JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (2012) 1-6
1
Komputasi Bistatic Scattering dari Obyek dengan Asumsi Bentuk Titik Hujan Oblate Spheroid Evy Nur Amalina, Eko Setijadi dan Gamantyo Hendrantoro Jurusan Teknik Elektro, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Jl. Arief Rahman Hakim, Surabaya 60111 E-mail:
[email protected],
[email protected],
[email protected]
Abstrak— Dalam propagasi gelombang elektromagnetik untuk frekuensi tinggi terdapat permasalahan yang cukup penting yaitu redaman hujan. Redaman hujan dapat menimbulkan penghamburan dan penyerapan gelombang elektromagnetik. Dampak yang timbul dari fenomena ini adalah menurunnya kualitas komunikasi. Pada penelitian ini dilakukan simulasi sebuah titik hujan dengan asumsi oblate spheroid dengan permitivitas real. Diasumsikan pula gelombang datang berpolarisasi searah sumbux dengan arah rambatan searah sumbu-z. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan nilai dari bistatic scattering. Bentuk titik hujan oblate spheroid akan dibandingkan dengan bentuk prolate spheroid. Penelitian ini mengacu pada penelitian sebelumnya yaitu Shoji Asano. Selanjutnya, dibandingkan karakteristik nilai scattering, absorption dan extinction cross section pada bentuk titik hujan spherical, prolate spheroid dan oblate spheroid dengan nilai permitivitas air kompleks. Berdasarkan simulasi dan analisa hasil komputasi didapatkan hasil bahwa bentuk titik hujan dengan metode MGSLS (Modified Gram Schimdth Least Square Methode) belum valid karena berbeda dengan penelitian Shoji Asano. Perubahan ukuran titik hujan mempengaruhi nilai bistatic cross section. Semakin besar ukuran titik hujan oblate spheroid nilai bistatic scattering semakin besar pula. Pada saat k=1 dengan sudut datang 00 nilai bistatic cross section pada titik hujan oblate spheroid dengan property of shape=2 memiliki nilai -19.354 dB, k=2 adalah bernilai -0.593 dB dan k=5 bernilai 22.651 dB. Berdasarkan frekuensi, semakin besar frekuensi yang digunakan maka nilai scattering semakin kecil, nilai absorption dan extinction cross section-nya akan semakin besar. Kemudian, berdasarkan perbandingan nilai scattering, absorption dan extinction cross section, bentuk titik hujan spherical mempunyai nilai paling besar dibandingkan titik hujan prolate spheroid dan oblate spheroid. Kata Kunci— Redaman hujan, scattering dan absorption, komputasi bistatic scattering, oblate spheroid.
I. PENDAHULUAN
P
ERKEMBANGAN teknologi telekomunikasi berkembang dengan sangat cepat. Dalam perkembangan teknologi ini ditandai dengan penggunaan frekuensi tinggi hingga dalam orde GHz. Orde GHz memanfaatkan karakteristik gelombang yang dapat mengirimkan data informasi dengan kecepatan tinggi. Dengan tersedianya komunikasi berkecepatan tinggi maka akan tercipta layanan internet berkecepatan tinggi pula, digital video, audio broadcasting dan video conference yang
memiliki kapasitas besar dan bandwidth yang lebar dapat bekerja dengan baik [1]. Dalam hal ini dapat diberikan contoh telekomunikasi dari pemancar ke penerima dengan menggunakan Local to Multipoint Distribution System (LMDS) atau Broadband Wireless Access (BWA) yang mampu menyediakan layanan tersebut beroperasi pada frekuensi 20-40 GHz. Namun, kinerja frekuensi tinggi dipengaruhi oleh hujan dimana akan mengalami penurunan kualitas karena mengalami penghamburan dan penyerapan. Maka pada penggunaan frekuensi diatas 10 GHz akibat dari redaman hujan menjadi hal yang cukup signifikan untuk diperhitungkan [2]. Redaman hujan menimbulkan penghamburan dan penyerapan gelombang elektromagnetik. Redaman ini akan menjadi permasalahan penting dalam propagasi gelombang yang terjadi pada daerah bercurah hujan tinggi karena mengindikasikan bahwa titik hujan besar dan jarak antar titik hujan lebih rapat sehingga redaman yang ditimbulkan juga semakin besar. Pada saat gelombang