TESIS
KADAR RESISTIN YANG TINGGI MERUPAKAN RISIKO KEJADIAN KARDIOVASKULAR PADA PENDERITA SINDROMA KORONER AKUT
BAYU SETIA NIM 0914138202
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik Program Pasca Sarjana Universitas Udayana
BAYU SETIA NIM 0914138202
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 11 OKTOBER 2014
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Prof. Dr. dr I Wayan Wita, SpJP(K)FIHA NIP. 194812071977031001
Dr.dr.A.A. Wiradewi Lestari, SpPK NIP. 197704022002122007
Mengetahui Ketua Program Studi Ilmu Biomedik
Direktur Program Pasca Sarjana
Program Pascasarjana
Universitas Udayana,
Universitas Udayana,
Prof.Dr.dr. Wimpie Pangkahila, Sp.And, FAACS
Prof.Dr.dr. A.A. Raka Sudewi, SpS(K)
NIP. 19461213 197107 1001
NIP. 195902151985102001
Lembar Persetujuan Pembimbin Tesis Ini Telah Diuji pada Tanggal 11 Oktober 2014
Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana No.: …………… Tanggal ……………
Panitia Penguji Usulan Penelitian adalah: Ketua: Prof. Dr. dr I Wayan Wita SpJP (K) FIHA Anggota : 1.
Dr.dr. AA Wiradewi Lestari, SpPK
2.
Dr.dr. Ida Sri Iswari, SpMK
3.
dr. IGN Putra Gunadhi, SpJP (K) FIHA
4.
dr. Ketut Badjra Nadha, SpJP (K) FIHA
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhanku Yesus Kristus atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan dengan baik. Terwujudnya tesis yang berjudul “ Kadar Resistin yang Tinggi Memberi Risiko Kejadian Kardiovaskular Lebih Tinggi Pada Penderita Sindroma Koroner Akut” tentu tidak lepas dari peran berbagai pihak sehingga penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : Prof. Dr. dr I Wayan Wita, SpJP (K) FIHA selaku pembimbing utama yang dengan tulus ikhlas bersedia meluangkan waktu, tenaga serta perhatian yang tinggi untuk memberikan dorongan, bimbingan dan arahan mulai dari penyusunan proposal hingga penyelesaian tesis ini. Dr.dr. AA Wiradewi Lestari, SpPK selaku pembimbing kedua yang dengan kesediaan penuh melayani pembimbingan, konsultasi serta memberikan arahan, dorongan yang tinggi kepada penulis untuk dapat menyelesaikan tesis ini. Seluruh staf pengajar Bagian Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FK Udayana yang telah mendidik, memberikan kesempatan dan fasilitas serta ijin kepada penulis untuk mengikuti pendidikan program spesialis Kardiologi dan Kedokteran Vaskular dan menyelesaikan tesis ini. Ketua Tim dan anggota Tim Penguji tesis yang telah memberikan pemecahan,saran dan masukan yang bermanfaat guna perbaikan tesis ini. Yang teristimewa untuk kedua orang tua, (Alm) Markus Ahat Surai dan Rambu Lewie, bapak dan ibu mertua Teras Bahan dan Hartati Sosiawaty, kakakku
Perry Markus, Susie Repelita, Wanny dan Logia, Adik iparku Sylvia Bahan dan Alex Candra serta semua keponakanku tercinta yang telah memberikan semangat, kasih sayang dan dukungan moril dan materi kepada penulis selama mengikuti pendidikan ini. dr. Herlina Eka Shinta istriku yang tercinta dan Kedua anakku tersayang Benedict Markus Setia dan Nathanael Teras Setia yang dalam suka dan duka selalu menjadi penyemangat , selalu memberikan doa untuk keberhasilan penulis selama pendidikan ini. Rekan rekan residen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular terutama Echolas, Susila, Nyoman, Giok, Lauren, dan Sahabat seperjuangan dr. Enricko Djangkan, dr. Daniel Dau, dr. Sabrina C. Smit, SpPD, dr. Silvia, yang bersamasama merasakan
suka dan duka serta memberikan keceriaan, senyuman dan
kekuatan selama mengikuti pendidikan ini. Teman teman perawat di UGD, ICCU dan Poli PJT yang bersama-sama bahu membahu dalam bekerja sehingga membuat pendidikan ini menjadi lebih terasa ringan bila bekerja bersama kalian. Teman-teman sekretariat mbak Candra, mbak Dian, mbak Ninik, mbak Andi, pak Ketut yang selalu mendukung dan bekerja sama selama pendidikan spesialis ini. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis memohon maaf bila ada kesalahan dalam penulisan tesis ini dan penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan tesis ini.
Akhirnya dengan iringan doa semoga Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus memberikan pahala yang berlipat ganda atas segala amal baik yang telah diberikan kepada penulis. Semoga tesis ini bermanfaat bagi penulis dan bagi semua pihak yang berkepentingan. Denpasar, Oktober 2014 Penulis,
dr. Bayu Setia
ABSTRAK KADAR RESISTIN YANG TINGGI MEMBERI RISIKO KEJADIAN KARDIOVASKULAR LEBIH TINGGI PADA PENDERITA SINDROM KORONER AKUT
Peranan inflamasi terhadap risiko terjadinya sindroma koroner akut telah banyak diteliti. Resistin adalah salah satu adipokin yang turut berperan dalam proses inflamasi. Sudah ada beberapa penelitian yang dilakukan tentang hubungan antara resistin dengan sindroma koroner akut, akan tetapi belum ada penelitian yang menilai risiko kadar resistin terhadap kejadian kardiovaskular pada sindrom koroner akut diIndonesia. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan bahwa kadar Resistin yang tinggi merupakan faktor risiko kejadian kardiovaskular pada penderita sindroma koroner akut. Penelitian ini merupakan studi kasus kontrol pasien sindroma koroner akut (n= 68) yang bertempat di UGD dan ICCU PJT RSUP Sanglah Denpasar. Pasien dikumpulkan datanya dengan consecutive sampling. Untuk mengetahui hubungan antara resistin dan kejadian kardiovaskular dipakai uji Chi-Square. Analisis multivariat dengan cox proportional model digunakan untuk menganalisis hubungan antara resistin dan faktor risiko konvensional lainnya seperti hipertensi, diabetes melitus, dislipidemia, merokok dan obesitas. Analisis bivariat menunjukkan hubungan yang signifikan antara resistin dengan kejadian kardiovaskular dengan risiko 1,72 kali (HR=1,72, IK 95% =1,28 s.d.2,32 , p = 0,01). Analisis multivariat menunjukkan resisitin secara signifikan mempengaruhi kejadian kardiovaskular setelah dikendalikan dengan faktor risiko tradisional lainnya seperti hipertensi, diabetes melitus, dislipidemia, merokok dan obesitas (OR=1,67, IK 95%= 1,96 s.d. 2,32, p = 0,01). Kesimpulan : Resistin merupakan faktor risiko terjadinya kejadian kardiovaskular pada sindroma koroner akut. Kata kunci: Resistin, Sindroma koroner akut, Kejadian kardiovaskular
ABSTRACT RESISTIN CONTENT THAT GAVE HIGH RISK OF CARDIOVASCULAR EVENTS IN PATIENTS HIGHER ACUTE CORONARY SYNDROME
The role of inflammation on the risk of acute coronary syndrome has been widely studied. Resistin is one of the adipokines that play a role in the inflammatory process. There's been some research done on the relationship between resistin with acute coronary syndrome, but there are no studies that assess the risk levels of resistin on cardiovascular events in acute coronary syndromes. This research aims to prove that high resistin levels are risk factors for cardiovascular events in patients with acute coronary syndrome. This study was a case-control study of acute coronary syndrome patients (n = 68) were located in the ER and hospital ICCU Sanglah IUGR. Patient data were collected with a sampling consecutive. To determine the relationship between resistin and cardiovascular events used Chi-Square test. Multivariate analysis with logistic proportional model was used to analyze the relationship between resistin and other traditional risk factors such as hypertension, diabetes mellitus, dyslipidemia, smoking and obesity. Bivariate analysis showed a significant association between resistin with cardiovascular events with 1.72 times the risk (HR = 1.72, 95% CI = 1.28 sd2,32, p = 0.01). Multivariate analysis showed resisitin significantly affect cardiovascular events after controlled with other traditional risk factors such as hypertension, diabetes mellitus, dyslipidemia, smoking and obesity (OR = 1.67, 95% CI 1.96, sd = 2.32, p = 0, 03). Conclusion: resistin is a risk factor for cardiovascular events in acute coronary syndrome. Keywords: resistin, acute coronary syndrome, cardiovascular event .
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM ...................................................................................
i
PRASYARAT GELAR ..............................................................................
ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................
iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI ..........................................................
iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ..........................................
v
UCAPAN TERIMA KASIH ......................................................................
vi
ABSTRAK .................................................................................................
ix
ABSTRACT ...............................................................................................
x
DAFTAR ISI .............................................................................................
xi
DAFTAR TABEL ......................................................................................
xvi
DAFTAR GAMBAR ................................................................................
xvii
DAFTAR DAFTAR SINGKATAN .........................................................
vi
BAB I. PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang ..................................................................................
1
1.2
Rumusan Masalah ...........................................................................
6
1.3
Tujuan Penelitian ............................................................................
6
1.4
1.3.1 Tujuan umum ..........................................................................
6
1.3.2 Tujuan khusus .........................................................................
6
Manfaat Penelitian .........................................................................
6
1.4.1 Manfaat akademik / ilmiah ......................................................
6
1.4.2 Manfaat praktis ........................................................................
7
BAB II. KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sindroma Koroner Akut ....................................................................
8
2.1.1 Definisi .................................................................................
8
2.1.2 Patofisiologi .........................................................................
8
2.1.3 Aterosklerosis .......................................................................
9
2.1.4 Faktor-faktor risiko penyakit jantung Koroner ....................
14
2.1.5 Gambaran klinis SKA ...........................................................
15
2.1.6 Diagnosis sindroma koroner akut .........................................
16
2.1.7 Pemeriksaan diagnostik PJK ................................................
17
2.1.8 Pemeriksaan laboratorium ....................................................
18
2..2 Resistin ...............................................................................................
19
2.2.1 Struktur Resistin ...................................................................
20
2.2.2 Peran metabolik resistin .......................................................
24
2.2.3 Resistin dan obesitas ..........................................................
24
2.2.4 Peran resistin dalam inflamasi ............................................
27
2.2.5 Hubungan resistin dan PJK .................................................
29
BAB III. KERANGKA BERPIKIR, KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1 Kerangka Berpikir ..............................................................................
32
3.2 Kerangka Konsep ................................................................................
34
3.3 Hipotesis Penelitian .............................................................................
34
BAB IV. METODE PENELITIAN 4.1. Rancangan Penelitian .......................................................................
35
4.2. Populasi dan Sampel .......................................................................
35
4.2.1. Populasi penelitian ................................................................
35
4.2.1.1. Populasi target .........................................................
36
4.2.1.2. Populasi terjangkau .................................................
36
4.2.1.3. Sampel .....................................................................
36
4.2.2. Penentuan sampel ..................................................................
36
4.2.2.1. Kriteria Inklusi ........................................................
36
4.2.2.2. Kriteria Ekslusi ........................................................
37
4.2.2.3. Jumlah Sampel ........................................................
37
4.3. Variabel penelitian ...........................................................................
38
4.3.1. Variabel bebas ........................................................................
38
4.3.2. Variabel tergantung ................................................................
38
4.3.3 Variabel kendali ......................................................................
38
4.4.4 Hubungan antara variabel .......................................................
39
4.4. Definisi operasional variabel penelitian ..........................................
39
4.5
45
Instrumen penelitian dan metode pemeriksaan ................................
4.5.1 Instrumen penelitian .........................................................................
45
4.5.2 Metode pemeriksaan ........................................................................
45
4.6
Prosedur Penelitian .........................................................................
46
4.7
Tempat dan waktu penelitian ...........................................................
48
4.8
Analisa Statistik ...............................................................................
50
4.9
Uji Hipotesis .....................................................................................
49
4.10. Keterbatasan Penelitian .....................................................................
50
BAB V HASIL PENELITIAN……………………………………………
51
5.1 Karakteristik data……………………………………………..
51
5.2 Gambaran klinis penderita SKA dan KKV……………………
53
5.3 Uji normalitas dan homogenitas data…………………………
54
5.4 Penentuan titik potong (cut off point) resistin…………………
54
5.5 Analisis perbedaan rerata waktu terjadinya KKV antara kadar Resistin tinggi dan rendah…………………………………….
55
5.6 Cox proportional model……………………………………….
57
BAB VI PEMBAHASAN…………………………………………………
58
6.1 Normalitas data……………………………………………….
58
6.2 Karakeristik data………………………………………………
59
6.3 Faktor risiko KKV…………………………………………….
59
6.4 Inflamasi pada SKA…………………………………………..
60
6.5 Resistin sebagai faktor risiko KKV pada SKA……………….
61
6.6 Hubungan resistin yang tinggi sebagai faktor risiko KKV dengan Cumulative survival dan waktu pemantauan………………….
63
6.7 Kejadian kardiovaskular……………………………………….
63
6.8 Keterbatasan penelitian………………………………………..
64
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN……………………………………..
65
7.1 Simpulan……………………………………………………….
65
7.2 Saran……………………………………………………………
65
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………..
67
LAMPIRAN………………………………………………………………
74
DAFTAR TABEL
No Tabel
Judul
Halaman
4.1
Klasifikasi tekanan darah berdasarkan JNC VII ...............
4.2
Klasifikasi dari overweight dan obesitas pada
42
dewasa berdasarkan IMT ...................................................
43
5.1
Kejadian kardiovaskular berdasarkan karakteristik subjek..
51
5.2
Karakteristik demografik faktor risiko konvensional dan Penanda inflamasi………………………………………..
52
5.3
Gambaran klinis SKA ........................................................
53
5.4
Gambaran klinis SKA dengan KKV dan tanpa KKV ........
53
5.5
Gambaran klinis SKA dan persentase KKV ......................
54
5.6
Hasil analisis Kaplan-Meier perbedaan rerata waktu terjadinya KKV antara kelompok subjek dengan kadar resistin tinggi Dan rendah .........................................................................
5.7
Hasil analisis Cox proportional model pengaruh resistin terhadap Insiden KKV ......................................................................
5.8
55
57
Hasil analisis Cox proportional model pengaruh resistin, Dislipidemia, DM, hipertensi, obesitas, merokok, umur Terhadap insiden KKV ......................................................
57
DAFTAR GAMBAR
No Gambar Judul
Halaman
2.1.
Proses aterosklerosis .........................................................
10
2.2.
Fagosit mononuklear pada aterogenesis.............................
12
2.3.
Pelepasan penanda mioglobin,CKMB, dan troponin .........
18
2.4.
Ilustrasi model hubungan adipokine dan sel endhotelial ...
20
2.5.
Pengaruh adipositokin terhadap sistem kardiovaskular dan Inflamasi.............................................................................
2.6.
Jaringan adiposa : komponen seluler dan molekul yang Dihasilkan ..........................................................................
2.7.
23
26
Skema tentang mekanisme potensial dimana resistin dapat memediasi disfungsi kardiovaskular ..................................
31
3.1.
Kerangka konsep penelitian ...............................................
34
4.1.
Rancangan penelitian .........................................................
35
4.2.
Hubungan antar variabel ....................................................
39
5.1.
Kurva insiden kumulatif KKV menurut waktu antara Kelompok subjek dengan kadar resistin tinggi dan rendah..
