Kaji Tindak: Jurnal Pemberdayaan Masyarakat Vol. 3 No. 1 Mei 2016 P-ISSN: 2407-1773 E-ISSN: 2503-4979
Kompetensi Guru Pada Pendidikan Karakter Berdasarkan Komponen Pembentukan Karakter Di Sebuah Lembaga Pendidikan Non-Formal Leonie Francisca1 dan Clara R.P. Ajisuksmo2
ABSTRACT: Recently the government start to encourage again character education for students. Educational institutions, both formal and non-formal also focuses their learning aims on character education. On learning character education it necessarily for teachers to have four basic competencies of teachers, which is pedagogical, personality, social, and professional competence. Furthermore, it is important for teachers to have knowledge about the three components of good character based on Lickona. The three components of good character is knows a good thing (Moral Knowing), wants to do a good thing (Moral Feeling), and do good thing (Moral Behavior). This study aims is to describe the components of character in pedagogical, personality, social, and professional competence. The study was conducted using a quantitative method with questionnaires as measuring instruments and qualitative methods with observation and focus group discussion. Study participants are all teachers in a nonformal educational institutions, amounting to 6 people. The results showed that approximately 66.67% of teachers in four teacher competence related to components of character is at sufficient level. Through the Pearson correlation test, pedagogical and professional competence shown significant relationship between moral feeling and moral behavior (r = 0956; P <0.05 and r = 0.864; p <0.05). At the personality competence there is a significant relationship between the three components (r = 0873; P <0.05, r = 0976; P <0.05, r = 0915, p <0.05). On social competence only show significant relationship between moral knowing and moral feeling (r = 0909, p <0.05). Teacher knowledge about the stages of child development was at the level of moderate and did not have a significant relationship with pedagogical competence. Keywords: teacher competence, component of formation good character, character education, non-formal education institutions ABSTRAK: Beberapa tahun ini pemerintah kembali menggalakkan pendidikan karakter bagi anak-anak didik. Lembaga pendidikan, baik formal maupun non-formal pun menitikberatkan pembelajaran pada pendidikan karakter. Pada pembelajaran pendidikan karakter diperlukan guru yang memiliki empat kompetensi dasar guru, yaitu kompetensi pedagogis, kepribadian, sosial, dan profesional. Selain itu, penting bagi guru untuk memahami tiga komponen pembentukan karakter baik berdasarkan Lickona, yaitu mengetahui hal yang baik (Moral Knowing), menginginkan hal yang baik (Moral Feeling), dan melakukan hal yang baik (Moral Behavior). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran komponen pembentukan karakter pada kompetensi pedagogis, kepribadian, sosial, dan profesional guru-guru. Penelitian dilakukan menggunakan metode kuantitatif dengan alat ukur berupa kuesioner dan metode kualitatif dengan panduan observasi dan focus group discussion. Partisipan penelitian adalah seluruh guru di sebuah lembaga pendidikan non-formal yang berjumlah 6 orang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 66.67% guru di keempat kompetensi guru terkait komponen pembentukan karakter berada pada taraf cukup memadai. Melalui uji korelasi Pearson, didapatkan pada kompetensi pedagogis dan profesional terlihat ada hubungan yang signifikan antara moral feeling dan moral behavior (r = 0.956; p<0.05 dan r = 0.864; p<0.05). Pada kompetensi kepribadian terdapat hubungan yang signifikan antara ketiga komponen (r = 0.873; p<0.05, r = 0.976; p<0.05, r = 0.915; p<0.05). Pada kompetensi sosial hanya terlihat hubungan yang signifikan antara moral knowing dengan moral feeling (r = 0.909; p<0.05). Pengetahuan 1 2
Staf Pengajar Fakultas Psikologi Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta (
[email protected]) Staf Pengajar Fakultas Psikologi Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta
Page 90 of 100
Tersedia Online di http://lpkmv-untar.org/jurnal/index.php/kajitindak
