Prosiding Seminar Agroindustri dan Lokakarya Nasional FKPT-TPI Program Studi TIP-UTM, 2-3 September 2015
Pengaruh Bahan Fiksasi terhadap Ketahanan Luntur dan Intensitas Warna Kain Mori Batik Hasil Pewarnaan Ekstrak Kulit Kayu Mahoni (Swietenia mahagoni (L) Jacg.) Susinggih Wijana*), Beauty Suestining Diyah D*)dan Muhammad Adam M**) Jurusan Teknologi Industri Pertanian-Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya. Jl. Veteran-Malang 65145 *email:
[email protected]
ABSTRAK Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh perbedaan konsentrasi dan bahan fiksasi terhadap intensitas dan ketahanan luntur warna kainmori batik menggunakan pewarna alami kulit kayu mahoni. Metode penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok dengan 2 faktor. Faktor pertama adalah bahan fiksasi yaitu tawas, tunjung dan kapur tohor, sedangkan faktor kedua adalah konsentrasi bahan fiksasi yaitu 10%, 25% dan 40% (b/v) dengan ulangan 3 kali. Analisis data menggunakan Multiple Attribute dan uji DMRT. Hasil analisis menunjukkan bahwa perlakuan terbaik diperoleh pada perlakuan bahan fiksasi kapur tohor (CaO) 40% (b/v) dengan nilai pada gosokan kering sebesar 6.4 (cukup baik), gosokan basah sebesar 10.2 (cukup), pencucian dengan uji Stanning scale sebesar 4 (baik) dan pencucian dengan menggunakan Grey scalle sebesar 2.1 (cukup baik). Hasil uji ketahanan luntur warna terhadap gosokan dan pencucian menunjukkan hasil terendah sampai terbesar yakni kapur tohor, tunjung, dan tawas. Semakin rendah (nilai GS dan SS) semakin bagus, ketahanan luntur warnanya tidak mudah pudar. Pada uji DMRT diperoleh rerata nilai L* paling baguspadafiksatortunjung dengan konsentrasi 25%, nilai a* terbaik pada tunjung 25%dannilai b* pada tunjung 25%. Kata kunci : fiksasi; pewarnaan batik,; ekstrakkulitmaho
PENDAHULUAN Batik merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang saat ini berkembang pesat, baik lokasi penyebaran, teknologi maupun desainnya. Berdasarkan data Departemen Perdagangan (2010), sejak tahun 2006, nilai ekspor batik Indonesia ke mancanegara sudah cukup besar mencapai USD 74,23 juta dan pada 2008, nilai hampir menyentuh USD 100 juta. Namun karena pengaruh krisis global ekspor batik turun di 2009 menjadi hanya USD 76,01 juta. Semula batik hanya dikenal di lingkungan keraton di Jawa dan dibuat dengan sistem tulis sedangkan pewarna yang digunakan berasal dari alam baik tumbuhan maupun binatang (Atikasari, 2005). Beberapa pigmen alami yang banyak terdapat di sekitar kita antara lain klorofil, karotenoid, tanin, dan antosianin. Umumnya, pigmen-pigmen ini bersifat tidak cukup stabil terhadap panas, cahaya, dan pH tertentu (Kwartiningsih dkk, 2009).Salah satu bahan yang dapat digunakan sebagai zat warna alami adalah kulit kayu mahoni (Swietenia mahagoni (L.) Jacq). Mahoni termasuk pohon besar dengan tinggi pohon mencapai 35-40 m dan diameter mencapai 125 cm. Batang lurus berbentuk silindris dan tidak berbanir. Kulit luar berwarna cokelat kehitaman, beralur dangkal seperti sisik, sedangkan kulit batang berwarna abu-abu dan halus ketika masih muda, berubah menjadi cokelat tua, beralur dan mengelupas setelah tua. Dari uraian tersebut, penelitian mengkaji pengikatan pewarna alami menggunakan bahan fiksasi berupa tawas, kapur dan