56
DAFTAR SINGKATAN
AACE
: American Association of Clinical Endocrinologist
ACE
: American College of Endocrinology
ADA
: American Diabetic Association
ACS
: Acute Coronaruy Syndrome
AHA
: American Heart Association
APTS
: Angina Pektoris Tidak Stabil
APS
: Angina Pektoris Stabil
ATP III
: Adult Treatment Panel III
BACHORT
: Bali ACS Cohort Study
CCU
: Coronary Care Unit
CI
: Confidence Interval
CKMB
: Creatin Kinase Myocardial Band
CRP
: C Reactive Protein
DM
: Diabetes Mellitus
ELISA
: Enzyme Lincked Immunosorbent Assay
GRACE
: Global Registry of Acute Coronary Events
HR
: Hazard Ratio
HSP
: Heart Shock Protein
ICAM-1
: Intercellular Adhesion Molecule-1
IL
: Interleukin
IL-1 Ra
: Interleukin-1 Receptor antagonist
IMA
: Infark Myocard Acute
JNC
: Joint National Committee
KRS
: Keluar Rumah Sakit
KTP
: Kartu Tanda Penduduk
LDH
: Lactic Dihydrogenase
LDL
: Low Density Lipoprotein
MCP
: Monocyte Chemotactic Protein
MMP
: Matrix Metalloproteinase
MPh
: Macrophage
MRS
: Masuk Rumah Sakit
NCEP
: National Cholesterol Education Program
NF-B
: Nuclear Factor – kappa B
NO
: Nitric Oxide
NSTEMI
: Non-ST Elevation- Myocardial Infarction
PERKI
: Perkumpulan Kardiologi Indonesia
PLATO
: Platelet Inhibition and Platelet Outcomes
RR
: Relative Risk
SGOT
: Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase
SGPT
: Serum Glutamic Pyruvic Transaminase
SKA
: Sindroma Koroner Akut
STEMI
: ST Elevation Myocardial Infarction
TGF
: Transforming Growth Factor
TNF
: Tumor Necrosing Factor
VCAM-1
: Vascular Cell Adhesion Molecule-1
UPIJ
: Unit Perawatan Intensif Jantung
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Sindroma Koroner Akut (SKA) merupakan keadaan manifestasi akut dan
berat yang merupakan kegawatdaruratan dari koroner akibat ketidakseimbangan antara pasokan dan kebutuhan dari oksigen ke miokard jantung (Kumar, 2007). Termasuk bagian dari sindroma koroner akut adalah angina pektoris tidak stabil (APTS), infark miokard akut (IMA) dengan elevasi segmen ST (STEMI), dan infark miokard akut tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI) (Hamm dkk., 2011). Gambaran klinis pada SKA akan terjadi vasospasme arteri koronaria dan ruptur plak aterosklerotik yang akan diikuti terbentuknya trombus (Buffon dkk., 2002). Sindroma koroner akut adalah masalah kesehatan yang serius dan dapat berakibat kematian. Prasad dkk. (2003) melaporkan terjadi kematian APTS di Amerika Serikat sekitar 5-10% dan IMA sekitar 10-20%, sedangkan kejadian SKA di Inggris menurut Avanzas dkk. (2004) sekitar 17,2%. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1992 menunjukkan Penyakit Jantung Koroner (PJK) merupakan penyebab kematian pertama untuk usia di atas 40 tahun (Anwar, 2004). PJK dalam 15 tahun terakhir dilaporkan merupakan penyebab kematian utama. Insidennya meningkat dengan cepat seiring meningkatnya angka kejadian obesitas dan diabetes melitus baik di negara berkembang maupun di negara maju. PJK merupakan 38% penyebab kematian di Amerika Utara terutama pada usia < 65 tahun (Hansson, 2005).
Penyakit jantung koroner merupakan penyakit jantung yang disebabkan oleh proses aterosklerosis. Penelitian-penelitian terbaru menunjukkan bahwa inflamasi memegang peranan penting dalam perkembangan dan perburukan PJK serta manifestasi lain aterosklerosis (Anonim, 2008). Aterosklerosis sebagai penyebab utama PJK merupakan penyakit inflamasi di mana mekanisme sistem imun berinteraksi dengan faktor-faktor risiko metabolik (seperti obesitas, diabetes melitus,
hipertensi)
kemudian
berinisiasi,
mengalami
progresivitas
dan
pengaktifan lesi pada pembuluh darah arteri jantung (Lisyani, 2006). Penyakit vaskular aterosklerosis merupakan inflamasi multipel yang melibatkan sel, molekul dan bermacam substansi. Marker umum yang digunakan untuk mendeteksi adanya inflamasi adalah laju endap darah dan serum C-reactive protein (CRP), namun apakah CRP secara langsung terlibat dalam perkembangan aterosklerosis masih belum jelas mekanismenya (Lisyani, 2006). Adipokin adalah berbagai peptida bioaktif yang diproduksi oleh jaringan adiposa. Adipokin bekerja secara lokal maupun umum, melalui efek autokrin, parakrin
dan
endokrin,
yang
mempunyai
relevansi
dengan
penyakit
kardiovaskular, diantaranya adalah sitokin pro inflamasi seperti tumor necrosis factor α (TNF α), interleukin-6 (IL-6), faktor-faktor yang mempengaruhi hemostasis seperti plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1), hormon yang terlibat dalam metabolisme energi seperti adiponektin dan leptin serta hormon yang terlibat dalam inflamasi dan resistensi insulin seperti resistin (Ronti dkk., 2006; Purwanto, 2007).
Resistin termasuk dalam kelompok protein kaya sistein yang dikenal sebagai adipose tissue specific secretory factor (ADSF) atau protein yang ditemukan pada area inflamasi (found in inflammatory zones =FIZZ) merupakan suatu adipokin baru dari jaringan adiposa yang berhubungan dengan resistensi insulin dan obesitas pada tikus (Proffitt, 2005; Reilly dkk., 2005. Sejak pertama kali resistin ditemukan pada tahun 2001, studi klinis tentang pengukuran kadar resitin pada manusia masih sangat terbatas (Steppan dan Lazar, 2004). Resistin pada manusia diekspresikan dengan kadar yang rendah di jaringan adiposa dan terutama diekspresikan oleh sel-sel inflamasi, sehingga didapatkan kadar yang tinggi di monosit di dalam sirkulasi darah dan disekresi oleh makrofag pada ateroma (Pischon dkk., 2005; Jung dkk., 2006). C-reactive protein (CRP) merupakan petanda untuk memprediksi risiko penyakit kardiovaskular aterosklerosis. Dalam hubungan antara penyakit arteri koroner dan sindroma metabolik tidak terdapat peningkatan kadar CRP, namun terdapat peningkatan kadar plasma resitin, oleh karena itu resistin dapat dipakai sebagai petanda biologi yang menggabungkan tanda inflamasi dan metabolik (Reilly dkk., 2005). Resistin merupakan petanda yang menjanjikan untuk menentukan risiko penyakit vaskular aterosklerosis. Resistin relatif stabil, sehingga pengukuran resistin tunggal adalah cukup untuk penilaian risiko pada penelitian epidemiologik, sedangkan pengukuran CRP sebaiknya dilakukan minimal 2 kali oleh karena adanya variasi individual ( Lisyani, 2006; Weikert dkk., 2007).
Menurut Al-Daghri dkk. (2005), kadar resistin didapatkan lebih tinggi pada DM tipe 2 dan penyakit jantung kronik dibandingkan kontrol. Sedangkan Shetty dkk. (2004) melaporkan hasil korelasi positif yang signifikan antara kadar serum resistin dan CRP serta korelasi negatif yang signifikan antara kadar serum resisitin dan HDL, meskipun tidak dapat dikonfirmasi dengan analisis bivariat maupun multivariat.
Kawanami dkk. (2004),
melaporkan
resistin dapat
menginduksi VCAM-1, ICAM-1 dan log pentraxin 3 (PTX3), suatu petanda inflamasi di sel endotel pembuluh darah. Reilly dkk. (2005), menunjukkan peningkatan skor kalsifikasi arteri koronaria dengan meningkatnya kadar serum resisitin pada pria. Pilz dkk. (2007) melaporkan bahwa konsentrasi plasma resistin berhubungan dengan proses inflamasi dan fungsi ginjal tetapi penelitian ini tidak mendukung hipotesis resistin sebagai faktor indipenden untuk penyakit kardiovaskular. Chu dkk. (2008) mendapatkan hasil, kadar resistin plasma pada pasien ACS meningkat secara signifikan dalam minggu pertama setelah onset. Hesham dkk. (2012) melaporkan serum resistin meningkat pada pasien STEMI akut dan peningkatan ini lebih jelas pada pasien dengan DM tipe 2 di bandingkan dengan yang bukan DM tipe 2, tetapi serum resistin tidak berkorelasi dengan usia, jenis kelamin dan resistensi insulin. Ammal dkk. (2011) menyimpulkan pada penelitian mereka, terjadi peningkatan secara signifikan kadar serum resisitin pada penyakit jantung koroner akut dan kemungkinan ada hubungan dengan inflamasi, dan didapatkan resistin berkorelasi positif dengan faktor inflamasi (IL-6 dan CRP). Pada Penelitian lain dilaporkan, bahwa peningkatan resistin akan meningkatkan
risiko Infark miokard dan mungkin dapat digunakan sebagai marker untuk penyakit jantung iskhemia pada populasi umum ( Cornelia Weikert dkk., 2008 ; Leon dkk., 2013). Proses inflamasi yang terjadi pada sindroma koroner akut masih sulit untuk di ketahui apakah terus berlangsung atau setelah melewati fase akut dan mendapat pengobatan proses inflamasi itu berhenti. Jika proses inflamasi terus berlangsung, akan membuat prognosis penderita sindroma koroner akut menjadi jelek dan kualitas hidup menjadi rendah.Sampai saat ini, masih belum banyak data atau penelitian yang menghubungkan antara proses inflamasi dengan kejadian kardiovaskular pada penderita sindroma koroner akut. Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan, resistin diketahui mempunyai peran dalam proses inflamasi sehingga menyebabkan sindroma koroner akut dan masih menjadi pertanyaan, apakah resistin mempunyai peran dan hubungan dengan kejadian kardiovaskular pada penderita sindroma koroner akut. Hal tersebut mendorong kami untuk melakukan penelitian tentang hubungan kadar resistin dengan risiko kejadian kardiovaskular (KKV) pada penderita SKA. Dengan demikian apabila terbukti didapatkan hubungan, diharapkan dapat memberikan kontribusi ilmiah terhadap progresivitas perburukan SKA sebagai dasar dalam upaya pencegahan KKV pada penderita SKA di masa yang akan datang. 1.2
Rumusan Masalah Dengan memperhatikan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan
masalah penelitian sebagai berikut :
Apakah kadar resistin yang tinggi
merupakan faktor risiko kejadian
kardiovaskular pada penderita sindroma koroner akut?
1.3
Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum Untuk membuktikan peranan proses inflamasi pada progresifitas perburukan dari Sindroma Koroner Akut. 1.3.2
Tujuan Khusus Untuk mengetahui kadar resistin yang tinggi merupakan faktor risiko
kejadian kardiovaskular pada penderita sindroma koroner akut.
1.4 1.4.1
Manfaat Penelitian Manfaat Akademik / Ilmiah Apabila penelitian ini terbukti, bahwa kadar resistin yang
tinggi
merupakan faktor risiko kejadian kardiovaskular, maka dapat memberikan kontribusi ilmiah berkaitan prognosis dari sindroma koroner akut.
1.4.2
Manfaat Praktis Memberikan kontribusi berkaitan dengan prognosis pada sindroma
koroner akut, sehingga bermanfaat untuk pencegahan sekunder / pengendalian
progresifitas perburukan sindroma koroner akut dan dapat memberikan dampak perbaikan kualitas hidup penderita sindroma koroner akut.
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1
Sindroma Koroner Akut
2.1.1
Definisi Sindroma koroner akut adalah suatu istilah atau terminologi yang
digunakan untuk menggambarkan keadaan atau kumpulan proses penyakit yang meliputi angina pektoris tidak stabil/APTS (unstable angina pectoris/UAP), infark miokard gelombang non-Q atau infark miokard tanpa elevasi segmen ST (Non-ST elevation myocardial infarction/ NSTEMI), dan infark miokard gelombang Q atau infark miokard dengan elevasi segmen ST (ST elevation myocardial infarction/STEMI) (Baraas, 2006). 2.1.2
Patofisiologi Aterosklerosis merupakan suatu keadaan di mana fatty plaque terbentuk
pada arteri berukuran besar dan sedang, termasuk pembuluh darah jantung sebagai akibat dari deposisi kolesterol, lipid dan sisa sel. Plaque dalam arteri jantung akhirnya menjadi padat sehingga aliran darah ke jantung berkurang. Aliran darah ke jantung yang berkurang tersebut akan menyebabkan sel otot jantung menjadi kekurangan oksigen yang disebut iskemia. Kematian sel miokardium akibat iskemia disebut infark miokard, yaitu terjadi kerusakan, kematian otot jantung dan terbentuk jaringan parut tanpa ada pertumbuhan kembali sel miokard. Infark miokard disebabkan oleh oklusi mendadak dari arteri koroner bila ada rupture plaque yang kemudian akan mengaktivasi sistem pembekuan. Interaksi Antara
ateroma dengan bekuan akan mengisi lumen arteri, sehingga aliran darah mendadak tertutup, infark miokard juga dapat disebabkan karena spasme dinding arteri yang menyebabkan oklusi lumen pembuluh darah (Setianto, 2001). 2.1.3
Aterosklerosis Aterosklerosis merupakan penyakit inflamasi karena terdapat proses
inflamasi pada aterosklerosis sejak terjadinya lesi awal yang disebut fatty streak. Fatty streak berisi makrofag (berasal dari monosit) dan limfosit T (Suhardjono, 2003; Packard dan Libby, 2008). Fatty streak sering terjadi pada orang usia muda tidak disertai gejala klinis dan dapat berkembang menjadi ateroma atau hilang dengan sendirinya. Seperti terlihat di gambar 2.1, endotel arteri mengalami disfungsi kemudian prosesnya berlanjut sampai terbentuk plak, kemudian plak mengalami rupture dan terbentuklah thrombus. (Libby, 2002 ; Hanson, 2005; Packard dan Libby, 2008). Lesi aterosklerosis (ateroma) terdiri dari sel-sel, elemen jaringan ikat, lipid dan debris. Ateroma didahului oleh fatty streak, akumulasi sel-sel (makrofag, bersama dengan beberapa sel T) yang terbungkus lemak di bagian bawah endotelium. (Hanson, 2005). Aterosklerosis umumnya terbentuk pada arteri-arteri dengan aliran dan tekanan yang tinggi, seperti jantung, otak, ginjal dan aorta, khususnya di titik percabangan arteri yang merupakan area dimana terdapat gangguan aliran darah, sehingga mengurangi aktivitas molekul ateroprotektif endotel seperti nitrit oksida (NO) dan menyebabkan ekspresi vascular cell adhesion molecule-1 (VCAM-1) (Boudi dkk., 2008; Packard dan Libby, 2008). Terdapat 2 teori aterosklerosis yang mendasari kejadian penyakit jantung dan
pembuluh darah, yaitu respone to injury dan kelainan lemak darah (Purwanto, 2007). Menurut teori respone to injury, permukaan sel endotel senantiasa akan mengalami mikrolesi yang berulang-ulang atau mungkin pula pada suatu saat akan terjadi makrolesi karena perubahan dinamik gaya gesek pulsatil atau proses stress oksidatif lainnya. Sel endotel akan merespon berupa respon imunologik untuk mengatasi secara dinamik dan berkesinambungan (Baraas, 2006).
