KAJIAN AKTIVITAS ANTIMIKROBA EKSTRAK BELALANG TERHADAP BAKTERI E. coli DAN S. aureus SERTA APLIKASINYA PADA BAKSO DAGING
SKRIPSI
ARDY F24080098
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 0
STUDY ON THE ANTIMICROBIAL ACTIVITY OF JAVANESE GRASSHOPPER EXTRACT OF MICROBES E. coli AND S. aureus AND ITS APPLICATION ON MEATBALLS Ardy, Joko Hermanianto, and Suliantari Department of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO BOX 220, Bogor, West Java, Indonesia Phone +62857 1153 8607, e-mail:
[email protected]
ABSTRACT Javanese grasshopper (Vangala nigricornis) is one of various insects that grows in Indonesia. Beside to its nature is destructive and considered crop pests for farmers, Javanese grasshopper used as food for some people, particularly in Wonosari Jogjakarta. In addition to the useful as food, Javanese Grasshoppers also capable of inhibiting the growth of pathogenic bacterias, that are E. coli and S. aureus. The aim of this research was to find out the Javanese grasshopper as a preservative in fact, meat products. Research prefixed to prove the existence of the antimicrobial activity from Javanese grasshopper by using the well diffusion method. Extract derived from four solvents, that were water, ethanol, acetic acid, and hexan. From four extracts was got, extract acetic acid (± 9 mm) and extract ethanol (± 7 mm) that showed antibacterial activity. Next step was to determined the minimum inhibitory concentration of the extract was selected (acetic acid), which amounted to 6 %. The last step was to test to meatball products, from this test known the extracts Javanese grasshopper able to extend the life of stored meatballs than meatballs control. Keyword: Javanese grasshopper, preservative, antibacterial, meatball
0
ARDY. F24080098. Kajian Aktivitas Antimikroba Ekstrak Belalang Terhadap Bakteri E. coli dan S. aureus serta Aplikasinya pada Bakso Daging. Di bawah bimbingan Joko Hermanianto dan Suliantari. 2013.
RINGKASAN Belalang kayu merupakan salah satu jenis serangga yang tumbuh di Indonesia. Di samping sifatnya yang merusak dan dianggap sebagai hama pengganggu bagi petani, belalang kayu telah digunakan sebagai makanan untuk sebagaian orang, terutama bagi masyarakat Wonosari Jogjakarta. Selain bermanfaat sebagai bahan pangan, belalang kayu juga memiliki kemampuan dalam menghambat pertumbuhan bakteri patogen, seperti E. coli dan S. aureus. Hal tersebut menjadikan belalang kayu sebagai pengawet alami yang potensial untuk dikembangkan, terlebih bagi produk berbahan dasar daging yang mudah sekali rusak. Penelitian antimikroba pada belalang ini dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu persiapan sampel dan kultur bakteri uji, ekstraksi dengan metode maserasi, uji aktivitas antibakteri dengan metode difusi sumur, penentuan konsentrasi hambat minimal, serta uji aplikasinya pada produk bakso daging. Pada penelitian ini, belalang kayu yang diperoleh dari Wonosari Jogjakarta terlebih dahulu dibuat menjadi tepung belalang kayu. Tepung belalang kayu ini kemudian diekstrak menggunakan empat macam pelarut, antara lain air, etanol, etil asetat, dan heksan dengan perbandingan tepung dan pelarut 1:4. Sebanyak empat jenis ekstrak tepung belalang ini kemudian diuji aktivitas antibakteri terhadap bakteri E. coli dan S. aureus dengan metode difusi sumur. Ekstrak etanol dan etil asetat menghasilkan diameter penghambatan pada saat pengujian yang menandakan adanya aktivitas antimikroba. Ekstrak etanol menghasilkan diameter penghambatan sebesar 6,8 cm dan 7,1 cm terhadap bakteri E. coli dan S. aureus, sedangkan ekstrak dari pelarut etil asetat menghasilkan penghambatan yang lebih besar pada bakteri yang sama, yaitu sebesar 9,4 cm dan 9,1 cm. Ekstrak dari pelarut lainnya tidak menunjukkan adanya aktvitas penghambatan. Ekstrak etil asetat yang memiliki diameter penghambatan terbesar memiliki nilai MIC sebesar 6 %, dan diaplikasikan sebagai pengawet di bakso daging pada tahap selanjutnya. Bakso disimpan pada suhu ruang dan diamati pada 0 jam, 6 jam, 17 jam, 20 jam, dan 24 jam. Dari pengamatan diketahui bahwa bakso yang ditambahkan dengan ekstrak belalang mampu memperlambat kerusakan akibat mikroba hingga 17 jam, lebih baik dari bakso kontrol yang sudah rusak pada jam ke-6.
0
KAJIAN AKTIVITAS ANTIMIKROBA EKSTRAK BELALANG TERHADAP BAKTERI E. coli DAN S. aureus SERTA APLIKASINYA PADA BAKSO DAGING
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Oleh ARDY F24080098
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
0
J~dul
Skripsi
: Kajian Aktivitas Antimikroba Ekstrak Belalang Terhadap Bakteri E. coli dan S. allrellS serta Aplikasinya pada Bakso Daging
: Ardy : F24080098
Menyetujui,
Dosen Pembimbing I
Dr. Ir. Joko Hermanianto
NIP 195905281985031001
~ ::..;.gga l
ujian tugas akhir: 6 Mei 2013
Dosen Pembimbing II
Judul Skripsi Nama NIM
: Kajian Aktivitas Antimikroba Ekstrak Belalang Terhadap Bakteri E. coli dan S. aureus serta Aplikasinya pada Bakso Daging : Ardy : F24080098
Menyetujui, Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
Dr. Ir. Joko Hermanianto NIP 195905281985031001
Dr. Dra. Suliantari MS NIP195009281980032001
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Dr. Ir. Feri Kusnandar, M.Sc NIP 196805261993031004
Tanggal ujian tugas akhir: 6 Mei 2013
0
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Kajian Aktivitas Antimikroba Ekstrak Belalang Terhadap Bakteri E. coli dan S. aureus serta Aplikasinya pada Bakso Daging adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi.
Bogor, Mei 2013 Yang membuat pernyataan,
Ardy F24080098
0
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, microfilm, dan sebagainya.
0
BIODATA PENULIS
Ardy. Penulis lahir di Jakarta, 4 Januari 1991 dan merupakan anak pertama dari tiga bersaudara, dari pasangan Mawardi dan Masridawati. Pendidikan formal ditempuh penulis di TK. Aisyiyah (1995-1996), SD Negeri 011 Jakarta (1996-2002), SMP Negeri 107 Jakarta (2002-2005), dan SMA Negeri 38 Jakarta (2005-2008). Penulis melanjutkan pendidikan tinggi di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Penulis memperoleh beasiswa Bank Indonesia pada tahun 2011. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif di berbagai organisasi kemahasiswaan seperti Koperasi Mahasiswa, Forum Bina Islami Fateta, dan Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan. Penulis juga aktif mengajar di lembaga Bimbingan Belajar Salemba Group dan Al-Fattah. Penulis mengakhiri masa studi di IPB dengan menyelesaikan tugas akhir yang berjudul “Kajian Aktivitas Antimikroba Ekstrak Belalang Terhadap Mikroba E. coli dan S. aureus serta Aplikasinya pada Bakso Daging”. Korespondensi dengan penulis dapat melalui email
[email protected].
0
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, para sahabat, dan umatnya hingga akhir zaman. Penulis menyelesaikan tugas akhir dengan judul Kajian Aktivitas Antimikroba Ekstrak Belalang Terhadap Bakteri E. coli dan S. aureus serta Aplikasinya pada Bakso Daging. Berbagai pihak telah terlibat dalam pelakanaan penelitian hingga tersusunnya skripsi ini. Berkaitan dengan hal tersebut penulis ingin menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Kedua orang tua, Irvandi, dan Gita Maulia Putri serta keluarga besar atas do’a dan dukungan yang selalu diberikan kepada penulis. Dr. Ir. Joko Hermanianto sebagai dosen pembimbing utama yang dengan penuh kesabaran membimbing dan memberikan saran dalam pelaksanaan penelitian. Dr. Dra. Suliantari MS sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan dukungan kepada penulis serta masukan dan saran dalam pelaksanaan penelitian ini. Dr. Ir. Sukarno M.Sc sebagai dosen penguji yang telah meluangkan waktunya dan memberikan masukan untuk perbaikan skripsi ini. Ical dan Rista yang tidak pernah bosan memotivasi dalam penyelesaian skripsi ini. Kalian inspirasiku. Teman-teman sependeritaan di Laboratorium Mikrobiologi: Dio, Bangun, Tiur, Rara, Priska, Iin, Madun, Ifah, Mba Nisa, Fathin, dan Efrat. Teman-teman sepermainan Irfan, Oktan, Rendy, Sofian, Iqbal, Taufiq, Evan, Adjeb, Ojie, dan Donny. Teh Uyung, Mba Vera, Mba Ari, Pak Taufiq, Pak Rozak, Mas Edi. Semua pihak yang telah membantu dan tidak bisa disebutkan satu persatu.
Penulis tetap menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi masih banyak kekurangannya namun penulis tetap berharap semoga tulisan ini bermanfaat dan memberikan kontribusi yang nyata terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu dan teknologi pangan.
Bogor, Mei 2013
Ardy
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................................... iii DAFTAR ISI.......................................................................................................................... iv DAFTAR TABEL .................................................................................................................. v DAFTAR GAMBAR ............................................................................................................. vi DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................................ vii I. PENDAHULUAN ............................................................................................................... 1 A. LATAR BELAKANG ................................................................................................... 1 B. RUMUSAN MASALAH ............................................................................................... 2 C. TUJUAN ........................................................................................................................ 2 D. INDIKATOR KERJA PENELITIAN ......................................................................... 2 E. MANFAAT .................................................................................................................... 2 II. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................................... 3 A.
BAKSO DAGING ..................................................................................................... 3
B.
BAHAN TAMBAHAN PANGAN ........................................................................... 4
C.
SENYAWA ANTIMIKROBA ................................................................................. 5
D.
BAKTERI PATOGEN ............................................................................................. 6
E.
BELALANG .............................................................................................................. 8
F.
KITIN....................................................................................................................... 10
III. METODOLOGI ............................................................................................................ 11 A.
BAHAN DAN ALAT .............................................................................................. 11
B.
METODOLOGI PENELITIAN ............................................................................ 11
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN...................................................................................... 20 A.
PEMBUATAN TEPUNG BELALANG ................................................................ 20
B.
EKSTRAKSI TEPUNG BELALANG .................................................................. 20
C.
PERSIAPAN KULTUR BAKTERI ...................................................................... 21
D.
PENGUJIAN AKTIVITAS ANTIMIKROBA EKSTRAK AIR, ETANOL, ETIL ASETAT DAN HEKSAN BELALANG KAYU ........................................ 22
E.
PENENTUAN MINIMUM INHIBITORY CONCENTRATION (MIC) ............. 24
F.
APLIKASI EKSTRAK SEBAGAI PENGAWET PADA BAKSO .................... 25
V. SIMPULAN DAN SARAN ............................................................................................. 27 A.
SIMPULAN ............................................................................................................. 27
B.
