1
awidjajanto/kaji ulang pertahanan/2005
Kaji Ulang Pertahanan Negara -Andi Widjajanto*-
Tulisan ini bertujuan untuk menawarkan suatu model kaji ulang pertahanan negara yang diperlukan untuk membangun suatu angkatan bersenjata yang profesional, tangguh, serta mampu menggelar operasioperasi militer yang mengoptimalkan perkembangan terkini teknologi pertahanan berdasarkan strategi pertahanan yang telah dirumuskan. Model kaji ulang pertahanan yang ditawarkan di tulisan ini terdiri dari empat kelompok kajian, yaitu normatif, substantif, struktural, serta operasional.
I Kelompok pertama adalah kaji ulang pertahanan normatif. Kaji ulang normatif ini dilakukan untuk membentuk TNI profesional yang lepas sepenuhnya dari karakter tentara politik dan tentara niaga. Untuk itu, Menteri Pertahanan perlu segera merumuskan kerangka kerja yang akan menopang perwujudan empat variasi kontrol sipil: normatif, substantif, efektif, serta obyektif. Variasi pertama adalah kontrol sipil normatif. Gagasan kontrol sipil normatif mengharuskan pemerintah untuk membentuk suatu cetak biru regulasi-regulasi politik di bidang pertahanan negara. Cetak biru tersebut dibentuk agar ada kerangka legal-formal yang lengkap yang mengatur (a) tataran kewenangan di bidang pertahanan negara; (b) jenis-jenis kebijakan dan strategi pertahanan negara; (c) organisasi pertahanan negara; (d) mekanisme pengerahan dan penggunaan kekuatan TNI; (e) prinsip pengelolaan dan penggunaan sumber daya pertahanan; serta (f) keprajuritan. Aturan perundang-undangan yang harus diprioritaskan adalah (1) RUU tentang Perubahan UU No.31/1997 tentang Peradilan Militer; (2) RUU Tugas Perbantuan; (3) RUU Komponen Cadangan Pertahanan Negara; (4) RUU Penetapan dan Penanggulangan Keadaan Bahaya; (5) RUU Bela Negara; (6) RUU Mobilisasi dan Demobilisasi; (7) RUU Hukum Pidana Militer; (8) RUU Sumber Daya Pertahanan Negara; dan (9) RUU Tata Ruang Wilayah Pertahanan Negara. Variasi kedua adalah kontrol sipil substantif yang dapat diimplementasikan dengan menetapkan rangkaian kebijakan pertahanan negara sesuai dengan mandat Pasal 16 UU 3/2002. Perumusan seluruh rangkaian kebijakan pertahanan negara ini telah dimulai oleh Departemen Pertahanan dengan melakukan proses Kaji Ulang Pertahanan Negara (Strategic Defense Review). Kaji Ulang Pertahanan ini menjadi dasar perumusan Kebijakan Umum Pertahanan Negara. Kebijakan Umum Andi Widjajanto, Staf Pengajar FISIP Universitas Indonesia untuk mata kuliah Pengkajian Strategi serta Perang dan Damai. Gelar MSc diraih dari London School of Economics and Political Science, University of London (1998) di bidang Teori dan Sejarah Hubungan Internasional; gelar MS dari National Defense University, Washington D.C., Amerika Serikat (2003).