Gambar 2.1 Proses Aterosklerosis (Libby, 2002) Sel endotel normal tidak mengikat leukosit akan tetapi adanya rangsangan termasuk diet tinggi lemak jenuh, hiperkolesterolmia, obesitas, hiperglikemia, resistensi insulin/diabetes melitus, hipertensi dan merokok akan memicu ekspresi molekul adhesi endotel seperti VCAM-1, intercellular adhesion molecule-1
(ICAM-1) , p-selectin, resistin dan komponen pro inflamasi lainnya yang akan mengadhesi leukosit di dalam sirkulasi sehingga terjadi disfungsi endotel yang merupakan kelainan sistemik dan proses awal terjadinya aterosklerosis (Suhardjono, 2003, Lau dkk., 2005; Packard dan Libby, 2008). Karakteristik disfungsi endotel adalah adanya ketidakseimbangan antara faktor-faktor vasodilatasi dan vasokonstriksi. Nitrit oksida (NO) akan mempertahankan vasodilatasi endotel, berlawanan dengan efek vasokontriktor seperti endothelin (ET-1) dan angiotensin II (Lau dkk., 2005). Monosit yang melekat di endotel akan bermigrasi dan menembus ke dalam lapisan intima dengan bantuan monocyte chemmoattractant protein-1 (MCP-1) sedangkan lapisan intima yang mengalami inflamasi akan mengekspresikan macrophage colony stimulating factor (MSCF) dan kemudian akan mengubah monosit menjadi makrofag. MSCF juga akan meningkatkan ekspresi reseptor scavenger yaitu merubah makropag menjadi sel busa yang merupakan karakteristik tanda awal dari aterosklerosis. Makrofag di dalam ateroma berpoliferasi dan meningkatkan respon inflamasi dengan mensekresi berbagai growth factors dan sitokin pro inflamasi, termasuk tumor necrosis factor α (TNF α) dan interleukin 1β (IL-1β) yang terlibat dalam progresif lesi dan komplikasi seperti terlihat pada gambar 2.2 (Libby, 2002). Sel T masuk ke dalam lesi sebagai respons terhadap chemokine-inducible protein-10 dan monokine yang diinduksi oleh interferon γ (IFN-γ) dan IFNinducible T cell chemo-attractant yang kemudian menyebabkan limfosit masuk ke dalam lapisan intima di mana subtype CD4+ mendominasi lesi. Lesi
aterosklerosis mengandung sitokin yang memacu respon T-helper1 (Th-1) sehingga sel T teraktivasi dan terpicu untuk berdiferensiasi menjadi sel Th-1 efektor yang kemudian meningkatkan aktivitas inflamasi lokal dengan membentuk sitokin proinflamasi seperti IFN-γ dan CD40 ligand, yang berperan penting dalam progresifitas plaque (Libby, 2002; Hanson, 2005).
Gambar 2.2 Fagosit Mononuklear pada aterogenesis ( Libby, 2002) Jika proses inflamasi berlanjut maka aktivasi leukosit dan intrinsic arterial cells akan melepaskan mediator fibrogenik termasuk faktor-faktor pertumbuhan yang dapat menyebabkan replikasi, migrasi dan proliferasi sel otot polos, sehingga
dinding arteri menjadi tebal (Suhardjono, 2003). Migrasi dan proliferasi sel otot polos akan membentuk kapsula fibrosa yang menutupi lesi lipid rich core dan jaringan nekrosis. Kapsula fibrosa ini akan menonjol ke dalam lumen arteri sehingga akan mengganggu aliran darah dan menimbulkan manifestasi klinis dalam sirkulasi koroner berupa angina pektoris tidak stabil atau infark miokard akut. Jika proses berlanjut maka makrofag dapat merusak matriks ekstraseluler dengan cara fagositosis atau mengeluarkan enzim proteolitik seperti matriks mettaloproteinase (MMP), sistein protease dan serin protease. Akibatnya kapsula fibrosa menjadi lemah dan ruptur sehingga terbentuk trombus (Libby, 2002; Suhardjono, 2003). Teori kelainan lemak darah didasarkan pada penelitian-penelitian hewan dan manusia yang menunjukkan bahwa hiperkolesterolemia menyebabkan aktivasi lokal endotelium dalam arteri-arteri besar dan sedang. Infiltrasi dan retensi low density lipoprotein (LDL) dalam tunika intima arteri menginisiasi respon inflamasi dalam dinding arteri. Partikel LDL yang mengalami reaksi enzimatik dan oksidasi di intima berubah menjadi modified-LDL (mo-LDL) dan oxidized-LDL (ox-LDL) (Hanson, 2005; Purwanto, 2007). Mo-LDL melepaskan fosfolipid yang mengaktivasi sel endotel. Sel endotel yang teraktivasi mengekspresikan berbagai molekul adhesi leukosit. VCAM-1 biasanya meningkat terhadap respon hiperkolesterolemia, sehingga sel-sel yang yang memiliki reseptor VCAM-1 (monosit dan limfosit) akan menempel di tempat adhesi dan selanjutnya mensekresi sitokin dan growth factors yang akan merangsang adanya proliferasi, migrasi miosit dan fibroblast memasuki lapisan intima dan
menimbulkan reaksi imun, Ox-LDL bersifat sitotoksik terhadap monosit dan sel otot polos (Purwanto, 2007). Adanya rangsangan MCSF yang diproduksi oleh tunika intima yang mengalami inflamasi menyebabkan monosit akan menempel dan bermigrasi ke subendotel dan berubah menjadi makrofag. Langkah ini merupakan langkah penting untuk pembentukan aterosklerosis. Makrofag akan memfagosit partikel ox-LDL menjadi sel busa (sel prototipe aterosklerosis) yang akan menjadi inisial aterosklerosis (Libby, 2002). Pada dasarnya terdapat 3 tipe lesi aterosklerosis pada arteri koroner. Lesi pertama berbentuk seperti tumor pada permukaan dinding sebelah dalam pembuluh darah koroner yang banyak mengandung fiber, lemak, kolesterol dan sel-sel otot halus serta menonjol ke dalam lumen sehingga menyebabkan stenosis pada arteri koroner, lesi ini disebut ateroma dan umumnya bersifat stabil (Libby, 2002). Lesi kedua berbentuk plaque yang lunak, tidak stabil, mudah ruptur dan merupakan awal dari proses trombosis, hanya sekitar 30 % trombus terbentuk pada bagian pembuluh darah arteri koroner yang stenosis (pada puncak ateroma) sedangkan 70 % trombus sesungguhnya terbentuk pada bagian yang datar dari ateroma, yang tidak ditemukan sel-sel otot polos ataupun kapsul fibrotik, tetapi penuh dengan invasi makrofag. Tipe lesi kedua ini mudah mengalami ruptur yang merupakan awal terjadinya proses trombosis dan secara klinis merupakan serangkaian sindroma koroner akut (Lehrke dkk., 2004). Tipe lesi ketiga umumnya hanya berupa sel busa atau garis lemak yang tipis, lebih bersikap reaktif, spasmodik, dengan lesi aterosklerosis yang kecil dan
tidak luas. Lesi ketiga ini umumnya tidak memberikan keluhan klinis apapun (asimtomatis) (Libby, 2002). 2.1.4
Faktor-faktor risiko penyakit jantung koroner Menurut Setianto (2001), Faktor-faktor risiko independen untuk PJK
antara lain : 1. Hiperkolesterolemia (khususnya kadar serum LDL) 2. Merokok 3. Hipertensi 4. Hiperglikemia (karena diabetes melitus) 5. Faktor hemostatik : kadar fibrinogen dan faktor VII koagulasi yang tinggi berhubungan dengan meningkatnya resiko PJK. Kadar faktor VII lebih tinggi pada individu dengan diet tinggi lemak. Faktor resiko tidak langsung, tetapi bermakna : 1. Kurang berolahraga 2. Stress 3. Diet tinggi lemak jenuh 4. Diet rendah antioksidan 5. Obesitas Boudi dkk. (2008) mengklasifikasikan faktor resiko PJK menjadi : faktor yang tidak dapat diubah : umur,jenis kelamin,riwayat keluarga dan faktor yang dapat diubah : merokok, hipertensi, diabetes melitus, obesitas, hiperkolesterolemia, diet tinggi lemak jenuh, faktor hemostatik.
2.1.5
Gambaran klinis SKA Keluhan yang sering di rasakan adalah nyeri dada seperti ditusuk-tusuk
benda tajam, diremas atau ditindih benda berat yang berlokasi di substernal, intensitas nyeri berlangsung lebih dari 20 menit. Keluhan nyeri dada akan dirasakan tembus ke punggung dan menjalar ke lengan kiri disertai mual, muntah dan keringat dingin (Tanuwidjojo, 2005). 2.1.6
Diagnosis sindroma koroner akut Diagnosis yang digunakan untuk membedakan antara sindroma koroner
akut berdasarkan 3 kriteria : presentasi klinis adanya angina, perubahan elektrokardiografi (EKG) dan peningkatan enzim biomarker jantung (lilly, 2011). Khususnya angina pektoris tidak stabil adalah diagnosis klinis yang ditunjang perubahan EKG seperti depresi ST segmen dan atau inversi gelombang T dan tidak ada peningkatan enzim biomarker jantung. NSTEMI dibedakan dari angina pektoris tidak stabil berdasarkan peningkatan serum biomarker jantung yang menandakan adanya nekrosis otot jantung, dan sering terdapat perubahan gelombang ST-T pada EKG yang bersifat menetap. STEMI didiagnosa berdasarkan riwayat klinis, adanya perubahan EKG berupa elevasi segmen ST dan peningkatan serum biomarker jantung (Lilly, 2011). Diagnosis miokard infark (MI) berdasarkan European society of cardiology (2011), harus memenuhi salah satu kriteria : A. Peningkatan yang khas dari troponin atau peningkatan yang cepat dari CKMB, yaitu biomarker dari nekrosis miokard yang diikuti salah satu dari berikut :
1. Terdapat gelombang Q patologis pada EKG. 2. Perubahan EKG yang mengidentifikasikan iskemi (elevasi atau depresi segmen ST). 3. Intervensi arteri koroner. B. Temuan patologis acute Miokard Infarct (AMI) : STEMI (area nekrosis iskemik yang menembus seluruh ketebalan dinding ventrikel dan mengakibatkan elevasi segmen ST). 2.1.7
Pemeriksaan diagnostik PJK (Baim dan Grossman, 2005; Nishimura
dkk., 2005) : 1. Electrocardiography (ECG) ECG selama angina dapat menunjukkan adanya iskemik atau mungkin normal, dapat juga menunjukkan aritmia, seperti kontraksi ventrikel premature. 2. Treatmill atau bicycle exercise test. Dapat memicu nyeri dada dan EkG akan memperlihatkan tanda iskemia miokard (ST- segmen depresi). 3. Angiografi koroner Memperlihatkan adanya penyempitan dan sumbatan arteri koroner, morfologi dan beratnya lesi stenosis dapat dianalisis dengan lebih rinci dan dapat memberikan informasi untuk tindakan selanjutnya. Analisis biasanya dilakukan visual dengan memperkirakan prosentase dari diameter tiap lesi stenosis relatif terhadap segmen acuan disebelahnya, dimana dengan stenosis > 50 % dianggap signifikan secara hemodinamik. Beratnya lesi
stenosis dapat direpresentasikan sebagai jumlah pembuluh darah koroner yang mengalami stenosis > 50 % (vessel disease). 4. Myocardial perfusion imaging dengan thallium-201 atau cardiolite selama latihan treadmill. Myocardial perfusion imaging untuk mendeteksi area iskemik dari miokardium. 2.1.8
Pemeriksaan laboratorium Parameter laboratorium untuk standar SKA yang direkomendasikan oleh
American Heart Association adalah Creatinin Kinase-MB (CKMB), isoensim lactate dehydrogenase (LDH), Mioglobin dan troponin T dan I (Purwanto, 2007).
Gambar 2.3 Pelepasan penanda mioglobin, CKMB, dan Troponin (Moe and Wong, 2010) Pada gambar 2.3 diatas terlihat waktu peningkatan dari enzim jantung creatinin kinase muscle brain (CKMB) dan protein myoglobin serta troponin T dan I, enzim tersebut dikeluarkan karena terjadi kerusakan otot jantung (miokard) karena sindroma koroner akut (Moe and Wong, 2010).
Parameter laboratorik yang baru telah menarik perhatian para ahli, mengingat berkembangnya patogenesis penyakit sehingga dapat mendeteksi kejadian pada saat berlangsungnya inisiasi lesi aterosklerosis. Parameter tersebut adalah penentuan terhadap adanya inflamasi, pembentukan trombus, agregasi trombosit dan iskemik reversible. Faktor-faktor metabolik (obesitas, diabetes melitus,hipertensi) mempengaruhi proses ini dengan berbagai cara. Faktor-faktor metabolik berkontribusi dalam deposisi lipid di arteri serta akan menginisiasi babak baru dalam rekruitmen sel imun. Adipokin yang merupakan sitokin jaringan lemak, termasuk juga leptin, adiponektin serta resistin dapat juga mempengaruhi respon-respon inflamasi dalam organisme (Hanson, 2005). 2.2 Resistin Resistin merupakan adipositokin yang disekresi oleh jaringan adiposa, yang kadarnya meningkat pada obesitas. Dikenal sebagai adipose tissue specific secretory factor (ADSF) yang menginduksi resistensi insulin di otot dan hati (Boudi dkk, 2008). Resistin termasuk kedalam keluarga kaya protein dan ditemukan di daerah inflamasi / found in inflammatory zones (FIZZ) (Guerre, 2004). Pertama kali ditemukan pada tahun 2001 oleh Lazar dan dinamakan resistin karena penelitian observasi yang dilakukan oleh Steppan ditemukan adanya resistensi insulin pada mencit yang diinjeksi dengan rekombinan resistin dan penurunan kemampuan insulin dalam menyalurkan glukosa ke sel adiposa (Baim dan Grossman, 2005). Penemuan dan fungsi penting resistin pertama kali dipublikasikan tahun 2011, di mana beberapa penelitian follow up telah
mengeksplorasi pentingnya seluler, fisiologis, dan klinis dari resistin (Rea dan Donnelly , 2004).
Gambar 2.4 Ilustrasi model hubungan adipokin dan sel endhotelial (Rajalala dkk., 2003) Dari ilustrasi gambar 2.4, diperlihatkan resistin bersama dengan adiponektin, leptin, PAI-1, TNF-α mempunyai pengaruh terhadap peningkatan VCAM-1, MCP-1, ET-1 dan CD40-L serta penurunan TRAF-3 sehingga menyebabkan disfungsi dari endotel. 2.2.1 Struktur resistin Resistin merupakan 12,5 kDa peptida kaya sistein yang disekresi dari adiposa dan ditemukan dalam sirkulasi (Rong-Ze dkk, 2003). Panjang propeptida resistin manusia 108 asam amino (Ronti dkk., 2006). Sebelum disekresi ke sirkulasi, resistin melepaskan signal peptida yang terdiri dari 16 asam amino hidrofobik, resistin kemudian bersirkulasi sebagai dimer terdiri dari 92 asam amino yang dihubungkan oleh jembatan disulfida ( Stejskal dkk., 2002).
