1 JURNAL TEKNIK SISTEM PERKAPALAN Vol. 1, No. 1 (2013) 1-11 EVALUASI SISTEM MANAJEMEN RANTAI DINGIN DI PT. TERMINAL PETIKEMAS SURABAYA (TPS) UNTUK HORTIKULTURA; JERUK DAN ANGGUR Ali Taufiq Hidayat1) R.O. Saut Gurning, S.T., M.Sc., Ph.D.2) Sutopo Purwono F., S.T., M.Eng., Ph.D.2) Jurusan Teknik Sistem Perkapalan, Fakultas Teknologi Kelautan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Jl. Arif Rahman Hakim, Surabaya 60111 Email :
[email protected],
[email protected],
[email protected] 1) Mahasiswa Jurusan Teknik Sistem Perkapalan, Fakultas Teknologi Kelautan ITS 2) Dosen Jurusan Teknik Sistem Perkapalan, Fakultas Teknologi Kelautan ITS Abstract - Sistem manajemen rantai dingin (cold chain management system) adalah salah jenis rantai suplai dimana pada prosesnya bertujuan untuk menjaga temperatur agar produk tetap terjaga selama proses distribusi. Pada proses manajemen rantai dingin ada dua hal penting yang perlu diperhatikan yaitu menjaga temperatur dan meminimalkan waktu distribusi sehingga produk bisa sampai di tempat tujuan sesuai yang direncanakan. Proses menjaga temperatur sangat tergantung dari jenis model sistem yang digunakan. Dalam paper ini terdapat tiga jenis model sistem pendingin. Model ini diusulkan berdasarkan hasil evaluasi berbasis observasi mengenai kondisi existing yang saat ini berjalan di PT. Terminal Petikemas Surabaya. Ketiga model tesebut adalah model 1 (reeferswarehouse), model 2 (pallets-warehouse), dan model 3 (pallets-warehouse, semiautomatic). Dari ketiga model tersebut kemudian dilakukan pemilihan model mana yang cocok untuk diterapkan. Dalam pemilihan modelmodel tersebut terdapat kriteria-kriteria seperti Coefficient of Performance (COP), Heat Balance (HB), Electrical Consumption (EC), dan Horticulture Criteria (HC). Pemilihan model ini menggunakan metode Analitic Network Process (ANP) dengan dibantu Software Super Decisions. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa model 1 (reefers-warehouse) merupakan model yang cocok diterapkan. Dari model terpilih tersebut kemudian disimulasikan menggunakan ARENA 14.0 (Student Version). Simulasi ini bertujuan untuk mengamati distribusi produk hortikultura impor yang masuk ke Surabaya melalui PT. Terminal Petikemas Surabaya (TPS) yang didistribusikan ke Jakarta menggunakan dua jalur yaitu darat (head truck) dan jalur laut (ship) dan mencari berapa komposisi optimum untuk jalur darat dan laut (dalam persentase) dengan mempertimbangkan waktu distribusi dan biaya transportasi. Dari hasil simulasi diperoleh komposisi yang optimum yaitu sebesar 40 % jalur darat dan 60 % jalur laut. Keyword: cold chain management, distribusi, hortikultura, reefer, pallet, warehouse, ANP, Super Decisions, ARENA
I.
PENDAHULUAN
Perkembangan jumlah penduduk Indonesia yang terus meningkat dari tahun ke tahun tentunya akan berpengaruh terhadap kebutuhan bahan makanan termasuk hortikultura. Pendapatan perkapita Indonesia saat ini sekitar
2.400 dolar AS per tahun, pada jumlah ini hortikultura memang belum menjadi kebutuhan utama. Namun, pendapatan per kapita ini diperkirakan akan terus meningkat setiap tahunnya. Hortikultura sendiri baru bisa menjadi kebutuhan utama yang akan dibeli masyarakat dengan tidak mempertimbangan harga ketika pendapatan per kapita 5.000 dolar AS. Namun, pada kenyataannya impor hortikultura juga semakin tahun semakin meningkat dengan harga yang lebih murah dari produk hortikultura lokal. Sehingga pemerintah membuat peraturan baru yang membatasi pintu masuk impor hortikultura yang resmi diberlakukan per tanggal 19 Juni 2012. Peraturan tersebut tertuang pada Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 15/Permentan/OT.140/3/2012. Berdasarkan Permentan tersebut pintu masuk impor hortikultura resmi dialihkan ke empat pelabuhan lainnya, yaitu Pelabuhan Belawan, Pelabuhan Makassar, Tanjung Perak, dan Bandara Soekarno Hatta. Peraturan ini adalah salah satu upaya untuk membantu petani lokal dalam persaingan pasar hortikultura. Pelabuhan Tanjung Perak sendiri hanya digunakan sebagai tempat transit produk hortikultura impor. Hal ini karena Jawa Timur merupakan penghasil produk hortikultura lokal. Sehingga Pemerintah Provinsi Jawa Timur berusaha melindungi petani lokal dengan memberlakukan Pelabuhan Tanjung Perak hanya sebagai transit saja. Karena hanya dijadikan sebagai transit inilah maka harga produk hortikultura impor akan mengalami kenaikan ketika sampai di tangan konsumen akhir. Adapun tujuan distribusi produk hortikultura impor tersebut berada di luar Jawa Timur khususnya Jakarta. Selain itu, terdapat kebijakan baru yang dikeluarkan oleh PT. Terminal Petikemas Surabaya mengenai lama waktu penumpukan atau transit maksimal 2 (dua) hari setelah dikeluarkan Surat Pemberitahuan Pengeluaran Barang (SPPB). Jika lebih dari itu maka pihak PT. Terminal Petikemas Surabaya akan melakukan pencabutan reefer plug (un-plug) dengan resiko ditanggung importir. Jika terjadi pencabutan reefer plug (un-plug) maka akan menyebabkan kerusakan produk yang ada dalam container tersebut. Apalagi ditambah temperatur udara Surabaya yang panas ditambah dengan semakin lama waktu simpan atau penumpukan di Surabaya. Di sisi lain, dengan meningkatnya volume reefer yang masuk maka diperlukan manajemen penanganan reefer yang cepat dan tepat dengan fasilitas terminal yang mendukung. Dalam penelitian ini penulis mengetengahkan permasalahan diantaranya adalah : 1. Bagaimana melakukan evaluasi Sistem Manajemen Rantai Dingin yang diterapkan di PT. Terminal Petikemas Surabaya (TPS).
