JK K 11
20
2.
7. SA
Y
Jurnal Kebidanan dan Keperawatan Vol. 7 No. 2, Desember 2011
ISSN 1858-0610
Terbit 2 kali setahun pada bulan Juni dan Desember. Berisi tulisan yang diangkat dari hasil penelitian di bidang kebidanan dan keperawatan.
Wakil Ketua Penyunting Ery Khusnal
20
11
SA
Penyunting Pelaksana Warsiti Mufdlilah Umu Hani EN Hikmah Sulistyaningsih Yuli Isnaeni
Y
Ketua Penyunting Mamnu'ah
JK K
7.
2.
Pelaksana Tata Usaha Dinik Rusinani Irkhamiyati Sri Rejeki Agung Suyudi
Alamat Penyunting dan Tata Usaha: STIKES 'Aisyiyah Yogyakarta, Jl. Munir No. 267 Serangan Yogyakarta 55262. Telp (0274) 374427 pesawat 216, Fax. (0274) 389440. E-mail:
[email protected] Penyunting menerima sumbangan tulisan yang belum pernah diterbitkan dalam media lain. Naskah diketik di atas kertas HVS kuarto spasi ganda sepanjang lebih kurang 20 halaman, dengan format seperti tercantum pada petunjuk bagi penulis JKK di bagian belakang jurnal ini. Naskah yang masuk dievaluasi dan disunting untuk keseragaman format, istilah dan tata cara lainnya.
JURNAL KEBIDANAN DAN KEPERAWATAN diterbitkan sejak bulan Juni 2005 oleh STIKES 'Aisyiyah Yogyakarta.
Jurnal Kebidanan dan Keperawatan Vol. 7 No. 2, Desember 2011
ISSN 1858-0610
Penerapan Konsep Model Self Care Terhadap Tingkat Kemandirian Klien Paska Seksio Saesarea Warsiti & Yuni Purwati ........................................................................................ 1-10
SA
Y
Pengaruh Pendidikan Kesehatan Reproduksi oleh Teman Sebaya terhadap Kesiapan Menghadapi Menarche pada Anak Perempuan Usia 10–12 Tahun Yuli Isnaeni ........................................................................................................ 11-21
11
Pengaruh Terapi Individu Sosialisasi Terhadap Perubahan Perilaku Isolasi Sosial Pada Pasien Skizofrenia Nurfitriana & Mamnu’ah ................................................................................... 22-29
20
Sikap Ibu Hamil terhadap Pencegahan Penularan HIV/AIDS dari Ibu ke Bayi (PMTCT) Agizah Nurul Fadlilah & Mufdlilah ..................................................................... 30-37
7.
2.
Hubungan Komunikasi Orang Tua dan Anak tentang Seks dengan Perilaku Seks Remaja Dian Pramita & Tenti Kurniawati ....................................................................... 38-47
JK K
Hubungan Masa Kerja Memetik Teh dengan Kecenderungan Terkena De Quervain’s Tendinitis di Perkebunan Teh Jamus Ngawi Dika Rizki Imania ............................................................................................. 48-55 Hubungan Dukungan Keluarga dengan Kemandirian Activities of Daily Living Pasien Post Stroke Lia Endriyani & Harmilah .................................................................................. 56-65 Perbandingan Akurasi Taksiran Usia Kehamilan dengan Metode Leopold dan Mc. Donald Juni Astuti, Dewi Rokhanawati .......................................................................... 66-72 Pengaruh Promosi Kesehatan Tentang Perawatan Perineum Terhadap Lama Penyembuhan Luka Jahit Perineum Pada Ibu Post Partum Maria Auxilia, Yani Widyastuti, & Sumarah ........................................................ 73-81
JK K
7.
2.
20
11
SA
Y
Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Motivasi Belajar Mahasiswa Tidak Lulus Tepat Waktu Pada Mahasiswa Akademi Keperawatan X Jogjakarta Tahun Akademik 2009/2010 82 Th. Endang Purwoastuti .................................................................................... 82-94
PENERAPAN KONSEP MODEL SELF CARE TERHADAP TINGKAT KEMANDIRIAN KLIEN PASKA SEKSIO SAESAREA Warsiti & Yuni Purwati STIKES ‘Aisyiyah Yogyakarta E-mail:
[email protected]
20
11
SA
Y
Abstract: This study aims to determine the effect of application of the concept of self care model on the level of independence of post-partum clients with caesarean section at PKU Muhammadiyah Hospital of Yogyakarta. This study is a quasi-experimental using Post Test Only Control Group Design. The number of samples were 10 subjects for each experimental and control group. Data were analyzed using Independent Sample t-Test, with the result t count for the ability to bathe the baby and umbilical cord care = 12.197, the ability of breast-feeding = 5.523 and baby care for elimination = 3.849 with level of significance = 0.000 and 0.001. The results show a significant influence of application of the concept of self care model on post-caesarean section clients’ level of independence at PKU Muhammadiyah Hospital of Yogyakarta. It is recommended for nurses and midwives in post partum ward to apply the concept of self care model on post-caesarean section clients, particularly for independent care of infant by empowering the client’s ability.
7.
2.
Keywords: concept model of self care, level of independence, caesarean section
JK K
Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penerapan konsep model self care terhadap tingkat kemandirian klien pasca partum seksio saesarea di RSU PKU Muhammadaiyah Yogyakarta. Penelitian ini merupakan quasi eksperimen dengan rancangan Post Test Only Control Group Design. Jumlah sampel kelompok eksperimen dan kontrol masing-masing 10 subyek. Analisis menggunakan uji t-Test Sample Independent, dengan hasil t hitung kemampuan memandikan bayi dan perawatan tali pusat 12,197, kemampuan menyusui 5,253 dan perawatan bayi BAB dan BAK 3,849 dengan signifikansi 0,000 dan 0,001. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan penerapan konsep model self care terhadap tingkat kemandirian klien paska partum seksio saesarea di RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Disarankan bagi perawat dan bidan di unit post partum supaya menerapkan konsep model self care pada klien paska seksio saesarea khususnya untuk perawatan bayi mandiri dengan memberdayakan kemampuan klien. Kata kunci:konsep model self care, tingkat kemandirian, seksio saesaria
Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 7 No. 2, Desember 2011: 1-10
SA
Y
cukupan nutrisi dan akan meningkatkan kesulitan interaksi ibu dan bayi. Bagi ibu, risiko perdarahan dapat terjadi akibat lemahnya kontraksi uterus karena kurangnya stimulasi oksitosin dan tidak adanya isapan kuat bayi pada payudara ibu (Pilliteri, 2003; Smith, 2006). Kecemasan pada ibu pasca SC mengakibatkan semakin meningkatnya nyeri, demikian juga sebaliknya meningkatnya nyeri akan semakin meningkatkan kecemasan. Nyeri dipersepsikan oleh ibu sebagai suatu stressor yang akan menstimulasi Hipotalamus Pituitari Andrenal (HPA) untuk melepaskan hormon kortisol dari korteks adrenal, serta hormon katekolamin dari medulla adrenal ke dalam sirkulasi. Katekolamin dalam sirkulasi darah akan dapat menyebabkan menurunnya kontraksi otot uterus, sehingga berdampak masa penyembuhan memanjang (LeDoux, 1998). Masalah lain akibat kemandirian yang tertunda adalah adanya keterbatasan aktivitas yang akan berdampak pada semakin meningkatnya kejadian komplikasi seperti pneumonia, pembentukan trombus (tromboplebitis), penundaan fungsi fekal dan urinaria (Woznicki, 2004; Wong, Perry & Hockenberry, 2002; May & Mahlmeiser, 1994). Rasa nyeri pada sisi perut kiri juga sering menyebabkan ibu pasca SC tidak mencapai orgasme saat berhubungan seksual (Year, 2005). Dampak dari permasalahan kesehatan yang dialami oleh ibu pasca SC membawa implikasi pada pelayanan keperawatan maternitas. Kemampuan perawat dalam memilih dan menerapkan konsep model keperawatan dengan tepat di dalam memberikan asuhan keperawatan dapat memberikan arah bagi perawat profesional dalam menalankan peran dan fungsinya secara optimal. Model keperawatan Self Care Orem merupakan konsep dominan yang dapat diterapkan pada klien paska SC untuk meningkatkan kemandirian. Teori ini memandang
JK K
7.
2.
20
PENDAHULUAN Kelahiran dengan caesarean section (SC) semakin mengalami peningkatan hampir di seluruh dunia. Kecenderungan ini terjadi karena adanya peningkatan kehamilan pertama kali dengan usia yang lebih tua (primitua), kelahiran SC berulang, perubahan filosofi tentang metode yang lebih baik pada presentasi bokong, persalinan tidak maju (distosia), kelahiran prematur dan kelainan letak (malpresentasi) (Wiknjosastro, Saifuddin & Rachimhadhi, 2001; Lowdermilk, Perry & Bobak, 2000; Olds, London & Ladewig, 2000). Selain faktor tersebut, menurunnya secara drastis angka kematian dan kesakitan akibat SC karena adanya kemajuan teknologi terkait dengan teknik pembedahan dan anestesi yang lebih baik, keamanan transfusi, pemantauan kesejahteraan janin secara elektronik, serta antibiotik yang efektif menyebabkan banyak perempuan memilih melahirkan melalui SC elektif (Doris & Serdar, 2005). Angka kejadian SC di Indonesia menurut data survey nasional tahun 2007 adalah 921.000 dari 4.039.000 persalinan atau 22.8% dari seluruh persalinan (http:// www.idi.com/info_seksio20%sesarea). Meningkatnya kejadian SC juga terjadi di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Berdasarkan hasil survey pada tahun 2009 kejadian SC sebesar 250 dari 813 (30,8 %) persalinan dan meningkat menjadi 37.5 % pada tahun 2010 (Rekam Medis RSU PKU Muhammadiyah). Rasa nyeri yang dirasakan pada ibu pasca SC menyebabkan gangguan istirahat tidur, keterbatasan aktivitas dan kemampuan melakukan perawatan pada diri sendiri serta meningkatkan kesulitan bonding dengan bayi (Pilliteri, 2003). Kesulitan mengatur posisi yang nyaman saat menyusui menyebabkan menyusui tidak efektif bahkan tertunda karena menunggu masa pemulihan. Hal ini berdampak bayi tidak mendapatkan ke-
11
2
Warsiti & Yuni Purwati, Penerapan Konsep Model Self Care...
11
SA
Y
son) dengan rancangan Post Test Only Control Group Design (Notoatmodjo, 2002). Populasi dalam penelitian ini adalah semua ibu paska SC yang dirawat di bangsal Sakinah RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta dengan jumlah populasi 85 orang. Metode sampling yang digunakan adalah purposive sampling dengan kriteria sampel ibu SC pertama kali, SC bukan indikasi partus per vaginam gagal (kelelahan), anestesi dengan spinal anestesi. Jumlah sampel adalah 20 orang yang dibagi ke dalam kelompok eksperimen dan kelompok kontrol masingmasing 10 orang. Instrumen penelitian yang digunakan dalam pengumpulan data pada penelitian ini terkait dengan kemandirian ibu dalam perawatan bayi menggunakan Standar operasional prosedur (SOP) yang digunakan di Rumah Sakit PKU Muhamadiyah dan kuesioner. Metode pengumpulan data adalah dengan observasi terhadap kemampuan klien pasca SC sebelum pulang. Sebelum uji statistik terlebih dahulu dilakukan uji normalitas data dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov. Bila data terdistribusi normal dilakukan analisis statistik parametris dengan rumus Independent Samples t-test (Sugiyono, 2005).
7.
2.
20
setiap individu mempunyai kemampuan dan potensi untuk merawat dirinya sendiri dan mencapai kesejahteraan. Perubahan yang terjadi selama periode post partum SC menyebabkan menurunnya kemampuan klien dalam memenuhi kebutuhannya. Perawat berperan membantu meningkatkan kemandirian ibu dalam memenuhi kebutuhan self carenya melalui suatu proses belajar/latihan dalam bentuk perawatan diri, menciptakan lingkungan yang memfasilitasi tercapainya kemandirian, sehingga peran perawat dari memberi bantuan penuh bergeser ke bantuan yang berupa supportive educative (Orem, 2001). Berdasarkan permasalahan tersebut peneliti tertarik untuk meneliti bagaimanakah pengaruh penerapan konsep model Self Care Orem terhadap tingkat kemandirian klien pasca SC di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Penelitian ini bertujuan ingin melihat pengaruh penerapan konsep model self care terhadap tingkat kemandirian klien pasca partum SC di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta.
3
JK K
METODE PENELITIAN Penelitian ini adalah eksperimen quasi menggunakan desain perbandingan kelompok statis (Static Group CompariHASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Responden Tabel 1.
Karakteristik responden berdasarkan usia
Berdasarkan usia responden pada kelompok eksperimen sebagian besar ber-
usia 31-35 tahun yaitu 6 (60%) orang dan sebagian kecil berusia 36-40 tahun yaitu 1
Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 7 No. 2, Desember 2011: 1-10
(10%) orang. Pada kelompok kontrol sebagian besar berusia 36-40 tahun yaitu 4 (40%) orang dan sebagian kecil berusia 20-
Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Karakteristik Responden Berdasarkan Status Gravida
7.
2.
20
Tabel 3.
masing-masing 1 (10%) orang. Sedangkan pada kelompok kontrol sebagian besar perguruan tinggi yaitu 6 (60%) orang dan sebagian kecil SMA yaitu 4 (40%) orang.
11
Berdasarkan tingkat pendidikan responden pada kelompok eksperimen sebagian besar SMA dan perguruan tinggi, masing-masing 4 (40%) orang dan sebagian kecil dengan pendidikan SD dan SMP
Y
Tabel 2.
25 tahun dan 41-45 tahun yaitu masingmasing 1 (10 %) orang.
SA
4
JK K
Berdasarkan status gravida responden pada kelompok eksperimen sebagian besar dengan gravida 1 yaitu 4 (40%) orang dan sebagian kecil dengan status gravida 3 yaitu
1 (10%) orang. Sedangkan pada kelompok kontrol sebagian besar status gravida 1 yaitu 6 (60%) orang dan sebagian kecil dengan status gravida 1 yaitu 1 (10%) orang.
Gambar 1. Kemandirian Klien Pasca Partum Seksio Saesaria dalam perawatan bayi pada kelompok eksperimen.
Warsiti & Yuni Purwati, Penerapan Konsep Model Self Care...
besar (BAB) dan buang air kecil (BAK) mandiri. Sedangkan sebagian kecil terdapat 3 responden (30%) dibantu dalam memandikan dan perawatan tali pusat dan 1 responden (10%) tergantung dalam perawatan bayi setelah BAB dan BAK.
SA
Y
Berdasarkan data tingkat kemandirian klien paska SC setelah diberikan penerapan konsep model self care, 8 responden (80%) dapat secara mandiri memandikan dan perawatan tali pusat, 10 responden (100%) mandiri menyusui dan 7 responden (70%) dapat melakukan perawatan bayi buang air
5
rawatan bayi BAB dan BAK. Sedangkan sebagian kecil terdapat 2 responden (20%) mandiri menyusui dan 2 responden (20%) mandiri dalam perawatan bayi setelah BAB dan BAK.
Perbandingan Tingkat Kemandirian Klien Paska Seksio Saesaria pada Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol.
JK K
Tabel 4.
7.
2.
20
Berdasarkan data tingkat kemandirian klien SC tanpa penerapan konsep model self care, 10 responden (100%) tergantung memandikan dan perawatan tali pusat, 7 responden (70%) dibantu menyusui dan 8 responden (80%) tergantung dalam pe-
11
Gambar 2. Kemandirian Klien Pasca Partum Sektio Saesaria dalam perawatan bayi pada kelompok Kontrol
Berdasarkan tabel 4, dapat diketahui kecenderungan adanya pengaruh penerapan konsep model self care pada kemandirian klien paska seksio saesaria. Dibuktikan de-
ngan 10 responden (100%) tergantung pada kelompok kontrol dan 10 responden (100%) mandiri pada kelompok eksperimen dalam memandikan dan perawatan tali
6
Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 7 No. 2, Desember 2011: 1-10
pusat. Sedangkan 8 responden (80%) dibantu pada kelompok kontrol dan 10 responden (100%) mandiri dalam menyusui serta 8 responden (80%) tergantung dan 7 responden (70%) mandiri dalam perawatan BAB dan BAK. Sebelum dilakukan analisis data dengan menggunakan Independent t-Test, dilakukan uji normalitas data dengan menggunakan Kolmogorov Smirnov test. Hasil
Hasil Uji Statistik Independent Sample t-test
bertahap sesuai dengan ketergantungan (Orem, 2001). Pada kelompok eksperimen perawat memberikan bantuan sejak berada di ruang pemulihan berupa bantuan penuh dan suportif edukatif kepada klien dan keluarga terkait perawatan yang harus dijalani klien pasca SC, sehingga klien memahami tindakan yang harus dilakukan selama perawatan. Bantuan yang dapat dilakukan perawat seperti mempertahankan kepatenan jalan nafas, pemantauan hemodinamik klien setiap 15 menit pada satu jam pertama, dan 30 menit pada dua jam berikutnya, pemantauan balance cairan, perdarahan, kontraksi uterus dan kontrol terhadap nyeri. Tindakan supportive educative yaitu pemberian informasi terhadap tahapan mobilisasi pasca SC yang harus dilakukan. Implementasi yang bersifat supportive educative dilakukan bertujuan untuk memberikan informasi yang adekuat kepada klien sehingga klien dapat mengontrol perilakunya dan membantu mengarahkan klien mengambil keputusan yang tepat. Hasil penelitian ini
JK K
7.
2.
20
Hasil tersebut menunjukkan nilai (signifikansi) lebih kecil dari 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa Ha diterima dan Ho ditolak. Sehingga dapat disimpulkan ada pengaruh penerapan konsep model self care terhadap kemandirian klien paska SC. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, dibuktikan dalam konsep self care klien paska SC pada dasarnya adalah individu yang memiliki kemampuan untuk mempertahankan kesehatan dirinya dan juga bayinya sehingga mencapai kemandirian. Perubahan yang terjadi baik fisik maupun psikososial pada klien pasca SC berupa keterbatasan yang dialami klien pasca SC karena adanya kelemahan fisik yang sering disebabkan karena nyeri yang dirasakan pada luka operasi. Kondisi ini yang menyebabkan klien pasca SC memiliki ketergantungan total dan membutuhkan bantuan secara penuh dari perawat dan tenaga kesehatan lainnya pada beberapa jam post operasi. Penerapan konsep self care menawarkan jenis intervensi mulai dari bantuan yang berupa suportif edukatif sampai yang berupa bantuan penuh secara
11
SA
Y
Tabel 5.
uji normalitas menunjukkan nilai Z hitung lebih besar dari nilai á (signifikansi 0,05). Sehingga dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa data terdistribusi normal. Berdasarkan data yang terdistribusi normal tersebut, selanjutnya dilakukan uji statistik dengan independent sample t-test. Hasil analisis data ditunjukkan dalam tabel sebagai berikut.
Warsiti & Yuni Purwati, Penerapan Konsep Model Self Care...
11
SA
Y
ini juga menekankan bahwa individu yang dalam hal ini adalah klien pasca SC adalah agent self care bagi dirinya sendiri (Orem, 2001). Perawat hanya bertugas memfasilitasi klien menuju kemandirian. Tanggung jawab merawat bayi adalah ibu dan keluarga. Pada kenyataan di lapangan saat penelitian ini dilakukan, perawat atau bidan lebih cenderung melihat kekurangan dan kelemahan yang ada pada klien, sehingga aspek positif dan kemampuan yang dimiliki klien tidak dapat diberdayakan dengan baik. Hal ini terlihat di dalam menuliskan diagnosis keperawatan yang tertulis selalu diagnosis risiko maupun diagnosa aktual. Diagnosis potensial tidak dapat ditemukan. Pada kelompok ini terdapat 2 responden kelompok kontrol yang juga memiliki kemandirian penuh dalam menyusui bayinya. Dalam hal ini dapat disebabkan karena faktor lain yang mempengaruhi kemandirian. Pada penelitian ini 2 responden kelompok kontrol yang memiliki kemandirian penuh dalam menyusui bayinya adalah kemungkinan disebabkan karena faktor pengalaman sebelumnya. Pada dua responden ini sudah mempunyai anak sebelumnya (status paritas 2). Pada tabel 3 diketahui bahwa kelompok eksperimen 60 % responden memiliki status paritas lebih dari 1. Pengalaman melahirkan dan menjadi orang tua merupakan faktor personal yang mempengaruhi kemampuan melakukan perawatan diri baik berhubungan dengan kebutuhan universal maupun fungsi perkembangan. Berhubungan dengan fungsi perkembangan pada ibu multipara dalam memenuhi fungsi perkembangannya menjadi orang tuaa sudah dapat dipenuhi dengan baik (Bobak, 1995). Pada penelitian ini responden sudah dikendalikan dengan memilih responden dengan pengalaman SC pertama kali, namun pada penelitian ini status paritas tidak dikendalikan, sehingga memungkinkan ini juga mem-
JK K
7.
2.
20
sama dengan penelitian Komariah (2004) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara dukungan perawat dan pengetahuan ibu terhadap tingkat kemandirian klien. Pada penelitian ini kemandirian lebih berfokus pada kemampuan ibu merawat bayi, sehingga memungkinkan selain pengaruh penerapan konsep self care kemandirian ibu pada penelitian ini juga dipengaruhi oleh karakteristik responden yang ada. Menurut Bobak (1995) kemandirian ibu dalam merawat bayi dipengaruhi beberapa faktor yaitu usia, jaringan sosial, budaya, paritas, jenis persalinan dan fasilitas pelayanan. Pada tabel 4 terlihat bahwa kemandirian klien terutama dalam menyusui bayi semua responden (100%) sudah mampu menyusui secara mandiri pada kelompok eksperimen dan diperoleh 8 responden (80%) pada kelompok kontrol masih dibantu. Kemampuan menyusui bayi oleh ibu pada dasarnya adalah suatu kemampuan alamiah yang harus secara lebih awal dapat dilakukan oleh seorang ibu setelah melahirkan. Menyusui adalah ketrampilan yang paling sederhana yang dengan mudah dapat dikuasai oleh ibu. Namun berbeda dengan klien pasca SC, karena nyeri yang dirasakan, menyusui dapat menjadi aktivitas yang sulit untuk dilakukan jika tidak dilatih sejak dini. Dalam penerapan Konsep Self Care ini klien sudah mulai diajarkan cara menyusui sejak klien sudah mulai mobilisasi miring kanan kiri yaitu sejak 6 jam pasca SC. Sehingga pada hari ketiga klien sudah bisa menyusui secara mandiri bersama dengan kemampuan klien melakukan mobilisasi. Konsep model self care ini memandang bahwa individu memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Klien pasca SC menurut konsep model self care dipandang sebagai individu yang mempunyai kemampuan atau potensi untuk merawat dirinya sendiri dan mencapai hidup sejahtera. Teori
7
Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 7 No. 2, Desember 2011: 1-10
SA
Y
terlihat semua responden (100%) berpendidikan SMA dan pendidikan tinggi. Pada penelitian ini tidak terlihat bahwa tidak ada kecenderungan bahwa seseorang yang berpendidikan tinggi akan memiliki kemandirian yang lebih baik. Hasil penelitian ini berbeda dengan pendapat Notoatmodjo (2003) yang menyatakan bahwa perilaku merupakan hasil jangka menengah dari pendidikan. Peranan pendidikan adalah melakukan intervensi faktor perilaku sehingga perilaku individu, kelompok atau masyarakat sesuai dengan nilai kesehatan (Notoatmodjo, 2003). Peranan pendidikan adalah melakukan intervensi faktor perilaku sehingga perilaku individu, kelompok atau masyarakat sesuai dengan nilai-nilai kesehatan. Dengan proses tersebut diharapkan ibu pasca SC dapat memperoleh pengetahuan dari hasil belajar tentang perawatan bayi yang lebih baik sehingga ibu memperoleh pengatahuan dan membawa akibat terhadap perubahan perilaku berupa kemandirian. Kemampuan untuk mandiri didapatkan dari hasil belajar, sedangkan proses belajar mengajar dapat terjadi di mana saja, kapan saja, dan oleh siapa saja. Seseorang dikatakan belajar apabila di dalam dirinya tumbuh perubahan dari tidak tahu menjadi tahu dan dari tidak dapat mengerjakan sesuatu menjadi dapat mengerjakan sesuatu atau dari tidak terampil menjadi terampil. Belajar menghasilkan suatu perubahan dan berlaku untuk waktu yang relatif lama, perubahan ini bukan terjadi karena kebetulan tetapi karena usaha dan disadari (Notoatmodjo, 2007). Tingkat kemandirian klien pasca SC pada penelitian ini juga kemungkinan dipengaruhi oleh adanya dukungan sosial keluarga. Pada penerapan konsep self care ini peneliti melibatkan keluarga selama perawatan. Pengalaman melahirkan adalah peristiwa alamiah yang akan melibatkan keluarga. Proses menjadi ibu baru adalah
JK K
7.
2.
20
pengaruhi terhadap kemandirian klien dalam menyusui bayi. Selain faktor paritas, tingkat kemandirian klien pada penelitian ini juga dipengaruhi oleh usia. Berdasarkan gambar 1 terlihat bahwa semua responden pada kelompok eksperimen relatif memiliki usia di atas 25 tahun. Kedewasaan dan kematangan seseorang menjadi ibu dipengaruhi oleh faktor usia. Pada usia melahirkan di atas usia 25 tahun, kemandirian dan kedewasaan lebih baik dibandingkan kelompok usia di bawahnya. Ibu dan bayi umumnya dianggap berisiko tinggi jika ibu berusia remaja atau berusia lebih dari 35 tahun. Transisi menjadi orang tua mungkin sangat sulit bagi orang tua yang masih remaja. Remaja dapat mengalami kesulitan dalam menerima perubahan dalam citra diri dan menyesuaikan peran-peran baru yang berhubungan dengan tanggung jawab merawat bayi. Masalah dan kekhawatiran yang terkait dengan kelompok ibu berusia lebih dari 35 tahun semakin banyak. Keletihan dan kebutuhan untuk lebih banyak istirahat telah menjadi masalah utama pada orang tua yang sudah berusia lebih dari 35 tahun. Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Notoatmodjo (2003) dan Bobak (1995) yang menyatakan bahwa pada usia dewasa seseorang akan mampu menggunakan materi yang telah dipelajari pada kondisi yang nyata, dengan kondisi yang baru yaitu sebagai ibu mampu menyesuaikan dengan kondisi dalam tahapan tahu, memahami sampai pada menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari sebagai ibu baru dan juga sudah memiliki kemampuan dalam perencanaan terhadap perawatan bayinya. Tingkat pendidikan juga akan mempengaruhi kemandirian seseorang. Pada tabel 2 terlihat bahwa tingkat pendidikan responden pada kelompok eksperimen terdapat dua responden yang berpendidikan rendah, sementara pada kelompok kontrol
11
8
Warsiti & Yuni Purwati, Penerapan Konsep Model Self Care...
11
SA
Y
konsep model self care, 8 responden (80%) dapat secara mandiri memandikan dan melakukan perawatan tali pusat, 10 responden (100%) mandiri menyusui dan 7 responden (70%) dapat melakukan perawatan bayi BAB dan BAK mandiri. Sedangkan sebagian kecil terdapat 3 responden (30%) dibantu dalam memandikan dan perawatan tali pusat dan 1 responden (10%) tergantung dalam perawatan bayi setelah BAB dan BAK. Sedangkan tingkat kemandirian klien paska seksio saesaria tanpa penerapan konsep model self care, 10 responden (100%) mengalami ketergantungan dalam memandikan dan perawatan tali pusat, 7 responden (70%) dibantu menyusui dan 8 responden (80%) ketergantungan dalam perawatan bayi BAB dan BAK. Sedangkan sebagian kecil dalam kelompok ini terdapat 2 responden (20%) mandiri menyusui dan 2 responden (20%) mandiri dalam perawatan bayi setelah BAB dan BAK. Hasil uji statistik dengan independent sample ttest menunjukkan nilai á (signifikansi) 0,000 (p<0,01), sehingga dapat disimpulkan ada pengaruh penerapan konsep model self care terhadap kemandirian klien paska seksio saesaria di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta.
JK K
7.
2.
20
masa transisi yang harus dipersiapkan oleh keluarga. Keluarga adalah sumber belajar dan sumber pengalaman dalam merawat bayi. Sebagian ibu melahirkan tergantung dengan keluarga, oleh karenanya menurut konsep Orem ini keluarga perlu disiapkan sejak kehamilan sehingga keluarga dapat berpartisipasi dengan baik (May & Mahlmeister, 1990; Nichols & Zwelling, 2003). Banyak penelitian yang sudah membahas bagaimana pentingnya dukungan keluarga terhadap keberhasilan perawatan pada periode perinatal. Pada penelitian ini, dukungan keluarga juga diberikan selama pemberian asuhan keperawatan pada kelompok kontrol, namun tidak terstruktur seperti yang diberikan pada kelompok eksperimen. Sistem pelayanan dan kebijakan rumah sakit juga akan mempengaruhi kemampuan kemandirian secara tidak langsung. Seperti misalnya kebijakan rawat gabung pada klien pasca SC. Pada tempat penelitian ini, rawat gabung untuk klien pasca SC dilaksanakan setelah 24 jam pasca SC, sehingga selama 24 jam pertama setelah melahirkan, bayi dirawat terpisah dengan ibunya. Kebijakan ini membuat klien pasca SC terlambat mencapai kemandirian, termasuk dalam perawatan bayinya. Selain faktor internal dari ibu, kemandirian responden dalam perawatan bayi juga dipengaruhi oleh faktor kondisi bayi. Pada penelitian ini terdapat satu responden pada kelompok eksperimen yang memiliki kondisi bayi dengan berat badan lahir rendah. Perawatan bayi dengan berat lahir rendah membutuhkan perawatan intensif di unit perinatal, tidak dilakukan rawat gabung. Hal ini juga akan sangat mempengaruhi kemampuan ibu dalam merawat bayi.
9
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Tingkat kemandirian klien paska seksio saesaria setelah diberikan penerapan
Saran Bagi pengelola pelayanan RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta supaya konsep self care dapat direkomendasikan untuk digunakan secara dominan dalam melakukan perawatan klien pasca SC dengan pendekatan berfokus keluarga. Sedangkan bagi perawat dan bidan di bangsal post partum supaya menerapkan konsep model self care pada klien paska seksio saesaria khususnya untuk perawatan bayi mandiri dengan selalu melihat aspek positif dan memberdayakan kemampuan klien. Bagi klien paska seksio saesaria supaya termotivasi untuk belajar melakukan
Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 7 No. 2, Desember 2011: 1-10
JK K
7.
2.
Y
20
DAFTAR RUJUKAN Doris, C., & Serdar, U. 2005. Operative Obstetrics, dalam Morgan.M & Siddighi. S. National Medical Series for Independent Study Obstetrics and Gynekology. 12 (130134). Lippincott Willliams & Wilkins: USA. Ladewig, P.W., London, M.L., Mobely, S.M., & Old, S.B. 2005. Contemporary Maternal-Newborn Nursing Care. Prentisce Hall: New Jersey. LeDoux, J. 1998. The Emotional Brain. 1th.ed. Phoenix: New York. Lowdermilk, D.L., Perry, S.E & Bobak, I.M. 2000. Maternity Womens Health’s Care. 7th.ed. Mosby-Inc: Philadelphia. May, K. A. & Mahlmeiser, L. R. 1994. Maternal & Neonatal Nursing Family Centered Care. 4th.ed. J. B. Lippincott company: Philadelphia. Notoatmodjo, S. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Rineka Cipta: Jakarta.
Notoadmodjo, S. 2007. Promosi Kesehatan Dan Ilmu Perilaku. Rineka Cipta: Jakarta. Old, S. B., London, M. L & Ladewig, P. W. (2000). Maternal-Newborn Nursing: Family and CommunityBased Approach. 6th.ed. Prentice Hall Inc: New Jersey. Orem, D. E. 2001. Nursing Concepts of Practice. Mossby Year Book Inc: Philadelphia. Pilliteri, A. 2003. Maternal & Child Health Nursing: Care of The Chilbearing Family. 4th.ed. Lippincott: Philadelphia. Smith, A. 2006. Breasfeeding After a Cesarean, (Online), (http:www.breasfeedingbasics.com), diakses 6 Mei 2011. Wiknjosastro, H., Saifuddin, A. B & Rachimhadhi, T. 2001. Buku Acuan Nasional Pelayanan Maternal dan Neonatal. Jakarta: JNPKKRPOGI bekerjasama dengan YBPSarwono Prawirohardjo. Wong, D. L., Perry, S. E & Hockenberry, M. J. 2002. Maternal Child Nursing Care. 2nd ed. Mosby Inc: Philadelphia. Woznicki, K. 2005. American Society of Anesthesiologi : Esay Test Predict Cesarean Post Of Pain, (Online), (http:www.medpagetody.com/ cardiolongu/2005ASAmeeting/tb/ 2018), diakses 6 Mei 2011. Year. 2005. No Orgasme Sensation in Abdomen After Cesarean, Muscle Cramping and Pain, (Online), (http: www.mht.com), diakses 6 Mei 2011.
SA
perawatan bayi secara mandiri dan tidak tergantung dengan keluarga. Sedangkan keluarga dapat meningkatkan pengetahuan, dapat memotivasi dan mengawasi klien paska seksio saesaria dalam perawatan pada bayinya secara mandiri. Sedangkan bagi peneliti selanjutnya perlu melihat variabel yang belum dikendalikan pada penelitian ini dan penelitian selanjutnya perlu dilihat kecepatan pencapaian kemadirian klien.
11
10
PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN REPRODUKSI OLEH TEMAN SEBAYA TERHADAP KESIAPAN MENGHADAPI MENARCHE PADA ANAK PEREMPUAN USIA 10–12 TAHUN Yuli Isnaeni STIKES ‘Aisyiyah Yogyakarta E-mail:
[email protected]
2.
20
11
SA
Y
Abstract: To identify the effect of health education of reproductive health by peer group on readiness toward menarche on female children 10 – 12 age at Galur Kulon Progo District, the study was conducted using the pre experimental research with one group pretest-posttest design. There were 15 subjects involved who were chosen with purposive sampling. The result of the study showed that the subjects’ knowledge of reproductive health before treatment, most of them have good knowledge (66,67%) and after treatment all of the subjects have good knowledge (100%). There are 33,3% subjects has good readiness toward menarche and increase 46,67% after treatment. Therefore, the result showed that there are differences in knowledge about menarche and care during menstruation before and after treatment (p<0,05), but there is no difference in readiness toward menarche before and after treatment (p >0.05). The suggestion for the parents who have female children aged 10-12 years old to give information of reproductive health before menarche came.
7.
Keywords: menarche, female children 10-12 age, peer group
JK K
Abstrak: Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh pendidikan kesehatan reproduksi oleh kelompok sebaya terhadap kesiapan menghadapi menarche pada anak perempuan usia 10-12 di Galur Kulon Progo, dengan desain penelitian pre eksperimen dengan menggunakan rancangan one group pre test and post test desain, dengan jumlah sampel 15 orang, menggunakan metode purposive sampling. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengetahuan responden tentang menarche dan perawatan selama menstruasi sebelum intervensi sebagian besar menunjukkan kategori baik (66,67%) dan setelah intervensi semua responden memiliki kategori baik (100%). Kesiapan responden menghadapi menarche sebelum intervensi sebanyak 33,3% berada pada kategori baik dan setelah intervensi meningkat menjadi 46,67 %. Terdapat perbedaan pengetahuan responden tentang menarche dan perawatan selama menstruasi sebelum dan setelah dilakukan intervensi pendidikan kesehatan oleh peer group dengan nilai p value <0.05, namun tidak terdapat perbedaan kesiapan responden dalam menghadapi menarche sebelum dan setelah dilakukan intervensi pendidikan kesehatan oleh peer group dengan nilai p value >0,05. Saran untuk orang tua yang memiliki anak perempuan usia menarche (10-12 tahun), agar memberikan informasi tentang menstruasi kepada anak-anak perempuan yang memasuki usia menarche. Kata kunci: menarche, anak perempuan usia 10-12 tahun, peer group
Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 7 No. 2, Desember 2011: 11-21
SA
Y
kan oleh kesiapan mental, kurang memiliki pengetahuan dan sikap yang cukup baik tentang perubahan-perubahan fisik dan psikologis terkait menarche, dan kurangnya pengetahuan tentang perawatan diri yang diperlukan saat menstruasi (Ferry, 2007). Kurangnya pengetahuan tentang reproduksi khususnya menstruasi pada remaja putri ini disebabkan oleh beberapa faktor di antaranya karena tidak adanya inforrmasi dari orang tua, kakak atau saudara perempuan, guru dan sebagainya. Bahkan disebutkan oleh Mandle dan Edelman (2006) bahwa orang tua sering tidak tahu tentang informasi apa yang seharusnya diberikan pada anak menjelang akil baligh dan kapan informasi itu sebaiknya diberikan pada anak. Keadaan ini dapat menyebabkan anak tidak siap menerima datangnya menstruasi yang pertama kali. Dampak lanjut ketidaksiapan menghadapi menarche pada remaja putri dapat menimbulkan kecemasan, akan mengakibatkan munculnya gejala- gejala patologis seperti rasa ketakutan, kecemasan, konflik batiniah dan gangguan lain berupa pusing, mual, dismenorhea, haid tidak teratur dan berbagai macam gangguan lainnya. Masalah fisik yang mungkin timbul dari kurangnya pengetahuan itu adalah kurangnya personal hygiene sehingga dapat berisiko untuk terjadinya infeksi pada saluran kemih (ISK), kanker leher rahim dan sebagainya. Hal ini tentunya perlu mendapatkan perhatian serius dengan memberikan informasi secara tepat. Informasi tentang menarche sebenarnya adalah kewajiban orang tua, namun kenyataannya orang tua menganggap hal ini tabu. Akan tetapi, orang tua juga kesulitan untuk menyampaikan kepada anak mereka karena keterbatasan pengetahuan yang mereka miliki (Widyastuti et.al., 2009). Sumber informasi eksternal yang mudah mereka jangkau adalah informasi dari teman sebaya (peer group). Pendidikan yang
JK K
7.