elektromagnetik mengenai titik-titik hujan maka gelombang tersebut akan mengalami redaman, depolarisasi dan scattering (penghamburan) dan absorption (penyerapan). Perhitungan redaman hujan akan menjadi lebih akurat ketika faktor-faktor yang mempengaruhi didalamnya turut dipertimbangkan. Salah satu faktor yang mempengaruhi hasil perhitungan tersebut adalah faktor penghamburan dan penyerapan. Pada penelitian sebelumnya telah dirumuskan metode estimasi redaman hujan dengan mempertimbangkan efek scattering dengan bentuk titik hujan yang digunakan adalah spherical dan prolate spheroid [3]. Pada penelitian ini akan dilakukan metode yang mempertimbangkan efek scattering dengan asumsi bentuk titik hujan adalah oblate spheroid. II. METODE PENELITIAN DAN KOMPUTASI A. Bentuk Titik Hujan 1. Spherical Pengukuran fotografik dari bentuk curah hujan telah banyak dilakukan oleh para peneliti. Yaitu dalam bentuk simple. Pengukuran ini menunjukkan bahwa titik hujan yang
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (2012) 1-6
2
memiliki diameter > 1 mm mempunyai bentuk spheroidal (seperti bola) dengan dasar yang datar. Dimana jari jari semimayor dan semiminor memiliki besar yang sama [4]. 2. Prolate dan Oblate Spheroid Bentuk titik hujan lain yang telah diteliti sebelumnya adalah bentuk titik hujan prolate spheroid dan oblate spheroid. Proses dimana titik hujan yang jatuh dan berada pada udara akan berbentuk prolate spheroid dan setelah jatuh diatas permukaan tanah akan berbentuk oblate spheroid. Bentuk titik hujan prolate yaitu bentuk titik hujan dengan jari-jari vertikal dan horizontalnya tidak sama, lebih besar jari-jari vertikal apabila asumsi sumbu-z vertikal pula. Sedangkan bentuk titik hujan oblate spheroid merupakan kebalikan dari bentuk titik hujan prolate, yaitu dengan asumsi jari-jari horizontal lebih besar dari pada vertikalnya. B. Hamburan Hamburan atau scattering adalah proses fisik yang umum dalam propagasi gelombang di mana pada radiasi, seperti cahaya, suara, atau partikel yang bergerak, dipaksa untuk menyimpang dari lintasannya oleh satu atau lebih partikel dalam medium yang dilewati. Hamburan gelombang radio terjadi jika medium tempat gelombang merambat terdiri atas benda-benda (partikel) yang berukuran kecil jika dibandingkan dengan panjang gelombangnya dan jumlah per satuan volumenya cukup besar. Mekanisme hamburan akan menyebabkan gelombang menuju ke segala arah sehingga transmisi gelombang radio dengan mekanisme hamburan mempunyai efisiensi yang kecil. Berdasarkan banyaknya partikel penghambur, hamburan dibagi menjadi dua yaitu single scattering dan multiple scattering. Single Scattering terjadi ketika radiasi suatu gelombang hanya dihamburkan oleh satu partikel penghambur. Pada kenyataannya ketika gelombang elektromagnetik melewati sekumpulan partikel maka gelombang tersebut bisa terhambur berkali-kali yang dikenal sebagai efek multiple scattering. Pada efek multiple scattering, interaksi hamburan secara acak terjadi dalam jumlah besar. Efek multiple scattering dapat menghasilkan hasil yang acak, terutama pada radiasi koheren. Masalah yang penting dalam penelitian terkait efek scattering adalah bagaimana memprediksi sistem yang menghamburkan radiasi, yang hampir selalu dapat dipecahkan dengan perhitungan daya pada suatu sistem [6]. Selain itu, terdapat konsep hamburan lainnya seperti bistatic, forward, dan backscattering. Bistatic Scattering adalah fenomena hamburan gelombang elektromagnetik (EM) yaitu saat gelombang EM memapar suatu objek. Sedangkan forward scattering adalah fenomena ketika medan yang menabrak sebuah partikel diteruskan dengan sudut fase berkebalikan dengan sudut datang (sudut fase 180° dengan sudut datang). Selain bistatic scattering dan forward scattering, juga terdapat backscattering, yaitu fenomena ketika medan yang menabrak objek atau partikel kembali ke arah medan datangnya [7].
