JUVENILE ANGIOFIBROMA NASOFARING
BAB I PENDAHULUAN
Juvenile angiofibroma merupakan tumor jinak hipervaskuler di nasofaring dengan gambaran epidemiologi dan pola pertumbuhan yang khas. Tumor secara khas mengenai remaja laki-laki pada masa prapubertas, dengan gejala klinis yang khas epistaksis berulang dan sumbatan hidung unilateral.1,2 Juvenile angiofibroma nasofaring merupakan tumor jarang di kepala dan leher, tetapi merupakan tumor yang paling sering di nasofaring. Meskipun secara histologi termasuk tumor jinak, tetapi tumor sering menunjukkan perilaku destruktif lokal dan agresif, mempunyai kecenderungan kuat untuk berdarah dan mempunyai angka kekambuhan yang tinggi. Biopsi merupakan hal yang berbahaya karena potensi terjadi perdarahan besar.3,4 Pemeriksaan radiologi mempunyai peranan yang penting dalam diagnosis, penentuan stadium dan penatalaksanaan juvenile angiofibroma nasofaring. Pemeriksaan radiologi dapat dilakukan dengan foto polos, CT scan, MRI maupun arteriografi. Gambaran radiologi yang khas adalah adanya massa di nasofaring, destruksi tulang, dengan gambaran bowing di dinding posterior sinus maksilaris (Hofman-Miller sign), yang pada pemberian kontras tampak penyangatan kuat dan homogen. Pemeriksaan arteriografi dapat menentukan feeding vessel dari tumor, dan mempunyai nilai diagnostik dan terapetik.4,5 Penatalaksanaan yang direkomendasikan adalah dengan pembedahan. Tetapi, pembedahan sendiri mempunyai risiko perdarahan yang besar akibat tingginya vaskularisasi tumor. Embolisasi preoperatif direkomendasikan sebagai prosedur standar untuk mengurangi kehilangan darah selama operasi, sehingga memungkinkan eksisi total, mengurangi komplikasi dan meminimalkan residu tumor.1,3 1
Latar belakang diangkatnya kasus ini karena juvenile angiofibroma nasofaring merupakan kasus yang jarang, dengan tujuan agar ahli radiologi dapat mempelajari aspekaspek penegakan diagnosa juvenile angiofibroma nasofaring, terutama dari modalitas arteriografi dan penatalaksanaannya dengan embolisasi.
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Juvenile angiofibroma merupakan tumor jinak hipervaskuler. Secara histologi, juvenile angiofibroma merupakan lesi pseudokapsuler yang ditandai dengan komponen vaskular irreguler yang terdiri dari berbagai pembuluh darah dengan kaliber berbeda yang menempel dalam fibrosa yang kaya kolagen dan fibroblas. Pembuluh darah mempunyai dinding yang tipis, tidak memiliki lapisan serabut elastis, memiliki lapisan otot yang tidak lengkap atau bahkan tidak ada, sehingga mudah terjadi perdarahan. Angiofibroma di luar nasofaring sangat jarang dan cenderung terjadi pada pasien yang lebih tua dan banyak pada wanita, namun tumor kurang berifat vaskuler dan kurang agresif daripada juvenile angiofibroma nasofaring.1,2,6
B. Patofisiologi Juvenile angiofibroma nasofaring muncul dari foramen sphenopalatina dan mengenai fossa pterigopalatina dan kavum nasi posterior. Tumor berkembang dengan cara erosi tulang dan mendesak struktur di sekitarnya, dan dapat mencapai basis kranii.7,8 Pertumbuhan lesi memiliki kecenderungan khas mengikuti lapisan submukosa, tumbuh di dekat tempat yang mempunyai resistensi rendah dan menginvasi tulang cancellous basisphenoid, sehingga pola penyebarannya dapat diprediksi. Dari fossa pterigopalatina, tumor tumbuh ke medial ke dalam nasofaring, fossa nasalis dan akhirnya menuju sisi kontralateral. Pertumbuhan ke lateral dapat meluas ke fossa sphenopalatina dan infratemporalis, melalui fissura pterigo-maksilaris yang melebar dengan gambaran khas pergeseran ke anterior dari dinding posterior maksilaris, sampai berhubungan dengan otot
3
mastikator dan jaringan lunak pipi. Pertumbuhan ke posterior dapat mengenai arteri karotis interna melalui kanalis vidian, sinus kavernosus melalui foramen rotundum dan apeks orbita melalui fissura orbitalis inferior. Proptosis dan atrofi nervus optikus terjadi jika fissura orbitalis sudah terkena tumor. Keterlibatan tulang terjadi melalui dua mekanisme utama yaitu: (1) resorpsi karena tekanan langsung dengan aktivasi osteoklast atau (2) langsung tersebar di sepanjang arteri perforanates ke dalam akar cancellous dari prosesus pterigoideus. Perluasan ke posterior berikutnya dapat mengenai clivus dan ala mayor sphenoid, biasanya dengan erosi tabula interna fossa kranialis media dan dapat meluas ke intrakranial. Pelebaran fissura orbitalis superior merupakan tanda perluasan tumor ke intrakranial.1,6,9