SARAN ..................................................................................................................... 27
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................... 28 LAMPIRAN.......................................................................................................................... 31
iv
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Nilai nutrisi ternak dibandingkan dengan belalang .................................................................. 9 Tabel 2. Kombinasi konsentrasi penentuan MIC ................................................................................. 17 Tabel 3. Zona hambat ekstrak belalang konsentrasi 60 % terhadap bakteri uji .................................... 22 Tabel 4. Hasil pengujian aktivitas penghambatan ekstrak C ................................................................ 24 Tabel 5. Syarat mutu mikrobiologi bakso ............................................................................................ 25 Tabel 6. Hasil pengujian ekstrak belalang sebagai pengawet............................................................... 26
v
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Bakso daging ........................................................................................................................ 3 Gambar 2. Bentuk morfologi sel bakteri E. coli ..................................................................................... 7 Gambar 3. Bentuk morfologi sel bakteri S. aureus ................................................................................ 8 Gambar 4. Valanga nigricornis (belalang kayu) .................................................................................... 8 Gambar 5. Bagian tubuh serangga secara umum: (a) kepala, (b) thorax, dan (c) abdomen ................... 9 Gambar 6. Struktur molekul kitin (sumber: ceoe.udel.edu) ................................................................. 10 Gambar 7. Diagram alir penelitian ....................................................................................................... 11 Gambar 8. Diagram alir pembuatan tepung belalang ........................................................................... 12 Gambar 9. Diagram alir ekstraksi tepung belalang .............................................................................. 13 Gambar 10. Diagram alir persiapan kultur uji ...................................................................................... 14 Gambar 11. Diagram alir uji aktivitas antibakteri metode difusi sumur .............................................. 15 Gambar 12. Diagram alir penentuan MIC ............................................................................................ 16 Gambar 13. Diagram alir aplikasi ekstrak belalang pada bakso ........................................................... 18 Gambar 14. Bentuk morofologi bakteri S. aureus dengan pewarnaan gram ........................................ 21 Gambar 15. Bentuk morfologi bakteri E. coli dengan pewarnaan gram .............................................. 21 Gambar 16. Zona bening ekstrak belalang pada bakteri uji ................................................................. 22 Gambar 17. Hasil pengujian aktivitas antimikroba ekstrak belalang konsentrasi 60 % ....................... 22
vi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Rendemen ekstraksi tepung belalang ............................................................................... 32 Lampiran 2. Jumlah kultur bakteri awal ............................................................................................... 32 Lampiran 3. Diameter penghambatan ekstrak belalang terhadap bakteri dengan metode difusi sumur ....................................................................................................... 32 Lampiran 4. Nilai penghambatan ekstrak C ......................................................................................... 33 Lampiran 5. Nilai penghambatan ekstrak C ......................................................................................... 33 Lampiran 6. Pengujian sebagai pengawet pada bakso kontrol ............................................................. 34 Lampiran 7. Pengujian sebagai pengawet pada bakso yang ditambahkan ekstrak C konsentrasi 10 % ............................................................................................. 35
vii
I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Protein memiliki peran yang sangat penting pada fungsi dan struktur seluruh sel makhluk hidup. Protein terbagi menjadi dua, yaitu protein nabati dan hewani. Protein hewani kadangkala disebut juga “protein lengkap” karena mengandung seluruh asam-asam amino essensial dalam jumlah cukup untuk menunjang pertumbuhan serta untuk mempertahankan fungsi fisiologis tubuh (Piliang dan Soewando 2006). Salah satu produk hewani yang menjadi sumber protein dan digemari oleh masyarakat adalah daging. Daging memiliki kandungan gizi yang lengkap, sehingga dengan mengkonsumsi daging keseimbangan gizi untuk hidup dapat terpenuhi. Namun pada kenyataannya, sampai saat ini tidak semua masyarakat Indonesia dapat mengkonsumsi daging dengan cukup. Pemenuhan kebutuhan protein hewani untuk meningkatkan gizi suatu bangsa masih terus digalakkan khususnya di Negara berkembang seperti Indonesia. Diversifikasi produk dengan bahan baku daging terus dilakukan untuk menarik minat konsumen. Salah satu produk olahan daging yang sudah dikenal luas dan disukai oleh semua lapisan masyarakat mulai dari anak-anak, remaja, hingga orang tua adalah bakso. Bakso adalah salah satu produk olahan daging yang dalam pembuatannya menggunakan bahan pengisi berupa tepungtepungan atau bahan lain yang diizinkan serta melibatkan proses pencetakan dan perebusan. Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) 3818:1995, bakso adalah produk makanan berbentuk bulatan atau lain yang diperoleh dari campuran daging ternak dengan kadar daging tidak kurang dari 50 %. Daging yang digunakan dalam pembuatan bakso antara lain daging sapi, daging babi, daging ayam serta ikan laut, tetapi bakso yang sangat populer di Indonesia adalah bakso yang terbuat dari bahan dasar daging sapi. Meski bakso sangat memasyarakat, ternyata pengetahuan masyarakat mengenai bakso yang aman dan baik untuk dikonsumsi masih kurang. Hal ini terbukti dengan masih banyaknya bakso yang beredar menggunakan formalin ataupun boraks yang masih tetap dikonsumsi. Maraknya penggunaan bahan ilegal pada produk ini menjadi kekhawatiran tersendiri bagi konsumen bakso. Surat kabar Merdeka mengabarkan pada September 2012, BPOM menguji 70 sampel jajanan di kawasan Benhil, Jakarta Pusat. Hasil yang didapat dari pengujian tersebut membuktikan sejumlah panganan tersebut mengandung boraks. Makanan yang rentan akan penambahan boraks antara lain cendol, cincau, bakso, agar-agar, dan lontong. Dalam kehidupan sehari-hari bahan tambahan pangan digunakan secara umum oleh masyarakat, termasuk dalam pembuatan makanan jajanan. Namun dalam praktiknya, masih banyak produsen pangan menggunakan bahan tambahan pangan yang beracun atau berbahaya bagi kesehatan yang sebenarnya tidak boleh digunakan dalam makanan. Penyimpangan atau pelanggaran mengenai penggunaan bahan tambahan pangan yang sering dilakukan oleh produsen pangan, yaitu : (1) menggunakan bahan tambahan yang dilarang penggunaannya untuk makanan dan (2) menggunakan bahan tambahan pangan melebihi dosis yang diizinkan (Syah 2005). Formalin dan boraks bukan termasuk bahan tambahan pangan karena dapat membahayakan kesehatan manusia. Alasan produsen menggunakan formalin dan boraks sebagai bahan pengawet karena harga yang lebih murah, lebih awet, dan mutu produk yang dihasilkan lebih bagus. Formalin atau formaldehid adalah suatu bahan kimia yang berfungsi sebagai pengawet pada tekstil dan industri cat, kulit, kertas, mayat dan lain-lain. Bahan ilegal lainnya adalah boraks yang juga biasa disebut bleng, merupakan bahan solder, bahan pembersih, pengawet kayu, antiseptik kayu, dan pengontrol kecoa dalam dunia industri.
1
Selain bahan-bahan non-pangan yang berbahaya bagi kesehatan, masih terdapat resiko penyakit akibat keracunan makanan. Penyakit akibat keracunan makanan didefinisikan oleh World Healt Organization (WHO) sebagai infeksi penyakit atau racun alami yang disebabkan dari konsumsi makanan atau minuman. Adanya kasus-kasus tersebut membuat masyarakat lebih selektif dalam mengkonsumsi makanan dan mendorong penelitian tentang penggunaan bahan alami sebagai pengawet. Salah satu jenis bahan alami yang diupayakan untuk menjadi pengawet adalah belalang kayu. Belalang kayu sangat potensial untuk dikembangkan di balik sifatnya yang merusak dan menjadi pengganggu bagi para petani. Sebenarnya sejak dulu belalang sudah dijadikan makanan di beberapa daerah di Indonesia, namun belum dimanfaatkan menjadi produk pangan yang bernilai ekonomi dan daya guna lebih tinggi. Hal tersebut dimungkinkan pola pikir masyarakat yang menganggap mengkonsumsi belalang merupakan kebiasaan masyarakat ekonomi bawah sehingga aplikasi dan pengembangannya dalam bidang pangan sangat lambat. Diharapkan belalang mampu menjadi pengawet alami yang aman dikonsumsi dan mampu menggantikan pengawet kimia yang berbahaya bagi tubuh.
B. RUMUSAN MASALAH -
Masih banyaknya penggunaan bahan pengawet yang berbahaya bagi kesehatan, sehingga perlu dicari suatu pengawet baru yang alami dan tidak berbahaya bagi kesehatan. Belalang kayu di Indonesia yang belum dieksplorasi lebih dalam, bahkan cenderung hanya dianggap sebagai hama pengganggu pertanian.
C. TUJUAN -
Membuktikan adanya aktivitas antimikroba pada ekstrak belalang. Mengetahui pengaruh ekstrak belalang dalam produk bakso daging.
D. INDIKATOR KERJA PENELITIAN -
Dihasilkan zona penghambatan > 8 mm pada metode difusi sumur dan didapat MIC (Minimum Inhibitory Concentration). Dihasilkan pengawet alternatif dari belalang yang dapat memperpanjang umur simpan bakso hingga 12 jam di suhu ruang.
E. MANFAAT -
Diharapkan hasil dari penelitian dapat digunakan sebagai acuan untuk produsen-produsen yang inovatif menjadikan belalang sebagai sebuah bahan pangan yang potensial untuk dikonsumsi dan sebagai bahan pengawet alami yang aman dikonsumsi.
2
II. TINJAUAN PUSTAKA A. BAKSO DAGING Bakso daging adalah produk makanan berbentuk bulatan atau lain yang diperoleh dari campuran daging ternak (kadar daging tidak kurang dari 50 %) dan pati atau serealia dengan atau tanpa penambahan makanan yang diizinkan (SNI 1995). Bakso daging dibuat dengan bahan utama daging. Jenis daging yang biasa digunakan adalah sapi. Selain daging sapi, dapat juga digunakan daging kelinci, daging ayam, atau daging ternak darat lain (Wibowo 2006). Bahan baku bakso umumnya berasal dari daging paha belakang sapi, akan tetapi dapat juga dibuat dari bagian karkas lainnya. Bakso sebaiknya diproduksi dengan menggunakan daging yang benar-benar segar. Fadlan (2001) menyatakan bahwa daging sapi yang sebaiknya digunakan untuk membuat bakso adalah daging segar pre-rigor yang diperoleh setelah pemotongan hewan tanpa disimpan dahulu. Daging segar pre-rigor mengandung 12-15 % protein aktin yang dapat larut dalam air dan garam encer sehingga mudah diekstrak. Sedangkan pada daging post-rigor, protein aktin dijumpai dalam jumlah sedikit karena aktin telah berikatan dengan miosin dan membentuk aktomiosin. Menurut Sari (2005), daging sapi yang biasa digunakan untuk membuat bakso adalah daging penutup (top side), gandik (silver side) dan lemusir (cube roll).
Gambar 1. Bakso daging Daging termasuk makanan yang mudah rusak, jika tidak ditangani dengan cepat dan tepat. Hal ini akan berdampak pada penurunan kualitas yang pada akhirnya berdampak pada kuantitas (Anjarsari 2010). Setelah proses penyembelihan, hewan akan mengalami penanganan lanjutan dengan tujuan untuk mendapatkan daging yang baik dan menghilangkan bagian yang tidak diinginkan. Daging binatang tersebut akan dibagi dan dipisah-pisahkan sesuai dengan peruntukannya masing-masing. Untuk daging sapi biasanya dilakukan juga proses pelayuan (aging) untuk mendapatkan daging yang lebih empuk (Apriyantono et al. 2007). Resiko mikroba utama pada produk daging adalah Salmonella, Listeria monocytogenes, Escherichia coli, Campylobacter, dan Staphylococcus aureus (Nullet 2000). Makin segar daging makin bagus mutu baksonya. Jika hal tersebut tidak memungkinkan, daging dapat disimpan dalam keadaan dingin atau dibekukan pada suhu -5 °C (Wibowo 2006). Marliyati et al. (1992) mengatakan bahwa daging yang baik memiliki ciri-ciri: 1) Berwarna merah segar dan mengkilat, seratnya halus dan elastis, lemak berwarna kekuningan. 2) Tidak ada bau asam. 3) Bila dipegang daging tidak lekat pada tangan dan masih terasa kebasahannya.
3
Umumnya terdapat tiga ukuran bakso, yaitu ukuran besar, sedang, dan kecil. Bakso besar berukuran 40, yaitu satu kilogram berisi 40 butir bakso atau beratnya 25 gram setiap butir. Bakso sedang berukuran 50 (50 butir/kg), yaitu beratnya rata-rata 20 g/butir. Bakso yang kecil berukuran 60 atau beratnya sekitar 15-17 gram. Selain itu, ada juga bakso yang berukuran lebih kecil lagi yang beratnya 10g/butir atau kurang sehingga satu kilogram berisi 100-120 butir bakso (Wibowo 2006).
B. BAHAN TAMBAHAN PANGAN Bahan tambahan pangan didefinisikan dalam peraturan Eropa sebagai zat yang tidak secara umum dikonsumsi sebagai pangan utama, ada ataupun tidak memiliki nilai gizi, sengaja ditambahkan ke dalam pangan bertujuan untuk pengolahan, pengemasan, dan penyimpanan (Emerton dan Choi 2008). Menurut PP No. 28 Tahun 2004 tentang keamanan, mutu, dan gizi pangan, BTP didefinisikan sebagai bahan yang ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat dan bentuk pangan. Bakso memiliki kandungan nutrisi yang tinggi, pH mendekati netral, kadar air dan aw yang juga tinggi menyebabkan umur simpannya relatif singkat yaitu sekitar 12 jam sehingga banyak produsen atau pedagang bakso menggunakan pengawet untuk memperpanjang umur simpan bakso (Hadditama 2009). Bahan tambahan pangan digunakan untuk membantu atau melengkapi berbagai macam metode produksi dalam pemenuhan pangan modern. Memang penggunaan bahan tambahan pangan bukan merupakan keharusan, tetapi tidak dapat dipungkiri penggunaan bahan tambahan dapat memberikan nilai tambah terhadap suatu produk pangan (Saparinto dan Hidayati 2006). Terdapat dua fungsi dasar utama bahan tambahan pangan, yaitu selain membuat pangan lebih aman dengan melindungi dari serangan mikroba pembusuk, mencegah terjadinya oksidasi dan perubahan kimiawi. Fungsi selanjutnya yaitu membuat rasa dan penampakan pangan menjadi lebih baik (Emerton dan Choi 2008). Salah satu fungsi bahan tambahan pangan yaitu sebagai pengawet, dan secara umum pengawet digolongkan menjadi dua golongan, yaitu pengawet sintetik dan pengawet alami. Penggunaan zat-zat tersebut tergantung pada jenis zat makanan dan umumnya dilakukan dengan mengkombinasikan satu sama lain karena zat-zat tersebut mempunyai efektifitas yang berbedabeda terhadap mikroba (Jay 2000). Buckle et al. (2010) mengatakan pada dasarnya terdapat beberapa macam metode utama dalam pengawetan bahan pangan terhadap kebusukan karena kerja mikroorganisme, yaitu: 1) Perusakan mikroorganisme dengan panas atau radiasi ion dan perlindungan dari pencemaran, dilanjutkan dengan pengemasan secara efektif. 2) Penghambatan pertumbuhan mikroorganisme dengan cara mengurangi kadar air dan penurunan aktivitas air (water activity), pendinginan, penambahan pengawet seperti garam, gula, dan antibiotik, pengasaman, dan lain-lain. Penggunaan Bahan Tambahan Pangan dalam proses produksi pangan perlu diwaspadai bersama baik oleh produsen maupun konsumen karena penyimpangan dalam penggunaannya justru akan memberikan dampak negatif bagi masyarakat. Sampai saat ini masih banyak ditemukan penggunaan bahan-bahan pengawet yang dilarang untuk digunakan dalam pangan dan berbahaya bagi kesehatan, seperti boraks dan formalin (Cahyadi 2008). Asam borat (H3BO3) merupakan senyawa bor yang dikenal juga dengan nama boraks. Boraks umumnya digunakan untuk mematri logam, pembuatan gelas dan enamel, sebagai
4
pengawet kayu, serta pembasmi kecoa. Namun zat ini juga sering disalahgunakan sebagai campuran untuk pembuatan bakso, kerupuk, dan mie (Syah 2005). Sedangkan senyawa formalin atau formaldehid memiliki daya antimikroba yang cukup luas, yaitu terhadap Staphylococcus aureus, Escherichia coli, Klabsiella pneumonia, Pseudomonas aerogenosa, Pseudomonas florescens, Candida albicans, Aspergillus niger, atau Penicillium notatum (Cahyadi 2008). Penggunaan formalin dalam jangka panjang dapat berakibat buruk pada organ tubuh, seperti kerusakan hati dan ginjal. Apabila zat ini tertelan akan menyebabkan rasa mual dan diare, bahkan pada tingkat keracunan yang lebih berat dapat mengakibatkan penderitanya hilang kesadaran (Syah 2005). Ciri-ciri bakso yang mengandung formalin yaitu lebih kenyal, aroma khas dari bakso tidak tercium, awet beberapa hari, dan tidak mudah membusuk (Naufalin dan Herastuti2012).
