1,07 1,32 1,13 1,25 1,1 1,37 1,32 1,56 1,23 1,73 1,26 1,63 1,67 1,58 1,49 1,43 1,43 1,34 1,31 1,43 1,42 1,53 1,53 1,52 1,66 1,48 1,38 1,55 1,4 1,45 1,16 1,29 1,49 1,39 1,28 1,46 1,33 1,21 1,47 1,09 1,35 1,38 1,26 1,06 1,21 1,45 1,29 1,17 1,22 1,51 1,38
BD
Hidraulik konduktiviti (gr cm-3) (cm/jam) 0,04 360 0,05 360 0,05 352 0,05 411 0,05 361 0,09 327 0,1 349 0,13 369 0,09 314 0,12 349 0,06 333 0,03 310 0,05 300 0,06 321 0,12 290 0,08 281 0,06 310 0,14 257 0,12 300 0,11 321 0,07 288 0,06 300 0,05 320 0,07 343 0,07 351 0,14 272 0,1 272 0,09 327 0,14 225 0,15 232 0,15 262 0,06 215 0,09 252 0,08 234 0,1 248 0,15 257 0,16 265 0,14 290 0,11 273 0,16 281 0,12 220 0,13 231 0,12 225 0,15 237 0,13 243 0,2 250 0,18 243 0,2 237 0,13 257 0,09 255 0,12 228 0,13 218 0,12 208 0,12 213 0,12 229 0,14 211 0,17 201 0,16 196 0,13 192 0,13 206
Subsidence (cm) 5 4 5 2 3 15 7 4 12 5 12 7 4 9 3 4 1 1 0 0 3 2 2 2 2 9 9 9 7 7 4 3 2 3 3 3 3 4 3 1 6 4 4 4 6 1 1,5 1 1 1 14 12 9 3 3 9 12 13 10 2
138
Lampiran 4. Lanjutan Land use, Desa Hutan, Simpang Hutan, Simpang Hutan, Simpang Hutan, Simpang Hutan, Simpang Semak I, Simpang Semak I, Simpang Semak I, Simpang Semak I, Simpang Semak I, Simpang Semak II, Simpang Semak II, Simpang Semak II, Simpang Semak II, Simpang Semak II, Simpang Karet, Simpang Karet, Simpang Karet, Simpang Karet, Simpang Karet, Simpang Hutan, Cot gajah mati Hutan, Cot gajah mati Hutan, Cot gajah mati Hutan, Cot gajah mati Hutan, Cot gajah mati Kelapa sawit I, Cot gajah mati Kelapa sawit I, Cot gajah mati Kelapa sawit I, Cot gajah mati Kelapa sawit I, Cot gajah mati Kelapa sawit I, Cot gajah mati Kelapa sawit II, Cot gajah mati Kelapa sawit II, Cot gajah mati Kelapa sawit II, Cot gajah mati Kelapa sawit II, Cot gajah mati Kelapa sawit II, Cot gajah mati Karet, Suak raya Karet, Suak raya Karet, Suak raya Karet, Suak raya Karet, Suak raya Kelapa sawit I, Suak raya Kelapa sawit I, Suak raya Kelapa sawit I, Suak raya Kelapa sawit I, Suak raya Kelapa sawit I, Suak raya Kelapa sawit II, Suak raya Kelapa sawit II, Suak raya Kelapa sawit II, Suak raya Kelapa sawit II, Suak raya Kelapa sawit II, Suak raya Kelapa sawit I, Suak puntong Kelapa sawit I, Suak puntong Kelapa sawit I, Suak puntong Kelapa sawit I, Suak puntong Kelapa sawit I, Suak puntong Kelapa sawit II, Suak puntong Kelapa sawit II, Suak puntong Kelapa sawit II, Suak puntong Kelapa sawit II, Suak puntong Kelapa sawit II, Suak puntong
Titik Pengmatan 10 50 100 200 250 5 10 50 150 250 5 10 50 150 250 5 10 50 150 250 5 10 90 135 190 30 40 50 60 70 20 35 50 65 90 5 10 30 50 70 5 10 30 50 70 5 10 25 40 55 5 10 40 70 100 5 10 40 70 100