tunjung dengan konsentrasi dibawah 50 g/l. Pemilihan bahan fiksasi tersebut didasarkan pada sifat zat yang relatif tidak membahayakan lingkungan dan sering digunakan pada penelitian-penelitian di BBKB (Balai Besar Batik dan Kerajinan) Yogyakarta. Fiksasi merupakan tahapan paling penting setelah proses pencelupan warna, karena fiksasi merupakan suatu tahapan untuk mengunci warna. Penggunaan larutan fiksatif dalam proses pewarnaan kain akan membuat warna menjadi tidak mudah pudar serta tahan terhadap gosokan (Ruwana, 2008). Pada tahapan fiksasi pewarna digunakan variasi bahan diantaranya tunjung (FeSO4), tawas (KAI(SO4)2.12H2O), dan kapur tohor (CaO). Penggunaan bahan
ISBN: 978-602-7998-92-6
B-202
Prosiding Seminar Agroindustri dan Lokakarya Nasional FKPT-TPI Program Studi TIP-UTM, 2-3 September 2015
fiksasi tersebut dikarenakan harganya yang terjangkau dan mudah didapatkan dipasaran. Oleh karena itu, perlu diketahui pengaruh variasi dan konsentrasi bahan fiksasi terhadap ketahanan luntur dan intensitas warna hasil pewarnaan kulit kayu mahoni pada kain batik. METODE Bahan Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini adalah kulit kayu mahoni yang diperoleh dari UKM batik “tie poek” di trenggalek. Bahan tambahan yang digunakan adalah tawas, tunjung dan kapur tohor dengan konsentrasi 10%, 25% dan 40%. Kain mori primissima untuk proses pembuatan batik. Alat Alat yang digunakan pada proses pembuatan batik adalah nampan, gelas ukur, kain saring, pengaduk, panci, kompor, timbangan, canting, gawangan dan pengaduk. Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan adalah RAK dengan 2 faktor, faktor pertama adalah jenis fiksator (tawas, tunjung dan kapur tohor) yang masing-masing terdiri dari 3 level yaitu konsentrasi (10%, 25%, dan 40%). Parameter penilaian yaitu ketahanan luntur dan intensitas warna. Data yang diperoleh diolah dengan ANOVA, lalu dilanjutkan dengan DMRT. Analisis Data Hasil data yang diperoleh kemudian dilakukan uji dengan menggunakan analisis ragam (Analysis of Varian atau ANNOVA). Jika terdapat perbedaan nyata dilanjutkan dengan BNT (Beda Nyata Terkecildan DMRT (Duncan’s Multiple Range Test) dengan selang kepercayaan (α=0,05). Penentuan Perlakuan Terbaik Penentuan perlakuan terbaik untuk menentukan pilihan terbaik dari sejumlah analisis data yang diteliti terhadap parameter yang dikaji sesuai tujuan penelitian. Pemilihan alternatif terbaik dilakukan dengan menggunakan metode Multiple Attribute (Zelany,1982). Hasil pemilihan perlakuan terbaik yang telah diteliti akan dipilih perlakuan yang terbaik berdasarkan hasil nilai rata-rata uji yang terbaik, baik berdasarkan intensitas warna maupun ketahanan luntur warna dari hasil tujuan yang diteliti. Pelaksanaan Penelitian Pelaksanaan penelitian berdasarkan diagram alir yang disusun bertahap. Diagram alir pembuatan larutan zat warna alami kulit kayu mahoni dapat dilihat pada Gambar 1. Diagram alir pembuatan larutan fiksasi pewarnaan kulit kayu mahoni dapat dilihat pada Gambar 2. Diagram alir pembuatan batik tulis dapat dilihat pada Gambar 3. 250g kulit kayu mahoni kering
Air 2500ml
Dicampur dan diaduk merata
Direbus pada suhu 85-900C selama 90 menit
Disaring dengan ukuran 120 mesh
residu
Larutan pewarna kulit kayu mahoni