Kaji Tindak: Jurnal Pemberdayaan Masyarakat Vol. 3 No. 1 Mei 2016 P-ISSN: 2407-1773 E-ISSN: 2503-4979 guru mengenai tahap perkembangan anak pun berada di taraf cukup memadai dan tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan kompetensi pedagogis. Hasil dari penelitian ini menunjukkan diperlukan pelatihan bagi para guru di sekolah non-formal ini. Kata Kunci: kompetensi guru, komponen pembentukan karakter, pendidikan karakter, lembaga pendidikan non-formal
Pendahuluan Pendidikan adalah modal utama bagi suatu bangsa dalam upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang dimilikinya. Kualitas sumber daya manusia dapat dilihat dari kompetensi yang dimiliki lulusan lembaga pendidikan, seperti sekolah. Hal ini membuat sekolah lebih terfokus mengembangkan potensi siswa hanya di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga kurang perhatian terhadap pendidikan karakter (Raka, Mulyana, Markam, Semiawan, Hasan, Bastaman, dan Nurachman, 2011). Sistem seperti ini dapat memberikan pengaruh negatif terhadap usaha membangun karakter anak didik. Sejak dini anak-anak sudah merasa tidak percaya diri dan rasa tidak mampu karena tuntutan akademis yang tinggi. Kurang percaya diri dan rasa tidak mampu yang berkepanjangan dapat membentuk pribadi yang tidak baik sehingga dapat mendorong anak-anak berperilaku negatif, seperti terlibat kriminalitas, putus sekolah, dan tawuran. Hal ini sejalan dengan pernyataan menurut Goleman (1995), keberhasilan seseorang di masyarakat, ternyata 80% dipengaruhi oleh kecerdasan emosi, dan hanya 20% ditentukan oleh kecerdasan intelektual. Anak-anak yang mempunyai masalah dalam kecerdasan emosinya akan mengalami kesulitan belajar, bergaul, dan tidak dapat mengontrol emosi mereka. Permasalahan ini sudah dapat terlihat sejak usia anak masih prasekolah dan kalau tidak ditangani dapat terbawa sampai usia dewasa. Sebaliknya, anak-anak yang berkarakter atau mempunyai kecerdasan emosi tinggi dapat terhindar dari masalah-masalah, seperti kenakalan, tawuran, narkoba, miras, perilaku seks bebas, dan perilaku negatif lainnya. Beberapa tahun terakhir ini pemerintah pun mulai menggalakkan kembali pendidikan karakter dalam proses pembelajaran di sekolah-sekolah. Hanya saja, di dalam praktiknya terjadi reduksi-reduksi yang mengakibatkan praktik pendidikan karakter tidak komprehensif, karena lebih mengedepankan pada pengajaran nilai-nilai saja (sisi kognitif lebih ditekankan). Akibatnya, tujuan pendidikan nilai untuk membangun karakter kurang tercapai. Hal ini yang membuat sebuah lembaga pendidikan non-formal di daerah Serpong lebih menitikberatkan pembelajaran pendidikan karakter, khususnya kemampuan berkomunikasi, berpikir kritis, kepercayaan diri, kreatif, dan kerjasama. Lembaga pendidikan non-formal tersebut memiliki tujuan untuk mempersiapkan anak dalam menghadapi sekolah serta kehidupan, dan mengembangkan pemikiran kreatif, problem solving, kemampuan berkomunikasi, kemampuan leadership, kemampuan interpersonal, kemampuan memahami pengetahuan dan dapat mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Pada proses pengembangan karakter, faktor yang dapat dikembangkan adalah pada pembentukan lingkungan. Pembentukan lingkungan menjadi sangat penting karena pada dasarnya karakter adalah kualitas pribadi seseorang yang terbentuk melalui proses belajar (Raka dkk, 2011). Salah satu tempat pendidikan karakter berlangsung adalah sekolah. Di sekolah, guru mempunyai peranan yang besar. Hal ini disebabkan karena gurulah yang berada di barisan terdepan dalam pelaksanaan pendidikan. Guru yang
Tersedia Online di http://lpkmv-untar.org/jurnal/index.php/kajitindak
Page 91 of 100
Kaji Tindak: Jurnal Pemberdayaan Masyarakat Vol. 3 No. 1 Mei 2016 P-ISSN: 2407-1773 E-ISSN: 2503-4979
