Untuk informasi lebih lanjut, silakan menghubungi:
Nita Murjani n.murjani@cgiar.org Regional Communications for Asia Telp: +62 251 8622 070 ext 500, HP. 0815 5325 1001
Untuk segera dipublikasikan
Ilmuwan mendesak penyelamatan lahan gambut dunia yang kaya karbon BOGOR, Indonesia (25 November 2010) _ Sebuah penelitian baru menunjukkan bahwa sejumlah besar karbon dilepaskan ke atmosfer ketika hamparan hutan yang tumbuh pada rawa gambut di Asia Tenggara dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit. Hal ini mendorong para ilmuwan untuk mendesak perlunya perhatian khusus tentang isu tersebut dalam diskusi iklim yang akan datang. Lahan gambut mencakup sekitar 3% dari luasan daratan di bumi, namun dapat menyimpan hingga sejumlah 1/3 dari keseluruhan karbon tanah. Apabila karbon tersebut diemisikan ke atmosfer, maka hal tersebut akan setara dengan sekitar 75 tahun pembakaran bahan bakar fosil jika dihitung pada laju pembakaran bahan bakar fosil global saat ini. Lebih dari 100.000 hektar lahan gambut di Asia Tenggara saat ini setiap tahunnya dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit dan penghasil bubur kayu. Dalam sebuah artikel yang telah melalui telaah para ahli yang dipublikasikan bulan ini dalam jurnal PNAS, sejumlah ilmuwan dari Center for International Forestry Research (CIFOR) yaitu: Daniel Murdiyarso, Kristell Hergoualc’h, dan Louis Verchot, mendesak pentingnya point khusus tentang lahan gambut dalam berbagai kesepakatan di masa mendatang perihal REDD+, sebuah mekanisme global untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dari deforestasi dan degradasi hutan, serta konservasi dan pengelolaan hutan secara lestari, serta peningkatan cadangan karbon hutan. “Diperlukan tindakan untuk menghentikan perusakan lahan gambut berhutan yang saat ini tingkat perusakannya sangat mengkhawatirkan,” demikian disampaikan Murdiyarso. “kita tahu bahwa lahan gambut
mengandung lebih banyak karbon yang tersimpan di bawah tanah yang tersimpan di atas tanah, namun seberapa besar yang dilepaskan sebagai emisi bergantung pada berbagai faktor biofisik dan praktik-praktik pengelolaannya”. Acuan penghitungan gas rumah kaca yang dikembangkan oleh Panel Antar Pemerintah Tentang Perubahan Iklim (IPCC) tidak menyebutkan secara spesifik tentang tentang gambut. Mereka lebih mengacunya secara luas sebagai lahan basah, yang sebenarnya juga mencakup persawahan, rawarawa, sungai-sungai alami dan sistem danau, yang mengandung karbon jauh lebih sedikit daripada lahan gambut. “Hingga saat ini, kita hanya memiliki pengetahuan yang sangat terbatas tentang faktor-faktor emisi untuk penghitungan gas rumah kaca pada lahan gambut tropis; jauh lebih sedikit dibandingkan pengetahuan yang sama tentang jenis ekosistem yang lain,” ujar Hergoualc’h. “Namun demikian, sekarang kita lebih memahami tentang faktor-faktor tersebut untuk lahan gambut tropis. Kami telah menghitung karbon yang hilang dari gambut pada suatu perubahan pemanfaatan lahan dengan mengukur bagaimana sebuah peralihan pada vegetasi mengubah pemasukan dan pengeluaran utama karbon dari gambut.” Lahan gambut umumnya dijumpai pada daerah yang berawa di mana kondisi tergenang air membatasi difusi oksigen ke dalam tanah, memperlambat dekomposisi kandungan organik yang mati, seperti tumbuhtumbuhan dan pohon. Walaupun tanah gambut cenderung miskin hara dan karenanya hanya sesuai untuk beberapa tipe tanaman komoditas pertanian tertentu, tetapi ekosistem lahan gambut ini, setidaknya di daerah tropis, merupakan ekosistem yang penting untuk keanekaragaman hayati, menyediakan tempat hidup bagi ribuan spesies, termasuk berbagai jenis tumbuhan dan binatang yang endemik, langka dan terancam punah. Lahan gambut juga dimanfaatkan secara meluas oleh masyarakat yang bertempat tinggal di daerah tersebut, khususnya untuk sumber kayu dan bahan bakar. Di Indonesia yang merupakan salah satu pemilik lahan gambut terluas di dunia, perlindungan dari tempat “tampungan” karbon ini terancam oleh peraturan nasional tahun 2009 yang memberikan ijin untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut dengan kedalaman gambut kurang dari 3 meter. Sayangnya hal ini tetap berlangsung meskipun pada tahun yang sama pemerintah menerbitkan laporan yang mengungkapkan bahwa hampir separuh emisi karbon dari negara ini bersumber dari perusakan dan degradasi lahan gambut. Indonesia adalah negara pengemisi karbon ketiga terbesar di dunia.