C. Anatomi Fossa pterigopalatina adalah lekukan medial fissura pterigomaksillaris yang terletak tepat di bawah puncak orbita antara prosessus pterigoideus dan posterior maksilla. Batas medialnya adalah pelat tegak lurus dari tulang palatina. Hal ini penting karena menghubungkan beberapa ruangan dan dapat memfasilitasi penyebaran patologi diantara mereka. Fossa pterigopalatina berhubungan ke superior dengan orbita melalui bagian posterior dari fissura orbitalis inferior. Foramen rotundum terbuka ke dalamnya, di sisi superior, menghubungkannya dengan fossa kranialis media. Di sisi lateral, fossa pterigopalatina berhubungan secara bebas dengan fossa infratemporalis. Di sisi medial fossa pterigopalatina berhubungan dengan rongga hidung melalui foramen sphenopalatina pada pelat tegak lurus dari tulang palatina, dan dengan rongga mulut melalui kanalis palatina mayor, yang berjalan di sisi inferior antara tulang palatina dan maksilla. Fossa pterigopalatina berisi cabang maksillaris dari saraf kranialis kelima, yang berjalan melalui foramen rotundum dan ke dalam orbita melalui fissura orbitalis inferior. Fossa pterigopalatina juga berisi segmen pterigopalatina dari arteri maksilaris, yang membuat loop karakteristik dan
4
memberikan dari cabang ke fossa kranialis media dan infratemporalis, ke rongga hidung, palatum dan faring.10 Arteri karotis eksternal biasanya muncul pada setinggi vertebra servikalis ke tiga (VC-3) dari percabangan arteri karotis interna. Cabang-cabang utama arteri karotis eksterna adalah arteri tiroidea superior, arteri lingualis, arteri fasialis, arteri faringealis asenden, arteri oksipitalis, arteri aurikularis posterior, arteri maksilaris interna dan arteri temporalis superfisialis. Tiga cabang pertama muncul dari aspek anteromedial dari segmen proksimal arteri. Dua atau tiga arteri di atasnya, arteri faringealis asenden dan arteri oksipitalis, timbul dari aspek posterolateral karotid eksterna. Pada sekitar 15% kasus, arteri tiroidea superior timbul dari arteri karotis komunis dekat bifurkasio, arteri oksipitalis atau faringealis asenden, dapat timbul dari karotis interna. Arteri aurikularis posterior adalah cabang kecil yang muncul dekat sebelum cabang terminal utama, arteri temporalis superfisialis dan arteri maksilaris interna. Arteri maksilaris interna besar memberikan pentingnya arteri meningea media serta mensuplai fossa hidung, palatum, mandibula dan daerah infraorbita.9
D. Epidemiologi Juvenile angiofibroma nasofaring merupakan tumor jarang yang timbul di nasofaring, yang merupakan 0,5% dari semua tumor kepala dan leher, dengan frekuensi satu diantara 5.000-60.000 pasien THT di Amerika Serikat. Meskipun jarang, juvenile angiofibroma nasofaring merupakan tumor yang paling sering mengenai nasofaring. Tumor terjadi secara eksklusif pada laki-laki, sehingga wanita dengan tumor ini harus menjalani tes genetik. Usia saat terkena umumnya pada dekade kedua, antara 7-19 tahun, dan jarang terjadi pada usia lebih dari 25 tahun.2,5,6
5
E. Etiologi Etiologi juvenile angiofibroma nasofaring tidak diketahui tetapi diduga berhubungan dengan hormon seks. Pengamatan yang menunjukkan tumor secara khas muncul pada remaja laki-laki, dan bahwa lesi sering regresi setelah perkembangan lengkap karakteristik seks sekunder memberikan bukti pengaruh hormonal pada pertumbuhan tumor. Terdapat bukti peningkatan reseptor androgen dan regresi tumor setelah terapi anti-androgen.1,4,7
F. Gejala Klinis Gejala dan tanda juvenile angiofibroma nasofaring terkait dengan perluasan tumor ke rongga hidung, orbita dan basis kranii. Gejala yang khas adalah obstruksi hidung unilateral yang progresif (80-90 %) dengan rhinorrhea dan epistaksis unilateral berulang (45-60 %). Gejala yang lain adalah sakit kepala (25 %), nyeri wajah, otitis media unilateral, rinosinusitis kronis, proptosis dan gangguan penglihatan. Sakit kepala dan nyeri wajah dapat timbul sebagai akibat sumbatan sinus paranasal. Otitis media unilateral disebabkan gangguan pada tuba eustachius. Perluasan tumor ke dalam rongga sinonasal dapat menyebabkan rinosinusitis kronis.
Proptosis
dan gangguan penglihatan
mengindikasikan keterlibatan
orbita.
Pembengkakan pipi, defisit neurologis, gangguan penciuman dan otalgia juga dapat terjadi.1,5,6
G. Diagnosis Diagnosis juvenile angiofibroma nasofaring terutama didasarkan pada riwayat penyakit, pemeriksaan rongga hidung dan pencitraan. Secara endoskopi dapat terlihat massa lobulated besar di belakang khonka nasalis media, mengisi khoana dengan permukaan halus dan hipervaskularisasi yang jelas. Karena secara epidemiologi dan temuan endoskopi adalah
6
khas, maka biopsi mutlak merupakan kontraindikasi karena risiko perdarahan masif yang cukup besar.1 Pemeriksaan radiologi memegang peranan penting dalam diagnosis, penentuan stadium dan penatalaksanaan. Pemeriksaan radiologi berperan dalam menunjukkan perluasan tumor primer, khususnya dalam menilai invasi sphenoid karena merupakan tempat utama terjadinya kekambuhan, sebuah gambaran yang jelas menunjukkan asal dari angiofibroma. Pemeriksaan radiologi juvenile angiofibroma nasofaring dapat dilakukan dengan foto polos, CT scan, MRI dan arteriografi. Gambaran foto polos pada Water’s atau submental view dapat menunjukkan erosi di sinus sphenoidalis dan penonjolan dinding posterior sinus maksilaris atau Holman-Miller sign. 6,7 CT scan dan MRI juvenile angiofibroma nasofaring menunjukkan massa inhomogen yang timbul dari