2.
20
PENDAHULUAN Usia anak sekolah berkisar 6 – 12 tahun, yang didefinisikan sebagai “a periode of calm” sebelum “a periode of storm” pada usia dewasa (Mandle & Edelman, 2006). Periode ini merupakan peralihan antara masa anak-anak ke masa adolesen. Perkembangan dan pertumbuhan anak usia sekolah terjadi secara dramatis, kemampuan motorik dan mental berkembang pesat karena sosialisasi di sekolah dan teman sebayanya. Perkembangan emosional anak berkaitan erat dengan teman sebaya atau teman lain di luar keluarganya. Pada periode ini juga anak belajar tentang peran gender, selain itu mulai meningkat kesadaran tubuh, fungsi dan kebutuhan identifikasi seksual dan pengetahuan tentang aspek biologi dari fungsi seksual. Perkembangan ini berbeda pada anak laki-laki dan perempuan. Anak perempuan cenderung lebih matang (mature) dibandingkan anak laki-laki, baik secara fisik maupun perkembangannya. Anak-anak menjadi sering bertukar pikiran tentang masalah menstruasi, ketertarikan dengan lawan jenis dan sebagainya dengan teman sebayanya (Mandle & Edelman, 2006). Perkembangan ini terjadi pada anak usia sekolah akhir atau remaja remaja awal. Data BPS menunjukkan bahwa kelompok usia 10 – 19 tahun adalah sekitar 22 % yang terdiri dari 50,9 % adalah remaja laki-laki dan 49,1 adalah remaja perempuan (Soetjiningsih, 2004). Sedangkan di Yogyakarta, kelompok usia 10 – 14 tahun adalah sekitar 257.806 orang remaja dan usia 15 – 19 tahun adalah sekitar 275.730 orang remaja. Kelompok usia ini akan mengalami menstruasi pertama atau menarche. Menarche merupakan menstruasi pertama yang terjadi dalam rentang usia 10 – 16 tahun (Ferry, 2007). Menarche adalah salah satu tanda adanya kematangan seksual pada remaja putri. Menarche pada remaja putri dapat menimbulkan kecemasan, ini disebab-
11
12
Yuli Isnaeni, Pengaruh Pendidikan Kesehatan Reproduksi oleh Teman Sebaya ...
Keterangan: O1 : Penilaian pengetahuan siswi terhadap kesiapan menghadapi menarche sebelum diberikan pendidikan kesehatan oleh kelompok sebaya O2 : Pengukuran pengetahuan siswi terhadap kesiapan menghadapi menarche sesudah diberikan pendidikan kesehatan oleh kelompok sebaya. X : Perlakuan yaitu pendidikan kesehatan reproduksi oleh kelompok sebaya
11
SA
Y
Variabel penelitian ini terdiri dari variabel bebas dan variabel terikat. Variabel bebasnya adalah pendidikan kesehatan reproduksi oleh teman sebaya sedangkan variabel terikatnya adalah kesiapan anak usia 10 – 12 tahun dalam menghadapi menarche. Variabel pengganggu dalam penelitian ini adalah usia, faktor psikologis, sosial budaya, lingkungan dan pengetahuan. Pendidikan kesehatan reproduksi oleh kelompok sebaya (peer group) adalah pemberian informasi tentang pengertian menstruasi, fase menstruasi, perubahan fisik masa pubertas, cara perawatan diri selama menstruasi, pendidikan seks, kehamilan, penyakit menular dan HIV/AIDS yang diberikan oleh teman sebaya yang telah mengalami menstruasi dan telah dilatih oleh peneliti menjadi peer educator. Pendidikan kesehatan ini dilakukan sebanyak 3 kali dengan durasi 30 – 40 menit, disampaikan secara lisan maupun tulisan (leaflet) dengan alat bantu modul kesehatan reproduksi dalam kelompok kecil 7 – 12 anak. Kesiapan siswa menghadapi menarche adalah skor komposit jawaban responden tentang pengetahuan menstruasi, sikap terhadap datangnya menstruasi pertama kali dan cara perawatan kebersihan diri yang dilakukan selama menstruasi, diukur dengan menggunakan kuesioner yang dilakukan sebelum dan sesudah diberikan pendidikan kesehatan reproduksi oleh peer educator,
JK K
7.
2.
20
dilakukan oleh kelompok sebaya ini mempunyai keuntungan di antaranya teman sebaya akan lebih mudah dalam menyampaikan hal-hal yang bersifat sensitif seperti peristiwa datangnya menstruasi yang pertama kali (menarche). Hasil studi pendahuluan yang dilakukan di wilayah Galur Kulon Progo melalui wawancara langsung pada 13 siswi kelas V salah satu Sekolah Dasar di wilayah Galur, diperoleh hasil bahwa 2 orang anak telah mengalami menstruasi 2 – 4 bulan yang lalu, 11 anak belum mengalami menstruasi. Sebagian besar siswi mengatakan bahwa mereka tidak mendapatkan penjelasan tentang menstruasi dari siapapun, dan ketika ditanya mereka mengatakan bahwa darah menstruasi akan keluar dari saluran kencing. Sementara, 2 orang siswa yang telah menstruasi mengatakan saat datang menstruasi yang pertama mereka tidak mau masuk sekolah karena malu, merasa jijik dan tidak nyaman. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang pengaruh pendidikan kesehatan reproduksi (menarche dan perawatan selama menstruasi) oleh kelompok sebaya terhadap kesiapan menghadapi menarche anak usia 10 – 12 di Galur Kulon Progo. METODE PENELITIAN Desain penelitian ini adalah “Pra Eksperimental” untuk menilai pengaruh pendidikan kesehatan reproduksi oleh kelompok sebaya (peer group) terhadap kesiapan anak usia 10 – 12 tahun dalam menghadapi menstruasi, dengan rancangan one group pre test and post test design. Kelompok eksperimen diberikan pretest sebelum diberi perlakuan yang kemudian diukur dengan posttest sesudah diberikan perlakuan. Bentuk rancangan adalah sebagai berikut. O1
X
O2
13
Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 7 No. 2, Desember 2011: 11-21
SA
Y
peer educator setelah selesai pelatihan peer tentang kesehatan reproduksi. 5). Memberikan pre test pada responden sebelum pendidikan kesehatan reproduksi oleh peer dimulai. 6). Mengidentifikasi responden dan membentuk kelompok, tiap kelompok berisi 5 anak, 7). Pelaksanaan Pendidikan Kesehatan oleh peer atau teman sebaya seminggu sekali selama 3 minggu berturut-turut. Materi pertemuan pertama adalah mengenai menarche dan menstruasi, siklus menstruasi dan cara perawatan diri selama menstruasi. Pertemuan kedua mengenai perubahan tubuh pada masa pubertas atau menjelang dan setelah menstruasi pertama, masalah yang terjadi selama siklus mentruasi. Sedangkan pertemuan ketiga materinya mengenai terjadi kehamilan, penyakit menular dan HIV/AIDS. Setelah selesai pertemuan ketiga, dilanjutkan dengan tahap 8). Memberikan post test. Langkah selanjutnya ialah proses pengolahan dan analisis data, proses pengolahan data meliputi editing, koding dan membuat tabel. Sebelum dilakukan uji statistik terlebih dahulu dilakukan uji normalitas data dengan uji Kolmogorov Smirnov dengan tingkat kepercayaan 95 %. Hasil uji normalitas data tentang pengetahuan sebelum dan sesudah pendidikan kesehatan menunjukkan berdistribusi normal dengan besarnya nilai signifikan lebih dari 0,05. Demikian juga data tentang kesiapan menghadapi menarche sebelum dan sesudah pendidikan kesehatan menunjukkan berdistribusi normal dengan nilai signifikansi lebih dari 0,05. Untuk membuktikan Ha ditolak atau diterima, harga t hitung dibandingkan dengan tabel derajat kebebasan atau dk = n – 1, dan taraf signifikansi 5 % (Sugiyono, 2006).
JK K
7.
2.
20
dengan skala interval. Populasi pada penelitian ini adalah seluruh anak usia 10 – 12 tahun di wilayah Galur Kulon Progo yang belum mengalami menarche. Sampel adalah anak usia 10 – 12 tahun yang tinggal di kelurahan Karangsewu dan sekitarnya di Galur Kulon Progo yang belum mengalami menarche, sebanyak 15 anak. Teknik pemilihan sampel pada penelitian ini menggunakan purposive sampling. Instrumen yang digunakan untuk pendidikan kesehatan tentang menstruasi oleh kelompok sebaya (peer group) berupa modul yang berisi tentang pengetahuan, materi dan fisiologi dari terjadinya menstruasi dan cara perawatan diri selama menstruasi. Alat ukur yang digunakan untuk mengumpulkan data variabel kesiapan siswa dalam menghadapi menarche adalah kuesioner. Kuesioner ini berisi pertanyaan pengetahuan tentang menarche, sikap terhadap datangnya menstruasi pertama kali dan cara perawatan kebersihan diri yang dilakukan selama menstruasi. Sebelum kuesioner digunakan untuk mengumpulkan data terlebih dahulu dilakukan uji validitas dan uji reliabilitas. Instrumen penelitian ini merupakan instrumen yang telah digunakan oleh Riyani (2011) dan telah dilakukan uji validitas dan uji reliabilitas. Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahapan, diawali dengan 1). Menjelaskan informed consent kepada responden dan peer educator, 2). Melakukan pre test pada peer educator sebelum pelatihan peer dimulai. 3). Melatih peer educator dari siswa yang telah mengalami menstruasi dan dilanjutkan dengan pelatihan dilakukan sebanyak 2 kali pertemuan dengan durasi 40 menit. Metode pelatihan yang digunakan adalah ceramah, diskusi dan simulasi menjadi peer educator, sedangkan media yang digunakan adalah modul kesehatan reproduksi. 4). Memberikan post tes pada
11
14
HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini dilakukan di wilayah Kecamatan Galur Kulon Progo, yakni di
Yuli Isnaeni, Pengaruh Pendidikan Kesehatan Reproduksi oleh Teman Sebaya ...
Karakteristik Responden
JK K
7.
2.
20
11
SA
Tabel 1.
menarche dan telah mendapatkan pelatihan sebanyak 2 kali tentang menarche dan kesehatan reproduksi dari peneliti. Karakteristik 3 orang peer educator, berusia 10, 11 dan 12 tahun, memiliki saudara perempuan, dan pekerjaan ibu sebagai ibu rumah tangga. Ketiga peer ini memiliki skor pengetahuan dan memiliki kesiapan menghadapi menarche dalam kategori baik. Selanjutnya akan diuraikan karakteristik reponden secara rinci pada tabel 1.
Y
Kelurahan Karangsewu, Nomporejo dan Tirtorahayu pada bulan Agustus – September 2011. Penelitian ini dilakukan pada kelompok anak sekolah atau usia 10 – 12 tahun yang belum mengalami menarche. Jumlah sampel pada penelitian ini sebanyak 15 orang dan 3 orang orang anak sebagai peer educator atau pemberi pendidikan pada teman sebayanya. Peer educator pada penelitian ini adalah siswa kelas V, VI (SD) dan VII (kelas I SMP) yang telah mengalami
15
Berdasarkan tabel 1 dapat dilihat bahwa sebagian besar (46,67 %) responden usia anak 11 tahun, 46,27 % ibu yang tidak bekerja (ibu rumah tangga), 53,33 % anak
memiliki 2 orang saudara perempuan, sebagian besar (66,7%) anak menginginkan atau lebih suka informasi tentang menarche diperoleh dari orang tua dan 46,27 % anak
Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 7 No. 2, Desember 2011: 11-21
SA
Y
rentang usia terjadi menarche. Pada periode ini anak belajar tentang peran gender, selain itu mulai meningkat kesadaran tubuh, fungsi dan kebutuhan identifikasi seksual dan pengetahuan tentang aspek biologi dari fungsi seksual. Sebagian besar ibu responden memiliki pekerjaan sebagai ibu rumah tangga, kategori ini memberikan kesempatan anak dan ibu lebih dekat dan anak dapat meminta informasi secara leluasa pada ibu tentang menarche. Hal ini juga didukung oleh data pada karakteristik yang menyebutkan bahwa sebagian responden (66,7%) lebih memilih ibu atau orang tua sebagai sumber informasi utama tentang menarche. Hampir semua responden memiliki saudara perempuan (kakak perempuan) dan hanya satu orang responden tidak tidak memiliki saudara perempuan. Saudara perempuan ini akan memberikan dukungan dan informasi tentang menarche pada adik perempuannya. Atau sebaliknya, adik akan meminta informasi pada kakak perempuannya. Hal ini juga dapat dilihat pada penuturan orang tua tentang pertanyaan seorang adik terhadap kakak “ mbak, kok tidak sholat kenapa….?” Kok lama sekali….enak ya… tidak sholat”. Pertanyaan ini terlontar setiap terdengan suara adzan di masjid dekat rumahnya. Pernyataan adik ini mengandung arti bahwa sebenarnya adik ingin tahu apa yang sedang dialami oleh kakaknya. Selanjutnya akan diuraikan secara rinci pengetahuan anak tentang menarche sebelum dan sesudah mendapatkan intervensi, yang dapat dilihat pada tabel 2.
JK K
7.
2.
20
tinggal di Kelurahan Karangsewu Galur Kulon Progo. Penelitian ini dilakukan di wilayah kelurahan Karangsewu Galur Kulon Progo, yang secara geografis terletak di daerah rural atau daerah pedesaan yang relatif jauh dari jangkauan teknologi informasi seperti internet. Berdasarkan survey pendahuluan disebutkan bahwa di antara anak usia 10 – 12 tahun, yang telah mengalami menarche kurang lebih sebanyak 13 %. Hal ini sesuai pendapat Stanhope (2004) yang menyatakan anak-anak di daerah rural relatif lebih lambat perkembangan reproduksinya dikarenakan keadaan pedesaan yang relatif kurang terjangkau teknologi informasi yang memberikan tontonan yang dapat meningkatkan perkembangan atau kematangan organ reproduksinya. Peer educator pada penelitian ini adalah siswa kelas V, VI (SD) dan VII (kelas I SMP) yang telah mengalami menarche sebanyak 2 – 4 kali, telah mengikuti pelatihan peer tentang menarche dan kesehatan reproduksi diberikan oleh peneliti. Peer educator ini memiliki pengetahuan dan kesiapan yang baik terbukti mereka telah memiliki skor pengetahuan (di atas nilai 88) dan memiliki kesiapan menghadapi menarche baik (di atas nilai 95). Hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap anak usia 10 – 12 di kelurahan Karangsewu dan sekitarnya menunjukkan bahwa sebagian anak berusia 11 tahun. Hal ini sesuai dengan pendapat Ferry (2007) yang menyatakan usia 10 – 16 tahun ini adalah
11
16
Tabel 2.
Distribusi frekuensi pengetahuan anak tentang menarche sebelum dan sesudah intervensi
Yuli Isnaeni, Pengaruh Pendidikan Kesehatan Reproduksi oleh Teman Sebaya ...
Y
SA
Distribusi frekuensi kesiapan anak dalam menghadapi menarche sebelum dan sesudah intervensi
JK K
7.
2.
20
Tabel 3.
data bahwa semua responden (100%) memiliki pengetahuan yang baik tentang menarche dan perawatannya. Hal ini sesuai pendapat yang menyatakan bahwa peer group cukup efektif dalam memberikan pendidikan kesehatan tentang menstruasi pada anak pra pubertas. Edelman dan Mandle (2006) juga menyebutkan bahwa pendidikan kesehatan bertujuan mengubah pengetahuan seseorang, pada penelitian ini adalah tentang menarche bagi anak usia sekolah dasar bertujuan agar anak mengetahui seluk beluk menstruasi, dapat menerima dengan baik dan cepat beradaptasi. Selanjutnya disajikan hasil pengukuran tingkat kesiapan responden dalam menghadapi menarche, pada tabel 3.
11
Hasil pengukuran variabel pengetahuan anak tentang menarche sebelum intervensi sebagian besar menunjukkan skor baik (66,67%). Pengetahuan yang baik sebelum mendapatkan pendidikan kesehatan oleh peer ini dikarenakan di sekolah telah mendapatkan informasi dan pelajaran tentang menarche dari guru kelas (pada pelajaran IPA) dan guru agama (pada materi thaharah). Namun demikian masih didapatkan item pertanyaan yang dijawab kurang tepat oleh responden terutama pertanyaan tentang penyebab menstruasi, jumlah darah normal saat menstruasi, menstruasi pada wanita hamil, dan perawatan selama menstruasi. Setelah mendapatkan intervensi pendidikan kesehatan oleh peer didapatkan
17
Kesiapan menarche dinilai dengan menggunakan kuesioner penyataan sikap, menggunakan skala Likert meliputi pernyataan sangat setuju, setuju, tidak setuju dan sangat tidak setuju, yang hasilnya dapat dilihat pada tabel 3. Hasil analisis terhadap kesiapan anak dalam menghadapi menarche sebelum intervensi menunjukkan skor baik (33,33%), sedangkan hasil post test menunjukkan kenaikan skor baik menjadi 46,67 %. Secara deskriptif hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan kesiapan responden dalam menghadapi menarche, namun kenaikan ini masih jauh dari skor
pengetahuan. Sedikitnya peningkatan kesiapan responden menghadapi menarche ini disebabkan oleh reaksi negatif responden terhadap datangnya menstruasi yang pertama kali. Hal ini sesuai pendapat Dariyo (2004) yang menyatakan bahwa remaja putri memiliki 2 reaksi dalam menghadapi menarche, yaitu reaksi negatif dan reaksi positif. Reaksi negatif adalah pandangan yang kurang baik dari remaja putri ketika dirinya mengalami menarche. Ketidaksiapan menghadapi menarche ini juga akibat kecemasan. Menurut Kartono (2006) kecemasan merupakan gejala yang paling sering terjadi pada remaja dan sangat mencolok
18
Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 7 No. 2, Desember 2011: 11-21
pada peristiwa menarche yang kemudian diperkuat dengan keinginan menolak proses fisiologis tersebut. Untuk mengetahui pengaruh pendidikan kesehatan oleh teman sebaya terhadap pengetahuan dan kesiapan anak dalam menghadapi menarche maka dilakukan uji hipotesis dengan paired t test. Sebelum dilakukan pengujian hipotesis ini terlebih dahulu dilakukan uji normalitas data meng-
Hasil uji paired t test pengetahuan dan kesiapan anak menghadapi menarche sebelum dan sesudah intervensi
oleh teman sebaya pada anak usia 10 – 12 tahun di wilayah kecamatan Galur Kulon Progo. Hasil uji analisis statistik pengaruh pendidikan kesehatan oleh peer tentang menarche ini menunjukkan ada pengaruh yang signifikan (0,025<0,05), artinya ada perbedaan pengetahuan responden sebelum dan sesudah diberikan intervensi. Peningkatan pengetahuan ini sesuai dengan pendapat Suliha, dkk (2002) yang menyatakan bahwa pendidikan kesehatan adalah usaha atau keinginan untuk menciptakan perilaku masyarakat yang kondusif untuk kesehatan atau dengan kata lain agar anak usia 10 – 12 tahun mengetahui tentang menarche dan tahu bagaimana cara perawatan pada saat menarche datang pertama kali pada dirinya. Pengetahuan adalah hasil dari tahu, dan hal ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Penginderaan ini dilakukan melalui penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba (Notoatmodjo, 2003). Penginderaan
JK K
7.
2.
20
Hasil perhitungan statistik perbedaan pengetahuan anak tentang menarche sebelum dan sesudah intervensi didapatkan harga t hitung -2,512 dengan degree of freedom (df) 14 dengan tingkat kesalahan 5 %, dapat diketahui nilai signifikan 0,025 (0,025<0,05), maka dapat disimpulkan Ho ditolak dan Ha diterima artinya bahwa ada perbedaan yang bermakna antara pengetahuan tentang menarche sebelum dan sesudah dilakukan intervensi pendidikan kesehatan oleh teman sebaya pada anak usia 10 – 12 tahun di wilayah kecamatan Galur Kulon Progo. Perhitungan statistik perbedaan kesiapan anak dalam menghadapi menarche sebelum dan sesudah intervensi didapatkan harga t hitung 0,514 dengan df = 14 dengan tingkat kesalahan 5 %, dapat diketahui nilai signifikan 0,615 (0,615 >0,05), maka dapat disimpulkan Ho diterima dan Ha ditolak artinya bahwa tidak ada perbedaan kesiapan menghadapi menarche sebelum dan sesudah dilakukan intervensi pendidikan kesehatan
11
SA
Y
Tabel 4.
gunakan Kolmogorov Smirnov. Hasil uji normalitas pengetahuan (pre dan post tes) dan kesiapan (pre dan post tes) anak dalam menghadapi menarche menunjukkan semua data terdistribusi normal (p > 0.05). Hasil perhitungan secara statistik uji hipotesis dengan paired t test tentang perbedaan pengetahuan dan kesiapan anak menghadapi menarche dapat dilihat pada tabel 4.
Yuli Isnaeni, Pengaruh Pendidikan Kesehatan Reproduksi oleh Teman Sebaya ...
11
SA
Y
datangnya menstruasi yang pertama kali. Hal ini sesuai dengan pendapat Dariyo (2004) yang menyebutkan bahwa remaja putri memiliki pandangan yang kurang baik terhadap datangnya menstruasi dan bahkan diperkuat dengan keinginan untuk menolak proses fisiologi tersebut (Kartono, 2006). Hasil penelitian ini bertentangan dengan pendapat Potter dan Perry (1995) dan Bruhn dalam Gohman (1998) yang menyebutkan bahwa peer group merupakan faktor kritis yang mempengaruhi penerimaan perilaku dan berperan sangat besar dalam mempengaruhi perilaku sehat seseorang. Perbedaan hasil ini disebabkan oleh karena responden pada penelitian ini sebagian besar (66,7%) lebih memilih orang tua sebagai sumber informasi tentang menarche dari pada teman sebayanya. Hal ini juga bertentangan dengan pernyataan Mandle dan Edelmen (2006) yang menyebutkan bahwa sering kali anak-anak bertukar pikiran tentang masalah seksual dengan teman sebayanya. Lebih lanjut Mandle dan Edelman (2006) menyebutkan bahwa orang tua sering tidak mengetahui tentang pendidikan seks yang seharusnya diberikan pada anak dan kapan informasi itu sebaiknya diberikan pada anak. Perbedaan hasil penelitian ini dengan penelitian sebelumnya disebabkan oleh jumlah pertemuan dengan peer educator sebanyak 3 kali, kemudian dilakukan post test. Walaupun dalam bermain responden sering bersama-sama, namun saat bermain tidak pernah membahas kembali tentang menarche. Pertemuan dalam peer group sebanyak 3 kali ini belum dapat mengubah kesiapan responden, terbukti hasil wawancara dengan beberapa saat melakukan kunjungan rumah mereka masih kembali menanyakan masalah menstruasi kepada ibunya. Faktor lain dari peer educator juga berperan dalam menentukan keberhasilan atau menentukan peningkatan kesiapan
JK K
7.
2.
20
ini diperoleh responden selama mengikuti kegiatan peer group. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behavior) (Notoatmodjo, 2003). Tindakan seseorang yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada tindakan atau perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Kesiapan responden menghadapi menarche menunjukkan 33,33% responden siap menghadapi menarche dan sebagian besar lainnya adalah cukup dan kurang siap menghadapi menarche (66,67%). Angka ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden belum siap menghadapi menarche, walaupun secara pengetahuan telah baik dalam memahami tentang menstruasi dan cara perawatannya tetapi jika ditanyakan tentang kesiapan menghadapi menstruasi sebagian masih menjawab belum siap. Kesiapan menghadapi menarche tidak hanya dipengaruhi oleh pengetahuan namun dipengaruhi juga oleh usia, psikologis, lingkungan dan sosial budaya (Mandle & Edelman, 2006). Kesiapan anak menghadapi menarche menunjukkan kecenderungan meningkat setelah mendapatkan pendidikan oleh teman sebayanya. Ada kenaikan kesiapan kategori baik naik dari 33,33 % menjadi 46,67 %. Hasil ini menunjukkan bahwa secara deskriptif pendidikan kesehatan oleh teman sebaya meningkatkan kesiapan responden dalam menghadapi menarche. Namun setelah dilakukan uji analisis paired t test ternyata tidak terbukti secara statistik ada pengaruh pendidikan kesehatan oleh teman sebaya terhadap kesiapan responden dalam menghadapi menstruasi. Tidak adanya pengaruh pendidikan kesehatan oleh teman sebaya terhadap kesiapan responden dalam menghadapi menarche disebabkan sebagian besar responden memiliki reaksi negatif terhadap
19
Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 7 No. 2, Desember 2011: 11-21
SA
Y
sebelum intervensi sebanyak 33,33% menunjukkan kategori baik sedangkan setelah intervensi responden yang memiliki kesiapan kategori baik menjadi 46,67%. Hasil uji t-test menunjukkan terdapat perbedaan pengetahuan responden tentang kesehatan reproduksi sebelum dan setelah dilakukan intervensi pendidikan kesehatan oleh peer group dengan nilai p value 0,025 (p<0,05), namun tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada kesiapan responden dalam menghadapi menarche sebelum dan setelah dilakukan intervensi pendidikan kesehatan oleh peer group dengan nilai p value 0,615 (p>0,05). Saran Berdasarkan hasil penelitian ini penulis merekomendasikan bagi orang tua yang memiliki anak usia menarche (10–12 tahun) untuk memberikan informasi yang tepat tentang kesehatan reproduksi remaja kepada anak-anak gadisnya yang memasuki usia menarche dan bagi peneliti selanjutnya untuk mengembangkan metode pendidikan kesehatan dalam bentuk peer group untuk meningkatkan perilaku kesehatan masyarakat dengan menggunakan metode dan media yang menarik bagi audiens serta menggunakan waktu lebih panjang minimal 4 kali pertemuan.
JK K
7.
2.
20
dalam menghadapi menarche. Peer educator nampak kurang percaya diri dan malu dalam menyampaikan pengalaman tentang menstruasi. Hal ini akan menimbulkan reaksi negatif tentang datangnya menarche pada diri responden. Waktu pelaksanaan peer group mungkin juga kurang tepat, karena bersamaan dengan waktu ujian tengah semester bagi siswa SD dan SMP. Hal ini kemungkinan juga menyebabkan responden menjadi kurang konsentrasi dalam mengikuti peer group, sehingga kurang bisa meningkatkan kesiapan responden dalam menghadapi menarche. Berdasarkan uraian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa pengetahuan yang baik tidak secara serta merta meningkatkan kesiapan seseorang dalam merespon suatu peristiwa dalam hidupnya, sebagaimana seorang anak yang menghadapi menstruasi yang pertama kali. Ada beberapa hal yang mempengaruhi seseorang dalam merespon peristiwa yang dianggap berat dalam hidupnya antara lain keyakinan dan kehidupan emosional seseorang (Allport,1954 dalam Notoatmodjo, 2003). Perubahan persepsi atau pernyataan sikap merupakan suatu proses yang kompleks dan memerlukan waktu yang relatif lama, sedangkan pada penelitian ini jarak kegiatan peer group dilakukan sebanyak 3 kali, kemudian dilanjutkan dengan pengukuran kesiapan responden dalam menghadapi menarche.
11
20
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada responden usia menarche 10 – 12 tahun, dapat disimpulkan bahwa pengetahuan responden tentang kesehatan reproduksi sebelum intervensi sebagian besar menunjukkan kategori baik (66,67%) sedangkan setelah intervensi 100 % responden memiliki pengetahuan berkategori baik. Kesiapan responden menghadapi menarche
DAFTAR RUJUKAN Dariyo. 2004. Seputar Menarche bagi Seorang Perempuan, (Online), (http: www. Dariyoblog), diakses 17 Agustus 2011 Edelman, C., & Mandle, C. L. 2006. Health Promotion, Throught the Lifespan. Third Edition. Mosby Year Book.Inc: St. Louis. Ferry. 2007. Informasi Kesehatan Reproduksi Perempuan Ford Foundation. Galang Printika: Yogyakarta
Yuli Isnaeni, Pengaruh Pendidikan Kesehatan Reproduksi oleh Teman Sebaya ...
11
SA
Y
Menghadapi Menarche Pada Siswi Kelas V Di SD Muhammadiyah Pringgokusuman Tahun 2011. Skripsi Tidak Diterbitkan. Yogyakarta. STIKES ‘Aisyiyah Yogyakarta. Soetjiningsih. 2004. Tumbuh Kembang Remaja dan Permasalahannya. Sagung Seto: Jakarta. Sugiyono. 2006. Statistik untuk Penelitian. Alfabeta: Bandung. Suliha, U. 2001. Pendidikan Kesehatan dalam Keperawatan. EGC Penerbit Buku Kedokteran: Jakarta Stanhope, M. 2004. Community & Public Health Nursing. Mosby: St.Louis, Missouri.
JK K
7.
2.
20
Gohman, D. S. 1998. Health Behavior, Emerging Research Perspectives. Plenum Press: New York and London. Kartono. 2006. Kecemasan Menghadapi Menstruasi Pertama, (Online), (http:kartonoblog), diakses 23 Juli 2011. Notoatmodjo, S. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Rineka Cipta: Jakarta. Perry, A. G., & Potter, P. A. 1995. Clinical Nursing Skills & Techniques. Mosby Year Book Inc: St. Louis, Missiouri. Riyani, B. 2011. Pengaruh Pendidikan Kesehatan Oleh Kelompok Sebaya (Peer Group) Terhadap Kesiapan
21
PENGARUH TERAPI INDIVIDU SOSIALISASI TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU ISOLASI SOSIAL PADA PASIEN SKIZOFRENIA Nurfitriana & Mamnu’ah STIKES ‘Aisyiyah Yogyakarta E-mail:
[email protected]
2.
20
11
SA
Y
Abstract: This study aims to determine the effect of individual therapy socialization of social isolation to change behavior in schizophrenic patients at Grhasia Hospital of Yogyakarta. This study is a pre-experimental studies, which provide individual therapy socialization. Survey respondents were patients who experienced social isolation as many as 15 people. Therapy is administered in three sessions, each session performed 2 times for 3 consecutive days with a duration of 20 minutes for each session. The instrument used is a modification of standard treatment guidelines and dissemination of individual observation sheet. Statistical tests used Wilcoxon Match Pairs Test. The results show the behavior of social isolation in schizophrenic patients before therapy were given individual socialization of social isolation particularly of a high total of 14 people (93.3%), whereas the behavior of social isolation after a given individual therapy socialization of social isolation particularly of a low of 10 (66, 6%). It can be concluded that there is influence on the behavior of individual therapy socialization of social isolation in patients with schizophrenia (p value 0.001).
7.
Keywords: individual socialized therapy, social isolation, schizophrenia
JK K
Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh terapi individu sosialisasi terhadap perubahan perilaku isolasi sosial pada pasien skizofrenia di Rumah Sakit Grhasia Yogyakarta. Penelitian ini merupakan studi pre eksperimen, yaitu memberikan terapi individu sosialisasi. Responden penelitian adalah pasien yang mengalami isolasi sosial sebanyak 15 orang. Terapi diberikan dalam 3 sesi, setiap sesi dilakukan 2 kali selama 3 hari berturut-turut dengan durasi 20 menit untuk setiap sesi. Instrumen yang digunakan adalah modifikasi pedoman terapi individu sosialisasi dan lembar observasi. Uji statistik yang digunakan Wilcoxon Match Pairs Test. Hasil penelitian menunjukkan perilaku isolasi sosial pada pasien skizofrenia sebelum diberi terapi individu sosialisasi sebagian besar perilaku isolasi sosial tinggi sebanyak 14 orang (93,3%), sedangkan perilaku isolasi sosial sesudah diberi terapi individu sosialisasi sebagian besar perilaku isolasi sosial rendah sebanyak 10 (66,6%). Dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh terapi individu sosialisasi terhadap perilaku isolasi sosial pada pasien skizofrenia (p value 0,001). Kata kunci: Terapi Individu Sosialisasi, Isolasi Sosial dan Skizophrenia
Nurfitriana & Mamnu’ah, Pengaruh Terapi Individu Sosialisasi terhadap Perubahan...
11
SA
Y
terjadi pada golongan usia di atas 40 tahun. Setiap tahunnya di Amerika Serikat terdapat 300.000 pasien skizofrenia mengalami episode akut, sedangkan prevalensi skizofrenia lebih tinggi dari penyakit Alzheimer (Maramis, 2004). Pasien skizofrenia sebanyak 20% - 50% melakukan percobaan bunuh diri, dan 10% di antaranya berhasil melakukan bunuh diri. Angka kematian pasien skizofrenia 8 kali lebih tinggi dibanding angka kematian pada umumnya (Yosep, 2007). Skizofrenia adalah suatu gangguan yang mempengaruhi otak dan mengakibatkan terjadinya pikiran, persepsi, emosi, gerakan, dan perilaku yang aneh dan terganggu. Gejala skizofrenia terdiri dari gejala positif (nyata) yaitu: waham, halusinasi, dan disorganisasi pikiran, bicara, dan perilaku yang tidak teratur serta gejala negatif (samar) meliputi: afek datar, tidak memiliki kemauan, dan menarik diri dari masyarakat atau rasa tidak nyaman (Videbeck, 2008). Salah satu gejala negatif pada gangguan skizofrenia yaitu isolasi sosial. Isolasi sosial adalah keadaan ketika seorang individu mengalami penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain di sekitarnya. Pasien mungkin merasa ditolak, tidak diterima, kesepian, dan tidak mampu membina hubungan yang berarti dengan orang lain. Perilaku isolasi sosial disebabkan oleh harga diri rendah yaitu perasaan negatif terhadap diri sendiri, hilang kepercayaan diri, merasa gagal mencapai keinginan yang ditandai dengan adanya perasaan malu terhadap diri sendiri, rasa bersalah terhadap diri sendiri, gangguan hubungan sosial, merendahkan martabat, percaya diri kurang dan juga dapat mencederai diri (Keliat, 2009). Akibat yang akan ditimbulkan dari perilaku isolasi sosial yaitu perubahan persepsi sensori: halusinasi, risiko tinggi
JK K
7.
2.
