KAJI TINDAK (Action Research) PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DI WILAYAH TERTINGGAL (Tahap-3) Abstrak Kegiatan Kaji Tindak (Action research) pemberdayaan masyarakat di wilayah tertinggal yang berlokasi di wilayah Kabupaten Bogor dan Sukabumi, telah memasuki tahun ke tiga. Kegiatan yang bertujuan memfasilitasi kelompok tersebut, telah memperoleh berbagai lessons learned yang dapat dijadikan pedoman pelaksanaan kegiatan yang sama. Tahun 2005 merupakan tahap pengenalan, termasuk pelaksanaan PRA dan berakhir dengan terbentuknya kelompok, menyusul pelaksanaan berbagai pelatihan dan pembuatan rencana kerja kelompok. Tahun 2006 adalah tahapan pelaksanaan, yang diisi dengan pelatihan lanjutan serta studi banding. Kegiatan tahun 2007 intinya melanjutkan kegiatan tahun sebelumnya. Secara keseluruhan, kegiatan mampu memberi kontribusi berharga bagi kelompok, meskipun tidak selalu dalam konotasi finansial, tetapi lebih pada aspek pemberdayaan, baik dalam kaitannya dengan organisasi kelompok, pelatihan, pemeliharaan ternak, pembuatan kerajinan maupun kegiatan simpan pinjam. Kelompok tani yang semula fokus pada tanaman pangan berkembang ke pemeliharaan domba, yang semula hanya diniatkan sebagai upaya memperoleh pupuk kandang. Kinerja pemeliharaan domba telah mengantarkan kelompok memperoleh sumbangan dana CSR dari sebuah perusahaan sebesar Rp. 82 juta. Kelompok simpan pinjam menunjukkan perkembangan yang menggembirakan dengan masih aktifnya kelompok di kedua lokasi, serta kenaikan aset kelompok dari Rp. 13.500.000 menjadi Rp. 28.350.000 pada Nopember 2007. Kelompok kerajinan mengalami kendala pemasaran, meskipun keterampilan dan wawasan dari pelatihan dapat dianggap sebagai nilai tambah. Aspek penting pemberdayaan masyarakat antara lain pendampingan, yang dalam kegiatan ini belum dapat dilakukan tim secara optimal. Diperlukan modifikasi tertentu dalam administrasi, mengingat kegiatan pemberdayaan mempunyai kekhususan. Pengembangan peternakan di Bogor terkendala oleh kenyataan bahwa lokasi adalah daerah endemi penyakit anthrak. Wacana untuk menjadikan lokasi kegiatan sebagai laboratorum belum memperoleh prioritas, minimal sampai saat ini. Hal ini sebetulnya tergambar dari relatif rendahnya ketertarikan peneliti PSEKP dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat. Kerjasama yang telah dirintis dengan Pemda perlu tindak lanjut kalau agar kontribusi PSEKP terhadap masyarakat lebih nyata. Kata Kunci: Pemberdayaan masyarakat; kelompok tani, simpan pinjam, Bogor, Sukabumi
1
I. PENDAHULUAN 1.1. Review Hasil Penelitian Sebelumnya Pada dasarnya kegiatan kaji tindak yang memasuki tahun kedua ini sebelumnya telah banyak dilakukan. Khusus untuk komoditas padi (Silitonga, dkk, 1995) dan kedelai (SYGAP, 1991) telah memperlihatkan keberhasilannya, minimal dari aspek teknis. Namun demikian, yang membedakan antara kegiatan ini dengan berbagai kegiatan sebelumnya adalah dalam hal pendekatan. Pendekatan partisipatif menjadi fokus dalam kegiatan kaji tindak ini dengan harapan keberlanjutannya menjadi lebih nyata, sehingga kemandirian masyarakat dapat diwujudkan. Pendekatan partisipatif yang sama sebetulnya juga telah dilakukan oleh Proyek Pembinaan Peningkatan Pendapatan Petani Kecil (P4K), namun pada prakteknya kegiatannya masih banyak bersifat top-down (Ana, 2001). Sementara itu, kegiatan pemberdayaan masyarakat, khususnya di Jawa Barat telah lama dilakukan oleh pihak pemerintahan daerah, baik di tingkat provinsi oleh Kantor Badan Pemberdayaan Masyarakat Propinsi Jawa Barat, maupun di tingkat kabupaten/kota oleh Kantor Pemberdayaan Masyarakat Desa, yang sebelumnya adalah Kantor Pembangunan Masyarakat Desa (PMD) di bawah Departemen Dalam Negeri (Bapemdes Kabupaten Sukabumi, 2005). Untuk kegiatan tahun 2007 tidak dilakukan perubahan lokasi kaji tindak, yaitu tetap di Kecamatan Nagrak (Kabupaten Sukabumi) dan Kecamatan Babakan Madang (Kabupaten Bogor). Di Sukabumi, kegiatan difokuskan pada usaha tani palawija (pepaya dan kacang panjang) melalui pelatihan, studi banding, pemupukan modal kelompok serta usaha keuangan mikro berupa simpan pinjam bagi ibu-ibu. Sedang pemeliharaan ternak masih dalam proses penjajagan dengan berbagai pihak. Sementara itu untuk lokasi Bogor, dua kegiatan yang dilaksanakan, pertama, fokus pada upaya penanggulangan penyakit Anthraks melalui pelatihan bekerja sama dengan pihak Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor dan kedua melalui pembuatan kerajinan, yang dimaksudkan lebih untuk membuka wawasan dan membuktikan kemampuan masyarakat dalam berusaha. Pada gilirannya keterampilan membuat kerajinan ini dapat berkembang sesuai dengan potensi lokal yang ada. Kegiatan kerajinan pada tahun kedua ini dimaksudkan sebagai batu loncatan untuk berusaha dibidang lain dan akan terus dilanjutkan pada tahun ke III. Kegiatan yang telah dilakukan di Sukabumi selama tahun ke II adalah memelihara kontak dengan berbagai lembaga di tingkat kabupaten, khususnya dengan Kantor Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (Bapemdes). Salah satu kegiatan yang telah dilaksanakan adalah penyajian hasil kegiatan tahun 2005 di Kantor Kecamatan Nagrak dalam
2