Gambar. 3. Spheroid[5]
Bentuk Titik Hujan : (a) Prolate Spheroid. (b) Oblate
Gambar. 4. Metode Penelitian
C. Rancangan Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah membuat simulasi bentuk titik hujan spherical, prolate spheroid dan oblate spheroid dengan menggunakan metode MGSLS (Modified Gram Schimdth Least Square Methode). Tahap awal dilakukan komputasi untuk mendapatkan nilai bistatic scattering dari oblate dan prolate dengan menggunakan permitivitas air absolut. Selanjutnya hasil dari komputasi akan divalidasi dengan hasil dari penelitian yang telah dilakukan sebelumnya yaitu penelitian dari Shoji Asano. Tahap kedua, , dibandingkan nilai scattering, absorption dan extinction cross section pada bentuk titik hujan spherical, prolate spheroid dan oblate spheroid dengan permitivitas air kompleks. D. Analisa Medan 1. Medan Datang Kita dapat mengasumsikan bahwa gelombang datang berpolarisasi searah sumbu x dengan arah rambat searah sumbu z. Maka vektor gelombang dari bidang gelombang datang ko dalam bidang xz adalah
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (2012) 1-6
3
=
(1) Untuk mendiskritisasi sistem dalam arah ekspansi deret Fourier
3. Medan yang Terserap di Dalam Dielektrik Prakiraan fungsi gelombang untuk medan yang terserap di dalam dielektrik Perkiraan fungsi gelombang untuk medan terhambur di dalam bentuk dielektrik dinyatakan
, kita gunakan (11) (2) (12)
Koefisiennya dinyatakan dalam fungsi Bessel yaitu
(3)
, . Dengan alasan yang dimana sama, kita tuliskan koefisien dan dengan sederhana. Substitusi (8) dan (9) dengan (11) dan (12) kita memperoleh
Dalam bentuk vektor, dapat dinyatakan sebagai berikut (4)
Kita anggap sumbu kedatangan dimana sehingga (2) dan (3) menjadi
(13)
dan (5)
2. Medan yang Terhambur di Luar Dielektrik Perkiraan fungsi gelombang untuk medan yang terhambur di luar dielektrik. Medan scattering dinyatakan
4. Bistatic Cross Section Bistatic Cross Section adalah hasil normalisasi dari bistatic radar cross section. Bistatic radar cross section didefinisikan sebagai 4π kali perbandingan dari daya pancar yang dikirimkan per satuan sudut ke arah penerima dari jarak yang jauh dengan daya per luas medan datang pada penghambur dan independep terhadap r. Persamaan matematika dari bistatic cross section adalah[5]:
(6) (14)
(7)
III. HASIL SIMULASI DAN ANALISA Dilakukan simulasi dengan berbagai macam parameter yang disesuaikan dengan penelitian sebelumnya dan akan dibandingkan dengan hasil simulasi.
dimana vector spherical wave function
(8) dengan (9)
(10)
A. Oblate Spheroid Dengan metode komputasi yang telah dilakukan, maka didapatkan grafik bistatic scattering dari bentuk titik hujan oblate spheroid. Parameter yang digunakan adalah nilai bistatic scattering terhadap sudut datang dan parameter k. k yang bernilai k= 2πa/λ yaitu ukuran dimensional partikel, dimana a adalah jari-jari relatif dari titik hujan. Kemudian program dijalankan untuk nilai masing-masing k= 1, 2, 5, dimana δi =0° dan 90° untuk mendapatkan nilai TM dan TE. Pada gambar 5 terlihat bahwa pada saat k=1, TE dan TM berbeda signifikan pada sudut 91°. Untuk nilai k=2, TM
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (2012) 1-6
4
(a)
Gambar. 5. Nilai bistatic cross section dari titik hujan oblate spheroid dengan nilai k=1,2 dan 5
mengalami penurunan dengan pola yang mendekati dengan k=1 dan mempunyai titik minimum pada 100°, dan TE relatif menurun hingga titik minimum pada sudut 1800. Pada k=5, grafik TM mengalami penurunan namun tidak setajam k=1 atau k=2 dengan nilai minimum pada sudut 1300 sedangkan TE mengalami fluktuasi dan memiliki titik minimum pada sudut 103°. Dari grafik tersebut juga dapat diambil kesimpulan bahwa semakin besar nilai k maka nilai bistatic cross section juga semakin besar. Terlihat bahwa pada k=1, nilai bistatic cross section pada sudut datang 00 adalah -19,354 dB, sedangkan pada k=2 adalah -0,593 dB dan k=5 adalah 22,651 dB. Pada bentuk titik hujan oblate spheroid akan divalidasi dengan penelitian Shoji Asano [8]. Validasi bentuk titik hujan oblate spheroid diberikan pada gambar 6. Gambar 6(a) memperlihatkan bahwa grafik