20
PENDAHULUAN Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi akan membawa dampak positif maupun negatif bagi manusia baik fisik, psikologis, sosial budaya, dan spiritual. Banyaknya permasalahan yang timbul akan memacu terjadinya tekanan pada jiwa manusia, sehingga menuntut manusia untuk berusaha mengatasi keadaan ini agar keseimbangan jiwanya dapat dipertahankan. Apabila keadaan yang menyebabkan tekanan jiwa tidak dapat teratasi dengan mekanisme koping yang baik, maka gangguan jiwa akan semakin bertambah (Rasmun, 2001). Menurut World Health Organization (WHO) bahwa masalah gangguan kesehatan jiwa di seluruh dunia sudah menjadi masalah yang sangat serius. WHO memperkirakan sekitar 450 juta orang di dunia yang mengalami gangguan kesehatan jiwa (Widyasih, 2008). Diperkirakan satu dari empat penduduk Indonesia mengidap gangguan kesehatan jiwa. Jumlah ini cukup besar, artinya 50 juta atau 25% dari jumlah penduduk Indonesia mengalami gangguan kesehatan jiwa (Nurdwiyanti, 2008). Angka ini menunjukkan bahwa masalah gangguan kesehatan jiwa memiliki proporsi yang tinggi dalam masalah kesehatan masyarakat secara umum. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar prevalensi gangguan kesehatan jiwa di Indonesia sebesar 14,1% dari gangguan jiwa yang ringan hingga berat. Prevalensi gangguan kesehatan jiwa berat di Yogyakarta sebesar 3,8% (Riskesdas, 2007). Data American Psychiatric Association (APA) pada tahun 1995 menyebutkan 1% populasi penduduk dunia menderita skizofrenia, sedangkan di Indonesia sekitar 1% hingga 2% dari total jumlah penduduk. Gangguan kepribadian skizofrenia ini dapat terjadi pada hampir setiap tingkat usia: modus pada 30 – 35 tahun kurang lebih 10% terjadi pada golongan usia 20 tahun, 65% pada rentang usia 20 – 40 tahun, dan 25%
23
Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 7 No. 2, Desember 2011: 22-29
SA
Y
suatu gejala atau pengaruh yang timbul (perubahan perilaku), sebagai akibat dari adanya perlakuan atau intervensi tertentu (terapi individu sosialisasi) (Notoatmodjo, 2005). Desain penelitian ini menggunakan pre-experiment design (Arikunto, 2002). Penelitian ini menggunakan rancangan pretest-postes tanpa kelompok kontrol. Teknik pengambilan sampel menggunakan teknik sampling jenuh yaitu teknik penentuan sampel yang digunakan apabila semua anggota populasi digunakan sebagai sampel. Hal itu dilakukan bila jumlah populasi relatif kecil atau kurang dari 30 orang (Sugiyono, 2006). Sampel dalam penelitian ini berjumlah 15 pasien skizofrenia yang mengalami isolasi sosial. Alat pengumpulan data yang digunakan untuk terapi individu sosialisasi yaitu standar operating procedure (SOP) hasil modifikasi terapi generalis pasien yang mengalami isolasi sosial yang dikembangkan oleh Keliat (2009). Sementara alat yang digunakan untuk mengukur perubahan perilaku isolasi sosial yaitu lembar observasi perilaku isolasi sosial. Terapi ini terdiri dari 3 sesi. Sesi 1 membina hubungan saling percaya, membantu pasien mengenal penyebab isolasi sosial, membantu pasien mengenal manfaat berhubungan dan kerugian tidak berhubungan dengan orang lain, dan mengajarkan pasien berkenalan dengan satu orang. Sesi 2 mengajarkan pasien berinteraksi dengan dua orang. Sesi 3 mengajarkan pasien berinteraksi dengan lebih dari dua orang. Terapi ini dilakukan selama tiga kali berturut-turut dalam satu minggu, setiap sesi dilakukan selama 20 menit. Data diolah dengan menggunakan uji statistik Non Parametris dengan menggunakan tekhnik Wilcoxon Match Pairs Test yaitu untuk menguji hopotesis komparatif dua sampel yang berkorelasi bila datanya berbentuk ordinal (Sugiyono, 2006).
JK K
7.
2.
20
terhadap kekerasan, dan harga diri rendah kronis. Pasien dengan isolasi sosial juga bila tidak diatasi akan menimbulkan masalah yang lebih serius antara lain: defisit perawatan diri, halusinasi yang akhirnya dapat menyebabkan terjadinya kekerasan dan tindakan bunuh diri. Oleh karena itu pada pasien dengan isolasi sosial dibutuhkan perawatan yang intensif terutama perawatan waktu di rumah sakit. Penanganan pasien dengan gangguan jiwa melibatkan berbagai tim kesehatan seperti dokter, psikolog, ahli gizi juga perawat (Keliat, 2005). Salah satu terapi untuk mengubah perilaku isolasi sosial yaitu dengan terapi individu sosialisasi. Terapi individu adalah pembentukan hubungan yang terstruktur antara peneliti dengan pasien untuk mencapai perubahan pada diri pasien. Pada hubungan satu per satu, perawat bekerjasama dengan pasien untuk mengembangkan suatu pendekatan yang unik dalam rangka menyelesaikan konflik, mengurangi penderitaan emosional dan mengembangkan cara-cara yang tepat untuk memenuhi kebutuhan pasien. Hubungan terapeutik dibuat dalam tiga fase yang saling berhubungan meliputi: fase orientasi, kerja, dan terminasi (Copel, 2007). Berdasarkan studi pendahuluan yang telah dilakukan pada tanggal 17 Februari 2011 di Rumah Sakit Grhasia Provinsi DIY terdapat 21 jumlah pasien skizofrenia yang mengalami isolasi sosial di ruang Shinta, Nakula, Sadewa dan Arimbi. Dari latar belakang di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang apakah ada pengaruh terapi individu sosialisasi terhadap perubahan perilaku isolasi sosial pada pasien skizofrenia di RS Grhasia Provinsi DIY Tahun 2011.
11
24
METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan jenis penelitian quasi experiment, yaitu kegiatan percobaan yang bertujuan untuk mengetahui
Nurfitriana & Mamnu’ah, Pengaruh Terapi Individu Sosialisasi terhadap Perubahan...
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Responden Penelitian Karakteristik responden berdasarkan
usia, jenis kelamin, pekerjaan dan pendidikan dapat dilihat pada tabel 1.
Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden yang Mengalami Perilaku Isolasi Sosial di RS Grhasia Yogyakarta Juni 2011
20
11
SA
Y
Tabel 1.
25
JK K
7.
2.
Berdasarkan tabel 1. didapatkan data bahwa sebagian besar usia responden adalah usia 22-29 tahun sebanyak 10 orang (66.67%), sedangkan paling sedikit adalah usia 42-50 sebanyak 2 orang (13,33%). Jenis kelamin terbanyak adalah laki-laki sejumlah 9 orang ( 60%). Semua reponden dalam penelitian ini tidak mempunyai pekerjaan. Pendidikan responden sebagian besar adalah lulusan SLTA sebanyak 7 Tabel 2.
orang (46.67%), sedangkan yang paling sedikit adalah pendidikan SD sebanyak 2 orang (13.33%). Perilaku Isolasi Sosial pada Pasien Skizofrenia di RS Grhasia Provinsi DIY Perilaku isolasi sosial responden sebelum dan sesudah dilakukan terapi individu sosialisasi dapat dilihat pada tabel 2.
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Perilaku Isolasi Sosial Pada Sebelum dan Sesudah Perlakuan
Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 7 No. 2, Desember 2011: 22-29
SA
Y
gejala perilaku isolasi sosial adalah perasaan sedih dan afek tumpul, merasa tidak berguna mengungkapkan perasaan kesepian dan penolakan, serta pasien melaporkan ketidakamanan dalam situasi sosialnya. Keliat (2009) juga menambahkan bahwa pasien mungkin merasa ditolak, tidak diterima, kesepian dan tidak mampu membina hubungan yang berarti dengan orang lain serta diliputi rasa kesepian atau penolakan dari orang lain, perasaan tidak aman dengan orang lain, pasien mengatakan hubungan yang tidak berarti dengan orang lain, perasaan bosan dan lambat dalam menghabiskan waktu, tidak mampu berkonsentrasi dan mengambil keputusan, merasa tidak berguna serta tidak yakin melanjutkan hidup. Penyebab dari perilaku isolasi sosial adalah harga diri yang rendah yaitu; perasaan negatif terhadap diri sendiri, hilangnya kepercayaan diri, merasa gagal mencapai keinginan yang ditandai dengan adanya perasaan malu terhadap diri sendiri, rasa bersalah terhadap diri sendiri, gangguan hubungan sosial, merendahkan martabat, kepercayaan diri yang kurang dan juga dapat mencederai diri sendiri. Isolasi sosial sering disebabkan oleh perasaan tidak berharga, tidak berarti dan rendah diri yang berkepanjangan akibat evaluasi negatif terhadap diri dan kemampuan diri (Keliat, 2009). Akibat yang akan ditimbulkan pada pasien yang mengalami perilaku isolasi sosial yaitu defisit perawatan diri, halusinasi yang akhirnya dapat menyebabkan terjadinya kekerasan dan tindakan bunuh diri (Keliat, 2005). Perasaan tidak berharga menyebabkan pasien semakin sulit dalam mengembangkan hubungan dengan orang lain. Hal ini menyebabkan pasien menjadi regresi atau mundur, mengalami penurunan dalam aktivitas dan kurangnya perhatian terhadap penampilan dan kebersihan diri. Pasien akan semakin tenggelam dalam perjalanan dalam perjalanan dan tingkah laku masa lalu serta
JK K
7.
2.
20
Tabel 2. memperlihatkan bahwa perilaku isolasi sosial pasien sebelum dilakukan terapi individu sosialisasi paling banyak mengalami isolasi sosial tinggi sebanyak 14 orang (93,3%) dan paling rendah sebanyak 1 orang (6,7%) mengalami isolasi sosial sedang. Sedangkan sesudah dilakukan terapi individu sosialisasi sebagian besar responden mengalami isolasi sosial rendah sebanyak 10 orang (66,7%) dan 2 orang (13,3%) mengalami isolasi sosial sedang. Hasil uji wilcoxon didapatkan Asyimp.sig (2tailed) (p) sebesar 0,001 (p<0,05). Hipotesis (Ha) dalam penelitian ini adalah ada pengaruh terapi individu sosialisasi terhadap perubahan perilaku isolasi sosial. Untuk mengetahui hipotesis diterima atau ditolak maka besarnya taraf signifikan (P) dibandingkan dengan taraf kesalahan 5% (0,05). Jika P lebih besar dari 0,05 maka hipotesis ditolak dan jika p lebih kecil atau sama dengan 0,05 maka hipotesis diterima. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa p value lebih kecil dari 0,05 (0,001< 0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa hipotesis Ha diterima dan hipotesis Ho ditolak artinya ada pengaruh terapi individu sosialisasi terhadap perilaku isolasi sosial.
11
26
Perilaku Isolasi Sosial pada Pasien Skizofrenia Sebelum Pemberian Terapi Individu Sosialisasi Sebelum pemberian perlakuan terapi individu sosialisasi, diketahui bahwa sebagian besar pasien mengalami perilaku isolasi sosial tinggi sebanyak 14 responden (93,3%). Adapun mayoritas perilaku isolasi sosial yang nampak pada pasien adalah menyendiri dan kesulitan membuka komunikasi. Pasien juga tidak mampu mengungkapkan perasaan saat komunikasi bersama dengan peneliti dan satu pasien juga tercatat mengalami kesulitan konsentrasi dengan baik. Hal ini sesuai dengan teori Carpenito (2010) yang menyebutkan bahwa tanda dan
Nurfitriana & Mamnu’ah, Pengaruh Terapi Individu Sosialisasi terhadap Perubahan...
SA
Y
Pengaruh Pemberian Terapi Individu Sosialisasi Terhadap Perubahan Perilaku Isolasi Sosial pada Pasien Skizofrenia di RS Grhasia Provinsi DIY Tabel 2 terlihat bahwa sebelum pemberian perlakuan dari 15 responden, 14 responden (93,3%) diantaranya memiliki perilaku isolasi sosial tinggi. Hanya terdapat 1 responden (6,7) yang memiliki perilaku isolasi sosial yang sedang. Kemudian setelah pemberian perlakuan, responden yang memiliki perilaku isolasi sosial yang tinggi berkurang menjadi 3 responden (20%) dan responden yang memiliki perilaku sosial rendah menjadi 10 orang (66,7%). Hasil penelitian ini memberikan gambaran bahwa terapi individu sosialisasi bisa memberikan pengaruh terhadap perubahan perilaku sosial pada pasien skizofrenia. Terapi individu sosialisasi ini sekaligus dapat digunakan sebagai alternatif terapi selain terapi aktivitas kelompok sosialisasi. Terapi individu sosialisasi memilki keunggulan dari terapi-terapi yang lain yaitu pada terapi individu sosialisasi pemberian terapi lebih fokus pada pasien, pasien lebih dapat terbuka dalam mengemukakan permasalahan yang dialami, karena terapi ini dilakukan antara peneliti dengan pasien secara satu persatu. Terapi individu sosialisasi juga dilakukan tiga kali berturut-turut dimana tujuannya yaitu agar pasien tidak lupa tentang hal yang telah diajarkan serta agar pasien masih mengingat peneliti sehingga terapi yang diberikan berjalan dengan lancar dan hubungan saling percaya antara pasien dengan peneliti terjalin dengan baik. Hogarty dkk. (1997) meneliti masalah terapi individu sosialisasi pada pasien skizofrenia ke dalam 2 kategori. Penelitian pertamanya Hogarty dkk. (2007) diketahui bahwa hanya 44 (29%) yang mengalami episode psikotik berulang dan pada pasien
JK K
7.
2.
20
Perilaku Isolasi Sosial pada Pasien Skizofrenia Sesudah Pemberian Terapi Individu Sosialisasi Sesudah pemberian perlakuan berupa terapi individu sosialisasi setiap hari dengan durasi terapi 20 menit per sesi selama 3 hari berturut-turut terjadi perubahan perilaku isolasi sosial pada responden pasien skizofrenia. Diketahui bahwa sebagian besar responden memiliki perilaku isolasi sosial rendah sebanyak 10 orang (66,7%) sehingga dapat disimpulkan bahwa sesudah perlakuan, mayoritas responden mengalami penurunan perilaku isolasi sosial menjadi lebih baik. Kesuksesan terapi individu sosialisasi ini kemungkinan terjadi karena adanya kerjasama yang baik dan rasa saling percaya antara pasien dan peneliti. Sesuai dengan pernyataan Copel (2007) mengatakan bahwa hubungan saling percaya antara pasien dengan terapis dalam rangka menyelesaikan konflik, mengurangi penderitaan emosional, dan mengembangkan cara-cara yang tepat untuk memenuhi kebutuhan pasien membuat
tujuan terapi akan berhasil.
11
tingkah laku primitive antara lain pembicaraan yang autistik dan tingkah laku yang tidak sesuai dengan kenyataan, sehingga berakibat lanjut menjadi halusinasi, resiko tinggi menciderai diri, orang lain bahkan lingkungan (Dalami dkk., 2009). Penelitian yang dilakukan Hirschberg (2011) juga menunjukkan bahwa pasien yang tinggal dengan orang tua dan banyak kontak dengan keluarga akan mengurangi isolasi. Begitupun pasien yang tinggal dengan kerabat dan memiliki kontak yang luas dengan orang di luar keluarga akan meningkatkan kemampuan sosialisasi klien. Pasien skizofrenia dalam penelitian ini semuanya tidak bekerja. Pasien yang tidak bekerja ini kemungkinan memiliki kontak ekstrafamili yang minim. Kondisi ini yang mendukung tingginya isolasi sosial pada pasien.
27
Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 7 No. 2, Desember 2011: 22-29
SA
Y
memiliki efek luas pada penyesuaian kondisi sosial pasien. Dalam perbandingannya dengan alternative terapi lainnya yakni terapi kelompok, sebagaimana telah disebutkan oleh Lockwood (2004); terapi individu sosialisasi dapat meningkatkan secara efektif keadaaan mental dan fungsi global secara keseluruhan, serta dapat digunakan untuk 25% proses pengobatan, sedangkan terapi kelompok tidak efektif untuk meningkatkan fungsi global ketika diberikan dalam waktu singkat. Hasil riset Lockwood (2004) tersebut terbukti dalam penelitian ini dimana dalam jangka waktu yang relatif singkat, yakni 3 hari, jumlah responden yang memiliki perilaku isolasi sosial yang tinggi berkurang menjadi 3 responden (20%), jumlah responden yang memiliki perilaku sosial sedang menjadi 2 orang (13,3%) dan terjadi lonjakan jumlah responden yang mengalami penurunan perilaku sosial dari semula nol menjadi 10 orang (66,7%) sehingga dapat disimpulkan bahwa sesudah perlakuan, mayoritas responden mengalami penurunan perilaku sosial. Namun sebagaimana telah disebutkan juga oleh Lockwood (2004), masih dibutuhkan intervensi-intervensi lain untuk menuju kesembuhan total. Meskipun telah mendapatkan hasil dari penelitian ini yaitu ada pengaruh terapi individu sosialisai terhadap perubahan perilaku isoalsi sosial pada pasien skizofrenia, namun penelitian ini masih memilki keterbatasan yaitu adanya variabel penggangu yang tidak dikendalikan yaitu faktor perkembangan dan faktor biologis.
JK K
7.
2.
20
yang tinggal bersama keluarga terapi individu sosialiasi menjadi lebih efektif. Penelitian kedua Hogarty dkk. (1997) terapi personal untuk pasien yang tinggal dengan keluarga mendapatkan hasil yang lebih baik dalam kinerja keseluruhan dibanding perlakuan lainnya, untuk pasien yang tinggal tanpa keluarga terapi pribadi lebih berhasil daripada terapi kelompok dalam hal peningkatan kinerja kerja dan hubungan ke luar rumah. Terapi personal memiliki efek luas pada penyesuaian kondisi sosial pasien. Lockwood dkk. (2004) mengartikan terapi individu sebagai interaksi interpersonal antara pasien dengan terapis, dan terapi kelompok memasukkan terapi keluarga kedalamnya. Penurunan sindrom, pengukuran keadaan mental, kualitas kehidupan dan fungsi sosial disertakan dalam penelitian ini. Diketahui bahwa (1) terapi individu sosialiasi dapat meningkatkan secara efektif keadaan mental secara keseluruhan dan meningkatkan fungsi secara global, (2) tingkat kekambuhan tidak diperbaiki dengan adanya terapi individu, (3) terapi individu sosialisasi dapat digunakan untuk 25% proses pengobatan atau untuk 4 tahap awal dari total 10 tahap pengobatan, dan (4) terapi kelompok tidak efektif untuk meningkatkan fungsi global ketika diberikan dalam waktu singkat. Terapi individu sosialisai dalam penelitian ini terbukti efektif untuk diterapkan dalam perubahan perilaku isolasi sosial pada pasien skizofrenia selama proses penyembuhan pasien di rumah sakit karena dari observasi yang telah dilakukan pada pasien didapatkan bahwa perilaku isolasi sosial mengalami penurunan menjadi baik. Sebagaimana ditambahkan oleh Hogarty dkk. (1997), terapi individu masih tetap relevan untuk diterapkan pada pasien yang tinggal dengan keluarga maupun tinggal tanpa keluarga meskipun efektivitas terapi individu lebih tinggi pada pasien yang tinggal bersama keluarga. Terapi individu disebut
11
28
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian di RS Grhasia Provinsi DIY diperoleh kesimpulan yaitu perilaku isolasi sosial pada pasien skizofrenia sebelum diberi terapi individu sosialisasi sebagian besar perilaku isolasi
Nurfitriana & Mamnu’ah, Pengaruh Terapi Individu Sosialisasi terhadap Perubahan...
JK K
7.
2.
Y
SA
20
Saran Bagi instansi pelayanan kesehatan RS Grhasia Provinsi DIY diharapkan pada perawat untuk melaksanakan terapi individu sosialisasi sesi satu sampai sesi tiga, bagi pasien agar mempraktekkan terapi individu sosialisasi dengan pasien, petugas dan keluarga agar meningkatkan kemampuan sosialisasinya. Bagi peneliti selanjutnya perlu mengendalikan variabel pengganggu yaitu faktor perkembangan dan faktor biologis.
among Schizophrenic Out-Patients. Social Psychiatry and Psychiatric Epidemiology, 20 (4): 171-178. Hogarty, G.E. 1997a. Three Years Trials of Personal Therapy Among Schizophrenic Patients Living With or Independent of Family, I: Description of Study and Effects on Relapse Rates. Am J Psychiatry, 154: 1504-1513. Keliat, B.A. 2005. Proses Keperawatan Jiwa, Edisi 2. EGC: Jakarta. ________. (2009). Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa. EGC: Jakarta. Lockwood, C. 2004. Effectiveness of Individual Therapy and Group Therapy in The Treatment of Schizophrenia. JBI Reports 2: 309-338 Maramis,WF. 2004. Ilmu Kedokteran Jiwa. Airlangga Univercity Press: Surabaya. Notoatmodjo, S. 2005. Metodologi: Penelitian Kesehatan, Edisi Revisi. Rineka Cipta: Jakarta. Rasmun. 2001. Fajar Keperawatan Kesehatan Psikiatri Terintegrasi dengan Keluarga. Inter Pratama: Jakarta. Riset kesehatan dasar (RISKESDAS). 2007. Laporan nasional 2007. Jakarta. Sugiyono. 2004. Statistika Untuk Penelitian. CV. Alfabeta: Bandung. Videbeck, S.L. 2008. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. EGC: Jakarta Widyasih. 2008. Penderita Gangguan Jiwa dalam http://wordpress.com, diakses tanggal 25 oktober 2010. Yosep, I. 2007. Keperawatan jiwa. PT. Refika Aditama: Bandung.
11
sosial tinggi sebanyak 14 orang (93,3%), dan sebagian kecil perilaku isolasi sosial sedang sebanyak 1 responden (6,7%) sedangkan perilaku isolasi sosial pada pasien skizofrenia sesudah diberi terapi individu sosialisasi sebagian besar perilaku isolasi sosial rendah sebanyak 10 (66,6%), dan sebagian kecil perilaku isolasi sosial sedang sebanyak 2 responden (13,3%). Ada perbedaan sebelum dan sesudah pemberian terapi individu sosialisasi pada pasien skizofrenia di RS Grhasia Provinsi DIY hal ini berarti menunjukkan bahwa ada pengaruh terapi individu sosialisasi terhadap perubahan perilaku isolasi sosial pada pasien skizofrenia di RS Grhasia Provinsi DIY.
DAFTAR RUJUKAN Arikunto, S. 2002. Prosedur Penelitian. Rineka Cipta: Jakarta Carpenito, L. J. 2010. Nursing Diagnosis Application to Clinical Practice, edition 13. Wolteres Kluwer: Philadelphia. Copel, L.C. 2007. Kesehatan Jiwa dan Psikiatri Pedoman Klinis Perawat. EGC: Jakarta Dalami. 2009. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Jiwa. Trans Info Media: Jakarta. Hirschberg, W. 2011. Social Isolation
29
SIKAP IBU HAMIL TERHADAP PENCEGAHAN PENULARAN HIV/AIDS DARI IBU KE BAYI (PMTCT) Agizah Nurul Fadlilah & Mufdlilah STIKES ‘Asiyiyah Yogyakarta E-mail:
[email protected]
2.
20
11
SA
Y
Abstract: The purpose of this study was to determine the attitude of pregnant women towards prevention of HIV/AIDS transmission from mother to child transmission (PMTCT) in Umbul Harjo I public health center in 2011. The method used is the draft survey with analytic descriptive study. The sample used in this study was 46 samples. Data collection tool using a questionnaire that has been tested the validity and reliability as well as analysis of test data using descriptive statistical percentages. The results in Umbul Harjo I public health center Yogyakarta on the prevention of maternal attitudes towards HIV/AIDS shows that most respondents have a high attitude towards prevention of HIV/AIDS, with a percentage of 65.2%. In addition, there are 28.3% of respondents with attitudes toward prevention is HIV /AIDS, and 6.5% of respondents with a low attitude towards prevention of HIV/AIDS. The conclusion of this study is the attitude of prevention of HIV / AIDS transmission from mother to baby in pregnant women in Umbul Harjo I public health center is high. Suggestions for midwifery profession is increasing the participation in providing information about HIV / AIDS and its prevention in pregnant women.
7.
Keywords : attitude prevention of HIV/AIDS, pregnant mother, PMTCT
JK K
Abstrak: Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sikap ibu hamil terhadap pencegahan penularan HIV/AIDS dari ibu ke bayi (PMTCT) di Puskesmas Umbul Harjo I tahun 2011. Metode yang digunakan adalah survei analitik dengan rancangan penelitian deskriptif. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini sejumlah 46 sampel. Alat pengumpul data menggunakan kuesioner yang telah diuji validitas dan reliabilitasnya serta analisis data mengunakan uji statistik deskriptif prosentase. Hasil penelitian di Puskesmas Umbul Harjo I Yogyakarta mengenai sikap pencegahan ibu hamil terhadap HIV/AIDS menunjukkan bahwa sebagian besar responden mempunyai sikap pencegahan yang tinggi terhadap HIV/AIDS, dengan persentase 65,2%. Selain itu, ada 28,3% responden dengan sikap pencegahan yang sedang terhadap HIV/AIDS, dan 6,5% responden dengan sikap pencegahan yang rendah terhadap HIV/AIDS. Kesimpulan dari penelitian ini adalah sikap pencegahan penularan HIV/AIDS dari ibu ke bayi pada ibu hamil di Puskesmas Umbul Harjo I tergolong tinggi. Saran bagi profesi bidan yaitu meningkatkan peran serta dalam memberikan informasi tentang HIV/AIDS dan pencegahannya pada ibu hamil. Kata kunci:sikap pencegahan HIV/AIDS, ibu hamil PMTCT
Agizah Nurul Fadlilah & Mufdlilah, Sikap Ibu Hamil terhadap Pencegahan Penularan...
11
SA
Y
pun juga dapat mengakibatkan infeksi. Ibu yang positif terinfeksi HIV sebaiknya tidak memberi ASI kepada bayinya (Hans, 2007). Saat ini, HIV/AIDS merupakan penyakit yang menjadi pandemi di dunia, diperkirakan sekitar 5,1 juta anak di dunia terinfeksi HIV. Hampir sebagian besar penderita tersebut tertular melalui penularan dari ibu ke anak. Lebih dari 90% penderita AIDS kategori anak-anak, yang dilaporkan tahun 1994, terjadi karena transmisi dari ibu hamil ke bayinya. Penularan terhadap bayi tidak hanya terjadi pada saat kehamilan tetapi juga pada saat persalinan dan postnatal melalui ASI. Angka kejadian penularan HIV dari ibu ke anak diperkirakan mencapai sekitar 20%–30%. Penularan HIV dari ibu ke janin apabila tanpa dilakukan intervensi dilaporkan berkisar antara 15-45%. Risiko penularan di negara berkembang sekitar 21%-43% lebih tinggi dibandingkan risiko penularan di negara maju, yaitu sekitar 14%26%. Risiko infeksi penularan terbanyak terjadi pada saat persalinan yaitu sebesar 18%, kemudian di dalam kandungan sebesar 6% dan pasca persalinan sebesar 4%. Setiap tahun diperkirakan lebih dari 800.000 bayi terinfeksi HIV akibat penularan dari ibu ke bayi. Fenomena ini diperparah dengan adanya kematian anak yang disebabkan virus tersebut hingga mencapai 610.000 (Yudhasmara Foundation, 2009). Di Indonesia, menurut Direktur Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan tercatat 3568 kasus HIV/AIDS dan 20 anak dengan infeksi HIV yang tertular ibunya pada akhir bulan Desember 2002. Penelitian yang dilakukan Yayasan Pelita Ilmu dan bagian Kebidanan FKUI/RSCM selama tahun 1999-2001 terhadap pemeriksaan pada 558 ibu hamil di daerah miskin Jakarta, menunjukkan hasil bahwa sebanyak 16 orang (2,86%) mengidap infeksi HIV (Subdit PMS dan AIDS Ditjen PPM dan
JK K
7.
2.
20
PENDAHULUAN AIDS atau Acquired Immune Deficiency Syndrome merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh HIV atau Human Deficiency Virus. HIV menyerang sistem kekebalan tubuh sehingga dapat menyebabkan kematian. Walaupun penyakit ini sangat berbahaya, namun hingga saat ini AIDS belum ditemukan obatnya atau vaksin pencegahnya, yang ada hanya obat untuk meningkatkan kekebalan tubuh. Virus HIV/ AIDS akan meneyebabkan seseorang kebingungan dan kehilangan arah (Nursalam, 2008). Oleh karena itu, upaya yang paling tepat adalah dengan cara melakukan pencegahan (Richardson, 2002). Semua orang berisiko untuk tertular HIV/AIDS, mulai dari bayi, anak-anak, remaja ataupun dewasa, homoseksual, lesbian ataupun heteroseksual, baik laki-laki ataupun perempuan. Penularan HIV/AIDS dapat melalui berbagai cara, diantaranya dengan melakukan hubungan seksual yang berganti-ganti pasangan, transfusi darah dari orang yang terkontaminasi HIV/AIDS, atau dari ibu yang terinfeksi HIV/AIDS kepada janin yang dikandungnya (Yayasan Spiritia, 2010) HIV atau virus penyebab AIDS dapat menular dari ibu yang terinfeksi HIV ke bayinya pada saat hamil. Sekitar 30% bayi lahir dari ibu yang terinfeksi HIV, bayi tersebut akan tertular juga tanpa adanya upaya pencegahan. Bahkan, ibu yang mempunyai viral load tinggi memiliki kecenderungan yang cukup tinggi untuk menularkan HIV kepada bayinya. Namun, tidak ada jaminan bahwa jumlah viral load yang cukup rendah dapat dianggap “aman”. Infeksi dapat terjadi kapan saja selama kehamilan, tetapi biasanya terjadi beberapa saat sebelum atau selama persalinan. Bayi akan lebih cenderung terinfeksi apabila proses persalinan berlangsung lama. Selama persalinan ini, bayi yang baru lahir terpajan darah ibunya. Bayi yang meminum air susu dari ibu yang terinfeksi
31
Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 7 No. 2, Desember 2011: 30-37
SA
Y
tular HIV/AIDS dari ibunya maka ada kemungkinan bahwa anak tersebut akan mengalami keterlambatan pubertas dan adrenarche dibandingkan anak usinya (Yunihastuti, 2003). Dari uraian tentang kasus di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang sikap pencegahan penularan HIV/ AIDS dari ibu hamil ke bayi (PMTC) di Puskesmas Umbul Harjo I Yogyakarta tahun 2011. Hal ini didasari bahwa ketika penulis melakukan studi pendahuluan pada tanggal 16 Maret 2011, didapatkan bidan yang sedang melakukan konseling mengenai HIV/ AIDS pada ibu yang dirasa perlu mendapatkan konseling tersebut. Sebagian dari ibu hamil juga belum mengetahui mengenai HIV/ AIDS (pengertian, penyebab, penularan, dan pencegahannya). Dari 12 orang ibu yang diwawancarai tentang HIV/AIDS terdapat 7 orang (58,33 %) yang tidak mengetahui tentang HIV/AIDS. Hal ini dapat dikatakan bahwa sikap ibu hamil terhadap pencegahan HIV/AIDS masih rendah. Sebelumnya telah dilakukan studi pendahuluan di Puskesmas Tegalrejo, Puskesmas Jetis, dan Puskesmas Umbul Harjo I. Puskesmas yang memiliki program Prevention of Mother To Child Transmission (PMTCT) yaitu Puskesmas Umbul Harjo I sementara dua Puskesmas lainnya sedang dalam proses mendirikan program PMTCT. Puskesmas Umbul Harjo I telah memulai program PMTCT sejak tahun 2005. Peneliti memilih Puskesmas Umbul Harjo I sebagai tempat penelitian karena populasi untuk dijadikan subjek penelitian memadahi dan program yang ada cukup rutin dijalankan. Tujuan penelitian ini adalah diketahuinya sikap ibu hamil terhadap pencegahan penularan HIV/AIDS dari ibu ke bayi (PMTCT) di Puskesmas Umbul Harjo I Yogyakarta tahun 2011. Khususnya pada prong 1 sikap pencegahan penularan HIV pada perempuan usia reproduktif,
JK K
7.
2.
20
PL Departemen Kesehatan RI, 2002). Sementara itu, penderita HIV/AIDS di Daerah Istimewa Yogyakarta sendiri hingga kini tercatat mencapai 1.183 orang. Jumlah itu merupakan akumulasi sejak tahun 1992 atau pertama kali kasus HIV/AIDS ditemukan di DIY. Angka tersebut mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan data pada tahun 2009 yang hanya 899 penderita. Sekarang jumlah penderita HIV/AIDS terus bertambah setiap bulan. Rata-rata 25 sampai 30 kasus perbulan. Penderita HIV/AIDS paling tinggi di kota Yogyakarta, disusul kabupaten Sleman, Bantul, Kulonprogo, dan Gunungkidul (Riswanto, 2010). Dari kondisi tersebut, kasus HIV/AIDS dan sikap pencegahan terhadap HIV/AIDS terutama dari ibu hamil yang ada di sekitar Yogyakarta menjadi masalah yang patut diangkat untuk diteliti lebih lanjut. Berkaitan dengan upaya pencegahan, WHO mengupayakan empat prong/pilar untuk mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu ke bayi, yang dilakukan secara komprehensif. Keempat prong/pilar tersebut secara nasional dikoordinir dan dijalankan oleh pemerintah serta dapat dilaksanakan oleh institusi kesehatan swasta dan lembaga swadaya masyarakat (Subdit PMS dan AIDS Ditjen PPM dan PL Departemen Kesehatan RI, 2002). Sikap pencegahan terhadap HIV/ AIDS pada ibu hamil sampai saat ini masih cukup rendah. Sebagian besar masih menganggap bahwa AIDS hanya terbatas terjadi pada kelompok warga negara asing, pekerja seks komersial, pengguna narkoba baik obat maupun suntik, dan para homoseksual. Dari asumsi ini, tidak disadari bahwa setiap orang termasuk bayi dalam kandungan, bisa saja terkena HIV/AIDS akibat kurangnya kewaspadaan terhadap pencegahan HIV/ AIDS. Padahal sikap pencegahan penularan HIV/AIDS dari ibu hamil ke bayi (PMTC) sangat diperlukan. Jika seoarang anak ter-
11
32
Agizah Nurul Fadlilah & Mufdlilah, Sikap Ibu Hamil terhadap Pencegahan Penularan...
Y
SA
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Daerah Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Puskesmas Umbul Harjo I Yogyakarta yang beralamat di Jalan Veteran No 43 Yogyakarta. Secara geografi letak Puskesmas Umbul Harjo I berbatasan dengan, sebelah utara: Kecamatan Gondokusuman, sebelah Timur: Kecamatan Kota Gede, sebelah barat: Kecamatan Mergangsan, sebelah selatan: Kecamatan Banguntapan. Puskesmas Umbul Harjo I sendiri telah memiliki program konsultasi Prevention of Mother to Child Transmission HIV/AIDS (PMTCT), walaupun tidak ditemukan ibu hamil dengan HIV/AIDS namun program ini tetap dilaksanakan sebagai antisipasi. Pelaksanaan tes HIV harus memenuhi persyaratan yaitu terdapat konseling sebelum dan sesudah tes darah, dilakukan secara sukarela, terdapat persetujuan tertulis, dan dilakukan secara rahasia. Proses layanan yang ditujukan sedikitnya terdapat tiga tujuan yaitu pertama informatif, pengetahuan dan informasi berdasarkan fakta kehamilan dengan HIV, pencegahan dan penularannya, ini termasuk bagian rutin dari Antenatal Care (ANC). Kedua suportif, membantu klien membuat persetujuan sukarela untuk
JK K
7.
2.
20
METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode survei. Metode survai merupakan metode yang pengamatannya dilaksanakan secara langsung, mengambil sampel dari satu populasi dengan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data (Notoatmodjo, 2007). Metode pendekatan waktu yang digunakan dengan pendekatan one shot design yaitu sebuah desain studi dengan memilih satu kelompok individu untuk observasi selama periode, waktu tunggal terbatas. Rancangan penelitian yang digunakan adalah deskriptif yaitu menggambarkan suatu keadaan (Notoatmodjo, 2007). Populasi dalam penelitian ini adalah semua subjek yang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan, yaitu ibu hamil yang memeriksakan kehamilannya di Puskesmas Umbul Harjo I Yogyakarta tahun 2011 yang berjumlah 48 orang. Teknik pengambilan sampel menggunakan sampling jenuh yaitu pengambilan sampel dengan menggunakan semua anggota populasi sebagai sampel, tetapi tidak semua anggota populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk dipilih sebagai sampel. Kriteria yang menjadi responden ialah mau menjadi responden sehingga didapatkan 46 responden. Tahap pengolahan data malalui empat tahap yaitu editing, scoring, coding, dan tabulating. Dalam proses editing, hal-hal yang perlu diperhatikan adalah pengecekan kembali kelengkapan identitas pengisi, kelengkapan data/ isi instrumen termasuk kelengkapan lembaran instrumen jika ada yang terlepas atau sobek. Apabila ternyata ada kekurangan isi atau halaman, maka perlu
dikembalikan atau diulang mencari responden baru yang masih dalam wilayah populasi. Setelah data terkumpul dan selesai diedit, tahap selanjutnya adalah memberi nilai terhadap jawaban yang ada. Setelah dilakukan penilaian, data disusun dalam bentuk tabel kemudian dianalisis yaitu proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan. Analisis data yang digunakan yaitu jenis analisis deskriptif menggunakan analisis distribusi frekuensi, yaitu bentuk analisis yang menyampaikan sebaran atau distribusi dalam bentuk frekuensi dan disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi.
11
prong 2 sikap pencegahan dengan kehamilan yang tidak direncanakan, prong 3 sikap pencegahan penurunan HIV dari ibu hamil ke bayi, dan prong 4 sikap pencegahan HIV/AIDS dengan informasi dan pengobatan.
33
34
Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 7 No. 2, Desember 2011: 30-37
tes HIV, perencanaan atau terminasi kehamilan, dan keterbukaan isu isu yang ada. Ketiga preventif yaitu konselor meningkatkan kewaspadaan klien tentang cara melindungi diri, menekankan pada penularan HIV dan kaitannya dengan perencanaan masa depan.
Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden
JK K
7.
2.
20
11
SA
Y
Tabel 1.
Karakteristik Responden Responden pada penelitian ini merupakan ibu hamil yang memeriksakan kehamilannya di Puskesmas Umbul Harjo I Yogyakarta. Karakteristik responden pada penelitian ini dikelompokkan berdasarkan umur, pendidikan, dan pekerjaan.