langsung berhadapan dengan peserta didik untuk mentransfer ilmu pengetahuan dan teknologi serta mendidik dengan nilai-nilai positif melalui bimbingan dan keteladanan (Kunandar, 2008). Guru, menurut Danin (2010), merupakan pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi anak didik. Karena begitu beratnya tugas guru, maka guru harus mempunyai beberapa kompetensi untuk melaksanakan tugasnya. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005, guru lembaga pendidikan non-formal, harus tetap mempunyai kompetensi pedagogis, kepribadian, sosial, dan profesional. Selain kompetensi guru tersebut, sangat penting bagi guru untuk memiliki pemahaman mengenai pendidikan karakter. Setiap karakter yang ingin ditanamkan kepada anak didik memerlukan sebuah proses yang simultan dan berkesinambungan. Menurut Lickona (1997), terdapat tiga komponen pembentukan karakter baik, yaitu mengetahui hal yang baik (Moral Knowing), keinginan untuk melakukan yang baik (Moral Feeling), dan melakukan hal yang baik (Moral Behavior). Ketiga hal ini diperlukan untuk mengarahkan dan membentuk pendewasaan moral. Guru-guru di lembaga pendidikan non-formal yang menitikberatkan pada pendidikan karakter, harus memiliki pengetahuan mengenai kompetensinya, menyadari pentingnya kompetensi tersebut dan memiliki keinginan untuk melakukannya, serta menunjukkan perilaku tersebut. Pada proses pembelajaran guru harus memiliki kompetensi profesional, yaitu memiliki pengetahuan dan pemahaman mengenai pendidikan karakter sebelum dapat mengajarkan dan menanamkan karakter kepada anak didik mereka. Pengetahuan dan keinginan untuk mempelajari pendidikan karakter akan membuat guru lebih dapat bertindak yang sesuai dalam proses pembelajaran pendidikan karakter. Guru juga harus mampu membangkitkan minat siswa untuk menggali sendiri secara lebih dalam pelajaran yang diterimanya. Semua itu bisa diwujudkan jika guru mampu menerapkan metode belajar aktif dan bukan hanya menyuapi anak didik dengan berbagai materi dan teori. Pengetahuan guru mengenai berbagai metode belajar yang sesuai dalam proses pembelajaran pendidikan karakter, dapat membuat proses belajar mengajar menjadi lebih tepat. Guru harus bisa berperan sebagai motivator, mediator, dan fasilitator pendidikan yang memberikan kesempatan kepada anak didik untuk mencari, membangun, dan menerapkan pengetahuan dalam kehidupannya. Untuk dapat melakukan hal tersebut, maka guru perlu memiliki kompetensi pedagogis dan profesional. Kompetensi pedagogis juga perlu dimiliki oleh guru agar dapat mengenali karakteristik masing-masing anak didiknya sehingga dapat memberikan pembelajaran pendidikan karakter yang sesuai. Dari empat kompetensi tersebut, kompetensi yang paling mendasar untuk menjadi seorang guru yang mampu mendidik karakter anak didik, yaitu kompetensi kepribadian. Hal ini dikarenakan kompetensi inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya komitmen diri, dedikasi, kepedulian dan kemauan kuat untuk terus berbuat yang terbaik dalam kiprahnya di dunia pendidikan (Nurchaili, 2010 dalam Wahyu, 2011). Proses pembelajaran melalui pengalaman berinteraksi dengan orang lain, dalam hal ini guru, membutuhkan seorang guru yang dapat menjadi role model yang tepat maka dibutuhkan guru yang memiliki kompetensi kepribadian dan sosial yang baik. Akan tetapi, sampai saat ini di lembaga pendidikan non-formal tersebut belum memiliki standar kompetensi guru yang baku sehingga guru-guru yang diterima belum diketahui tingkatan kompetensi mengajarnya. Akibatnya, saat ini pengajaran pendidikan
Page 92 of 100
Tersedia Online di http://lpkmv-untar.org/jurnal/index.php/kajitindak
Kaji Tindak: Jurnal Pemberdayaan Masyarakat Vol. 3 No. 1 Mei 2016 P-ISSN: 2407-1773 E-ISSN: 2503-4979
karakter yang dilakukan menjadi belum optimal. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran komponen pembentukan karakter pada kompetensi pedagogis, kepribadian, sosial, dan profesional guru. Hal ini perlu dilakukan agar dapat menciptakan dan mengembangkan kompetensi yang kurang sehingga setiap guru dapat mengajar pendidikan karakter secara optimal. Metode Penelitian Berdasarkan tujuannya maka penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif, yaitu penelitian yang bertujuan untuk mendapatkan gambaran mengenai suatu situasi, fenomena, atau menyajikan informasi sebuah permasalahan (Kumar, 1999). Sedangkan, bila dilihat dari perolehan dan pengolahan data, maka penelitian ini mengkombinasikan pendekatan penelitian kuantitatif dan kualitatif. Penelitian kuantitatif dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh dan menganalisa data secara kuantitas mengenai suatu situasi, fenomena, atau permasalahan (Kumar, 1999). Sedangkan, menurut