C. SENYAWA ANTIMIKROBA Antimikroba adalah komponen kimia yang mampu membunuh atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Umumnya antimikroba dihasilkan oleh mikroorganisme, seperti jamur dan bakteri, atau dapat juga diproduksi secara sintetis atau semi-sintetis (Guardabassi dan Kruse 2008). Penghambatan senyawa antimikroba adalah kemampuan suatu senyawa antimikroba untuk mempengaruhi dinding sel mikroba (Ultee et al. 2000). Zat yang digunakan sebagai antimikroba harus mempunyai beberapa kriteria ideal antara lain: tidak bersifat racun bagi bahan pangan, ekonomis, tidak menyebabkan perubahan flavor, cita rasa dan aroma makanan, tidak mengalami penurunan aktivitas karena reaksi dengan komponen makanan, tidak menyebabkan timbulnya galur resisten, serta lebih bersifat membunuh dibandingkan menghambat pertumbuhan mikroba (Frazier dan Westhoff 1988). Senyawa antimikroba alami dari hewan contohnya laktoferin, laktoperoksidase, laktoglobulin, dan laktolipida pada susu. Telur juga memiliki senyawa antimikroba berupa ovotransferin, lisozim, ovoglobulin, dan avidin (Naufalin dan Herastuti2012). Ditambahkan oleh Nychas dan Tassou (2000), beberapa senyawa yang bersifat antimikroba alami berasal dari tanaman diantaranya fitoaleksin, asam organik, minyak essensial (atsiri), fenolik dan beberapa kelompok pigmen tanaman atau senyawa sejenis. Mekanisme penghambatan dan kerusakan mikroba oleh senyawa antimikroba berbeda-beda. Penghambatan mikroba oleh senyawa antimikroba secara umum dapat disebabkan oleh: (1) gangguan pada komponen penyusun sel, (2) reaksi dengan membran sel yang dapat mengakibatkan perubahan permeabilitas dan kehilangan komponen penyusun, (3) penghambatan terhadap sintesis protein, dan (4) gangguan fungsi material genetik (Davidson 1997). Menurut Kanazawa et al. (1995) terjadinya proses-proses tersebut disebabkan oleh adanya pelekatan senyawa antimikroba pada permukaan sel mikroba atau senyawa tersebut berdifusi ke dalam sel. Kemampuan senyawa antimikroba dalam menghambat pertumbuhan bakteri dipengaruhi oleh kestabilan senyawa tersebut terhadap protein, lipid, dan garam dalam medium pertumbuhan (Nychas dan Tassou 2000). Faktor lain yang juga mempengaruhi kemampuan senyawa antimikroba adalah tingkat keasaman (pH). Tingkat keasaman merupakan faktor yang sangat mempengaruhi efektifitas senyawa antimikroba. Sebagian besar senyawa antimikroba pangan merupakan asam-asam lemah yang efektif dalam bentuk tidak terdisosiasi, karena dalam bentuk ini, senyawa antimikroba tersebut dapat masuk dalam membran sitoplasma mikroorganisme (Davidson 1997). Selain itu, suhu dan waktu pemanasan juga ikut mempengaruhi stabilitas senyawa antimikroba. Senyawa antimikroba yang bersifat volatil akan menguap dan hilang jika
5
dipanaskan (Branen dan Davidson 1993). Beberapa laporan menyebutkan bahwa efek penghambatan senyawa antimikroba akan lebih efektif terhadap bakteri gram positif daripada bakteri gram negatif. Hal ini disebabkan perbedaan komponen penyusun dinding sel kedua kelompok bakteri tersebut (Naufalin dan Herastuti 2012). Menurut Thompson dan Hintom (1996) bakteri pada fase stasioner lebih sensitif terhadap antimikroba asam lemak rantai pendek daripada bakteri fase pertumbuhan. Hal ini disebabkan karena penambahan asam rantai pendek seperti propionat pada fase pertumbuhan E. coli dapat dimanfaatkan sebagai pembentuk asam lemak yang bereaksi dengan atom karbon yang lain ke dalam membran sitoplasma. Seleksi aktivitas antimikroba dengan difusi sumur dan difusi cakram digunakan sebagai pengujian pendahuluan untuk seleksi awal bermacam-macam mikroba yang diuji (Dorman dan Deans 2000). Kemudian penelitian dilanjutkan dengan menentukan konsentrasi hambat minimum (MIC). Penghambatan mikroba oleh suatu senyawa antimikroba dinyatakan dengan nilai MIC yaitu konsentrasi terendah yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba sebanyak 90 % dari inokulum asal selama inkubasi 24 jam (Cosentino et al.1999). Mikroba perusak pangan dan patogen yang umum digunakan pada penelitian antara lain dari jenis bakteri pembentuk spora yaitu B. cereus, bakteri gram positif yaitu S. aureus dan L. monocytogenes, bakteri gram negatif yaitu S. typhimurium dan E. coli, bakteri perusak P. aeruginosa, dan kapang penyebab kerusakan yaitu Penicillium feniculosum, Aspergillus flavus, dan Rhizopus oligosporus (Fardiaz dan Jenie 1988).
D. BAKTERI PATOGEN Bakteri patogen merupakan bakteri penyebab penyakit (Madigan et al. 2000). Berdasarkan susunan dinding sel bakteri dapat digolongkan menjadi bakteri gram positif dan bakteri gram negatif. Bakteri gram positif mengandung 90 % peptidoglikan serta lapisan tipis asam teikoat dan asam teikuronat (Madigan et al. 2000). Pada bakteri gram negatif, terdapat lapisan di luar dinding sel yang mengandung 5-20 % peptidoglikan. Lapisan ini merupakan lapisan lipid kedua yang disebut lapisan lipopolisakarida (LPS). Lapisan ini tersusun oleh fosfolipid, polisakarida dan protein (Madigan et al. 2000). Untuk dapat hidup dan berkembangbiak, mikroorganisme memerlukan zat-zat organik seperti Na, K, Ca, Mg, dan Fe. Selain itu, mikroorganisme juga memerlukan sumber-sumber makanan yang mengandung C, H, O, dan N untuk menyusun protoplasma (Suharto 1991). Bakteri memiliki efek yang berbahaya pada makanan karena dapat membusukkan makanan dan menghasilkan racun (Parker 2003). Bakteri yang sering menyebabkan keracunan makanan antara lain Bacillus cereus, Camphylobacter jejumi, Clostridium botulinum, Clostridium perfringens, Escherichia coli, Listeria monocytogenes, Salmonella spp., Shigella spp., Staphylococcus aureus, Vibrio spp., dan Yersinia enterocolitica (Piyawan dan Ifesan 2011). Penyakit akibat bakteri patogen asal pangan merupakan masalah kesehatan dunia. Penyakit asal pangan yang disebabkan oleh bahaya mikrobiologi umumnya disebabkan oleh bakteri atau metabolitnya, parasit, virus atau toksin. Meskipun penghilangan semua patogen asal pangan sebagai tujuan keamanan pangan sulit untuk dicapai, langkah-langkah untuk menurunkan jumlah penyakit atau keracunan karena pangan yang tercemar harus dilakukan.
6
E. coli Dalam bidang pangan banyak bakteri yang mempunyai peranan, baik peranan positif (memberikan keuntungan) ataupun peranan negatif (menimbulkan kerugian) (Budiyanto 2002). E. coli merupakan salah satu mikroba patogen gram negatif yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan pada manusia (Doyle et al. 2001). Mikroba ini merupakan bagian dari mikroflora normal di saluran pencernaan pada sebagian besar hewan berdarah panas dan kebanyakan tidak berbahaya (Omaye 2004). Bakteri ini termasuk dalam gram negatif, berbentuk batang dengan ukuran 1,1 – 1,5 µm x 2 – 6 µm, bersifat motil karena adanya flagella (Gambar 2).
Gambar 2. Bentuk morfologi sel bakteri E. coli (sumber: britannica.com) Menurut Supardi dan Sukamto (1999), E. coli patogen menimbulkan beberapa gejala, diantaranya: 1) gastroenteritis akut yang menyerang terutama anak-anak di bawah 2 tahun. 2) infeksi saluran kemih, abses usus buntu, peritonitis, radang empedu, dan infeksi pada luka bakar. Kontaminasi bakteri E. coli pada pangan biasanya berasal dari kontaminasi air yang digunakan (Rahayu 2011). S. aureus S. aureus merupakan mikroba flora normal yang terdapat pada permukaan tubuh, seperti pada permukaan kulit, rambut, hidung, mulut, dan tenggorokan. S. aureus banyak mencemari pangan karena tindakan yang tidak higienis dalam penanganan pangan (Adam dan Moss 1995). Bakteri ini berbentuk bulat, berkelompok seperti buah anggur dengan diamaeter antara 0,8 – 1,0 mikron (Gambar 3). Keracunan pada pangan dapat terjadi karena tertelannya toksin yang merupakan hasil metabolisme sel-sel mikroorganisme tertentu. Salah satu mikroba penyebab intoksikasi adalah S. aureus yang dapat tumbuh pada makanan yang mengandung protein. Suhu optimum untuk pertumbuhan S. aureus adalah 35-37 °C, dengan suhu minimum 6,7 °C dan suhu maksimum 45,5 °C. Bakteri ini dapat tumbuh pada pH 4,0-9,8 dengan pH optimum sekitar 7,0-7,5 (Supardi dan Sukamto 1999).
7
Gambar 3. Bentuk morfologi sel bakteri S. aureus (sumber: microbeworld.com) Terdapat 23 spesies staphilokoki, tetapi bakteri S. aureus merupakan jenis yang paling banyak menyebabkan keracunan pada makanan. Jumlah enterotoksin yang dibutuhkan untuk menghasilkan penyakit dari bakteri ini antara 0,1 hingga 1 mikrogram (Omaye 2004). Gejala pertama dari keracunan tersebut (mual, muntah, kram perut, dan diare) akan muncul selama 1-6 jam setelah mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi S. aureus. Berkeringat, dehidrasi, lemah, anoreksia, dan shock juga dapat terjadi. Proses pemulihan biasanya membutuhkan waktu selama 1-3 hari. Kematian jarang terjadi akibat bakteri ini (Pusa 2008).
E. BELALANG Pracaya (1995) menyebutkan Valanga nigricornis (belalang kayu) adalah sejenis belalang berwarna kuning kehijauan yang memiliki kisaran hidup yang hemimetabola yaitu bermula dari telur, nimfa, dan akhirnya tumbuh menjadi belalang dewasa (Gambar 4). Belalang kayu merupakan salah satu hama daun yang penting karena mempunyai kisaran inang yang luas, meliputi rumput, padi, jagung, kelapa, dan palem. Penduduk di daerah Wonosari, Jawa Tengah, menjual belalang di pasar atau di pinggir jalan, kemudian digoreng menjadi makanan yang gurih (Amir dan Kahono 2003). Berdasarkan taksonomi, belalang kayu termasuk dalam: Kingdom : Animalia Philum : Arthropoda Class : Insecta Ordo : Orthoptera Family : Acriididae Genus : Valanga Spesies : Valanga nigricornis
Gambar 4. Valanga nigricornis (belalang kayu) Secara umum bagian tubuh belalang terbagi atas tiga bagian utama, yaitu kepala, dada (thorax), dan perut (abdomen) (Gambar 5).