Resistin termasuk dalam salah satu keluarga protein sekresi, yang dikenal sebagai resistin-like molecules (RELM) dengan karakteristik residu sistein pada akhir struktur C- terminal. Terdapat 4 keluarga RELM pada mencit, yaitu : RELM-α (FIZZ-1), dan RELM-β (FIZZ-2), resistin (FIZZ3) dan RELM-γ, masing-masing dengan distribusi jaringan yang berbeda (Kusminski dkk., 2005). RELM α diekspresikan pada fraksi stroma adiposa dan paru-paru. RELM-β diekspresikan secara spesifik dan banyak di intestinum dan kolon. RELM-β juga menginduksi resistensi insulin hepatik. Resistin diekpresikan di adiposa, plasenta, sedangkan RELM-γ diekspresikan pada adiposa, gastrointestinal dan paru-paru. Sampai dengan saat ini hanya 2 RELM, yaitu resistin dan RELM-β yang ditemukan pada manusia (Rong-Ze dkk., 2003; Rea dan Donnelly, 2004; Steppan dan Lazar, 2004). Terdapat bukti bahwa struktur dan ikatan mempengaruhi aktivitas biologis keluarga RELM. Banerjee dan Lazar (2001) menunjukkan bahwa resistin dan RELM-β tampak sebagai homodimer dengan ikatan disulfida, tetapi pada kondisi tertentu, homodimer ini bermigrasi menjadi monomer. Dimerisasi dari RELM sangat tergantung pada residu sistein N-terminal (Cys 26), sehingga RELM-α (yang kurang dari Cys 26) tampak sebagai monomer. Ketiga protein dalam keluarga resistin dapat membentuk heterodimer baik tergantung atau tidak tergantung dengan ikatan disulfida. Protein resistin juga tampak lebih kompleks terdiri dari bebarapa molekul protein (Rea dan Donnelly, 2004). Penelitian resistin menggunakan crystallographic X-ray menunjukkan komplek resistin dalam bentuk struktur heksamer. Resistin bersirkulasi dalam dua
bentuk di mana bentuk yang lebih predominan high molecular mass (HMM) hexsamer dan kompleks yang lebih aktif dalam bentuk low molecular mass (LMM) yang tidak dapat membentuk ikatan disulfide intertrimer. Hal ini menunjukkan bahwa proses regulasi melalui pelepasan disulfida dibutuhkan untuk inisiasi bioaktivitas bentuk LMM dan memungkinkan target site yang potensial untuk interaksi reseptor selanjutnya (Kusminski dkk., 2005). Berbeda dengan tikus, resistin manusia diekspresikan pada kadar yang rendah di jaringan adiposa. Pelacakan pada jaringan manusia dengan real-time polymerase chain reaction (PCR) menunjukkan bahwa resistin ditemukan dalam sumsum tulang, paru-paru, jaringan plasenta (terutama tropoblas) dan sel islet pancreas (Yura dkk., 2003; Pang dan Le, 2006). Resistin pada manusia terutama diekspresikan oleh sel-sel inflamasi, terutama pada monosit di sirkulasi dan juga disekresi oleh makrofag pada ateroma (Pischon dkk., 2005; Jung dkk., 2006). Rong-Ze dkk. (2003) melaporkan resistin juga diekspresikan oleh sel leukosit yang berasal dari mieloblas dan limfoblas dan sel-sel leukemia tetapi korelasi antara ekspresi, kadar dan tingkat penyakit atau asal sel (darah tepi atau sum-sum tulang) masih belum jelas. Ekspresi, kadar resistin yang tinggi pada leukosit semakin menguatkan kemungkinan keterlibatan resistin dalam proses inflamasi dan resistensi insulin yang juga berhubungan dengan inflamasi. Adanya perbedaan sumber resistin pada manusia dan tikus kemungkinan berimplikasi terhadap perbedaan peran fisiologis diantara spesies. Kapan dan bagaimana perbedaan ini berhubungan dengan fungsi biologi resistin pada manusia masih belum diketahui hingga saat ini (Rong-Ze dkk., 2003). Penemuan
resistin, bersama-sama dengan hormon adiposa lainnya, mendorong dilakukannya penelitian intensif terhadap peranan mediator lemak pada obesitas yang menginduksi resistin insulin dan diabetes tipe 2 (Rea dan Donnely, 2004). Resistin dipengaruhi oleh faktor-faktor genetik. Penelitian-penelitian yang meneliti variasi genetik pada gen resistin, termasuk single nucleotide polymorphisms (SNP) masih kontroversial. Beberapa penelitian genetik casecontrol menunjukkan variasi genetik dari gen resistin yang berhubungan dengan resistensi insulin dan obesitas pada manusia (Ronti dkk., 2006). Peneliti lainnya menunjukkan ekspresi mRNA resistin yang sangat rendah pada isolasi adiposit manusia tidak berhubungan konsisten dengan insulin dan obesitas, sehingga peran resistin manusia pada resistensi insulin tidak jelas (Pang dan Le, 2006). Penelitian
terbaru
yang
dilakukan
oleh
Menzaghi
dkk.
(2006)
menunjukkan adanya 1 SNP mengubah aktivitas transkripsi dan berhubungan dengan peningkatan kadar mRNA resistin di lemak abdominal dan serum pada subyek kaukasia dari Italia yang tidak menderita diabetes dan anggota keluarganya. Berdasarkan data tersebut, resistin dianggap sebagai salah satu mediator baru dari resistensi pada manusia. Penelitian ini mendukung hipotesis bahwa resistin mempunyai peran patogenik dalam resistensi insulin dan abnormalitas yang berhubungan dengan resistensi insulin, termasuk diabetes tipe 2 dan penyakit kardiovaskular. Pada gambar 2.5, memperlihatkan pengaruh dari adipositokin terhadap sistem kardiovaskular. Dan tampak resistin mempunyai pengaruh meningkatkan resistensi insulin, dislipidemia, perburukan dari infark miokard dan gagal jantung,
meningkatkan risiko penyakit jantung dan APTS serta prognosis yang jelek bagi pasien jantung koroner (Mattu dan Randeva, 2013).
Gambar 2.5 Pengaruh adipositokin terhadap sistem kardiovaskular dan inflamasi (Mattu dan Randeva, 2013)
2.2.2
Peran metabolik resistin Peran fisiologis resistin pada manusia masih belum dengan jelas diketahui.
Adanya homolog inkomplit (59%) antara resistin manusia dan tikus dan tidak adanya dua dari empat isoform resistin pada manusia, mungkin menyebabkan perbedaan peran fisiologis resistin antara manusia dan tikus (pang dan Le, 2006). 2.2.3
Resistin dan obesitas Resistin merupakan adipositokin di mana peran fisiologisnya masih
diperdebatkan terkait dengan obesitas. Dalam kaitannya dengan obesitas, observasi terhadap peran resistin masih terus berkembang. Penelitian pada manusia telah melaporkan adanya peningkatan ekspresi resistin dijaringan adiposa, khususnya pada jaringan lemak abdominal dan terdapat korelasi positif antara serum resistin dengan isi lemak tubuh. Penelitian terbaru mengenai
hubungan resistin manusia terhadap obesitas menunjukkan adanya peningkatan kadar serum yang lebih tinggi pada subjek dengan obesitas dibandingkan dengan tanpa obesitas, dimana korelasi positif didapatkan perubahan indeks massa tubuh (IMT) dan area viseral (Lee dkk, 2003; Kusminski dkk., 2005). Implikasi pentingnya resistin pada jaringan adiposa manusia telah didukung oleh penelitian-penelitian yang menunjukkan adanya peningkatan ekspresi protein pada obesitas, yang dikenal sebagai protein yang disekresi dari isolasi adiposit, Beberapa penelitian terbaru telah menunjukkan adanya peningkatan kadar serum resistin dan ekspresi gen pada jaringan lemak abdominal dengan peningkatan adiposit. Penelitian lain telah menunjukkan bahwa penurunan berat badan dan tindakan post-gastric bypass menyebabkan pengurangan kadar resistin disirkulasi yang bermakna, sehingga di duga resistin dapat secara tidak langsung memiliki pengaruh terhadap regulasi nutrisi tubuh pada manusia (Ternan dkk., 2003; Kusminski dkk., 2005). Penelitian-penelitian pada manusia menunjukkan hasil yang kontroversi mengenai peran resistin pada obesitas. Penelitian Lee dkk. (2003), didapatkan tidak adanya korelasi antara kadar serum atau plasma resitin dengan petandapetanda adiposit. Heilbronn dkk. (2004), melaporkan tidak adanya hubungan antara kadar serum resistin dan prosentase lemak tubuh, lemak viseral dan hasil yang berbeda tersebut diduga karena adanya variabel perancu dimana umur subyek yang tidak obesitas secara signifikan lebih muda dibandingkan subyek yang obesitas.
Penelitian pada mencit menunjukkan resistin menyebabkan resistensi insulin dengan cara bekerja sebagai antagonis insulin dan memodulasi salah satu langkah pada jalur signal insulin, juga menunjukkan bahwa resistin mungkin mengurangi kerja insulin dalam menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan perifer sehingga mengurangi sensitivitas jaringan perifer terhadap insulin terutama pada sel-sel otot lurik seperti hepatosit dan adiposit (Kusminski dkk., 2005). Mencit transgenik yang mengekspresikan resistin secara berlebihan memperlihatkan gangguan pada insulin dalam mentransport glukosa, perubahan metabolisme glukosa terjadi tanpa menyebabkan perubahan signal reseptor insulin, sehingga bekerja dengan cara mengurangi aktivitas intrinsik sel transporter pada permukaan glukosa (Kusminski dkk., 2005). Steppan dan Lazar (2005) menunjukkan resistin menginduksi ekspresi suppressor of cytokine signaling (SOCS-3) suatu inhibitor signal insulin. Berkurangnya fungsi SOCS menunjukkan gangguan resistin dari kerja antagonis insulin di adiposit. Hal ini menunjukkan bahwa kerja resistin pada adiposa tidak tergantung insulin, sebagian dapat dimediasi oleh SOCS-3 yang dapat berpengaruh pada homoestasis glukosa. Rajala dkk. (2003) menunjukkan bahwa pemberian resistin atau RELM-β pada tikus mengurangi sensitivitas insulin, khususnya pada hati. Perburukan hemostasis glukosa ditunjukkan dengan adanya gangguan berat pada insulin dalam mensupresi glukoneogenesis hepatik, dibandingkan dengan resistensi insulin diperifer. Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa resistin dan RELM-β kedalam sirkulasi vena porta tampaknya menghubungkan epitel di intestinal hati sehingga
meningkatkan metabolisme hepatik. Pada gambar 2.6, diperlihatkan peran resistin dalam proses terjadinya obesitas.
Gambar 2.6 Jaringan adiposa: komponen seluler dan molekul yang dihasilkan (Fantuzzi, 2005)
Penelitian-penelitian pada manusia menunjukkan hasil yang berbeda terhadap hubungan antara resistin dan metabolisme glukosa. Penelitian pada orang Indian Vozarova dkk. (2004), melaporkan kadar resistin tidak berhubungan dengan kadar glukosa puasa dan insulin, meskipun berhubungan dengan adiposit, sebaliknya Heilbronn dkk. (2004), mengindikasikan kadar serum resistin berhubungan dengan metabolisme glukosa, Mc Ternan dkk. (2003) menunjukkan adanya efek resistin pada pengambilan glukosa in vitro.
2.2.4
Peran resistin dalam inflamasi Resistin di sirkulasi berasal dari leukosit mononuclear dan sel-sel sumsum
tulang sehingga resistin juga turut berperan dalam kaskade inflamasi, mengaktivasi sel-sel endotel vaskular, ekspresi molekul adhesi dan MCP (Verma dkk., 2003 ; Bokarewa dkk., 2005). Resistin juga menstimulasi proliferasi sel otot polos, angiogenesis serta akumulasi kolesterol dan trigliserida pada makrofag yang menunjukkan resistin berperan dalam aterosklerosis. Ekspresi resistin juga telah diidentifikasi pada plak aterosklerotik manusia, dimana hal ini didukung oleh fakta bahwa kadar resistin di sirkulasi meningkat pada pasien dengan pasien arteri koronaria dan merupakan suatu petanda inflamasi dari aterosklerosis pada manusia (Calabro dkk., 2004; Reilly dkk., 2005). Resistin pada manusia terutama diekspresikan oleh sel-sel inflamasi, di dapatkan kadar yang tinggi pada monosit di sirkulasi darah dan ekspresi resistin pada monosit meningkat dengan terapi pemberian endotoksin dan sitokin proinflamasi, resistin juga diekspresikan di makrofag dan mungkin merupakan sebuah mata rantai baru yang menghubungkan inflamasi dan resistin insulin (Pischon dkk., 2005). Beberapa agen proinflamasi seperti lipopolysccharide (LPS). TNF-α dan ILL-6 dapat meregulasi ekspresi gen resistin. Peran resistin sebagai faktor inflamasi ditunjukkan dengan adanya peningkatan regulasi ekspresi resistin di jaringan adiposa tikus putih ( Banerjee dan Lazar, 2001; Pang dan Le, 2006). Penelitian yang dilakukan oleh Bokarewa dkk. (2005) menunjukkan bahwa resistin meregulasi ekspresi sitokin proinflamasi. Resistin meningkatkan regulasi
TNF-α, IL-6 pada manusia melalui jalur Nuclear factor kappa B (NF-κB). Penambahan rekombinan protein resistin manusia pada makrofag baik dari tikus maupun manusia, menghasilkan peningkatan sekresi sitokin proinflamasi, TNF-α dan IL-12, Lehkre dkk. (2004), melaporkan resistin juga menginduksi ekpresi gen makrofag manusia melalui jalur yang melibatkan sekresi sitokin inflamasi. Bukti lain yang menghubungkan resistin dengan inflamasi adalah ditemukannya hubungan kadar plasma resistin dengan banyak penanda inflamasi pada kondisi patofisiologis. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh kunnari menemukan pasien dengan tanda klinis inflamasi berat memperlihatkan konsentrasi resistin lebih tinggi secara signifikan dibandingkan dengan individu sehat atau subyek dengan diabetes tipe 2 (Kunnari dkk., 2006). Pasien dengan inflamasi berat ditemukan korelasi positif yang signifikan antara resistin dengan petanda inflamasi ( Pang dan Le, 2006). IL-6 dan ICAM-1 juga berhubungan signifikan dengan resistin pada pasien dengan obstructive sleep apnea syndrome, Reilly dkk. (2005), menunjukkan adanya hubungan positif antara kadar resistin dengan kadar petanda inflamasi, termasuk soluble TNF-α reseptor2 (sTNFα-R2), IL-6 dan lipoprotein associated phospolipase A2 (LpPLA2) pada pasien aterosklerosis. Penanda inflamasi secara independen berhubungan dengan kadar resistin di sirkulasi pada pasien dengan penyakit ginjal kronik (Diez dkk., 2005). Shetty dkk. (2004), melaporkan CRP, suatu petanda inflamasi berkorelasi positif dengan kadar resistin pada pasien diabetes dan pasien yang berisiko menderita diabetes.
Al Daghri dkk. (2005), juga melaporkan serum resistin dengan CRP dan kolesterol LDL pada pasien diabetes tipe 2 dan PJK. 2.2.5
Hubungan antara resistin dan PJK Proses inflamasi saat ini telah dihubungkan dengan patogenesis
aterosklerosis, beberapa penelitian menunjukkan bahwa resistin merupakan faktor risiko kardiovaskular dan kontributor potensial dalam disregulasi endotel dan pembentukan lesi aterosklerosis. Resistin memacu stadium inisiasi atau mempertahankan proses aterosklerosis dengan mengaktivasi sel-sel endotelial pembuluh darah. Verma menunjukkan bahwa resistin meningkatkan aktivitas sel endotel dengan memicu pelepasan dan menginduksi aktivitas promotor ET-1. Resistin juga meningkatkan regulasi VCAM-1 dan MCP-1, proses kunci pada pembentukan lesi awal aterosklerosis (Lau dkk., 2005, Verma dkk., 2003), produksi MCP-1 diinduksi oleh signal ligan CD40 13. Resistin juga menurunkan tumor necrosis factor receptor-associated factor (TRAF-3) yaitu inhibitor signal ligand CD40 (Verma dkk., 2003). Observasi yang dilakukan oleh Kawanami dkk. (2004), juga menunjukkan resistin dapat menginduksi VCAM-1, ICAM-1 dan log pentraxin 3 (PTX3), suatu petanda inflamasi di sel endotel pembuluh darah. PTX3 sebagai molekul adhesi dapat mewakili lesi inisial aterosklerosis dan ekspresi PTX3 meningkat pada lesi aterosklerosis, resistin mungkin menggunakan efek proinflamasi pada sel endotel vaskular, menyebabkan onset aterosklerosis, selain sel-sel endotel, resistin juga menginduksi proliferasi sel otot polos aorta manusia melalui jalur extracellular signal-regulated kinase (EKK1/2) dan phosphatidylinositol-kinase (akt) yang
menunjukkan bahwa resistin meningkatkan migrasi sel otot polos ke vaskular dan merupakan komponen sintesis plaque ateromatosa (Calabro dkk., 2004; Burnett dkk., 2005; Jung dkk., 2006). Resistin secara signifikan meningkatkan ekspresi mRNA vascular endhotelial growth factor receptor (VEGFR-1 dan VEGFR-2) dan MMP-2 pada tingkat mRNA dan protein ( Kusminski dkk., 2005). Penelitian yang dilakukan Burnett dkk. (2005), menemukan adanya protein resistin pada lesi aterosklerotik baik pada tikus maupun manusia dan kadar mRNA resistin meningkat secara progresif pada aorta mencit dengan aterosklerosis. Jung dkk. (2006), menemukan bahwa resistin disekresi oleh monosit/makrofag yang menginfiltrasi dinding arteri, menginduksi disfungsi endotel dan migrasi sel otot polos in vitro. Hal ini menunjukkan bahwa resistin mungkin merupakan faktor monosit/makrofag yang berhubungan dengan aterosklerosis. Reilly dkk. (2005), melaporkan pada pasien diabetes dan tidak diabetes, kadar plasma resistin berhubungan dengan petanda metabolik dan inflamasi, termasuk sTNF-R2, IL-6 dan LpPLA2. Resistin juga berhubungan dengan peningkatan kalsifikasi arteri koroner (coronary artery calcification = CAC) suatu pengukuran kuantatif aterosklerosis koroner. Data ini penting menunjukkan peran resistin dalam perkembangan aterosklerosis walaupun mekanisme nya belum jelas. Pada pasien dengan sindrom metabolik kadar resistin sebagai mata rantai terjadinya inflamasi dan aterosklerosis dan dapat memprediksi CAC sedangkan CRP tidak. Burnett dkk. (2005), mendukung bahwa resistin merupakan molekul
efektor yang tidak hanya berperan aterosklerosis saja tetapi juga dalam interaksi antara sindrom metabolik dan penyakit kardiovaskular.