suatu seminar yang dihadiri oleh berbagai pihak, antara lain unsur Muspika Kecamatan, Penyuluh Pertanian, Kepala Bapemdes dan beberapa stafnya, staf kecamatan dan anggota kelompok tani. Hal yang sama juga telah dilakukan di Bogor, yakni dengan memelihara kontak dengan Kantor Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Kesejahteraan Sosial (BPMKS). Dari kontak tersebut diharapkan berbagai program pelatihan tahun 2007 dari kantor tersebut dapat dilakukan di lokasi kaji tindak. Selain itu, dari kontak dengan Kantor Dinas Peternakan dan Perikanan telah memperoleh bantuan tenaga penyuluh peternakan untuk melakukan pelatihan peternakan yang dikaitkan dengan penanggulangan penyakit anthrax. Oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan telah difasilitasi untuk mengadakan pelatihan kerajinan peralatan rumah tangga (house wares) di Galery Laa Nona dengan gratis. Selain itu dari kontak dengan pihak Kecamatan Babakan Madang telah disepakati untuk menggarap lokasi Kaji Tindak bersamasama. 1.2. Perumusan Masalah Kegagalan dalam kegiatan pemberdayaan biasanya karena dalam pelaksanaannya tidak didasarkan pada keperluan masyarakat yang diberdayakan, tetapi didasarkan pada asumsi-asumsi umum. Pelaksanaan seperti ini juga sebenarnya dapat berkembang dari ketidaktahuan masyarakat terhadap masalah yang mereka hadapi (Johnston, 1982), sehingga menganggap bahwa pemberdayaan harus dilakukan secara directive. Kegagalan akibat kurang mengakomodasi keinginan masyarakat dapat terjadi berupa pelaksanaan kegiatan yang bersifat sementara, karena masyarakat tidak merasa bahwa kegiatan yang dilakukan dimiliki oleh mereka. Dalam kasus seperti ini, maka pemberdayaan tidak terjadi. Sebaliknya melalui teknik pemberdayaan melalui kaji tindak yang bersifat partisipatif akan memberikan hasil yang lebih baik, baik dilihat dari pemahaman terhadap teknologi dan pengetahuan yang ditransfer maupun dari kelangsungan kegiatannya. Fasilitasi merupakan teknik yang banyak dikembangkan dalam melaksanakan pemberdayaan secara partisipatif, karena teknik ini memiliki tingkat intervensi yang sangat rendah (Sumpeno, 2004). Melalui teknik fasilitasi, masalah-masalah yang dihadapi masyarakat dapat terungkap, sehingga memungkinkan untuk melakukan perencanaan dan penerapan teknologi yang ditransfer secara lebih baik. Walaupun teknik fasilitasi dapat diterapkan untuk berbagai kegiatan, namun untuk kegiatan kaji tindak pemberdayaan masyarakat perlu dilihat faktor-faktor yang secara potensial mempengaruhi tingkat keberhasilannya. Faktor-faktor tersebut terutama berkaitan dengan
3
persepsi masyarakat terhadap pelaksanaan kegiatan yang mereka lakukan, dan kepekaan masyarakat dalam mendukung tercapainya keberhasilan pelaksanaan kegiatan. 1.3. Justikasi Penelitian Perlu dicermati bahwa tujuan akhir pembangunan pertanian tidak semata untuk peningkatan produksi, tetapi juga membangun masyarakat tani seutuhnya. Artinya, pembangunan pertanian tidak hanya diharapkan mampu meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani sebagai individu, tetapi juga kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Dalam pembangunan pertanian, diyakini bahwa program-program mikro dapat berperan bagi pemenuhan keperluan khas lingkungan budaya, pasar, dan iklim mikro tertentu dalam upaya peningkatan kehidupan petani. Disamping itu program-program mikro tersebut dapat dibangun melalui sumber daya setempat, seperti pengetahuan tradisional, bakat-bakat kepemimpinan lokal yang menonjol serta jenis-jenis organisasi setempat. Sebagaimana dikemukakan oleh Bunch (2001), program-program mikro memiliki tingkat keluwesan tinggi, sehingga memungkinkan untuk dimodifikasi sesuai dinamika keperluan. Pada saat pemerintahan Orde Baru, Indonesia mencapai kemajuan ekonomi dan sosial yang cukup berarti. Walaupun demikian, kesuksesan tersebut dicapai dengan menggunakan sistim pendekatan yang tersentralisasi dan top-down mulai dari perencanaan, pelaksanaan, serta sistim pengaturan keuangan. Pendekatan demikian berdampak negatif terhadap masyarakat karena mereka relatif sedikit dilibatkan dalam proses pembangunan, termasuk dalam menikmati manfaat pembangunan. Oleh karena itu muncul berbagai kegiatan pemberdayaan masyarakat yang dipelopori oleh berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Pemberdayaan masyarakat adalah suatu proses dimana masyarakat, terutama mereka yang miskin sumber daya, kaum perempuan dan kelompok yang terabaikan lainnya, difasilitasi agar mampu meningkatkan kesejahteraannya secara mandiri. Dalam pelaksanaannya, suatu lembaga berperan sebagai fasilitator yang mendampingi proses pemberdayaan masyarakat. Pada prinsipnya masyarakatlah yang menjadi pelaku dan penentu kegiatan pembangunan. Usulan-usulan masyarakat merupakan dasar bagi program pembangunan baik lokal maupun regional, bahkan semestinya menjadi titik tolak bagi program nasional. Aspek penting dalam suatu program pemberdayaan masyarakat antara lain : (1) program yang disusun sendiri oleh masyarakat; (2) menjawab keperluan dasar masyarakat; (3) mendukung keterlibatan kaum miskin, perempuan, buta huruf dan kelompok terabaikan lainnya; (4) dibangun dari sumberdaya lokal; (5) sensitif terhadap nilai-nilai budaya setempat; (6) memperhatikan dampak lingkungan;
4
(7) tidak menciptakan ketergantungan; (8) berbagai pihak terkait saling terlibat; dan (9) berkelanjutan. Guna merealisasikan pernyataan diatas, penelitian “Kaji Tindak (Action Reserach) Pemberdayaan Masyarakat di Wilayah Tertinggal” ini perlu dilakukan. Sekaligus, penelitian terkait merupakan bagian dari rencana Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSE-KP) dalam rangka membangun laboratorium lapang di pedesaan dengan fokus kegiatan pemberdayaan masyarakat. Implementasinya, dalam kegiatan ini peneliti PSE-KP berperan sekaligus sebagai fasilitator bagi masyarakat setempat dalam kerangka tugas kerja penelitian dan tindakan (aksi) secara partisipatif (participatory action research). Kegiatan tahap pertama telah dilaksanakan dengan hasil berupa data dan informasi pokok mengenai lokasi penelitian, pembentukan dan pembekalan organisasi masyarakat, dan rencana kegiatan. Berdasarkan hal tersebut, penelitian tahap kedua perlu dilanjutkan guna mengimplementasikan hasil dan rencana penelitian tahap pertama. 