*
2
awidjajanto/kaji ulang pertahanan/2005
Pertahanan Negara ini akan berfungsi sebagai Strategi Raya (Grand Strategy) Pertahanan Indonesia. Untuk merumuskan Strategi Raya Pertahanan Indonesia, pemerintah perlu segera membentuk Dewan Pertahanan Nasional (DPN). Pembentukan DPN merupakan mandat pasal 15 UU 3/2002 tentang Pertahanan Negara. Struktur dan anggota DPN sudah ditentukan oleh UU 3/2002 dan DPN diarahkan untuk memiliki fungsi terbatas pada pemberian nasehat kepada Presiden tentang perumusan Kebijakan Umum Pertahanan Negara serta tentang pengerahan kekuatan TNI. Variasi ketiga adalah kontrol sipil efektif. Pelaksanaan kontrol sipil efektif ini akan sepenuhnya tergantung dari kapasitas pemerintah dan DPR untuk mengawasi penggunaan anggaran pertahanan. PR pemerintahan SBY untuk menegakkan kontrol sipil efektif ini adalah (1) menyusun mekanisme penganggaran baru sesuai dengan prinsip APBN Kinerja terutama untuk menjamin bahwa seluruh kebutuhan TNI dapat dipenuhi seluruhnya oleh APBN; (2) bersama DPR, menetapkan mekanisme pertanggung-jawaban pengelolaan anggaran pertahanan dalam rangka penerapan prinsip akuntabilitas dan transparansi; serta (3) sesuai mandat UU TNI, menyusun alternatif-alternatif model pengambil-alihan aktivitas bisnis militer oleh negara. Variasi terakhir adalah kontrol sipil obyektif. Gagasan kontrol sipil obyektif pada dasarnya menempatkan TNI sebagai evaluator diri (selfevaluator) bagi terbentuknya TNI yang profesional. Untuk menegakkan kontrol sipil obyektif, Departemen Pertahanan diharapkan dapat meminta Mabes TNI untuk menyusun kerangka program “militerisasi militer” yang terdiri atas (1) pembentukan gugus tugas serta penetapan kerangka waktu redefinisi Doktrin TNI serta tiga Doktrin Angkatan; (2) penyusunan rancangan kode etik militer; (3) penetapan kerangka waktu proses revisi kurikulum pendidikan militer; serta (4) rancangan penataan ulang gelar kekuatan TNI.
II Kaji ulang substantif merupakan tahap kedua proses transformasi pertahanan yang dilakukan untuk menilai relevansi strategi pertahanan nasional dengan dinamika lingkungan strategis suatu negara. Kajian Strategis Pertahanan menganalisa perkembangan lingkungan politik dan keamanan regional dan global, serta tuntutan untuk pengembangan kemampuan utama pertahanan untuk mengatasinya. Hasil yang diharapkan muncul di tahap ini adalah Strategi Raya Pertahanan Nasional (Grand Strategy). Strategi pertahanan negara yang harus dikembangkan pada dasarnya terdiri dari tiga tipe strategi. Ketiga tipe strategi ini dibentuk berdasarkan tujuan pengembangan kekuatan militer, yaitu defensif, penangkalan (deterrent), dan penindakan (compellent). Strategi defensif merupakan bentuk gelar kekuatan pertahanan untuk menahan serangan militer serta mengurangi tingkat kerusakan yang terjadi saat serangan militer dilakukan. Operasi militer yang dilakukan beradarkan
3
awidjajanto/kaji ulang pertahanan/2005
strategi defensif ini dapat berupa operasi serangan balasan (second strike) atau strategi ofensif (first strike). Operasi serangan balasan dilakukan terutama untuk memukul mundur pasukan lawan yang telah melancarkan agresi militer ke wilayah negara. Operasi ofensif digelar dalam bentuk serangan preemptif atau serangan preventif. Serangan preemptif dilakukan saat suatu negara mendapatkan informasi intelijen strategis tentang adanya kemampuan dan intensi nyata dari negara lain untuk segera melakukan agresi militer. Serangan preventif dilakukan saat negara A melakukan serangan ofensif ke negara B untuk mencegah kemungkinan timbulnya pergeseran perimbangan kekuatan militer yang lebih menguntungkan negara B. Strategi penangkalan merupakan pergelaran kekuatan militer untuk mencegah lawan melakukan tindakan yang tidak diinginkan. Strategi penangkalan dilakukan dengan cara memberikan ancaman militer nyata yang didukung oleh kemampuan militer yang signifikan melakukan ancaman tersebut. Dengan demikian, strategi penangkalan merupakan pergelaran kekuatan militer masa damai yang tingkat keberhasilannya akan sangat tergantung dari dua faktor: (1) perimbangan kekuatan (balance of power) kuantitatif antar dua negara yang berhadap-hadapan; serta (2) kualitas perimbangan kekuatan yang dilihat apakah teknologi militer yang digelar lebih bersifat ofensif atau defensif. Strategi penindakan pertama kali diperkenalkan oleh Thomas C. Schelling (1966) dalam “Arms and Influence” yang mendefinisikan penindakan sebagai “the deployment of military force so as to be able either to stop adversaries from doing something that they have already undertaken or to get them to do something that they have not yet undertaken”. Jika keberhasilan strategi penangkalan ditentukan oleh tidak digunakannya kekuatan militer yang digelar (passive use of force), maka keberhasilan strategi penindakan sangat ditentukan dengan penggunaan kekuatan militer untuk menghancurkan lawan (active use of force). Untuk melakukan ketiga strategi dasar tersebut, Departemen Pertahanan harus mengembangkan postur pertahanan yang dapat menjalankan empat fungsi dasar militer, yaitu fungsi tempur, fungsi dukungan tempur, fungsi dukungan fasilitas tempur, serta fungsi nontempur. Keempat fungsi ini dijabarkan lebih lanjut dalam doktrin-doktrin militer. Doktrin militer ini menghadirkan prinsip-prinsip dasar yang dijadikan panduan otoritatif untuk menggelar dan menggunakan kekuatan TNI. Doktrin militer tersebut dioperasionalkan minimal untuk empat jenis doktrin: doktrin operasi gabungan, doktrin angkatan darat, doktrin angkatan laut, serta doktrin angkatan udara.