Salah satu tantangan utama dalam memanfaatkan REDD+ untuk memperlambat laju perusakan lahan gambut adalah untuk menemukan cara untuk memberikan kompensasi yang paling sesuai bagi masyarakat untuk tidak membudidayakan kelapa sawit di atas lahan gambut. Satu hektar perkebunan sawit di Indonesia dapat memberikan keuntungan bersih bagi pemiliknya sejumlah $4.000 hingga $10.000. Hal ini lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan hanya membiarkan hutan dan gambut tidak terganggu dan hanya memetik hasil kredit karbon dari pasar sukarela yang pada tarif yang berlaku saat anya akan menghasilkan $500 sampai dengan $1000. Meningkatnya permintaan minyak kelapa sawit mentah dari Cina, India dan Eropa yang sebagian besar digunakan untuk minyak goreng, memungkinkan keuntungan lebih besar bagi industri perkebunan kelapa sawit. Hal ini tentu dapat menjadi kendala bagi program REDD+, jika REDD+ dipandang kurang menguntungkan dibanding perkebunan kelapa sawit. “Jika kebijakan-kebijakan Iklim global tidak dapat menciptakan sistem insentif yang signifikan untuk mengatasi faktor ekonomi pendorong deforestasi, maka skema REDD+ tidak akan dapat bersaing secara finansial”, demikian ujar Verchot. Diperkirakan bahwa kehilangan total karbon akibat konversi hutan rawa gambut menjadi perkebunan kelapa sawit adalah sebesar 60 ± 10 ton karbondioksida per hektar per tahun, selama 25 tahun pertama setelah perubahan pemanfaatan tutupan lahan. Lebih dari separuhnya berasal dari gambut itu sendiri. Sekitar seperempat dari emisi total dilepaskan selama tahun pertama ketika pembakaran dilakukan untuk membuka lahan. Angka total ini lebih dari dua kali lipat dari karbon yang hilang akibat konversi hutan pada tanah mineral menjadi perkebunan kelapa sawit.
Walaupun lahan gambut telah lama dipandang sebagai daerah penting untuk penyimpanan karbon – dan bahwa hilangnya lahan tersebut mengakibatkan pelepasan gas rumah kaca yang sangat besar ke atmosfer, usaha-usaha yang dilakukan untuk dapat lebih memahami atau menghitung tingkat penyimpanan karbon yang dimiliki oleh ekosistem ini masih jauh dari yang diharapkan. CIFOR dan rekanannya saat ini melakukan penelitian untuk memantau dan mengukur sumber karbon dan fluktuasinya pada lahan gambut di berbagai wilayah Indonesia dengan harapan agar informasi
tersebut dapat menjadi senjata yang berharga dalam pertempuran melawan perubahan iklim. ############## Untuk membaca artikel dalam PNAS yang berjudul “Opportunities for reducing greenhouse gas emissions in tropical peatlands,” (Peluang untuk mengurangi emisi gas rumah kaca pada lahan gambut tropis), silahkan klik di sini. ############## The Center for International Forestry Research (CIFOR)
CIFOR memajukan kesejahteraan manusia, konservasi lingkungan dan kesetaraan melalui penelitian yang berorientasi pada kebijakan dan praktik yang mempengaruhi kondisi hutan di negara berkembang. CIFOR membantu memastikan agar pembuatan keputusan yang berdampak pada hutan berdasarkan pada keilmuan yang kuat dan prinsip-prinsip pengelolaan yang baik dan mencerminkan kepentingan negara-negara berkembang serta masyarakat yang bergantung atas hutan. CIFOR merupakan salah satu dari 15 pusat penelitian yang tergabung dalam Kelompok Konsultatif bagi Penelitian Pertanian Internasional (Consultative Group on International Agricultural Research). www.cifor.cgiar.org www.ForestsClimateChange.org
Para jurnalis yang akan berada di Cancún untuk COP 16 juga direkomendasikan untuk menghadiri peringatan Hari Hutan (Forest Day) pada tanggal 5 Desember 2010. Forest Day merupakan salah satu landasan utama yang bersifat global bagi siapa saja yang berminat atas hutan dan perubahan iklim untuk saling berinteraksi dan bertukar pikiran. Tahun lalu, sekitar 1.500 orang menghadiri acara tersebut di Kopenhagen, termasuk sejumlah pemimpin dunia, tiga pemenang nobel, kalangan peneliti terkemuka, donor, para pembuat kebijakan, sejumlah pemimpin masyarakat pribumi, 250 negosiator iklim dan lebih dari 100 jurnalis. Tahun ini kami memperkirakan bahwa sebanyak 2.000 orang akan turut ambil bagian. Untuk informasi lebih lanjut dan pendaftaran, silahkan mengunjungi situs www.forestday.org