untuk metode MGSLS mendekati grafik Shoji Asano. Perbedaannya adalah TE Shoji Asano mengalami penurunan yang lebih besar dibandingkan dengan metode MGSLS, sedangkan untuk nilai TM metode MGSLS mengalami penurunan yang curam dengan sudut datang yang lebih rendah dibandingkan dengan Shoji Asano. Begitu pula dengan gambar 6(b) dimana nilai k=2, grafik dengan metode MGSLS mendekati grafik Shoji Asano, namun nilai pada TE MGSLS mengalami penurunan yang lebih besar dibandingkan dengan Shoji Asano. Pada nilai k=5 dalam gambar 6(c) dimana grafik dengan metode MGSLS berbeda dengan penelitian Shoji Asano. Maka dapat disimpulkan bahwa simulasi ini belum valid untuk asumsi bentuk titik hujan oblate spheroid dengan nilai a/b=2. B. Prolate Spheroid Dengan metode komputasi yang telah dilakukan, maka didapatkan grafik bistatic scattering dari bentuk titik hujan prolate spheroid. Parameter yang digunakan adalah nilai bistatic scattering terhadap sudut datang dan parameter k. k yang bernilai k= 2πa/λ yaitu ukuran dimensional partikel, dimana a adalah jari-jari relatif dari titik hujan. Kemudian
(b)
(c) Gambar. 6. Nilai bistatic cross section dari titik hujan oblate spheroid dengan nilai (a)k=1,(b)k=2 dan (c)k=5
program dijalankan untuk nilai masing-masing k= 1, 2, 5, dimana δi =0° dan 90° untuk mendapatkan nilai TM dan TE. Dari grafik pada gambar 7, dapat dilihat bahwa pada saat k=1, TE dan TM berbeda signifikan pada sudut 92° yang merupakan nilai minimum dari TM. Untuk nilai k=2, TM relatif menurun hingga titik minimum pada 104°, dan TE menurun dengan grafik yang lebih curam daripada TM. Nilai minimum pada k=2 terletak pada sudut datang yang bernilai 106°. Pada k = 5, terlihat bahwa grafik mengalami fluktuasi baik untuk nilai TM maupun nilai TE. Pada saat ini pula, TM memiliki titik minimum pada sudut 128°, dan TE memiliki nilai minimum pada sudut 152°. Maka dapat disimpulkan bahwa semakin besar ukuran titik hujan prolate spheroid, nilai bistatic scattering-nya semakin besar.
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (2012) 1-6
5
(a)
Gambar. 7. Nilai bistatic cross section dari titik hujan prolate spheroid dengan nilai a/b=2 dan k=1,2,5
C. Perbandingan Bentuk Titik Hujan Spherical, Prolate Spheroid, dan Oblate Spheroid Berdasarkan hasil simulasi yang telah dilakukan dan grafik yang telah ditampilkan, untuk k=1 dengan nilai a/b=2 pada bentuk titik hujan prolate dan oblate tidak jauh berbeda. Nilai TM masing-masing bentuk mengalami penurunan yang curam pada sudut datang di sekitar 900. Untuk bentuk prolate mengalami penurunan hingga -65.584 dB sedangkan oblate adalah -70.061dB. Sedangkan nilai TE pada bentuk titik hujan prolate mengalami penurunan lebih besar dari pada oblate. Nilai minimum TE untuk masing-masing bentuk titik hujan prolate dan oblate adalah -25.062 dB dan -21.911 dB. Untuk k=2, bentuk grafik prolate dan oblate berbeda. Prolate mengalami penurunan yang curam pada sudut 1060 sedangkan oblate pada sudut 1800. Nilai minimum TE untuk bentuk prolate dan oblate adalah -25.922dB dan -45.576 dB. Sedangkan k=5, baik bentuk prolate maupun oblate TE mengalami fluktuasi. TE prolate mengalami titik minimum pada sudut 1520 dengan nilai -32.31 dB sedangkan oblate pada sudut 1030 dengan nilai -9.4 dB. Maka dapat disimpulkan bahwa bentuk prolate spheroid lebih cepat mengalami fluktuasi dibandingkan dengan oblate spheroid. Selain bistatic scattering, perbandingan karakteristik bentuk titik hujan spherical, prolate spheroid dan oblate spheroid dalam penelitian ini juga meninjau nilai scattering, absorption dan extinction cross section. Berdasarkan nilainilai tersebut kita dapat mengetahui nilai daya yang dihamburkan, daya yang diserap dan total daya yang diserap dan terhambur. Gambar 8(a) merupakan karakteristik scattering cross section pada bentuk titik hujan oblate spheroid terhadap perubahan ukuran titik hujan dan berdasarkan perbedaan frekuensi. Terlihat bahwa grafik mengalami titik maksimum di k=2 kemudian turun. Semakin besar frekuensi maka nilai
(b)
(c) Gambar. 8. Nilai : (a) scattering cross section, (b) absorption cross section, (c) extinction cross section pada bentuk titik hujan oblate spheroid