Gambar 1. Diagram Alir Pembuatan Larutan Zat Warna Alami Kulit Kayu Mahoni
ISBN: 978-602-7998-92-6
B-203
Prosiding Seminar Agroindustri dan Lokakarya Nasional FKPT-TPI Program Studi TIP-UTM, 2-3 September 2015
Diagram alir pembuatan larutan fiksasi pewarnaan kulit kayu mahoni dapat dilihat pada Gambar 2. Bahan fiksasi (tawas (KAl(SO4)2.12H2O), tunjung(FeSO4), dan kapur tohor(CaO)
Air 500ml
Ditimbang sesuai perlakuan masing-masing (10%, 25%, 40%) (b/v) Diaduk merata Didiamkan 12jam
residu
Diambil larutan beningnya dan disaring Bahan fiksasi siap digunakan
Gambar 2. Diagram Alir Persiapan Larutan Fiksasi Diagram alir pembuatan batik tulis dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Diagram alir pembuatan batik tulis HASIL DAN PEMBAHASAN A. Intensitas Warna Nilai L* Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan dengan perbedaan bahan fiksasi dengan tingkat rasio 15% memberikan pengaruh terhadap nilai(L*). Perlakuan dengan
ISBN: 978-602-7998-92-6
B-203
Prosiding Seminar Agroindustri dan Lokakarya Nasional FKPT-TPI Program Studi TIP-UTM, 2-3 September 2015
konsentrasi bahan fiksasi yang berbeda dengantingkat kesalahan 5% memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai L*. Interaksi keduanya menunjukkan pengaruh yang berbeda, maka dilakukan uji DMRT pada tara fuji 5% pada masing-masing perlakuan. Rerata nilai L* yang dihasilkan dari perbedaan bahan dan konsentrasi bahan fiksasi dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Rerata Nilai L*pada berbagai Perlakuan Fiksasi BahanFiksasi Tawas (KAl(SO4)2.12H2O) Tunjung (FeSO4)
Kapur tohor(CaO)
Konsentrasi Bahan Fiksasi 10% 25% 40% 10% 25% 40% 10% 25% 40%
Rerata Nilai L* 42,45 32,85 41,25 41,45 32,25 41,1 42,15 32,5 46,25
JNT 1,34 1,30 1,33 1,34 1,22 1,32 1,34 1,28 1,34
Notasi d b bc c a bc cd ab e
Rerata nilai L* yang dihasilkan dari penguncian warna dengan konsentrasi dan bahan fiksasi yang berbeda menghasilkan nilai antara 32,25 sampai 46,25. Rerata nilai L* tertinggi dihasilkan dari perlakuan A3B3 (bahan fiksasi kapur tohor (CaO) dengan konsentrasi40%). Rerata nilai (L*) terendah dihasilkan dari perlakuan A2B2 (bahan fiksasi tunjung (FeSO4) dengan konsentrasi 25%). Menurut Pomeranz dan Meloans (1994) nilai L* menyatakan tingkat gelap terang dengan kisaran 0-100 dimana nilai 0 menyatakan kecenderungan warna hitam atau sangat gelap, sedangkan nilai 100 menyatakan kecenderungan warna terang/putih. Hasil rerata nilai L* menunjukkan bahwa bahan fiksasi tawas akan mengarahkan warna paling terang, dilanjutkan kapur tohor dan tunjung yang paling gelap.
konsentrasi Gambar 4. Grafik rerata nilai L* Pada Gambar 4 terlihat bahwa rerata nilai L* yang dihasilkan nilainya yang tidak stabil dimana pada konsentrasi 25% menghasilkan nilai yang paling kecil, kecuali pada kapur tohor yang mengalami kenaikan pada konsentrasi 40%. Berdasarkan Gambar 1 kenaikan nilai L* pada kapur tohor berbanding lurus dengan peningkatan konsentrasi bahan fiksasi yang digunakan. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi bahan fiksasi yang digunakan, maka warna kain akan semakin gelap (nilai L* semakin besar). Tingkat kecerahan yang tinggi menunjukkan semakin pudarnya warna pada ekstrak,begitu juga sebaliknya tingkat kecerahan yang rendah menunjukkan sumbangan warna yang tinggi (Saati, 2004).