Gambar 2.7 Skema tentang mekanisme potensial dimana resistin dapat memediasi disfungsi kardiovaskular ( Jamaluddin dkk., 2011) Dari gambar 2.7, peran resistin dalam terjadinya aterosklerosis diperlihatkan melewati beberapa jalur, yaitu menginduksi nuclear factor kappa beta (NF-kB), phosphatylinositol 3 kinase (PI3K), mitogen activated protein kinase (MAPK) dan reactive oksigen species (ROS). Komponen-komponen tersebut akan menyebab disfungsi endotel yang merupakan proses awal terjadinya aterosklerosis. Dari hasil-hasil penelitian tersebut diatas, mengarahkan bahwa resistin dapat menjadi petanda aterosklerosis independen pada manusia (Kusminski dkk., 2005).
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1 Kerangka Berpikir Sindroma koroner akut merupakan salah satu penyakit jantung yang disebabkan oleh proses aterosklerosis dan selalu dikaitkan dengan vulnerable atheromatous plaques / plak ateromatus tak stabil, yang cenderung terjadi fisura / erosi pada endotel vaskular. Terdapat berbagai faktor risiko konvensional yang telah terbukti seperti; dislipidemia, DM, hipertensi, merokok, obesitas (faktor risiko konvensional yang dapat dikoreksi), usia lanjut (faktor risiko konvensional yang tidak dapat dikoreksi). Pada dekade terakhir kemajuan di dalam pengelolaan faktor risiko konvensional tersebut berkembang demikian majunya, namun angka kematian penyakit kardiovaskular tetap tinggi. Inflamasi berperan penting dalam perkembangan dan progresifitas penyakit jantung koroner dan manifestasi lain dari aterosklerosis. Kenyataan yang mendukung, dari hasil pemeriksaan histopatologis pada lesi aterosklerotik didapatkan serbukan sel-sel inflamasi terutama makrofag dan limfosit T dengan berbagai sekresinya (sitokin proinflamasi maupun antiinflamasi). Untuk mendeteksi adanya inflamasi pemeriksaan yang sering digunakan adalah laju endap protein (LED) dan C- reactive protein (CRP). Resistin
merupakan suatu adipokin baru yang kadarnya meningkat pada inflamasi dan kelainan metabolik, dan diduga resistin sebagai faktor resiko independen untuk penyakit kardiovaskular. Resistin merupakan salah satu sitokin yang pro inflamasi dan resistin berperan dalam proses aterosklerosis dengan cara meningkatkan aktivitas sel endotel dengan memicu pelepasan ET-1, menginduksi aktivitas promotor ET-1, menginduksi VCAM-1, ICAM-1, PTX-3, serta mengaktifkan MCP-1 yang semuanya merupakan proses kunci disfungsi endotel dan merupakan proses awal dari aterosklerosis. Secara signifikan resistin meningkatkan ekspresi mRNA vascular endhotelial growth factor receptor (VEGFR -1 dan 2 ; MMP 1 dan 2) serta meningkatkan migrasi sel otot polos vaskular yang merupakan komponen sintesis plaque ateromatosa. Resistin berperan dalam mengaktifkan NF-kB sehingga akan meningkatkan regulasi IL-6 dan TNF-α serta proliferasi dari vascular smooth muscle cell (VSMC) yang berkontribusi menyebabkan aterosklerosis.
Resistin
juga
berperan
memacu
stadium
inisiasi
atau
mempertahankan proses aterosklerosis dengan mengaktivasi sel-sel endotelial pembuluh darah. Aterosklerosis adalah penyebab dari SKA dan apabila proses inflamasi terus berlangsung akan berdampak KKV.
3.2
Kerangka Konsep Berdasarkan uraian di atas dapat dibuat kerangka konsep penelitian
sebagai berikut : Resistin
SKA
Kejadian KV
-
-
APTS NSTEMI STEMI
Kematian vaskuler IMA Stroke Reccurent cardiac ischemia
Faktor risiko konvensional -
DM Dislipidemia Hipertensi Merokok Obesitas Umur
Gambar 3.1 Kerangka konsep penelitian Keterangan : faktor risiko yang diteliti faktor risiko yang mapan
3.3
Hipotesis Penelitian Kadar resistin yang tinggi
merupakan faktor risiko kejadian
kardiovaskular pada penderita sindroma koroner akut.
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1
Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan studi kohort untuk membuktikan / re-evaluasi
aktivitas anti inflamasi yaitu kadar resistin yang lebih tinggi atau sama dengan median merupakan risiko Kejadian KV yang lebih tinggi pada penderita SKA. Penderita SKA dikelompokkan menjadi 2 kelompok yaitu : kelompok penderita SKA dengan faktor risiko yang positif (kadar resistin yang lebih tinggi atau sama dengan median) dan kelompok penderita SKA tanpa faktor risiko (kadar resistin yang rendah). Skema rancangan penelitian sebagai berikut :
6 bl
Penderita SKA
Faktor risiko (+) - Kadar Resistin tinggi ( ≥ median)
Faktor risiko (-)
Kejadian Kardiovaskular (-)
6 bl
- Kadar Resistin rendah ( < median)
- Rasio4.1 kadar IL-6 /IL-10 penelitian Gambar Rancangan plasma yg rendah -
Kejadian Kardiovaskular (+)
Kejadian Kardiovaskular (+) Kejadian Kardiovaskular (-)
4.2 Populasi dan Sampel 4.2.1 Populasi Penelitian 4.2.1.1
Populasi Target Semua penderita SKA.
4.2.1.2
Populasi Terjangkau Semua penderita SKA yang di rawat di Unit Gawat Darurat dan Unit Perawatan Intensif Jantung RSUP Sanglah Denpasar.
4.2.1.3
Sampel Sampel yang dipilih dari populasi terjangkau, setelah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi (intended sample) dan subyek yang benar-benar diteliti (actual study subjects) adalah sampel yang benar-benar bersedia ikut serta dalam penelitian.
4.2.2
Penentuan Sampel Sampel ditentukan secara consecutive yaitu : dengan memakai semua penderita SKA yang memenuhi kriteria sebagai sampel hingga mencapai jumlah yang direncanakan.
4.2.2.1 Kriteria Inklusi Semua penderita SKA berusia 25-80 tahun yang dirawat di Unit Gawat Darurat dan Unit Perawatan Intensif Jantung RSUP Sanglah Denpasar.
Penderita bersedia ikut dalam penelitian dengan menandatangani informed consent. 4.2.2.2
Kriteria Eksklusi Penderita dengan : a. Penyakit katup jantung. b.Gagal jantung kongestif. c. Penyakit hati akut maupun kronik. d.Penyakit ginjal kronik (klirens kreatinin dengan formula Cockroft Gault < 60 ml/1,73 m2/menit). e. Infeksi akut atau kronis. f. Sepsis. g.Keganasan. h.Mendapat obat kortikosteroid atau obat anti inflamasi non steroid atau obat imunosupresif lebih dari 1 minggu.
4.2.2.3 Jumlah Sampel Perkiraan jumlah sampel dihitung berdasarkan rumus berikut : (Sastroasmoro, 2008)
Risiko relatif minimal diperkirakan = 1,5 (dianggap bermakna) P2 (Proporsi Resistin pada populasi tanpa faktor risiko pada kepustakaan) : 0,60 P1 = P2 x RR = 0,9;
P = ½ (P1+P2) = 0,75
Q1 = 1 – P1 = 0,1;
Q2 = 1 – P2 = 0,4;
Q = ½(Q1+Q2) = 0,25
n1 = n2 = 32 ; = 32 + 5 % = 33; jumlah sampel (n) = n1 + n2 = 68
4.3
Variabel Penelitian Variabel penelitian adalah merupakan karakteristik sampel penelitian yang
diukur baik secara numerik atau kategorikal (Sastroasmoro dan Ismail, 2008). Variabel tersebut ditentukan sesuai rancangan penelitian yang
direncanakan.
Variabel tersebut sebagai berikut : 4.3.1
Variabel bebas adalah : kadar resistin.
4.3.2
Variabel tergantung adalah : kejadian kardiovaskular (KKV)
4.3.3
Variabel kendali adalah : umur, dislipidemia, hipertensi, merokok, DM, obesitas.
4.3.4
Hubungan antara variabel :
Variabel bebas Variabel Tergantung
Kadar Resistin
Kejadian KV (komposit) -
Kematian vaskular
Variabel Kendali
-
IMA
Faktor risiko tradisional
-
Stroke
-
Reccurent cardiac ischemia
-
DM
- Merokok
-
Dislipidemia
- Umur
-
Hipertensi
- Obesitas
Gambar 4.2 Hubungan antar variabel
4.4 Definisi operasional variabel penelitian 1. Sindrom Koroner Akut (SKA), manifestasi klinis dapat berupa ; APTS, Infark Miokard (NSTEMI dan STEMI.). Diagnosis ditegakkan berdasarkan
kriteria American Heart Association (AHA), American College of Cardiology (ACC), 2007 : a. Angina Pektoris Tak Stabil (APTS); Specific chest pain dengan / tanpa perubahan segmen ST (depresi segmen ST) pada EKG, dengan kadar enzim jantung (Troponin T dan CK-MB mass) masih dalam batas normal pada saat masuk rumah sakit. b. Non ST Elevasi Miokard Infark (NSTEMI); specific chest pain > 20 menit, tanpa peningkatan segmen ST pada EKG, dengan peningkatan > 2 kali normal kadar enzim jantung (Troponin T dan CK-MB mass) pada saat masuk rumah sakit. c. ST elevasi Miokard Infark (STEMI); Specific chest pain > 20 menit, dengan peningkatan segmen ST dan peningkatan > 2 kali normal kadar enzim jantung (Troponin T dan CK-MB mass) pada saat masuk rumah sakit. Diagosis SKA didapatkan dari data rekaman medis penderita SKA yang termasuk kedalam populasi terjangkau. 2. Efek
utama
yang
dievaluasi
adalah
Kejadian
KV
(Kejadian
Kardiovaskular) seperti salah satu atau kombinasi dari kondisi berikut / komposit (PLATO study, 2006) : a. Kematian karena penyebab vaskular / vascular death adalah kematian kardiovaskular, kematian serebrovaskular, dan setiap kematian yang tidak jelas penyebab non-vaskularnya (The primary composite endpoint) selama observasi.
b. Infark miokard akut (ACC/AHA, 2007) -
Nyeri dada spesifik lebih dari 20 menit
-
Gambaran EKG : •
NSTEMI :
depresi segmen ST, inversi gelombang T , tidak
ada gelombang Q. •
STEMI : elevasi
segmen ST,
inversi
gelombang T,
ada
gelombang Q. -
Petanda biokimia : kenaikan nilai enzim troponin T dan CKMB mass menunjukkan adanya nekrosis jantung (infark miokard).
c. Stroke adalah terjadinya defisit neurologis yang disebabkan oleh iskemik susunan saraf pusat dengan gejala sisa / residual
symptoms minimal 24 jam
setelah serangan atau meninggal. d. Recurrent cardiac ischemia adalah specific chest pain yang timbul >10 menit pada saat istirahat. Data KKV tesebut diatas didapatkan peneliti dengan observasi selama enam bulan pada penderita SKA atau keluarganya melalui kunjungan rumah atau lewat telepon dan melalui rekaman medis penderita SKA yang termasuk dalam populasi terjangkau yang mengalami KKV. 3. Resistin: kadar resistin dalam plasma yang diperiksa setelah masuk rumah sakit dan diukur dengan teknik ELISA yang dikerjakan di Laboratorium klinik Bagian Patologi Klinik RSUP Sanglah, Denpasar. Karena nilai cut off point
resistin belum ada, maka digunakan nilai median. Kadar < nilai median diasumsikan kadar resistin rendah, kadar ≥ median diasumsikan kadar resistin tinggi. 4. Troponin T: kadar troponin T dalam plasma yang diperiksa pada waktu pasien masuk rumah sakit dan diukur dengan teknik immunochromotography dari sampel darah. Nilai normal troponin T < 0,1 ng/dl. Pada penelitian ini, peneliti memperoleh data nilai troponin dari rekam medis pasien SKA yang termasuk dalam populasi terjangkau. 5. Dislipidemia ; kelainan metabolisme lipid yang ditandai dengan peningkatan maupun penurunan lipid dalam plasma. Kelainan fraksi lipid antara lain : kenaikan kadar kolesterol LDL, kolesterol total, trigliserida dan penurunan kadar kolesterol HDL sesuai kriteria ATP III (NECP, 2002) : a. Hiperkolesterol LDL, bila kadar kolesterol LDL > 100 mg/dl dan / atau b. Hiperkolesterolemia, bila kadar kolesterol total > 200 mg/dl dan / atau c. Hipokolesterolemia, bila kadar kolesterol HDL <40 mg/dl dan / atau d. Hipertrigliseridemia, bila kadar trigliserida >150 mg/dl. Pada penelitian ini, pasien didiagnosis hiperlipidemia bila memenuhi salah satu dari kriteria di atas dan peneliti memperoleh data nilai profil lipid dari rekam medis pasien SKA yang termasuk dalam populasi terjangkau. 6. Hipertensi (HT) adalah penderita dengan tekanan darah, berdasarkan klasifikasi JNC VII (Seventh Joint National Committee Clasification) atau penderita dengan riwayat HT dan sedang mengkonsumsi obat antihipertensi yang diperiksa pada saat masuk rumah sakit (Chobanian dkk., 2003).
Tabel 4.1 Klasifikasi tekanan darah berdasarkan JNC VII Kategori
Tekanan sistolik Tekanan (mmHg)
(mmHg)
Normal
< 120
< 80
Pre hipertensi
120-139
80-89
Stage 1
140-159
90-99
Stage 2
160
100
diastolik
Hipertensi
Pada penelitian ini, data nilai tekanan darah didapatkan dari data rekaman medis pada penderita SKA yang termasuk dalam populasi terjangkau. 7. Diabetes Mellitus (DM) : didiagnosis berdasarkan kriteria ADA 2010 : bila kadar gula darah puasa > 126 mg/dl (puasa: tidak ada asupan kalori minimal 8 jam), atau gula darah sewaktu > 200 mg/dl atau gula darah 2 jam sesudah beban glukosa 75 gram pada tes toleransi glukosa oral (TTGO) > 200 mg/dl, sedang menjalani pengobatan DM (ADA, 2010). Pada penelitian ini, peneliti memperoleh data nilai gula darah dari rekam medis pasien SKA yang termasuk dalam populasi terjangkau. 8. Merokok :
ditentukan berdasarkan anamnesis dari penderita SKA yang
termasuk dalam populasi terjangkau. Status perokok ditentukan bila merokok paling sedikit satu batang perhari selama lebih dari 1 bulan terakhir atau berhenti merokok kurang dari 3 bulan. Kriteria merokok sebagi berikut (Wita, 1992) : a. Perokok ringan : merokok 1-9 batang per hari.
b. Perokok sedang : merokok 10-19 batang per hari. c. Perokok berat : merokok 20 batang per hari atau lebih. d. Bekas perokok : berhenti merokok lebih dari 3 bulan. 9. Obesitas : adalah indeks massa tubuh (IMT) > 25 kg/m2 (Chan dan Woo, 2010).