III Kelompok ketiga adalah kaji ulang pertahanan struktural. Kaji ulang struktural dilakukan setelah tugas-tugas militer selesai dirumuskan. Di tahap ini, departemen pertahanan melakukan kajian komprehensif untuk menilai apakah postur kekuatan pertahanan yang ada dapat sepenuhnya diandalkan untuk melakukan tugas-tugas militer.
awidjajanto/kaji ulang pertahanan/2005
4
Tugas-tugas militer yang akan dilaksanakan oleh angkatan bersenjata dapat dijabarkan berdasarkan model spektrum konflik. Model ini dibentuk dengan menetapkan suatu kurva linear yang dibentuk dari dua sumbu antara sunbu tingkat eskalasi konflik dengan sumbu peluang kejadian konflik. Tingkat eskalasi konflik berbanding terbalik dengan peluang kejadian konflik. Kemungkinan terjadinya konflik dengan tingkat eskalasi tinggi jauh lebih rendah dengan peluang merebaknya konflik dengan tingkat eskalasi rendah. Tingkat eskalasi konflik terdiri dari dari tiga kategori yang berkaitan dengan strategi militer yang harus digelar dan tingkat kehancuran yang menyertainya, Tiga kategori tersebut adalah gelar pasukan masa damai, strategi tanggapan krisis, dan perang. Kategori gelar pasukan masa damai, terdiri dari penempatan pasukan di pos-pos militer, latihan militer, pengintaian dan penginderaan, patroli perbatasan, serta strategi penangkalan. Kategori strategi tanggapan krisis terdiri dari tugas-tugas perbantuan dan operasi perdamaian. Kategori perang terdiri dari lima jenis perang, yaitu perang nuklir, perang yang melibatkan senjata biologi dan kimia, perang global konvensional, perang terbatas, serta strategi kontra terorisme dan kontra insurgensi. Rincian tiga kategori tersebut menunjukkan bahwa gelar pasukan masa damai cenderung disertai dengan tingkatan kehancuran rendah namun dengan peluang kejadian yang tinggi. Sementara, perang memiliki tingkat kehancuran tinggi dengan peluang kejadian rendah. Korelasi antara strategi militer, peluang kejadian, eskalasi konflik, serta tingkat kehancuran memberikan dua alternatif strategi pertahanan. Alternatif pertama adalah Departemen Pertahanan menggunakan skenario terburuk dan mengembangkan angkatan bersenjata untuk mengantisipasi tingkat eskalasi dengan tingkat kehancuran tertinggi. Jika alternatif ini yang digunakan, maka Departemen Pertahana akan mengembangkan kekuatan militer untuk menghadapi perang terutama yang akan melibatkan tingkat kehancuran massal seperti perang global konvensional maupun perang yang melibatkan senjata pemusnah massal. Alternatif ini akan mengarahkan Departemen Pertahanan untuk memberikan prioritas lebih rendah kepada tugas-tugas non militer seperti tugas perbantuan dan operasi perdamaian. Kapabilitas militer untuk melakukan tugas-tugas non militer dan/atau melakukan gelar pasukan masa damai dipandang sebagai efek samping (byproduct) dari penyiapan pasukan untuk mengantisipasi perang. Alternatif pertama ini hanya dapat dilakukan terutama jika negara dapat secara maksimal mengucurkan anggaran pertahanan untuk memenuhi seluruh kebutuhan pertahanan. Alternatif kedua adalah Departemen Pertahanan mengembangkan kapabilitas militer untuk mengantisipasi kemungkinan digelarnya angkatan bersenjata untuk tingkat eskalasi konflik rendah yang memiliki peluang kejadian tinggi. Alternatif ini mengharuskan Departemen Pertahanan untuk lebih memperhatikan kesiapan gelar kekuatan militer dengan frekuensi tinggi. Dengan demikian, sebagian besar pasukan akan digelar dalam tugastugas rutin masa damai dengan sistim rotasi yang memungkinkan satu