2 JURNAL TEKNIK SISTEM PERKAPALAN Vol. 1, No. 1 (2013) 1-11 2. Bagaimana melakukan pemilihan Sistem Manajemen Rantai Dingin yang cocok untuk diterapkan di PT. Terminal Petikemas Surabaya (TPS). 3. Bagaimana membuat simulasi Sistem Manajemen Rantai Dingin yang menggambarkan aktifitas penanganan hortikultura.
digunakan untuk menangani produk yang akan didistribusikan pada rangkaian sistem rantai dingin (cold chain system). Saat ini umumnya angkutan yang digunakan untuk mendistribusikan hortikultura adalah reefer container. Hal ini karena praktis dan bisa berganti dai satu moda transport ke moda transport lainnya.
Sedangkan tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengevaluasi Sistem Manajemen Rantai Dingin hortikultura yang telah berjalan di PT. Terminal Petikemas Surabaya (TPS). 2. Memilih model sistem pendingin sebagai sistem utama pada rangkaian Sistem Manajemen Rantai Dingin yang cocok untuk diterapkan sesuai untuk manajemen penanganan hortikultura terkait perubahan kebijakan impor hotikultura. 3. Membuat simulasi yang menggambarkan aktifitas pada Sistem Manajemen Rantai Dingin dengan menggunakan software ARENA berdasarkan model yang dipilih.
Gambar 2.2 Reefer Container (Sumber: www. worldshipping.org)
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Umum Sistem manajemen rantai dingin (cold chain management system) adalah salah satu jenis rantai suplai (supply chain) di mana di dalam prosesnya bertujuan untuk menjaga temperatur agar produk tetap terjaga selama proses distribusi pada rangkaian rantai suplai (supply chain). Kegagalan dari sebuah sistem rantai dingin merupakan kegagalan seluruh aktivitas yang dialami oleh seluruh rangkaian rantai supply (supply chain) secara series dalam memelihara range temperature sesuai dengan produknya. Pada dasarnya sistem rantai dingin diterapkan pada industri makanan dan obat-obatan juga pada bebarapa kapal bermuatan bahan kimia. Pada industri obat-obatan temperature dijaga antara 2 - 8 0 C, tetapi teperatur ini tentunya akan berbeda tergantung dari produk yang ditanganinya. Sedangkan sistem manajemen rantai dingin (cold chain management system) sendiri merupakan sebuah menajemen dari seluruh aktivitas sistem rantai dingin agar berjalan secara efektif dan efisien baik secara teknis maupun ekonomis.
2.2 Hortikultura Peningkatan impor hortikultura menjadi salah satu isu penting menjelang akhir tahun 2012 ini.Hal ini terlihat dari tabel 2.1 di bawah ini. Tabel 2.1 Nilai impor hortikultura (juta dolar AS) Komoditas
2010
2012
Bawang putih
245,96
272,82
Jeruk (27,97)
183,12
211,09
Apel (18,67)
170,67
189,34
Pir (18,92)
87,83
106,75
Anggur (34,71)
86,51
121,22
Kentang
41,19
81,22
Durian
34,71
38,19
Bawang merah
33,86
77.44
Bawang Bombay
32,97
43,22
Cabe
18,60
27,57
Total
953,43
1.168,86
1.270,89
1.657,78
Total Hortikultura
Sumber: Majalah Perak Pos, 2012
Gambar 2.1 Sistem Rantai Dingin (sumber: rfid.thingmagic.com, 2011) Efektif yang dimaksud berhubungan dengan waktu distribusi yang tepat sehingga produk terdistribusi sampai ke tangan konsumen dengan kualitas terjaga. Sedangkan efisien berhubungan dengan sistem rantai dingin yang
Berdasarkan perhitungan peningkatan nilai impor pada Tabel 2.1 maka komoditas hortikultura yang akan dijadikan sebagai objek adalah jeruk dan anggur. Jeruk dan anggur sendiri dipilih sebagai salah satu kriteria untuk pemilihan sistem pendingin pada rangkaian sistem rantai dingin. Hal ini karena kedua buah ini memiliki daya simpan lebih singkat dibandingkan buah-buahan lainnya. Dengan demikian, sistem pendingin yang dipilih berdasarkan kriteria kedua buah ini diharapkan bisa diaplikasikan juga pada buah-buahan lainnya. Pada suhu ruangan, jeruk memiliki daya tahan penyimpanan hanya sampai 2 minggu untuk buah jeruk mandarin dan 3 minggu untuk buah
3 JURNAL TEKNIK SISTEM PERKAPALAN Vol. 1, No. 1 (2013) 1-11 sunkist, sedangkan buah anggur memiliki daya tahan selama 2 minggu. Sementara itu, pada suhu dingin yang konstan buah-buahan mampu bertahan lama yaitu 5 minggu untuk jeruk mandarin dan 10 minggu untuk buah sunkist. Untuk buah anggur sendiri mampu bertahan selama 8 minggu. Hasil penelitian laboratorium secara umum menunjukkan bahwa penyimpanan pada suhu rendah (dingin) yang dipertahankan konstan dapat memperpanjang mutu fisik (warna dan penampilan/kesegaran, tekstur dan cita rasa) dan nilai gizi terutama kandungan Vitamin C buah impor. (Abu Bakar Tawali, dkk)
Gambar 2.3 Jeruk dan Anggur (Sumber: hilman.web.id, 2009 dan indonesiaindonesia.com, 2009) 2.3 Pendinginan Sistem pendinginan pada pangan adalah sebuah usaha untuk menjaga temperatur ruangan di mana produk hortikultura itu disimpan. Dalam hal ini produk hortikultura yang dimaksud adalah jeruk dan anggur. Menurut pengalaman di dunia pertanian bahwa penyimpanan produk hortikultura pada suhu rendah (pendinginan) dapat memperpanjang lama simpan dari produk tersebut. Ada dua cara penyimpanan pada suhu rendah yaitu pendinginan (chilled) dan pembekuan (frozen). Pendinginan atau refrigerasi adalah proses pengambilan panas (kalor) dari suatu benda sehingga temperaturnya akan menjadi lebih rendah dari sekelilingnya. Pada proses pendinginan suhu dijaga -20 sampai -100 C, sedangkan proses pembekuan temperatur dijaga antara -120 sampai -400 C atau di bawah titik beku dari suatu bahan yang akan dibekukan. Temperatur tersebut umumnya menyesuaikan dengan komoditas hortikultura yang akan didinginkan seperti pada penelitian ini temperatur pendinginan dijaga pada 20 sampai 80 C. 2.4 Pemilihan Model Sistem Pendingin Pada pemilihan model sistem pendingin dalam penelitian ini menggunakan metode Analitic Network Process (ANP). ANP merupakan generalisasi dari metode Analitic Hierarchy Process (AHP). ANP menggunakan suatu bentuk network yang tidak perlu disebutkan levelnya atau kedudukannya secara hierarki. ANP memanfaatkan ide mengenai adanya suatu hierarki pengendali (control hierarchy) yang menjadi kriteria induk untuk kemudian digunakan untuk memperbandingkan elemen-elemen di suatu komponen-komponen dalam model haruslah bersifat umum. Sedangkan dalam proses pengerjaannya dibantu dengan software Super Decisions. Pada pengerjaan penelitian ini, input data diperoleh melalui perhitungan dan referensi dari peneliti lain. Input data berdasarkan hasil
perhitungan adalah Coefficient of Performance (COP), Heat Balance (HB), Electrical Consumption (EC), sedangkan Horticulture Criteria (HC) diperoleh dari hasil penelitian orang lain. Terdapat 3 buah alternatif model sistem pendingin yang akan dipilih yaitu model 1 (reeferswarehouse), model 2 (pallets-warehouse), dan model 3 (pallets-warehouse, semiautomatic). Berikut ini model ANP secara umum.