Keterangan :
BB (Kg)
IMT = Indeks Massa Tubuh
IMT = TB2 (m)
BB
= berat badan
TB
= tinggi badan
Tabel 4.2 Klasifikasi dari overweight dan obeisitas pada dewasa berdasarkan IMT Klasifikasi
IMT
Risiko dari komorbiditas
Underweight
<18.5
Low
Normal
18.5−24.9
Average
Overweight
25.0−29.9
Increased
Obese class I
30.0−34.9
Moderate
Obese class II
35.0−39.9
Severe
Obese class III
>40
Very severe
Data IMT didapatkan peneliti dari pengukuran berat badan dan tinggi badan penderita SKA yang termasuk dalam populasi terjangkau. 14. Umur : umur ditentukan berdasarkan tanggal lahir berdasarkan KTP sampai dengan saat masuk RS dengan satuan tahun (dibulatkan pada tahun terdekat), data tersebut didapatkan dari rekam medis penderita SKA yang termasuk ke dalam populasi terjangkau.
15. Penyakit katup jantung : adanya gejala dan tanda yang didapatkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang (foto thorax, EKG, Echocardiography). Data tersebut didapatkan dari rekaman medis penderita SKA yang termasuk kedalam populasi terjangkau. 16. Gagal jantung kongestif : adanya gejala dan tanda yang didapatkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang (foto thorax, EKG, Echocardiography). Data tersebut didapatkan dari rekaman medis penderita SKA yang termasuk kedalam populasi terjangkau. 17. Penyakit hati akut maupun kronik : adanya gejala dan tanda yang didapatkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang (mengukur SGPT, SGOT yaitu ada kelainan bila harga lebih besar 2 kali harga normal). Data tersebut didapatkan dari rekaman medis penderita SKA yang termasuk kedalam populasi terjangkau. 18. Penyakit ginjal kronik : ditentukan dengan menggunakan tes klirens kreatinin dengan rumus Crokroft-Gault (K/DOQI, 2002):
Clearance creatinine (ml/mnt) =
(140-umur) x berat badan (Kg) 72 x serum kreatinin (mg / dl) (x 0,85 untuk wanita)
Normal clearance creatinine ≥ 90 ml/menit. Data tersebut didapatkan dari rekaman medis penderita SKA yang termasuk kedalam populasi terjangkau.
19. Infeksi akut atau kronik : •
Penderita dengan infeksi akut : adanya gejala dan tanda infeksi akut yang dapat diketahui dari klinis dan pemeriksaan fisik, serta adanya sel darah putih yang meningkat.
•
Penderita dengan infeksi kronik; adanya gejala dan tanda infeksi yang berlangsung pelan dalam jangka waktu yang lama yang ditentukan dari pemeriksaan fisik dan penunjang dan lainnya sesuai dengan organ yang terinfeksi.
Data tersebut didapatkan dari rekaman medis penderita SKA yang termasuk kedalam populasi terjangkau. 20. Sepsis : penderita yang memenuhi kriteria SIRS (Systemic Imflammatory Response Syndrome) dengan sumber infeksi yang jelas. Kriteria terpenuhi bila didapatkan 2 atau lebih kriteria tersebut (Balk dan Casey, 2000) : a. Demam (temperatur > 38o C) atau hipotermi (temperatur < 36o C). b. Takipnea (frekuensi nafas > 24 kali / menit). c. Takikardia (denyut jantung > 90 x / menit). d. Leukositosis (hitung sel darah putih > 12.000 / uL). e. Leukopenia (hitung sel darah putih < 4.000 / uL). Data tersebut didapatkan dari rekaman medis penderita SKA yang termasuk kedalam populasi terjangkau. 21. Keganasan : penderita yang diketahui menderita keganasan yang dapat diketahui dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang.
Data tersebut didapatkan dari rekaman medis penderita SKA yang termasuk kedalam populasi terjangkau. 22. Kortikosteroid
:
pernah
atau
sedang
menggunakan
obat-obatan
kortikosteroid selama 2 minggu / lebih, yang diketahui dengan anamnesis. Data tersebut didapatkan dari rekaman medis penderita SKA yang termasuk kedalam populasi terjangkau.
4.5 Instrumen Penelitian dan Metode Pemeriksaan 4.5.1 Instrumen penelitian Instrumen untuk alat-alat tulis yaitu meja tulis, formulir penelitian, komputer, kertas dan alat tulis serta perlengkapan lainnya. 4.5.2 Metode pemeriksaan a. Data penderita dikumpulkan dari catatan medik, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorik dan wawancara menggunakan kuesioner yang telah disiapkan. b. Penderita yang didiagnosis oleh dokter spesialis jantung dan pembuluh darah menderita penyakit jantung koroner akut (UAP,NSTEMI dan STEMI) dilakukan
wawancara,
pengisian
kuisioner,
pemeriksaan
fisik
dan
pengambilan darah. c. Darah diambil dari vena mediana cubiti sebanyak 4 cc dan dimasukkan ke dalam tabung dengan antikoagulan heparin, kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm selama 15 menit, plasma yang diperoleh dipisahkan kemudian disimpan dalam suhu beku (-200C).
d.
Sampel darah yang didapat diperiksa kadar resistin dengan tehnik ELISA dengan satuan ukuran ng/ml.
4.6 Prosedur Penelitian 1. Setiap penderita SKA usia 25-80 tahun, yang masuk rumah sakit umum pusat Sanglah Denpasar, baik yang dirawat di Unit Gawat Darurat dan Unit Pelayanan Intensif Jantung (UPIJ) Bagian/SMF Kardiologi FK UnudRSUP Sanglah Denpasar diberikan penjelasan bahwa di tempat ini sedang dilakukan penelitian tentang Kejadian KV pada penderita SKA. 2. Penjelasan diberikan secara rinci tentang latar belakang, tujuan penelitian, keuntungan maupun kerugian bagi subyek penelitian yang bersedia mengikuti penelitian. Demikian juga mengenai perlindungan pasien yang bersedia ikut, prosedur dan lama penelitian serta tidak dikenakan biaya. Subyek yang bersedia ikut dalam penelitian ini diminta untuk menandatangani informed consent. Penderita diberikan penanganan medis sesuai dengan tatalaksana medis baku SKA (ACC/AHA, 2007), kemudian diambil darah untuk pemeriksaan rutin kadar ureum, kreatinin, lipid profil, gula darah puasa, 2 jam PP, Gula darah acak,troponin T sesuai dengan prosedur tetap penanganan SKA di bagian/SMF kardiologi dan kedokteran vaskular RSUP Sanglah dan pengambilan darah untuk pemeriksaan resistin.
3. Selanjutnya dihitung median dari variabel bebas (resisitin) sehingga didapatkan 2 kelompok yaitu : kadar rendah apabila lebih kecil dari median, kadar tinggi apabila lebih besar atau sama dengan nilai median. Kelompok I : kadar resistin plasma yang tinggi atau sama dengan median (≥ median) dan kelompok II : kadar resistin yang rendah (< median). Pengamatan penderita selama dalam perawatan di UPIJ / di rumah sakit dengan kunjungan langsung, berkoordinasi dengan dokter yang merawat / tim medis lainnya. Pengamatan setelah KRS / di rumah sampai 6 bulan. melalui telepon / kunjungan rumah jika diperlukan, berkoordinasi dengan keluarga, dokter keluarga, dokter yang merawat sebelumnya terkait kondisi penderita pada saat itu. 4. Dalam pengamatan hingga 6 bulan akan didapatkan penderita SKA yang mengalami KKV dan penderita SKA yang tidak mengalami KKV, kemudian dilakukan analisis. 5. Sebelum penelitian ini dijalankan terlebih dahulu harus mendapatkan persetujuan dari Komisi Etika Unit Penelitian dan Pengembangan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana – Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar dan mendapatkan Surat Keterangan Kelaikan Etika.
6. Alur penelitian sesuai skema berikut : Populasi terjangkau
Kriteria inklusi dan eksklusi
Sampel (Consecutive) Informed concent
Dihitung median dari variabel bebas
SKA dengan faktor risiko (+) : - Kadar Resistin tinggi (≥ median)
SKA dengan faktor risiko (-): - Kadar Resistin rendah (< median)
Pengamatan 6 bulan
Kejadian Kardiovaskular (+)
Kejadian Kardiovaskular (-)
Pengamatan 6 bulan Kejadian Kardiovaskular (+)
Kejadian Kardiovaskular (-)
Analisis Statistik
Kesimpulan
4.7 Tempat dan waktu penelitian Penelitian dilakukan di UGD dan UPIJ Bag/SMF Kardiologi FK UnudRSUP Sanglah Denpasar. Pemeriksaan spesimen
resistin dilakukan di
laboratorium Patologi Klinik RSUP Sanglah Denpasar. Dengan menggunakan protokol penelitian, penelitian diperkirakan memerlukan waktu sekitar 12 bulan untuk mencapai jumlah sampel, pemeriksaan, analisis dan penulisan.
4.8 Analisa Statistik 1. Statistik deskriptif, menggambarkan karakteritik umum, dan distribusi frekuensi berbagai variabel antar kelompok. 2. Uji normalitas Kolmogorov-Smirnov, digunakan untuk menguji apakah data penelitian berdistribusi normal / tidak. 3. Uji homogenitas varians dari Levene’s untuk menganalisis varians variabel antar kelompok tersebut homogen / tidak. 4. Uji non parametrik untuk menentukan nilai median dan interquartil 5. Analisis bivariat : Tabel 2x2 (diuji dengan Chi Square untuk menilai hubungan variabel bebas dengan KKV) dan kurva survival Kapplan-Meier dgn log rank test digunakan untuk menggambarkan kelompok dengan faktor prognostik (kadar resistin plasma) di atas dan di bawah nilai median terhadap Kejadian KV dan waktu pemantauan. 6. Analisis Multivariat : Cox proportional model digunakan untuk menilai Relative Risk (RR) kadar resistin yang tinggi terhadap tingginya KKV, dengan mengendalikan faktor perancu seperti dislipidemia, hipertensi, DM, obesitas, merokok dan umur. Taksiran RR yang disajikan dalam bentuk interval keyakinan 95 % dengan metode stepwise. 7. Analisis statistik menggunakan nilai p<0,05 sebagai batas kemaknaan dengan memakai perangkat lunak statistik SPSS.
4.9 Uji Hipotesis Uji hipotesis statistik : prosedur statistik untuk menguji hipotesis sebagai berikut : hipotesis nol statistik (Ho) yaitu hipotesis yang menunjukkan tidak ada perbedaan risiko relatif tingginya kadar resistin dengan tingginya Kejadian KV serta tidak ada hubungan antara kadar resistin plasma
dalam populasi yang
diwakili sampel. Hipotesis alternatif disimpulkan bila Ho ditolak setelah dilakukan uji hipotesis statistik. Hipotesis; menggunakan Cox proportional model Ho
:
RR = 1
H1
:
RR > 1
4.10 Keterbatasan Penelitian 1. Penelitian ini dilakukan di UGD dan UPIJ Bag./ SMF Kardiologi FK Unud-RSUP Sanglah Denpasar, dengan merekrut penderita secara consecutive (non-probability sampling) bukan secara random, dengan demikian keterwakilan populasi oleh sampel tidak sebaik bila dilakukan probability sampling. 2. Penderita masuk Rumah Sakit waktunya tidak sama.
BAB V HASIL PENELITIAN
Subjek dalam penelitian ini adalah pasien-pasien SKA yaitu APTS, NSTEMI dan STEMI yang memenuhi kriteria inklusi. Sebanyak enam puluh delapan orang sampel
yang diikutkan dan diamati sampai terjadi KKV atau
selama periode enam bulan (180 hari). Variabel yang dianalisis dalam penelitian ini adalah rasio kadar resistin sebagai variabel bebas yang merupakan faktor risiko KKV. Setelah diamati selama enam bulan didapatkan 14 ( 20,6%) pasien yang mengalami KKV, semua datanya lengkap dan dapat dianalisis.
5.1
Karakteristik Data Statistik deskriptif
yang
menggambarkan persentase kejadian
berdasarkan karakteristik subjek disajikan pada tabel berikut ini (tabel 5.1). Tabel 5.1 Kejadian Kardiovaskular berdasarkan Karakteristik Subjek Karakteristik Laki-laki Perempuan Dislipidemia Tidak dislipidemia Obesitas Tidak obesitas Merokok Tidak merokok Hipertensi Tidak hipertensi DM Tidak DM
KKV % 21,8% 15,4% 16,7% 50% 24,3% 16,1% 17,6% 23,6% 28,9% 10% 36,4% 17,5%
Tanpa KKV % 78,2% 84,6% 83,3% 50% 75,7% 83,9% 82,4% 76,4% 71,1% 90% 63,6% 82,5%
Untuk DM, hipertensi dan obesitas persentase KKV lebih tinggi pada kelompok dengan faktor risiko dibandingkan yang tanpa faktor risiko, sebaliknya untuk dislipidemia dan merokok persentase KKV lebih tinggi pada kelompok tanpa faktor risiko dibandingkan dengan risiko (tabel 5.1). Tabel 5.2 Karakteristik Demografik, Faktor Risiko Konvensional, dan Penanda Inflamasi Karakteristik Umur (tahun) Jenis kelamin Laki Perempuan Kolesterol Total ( mg/dL) Kolesterol HDL (mg/dL) Kolesterol LDL (mg/dL) Trigliserida (mg/dL) Dislipidemia Ya Tidak Obesitas Obesitas Tidak Obesitas Sistole (mmHg) Diastole (mmHg) BSN (mg/dL) BS 2jpp (mg/dL) Merokok Merokok Tidak merokok Resistin Hipertensi Ya Tidak Diabetes Ya Tidak
Total
KKv
Tanpa KKv
(Mean ± SD)
(Mean ± SD)
(Mean ± SD)
56,96 ± 10,82
58,79 ± 11,71
56,48 ± 10,64
55 (80,9%) 13 (19,1%) 196,61 ± 49,46 39,50 ± 10,03 130,41 ± 46,08 142,45 ± 83,79
12 (85,7%) 2 (14,3%) 192,89 ± 59,56 39,18 ± 9,25 127,92 ± 61,59 155,64 ± 65,39
43 (79,6%) 11 (20,4) 197,58 ± 47,03 39,58 ± 10,31 131.05 ± 41,74 139,03 ± 88,142
60 (88,2%) 8 (11,8%)
10 (71.4%) 4 (28,6%)
50 (92,6%) 4 (7,4%)
37 (54,4%) 31 (45,6%) 117,68 ± 25,66 74,81 ± 14,72 102,95 ± 26,97 123,22 ± 40,07
9 (64,3%) 5 (35,7%) 113,57 ± 29,84 74,28 ± 13,95 115,88 ± 30,34 140,26 ± 56,91
28 (51,9%) 26 (48,1%) 118,74 ± 24,67 76,86 ± 17,80 99,60 ± 25,26 118,80 ± 37,73
34 (50%) 34 (50%) 2,59 ± 1,48
6 (42,9%) 8 (57,1%) 3,74 ± 1,91
28 (51,9%) 26 (48,1%) 2,29 ± 1,15
38 (55,9%) 30 (44,1%)
11 (78,6%) 3 (21,4%)
27 (50,0) 27 (50,0)
11 (16,2%) 57 (83,8%)
4 (28,6%) 10 (71,4%)
7 (13,0%) 47 (87,0%)
Statistik deskriptif yang menggambarkan ukuran nilai tengah dan karakteristik data demografik, faktor risiko konvensional dan penanda inflamasi
terdapat pada tabel 5.2. Rerata umur subjek adalah 56,96 (± 10,82) tahun, rerata kadar resistin 2,59 (±1,48) ng/ml.