ruang mukosa atau submukosa nasofaring, dengan penyangatan yang kuat dan homogen disertai erosi basis kranii atau perluasan intrakranial.1,4 CT scan berperan dalam follow-up setelah pembedahan untuk mendeteksi sisa tumor, menilai ukuran setelah radioterapi atau menilai pengecilan tumor.7 CT scan merupakan pemeriksaan sebelum operasi yang paling penting karena dapat menunjukkan destruksi struktur tulang dan pelebaran foramen dan fisura pada basis kranii akibat penyebaran tumor. Keterlibatan tulang dan penyebaran tumor paling baik dilihat pada potongan aksial atau koronal irisan tipis. CT scan aksial dan koronal dapat menggambarkan asal dan perluasan lesi. Temuan termasuk massa nasofaring, penonjolan ke anterior dari dinding posterior sinus maksilaris (Holman-Miller sign) dengan massa di fossa pterigopalatina, pelebaran foramen sphenopalatina, opasitas di sinus paranasal, erosi tulang sphenoid dengan massa di sinus, erosi palatum durum, erosi dinding medial sinus maksilaris, deviasi septum nasi, dan perluasan intrakranial.5,6 Arteriografi mempunyai nilai diagnostik dan terapetik, dengan melakukan embolisasi feeding vessel tumor. Keduanya dapat dilakukan terpisah atau bersama. Pola retikuler yang
7
khas biasanya terlihat pada awal fase arteri, dengan blush homogen padat yang menetap sampai fase vena. Adanya awal draining vein jarang terjadi.5,7 Identifikasi
suplai
darah
preoperatif
merupakan
hal
yang
penting
untuk menentukan strategi pembedahan yang tepat. Meskipun magnetic resonance angiography (MRA) dapat membantu dalam penilaian vaskular, gambaran lengkap dari semua pembuluh darah memerlukan angiografi. Feeding vessel juvenile angiofibroma nasofaring berasal sistem karotis eksternal terutama dari cabang arteri maksilaris interna distal, umumnya cabang sphenopalatina, palatina desenden, dan alveolar posterior superior. Terkadang arteri faringealis asenden ikut mensuplai tumor.2,4,9 Arteriografi sebelum pembedahan diindikasikan untuk menentukan luasnya lesi, jumlah vaskularisasi dan asal feeding vessel. Dalam menentukan batas tumor, penilaian perluasan intrakranial sangat penting karena operasi dapat menyebabkan bahaya lain. Gambaran
angiografi
merupakan
ciri
khas,
dan
diagnosis
preoperatif
pembedahan,
radiasi,
biasanya
memungkinkan dikerjakan sebelum biopsi.3
H. Penatalaksanaan Terapi
yang
dapat
dilakukan
meliputi
krioterapi,
elektrokoagulasi, terapi hormonal, embolisasi, dan injeksi agen sklerosing. Pembedahan merupakan penatalaksanaan yang dianjurkan dan paling banyak diterima, tetapi terdapat risiko perdarahan yang besar akibat tingginya vaskularisasi tumor, seringkali lebih besar dari 2.000 ml.3,7 Embolisasi preoperatif direkomendasikan sebagai prosedur standar untuk mengurangi kehilangan darah selama operasi, sehingga memungkinkan eksisi total, mengurangi komplikasi dan meminimalkan residu tumor. Tujuannya adalah mengurangi suplai darah ke tumor, dan hal ini akan efisien jika agen emboli dapat masuk ke pembuluh darah di dalam
8
tumor, yang paling baik dicapai dengan partikel berukuran kecil seperti polivinil alkohol. Pemilihan ukuran partikel merupakan keseimbangan antara keamanan dan efisiensi dan tergantung apakah posisi kateter dapat dicapai dengan injeksi langsung agen emboli ke dalam tumor. Partikel kecil akan masuk lebih dalam ke dalam tumor tetapi mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk terjadi nekrosis kulit dan kelumpuhan saraf kranial. Bahan yang paling sering digunakan adalah polivinil alkohol atau gelfoam. Embolisasi dapat mengurangi 6070% perdarahan intraoperatif. Pembedahan dilakukan 2-5 hari setelah embolisasi.1,3,5,9 Ujung kateter ditempatkan sedekat mungkin dengan lesi, biasanya di distal arteri karotis eksterna di setinggi bifurkasio ke arteri temporalis superfisial dan maksilaris interna. Posisi kateter yang tepat sangat penting untuk mencegah refluks ke arteri karotis interna. Injeksi dengan kecepatan melebihi aliran arteri juga dapat mengakibatkan refluks ke trunkus arteri proksimal dan bisa terjadi embolisasi intrakranial. Komplikasi ringan seperti demam dan nyeri lokal dapat terjadi 12-24 jam setelah embolisasi dan diobati dengan steroid. Bradikardi sementara dapat terjadi selama injeksi arteri maksilaris. Hal ini dapat diatasi dengan injeksi atropin.3,5 Penggunaan terapi radiasi masih diperdebatkan karena adanya risiko transformasi sarkomatoid. Beberapa penulis merekomendasikan terapi radiasi sebagai terapi ajuvan pada unresectable tumor, terdapat residu tumor atau terdapat perluasan intrakranial yang luas.1,5,7
I. Teknik Kateterisasi Arteriografi Sebelum tindakan, pasien sebaiknya dipuasakan untuk mencegah risiko aspirasi bila terjadi reaksi terhadap bahan kontras, tetapi masih dibolehkan untuk minum. Pasien dilakukan pemeriksaan fisik, termasuk pulsasi arteri femoralis, arteri dorsalis pedis dan tibialis posterior dan status neurologis, pemeriksaan kreatinin serum dan parameter koagulasi, pemasangan infus dan kateter foley. Perhatian harus diberikan pada pasien dengan terapi