Gambar 2.4 Model ANP beserta control hierarchy-nya Bila ditampilkan ke dalam software Super Decisions maka proses pemilihan alternatif model sistem pendingin tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 2.5 Layout Super Decisions 2.5 Pembuatan Simulasi Setelah diperoleh hasil pemilihan berupa model alternatif sistem pendingin, langkah selanjutnya yaitu membuat simulasi distribusi hortikultura impor. Simulasi ini menggambarkan hortikultura impor yang masuk ke PT. Terminal Petikemas Surabaya dan didistribusikan ke Jakarta. Dalam penyusunan simulasi ini menggunakan bantuan software ARENA 14.0 Student Version. ARENA adalah software simulasi kejadian diskrit untuk simulasi dan otomasi yang dikembangkan melalui sistem modeling dan diakuisisi oleh Rockwell Automation pada tahun 2000. Software ini menggunakan prosesor SIMAN dan bahasa simulasi. Pada Juni 2012, itu dalam versi 14 (versi pertama dengan alat visualisasi 3D online). Ia telah mengemukakan bahwa Arena dapat bergabung paket lainnya Rockwell software di bawah merek Factory Talk. Pada ARENA sendiri, user membangun model percobaan dengan menempatkan modul (kotak dari berbagai bentuk) yang mewakili proses atau logika. Garis konektor digunakan untuk bergabung dengan modul
4 JURNAL TEKNIK SISTEM PERKAPALAN Vol. 1, No. 1 (2013) 1-11 bersama-sama dan menentukan aliran entitas. Sementara modul memiliki tindakan tertentu relatif terhadap entitas, aliran, dan waktu, representasi yang tepat dari masingmasing modul dan entitas relatif terhadap kondisi riil pada modeler. Data statistik, seperti waktu siklus dan WIP (barang dalam proses) tingkat, dapat direkam dan output sebagai laporan. Berikut ini merupakan layout pada software ARENA.
Gambar 2.6 Layout ARENA 14.0 Student Version Modul-modul pada yang terdapat di Project Bar merupakan modul dasar untuk membuat simulasi. Modulmodul dasar tersebut antara lain modul Create, Dispose, Process, Decide, Batch, Separate, Assign, Record, dll. Setelah membuat simulasi maka langkah selanjutnya adalah menjalankan simulasi. Sebelum menjalankan simulasi dilakukan pengaturan simulasi sesuai dengan yang didesain.
III. METODOLOGI Metodologi adalah sebuah kerangka dasar atau alur untuk mengerjakan sesuatu, dalam hal ini pengerjaan penelitian. Dalam penelitian ini dibutuhkan beberapa tahapan untuk menggambarkan proses yang dimulai dari perumusan masalah yang ada sampai pada hasil akhir atau tujuan penelitian ini.
Gambar 3.1 Diagram Alir Penelitian
3.1 Perumusan Masalah Permasalahan dalam penelitian ini adalah penanganan hortikultura di PT. Terminal Petikemas Surabaya (TPS) terkait perubahan kebijakan pemerintah mengenai pembatasan pintu masuk impor. Permasalahan yang ada yaitu terjadi penumpukan reefer setelah diberlakukannya Pelabuhan Tanjung Perak sebagai salah satu dari 4 (empat) pintu masuk impor hortikultura ke Indonesia. Hortikultura sendiri memiliki karakteristik perishable yaitu barang mudah rusak. Selain itu, hortikultura sendiri harus mendapat penanganan khusus yaitu dengan menjaga temperatur sehingga bisa menambah daya simpan hortikultura. Oleh karena itu pada penelitian ini terdapat 2 (dua) permasalahan utama yang diketengahkan yaitu bagaimana memilih model sistem pendingin dan simulasi penanganan reefer untuk hortikultura. 3.2 Studi Literatur Studi literatur dilakukan dengan mengumpulkan bahan referensi untuk dipelajari sebagai bahan pendukung yang sangat penting untuk kegiatan penelitian ini. Kegiatan yang dilakukan meliputi: Pencarian beberapa jurnal ataupun paper yang berhubungan dengan Sistem Manajemen Rantai Dingin (Cold Chain Management System) Mencari materi tentang hortikultura serta pengembangannya ke depan. Teknologi Pendinginan Metode Analytic Network Process (ANP) Simulasi menggunakan software ARENA 3.3 Menetapkan Parameter Pada bagian ini parameter yang diterapkan diantaranya adalah COP (Coefficient of Performance) atau efisiensi adalah perbandingan antara kapasitas pendinginan yang dihasilkan (satuan: kW) terhadap ekivalensi termal kompresor yang digunakan (satuan: kW) pada suatu sistem pendingin. Pada pengerjaan skripsi ini COP atau efisiensi yang diasumsikan sama dengan keandalan dari sebuah sistem pendingin pada Sistem Manajemen Rantai Dingin (Cold Chain Management System) yang dianalisa. Heat Balance (HB) adalah keseimbangan antara kebutuhan pendinginan dengan sumber pendingin yang dibutuhkan. Heat Balance juga bisa diasumsikan beban-beban pemanasan apa saja yang adalah pada sebuah sistem pendingin. Dalam penelitian ini Heat Balance yang dimaksud adalah beban-beban pemanasan yang ada pada sistem pendingin. Electrical Consumption (EC) adalah konsumsi listrik dari masing-masing komponen sistem pendingin dan fasilitas lain yaitu penerangan pada sistem pendingin. Horticulture Criteria (HC) adalah kriteria dari hortikultura yang dianalisa. Dalam penelitian ini hortikultura yang dijadikan sebagai standar kriteria untuk sistem pendingin adalah jeruk dan anggur. Karena jeruk dan anggur memiliki daya simpan yang paling singkat dibanding jenis buah-buahan