ISBN: 978-602-7998-92-6
B-204
Prosiding Seminar Agroindustri dan Lokakarya Nasional FKPT-TPI Program Studi TIP-UTM, 2-3 September 2015
Nilai a* Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan dengan perbedaan bahan fiksasi dengan tingkat rasio 15% memberikan pengaruh terhadap nilai(a*). Perlakuan dengan konsentrasi bahan fiksasi yang berbeda dengan tingkat kesalahan 5% memberikan pengaruh yang berbeda terhadap nilaia*. Interaksi keduanya menunjukkan pengaruh yang berbeda, maka dilakukan uji DMRT pada tara fuji 5% pada masing-masing perlakuan. Rerata nilai L* yang dihasilkan dari perbedaan bahan dan konsentrasi bahan fiksasi dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Rerata Nilai a*pada Berbagai Perlakuan Fiksasi BahanFiksasi Konsentrasi Bahan Fiksasi Rerata nilai a* Tawas 10% 23,95 (KAl(SO4)2.12H2O) 25% 11,30 40% 23,40 Tunjung (FeSO4) 10% 23,55 25% 10,45 40% 21,55 Kapur tohor(CaO) 10% 22,80 25% 10,55 40% 23,70
JNT 0,17 0,16 0,17 0,17 0.15 0,17 0,17 0,16 0,17
Notasi e bc cd cd a bc c b d
Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa jika dalam pembuatan kain batik atau pewarnaan alami menggunakan bahan fiksasi akan mengalami perbedaan, hal ini ditunjukkan oleh perbedaaan pada masing-masing faktor. Urutan nilai a* yang dihasilkan mulai dari nilai tertinggi yaitu tawas 10% (23,95) dan terendah tunjung 25% (10,45). Hal ini diduga penggunaan bahan fiksasi yang berbeda-beda akan mengarahkan warna kain yang berbeda. Penggunaan konsentrasi pada bahan tersebut perlu diperhatikan agar hasil yang diinginkan sesuai dengan kebutuhan. Artinya berdasarkan urutan rerata nilai +a*, bahan fiksasi kapur tohor akan menghasilkan arah warna merah paling tua, dilanjutkan tawas menghasilkan arah warna merah agak muda dan tunjung menghasilkan arah warna merah paling muda.
Konsentrasi Gambar 5. Grafik rerata nilai +a* Nilai b* Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan dengan perbedaan bahan fiksasi dengan tingkat rasio 15% memberikan pengaruh terhadap nilai(b*). Perlakuan dengan konsentrasi bahan fiksasi yang berbeda dengan tingkat kesalahan 5% memberikan pengaruh yang berbeda terhadap nilai b*. Interaksi keduanya menunjukkan pengaruh yang berbeda, maka dilakukan uji DMRT pada tarafuji 5% pada masing-masing perlakuan. Rerata nilai b* yang dihasilkan dari perbedaan bahan dan konsentrasi bahan fiksasi dapat dilihat pada Tabel 3.
ISBN: 978-602-7998-92-6
B-205
Prosiding Seminar Agroindustri dan Lokakarya Nasional FKPT-TPI Program Studi TIP-UTM, 2-3 September 2015
Tabel 3. Rerata Nilai b*pada Berbagai Perlakuan Fiksasi Bahan Fiksasi Konsentrasi Bahan Fiksasi Tawas 10% (KAl(SO4)2.12H2O) 25% 40% Tunjung (FeSO4) 10% 25% 40% Kapur tohor(CaO) 10% 25% 40%
Rerata nilai b* 20.50 9.10 17.55 20.80 7.45 13.55 19.20 8.05 15.65
JNT 0.70 0.68 0.70 0.70 0.64 0.69 0.70 0.67 0.70
Notasi de bc cd e a bc d b c
Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa kain primissima berwarna yang difiksasi dengan bahan dan konsentrasi yang berbeda tawas menghasilkan rerata nilai a* tertinggi, dan tunjung mengahasilkan rerata nilai a* terendah. Hal ini dikarenakan saat penguncian warna pada kulit kayu mahoni masing-masing bahan fiksasi memiliki kekuatan mengikat bahan yang berbedabeda. Hal itu ditunjukkan dengan hasil nilai a* mulai dari tawas, tunjung, dan kapur tohor yang mengalami perbedaan. Artinya bahan fiksasi tawas mempunyai kekuatan yang paling kuat untuk mengikat axis nilai a* pada pewarna kulit kayu mahoni.