9
antikoagulan, gangguan pembekuan darah, hipertensi, dengan riwayat alergi sebelumnya, bayi, penyakit jantung, gagal hepar atau ginjal dan gangguan metabolik lainnya.11,12 Arterial puncture merupakan bagian terpenting dari prosedur angiografi. Pembuluh darah yang paling sering dilakukan puncture adalah arteri femoralis. Tempat tusukan harus dibius dengan cukup. Setelah kulit dibersihkan, dilakukan anestesi lokal dengan injeksi infiltrasi 5-10 ml lignokain 0,5-1 % di sekitar arteri, baik di anterior maupun posterior arteri. Kemudian dibuat insisi dengan skalpel. Cara yang dapat diandalkan adalah dengan meraba arteri dengan jari tengah dan telunjuk tangan kiri dan memasukkan jarum (yang dipegang dengan tangan kanan) di antara kedua jari tersebut. Jarum dipegang miring ke depan dan melewati dinding anterior saja atau keduanya melalui arteri tergantung pada pilihan angiografer. Pada teknik single-wall puncture, aliran darah akan terjadi segera setelah jarum memasuki lumen pembuluh darah. Ketika menggunakan teknik double-wall puncture, setelah melewati pembuluh darah, stilet sentral dicabut, jarum ditarik perlahan, kemudian dibengkokkan sedikit lebih ke arah horisontal dan dibantu oleh gerakan berputar lembut untuk menghindari hentakan tiba-tiba. Ketika ujung jarum berada di dalam lumen arteri, arus balik darah akan memancar dari hub. Sementara jarum dipegang mantap dengan satu tangan, ujung lembut guidewire dimasukkan melalui jarum ke dalam arteri. Jika wire sudah masuk cukup dalam, jarum dicabut dan tekanan manual yang kuat dipertahankan pada temap tusukan sampai jarum telah digantikan kateter atau dilator. Guidewire dilepas ketika ujung kateter berada dalam posisi yang baik dan kateter kemudian dibilas dengan larutan garam terheparinisasi agar bersih bebas dari jendalan darah. Pada akhir prosedur insersi yang dilakukan dengan benar seharusnya tidak ada perdarahan di sekitar kateter, dimana kateter akan bergerak bebas dan tanpa rasa sakit ketika dimanipulasi.11
10
Ada beberapa argumen yang mendukung baik single maupun double-wall arterial puncture. Beberapa ahli radiologi lebih memilih untuk menusuk hanya dinding anterior saja, untuk meminimalkan trauma ke pembuluh darah, meskipun tusukan ke kedua dinding tidak meningkatkan risiko komplikasi, karena komplikasi biasanya disebabkan oleh manipulasi guidewire dan kateter. Pendukung teknik double-wall puncture mempertahankan bahwa metode ini lebih aman, terutama ketika pertama kali belajar angiografi, dengan risiko yang lebih rendah terjadinya diseksi intima ketika memasukkan guidewire melalui jarum bila dibandingkan dengan teknik single-wall.11 Kateter dibilas dengan larutan garam terheparinisasi pada seluruh prosedur untuk mencegah pembekuan. Pembilasan lebih baik dilakukan sebentar-sebentar, daripada pemberian secara kontinyu. Teknik ini tidak hanya memberikan ujung proksimal kateter bebas dari manipulasi tetapi juga lebih efektif, karena infus lambat hanya dapat membersihkan lubang proksimal kateter, gumpalan di ujung dan sisi lubang lebih distal, dan kemudian pecah ke dalam sistem vaskular ketika suntikan kontras dengan tekanan dilakukan. Setelah selesai tindakan, dilakukan penekanan manual 1-2 cm di sebelah atas dari tempat puncture selama 15 menit, kemudian dipasang pressure dressing. Pasien diharuskan tetap berbaring selama 5 jam sebelum diperbolehkan mobilisasi.11,12
J. Stadium dan Prognosis Sistem stadium yang banyak digunakan adalah dari Andrews et al. dan Radkowski et al. berdasarkan perluasan tumor, sebagaimana dapat dilihat pada lampiran. Juvenile angiofibroma nasofaring merupakan tumor dengan kekambuhan yang tinggi, rata-rata sebesar 32%, sampai setinggi 40-50% pada kasus dengan invasi basis kranii. Kekambuhan dapat terjadi 3-4 bulan setelah operasi. Angka kekambuhan tinggi terutama bila sudah mengenai basis kranii sperti sinus sphenoid, basis pterigoid, clivus, sinus kavernosus dan fossa anterior.
11
Sehingga, pemeriksaan ulang sebaiknya dilakukan setiap 6-8 bulan untuk setidaknya 3 tahun setelah operasi.1,4,7,8
K. Diagnosis banding K1. Polip angiomatosa Polip angiomatosa adalah polip inflamatorik hidung yang mempunyai komponen vaskuler dan fibrosa. Secara histologi merupaka tumor jinak dan mirip dengan angiofibroma nasofaring. Polip tidak mempunyai predileksi jenis kelamin. Kemungkinan adanya polip angiomatosa harus selalu dipikirkan sebelum mempertimbangkan diagnosa angofibroma, pada pasien dewasa dan perempuan. Gejala yang paling sering muncul adalah hidung tersumbat dan sering mimisan. Pembesaran lesi secara perlahan dapat menyebabkan erosi tulang, pendesakan struktur tulang di dekatnya, pipi bengkak dan eksofthalmus.13,14 Polip angiomatosa terletak terutama di fossa nasalis dan bukan di nasofaring, tidak meluas ke fossa pterigopalatina, sinus
sphenoidalis, maupun ke intra kranial. Pada