5 JURNAL TEKNIK SISTEM PERKAPALAN Vol. 1, No. 1 (2013) 1-11 lain dan merupakan buah impor yang paling banyak masuk ke Indonesia. 3.4 Observasi Observasi yang akan dilakukan di PT. Terminal Petikemas Surabaya (TPS) sebagai anak perusahaan PT. Pelindo III Surabaya sebagai otoritas pemegang kendali Pelabuhan Tanjung Perak yang merupakan salah satu dari 4 (empat) pintu masuk impor hortikultura di Indonesia. Observasi ini selanjutnya akan menjadi dasar pengerjaan skripsi ini. Adapun data-data yang akan dicari selama proses observasi adalah data-data riil yang berhubungan dengan proses Sistem Manajemen Rantai Dingin (Cold Chain Management System) yang selama ini telah berjalan di PT. Terminal Petikemas Surabaya (TPS). Data tersebut diantaranya sistem pendingin, penanganan reefer, volume reefer dan sistem distribusi reefer untuk hortikultura. 3.5 Evaluasi Pada tahap ini adalah proses analisa yang dilakukan pada Sistem Manajemen Rantai Dingin (Cold Chain Management System) yang telah berjalan di PT. Terminal Petikemas Surabaya (TPS). Sistem Manajemen Rantai Dingin yang dimaksud adalah adalah bagaimana proses penanganan reefer yang telah berjalan di PT. Terminal Petikemas Surabaya (TPS). Jika pada evaluasi ini telah sesuai atau tidak ada masalah, maka akan dilanjutkan dengan simulasi menggunakan software ARENA. Namun, jika pada evaluasi ini terdapat hal yang dianggap tidak sesuai berdasarkan teori yang ada atau masalah pada pada sistem yang telah berjalan, maka akan diajukan model sistem pendingin sebagai salah satu bagian utama dari rangkaian Sistem Manajemen Rantai Dingin (Cold Chain Management System) yang telah dimodifikasi. Kemudian dilakukan pemilihan model sistem pendingin kemudian dilakukan simulasi menggunakan software ARENA sesuai model yang dipilih. 3.6 Pemilihan Sistem Pendingin Pemilihan sistem pendingin dilakukan setelah mengajukan model yang telah dimodifikasi sesuai hasil evaluasi di lapangan. Dalam pemilihan model sistem pendingin mengacu pada kriteria sistem pendingin pada tahap sebelumnya. Kriteria sistem pendingin menjadi standar kriteria dikarenakan sistem pendingin merupakan sistem yang utama pada rangkaian Sistem Manajemen Rantai Dingin (Cold Chain Management System). Pemilihan sistem pendingin ini dilakukan dengan menggunakan metode Analytic Network Process (ANP). Metode ANP digunakan untuk melakukan pemilihan sistem yang kompleks dengan berbagai kriteria sesuai dengan hubungan network-nya. Dalam pengerjaannya dibantu dengan menggunakan software Super Decisions. 3.7 Pemodelan dengan ARENA Setelah didapatkan hasil pemilihan sistem pendingin yang merupakan sistem utama pada rangkaian Sistem Manajemen Rantai Dingin (Cold Chain Management System) yang kemudian dibuat simulasi menggunakan software ARENA. Simulasi ARENA menunjukan penanganan hortikultura pada saat mulai masuk ke PT. Terminal Petikemas Surabaya (TPS) sampai didistribusikan ke tempat lain di luar Jawa Timur yaitu Jakarta dengan moda transportasi darat dan laut.
3.8 Kesimpulan Pada akhir penelitian ini adalah dilakukan analisa kesimpulan dari seluruh hasil penelitian ini. Kesimpulan yang dihasilkan merupakan jawaban dari permasalah yang diketengahkan dalam penelitian ini, dan merupakan rangkuman dari proses penelitian serta pengolahan data yang telah dilakukan.
IV. ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN 4.1 Evaluasi PT. Terminal Petikemas Surabaya (TPS) dengan memiliki fasilitas lengkap untuk menangani setiap petikemas atau reefer yang masuk maupun keluar. Berdasarkan hasil observasi ditemukan bahwa penanganan reefer hortikultura sendiri digambarkan sebagai berikut.
Diangkut ke TPS Yard
Diangkut dari TPS
Gambar 4.1 Penanganan reefer hortikultura Sesuai dengan hasil diskusi bersama teknisi lapangan yang menangani reefer bahwa terdapat permasalahan yang berpengaruh terhadap hortikultura. Permasalahan tersebut adalah reefer yang mendapat pengaruh dari panas matahari di Surabaya dengan suhu mencapai 370 C pada siang hari. Sedangkan suhu normal yang ideal untuk kondisi lingkungan yaitu pada suhu 320 C. Akibatnya reefer yang harus di-setting ulang untuk tetap menjaga hortikultura di dalamnya. Dengan melakukan pengaturan ini akan menambah beban kerja dari sistem pendingin tersebut. Penambahan beban kerja ini secara otomatis akan meningkatkan konsumsi energi listrik pada kondisi temperatur lingkungan ideal. Pengaturan mesin pendingin dilakukan dengan cara mengatur bukaan katup ekspansi sehingga mencapai suhu yang diinginkan. Semakin besar bukaan katup, akan semakin besar efek refrigerasinya, kerja compressor semakin tinggi, dan semakin besar juga konsumsi energi listrik, tetapi Coefficient of Performance (COP) semakin turun. Sedangkan untuk sistem pendingin yang diharapkan adalah sistem yang memiliki Coefficient of Performance (COP) yang tinggi dengan Electrical Consumption (EC) atau konsumsi energi listrik yang rendah.