8
(a)
(b)
(c) Gambar 5. Bagian tubuh serangga secara umum: (a) kepala, (b) thorax, dan (c) abdomen Hama belalang mempunyai kisaran inang yang luas karena hampir semua tanaman menjadi inang dari hama ini. Hal tersebut menyebabkan populasi dari hama belalang sulit dikendalikan karena kisaran inang yang cukup luas sangat mendukung pesatnya perkembangbiakan dari hama belalang. Belalang kayu biasanya memilih tempat perkembangbiakan terutama di hutan jati, kemudian setelah dewasa akan muncul bersama-sama sampai ratusan ribu jumlahnya. Tanaman yang sering diserang oleh hama belalang ini adalah jati, kelapa, pisang, nangka, keluwih, mangga, kapuk randu, aren, waru, cemara, kopi, cokelat, jagung, jarak, wijen, kapas, tebu, padi dan lain-lain. Sebenarnya belalang termasuk salah satu sumber pangan yang bergizi karena mengandung nilai protein yang tinggi. Durst et al. (2008) mengatakan protein belalang lebih tinggi dibandingkan protein sapi, domba, babi, ataupun unggas (Tabel 1). Oleh sebab itu belalang sangat potensial untuk dikembangkan sebagai sumber protein ke depannya. Tabel 1. Nilai nutrisi ternak dibandingkan dengan belalang Hewan Protein (%) Lemak (%) Sapi 15,8 24,3 Domba 14,6 30,5 Babi 13,0 33,3 Unggas 20,5 4,3 Belalang 24,4 1,5 *Sumber: Durst et al. (2008) Belalang juga memiliki ciri lainnya, yaitu adanya kutikula keras yang membentuk rangka luar (eksoskeleton). Eksoskeleton terdiri dari kitin. Kitin disekresikan oleh sel kulit. Eksoskeleton melekat pada kulit membentuk perlindungan tubuh yang kuat. Eksoskeleton terdiri dari lempengan-lempengan yang dihubungkan oleh ligamen yang fleksibel dan lunak. Susunan eksoskeleton tidak mengganggu pergerakan hewan tersebut. Ketahanan asam eksoskeleton
9
melindungi serangga dari penguapan yang berlebihan, kelembaban, dan penyakit (Schwarz dan Moussian 2007). Kelompok Orthoptera (belalang, jangkrik, dan lain-lain) dapat ditemukan di rumput panjang di bawah pohon, di bawah kayu dan batu, di tepi lapangan, di lampu, di pohon-pohon, dan di ruang bawah tanah yang lembab (Elzinga 2004).
F. KITIN Kitin adalah kristal berwarna putih, tidak berasa, tidak berbau, dan tidak dapat larut dalam air, umumnya pelarut organik, asam-asam anorganik, dan basa encer. Sumber kitin yang potensial adalah kerangka luar crustacea, serangga, dinding yeast dan jamur, serta mollusca (Mekawati et al. 2000). Kitin merupakan biopolymer, homopolisakarida tidak larut yang terdiri atas N-asetil glukosamin melalui ikatan β-1,4 (Lonhienne et al. 2001). Pada crustacea, kitin bergabung dengan protein, garam anorganik (CaCO3), dan pigmen (Suhardi 1992). Kitin memiliki rumus molekul C8H13NO5 yang tersusun atas 47 % C, 6 % H, 7 % N, dan 40 % O. Struktur kitin menyerupai struktur selulosa dan hanya berbeda pada gugus yang terikat di posisi atom C-2 (Gambar 6). Kitin dapat mencegah pertumbuhan Candida albicans dan S. aureus (Sugita et al. 2009).
Gambar 6. Struktur molekul kitin (sumber: ceoe.udel.edu)
10
III. METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan Bahan utama yang digunakan adalah belalang kayu yang diperoleh dari Wonosari, Jogjakarta. Mikroba yang digunakan untuk pengujian aktivitas antimikroba dalam penelitian ini adalah E. coli dan S. aureus. Media yang digunakan untuk pertumbuhan mikroba yaitu Nutrient Agar (NA), Nutrient Broth (NB), Plate Count Agar (PCA), Eosin Metilen Blue Agar (EMBA), dan Baird-Parker Agar (BPA). Bahan lainnya yang digunakan adalah bahan untuk membuat bakso, akuades, etil asetat, heksan, etanol, spirtus, kapas, kertas saring, alumunium foil, membran filter serta larutan buffer fosfat. 2. Alat Alat-alat yang digunakan untuk keperluan analisis dalam penelitian ini antara lain cawan petri, jarum ose, batang pengaduk, sudip, tabung reaksi, inkubator, autoklaf, stomacher, hot plate, blender, timbangan analitik, pipet mikro, tip, bunsen, corong, gelas ukur, erlenmeyer, labu takar, gelas piala, dan vortex.
B. METODOLOGI PENELITIAN Secara garis besar, penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahapan (Gambar 7). Tahap pertama meliputi, persiapan tepung belalang dan persiapan kultur bakteri uji. Bakteri uji yang digunakan antara lain E. coli dan S. aureus. Tahap kedua yaitu ekstraksi tepung belalang menggunakan pelarut air, heksan, etil asetat, dan etanol menggunakan metode maserasi. Tahap ketiga meliputi pengujian aktivitas antimikroba. Tahap ini terdiri dari pengujian secara kualitatif menggunakan metode difusi sumur, penentuan konsentrasi hambat minimum, serta aplikasi pada produk bakso daging. Belalang
Persiapan kultur bakteri uji
Tepung Belalang
Ekstraksi dengan 4 pelarut
Ekstrak Tepung Belalang
Uji difusi sumur
MIC terpilih
Ekstrak terpilih
Penentuan MIC MIC
Aplikasi pada bakso Gambar 7. Diagram alir penelitian
11
Pada metode difusi sumur, aktivitas antimikroba dari sampel ditunjukkan dengan adanya zona bening yang terbentuk di sekitar lubang sumur. Semakin besar zona bening yang terbentuk menandakan aktivitas antimikroba yang semakin besar. Ekstrak yang menunjukkan penghambatan paling besar digunakan pada tahap penentuan konsentrasi hambat minimum (MIC) dan aplikasi pada produk bakso daging.
a.
Pembuatan tepung belalang Belalang yang akan digunakan dalam penelitian ini sebelumnya dihancurkan hingga ukurannya menjadi lebih kecil dan menjadi tepung (Gambar 8). Belalang utuh yang telah mati dibuang bagian sayap dan kakinya, kemudian dicuci untuk menghilangkan kotoran yang melekat pada belalang. Setelah bersih, belalang dikeringkan dengan cara dijemur menggunakan cahaya matahari. Setelah kering, belalang dihancurkan menggunakan blender hingga bentuknya menjadi tepung. Belalang yang telah menjadi tepung disimpan dalam suhu ruang. Belalang
Dibuang sayap dan kakinya
Dicuci/dibersihkan Dikeringkan
Diblender
Tepung Belalang
Disimpan di suhu ruang Gambar 8. Diagram alir pembuatan tepung belalang b.
Ekstraksi tepung belalang Ekstrak dapat diperoleh dengan cara ekstraksi bubuk dengan pelarut organik, yaitu mencampur bahan yang akan diekstrak dengan pelarut organik selama waktu tertentu, diikuti pemisahan filtrat terhadap residu bahan yang diekstrak terlebih dahulu dikeringkan atau dikurangi kandungan air dalam bahan (Houghton dan Raman 1998). Belalang yang akan diuji aktivitas antimikrobanya harus diubah terlebih dahulu menjadi bentuk cair dengan proses ekstraksi (Gambar 9). Pelarut yang dipakai dalam penelitian ini antara lain air, etanol, heksan, dan etil asetat. Tepung belalang sebanyak 25 gram dalam erlenmeyer ditambahkan dengan pelarut sebanyak 100 ml. Kemudian di-shaker menggunakan rotary shaker selama 72 jam pada suhu ruang. Tepung belalang disaring hingga dihasilkan supernatan yang dilanjutkan dengan proses pemekatan menggunakan
12
rotavapor. Suhu yang digunakan untuk memekatkan ektrak dengan pelarut etanol, etil asetat, dan heksan adalah 40 °C, sedangkan ekstrak dengan pelarut air menggunakan suhu 45 °C. Ekstrak dihembus dengan gas N2 untuk menghilangkan pelarut yang masih tersisa pada ekstrak. Sebelum siap untuk digunakan, ekstrak disterilisasi terlebih dahulu menggunakan membran filter untuk mendapatkan ekstrak yang steril. Ekstrak disimpan dalam refrigerator sebelum digunakan.
Tepung Belalang
Ditambah pelarut (1 : 4) Di-shaker selama 3 hari Disaring Supernatan Dipekatkan Dihembus gas N2 Sterilisasi
Ekstrak Gambar 9. Diagram alir ekstraksi tepung belalang c.
Persiapan kultur uji Setelah ekstrak yang akan diuji siap, dilakukan persiapan kultur bakteri yang akan diuji dimana bakteri uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah E. coli dan S. aureus. Sebelum digunakan, dilakukan pewarnaan gram terhadap bakteri uji dengan tujuan untuk mengetahui keseragaman kultur bakteri uji dan juga menghitung total kultur bakteri uji untuk mengetahui jumlah total bakteri awal dengan menggunakan media NA. Satu ose kultur bakteri uji dioleskan pada kaca objek yang telah dibersihkan kemudian difiksasi panas sehingga terbentuk preaparat. Selanjutnya preparat tersebut diteteskan dengan zat warna kristal violet selama 1 menit, kemudian preparat dibilas dengan air mengalir dan dikeringudarakan. Setelah kering, preparat bakteri diteteskan iodium selama dua menit, kemudian dibilas air mengalir dan dikeringkan. Preparat dicuci dengan pemucat warna yaitu etanol 95 % tetes demi tetes selama 30 detik, kemudian segera dicuci dengan air mengalir dan ditiriskan. Preparat selanjutnya diteteskan safranin selama 30 detik, dibilas dengan air mengalir, dan ditiriskan. Setelah kering, preparat diamati di bawah mikroskop. Bakteri yang termasuk dalam gram positif akan menunjukkan warna biru keunguan, sedangkan kelompok bakteri gram negatif berwarna merah (Madigan et al. 2000).
13
Tahap persiapan kultur bakteri dapat dilihat pada Gambar 10. Sebanyak satu ose bakteri uji ditumbuhkan dalam media NB 10 ml dan diinkubasi 24 jam pada suhu 37 °C. Kultur bakteri ini digunakan sebagai kultur kerja pada pengujian. Suspensi bakteri ditumbuhkan dengan menggunakan media NA pada seri pengenceran 10 5 – 108 dan diinkubasi 24 jam pada suhu 37 °C. Koloni bakteri yang tumbuh antara 25-250 dihitung dengan rumus sebagai berikut: Jumlah koloni (cfu/ml) = Keterangan: n = jumlah cawan d = pengenceran pada cawan pertama
Gambar 10. Diagram alir persiapan kultur uji d.
Metode difusi sumur Ekstrak belalang dilakukan pengujian secara kualitatif terlebih dahulu dengan menggunakan metode difusi sumur. Tahapan ini bertujuan untuk menentukan ada atau tidaknya aktivitas penghambatan pada belalang. Kultur mikroba yang akan diuji harus disegarkan terlebih dahulu dengan menginokulasikan satu ose kultur murni dari agar miring Nutrient Agar (NA) ke dalam medium cair Nutrient Broth (NB) sebanyak 10 ml secara aseptik, kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37 °C. Kultur bakteri yang diuji sebesar 0,1 % atau 200 µl suspensi bakteri dalam 200 ml media NA steril. Setelah bakteri dicampur dengan media, dituang ke dalam cawan sekitar 25 ml untuk setiap cawannya. Setelah campuran media dan kultur uji membeku, tiap-tiap cawan dibuat dua lubang dengan diameter ± 5 mm. Setiap sumur dimasukkan 60 µl larutan ekstrak belalang. Setelah ditetesi dengan ekstrak belalang, cawan diinkubasi dengan posisi tidak dibalik pada suhu 37 °C selama 24 jam.Aktivitas penghambatan dihitung berdasarkan diameter zona bening yang terbentuk di sekitar sumur, yaitu selisih antara diameter zona bening dengan diameter sumur. Tahap ini dilakukan duplo dengan dua kali ulangan.
14
Zona penghambatan (d = 2r) yang diukur adalah diameter zona bening dikurangi dengan diameter sumur. Semakin lebar diameter penghambatan, maka aktivitas senyawa antimikroba semakin besar. Ekstrak yang menunjukkan penghambatan paling besar akan dipilih untuk tahap penelitian selanjutnya. Tahap pengujian dan contoh hasil pengujian aktivitas antimikroba dengan metode sumur dapat dilihat pada Gambar 11. Kultur bakteri
Inokulasi 200 µl suspensi bakteri ke 200 ml media NA
Penuangan 25 ml media berisi bakteri ke dalam cawan dan tunggu hingga media membeku Ekstrak belalang Pembuatan lubang ±5 mm Pengenceran dalam pelarut hingga konsentrasi 60 %
Penuangan @ 60 µl ekstrak ke dalam lubang
Inkubasi pada 37°C selama 24 jam
Gambar 11. Diagram alir uji aktivitas antibakteri metode difusi sumur e.