Rataan (cm) 75 55 50 44 41 87 83 54 45 49 88 88 85 60 40 43 41 31 29 31 19 12 14 10 9 37 36 32 31 40 17 15 18 12 26 49 53 50 38 46 51 4 44 52 49 37 34 52 55 48 67 68 61 52 53 84 73 83 63 60
Muka air tanah Minimum Maksimum Fluktuasi (cm) (cm) (cm) 56 89 33 34 74 40 30 70 40 20 64 44 20 52 32 68 108 40 69 97 28 47 60 13 25 61 36 20 90 70 54 120 66 76 102 26 70 100 30 49 79 30 24 66 42 34 57 23 28 57 29 6 56 50 10 51 41 13 60 47 11 27 16 10 14 4 8 20 12 7 13 6 5 12 7 5 69 64 5 63 58 9 59 50 5 60 55 5 76 71 12 22 10 9 20 11 13 22 9 9 15 6 11 40 29 18 65 47 21 70 49 20 70 50 13 60 47 23 62 39 33 60 27 23 58 35 12 54 42 30 60 30 24 58 34 24 46 22 25 39 14 43 63 20 36 61 25 36 55 19 52 82 30 49 81 32 41 73 32 40 65 25 44 66 22 69 98 29 77 78 1 65 112 47 50 72 22 52 72 20
Lampiran 4. Lanjutan Land use, Desa
Hutan, Simpang Hutan, Simpang Hutan, Simpang Hutan, Simpang Hutan, Simpang Semak I, Simpang Semak I, Simpang Semak I, Simpang Semak I, Simpang Semak I, Simpang Semak II, Simpang Semak II, Simpang Semak II, Simpang Semak II, Simpang Semak II, Simpang Karet, Simpang Karet, Simpang Karet, Simpang Karet, Simpang Karet, Simpang Hutan, Cot gajah mati Hutan, Cot gajah mati Hutan, Cot gajah mati Hutan, Cot gajah mati Hutan, Cot gajah mati Kelapa sawit I, Cot gajah mati Kelapa sawit I, Cot gajah mati Kelapa sawit I, Cot gajah mati Kelapa sawit I, Cot gajah mati Kelapa sawit I, Cot gajah mati Kelapa sawit II, Cot gajah mati Kelapa sawit II, Cot gajah mati Kelapa sawit II, Cot gajah mati Kelapa sawit II, Cot gajah mati Kelapa sawit II, Cot gajah mati Karet, Suak raya Karet, Suak raya Karet, Suak raya Karet, Suak raya Karet, Suak raya Kelapa sawit I, Suak raya Kelapa sawit I, Suak raya Kelapa sawit I, Suak raya Kelapa sawit I, Suak raya Kelapa sawit I, Suak raya Kelapa sawit II, Suak raya Kelapa sawit II, Suak raya Kelapa sawit II, Suak raya Kelapa sawit II, Suak raya Kelapa sawit II, Suak raya Kelapa sawit I, Suak puntong Kelapa sawit I, Suak puntong Kelapa sawit I, Suak puntong Kelapa sawit I, Suak puntong Kelapa sawit I, Suak puntong Kelapa sawit II, Suak puntong Kelapa sawit II, Suak puntong Kelapa sawit II, Suak puntong Kelapa sawit II, Suak puntong Kelapa sawit II, Suak puntong
Titik Pengmatan 10 50 100 200 250 5 10 50 150 250 5 10 50 150 250 5 10 50 150 250 5 10 90 135 190 30 40 50 60 70 20 35 50 65 90 5 10 30 50 70 5 10 30 50 70 5 10 25 40 55 5 10 40 70 100 5 10 40 70 100
N
pH
KTK
P total
Fe
Mn