Sumber : Data Primer diolah, 2011
Berdasarkan tabel 1, dapat diketahui bahwa sebagian besar responden di Puskesmas Umbul Harjo I Yogyakarta berumur antara 31-35 tahun sebanyak 17 responden dengan persentase 37,0%. Paling sedikit responden berumur antara 36-40 tahun yaitu 4 responden (8,7%). Sebagian besar responden berpendidikan sampai tingkat SLTA yaitu sebanyak 25 responden dengan persentase 54,3%. Paling sedikit responden memiliki pendidikan jenjang Perguruan Tinggi, yaitu sebanyak 3 responden (6,5%).
Karakteristik responden berdasarkan pekerjaan menunjukkan bahwa sebanyak 67,4% atau 31 responden tidak bekerja. Sikap Ibu Hamil Terhadap Pencegahan HIV/AIDS Rata-rata sikap ibu hamil terhadap pencegahan HIV/AIDS sesuai prong 1, sikap pencegahan penularan HIV pada perempuan usia reproduktif tergolong sedang dengan prosentase 67,8%. Rata-rata sikap sesuai prong 2, sikap pencegahan
Agizah Nurul Fadlilah & Mufdlilah, Sikap Ibu Hamil terhadap Pencegahan Penularan...
dengan kehamilan yang tidak direncanakan tergolong tinggi dengan prosentase 81,4%. Rata-rata sikap sesuai prong 3, sikap pencegahan penurunan HIV dari ibu hamil ke bayi tergolong sedang dengan prosentase
71,9%. Rata-rata sikap sesuai prong 4, sikap pencegahan HIV/AIDS dengan informasi dan pengobatan tergolong tinggi dengan prosentase 97,5%.
Distribusi Frekuensi Berdasarkan Sikap Ibu Hamil terhadap Pencegahan HIV/AIDS
Sedangkan AIDS adalah sekumpulan gejala penyakit yang timbul akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh manusia yang didapat (bukan karena keturunan), tetapi disebabkan oleh virus HIV (Maryunani, 2009). Sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap seseorang terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak (unfavorable) pada objek tersebut Berkowitz dalam Azwar (2007). Ada beberapa hal yang mempengaruhi pembentukan sikap, yaitu (Azwar, 2007): pengetahuan, pengalaman pribadi, orang lain yang dianggap penting, kebudayaan, media massa, lembaga pendidikan, dan faktor emosional. Hasil penelitian di Puskesmas Umbul Harjo I Yogyakarta mengenai sikap pencegahan ibu hamil terhadap HIV/AIDS dengan kehamilan yang tidak diinginkan menunjukkan bahwa rata-rata responden mempunyai sikap pencegahan yang tinggi terhadap HIV/ AIDS, dengan prosentase 81,4%. Namun dari pertanyaan kuesioner nomor 14 hasil jawaban rata-rata adalah rendah dengan
JK K
7.
2.
20
Berdasarkan tabel 2 dapat diketahui bahwa sebagian besar responden mempunyai sikap pencegahan yang tinggi terhadap HIV/AIDS, yaitu sebanyak 30 responden dengan persentase 65,2%. Selain itu, ada 13 responden (28,3%) dengan sikap pencegahan yang sedang terhadap HIV/AIDS, dan 3 responden (6,5%) dengan sikap pencegahan yang rendah terhadap HIV/ AIDS. Dari 3 orang responden yang memiliki sikap rendah, semuanya berpendidikan SLTP. Hasil penelitian di Puskesmas Umbul Harjo I Yogyakarta menunjukkan bahwa rata-rata responden memiliki sikap pencegahan penularan HIV pada perempuan usia reproduktif tergolong sedang dengan prosentase 67,8%. Penelitian ini menganalisis mengenai sikap pencegahan terhadap HIV/AIDS. HIV merupakan virus yang menyerang kekebalan tubuh manusia yang kemudian menimbulkan AIDS. Virus HIV menyerang salah satu jenis sel darah putih yang berfungsi untuk kekebalan tubuh. Virus HIV ditemukan dalam darah, cairan vagina, cairan sperma, dan ASI (Maryunani, 2009).
11
Sumber: Data Primer diolah, 2011
SA
Y
Tabel 2.
35
Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 7 No. 2, Desember 2011: 30-37
Y
penyuluham pencegahan HIV kepada anggota keluarga, dukungan Hak Azasi Manusia dan hukum, dan dukungan sosioekonomis (Maryunani, 2009). Konseling dan tes HIV secara sukarela yang dikenal dengan istilah Voluntary Counseling Testing (VCT), merupakan kegiatan konseling bersifat sukarela, rahasia, terdapat konseling sebelum dan sesudah tes darah untuk HIV di laboratorium serta adanya persetujuan tertulisn (informed consent). Konselornya adalah tenaga kesehatan yang sudah terlatih (Maryunani, 2009)
SA
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Kesimpulan dari penelitian ini adalah: sebagian besar responden mempunyai sikap pencegahan yang tinggi terhadap HIV/ AIDS. Sedangkan untuk responden yang memiliki sikap rendah memiliki kesamaan karakteristik yaitu berpendidikan SLTP. Sikap responden sesuai prong 1 rata-rata sedang. Sikap responden sesuai prong ratarata tinggi. Sikap responden sesuai prong 3 rata-rata sedang. Dan sikap responden sesuai prong 4 rata-rata tinggi.
JK K
7.
2.
20
prosentase 42,9%. Sebagian besar ibu tidak menyadari bahwa menyusui bayi secara eksklusif apabila ibu HIV positif bias menyebabkan penularan HIV ke bayi secara cepat. Hasil penelitian di Puskesmas Umbul Harjo I Yogyakarta mengenai sikap pencegahan ibu hamil terhadap HIV/AIDS dengan pencegahan penurunan HIV dari ibu hamil ke bayi, menunjukkan bahwa rata-rata responden mempunyai sikap pencegahan yang sedang terhadap HIV/AIDS, dengan persentase 71,9%. Dalam item soal nomor 25 pada kuesioner, rata-rata sikap ibu rendah dengan prosentase 58,2%. Dari sini dapat diketahui bahwa sebagian besar responden kurang memahami bagaimana penularan HIV/AIDS dapat terjadi. Aktifitas pencegahan penularan HIV pada saat ibu hamil telah terinfeksi HIV merupakan intervensi inti dalam rangka mencegah penularan HIV dari ibu ke bayi. Beberapa intervensi yang dapat dilakukan antara lain, adalah pelayanan kesehatan ibu dan anak yang komprehensif meliputi layanan pra persalinan, pasca persalinan, serta kesehatan anak. Kemudian layanan konseling dan tes HIV secara sukarela, pemberian Antiretrivial, konsultasi makanan bayi, serta layanan persalinan yang aman dengan operasi caesar (Maryunani, 2009). Berdasarkan hasil penelitian di Puskesmas Umbul Harjo I Yogyakarta menunjukkan bahwa rata-rata responden, mempunyai sikap pencegahan HIV/AIDS dengan informasi dan pengobatan yang tinggi dengan prosentase 97,5%. Hal ini dapat dipengaruhi karena tingkat pendidikan sebagian besar responden sampai tingkat SMA. Selain itu, daerah tempat tinggal responden juga merupakan daerah perkotaan dengan akses informasi yang cepat. Beberapa hal yang dibutuhkan oleh ibu HIV positif, bayi dan keluarganya adalah perawatan medis dengan pengobatan ARV jangka panjang, dukungan psikologis melalui konseling
11
36
Saran Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka disarankan bagi Profesi Bidan di Puskesmas Umbul Harjo I Yogyakarta diharapkan bagi bidan di Puskesmas Umbul Harjo I lebih dalam memberikan konseling dan melakukan pendekatan kepada ibu hamil agar ibu hamil mau melakukan tes HIV/AIDS dengan sukarela. Bagi Ibu Hamil di Puskesmas Umbul Harjo I diharapkan agar berpartisipasi dalam melaksanakan program PMTCT terutama tes HIV secara sukarela karena tes HIV ini bermanfaat bagi ibu dan bayi. Selain itu ibu hamil diharapkan mau menerima dan mempelajari informasi mengenai pencegahan dan penularan HIV dengan seksama, agar
Agizah Nurul Fadlilah & Mufdlilah, Sikap Ibu Hamil terhadap Pencegahan Penularan...
JK K
7.
2.
Y
SA
20
DAFTAR RUJUKAN Azwar, S. 2007. Sikap manusia: Teori dan Pengukurannya. Pustaka Pelajar: Yogyakarta. Hans. 2007. Pencegahan Penularan HIV/ AIDS Pada Ibu Hamil, (Online), http://www.satudunia.net/content/ pencegahan-penularan-hivaidspada-ibu-hamil), diakses 27 Oktober 2010. Maryunani, A., & Aeman, U. 2009. Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi. Edisi 1. Jakarta: Trans Info Media. Menkes. 2010. Statistik HIV/AIDS. (Online)(http:// www.aidsindonesia.or.id/repo/ LT1Menkes2010.pdfstatistikhivaids), diakses 7 Oktober 2010.
Notoatmodjo, S. 2007. Metodologi Penelitian Kesehatan. Edisi 3. Rineka Cipta: Jakarta. Nursalam., & Kurniawati, N. D. 2008. Asuhan Keperawatan pada Pasien Terinfeksi HIV/AIDS. Edisi 2. Salemba Medika: Jakarta. Richardson, D. 2002. Perempuan dan AIDS. Medpress: Yogyakarta. Riswanto. 2010. Jumlah Penderita HIV/ AIDS Di Yogyakarta, (Online), (www.m.mediaindonesia.com), diakses tanggal 28 Oktober 2010. Subdit PMS dan AIDS Ditjen PPM dan PL Departemen Kesehatan RI. Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia sampai Desember 2002. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Yayasan Spiritia. 2010. Hidup dengan HIV/AIDS, (Online), (http:// spiritia.or.id/art/ bacaart.php?artno=1022), diakses 1 Oktober 2010. Yudhasmara Foundation. 2009. Selamatkan Anak Indonesia dari Ancaman HIV/AIDS, (Online), (http:http://childrenhivaids. wordpress.com), diakses 12 Oktober 2010. Yunihastuti, E. 2003. Infeksi HIV Pada Kehamilan. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta.
11
tidak salah dalam menerima informasi. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan dapat lebih jauh meneliti secara mendalam tentang sikap pencegahan HIV/AIDS dari ibu hamil ke bayi dengan karakteristik yang lebih banyak dan penyebab sikap pencegahan HIV/AIDS dari ibu ke bayi yang kurang. Serta meneliti perilaku pencegahan HIV/AIDS dari ibu ke bayi. Bagi Kepala Puskesmas Umbul Harjo I diharapkan menambah jumlah tenaga kesehatan untuk mengikuti pelatihan HIV/ AIDS, mulai dari dokter, bidan, psikolog, maupun ahli gizi untuk mendukung kelancaran program pencegahan penularan HIV/AIDS dari ibu ke bayi (PMTCT).
37
HUBUNGAN KOMUNIKASI ORANG TUA DAN ANAK TENTANG SEKS DENGAN PERILAKU SEKS REMAJA Dian Pramita & Tenti Kurniawati STIKES ‘Aisyiyah Yogyakarta E-mail:
[email protected]
2.
20
11
SA
Y
Abstract: The study aims to examine the correlation between parent-child communication about sex and the adolescent sexual behavior at State High School 1 Seyegan, Sleman Yogyakarta in the year 2011. The study employs descriptive correlative approach using cross-sectional time. The population of study is the students of State High School in year 2011, who live with their parents, aged 15-18 years. Total sample of 68 students. The sampling technique employed is a simple random sampling using lottery. The data collection technique employed is a closed questionnaire and the data analysis technique employed is Kendall Tau correlation. The result of Kendall Tau correlation test show the significant value is 0,023 which means that there is a correlation between parent-child communication about sex and the adolescent sexual behaviour at State High School 1 Seyegan Sleman Yogyakarta in the year 2011. The parent-child communication about sex is in the category of poor (87%), adolescent sexual behaviour in the category of moderate (57%), and there is a significant positive correlation between parent-child communication about sex and the adolescent sexual behaviour at State High School 1 Seyegan Sleman Yogyakarta in the year 2011.
7.
Keywords : communication, sexual behaviour, adolescences
JK K
Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan komunikasi orang tua dan anak tentang seks dengan perilaku seks remaja di SMA N 1 Seyegan Sleman Yogyakarta Tahun 2011. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif korelatif dengan metode pendekatan waktu crosssectional. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa SMA N I Seyegan Sleman Yogyakarta Tahun 2011 yang tinggal bersama orangtuanya dan memiliki usia 15-18 tahun. Sebanyak 616 siswa dengan jumlah sampel sebanyak 68 siswa dengan teknik pengambilan sampel menggunakan simple random sampling secara undian. Pengambilan data dengan menggunakan kuesioner tertutup sedangkan analisis data menggunakan korelasi Kendall Tau. Hasil pengujian korelasi Kendall Tau menunjukkan bahwa nilai signifikansi sebesar 0,023 yang berarti terdapat hubungan antara komunikasi orang tua dan anak tentang seks dengan perilaku seks remaja di SMA N 1 Seyegan Sleman Yogyakarta Tahun 2011. Komunikasi orang tua dan anak tentang seks dalam kategori kurang (87%), perilaku seks remaja dalam kategori cukup (57%), sehingga terdapat hubungan positif yang signifikan antara komunikasi orang tua dan anak tentang seks dengan perilaku seks remaja di SMA N 1 Seyegan Sleman Yogyakarta tahun 2011. Kata kunci:komunikasi, perilaku seksual, remaja
Dian Pramita & Tenti Kurniawati, Hubungan Komunikasi Orang Tua dan Anak...
11
SA
Y
orang yang terdiri dari 1.595.186 orang lakilaki dan 1.612.199 orang perempuan. Dari jumlah tersebut, sebanyak 17% adalah remaja (Purwatiningsih, 2004). Persentase yang besar dari remaja ini menyebabkan resiko masalah perilaku seksual juga besar. Selain komunikasi orang tua dan anak tentang seks, masalah perilaku seks di kalangan remaja dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain: perubahan hormonal, penundaan usia perkawinan, norma-norma yang berlaku di masyarakat, penyebaran informasi melalui media massa, tabu larangan dan pergaulan bebas (Santrock, 2003). Di samping itu, lingkungan, pengalaman, dan sosial ekonomi juga menyebabkan timbulnya masalah perilaku seks pada remaja. Perilaku seks remaja juga dipengaruhi oleh informasi dari membaca buku atau majalah porno sebesar 63,2%, menonton film porno sebesar 46,7% dan masturbasi sebesar 30,2% (BKKBN, 2007). Data Pusat Studi Seksualitas (PSS) PKBI DIY tahun 2005 menunjukkan bahwa perilaku seksual yang sering dilakukan oleh remaja dalam berpacaran adalah berpelukan sebesar 62,1%, bergandengan tangan sebesar 60,5%, berciuman bibir sebesar 59,1%, dan saling raba sebesar 60%. Remaja yang melakukan perilaku seks tersebut sangat rentan terhadap risiko kesehatan. Mereka sangat berisiko mengalami penularan penyakit menular seksual termasuk HIV/AIDS, serta penyakit lainnya. Data Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyebutkan bahwa 52% dari sekitar 19.000 orang yang hidup dengan HIV/AIDS adalah remaja. Salah satu penyebabnya yaitu perilaku seks yang meningkat di kalangan remaja (Suara Merdeka, 2008). Perilaku seks remaja pada masa sekolah juga dapat menimbulkan masalah psikologis dan rasa tidak percaya diri pada siswa. Dampak dari perilaku seks
JK K
7.
2.
20
PENDAHULUAN Masa remaja atau masa adolescence adalah suatu fase tumbuh kembang yang dinamis dalam kehidupan seorang individu. Masa ini merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Pada masa remaja ditandai dengan percepatan perkembangan fisik, mental, emosional, dan sosial (IDAI, 2010). Alat-alat reproduksi mulai berfungsi, libido mulai muncul, intelegensi mencapai puncak perkembangan, dan emosi yang sangat labil. Kematangan seksual atau alat-alat reproduksi yang berkaitan dengan sistem reproduksi merupakan suatu bagian penting dalam kehidupan remaja sehingga diperlukan perhatian khusus, karena apabila timbul dorongan-dorongan seksual yang tidak sehat akan menimbulkan perilaku seks yang tidak bertanggung jawab (Widyastuti et al., 2009). Perilaku seks yang tidak bertanggung jawab pada remaja dapat menyebabkan masalah yang dapat mengganggu kehidupan remaja. Masalah yang sering mengganggu remaja adalah masalah-masalah yang berkaitan dengan organ reproduksi. Di satu sisi mereka sudah mencapai kematangan seksual yang menyebabkan mereka memiliki dorongan untuk pemuasan, tetapi di sisi lain kebudayaan dan norma sosial melarang pemuasan kebutuhan seksual di luar pernikahan. Oleh karena itu, remaja harus mampu mengontrol perilaku seksual dalam pergaulannya (Hidayat, 2009). Berdasarkan data Departemen Kesehatan (Depkes) Republik Indonesia, jumlah penduduk remaja di Indonesia setiap tahunnya mengalami peningkatan. Pada tahun 2006, remaja Indonesia (usia 10-19 tahun) berjumlah sekitar 43 juta jiwa atau sekitar 19,61% dari jumlah penduduk. Pada tahun 2008, jumlah remaja di Indonesia diperkirakan sudah mencapai 62 juta jiwa (IDAI, 2010). Menurut Susenas tahun 2003 jumlah penduduk di DIY mencapai 3.207.385
39
Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 7 No. 2, Desember 2011: 38-47
SA
Y
memang tidak termotivasi untuk memberikan informasi mengenai seks dan kesehatan reproduksi kepada remaja karena mereka takut hal itu justru akan meningkatkan terjadinya hubungan seks pra nikah. Keengganan para orang tua untuk memberikan informasi kesehatan reproduksi dan seks juga disebabkan oleh rasa rendah diri dan rendahnya pengetahuan akan kesehatan reproduksi. Padahal anak yang mendapatkan informasi maupun pendidikan seks dari orang tua atau sekolah cenderung berperilaku seks yang lebih baik. Peran orang tua yang kurang dalam berkomunikasi tentang seks kepada anaknya membuat banyak anak memilih untuk mencari informasi dari luar rumah sehingga akan membawa ke dalam perilaku yang dapat merugikan diri sendiri (Djiwandono, 2008). Upaya mengatasi perilaku seks pada remaja telah dilakukan pemerintah dan BKKBN yaitu dengan memberikan informasi tentang kesehatan reproduksi remaja. Pendekatan yang dilakukan di antaranya melalui institusi keluarga, teman sebaya (peer group), institusi sekolah, kelompok kegiatan remaja, dan LSM peduli remaja. Informasi tentang kesehatan reproduksi remaja diberikan dengan cara mengadakan penyuluhan-penyuluhan, seminar-seminar dan diskusi tentang kesehatan reproduksi remaja (BKKBN, 2008). Studi pendahuluan di salah satu SMA negeri di Sleman tanggal 22 Oktober 2010 menunjukkan bahwa perilaku seks remaja masih menjadi masalah. Hasil wawancara dengan 15 siswa menyebutkan bahwa 12 siswa mengaku tidak pernah berkomunikasi tentang seks dengan orang tua. Sementara sebanyak 3 siswa mengaku pernah berkomunikasi tentang seks dengan orang tua mereka. Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti tertarik untuk meneliti tentang hubungan komunikasi orang tua dan anak tentang seks dengan perilaku seks remaja.
JK K
7.
2.
20
dapat mengakibatkan terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan, aborsi, putus sekolah, dan penyakit menular seksual (Anjarwati et al., 2009). Remaja dalam menghadapi masalah perilaku seksual, sebenarnya tidak sendirian karena orang tua mempunyai peran untuk memberikan informasi tentang seks kepada anaknya. Orang tua harus menjalin komunikasi yang baik dan efektif dengan anaknya supaya mereka merasa nyaman untuk membicarakan segala sesuatu termasuk halhal yang berkaitan dengan masalah seks. Suasana harmonis dan saling memahami antara orang tua dan remaja dapat menciptakan komunikasi yang baik. Peran orang tua yang baik akan mempengaruhi kepribadian remaja menjadi baik. Oleh karena itu, orang tua perlu membicarakan segala topik secara terbuka kepada anaknya agar kelak menjadi remaja yang mandiri, disiplin dan bertanggung jawab (BKKBN, 2008). Informasi seks yang didapatkan anak dari orang tua persentasenya masih kecil apabila dibandingkan dengan informasi seks yang mereka dapatkan dari luar. Minimnya pengetahuan seks dari orang tua membuat remaja mencari sumber informasi di luar rumah di antaranya belajar dari internet atau membaca buku yang belum tentu bisa memberi informasi yang baik dan benar tentang seks. Media yang diakses justru hanya mengarah pada pornografi dan bukan pendidikan seks yang bertanggung jawab. Penelitian Purnama (2010) menemukan bahwa handphone merupakan favorit remaja untuk bertukar gambar porno, internet juga menjadi media yang cukup banyak diakses oleh responden, sehingga peredaran blue film bebas untuk diakses. Komunikasi yang tidak terjalin dengan baik antara orang tua dan anak tentang seks dapat memicu perilaku seks yang tidak baik seperti berhubungan badan dan hamil di luar nikah (Oktavia, 2008). Sebagian orang tua
11
40
Dian Pramita & Tenti Kurniawati, Hubungan Komunikasi Orang Tua dan Anak...
Margoagung Seyegan Sleman Yogyakarta. Areal tanah seluas 3,05 hektar, terdiri dari 18 kelas dengan berbagai fasilitas yang cukup baik, didukung oleh pendidik dan tenaga kependidikan yang terkualifikasi. Sekolah ini letaknya sangat strategis karena terletak di pinggir jalan. Di samping itu, juga terdapat warnet yang memungkinkan siswa untuk mengakses informasi.
11
SA
Y
Karakteristik responden penelitian Berdasarkan hasil penelitian diketahui karakteristik responden sebagai berikut: a. Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin Jenis kelamin responden paling banyak adalah perempuan yaitu sebanyak 37 orang (54%) dan responden yang sedikit adalah responden laki-laki yaitu 31 orang (46%). b. Karakteristik responden berdasarkan usia Usia responden yang paling banyak berusia 16 tahun yaitu 35 orang (52%) dan responden yang paling sedikit berusia 18 tahun yaitu ada 3 orang (4%). c. Karakteristik responden berdasarkan pendidikan ayah Responden dalam penelitian ini paling banyak dengan ayah yang berpendidikan SLTA yaitu sebanyak 38 orang (56%). Sedangkan responden yang paling sedikit dengan ayah yang berpendidikan SLTP, Diploma dan pendidikan lainnya yaitu 2 orang (3%). d. Karakteristik responden berdasarkan pendidikan ibu Responden dalam penelitian ini paling banyak dengan ibu yang berpendidikan SLTA yaitu sebanyak 36 orang (53%). Sedangkan responden yang paling sedikit dengan ibu yang berpendidikan SLTP yaitu 4 orang (6%). e. Karakteristik responden berdasarkan pekerjaan ayah
JK K
7.
2.
20
METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan menggunakan desain penelitian deskriptif korelasi, yaitu penelitian yang diarahkan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan hubungan komunikasi orang tua dan anak tentang seks dengan perilaku seks remaja. Penelitian ini menggunakan pendekatan waktu cross sectional, yaitu metode pengambilan data yang dilakukan dalam waktu yang bersamaan (Arikunto, 2006). Variabel dalam penelitian ini terdiri dari variabel bebas dan terikat. Variabel bebas adalah komunikasi orang tua dan anak tentang seks, sementara variabel terikat adalah perilaku seks remaja. Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMA N 1 Seyegan Sleman Yogyakarta yang tinggal bersama orangtua, berumur 15-18 tahun dengan jumlah populasi 616 siswa. Pengambilan sampel menggunakan teknik simple random sampling dengan cara undian. Peneliti mengambil 11% dari seluruh populasi yaitu sebanyak 68 siswa. Alat pengumpulan data menggunakan kuesioner tertutup yang terdiri dari kuesioner komunikasi orang tua dan anak tentang seks sebanyak 16 item pertanyaan dan kuesioner tentang perilaku seks remaja sebanyak 18 item pertanyaan dengan lima alternatif pilihan jawaban: pernah, tidak pernah, kadangkadang dan jarang. Analisis data penelitian dilakukan dengan menggunakan tehnik korelasi Kendall Tau. Teknik korelasi ini digunakan untuk mencari hubungan antara dua variabel atau lebih apabila data berbentuk ordinal (Sugiyono, 2006). HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi lokasi penelitian SMA N 1 Seyegan merupakan salah satu SMA yang terletak di Kabupaten Sleman Provisnsi DIY, beralamat di jalan
41
Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 7 No. 2, Desember 2011: 38-47
Kategori tingkat komunikasi orang tua dan anak tentang seks di SMA N 1 Seyegan Sleman
Sumber: Data Primer
Deskripsi data komunikasi orang tua dan anak tentang seks dan data perilaku seks remaja Tabel 3.
Deskripsi data komunikasi orang tua dan anak tentang seks dan perilaku seks remaja di SMA N 1 Seyegan Sleman
JK K
7.
2.
20
Tabel 1.
Kategori tingkat perilaku seks remaja di SMA N 1 Seyegan Sleman
Y
Deskripsi data komunikasi orang tua dan anak tentang seks
Tabel 2.
SA
Responden paling banyak ayahnya bekerja di bidang swasta yaitu sebanyak 23 responden (34%). Sedangkan responden yang paling sedikit ayahnya bekerja sebagai guru yaitu ada 1 responden (2%). f. Karakteristik responden berdasarkan pekerjaan ibu Responden paling banyak dengan ibu tidak bekerja yaitu sebanyak 39 responden (57%). Sedangkan responden yang paling sedikit dengan ibu yang memiliki pekerjaan tidak tetap yaitu ada 1 responden (2%).
11
42
Sumber: Data Primer
Berdasarkan tabel 1, dapat diketahui bahwa tingkat komunikasi orang tua dan anak tentang seks paling banyak responden dengan kategori kurang yaitu sebanyak 59 responden (87%) dan paling sedikit dengan kategori baik yaitu sebanyak 4 responden (6%). Deskripsi data perilaku seks remaja Dari tabel 2. dapat diketahui bahwa tingkat perilaku seks paling banyak dengan kategori cukup sebanyak 39 responden (57%) dan paling sedikit responden dengan kategori baik sebanyak 12 responden (18%).
Sumber: Data Primer
Berdasarkan tabel 3 diketahui paling banyak responden memiliki komunikasi orang tua dan anak tentang seks dalam kategori kurang sebanyak 33 responden (48,5%) dengan perilaku seks dalam kategori cukup. Perilaku seks remaja yang berada dalam kategori baik hanya sebesar 1,5 %.
Dian Pramita & Tenti Kurniawati, Hubungan Komunikasi Orang Tua dan Anak...
11
SA
Y
responden (34%). Sedangkan dari pekerjaan ibu responden paling banyak adalah ibu yang tidak bekerja sebanyak 39 responden (57%). Seseorang yang bekerja di bidang swasta umumnya mereka terlalu disibukkan oleh pekerjaannya sendiri, sehingga mereka kurang memperhatikan keluarganya terutama kurang perhatian terhadap apa yang sedang dihadapi oleh anaknya. Pada ibu yang tidak bekerja, pengetahuan ibu sendiri biasanya masih kurang sehingga tidak mampu memberikan informasi tentang seks secara mendetail kepada anaknya. Hal ini dapat memicu seorang remaja mencari informasi tentang seks dari sumber lain yang belum tentu benar seperti mengakses dari internet (Benny, 2010). Berdasarkan hasil penelitian ini, komunikasi orang tua dan anak tentang seks berada pada kategori kurang. Hal ini dikarenakan orang tua yang sibuk dengan pekerjaannya, mereka tidak terlalu memperhatikan apa yang sedang dialami oleh remaja. Kurangnya perhatian dan kasih sayang inilah yang menyebabkan putusnya komunikasi antar mereka dan memperburuk hubungan antara orang tua dengan anaknya. Selain itu, pemahaman orang tua yang kurang mengenai topik seputar seks merupakan salah satu faktor mengapa orang tua tidak memberikan informasi tentang seks kepada remaja. Padahal remaja sangat membutuhkan informasi tentang seks yang benar dari orangtuanya tetapi mereka justru tidak mendapatkan informasi tentang seks dari orangtuanya. Hal ini yang memicu remaja mencari informasi tentang seks dari sumber lain. Mudahnya akses pornografi yang tidak dibarengi dengan pengetahuan tentang seks dan seks dapat berdampak pada pemahaman yang salah tentang seks pada remaja. Minimnya pengetahuan tentang seks yang diikuti kemudahan akses pronografi justru mendorong remaja untuk mencoba-coba pengalaman baru. Oleh karena itu, sebaiknya orang tua
JK K
7.
2.
20
Dari hasil perhitungan uji korelasi Kendall Tau antara komunikasi orang tua dan anak tentang seks dengan perilaku seks remaja dapat diketahui nilai signifikan (p) yang diperoleh adalah 0,023. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh signifikan perhitungan yang lebih kecil dari 0,05 (p<0,05), maka Ho yang menyatakan tidak ada hubungan antara komunikasi orang tua dan anak tentang seks dengan perilaku seks remaja ditolak dan Ha yang menyatakan ada hubungan antara komunikasi orang tua dan anak tentang seks dengan perilaku seks remaja diterima. Jadi, dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara komunikasi orang tua dan anak tentang seks dengan perilaku seks remaja di SMA N 1 Seyegan Sleman Yogyakarta. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan jenis kelamin responden paling banyak adalah perempuan yaitu sebanyak 37 responden (54%). Dari hasil penelitian juga diketahui bahwa responden penelitian paling banyak berusia 16 tahun yaitu sebanyak 39 responden (57%). Hal ini terjadi karena remaja pada usia 15-18 tahun mulai mencari identitas diri, mengembangkan kemampuan berfikir abstrak dan berkhayal tentang aktivitas seksual sehingga mereka senang untuk mencoba hal-hal baru terutama yang berbau dengan seks (Desmita, 2005). Berdasarkan tingkat pendidikan ayah responden diketahui rata-rata berpendidikan SLTA yaitu sebanyak 38 responden (56%) dan tingkat pendidikan ibu responden paling banyak berpendidikan SLTA yaitu sebanyak 36 responden (53%). Seseorang dengan tingkat pendidikan yang semakin tinggi, maka akan semakin tinggi pula ilmu yang mereka miliki sehingga mampu memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang informasi seks kepada anaknya (Benny, 2010). Pekerjaan ayah responden paling banyak bekerja di bidang swasta sebanyak 23
43
Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 7 No. 2, Desember 2011: 38-47
SA
Y
bangku sekolah menengah atas (SMA) pemahaman mereka mengenai seks dirasa masih belum cukup. Hal ini bisa saja karena di sekolah mereka tidak mendapatkan pendidikan seks dari gurunya, sehingga mereka hanya memiliki pemahaman mengenai seks sebatas informasi yang mereka ketahui yang menjadikan remaja berusaha untuk memperoleh informasi dari sumber lain yang justru dapat membawa mereka terjerumus kedalam perilaku yang dapat merugikan dirinya sendiri (Djiwandono, 2008). Menurut Purnama (2010), sumber terpercaya selain orang tua untuk menghindarkan remaja dari pergaulan yang salah juga dapat dilakukan oleh para guru. Di sekolah, para guru dapat memberikan pendidikan seks kepada para siswanya karena jarang sekali remaja melibatkan guru untuk mendiskusikan masalah seks yang lebih mendalam. Disinilah pentingnya pendidikan seks bagi para remaja. Hal ini untuk membantu mengurangi kecemasan remaja ketika menghadapi kematangan seks serta sebagai penyalur pengetahuan seks bagi mereka. Peran orang tua dan guru diharapkan lebih menonjol karena bagaimanapun juga mereka juga berperan sebagai filter atau penyaring bagi informasi yang akan diberikan kepada remaja, berbeda apabila informasi diperoleh dari media massa yang sering kali tanpa penyaringan terlebih dahulu. Dalam upaya pemberian informasi mengenai seks bagi remaja di sekolah, peran guru perlu ditingkatkan, khususnya guru bimbingan dan konseling. Diharapkan guru bimbingan dan konseling nantinya dapat berperan sebagai nara sumber di sekolah dan memberikan informasi yang benar mengenai hal-hal tersebut serta diadakan konseling seks remaja. Dengan demikian, diharapkan Depdiknas memasukkan pendidikan seks ke kurikulum nasional agar remaja terhindar dari pergaulan bebas yang dapat merugikan dirinya sendiri. Hipotesis awal pada penelitian ini
JK K
7.
2.
20
memberikan informasi tentang seks kepada remaja karena orang tua adalah sumber yang paling baik untuk memberikan penjelasan dan pemahaman seputar seks kepada remaja (Benny, 2010). Berlangsungnya komunikasi antara orang tua dan anak tentang seks yang paling efektif yaitu dengan cara tatap muka dikarenakan orang tua dan anak secara langsung dapat bertukar pendapat dan saling berbagi ilmu secara seksama. Selain itu, dalam berkomunikasi tentang seks sebaiknya orang tua bersikap sebagai sahabat anak, lemah lembut, sabar dan bijaksana kepada remaja (Sari, 2010). Berdasarkan hasil penelitian ini, perilaku seks remaja berada pada kategori cukup. Menurut Desmita (2005), remaja pada umur 15-18 tahun mulai mencari identitas diri, mengembangkan kemampuan berfikir abstrak dan berkhayal tentang aktivitas seksual. Berdasarkan hasil penelitian ini, responden paling banyak adalah remaja dengan usia 16 tahun. Pada usia ini mereka baru saja mengalami transisi dari masa kanak-kanak menuju masa remaja yang membuat mereka senang untuk mencobacoba segala hal yang baru terutama yang berbau dengan seks. Tetapi remaja tersebut masih takut untuk menerima kemungkinan resiko yang akan terjadi apabila mereka melakukan hal-hal di luar batas seperti berhubungan badan dengan lawan jenis yang dapat berakibat hamil di luar nikah. Orang tua sebagai penanggung jawab utama terhadap perilaku anak harus menciptakan lingkungan keluarga yang harmonis, karena remaja akan merasa damai di rumah yang terbangun dari keterbukaan, cinta kasih, saling memahami di antara sesama keluarga. Orang tua sangat menentukan perilaku remaja, sehingga orang tua harus memberikan informasi yang sejelasjelasnya mengenai seks kepada remaja dikarenakan remaja yang masih duduk di
11
44
Dian Pramita & Tenti Kurniawati, Hubungan Komunikasi Orang Tua dan Anak...
11
SA
Y
mentabukan pembicaraan mengenai seks dengan anak serta komunikasi yang tidak terbuka terhadap anaknya mengenai seks, sehingga cenderung membuat jarak dengan anaknya dalam berkomunikasi seputar masalah seks. Remaja yang berharap mendapatkan informasi tentang seks dari orangtuanya justru tidak mendapatkannya dikarenakan terbatasnya komunikasi antara orang tua dan anak tentang seks. Berdasarkan penelitian Maryani (2007), semakin baik fungsi keluarga dalam memberikan informasi seks kepada remaja maka sikap menolak perilaku seks juga semakin baik, begitu pula sebaliknya. Orang tua harus manjalin komunikasi yang baik dan efektif dengan anaknya supaya mereka merasa nyaman untuk membicarakan segala sesuatu termasuk hal-hal yang berkaitan dengan seks. Suasana harmonis dan saling memahami antara orang tua dan remaja dapat mempengaruhi komunikasi diantara mereka menjadi baik. Peran orang tua dalam berkomunikasi tentang seks yang baik dengan anaknya akan mempengaruhi perilaku maupun kepribadian remaja menjadi baik, begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu, orang tua perlu membicarakan segala topik mengenai seks secara terbuka kepada anaknya agar kelak menjadi remaja yang mandiri, disiplin dan bertanggung jawab.
JK K
7.
2.
20
berbunyi ada hubungan antara komunikasi orang tua dan anak tentang seks dengan perilaku seks remaja di SMA N 1 Seyegan Sleman Yogyakarta tahun 2011. Setelah dilakukan uji hipotesis ternyata hasilnya adalah bahwa hubungan kedua variabel tersebut mempunyai hubungan yang signifikan. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa ada hubungan yang signifikan antara komunikasi orang tua dan anak tentang seks dengan perilaku seks remaja di SMA N 1 Seyegan Sleman Yogyakarta tahun 2011. Hal ini berarti komunikasi orang tua dan anak tentang seks akan mempengaruhi perilaku seks remaja. Remaja yang memiliki komunikasi orang tua dan anak tentang seks yang baik akan memiliki perilaku seks yang baik, begitu pula sebaliknya remaja yang memiliki komunikasi orang tua dan anak tentang seks yang kurang, akan memiliki perilaku seks yang kurang. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat diketahui komunikasi orang tua dan anak tentang seks di SMA N 1 Seyegan pada kategori kurang dan perilaku seks remaja di SMA N 1 Seyegan pada kategori cukup. Menurut Djiwandono (2008), orang tua harus memulai diskusi tentang seks dengan anak remajanya. Pada kenyataannya, seks merupakan materi yang paling sulit untuk dibicarakan antara orang tua dan anak remajanya terutama ketika humor dihilangkan dan nilai-nilai serta tanggung jawab dimasukkan saat komunikasi tentang seks sedang berlangsung. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian dimana komunikasi orangtua dan anak tentang seks berada pada kategori kurang padahal seharusnya orang tua dapat memahami bahwa anak remajanya mengalami konflik dan harus membuka pintu percakapan agar berkembang perasaan bebas dan terbuka diantara keduanya dalam berkomunikasi tentang seks. Orang tua sendiri baik karena ketidaktahuannya maupun karena sikapnya yang masih
45
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Komunikasi orang tua dengan anak tentang seks dalam kategori kurang (87%). Perilaku seks remaja dalam kategori cukup (57%). Terdapat hubungan yang signifikan antara komunikasi orang tua dan anak tentang seks dengan perilaku seks remaja di SMA N 1 Seyegan Sleman Yogyakarta. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh koefisien korelasi Kendall Tau didapatkan nilai signifikan (p) sebesar 0,023.
Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 7 No. 2, Desember 2011: 38-47
SA
Y
diakses 04 Januari 2011. Anjarwati, D. D., & Djauhar, I. 2009. Hubungan status sosial ekonomi dengan perilaku seksual remaja pada siswa SMA N di kabupaten Gunungkidul, Jurnal Kebidanan dan Keperawatan ‘Aisyiyah, 5 (1): 1-2. Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktik. Edisi revisi VI. Rineka Cipta: Jakarta. Benny. 2010. Remaja Pernah Berhubungan Seks, (Online), (http:// berita.liputan6.com), diakses 8 Februari 2011). BKKBN. 2008.. Peran Orang Tua Dalam Pembinaan Remaja, (Online), (http://prov.bkkbn.go.id diakses 20 Mei 2011. Dalami, E., Rochimah, Gustina, Roselina, E., & Banon, E. 2009. Buku Saku Komunikasi Keperawatan. Trans Info Media: Jakarta. Desmita. 2005. Psikologi Perkembangan. Remaja Rosdakarya: Bandung. Djiwandono, S. 2008. Pendidikan Seks Remaja. Indeks: Jakarta. Hidayat. 2009. Ilmu Perilaku Manusia Pengantar Psikologi Untuk Tenaga Kesehatan. Trans Info Media: Jakarta. Mundakir. 2006. Komunikasi Keperawatan Aplikasi Dalam Pelayanan. Graha Ilmu: Yogyakarta. Notoatmodjo, S. 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta: Jakarta. Oktavia, D. 2008. Peranan Orang Tua Sangat Penting Dalam Pendidikan Seks Anak, (Online), (http:// erabaru.net) diakses 27 Oktober 2010.
JK K
7.
2.
20
Saran Orang tua sebaiknya memberikan pendidikan seks kepada remaja melalui komunikasi yang terbuka tentang seks dengan anaknya, karena orang tua sangat berperan penting dalam menumbuhkan nilainilai positif remaja tentang kehidupan seks seperti bahaya PMS, HIV/AIDS, hubungan seks bebas, dan lain sebagainya. Sehingga, diharapkan para remaja dapat mengembangkan rasa percaya diri dan sikap kontrol dalam pergaulannya. Saran bagi remaja agar ada keterbukaan dari remaja dalam berkomunikasi tentang seks dengan orang tuanya mengingat pentingnya berkomunikasi dengan orang tua tentang perilaku seks yang baik dan benar. Bagi guru agar memberikan pendidikan seks kepada siswanya supaya para siswa tersebut terhindar dari informasi tentang seks yang salah. Saran bagi Depdiknas agar memasukkan pendidikan seks terutama yang berhubungan dengan komunikasi orang tua dan anak tentang seks dengan perilaku seks remaja ke kurikulum nasional. Saran kepada peneliti selanjutnya agar mampu mengembangkan penelitian selanjutnya berdasarkan penelitian yang dilakukan peneliti saat ini untuk meneliti variabel lain yang terkait dengan komunikasi orang tua dan anak tentang seks dengan perilaku seks remaja atau variabel lain yang belum diteliti.
11
46
DAFTAR RUJUKAN Anonim. 2010. Indonesian Pediatrick Society, (Online), (http:// www.idai.or.id), diakses 21 Oktober 2010. Anonim. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka: Jakarta. _______. 2008. Setengah Pengidap HIV/ AIDS Adalah Remaja,(Online), (http://www.suaramerdeka.com),
Dian Pramita & Tenti Kurniawati, Hubungan Komunikasi Orang Tua dan Anak...
11
SA
Y
indonesia.ac.id) diakses 21 Oktober 2010. Rumini. 2004. Perkembangan Anak Dan Remaja. Rineka Cipta: Jakarta. Sari, I. 2010. Relasi Komunikasi Antara Orang Tua Dan Anak Remajanya Mengenai Seksualitas, (Online), (http://eprints.undip.ac.id), diakses 23 November 2010. Sarwono, S. 2003. Psikologi Remaja. Raja Grafindo Persada: Jakarta. Skripsiadi, E. 2005. Pendidikan Dasar Seks Untuk Anak Sebagai Panduan Diskusi Dalam Keluarga. Curiosita: Yogyakarta. Sugiyono. 2006. Statistik Untuk Penelitian. CV. Alfabeta: Bandung. Widyastuti., & Sugiyanto. 2009. Kesehatan Reproduksi. Fitramaya: Yogyakarta.
JK K
7.
2.
20
Purnama, N. 2010. Kesehatan Reproduksi Untuk Pelajar, (Online), (http://www.smkn1trucuk.sch.id), diakses 01 November 2010. Puspitalia, R, D. 2009. Hubungan Pendidikan Seks Dengan Perilaku Seksual Remaja Pada Siswa Kelas XI Di SMA Muhammadiyah 4 Yogyakarta, Skripsi Tidak Diterbitkan. Program Studi Ilmu Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan ‘Aisyiyah: Yogyakarta. Rauf, A. 2008. Dampak Pergaulan Bebas Pada Remaja, (Online), (http:// pergaulanbebas.com), diakses 08 Februari 2011. Radjah. 2001. Pendidikan Kesehatan Reproduksi. Wineka Media: Malang. Riswandi. 2006. Definisi Komunikasi Dan Tingkatan Proses Komunikasi, (Online), (http://bahasa-
47
HUBUNGAN MASA KERJA MEMETIK TEH DENGAN KECENDERUNGAN TERKENA DE QUERVAIN’S TENDINITIS DI PERKEBUNAN TEH JAMUS NGAWI Dika Rizki Imania STIKES ‘Aisyiyah Yogyakarta E-mail:
[email protected]
SA
Y
Abstract: This research was conducted with the aim to find out the factors for work-related incidents De Quervain’s Tendinitis (DQT) on tea pickers Jamus tea plantation in Ngawi. The design of this research method using Chi-Square with sample as much of the rest of the 109 respondents in tea pickers Jamus tea plantation of Ngawi. The conclusions of this research suggests the work is risk factor for occurrence of the DQT on respondents i.e. repeated movement in a long time, the movement with force and static work postures.
11
Keywords: the period of employment, de quervain’s tendinitis (DQT)
7.
2.
20
Abstrak: Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui faktor pekerjaan yang berhubungan dengan kejadian De Quervain’s Tendinitis (DQT) pada pemetik teh di perkebunan teh Jamus Ngawi. Rancangan penelitian ini menggunakan metode Chi-Square dengan sampel sebanyak 109 responden yaitu seluruh pemetik teh di perkebunan teh Jamus Ngawi. Kesimpulan penelitian ini menunjukkan hubungan antara masa kerja yang merupakan faktor resiko terjadinya DQT pada responden yaitu gerakan berulang dalam waktu yang lama, gerakan dengan kekuatan dan postur kerja statis.
JK K
Kata Kunci : masa kerja, De Quervain’s Tendinitis (DQT).
PENDAHULUAN Pembangunan tenaga kerja dimaksudkan demi terwujudnya tenaga kerja yang sehat dan produktif. Tenaga kerja yang produktif adalah tenaga kerja yang dapat melaksanakan pekerjaannya dengan baik sehingga dapat menghasilkan sesuatu yang bermanfaat (Kuncoro, 2002). Keserasian dalam bekerja, yang berarti dapat terjaminnya keselamatan dan kesehatan kerja (K3) dan produktifitas kerja yang setinggi – tingginya, hal ini dipengaruhi oleh; beban kerja, lingkungan kerja dan kapasitas kerja. Jika tidak terjadi keserasian/ergonomis akan
memunculkan penyakit akibat kerja (Tarwaka, 2004). Upaya mewujudkan Indonesia Sehat 2010, telah ditetapkan misi pembangunan kesehatan yaitu menggerakkan pembangunan nasional berwawasan kesehatan, mendorong kemandirian masyarakat untuk hidup sehat, memelihara dan meningkatkan pelayanan kesehatan yang bermutu, merata dan terjangkau, memelihara dan meningkatkan kesehatan individu, keluarga dan masyarakat serta lingkunganya (Mardiman,1999). Penyakit akibat kerja ditimbulkan
Dika Rizki Imania, Hubungan Masa Kerja Memetik Teh dengan Kecenderungan...
11
SA
Y
kurang lebih 412 pemetik teh, mereka memetik teh dari hari senin hingga minngu, bekerja sekitar 4 jam setiap harinya, yakni mulai dari jam 06.00-10.00, diberikan waktu untuk istirahat selama 30 menit yakni dari jam 08.30-09.00, menghasilkan jumlah petikan yang bervariasi, 30-an hingga 70an kilogram per orang. Sebagian besar buruh menghasilkan 40-an kilogram petikan teh (Waluyo, 2008). Di Perkebunan Teh Jamus ini penulis akan melakukan penelitian. Di Perkebunan teh Jamus ini pernah dilakukan studi pendahuluan pada tahun 2007, dilakukan survei menyatakan bahwa dari 20 pemetik teh terdapat 3 pemetik teh yang positif menderita DQT dengan dilakukan test Finkelstein. Resiko terkena DQT bisa diturunkan yaitu dengan melakukan rotasi kerja sebelum masa kerja melebihi 3 tahun dan tidak menempatkan pekerja di bagian gerakan berulang bagi yang pernah bekerja di bagian tersebut (Priadarsini, 2003). DQT adalah pembengkakan dan peradangan pada tendon dan penutup tendon yang menggerakkan ibu jari kearah luar. Penyebab, biasanya terjadi setelah menggunakan pergelangan tangan yang berulangulang. Gejala utama adalah rasa nyeri pada samping ibu jari pada pergelangan tangan dan dasar ibu jari, yang bertambah parah dengan adanya gerakan (Aldiana, 2008). DQT sering terkena pada usia 30 hingga 50 tahun. Perempuan 8 hingga 10 kali lebih banyak dibandingkan laki-laki (Nusdwinuringtyas, 2009). Adanya DQT bisa dilakukan tes pemeriksaan pada para pemetik dengan tes Finkelstein yaitu pasien diminta untuk menggengam ibu jarinya kemudian pergelangan tangan digerakkan kearah ulnar maka akan mengakibatkan rasa nyeri yang sangat, berarti positif menderita DQT (Sidharta, 1983). Pemetik teh yang kesehariannya bekerja dengan menggunakan
JK K
7.
2.
20
karena hubungan kerja atau yang disebabkan oleh pekerjaan dan sikap kerja. Faktor fisik dan kondisi lingkungan kerja dapat menjadi pendorong resiko terjadinya cidera. Faktor fisik tersebut diantaranya gerakan dengan kekuatan dan berulang tekanan statis pada otot dan tekanan oleh mesin atau getaran dan suhu yang terlalu panas atau dingin. Faktor tersebut akan semakin mempengaruhi dan dirasakan sebagai pemicu akibat kerja, setelah masa kerja, waktu istirahat yang kurang dan pekerjaan yang monoton dapat meningkatkan terjadinya De Quervain’s Tendinitis DQT (Sulistiono, 2003). Masa kerja menunjukkan lamanya seseorang terkena paparan di tempat kerja, semakin lama masa kerja maka akan semakin lama terkena paparan di tempat kerja sehingga semakin tinggi resiko terjadinya penyakit akibat kerja. Melakukan pekerjaan yang sama selama bertahun – tahun tanpa ada rotasi pekerjaan menyebabkan pekerjaan tersebut membebani otot dan jaringan lunak yang sama dalam jangka waktu tersebut (Luttman, 2003). Seperti halnya para pemetik teh yang bekerjanya adalah memetik teh menggunakan tangannya dan pergelangan tangannya setiap hari dengan kebun yang sangat luas serta waktu yang lama memungkinkan akan mengakibatkan timbulnya nyeri pada tangan tepatnya pada daerah pergelangan tangan dekat ibu jari yang disebut dengan DQT (Jansen, 2001). Karena itu penulis meneliti di perkebunan teh yaitu Perkebunan Teh Jamus. Perkebunan teh Jamus ini termasuk di dalam wilayah Kabupaten Ngawi, dan tercatat di bawah pengelolaan sebuah perusahaan bernama P.T. Candi Loka. Perkebunan teh ini sangat indah dan sejuk, di pagi hari suhu bisa mencapai 20°C-23°C, dan ketika siang hari 25°C-26°C (Waluyo, 2008). Di Perkebunan teh Jamus terdapat
49
Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 7 No. 2, Desember 2011: 48-55
JK K
7.
2.
Y
20
METODE PENELITIAN Penelitian yang dilakukan termasuk jenis penelitian dengan pendekatan metode survei non experiment, desain penelitian cross sectional yang bersifat deskriptif, expesure (penyebab) dan outcome (dampak) diteliti dalam waktu yang sama (Nursalam, 2003). Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek atau subyek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti yang dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulan meliputi seluruh karakteristik yang dimiliki oleh subyek itu (Sugiono, 2005). Populasi dalam penelitian ini adalah pemetik teh di Perkebunan Teh Jamus Ngawi. Teknik Pengambilan sampel dalam penelitian ini dengan teknik Total Sampling yaitu pengambilan sampel secara keseluruhan berdasarkan wilayah atau lokasi populasi (Nursalam, 2003). Sampel dalam penelitian ini adalah semua pemetik teh diperkebunan Teh Jamus Ngawi, sesuai dengan kriteria inklusi: subyek adalah pemetik teh di Perkebunan Teh Jamus Ngawi, berusia 23-40 tahun, bersedia menjadi sampel dan mau bekerja sama serta aktif memberikan informasi dan penilaian dilakukan saat pekerja melakukan pekerjaan utama. Sedangkan kriteria ekslusi: subyek memiliki aktivitas di luar kegiatan memetik teh seperti bekerja sebagai buruh cuci pakaian, buruh sapu dan lain–lain, menggunakan ani – ani dalam memetik teh, mulai merasakan nyeri pada pergelangan tangannya (De Quervain’s Tendinitis) sebelum bekerja sebagai pemetik teh, menderita atau pernah menderita trauma
akibat patah tulang tangan/pergelangan tangan, Dislokasi, Diabethus Militus, Rheumatoid Arthritis. Gejala yang berkaitan dengan kejadian DQT tersebut diketahui dengan menggunakan alat ukur berupa kuesioner skala Guttman (Alimul, 2003). Bentuk kuesioner yang digunakan adalah pertanyaan Ya dan Tidak. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner dengan jumlah pertanyaan yaitu 4 poin. Skor kuesioner untuk pertanyaan perilaku dengan jawaban favourable, yaitu jawaban ya skor 1, dan jawaban tidak skor 0. Data diuji dengan uji Chi Square untuk mengetahui apakah dua variabel yang masing-masing mempunyai beberapa kategori saling mempunyai ketergantungan atau tidak. Pada pelaksanaan pengisian kuesioner dengan keluhan DQT yang dirasakan responden kemudian dianalisis dengan analisis menggunakan komputer program SPSS versi 15.0 for Windows. Selengkapnya untuk mengetahui normalitas data. Data diuji dengan uji Chi Square untuk mengetahui apakah dua variabel yang masingmasing mempunyai beberapa kategori saling mempunyai ketergantungan atau tidak (Nursalam, 2003). Jika nilai P > 0,05 maka Ho penelitian ditolak. Jika nilai P < 0,05 maka Ho penelitian diterima
SA
tangan ini dapat menghindari timbulnya DQT lanjut, misal ketika akan memetik teh dilakukan pemanasan atau penguluran pada otototot tangan dengan benar, serta ada sela waktu untuk istirahat ketika memetik teh sehingga otot-otot tangan tidak tegang terus.
11
50
HASIL DAN PEMBAHASAN Populasi dalam penelitian ini adalah semua pemetik teh di perkebunan teh Jamus Ngawi. Teknik sampling yang digunakan adalah Total Sampling dengan kriteria inklusi dan ekslusi yang harus dipenuhi, dengan cara sampel diminta untuk mengisi kuesioner yang telah disediakan. Setelah dilakukan penentuan sampel sesuai persyaratan tersebut, diperoleh sebanyak 109 sampel. Hasil penelitian pada perkebunan teh Jamus Ngawi pada bulan Agustus Oktober 2009.
Dika Rizki Imania, Hubungan Masa Kerja Memetik Teh dengan Kecenderungan...
51
Karakteristik Responden Berdasarkan Umur Distribusi Frekuensi Berdasarkan Umur Responden
2.
Sumber: Olah Data 2009
20
11
SA
Y
Tabel 1.
JK K
7.
Berdasarkan tabel 1 didapatkan data bahwa responden yang cenderung gejala DQT terbanyak adalah responden yang usianya antara 25 – 26 yaitu sebanyak 7 responden (16,1 %), kemudian usia antara 31 – 32 dan 39 – 40 tahun masing – masing sebanyak 6
responden (13,6 %), 23 – 24 dan 29 – 30 tahun masing – masing sebanyak 5 responden (11,3 %), usia antara 33 – 34 dan 34 – 36 tahun masing – masing sebanyak 4 reponden (9,1 %), selanjutnya usia antara 37 – 38 tahun sebanyak 3 responden (6,8 %).
Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tabel 2.
Distribusi Frekuensi Berdasarkan Tingkat Pendidikan Responden
Sumber: Olah Data 2009
52
Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 7 No. 2, Desember 2011: 48-55
Berdasarkan tabel 2 didapatkan data bahwa responden yang cenderung gejala DQT terbanyak adalah responden yang pendidikannya SD yaitu sebanyak 35 responden (79,5 %), selanjutnya yang pend-
idikannya Sekolah Dasar Tidak Tamat (SDTT) sebanyak 5 responden (11,4 %) kemudian responden yang paling sedikit, pendidikannya adalah SLTP sebanyak 4 responden (9,1 %).
Karakteristik Responden Berdasarkan Masa Kerja Distribusi Frekuensi Berdasarkan Masa Kerja Responden
11
SA
Y
Tabel 3.
20
Sumber: Olah Data 2009
7.
2.
Berdasarkan tabel 3 didapatkan data bahwa responden yang cenderung gejala DQT terbanyak adalah responden yang masa kerjanya lebih atau sama dengan 3
tahun yaitu sebanyak 26 responden (59,1 %) dan responden yang masa kerjanya kurang dari 3 tahun yaitu sebanyak 18 responden (40,9 %).
JK K
Karakteristik Responden Berdasarkan Pemeriksaan Fisik Tabel 4.
Distribusi Frekuensi Berdasarkan Pemeriksaan Fisik Responden
Sumber: Olah Data 2009
Berdasarkan tabel 4. didapatkan data bahwa responden yang terbanyak adalah responden yang pemeriksaan fisiknya negatif
(Tidak DQT) yaitu sebanyak 65 responden (59,6 %) sedangkan responden yang pemeriksaannya positif (Ya DQT) sebanyak
Dika Rizki Imania, Hubungan Masa Kerja Memetik Teh dengan Kecenderungan...
44 responden (40,4 %). Penelitian ini menggunakan komputer program SPSS versi 15.0 for Windows.
Selengkapnya data hasil pengujian statistik uji Chi Square adalah sebagai berikut:
Tabel Silang Masa Kerja dengan Kecenderungan Terkena De Quervain’s Tendinitis (DQT)
11
Masa otot mulai berkurang kesiapannya pada suatu angka 6 % setelah usia 30 tahun. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sukendro bahwa pada usia di atas 30 tahun, di dalam tubuh terjadi perubahan–perubahan struktural yang merupakan proses degeneratif. Salah satunya adalah otot, dimana sel-sel mengecil atau komposisi sel pembentukan jaringan ikat baru menggantikan sel–sel yang hilang akibat timbulnya kemunduran fungsi organ - organ tubuh. Kemunduran fungsi organ tubuh pada otot akan menyebabkan jumlah sel otot menjadi berkurang, ukurannya menjadi atropi, sementara jumlah jaringan ikat bertambah, volume otot secara keseluruhan menyusut, fungsinya menurun dan kekuatannya berkurang. Kekuatan statis dan dinamis otot berkurang 5% setelah usia 45 tahun, sedangkan endurance otot akan berkurang 1% tiap tahunnya (Budiharjo, 2005). Semakin sering seseorang terpapar dengan nyeri, maka seseorang tersebut akan terbiasa dengan nyeri yang dirasakannya, dan ketika suatu saat terpapar dengan nyeri yang lebih ringan dari yang sering ia rasakan, hal itu tidak menjadi keluhan lagi buat seseorang tersebut. Sebaliknya jika seseorang tidak
JK K
7.
2.
20
Tabel 5 merupakan hasil penghitungan uji statistik dengan uji Chi Square sebagaimana nampak pada tabel diatas, diperoleh nilai Pearson Chi-Square dengan taraf kesalahan = 5% (0,05) didapat P hitung sebesar 0,029. Nilai P hitung lebih kecil dari taraf kesalahan yaitu 0,029. Hasil tersebut menunjukkan bahwa ada hubungan masa kerja memetik teh terhadap kecenderungan terkena De Quervain’s Tendinitis di perkebunan teh Jamus Ngawi. DQT merupakan penyakit yang terjadi karena adanya penebalan yang terasa nyeri pada sarung tendon yang menyelubungi musculus abductor pollicis longus dan musculus extensor pollicis brevis yang diakibatkan karena adanya gerakan yang terlalu lama (trauma kronis yang berulang) (Caillet, 1990). Pendapat Nusdwinuringtyas (2009), melakukan penelitian yang menyebutkan bahwa penyakit DQT sering terkena pada usia 30 hingga 50 tahun. Perempuan 8 hingga 10 kali lebih banyak dibandingkan laki-laki. Orang dengan pekerjaan yang memerlukan aktivitas dengan genggaman kuat dan berulang, seperti memukul-mukul menggunakan palu merupakan predisposisi.
SA
Y
Tabel 5.
53
Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 7 No. 2, Desember 2011: 48-55
SA
Y
pergelangan tangannya setiap hari kurang lebih 3-4 jam dengan kebun yang sangat luas serta waktu yang lama memungkinkan akan mengakibatkan timbulnya nyeri pada tangan tepatnya pada daerah pergelangan tangan dekat ibu jari yang disebut dengan DQT (Jansen, 2001). Analisa peneliti terhadap gerakan pemetik teh ketika memetik teh yaitu; gerakan ekstensi pergelangan tangan (dorso flexi) disertai supinasi, pengeraknya adalah musculus extensor pollicis longus dan musculus extensor carpi radialis longus dan supinator. Lingkup gerak sendi pada gerakan ini berkisar 20° - 30°, gerakan flexi jari telunjuk MCP berkisar °20 - 30°, PIP berkisar 50° - 60°, DIP berkisar 30° - 40°, gerakan adduksi ibu jari adalah musculus MCP I berkisar 45° - 50°, IPP berkisar 30° - 45°. Pada masa kerja responden menunjukkan bahwa sebagian besar responden yang memiliki kecenderungan terkena DQT lebih tinggi yaitu yang masa kerjanya 3 - 4 tahun karena semakin lama masa kerja seseorang semakin lama terkena paparan di tempat kerja sehingga semakin tinggi resiko terjadinya penyakit akibat kerja. Wienlander et al. (1989) mengatakan bahwa masa kerja 1 - 20 tahun memiliki resiko lebih besar untuk terjadinya DQT akibat kerja.
JK K
7.
2.
20
pernah menerima stimulus nyeri, jika suatu saat terpapar dengan yang sangat ringan, maka hal itu akan menjadi berat bagi orang tersebut, oleh karena itu terdapat perbedaan tingkatan nyeri yang dirasakan oleh responden menurut persepsi masing-masing responden (Idyan, 2007). Masa kerja memetik teh adalah suatu pengalaman dimana faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya kecelakaan akibat kerja. Berdasarkan berbagai hasil penelitian dengan meningginya pengalaman dan keterampilan akan disertai dengan penurunan angka kecelakaan akibat kerja. Kewaspadaan terhadap kecelakaan akibat kerja bertambah baik sejalan dengan pertambahan usia dan lamanya kerja di tempat kerja yang bersangkutan (Suma’mur, 1989). Masa kerja adalah waktu yang dipergunakan untuk bekerja dan tidak termasuk waktu istirahat. Produksivitas seseorang mulai menurun sesudah 4 jam bekerja. Keadaan ini sejalan dengan menurunya kadar gula di dalam darah. Oleh karena itu istirahat dan kesempatan untuk makan akan meninggikan kembali kadar bahan bakar dalam tubuh. Istirahat yang ditetapkan adalah istirahat setengah jam setelah 1 jam bekerja berturut–turut. Selain itu beliau berpendapat bahwa orang bekerja dengan baik adalah 40 – 50 jam dalam seminggu, berarti lama kerja terbaik adalah 6 – 7 jam perhari atau 40 jam per minggu. (Suma’mur, 1989). Menurut Hardjono (2009), pada DQT adanya nyeri tekan pada penekanan di prosesus stiliodeus radii. Gerakan pasif dari ibu jari tidak membangkitkan nyeri sebaliknya gerakan aktif dan isometrik menimbulkan nyeri yang hebat. Test Finkelstein yang memprovokasi nyeri gerak pasif pada DQT yaitu pasien disuruh mengepal ibu jarinya, kemudian tangan pasien yang mengepal ibu jarinya difleksikan ke ulnar. Pemetik teh yang bekerjanya adalah memetik teh menggunakan tangannya dan
11
54
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa terdapat hubungan masa kerja memetik teh terhadap kecenderungan terkena De Quervain’s Tendinitis (DQT) di perkebunan teh Jamus Ngawi. Saran Perusahaan teh hendaknya melakukan rotasi kerja pada pemetik teh sebelum masa kerja melebihi 3 tahun dan tidak menempat-
Dika Rizki Imania, Hubungan Masa Kerja Memetik Teh dengan Kecenderungan...
11
SA
Y
Kuncoro, K. 2009. Pemetik Teh Dalam Lingkar Kemiskinan, (Online), (http://epaper.kompas.com), diakses 03 Agustus 2009. Luttmann, A. ... [et al.]. 2003. Preventing Musculoskeletal Disorder in The Worplace, WHO Library Catalogaving in Pulication Data. WHO: Geneva, Switzerland. Mardiman, S., dkk. 1999. Dokomentasi Persiapan Praktek Profesional Fisioterapi. Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan DEPKES RI: Jakarta. Nursalam. 2003. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian. Salemba Medika: Surabaya. Nusdwinuringtyas, N. 2009. SMS Penyebab De Quervain’s Masa Kini, (Online), (http:www.wikimu.co.id), diakses 22 Juli 2009. Priadarsini, T. 2003. Gerakan Tangan Berulang Dorso-Ante-Laterofleksi, Masa Kerja dan Riwayat Pekerjaan terhadap Risiko Tenosinovitis Pergelangan Tangan pada Pekerja Wanita Perusahaan Kaset Video PT. M di Cikarang, (Online), ( h t t p : / / www.qvida.co.id/index.php/news/ detil/119), diakses 12 Februari 2009. Shidarta, P. 1984. Sakit Neuro Muskuloskeletal Cetakan Kedua. PT Dian Rakyat: Jakarta. Sugiono. 2004. Metodologi Penelitian. Salemba Medika: Jakarta. Sulistiono. 2003. DQT. (Online), (http:/ www.etd.eprints.ums.ac.id), diakses 7 Mei 2009.
2.
20
kan pekerja di bagian gerakan berulang bagi yang pernah bekerja di bagian tersebut sehingga dapat meminimalisasikan resiko terjadinya keluhan nyeri ibu jari dan pergelangan tangan. Perusahaan meningkatkan perhatian terhadap kesehatan kerja khususnya mengenai deteksi dini terhadap keluhan muskuloskeletal. Hal ini penting bagi peningkatan produktivitas kerja. Perlu dilakukan penyuluhan atau education kepada para pemetik teh mengenai penyakit DQT agar pemetik teh mengetahui lebih jauh tentang penyakit ini serta pengertian kepada seluruh pemetik teh bahwa pekerjaan mereka sangat beresiko sekali terhadap timbulnya DQT, karena selain merugikan pada pemetik itu sendiri akan merugikan juga pada perusahaan teh tersebut. Para pemetik teh supaya memanfaatkan waktu istirahat sebaik mungkin, seperti melakukan peregangan atau relaksasi sejenak untuk mengurangi ketegangan terhadap otot ibu jari dan pergelangan tangan.
JK K
7.
DAFTAR RUJUKAN Alimul. 2003. Skala Guttman, (Online), (http://enzocahya.blogspot.com), diakses 6 Mei 2009. Budiharjo. 2005. Endurance Otot, (Online), (http://en.wikipedia.org/ wiki/Endurance), diakses 9 Mei 2009. Caillet, R. 1990. “Neck and Arm Pain”. Davis Company: Callifornia. Hardjono, J. 2007. Penelitian Fisioterapi. Fakultas Fisioterapi Universitas Esa Unggul: Jakarta. Idyan. 2007. Nyeri. (Online), (www.lontar.ui.ac.id), diakses 5 Mei 2009. Jansen. 2001. Pekerja Teh. (Online), (http:/ /www. tujuh7.lib.itb.ac.id), diakses 5 Mei 2009.
55
HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA DENGAN KEMANDIRIAN ACTIVITIES OF DAILY LIVING PASIEN POST STROKE Lia Endriyani & Harmilah Program Studi Ilmu Keperawatan Poltekkes Kemenkes Yogyakarta Email:
[email protected]
2.
20
11
SA
Y
Abstract: This research aims to examine the relation between family support and independence in activities of daily living among post stroke patients in PKU Muhammadiyah hospital, Bantul in 2011. This is a nonexperimental research with descriptive correlation method. The research was conducted at 29 March – 29 April 2011 employing cross sectional time approach. There were 27 respondents and chosen with accidental sampling. The data collection technique employed is a questionnaire and the data analysis technique employed is Spearman Rank. The result shows that family support to the post stroke patients is in high rate (81.5%) and independence in activities of daily living among the post stroke patients is in partial dependence (70.4%). Based on data analysis, rs is in 0,100 with p = 0.619 (p > 0.05). For that reason, it can be concluded that there is no relation between family support and independence in activities of daily living among post stroke patients in PKU Muhammadiyah hospital, Bantul. It is suggested to subsequent research to investigate other factors which determine independence in activities of daily living among post stroke patients.
7.
Keywords: family support, activities of daily living, stroke
JK K
Abstrak: Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara dukungan keluarga dengan kemandirian activities of daily living pasien post stroke yang menjalani terapi di fisioterapi RSU PKU Muhammadiyah Bantul tahun 2011. Penelitian ini merupakan penelitian non-eksperimen yang menggunakan metode descriptive correlational. Penelitian dilakukan pada tanggal 29 Maret - 29 April 2011 dengan menggunakan pendekatan waktu cross sectional. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 27 orang diambil dengan menggunakan accidental sampling. Pengambilan data menggunakan kuesioner dan analisis data menggunakan Spearman Rank. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dukungan keluarga yang diterima pasien post stroke dalam kategori tinggi (81,5%), kemandirian activities of daily living pasien post stroke pada kategori ketergantungan sebagian (70,4%). Berdasarkan analisis data, rs sebesar 0,100 dengan p = 0,619 (p > 0,05) sehingga dapat dikatakan tidak ada hubungan antara dukungan keluarga dengan kemandirian activities of daily living pasien post stroke di RSU PKU Muhammadiyah Bantul. Penelitian selanjutnya disarankan dengan menambah faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi kemandirian activities of daily living pasien post stroke. Kata kunci : dukungan keluarga, activities of daily living, stroke
Lia Endriyani & Harmilah, Hubungan Dukungan Keluarga dengan Kemandirian...
11
SA
Y
penderita, meminimalkan kecacatan dan mengurangi ketergantungan pada orang lain dalam beraktivitas. Pasien stroke membutuhkan penanganan yang komprehensif termasuk upaya pemulihan dan rehabilitasi dalam jangka lama bahkan sepanjang sisa hidup pasien (Misbach et al, 2007). Dukungan keluarga dalam rehabilitasi pasien pasca stroke sangatlah besar. Lingkungan keluarga menjadi sangat penting terutama ketika pasien meninggalkan rumah sakit untuk menjalani rawat jalan. Pemulihan pasien akan sangat terbantu jika keluarga memberikan dorongan, memperlihatkan kepercayaan pada kesembuhan pasien dan memungkinkan pasien melakukan aktivitas sehari-hari untuk dapat hidup semandiri mungkin (Feigin, 2006). Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dan mengambil judul “Hubungan dukungan keluarga dengan kemandirian activities of daily living pasien post stroke”, khususnya di RSU PKU Muhammadiyah Bantul.
JK K
7.
2.
20
PENDAHULUAN Stroke merupakan penyebab kematian nomor tiga di negara maju setelah penyakit jantung dan kanker pada kelompok usia lanjut, sedangkan di Indonesia menduduki peringkat pertama Stroke juga penyebab utama kecacatan di dunia (Sutrisno, 2007). Menurut Yayasan Stroke Indonesia (Yastroki) disebutkan bahwa dalam sepuluh tahun terakhir ini, terdapat kecenderungan peningkatan jumlah penderita stroke di Indonesia. Stroke cenderung menyerang generasi muda yang masih produktif. Hal ini akan berdampak terhadap penurunan tingkat produktifitas dan dapat mengakibatkan terganggunya kehidupan sosial ekonomi keluarga (Misbah & Kalim, tt). Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti pada tanggal 29 Maret 2011 di RSU PKU Muhammadiyah Bantul, data yang diperoleh dari Medical Record RSU PKU Muhammdadiyah Bantul, menunjukkan bahwa mulai Januari 2011 hingga 26 Maret 2011 tercatat ada 199 kunjungan ke bagian fisioterapi RSU PKU Muhammadiyah Bantul dengan rata-rata per bulan 66 kunjungan. Banyak penderita stroke yang menjadi cacat sehingga tidak mampu mencari nafkah seperti sedia kala, menjadi tergantung kepada orang lain dan tidak jarang menjadi beban keluarga. Beban ini dapat berupa beban tenaga, beban perasaan, dan beban ekonomi (Lumbantobing, 2004). Dampak bagi ekonomi negara yaitu meningkatnya pengeluaran biaya untuk membantu pengobatan bagi orang-orang stroke yang kurang mampu dalam jangka waktu yang lama, pemerintah pun perlu menyediakan fasilitas kesehatan di rumah sakit untuk melayani penderita stroke, seperti pengadaan unit stroke (Dwijo, 2009). Penderita stroke tidak dapat disembuhkan secara total, namun apabila ditangani dengan baik maka dapat meringankan beban
57
METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah kuantitatif dengan menggunakan desain penelitian deskriptif korelatif, yaitu penelitian yang diarahkan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan hubungan antara dukungan keluarga dengan kemandirian activities of daily diving post stroke di RSU PKU Muhammadiyah Bantul. Penelitian ini menggunakan pendekatan waktu cross sectional, yaitu melakukan pengukuran atau pengamatan pada saat bersamaan/ dalam sekali waktu (Hidayat, 2006). Penelitian ini menggunakan variabel bebas dukungan keluarga dan variabel terikat kemandirian activities of daily diving post stroke. Sementara ada tiga variabel pengganggu yaitu kondisi kesehatan, kondisi ekonomi, kondisi sosial. Dukungan keluarga diperoleh dari pasien penderita stroke
Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 7 No. 2, Desember 2011: 57-65
SA
Y
lah 27 responden dalam waktu 4 minggu. Alat pengumpulan data menggunakan kuesioner. Kuesioner dukungan keluarga terdiri dari 25 item pertanyaan favourable dan unfavourable dengan pilihan jawaban ya dan tidak. Pengukuran uji validitas dan uji reliabilitas kuesioner dilakukan di RS Jogja sebanyak 20 pasien post stroke dan didapatkan 6 item pertanyaan dinyatakan tidak valid. Item tersebut dieliminasi karena nilai r hitung kurang dari r tabel (0,468) dengan angka reliabilitas 0,940. Jumlah aitem dukungan keluarga yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 19 pertanyaan. Kuesioner kemandirian activities of daily living berjumlah 6 item pertanyaan dengan pilihan jawaban mandiri dan bantuan. Analisis data untuk mengetahui hubungan dua variabel menggunakan korelasi Spearman Rank. HASIL DAN PEMBAHASAN RSU PKU Muhammadiyah Bantul salah satu pusat rujukan kasus-kasus neurologi khususnya pasien dengan penyakit stroke. Selain pelayanan di poli syaraf, bangsal rawat inap, pasien khususnya penyakit stroke dapat melakukan terapi di klinik fisioterapi. Klinik fisioterapi RSU PKU Muhammadiyah Bantul melayani beberapa jenis terapi diantaranya adalah terapi untuk pasien post stroke. Jadwal untuk pelayanan khusus pasien stroke dilaksanakan pada hari Selasa dan Jumat mulai pukul 7.30 sampai 14.00 WIB.