6 JURNAL TEKNIK SISTEM PERKAPALAN Vol. 1, No. 1 (2013) 1-11 4.2 Model Sistem Pendingin Berdasarkan hasil observasi, maka peneliti mengajukan model sistem pendingin yang merupakan sistem utama dari Sistem Manajemen Rantai Dingin (Cold Chain Management System) yang memodifikasi sistem yang sudah berjalan saat ini. Pada dasarnya modifikasi ini adalah berkaitan untuk mengkondisikan sistem pendingin agar memiliki kondisi yang sesuai persyaratan sehingga bisa berjalan optimum. Berjalan optimum maksudnya adalah memiliki Coefficient of Performance (COP) yang tinggi dengan Electrical Consumption (EC) atau konsumsi energi listrik yang rendah. Selain kedua parameter itu, parameter lain yang dipertimbangkan yaitu Heat Balance (HB) yang bisa merata dan produk hortikultura yang terjaga kualitasnya. Kriteria lain yaitu Horticulture Criteria (HC) yang menjadi dasar dalam mendesain model yang diajukan. Adapun model-model sistem yang diajukan adalah : 1. Model 1 (Reefers-Warehouse) Model 1 (Reefers-Warehouse) adalah model sistem pendingin sebagai sistem utama pada Sistem Manajemen Rantai Dingin (Cold Chain Management System) dengan menempatkan reefer berada di dalam warehouse. Perlakuan ini diharapkan reefer tidak terkontaminasi oleh cuaca atau panas matahari yang dapat menyebabkan kenaikan suhu pada reefer sehingga harus di-setting ulang untuk menyesuaikan temperaturnya. Setting temperatur ini akan menyebabkan kenaikan Electrical Consumption (EC) atau konsumsi energi listrik dan menurunkan Coefficient of Performance (COP). Model 1 (Reefers-Warehouse) ini digambarkan di bawah ini.
Disimpan
Untuk menampung reefer dengan jumlah kedatangan sekitar 195 reefer/hari maka ditentukan dimensi ruang sebagai berikut : Panjang = 130 m Lebar = 23 m Tinggi = 10 m
Gambar 4.3 Denah Model 1 (Reefers-Warehouse) Volume reefer yang dapat ditampung adalah sebanyak 204 TEUS. Dengan desain seperti ini sedikitnya dibutuhkan 3 model bangunan seperti ini. Hal ini dikarenakan rata-rata waktu simpan di reefer di TPS antara 3-10 hari. 2.
Model 2 (Pallets-Warehouse) Model 2 (Pallets-Warehouse) adalah model sistem pendingin sebagai sistem utama pada Sistem Manajemen Rantai Dingin (Cold Chain Management System) dengan menempatkan pallet berada di dalam warehouse. Pallet ini berasal dari reefer yang dibuka. Dengan cara ini diharapkan pallet yang disimpan di warehouse akan mendapat perlakuan yang sama dari sistem pendingin untuk semua produk hortikultura yang ditanganinya. Hal ini karena pada warehouse tersebut hanya terdapat satu sistem pendingin yang utama. Karena memiliki satu sistem yang tunggal maka Heat Balance (HB) akan merata ke semua produk hortikultura yang berada di pallet. Model 2 (Pallets-Warehouse) ini digambarkan di bawah ini.
Gambar 4.2 Model 1 (Reefers-Warehouse) Berikut ini detail desain model 1 berdasarkan data yang ada di lapangan beserta pertimbangan lain yang mendukung. Berdasarkan data reefer yang masuk ke TPS diketahui rata-rata setiap hari terdapat 150 reefer. Dengan mengestimasikan kenaikan reefer untuk waktu yang akan datang dengan mengacu pada data rata-rata kenaikan volume reefer beberapa tahun ke belakang, maka dipilihnya estimasi kenaikan sebesar 30%. Sehingga volume reefer yang masuk diperkirakan sekitar: Volume reefer = 130 % x 150 reefer/hari = 195 reefer/hari
Gambar 4.4 Model 2 (Pallets-Warehouse) (sumber : businesstoday.intoday.in) Berikut ini detail desain model 2 berdasarkan data yang ada di lapangan beserta pertimbangan lain yang mendukung. Desain model 2 ini memiliki dimensi yang sama dengan model 1. Perbedaan signifikan terletak pada sistem pendingin terpusat dengan menggunakan Air Handling Unit (AHU). AHU ini menempati ruangan sendiri di Plant Room kemudian melalui sistem
7 JURNAL TEKNIK SISTEM PERKAPALAN Vol. 1, No. 1 (2013) 1-11 perpipaan disalurkan ke seluruh ruang pendingin (Chamber). Pada desain model 2 ini terdapat ruangan Grading dan Sorting yang berfungsi untuk memilih hortikultura (buah) mana yang masih bagus atau tidak sehingga akan mempengaruhi di mana buah itu akan diletakan atau tidak diletakan. Selain itu terdapat Workshop sebagai tempat perbaikan jika ada komponen dari sistem pendingin atau AHU mengalami masalah. Secara umum volume pallet yang dapat ditampung oleh model 2 sebanyak 7344 pallets atau sekitar 204 TEUS. Kapasitas ini sama dengan desain model 1 yang direncanakan. Gambar 4.7 Denah Model 3 (Pallets-Warehouse, semiautomatic) 4.3 Pemilihan Sistem Pendingin Pada bagian akan dibahas mengenai pemilihan sistem pendingin sebagai sistem utama pada Sistem Manajemen Rantai Dingin (Cold Chain Management System) sesuai model yang diajukan. Pemilihan ini menggunakan metode Analytic Network Process (ANP).
Gambar 4.5 Denah Model 2 (Pallet-Warehouse) 3.
Model 3 (Pallets-Warehouse, semiautomatic) Model 3 (Pallets-Warehouse, semiautomatic) pada dasarnya hampir sama adalah model 2 yaitu sistem pendingin yang merupakan sistem utama pada Sistem Manajemen Rantai Dingin (Cold Chain Management System) dengan menempatkan pallet berada di dalam warehouse. Yang membedakan di sini terletak pada sistem pendinginnya. Sistem pendingin yang dimaksud adalah sistem pendingin semiautomatic, artinya sistem pendingin gabungan anatara elektrik dan sistem pendingin alami dengan menggunakan es kering. Sistem pendingin elektrik sama seperti sistem pendingin yang lainnya dengan kapasitas lebih kecil dari model 2. Sistem pendingin alami dimaksud adalah sistem pendingin menggunakan es kering. Pada model ini diharapkan mampu mengurangi konsumsi energi listrik meskipun Heat Balance-nya tidak bisa merata seperti model 2. Volume pallet yang dapat ditampung sama halnya dengan model 2 yaitu 7344 pallets atau sekitar 204 TEUS.