Berg (2007), melalui penelitian kualitatif akan memperoleh kedalaman data yang dapat membantu memahami permasalahan penelitian. Teknik pengambilan partisipan penelitian menggunakan teknik purposive sampling, yaitu teknik pemilihan penelitian berdasarkan karakteristik tertentu (Berg, 2007). Hal ini dilakukan agar partisipan menjadi sumber data terbaik untuk mencapai tujuan penelitian. Dalam penelitian ini, partisipan penelitiannya adalah seluruh guru yang mengajar di sebuah lembaga pendidikan non-formal. Partisipan penelitian berjumlah 6 orang guru. Kompetensi guru diukur menggunakan kuesioner yang berisi 67 pernyataan berupa indikator kompetensi pedagogis, kepribadian, sosial, dan profesional guru. Indikator kompetensi guru tersebut berdasarkan pasal 28 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005. Pada bagian pertama, kuesioner mengukur empat kompetensi guru dikaitkan dengan komponen pembentukan karakter, Moral Knowing. Tujuannya ingin mengetahui tingkat pemahaman guru terhadap kompetensi yang seharusnya dimiliki guru. Setiap pernyataan diawali dengan kalimat “Saya mengetahui guru….(indikator kompetensi guru)” dan memiliki 5 alternatif pilihan jawaban (1) tidak sesuai, (2) kurang sesuai, (3) cukup sesuai, (4) sesuai, dan (5) sangat sesuai. Bagian kedua kuesioner mengukur empat kompetensi guru dikaitkan dengan Moral Feeling, untuk mengetahui tingkat perasaan dan keinginan guru untuk melakukan kompetensi. Setiap pernyataan diawali dengan kalimat “ Saya merasa….(berbagai macam perasaan) bila melakukan…(indikator kompetensi guru)” dan memiliki 5 alternatif pilihan jawaban (1) tidak sesuai, (2) kurang sesuai, (3) cukup sesuai, (4) sesuai, dan (5) sangat sesuai. Bagian ketiga dari kuesioner mengukur empat kompetensi guru dikaitkan dengan Moral Behavior. Hal ini dilakukan untuk mengetahui tingkat keseringan guru menunjukkan perilaku kompetensi. Setiap pernyataan diawali dengan kalimat “Saya telah melakukan….(indikator kompetensi guru)” dan memiliki 5 alternatif pilihan jawaban (1) tidak pernah, (2) pernah, (3) cukup sering, (4) sering, dan (5) sangat sering. Kuesioner bagian terakhir berisi pernyataan yang bertujuan untuk mengukur tingkat pengetahuan guru mengenai tahapan perkembangan anak usia 3-9 tahun dalam aspek fisik, kognitif, dan sosialemosional. Kuesioner terdiri dari 22 pernyataan berdasarkan teori tahap perkembangan anak (Papalia, 2004; Davies, 2011). Guru
Tersedia Online di http://lpkmv-untar.org/jurnal/index.php/kajitindak
Page 93 of 100
Kaji Tindak: Jurnal Pemberdayaan Masyarakat Vol. 3 No. 1 Mei 2016 P-ISSN: 2407-1773 E-ISSN: 2503-4979
diminta untuk memberikan tanda silang (X) pada kolom apabila pernyataan tersebut menggambarkan karakteristik kelompok anak dengan usia tertentu. Pengambilan data secara kualitatif menggunakan metode observasi dan focus group discussion (FGD). Observasi pada penelitian ini digunakan untuk mengamati situasi rutinitas guru sebelum mengajar serta melihat interaksi guru dengan anak didik, orang tua, dan sesama guru. Situasi observasi terbagi dalam 3 kondisi, yaitu saat guru melakukan persiapan sebelum kelas, selama proses belajar mengajar, dan pembagian rapot dengan orang tua anak didik. Panduan observasi dibuat berdasarkan indikator kompetensi guru dalam pasal 28 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 dan Alat Penilaian Kemampuan Guru. Penggunakan metode FGD dilakukan agar dapat memperoleh data secara langsung dari narasumber dalam jumlah yang cukup banyak dan waktu yang bersama. Menurut Kitzinger (1995), metode FGD juga digunakan tidak hanya untuk memperoleh data dari pertanyaan yang diajukan namun juga dari interaksi yang terjadi dalam kelompok selama diskusi dilakukan. Sikap, perasaan, dan keyakinan seseorang dapat lebih terlihat selama mereka berinteraksi dengan orang lain. Hal ini diperlukan untuk dapat melihat beberapa kompetensi guru, terutama kompetensi kepribadian dan sosial, dimana membutuhkan situasi interaksi untuk dapat memunculkan kompetensi tersebut. Data yang diperoleh melalui metode kuantitatif dianalisa dengan menggunakan metode statistik deskriptif, yaitu melalui perhitungan means dan standar deviasi. Hasil perhitungan tersebut dikategorikan sebagai