angiografi polip angiomatosa mempunyai tampilan hipovaskuler atau avaskuler. Pada CT scan polip tidak menyangat atau hanya menyangat minimal. Polip dapat dieksisi dengan mudah dan jarang terjadi kekambuhan. Angiografi dan embolisasi tidak diperlukan pada polip.13,14,15
K.2 Karsinoma Nasofaring Karsinoma nasofaring merupakan neoplasma yang berasal dari lapisan epitel mukosa nasofaring, dan merupakan tumor paling umum yang mengenai nasofaring. Karsinoma nasofaring biasanya muncul dari fossa Rosenmuller dan dikenal sebagai neoplasma agresif lokal dengan tingginya kejadian metastase ke limfonodi leher. Tumor
12
primer di dalam nasofaring dapat meluas ke palatum, rongga hidung, orofaring dan basis kranii. Gejala klinis yang paling sering dirasakan adalah adanya benjolan di leher. Keluhan lain dapat berupa epistaksis, hidung tersumbat, otitis media, telinga berdenging dan tuli. Karsinoma nasofaring merupakan keganasan dengan karakteristik variasi distribusi geografis dan etnis, terutama di Asia Tenggara. Gambaran radiologi karsinoma nasofaring adalah asimetri fossa Rosenmuller, hilangnya lapisan lemak di parapharyngeal space, destruksi tulang dan penebalan preoccipital space.16,17,18
13
BAB III LAPORAN KASUS
Dilaporkan seorang pasien laki-laki berumur 15 tahun, dengan keluhan utama hidung sering tersumbat dan pilek terutama yang sebelah kiri sejak 4 bulan sebelum masuk rumah sakit. Keluhan menetap dan semakin berat, dan kadang-kadang disertai dengan mimisan. Selain keluhan tersebut, pasien tidak merasakan gejala lain, seperti sakit kepala, gangguan telinga atau penglihatan. Pada pemeriksaan fisik tampak massa kemerahan di rongga hidung kiri dan di nasofaring kanan dan kiri. Khoanae dan muara tuba eustakhius tertutup oleh massa. Adenoid sulit dinilai. Keadaan umum pasien baik, tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 88 x/menit, suhu tubuh 370 celcius dan pernafasan 22 x/menit. Delapan bulan sebelumnya (10 Desember 2012) pasien telah dilakukan pemeriksaan foto polos sinus paranasalis, dengan keterangan klinis yang tidak disebutkan. Tampak adanya perselubungan semiopak inhomogen di sinus maksilaris kanan dengan atrofi konkha nasalis kanan, dan dikesankan sebagai sinusitis maksilaris kanan. Kemudian pasien dilakukan biopsi kavum nasi dan sinus maksilaris, dengan hasil polip nasi fibroinflamatorik dan radang kronis sinus maksillaris. Kemudian pasien dilakukan pemeriksaan CT scan dengan keterangan klinis rinosinuistis kronis dan polip nasi sinistra. Pada gambaran CT scan tampak lesi inhomogen (iso-hipodens) di nasofaring bilateral, bentuk amorf, batas tak tegas, ukuran 4,6x3,2 cm, yang meluas ke kavum nasi bilateral terutama sinistra serta mendeviasi dan mendestruksi septum nasi, mendestruksi dinding medial sinus maksilaris sinistra dan menginfiltrasinya, mendestruksi dasar sinus sphenoidalis dan menginfiltrasi sinus sphenoid aspek sinistra. Post kontras tampak enhancement inhomogen (HU pre kontras =33, post kontras= 73). Pada CT scan juga tampak gambaran oedema cerebri berupa penyempitan sulci, gyri mendatar, fissura
14
sylvii yang sempit, batas kortex dan medulla yang tidak tegas, penyempitan ventrikel lateralis dextra dan struktur mediana tampak terdeviasi ringan ke arah dextra. Hasil pemeriksaan CT scan disimpulkan sebagai massa inhomogen di nasofaring bilateral dengan perluasan ke sinus sphenoidalis aspek sinistra, kavum nasi sinistra dan sinus maksilaris sinistra disertai destruksi dinding medial sinus maksilaris sinistra dan os sphenoidalis, dengan oedema serebri, kemungkinan suatu brain metastase. Kemudian pasien dilakukan tindakan arteriografi dan embolisasi dengan keterangan klinis suspek angiofibroma di kavum nasi. Pemeriksaan laboratorium sebelum tindakan: Hb 12,4; AL 6,80; AT 313.000; BUN 7,6; kreatinin 0,58; PPT 16,3; APTT 33,7. Pada pemeriksaan arteriografi arteri karotis eksterna sinistra, tampak gambaran blushing di proyeksi sinus maksilaris sinistra dan nasofaring sinistra, dengan feeding vessel berasal dari arteri maksilaris interna sinistra. Hasil pemeriksaan arteriografi disimpulkan sebagai angiofibroma di regio nasofaring sinistra dan maksilaris sinistra. Kemudian tindakan dilanjutkan dengan embolisasi di feeding vessel dari angiofibroma yang berasal dari arteri maksilaris interna sinistra. Embolisasi dilakukan dengan larutan gelfoam. Embolisasi dihentikan ketika aliran darah mulai melambat, sebelum terjadi refluks. Setelah tindakan, pasien hanya merasakan sedikit keluhan nyeri di pangkal paha kanan (skala nyeri 2-3), tetapi tidak terdapat hematom di daerah tersebut. Empat hari kemudian pasien dilakukan tindakan operasi ekstirpasi. Jumlah perdarahan saat operasi 300 ml. Setelah operasi pasien dipasang tampon hidung anterior dan posterior. Pasien diterapi dengan inj ceftriaxon 2x500 mg dan inj asam traneksamat 3x500 mg. Pada hari keenam tampon hidung dilepas dan pasien diijinkan pulang. Hasil pemeriksaan patologi anatomi menyatakan tumor angiofibroma.