(%) 1,8 1,63 1,67 1,74 1,54 1,48 1,44 0,8 1,39 1,51 1,52 1,84 1,76 1,71 1,73 1,26 1,57 1,54 1,78 1,51 1,84 1,67 2,24 1,76 1,85 1,85 1,99 1,84 1,61 1,54 1,74 1,68 1,56 1,61 1,72 1,56 1,66 1,56 1,72 1,45 1,48 1,55 1,46 1,63 1,62 1,33 1,28 1,29 1,42 1,16 1,23 1,38 1,27 1,39 1,28 1,07 1,05 1,06 1,07 1,28
4,1 3,8 4,1 4 3,9 4,2 4,3 4,3 4,2 4,3 4,2 4,2 4,3 4,3 4,3 3,8 4,2 4,1 4,3 4,1 5,3 4,9 5 5,4 5 4,4 4,6 3,9 3,7 4,4 4,1 4,6 4,2 4,4 4 4 3,9 3,7 4 3,9 3,4 3,7 3,5 3,6 3,5 3,6 3,5 3,5 3,7 3,5 3,4 3,5 3,3 3,4 3,6 3,3 3,4 3,3 3,3 3,4
(mg/kg) 62,75 72,67 60,5 56,27 61,51 62,5 69,69 74,4 56,18 48,93 67,31 63,55 65,59 64,12 72,17 62,12 62,74 71,41 69,71 70,91 57,86 55,15 51,81 48,33 62,7 36,31 42,26 48,15 65,9 45,23 47,36 45,35 60,1 41,56 51,91 61,53 65,95 60,8 64,59 69,75 66,02 74,52 64,65 72 63,05 61,2 62,64 65,09 67,87 50,2 67,88 69,9 56,73 62,12 57,67 66,1 59,35 58,55 66,71 109,65
(mg/kg) 3894 3880 3643 3765 3912 868 868 880 898 876 922 979 1011 988 1112 1924 1469 1672 1632 1660 1558 1401 1316 1228 1593 1146 905 1031 1411 969 1014 971 1287 890 1111 1088 1075 1054 1097 1074 487 552 480 534 468 559 527 548 571 423 821 830 808 834 812 806 825 815 805 821
(mg/kg) 917 944 907 844 922 642 696 669 617 538 652 635 655 640 721 969 940 999 975 992 1908 1929 1812 1691 2194 1837 1478 1684 2306 1583 1657 1587 2103 1454 1816 1026 1186 1093 1162 1255 1000 1340 1163 1295 1134 1137 1127 1171 1221 1104 1404 1467 1190 1304 1211 1388 1246 1229 1200 1472
(mg/kg) 34 36 30 28 30 25 26 28 21 18 16 18 18 17 20 51 50 52 51 52 25 27 25 24 31 40 21 24 24 22 23 22 25 20 26 24 26 23 25 27 55 52 53 59 51 12 13 14 15 11 25 25 20 22 20 23 21 21 23 32
140
Lampiran 4. Lanjutan Land use, Desa
Hutan, Simpang Hutan, Simpang Hutan, Simpang Hutan, Simpang Hutan, Simpang Semak I, Simpang Semak I, Simpang Semak I, Simpang Semak I, Simpang Semak I, Simpang Semak II, Simpang Semak II, Simpang Semak II, Simpang Semak II, Simpang Semak II, Simpang Karet, Simpang Karet, Simpang Karet, Simpang Karet, Simpang Karet, Simpang Hutan, Cot gajah mati Hutan, Cot gajah mati Hutan, Cot gajah mati Hutan, Cot gajah mati Hutan, Cot gajah mati Kelapa sawit I, Cot gajah mati Kelapa sawit I, Cot gajah mati Kelapa sawit I, Cot gajah mati Kelapa sawit I, Cot gajah mati Kelapa sawit I, Cot gajah mati Kelapa sawit II, Cot gajah mati Kelapa sawit II, Cot gajah mati Kelapa sawit II, Cot gajah mati Kelapa sawit II, Cot gajah mati Kelapa sawit II, Cot gajah mati Karet, Suak raya Karet, Suak raya Karet, Suak raya Karet, Suak raya Karet, Suak raya Kelapa sawit I, Suak raya Kelapa sawit I, Suak raya Kelapa sawit I, Suak raya Kelapa sawit I, Suak raya Kelapa sawit I, Suak raya Kelapa sawit II, Suak raya Kelapa sawit II, Suak raya Kelapa sawit II, Suak raya Kelapa sawit II, Suak raya Kelapa sawit II, Suak raya Kelapa sawit I, Suak puntong Kelapa sawit I, Suak puntong Kelapa sawit I, Suak puntong Kelapa sawit I, Suak puntong Kelapa sawit I, Suak puntong Kelapa sawit II, Suak puntong Kelapa sawit II, Suak puntong Kelapa sawit II, Suak puntong Kelapa sawit II, Suak puntong Kelapa sawit II, Suak puntong