M. Pendingin
Gambar 4.6 Prinsip Model 3 (Pallet-Warehouse, semiautomatic)
4.3.1 Kriteria Sistem Pendingin Pada pemilihan ini menggunakan beberapa kriteria. Kriteria pemilihan sistem pendingin tersebut diantaranya Coefficient of Performance (COP), Heat Balance (HB), Electrical Consumption (EC), dan Horticulture Criteria (HC). Untuk mendapatkan nilai masing-masing kriteria digunakan dengan melakukan perhitungan pada masingmasing desain model yang diajukan. Adapun nilai-nilai yang berdasarkan hasil perhitungan adalah Coefficient of Performance (COP), Heat Balance (HB), dan Electrical Consumption (EC). Sedangkan untuk Horticulture Criteria dijadikan sebagai standar limit waktu untuk simulasi dan untuk masing-masing model yang didesain diberikan nilai yang sama. Berikut hasil perhitungan ketiga kriteria tersebut : 1. Heat Balance (HB) Langkah awal dalam melakukan perhitungan masingmasing kriteria yaitu menghitung total beban pendingin. Beban pendingin terbagi terdiri dari : 1. Transmission Load Transmission Load adalah beban panas dari luar ruang pendingin yang mengalir melalui dinding, lantai, dan atap yang masuk secara konduksi ke dalam ruang pendingin. Formulasi yang digunakan adalah sebagai berikut : Qt = U.A.(To – Ti) ……………....……......… (1) Dimana Qt = beban panas yang mengalir/transmisi (W) U = koefisien perpindahan panas (W/m2 K) A = luas permukaan dinding bagian luar (m2) To = temperatur dinding bagian luar (K) Ti = temperatur dinding bagian dalam (K) Sedangkan nilai U diperoleh melalui persamaan : 1/U = 1/hi + x1/k1 + x2/h2 + x3/h3 + 1/ho ……. (2) Dimana U = koefisien perpindahan panas (W/m2 K) hi = koefisien konveksi dinding dalam (W/m2 K) ho = koefisien konveksi dinding luar (W/m2 K) x = tebal insulasi (m)
8 JURNAL TEKNIK SISTEM PERKAPALAN Vol. 1, No. 1 (2013) 1-11 k = konduktivitas thermal (W/m K) 2. Infiltration Load Infiltration Load adalah beban panas yang terjadi karena adanya pertukaran udara melalui pintu dan ventilasi ruang pendingin. Formulasi yang digunakan adalah sebagai berikut : Qi = v x pertukaran udara dalam 24 jam x heat gain/24 jam …...………………….. (3) Dimana Qi = beban pertukaran udara/infiltrasi (kW) v = volume udara ruangan (m3) Heat gain = beban pertukaran udara per m3 per jam 3. Radiation Load Radiation Load adalah beban yang disebabkan oleh adanya sinar matahari yang mengenai reefer atau warehouse. Formulasi yang digunakan adalah sebagai berikut : Qr = U.A.(CLTD) …………………..………. (4) Dimana Qr = beban radiasi (W) U = koefisien perpindahan panas (W/m2 K) A = luas permukaan dinding bagian luar (m2) CLTD = cooling load temperature difference (K) 4. Product Load Product Load adalah beban panas sensible produk dari temperatur awal ke titik beku yang diinginkan (chill). Formulasi yang digunakan adalah sebagai berikut : Qp = m.cp.(T2 – T1) …………..…….....……. (5) Dimana Qp = beban produk (cal) m = massa produk (kg) T1 = temperatur awal produk (0C) T2 = temperatur akhir produk (0C) cp = panas spesifik produk (cal/gr.0C) cjeruk = 0,46 cal/gr.0C canggur = 0,47 cal/gr.0C 5. Adding Load Adding Load adalah beban-beban tambahan seperti peralatan elektronik atau lampu sebagai penerangan untuk orang yang bekerja di dalamnya. Formulasi yang digunakan adalah sebagai berikut : 1. Beban panas penerangan Ql = daya lampu x jam operasi/24 jam .….. (6) 2. Beban pekerja Qo = jumlah pekerja x heat equivalent x jam operasi/24 jam ………………………...... (7)
Dimana Qt = total beban pendinginan (Btu/hr) WAC = daya aktual kompresor (Btu/hr) Dalam hal ini daya aktual kompresor diperoleh dari persamaan sebagai berikut : WAC = WC / Eff ...................................................... (9) Dimana WC = daya kompresor (Btu/hr) Sedangkan daya kompresor diperoleh melalui persamaan sebagai berikut : WC = m.(h2s – h1) ................................................. (10) Nilai m diperoleh melalui persamaan sebagai berikut : m = Qt / (h1-h4) …………………………………. (11) Nilai-nilai h1, h2s, h4 diperoleh dari pembacaan grafik dari refrigeran yang digunakan yaitu R 404.
Gambar 4.8 Hasil pembacaan grafik R 404 pada model 1 3. Electrical Consumption (EC) Electrical Consumption (EC) adalah konsumsi listrik dari masing-masing komponen sistem pendingin dan fasilitas lain yaitu penerangan pada model sistem pendingin. Untuk menghitung total konsumsi listrik maka diperlukan data-data seperti spesifikasi dari sistem pendingin, jumlah lampu serta perlataan lain yang terdapat pada masing-masing model sistem pendingin yang diajukan. 4. Horticulture Criteria (HC) Horticulture Criteria (HC) adalah kriteria dari hortikultura yang dianalisa. Dalam penelitian ini mengacu kepada penelitian yang telah dilakukan oleh Abu Bakar Tawali, dkk pada program penelitian antara Indonesia Cold Chain Project yang bekerjasama dengan Jurusan Teknologi Pertanian, Fapertahut UNHAS 2004. Berdasarkan hasil penelitian tersebut diperoleh berbagai grafik yang menunjukan penurunan kualitas dan kuantitas buah secara fisik maupun kimiawi ketika mengalami perlakuan pendinginan secara konstan, fluktuatif, dan suhu ruangan. Seperti ditunjukan pada gambar 4.9 di bawah ini.