1.4. Perumusan Tujuan dan Keluaran Kegiatan kaji tindak yang bersifat partisipatif memerlukan waktu pelaksanaan yang relatif lama dan agar mampu berlanjut diperkirakan memerlukan waktu lima tahun. Oleh karena itu dengan adanya keterlibatan masyarakat, diperlukan komitmen maksimal dari penentu kebijakan dan para pelaksana. Kegiatan seperti ini relatif tergantung pada inisiatif masyarakat dalam menentukan keperluan yang dianggap paling prioritas untuk dicarikan jalan keluar permasalahannya. Sementara itu, peneliti dan pemerintah daerah sekedar merespon kebutuhan tersebut. Namun secara umum, tujuan keseluruhan dari kegiatan pemberdayaan adalah mewujudkan kemandirian masyarakat, yakni masyarakat yang mampu mencarikan jalan keluar masalah mereka sendiri. Hal ini tidak terbatas pada aspek ekonomi semata, tetapi juga terkait dengan rasa keadilan, jaminan keamanan, peluang memperoleh pendidikan, peluang berusaha dan berbagai kemudahan hidup lainnya. Penelitian ini merupakan penelitian tahap ketiga, melanjutkan penelitian tahap kedua yang sudah dilaksanakan sebelumnya. Oleh karena itu, tujuan penelitian tahap ketiga ini adalah melanjutkan kegiatan yang telah dilakukan pada tahap kedua. 1.4.1. Tujuan Secara umum tujuan penelitian tahap ketiga ini adalah melanjutkan mewujudkan beberapa rencana kelompok melalui fasilitasi kegiatan partisipatif. Secara spesifik tujuan penelitian pada tahap III ini adalah sebagai berikut :
5
1. Melanjutkan fasilitasi kelompok dalam kegiatan kaji tindak partisipatif, pelatihan dan studi banding; 2. Melanjutkan fasilitasi kelompok dalam bekerja dengan pihak lain; 3. Melanjutkan fasilitasi kelompok dalam peningkatan kemampuan kelompok dalam penguatan modal usaha melalui gerakan menabung di tingkat RT. 4. Melaksanakan monitoring dan evaluasi kegiatan kelompok secara partisipatif. 1.4.2. Keluaran Berdasarkan tujuan penelitian di atas, keluaran yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Meningkatnya
kemampuan
kelompok
dalam
menyusun
perencanaan,
menyelenggarakan pelatihan, melakukan studi banding dan melaksanakan kegiatan yang disusun secara kolektif; 2. Dimulainya kerjasama antara kelompok dengan pihak lain; 3. Terdapat peningkatan kemampuan attitude, skill dan pengetahuan anggota kelompok dalam hal manajemen dan praktek pengelolaan usaha tani; 4. Meningkatnya kemampuan kelompok dalam melakukan monev terhadap pelaksanaan kegiatan kelompok secara partisipatif. II. METODE PENELITIAN 2.1. Kerangka Pemikiran Pelaksanaan kaji tindak partisipatif merupakan kegiatan yang dilakukan secara berkelanjutan dengan beberapa perbaikan. Kegiatan seperti ini terkait dengan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat, sebagai tujuan akhir. Kegiatannya sendiri bervariasi, antara lain dalam bentuk introduksi teknologi yang lebih baik dan dianggap lebih menguntungkan. Sebagai manifestasi dari pelaksanaan konsep partisipatif, maka bentuk kegiatan serta berbagai tahapan yang dilakukan akan ditentukan oleh peserta kaji tindak, dengan fasilitasi oleh peneliti. Pelatihan merupakan bagian yang paling penting dalam pemberdayaan masyarakat (Sumpeno, 2004). Kegiatan ini merupakan ajang kegiatan transfer teknologi dan atau pengetahuan dari narasumber kepada peserta pelatihan. Dalam Kaji Tindak ini pelatihan dilakukan di dalam kelas dan di lapangan dengan cara belajar sambil bekerja (learning by doing). Sementara itu, materi pelatihan disesuaikan dengan keinginan dan kebutuhan peserta
6
kaji tindak. Disamping itu, dalam kaji tindak ini suatu pelatihan dimaksudkan sebagai unsur pembinaan organisasi dalam rangka kegiatan berkelompok. Studi banding merupakan kegiatan yang penting sebagai upaya belajar dari pengalaman orang lain, sehingga bukan hanya dapat mempelajari penggunaan teknologi yang terbukti menguntungkan, tetapi juga belajar cara menyelesaikan masalah dan mengantisipasi perubahan iklim usaha yang mungkin terjadi. Model farmer-to-farmer visit dipandang efektif karena petani anggota kelompok dapat belajar dari kondisi nyata (real). Selain itu, petani sukses yang dikunjungi dapat mentransfer ilmu dan pengalaman yang dimilikinya secara tulus, tanpa ada kekhawatiran akan tersaingi. Pendampingan diperlukan untuk mengawal kegiatan yang dilakukan kelompok pascapelatihan dan studi banding. Pendampingan juga diharapkan mampu memotivasi secara berkelanjutan agar tingkat percaya diri dari kelompok menjadi optimal. Monev secara partisipatif merupakan kegiatan yang ditujukan untuk melihat sampai sejauh mana pelaksanaan kegiatan dapat memberikan manfaat bagi kelompok Kegiatan ini terus menerus dilakukan, tidak hanya dilakukan pada akhir kegiatan. Sebagai kegiatan partisipatif, monev dilakukan oleh peserta dengan fasilitasi tim peneliti. Mengetahui persepsi peserta kaji tindak terhadap kegiatan yang diikuti juga menjadi hal penting. Pelaksanaan kegiatan kaji tindak dikondisikan dengan melibatkan semua pemangku kepentingan (stakeholders). Pelibatan ini merupakan keharusan karena Tim Kaji Tindak PSEKP tidak akan selamanya mendampingi kelompok tersebut. Berbagai stakeholders dapat berperan sebagai sumber teknologi, selain penyandang dana untuk pemberdayaan masyarakat. 2.2. Perencanaan Sampling Kegiatan ini merupakan kegiatan lanjutan, sehingga lokasi kegiatan tidak mengalami perubahan. Namun perlu ditekankan bahwa masing-masing lokasi mempunyai fokus kegiatan yang berlainan, yakni pemberdayaan petani lahan kering di Kabupaten Sukabumi dan pemberdayaan peternak rumminansia kecil di Kabupaten Bogor. Seperti dimaklumi bahwa kaji tindak merupakan perpaduan antara kegiatan penelitian (research) dan tindakan (action) secara partisipatif, atau dikenal dengan istilah Participatory Action Research. Penelitian dilakukan sepanjang proses pelaksanaan kegiatan tindakan (kaji tindak) dengan muara pemberdayaan masyarakat.