berikut: a. Hasil perhitungan (mean + 1 standar deviasi) akan dikategorikan memadai. b. Skor diantara kedua akan dikategorikan cukup memadai. c. Hasil perhitungan (mean – 1 standar deviasi) akan dikategorikan kurang memadai. Skor kuesioner guru-guru juga dianalisa dengan metode uji korelasi Pearson. Dengan menggunakan teknik analisa ini akan terlihat ada tidaknya hubungan yang signifikan antar ketiga komponen pembentukan karakter disetiap kompetensi guru. Data hasil observasi dan FGD yang terkumpul akan melalui proses coding terlebih dahulu sebelum dianalisa. Proses coding dilakukan untuk mengklasifikasikan data yang diperoleh berdasarkan kategori tertentu sehingga diperoleh gambaran hasil atau kesimpulan yang menjawab tujuan penelitian (Berg, 2007). Hasil coding akan dianalisis menggunakan metode content analysis. Hasil Dan Pembahasan Uji normalitas dilakukan terlebih dahulu sebelum dilakukan analisis uji korelasi Pearson. Hasil uji normalitas menggunakan metode Kolmogorov-Smirnov menunjukkan bahwa data kuesioner dalam distribusi normal dengan nilai signifikansi. Hasil dapat dilihat pada tabel 1. Oleh karena data yang diperoleh dalam penelitian ini terbukti berdistribusi normal maka metode statistik parametrik dapat digunakan untuk analisis data. Tabel 1: Kompetensi Guru Moral Knowing
Page 94 of 100
Hasil Uji Normalitas Kolmogorov-Smirnov Pedagogis Kepribadian Sosial Profesional (n = 6) (n = 6) (n = 6) (n = 6) Z P Z p Z p Z p .375 .999* .400 .997* .304 1.00* .437 .991*
Tersedia Online di http://lpkmv-untar.org/jurnal/index.php/kajitindak
Kaji Tindak: Jurnal Pemberdayaan Masyarakat Vol. 3 No. 1 Mei 2016 P-ISSN: 2407-1773 E-ISSN: 2503-4979
Moral Feeling Moral Behavior *p > .05
.314 .585
1.00* .884*
.467 4.67
.981* .981*
.449 .370
.988* .999*
.562 .859
.910* .452*
Dari hasil analisa data dengan metode statistik deskriptif dapat terlihat pada tabel 2. bahwa masing-masing kompetensi guru pada ketiga komponen pembentukan karakter menunjukkan sebagian besar guru berada pada taraf cukup memadai. Hal ini dapat dikatakan bahwa 66.67 % (4) guru di lembaga pendidikan non-formal tersebut memiliki pengetahuan, keinginan untuk melakukan, dan menunjukkan perilaku kompetensi pedagogis dan sosial. Terdapat 50% (3) guru yang memiliki pengetahuan mengenai kompetensi kepribadian dan profesional. 66.67% (4) guru yang memiliki keinginan untuk melakukan dan menunjukkan perilaku kompetensi kepribadian. Sedangkan, 50% (3) guru memiliki keinginan untuk melakukan kompetensi profesional dan 83.33% (5) guru yang menunjukkan perilaku kompetensi profesional. Tabel 2:
Klasifikasi Tingkat Kompetensi Guru Terkait Komponen Pembentukan Karakter Kompetensi Kategori Moral Moral Moral Knowing Feeling Behavior n=6 % n=6 % n=6 % Pedagogis Belum memadai 1 16.67 1 16.67 1 16.67 Cukup memadai 4 66.67 4 66.67 4 66.67 Memadai 1 16.67 1 16.67 1 16.67 Kepribadian Belum memadai 2 33.33 0 1 16.67 Cukup memadai 3 50 4 66.67 4 66.67 Memadai 1 16.67 2 33.33 1 16.67 Sosial Belum memadai 1 16.67 1 16.67 1 16.67 Cukup memadai 4 66.67 4 66.67 4 66.67 Memadai 1 16.67 1 16.67 1 16.67 Profesional Belum memadai 1 16.67 2 33.33 0 Cukup memadai 3 50 3 50 5 83.33 Memadai 2 33.33 1 16.67 1 16.67
Berdasarkan hasil perhitungan uji korelasi antara ketiga komponen pembentukan karakter pada kompetensi pedagogis diperoleh hasil adanya korelasi yang signifikan kuat dan positif antara komponen moral feeling dengan moral behavior (r = .956; p < .05). Hal ini menunjukkan bahwa bila terjadi peningkatan atau penurunan moral feeling pada kompetensi pedagogis maka akan terjadi peningkatan atau penurunan juga moral behavior pada kompetensi pedagogis, begitu juga sebaliknya. Pada kompetensi kepribadian terdapat korelasi yang signifikan antara ketiga komponen pembentukan karakter. Antara komponen moral knowing dengan moral feeling terdapat korelasi signifikan yang kuat dan positif (r = .873; p < .05). Korelasi signifikan yang kuat dan positif juga ditunjukkan antara komponen moral feeling dengan moral behavior (r = .915; p < .05). Komponen moral knowing dengan moral behavior pada kompetensi kepribadian menunjukkan hubungan korelasi yang signifikan paling kuat dan positif diantara komponen lainnya (r = .976; p < .05).