Titik Pengmatan 10 50 100 200 250 5 10 50 150 250 5 10 50 150 250 5 10 50 150 250 5 10 90 135 190 30 40 50 60 70 20 35 50 65 90 5 10 30 50 70 5 10 30 50 70 5 10 25 40 55 5 10 40 70 100 5 10 40 70 100
K
Ca
Mg
Na
(mg/kg) 412 410 411 382 418 134 134 143 122 130 131 138 135 132 145 395 389 412 402 409 956 973 914 853 971 316 317 320 324 301 307 316 310 314 362 354 341 334 365 360 233 236 205 228 230 107 126 131 137 101 222 221 219 239 217 242 218 220 231 248
(mg/kg) 4625 4655 4622 4718 4671 2329 2366 2593 2713 2363 1352 1369 1468 1397 1406 1711 1730 1749 1767 1789 6657 5663 6502 6334 6328 3576 3641 3522 3813 3684 3722 3190 3290 3307 3507 1261 1318 1369 1319 1336 4130 3955 4122 4377 4140 4262 3025 3144 3278 4242 2679 2673 2740 2583 2785 2692 2686 2828 2722 2695
(mg/kg) 815 913 941 876 957 312 385 358 472 461 137 189 221 198 269 633 676 711 685 694 4253 4268 4806 4752 4679 1182 1257 1249 1226 1198 1166 1206 1235 1167 1208 817 826 947 867 886 1235 1160 1106 1121 1198 191 202 213 196 211 451 488 483 467 489 529 494 491 508 517
(mg/kg) 327 334 298 328 317 255 262 242 258 244 235 265 301 294 231 280 288 298 274 295 366 353 382 362 388 279 284 274 292 287 271 280 276 291 283 312 303 319 316 320 362 372 357 341 369 190 187 199 302 302 239 231 240 265 245 263 272 269 276 284
Repirasi CO2 (ppm) 414 388 391 229 467 300 415 346 409 418 384 379 377 355 386 135 211 409 410 325 563 629 724 882 756 2051 1572 2518 1572 1390 1318 1453 1604 1546 1533 1154 1298 1402 1435 1396 448 548 474 430 367 349 357 325 320 335 482 523 569 627 566 492 489 508 521 513
Salinitas (m mos/cm) 90 95 100 95 90 60 60 70 65 60 70 60 65 76 50 65 65 50 60 55 245 240 235 250 270 78 78 74 80 70 65 65 74 70 82 108 108 105 113 120 105 105 102 107 100 70 70 65 58 55 100 100 114 110 116 95 95 110 114 108
151 Lampiran 5. Gambar hubungan antara kehilangan karbon dengan jarak lokasi dari saluran drainase pada lokasi kajian hutan di desa Simpang.
Kehilangan karbon (kg/m2)
Penggunaan lahan Hutan di desa Simpang 0,70 0,60 0,50 0,40 0,30 0,20 0,10 0,00
y = -0,1016Ln(x) + 0,8881 R2 = 0,7812 0
50
100
150
200
250
300
Jarak dari saluran (m)
Lampiran 6. Gambar hubungan antara kehilangan karbon dengan jarak lokasi dari saluran drainase pada lokasi kajian semak I di desa Simpang.