scattering cross section semakin kecil. Gambar 8(b) merupakan karakteristik absorption cross section pada bentuk titik hujan oblate spheroid terhadap perubahan ukuran titik hujan dan berdasarkan perbedaan frekuensi. Terlihat bahwa grafik mengalami titik maksimum di k=2 kemudian turun. Semakin besar frekuensi maka nilai absorption cross section semakin besar. Sedangkan gambar 8(c) merupakan karakteristik extinction cross section pada bentuk titik hujan oblate spheroid terhadap perubahan ukuran titik hujan berdasarkan perbedaan frekuensi. Terlihat bahwa grafik mengalami titik tertinggi pada k=2 kemudian menurun. Semakin besar frekuensi maka nilai extinction cross section
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (2012) 1-6
6
semakin besar. Gambar 9 merupakan perbandingan nilai scattering, absorption dan extinction cross section pada bentuk titik hujan spherical, prolate spheroid dan oblate spheroid pada frekuensi 30 GHz. Pada gambar 9 (a), nilai scattering cross section paling besar adalah titik hujan spherical diikuti prolate dan oblate. Kemudian, jika dibandingkan dengan parameter perubahan ukuran titik hujan dapat disimpulkan bahwa semakin besar ukuran titik hujan semakin menurun nilai scattering cross section-nya. Gambar 9(b) menunjukkan bahwa nilai absorption cross section paling besar adalah spherical. Ukuran titik hujan yang semakin besar menyebabkan turunnya nilai absorption cross section-nya. Begitu pula dengan gambar 9(c) dimana nilai extinction cross section paling besar adalah spherical dan ukuran titik hujan yang semakin besar menyebabkan turunnya nilai extinction cross section.
(a)
IV. KESIMPULAN/RINGKASAN Semakin besar ukuran titik hujan baik prolate spheroid maupun oblate spheroid, maka nilai bistatic scattering-nya semakin besar. Pada saat k=1 dengan sudut datang 00 nilai bistatic cross section pada titik hujan oblate spheroid dengan property of shape=2 memiliki nilai -19.354 dB, k=2 memiliki nilai -0.593 dB dan k=5 bernilai 22.651 dB. Permodelan bentuk titik hujan oblate spheroid dengan metode MGSLS belum valid jika dibandingkan dengan penelitian dari Shoji Asano. Jika dianalisa berdasarkan frekuensi, apabila frekuensi semakin besar maka nilai scattering cross section semakin kecil sedangkan nilai absorption dan extinction cross section titik hujan oblate spheroid mempunyai nilai yang semakin besar. Berdasarkan nilai scattering, absorption dan extinction cross section didapatkan bahwa spherical mengalami redaman yang lebih besar dibandingkan dengan prolate dan oblate.
(b)
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis ENA mengucapkan terima kasih kepada Bank Indonesia karena telah memberikan dukungan finansial melalui pemberikan beasiswa. DAFTAR PUSTAKA [1]
[2]
[3]
[4]
[5]
Markis, L., “Karakteristik Distribusi Ukuran Titik Hujan dan Penggunaannya dalam Prediksi Redaman Hujan pada Sistem Komunikasi Gelombang Milimeter.” Tesis Jurusan Teknik Elektro ITS, 2007. Kanellopoulos J.D, Koukolas S.G., “Outage Performance Analysis of Route Diversity Systems of Cellular Structure, Radio science Vol.26, Number 4, 1991, hal.891-899. Hapsery, A.,”Komputasi Penghamburan dan Penyerapan Gelombang EM oleh Titik Hujan dalam Bentuk Realistik (Prolate Spheroid).” Tugas Akhir Jurusan Teknik Elektro ITS, 2012. Setijadi, E., Matsushima, A., Tanaka, N., Hendrantoro, G., “Effect of Temperature and Multiple Scattering on Rain Attenuation of Electromagnetic Waves by a Simple Spherical Model.” PIER99 , pp. 339-354, 2009. Li, L.W.,dkk., 2002, Spheroidal Wave Function in Electromagnetic Theory, New York : John Wiley & Sons.
(c) Gambar. 9 nilai : (a) scattering cross section, (b)absorption cross section, (c) extinction cross section titik hujan spherical, prolate dan oblate [6] [7] [8]
Ishimaru, A., “Multiple Scattering Calculations of Rain Effects”, Radio Science, vol. 17, no. 6, pp. 1425-1433, 1982. Knott, E., 1993, “Radar Cross Section 2nd ”, London: Artech House. Asano, S. and Yamamoto G., “Light Scatering properties by spheroidal particles", Applied Optics., vol. 18, No. 5,pp. 712-723, 1979.