Penentuan Minimum Inhibitory Concentration (MIC) Setelah ekstrak belalang diketahui memiliki aktivitas antimikroba, ditentukan konsentrasi hambat minimum (MIC) untuk menentukan kisaran konsentrasi yang akan digunakan dalam aplikasi. Perhitungan konsentrasi ekstrak belalang menggunkan rumus: M1V1 = M2V2 Keterangan: M1 = konsentrasi ekstrak awal (100 %) V1 = volume ekstrak yang ditambahkan (ml) M2 = konsentrasi ekstrak yang dikehendaki V2 = volume total saat inkubasi (10 ml)
15
Tahap pengujian aktivitas penghambatan dapat dilihat pada Gambar 12 dimana ekstrak belalang terpilih ditambah ke dalam tabung berisi inokulum bakteri uji yang telah dicampur dengan media NB. Selanjutnya kultur diinkubasikan pada suhu 37 °C selama 24 jam. Subkultur ditumbuhkan pada media NA pada inkubasi 0 jam dan setelah inkubasi 24 jam dengan kisaran pengenceran antara 101 - 107. Penurunan jumlah pertumbuhan bakteri ditentukan dengan menghitung selisih jumlah koloni yang tumbuh setelah 0 jam dengan jumlah koloni yang tumbuh pada 24 jam, kemudian dibagi dengan jumlah koloni yang tumbuh pada 0 jam. Nilai konsentrasi ekstrak belalang yang menunjukkan penurunan jumlah bakteri sebesar 90 % merupakan nilai konsentrasi hambat minimal (MIC). Tahapan untuk penentuan MIC dapat dilihat pada Gambar 12. Ekstrak belalang terpilih
Ditambahkan dalam media NB
Diinokulasi dengan bakteri uji sebanyak 1 ml tiap tabung (105 CFU/ml)
Vorteks
Diinkubasi pada suhu 37 °C selama 24 jam
Diambil 1 ml
Ditumbuhkan dalam cawan
Diinkubasi pada suhu 37 °C selama 48 jam
Dihitung
NA
Diambil 1 ml
Ditumbuhkan dalam cawan
NA
Diinkubasi pada suhu 37 °C selama 48 jam
Dihitung Gambar 12. Diagram alir penentuan MIC Penghitungan jumlah ekstrak belalang yang diambil untuk mendapatkan konsentrasi yang diinginkan: Contoh M2 = 10 % 100 % x V1 = 10 % x 10 ml V1 = 1 ml Adapun kombinasi konsentrasi yang digunakan dalam penentuan MIC dapat dilihat pada Tabel 2.
16
Tabel 2. Kombinasi konsentrasi penentuan MIC Konsentrasi ekstrak (%) (M2)
Ekstrak yang ditambahkan (ml) (V1)
Kultur (ml)
NB (ml)
Volume total saat inkubasi (ml) (V2)
6
0,6
1
8,4
10
7
0,7
1
8,3
10
10
1
1
8
10
20
2
1
7
10
Keterangan: VNB = V2 - Vkultur - V1 (ml) f.
Aplikasi pada bakso Konsentrasi yang digunakan pada saat aplikasi di bakso yaitu beberapa kali dari nilai konsentrasi yang didapat dari uji dengan MIC. Pada tahap akhir, bakso kontrol dibandingkan dengan bakso yang ditambahkan dengan ekstrak belalang. Adapun bahanbahan yang digunakan untuk memproduksi bakso antara lain daging segar, tepung, garam, bawang putih, merica, bumbu penyedap, dan es. Pengawet alami pada produk pangan dapat berupa bubuk, ekstrak, fraksi, dan mikrokapsul (Naufalin dan Herastuti 2012). Menurut Wibowo (2006) pembuatan bakso terdiri dari beberapa tahap antara lain: 1. Pelumatan daging Daging segar dipisahkan dari lemak dan uratnya. Setelah itu, daging dilumatkan. Pelumatan ini akan memudahkan pembentukan adonan, dinding sel serabut otot daging juga akan pecah sehingga aktin dan miosin yang merupakan pembentuk tekstur dapat diambil sebanyak mungkin. Daging dimasukkan meat grinder dan ditambahkan garam sehingga diperoleh daging yang lumat. 2. Pembuatan adonan Setelah diperoleh daging lumat, daging lumat dibentuk menjadi adonan. Agar bakso yang dihasilkan baik, daging lumat dicampur dengan es batu dan tepung tapioka. Bumbubumbu kemudian ditambahkan sambil dilumatkan hingga diperoleh adonan yang homogen. Pembuatan adonan ini menggunakan food processor agar mudah dalam mencampur bahanbahan dengan daging sehingga diperoleh adonan yang tercampur merata. Penggunaan es atau air es ini sangat penting dalam pembentukan tekstur bakso. Dengan adanya es ini suhu dapat dipertahankan tetap rendah sehingga protein daging tidak terdenaturasi akibat gerakan mesin penggiling dan ekstraksi protein berjalan dengan baik. Suhu ideal untuk ekstraksi protein adalah 4-5 0C, tetapi selama tidak lebih dari 20 0C sudah mencukupi. Penggunaan es juga berfungsi menambahkan air ke adonan sehingga adonan tidak kering selama pembentukan adonan maupun selama perebusan. 3. Pembentukan bola bakso Setelah adonan diperoleh kemudian dicetak menjadi bola-bola bakso yang siap direbus. Pembentukan adonan menjadi bola bakso menggunakan tangan. Ukuran bola bakso diusahakan seragam, tidak terlalu kecil tetapi juga tidak terlalu besar. Jika tidak seragam, matangnya bakso ketika direbus tidak bersamaan dan menyulitkan dalam pengendalian proses. Selain itu keseragaman ukuran juga ikut mempengaruhi mutu bakso. 4. Perebusan dan pengemasan Bola bakso yang sudah terbentuk lalu direbus dalam air mendidih hingga matang. Jika bakso sudah mengapung di permukaan air menandakan bakso tersebut sudah matang dan
17
perebusan dapat dihentikan. Biasanya perebusan ini dilakukan sekitar 10 menit. Setelah itu, bakso diangkat, ditiriskan, dan didinginkan pada suhu ruang. Setelah dingin, bakso dikemas dalam kantong plastik HDPE. Bakso kemudian siap dianalisis. Proses pembuatan bakso dapat dilihat pada Gambar 13.
Daging segar
Garam
Digiling Es, merica, & bawang putih
Tepung & bumbu penyedap
Dihancurkan
Ditambah ekstrak belalang
Dibuat bulatan
Direbus
Bakso
Uji mikrobiologi
Total Plate Count
0 Jam
Total E. coli
6 Jam
17 Jam Jam
Total Staphylococcus sp.
20 Jam
24 Jam
Gambar 13. Diagram alir aplikasi ekstrak belalang pada bakso Uji mikrobiologi yang dilakukan pada tahap aplikasi ini berdasarkan SNI 01-2332.3-2006 yang bertujuan untuk mengetahui kondisi bakso selama penyimpanan. Menurut SNI, sampel secara aseptik ditimbang sebanyak 25 gram kemudian dimasukkan ke dalam wadah plastik steril. Ke dalamnya ditambahkan 225 ml larutan pengencer, kemudian dihomogenkan dengan menggunakan alat stomacher selama 2 menit. Homogenat ini merupakan larutan pengencer 10-1. Dengan menggunakan pipet steril, 1 ml homogenat diambil dan dimasukkan ke dalam tabung yang berisi 9 ml larutan pengencer untuk mendapatkan pengenceran 10-2. Pengenceran selanjutnya (10-3) dilakukan dengan mengambil 1 ml contoh dari pengenceran 10 -2 ke dalam 9 ml larutan pengencer. Pada setiap pengenceran dilakukan pengocokan minimal 25 kali. Selanjutnya dapat dilakukan hal yang sama untuk pengenceran 10-4, 10-5, dan seterusnya sesuai dengan kondisi sampel. Setiap pengenceran 10-1, 10-2, dan seterusnya dipipet 1 ml kemudian dimasukkan ke dalam cawan petri steril. Setiap pengenceran dilakukan duplo. Ke dalam cawan petri tersebut ditambahkan 15-20 ml media agar yang sudah didinginkan hingga mencapai suhu +450C pada masing-masing
18
cawan yang sudah berisi sampel. Agar sampel dan media tercampur sempurna, dilakukan pemutaran cawan dengan gerakan membentuk angka delapan. Setelah agar menjadi padat, inkubasi cawancawan tersebut pada posisi terbalik dalam inkubator selama 48 jam pada suhu 35 0C. Cawan yang mengandung jumlah 25-250 koloni dan bebas spreader dipilih untuk perhitungan. Pengenceran yang digunakan dan jumlah koloni dicatat kemudian perhitungan jumlah koloni dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut N=
∑C [(1x n1) + (0,1 x n2)] x (d)
dengan: N : jumlah koloni produk, dinyatakan dalam koloni per ml atau koloni per gram ∑ C : jumlah koloni pada semua cawan yang dihitung n1 : jumlah cawan pada pengenceran pertama yang dihitung n1 : jumlah cawan pada pengencaran kedua yang dihitung d : pengenceran pertama yang dihitung Analisis kuantitatif E. coli (BAM 2002) Media untuk pertumbuhan E. coli adalah Eosyn Methylen Blue Agar (EMBA). Sebanyak 1 ml sampel dari pengenceran yang diinginkan dipipet secara aseptik lalu diinokulasikan ke dalam cawan, selanjutnya dituangkan media EMBA. Inkubasi dilakukan selama 48 jam pada suhu 37 °C, koloni E. coli yang tumbuh akan berwarna hijau metalik keunguan. Analisis kuantitatif S. aureus (BAM 2001) Metode yang digunakan dalam uji ini adalah cawan sebar dengan menggunakan media spesifik yaitu Baird-Parker Agar (BPA). Oleh karena itu, sebelum dilakukan analisis, media BPA yang sudah disterilkan dituang dalam cawan, dibiarkan memadat dan mengering. Sejumlah sampel dihancurkan kemudian diencerkan. Sebanyak 1 ml sampel dituangkan dan dibagi ke dalam 3 cawan yang berisi BPA sehingga masing-masing cawan berisi 0.3 ml, 0.3 ml, dan 0.4 ml sampel. Sampel tersebut secara aseptik disebar dalam cawan menggunakan hockey stick steril. Setelah dilakukan penyebaran sampel, kemudian cawan dibiarkan selama 10 menit agar sampel terserap dalam agar. Cawan tersebut diinkubasi selama 48 jam pada suhu 35 0C. Pengamatan dilakukan dengan cara menghitung koloni pada setiap cawan. Perhitungan persentase penurunan jumlah S. aureus dilakukan dengan cara berikut: % penurunan = 100 % - [(jumlah S. aureus saat 6 jam/jumlah S. aureus saat 0 jam) x 100 %]
19
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PEMBUATAN TEPUNG BELALANG Belalang yang diterima sudah dalam keadaan mati karena belalang tidak mampu bertahan lama jika bukan di dalam lingkungan yang sesuai. Belalang dicuci bersih untuk menghilangkan kotoran yang tertinggal, kemudian ditiriskan. Untuk menghilangkan sisa air yang tertinggal di belalang dilakukan pengeringan menggunakan cahaya matahari sekitar 4-5 jam hingga kering. Belalang yang sudah kering dihancurkan dengan blender hingga berbentuk tepung yang siap untuk diekstrak dan sebelum digunakan, tepung dikemas dalam wadah dan disimpan pada suhu ruang.
B. EKSTRAKSI TEPUNG BELALANG Proses ekstraksi bertujuan untuk memisahkan secara kasar senyawa yang terkandung dalam tepung belalang dan mendapatkan ekstrak kasarnya. Tepung yang diekstrak, dilarutkan dalam pelarut dengan perbandingan 1:4 (w/v). Tepung belalang sebanyak 25 gram diekstraksi dengan 100 ml pelarut menggunakan metode maserasi pada suhu ruang dengan kecepatan putar shaker 35 rpm selama 72 jam. Pada metode maserasi, digunakan empat pelarut yang berbeda dengan berbagai tingkat kepolaran sehingga diperoleh jenis ekstrak dengan kandungan senyawa yang lebih spesifik. Tiap filtrat dipisahkan dari pelarut dengan cara dipekatkan dalam rotavapor. Pelarut etanol, etil asetat, dan heksan dipekatkan pada suhu 40 °C, sedangkan pelarut air dipekatkan pada suhu 45 °C. Sisa pelarut dihilangkan dengan cara dihembus gas nitrogen hingga pelarut yang masih tersisa dalam ekstrak belalang menguap. Setelah ekstrak diperoleh, dilanjutkan dengan sterilisasi bakteri menggunakan membran filter. Ekstrak diambil dengan menggunakan syringe, kemudian dilewatkan melalui holder membran yang berisi membran berukuran 0,2 µm ke dalam wadah steril. Proses ini dilakukan secara aseptis. Setelah itu, ekstrak disimpan dalam lemari pendingin. Ekstraksi yang dilakukan dengan maserasi menghasilkan beberapa jenis ekstrak yaitu ekstrak A (pelarut air), ekstrak B (pelarut etanol), ekstrak C (pelarut etil asetat), dan ekstrak D (pelarut heksan). Pelarut air dan etanol mewakili pelarut yang bersifat polar, sedangkan etil asetat dan heksan masing-masing mewakili dari pelarut yang bersifat semi-polar dan non-polar. Rendemen masing-masing ekstrak dihitung berdasarkan persentase bobot ekstrak belalang setelah dipekatkan dengan bobot tepung belalang (25 gram). Ekstrak air menghasilkan kadar air yang paling besar, yaitu sebesar 13,74 %. Sedangkan ekstrak dari pelarut etanol, etil asetat, dan heksan masing-masing menghasilkan rendemen sebesar 12,21 %, 9,88 %, dan 9,79 %. Semua ekstrak yang dihasilkan berwarna coklat pekat. Metode ekstraksi berdasarkan kepada prinsip like dissolve like, yaitu pelarut polar melarutkan senyawa polar dan pelarut non-polar akan melarutkan senyawa non-polar. Air merupakan pelarut yang digunakan masyarakat untuk mengambil ekstrak dari obat-obatan tradisional, sedangkan etanol merupakan pelarut yang biasa digunakan pada industri farmasi. Selain itu, alkohol merupakan pelarut serba guna yang baik digunakan untuk ekstraksi pendahuluan (Harborne 1996). Ekstraksi tepung belalang dari kedua pelarut polar ini menghasilkan rendemen ekstrak yang lebih tinggi dibandingkan rendemen ekstrak dari pelarut yang lain. Pelarut air menghasilkan rendemen ekstrak paling besar, yaitu 13,74 %. Kemudian diikuti ekstrak dari pelarut etanol sebasar 12,21 %. Hasil ini menunjukkan kandungan pada belalang kayu yang lebih didominasi oleh komponen yang bersifat polar.