7
2.3. Jenis dan Analisis Data Berbeda dengan jenis penelitian survei, jenis data dan informasi dalam penelitian ini lebih banyak bersumber dari data dan informasi primer, sedangkan data dan informasi sekunder hanya bersifat penunjang. Data dan informasi primer diperoleh dari hasil interaksi dengan masyarakat, pengamatan, pencatatan dan wawancara dengan sumber-sumber yang relevan secara mendalam (in-depth) dan validasi (triangulation). Alat yang digunakan antara lain catatan lapang (field note), buku catatan kegiatan (farm record keeping), foto dan rekaman (documentary), serta daftar pertanyaan (questionnaire) terstruktur dan semi-terstruktur. Sementara itu data dan informasi sekunder dikumpulkan dari berbagai laporan instansi terkait lainnya. Data dan informasi akan diolah dalam bentuk tabulasi silang dan dianalisis secara deskriptif. Perlu digarisbawahi bahwa berbedanya karakteristik kegiatan ini, indikator keberhasilannya juga berbeda. Seringkali indikator nya tidak dapat dikuantifikasi seperti pada penelitian yang bersifat survei. Peningkatan kepercayaan anggota kelompok misalnya, hanya dapat diamati kalau dilakukan pendekatan tertentu. Perubahan sikap anggota kelompok khususnya dan masyarakat pada umumnya juga sulit untuk dikuantifikasi. Semua data dan informasi tersebut akan dikumpulkan dan dianalisis sesuai dengan tujuan penelitian ini. III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada tahun ke tiga, meskipun tujuan kegiatan dalam proposal dijabarkan dalam empat butir, ternyata sebagian besar kegiatan masih terfokus pada tujuan pertama, yaitu memfasilitasi kelompok dalam rangka terbentuknya kelompok yang kuat dan mengarah pada kemandirian. Disamping itu, fokus juga diberikan pada kelompok simpan pinjam ibu-ibu dan penataan lebih lanjut dari kegiatan pemeliharan domba melalui kontribusi aktif dari pihak Dompet Dhuafa harian Republika. Kegiatan yang mengarah pada mewujudkan kemampuan kelompok untuk melakukan kerjasama dengan pihak luar dilaksanakan melalui pemberian motivasi secara berkelanjutan kepada kelompok. Dalam hasil dan pembahasan ini akan diuraikan berbagai kegiatan yang dilakukan sampai tahun ke tiga sebagai refleksi secara keseluruhan kegiatan kaji tindak yang telah dimulai sejak tahun 2005. Namun demikian, laporan ini akan bias pada aspek pemberlajaran tim selama melaksanakan kegiatan pemberdayaan di dua lokasi yang berbeda. Disadari bahwa waktu tiga tahun untuk suatu pemberdayaan masyarakat dirasakan sebagai waktu yang relatif pendek. Namun diharapkan dasar-dasar pemberdayaan telah ditanamkan terhadap kelompok, sehingga dimasa datang pihak pemda setempat mampu melanjutkan kegiatan yang telah
8
dimulai, dengan mengalokasikan program-program pemerintah yang erat kaitannya dengan pemberdayaan masyarakat. Kegiatan 2005 Profil masyarakat dilokasi penelitian di Kabupaten Sukabumi antara lain dicirikan oleh jenis pekerjaan dominan bidang pertanian, rasa kebersamaan relatif tinggi, taat pada ajaran agama, dan memiliki prinsip collective action (aksi bersama) yang dapat terorganisir secara spontan berlandaskan kepentingan bersama. Kehidupan sebagian masyarakat boleh dikatakan belum sejahtera, sehingga langkah yang harus dilakukan adalah memberikan motivasi secara tepat kepada masyarakat untuk dapat bekerja secara berkelompok. Lingkungan biofisik ditandai oleh beralihnya sebagian besar lahan sawah menjadi lahan kering karena hilangnya sumber irigasi. Akses ke lokasi penelitian relatif mudah, sementara fasilitas umum seperti pendidikan, kesehatan, dan pasar boleh dikatakan cukup memadai. Secara fisik, dampak program pembangunan di wilayah ini cukup membantu aktivitas masyarakat sehar-hari. Namun, pembangunan fisik tersebut relatif kurang diiringi dengan pembangunan non-fisik, khususnya di bidang pertanian. Mengingat hal tersebut, pemberdayaan masyarakat melalui usaha pertanian dapat dipandang sebagai salah satu upaya strategis (Basuno dkk. 2005) Usahatani dominan adalah usahatani tanaman musiman dengan jenis tanaman utama ubukayu, jagung, dan berbagai macam jenis sayuran. Rataan penguasaan lahan kurang dari 0,5 hektar per rumah tangga, dimana sebagian petani menyewa lahan milik orang luar desa yang sebelumnya dibeli dari masyarakat setempat. Teknik budidaya masih tergolong rendah, tenaga kerja sebagian besar tenaga kerja keluarga, penguasaan modal usahatani masih terbatas, intensitas serangan hama dan penyakit tanaman cukup tinggi (khususnya hama uret atau kuuk pada tanaman ubikayu dan penyakit bulai pada tanaman jagung), dan pemasaran hasil pertanian (terutama ubikayu dan jagung) kebanyakan dalam bentuk ‘tebasan’. Bertitik tolak dari kondisi ini, pemberdayaan masyarakat melalui peningkatan pengetahuan dan keterampilan merupakan solusi utama yang tepat. Sumber daya manusia merupakan kendala utama di lokasi penelitian, oleh karena itu fokus intervensi terhadap masyarakat setempat adalah melalui penguatan kelompok. Hasil optimal dari pemberdayan masyarakat di lokasi penelitian akan memberi peluang lokasi yang bersangkutan dijadikan sebagai laboratorium lapang pada masa datang. Pada tahap awal, pemberdayaan masyarakat dimulai dengan pembentukan, pembekalan, dan perencanaan kegiatan kelompok. Pembentukan kelompok dilaksanakan secara partisipatif berazaskan
9
keperluan, kesukarelaan, dan kebersamaan Pembekalan kelompok dititikbertakan pada pengenalan pengetahuan dasar kepada anggota kelompok, khususnya cara-cara berorganisasi, pembuatan AD/ART, pemilihan pengurus, rapat anggota, serta tugas-tugas yang harus dilakukan oleh setiap elemen dalam organisasi. Usaha penanaman papaya telah ditetapkan secara definitif sebagai rencana kelompok. Perencanaan lainnya adalah penanggulangan hama dan penyakit tanaman (terutama hama uret atau kuuk) dan pengembangan sistem keuangan mikro (micro-finance). Profil Desa Kadumanggu dicirikan oleh masyarakatnya yang berpendidikan rendah, 80 persen dari 10.514 orang penduduknya hanya lulus Sekolah Dasar kebawah, dan 60 persen diantaranya tergolong miskin. Terbatasnya keterampilan masyarakat mengakibatkan mereka tidak dapat melakukan pekerjaan di bidang non pertanian dengan penghasilan yang memadai. Budaya kota dan makin banyaknya pengaruh budaya lain serta tidak adanya sarana pengikat sosial, telah menyebabkan sikap masyarakat menjadi kurang koordinatif. Dari sisi pemberdayaan, masyarakat di desa ini memerlukan stimulasi intensif agar termotivasi dan dapat melakukan kerjasama dengan sesama anggota masyarakat, khususnya di bidang usaha. Dari aspek biofisik, Desa Kadumanggu memiliki luas wilayah sekitar 410 hektar, yang sebagian lahannya mengarah pada konversi yang cukup masif. Saat ini distribusi pemanfaatan lahan terluas adalah untuk pemukiman, disusul oleh ladang/tegalan, sarana olah raga dan rekreasi, khususnya lapangan golf. Lahan tegalan di Desa Kadumanggu terletak sekitar 600 meter diatas permukaan laut (dpl) dengan rataan curah hujan 751 milimeter per tahun. Keadaan topografi desa datar sampai bergelombang dengan prasarana jalan cukup memadai dan memungkinkan akses sampai ke perkampungan. Beternak ruminansia kecil (kambing/domba) merupakan satu-satunya pilihan usaha paling terbuka, walaupun keuntungannya kecil. Usaha ini juga hanya dapat dilakukan selama lahan sebagai sumber pakan ternak masih belum dialihfungsikan oleh pemiliknya. Ancaman penyakit antraks yang mengancam kelangsungan peternakan kambing masih sulit dihindarkan selama masih ada peternak yang tidak bersedia melakukan vaksinasi. Pemberantasan penyakit ini dapat dilakukan dengan penanggulangan langsung dan tidak langsung. Penanggulangan langsung dengan meningkatkan keterampilan peternak melalui pelatihan dan penyuluhan berkelanjutan.