Catatan : total Heat Balance (HB) merupakan total seluruh beban pendingin dengan satuan yang sama. (misal Btu/hr atau kW) 2. Coefficient of Performance (COP) Untuk mendapatkan nilai COP pada masing-masing model maka diperlukan data mengenai refrigeran yang digunakan. Pada desain model yang diajukan dalam penelitian ini refrigeran yang digunakan untuk ketiga model yaitu R 404. Formulasi yang digunakan untuk menghitung COP adalah sebagai berikut : COP = Qt / WAC ..................................................... (8)
Gambar 4.9 Grafik penurunan berat buah jeruk mandarin Mengacu pada grafik tersebut maka ditetapkan limit waktu untuk penyusunan simulasi distribusi hortikultura
9 JURNAL TEKNIK SISTEM PERKAPALAN Vol. 1, No. 1 (2013) 1-11 yaitu selama 14 hari. Hal ini karena pada hari ke-14 terjadi penurunan berat buah (penyusutan) pada temperatur ruangan dan cenderung stabil pada temperatur konstan/stabil. Sementara untuk pemilihan model sistem dijaga pada temperatur konstan/stabil. Pada masing-masing model diberikan penilaian yang sama. Dengan menerapkan standar waktu yang lebih tinggi diharapkan kualitas hortikultura akan benar-benar terjaga. Di samping itu pertimbangan lain adalah mengestimasikan jika pada seluruh rangkaian distribusi hortikultura ada salah satu sistem rantai dingin (cold chain) yang tidak menerapkan sistem pendingin. Akibatnya hortikultura mengalami pendinginan fluktuatif maupun disimpan di dalam temperatur ruangan. 4.3.2 Pemodelan Sistem Pendingin Masing-masing kriteria tersebut memiliki tingkat kepentingan (bobot) yang sama. Selajutnya data-data tersebut direkap menggunakan pairwise comparison (direct) untuk kemudian diolah menggunakan metode ANP dengan bantuan software Super Decisions. Berikut ini model permasalahan secara umum digambarkan sebagai berikut.
Gambar 4.10 Model ANP pada permasalahan
comparison metode ANP menggunakan skala 1-9 untuk setiap perbandingan berpasangan. Sehingga untuk masingmasing kriteria dilakukan langkah-langkah sebagai berikut: Coefficient of Performance (COP) Langkahnya yaitu membagi nilai masing-masing COP ke dalam skala 9. COP Model 1 = (5,07 / 22,40) x 9 = 2,0373 COP Model 2 = (6,90 / 22,40) x 9 = 2,7711 COP Model 3 = (22,40/ 22,40) x 9 = 9 Setelah mendapatkan masing-masing nilai COP pada skala 9, selanjutnya dibuatkan penjumlahan ketiga COP tersebut berjumlah 1. Langkahnya sebagai berikut : COP Model 1 = (2,0373 /(2,0373 + 2,7711 + 22,40) = 0,1475 COP Model 2 = (2,7711 /(2,0373 + 2,7711 + 22,40) = 0,2007 COP Model 3 = (22,40 /(2,0373 + 2,7711 + 22,40) = 0,6518 Langkah yang sama dilakukan untuk kriteria lainnya pada masing-masing model yaitu Heat Balance (HB) dan Electrical Consumption (HC). Sedangkan untuk Horticulture Criteria (HC) pada masing-masing model diberikan nilai yang sama yaitu 0,3333 (nilai ini diperoleh dari 1/3 = 0,3333). Setelah semua nilai untuk masing-masing kriteria diperoleh, kemudian selanjutnya adalah memasukan input data tersebut ke dalam software Super Decisions melalui pairwise comparison (direct). Keempat kriteria tersebut pada masing-masing model memiliki nilai kepentingan yang sama, sehingga diberikan nilai/pembobotan sebesar 0.25 (nilai ini diperoleh dari 1/4 = 0.25). Hal ini ditunjukan pada gambar 4.12 di bawah ini.
Dalam pengerjaan skripsi ini pengolahan keputusan digunakan software Super Decisions.
Gambar 4.12 Input data pada software Super Decisions (1) Gambar 4.11 Model ANP pada software Super Decisions Nilai-nilai input untuk pemilihan sistem pendingin tersebut diperoleh dari hasil perhitungan menggunakan formula pada bagian sebelumnya. Berikut ini hasil perhitungan untuk masing-masing kriteria. Tabel 4.1 Hasil perhitungan masing-masing kriteria
Gambar 4.13 Input data pada software Super Decisions (2) Setelah mendapatkan nilai-nilai tersebut, kemudian data-data tersebut diolah atau disesuaikan dengan input metode ANP pada software Super Decisions. Pada pairwise
Setelah memasukan nilai-nilai tersebut kemudian diperoleh hasil bahwa model 1 (reefers-warehouse) merupakan model terpilih dari ketiga model yang diajukan. Seperti ditunjukan pada gambar 4.14 di bawah ini.
10 JURNAL TEKNIK SISTEM PERKAPALAN Vol. 1, No. 1 (2013) 1-11 hasil simulasi yang menunjukan reefer yang terdistribusi dan waktu distribusinya pada komposisi skenario distribusi 50% : 50 % (jalur darat : jalur laut). Tabel 4.2 Distibusi dengan komposisi 50 HT : 50 SH
Gambar 4.14 Model terpilih pada software Super Decisions 4.4 Simulasi ARENA 4.4.1 Penyusunan Simulasi Pada simulasi ini digambarkan mengenai distribusi hortikultura ke PT. Terrminal Petikemas Surabaya (TPS) dan didistribusikan lagi ke Jakarta. Maksud pendistribusian ke Jakarta adalah untuk menaikkan harga hortikultura impor sehingga hortikultura lokal bisa bersaing. Berdasarkan data yang ada kenaikan harga yang disebabkan oleh bertambahnya rantai suplai ini, harga hortikultura mengalami kenaikan sebesar 20-30%. Distribusi ini meggunakan 2 (dua) skenario yaitu : 1. Distribusi menggunakan jalur darat (head truck) 2. Distribusi menggunakan jalur laut (ship) Permasalahan tersebut dimodelkan pada software ARENA sebagai berikut :
NO. REP 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 AVE
TT. REEF (DAYS) 9,59 9,74 9,61 9,39 9,55 9,70 9,68 9,69 9,76 9,80 9,65
REEF IN 74 76 76 75 76 75 74 75 75 77 75
REEF OUT 49 51 50 53 55 54 48 51 53 48 51
Setelah mendapatkan semua data-data tersebut kemudian diubah ke dalam bentuk grafik hasil simulasi maka diperoleh kesimpulan bahwa waktu tersingkat dengan menggunakan komposisi 100 % jalur darat (head truck).