15
BAB IV PEMBAHASAN
Pasien pada laporan kasus ini adalah seorang laki-laki berumur 15 tahun, dengan gejala hidung kiri sering tersumbat, disertai pilek dan mimisan, dengan diagnosa awal polip nasi dan sinusitis maksilaris. Pasien tidak mempunyai keluhan lainnya, seperti nyeri kepala, gangguan di telinga maupun mata. Gejala hidung tersumbat dan mimisan dapat terjadi pada polip nasi maupun angiofibroma nasofaring. Polip nasi angiomatosa mempunyai gejala dan tanda yang mirip dengan angiofibroma. Perbedaan antara keduanya terletak pada predileksi umur dan jenis kelamin, dan letak serta perluasan lesi. Polip nasi angiomatosa tidak mempunyai predileksi jenis kelamin. Hal ini berbeda dengan angiofibroma nasofaring, yang mempunyai predileksi jenis kelamin lakilaki dan umur remaja. Selain dari epidemiologi, perbedaan polip angiomatosa dengan angiofibroma adalah letak terutama polip angiomatosa di fossa nasalis, bukan di nasofaring, tidak meluas ke fossa pterigopalatina, sinus sphenoidalis, maupun ke intra kranial.13,14 Pasien ini pada awalnya diduga sebagai polip nasalis dan sinusitis maksilaris. Pada pemeriksaan foto sinus paranasalis delapan bulan sebelumnya tampak sinusitis maksilaris dan hasil pemeriksaan patologi anatomi menyatakan polip nasi fibroinflamatorik dan radang kronis sinus maksillaris. Tetapi keluhan hidung tersumbat dan mimisan, masih berlanjut dan bahkan semakin memberat. Pada pemeriksaan CT scan tampak massa inhomogen di nasofaring bilateral, dengan perluasan ke kavum nasi bilateral terutama sinistra, mendeviasi dan mendestruksi septum nasi, mendestruksi dinding medial sinus maksilaris sinistra dan menginfiltrasinya, mendestruksi dasar sinus sphenoidalis dan menginfiltrasi sinus sphenoid aspek sinistra, yang pada pemberian bahan kontras tampak menyangat. Perluasan dan destruksi tulang
16
menunjukkan sifat agresif lesi. Pada CT scan polip angiomgatosa tidak menyangat atau hanya menyangat minimal, sedangkan pada angiofibroma nasofaring menyangat kuat. Letak lesi yang berada di nasofaring juga menyingkirkan diagnosa polip. Dari hasil CT scan tersebut maka diagnosa yang lebih mungkin adalah angiofibroma nasofaring daripada polip nasi. Dari sifat destruktifnya, kemungkinan diagnosa yang lain adalah keganasan, yang paling sering karsinoma nasofaring. Karsinoma nasofaring dapat terjadi pada semua usia, walaupun lebih sering terjadi pada dekade kelima dan keenam. Gambaran radiologi karsinoma nasofaring adalah asimetri fossa Rosenmuller, hilangnya lapisan lemak di parapharyngeal space, destruksi tulang, penebalan preoccipital space dan pembesaran limfonodi servikal. Pada CT scan pasien laporan kasus ini, fossa Rosenmuller tertutup oleh lesi, sehingga tidak bisa dinilai. Tetapi lapisan lemak di parapharyngeal space masih tegas, preoccipital space tak menebal, dan tak tampak pembesaran limfonodi servikal. Dengan demikian maka kemungkinan lesi sebagai karsinoma nasofaring dapat disingkirkan. Adanya gambaran oedema serebri kemungkinan merupakan perluasan lesi ke basis kranii. Angiofibroma nasofaring merupakan tumor jinak yang mempunyai vaskularisasi yang banyak. Karena hipervaskularisasi dari tumor ini maka biopsi tidak dianjurkan, karena dapat menyebabkan perdarahan yang banyak. Angiofibroma nasofaring mempunyai predileksi yang khas pada remaja laki-laki sehingga disebut juvenile angiofibroma nasofaring.3,4 Pada pemeriksaan arteriografi tampak gambaran blushing di proyeksi sinus maksilaris sinistra dan nasofaring sinistra. Gambaran blushing merupakan ciri khas angiofibroma.3 Arteriografi sebelum pembedahan diindikasikan untuk menentukan luas lesi, jumlah vaskularisasi dan asal feeding vessel. Identifikasi suplai darah preoperatif merupakan hal yang penting untuk menentukan strategi pembedahan yang tepat.3,4 Pada pemeriksaan arteriografi pasien ini tampak feeding vessel berasal dari arteri maksilaris interna sinistra. Hal ini sesuai dengan gambaran pada umumnya dimana feeding
17
vessel angiofibroma berasal terutama dari cabang arteri maksilaris interna distal. Polip angiomatosa mempunyai tampilan hipovaskuler atau avaskuler.2,4,9 Pembedahan merupakan penatalaksanaan yang dianjurkan, tetapi terdapat risiko perdarahan yang besar akibat tingginya vaskularisasi tumor, seringkali lebih besar dari 2.000 ml.3,7 Embolisasi preoperatif direkomendasikan sebagai prosedur standar untuk mengurangi kehilangan darah selama operasi, sehingga memungkinkan eksisi total, mengurangi komplikasi dan meminimalkan residu tumor.1,3 Pada pasien laporan kasus ini operasi dilakukan empat hari setelah embolisasi, dengan perdarahan saat operasi 300 ml. Pasien tidak mengalami komplikasi dari tindakan embolisasi maupun operasi, dan pada hari keenam pasien diijinkan pulang. Hasil pemeriksaan patologi anatomi menyatakan tumor angiofibroma.
18
BAB IV KESIMPULAN
Telah dilaporkan seorang pasien laki-laki usia 15 tahun, dengan keluhan hidung kiri sering tersumbat dan mimisan berulang. Pada pemeriksaan CT scan tampak massa menyangat di nasofaring yang meluas ke sinus paranasalis dan terjadi destruksi tulang. Pada arteriografi tampak gambaran blush dengan feeding vessel dari arteri maksilaris interna sinistra. Pasien didiagnosa sebagai juvenile angiofibroma nasopharyng dan telah dilakukan tindakan embolisasi. Diagnosis banding juvenile angiofibroma nasopharyng adalah polip nasi angiomatosa dan karsinoma nasofaring. Polip nasi angiomatosa tidak mempunyai predileksi jenis kelamin. Letak lesi terutama di fossa nasalis, tidak meluas ke fossa pterigopalatina, sinus sphenoidalis, maupun intra kranial. Pada arteriografi mempunyai gambaran hipovaskuler atau avaskuler. Karsinoma nasofaring terutama terjadi pada dekade kelima dan keenam. Gambaran radiologisnya adalah asimetri fossa Rosenmuller, hilangnya lapisan lemak di parapharyngeal space, destruksi tulang, penebalan preoccipital space dan pembesaran limfonodi servikal.