JK K
7.
2.
20
dengan mengisi kuesioner. Kuesioner dukungan keluarga mencakup sikap, tindakan dan penerimaan anggota keluarga terhadap pasien yang menderita stroke dengan kecacatan tertentu. Dukungan yang diberikan antara lain dukungan informasional, dukungan emosional, dukungan instrumental dan dukungan penilaian. Skala data berbentuk ordinal dengan kategori tinggi, sedang dan rendah. Kemandirian activities of daily living pada pasien post stroke diartikan bahwa klien post stroke dapat merawat diri sendiri dan dapat melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari (AKS), baik tanpa bantuan sama sekali maupun memerlukan bantuan. AKS seperti makan, minum, mandi, berpakaian, BAB, BAK, dan bergerak atau berjalan. Data diperoleh dengan cara pengisian kuesioner. Skala datanya berupa ordinal, dengan kategori, kemandirian total, kemandirian parsial, ketergantungan total. Populasi dalam penelitian ini adalah semua penderita post stroke yang datang menjalani terapi di klinik fisioterapi RSU PKU Muhammadiyah Bantul. Data klien diambil berdasarkan jumlah pasien yang berkunjung di klinik fisioterapi RSU PKU Muhammadiyah Bantul pada 4 Januari 2011 sampai 26 Maret 2011. Jumlah kunjungan pasien sebanyak 199 kunjungan rata-rata perbulan, 66 kunjungan diantaranya ke fisioterapi. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik accidental sampling sejum-
11
58
Karakteristik Responden Tabel 1.
Karakteristik Responden
Lia Endriyani & Harmilah, Hubungan Dukungan Keluarga dengan Kemandirian...
Y
Kategori Dukungan Keluarga Terhadap Pasien Post Stroke Di RSU PKU Muhammadiyah Bantul Tahun 2011
JK K
7.
2.
20
Tabel 2.
11
Dukungan Keluarga
66-75 tahun (40,7%). Pendidikan pasien termasuk rendah karena sebagian besar tidak sekolah (51,9%) sisanya tamat SD (40,7%) dan SMP (7,4%).
SA
Berdasarkan tabel 1. jumlah responden perempuan (59,3%) sedikit lebih banyak dari responden laki-laki (40,7%). Usia responden paling banyak pada rentang
59
Berdasarkan tabel 2. diketahui dukungan keluarga terhadap pasien post stroke sebagian besar dalam kategori tinggi Tabel 3.
(81,5%) kemudian diikuti kategori sedang (18,5%) dan tidak ada yang mendapat dukungan dalam kategori rendah (0%).
Kategori Sub Dukungan Keluarga Yang Diterima Pasien Post Stroke
60
Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 7 No. 2, Desember 2011: 57-65
Berdasarkan tabel 3 diketahui sub dukungan keluarga yang diterima pasien post stroke terbanyak adalah dukungan informasional (33,3%) kemudian diikuti duku-
ngan instrumental (29,6%) dan dukungan emosional (22,2%). Sementara yang terendah adalah dukungan penilaian (14,8%).
Kemandirian Activities of Daily Living (ADL) Kategori Kemandirian Activities of Daily Living Pasien Post Stroke
20
11
SA
Y
Tabel 4.
7.
2.
Berdasarkan tabel 4 diketahui kemandirian activities of daily living (ADL) pasien post stroke terbanyak dalam kategori ketergantungan sebagian (70,4%) kemudian diikuti kategori mandiri total (29,6%).
JK K
Hubungan Dukungan Keluarga dengan Kemandirian Activities of Daily Living (ADL) Pasien post stroke yang mendapatkan Tabel 5.
dukungan keluarga kategori tinggi dengan kemandirian activities of daily living kategori ketergantungan sebagian sebagian sebanyak 14 orang (51,9%). Pasien post stroke yang mendapat dukungan keluarga sedang dan kemandirian activities of daily living kategori kemandirian total sebanyak 0 orang (0,0%). Hubungan dukungan keluarga dengan kemandirian Activities of Daily Living (ADL) dapat dilihat pada tabel 5.
Tabulasi Silang Dukungan Keluarga Terhadap Kemandirian Activities of Daily Living Pasien Post Stroke
Lia Endriyani & Harmilah, Hubungan Dukungan Keluarga dengan Kemandirian...
Secara garis besar, dukungan keluarga dapat dikategorikan ke dalam dua kategori yaitu kategori tinggi dan kategori sedang. Hasil tabulasi silang menunjukkan bahwa dukungan keluarga yang tinggi maka prosentasi terhadap ketergantungan sebagian juga semakin tinggi yaitu 51,9%. Begitu pula dengan dukungan keluarga yang tinggi
terhadap kemandirian total. Subjek menganggap bahwa dukungan keluarga yang tinggi akan memberikan kontribusi terhadap kemandirian total yaitu sebesar 29,6%. Sementara itu, dukungan keluarga yang sedang hanya memberikan kontribusi terhadap ketergantungan sebagian sebesar 18,5% dan kemandirian total sebesar 0%.
Hasil Uji Spearman Rank Dukungan Keluarga Dengan Kemandirian
hormon estrogen dan progesteron pada wanita pascamenopause meningkatkan risiko terjadi stroke iskemik sebesar 44 %. Teori Greenstein and Wood (2006) menyatakan bahwa pada wanita yang mengalami menopause kadar estrogen menurun. Padahal, estrogen berperan menurunkan kolesterol total, meningkatkan HDL, menurunkan LDL dan menurunkan agregasi trombosit. Menurunnya kadar estrogen akan meningkatkan kadar kolesterol. Kadar kolesterol tinggi dapat menyebabkan penumpukan plak di pembuluh darah. Plak yang tertimbun akan menyebabkan pengerasan pembuluh darah atau aterosklerosis. Pada stroke iskemik, aliran darah ke otak terhenti karena aterosklerosis atau bekuan darah yang telah menyumbat suatu pembuluh darah. Akan tetapi, pemberian terapi estrogen pada wanita pascamenopause dalam kurun waktu lama dan tanpa pengawasan ketat dapat merangsang peningkatan trigliserida. Berdasarkan hasil penelitian terdapat keterkaitan metabolisme antara trigliserida dengan kolesterol HDL (baik). Apabila trigliserida tinggi maka HDL
JK K
7.
2.
20
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa p value (p = 0,619) lebih besar dari 0,05 sehingga dapat dikatakan tidak ada hubungan yang signifikan antara dukungan keluarga dengan kemandirian activities of daily living pasien post stroke. Sebagian besar responden pada penelitian ini berjenis kelamin perempuan sebanyak 16 orang (59,3%). Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Meiwanto (2003) bahwa stroke lebih banyak mengenai pria dari pada wanita, risiko terkena stroke pada pria lebih tinggi dari pada wanita sampai usia 70 tahun (Meiwanto, 2003). Hasil penelitian ini didukung oleh pernyataan bahwa kematian pada stroke lebih banyak dijumpai pada wanita, karena umumnya wanita terserang stroke pada usia tua (Wahyu, 2010). Wahyu (2010) menambahkan bahwa hal tersebut berkaitan dengan proses penuaan (degeneratif) atau karena pengaruh hormon pascamenopause. Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa terdapat keterkaitan penggunaan hormon pascamenopause terhadap risiko stroke. Hal ini dikarenakan pemakaian
11
SA
Y
Tabel 6.
61
Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 7 No. 2, Desember 2011: 57-65
SA
Y
berkaitan dengan motivasi, penghargaan dan pujian bagi pasien yang secara bertahap dapat melakukan aktivitas secara mandiri (Caplan cit Nurkhayati, 2005). Berdasarkan tabel 4 menunjukkan bahwa kemandirian activities of daily living pasien post stroke terbanyak dalam kategori ketergantungan sebagian (70,4%) kemudian diikuti kategori mandiri total (29,63%). Hal ini sejalan dengan teori Feigin (2006) bahwa pada keadaan setelah stroke terjadi perubahan-perubahan yang menghambat aktivitas pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Hal yang serupa juga disampaikan oleh Mulyatsih dan Ahmad (2008) bahwa stroke bisa menyebabkan kelemahan dan kelumpuhan 90% anggota gerak. Sehingga dalam kehidupan seharihari pasien stroke tergantung dengan anggota keluarganya. Hipotesis awal pada penelitian ini menyatakan bawa ada hubungan antara dukungan keluarga dengan kemandirian activities of daily living pasien post stroke di di RSU PKU Muhammadiyah Bantul. Berdasarkan tabel 4.6 hasil analisis pada penelitian ini menunjukkan hubungan kedua variabel tidak signifikan (p=0,619). Kesimpulannya bahwa tidak ada hubungan antara dukungan keluarga dengan kemandirian activities of daily living pasien post stroke di RSU PKU Muhammadiyah Bantul. Alasan yang memungkinkan tidak adanya hubungan antara kedua variabel seperti dalam karakteristik responden berdasarkan usia bahwa responden terbanyak adalah dalam rentang umur usia 66-75 tahun (40,7%). Dalam rentang umur tersebut, dikatakan telah memasuki usia lanjut. Secara umum lansia mengalami perubahan pada berbagai sistem fisiologis tubuh. Perubahanperubahan tersebut pada umumnya mengarah pada kemunduruan kesehatan fisik dan psikis yang akhirnya akan berpengaruh juga pada aktivitas ekonomi dan sosial
JK K
7.
2.
20
cenderung turun. Hal ini juga dapat memicu terjadinya stroke iskemik (Medicastore,tt). Karakteristik usia responden yang menjalani terapi di klinik fisioterapi RSU PKU Muhammadiyah Bantul didominasi usia 66-75 tahun (40,7%). Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Feigin (2006), bahwa risiko terkena stroke meningkat sejak umur 45 tahun. Dua per tiga dari kasus stroke diidap mereka yang berusia lebih dari 65 tahun. Tingkat pendidikan responden termasuk rendah karena sebagian besar tidak sekolah (51,9%). Hasil ini didukung oleh teori Notoatmodjo (2003) bahwa pengetahuan dan pendidikan merupakan faktor predisposisi yang dapat mempengaruhi status kesehatan manusia. Tingkat pengetahuan yang rendah mengenai penyakit dan bagaimana rehabilitasi pasca stroke akan menghambat proses pemulihan. Pendidikan merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan terhambatnya proses pemulihan. Tabel 2 menunjukkan bahwa dukungan keluarga terhadap pasien post stroke terbanyak dalam kategori tinggi (81,5%) kemudian diikuti kategori sedang (18,5%) dan tidak ada yang mendapat dukungan dalam kategori rendah (0%). Tingkat dukungan keluarga yang diterima oleh pasien post stroke yang menjalani terapi di klinik fisioterapi RSU PKU Muhammadiyah Bantul termasuk dalam kategori tinggi. Sub dukungan keluarga terdiri dari dukungan informasional, dukungan instrumental, dukungan penilaian dan dukungan emosional. Bentuk dukungan yang diterima oleh responden paling banyak adalah dukungan informasional (90,7%) dan yang paling sedikit adalah dukungan penilaian (86,4%). Dukungan informasional paling banyak didapat karena saat ini sangat mudah mengakses informasi mengenai suatu penyakit mulai dari dokter, perawat, terapis, media cetak dan media elektronik. Sementara dukungan penilaian
11
62
Lia Endriyani & Harmilah, Hubungan Dukungan Keluarga dengan Kemandirian...
11
SA
Y
perhatian yang secara psikis sangat dibutuhkan oleh pasien. Karena salah satu masalah yang dialami saat rehabilitasi stroke adalah masalah psikis seperti rasa malu, rendah diri dan tidak dapat menerima kenyataan sehingga peran keluarga dan lingkungan sekitar dalam mengatasi kondisi psikis ini sangat besar (Ahira, 2009). Usaha untuk meningkatkan kemandirian activities of daily living pasien post stroke dan pemulihan tidak cukup hanya dengan dukungan dan pengertian dari seluruh anggota keluarga tetapi juga tergantung dari parah atau tidaknya serangan stroke, kondisi tubuh penderita, ketaatan penderita dalam menjalani proses penyembuhan, ketekunan dan semangat penderita untuk sembuh. Sering kali ditemui bahwa penderita stroke dapat pulih kembali, tetapi menderita depresi hebat karena keluarga mereka tidak mau mengerti dan merasa sangat terganggu dengan penyakit yang dideritanya (Syafir, 2010). Harapan kesembuhan yang optimal akan meningkatkan motivasi dan usahanya untuk mencapai fungsi fisik, emosional dan sosial yang maksimum (Vitahealth, 2003). Penelitian yang dilakukan Raeni, Christantie dan Haryani (2007) menunjukkan bahwa terdapat 7 orang pasien stroke Haemoragik dengan tingkat ketergantungan Activity of Daily Living (ADL) yang membutuhkan bantuan maksimal, sementara itu, pada pasien stroke non hemoragik sebanyak 23 orang memerlukan bantuan minimal dalam melaksanakan activities of daily living. Sementara pada penelitian ini kemandirian Activities of Daily Living (ADL) pasien post stroke terbanyak dalam kategori ketergantungan sebagian dengan tidak dibedakan jenis stroke. Hasil penelitian ini berbeda dengan Agustini (2010) yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara dukungan keluarga dengan tingkat stress klien pasca stroke di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta.
JK K
7.
2.
20
mereka. Sehingga secara umum akan berpengaruh pada aktivitas kehidupan sehari-hari (Setiawan, 2009). Perubahan ini juga berpengaruh pada kemampuan pasien dalam menerima informasi atau pengetahuan baru. Hal ini didukung oleh data yang menunjukkan bahwa sebagian besar responden tidak mengenyam bangku pendidikan formal sehingga ada kemungkinan meskipun keluarga telah memberikan banyak informasi mengenai stroke yang dialami dan hal apa saja yang dapat meningkatkan kemandirian dalam beraktivitas, belum tentu pasien dapat mencerna informasi yang diberikan dengan baik meskipun tidak ada kerusakan kognitif. Tingkat pendidikan juga mempengaruhi faktor sosial dan ekonomi. Faktor ini yang kemudian mempengaruhi tingkat kejadian stroke dan sekaligus peluang kesembuhan. Seseorang yang lemah secara ekonomi lebih jarang melakukan upaya pencegahan, deteksi dini, serta penanganan yang benar pada waktu yang tepat. Sehingga tingkat pendidikan juga mempengaruhi faktor kepatuhan pasien terhadap saran dari dokter. Makin patuh mengikuti program terapi makin besar peluang untuk pulih (go4healthylife, 2011). Hal ini sejalan dengan pernyataan Cohen and Syme cit Nurkhayati (2005) bahwa dukungan keluarga dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pemberi dukungan, penerima dukungan, permasalahan yang dihadapi, waktu pemberian dukungan dan lamanya pemberian dukungan. Salah satu faktor yaitu penerima dukungan atau pasien itu sendiri menerima berbagai macam bentuk dukungan. Dalam penelitian ini dukungan informasional diterima paling banyak (90.7%) seperti dikatakan diatas bahwa dewasa ini sangat mudah memperoleh informasi tentang penyakit. Akan tetapi dukungan penilaian yang diterima dalam penelitian ini termasuk rendah padahal dukungan penilaian berisi penghargaan,
63
Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 7 No. 2, Desember 2011: 57-65
JK K
7.
2.
Y
20
Saran Hasil penelitian ini diharapkan perawat memberi perhatian lebih tentang faktorfaktor yang dapat berpengaruh terhadap kemandirian activities of daily living pasien post stroke. Di samping itu perlu dilakukan edukasi pada keluarga tentang penyakit stroke dan perannya memandirikan pasien post stroke dalam melaksanakan aktivitas pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat umumnya dan keluarga pasien bahwa terdapat banyak faktor seperti bentuk nyata dari dukungan yang diberikan, kondisi kesehatan, ekonomi dan kondisi kejiwaan yang dapat mempengaruhi pelaksanaan activities of daily living pasien post stroke. Bagi peneliti selanjutnya, diharapkan dapat mengembangkan penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan kemandirian activities of daily living pasien post stroke dengan faktor-faktor lain yang belum pernah diteliti seperti kondisi ekonomi, kondisi kesehatan yang mungkin dapat mempengaruhi pelaksananan activities of daily living, juga lebih dalam mengkaji karakteristik dari responden seperti lama menderita stroke, jenis stroke dan tingkat kecacatan.
DAFTAR RUJUKAN Agustini, I. D. 2010. Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Tingkat Stress Klien Pasca Stroke di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Skripsi tidak dipublikasikan. Yogyakarta: PSIK STIKes ‘Aisyiyah Yogyakarta. Ahira. 2009. Penyakit Stroke, (Online), (http://www.anneahira.com), diakses 18 Juli 2011. Anonim. 2010. Rehabilitasi Pasca StrokePengobatan Stroke dalam http:// www.wartamedika.com, diakses 29 Oktober 2010. Dwidjo. 2009. Masalah Kesehatan: Stroke dan Upaya Pencegahannya, (Online), (http://portalsehat.com/ 2009/07/masalah-kesehatanstroke-dan-upaya-pencegahannya/ ), diakses tanggal 29 Oktober 2010. Feigin, V. 2006. Stroke. Bhuana Ilmu Populer: Jakarta. Go4healthylife. (2011). Tingkat Pendidikan Pengaruhi Peluang Kesembuhan (Online), (http:// www.go4healthylife.com), diakses 18 Juli 2011. Lumbantobing, S. M. 2004. Stroke, Bencana Peredaran Darah Otak. Balai Penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta. Meiwanto, C. 2003. Stroke; Masalah & Pencegahannya\, (Online), (http:/ /www.detikhealth.com), diakses 10 Juli 2011 Misbach, J., Achmad, A., Soertidewi, L., Jannis, J., Harris, S., Lumempauw, S., Rasyid, A. & Mulyatsih, E. 2007. Unit Stroke, Manajemen Stroke Secara Komprehensif. I. Departemen Neurologi FKU: Jakarta.
SA
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Dukungan keluarga yang diterima oleh responden termasuk dalam kriteria tinggi (81,5%). Kemandirian activities of daily living responden yaitu pada kategori ketergantungan sebagian (70,4%). Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh koefisien korelasi Spearman Rank antara dukungan keluarga dan kemandirian activities of daily living pasien post stroke didapatkan nilai signifikan (p) sebesar 0,619. Hal ini dapat dikatakan bahwa tidak ada hubungan antara dukungan keluarga terhadap kemandirian activities of daily living pasien post stroke di RSU PKU Muhammadiyah Bantul.
11
64
Lia Endriyani & Harmilah, Hubungan Dukungan Keluarga dengan Kemandirian...
11
SA
Y
Raeni, N., Christantie, E. & Haryani. 2008. Gambaran Tingkat Kertergantungan Activity Daily Living pada pasien Stroke Haemoragik dan Non Haemoragik berdasarkan Indeks Barthel. Jurnal Ilmu Keperawatan, 3 (1): 28-32. Setiawan. 2009. Kemandirian Pada Lansia, (Online), (http:stikeskabmalang.wordpress.com), diakses tanggal 10 Juli 2011. Sutrisno, A. 2007. Stroke?? You Must Know Before You Get It!. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta. Syafir. 2010. Mengenal Penyakit Stroke, (Online), (http: www.syafir.com/ mengenal-penyakit-stroke), diakses 19 Juli 2011. Vitahealth. 2003. Stroke. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta. Wahyu, G, G. 2010. Stroke Hanya Mengenai orang Tua?. PT Mizan: Jakarta.
JK K
7.
2.
20
Misbach, J., & Kalim, H. Stroke Pembunuh No 3 Di Indonesia, (Online), (http://medicastore.com/stroke/ Stroke_Pembunuh_No_3 di_ Indonesia), diakses 29 Oktober 2010. Mulyatsih, E. & Ahmad, A. 2008. Stroke : Petunjuk Perawatan Pasien Pasca Stroke di Rumah. Antara Pustaka Utama: Jakarta. Notoatmodjo, S. 2003. Pendidikan & Perilaku Kesehatan. Rineka Cipta: Jakarta. Nurkhayati. 2005. Gambaran Dukungan Sosial Keluarga Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik Yang Menjalani Terapi Hemodialisa rutin di Instalasi Dialisis RS Dr Sardjito Yogyakarta. Skripsi tidak dipublikasikan. Yogyakarta: FK Universitas Gadjah Mada.
65
PERBANDINGAN AKURASI TAKSIRAN USIA KEHAMILAN DENGAN METODE LEOPOLD DAN MC. DONALD Juni Astuti, Dewi Rokhanawati BPS Juni Baerozie, STIKES ‘Aisyiyah Yogyakarta E-mail:
[email protected]
20
11
SA
Y
Abstract: This research is aimed at discovering the comparison between the Leopold and Mc.Donald methods in Puskesmas Sewon II Bantul in 2011. The research method is observation with cross-sectional time approach. The technique of data collection is conducted by measuring fundal height of uterine observation result. Data analysis is conducted by t-test and Anova test. The test result of gestational age prediction by using Leopold and Firs Day of Last Menstrual Period (First Day of LMP) method is p 0,968 (p > 0,05), it means that there is no different in the average result of both measurements, meanwhile, the test result of Mc.Donald and First Day of LMP methods is p 0,000 (p < 0,05), it means that the average result of both measurements are different. The result supports the conclusion that Leopold method is more accurate in predicting gestational age. Suggestion: the measurement of fundal height of uterine by Leopold method to predict the gestational age is more exact and accurate, on the other hand, it is important to be more careful in using Mc.Donald method to minimize the unexpected result.
2.
Keywords: Leopold and Mc.Donald methods, the accuracy of gestational age
JK K
7.
Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Perbandingan Akurasi taksiran usia kehamilan dengan metode Leopold dan Mc.Donald di Puskesmas Sewon II Bantul tahun 2011. Jenis penelitian adalah observasional dengan pendekatan waktu crosssectional. Tehnik pengumpulan data dengan observasi hasil pengukuran TFU dan observasi dokumentasi. Analisa data menggunakan uji t-test dan uji Anova. Hasil penelitian taksiran usia kehamilan menurut metode Leopold dan HPHT diperoleh nilai p 0,968 (p > 0,05) artinya tidak ada beda rata-rata hasil pengukuran keduanya, sedangkan metode Mc.Donald dengan metode HPHT diperoleh nilai p 0,000 (p < 0,05) artinya ada beda rata-data hasil pengukuran keduanya. Hasil ini mendukung ke kesimpulan bahwa metode Leopold lebih akurat untuk menentukan usia kehamilan. Saran: Pengukuran TFU metode Leopold dalam menaksir usia kehamilan lebih teliti/tepat, penggunaan metode Mc.Donald lebih hati-hati dan teliti untuk meminimalisasi perbedaan hasil pengukuran TFU. Kata kunci : Metode Leopold dan Mc.Donald, Akurasi Usia Kehamilan.
Juni Astuti & Dewi Rokhanawati, Perbandingan Akurasi Taksiran Usia Kehamilan...
11
SA
Y
antenatal yang lengkap (Johnson & Taylor, 2002). Usia kehamilan dapat dihitung dari Hari Pertama Haid Terakhir (HPHT) pada kasus: siklus haid yang teratur, menstruasi yang terjadi bersifat spontan (bukan perdarahan lucut), pasien bukan akseptor KB hormonal, pasien ingat pasti hari pertama haid terakhirnya. Seringkali pasien datang pada kehamilan yang sudah lanjut dan sudah melupakan riwayat haidnya. Pemantauan kehamilan yang teliti dan reaksi terhadap perawatan adalah vital. Pada setiap kunjungan ibu hamil dilakukan pemeriksaan menyeluruh. Apabila hasil wawancara atau temuan fisik mencurigakan, dilakukan pemeriksaan lebih mendalam. Salah satu pemantauan kehamilan yang dilakukan adalah tinggi fundus uteri. (Cunningham, 2002). Fenomena yang terjadi selama ini, pengukuran TFU dengan Mc. Donald masih di asumsikan oleh beberapa bidan yaitu untuk mengukur Taksiran Berat Janin (TBJ), yang benar rumus menghitung TBJ menggunakan metode Jonshon Tausak. Pengukuran TFU untuk menaksir usia kehamilan yang sering dilakukan oleh bidan dengan dua cara yaitu metode Leopold dan Mc. Donald (Dinkes Bantul, 2010). Peneliti mengambil obyek penelitian di Puskesmas Sewon II Bantul berdasarkan berbagai hal antara lain (1) Selama ini bidan dalam mengukur TFU menggunakan metode Leopold dan Mc. Donald untuk menaksir usia kehamilan berdasarkan HPHT mendapatkan hasil yang berbeda. Tujuan Penelitian adalah diketahuinya perbedaan akurasi taksiran usia kehamilan antara Metode Leopold dan Mc. Donald di Puskesmas Sewon II Bantul Yogyakarta tahun 2011.
JK K
7.
2.
20
PENDAHULUAN Pengukuran Tinggi Fundus Uteri (TFU) di atas simfisis pubis dipakai suatu indikator kemajuan pertumbuhan janin, sehingga juga dapat memperkirakan usia kehamilan secara kasar. Pengukuran TFU dapat membantu mengidentifikasi faktor – faktor resiko tinggi. Tinggi fundus uteri yang stabil atau menurun dapat mengindikasikan retardasi pertumbuhan intra uterin, peningkatan yang berlebihan dapat menunjukkan adanya kehamilan kembar atau hidramnion (Indriyas, Y.Y.W, 2010). Penaksiran usia kehamilan dan berat janin dalam suatu persalinan masih dipandang perlu oleh banyak ahli kebidanan. Meskipun demikian, belum ada suatu metode yang berhasil membuat taksiran usia kehamilan dan taksiran berat janin dengan tepat. Ketepatan taksiran usia kehamilan dan taksiran berat janin baik melalui pengukuran TFU ataupun cara lain akan mempengaruhi penatalaksanaan persalinan (Manuaba, 2003). Bila tidak sesuai / tepat, difikirkan ke arah keadaan patologi yang akan berdampak pada morbiditas ibu dan janin (Prawirodihardjo, 2008). Kompetensi ketrampilan pemeriksaan abdomen sangat penting bagi bidan dan terdapat berbagai peluang besar untuk mempraktikan dan mengembangkan ketrampilan, menyajikan tehnik dan informasi tentang pemeriksaan abdomen. Ibu hamil dapat memperoleh informasi dan keyakinan, juga menghargai sentuhan theraupetik dan peluang untuk menerima asuhan yang holistik dan bersifat individual. Pemeriksaan abdomen dapat meyakinkan bahwa kehamilannya berkembang dengan baik. Meskipun merupakan pemeriksaan yang sederhana, setiap komponen dalam pemeriksaan perlu dilakukan dan dapat memberikan berbagai informasi yang bermakna. Pemeriksaan tersebut tidak pernah dilakukan secara terpisah, selalu menjadi bagian dari pemeriksaan
67
METODE PENELITIAN Desain yang digunakan adalah observasional dengan pendekatan waktu cross-sectional. Dalam penelitian cross-
Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 7 No. 2, Desember 2011: 66-72
SA
Y
litian ini: a. Umur Ibu Sebagian masih ditemukan ibu dengan umur resiko tinggi karena tua sebanyak 10 orang (10,10%), dan 6 orang (6,06%) dengan umur resiko tinggi karena terlalu muda. b. Berat Badan Kriteria BB yang tergolong berat sebanyak 28 orang (20,28 %) dan BB ringan sebanyak 20 orang (20,20%). c. Tinggi Badan Kriteria TB ibu yang tergolong tinggi sebanyak 36 orang (36,36%) dan rendah sebanyak 9 orang (9,09 %). d. Gravida Primigravida sebanyak 54 orang (54,55%) dan Multigravida sebanyak 10 orang (10,10%). e. Paritas Sebagian besar ibu primipara 93orang (93,94 %). f. Abortus Jumlah abortus adalah jumlah anak yang mati karena terjadi abortus dalam kehamilannya sebanyak 7 orang (7,07 %).
2.
20
sectional peneliti melakukan observasi atau pengukuran variabel pada satu saat tertentu (Sastroasmoro dan Ismael, 2008). Metode pengumpulan data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari observasi / pengukuran langsung oleh peneliti dan satu orang bidan yang ditunjuk. Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari catatan Kartu Ibu meliputi karakteristik dari responden yaitu : usia ibu, berat badan, tinggi badan, status kehamilan yaitu Gravida, Paritas, Abortus. Analisis data terdiri dari analisis univariat, bivariat dan multivariate. Analisis bivariat dalam penelitian ini dilakukan dengan melakukan perbedaan rata-rata antara pengukuran TFU menggunakan Leopold dan menggunakan metode Mc.Donald dengan usia kehamilan menggunakan uji komparatif sampel yaitu uji statistik parametrik dengan t-test. Analisis multivariat dengan menggunakan analisis varians ANOVA. (Riwidikdo H, 2010)
11
68
7.
HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Analisis Univariat Karakteristik responden pada peneAnalisis Bivariat
JK K
2.
Tabel 1.
Hasil Uji Beda Rata-Rata Usia Kehamilan Yang Diukur Antara Metode Leopold Dengan HPHT Menggunakan Uji Independen Sample t
Dari tabel 1 diketahui p value = 0,800 dimana p value > 0,05, artinya tidak ada beda rata-rata hasil pengukuran usia kehamilan diantara kedua metode (metode HPHT dengan metode Leopold). Dengan kata lain rata-rata hasil pengukuran usia kehamilan dengan kedua metode tersebut sama hasilnya. Hal ini dapat dilihat dari
besarnya rata-rata pengukuran usia kehamilan dengan metode HPHT sebesar 32,020 dan metode pengukuran Leopold sebesar 32,222. Dari nilai tersebut hasilnya relatif sama (tidak ada beda). Dengan demikian akurasi metode HPHT dengan Leopold relatif sama.
Juni Astuti & Dewi Rokhanawati, Perbandingan Akurasi Taksiran Usia Kehamilan...
Hasil Uji Beda Rata-Rata Umur Kehamilan Yang Diukur Antara Metode Mc.Donald Dengan HPHT Menggunakan Uji Independent Sample t
Hasil Uji Beda Rata-Rata Umur Kehamilan Yang Diukur Antara Metode Leopold Dengan Mc. Donald Menggunakan Uji Independen Sample t
20
11
Tabel 3.
HPHT sebesar 32,020 dan metode pengukuran Mc.Donald sebesar 28.323. Dari nilai tersebut hasilnya terdapat perbedaan yang cukup signifikan dimana pengukuran dengan metode Mc.Donald memberikan hasil yang relatif kurang dibandingkan dengan metode HPHT. Dengan demikian akurasi metode HPHT dengan Mc.Donald tidak sama.
Y
Dari tabel 2. diketahui p value = 0,000 dimana p value < 0,05, artinya ada beda rata-rata hasil pengukuran usia kehamilan diantara kedua metode (yaitu metode HPHT dengan metode Mc.Donald). Dengan kata lain rata-rata hasil pengukuran usia kehamilan dengan kedua metode tersebut berbeda. Hal ini dapat dilihat dari besarnya rata-rata pengukuran usia kehamilan dengan metode
SA
Tabel 2.
69
JK K
7.
2.
Dari Tabel 3. diketahui p value = 0,000 dimana p value < 0,05, artinya ada beda rata-rata hasil pengukuran umur kehamilan diantara kedua metode (metode Leopold dengan metode Mc.Donald). Dengan kata lain rata-rata hasil pengukuran usia kehamilan dengan kedua metode tersebut berbeda. Hal ini dapat dilihat dari besarnya rata-rata pengukuran usia kehamilan dengan metode Tabel 4.
Leopold sebesar 32,222 dan metode pengukuran Mc.Donald sebesar 28.323. Dari nilai tersebut hasilnya terdapat perbedaan yang cukup signifikan dimana pengukuran dengan metode Mc.Donald memberikan hasil yang relatif kurang dibandingkan dengan metode Leopold. Dengan demikian akurasi metode Leopold dengan Mc.Donald tidak sama.
Uji Beda Rata-Rata Antara Metode Leopold, Mc.Donald dan HPHT Dalam Menentukan Usia Kehamilan
Dari tabel 4. dapat diketahui bahwa rata-rata perbedaan pengukuran usia kehamilan dengan metode Leopold dan HPHT
sebesar 0,202 dengan nilai p value 0,968, dimana p value > 0,05, artinya tidak ada beda rata-rata hasil pengukuran usia
Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 7 No. 2, Desember 2011: 66-72
SA
Y
metode HPHT. Metode Leopold memberikan hasil yang lebih akurat untuk pengukuran usia kehamilan, hal ini dikarenakan metode Leopold menggunakan patokan yang konsisten yaitu simfisis pubis, umbilicus, dan proccessus xyphoideus (Johnson & Taylor, 2002). Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Andersen, dkk (1981) menyatakan bahwa tinggi fundus uteri tepat di umbilikus usia kurang lebih minggu, menunjukkan hasil yang akurat setelah metode HPHT. Metode Mc.Donald kurang akurat untuk pengukuran usia kehamilan dikarenakan salah satu faktor yang mempengaruhi adalah ketidaksesuaian rumus Mc.Donald untuk diterapkan pada ukuran anatomis tubuh wanita Indonesia. Rumus tersebut memberikan hasil usia kehamilan cenderung lebih muda/kecil dari penghitungan usia kehamilan berdasarkan HPHT. Metode Leopold lebih efektif dari metode Mc. Donald untuk dilakukan dengan prasyarat kandung kemih harus dikosongkan sebelum pengukuran dilakukan, karena adanya isi (urine) dalam kandung kemih akan berdampak pada hasil pengukuran, dimana kandung kemih akan mengakibatkan pendesakan pada tingginya fundus. Posisi ibu saat diperiksa juga menentukan hasil pengukuran, yaitu apabila ibu dalam posisi terlentang pada saat pemeriksaan dapat memberikan hasil pengukuran yang lebih tinggi dari sebenarnya sehingga hal tersebut dapat menyebabkan pembacaan dan perkiran yang salah. Pengukuran sebaiknya dilakukan dalam posisi terlentang, kepala/badan diangkat dan lutut fleksi. Pada karakteristik responden didapatkan BB kategori berat / gemuk (65,6-81kg) sebanyak 28,28%, hal ini dapat berpengaruh pada hasil pengukuran menjadi lebih tinggi dari yang sebenarnya karena adanya penebalan lemak pada dinding perut. Tinggi badan dengan kategori rendah (145,1-150
JK K
7.
2.
20
kehamilan antara yang menggunakan metode Leopold dan metode HPHT. Pengukuran metode Leopold dan HPHT memberikan hasil yang sama diantara keduanya. Namun demikian perbedaan pengukuran antara Leopold dan HPHT tetap terjadi, dengan nilai perbedaan sebesar 0,202, nilai ini menunjukkan bahwa hasil pengukuran dengan metode Leopold memberikan hasil yang relatif lebih besar dibandingkan dengan metode HPHT. Rata-rata hasil pengukuran dengan metode Mc.Donald dengan metode HPHT diperoleh hasil p value 0,000, artinya ada beda rata-rata hasil pengkuran keduanya. Hasil perbedaan pengukuran dapat dilihat pada nilai different keduanya yang besarnya –3,696 hasil negatif menunjukkan bahwa metode Mc.Donald memberikan hasil pengukuran yang lebih kecil di bandingkan dengan metode HPHT. Rata-rata hasil pengukuran dengan metode Mc.Donald dengan metode Leopold diperoleh hasil p value 0,000, artinya Ada beda rata-data hasil pengukuran keduanya. Hasil perbedaan pengukuran dapat dilihat pada nilai different keduanya yang besarnya – 3,898 hasil negatif menunjukkan bahwa metode Mc.Donald memberikan hasil pengukuran yang lebih kecil di bandingkan dengan metode Leopold. Dari pengujian tersebut dapat diketahui bahwa metode Leopold memberikan hasil yang relatif sama dengan metode HPHT sedangkan metode Mc.Donald memberikan hasil yang lebih kecil dari metode Leopold dan metode HPHT. Metode Leopold memberikan hasil yang lebih akurat dibandingkan dengan metode Mc.Donald dalam memberikan hasil pengukuran usia kehamilan. Metode Pengukuran usia kehamilan yang dijadikan patokan adalah metode HPHT, hasil Uji t test dan Uji ANOVA menunjukkan hasil bahwa metode Leopold relatif sama dengan
11
70
Juni Astuti & Dewi Rokhanawati, Perbandingan Akurasi Taksiran Usia Kehamilan...
Y
terhadap keakuratan pemeriksaan TFU (Prawirodihardjo, 2008). Ketepatan ini diperoleh melalui pengalaman yang berulangkali bagi pemeriksa untuk melakukan pemeriksaan TFU. Patokan utama dalam penentuan usia kehamilan adalah dengan HPHT, dimana dipastikan tidak ada keraguan dalam menentukan hari pertama haid terakhir (HPHT). Apabila ditemukan adanya keraguan dalam hari pertama haid terakhir, maka untuk menentukan usia kehamilan dapat dipertimbangkan dengan USG.