Gambar 4.16 Hasil simulasi ARENA
Gambar 4.15 Model simulasi pada software ARENA Dalam menyusun simulasi maka diperlukan data-data sebagai input yang diperoleh dari hasil observasi data di TPS dan mereferensi kepada penelitian sebelumnya. Datadata tersebut sebagai berikut : Jumlah reefer yang masuk ke TPS = 6 reefer / jam Waktu simpan di lapangan TPS = 3 – 10 hari Waktu distribusi : o Jalur darat (head truck) = 14 jam o Jalur laut (ship) = 19 jam Berthing time di pelabuhan = 10 – 36 jam Waktu container crane = 195 detik Waktu tyre gantry = 395,86 detik Komposisi skenario distribusi = per 10 % Jumlah replikasi = 10 kali 4.4.2 Analisa hasil simulasi Setelah model simulasi disusun dan dijalankan, langkah selanjutnya adalah menganalisa hasil simulasi. Hasil simulasi yang dianalisa adalah jumlah reefer yang terdistribusi dan waktu distribusinya. Berikut ini salah satu
Untuk pembahasan selanjutnya akan dibandingkan dengan komponen biaya angkut Surabaya ke Jakarta dengan menggunakan 2 (dua) moda transport) yaitu jalur darat (head truck) dan jalur laut (ship). Secara umum biaya angkut dihitung sebagai berikut : 1. Jalur darat (head truck) Biaya angkut Surabaya-Jakarta = Rp 6.500.000,/head truck Head truck umumnya memiliki kapasitas 20 ton, sehingga biaya angkut per ton adalah = Rp 6.500.000,- / 20 ton = Rp 325.000,- / ton Jarak Surabaya-Jakarta sekitar 700 km, sehingga biaya angkut per km.ton adalah = Rp 325.000,- / ton / 700 km = Rp 464,286 / km.ton 2. Jalur laut (ship) Biaya angkut Surabaya-Jakarta = 450 US $, dengan nilai tukar Rupiah sebesar Rp 9. 400,- maka biaya angkut per reefer adalah Rp 4.230.000, Ditambah biaya total di pelabuhan sebesar 95 US $ atau Rp 893.000,-. Sehingga total biaya mencapai Rp 5.123.000,- / reefer.
11 JURNAL TEKNIK SISTEM PERKAPALAN Vol. 1, No. 1 (2013) 1-11 Reefer umumnya memiliki kapasitas 20 ton, sehingga biaya angkut per ton adalah = Rp 5.123.000,- / 20 ton = Rp 256.150,- / ton Jarak Surabaya-Jakarta sekitar 700 km, sehingga biaya angkut per km.ton adalah = Rp 256.150,- / ton / 700 km = Rp 365,927 / km.ton (Rp 603,782 / mil.ton) Berdasarkan hasil perhitungan tersebut maka diketahui biaya angkut menggunakan jalur laut (ship) lebih murah dibandingkan dengan menggunakan jalur darat (head truck). Namun, jika menggunakan jalur darat (head truck) lebih cepat dibandingkan dengan menggunakan jalur laut (ship). Sehingga dalam hal ini perlu mencari titik optimum dimana waktu distribusi tidak terlalu lama dan biaya tidak terlalu mahal. Hal yang bisa dilakukan adalah dengan mengatur komposisi skenario distribusi antara jalur darat dan jalur laut dengan mengacu kepada hasil simulasi. Dalam mencari titik optimum komposisi distribusi antara jalur darat dan laut, menggunakan asumsi awal bahwa dengan menggunakan komposisi 50% : 50%. Dengan komposisi ini maka biaya angkut tidak terlalu mahal dan waktu distribusi juga tidak terlalu lama. Secara langsung biaya angkut per reefer dapat dihitung sebagai berikut : Biaya angkut jalur darat (50%) = Rp 3.250.000, Biaya angkut jalur darat (50%) = Rp 2.561.500, Biaya angkut rata-ratanya = Rp 5.811.500,Jika sepenuhnya mengunakan jalur darat (head truck), maka total biaya angkut (7,96 hari) = Rp 6.500.000,Sehingga biaya angkut per hari = Rp 816.583,Jika sepenuhnya mengunakan jalur laut (ship), maka total biaya angkut (11,29 hari) = Rp 5.123.000,Sehingga biaya angkut per hari = Rp 453.764,Untuk mencari nilai optimumnya, dilakukan dengan cara membagi biaya angkut rata-rata dengan biaya angkut per hari untuk masing darat maupun jalur laut. Sehingga diperoleh sebagai berikut : Rp 5.811.500,- / Rp 816.583,- = 7,12 hari Rp 5.811.500,- / Rp 453.764,- = 12,81 hari Rata-rata lama angkut/distribusi = 9,96 hari Setelah mendapat waktu rata-rata lama angkut/distribusi, kemudian diplotkan di grafik untuk komposisi skenario distribusi reefer melalui jalur darat (head truck) dan jalur laut (ship).
Gambar 4.17 Grafik pemilihan komposisi skenario
Tabel 4.3 Komposisi mode transport
V.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian, maka diperoleh beberapa kesimpulan yaitu : 1. Hasil evaluasi di PT. Terminal Petikemas Surabaya (TPS) untuk penanganan hortikultura diperoleh kesimpulan bahwa penanganan reefer untuk hortikultura disimpan di lapangan terbuka. Hal ini mengakibatkan reefer perlu dilakukan setting ulang temperatur ketika cuaca ekstrim (panas) yang dapat menyebabkan kenaikan konsumsi listrik. 2. Model 1 (reefers-warehouse) merupakan model yang paling ideal dibanding ketiga model yang diajukan. Hasil ini merupakan hasil dari pemilihan dengan menggunakan metode Analitic Network Process (ANP) dengan bantuan software Super Decisions. 3. Simulasi dengan menggunakan ARENA 14.0 Student Version diperoleh hasil bahwa komposisi skenario distribusi 40% jalur darat (head truck) dan 60 % jalur laut (ship) merupakan titik optimal. Titik optimal ini ditinjau dari segi waktu distribusi dan biaya angkut. DAFTAR PUSTAKA 1. Abu Bakar Tawali, dkk.2004.Pengaruh Suhu Penyimpanan Terhadap Mutu Buah-buahan Impor yang dipasarkan di Sulawesi Selatan. Jurusan Teknologi Pertanian UNHAS. 2. Ariansyah.2012.Perhitungan Beban Pendingin Cold Storage untuk Penyimpanan Daging Sapi Kapasitas 15 ton.Jakarta:UPN Veteran Jakarta 3. Cooper, Madison.1994.Practical Cold Storage.Chicago: Nickerson & Collins Co. 4. Hany, Ahmed Assqol.2010.Simulasi Sistem Trasportasi Kapal Ferry: Studi Kasus Pelabuhan Penyeberangan Ketapang-Gilimanuk.Surabaya:ITS Surabaya. 5. Majalah Perak Pos, Edisi Minggu II, Agustus 2012 6. Rachman, Arif.2003.Perhitungan Beban Pendingin Cold Storage Buah Apel Reefer Container PT. Bumi Laut “Hanjin”.Surabaya:ITS Surabaya. 7. Wibowo, Abraham.2003.Aplikasi ANP Pada Pengambilan Pengadaan Test Bench Fuel Nozzle di PT. Merpati Nusantara Airlines.Surabaya:Universitas Kristen Petra.