5.2
Gambaran Klinis Penderita SKA dan KKV Terdapat total enam puluh delapan penderita SKA (APTS, NSTEMI dan
STEMI) yang diikutkan dalam penelitian ini dan diamati selama periode enam bulan (table 5.3). Tabel 5.3 Gambaran Klinis SKA Gambaran klinis SKA APTS NSTEMI STEMI
Total 12 (17,6%) 11 (16,2%) 45 (66,2%)
Dari total enam puluh delapan penderita SKA, didapatkan 14 (20,6%) orang mengalami KKV dan 54 (79,4%) orang tanpa KKV (tabel 5.4). Tabel 5.4 Gambaran Klinis SKA dengan KKV dan tanpa KKV Gambaran klinis SKA APTS NSTEMI STEMI TOTAL
KKV (%) 1 (1,5 %) 0 (0%) 13 (19,1%) 14 (20,6%)
Tidak KKV (%) 11 (16,2) 11 (16,2%) 32 (47,0%) 54 (79,4%)
Dari 14 orang yang mengalami KKV, 1 pasien menderita APTS dan 13 pasien menderita STEMI. Terdapat tiga jenis KKV pada penelitian ini, yang terbanyak adalah kematian vaskular (tabel 5.5)
Tabel 5.5 Gambaran Klinis SKA dan persentase KKV Gambaran klinis SKA APTS NSTEMI STEMI
5.3.
Keterangan KKV 1 0 13
Reccurent Cardiac Ischemia : 1 (7,1%) Tidak ada KKV : 0 (0%) 1. IMA : 3 orang (21,4%) 2. Kematian Vaskular : 10 orang (71,4%)
Uji Normalitas dan Homogenitas Data Normalitas data umur, kadar kolesterol total, kolesterol HDL, kolesterol
LDL, trigliserida, tekanan darah sistole, diastole, BSN, BS 2jpp dan resistin diuji dengan uji Kolmogorov-Smirnov. Hasil uji normalitas menunjukan semua data berdistribusi normal dengan nilai p > 0,05 pada kedua kelompok KKV dan tanpa KKV. Homogenitas varians data penelitian antara kelompok KKV dan tanpa KKV diuji dengan uji Levene’s. Hasil analisis homogenitas varian kelompok KKV dan tanpa KKV menunjukkan bahwa kedua kelompok memiliki varian yang sama pada semua variabel penelitian (p > 0,05), kecuali variabel resistin.
5.4
Penentuan Titik Potong (Cut off Point) Resistin Hasil uji normalitas menunjukkan bahwa variabel berdistribusi normal,
sehingga dilanjutkan dengan uji parametrik untuk menentukan nilai median. Nilai median ini yang akan digunakan sebagai titik potong (cut off point) yaitu batas antara kadar rendah dengan kadar tinggi.
Nilai median sebagai titik potong artinya kadar resistin rendah adalah kadar resistin < 2,33 ng/ml dan kadar resistin tinggi adalah kadar resistin ≥ 2,33 ng/ml.
5.5
Analisis Perbedaan Rerata Waktu Terjadinya KKV Antara Kadar Resistin Tinggi Dan Rendah Analisis perbedaan rerata waktu terjadinya KKV antara kelompok subjek
dengan kadar resistin tinggi dan rendah yang dianalisis dengan metode KaplanMeier mendapatkan hasil rerata waktu terjadinya KKV pada kelompok subjek dengan nilai kadar resistin tinggi lebih rendah kumulatif survivalnya dibandingkan kelompok subjek dengan kadar resistin rendah. Rerata waktu terjadinya KKV pada kelompok subjek dengan kadar resistin tinggi adalah 130, 41 hari, sedangkan pada kelompok subjek dengan kadar resistin rendah adalah 168, 85 hari. Perbedaan tersebut secara statistik sangat bermakna dengan nilai p = 0,01 (tabel 5.6). Tabel 5.6 Hasil Analisis Kaplan-Meier Perbedaan Rerata Waktu Terjadinya KKV Antara Kelompok Subjek Dengan Kadar Resistin Tinggi Dan Rendah Kadar resistin Tinggi Rendah Keseluruhan
Rerata Waktu Terjadinya KKv 130,412 168,853 149,632
SE Waktu Terjadinya KKv 12,98 6,68 7,66
Log Rank Chi-square
Nilai p
5,982
0,01
Gambar 5.1 Kurva Insiden Kumulatif KKV Menurut Waktu Antara Kelompok Subjek Dengan Kadar Resistin Tinggi Dan Rendah Kejadian KKV secara kumulatif menurut waktu pengamatan antara kelompok subjek dengan kadar resistin tinggi dan rendah menunjukkan bahwa kejadian kumulatif pada kelompok subjek dengan kadar resistin tinggi selalu lebih rendah dari kelompok subjek dengan kadar resistin rendah, dan KKV pada kelompok subjek dengan dengan kadar resistin tinggi terjadi lebih awal dibandingkan dengan kelompok subjek dengan kadar resistin rendah (gambar 5.1).
5.6
Cox Proportional model Tabel 5.7 Hasil Analisis Cox Proportional model Pengaruh resistin terhadap Insiden KKV Nilai p
Variabel Resistin
0,01
Hazard Ratio 1,718
CI 95% HR Batas bawah Batas atas 1,275 2,315
Pengaruh kadar resistin terhadap rasio angka insiden KKV pada penderita SKA, dianalisis dengan cox proportional model. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa variabel bebas (resistin) berpengaruh terhadap variabel tergantung (kejadian KKV) dengan rasio angka insiden sebesar 1,72 (CI 95% ;1,28 s.d.2,32) dengan nilai p = 0,01 (tabel 5.7).
Faktor kendali seperti Hipertensi, DM, dislipidemia, merokok dan umur dikendalikan dan didapatkan kadar resistin yang berpengaruh terhadap insiden KKV dengan rasio angka insiden 1,67 (CI 95% ; 1,20 s.d. 2,32) dengan nilai p = 0,01 (tabel 5.8).
Tabel 5.8 Hasil Analisis Cox Proportional Model Pengaruh Resistin,Dislipidemia,DM Hipertensi, Obesitas, Merokok, Dan Umur Terhadap Insiden KKV Variabel
Resistin Obesitas Dislipidemia Merokok Hipertensi DM Umur
Nilai P
Hazard Ratio
CI 95% HR Batas Batas bawah atas
0,01 0,63 0,33 0,93 0,35 0,52 0,60
1,665 1,347 0,334 0,954 1,926 1,535 1,016
1,195 0,318 0,087 0,318 0,494 0,395 0,959
2,319 4,590 1,287 2,865 7,506 4,590 1,076
BAB VI PEMBAHASAN
Penelitian ini melibatkan penderita SKA dengan gambaran klinis APTS, NSTEMI dan STEMI, ketiga gambaran klinis itu mempunyai patomekanisme yang sama, yaitu proses inflamasi yang berlanjut sehingga terjadi disfungsi dari endotel kemudian terjadi proses aterosklerosis sehingga terjadi ketidakseimbangan antara pasokan dan kebutuhan oksigen dari miokard/otot jantung yang disebut iskemia, manifestasi klinis dari iskemia adalah nyeri dada (Braunwald, 1998). 6.1
Normalitas Data Data karakteristik variabel pada populasi penelitian ini meliputi resistin
sebagai variabel bebas dan dislipidemia, HT, DM, merokok, obesitas dan umur sebagai variabel kendali. Variabel tersebut telah diuji normalitasnya dengan ujinormalitas Kolmogorov-Sminov pada tingkat kemaknaan α = 0,05, hasil uji statistik didapatkan semua komponen variabel berdistribusi normal oleh karena nilai p > 0,05. 6.2
Karakteristik Data Variabel yang termasuk dalam faktor risiko konvensional dalam SKA
adalah dislipidemia, HT, DM, merokok, obesitas dan umur (tabel 5.2). Dislipidemia didapatkan pada 60 ( 88,2%) dari 68 penderita SKA yang diikutkan dalam penelitian ini. Pada analisis cox proportional model yang menguji pengaruh variabel kendali pada variabel bebas terhadap timbulnya KKV didapatkan bahwa dislipidemia memiliki pengaruh tidak bermakna, dengan nilai p = 0,33.
Hipertensi didapatkan pada 38 (55,9%) dari 68 penderita SKA yang diikutkan dalam penelitian ini. Pada analisis cox proportional model yang menguji pengaruh variabel kendali pada variabel bebas terhadap timbulnya KKV didapatkan hipertensi memiliki pengaruh tidak bermakna, dengan nilai p = 0,35. Diabetes Melitus didapatkan pada 11 (16,2%) dari 68 penderita SKA yang diikutkan dalam penelitian ini. Pada analisis cox proportional model yang menguji pengaruh variabel kendali pada variabel bebas terhadap timbulnya KKV didapatkan diabetes melitus mempunyai pengaruh tidak bermakna, dengan nilai p = 0,52. Obesitas didapatkan pada 37 (54,4%) dari 68 penderita SKA yang diikutkan dalam penelitian ini. Pada analisis cox proportional model yang menguji pengaruh variabel kendali pada variabel bebas terhadap timbulnya KKV didapatkan obesitas mempunyai pengaruh tidak bermakna, dengan nilai p = 0,63. Merokok didapatkan pada 34 (50%) dari 68 penderita SKA yang diikutkan dalam penelitian ini. Pada analisis cox proportional model yang menguji pengaruh variabel kendali pada variabel bebas terhadap timbulnya KKV didapatkan merokok mempunyai pengaruh tidak bermakna, dengan nilai p = 0,93. Umur subjek pada penelitian ini didapatkan antara 30 – 80 tahun dengan rerata
56,96 ± 10.82. Pada analisis cox proportional model yang menguji
pengaruh variabel kendali pada variabel bebas terhadap timbulnya KKV didapatkan umur mempunyai pengaruh tidak bermakna, dengan nilai p = 0,60.
Pada penelitian Lie dkk. (2013), tentang hubungan kadar resistin dengan KKV, faktor risiko konvensional obesitas, umur dan hiperlipidemia juga didapatkan tidak bermakna. Luminita dkk. (2014), melaporkan penelitian yang mereka lakukan tentang kadar plasma resistin sebagai prediktor KKV, didapatkan usia, HT, glukosa puasa dan total kolesterol tidak bermakna secara statistik. 6.3
Peran Resistin Dalam Inflamasi dan Sebagai Faktor Risiko KKV Faktor risiko konvensional seperti : dislipidemia, hipertensi, diabetes
melitus, merokok, obesitas dan umur pada aterosklerosis berperan sebagai inisiator terjadinya disfungsi endotel. Disfungsi endotel merupakan proses awal dari inflamasi yang mendasari proses aterosklerosis. Reilly dkk. (2005), melaporkan resistin berhubungan dengan peningkatan kalsifikasi arteri koroner (coronary artery calcification = CAC) suatu pengukuran kuantatif aterosklerosis koroner. Penelitian ini menunjukkan peran resistin dalam perkembangan aterosklerosis walaupun mekanismenya belum jelas. Pada pasien dengan sindrom metabolik disimpulkan resistin adalah sebagai mata rantai terjadinya inflamasi dan aterosklerosis juga dapat digunakan memprediksi CAC. Sindroma koroner akut adalah suatu sindroma yang disebabkan oleh adanya vasospasme koroner, ruptur plak ateromatus yang kemudian dapat menyebabkan obstruksi parsial maupun total serta dapat diikuti terbentuknya trombus sehingga terjadi infark miokard. Inflamasi dengan berbagai mediator yang dihasilkan mempunyai peranan yang sangat besar diberbagai tingkatan proses aterosklerosis. Sel inflamasi yang teraktivasi akan mensekresi sitokin
proinflamasi seperti IL-1, TNF-a, IL-6 dan resistin sehingga akan menyebabkan berbagai efek biologis seperti berkurangnya sintesis dan meningkatnya degradasi matriks metalloproteinase (MMP), aktivasi sel endotel, dan meningkatnya vasoreaktifitas sel otot polos vaskular. Perubahan yang terjadi tersebut yang akan menimbulkan vasospasme koroner, ruptur plak aterosklerotik dan trombosis koroner, yang merupakan patogenesis dari SKA (ozben dan Erdogan, 2008 modifikasi). Resistin merupakan salah satu sitokin proinflamasi yang berperan dalam cascade inflamasi, perannya ikut serta dalam mengaktivasi sel-sel endotel vaskular, mengekspresi molekul adhesi dan MCP serta turut menstimulasi proliperasi sel-sel otot polos dan akumulasi kolesterol dan trigliserida pada makropag. Progresivitas aterosklerosis, vasospasme koroner, ruptur plak dan trombogenesis akut yang terjadi tergantung pada kecepatan inflamasi dan aktifitas enzim degradasi (Verma dkk., 2003 ; Calabro dkk., 2004 ; Bokarewa dkk., 2005 ; Reilly dkk., 2005). Resistin juga berperan dalam menginduksi proliferasi sel otot polos aorta manusia melalui jalur extracellular signal-regulated kinase (EKK1/2) dan phosphatidylinositol-kinase yang menunjukkan bahwa resistin meningkatkan migrasi sel otot polos ke vaskular dan merupakan komponen sintesis plaque ateromatosa (Calabro dkk., 2004; Burnett dkk., 2005; Jung dkk., 2006). Kawanami dkk. (2004), melaporkan bahwa resistin dapat menginduksi VCAM-1, ICAM-1 dan log pentraxin 3 (PTX3), suatu petanda inflamasi di sel endotel pembuluh darah. PTX3 sebagai molekul adhesi juga dapat mewakili lesi inisial aterosklerosis dan ekspresi PTX3 meningkat pada lesi aterosklerosis.
Pada penelitian Leon dkk. (2013), didapatkan resistin mungkin sebagai faktor risiko untuk penyakit jantung iskemia pada populasi orang umum dan didapatkan korelasi kadar resistin yang meningkat dengan risiko kejadian Infark miokard pada wanita. Ammal dkk. (2011), menyimpulkan terjadi peningkatan secara signifikan kadar serum resisitin pada penyakit jantung koroner akut dan kemungkinan ada hubungan dengan inflamasi, dan didapatkan resistin berkorelasi positif dengan faktor inflamasi (IL-6 dan CRP). Luminita Vida-Simiti dkk. (2014), melaporkan bahwa resistin merupakan prediktor baru untuk kejadian iskemia pada pasien dengan klinis atreosklerosis. Pada penelitian ini, diperlihatkan pengaruh resistin sebagai salah satu faktor inflamasi terhadap progresivitas dari aterosklerosis pada penderita SKA sehingga terjadi KKV, dalam tabel 5.6 setelah kadar resistin diperoleh nilai mediannya ( 2,33 ng/ml ), resistin dibagi dalam kedua kelompok, kadar resistin tinggi dengan nilai median ≥ 2,33 ng/ml dan kadar resistin rendah dengan kadar < 2,33 ng/ml. kedua kelompok tersebut di analisis dengan Kaplan- Meier, ternyata didapatkan survival rate kedua kelompok didapatkan bermakna yaitu 130 hari vs 169 hari dengan p log rank 0,01. Pada kurva survival Kapplan-Meier pada gambar 5.1, juga menunjukkan bahwa cumulative survival lebih rendah pada kelompok dengan kadar resistin tinggi (kadar ≥ 2,33) dibandingkan dengan kadar resistin rendah ( kadar < 2,33)
Hal tersebut menggambarkan bahwa ketahanan hidup penderita dengan kadar resistin tinggi lebih rendah (130 hari) dibandingkan dengan kadar resistin rendah (169 hari). Ketahanan hidup penderita yang rendah ini disebabkan oleh masih terus berlangsungnya proses inflamasi yang progresif pada penderita SKA sehingga muncul KKV. Proses inflamasi yang progresif tersebut dapat diprediksi dengan kadar resistin yang tinggi (kadar ≥ 2,33 ng/ml). Setelah diamati selama 6 bulan, dari 34 penderita SKA dengan kadar resistin tinggi (kadar ≥ 2,33 ng/ml) didapatkan 11 penderita SKA yang mengalami KKV. Sedangkan dari 34 penderita SKA dengan kadar resistin rendah ( kadar < 2,33 ng/ml) didapatkan 3 orang yang mengalami KKV. Total penderita SKA yang mengalami KKV adalah sebanyak 14 (20,6 %) penderita, yaitu 1 (1,5 %) orang penderita APTS yang mengalami reccurent cardiac ischemia dan 13 ( 19,1 %) orang penderita STEMI yang mengalami KKV. Dari 13 orang penderita STEMI tersebut, didapatkan 10 orang mengalami kematian vaskular atau sekitar 71,4 % dari total jumlah KKV dan 3 orang yang mengalami IMA atau sekitar 21,4 % dari total jumlah KKV. Setelah dilakukan analisis bivariat dengan tabel 2x2 (uji Chi Square) pada populasi total (APTS, NSTEMI, STEMI) dan didapatkan bahwa kadar resistin tinggi ( kadar ≥ 2,33) pada total populasi terbukti bermakna secara statistik dengan nilai p = 0,00, RR 1,72 ; IK 95 % 1,28 – 2,32. Pada analisis multivariat (Cox Proportional Model) dengan mengendalikan faktor perancu, kadar resistin yang tinggi ( kadar ≥ 2,33) juga didapatkan hubungan yang bermakna secara statistik dengan nilai p = 0,01, RR 1,67 ; IK 95 % : 1,20 – 2,32.