konsentrasi Gambar 6. Grafik rerata nilai +b* Pada Gambar 6 dapat dilihat bahwa kain primissima berwarna yang difiksasi dengan bahan dan konsentrasi yang berbeda, tawas menghasilkan rerata nilai b* tertinggi, dilanjutkan oleh kapur tohor dan tunjung dengan nilai b* terendah. Hal ini diduga pada saat penguncian warna, masing-masing bahan fiksasi dapat mengikat axis nilai b* pada pewarna kulit kayu mahoni dengan kekuatan mengikat yang berbeda-beda. Hal ini ditunjukkan dengan hasil nilai b* tertinggi sampai terendah yaitu mulai dari tawas, kapur tohor dan tunjung. Artinya bahan fiksasi kapur tohor mempunyai kekuatan yang paling kuat untuk mengikat axis nilai b* pada pewarna kulit kayu mahoni. B. Ketahanan Luntur Warna Terhadap Gosokan Hasil pengujian ketahanan luntur terhadap gosokan dilakukan secara visual dengan melihat nilai perubahan warna menggunakan alat Stainning Scale (standar skala penodaan). Ketahanan luntur terhadap gosokan terdapat dua perlakuan yakni secara basah dan kering. Nilai tahan luntur warna (data deskriptif) yang dihasilkan akan dikonversikan dalam suatu CD (Color Different). Stainning Scale digunakan sebagai standar penilaian, sebab kain yang diuji adalah kain putih yang telah ternodai oleh bahan uji (kain batik) hasil dari uji gosokan kering dan gosokan basah menggunakan Crockmeter. Semakin rendah nilai SS dari uji gosok, maka penilaian ketahanan luntur warnanya semakin baik.
ISBN: 978-602-7998-92-6
B-206
Prosiding Seminar Agroindustri dan Lokakarya Nasional FKPT-TPI Program Studi TIP-UTM, 2-3 September 2015
C. Ketahanan Kelunturan Terhadap Gosokan Basah
Gambar 7. Grafik Uji Ketahanan Gosok Basah Pada Gambar 7 menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi bahan fiksasi, maka nilai SS yang dihasilkan semakin rendah. Semakin rendahnya nilai SS mempengaruhi ketahanan luntur warna kain batik terhadap gosokan basah. Ketahanan luntur zat warna terhadap gosokan basah mempunyai nilai yang lebih rendah dibandingkan dengan gosokan kering. Medium air maka molekul zat warna akan ikut terbawa oleh air, atau dapat dikatakan disini terjadi proses imbibisi (Herlina, 2007). D. Ketahanan Kelunturan Terhadap Gosokan Kering
Gambar 8.Grafik Uji Ketahanan Gosok Kering Pada Gambar 8 menunjukkan semakin tinggi konsentrasi bahan fiksasi, maka nilai CD yang didapat semakin rendah. Semakin rendahnya nilai CD mempengaruhi ketahanan luntur warna kain batik terhadap gosokan kering. Moerdoko dkk, (1975) menyatakan semakin rendah nilai CD maka kualitas ketahan luntur warnanya semakin baik. Jika dievaluasi nilai dari rerata ketahanan luntur warna sudah baik dan sesuai dengan apa yang akan dgunakan. E. KetahananKelunturan Terhadap Pencucian Hasil pengujian ketahanan luntur terhadap pencucian dilakukan secara visual dengan melihat nilai dari perubahan warna kain yang dinodai dengan menggunakan alat Stainning Scale (standar skala penodaan) dan standar skala abu–abu (Grey Scale). Nilai tahan luntur warna yang dihasilkan akan dikonversikan dalam suatu CD (Color Different). Standar skala abu-abu (Grey Scale) digunakan sebagai standar penilaian bertujuan untuk menunjukkan perbedaan warna sebelum dan sesudah diuji. Sedangkan Standar skala penodaan (Stainning Scale) digunakan untuk menguji kain putih yang telah ternodai oleh bahan uji (kain batik) hasil dari uji pencucian menggunakan Laundrymeter. F. Uji Berdasarkan Nilai Standar Skala Penodaan (Stainning Scale) Pada Gambar 9 menunjukkan bahwa diantara konsentrasi yang baik adalah terdapat pada kapur tohor. Pada kapur tohor yang baik adalah pada nilai 4 dimana semakin kecil nilai CD,
ISBN: 978-602-7998-92-6
B-207
Prosiding Seminar Agroindustri dan Lokakarya Nasional FKPT-TPI Program Studi TIP-UTM, 2-3 September 2015
maka semakin bagus. Menurut Hasanudin dan Widjiati (2002) yang menyatakan bahwa sifat tahan luntur warna pencucian ditentukan oleh kuat lemahnya ikatan yang terjadi antara serat dan zat warna.