Tersedia Online di http://lpkmv-untar.org/jurnal/index.php/kajitindak
Page 95 of 100
Kaji Tindak: Jurnal Pemberdayaan Masyarakat Vol. 3 No. 1 Mei 2016 P-ISSN: 2407-1773 E-ISSN: 2503-4979
Tabel 3:
Hasil Uji Korelasi Pearson Antara Kompetensi Guru dengan Komponen Pembentukkan Karakter Moral Knowing Moral Feeling Moral Behavior (n= 6) (n = 6) (n = 6) Kompetensi Guru r P r p r p Pedagogis Moral Knowing .616 .193 .587 .220 Moral Feeling .616 .193 .956 .003** Moral Behavior .587 .220 .956 .003** Kepribadian Moral Knowing .873 .023* .976 .001** Moral Feeling .873 .023* .915 .011* Moral Behavior .976 .001** .915 .011* Sosial Moral Knowing .909 .012* .466 .351 Moral Feeling .909 .012* .779 .068 Moral Behavior .466 .351 .779 .068 Profesional Moral Knowing .372 .468 .483 .332 Moral Feeling .372 .468 .864 .027* Moral Behavior .483 .332 .864 .027* *p < .05 **p < .01 Hasil uji korelasi antara komponen pembentukan karakter pada kompetensi sosial menunjukkan adanya korelasi signifikan yang kuat dan positif antara moral knowing dengan moral feeling (r = .909; p < .05). Korelasi antara komponen pembentukan karakter pada kompetensi profesional menunjukkan bahwa antara moral feeling dengan moral behavior terdapat hubungan yang signifikan kuat dan positif (r = .864; p < .05). Tabel 4:
Tabel 5:
Page 96 of 100
Klasifikasi Tingkat Pengetahuan Guru Terhadap Tahapan Perkembangan Anak Usia 3 – 9 Tahun Kategori Skor n (= 6) Persentase (%) 0 0 Belum Memadai ( 6) 5 83.33 Cukup Memadai (7 – 11) 1 16.67 Memadai ( 12) Hasil Uji Korelasi Pearson Antara Pengetahuan Guru Dengan Kompetensi Pedagogis Pengetahuan Guru r p (n = 6) Kompetensi Pedagogis Moral Knowing .269 .606 Moral Feeling .428 .397 Moral Behavior .409 .420
Tersedia Online di http://lpkmv-untar.org/jurnal/index.php/kajitindak
Kaji Tindak: Jurnal Pemberdayaan Masyarakat Vol. 3 No. 1 Mei 2016 P-ISSN: 2407-1773 E-ISSN: 2503-4979
Dari hasil tersebut seperti terlihat pada tabel 4. bahwa mayoritas guru memiliki pengetahuan mengenai karakteristik tahapan perkembangan anak usia 3 – 9 tahun pada kategori cukup memadai, yaitu sebanyak 5 orang guru (83.33%). Hasil perhitungan uji korelasi antara kompetensi pedagogis dengan pengetahuan guru terhadap karakteristik tahapan perkembangan anak terlihat pada tabel 5. menunjukkan bahwa tidak adanya korelasi yang signifikan antara kedua variabel tersebut. Hal ini dapat diartikan bahwa pengetahuan guru terhadap karakteristik perkembangan anak tidak terkait dengan pemahaman, keinginan untuk melakukan, serta menunjukkan perilaku kompetensi pedagogis. Hasil pengambilan data observasi menunjukkan belum semua guru dapat berperilaku sesuai dengan kompetensi pedagogis, kepribadian, sosial, dan profesional. Dari data FGD diperoleh hasil semua guru memiliki pengetahuan yang memadai mengenai visi dan misi lembaga pendidikan non-formal tersebut serta menyadari pentingnya pembentukan karakter bagi masa depan anak, semua guru mengetahui cara pengajaran yang efektif dalam pembentukan karakter hanya melalui pengalaman menghadapi anak, dan semua guru kurang memiliki pengetahuan mengenai tahap perkembangan anak sesuai usianya. Simpulan Dan Implikasi Pada hasil penelitian ini terlihat bahwa tingkat kompetensi pedagogis, kepribadian, sosial, dan profesional guru pada komponen pembentukan karakter moral knowing, moral feeling, dan moral behavior umumnya berada pada taraf cukup memadai. Hal ini menyatakan bahwa sebagian besar guru di lembaga pendidikan nonformal tersebut memiliki cukup pengetahuan, cukup keinginan untuk melakukan, serta cukup sering menunjukkan perilaku kompetensi pedagogis, kepribadian, sosial, dan profesional. Guru-guru tersebut dapat memiliki tingkat kompetensi di taraf cukup memadai karena beberapa faktor, seperti latar belakang pendidikan, lama mengajar, motivasi, dan lain sebagainya. Hal serupa dikemukan oleh Widoyoko (2005) dalam penelitian yang telah dilakukan menunjukkan hasil bahwa latar belakang pendidikan guru, pengalaman mengajar guru, dan etos kerja guru mempengaruhi kompetensi yang dimiliki oleh seorang guru. Hasil ini terjadi karena faktor latar belakang pendidikan para guru bukan berasal dari lulusan keguruan sehingga guru-guru tersebut memang tidak dibekali dengan kompetensi yang perlu dimiliki oleh guru profesional pada umumnya. Akan tetapi, guru pada lembaga pendidikan non-formal pun harus tetap dibekali dan dikembangkan kompetensi pedagogis, kepribadian, sosial, dan profesional yang mereka miliki. Sidi (2000) mengemukakan hasil studi di negara-negara berkembang, guru memberikan sumbangan dalam prestasi belajar siswa sebesar 36%, manajemen 23%, waktu belajar 22%, dan sarana fisik 19 %. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa guru merupakan faktor yang dominan dalam menentukan prestasi belajar murid, berarti jika guru memiliki kompetensi memadai maka siswa akan berkualitas. Perbaikan kualitas pendidikan tidak akan memberikan sumbangan yang signifikan bila tidak didukung oleh guru yang kompeten dan berkualitas. Berdasarkan hasil observasi dan FGD, guru-guru menunjukkan inisiatif yang cukup untuk memperkaya diri dengan pengetahuan-pengetahuan baru. Hanya saja pengetahuan baru tersebut menjadi kurang tepat saat diaplikasikan oleh guru-guru dalam proses belajar mengajar. Akibatnya, dalam proses pembelajaran pendidikan
Tersedia Online di http://lpkmv-untar.org/jurnal/index.php/kajitindak
Page 97 of 100
Kaji Tindak: Jurnal Pemberdayaan Masyarakat Vol. 3 No. 1 Mei 2016 P-ISSN: 2407-1773 E-ISSN: 2503-4979
karakter menjadi kurang utuh dan optimal. Hal ini terlihat pada hasil uji korelasi kompetensi pedagogis dan profesional, terlihat hanya terdapat hubungan antara moral feeling dengan moral behavior. Sedangkan, moral knowing tidak menunjukkan hubungan dengan 2 komponen lainnya. Hasil ini dapat terjadi karena latar belakang pendidikan guru-guru yang tidak berasal dari ilmu keguruan, membuat guru-guru tidak memiliki dasar pengetahuan mengenai kedua kompetensi tersebut. Akibatnya, proses pembelajaran pendidikan karakter dilakukan dengan cara yang kurang tepat karena guru-guru tidak memiliki pengetahuan yang memadai. Hasil uji korelasi kompetensi sosial guru-guru juga menunjukkan hanya terdapat hubungan antara moral knowing dengan moral feeling tapi tidak dengan moral behavior. Hal ini terjadi karena guru mengetahui secara teoritis mengenai kompetensi sosial, mereka juga memiliki keinginan untuk melakukannya tetapi guru-guru tersebut tidak mengetahui cara mengaplikasikannya dan pentingnya untuk mengaplikasikan itu dalam proses pembelajaran pendidikan karakter. Hal ini membuat guru-guru belum berkomunikasi secara efektif dengan anak didik, rekan kerja, dan orang tua anak. Akibatnya, pendidikan karakter yang ingin diajarkan kurang tersampaikan dengan tepat. Hasil yang berbeda ditunjukkan dari uji korelasi kompetensi kepribadian. Uji korelasi kompetensi kepribadian pada guru menunjukkan adanya hubungan antara ke-3 komponen pembentukan karakter. Hasil ini dapat terjadi kemungkinan dikarenakan dari seleksi masuk hal yang paling ditekankan adalah kepribadian guru-guru dan setelah masuk pun guru-guru ditekankan mengenai pendidikan karakter sebagai tujuan utama pembelajaran sehingga harus berhati-hati menjaga pribadi. Sebagian besar guru-guru menunjukkan hasil memiliki pengetahuan yang berada di tingkat cukup memadai mengenai tahap perkembangan anak usia 3-10 tahun. Pengetahuan ini diperoleh oleh guru-guru melalui inisiatif untuk mencari tahu secara otodidak. Hanya saja guru-guru ini mengalami kebingungan untuk mengaplikasikan pengetahuan tersebut dalam proses pembelajaran di kelas. Hal ini terlihat dari uji korelasi antara peroleh nilai pengetahuan guru dengan kompetensi pedagogis guru yang tidak memiliki hubungan signifikan. Hasil-hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kurang optimalnya proses pembelajaran pendidikan karakter di lembaga pendidikan non-formal tersebut dapat terjadi karena tidak adanya bekal awal guru-guru mengenai kompetensi pedagogis, kepribadian, sosial, dan profesional serta komponen pembentukan karakter. Guru-guru tersebut juga tidak difasilitasi dengan program pengembangan diri, seperti pelatihan. Pelatihan yang diberikan kepada guru haruslah bersifat berkesinambungan sehingga ada proses pengembangan kompetensi dari guru tersebut. Pelatihan yang diberikan terhadap guru akan berdampak langsung terhadap cara guru memimpin proses pembelajaran. Selain, faktor tingkat kompetensi guru-guru yang cukup mempengaruhi optimalisasi proses pembelajaran pendidikan karakter, terdapat faktor-faktor lain yang juga ikut berperan dalam proses pembelajaran pendidikan karakter seseorang, salah satunya, yaitu keluarga. Ketika keluarga, dalam hal ini orang tua tidak mengetahui kebutuhan dasar anak maka sebenarnya anak tersebut belum siap untuk menjalankan perannya, baik secara mental maupun secara moral di sekolah. Kesulitan dalam belajar dan masalah perilaku seringkali menjadi akibat dari hal tersebut. Ketika orang tua tidak membangun suatu hubungan baik dengan anak-anak mereka dan menggunakan hubungan tersebut untuk mengajarkan anak-anak tentang kebaikan maka guru pun harus memulainya dari tahap yang sangat mendasar.