Menurut penelitian Li Lei dkk. (2013), terdapat hubungan yang signifikan dan menjadi prediktor independent antara kadar serum resistin dengan KKV pada wanita menopause dengan sindroma koroner akut
yang dilakukan prosedur
percutaneus coronary intervention (PCI), dimana KKV lebih banyak terjadi pada kelompok dengan kadar resistin tinggi dibandingkan kelompok dengan kadar resistin rendah. Cornelia Weikert dkk. (2008) Melaporkan dari 817 sampel pada populasi sehat yang diteliti kadar resistinnya, didapatkan kadar resisitin yang lebih tinggi pada kelompok yang kemudian menderita infark miokard dibandingkan yang tidak menderita infark miokard. Penelitian ini menyimpulkan peningkatan kadar resistin akan meningkatkan risiko infark miokard pada populasi yang sehat. Pada penelitian ini jumlah yang menderita KKV pada penderita SKA dengan kelompok kadar resistin tinggi ( kadar ≥ 2,33 ng/ml) lebih banyak dibandingkan dengan kelompok kadar resistin rendah ( kadar < 2,33 ng/ml). Dan risiko mengalami KKV kelompok dengan kadar resistin tinggi 2 kali lipat lebih besar dibandingkan kadar resistin rendah. 6.4
Keterbatasan Penelitian Penanda inflamasi resistin sampai saat ini belum ada standar baku titik
potong. Pada penelitian ini oleh karena data berdistribusi normal maka nilai titik potong digunakan berdasarkan median.
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
7.1
Simpulan Penelitian Studi Kohort prospektif telah dilakukan untuk membuktikan peranan
inflamasi pada progresifitas SKA. Dan dibuktikan kadar resistin yang tinggi memberikan risiko KKV lebih tinggi pada penderita SKA. Berdasarkan hasil yang didapatkan pada penelitian ini, simpulan penelitian adalah sebagai berikut : ‘Kadar resistin yang tinggi merupakan faktor risiko kejadian kardiovaskular pada penderita sindroma koroner akut’. 7.2
Saran Pada penelitian ini yang diamati adalah KKV pada penderita SKA. Dapat
dipertimbangkan penelitian di tempat yang berbeda, sehingga dapat menilai karakteristik KKV apakah sama atau berbeda dan dengan banyaknya penelitian resistin dapat menjadi acuan nilai cut off point untuk penelitian selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA Al-Daghri, N., dkk. 2005. Serum resistin is associated with c-reactive protein & ldl cholesterol in type 2 diabetes and coronary artery disease in a Saudi population. Cardiovasc Diabetol ; 4:10. Ammal, E.A.,dkk. 2011. The impact of inflammation on Resistin, IL-6 and CRP in Acute Myocardial Infarction Patients. Fac Med Baghdad ; 53 : 216-220. Anonim. 2008. Deaths from coronary heart disease. (cited 08/01/2008) World Health Organization. Available from URL: http://www.who.int/cardiovascular_diseases/en/cvd_atlas_14_deathHD.pd f Anwar, T.B. 2004. Dislipidemia sebagai faktor resiko penyakit jantung koroner. E-USU Repository; Universitas Sumatera Utara,1-10. Avanzas, P., dkk. 2004. Markers of inflammation and multiple complex stenoses (pancoronary plaque vulnerability) in patients with non-ST segment elevation acute coronary syndromes. Heart ; 90:847-52. Baim, D.S., Grossman, W. 2005. Diagnostic cardiac catheterization and angiography. In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL.eds. Harrison's Principles Of Internal Medicine, Vol.2,16th ed. New York: McGraw- Hill. P.1327-33. Banerjee, R.R., Lazar, M.A., 2001. Dimerization of resistin and resistin-like molecules is determined by a single cysteine. J. Biol. Chem; 276: 25970– 3. Baraas, F. 2006. Respons imunologi. Dalam : Kardiologi Molekuler. Jakarta : Bagian Kardiologi FKUI/RS Jantung Harapan kita ; 194-264. Biovendor. Human resistin elisa. (cited 19/09/2007) Available from URL: http://www.biovendor.com Bokarewa, M., dkk. 2005. Resistin, an adipokine with potent proinflammatory properties. J Immunol ; 174: 5789-95. Boudi, F.B., dkk. 2008. Atherosclerosis. (cited 14/03/2008)Available from URL: http://www.eMedicine.com/atherosclerosis. Buffon, A., dkk. 2002. Widespread coronary inflammation in unstable angina. N Eng J Med, 347:5:12.
Burnett, M.S., dkk. 2005. The potential role of resistin in atherogenesis. Atherosclerosis; 182:241-8. Calabro, P., dkk. 2004. Resistin promotes smooth muscle cell proliferation through activation of extracellular signal-regulated kinase ½ and phosphatidylinositol 3-kinase pathways. Circulation ; 110: 3335-40. Chu, S., dkk. 2008. Plasma resistin associated with myocardium injury in patients with acute coronary syndrome. Circ J, 72, 1249-53. Diez, J.J.,dkk. 2005. Serum concentrations of leptin, adiponectin and resistin, and their relationship with cardiovascular disease in patients with end-stage renal disease. Clin Endocrinol ; 62: 242- 9. Cornelia Weikert, dkk. 2008. Plasma resistin levels and risk of myocardial infarction and ischemic stroke. J Clin Endocrinol Metab 93 : 2647-2653. Fantuzzi Giamila. 2005. Adipose tissue, adipokines, and inflammation. American Academy of Allergy, Asthma and Immunology. j allergy clin immunol ; volume 115, number 5 : 911-919. Guerre M.M. 2004. Adipose tissue and adipokines:for better or worse.Diabetes Metab;30:13-9. Hamm, C. W., dkk. 2011. ESC Guidelines for the management of acute coronary syndromes in patients presenting without persistent ST-segment elevation: The Task Force for the management of acute coronary syndromes (ACS) in patients presenting without persistent ST-segment elevation of the European Society of Cardiology (ESC). Eur Heart J, 32, 2999-3054. Hansson GK. 2005. Inflammation, atherosclerosis, and coronary artery disease. N Engl J Med ; 352 : 1685 – 95. Heilbronn, L. K., dkk. 2004. Relationship between serum resistin concentrations and insulin resistance in nonobese, obese, and obese diabetic subjects. J Clin Endocrinol Metab ; 89:1844–8. Hesham, H.I., dkk. 2012. Serum resistin in acute myocardial infarction patients with and without diabetes mellitus. The Egyptian Heart Journal ; 64 ; 2733. Jamaluddin M.S., dkk. 2012. Resistin: functional roles and therapeutic considerations for cardiovascular disease. British Journal of Pharmacology ; 165 : 622–632.
Jung HS, dkk. 2006. Resistin is secreted from macrophages in atheromas and promotes atherosclerosis. Cardiovascular Research ; 69: 76-85. Kawanami D., dkk. 2004. Direct reciprocal effects of resistin and adiponectin on vascular endothelial cells: a new insight into adipocytokine-endothelial cell interactions. Biochemical and Biophysical Research Communications ; 314: 415-9. Kumar, V., dkk. 2007. Buku ajar patologi. 7 nd ed , Vol. 1. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC : 189-1. Kunnari, A., dkk. 2006. High plasma resistin level is associated with enhanced highly sensitive C-reactive protein and leukocytes. J Clin Endocrinol Metab ; 91(7): 2755-60. Kusminski, C.M., dkk. 2005. Role of resistin in obesity, insulin resistance and type II diabetes.Clinical Science ;109:243-56. Lau, D.C.W., dkk. 2005. Adipokines: molecular links between obesity and atherosclerosis. Am J Physiol Heart Circ Physiol ; 288: 2031-41. Lee, J.H., dkk. 2003. Circulating resistin levels are not associated with obesity or insulin resistance in humans and are not regulated by fasting or leptin administration: cross- sectional and interventional studies in normal, insulin-resistant, and diabetic subjects. J Clin Endocrinol Metab ; 88:4848-56. Lehrke, M., dkk. 2004. An inflammatory cascade leading to hyperresistinemia in humans. Plos Med ; 1: e45. Leon, dkk. 2013. The Association of resistin with coronary disease in the general population. Journal of atherosclerosis and thrombosis vol. 20. Libby P. 2002. Inflammation in atherosclerosis. Nature ; 420:868-74. Li Lei, dkk., 2013. Association between serum resistin level and cardiovascular events in postmenopausal women with acute coronary syndrome undergoing percutaneous coronary intervention. Chinese Medical journal 2013 ; 3 ; 126(6). Lilly, L.S. 2011. Phatophysiology of heart disease : Acute coronary syndrome.p. 162-75.
Lisyani, B.S.2006. C-Reactive Protein, petanda inflamasi untuk menilai risiko penyakit kardiovaskuler. Dalam : Tjahjati MI, Banundari RH, Vincencia L, Lestarini IA eds. Seminar Petanda Penyakit Kardiovaskuler Sebagai Point of Care Test (POCT).Semarang:Balai Penerbit Universitas Diponegoro;16-30. Luminita Vida-Simiti, dkk., 2014. Plasma level of resistin predict cardiovascular event. Revista Romana de Medicina de Laborator Vol. 22. Nr. 1, Martie. Mattu, H.S., Randeva H.S. 2013. Role of adipokines in cardiovascular disease. Division of Metabolic and Vascular Health, University of Warwick Medical School, Gibbet Hill Road ; 216:1 : 17–36. Mc Ternan, P.G., dkk. 2003. Resistin and type 2 diabetes: regulation of resistin expression by insulin and rosiglitazone and the effects of recombinant resistin on lipid and glucose metabolism in human differentiated adipocytes. J Clin Endocrinol Metab ; 88: 6098–6106. Menzaghi, C., dkk. 2006. Heritability of serum resistin and its genetic correlation with insulin resistance- related features in nondiabetic caucasians. J Clin Endocrinol Metab ; 91(7): 2792-5. Moe Kyaw Thu, Wong Philip. 2010. Current Trends in Diagnostic Biomarkers of Acute Coronary Syndrome. Ann Acad Med Singapore; 39: 210-5 NECP 2002. Third Report of the National Cholesterol Education Program (NCEP) Expert Panel on Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Cholesterol in Adults (Adult Treatment Panel III) Final Report). Nishimura, R.A., dkk. 2005. Noninvasive cardiac imaging:Echocardiography, nuclear cardiology, and MRI/CT imaging. In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL.eds. Harrison's Principles Of Internal Medicine, Vol.2,16th ed. New York: McGrawHill ; 1320-7. Packard, R.R., Libby, P. 2008. Inflammation in atherosclerosis:From vascular biology to biomarker discovery and risk prediction.Clinical Chemistry; 54(1) : 24-38. Pang. S, Le, Y. 2006. Role of resistin in inflamation and inflamation-related diseases.Cellular & Molecular Immunology ; 3 (1): 29-34. Pilz, S., dkk. 2007. Implications of resistin plasma levels in subjects undergoing coronary angiography. Clinical Endocrinology ; 66: 380-6.
Pischon, T., dkk. 2005. Association of plasma resistin levels with coronary heart disease in women. Obes Res ; 13: 1764-71. Plato Study, 2006. A Randomised, Double-Blind, Parallel Group, Phase 3, Efficacy and Safety Study of AZD6140 Compared with Clopidogrel for Prevention of Vascular Events in Patients with non-ST or ST Elevation Acute Coronary Syndromes (ACS). Prasad, A., dkk. 2003. Current management of non-ST-segment-elevation acute coronary syndrome : reconciling the results of randomized controlled trials. European Heart Journal ; 24:1544-53. Proffitt, J.M. 2005. Genetics of Plasma Cytokine Variation in Healthy Baboons and Humans[Dissertation]. Austin : The University of Texas. Purwanto, A.P. 2007. Adiponektin sebagai marker penyakit jantung dan pembuluh darah. Dalam : Kumpulan Naskah Lengkap Kongres Nasional VI & Pertemuan Ilmiah Tahunan Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi Klinik. Makassar: Bagian Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin/RS. Dr. Wahidin Sudirohusodo;172-81. Rajala, M.W., dkk. 2003. Adipose-derived resistin and gut - derived resistin-like molecule-β selectively impair insulin action on glucose production. J Clin Invest ; 111: 225–30. Rea, R., Donnelly, R. 2004. Resistin : an adipocyte-derived hormone.Has it a role in diabetes and obesity? Diabetes, Obesity and Metabolism ; 6:163-70. Reilly, M.P., dkk. 2005. Resistin is an inflammatory marker of atherosclerosis in humans. Circulation ; 111: 932-9. Rong-Ze, Y., dkk. 2003. Comparative studies of resistin expression and phylogenomics in human and mouse. Biochemical and Biophysical Research Communications; 310:927-35. Ronti, T., dkk. 2006. The endocrine function of adipose tissue:an update.Clinical Endocrinology ; 64:355-65. Setianto, B. 2001. Sindroma koroner akut : Patofisiologi. Dalam: Kaligis RWM, Kalim H, Yusak M, Ratnaningsih E, Soesanto AM, Hersunarti M, dkk.eds. Diagnosis dan Tatalaksana Hipertensi, Sindrom Koroner Akut Dan Gagal Jantung. Jakarta; Balai Penerbit Rumah Sakit Jantung Harapan Kita ; 59-66.
Shetty, G.K., dkk. 2004. Circulating adiponectin and resistin levels in relation to metabolic factors, inflammatory markers,and vascular reactivity in diabetic patients and subjects at risk for diabetes.Diabetes Care ; 27: 2450-7. Springhouse.Coronary artery disease. 2008. ( cited 08/01/2008 ) Available from URL:http://www.wrongdiagnosis.com/c/coronary_heart_disease/bookdiseases-7a.htm Stejskal ,D., dkk. 2002. Preeliminary experience with resistin assessment in common population. Biomed. Papers ;146(2) :47–9. Steppan, C.M., Lazar, M.A. 2004. The current biology of resistin. Journal of Internal Medicine ; 255:439-47. Suhardjono. 2003. Role of infections, inflammations and immune factors in atherosclerosis. Dalam: Taniwidjojo, S., Rifqi, S.eds. Atherosclerosis from Theory to Clinical Practice. Naskah Lengkap Semarang CardiologyUpdate (Mini Cardiology-Update III). Semarang, Badan Penerbit Universitas Diponegoro ; 03:43-51. Tanuwidjojo, S. 2005. Current concepts of the pathogenesis of the acute coronary syndrome.Dalam : Sungkar, M.A., Rifqi, S. eds. Penanganan Sindroma Koroner Akut Secara Paripurna. Semarang; Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia (PERKI) Cabang Semarang :1-9. Verma, S., dkk. 2003. Resistin promotes endothelial cell activation: further evidence of adipokine-endothelial interaction. Circulation ; 108: 736-40. Vozarova de Courten, B., dkk. 2004. High serum resistin is associated with an increase in adiposity but not a worsening of insulin resistance in Pima Indians. Diabetes ; 53: 1279–84. Weikert , C., dkk. 2007. Within- subject variation of plasma resistin levels over a 1-year period. Clinical Chemistry & Laboratory Medicine ; 45(7):899902. Wita W. 1992. Program Intervensi Terpadu Mengendalikan Faktor Risiko Koroner dan Meningkatkan Kualitas Hidup Pasca IMA. (disertasi). Surabaya: Universitas Airlangga. Yip, H.K., dkk. 2005. Levels and values of inflammatory markers in patients with angina pectoris. Int Heart J ; 46: 571-81.
Yura, S., dkk. 2003. Resistin is expressed in the human placenta. J Clin Endocrinol Metab. ; 88 (3):1394-7.