Gambar 9.Grafik Rerata Nilai Stainning Scale G. Uji Berdasarkan Nilai Standar Skala Abu-abu (Grey Scale) Pada Gambar 10 menunjukkan bahwa penambahan konsentrasi yang baik terdapat pada kapur tohor 40% dimana nilai CD semakin kecil yakni 2,1. Hal ini diduga dikarenakan berhubungan dengan kuat lemahnya ikatan antara serat dan zat warna. (Ruwana, 2008) menyatakan bahwa reaksi bahan fiksasi kapur dan tawas tersebut tidak menghasilkan garam maka ikatan antara serat kain dan tanin (asam tanat atau galotannat) kurang kuat. Berbeda dengan tunjung, kedua reaksi terakhir ini (kapur dan tawas tidak menghasilkan garam kompleks, tetapi senyawa - senyawa berikatan ionik).
Gambar10. GrafikRerataNilaiGrey Scale Perlakuan Terbaik Hasil perlakuan terbaik yang dipilih yaitu pada uji L* yang dipilih adalah tunjung dengan konsentrasi bahan 25%. Sedangkan pada uji a* yang dipilih adalah tunjung dengan konsentrasi 25%. Pada uji b* yang dipilih adalah tunjung dengan konsentrasi 25%. Hasil uji L*, a*, dan b* dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Perlakuan Terbaik Berdasarkan Uji Ketahanan Luntur Warna Parameter Perlakuan Keterangan FeSO425% (A2B2) 32.25 Belum ada standar uji ketahanan luntur L* warna hasil penguncian warna (fiksasi) 10.45 a* 7.45 b*
ISBN: 978-602-7998-92-6
B-208
Prosiding Seminar Agroindustri dan Lokakarya Nasional FKPT-TPI Program Studi TIP-UTM, 2-3 September 2015
Moerdoko dkk. (1975), menyatakan bahwa semakin rendah nilai CD maka kualitas tahan luntur warnanya semakin baik.Herlina (2007), menyatakan bahwa hasil penguncian warna (fiksasi) ketahanan lunturnya minimal cukup dengan nilai CD sebesar 3.00. Pada Tabel 4 uji ketahanan luntur warna perlakuan A3B3 menunjukkan hasil yang cukup baik. Pada uji ketahanan gosokan kering didapatkan antara bahan fiksasi kapur tohor dengan tanpa bahan fiksasi selisihnya sebesar 3.8. Nilai SS pada uji ketahanan pencucian selisihnya sebesar 0, sedangkan nilai GS selisihnyasebesar 0.6. Tabel 5.HasilUji Ketahanan Luntur Warna Batik yang Dihasilkan Parameter
Gosokan kering (SS) Gosokan basah (SS) Pencucian (SS) Pencucian (GS)
Perlakuan CaO40% (A3B3) Tanpa bahan fiksasi
6.4 (cukup baik) 10.2 (cukup) 4 (baik) 2.1 (cukup baik)
10.2 (cukup) 22.6 (kurang) 4 (baik) 2,7(cukup)
Keterangan
Belum ada standar uji ketahanan luntur warna hasil penguncian warna (fiksasi)
KESIMPULAN Hasil uji intensitas warna menunjukkan bahan fiksasi tunjung dengan konsentrasi 25% dapat mengikat reratanilai L*, a*, b* dengan kuat, sehingga dihasilkan nilai yang paling kecil. Sedangkan bahan fiksasi kapur tohor sangat lemah dalam mengikat reratanilai L*, a*, b*, sehingga dihasilkan nilai yang besar dan warna yang dihasilkan kurang bagus. Bahan fiksasi tawas akan menghasilkan warna yang sangat tua, tunjung menghasilkan warna kemerahan, dan kapur tohor menghasilkan warna muda. Hasil uji ketahanan