Page 98 of 100
Tersedia Online di http://lpkmv-untar.org/jurnal/index.php/kajitindak
Kaji Tindak: Jurnal Pemberdayaan Masyarakat Vol. 3 No. 1 Mei 2016 P-ISSN: 2407-1773 E-ISSN: 2503-4979
Meskipun sekolah mampu meningkatkan pemahaman awal para anak didiknya ketika berada di sekolah, sikap baik yang dimiliki oleh anak-anak tersebut akan perlahan menghilang jika nilai-nilai yang telah diajarkan di sekolah tersebut tidak mendapatkan dukungan dari lingkungan rumah. Sekolah dan keluarga haruslah seiring dalam menyikapi masalah yang muncul dan bekerjasama sehingga terjadi konsistensi dalam proses pembelajaran pendidikan karakter anak (Lickona, 2012). Berdasarkan hasil penelitian tersebut terdapat beberapa saran yang dapat dilakukan oleh lembaga pendidikan non-formal dalam upaya mengoptimalisasi proses pembelajaran pendidikan karakter: 1. Pihak lembaga pendidikan non-formal dapat mengadakan pelatihan kepada para guru-guru untuk mengembangkan dan meningkatkan kompetensi pedagogis, kepribadian, sosial, dan profesional guru terkait pendidikan karakter. 2. Pihak lembaga pendidikan non-formal dan guru-guru dapat membuat lembar evaluasi guru serta mengadakan proses evaluasi untuk masing-masing guru setiap 12 bulan sekali. Hal ini perlu dilakukan untuk memonitor proses perkembangan kompetensi masing-masing guru sehingga dapat terjadi perkembangan yang cukup merata di antara guru. 3. Guru-guru dapat meningkatkan hubungan dan proses interaksi dengan orang tua anak didik sehingga terjalin kerja sama dan konsistensi dalam proses pembelajaran pendidikan karakter. Ucapan Terima Kasih Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah membantu dan mendukung terlaksananya kegiatan pengabdian ini. Secara khusus, ucapan terima kasih diberikan kepada seluruh responden yang telah menerima dan bersedia bekerjasama dengan tim. Daftar Pustaka: Berg, B.L. (2007). Qualitative Research Methods For The Social Sciences (6th ed). Boston, MA: Pearson Education, Inc. Danin, S. (2010). Profesionalisasi dan Etika Profesi Guru. Bandung: Alfabeta. Davies, D. (2011). Child Development A Practitioner’s Guide (3rd edition). New York, London : The Guilford Press. Goleman, D. (1995). Emotional Intelligence. New York: Bantam. Kitzinger, J. (1995). Qualitative Research: Introducing Focus Groups. British Medical Journal, 311 (7000), 299-302. Kumar, R. (1999). Research Methodology: A Step-By-Step Guide For Beginners. London : Sage Publications. Kunandar. (2008). Guru Profesional: Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) Dan Sukses Dalam Sertifikasi Guru. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Lickona, T. (1997). The Teacher’s Role In Character Education. Journal Of Education, 179 (2), 63-80
Tersedia Online di http://lpkmv-untar.org/jurnal/index.php/kajitindak
Page 99 of 100
Kaji Tindak: Jurnal Pemberdayaan Masyarakat Vol. 3 No. 1 Mei 2016 P-ISSN: 2407-1773 E-ISSN: 2503-4979
Lickona, T. (2012). Mendidik untuk membentuk karakter: Bagaimana sekolah dapat memberikan pendidikan tentang sikap hormat dan bertanggung jawab. Diterjemahkan oleh: Wamaungo. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2004). Human Development (9th Edition). New York: McGraw-Hill Inc. Raka, G., Mulyana, Y., Markam, S.S., Semiawan, C.R., Hasan, S.H., Bastaman, H.D., & Nurachman, N. (2011). Pendidikan karakter di sekolah: Dari gagasan ke tindakan. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo. Sidi, I.J. (2000). Pendidikan dan Peran Guru dalam Era Globalisasi. Majalah Komunika, No.25/VIII/2000. Republik Indonesia. (2005). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.19 Tentang Standar Nasional Pendidikan. Wahyu. (2011). Masalah dan usaha membangun karakter bangsa. Jurnal Komunitas, 3 (2), 138-149. Widoyoko, E.P. (2005). Kompetensi mengajar guru IPS SMA Kabupaten Purworejo. Penelitian dosen muda. Ditjen Dikti.
Page 100 of 100
Tersedia Online di http://lpkmv-untar.org/jurnal/index.php/kajitindak