Kehilangan karbon (kg/m2)
Penggunaan lahan Semak I di desa Simpang 2,50 2,00
y = -0,2684Ln(x) + 2,0994 R2 = 0,6378
1,50 1,00 0,50 0,00 0
50
100
150
200
250
300
Jarak dari saluran (m)
Lampiran 7. Gambar hubungan antara kehilangan karbon dengan jarak lokasi dari saluran drainase pada penggunaan lahan semak II di desa Simpang.
Kehilangan karbon (kg/m2)
Penggunaan lahan Semak II di desa Simpang 2,50 2,00
y = -0,2176Ln(x) + 1,9679 R2 = 0,558
1,50 1,00 0,50 0,00 0
50
100
150
200
Jarak dari saluran (m)
250
300
152 Lampiran 8. Gambar hubungan antara kehilangan karbon dengan jarak lokasi dari saluran drainase pada lokasi kebun karet I di desa Simpang.
Kehilangan karbon (kg/m2)
Penggunaan lahan Karet di desa Simpang 0,30 0,25 0,20 0,15 0,10 0,05 0,00
y = -0,0431Ln(x) + 0,2424 R2 = 0,5986
0
50
100
150
200
250
300
Jarak dari saluran (m)
Lampiran 9. Gambar hubungan antara kehilangan karbon dengan jarak lokasi dari saluran drainase pada lokasi kebun kelapa sawit di desa Cot Gajah Mati.
Kehilangan karbon (kg/m2)
Penggunaan lahan Kelapa sawit di desa Cot gajah mati 2,50 2,00 1,50 1,00 0,50 0,00
y = -0,1937Ln(x) + 2,4252 R2 = 0,6574 0
50
100
150
200
Jarak dari saluran (m)
Lampiran 10. Gambar hubungan antara kehilangan karbon dengan jarak lokasi dari saluran drainase pada lokasi kebun karet di desa Suak Raya.
Kehilangan karbon (kg/m2)
Penggunaan lahan Karet di desa Suak raya 0,300 0,250 0,200 0,150 0,100 0,050 0,000
y = -0,0415Ln(x) + 0,3343 R2 = 0,3414
0
20
40 Jarak dari saluran (m)
60
80
153 Lampiran 11. Gambar hubungan antara kehilangan karbon dengan jarak lokasi dari saluran drainase pada lokasi kebun kelapa sawit I di desa Suak Raya.
Kehilangan karbon (kg/m2)
Penggunaan lahan Kelapa sawit I di desa Suak raya 1,20 1,00 0,80 0,60 0,40 0,20 0,00
y = -0,0075Ln(x) + 0,9189 R2 = 0,0035
0
20
40
60
80
Jarak dari saluran (m)
Lampiran 12. Gambar hubungan antara kehilangan karbon dengan jarak lokasi dari saluran drainase pada lokasi kajian kelapa sawit II di desa Suak Raya.
Kehilangan karbon (kg/m2)
Penggunaan lahan Kelapa sawit II di desa Suak raya 0,20 y = -0,0187Ln(x) + 0,1663 R2 = 0,2074
0,15 0,10 0,05 0,00 0
10
20
30
40
50
60
Jarak dari saluran (m)
Lampiran 13. Gambar hubungan antara kehilangan karbon dengan jarak lokasi dari saluran drainase pada lokasi kajian kelapa sawit I di desa Suak Puntong.
Kehilangan karbon (kg/m2)
Penggunaan lahan Kelapa sawit I di desa Suak puntong 3,00
y = -0,5909Ln(x) + 3,3245 R2 = 0,978
2,00 1,00 0,00 0
20
40
60
80
Jarak dari saluran (m)
100
120
154
Lampiran 14. Gambar hubungan antara kehilangan karbon dengan jarak lokasi dari saluran drainase pada lokasi kebun kelapa sawit II di desa Suak Puntong.