19
LAMPIRAN
Gambar 1. Anatomi cabang-cabang arteri karotis eksterna. 1. arteri tiroidea superior; 2. arteri lingualis; 3. arteri fasialis; 4. arteri faringealis asenden; 5. arteri oksipitalis; 6. arteri aurikularis posterior; 7. arteri maksilaris interna; 8. arteri temporalis superfisialis.9,19
Gambar 2. Anatomi fossa pterigopalatina. A, Bukaan dari fossa pterigopalatina (o) ke dalam rongga hidung melalui foramen sphenopalatina (panah) dan ke fossa infratemporalis melalui fissura pterigomaksillaris (panah terbuka) diberi label. B. Kepala panah menunjukkan kanalis vidian, jalan keluar lain dari fossa pterigopalatina. Foramen laserum (l) akan menjadi lantai arteri karotis interna (c) dalam jalur horisontal. Panah menunjukkan foramen sphenopalatina. C, Kepala panah baru pada potongan yang lebih superior menunjukkan foramen rotundum, dan panah kecil menunjukkan fisura orbitalis inferior. Bagian ini adalah batas atas fossa pterigopalatina. Saraf kranial V-2 akan melewati foramen rotundum untuk sampai ke Meckel’s cave (m). Foramen lacerum akan tepat di bawah arteri karotis petrosus horisontal (c).20
20
Gambar 3. Juvenile angiofibroma. A, Massa mendesak dinding posterior sinus maksilaris (panah) ke anterior dan tumbuh ke rongga hidung (tanda +) dan fossa infratemporalis (panah). B. Suplai darah yang luas berasal dari arteri maksilaris interna (panah) dan tampak pelebaran cabang meningea media (panah).20
Gambar 4. Angiogram menggambarkan angiofibroma sebelum dan sesudah embolisasi, suplai darah tumor dari arteri maxillaris interna.2 Tabel 1. Stadium Juvenile angiofibroma nasofaring.1
21
Gambar 5. Polip antro-khoanal. CT scan potongan aksial menunjukkan opasitas di sinus maksilaris sinistra dengan polip antro-khoanal di kavum nasi posterior dan khoana yang keluar dari bawah khonka nasalis media di daerah kompleks ostiometal.6
Gambaran 6. Karsinoma nasofaring. CT scan dengan kontras menunjukkan karsinoma nasofaring dengan perluasan parafaring kanan dan adenopati 16 retrofaringeal.
Gambar 7. Rekomendasi kateter diagnostik. 5F Angled Taper, kateter serba guna. 4/5F Vertebra, kateter serba guna, sedikit kaku daripada angled taper tetapi bentuknya sama. 4/5F Simmons 1, Angiografi spinal. 4/5F Simmons 2 atau 3, arteri karotis komunis sinistra, bovine configuration, tortuous arkus aorta, umur pasien >50 tahun. 5F CK-1 (aka HN-5), arteri karotis komunis sinistra atau vertebralis dekstra. 5F H1 (aka Headhunter), arteri subklavia dekstra; arteri vertebralis dekstra. 4/5F Newton, tortuous anatomy, umur pasien >65 tahun.12
22
Gambar 8. Kateterisasi perkutan. Salah satu teknik yang sering digunakan untuk kateterisasi perkutan arteri. Arteri (1) ditusuk (2). Jarum ditarik dan didatarkan (3). Guidewire dimasukkan ke jarum saat aliran darah balik (3,4), jarum ditarik dan kateter atau introducer dimasukkan melalui wire (5,6). Bila kateter sudah aman berada dalam lumen arteri, wire ditarik (7).11
23
Gambar 9. Pemeriksaan sinus paranasalis. Foto sinus paranasalis, dengan klinis : -, kondisi cukup, hasil : - Tampak perselubungan semiopak inhomogen di sinus maksilaris dekstra - Tampak atrofi konkha nasalis dekstra - Sinus maksilaris sinistra, sinus frontalis, ethmoidalis dan sphenoidalis normodens - Tak tampak deviasi septum nasi - Tak tampak destruksi pada tulang Kesan : sinusitis maksilaris dekstra
24
Gambar 10. Pemeriksaan CT scan Dilakukan pemeriksaan CT scan kepala dengan kontras, potongan aksial, koronal dan sagital, pada pasien dengan klinis RSK dan polip nasi, hasil : ⁻ Tampak lesi inhomogen (iso-hipodens) di nasofaring bilateral, bentuk amorf, batas tak tegas, ukuran 4,6x3,2 cm, yang meluas ke kavum nasi bilateral terutama sinistra serta mendeviasi dan mendestruksi septum nasi, mendestruksi dinding medial sinus maksilaris sinistra dan menginfiltrasinya, mendestruksi dasar sinus sphenoidalis dan menginfiltrasi sinus sphenoid aspek sinistra. Post kontras tampak enhancement inhomogen (HU pre kontras =33, post kontras= 73) ⁻ Tak tampak infiltrasi massa di parapharyngeal space ⁻ Tak tampak limfadenopati cervicalis ⁻ Tak tampak lesi iodens/hipodens/hiperdens intracerebri maupun intracerebelli. Post kontras tak tampak enhancement. ⁻ Tampak gyri mendatar, sulci dangkal, fissura sylvii sempit. Batas cortex dan medulla tak tegas. Ventrikel lateralis dextra tampak sempit. Struktur mediana tampak terdeviasi ringan ke arah dextra ⁻ Ventrikel lateralis sinistra, tertius dan kuadratus tak lebar/sempit ⁻ Air celluale mastoidea normodens ⁻ Tak tampak soft tissue swelling ekstrakranial Kesan : ⁻ Massa nasofaring bilateral, yang meluas ke kavum nasi sinistra dan mendestruksi septum nasi, mendestruksi dinding medial sinus maksilaris sinistra dan menginfiltrasinya, mendestruksi dasar sinus sphenoidalis dan menginfiltrasi sinus sphenoid aspek sinistra. ⁻ Oedema cerebri, susp brain metastase.