20
Tepung belalang juga diekstrak menggunakan pelarut semi-polar dan non-polar. Dari ekstraksi menggunakan pelarut etil asetat (semi-polar) didapat rendemen 9,88 %, sedangkan dari pelarut heksan (non-polar) didapat rendemen sebesar 9,77 %. Pelarut heksan sendiri pada umumnya digunakan untuk memisahkan lemak dari bahan. Durst et al. (2008) mengatakan bahwa nilai kandungan lemak pada belalang kayu sangat rendah, yaitu sekitar 1,5 % (bb) sehingga hasil ekstraksi dengan heksan menghasilkan ekstrak yang sedikit. Proses ekstraksi dipengaruhi oleh lama ektraksi, suhu, dan jenis pelarut yang digunakan. Semakin dekat tingkat kepolaran pelarut dengan komponen yang akan diekstrak, semakin sempurna proses ekstraksi (Hadittama 2009).
C. PERSIAPAN KULTUR BAKTERI S. aureus ditandai dengan morfologi bakteri yang terlihat di bawah mikroskop dengan perbesaran 1000x berwarna biru dan berbentuk kokus/bulat (Gambar 14). Morfologi tersebut menandakan bahwa S. aureus termasuk bakteri gram positif. Jumlah awal bakteri S. aureus pada penelitian ini sebesar 1,74 x 108 CFU/ml (Lampiran 2).
Gambar 14. Bentuk morofologi bakteri S. aureus dengan pewarnaan gram E. coli (Gambar 15) ditandai dengan morfologi yang terlihat di bawah mikroskop dengan perbesaran 1000x berwarna merah dan berbentuk batang pendek. Jumlah awal bakteri E. coli pada penelitian ini sebesar 1,74 x 108 CFU/ml (Lampiran 2). Hasil pewarnaan yang dilakukan menunjukkan kultur bakteri uji yang digunakan dalam penelitian ini tidak terkontaminasi oleh bakteri lain. Campbell et al. (2003) menyatakan sebagian besar dinding sel bakteri gram positif terdiri dari peptidoglikan dan akan menjerap warna violet. Berbeda dengan bakteri gram negatif yang hanya memiliki sedikit peptidoglikan yang terletak di suatu gel periplasmik antara membran plasma dan suatu membran bagian luar, selnya tetap menahan zat warna merah.
Gambar 15. Bentuk morfologi bakteri E. coli dengan pewarnaan gram Bakteri uji dalam penelitian ini diduga telah mencapai fase pertumbuhan stasionernya. Menurut Fardiaz (1992) pada fase ini jumlah populasi sel tetap karena jumlah sel yang tumbuh
21
sama dengan jumlah sel yang mati. Bakteri S. aureus mencapai fase pertumbuhan akhir setelah inkubasi 16 jam (Parhusip 2006). Fase pertumbuhan bakteri berpengaruh pada sensitivitas bakteri terhadap senyawa bakteri.
D. PENGUJIAN AKTIVITAS ANTIMIKROBA EKSTRAK AIR, ETANOL, ETIL ASETAT DAN HEKSAN BELALANG KAYU Ekstrak belalang yang diperoleh (ekstrak A, B, C, dan D) diuji aktivitas antimikrobanya terhadap bakteri E. coli dan S. aureus dengan metode difusi sumur (Branen dan Davidson 1993). Aktivitas antimikroba ekstrak belalang dapat diketahui melalui pengukuran diameter zona bening yang terbentuk di sekitar sumur pada media NA yang diisikan ekstrak sampel. Zona bening yang terbentuk diukur dengan menggunakan jangka sorong. Adanya zona bening menunjukkan bakteri tidak tumbuh pada zona tersebut. Zona hambat diukur dari selisih diameter zona bening yang terbentuk dengan diameter sumur seperti yang terlihat pada Gambar 16. Nilai zona hambat ekstrak belalang dapat dilihat pada Tabel 3, Gambar 17 dan Lampiran 3.
A
B C
D
Gambar 16. Zona bening ekstrak belalang pada bakteri uji Tabel 3. Zona hambat ekstrak belalang konsentrasi 60 % terhadap bakteri uji Bakteri
Zona Hambat Ekstrak (mm) B C 7,1 9,4 6,8 9,1
A 0 0
S. aureus E. coli
D 0 0
Keterangan: A: ekstrak air belalang; B: ekstrak etanol belalang; C; ekstrak etil asetat belalang; D: ekstrak heksan belalang
9.4 9.1
10 Diameter Penghambatan (mm)
9 8
7.1 6.8
7 6 5
S. aureus
4
E. coli
3 2 1
0
0
0
0
0 A
B
C
D
Ekstrak
Gambar 17. Hasil pengujian aktivitas antimikroba ekstrak belalang konsentrasi 60 %
22
Secara umum terlihat bahwa ekstrak dari etil asetat menunjukkan adanya penghambatan terbesar yaitu sekitar 9,4 mm terhadap bakteri S. aureus dan 9,1 mm terhadap bakteri E. coli. Ekstrak dengan pelarut etanol menunjukkan penghambatan yang lebih rendah, yaitu 7,1 mm terhadap bakteri S. aureus dan 6,8 mm terhadap bakteri E. coli. Sedangkan ekstrak belalang dengan pelarut air dan pelarut heksan tidak menunjukkan adanya penghambatan. Hal tersebut ditunjukkan dengan tidak terbentuknya zona bening (clear zone). Sagdic et al. (2005) menyatakan bahwa aktivitas penghambatan bakteri tergolong sangat kuat bila menghasilkan zona penghambatan > 20 mm, tergolong sedang bila menghasilkan zona penghambatan sebesar 16 – 20 mm, tergolong tipis bila menghasilkan zona penghambatan sebesar 10 – 15 mm, dan tergolong lemah bila menghasilkan zona penghambatan sebesar 6 – 9 mm. Dari hasil di atas, dapat dikatakan bahwa ekstrak belalang yang dihasilkan memiliki aktivitas penghambatan yang lemah. Penghambatan ekstrak belalang terhadap bakteri S. aureus lebih besar daripada penghambatan terhadap bakteri E. coli. Hal tersebut dapat dilihat pada ekstrak etanol belalang yang membentuk zona bening 7,1 mm terhadap bakteri S. aureus, lebih besar 0,3 mm dari bakteri E. coli yang membentuk zona bening sebesar 6,8 mm. Hal yang sama juga terjadi pada ekstrak etil asetat belalang dimana zona penghambatan bakteri E. coli lebih kecil 0,3 mm dari zona penghambatan S. aureus. Hal ini menunjukkan bahwa bakteri E. coli lebih tahan terhadap senyawa antimikroba dari ekstrak belalang yang diperoleh dengan metode maserasi. Perbedaan struktur dinding sel menentukan penetrasi, ikatan, dan aktivitas antibakteri (Jawetz et al. 2005). Perbedaan respon ini terjadi akibat perbedaan permukaan luar dinding sel yaitu lapisan lipopolisakarida (LPS) antara bakteri gram negatif dan bekteri gram positif. Bakteri gram positif memiliki dinding sel yang lebih sederhana dengan jumlah peptidoglikan yang lebih banyak. Dinding sel bakteri gram negatif memiliki peptidoglikan yang lebih sedikit dan secara struktural lebih kompleks. Membran bagian luar pada dinding sel gram negatif mengandung lipopolisakarida, yaitu karbohidrat yang terikat dengan lipid. Lapisan lipopolisakarida ini bersifat toksik (beracun) dan membran bagian luar membantu melindungi bakteri dalam melawan sistem pertahanan sel inangnya (Campbell et al. 2003). Adanya lapisan lipopolisakarida dan membran luar pada bakteri E. coli ini menyebabkan struktur bakteri menjadi lebih kokoh sehingga sulit ditembus oleh senyawa antimikroba dari ekstrak belalang yang diperoleh dari metode maserasi. Dari Gambar 17 dapat dilihat bahwa ekstrak dari pelarut etil asetat lebih efektif dalam menghambat pertumbuhan mikroba dibandingkan ekstrak pelarut etanol, baik terhadap bakteri S. aureus ataupun bakteri E. coli. Pelarut etil asetat termasuk dalam kelas tiga berdasarkan toksisitasnya yang rendah toksik dan penggunaannya dalam bahan pangan dibatasi oleh cara produksi yang baik (GMP atau Good Manufacturing Practices). Kuatnya aktivitas antimikroba ekstrak etil asetat belalang disebabkan karena pelarut etil asetat yang bersifat semi-polar sehingga senyawa yang terkandung di dalam ekstrak belalang merupakan senyawa-senyawa yang bersifat semi-polar. Senyawa antimikroba yang bersifat semi-polar memiliki aktivitas antimikroba yang baik karena senyawa antimikroba membutuhkan keseimbangan sifat hidrofilik-lipofilik untuk mendapatkan aktivitas antimikroba yang optimal. Sifat hidrofilik dibutuhkan agar senyawa antimikroba dapat larut di dalam senyawa polar (air) tempat bakteri biasa tumbuh, sedangkan sifat lipofilik dibutuhkan agar senyawa antimikroba dapat berikatan dengan membran bakteri (Branen dan Davidson 1993). Hal tersebut menyebabkan komponen aktif bersifat lipofilik yang terdapat dalam ekstrak etil asetat belalang dapat berikatan dengan membran sel bakteri S. aureus
23
dan E. coli, sedangkan komponen hidrofilik menyeimbangkan dengan lingkungan sekitar sehingga membran sel mengalami peningkatan permeabilitas membran yang kemudian dapat menyebabkan kandungan mineral dalam sitoplasma keluar sehingga menyebabkan sel lisis. Pelarut etanol merupakan pelarut selanjutnya yang digunakan pada ekstraksi belalang dengan maserasi. Senyawa tannin yang bersifat polar diduga terlarut dalam fraksi ekstrak etanol belalang. Senyawa tannin yang berada dalam fraksi ekstrak etanol belalang dapat berperan sebagai senyawa antimikroba. Senyawa tannin merupakan salah satu subklas dari senyawa fenolik polimer. Senyawa tannin yang memiliki mekanisme penghambatan terhadap bakteri dengan cara membentuk kompleks dengan protein sehingga mengakibatkan inaktivasi enzim sel bakteri (Cowan 1999). Limit residu pelarut dalam bahan makanan dapat ditoleransi untuk keberadaan pelarut etanol cukup besar yaitu 1000 ppm (Handa 2008). Oleh karena, itu dapat disimpulkan bahwa ekstrak etil asetat belalang yang diperoleh dari metode maserasi memiliki aktivitas antimikroba yang tertinggi terhadap bakteri S. aureus dan E. coli. Aktivitas yang dihasilkan dengan menggunakan difusi sumur bersifat kualitatif (Branen dan Davidson 1993). Berdasarkan hasil penelitian ini, ekstrak etil asetat yang diperoleh dari metode maserasi dijadikan sebagai ekstrak terpilih untuk tahap selanjutnya yaitu penentuan konsentrasi hambat minimum (MIC).
E. PENENTUAN MINIMUM INHIBITORY CONCENTRATION (MIC) Tahap selanjutnya yaitu menentukan konsentrasi hambat minimum (MIC) pada ekstrak terpilih. Metode tersebut direkomendasikan oleh Gutierrez et al. (2009) sebagai metode yang baik untuk mengetahui konsentrasi terkecil yang dapat menghambat bakteri uji. Pengujian aktivitas antimikroba secara kuantitatif dilakukan pada ekstrak terpilih, yaitu ekstrak C (etil asetat belalang) yang diperoleh dengan metode maserasi pada suhu pemekatan 40 °C terhadap bakteri uji yang menunjukkan aktivitas penghambatan. Penurunan jumlah bakteri dihitung berdasarkan persentase selisih dari jumlah koloni yang tumbuh setelah 24 jam dengan jumlah koloni yang tumbuh pada 0 jam dibagi jumlah koloni yang tumbuh pada 0 jam. Nilai konsentrasi hambat minimal (MIC) ditentukan jika pada konsentrasi ekstrak belalang terendah dapat menghambat pertumbuhan bakteri atau terjadi penurunan jumlah bakteri sebesar 90 % dari jumlah bakteri awal. Hasil pengujian aktivitas penghambatan secara kuantitatif dapat dilihat pada Tabel 4, Lampiran 4, dan Lampiran 5. Tabel 4. Hasil pengujian aktivitas penghambatan ekstrak C Jenis Bakteri
Konsentrasi ekstrak C (mg/ml)
Jumlah bakteri (CFU/ml) Inkubasi 0 jam Inkubasi 24 jam
Penurunan jumlah bakteri (%)
S. aureus
6 7 10 10 20
5,1 x 105 4,2 x 105 1,4 x 105 1,3 x 105 8 x 104
91,32 98,11 98,89 55,86 98,09
E. coli
4,4 x 104 9,0 x 103 7,6 x 102 5,7 x 104 1,5 x 103
Nilai penghambatan seperti yang ditunjukkan Tabel 4 menunjukkan hingga konsentrasi 5 % ekstrak etil asetat belalang tidak menunjukkan adanya penurunan jumlah bakteri S. aureus. Pada konsentrasi 6 %, terdapat penurunan sebesar 91,32 %, sedangkan konsentrasi 7 % mampu menurunkan jumlah bakteri sebesar 98,11 %. Pada konsentrasi 10 % ekstrak etil asetat, bakteri S. aureus mengalami penurunan jumlah bakteri masing-masing sebesar 98,89 %. Ekstrak etil
24
asetat belalang juga diujikan pada bakteri E. coli pada konsentrasi 10 % dan 20 %. Pada konsentrasi 10 % ekstrak mampu menurunkan jumlah bakteri sebesar 55,68 %, sedangkan pada konsentrasi 20 % bakteri E. coli mengalami penurunan jumlah bakteri sebesar 98,09 %. Konsentrasi ekstrak etil asetat belalang 6 % yang diperoleh dengan metode maserasi dengan suhu pemekatan 40 °C menunjukkan adanya penurunan lebih dari 90 % jumlah bakteri uji setelah inkubasi 24 jam dibandingkan dengan jumlah bakteri awal sehingga nilai konsentrasi hambat minimal (MIC) diperoleh. Nilai tersebut nantinya akan digunakan sebagai dasar penggunaan pada uji selanjutnya yaitu aplikasinya sebagai pengawet pada bakso. Uji MIC merupakan uji yang bersifat tidak konstan, bergantung dari ukuran inokulum bakteri uji, kuantitas bakteri target, komposisi kultur medium, pertumbuhan isolat yang berbeda dan kondisi inkubasi seperti temperatur, pH, dan aerasi (Tokayasa 2010).