Sementara
penanggulangan
secara
tidak
langsung
berkaitan
dengan
pengembangan usaha alternatif untuk mengalihkan masyarakat dari beternak kambing/domba ke usaha lain. Hal ini perlu dilakukan karena bakteri antraks sangat sulit diberantas secara tuntas.
10
Upaya untuk melakukan pemberdayaan di lokasi penelitian harus dimulai dari kebutuhan yang sangat mendasar, yaitu dengan memberi perhatian terhadap upaya peningkatan pendidikan anak-anak dan memberi pelatihan ketrampilan untuk orang dewasa. Pelatihan ketrampilan harus diarahkan untuk pekerjaan non-pertanian yang tidak memerlukan lahan luas. Bersamaan dengan upaya peningkatan pendidikan dan ketrampilan, diperlukan juga upaya untuk menstimulir kerjasama, khususnya di bidang usaha. Kegiatan 2006 Di Dusun Pasantren, Desa Balekambang, Kecamatan Nagrak, Sukabumi telah terbentuk Kelompok Tani Binangkit yang terdiri dari kelompok inti (23 orang) dan kelompok pengembangan, dengan jumlah anggota sekitar 40 orang. Kepercayaan diri kelompok ini mulai berkembang dengan indikasi terwujudnya pengumpulan modal kelompok melalui usahatani pepaya dan pembentukan kios saprotan serta jual beli hasil pertanian. Berbagai pelatihan dan kegiatan penguatan kelompok lainnya, seperti studi banding juga telah memperkuat rasa percaya diri kelompok. Mereka menyadari arti penting usahatani yang ramah lingkungan dan melalui Studi Kelayakan Wilayah dan Studi Kelayakan Mitra, kelompok tani akhirnya menjadi mitra kerja Program Kampoeng Ternak, Dompet Dhuafa. Disamping itu, sebagian remaja tani di dusun tersebut telah memperoleh peluang untuk menggarap sebidang lahan sewa seluas 1.000 m2. Fasilitasi tim tampak mampu memberi motivasi kepada mereka untuk bangkit perlahan-lahan dan mulai berkarya. Melalui kontak secara intensif terungkap bahwa masalah utama yang dihadapi remaja adalah tiadanya lapangan kerja didesa. Kegiatan simpan pinjam ibu-ibu di Sukabumi yang dimulai pada pertengahan 2006 merupakan salah satu upaya untuk pemberdayaan ibu-ibu yang selama ini menjadi nasabah bank keliling. Simpan pinjam pada tahap awal dimulai dengan 15 orang ibuibu yang domisilinya berdekatan dan dengan berkembangnya kegiatan simpan pinjam ibu-ibu, maka kegiatan ini perlu diperluas di kelompok yang berbeda. Ternyata kemampuan masyarakat, termasuk ibu-ibu dalam mengumpulkan modal bersama sebagai modal usaha sangat minim. Di Kabupaten Bogor, berdirinya simpan pinjam rintisan di RT 2 Leuwijambe disambut dengan antusias oleh peserta. Kelompok yang dipersiapkan melalui ketua RT ini relatif lebih baik dibanding dengan dua kelompok lainnya. Oleh karena itu, kegiatan simpan pinjam seharusnya merupakan kegiatan utama pemberdayaan di Dusun Leuwijambe, karena selama ini mereka menjadi “korban” pihak bank keliling. Dalam perkembangannya, di lokasi Sukabumi telah terbentuk 3 kelompok simpan pinjam dan di lokasi Bogor 4 kelompok simpan pinjam.
11
Pada Mei 2006 telah dilakukan ekspose hasil kegiatan 2005 di Kantor Kecamatan Nagrak yang dihadiri oleh Kepala Kantor Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pedesaan (Bapemdes) Kabupaten Sukabumi, Staf Bapemdes, Camat dan staf kecamatan, lima desa yang berdekatan dengan Desa Balekambang dan para penyuluh di Kecamatan Nagrak. Di Kabupaten Bogor ekspose yang sama telah dilaksanakan pada awal Agustus 2006 dan difasilitasi oleh Bidang Kesejahteraan Sosial, Kantor Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Kesejahteraan Sosia (BPMKS) Kabupaten Bogor. Presentasi dimaksudkan untuk memberi peluang bagi jajaran Pemda terdedah dengan kegiatan pemberdayaan masyarakat partisipatif. Dari kedua ekspose tersebut terungkap bahwa sebagian besar peserta belum memahami kalau pemberdayaan masyarakat harus berawal dari masyarakat. Selama ini orientasi keberhasilan kegiatan pemberdayaan masyarakat baru terbatas pada aspek administrasi. Keberlanjutan dan peningkatan taraf kehidupan masyarakat sebagai indikator keberhasilan kegiatan juga belum menjadi acuan baku dalam melaksanakan program pemberdayaan. Koordinasi dengan unit kerja Pemda Kabupaten Bogor telah dilakukan dengan empat instansi, yaitu Badan Perencanaan Daerah (Bapeda), Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Kesejahteraan Sosial (BPMKS), Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Indag) dan Dinas Peternakan dan Perikanan. Peran PSE-KP dalam pembangunan di Kabupaten Bogor dapat dilakukan antara lain dengan: (i) mengadakan kunjungan formal; (ii) mengupayakan seminar bersama, antara Pemda Bogor dengan PSE-KP; dan (iii) melakukan program pelatihan bagi aparat Pemda, sesuai kebutuhan. Kontak dengan pihak Dinas Perindustrian dan Perdagangan menjadi awal dari pelatihan bagi kelompok pengrajin Maju Bersama membuat kerajinan di Laa NoNa Galery di Cikaret, Cibinong. Pelatihan dilakukan dengan cara magang (learning by doing). Dengan Dinas Peternakan dan Perikanan telah dilakukan 9 kali penyuluhan Sapta Usaha Peternakan dan dengan Bidang Pembinaan Keterampilan Masyarakat (Binram), Kantor BPMKS telah dilakukan pelatihan tata boga pada tanggal 16 Nopember 2006, selama lima hari. Kelompok pengrajin telah mampu membuat berbagai jenis kerajinan rumah tangga, seperti tudung saji, hiasan dinding dan tutup galon air minum. Berbagai pameran telah diikuti dalam rangka promosi, antara lain di Kantor Kecamatan Babakan Madang, di Seminar Nasional Usaha Kecil Menengah dan Koperasi (UKMK) di Universitas Nusa Bangsa Bogor (24 Juni 2006), di kompleks Pemda Bogor (akhir Juni 2006) dan pameran di JHCC dua kali (10 Juni dan 13-16 Juli 2006). Ke tiga pameran terakhir dilakukan bersama-sama dengan Laa NoNa Galery. Pameran berikutnya adalah di pertemuan Dharma Wanita Kelompok PSE-KP (15 September
12
2006), di Bazaar Ramadhan Dharma Wanita Departemen Pertanian di Ragunan (12 Oktober 2006) dan di Desa Cipambuan (24 November 2006). Penyuluhan Sapta Usaha Peternakan merupakan satu upaya untuk meningkatkan keterampilan dalam memelihara ruminansia kecil. Disamping itu, dalam penyuluhan juga diberikan informasi tentang cara beternak yang sehat, tidak mengganggu kesehatan peternak dan keluarganya serta lingkungan. Kenyataan bahwa daerah endemik anthrax tidak boleh dilakukan pengembangan ternak rawan anthrax, merupakan dilema bagi pengembangan masyarakat melalui usaha peternakan ruminansia kecil. Kegiatan 2007 Sampai akhir tahun 2007, berbagai kegiatan yang pernah dan sedang dilaksanakan, baik di lokasi Sukabumi maupum Bogor minimal mampu memberi kontribusi berharga bagi kelompok binaan di kedua lokasi tersebut. Kontribusi itu sendiri tidak selalu dalam konotasi finansial, tetapi lebih pada aspek pemberdayaan, baik dalam kaitannya dengan organisasi kelompok, pelatihan, pemeliharaan ternak, pembuatan kerajinan maupun kegiatan simpan pinjam. Butir-butir berikut ini dinilai berharga untuk dikemukakan sebagai lesson learned selama kegiatan Kaji Tindak berlangsung.