5
awidjajanto/kaji ulang pertahanan/2005
satuan tempur menjalankan tugas-tugas militer yang cenderung beragam. Alternatif kedua ini cenderung dilakukan oleh negara yang (1) memiliki keterbatasan anggaran pertahanan; (2) memiliki angkatan bersenjata yang menjalankan fungsi militer dan non-militer; serta (3) memiliki ancaman nyata berupa konflik-konflik berskala rendah yang terus-menerus terjadi. Berdasarkan model spektrum konflik, salah satu tujuan dari kaji ulang pertahanan struktural menilai apakah postur pertahanan yang ada dapat digelar untuk melakukan tugas-tugas militer, baik yang mengutamakan gelar operasi militer maupun kesiagaan strataegik. Seperti yang dijabarkan di Tabel 1, tugas-tugas militer dapat dibedakan dalam 27 tugas yang dapat dipadatkan dalam empat fungsi militer yaitu fungsi tempur, fungsi dukungan tempur, fungsi dukungan fasilitas tempur, dan fungsi non-tempur. Tabel 1. Tugas dan Fungi Militer
Fungsi Militer
TEMPUR
DUKUNGAN TEMPUR
DUKUNGAN FASILITAS TEMPUR
NON-TEMPUR
Tugas Militer 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Offensive Combat Air Defense Missile Defense Airborne Defense Amphibious Defense Antisubmarine Warfare Unconventional Warfare Counter Insurgency Counter Terrorism Coastal Security Internal Security
12. 13. 14. 15. 16. 17.
Intelligence Command and Control Communications Pcychological Operations Electronic Warfare Search and Rescue
18. 19. 20. 21. 22. 23.
Airlift Sealift Logistic Civil and Legal Affairs Metereological Navigation
24. 25. 26. 27.
Humanitarian Assistance Disaster Relief Civic Work Peace Support Operations
Berdasarkan penetapan tugas dan fungsi militer tersebut, Departemen Pertahanan merancang pengembangan postur pertahanan nasional, akusisi persenjataan yang diperlukan, dan besarnya anggaran yang dibutuhkan. Jika Departemen Pertahanan menetapkan bahwa gelar pasukan dan gelar operasi
6
awidjajanto/kaji ulang pertahanan/2005
militer jauh lebih diperlukan untuk menghadapi konflik-konflik internal dan transnasional, maka kebutuhan pertahanan minimal (mininal defense requirement) yang dibutuhkan adalah kesiagaan operasional angkatan bersenjata untuk melakukan fungsi tempur untuk tugas-tugas militer spesifik seperti kontra insurgensi, kontra terorisme, pengamanan pantai serta laut teritorial, serta keamanan internal. Fungsi tempur ini didukung oleh fungsifungsi lain yang relevan seperti dukungan komando, kendali, komunikasi dan intelijen (K3I), logistik, dan bantuan hukum. Jika anggaran pertahanan sangat terbatas, maka kebutuhan pertahanan minimal ini menjadi prioritas program arms maintanence. Jika kebutuhan pertahanan minimal tersebut sudah dapat dipenuhi, Departemen Pertahanan dapat mulai memikirkan untuk melakukan program military build-up dengan cara mengembangkan postur pertahanan untuk menjalankan tugas-tugas militer lainnya. Hasil dari kaji ulang pertahanan struktural ini adalah transformasi postur pertahanan (transformation of force structure). Pengembangan postur pertahanan baru dapat dilakukan jika ada (1) audit komprehensif tentang kapasitas militer yang ada saat ini; (2) proyeksi dan kriteria kapabilitas militer yang ingin dikembangkan; dan (3) kerangka revisi gelar kekuatan militer yang dapat mewadahi postur pertahanan baru.