F. APLIKASI EKSTRAK SEBAGAI PENGAWET PADA BAKSO Tahap selanjutnya setelah didapatkan nilai konsentrasi hambat minimal (MIC) yaitu pengujian sebagai pengawet pada produk bakso daging. Uji aplikasi ekstrak belalang dengan pelarut etil asetat ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas antimikroba ekstrak dalam memperlambat laju kerusakan bakso. Pengujian terhadap bakso daging ini difokuskan pada aspek mikrobiologi. Batasan aman yang dipergunakan berdasarkan SNI 7388:2009 yang tercantum pada Tabel 5. Tabel 5. Syarat mutu mikrobiologi bakso No 1 2 3
Kriteria uji Angka lempeng total E. coli S. aureus
Satuan Koloni/g Koloni/g Koloni/g
Persyaratan Maks. 1 x 105 Maks. 1 x 103 Maks. 1 x 102
Sumber: SNI 7388:2009
Bakso yang ditambahkan dengan pengawet ekstrak belalang dibandingkan dengan bakso kontrol yang tidak ditambahkan dengan ekstrak. Bakso dikatakan rusak apabila telah melampaui batas maksimal dari standar SNI. Konsentrasi ekstrak yang ditambahkan adalah 10 % berdasarkan hasil yang didapat dari metode sebelumnya. Konsentrasi ini dipilih karena pada aplikasi di bahan pangan, harus lebih besar dari konsentrasi hambat minimum (MIC). Hal ini dikarenakan bahan pangan hasil olahan daging terutama bakso memiliki matriks yang lebih kompleks dengan kandungan protein dan karbohidrat yang tinggi merupakan tempat yang baik bagi pertumbuhan beberapa mikroba perusak pangan. Daging mempunyai nilai nutrisi yang sangat tinggi, dimana nutrisi tersebut merupakan hal yang penting untuk pertumbuhan mikroorganisme baik perusak makanan ataupun patogen makanan (Jay 2000). Pengujian dilakukan dengan menggunakan tiga media, yaitu PCA (Plate Count Agar) untuk menghitung angka lempeng total, EMBA (Eosin Methylene Blue Agar) untuk menghitung jumlah bakteri E. coli, dan BPA (Baird Parker Agar) untuk menganalisis bakteri kelompok Staphlococcus sp.. Pengujian dilakukan pada jam ke-0, jam ke-6, jam ke-7, jam ke-21, dan jam ke-24. Jika hasil yang didapat masih lebih kecil dari nilai maksimal persyaratan pada SNI, menandakan bakso daging tersebut belum rusak. Sebaliknya, jika hasil pengujiannya lebih besar dari nilai maskimal persyaratan SNI menandakan bakso tidak layak untuk dikonsumsi. Hasil analisis dari tiga media tersebut dapat dilihat pada Tabel 6.
25
Tabel 6. Hasil pengujian ekstrak belalang sebagai pengawet Bakso
Ekstrak Etil Asetat
Kontrol
Jam
0 6 17 20 24 0 6 17 20 24
Total Plate Count (koloni/g) < 2,5 x 103 < 2,5 x 103 < 2,5 x 103 < 6 x 104 1,65 x 105 < 2,5 x 104 1,8 x 104 > 2,5 x 106 > 2,5 x 106 > 2,5 x 106
Analisa E. coli (koloni/g) < 2,5 x 102 < 2,5 x 102 6,3 x 102 9,3 x 102 7,8 x 103 < 2,5 x 102 > 2,5 x 104 > 2,5 x 104 > 2,5 x 104 > 2,5 x 104
Staphylococcus sp. (koloni/g) < 2,5 x 102 < 2,5 x 102 < 2,5 x 102 6,3 x 102 > 4,6 x 103 < 2,5 x 102 > 2,5 x 103 > 2,5 x 103 > 2,5 x 103 > 2,5 x 103
Kondisi bakso Baik Baik Baik Rusak Rusak Baik Rusak Rusak Rusak Rusak
Keterangan: angka yang dicetak tebal telah melebihi batas maksimal syarat mutu bakso Uji TPC (angka lempeng total) bertujuan mengetahui jumlah koloni bakteri yang tumbuh. Jumlah TPC yang tinggi merupakan indikasi adanya kerusakan bakso oleh mikroba dalam jumlah besar. Dari Tabel 6 terlihat bahwa bakso kontrol belum rusak hingga jam ke-6 berdasarkan nilai TPC, dimana nilainya masih berkisar 1,8 x 104 koloni/gram. Sedangkan pada jam ke-17 dan seterusnya bakso dapat dikatakan sudah dalam keadaan rusak karena melebihi batas maksimum TPC dengan jumlah bakteri lebih dari 2,5 x 106 koloni/gram. Pada bakso daging lainnya yang diberi perlakuan penambahan ekstrak etil asetat belalang sebesar 10 %, mampu bertahan hingga jam ke-20 dimana pada jam tersebut jumlah bakteri masih lebih kecil dari 6 x 104 koloni/gram. Namun pada pengujian lebih lanjut hingga jam ke-20, bakso yang ditambahkan ekstrak tidak layak lagi untuk dikonsumsi karena sudah melebihi batas maksimal dari SNI 2009. Dari perhitungan jumlah bakteri E. coli, ternyata pada 6 jam penyimpanan (bakso kontrol) jumlahnya sudah melebihi standar. Sedangkan pada bakso yang ditambahkan dengan ekstrak belalang sebesar 10 %, pada 20 jam penyimpanan, jumlah E. coli 9,3 x 102 koloni/gram atau masih lebih kecil dari standar SNI. Demikian juga dengan kandungan bakteri staphylococcus sp. yang jumlahnya masih lebih kecil dari standar SNI. Dengan demikian dapat dikatakan ekstrak etil asetat belalang mampu berfungsi sebagai pengawet pada produk bakso daging karena mampu memperpanjang masa simpannya hingga 17 jam. Bakso daging normal atau tanpa penambahan ekstrak belalang hanya bertahan sampai dengan penyimpanan 6 jam.
26
V. SIMPULAN DAN SARAN A. SIMPULAN Dari hasil uji ekstrak tepung belalang menggunakan pelarut etanol dan etil asetat dengan menggunakan metode difusi sumur, diketahui ekstrak tepung belalang mampu menghambat pertumbuhan bakteri E. coli dan S. aureus. Diameter penghambatan yang dihasilkan terhadap bakteri S. aureus sebesar 7,1 mm dengan menggunakan ekstrak belalang dari pelarut etanol, sedangkan ekstrak belalang dengan pelarut etil asetat menghasilkan diameter penghambatan sebesar 9,4 mm. Pengujian dengan menggunakan bakteri E. coli menghasilkan diameter penghambatan sebesar 6,8 mm dengan menggunakan ekstrak belalang dari pelarut etanol dan 9,1 mm menggunakan ekstrak belalang dari pelarut etil asetat. Ekstrak belalang dari pelarut etil asetat dipilih untuk uji lanjut penentuan MIC karena menunjukkan penghambatan yang paling besar, baik terhadap bakteri S. aureus maupun bakteri E. coli. Ekstrak belalang dari pelarut etil asetat yang diperoleh dari metode maserasi ini menunjukkan hasil konsentrasi hambat minimalnya pada konsentrasi 6 % terhadap bakteri S. aureus. Konsentrasi yang didapatkan digunakan sebagai dasar uji tahap akhir, yaitu aplikasinya sebagai pengawet pada bakso daging. Konsentrasi yang digunakan pada tahap ini adalah 10 % ekstrak belalang dari pelarut etil asetat. Dengan penambahan ekstrak sebesar 10 % mampu meningkatkan umur simpan bakso daging hingga 17 jam. Jauh lebih baik dibandingkan bakso kontrol yang tidak tahan lebih dari 6 jam. Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa ekstrak belalang memiliki aktivitas antimikroba dan mampu memperpanjang umur simpan produk bakso daging.
B. SARAN Perlu penelitian lebih lanjut untuk mengaplikasikan pengawet belalang pada produk pangan lainnya sehingga dapat mengurangi penggunaan pengawet yang ilegal dan berbahaya.
27
DAFTAR PUSTAKA Adam MR, Moss MO. 1995. Food Microbiology. The Royal Society of Chemistry. Cambridge. Amir M, Kahono S. 2003. Serangga Taman Nasional Gunung Halimun Jawa Bagian Barat. BCPJICA: Bogor. Anjarsari B. 2010. Pangan Hewani Fisiologi Pasca Mortem dan Teknologi. Graha Ilmu: Jogjakarta. Apriyantono A, Hermanianto J, Wahid N. 2007. Pedoman Produksi Pangan Halal. Khairun Bayan Press: Jakarta. Branen AL, Davidson PM. 1993. Antimicrobial in Foods. Marcel dekker: New york. Buckle KA, Edwards RA, Fleet GH, Wootton M. 2010. Dalam: Hari P dan Adiono (Eds). Ilmu Pangan. UI Press: Jakarta. Budiyanto MAK. 2002. Mikrobiologi Terapan. UMM Press: Malang. Cahyadi W. 2008. Bahan Tambahan Pangan. Bumi Aksara: Jakarta Campbell NA, JB Reece, LG Mitchell. 2003. Biologi Edisi Kelima. Diterjemahkan dari: Biology 5th Ed (Penerjemah: W. Manalu). Erlangga: Jakarta. Cosentino S, Tuberoso CIG, Pisano B, Satta M, Mascia V, Arzedi E, Palmas F. 1999. In Vitro Antimicrobial Activity and Chemical Composition of Sardinian Thymus Essential Oils. Letters in Appl Microbiol. 29: 130-135. Cowan MM. 1999. Plant Product as Antimicrobial Agents. Clinical Microbiologi Reviews 12 (4): 564-568. Davidson MP. 1997. Chemical Preservatives and Natural Antimicrobial Compounds. Dorman HJD, Deans SG. 2000. Antimicrobial Agents From Plants: Antibacterial Activity of Plant Volatile Oils. J Appl Microbiol 88:308-316. Doyle MP, Beuchat LR, Montville TJ. 2001. Food Microbiology. ASM Press: Washington DC. Durst PB, Johnson DV, Leslie RN, Shono K. 2008. Forest Insect as Food : Humans Bite Back. Food and Agriculture Organization of the United Nations Regional Office for Asia and the Pacific. Bangkok : Thailand Elzinga RJ. 2004. Fundamentals of Entomology. 6th ed. Pearson Education, Inc: New Jersey. Emerton V, Choi E. 2008. Essential Guide to Food Additives. Leaterhead Food International Ltd.: Surrey. Fadlan, F. 2001. Mempelajari Pengaruh Bahan Pengisi dan Bahan Tambahan Makanan terhadap Mutu Fisik dan Organoleptik Bakso Sapi. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Fardiaz S, Jenie BSL. 1988. Mikrobiologi Pangan II. PAU Pangan dan Gizi IPB: Bogor. Fardiaz S, Suliantari, Dewanti R. 1987. Senyawa Antimikroba. Bogor: PAU. Fardiaz S. 1992. Mikrobiologi Pangan 1. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Frazier WC, Westhoff. 1988. Food Microbiology. Tata McGraw-Hill Publ. Co., Ltd: New Delhi. Gutierrez J, Barry RC, P Bourke. 2008. The Antimicrobial Efficacy of Plant Essential Oil Combinations and Interactions With Food Ingredients. International J Microbiol 124 : 91–97. Hadditama N. 2009. Studi Penggunaan Ekstrak Bawang Putih (Allium sativum LINN) Pada Pengawetan Bakso dengan Asam Asetat. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Handa SS. 2008. An Overview of Extraction for Medicinal and Aromatic Plants. Dalam: Extraction Technologies for Medicinal and Aromatic Plants. SS Handa, SPS Khanuja, G Longo, DD Rakesh (Eds.) International Centre for Science and High Technology: Italia.