Kelompok tani Untuk lokasi Sukabumi, penentuan Calon Penerima Calon Lokasi (CPCL) program Kaji Tindak dianggap sudah mengikuti prosedur yang benar yaitu mempertimbangkan tingkat kemiskinan. Namun, informasi dari aparat desa setempat pada awal kegiatan bahwa warga Dusun Pasantren relatif sulit untuk diajak kerja sama, kurang memperoleh perhatikan Tim saat itu. Hal ini berdampak pada perkembangan kelompok yang dibentuk, antara lain Tim kesulitan untuk mengajak kelompok meningkatkan statusnya.
Misalnya, kelompok masih sulit untuk
membuat catatan administrasi keuangan. Pengalaman berorganisasi yang relatif minim dari warga Pasantren selama ini ternyata menjadi kendala yang cukup signifikan bagi Tim dalam proses penguatan kelompok. Saran dari pihak aparat desa sebenarnya merupakan peringatan awal tentang beratnya tantangan yang akan dihadapi Tim di lokasi Sukabumi. Entry point pelaksanaan Kaji Tindak melalui kegiatan pertanian dianggap sudah tepat. Hal ini sesuai dengan agroekosistem lokasi, disamping mayoritas warga adalah petani. Diperkirakan
anggota
kelompok
mampu
berupaya
meningkatkan
pengetahuan
dan
13
keterampilannya dalam berusahatani, khususnya usahatani pepaya, yang menjadi komoditas pilihan kelompok dan sesuai dengan perencanaan kegiatan kelompok pada tahun 2005. Berbagai permasalahan dalam mengelola kelompok dialami oleh kelompok tani di Dusun Pasantren pada paruh waktu 2007 ini. Tim merasa belum berhasil memberi masukan kepada kelompok untuk mewujudkan kelompok yang solid. Kasus penjualan hasil panen yang dikoordinasikan oleh pengurus kelompok tampaknya dinilai kurang transparan oleh sebagian besar anggota dan menuai banyak protes dari anggota. Akhirnya, untuk sementara anggota dibebaskan untuk menjual hasil panen secara individu, sampai ditemukan solusi yang disepakati semua. Demikian juga dalam menetapkan harga jual saprotan yang disediakan di kios kelompok, beberapa anggota menganggap harga saprotan relatif tinggi. Kejadian seperti ini dapat dipandang sebagai proses pembelajaran bagi kelompok, terutama pengurus, untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama di waktu mendatang. Dari pengalaman di atas, terbukti pentingnya adanya saling percaya (trust) antara pengurus dan anggota kelompok. Disamping itu, transparansi dalam mengelola kelompok menjadi keharusan yang harus disadari bersama. Ternyata kelompok binaan tidak secara otomatis menerima saran dari Tim dan secara serta merta melaksanakan saran tersebut, seperti berbagai pengalaman yang telah dialami oleh Tim. Misalnya, pengurus kelompok kurang konsisten dengan rencana yang sebelumnya sudah disepakati bersama. Keinginan kelompok untuk memfasilitasi petani selain anggota kelompok dalam hal pinjaman saprotan, ternyata telah menguras modal kelompok, yang pada gilirannya berakibat macetnya usaha kelompok yang sedang dirintis, yaitu penyediaan saprotan di kios pertanian. Pengurus kelompok yang relatif miskin pengalaman, menjadikan usaha produktif kelompok sebagai “dewa penolong” bagi siapa saja, sehingga melupakan kesepakatan yang telah digariskan. Pada awalnya pinjaman saprotan hanya diperuntukkan bagi anggota inti, tetapi pada akhirnya jumlah peminjam melebihi yang sudah ditentukan. Di sini Tim belajar betapa tingginya keinginan kelompok untuk membantu, meskipun kapasitas untuk itu belum dimilikinya. Di masa mendatang hal-hal seperti ini akan terus diingatkan kepada kelompok, agar hal yang sama dapat dihindari.
Simpan pinjam Menyediakan modal untuk usaha super mikro di wilayah pedesaan menjadi syarat yang tidak dapat ditawar lagi dalam pemberdayaan masyarakat. Intervensi Tim dalam menyediakan modal usaha mikro dalam bentuk simpan pinjam mendapat apresiasi yang cukup tinggi dari masyarakat setempat, khususnya ibu-ibu. Baik di lokasi Bogor maupun Sukabumi, ibu-ibu
14
anggota simpan pinjam merasa terbantu dengan kegiatan ini, minimal mereka terhindar dari rayuan bank keliling yang banyak beroperasi di wilayah pedesaan. Melalui simpan pinjam, kelompok mempuyai asset modal yang dapat digunakan oleh anggota dalam meningkatkan skala usahanya. Selain peran koordinator, kapasitas anggota dalam bekerjasama, serta kedisiplinan anggota dalam mengangsur pinjaman menjadi kunci keberhasilan dari kegiatan simpan pinjam ibu-ibu. Hal ini terbukti dari hasil pemantauan selama ini terhadap beberapa kelompok yang difasilitasi Tim. Oleh karena itu, sosialisasi tentang seluk beluk simpan pinjam harus menjadi prioritas awal dalam mengembangkan kegiatan ini. Namun demikian, bukan berarti simpan pinjam tidak menghadapi kendala. Tabel 1 menyajikan data mengenai simpan pinjam yang menunjukkan prospek positif. Tabel 4.11. Rekapitulasi perkembangan i kelompok simpan pinjam di Sukabumi dan Bogor, November 2007 No
Lokasi
Putaran ke
Modal awal (Rp.1.000)
Aset, Nop. 2007 (Rp.1.000)
Pinjaman awal (Rp.1.000)
Pinjaman tertinggi (Rp.1.000)
Sukabumi 1. RT 1 2. RT 2 3. RT 3
11 5 4
1.500 2.000 2.000
2.550 2.915 2.650
100 200 200
300 400 200
Bogor 4. 5. 6. 7.