25
Gambar 11. Pemeriksaan arteriografi dan embolisasi. Dilakukan pemeriksaan arteriografi karotis eksterna sinistra pada pasien dengan klinis suspek angiofibroma di cavum nasi, dengan teknik Seldinger, melalui a. femoralis dekstra. Pasien ditidurkan diatas bed cathlab, dilakukan tindakan aseptik antiseptik di daerah inguinal dekstra dengan betadin. Kemudian os ditutup dengan duk steril dari dada sampai kaki, kecuali daerah inguinal dekstra. Dilakukan pungsi a. femoralis dekstra dengan abbocath 18. Kemudian setelah darah memancar keluar, mandrin ditarik keluar digantikan dengan guide wire pendek, dilakukan cek fluoroskopi, guide wire masuk sampai bifurkasio aorta. Abbocath dilepas digantikan dengan introducer sheet, setelah masuk, guide wire dan introducer dilepas bersamaan, sehingga tinggal sheet-nya yang terpasang. Kemudian dimasukkan kateter vertebra no. 5F yang didalamnya sudah ada guide wire dimasukkan menuju a. karotis eksterna sinistra. Dimasukkan bahan kontras. Tampak kontras mengisi a. karotis eksterna sinistra sampai berlanjut ke a. maksilaris interna sinistra, tampak gambaran blushing di proyeksi sinus maksilaris sinistra dan nasofaring sinistra. Tampak feeding vessel dari a. maksilaris interna sinistra. Dilanjutkan dengan embolisasi dengan larutan gelfoam, tampak aliran darah mulai melambat kemudian sebelum refluks dihentikan. Kesan : Angiofibroma di regio nasofaring sinistra dan maksilaris sinistra dengan feeding vessel dari a. maksilaris interna sinistra.
26
DAFTAR PUSTAKA
1. Nicolai P, Schreiber A, Villaret AB. Juvenile Angiofibroma: Evolution of Management. International Journal of Pediatrics. 2012: 1-11 2. Garca MF, Yuca SA, Yuca K. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. Eur J Gen Med. 2010;7(4): 419-25 3. Roberson GH, Price AC, Davis JM, Gulati A. Therapeutic Embolization of Juvenile Angiofibroma. AJR. 1979; 133: 657-63 4. Atalar M, Solak O, Muderris S. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma: Radiologic evaluation and Pre-operative embolization. KBB-Forum. 2006; 5(1): 58-61 5. Davis RK. Embolization of Epistaxis and Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. AJR. 1987;148: 209-18 6. Tewfik
TL.
Juvenile
Nasopharyngeal
Angiofibroma.
2013.
Diunduh
dari
http://emedicine.medscape.com [updated: Feb 7, 2013] 7. Naz N, Ahmed Z, Shaikh SM, Marfani MS. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma Role of Imaging in Diagnosis, Staging and Recurrence. Pakistan Journal of Surgery. 2009; 25 (3): 185-9 8. Kania RE, Sauvaget E, Guichard JP, Chapot R, Huy PTB, Herman P. Early Postoperative CT Scanning for Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma: Detection of Residual Disease. AJNR. 2005; 26: 82-8 9. Sutton D, Gregson RHS. Arteriography and Interventional Angiography. In: Sutton D. Textbook of Radiology and Imaging. 7th ed. Churchill Livingstone. 2008 : 1544-83 10. Ryan S, McNicholas M, Eustace S. Anatomy for Diagnostic Imaging. 2nd ed. Elsevier; 2004 11. Jacksen JE, Allison DJ, Meaney.Angiography: Principles, Techniques and Complication, In: Grainger & Allison's Diagnostic Radiology, 5th ed. Churchill Livingstone. 2008 : 227-31 12. Harrigan
MR,
Deveikis
JP.
Handbook
of
Cerebrovascular
Disease
and
Neurointerventional Technique. Springer Science. 2013 13. Verma N, Kumar N, Azad R, Sharma N. Angioamtous Polyp : A Condition Difficult to Diagnose. Otorhinolaryngology Clinics: An International Journal. 2011; 3(2): 93-7 14. Kumar B, Pant B, Jeppu S. Infarcted Angiectatic Nasal Polyp with Bone Erosion and Pterygopalatine Fossa Involvement-Simulating Malignancy. Case Report and Literature Review. The Internet Journal of Pathology. 2012;13(2): 1-10 27
15. Som PM, Curtin HD. Head and Neck Imaging. Elsevier. 2011 16. Chan M, Bartlett E, Sahgal A, Chan S and Yu E. Imaging of Nasopharyngeal Carcinoma, In: Carcinogenesis, Diagnosis, and Molecular Targeted Treatment for Nasopharyngeal Carcinoma. Shih-Shun Chen (Ed.), 2012. InTech. Diunduh dari http://www.intechopen.com 17. Hoe J. CT of Nasopharyngeal Carcinoma: Significance of Widening of the Preoccipital Soft Tissue on Axial Scans. AJR. 1989; 153:867-72 18. Abdel Razek AAK, King A. MRI and CT of Nasopharyngeal Carcinoma. AJR. 2012; 198:11-8 19. Hansen JT. Netter’s Clinical Anatomy. 2nd ed. Saunders Elsevier. 2010 20. Yousem DM, Grossman RI. Neuroradiology: The Requisite, 3rd ed. Mosby-Elsevier; 2010
28