Kehilangan karbon (kg/m2)
Penggunaan lahan Kelapa sawit II di desa Suak puntong 2,00 1,50 y = -0,2506Ln(x) + 2,267 R2 = 0,3311
1,00 0,50 0,00 0
20
40
60
80
100
120
Jarak dari saluran (m)
Lampiran 15. Gambar hubungan antara jarak dari saluran drainase dengan subsidence pada lokasi hutan di desa Simpang Hutan (Simpang)
Subsidence (cm)
6
y = -0,7268Ln(x) + 6,9454 R2 = 0,5218
5 4 3 2 1 0 0
50
100
150
200
250
300
Jarak dari saluran (m)
Lampiran 16. Gambar hubungan antara jarak dari saluran drainase dengan subsidence pada lokasi semak I di desa Simpang
Subsidence (cm)
Semak I (Simpang) 16 14 12 10 8 6 4 2 0
y = -1,2474Ln(x) + 13,18 R2 = 0,1989
0
50
100
150
200
Jarak dari saluran (m)
250
300
155
Lampiran 17. Gambar hubungan antara jarak dari saluran drainase dengan subsidence pada lokasi semak II di desa Simpang
Subsidence (cm)
Semak II (Simpang) 14 12 10 8 6 4 2 0
y = -1,3819Ln(x) + 12,073 R2 = 0,4032
0
50
100
150
200
250
300
Jarak dari saluran (m)
Lampiran 18. Gambar hubungan antara jarak dari saluran drainase dengan subsidence pada lokasi karet di desa Simpang
Subsidence (cm)
Karet (Simpang) 5 y = -0,8224Ln(x) + 4,2192 R2 = 0,7139
4 3 2 1 0 0
50
100
150
200
250
300
Jarak dari saluran (m)
Lampiran 19. Gambar hubungan antara jarak dari saluran drainase dengan subsidence pada lokasi kelapa sawit I di desa Suak Puntong
Subsidence (cm)
Kelapa sawit I (Suak Puntong) 20
y = -3,7845Ln(x) + 20,655 R2 = 0,9205
15 10 5 0 0
20
40
60
80
Jarak dari saluran (m)
100
120
156
Lampiran 20. Gambar hubungan antara jarak dari saluran drainase dengan subsidence pada lokasi kelapa sawit II di desa Suak Puntong
Subsidence (cm)
Kelapa sawit II (Suak puntong) 14 12 10 8 6 4 2 0
y = -1,4554Ln(x) + 13,99 R2 = 0,1871
0
20
40
60
80
100
120
Jarak dari saluran (m)
Lampiran 21. Gambar hubungan antara jarak dari saluran drainase dengan subsidence pada lokasi karet di desa Suak Raya
Subsidence (cm)
Karet (Suak Raya) 5
y = -0,0258x + 3,6527 R2 = 0,4145
4 3 2 1 0 0
10
20
30
40
50
60
70
80
Jarak dari saluran (m)
Lampiran 22. Gambar hubungan antara jarak dari saluran drainase dengan subsidence pada lokasi kelapa sawit I di desa Suak Raya
Subsidence (cm)
Kelapa sawit I (Suak Raya) 7 6 5 4 3 2 1 0
y = -0,1346Ln(x) + 5,2166 R2 = 0,0186
0
10
20
30
40
50
Jarak dari saluran (m)
60
70
80
157
Lampiran 23. Gambar hubungan antara jarak dari saluran drainase dengan subsidence pada lokasi kelapa sawit II di desa Suak Raya
Subsidence (cm)
Kelapa sawit II (Suak Raya) 2 y = -0,0839Ln(x) + 1,3487 R2 = 0,139
1,5 1 0,5 0 0
10
20
30
40
50
60
Jarak dari saluran (m)
Lampiran 24. Gambar hubungan antara jarak dari saluran drainase dengan subsidence pada penggunaan lahan kelapa sawit I di desa Cot Gajah Mati.
Subsidence (cm)
Kelapa sawit (Cot gajah mati) 10 y = -0,5046Ln(x) + 10,073 R2 = 0,5732
9 8 7 6 0
50
100 Jarak dari saluran (m)
150
200