10 11 7 6
2.000 2.000 2.000 2.000 13.500
5.500 5.820 4.556 4.359 28.350
200 200 200 200
600 600 600 400
RT 1 RT 2 RT 5 RT 6 Total
Manfaat kegiatan Seluruh tim pelaksana kegiatan memperoleh peluang yang tidak terhingga dalam melaksanakan penelitan ini. Tim semakin yakin bahwa tanpa didahului proses persiapan yang matang dan komitmen yang tinggi dari pelaksana, maka semua bentuk pemberdayaan akan berakhir dengan kegagalan. Kaji Tindak juga memberi pelajaran kepada seluruh anggota tim, bahwa sikap ingin dibantu dari kelompok di Pasantren masih sangat dominan. Sikap bergantung pada bantuan dari luar - yang dalam waktu relatif lama pernah menjadi pola pembangunan pedesaan - dirasakan menghambat proses kemandirian yang menjadi target dari suatu pemberdayaan.
15
Tim Kaji Tindak menganggap keterlibatan pihak Dompet Dhuafa (DD) melalui program pemberdayaan Kampoeng Ternak di lokasi Sukabumi sebagai proses keberlanjutan yang cukup tepat. Kebutuhan akan pupuk kandang sebagai upaya penghematan dalam usaha tani memperoleh solusi yang menarik dari pihak DD. Tim menganggap kerja sama dengan pihak DD merupakan langkah berarti yang diharapkan mampu menunjukkan kepada kelompok bahwa tidak semua kegiatan harus diawali dengan modal atau uang dengan jumlah besar, tetapi lebih pada semangat bekerja yang keras. Upaya Tim dalam melakukan pendekatan kepada pihak DD membuahkan hasil dengan ditunjuknya Kelompok Tani Binangkit sebagai kelompok binaan mereka. Dengan kata lain, jalan keluar terhadap suatu permasalahan akan selalu ada kalau disertai dengan upaya yang tidak kenal menyerah dan kerja sama dengan DD menjadi bukti untuk itu. Berpartisipasi dalam menyediaan tambahan modal usaha bagi ibu-ibu yang memiliki usaha mikro, merupakan upaya strategis dalam rangka pemberdayaan masyarakat. Seperti dimaklumi, bahwa ketiadaan modal usaha merupakan kendala yang paling sering dikeluhkan oleh masyarakat pedesaan. Kegiatan simpan pinjam yang saat ini telah ada di empat dari enam RT di Dusun Leuwijambe, dimaksudkan untuk membantu ibu-ibu yang memiliki usaha mikro dan memperoleh penghasilan secara harian. Disamping itu, simpan pinjam dimaksudkan untuk menyediakan modal usaha yang dikelola kelompok. Modal tsb. dapat digunakan oleh anggota dalam memperluas usaha mikro mereka. Sebelumnya, dalam menambah modal usaha, mereka selalu berhubungan dengan pihak bank keliling yang banyak beroperasi di dusun tsb. Bank keliling
menggunakan
kendala
kesulitan
modal
tersebut
sebagai
peluang
untuk
mengembangkan usaha melalui peminjaman uang. Dengan bunga sekitar 33 persen per bulan, masyarakat sangat terbebani dan merasa berat. Tetapi karena tidak ada alternatif sumber modal yang lain, maka sampai saat ini usaha bank keliling bisa terus berkembang. Oleh karena iu, simpan pinjam yang digagas oleh Tim sebagai alternatif penyediaan tambahan modal bagi pelaku usaha super mikro di pedesaan. Pada suatu tahapan, dampak suatu kegiatan pemberdayaan masyarakat tidak selamanya berupa fisik dan finansial, tetapi juga dalam berbagai aspek lainnya, seperti kesadaran untuk bekerja berkelompok, penambahan wawasan, keinginan untuk mewujudkan kehidupan yang lebih sejahtera, kemampuan mengemukakan pendapat didepan umum, mampu bekerjasama dengan pihak luar dsb. Perbaikan tingkat pendapatan akan mengikuti, kalau kualitas sumber daya manusia setempat menjadi lebih baik dan inilah sebenarnya substansi dari sebuah pemberdayaan. SDM yang berdaya akan mampu mengidentifikasi potensi yang
16
dimliki, mengembangkannya dengan mempertimbangkan berbagai kendala yang ada. Oleh karena itu, pemberdayaan masyarakat partisipatif menjadi jawaban kalau wilayah pedesaan diinginkan untuk berkembang. Suatu kelompok yang dinilai mempunyai kinerja bagus ternyata tidak terlalu sulit untuk memperoleh sumber dana. Pihak Kampung Ternak menilai bahwa kinerja kelompok dalam memelihara domba cukup baik dan karena sebagian besar peternak jumlah dombanya sudah diatas 10 ekor, maka KT mencarikan investor yang bersedia menanamkan uangnya. Kasus yang terjadi di kelompok tani Binangkit adalah digantinya seluruh uang yang telah dialokasikan oleh pihak KT oleh investor, yaitu PT. Tugu Pratama dengan nilai Rp. 82 juta. Dengan demikian, domba yang saat ini dipelihara petani, sebetulnya sudah menjadi milik mereka dan oleh KT, domba tersebut dianggap sebagai modal awal untuk menambah pendapatan keluarga. Melalui kegiatan memelihara domba yang jumlahnya minimal 10 ekor per peternak, diharapkan kelompok mampu mengelolanya sebagai modal usaha.