luntur warna terhadap gosokan dan pencucian menunjukkan hasil yang terendah sampai dengan yang terbesar yakni kapur tohor, tunjung, dan tawas. Semakin rendah (nilai GS dan SS) maka akan semakin bagus, ketahanan luntur warnanya tidak akan mudah memudar. Perlakuan terbaik yang dipilih pada penelitian ini adalah pada perlakuan bahan fiksasi kapur tohor dengan konsentrasi 40%. DAFTAR PUSTAKA Anonim.2009. Balai Besar Batik dan Kerajinan Yogyakarta.Dilihat 18 maret 2015. http://www.balai-besar-batik.com. Atikasari, A. 2005.Kualitas Tahan luntur Warna Batik Cap di Griya Batik Larissa Pekalongan.Universitas Negeri Semarang Press. Semarang. Chang, L.C. and Kinghorn, A.D. 2001. ‘Flavonoid as Cancer Chemopreventive Agents’. in : Trigali, C, Bioactive Compounds from Natural Sources, Isolation, Characterisation and Biological Properties. Taylor and Francis. New York. Hasanudin, et al., 2001. Penelitian Penerapan Zat Warna Alam dan Kombinasinya pada produk Batik dan Tekstil Kerajinan Yogyakarta.Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri Kerajinan dan Batik. Yogyakarta. Herlina, S. 2007. Fiksasi Bahan Alami Buah Markisa dan Jeruk Nipis dalam Proses Pewarnaan Batik dengan Zat Warna Indigisol.Seni dan Budaya Yogyakarta. Yogyakarta. Kasmudjo, Panji, PS, Titis BW. Pemanfaatan Limbah Serbuk Kayu Mahoni Sebagai Pewarna Alami Batik. Bagian Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
ISBN: 978-602-7998-92-6
B-209
Prosiding Seminar Agroindustri dan Lokakarya Nasional FKPT-TPI Program Studi TIP-UTM, 2-3 September 2015
Kristijanto, A., Soetjipto H. 2013. Pengaruh Jenis Fiksatif Terhadap Ketuaan dan Ketahanan Luntur Kain Mori Batik Hasil Pewarnaan Limbah Teh Hijau. Jurnal MIPA. Vol 4. No.1. Fakultas Sains dan Matematika. Salatiga. Kwartiningsih, D.A., Setyawardhani, A., Wiyatno, dan Triyono, A. 2009. Zat Pewarna Alami Tekstil dari Kulit Buah Manggis. Jurnal Teknik Kimia. VIII (1) : 41-47. Universitas Negeri Semarang. Semarang. Moerdoko, W. 1975.Evaluasi Tekstil Bagian Kimia.Institut Teknologi Tekstil Bandung. Prasetyo, A. 2010. Batik Karya Agung Warisan Budaya Dunia. PuraPustaka.Yogyakarta. Ruwana, L. 2008. Pengaruh Zat Fiksasi Terhadap Ketahanan Luntur Warna Pada Proses Pencelupan Kain Kapas dengan Menggunakan Zat Warna dari Limbah Kayu Jati (Tectona grandis). Universitas Negeri Semarang. Semarang. Saati, E. A. 2004. Studi Efektivitas Ekstrak Pigmen Antosianin Bunga Mawar (Rosa sp.) terhadap Sumbangan Warna dan Daya Antioksidan pada Produk Makanan. Penelitian Jurusan Teknologi Hasil Pertanian. Fakultas Pertanian. Universitas Muhammadiyah. Malang. Sulaeman. 2000. Peningkatan Ketahanan Luntur Warna Alam Dengan Cara Pengerjaan Iring. Laporan Kegiatan Penelitian Balai Besar Kerajinan dan Batik. Yogyakarta. Zelleny, M. 1982. Multiple Criteria Decision Making. McGraw-Hill Co. New York.
ISBN: 978-602-7998-92-6
B-210