IV Kelompok keempat adalah kaji ulang pertahanan operasional. Tujuan utama dari kajian operasional ini adalah untuk menjamin bahwa ada sinkronisasi antara postur pertahanan yang dikembangkan, teknologi militer yang diadopsi, dengan kinerja pertempuran. Sinkronisasi tersebut didapat dengan menilai apakah satuan-satuan tempur yang dikembangkan dapat secara efektif digelar dalam berbagai operasi militer. Operas-operasi militer tersebut pada dasarnya terbagi dalam dua kategori, yaitu operasi militer perang serta operasi militer selain perang. Operasi militer perang merupakan bentuk operasionalisasi tugas-tugas militer yang masuk dalam kategori fungsi tempur, dukugan tempur, serta dukungan fasilitas tempur. Operasi militer selain perang merupakan muara dari pelaksanaan tugas-tugas militer yang menjadi bagian dari fungsi nontempur, seperti bantuan kemanusian, civic mission, serta operasi perdamaian. Hasil dari kaji ulang pertahanan operasional adalah transformasi operasi militer. Transformasi operasi militer ini akan ditentukan oleh dua faktor: (1) pengembangan metode bertempur baru; dan (2) kemampuan untuk mengadopsi perkembangan teknologi dan persenjataan ke dalam platform pertempuran. Kombinasi dari kedua faktor tersebut dikenal sebagai kinerja pertempuran (battlefield performance). Transformasi kinerja pertempuran diukur dari kapasitas angkatan bersenjata untuk melakukan: (a) gelar pasukan secara cepat di berbagai wilayah dan berbagai spektrum konflik; (b) manuver pertempuran secara berkesinambungan dengan dukungan tempur dan fasilitas tempur yang memadai; (c) operasi militer yang efektif; (d) adaptasi medan pertempuran secara lentur.
7
awidjajanto/kaji ulang pertahanan/2005
Kebutuhan untuk melakukan proses transformasi kinerja pertempuran tersebut akan membutuhan operasionalisasi konsep untuk mengembangkan kekuatan pertahanan baru (building tansformed forces). Kekuatan pertahanan baru ini harus dapat menjelma secara operasional dalam bentuk pengerahan dan dan penggunaan kekuatan pertahanan baru (employing transformed forces). Pengerahan dan penggunaan kekuatan pertahanan baru terkait erat dengan dua pertimbangan strategik, yaitu kesiagaan operasional serta prinsip humaniter. Kesiagaan operasional dikembangkan agar kesiapan dan persiapan pasukan untuk mengantisipasi datangnya ancaman harus tinggi. Untuk itu, Departemen Pertahanan harus mempersiapkan strategi pertahanan yang memungkinkan (a) mobilitas pasukan yang tinggi yang memungkinkan pasukan dapat digelar di seluruh wilayah kepulauan Indonesia dalam tempo yang singkat. Ini berarti harus ada integrasi sistim pendukung angkutan darat, udara, dan laut; (b) jalur logistik yang dapat mencakup seluruh wilayah kepulauan Indonesia; serta (c) Komunikasi, Komando, Kontrol dan Intelijen (K3I) harus terintegrasi dan mencakup seluruh wilayah kepulauan Indonesia. Pertimbangan kedua adalah prinsip-prinsip humaniter. Prinsip ini terdiri dari enam komponen, yaitu: (1) penggunaan kekuatan bersenjata sebagai alternatif terakhir (last resort); (2) pilihan penggunaan kekuatan bersenjata dilakukan oleh otoritas sipil yang demokratis (authority); (3) penggunaan kekuatan bersenjata dilakukan hanya semata-mata untuk kepentingan pertahanan negara (causta iusta); (4) penggunaan kekuatan bersenjata ditujukan untuk memulihkan kembali kondisi damai (intetio recta); (5) implementasi prinsip diskriminasi dalam penggunaan kekuatan bersenjata (discriminate); dan (6) implementasi prinsip proporsionalitas dalam penggunaan kekuatan bersenjata (proportionality). Untuk itu perlu dikembangkan organisasi yang memiliki code of conduct yang jelas yang di dalamnya mencakup antara lain prinsip command responsibility, rules of engagement, akuntabilitas hukum peradilan militer (military tribunal) .
V Tulisan ini telah menawarkan suatu model kaji ulang pertahanan negara yang terdiri dari empat kelompok kajian, yaitu kaji ulang normatif, substantif, struktural, dan operasional. Keempat kelompok kaji ulang harus dipandang sebagai suatu rangkaian proses yang berkesinambungan yang membutuhkan perencanaan yang sistematis serta konsistensi implementasi jangka panjang. Jika keseluruhan proses ini dapat dilakukan oleh Departemen Pertahanan, maka diharapkan dalam jangka waktu 25-30 tahun ke depan Indonesia akan memiliki angkatan bersenjata yang profesional, tangguh, dan menjelma sebagai kekuatan maritim yang tangguh di Asia Tenggara. -awidjajanto-