11
SA
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Akurasi taksiran usia kehamilan dengan metode Leopold dan metode HPHT diperoleh p value 0,800 (p > 0,05), artinya metode Leopold dan metode HPHT memberikan nilai yang sama dalam menaksir usia kehamilan. Dengan demikian metode Leopold lebih akurat untuk menentukan usia kehamilan. Akurasi taksiran usia kehamilan dengan metode Mc.Donald dan metode HPHT diperoleh p value 0,000 (p < 0,05), artinya metode Mc.Donald dan metode HPHT memberikan nilai yang berbeda dalam menaksir usia kehamilan. Dengan demikian metode Mc.Donald kurang akurat untuk menentukan usia kehamilan. Akurasi taksiran usia kehamilan dengan metode Leopold dan metode Mc.Donald diperoleh p value 0,000 (p < 0,05), artinya metode Leopold dan metode Mc.Donald memberikan nilai yang berbeda dalam menaksir usia kehamilan. Hasil ini mendukung ke kesimpulan bahwa metode Mc.Donald kurang akurat untuk menentukan usia kehamilan.
JK K
7.
2.
20
cm) sebanyak 9,09%, semakin rendah/ pendek ukuran badan maka semakin sempit/ pendek jarak antara simfisis pubis, umbilicus dan processus xyphoideus yang akan berpengaruh pada hasil pengukuran TFU dengan metode Leopold cenderung lebih besar dibanding dengan ukuran yang sebenarnya (Johnson & Taylor, 2006). Pada multigravida sebanyak 10,10%, kehamilan ketiga atau lebih terjadi kekendoran otot rahim dan perut, memungkinkan janin menempati ruangan yang lebih luas dapat menekan kearah samping kiri dan kanan perut ibu, sehingga terkesan melebar. Penempatan posisi janin seperti ini akan menghasilkan pengukuran TFU cenderung lebih kecil dari ukuran yang sebenarnya. Kesalahan dalam pengukuran TFU banyak terjadi dikarenakan wanita bervariasi pada jarak simfisis pubis ke proccessus xyphoideusnya, lebar jari pemeriksa bervariasi antara yang gemuk dan yang kurus dari pemeriksa (Johnson & Taylor, 2006). Kesalahan-kesalahan ini dapat dikoreksi atau diperbaiki dengan cara melakukan pemeriksaan yang konsisten. Konsisten dalam pemeriksaan dapat dilakukan setiap bidan (pemeriksa) bila pemeriksa melakukan pemeriksaan setiap kali sehingga dapat memberikan pengalaman dalam pemeriksaan yang akan memberikan keakuratan karena melakukan teknik validasi pengukurannya terhadap pasiennya. Teknik validasi tersebut mengindikaskan tingkat sensitivitas yang dapat diterima. Kondisi ini menyarankan pemeriksa untuk melakukan pengukuran TFU kepada setiap kunjungan ANC. Kehamilan antara 20 – 32 minggu akan memberikan korelasi yang baik antara usia kehamilan janin dalam minggu dan tingginya fundus uteri dalam centimeter (cm) apabila diukur sebagai jarak diatas dinding abdomen dari tepi atas simfisis pubik sampai puncak fundus. Palpasi yang tepat berperan penting
71
Saran Bidan pada saat melakukan ANC tetap menggunakan metode Leopold karena hasil pengukuran ini lebih akurat dan
Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 7 No. 2, Desember 2011: 66-72
SA
Y
DAFTAR RUJUKAN Dinkes Bantul. (2010). Laporan Komprehensif KIA. Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul: Bantul. Indriyas, Y. Y. W. (2010). Pengukuran Tinggi Fundus Uteri. (Online), (http://www.akbidypsdmi.net), diakses 1 Februari 2011. Manuaba, I. B. G. 2001. Panduan Diskusi Obstetri dan Ginekologi untuk Mahasiswa Kedokteran. EGC: Jakarta. Prawirohardjo, S. 2008. Ilmu Kebidanan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo: Jakarta. Johnson, R., Taylor, W., Kurnianingsih, S., & Monika, E. 2002. Skills for Midwifery Practice. NHS, Trust: London. Johnson, R., & Taylor, W. 2006. Skills for Midwifery Practice Second Edition. NHS, Trust: London. Riwidikdo, H. 2010. Statistik untuk Penelitian Kesehatan dengan Aplikasi Program R dan SPSS. Pustaka Rihama: Yogyakarta. Sastroasmoro, S., & Ismael. 2008. Dasardasar Metodologi Penelitian Klinis. CV Sagung Seto: Jakarta.
JK K
7.
2.
20
mendekati dengan hasil taksiran usia kehamilan berdasarkan HPHT. Penggunaan metode Mc.Donald harus lebih hati-hati dan teliti untuk meminimalisasi perbedaan hasil pengukuran TFU. Keakuratan metode Leopold akan lebih reliabel / konsisten digunakan apabila didukung dengan pengalaman yang baik oleh pemeriksa, posisi ibu yang relatif sama, dan cara/metode yang relatif sama dalam pemeriksaan. Bagi Institusi Pendidikan, meningkatkan upaya-upaya pengkajian dan pembelajaran terhadap pengukuran TFU khususnya yang keterkaitan dengan usia kehamilan. Penelitian ini diharapkan dapat ditindak lanjuti oleh penelitian berikutnya yang lebih mendalam dengan desain dan jenis penelitian yang berbeda, yaitu satu responden dilakukan pengukuran TFU dengan metode Leopold dan Mc.Donald oleh 2 orang pemeriksa, 1 pemeriksa dengan metode Leopold dan 1 pemeriksa yang lain dengan metode Mc.Donald untuk mendapatkan hasil yang lebih signifikan dan bermakna.
11
72
PENGARUH PROMOSI KESEHATAN TENTANG PERAWATAN PERINEUM TERHADAP LAMA PENYEMBUHAN LUKA JAHIT PERINEUM PADA IBU POST PARTUM Maria Auxilia, Yani Widyastuti, & Sumarah Jurusan Kebidanan Poltekkes Kemenkes Yogyakarta E-mail:
[email protected]
2.
20
11
SA
Y
Abtract: The purpose of this research is to know the effect of health promotion about perineal treatment to durate healing the perineal suture wounds of post partum at RSBD Panti Nugroho Purbalingga. This research is Post Test Only With Control Group Design. The population entire post partum that gave birth at RSBD Panti Nugroho November 2010-Januari 2011. Technique sampling randomly, 41 subjects is given health promotion and 41 subjects other as control. Difference of terms of healing the perineal suture wound are tested with t-test at 95% confidence interval of the difference. There difference that have a meaning between long healing the perineal suture wound group that given health promotion with is not give health promotion. Value t-test -4.1669 (CI 95%; -1.5936891 -0.5526523) with p-value 0.000. There is an effect of health promotion about treatment perineal towards durate healing the perineal suture wounds in post partum at RSBD Panti Nugroho Purbalingga Year of 2010.
7.
Keywords: health promotion, treatment perineal, durate healing the perineal suture wounds
JK K
Abtract: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh promosi kesehatan tentang perawatan perineum terhadap lama penyembuhan luka jahit perineum pada ibu post partum di RSBD Panti Nugroho Purbalingga. Populasinya ialah seluruh ibu post partum yang melahirkan di RS Panti Nugroho RSBD pada bulan November 2010-Januari 2011. Teknik pengambilan sampel menggunakan teknik acak. Sebanyak 41 subjek diberikan promosi kesehatan, dan 41 subjek sebagai kelompok kontrol. Perbedaan penyembuhan luka jahitan perineum diuji dengan ttest pada interval kepercayaan 95%. Terdapat perbedaan bermakna antara lama penyembuhan luka jahitan kelompok perineum yang diberikan promosi kesehatan dengan yang tidak memberikan promosi kesehatan. Nilai t-test -4,1669 (CI 95%; -1,5936891 -,5526523) dengan p-value 0,000. Dapat disimpulkan bahwa terdapat efek promosi kesehatan tentang perawatan perineum terhadap penyembuhan luka jahitan durate perineum di post partum di Tahun RSBD Nugroho Panti Purbalingga Dari 2010. Kata kunci: promosi kesehatan, perawatan perineal, lama penyembuhan luka jahit perineum
Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 7 No. 2, Desember 2011: 73-81
SA
Y
paten Purbalingga, 2010). Asuhan masa nifas diperlukan karena merupakan masa kritis baik ibu maupun bayinya. Diperkirakan bahwa 60% kematian ibu akibat kehamilan terjadi setelah persalinan dan 50% kematian masa nifas terjadi dalam 24 jam pertama (Saifuddin, 2002). Pada infeksi bekas sayatan episiotomi atau luka perineum jaringan sekitarnya membengkak, tepi luka menjadi merah dan bengkak, jahitan mudah terlepas dan luka terbuka menjadi ulkus dan mengeluarkan pus. Serviks sering mengalami perlukaan pada persalinan, demikian juga vulva, vagina dan perineum, yang semuanya merupakan tempat masuknya kuman-kuman pathogen. Selain itu juga robekan perineum menjadi tempat penyebaran infeksi hingga ke organ dalam. (Prawirohardjo, 2002) Penyembuhan luka jahit perineum sangat erat kaitannya dengan jaringan penyambung. Ada 6 faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka antara lain vaskularisasi, kadar hemoglobin, usia, penyakit, kebersihan perorangan, kegemukan, obatobatan (Uliyah dan Hidayat, 2006). Penyembuhan luka jahitan perineum merupakan bagian penting yang harus diperhatikan dalam perawatan masa nifas. Jika hal ini diabaikan maka dapat menyebabkan infeksi, timbulnya berbagai macam komplikasi yang lain hingga dapat mengancam kematian (Suwiyoga, 2007). Infeksi nifas dapat dikurangi dengan meningkatkan kebersihan selama persalinan. Penelitian yang dilakukan oleh Sri Purwaningsih dkk (2006) mengenai evaluasi pelaksanaan perawatan perineum pada ibu post partum yang dilakukan oleh perawat didapatkan hasil baik 37,5%, cukup 62,5% sedangkan pelaksanaan perawatan yang dilakukan oleh pasien secara mandiri didapatkan hasil cukup 66,7%, baik 25% dan kurang 8,3%. Dalam upaya mencapai target MDGs di bidang kesehatan penyelenggaraan upaya
JK K
7.
2.
20
PENDAHULUAN Word Health Organization (WHO) memperkirakan lebih dari 585.000 ibu meninggal saat hamil dan bersalin setiap tahunnya. Berdasarkan Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2007, Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia masih berada pada angka 228/100.000 kelahiran hidup dan di Propinsi Jawa Tengah AKI 117/100.000 kelahiran hidup. Di Kabupaten Purbalingga AKI pada tahun 2008 sebanyak 16, mengalami peningkatan di tahun 2009 yang mencapai 20 (Dinas Kesehatan Kabupaten Purbalingga, 2010). Target yang diharapkan dapat tercapai pada tahun 2010 adalah Angka Kematian Ibu menjadi 125 per 100.000 kelahiran hidup. Penyebab langsung kematian ibu dan perinatal yaitu menjadi komplikasi kehamilan, persalinan, nifas yang tidak tertangani dengan baik dan tepat waktu (Depkes RI, 2004). Penyebab kematian ibu terbanyak adalah perdarahan 60-70%, pre eklampsi dan eklampsi 10-20%, dan infeksi 10-20% (Manuaba, 2008). Perdarahan yang dimaksud dapat berupa perdarahan pada masa nifas yang dapat disebabkan oleh retensi sisa plasenta, atonia uteri atau robekan jalan lahir. Perdarahan pasca persalinan memperbesar kemungkinan infeksi puerperal karena daya tahan penderita berkurang (Wiknjosastro, 2005). Salah satu penyebab kematian ibu adalah Sepsis Puerperalis dimana Semmelweiss pada tahun 1874 telah menunjukkan bahwa Sepsis Puerperalis disebabkan oleh infeksi, yang sebagian besar infeksi pada luka-luka jalan lahir (Prawirohardjo, 2002). Penyebab kematian Ibu di Jateng adalah perdarahan (27,87%), pre eklampsi/ eklampsi (23,27%), infeksi (5,2%). Pada tahun 2008 di Kabupaten Purbalingga sebab kematian ibu karena infeksi pada angka 1 (6,25%) dan meningkat menjadi 3 (15%) pada tahun 2009 (Dinas Kesehatan Kabu-
11
74
Maria Auxilia, Yani Widyastuti, & Sumarah, Pengaruh Promosi Kesehatan...
11
SA
Y
rakat dengan tujuan untuk membantu tercapainya program pengobatan, rehabilitasi, pencegahan penyakit dan peningkatan kesehatan (Notoatmojo, 2010). Dari studi pendahuluan yang dilakukan di RSBD Panti Nugroho pada tanggal 7 Agustus 2010 diperoleh data jumlah persalinan pervaginam tahun 2009 sebanyak 587 orang, keadaan ibu nifas dengan luka jahitan perineum sebanyak 145 orang (24,70%) dan 40 orang (27,58%) mengalami jahitan perineum yang belum sembuh pada hari ketujuh. Pada kunjungan ulang 3 hari setelah kunjungan pertama ibu post partum yang belum sembuh luka jahit perineumnya sebanyak 29 orang (72,5%) sudah sembuh luka jahit perineumnya. Sedangkan pada tahun 2010 didapatkan data dari bulan Januari-Juni 2010 jumlah persalinan pervaginam 386 orang, keadaan ibu nifas dengan luka jahitan perineum 70 orang (18,13%) dan 30 orang (42,85%) diantaranya mengalami jahitan perineum yang belum sembuh pada hari ketujuh dan sebanyak 20 orang (66,67) sudah sembuh pada kunjungan ulang 3 hari setelah kunjungan pertama ibu post partum yang belum sembuh luka jahit perineumnya.
JK K
7.
2.
20
kesehatan ditingkatkan intensitasnya dengan tetap memberikan perhatian khusus pada penyelenggaraan pelayanan kesehatan ibu dan anak, pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin, penanggulangan penyakit dan gizi buruk, penanggulangan masalah kesehatan akibat bencana, dan pelayanan kesehatan di daerah terpencil, daerah tertinggal, dan daerah perbatasan (Depkes RI, 2009). Sebagai salah satu kewenangan bidan adalah bidan berhak memberikan pelayanan kebidanan kepada ibu nifas (Depkes RI, 2010). Adapun peranan bidan sebagai pelaksana dalam memberikan asuhan kebidanan pada klien dalam masa nifas dengan melibatkan klien/keluarga: mengkaji kebutuhan asuhan kebidanan pada ibu nifas, menentukan diagnosa dan kebutuhan asuhan kebidanan pada masa nifas, menyusun rencana asuhan kebidanan berdasar prioritas masalah, melaksanakan asuhan kebidanan sesuai rencana, mengevaluasi bersama klien asuhan kebidanan yang telah diberikan, membuat rencana tindak lanjut asuhan kebidanan bersama klien (Sofyan, 2003) Promosi kesehatan bukan hanya proses penyadaran masyarakat atau pemberian dan peningkatan pengetahuan masyarakat tentang kesehatan saja, tetapi disertai upaya-upaya memfasilitasi perubahan perilaku. Pendidikan kesehatan adalah unsur program kesehatan dan kedokteran yang didalamnya terkandung rencana untuk merubah perilaku perseorangan dan masya-
75
METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan jenis penelitian true experiment dengan menggunakan desain post test only with control design.
Gambar 1. Desain Penelitian
76
Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 7 No. 2, Desember 2011: 73-81
Keterangan: X : Perlakuan promosi kesehatan tentang perawatan perineum O 2 : Penyembuhan luka jahit perineum pada kelompok yang diberi promosi kesehatan O2’: Penyembuhan luka jahit perineum pada kelompok yang tidak diberi promosi kesehatan
P = Q = 0,5 d = kesalahan populasi = 0,10 N = jumlah populasi yaitu ibu nifas dengan luka jahitan perineum bulan Juli 2010 sebanyak N = 20 orang.
n = 41
11
SA
Y
Berdasarkan rumus diatas diperoleh jumlah sampel sebanyak 41 sampel untuk kelompok eksperimen dan 41 sampel untuk kelompok kontrol. Variabel independen dalam penelitian ini adalah promosi kesehatan tentang perawatan perineum. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah lama penyembuhan luka jahit perineum. Variabel independen: promosi kesehatan tentang perawatan perineum. Promosi kesehatan tentang perawatan perineum adalah usaha menyampaikan pesan kesehatan berupa leaflet tentang perawatan perineum kepada ibu post partum pada waktu hari ke-0 melahirkan sampai sebelum pulang ke rumah, sebanyak 5 kali selama 15 menit. Skala data menggunakan skala nominal. Kelompok yang diberi promosi kesehatan tentang perawatan perineum dan kelompok yang tidak diberi promosi kesehatan tentang perawatan perineum. Variabel dependen: lama penyembuhan luka jahit perineum. Lamanya penyembuhan luka jahit perineum yang dinyatakan dengan satuan hari. Luka jahit perineum dinyatakan sembuh 4 tanda klinis penyembuhan luka antara lain: luka kering, tidak adanya kemerahan, pembengkakan, jaringan menyatu, dan tidak nyeri ketika untuk duduk dan berjalan. Data diperoleh dengan cara observasi mulai hari kelima post partum sampai luka sembuh oleh tim peneliti menggunakan lembar observasi pada saat kunjungan
JK K
7.
2.
20
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu nifas yang memiliki luka jahit perineum di RSBD Panti Nugroho Purbalingga. Dari bulan November 2010-Januari 2011 didapatkan 95 orang ibu post partum mengalami luka jahit perineum. Sampel dalam penelitian ini adalah ibu nifas yang memiliki luka jahit perineum dengan kriteria: bersedia menjadi responden, ibu post partum dengan riwayat persalinan spontan dengan luka jahit yang mengalami ruptur perineum derajat I-IV, usia ibu post partum antara 20-35 tahun, kadar hemoglobin > 9 g/dL, ibu post partum yang tidak menderita penyakit DM. Kriteria eksklusi: ibu post partum yang kegemukan dilihat dari IMT, ibu post partum yang merokok Kelompok perlakuan dalam penelitian ini yaitu ibu nifas yang mendapat tindakan jahitan perineum di RSBD Panti Nugroho yang dilakukan promosi kesehatan tentang perawatan perineum. Sedangkan sampel kelompok kontrol dalam penelitian ini adalah ibu nifas dengan luka jahitan perineum yang tidak diberikan promosi kesehatan tentang perawatan perineum. Jumlah sampel yang digunakan dihitung dengan rumus sebagai berikut:
Keterangan: n = jumlah sampel Z = nilai z tabel pada =0,05 yaitu 1,96
Maria Auxilia, Yani Widyastuti, & Sumarah, Pengaruh Promosi Kesehatan...
11
SA
Y
pada hari ketujuh post partum atau pada saat ibu kontrol jahitan perineum. Jumlah evaluator dalam penelitian ini adalah 4 orang yaitu peneliti dan 3 orang bidan RSBD Panti Nugroho Purbalingga. Setelah sampel sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi yang telah ditentukan kemudian sampel dipilih secara random untuk menentukan sampel yang akan menjadi kelompok perlakuan dengan diberikan perlakuan promosi kesehatan perawatan perineum dan menjadi kelompok kontrol yang tidak akan diberikan promosi kesehatan perawatan perineum. Setelah semua sampel terpilih kemudian tiap sampel diberikan surat persetujuan menjadi responden untuk menjadi sampel dalam penelitian ini hingga dilakukan observasi penyembuhan luka jahit perineumnya. Jenis data dalam penelitian ini adalah data primer. Tehnik pengambilan data yang digunakan peneliti yaitu dengan pengamatan sistematis. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan saat hari pertama post partum sampai didapatkannya ada tanda-tanda penyembuhan luka jahit perineum yaitu: luka kering, jahitan menyatu, tidak ada kemerahan, tidak bengkak dan tidak nyeri. Analisis menggunakan dependent sample t-test.
JK K
7.
2.
20
rumah dan kunjungan ulang post partum di RSBD Panti Nugroho Purbalingga. Skala data menggunakan skala interval. Bahan dalam penelitian ini berupa laeflet tentang perawatan perineum dan alat pengumpulan data yang digunakan adalah check list berupa lembar observasi. Lembar observasi adalah pengamatan tentang tanda-tanda klinis penyembuhan luka jahit perienum dan mencatatnya. Lembar observasi terdiri dari tanda-tanda sembuhnya luka jahit perineum yang meliputi: 1) Luka kering, 2) Jaringan menyatu, 3) Tidak bengkak, 4) Tidak merah dan 5) Tidak nyeri bila untuk duduk dan berjalan (Uliyah dan Hidayat, 2006). Penelitian diawali dengan koordinasi antara peneliti dan tim peneliti, yang terdiri dari Bidan RSBD Panti Nugroho. Evaluator lama penyembuhan luka jahit perineum dalam penelitian ini yaitu bidan yang sudah di training sehingga mampu menentukan adanya tanda klinis penyembuhan luka jahit perineum yang ada didalam lembar observasi. Dari hasil koordinasi tersebut maka didapatkan persepsi yang sama untuk melakukan prosedur parawatan perineum terfokus sesuai dengan panduan serta dalam melakukan observasi lama penyembuhan luka jahit perineum subjek dalam penelitian ini. Jumlah promotor kesehatan dalam penelitian ini sebanyak 4 orang yang dilakukan oleh peneliti sendiri dan 3 orang yang membantu penelitian dalam melakukan promosi kesehatan tentang perawatan perineum terhadap subyek penelitian ini yang mempunyai ketrampilan perawatan perineum berdasarkan panduan yang telah dibuat. Evaluasi penyembuhan luka jahit perineum dalam penelitian ini dilakukan dengan cara melakukan observasi serta wawancara adanya tanda-tanda klinis yang telah peneliti buat yaitu: luka kering, jahitan menyatu, tidak ada kemerahan, tidak bengkak dan tidak nyeri. Evaluasi dilakukan
77
HASIL DAN PEMBAHASAN Lama penyembuhan luka jahit perineum Lihat tabel 1. diketahui bahwa pada kelompok yang diberi promosi kesehatan sebagian besar lama penyembuhannya 7 hari (31,7%), sedangkan untuk kelompok yang tidak diberi promosi didominasi oleh lama penyembuhan 9 hari (26,8 %). Pada kelompok yang diberi promosi dengan lama penyembuhan 10 hari juga tidak ditemukan, hal ini berbeda dengan kelompok yang tidak diberi promosi untuk tidak ada yang lama penyembuhan 6 hari.
78
Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 7 No. 2, Desember 2011: 73-81
Distribusi frekuensi lama penyembuhan luka jahit perineum pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol
SA
Y
Tabel 1.
Pengaruh promosi kesehatan terhadap penyembuhan luka jahit perineum
11
Pengaruh promosi kesehatan tentang perawatan perineum terhadap penyembuhan luka jahit perineum pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol
7.
2.
20
Tabel 2.
JK K
Uji ini digunakan untuk menguji ada tidaknya pengaruh promosi kesehatan tentang perawatan perineum terhadap lama penyembuhan luka jahit perineum. Dari hasil uji yang dilakukan didapat bahwa harga thitung = - 4.1669 (tanda (-) tidak membedakan nilai + / - karena nilai tersebut adalah nilai mutlak), dimana nilai tersebut lebih besar jika dibandingkan dengan ttabel dengan taraf 5% = 1.645, maka kesimpulannya adalah terdapat pengaruh promosi kesehatan tentang perawatan perineum terhadap lama penyembuhan luka jahit perineum. Beda rata-rata penyembuhan luka jahit pada kelompok perlakuan dan kontrol adalah -1,073 dimana nilai tersebut berada pada range -1.5936891 -0.5526523, artinya kelompok perlakuan penyembuhan luka
jahit perineumnya lebih cepat 1.073 hari dibandingkan dengan kelompok kontrol. Luka jahit perineum merupakan luka yang disebabkan karena robekan perineum pada saat proses persalinan. Luka tersebut dapat sembuh dalam waktu cepat atau lama tergantung dari banyak faktor dan usaha yang dilakukan untuk mempercepat proses penyembuhan. Salah satu faktor yang mempengaruhi adalah kebersihan perorangan yang mencakup perawatan perineum ibu post partum. Orang yang tidak memperhatikan kebersihan, mempunyai kebiasaan merokok dan stress akan mempengaruhi proses penyembuhan luka. Personal hygiene (kebersihan diri) dapat memperlambat penyembuhan, hal ini dapat menyebabkan adanya
Maria Auxilia, Yani Widyastuti, & Sumarah, Pengaruh Promosi Kesehatan...
11
SA
Y
promosi kesehatan lebih cepat penyembuhan luka jahit perineumnya yaitu 6 hari dan maksimal 9 hari dengan rata-rata 7,439 hari, dikarenakan adanya peningkatan pengetahuan dan perubahan perilaku untuk merawat perineumnya sesuai dengan petunjuk yang diberikan melalui leaflet. Menurut Uliyah dan Hidayat (2006), penyembuhan luka jahit secara normal akan terjadi pada hari kelima hingga hari ketujuh dan bisa juga lebih cepat dalam waktu 5 hari yang ditandai dengan luka kering, tidak adanya kemerahan, pembengkakan, jaringan menyatu, dan tidak nyeri ketika untuk duduk dan berjalan. Pada ibu post partum yang tidak diberikan promosi kesehatan lama penyembuhan luka jahit perineumnya yaitu 7 hari dan maksimal 10 hari dengan rata-rata 8,512 hari, hal tersebut dapat disebabkan karena ibu tidak merawat perineumnya dengan benar sehingga kebersihan perineum tidak terjaga dan dapat menyebabkan timbulnya infeksi pada luka jahitan. Menurut Green (Notoatmodjo, 2007) keberhasilan pendidikan kesehatan dan atau promosi kesehatan menurutnya, antara lain dipengaruhi oleh faktor pendukung (predisposing), meliputi aspek pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi, paraktek dan kebiasaan, dan dipengaruhi oleh faktor pemudah (enabling), seperti potensi sumber daya masyarakat, keterjangkuan, tersedianya fasilitas kesehatan, dll, serta faktor pendukung (reinforcing), seperti sikap & perilaku petugas kesehatan, dukungan toma, saran keluarga, teman dan bantuan masyarakat. Hasil penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan Puspitarani Herawati (2010) dengan judul “Hubungan perawatan perineum dengan kesembuhan luka perineum pada hari keenam di BPS NY. Sri Suhersi Mojokerto Kedawung Sragen” hasil penelitiannya menunjukkan ada hubungan perawatan perineum dengan
JK K
7.
2.
20
benda asing seperti debu dan kuman yang dapat menyebabkan infeksi. (Uliyah dan Hidayat, 2006) Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perbedaan rata-rata lama penyembuhan luka jahit perineum pada subyek yang diberi promosi kesehatan dapat mempengaruhi penyembuhan luka jahit perineum lebih cepat pada hari ke-6 (22%). Sehingga dapat disimpulkan bahwa ibu post partum yang diberikan promosi dapat lebih cepat mengalami penyembuhan luka jahit perineum dibandingkan dengan ibu post partum yang tidak diberikan promosi kesehatan. Promosi kesehatan merupakan intervensi atau upaya yang ditujukan kepada perilaku yang kondusif untuk kesehatan agar individu, kelompok dan masyarakat mempunyai perilaku yang positif terhadap pemeliharaan dan peningkatan derajat kesehatan. Subyek yang diberikan promosi kesehatan tentang perawatan perineum mengalami percepatan penyembuhan luka jahit perineum disebabkan karena adanya peningkatan pengetahuan dan perubahan/ perbaikan perilaku melalui peningkatan kesadaran, kemauan dan kemampuan (Notoatmojo, 2007). Menurut Ajzen dan Fishbein (1980) dalam Teori “Behavioral Intention theory” atau Theory of reasoned Action, yang menghubungkan antara keyakinan (beliefs), sikap (attitude), kehendak/intensi (intention), dan perilaku seseorang. Menyatakan bahwa intensi merupakan prediktor terbaik dari perilaku, dan Sikap merupakan hasil pertimbangan untung dan rugi dari perilaku tersebut (outcomes of the behavior). Dari hasil uji statistik t-test yang telah dilakukan menunjukkan bahwa p = 0,00 sehingga p < 0,05. Dengan demikian hipotesis penelitian didapatkan bahwa ada pengaruh promosi kesehatan tentang perawatan perineum terhadap lama penyembuhan luka jahit perineum. Pada subyek yang diberikan
79
Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 7 No. 2, Desember 2011: 73-81
tentang perawatan perineum terhadap lama penyembuhan luka jahit perineum pada ibu post partum di RSBD Panti Nugroho Kabupaten Purbalingga Tahun 2010.
SA
Y
Saran Bagi bidan di RSBD Panti Nugroho disarankan untuk memberikan pelayanan kebidanan yang berkualitas dan dapat melaksanakan promosi kesehatan tentang perawatan perineum bagi ibu post partum khususnya dalam upaya membantu penyembuhan dan mencegah infeksi pada luka jahit perineum. Bagi peneliti selanjutnya disarankan untuk melanjutkan penelitian dengan menggunakan variabel yang lebih bervariasi dan menggunakan alat ukur / instrument lain untuk menentukan penyembuhan luka jahit perineum serta dapat mengendalikan faktor nutrisi. DAFTAR RUJUKAN Anonim. 2008. Perawatan Luka Perineum Pada Post Partum. (Online), (http://creasoft.wordpress.com/ 2008/04/21), diakses 10 Agustus 2010. Azwar, S. 2005. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Edisi ke-2. Pustaka Pelajar: Yogyakarta. Cuningham, F. G. 2005. Obstetri William. Edisi XVIII. EGC. Jakarta. Depdiknas. 1999. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka: Jakarta Depkes RI. 2004. Standar Pelayanan Kebidanan. Jakarta ______. 2009. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Tahun 20052025. Jakarta. ______. 2007. Profil Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. BPS: Jakarta. ______. 2010. Peraturan Menteri Kesehatan RI Izin Dan Penyeleng-
2.
20
kesembuhan luka perineum pada ibu nifas hari keenam, semakin baik perawatan luka perineum semakin cepat kesembuhan luka perineum. Mariyatul Qiftiyah (2006) “Hubungan antara Pengetahuan Ibu Nifas tentang Perawatan Luka Perineum dengan Kecepatan Penyembuhan Luka Perineum di BPS Kasih Ibu Jatirogo Kabupaten Tuban.” Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan ibu nifas tentang perawatan luka perineum dan kecepatan penyembuhan luka perineum. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Novita Kurnia Sari (2007) dengan judul “Pengaruh Pendidikan Kesehatan Tentang Perawatan Perineum Terhadap Kesembuhan Luka Episiotomi Klien Post Partum di BKIA Aisyiyah Karangkajen DIY” secara deskriptif hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pendidikan kesehatan tentang perawatan perineum tidak berpengaruh terhadap kesembuhan luka episiotomi.
11
80
JK K
7.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Di RSBD Panti Nugroho Purbalingga terdapat 125 ibu post partum dan yang mengalami luka jahit perineum 95 orang (76%) diantaranya menjadi subyek dalam penelitian ini. Ibu post partum yang dijadikan kelompok perlakuan 41 orang dan kelompok kontrol 41 orang. Ibu post partum yang diberikan promosi kesehatan tentang perawatan luka jahit perineum mempunyai kecepatan rata-rata penyembuhan luka jahit perineum pada hari ketujuh, tercepat hari keenam dan terlama hari kesembilan. Ibu post partum yang tidak diberikan promosi kesehatan tentang perawatan luka jahit perineum mempunyai kecepatan rata-rata penyembuhan luka jahit perineum pada hari kedelapan, tercepat hari ketujuh dan terlama hari kesepuluh. Ada pengaruh promosi kesehatan
Maria Auxilia, Yani Widyastuti, & Sumarah, Pengaruh Promosi Kesehatan...
11
SA
Y
Luka Perineum di BPS Kasih Ibu Jatirogo Kabupaten Tuban, (Online), (http://www.gudangr e f e r e n s i . c o m / ebook_detail.php?recordID=143), diakses 20 Jnuari 2011. Rusman, H. 2008. Survey Demografi Dan Kesehatan Indonesia. Badan Pusat Statistik: Jakarta Saifudin, A. B. 2001. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo: Jakarta. Sari, N. K. 2007. Pengaruh Pendidikan Kesehatan Tentang Perawatan Perineum Terhadap Kesembuhan Luka Episiotomi Klien Post Partum di BKIA Aisyiyah Karangkajen DIY, Mutiara Medika, 7 (1). Sofyan, M. 2004. 50 Tahun IBI Bidan Menyongsong Masa Depan. PP IBI: Jakarta Sri, P., Widyawati, Weny, A. 2006. Evaluasi Perawatan Luka Jahit Perineum Pada Ibu Post Partum di Unit Kebidanan RSU Kota Yogyakarta. Jurnal Ilmu Keperawatan UGM, 2: 98-101. Sugiyono. 2010. Statistika Untuk Penelitian. Alfabeta: Bandung Suwiyoga. 2007. APN: Asuhan Esensial Persalinan. Jaringan Pelatihan Klinik Kes. Edisi ke-3. Jakarta. Uliyah, M., & Hidayat, A. A. A. 2006. Ketrampilan Dasar Praktik Klinik. Salemba Medika: Jakarta. Varney, H., Krebs, J. M., & Carolyn, G. 2007. Buku Ajar Asuhan Kebidanan. Volume 3 Edisi ke-4. EGC: Jakarta. Winkjosastro. 2005. Ilmu Kebidanan. Edisi 3 cetakan ke-8. YBSPP: Jakarta.
JK K
7.
2.
20
garaan Praktik Bidan: Jakarta. Dinas Kesehatan Kabupaten Purbalingga. 2009. Profil Kesehatan Kabupaten Purbalingga. Farrer, H. 2001. Perawatan Maternitas. Edisi 2. EGC: Jakarta. Hamilton. 1995. Dasar-Dasar Keperawatana Maternitas. Edisi 6. EGC: Jakarta. Johnsosn, Ruth, Taylor, Wendy. 2005. Buku Ajar Praktik Kebidanan. EGC: Jakarta. Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta: Jakarta. ______. 2007. Promosi Kesehatan Dan Ilmu Perilaku. Rineka Cipta: Jakarta ______. 2007. Kesehatan Masyarakat Ilmu Dan Seni. Rineka Cipta: Jakarta. Oxorn, H. 2003. Ilmu Kebidanan Patologi Dan Fisiologi Persalinan. Essentia Medika: Jakarta. Prawiroharjo. 2002. Ilmu Kebidanan. Yayasan Bina Pustaka: Jakarta. Poltekkes Kemenkes Yogyakarta. 2010. Pedoman Karya Tulis dan Skripsi Program DIII dan DIV di Politeknik Kesehatan Kemenkes Yogyakarta. Edisi 5 Tahun 2010. Yogyakarta: Poltekkes Kemenkes Yogyakarta Herawati, P. 2010. Hubungan Perawatan Perineum Dengan Kesembuhan Luka Perineum Pada Ibu Nifas Hari Keenam di BPS NY. Sri Suhersi Mojokerto Kedawung Sragen, (Online), (http:// digilib.uns.ac.id/abstrak15406), diakses 10 Agustus 2010. Qiftiyah, M. 2006. Hubungan antara Pengetahuan Ibu Nifas tentang Perawatan Luka Perineum dengan Kecepatan Penyembuhan
81
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MOTIVASI BELAJAR MAHASISWA TIDAK LULUS TEPAT WAKTU PADA MAHASISWA AKADEMI KEPERAWATAN X JOGJAKARTA TAHUN AKADEMIK 2009/2010 Th. Endang Purwoastuti Akademi Keperawatan Panti Rapih Yogyakarta E-mail:
[email protected]
20
11
SA
Y
Abstract: The purpose of this study was to describe the factors that affect student motivation to learn, so they do not graduate on time at the Academy of Nursing X in Academic Year 2009/2010. The research was conducted on April 2011 to October 2011. The method used indepth interviews, with students conducted since June 2011 until September 2011. Factors that influence student motivation to learn, and they did not graduate on time are from external’s student factor. The external factors are: 1) barriers to learning clinic, especially to finish the report .The students already feel tired when they practice at the Clinic, so they did not interest to finished the report, 2) lack of family support; 3) The lecturers cannot provide and company the students as well as they need; 4) PA (Pembimbing Akademik) did not guidance effectively; 5) There are problems with several clinical instructor in clinical setting that made the student loss their motivation to learn.
2.
Keywords : motivation, external factor, graduate on time
JK K
7.