Kendala dalam pelaksanaan kegiatan Salah satu pilar penting dalam pemberdayaan masyarakat adalah pendampingan. Namun demikian, pendampingan yang intensif kurang bisa dilaksanakan oleh Tim. Hal ini antara lain karena minimnya pengalaman Tim dalam melaksanakan kegiatan pemberdayaan, disamping alokasi anggaran yang kurang sesuai dengan jenis kegiatan. Mungkin diperlukan modifikasi tertentu menginagt kegiatan pemberdayaan mempunyai kekhususan tertentu. Kesanggupan Tim untuk melaksanakan kegiatan pemberdayaan selama 3 tahun lebih banyak dipengaruhi oleh keinginan Tim untuk menjaga wibawa unit kerja, meskipun menghadapi berbagai kendala. Tidak semua saran baik dari Tim memperoleh apresiasi positif dari masyarakat, sehingga diperlukan sosialisasi secara tepat sebelum suatu kegiatan dilaksanakan. Misalnya, berkembangnya simpan pinjam di Dusun Pasantren memicu kecemburuan dari Ketua Kelompok Tani Binangkit. Rupanya diinginkan agar fasilitasi Tim tidak terbagi untuk kegiatan selain di kelompok tani. Berbagai komentar negatif sempat dilontarkan tentang simpan pinjam, namun ternyata tidak mempunyai bukti dan sampai saat laporan ini dipersiapkan, simpan pinjam tersebut masih tetap berlangsung. Menghadapi hal-hal semacam ini diperlukan caracara tertentu, sekaligus menghindari hal-hal yang sifatnya emosional. Untuk lokasi Bogor, ternyata usaha peternakan ruminansia kecil yang banyak digeluti oleh masyarakat di Desa Kadumanggu tidak mungkin dikembangkan lebih lanjut dengan alasan
17
lokasi tsb. merupakan daerah endemik anthraks. Dalam melaksanakan pembangunan peternakan, ternyata ada kebijakan yang intinya tidak dibenarkan mengembangkan program peternakan didaerah yang telah ditetapkan sebagai daerah endemi penyakit tertentu. Dengan demikian, pihak Dinas Peternakan tidak dibenarkan menganggarkan suatu bentuk kegiatan, kecuali yang berkaitan dengan aspek kesehatan hewan. Kenyataan ini akhirnya disikapi Tim dengan memfasilitasi pelatihan bagi pemelihara ruminansia kecil (kambing/domba). Pelatihan tersebut meliputi teknik-teknik pemeliharaan ternak, termasuk tentang kesehatan hewan, khususnya anthraks, oleh penyuluh dari Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor,. Target jangka pendek adalah menghindarkan terulangnya kejadian akhir 2004, saat anthraks menelan korban jiwa manusia. Meskipun secara keseluruhan pelatihan disambut dengan baik oleh masyarakat sebagai bentuk pembelajaran, aplikasi dari hasil pelatihan diperkirakan relative masih minimal. Kesulitan menciptakan pasar untuk produk kerajinan yang dihasilkan oleh ibu-ibu di Desa Kadumanggu menjadi salah satu kendala penting. Kegiatan membuat kerajinan yang selama ini dipelajari dari Laa Nona Galery di Cikaret, Cibinong, belum mampu memberi dampak secara finansial. Meskipun keterampilan telah dimiliki, kalau produk kerajinan tersebut tidak dapat dipasarkan dengan mudah, maka manfaatnya masih relatif terbatas. Tampaknya harga produk kerajinan masih terlalu mahal bagi masyarakat di Babakan Madang. Namun demikian, kalau dilihat dari aspek pemberdayaan perempuan, minimal fasilitasi pembuatan kerajinan telah mampu meningkatkan kepercayaan diri mereka, disamping membuka wawasan ibu-ibu lebih luas. Keterampilan membuat kerajinan membuktikan bahwa melalui pelatihan, mereka mampu memproduksi suatu perlatan rumah tangga dengan kualitas baik. Berpartisipasi dalam berbagai pameran, baik di Bogor maupun di Jakarta telah memberi peluang kepada anggota mengenal “dunia luar”. Peningkatan wawasan ini pada gilirannya akan membuat mereka lebih siap menangkap kesempatan yang terbuka bagi mereka dikemudian hari. Pada awal Kaji Tindak dilaksanakan, yaitu pada tahun 2005 sempat diwacanakan bahwa lokasi KT akan menjadi laboratorium PSEKP dalam pengembangan masyarakat pedesaan. Sebuah wacana yang perlu diingat kembali relevansinya saat ini, yaitu apakah PSEKP memang memerlukan laboratorium seperti itu, atau mungkin tidak perlu laboratorium yang terkesan persiapannya lama dan mahal, tetapi langsung terjun ke pedesaan. Perlu disampaikan bahwa laboratorium diharapkan mampu digunakan sebagai arena uji coba rekayasa pengembangan masyarakat bagi PSEKP, yang menyandang predikat think tank nya Deptan dibidang sosial ekonomi pertanian.
18
Melakukan kegiatan pengembangan masyarakat secara langsung melalui partisipasi aktif masyarakat, tampaknya belum banyak menarik perhatian para peneliti PSEKP saat ini. Selain permasalahan pengalaman peneliti yang relatif terbatas dalam melaksanakan kajiankajian yang sifatnya action, sistem insentif yang berlaku untuk jenis-jenis kegiatan yang sifatnya action tersebut ternyata tidak cukup menjadi daya tarik bagi peneliti. Sebaliknya, kajian-kajian yang sifatnya ektraktif, yaitu pengumpulan data di lapang ternyata lebih menjanjikan, baik dari segi beban kerja, maupun besarnya insentif. Oleh karena itu, kalau dimasa mendatang PSEKP menginginkan penelitinya terlibat dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat, minimal perlu dipikirkan dua hal, yaitu kesiapan peneliti dan dukungan dana yang sistem administrasinya dibedakan dengan penelitian konvensional selama ini. Kesiapan peneliti dapat ditanggulangi melalui pelatihan dari lembaga pelatihan yang telah teruji.
V. DAFTAR PUSTAKA Ana, B.R. 2001. Sintesa Model Pemberdayaan Masyarakat (Studi Kasus Proyek P4K, KUM, P2LK, PHT, KUF dan DELIVERI). Dalam : Pembangunan Pertanian Melalui Pemberdayaan Masyarakat Desa. Bina Swadaya dan DFID, Jakarta. Bapemdes Kabupaten Sukabumi. 2005. Laporan Pelaksanaan Program Penembangan Kecamatan (PPK) Kabupaten Sukabumi. Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Desa. Sukabumi. Basuno, E., R.N. Suhaeti, S., Wahyuni, R.S. Rivai, T. Pranaji, G.S. Budhi, dan M. Iqbal. 2005. Kaji Tindak (Action Research) Pemberdayaan Masyarakat di Wilayah Tertinggal. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Bunch, R. 2001. Dua Tongkol Jagung. Yayasan Obor. Jakarta. Johnston, M. 1982. The Labirinth of Community Participation : Experience Indonesia. Community Development Journal, 17(3), 202-207. Silitonga, C., D.J. Rachbini, M.H. Sawit, dan A. Pakpahan. 1995. Peringatan 25 Tahun PERHEPI : Perkembangan Ekonomi Pertanian Nasional, 1969-1994. Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (PERHEPI). Jakarta. Sumpeno, W. 2004. Sekolah Masyarakat: Menerapkan Rapid Training Design Dalam Membangun Kapasitas. CRS, Jakarta. SYGAP. 1991. Science and Technology for Development. Field Report in the Districts of Karawang, Jombang and Wonogiri. Soybean Yield Gap Analysis Project, ESCAP CGPRT Centre. Bogor.
19