28
Harborne JB. 1996. Metode Fitokimia: penuntun cara modern menganalisis tumbuhan. Padmawinata K, Soediro I (eds). Bandung: ITB Press. Terjemahan dari Phytochemical Methods. Houghton PJ, A Raman. 1998. Analysis of Crude Extracts, Fractions and Isolated Compounds: Laboratory Handbook for the Fractionation of Natural Extracts. 1st ed. Thomson Publishing: USA. Jawetz E, J Melnick L, Adelberg EA. 2005. Microbiologi Untuk Profesi Kesehatan (Penerjemah: Huriati, Hartanto). Kedokteran EGC, Jakarta. Jay JM. 2000. Modern Food Microbiology. 6th ed. An Aspen Publication: Maryland. Kanazawa AT, Ikeda T, Endo. 1995. A Novel Approach to Made of Action and Cationic Biocides: Morphological Effect on Antibacterial Activity. J Appl. Bacteriol. 78:55-60. Lonhienne T, Mavromatis K, Vorqias CE, Buchon L, Gerday C, Bouriotis V. 2001. Cloning, sequences, and characterization of two chitinase genes from the Antarctic Arthobacter sp. Strain TAD20: isolation and partial characterization of enzymes. J Bacteriol 183: 1773-1779. Madigan MT, Martinko JM, Parker J. 2000. Biology of Microorganisms.9th ed.Southern Illinois University Carbondale. Marliyati SA, Sulaeman A, Anwar F. 1992. Pengolahan Pangan Tingkat Rumah Tangga. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB: Bogor. Masika PJ, Afolayan AJ. 2002. Antimicrobial activity of some plants used for the treatment of livestock disease in the Eastern Cape. South Africa. J Ethnopharmacol 83(1-2): 129-134. Mekawati, Fachriyah E, Sumardjo D. 2000. Aplikasi Kitosan Hasil Transformasi Kitin Limbah Udang (Peneaus merguiensis) untuk Adsorbsi Ion Logam Timbal. J Sci and Math 8 (2): 51-54. Naufalin R, Herastuti. 2012. Pengawet Alami Pada Produk Pangan. UPT Percetakan dan Penerbitan Unsoed : Purwekorto. Nychas GJE, Tassou CC. 2000. Traditional Preservatives-Oils and Spices. Dalam: Encyclopedia of Food Microbiology. Robinson R, Batt C, Patel P (eds). Academic Press: London. Omaye ST. 2004. Food and Nutritional Toxicology. CRC Press: Boca Roton. Parhusip, AJN. 2006. Kajian Mekanisme Antibakteri Ekstrak Andaliman (Zantoxylum acanthopodium DC) Terhadap Bakteri Patogen Pangan. [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Parker R. 2003.Introduction to Food Science. Thomas Learning Inc: New York. Piliang WG, Soewondo DAH. 2006. Fisiologi Nutrisi Volume 1. Bogor: IPB Press. Piyawan VS, Ifesan W. 2011. Applications of Natural Products in Food. Nova Science Publishers, Inc.: New York. Pracaya. 1995. Hama dan Penyakit Tumbuhan. Penebar Swadaya: Jakarta. Pusa T. 2008. Principle of Food Toxicology. CRC Press: Boca Ratan. Rahayu WP. 2011. Keamanan Pangan: Kepedulian Kita Bersama. IPB Press: Bogor. Sagdic O, S Yasar, AN Kisioglu. 2005. Antibacterial effects of single or Combined plant extracts. Annal of Microbiol 55 (1): 67-71. Saparinto C dan Hidayati C. 2006. Bahan Tambahan Pangan. Kanisius: Yogyakarta. Sari LP. 2005. Penambahan Tepung Germ Gandum, Bahan Pengawet, dan Pengemasan Vakum pada Bakso Sapi. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Schwarz H, Moussian B. 2007. Electron-Microscopic and Genetic Dissection of Arthropod Cuticle Differention. Dalam A. Mendez-Villas and J. Diaz (Eds.).Modern Reserch and Educational Topic in Microscopy. Sugita P, Wukirsari T, Sjahruza, Wahyono D. 2009. Kitosan : Sumber Biomaterial Masa Depan. IPB Press: Bogor. Suhardi. 1992. Khitin dan Khitosan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi: UGM Yogyakarta.
29
Suharto. 1991. Teknologi Pengawetan Pangan. Rineka Cipta: Jakarta Supardi I, Sukamto. 1999. Mikrobiologi dalam Pengolahan dan Keamanan Pangan. Penerbit Alumni: Bandung Syah D. 2005. Manfaat dan Bahaya Bahan Tambahan Pangan. Himpunan Alumni Fateta IPB : Bogor. Thompson DP, Hintom. 1996. Inhibition of Growth of Mycotoxigenic Fusarium sp. by Buthylated Hydroxyanisole and/or Carvacrol. J Food Protect 59: 412-415. Tokayasa P. 2010.Sponge-associated bacteria producing antimicrobial compunds and their genetic biodiversity analysis. [Thesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Ultee A, Slump RA, Steging G, Smid EJ. 2000. Antimicrobial Activity of Carvacrol Toward Bacillus cereus on Rice. J Food Protect (5): 620-624. Wibowo S. 2006. Pembuatan Bakso Ikan & Bakso Daging. Penebar Swadaya : Jakarta.
30
LAMPIRAN
31
Lampiran 1. Rendemen ekstraksi tepung belalang Pelarut Air Etil Asetat Etanol Heksan
Ulangan 1 2 1 2 1 2 1 2
Wtepung 25,02 25,05 25,05 25,04 25,01 25,04 25,02 25,05
Wtab. kos 211,06 210,93 210,92 205,25 205,25 211,06 205,16 210,92
Wtab+eks 214,42 214,45 213,44 207,68 208,24 214,18 207,57 213,41
Weks 3,36 3,52 2,52 2,43 2,99 3,12 2,41 2,49
Rendemen 13,42 14,05 10,06 9,70 11,96 12,46 9,63 9,94
Rataan
SDV
13,74
0,32
9,88
0,18
12,21
0,25
9,79
0,16
Lampiran 2. Jumlah kultur bakteri awal Bakteri
Ulangan ke-
Duplo 10-5
S. aureus
1 2
Rataan E. coli
1 2 1 2
TBUD TBUD TBUD TBUD
Pengenceran 10-6 10-7 211 35 211 17 132 10 128 22
10-8 1 2
Jumlah Bakteri 2,18x108 1,3x108 1,74x108
1 2
1 2 1 2
TBUD TBUD
-
69 114 307 306
27 6 21 30
0 1 2 1
2,55x108 1x108 1,78x108
Rataan
Lampiran 3. Diameter penghambatan ekstrak belalang terhadap bakteri dengan metode difusi sumur Bakteri S. aureus
Ulangan ke1 2
Rata-rata E. coli
1 2
Rata-rata
Duplo 1 2 1 2 1 2 1 2
Pelarut Etil Asetat 7,8 12,7 9,0 8,1 9,4 8,3 9,5 9,1 9,5 9,1
Akuades 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Heksan 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Etanol 5,5 10,5 5,7 6,7 7,1 5,9 6,1 7,2 8 6,8
32
Lampiran 4. Nilai penghambatan ekstrak C
Bakteri S. aureus
Konsentrasi (%) 6
Ulangan
1 1 2
7
1 2
10
1 2
E. coli
10-1 2
Jam
10
1
20
1
0 24 0 24 0 24 0 24 0 24 0 24 0 24 0 24
10-2
10-3
10-4
1
2
1
2
TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD
TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD
TBUD
TBUD
TBUD
TBUD
336
331
32
39
TBUD TBUD TBUD
TBUD TBUD TBUD
TBUD
TBUD
55
45
47 161 9
56 127 6
TBUD
TBUD
TBUD
TBUD
144
20
17
16
TBUD
TBUD
TBUD
TBUD
107
62
22
13
TBUD
TBUD
TBUD
TBUD
202
209
44
35
TBUD TBUD TBUD
TBUD TBUD TBUD
TBUD TBUD TBUD
TBUD TBUD TBUD
149
139
34
15
3 102 1 128 8 106 51 84 0
0 38 3 163 4 103 62 76 1
1 57 6 44 5 8 0 42 0 4 2 9 0 41 11 10 1
10-5 2
1
10-6 2
1
2
10-7 1 2
Jumlah Koloni 5,4 x 105 3,6 x 104 4,8x105 5,2x104
50 5 52 5 14 0 42 0 6 0 15 0 32 9 5 0
1,4x105 5 x 103 4,2x105 1,3x104 1,2x105 8,5x102 1,5x105 2,2x103 1,3x105 5,7x104 8x104 1,5x103
Lampiran 5. Nilai penghambatan ekstrak C Bakteri Uji S. aureus
Konsentrasi ekstrak (%) 6 7 10
E. coli
10 20
Ulangan 1 2 1 2 1 2 1 1
Jumlah koloni tumbuh (t=0 jam) 4,8 x 105 5,4 x 105 1,4 x 105 4,2 x 105 1,2 x 105 1,5 x 105 1,3 x 105 8 x 104
Jumlah koloni tumbuh (t=24 jam) 5,2 x 104 3,6 x 104 3 x 103 1,3 x 104 8,5 x 102 2,2 x 103 5,7 x 104 1,5 x 103
Penghambatan bakteri (%) 89,27 93,36 96,53 99,69 99,30 98,47 55,86 98,09
Rataan (%) 91,31 98,11 98,89 55,86 98,09
33
Lampiran 6. Pengujian sebagai pengawet pada bakso kontrol Media
Jam
Pengenceran 101
PCA
102
0 6
TBUD
TBUD
88
34
17 20 24 EMBA
TBUD
0
12 12
4 6
0 0
0 0
6
TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD
TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD
TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD
TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD
0
16 20
1 18
6
TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD
TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD
17 20 24 BPA
TBUD
17 20 24
0 0 35 30 TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD
103 0 1 30 26 TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD
1 0 3 8 TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD
104 0 0 5 4 TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD
Jumlah Koloni < 2,5 x 104 < 2,5 x 104 8,5 x 103 2,8 x 104 > 2,5 x 106 > 2,5 x 106 > 2,5 x 106 > 2,5 x 106 > 2,5 x 106 > 2,5 x 106 < 2,5 x 102 < 2,5 x 102 > 2,5 x 104 > 2,5 x 104 > 2,5 x 104 > 2,5 x 104 > 2,5 x 104 > 2,5 x 104 > 2,5 x 104 > 2,5 x 104 < 2,5 x 102 < 2,5 x 102 > 2,5 x 103 > 2,5 x 103 > 2,5 x 103 > 2,5 x 103 > 2,5 x 103 > 2,5 x 103 > 2,5 x 103 > 2,5 x 103
Rataan
Kondisi
< 2,5 x 104
BAIK
1,8 x 104
BAIK
> 2,5 x 106
RUSAK
> 2,5 x 106
RUSAK
> 2,5 x 106
RUSAK
< 2,5 x 102
BAIK
> 2,5 x 104
RUSAK
> 2,5 x 104
RUSAK
> 2,5 x 104
RUSAK
> 2,5 x 104
RUSAK
< 2,5 x 102
BAIK
> 2,5 x 103
RUSAK
> 2,5 x 103
RUSAK
> 2,5 x 103
RUSAK
> 2,5 x 103
RUSAK
34
Lampiran 7. Pengujian sebagai pengawet pada bakso yang ditambahkan ekstrak C konsentrasi 10 % Media PCA
Jam 0
3
101 9
6
9
2
0 1
17 20 24 EMBA
0
0 2 10 14 70 57 59 106
0 5 6 3 75 48 72 124
24
TBUD TBUD
TBUD TBUD
0
1 2 3 5 0 8 37 29
2 3 4 3 0 3 35 61
TBUD
TBUD
206
204
6 17 20
BPA
6 17 20 24
0 0 0 0 6 7 3 13 60 121
Pengenceran 102 103 0 0 0 0 0 1 1 1 1 8 3 6 4 9 3 2 37 33 180 137 127 195 0 1 2 1 8 5 5 8 31 93
0 0 0 1 2 1 1 4 27 32
104 0 0 0 0 1 0 0 3 18 28
Jumlah Koloni < 2,5 x 102 < 2,5 x 104 < 2,5 x 102 < 2,5 x 104 < 2,5 x 104 < 2,5 x 104 < 2,5 x 104 3,5 x 104 1,6 x 105 1,7 x 105 < 2,5 x 102 < 2,5 x 102 < 2,5 x 102 < 2,5 x 102 7,3 x 102 5,3 x 102 6,6 x 102 1,2 x 103 4,6 x 103 1,1 x 104 < 2,5 x 102 < 2,5 x 102 < 2,5 x 102 < 2,5 x 102 < 2,5 x 102 < 2,5 x 102 3,6 x 102 9 x 102 > 2,5 x 103 2,1 x 103
Rataan
Aman
< 2,5 x 103
BAIK
< 2,5 x 103
BAIK
< 2,5 x 104
BAIK
< 6 x 104
BAIK
1,65 x 105
RUSAK
< 2,5 x 102
BAIK
< 2,5 x 102
BAIK
6,3 x 102
BAIK
9,3 x 102
BAIK
7,8 x 103
RUSAK
< 2,5 x 102
BAIK
< 2,5 x 102
BAIK
< 2,5 x 102
BAIK
6,3 x 102
RUSAK
>4,6 x 103
RUSAK
35
36