Abstrak: Tujuan penelitian ini adalah untuk menggambarkan faktorfaktor yang mempengaruhi motivasi belajar mahasiswa sehingga tidak lulus tepat waktu pada mahasiswa Akademi Keperawatan X Tahun Akademik 2009/2010. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2011 sampai Oktober 2011. Metode yang digunakan adalah wawancara secara mendalam dengan mahasiswa yang dilakukan sejak bulan Juni 2011sampai bulan September 2011. Faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi belajar mahasiswa sehingga tidak lulus tepat waktu adalah faktor dari luar mahasiswa yaitu : 1) faktor hambatan belajar pada pembelajaran klinik terutama dalam penyelesaian laporan karena mahasiswa sudah merasa cape ketika praktik di Klinik, sehingga secara psikologi tidak berminat mengerjakan laporan-laporan ; 2) kurangnya dukungan keluarga; 3) belum semua dosen dapat memberikan bimbingan sesuai dengan kebutuhan mahasiswa; 4) bimbingan PA yang belum efektif; 5) adanya beberapa pembimbing klinik yang sering bermasalah dengan mahasiswa sehingga mengakibatkan kendornya motivasi mahasiswa dalam belajar. Kata kunci : motivasi, factor eksternal, tidak lulus tepat waktu
Th. Endang Purwoastuti, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Motivasi Belajar...
11
SA
Y
nya. Melalui praktik klinik keperawatan ia dapat menerapkan prinsip-prinsip belajar di kelas ke situasi nyata yang dihadapi dalam pemberian pelayanan keperawatan kepada pasien. Untuk itu, maka model pendidikan keperawatan adalah pembelajaran tuntas (mastery learning). Tidak dapat disangkal bahwa manusia adalah makhluk yang sangat kompleks dan unik. Tidak ada satu manusiapun yang sama dengan manusia lainnya. Pengalaman menunjukkan bahwa perbedaan-perbedaan dalam nilai-nilai yang dianut, sikap dan norma-norma mengenai perilaku yang baik atau buruk pasti berpengaruh terhadap cara bertindak seseorang. Misalnya skala prioritas kebutuhan dan persepsinya tentang yang baik dan tidak baik, benar dan tidak benar, pasti berpengaruh terhadap sikap dan perilakunya dalam kehidupan seseorang. Mahasiswa perawat adalah manusia yang kompleks dan unik pula. Mereka juga mempunyai perbedaan-perbedaan dalam nilai-nilai yang dianut, sikap dan normanorma mengenai perilaku baik dan buruk yang akan mempengaruhi motivasinya dalam melakukan sesuatu, khususnya dalam hal belajar. Motivasi yang berhubungan dengan kebutuhan, motif dan tujuan sangat mempengaruhi kegiatan dan hasil belajar. Motivasi sangat penting bagi proses belajar karena motivasi menggerakkan organisme, mengerahkan tindakan, serta memiliki tujuan belajar yang dirasa paling berguna bagi kehidupan individu. Banyak hasil penelitian yang menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara motivasi dengan prestasi belajar. Akademi keperawatan X adalah perguruan tingi yang mendidik calon perawat professional pemula, dan sebagai tenaga vokasional yang saat ini masih sangat dibutuhkan oleh penjual jasa kesehatan seperti rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dan sebagainya, dengan menggunakan cara
JK K
7.
2.
20
PENDAHULUAN Sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, perkembangan sosial budaya dan teknologi, maka tuntutan masyarakat terhadap pelayanan keperawatan akan meningkat. Tuntutan ini tidak terbatas pada kuantitas pelayanan yang harus meningkat, tetapi juga kualitas pelayanan yang diberikan. Harapan masyarakat akan pelayanan perawatan lebih tinggi, sehingga perawatan memiliki nilai berarti bagi kehidupan masyarakat. Untuk dapat memberikan pelayanan yang memadai, selayaknya bila keperawatan selalu mengembangkan diri mengikuti jejak ilmu dan lain-lainnya. Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin tinggi pada bagian ke dua dari abad ke XX. Tuntutan masyarakat semakin meningkat, oleh karenanya memerlukan perawatan yang profesional. Pada saat itu profesi keperawatan diperjuangkan menjadi profesi yang mandiri, dan perawat dididik di perguruan tinggi (Christina, 1998). Melalui adanya pengakuan pada profesi keperawatan, model keperawatan yang menggambarkan peran dan fungsi perawat juga berkembang. Komponen yang sangat penting dalam program pendidikan tenaga keperawatan yang sangat besar pengaruhnya terhadap pencapaian tujuan program adalah praktik klinik keperawatan. Jika seorang perawat diharapkan sebagai perawat yang kompeten, ia harus diberi kesempatan untuk memperoleh pengetahuan, pengembangan sikap dan keterampilan yang dibutuhkan untuk dapat melakukan praktik klinik keperawatan. Kesempatan belajar yang dimaksud harus diberikan selama ia sebagai siswa perawat. Pengalaman belajar siswa dalam praktik klinik keperawatan akan menjadi berarti baginya karena ia melakukan dan mengalami sendiri kegiatan-kegiatan sesuai dengan peran dan fungsi yang harus dikerjakan sebagai seorang perawat nanti-
83
Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 7 No. 2, Desember 2011: 82-94
penulis merasa tertarik untuk mendapatkan gambaran factor apa sajakah yang menyebabkan penurunan motivasi belajar mahasiswa tidak lulus tepat waktu dalam menempuh studi di Akademi Keperawatan X Jogjakarta tahun 2010. Sesuai dengan permasalahan dalam penelitian ini, maka tujuan penelitian adalah untuk mengetahui dan mendiskripsikan faktor-faktor yang menyebabkan menurunnya motivasi belajar mahasiswa yang tidak lulus tepat waktu
SA
Y
METODE PENELITIAN Penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif dengan pendekatan retrospektif. Populasi penelitian ini adalah seluruh mahasiswa yang tidak lulus tepat waktu pada tahun akademik 2009/2010 di akademi Keperawatan X Jogjakarta. Sedangkan Teknik pengambilan sampel adalah purposif sampling, yaitu mereka yang memenuhi kriteria inklusi. Adapun kriteria inklusi yang ditetapkan sebagai berikut: (1) Mahasiswa tidak lulus pada tahun akademik 2009/ 2010, (2) Bersedia untuk dijadikan subjek penelitian, (3) Mengalami penurunan motivasi. Penelitian ini dilaksanakan di Akademi Keperawatan Panti Rapih pada akhir bulan Mei sampai dengan bulan September 2011. Definisi operasional faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi mahasiswa tidak lulus tepat waktu adalah segala sesuatu yang mempengaruhi dorongan mahasiswa dalam belajar sehingga mahasiswa tidak lulus tepat waktu selama 6 semester. Instrumen dalam penelitian ini adalah panduan wawancara mendalam, dengan menggunakan pedoman wawancara pada 9 responden. Selain itu dilakukan pula triangulasi dengan wawancara pada Pembimbing Akademik (PA) untuk memvalidasi data yang diperoleh dari responden. Tahapan pengumpulan data sebagai berikut: (1) Mendengarkan rekaman, (2) Membuat transkrip, (3) Mengkategorikan data dengan membuat koding pada
JK K
7.
2.
20
pembelajaran tuntas (mastery learning). Semua program dapat diselesaikan dalam waktu 6 semester, tetapi bagi mahasiswa yang belum lulus dalam waktu 6 semester diberikan kesempatan sampai dengan 10 semester. Kurikulum yang digunakan disusun sedemikian rupa dengan beban studi 117 SKS dan 31 kompetensi, sehingga perbandingan antara teori dengan praktik adalah 40% banding 60%. Dari tahun 1993 sampai dengan tahun 2010 telah meluluskan 1431 orang mahasiswa perawat yang saat ini telah bekerja di berbagai daerah dan macam tempat pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta. Menurut catatan Administrasi Akademik Akademi Keperawatan X, terdapat mahasiswa yang tidak dapat menyelesaikan pembelajaran tepat waktu (6 semester) dengan berbagai macam permasalahan. Pada tahun akademik (TA) ada 2 mahasiswa keluar dan 5 mahasiswa cuti akademik. TA 2005/2006 keluar 4 orang mahasiswa dan 7 orang mahasiswa cuti akademik. TA 2006/2007 terdapat 6 orang mahasiswa yang keluar dan 6 mahasiswa yang cuti akademik. TA 2007/2008 terdapat 4 orang mahasiswa keluar dan 6 mahasiswa yang cuti akademik. TA 2008/2009 tidak ada mahasiswa yang keluar dan ada 4 mahasiswa yang cuti akademik. TA 2009/2010 terdapat 5 orang mahasiswa yang tidak daftar ulang dan 17 orang yang tidak dapat ikut wisuda karena belum menyelesaikan pembelajaran secara lengkap. TA 2009/ 2010 merupakan jumlah yang paling banyak untuk mahasiswa yang tidak lulus pada semester VI dan hampir semua mahasiswa tersebut tidak lulus pada matakuliah yang ada praktik kliniknya. Pada studi pendahuluan yang telah penulis lakukan, diketemukan 7 mahasiswa dari 17 mahasiswa tersebut mengalami penurunan motivasi belajar sehingga tidak lulus tepat waktu. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka
11
84
Th. Endang Purwoastuti, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Motivasi Belajar...
JK K
7.
2.
Y
SA
20
HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil wawancara dengan responden tentang minat menjadi perawat mahasiswa mempunyai minat yang besar untuk menjadi perawat. Hal ini didukung data dari pernyataan responden sebagai berikut : (1) R1: “minat saya menjadi perawat masih tetap seperti dulu, tetap besar, karena merupakan cita-cita saya”, (2) R4: “sejak dulu sangat berminat menjadi perawat”, (3) R7: “saat ini sangat besar minat menjadi perawat”, (4) R9: minat saya menjadi perawat besar sekali karena cita-cita saya”, (5) R2: “sebenarnya saya tidak berminat menjadi perawat, tetapi setelah pembelajaran klinik minat itu tumbuh”, dan (6) R6:”minat menjadi perawat muncul ketika belajar klinik semerter 2".
disampaikan oleh Tijan (1976), Bahwa minat adalah gejala psikologis yang menunjukkan pemusatan perhatian terhadap suatu objek sebab ada perasaan senang. Minat ini akan memberikan kekuatan bagi mahasiswa untuk mendorong dirinya melaksanakan minatnya, dan merupakan modal yang signifikan untuk berusaha aktif dalam mencapai minatnya yaitu menjadi seorang perawat, seperti yang disampaikan oleh Crow and Crow bahwa minat erat hubungannya dengan daya gerak atau dorongan (drive), motif, dan reaksi emosional. Selanjutnya Skinner juga berpendapat bahwa minat sebagai motif yang menunjukkan arah perhatian individu terhadap objek yang menarik atau menyenangkannya, maka individu tersebut cenderung akan berusaha aktif dengan objek tersebut. Hambatan selama belajar di Akper. Hasil wawancara didapatkan bahwa hambatan yang muncul selama belajar di Akper adalah belajar di klinik, sedangkan belajar teori hamper tidak ada hambatan. Seluruh responden (9 orang) semuanya mengatakan bahwa pada saat pembelajaran klinik mereka mengalami hambatan terutama dalam membuat laporan. Hal ini didukung data pernyataan responden sebagai berikut: (1) R1:”belajar teori tidak ada hambatan, tetapi ketika belajar praktik capek karena dilaju dari Bantul, pulang sudah capek, laporan ketinggalan”, (2) R2: “saya sulit mengungkapkan pendapat, kurang PD termasuk bertanya, baik belajar teori maupun belajar praktik”, (3) R3: “belajar teori tidak ada hambatan, tetapi belajar di klinik malas ngerjain tugas”, (4) R4: “untuk teori tidak terlalu saya rasakan, untuk belajar di klinik tidak dapat bangun pagi karena susah tidur malam, kalau malam sampai larut jadi sering terlambat atau mbolos”,
11
pernyataan yang sama, (4) Mengklasifikasikan data sesuai dengan kategori yang telah ditentukan, (5) Menganalisa dan mendiskripsikan data secara kuantitatif, dan (6) Membuat kesimpulan. Topik-topik yang diwawancarai pada responden adalah: (1) Minat menjadi perawat, (2) Hambatan selama belajar di Akper, (3) Keinginan dan cara mengatasi hambatan, (4) Dukungan dari keluarga, (5) Dukungan fasilitas dari institusi, (6) Dukungan yang diberikan oleh dosen, (7) Dukungan dari Pembimbing Akademik, dan (8) Dukungan dari pembimbing klinik dan pembimbing pendidikan waktu belajar klinik. Analisa data menggunakan analisa data secara kualitatif.
Minat mahasiswa untuk menjadi perawat ini menunjukkan bahwa mahasiswa mempunyai perhatian yang besar terhadap perawat karena mahasiswa tertarik pada perawat. Hal ini sesuai dengan yang
85
Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 7 No. 2, Desember 2011: 82-94
SA
Y
digolongkan menjadi dua golongan yaitu: (1) factor intern dan (2) factor ekstern. Faktor intern adalah factor dari individu itu sendiri yang meliputi factor fisiologi dan factor psikologi. Sedangkan factor ekstern adalah factor dari luar individu seperti factor non social dan factor social. Faktor psikologi antara adalah motivasi yang berfungsi menimbulkan, mendasari, mengarahkan perbuatan belajar. Seseorang yang besar motivasinya akan giat berusaha, tampak gigih tidak menyerah, giat membaca buku-buku untuk meningkatkan prestasinya. Sebaiknya yang motivasinya lemah, tampak acuh tak acuh, mudah putus asa, perhatiannya tidak tertuju pada pelajaran, sering mengganggu di kelas dan sering meninggalkan pelajaran akibatnya banyak mengalami kesulitan belajar, seperti yang dialami oleh responden, bahwa karena capek, maka mereka mudah putus asa, tidak mempunyai motivasi yang tinggi untuk menyelesaikan laporan-laporan. Hal ini jelas bahwa mahasiswa menunda menyelesaikan tanggung jawabnya karena factor fisik yaitu kelelahan, sehingga mempengaruhi psikologinya untuk tidak menyelesaikan tanggung jawabnya. Hasil wawancara tentang keinginan untuk mengatasi masalah belajar di klinik didapatkan data bahwa mahasiswa mempunyai keinginan untuk mengatasi masalah tersebut, mereka melakukan beberapa hal seperti belajar bersama dan lain sebagainya. Hal ini didukung data pernyataan responden sebagai berikut: (1) R1: “ tadinya males banget, tetapi sekarang saya mengerjakan laporan kalau bangsal gak repot saya kerjakan di bangsal, lalu kekurangannya saya kerjakan di rumah”, (2) R3: “ada keinginan, lalu saya belajar bersama dengan teman-teman untuk mengerjakan tugas”, (3) R4: “sekarang ada motivasi lalu saya kos dengan
7.
2.
20
(5) R5: “ hambatan belajar teori tidak ada teman yang bisa diajak belajar bareng, sedangkan cara pembelajaran dosen yang berbeda membuat saya bingung. Kalau di klinik setelah semester V karena banyak tugas seperti kompetensi, laporan Askep, laporan harian, maka terus kethetheran), (6) R6: “kesulitan belajar teori terutama anatomi fisiologi. Belajar klinik saya orangnya malas, jadi sering mbolos dan tidak mengerjakan tugastugas”, (7) R7: “untuk teori tidak ada masalah, untuk klinik waktu banyak untuk disuruh-suruh sehingga tidak sempat belajar. Tugas dibawa pulang sehingga merasa berat”, (8) R8: “setelah semester V dan VI ternyata pekerjaan rutinitas perawat membuat saya tidak minat, ketika belajar teori tugas-tugasnya banyak”, (9) R9: “teori tidak ada hambatan, ketika belajar di klinik semester V dan semester VI padat sekali sehingga merasa capek, laporan tidak dikerjakan”
11
86
JK K
Menurut Ahmadi dan Supriyono (2004), kesulitan belajar adalah apabila peserta didik tidak dapat belajar sebagaimana mestinya. Kesulitan belajar ini tidak selalu disebabkan karena faktor intelegensi yang rendah, akan tetapi dapat juga disebabkan oleh faktor-faktor non intelegensi. Responden juga mengalami kesulitan (hambatan) dalam belajar di klinik, bukan disebabkan karena faktor intelegensi yang rendah melainkan karena faktor fisik dan faktor psikologi, mahasiswa mengatakan setelah pulang dari klinik sudah capek, sehingga tidak terdorong untuk menyelesaikan laporan-laporan. Masih menurut Ahmadi dan Supriyono (2004), bahwa penyebab kesulitan belajar
Th. Endang Purwoastuti, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Motivasi Belajar...
JK K
7.
2.
SA
11
20
Pernyataan responden tersebut menunjukkan adanya minat untuk melanjutkan ketertinggalannya, karena minat mempunyai hubungan yang erat dengan dorongan (drive), motif, dan reaksi emosional (Crow and Crow) dan mahasiswa mau melakukan sesuatu atas prakarsanya sendiri dalam hal ini adalah usaha untuk mengatasi hambatan belajarnya. Tetapi mahasiswa melakukan ini setelah mereka gagal untuk dapat lulus tepat waktu. Hasil wawancara tentang dukungan dari keluarga, menurut responden, mereka masih mendapat dukungan dari orangtua, meskipun mereka tidak dapat lulus tepat waktu. Tetapi ada 1 responden yang mengatakan bahwa dia jatuh karena mendengar bahwa ibunya akan menikah lagi, dan 3 responden yang antara lain merasa ditekan oleh ayahnya termasuk pemberian uang, karena kurang dari segi financial. Hal ini didukung data pernyataan responden sebagai berikut : (1) R1: “orangtua mendukung sepenuhnya baik moril maupun materiil”, (2) R2: “keluarga mendukung semua”, (3) R3: “ keluarga sangat menmdukung apalagi ini keinginan ibu saya, tetapi ketika ibu
saya mau menikah lagi saya down sekali”, (4) R4: “orangtua mendukung sekali jadi perawat”, (5) R5: “ dari awal dukungan orang tua penuh, tapi sekarang bapak saya selalu menekan misalnya “kapan proposal selesai, kamu semester ini harus selesai”, dan sebagainya. Bahkan uang sekarang juga di pres, untung ibu masih mensuport dari belakang”, (6) R6: “kalau moril orangtua selalu mendukung dengan cara mengingatkan untuk belajar, tetapi kalau finansial memang kurang kurang, SKS selalu mengangsur, dan beberapa semester menunggak”, (7) R7: “keluarga selalu mendukung dan memahami saya ketika saya tidak bisa lulus bareng teman-teman”, (8) R8: “keluarga mendukung asal saya benar-benar mau”’ (9) R9: “ibu sangat mendukung dengan doa, support, kasih saying, tetapi bapak sangat kecewa karena kegagalan saya. Dari segi keuangan juga kurang mendapat perhatian karena sudah diminta oleh kakak saya yang kawin muda dan belum siap”.
Y
teman-teman, sehingga ada yang membangunkan”, (4) R5: “saya belajar dengan teman-teman, agar saya mendapat apa yang saya tidak tahu, gunakan fasilitas internet”, (5) R7: “saya berpikir kalau saya ngutang klinik, maka menumpuk dan pusing cara penyelesaiannya, saya masuk terus ke klinik agar saya tidak ngutang”, (6) R8: “saya belajar dan membuat laporan askep di klinik, kalau belum selesai baru diselesaikan di rumah”, (7) R9: “saya berniat harus bangkit dari jatuh ini”.
87
Hasil wawancara tentang dukungan orang tua didapatkan sebagian besar responden mendapat dukungan dari orang tua, meskipun mereka tidak dapat lulus tepat waktu. Sebagian kecil lainnya mengalami masalah dalam dukungan orang tua. Menurut Abu Ahmadi dan Widodo Supriyono, bahwa peran orang tua dalam belajar sangat besar. Keluarga merupakan pusat pendidikan yang utama dan pertama, tetapi dapat juga sebagai faktor penyebab kesulitan belajar. Hubungan antara orang tua dengan anak sangat penting dalam menentukan kemajuan belajar anak, keteladanan orang tua akan ditiru anaknya. Selain itu juga
Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 7 No. 2, Desember 2011: 82-94
SA
Y
(google book) saya rasa buku-buku perpus itu buku-buku lama”, (6) R6: “perpus sudah menyediakan bukubuku yang dibutuhkan, juga internet sudah memadai, yang lain tidak ada hambatan”’ (7) R7: “pantom bagus, hanya pantom maternitas kurang untuk pertolongan persalinan dan pemeriksaan ibu hamil dengan pantom susah membedakan mana bagian punggung mana bagianbagian kecil. Perpus baguas, banyak buku-bukunya, internet kurang menggunakan karena komputernya kurang”, (8) R8: “Perpus baguas, internet tidak pernah menggunakan, lab alat-alatnya sudah cukup mendukung”, (9) R9: “lab sudah cukup, perpus buku-bukunyakurang, internet jarang menggunakan karena rebutan”.
JK K
7.
2.
20
suasana rumah dan ekonomi keluarga. Keadaan ekonomi keluarga yang kurang akan menimbulkan kurangnya alat-alat belajar, kurangnya biaya sekolah, tidak mempunyai tempat belajar yang baik. Dari jawaban responden sangat sesuai dengan teori yang disampaikan di atas, bahwa keluarga sangat berpengaruh terhadap kemajuan belajar peserta didik. Hal ini juga terbukti bahwa ada responden yang gagal lulus tepat waktu karena hubungannya dengan orangtua yang tidak baik. Dia merasa kecewa ketika ibunya akan menikah lagi, sedangkan yang menginginkan dia menjadi perawat adalah ibunya. Responden lain mengatakan bahwa dia merasa ditekan oleh orang tuanya. Kemungkinan factor orangtua juga mempengaruhi motivasi belajar mahasiswa tersebut sehingga tidak lulus tepat waktu. Jawaban responden tentang fasilitas yang disediakan institusi untuk mendukung belajar mahasiswa, 9 responden mengatakan bahwa fasilitas baik dari laboratorium, perpustakaan dan internet cukup baik. Hal ini didukung data pernyataan responden sebagai berikut : (1) R1): “fasilitas cukup, bukubukunya cukup meskipun bukubukunya lama-lama, internet jarang menggunakan”’ (2) R2: “fasilitas di perpustakaan sudah baik, internet jarang menggunakan”’ (3) R3: “ fasilitas sudah mendukung, seperti perpustakaan buku-bukunya sudah cukup banyak, pantom di lab bagus, pantom untuk pemeriksaan ibu hamil saya rasa lebih jelas menggunakan ibu hamil sesungguhnya”, (4) R4: “fasilitas yang disediakan institusi sudah cukup mendukung”, (5) R5: “kalau lab sudah bagus disbanding dengan Akper lain. Perpus saya kurang menggunakan, saya lebih senang menggunakan internet
11
88
Alat pembelajaran yang kurang lengkap membuat penyajian pelajaran kurang baik. Terutama pelajaran yang bersifat praktikum. Kurangnya alat laboratorium akan banyak menimbulkan kesulitan dalam belajar. Dalam penelitian ini responden mengatakan bahwa fasilitas peralatan yang disediakan oleh institusi sudah bagus, berarti dari segi alat tidak menyebabkan kesulitan belajar. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden tentang dukungan dosen terhadap proses pembelajaran mahasiswa adalah : “dosen-dosen banyak membantu memberikan dukungan”, tetapi ada 2 responden yang mengatakan bahwa ada dosen yang kurang memberikan dukungan, yang satu lagi ketika memberikan bimbingan KTI, sedangkan yang lain tidak memberikan solusi ketika ada masalah. Hal ini didukung data pernyataan responden sebagai berikut: (1) R1: “ dosen-dosen nggak ada masalah, semua mendukung kecuali
Th. Endang Purwoastuti, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Motivasi Belajar...
11
SA
Y
Pada teori yang telah disampaikan bahwa guru dapat menjadi penyebab kesulitan belajar, apabila : guru tidak kualified, hubungan guru dengan murid kurang baik, guru menuntu standar pelajaran di atas kemampuan anak, guru tidak memiliki kecakapan dalam usaha diagnosis kesulitan belajar, motode mengajar guru yang dapat menimbulkan kesulitan belajar. Hasil wawancara dengan para responden tentang dukungan dari Pembimbing Akademik (PA) dalam menunjang proses belajar mengajar didapatkan hasil bahwa PA belum bisa memfasilitasi secara psikologis, bahkan dianggap masih kurang bisa memberikan masukan untuk jalan keluar. Hal ini didukung data pernyataan responden sebagai berikut: (1) R2: “yang dulu sangat perhatian dan care, kemudian ketika PA saya kuliah lagi, penggantinya kurang memperhatikan. Apalagi yang sekarang buk, selalu menyampaikan sistem yang berbeda dengan yang disampaikan waktu penjelasan, gak menyelesaikan masalah”, (2) R: “ PA yang sekarang saya merasa kurang dekat, sehingga gak bisa sharing, mungkin karena beliau sibuk, sehingga saya merasa kurang mendapat dukungan”, (3) R4: “yang sekarang belum pernah dikumpulkan hanya dulu ketika awal, membahas tentang M.A. yang belum lulus, selanjutnya belum pernah dipanggil dan belum pernah memanfaatkan”, (4) R5: “PA yang sekarang tidak pernah memberikan solusi apabila saya punya masalah, masih berkutat pada sistem… sistem…”, (5) R6: “ fasi;itas PA belum pernah saya gunakan”, (6) R7: “saya belum pernah menggunakan fasilitas PA”, (7) R8: “PA yang sekarang gak terlalu merasa-
JK K
7.
2.
20
satu dosen yang nggak suka cara membimbingnya muter-muter”, (2) R2: “dosen nggak ada masalah”, (3) R3: “dosen-dosen di sini sangat mendukung”, (4) R4: “dosen sudah banyak memberikan motivasi. Hanya kemarin waktu praktik di Jiwa jadualnya bentrok dengan pelajaran Riset, padahal saya sudah mendaftar sejak semester yang lalu (sejak awal). Dari pengampu disarankan menghadap yang berwenang (PE/WD I), tetapi gak diberi solusi, jadi merasa kaya gak didukung”’ (5) R5: “ beberapa dosen memberi suport, tetapi malah PA sendiri yang kurang memberikan suport”, (6) R6: “dosen sangat mendukung dengan selalu menanyakan setiap saya tidak masuk”, (7) R7: “banyak memberikan dukungan baik secara materi maupun psikologi”, (8) R8: “ tidak semua dosen memberikan suport, tetapi beberapa dosen selalu mengejar-ngejar”, (9) R9: “ beberapa dosen sangat mendukung, memberikan suport, tetapi ada dosen kalau menyampaikan sesuatu dalam memilih kata-kata membuat down.” Kebijakan yang diberikan kepada mahasiswa yang dirasakan oleh mahasiswa tidak memberikan solusi tersebut kemungkinan karena kurang pekanya guru terhadap usaha mendiagnosis kesulitan belajar mahasiswa. Sedangkan peran guru dalam pembelajaran adalah : (1) Mendidik siswa dengan titik berat memberikan arah dan motivasi pencapaian tujuan baik jangka pendek maupun jangka panjang, (2) Memberi fasilitas pencapaian tujuan melalui pengalaman belajar yang memadai, dan (3) Membantu perkembangan aspek-aspek pribadi seperti sikap, nilai dan penyesuaian diri.
89
90
Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 7 No. 2, Desember 2011: 82-94
kan dukungannya… saklek dengan system (aturan)”, (8) R9: “ sama sekali tidak merasa dukungan... meski caranya halus, tetapi katakatanya menusuk hati. Misalnya “karena kamu sudah gagal ya ini konsekuensinya”.
11
SA
Y
Hal ini didukung dengan hasil observasi bahwa sesuai dengan catatan PA, mereka dikumpulkan bersama-sama 1 kali pada tanggal 15 November 2010, dengan materi bimbingan adalah membicarakan tentang mata kuliah yang belum lulus, yang dihadiri oleh delapan mahasiswa. Setelah dikumpulkan bersama-sama, mereka menemui PA secara sendiri-sendiri masing-masing mahasiswa 1 kali, 5 mahasiswa pada bulan Februari 2011, 1 mahasiswa pada bulan April 2011. Satu mahasiswa pada bulan Mei 2011 dan satu mahasiswa pada bulan Oktober 2011, dengan materi bimbingan yang sama yaitu mata kuliah yang masih harus ditempuh. Cara PA mengevaluasi mereka ketika belajar di klinik adalah dengan mendapat laporan dari kepala laboratorium dan pembimbing klinik. Hal ini didukung pernyataan PA sebagai berikut: “saya mendapat laporan dari ka-lab dan CI klinik, jadi misalnya ada mahasiswa yang tidak masuk klinik, maka CI pendidikan akan lapor kalab, kemudian ka-lab akan memberitahukan kepada saya”
JK K
7.
2.
20
Hasil wawancara dengan PA, didapatkan data bahwa penerapan sistem bagi mahasiswa yang tidak lulus tepat waktu tidak dibedakan dengan yang regular, yang membedakan adalah semester berapa mereka saat itu berada. Sistem ini sudah disampaikan pada mahasiswa. Hal ini didukung dengan pernyataan dari PA yaitu: “ mahasiswa yang belum lulus pada semester 6, otomatis mereka akan melanjutkan di semester 7 sampai 10. Kemudian mereka ke PA untuk menghitung mata kuliah mana yang belum lulus, akan diselesaikan berapa semester, kemudian mengisi KRS dan registrasi, kemudian mereka mengikuti perkuliahan dengan yang regular. Jadi tidak ada perlakuan khusus terhadap mereka, yang membedakan adalah semester berapa mereka saat itu berada, dan mahasiswa sudah mendapat informasi tentang hal ini.”
mereka bersama-sama, tetapi dari 17 mahasiswa yang rajin datang hanya 6 orang, tidak semuanya pasti hadir. Kemudian kekhususannya lagi ya bentuk individual, kapanpun dia membutuhkan saya, saya meluangkan waktu khusus untuk mereka.”
Cara PA menangani mahasiswa yang bermasalah ini juga sama dengan ketika menangani mahasiswa yang tidak bermasalah, hanya pendekatannya yang berbeda yairtu sering dikirim pesan singkat (sms) supaya kumpul untuk menyampaikan informasi. Hal ini didukung pernyataan PA sebagai berikut: “tidak ada hal khusus dalam bimbingan, hanya pendekatannya yang berbeda dalam arti saya punya nomer HP mereka, kemudian saya kontak-kontak mereka, saya panggil
Ketika mahasiswa menyampaikan kesulitan belajarnya, maka cara PA memberi motivasi adalah dengan menyerahkan kembali kepada mahasiswa karena mahasiswa dianggap sudah besar/dewasa. Hal ini didukung pernyataan PA: “saya selalu mengatakan bahwa mereka sudah besar, jadi mereka
Th. Endang Purwoastuti, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Motivasi Belajar...
JK K
7.
2.
Y
SA
20
Pada UTW PA Akademi Keperawatan X yang dirumuskan oleh Direktur pada poin b adalah : mengenali, mengantisipasi, atau mencegah problem-problem mahasiswa yang dapat menghambat proses penyelesaian studi. Poin f mengatakan : membantu dan mencarikan pemecahan masalah mahasiswa bimbingannya, jika terdapat perilaku yang menyimpang, yang sulit dipecahkan sendiri, pembimbing akademik dapat melapor kepada : Direktur melalui Wakil Direktur I bekerjasama dengan Kepala Bidang Pembinaan Kemahasiswaan dan Alumni untuk “bimbingan khusus”. Dari kedua poin tersebut menunjukkan bahwa PA bertugas untuk mengenali, mengantisipasi dan mencegah masalahmasalah mahasiswa yang dapat menghambat proses belajar, dan juga membantu dan mencarikan pemecahan masalah mahasiswa. Berdasarkan pernyataan PA dari hasil diwawancara, maka sebetulnya PA sudah berusaha membimbing mahasiswa, tetapi bimbingan yang diberikan kurang bisa memahami bahwa mahasiswa ini adalah mahasiswa bermasalah yang memerlukan bimbingan khusus, juga membutuhkan solusi untuk keluar dari masalahnya, tidak sama dengan mahasiswa lain yang bukan kategori mahasiswa bermasalah. Mereka membutuhkan dukungan dari luar dirinya, dalam hal ini adalah PA, supaya dapat membangkitkan motivasinya untuk belajar. PA mempunyai peran yang sangat strategis dalam memberikan bimbingan belajar pada mahasiswa, sehingga tugas-tugasnya dirancang sedemikian rupa agar mahasiswa mendapatkan
bimbingan yang efektif, terutama pada saat mahasiswa mengalami kesulitan belajar. Dari hasil wawancara sebagian besar responden mengatakan bahwa peran PA tidak dirasakan bimbingannya terutama pada saat mereka membutuhkan. Dosen Akademi Keperawatan X selain melaksanakan tugas sebagai pendidik, juga mendapat tugas sebagai pembimbing akademik yang diuraikan dalam UTW Pembimbing Akademik. Tujuannya agar mahasiswa mendapat fasilitas bimbingan yang efektif dalam mengikuti proses pembelajaran. Dilihat dari pernyataan para responden, ternyata PA belum dapat memberikan bimbingan yang efektif bagi mahasiswa. Mungkinkah karena PA terlalu sibuk dengan pekerjaan rutin? Ataukah PA juga merupakan salah satu unsur pimpinan, sehingga dia sibuk dengan pekerjaan managerialnya? Tetapi sebagian besar responden mengatakan bahwa PA tidak dirasakan perannya dalam memberikan motivasi belajar mahasiswa agar mahasiswa dapat mencapai minatnya, bahkan ada responden yang mengatakan bahwa PA malah menyakiti hatinya, sehingga mereka tidak menggunakan fasilitas PA sebagai motivator dalam pembelajaran, dan mahasiswa tidak mendapatkan bimbingan yang efektif, yang dalam hal ini diharapkan dari PA. Oleh karena begitu besarnya pengaruh PA dalam proses pembelajaran, maka kemungkinan PA juga merupakan salah satu faktor yang menyebabkan menurunnya motivasi belajar bagi mahasiswa, sehingga mahasiswa tidak lulus tepat waktu. Sesuai dengan hasil wawancara dari responden tentang dukungan dari pembimbing klinik dan pembimbing pendidikan waktu belajar di klinik, responden mengatakan bahwa pembimbing klinik pada umumnya baik, tetapi ada pembimbing klinik yang sering bermasalah dengan mahasiswa yaitu pembimbing dari EG2 dan IGD,
11
bertanggungjawab pada diri sendiri: “kalau kamu mau menyelesaikan, dan kamu mengatakan saya pasti bisa, kamu pasti bisa” Itu yang selalu saya tekankan, saya tidak pernah mendekte mereka.”
91
Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 7 No. 2, Desember 2011: 82-94
SA
Y
keperawatan merupakan kegiatan yang sangat penting bagi mahasiswa, yang berarti bahwa prioritas perhatian seluruh aparat yang terlibat dalam mempersiapkan perawat harus ditujukan pada pemberian pelayanan keperawatan yang tepat, yang akan membantu siswa dalam mengembangkan kemampuan sebagai seorang perawat yang diharapkan. Tanggungjawab utama dalam hal ini adalah sektor pendidikan, akan tetapi keterlibatan tenaga keperawatan yang ada di sektor pelayanan juga turut menentukan, termasuk pembimbing klinik dan perawat yang lain. Sesuai dengan hasil wawancara dengan responden, meskipun mereka mengatakan pembimbing klinik pada umumnya baik, tetapi ada 2 pembimbing klinik yang sering bermasalah dengan mahasiswa, dan ada juga responden yang mengatakan bahwa pembimbing klinik tidak sepenuhnya memberikan bimbingan karena Pembimbing klinik juga ada tugas yang lain. Kemungkinan hal ini juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi motivasi belajar mahasiswa, sehingga menyebabkan mahasiswa tidak lulus tepat waktu.
JK K
7.
2.
20
sedangkan pembimbing dari pendidikan tidak ada masalah. Hal ini didukung data pernyataan responden sebagai berikut: (1) R1: “pembimb9ing klini yang dulu dari semester 2-6 kurang perhatian. Pada semester 7 ini mereka lebih intensif dalam membimbing. Pembimbing pendidikan bagus, menjelaskan dengan detail”, (2) R2: “pembimbing klinik EG2 menghilangkan laporan saya, dan pembimbing klinik IGD tidak memahami saya ketika saya sakit. Pembimbing klinik yang lain baik, pembimbing pendidikan baik, bahkan ada yang asyik”, (3) R3: “ pembimbing klinik cukup memberikan dukungan, pebimbing pendidikan banyak membahas kasus”, (4) R4: “dengan pembimbing klinik EG2 pernah ada masalah, pembimbing klinik yang lain baik, pembimbing pendidikan memberikan motivasi dengan sering mengejar-ngejar”, (5) R5 : “sempat down oleh karena pembimbing klinik Bangsal X. Yang lain memperhatikan kebutuhan mahasiswa, pembimbing pendidikan lebih peka terhadap kebutuhan mahasiswa”, (6) R6: “pembimbing klinik tidak bisa sepenuhnya membimbing mahasiswa karena ada tugas yang lain, pembimbing pendidikan cukup baik”, (7) R7: “pembimbing klinik kurang intensif membimbing mahasiswa karena masih punya tanggung jawab yang lain”, (8) R8: “pembimbing klinik lebih membantu, pembimbing pendidikan hanya kalau ujian saja datangnya”, (9) R9: “pembimbing klinik maupun pembimbing pendidikan tidak ada masalah”. Praktik klinik keperawatan merupakan penerapan prinsip-prinsip teori dan konsep kepertawatan di kelas ke dalam situasi nyata yang dihadapi dalam pemberian pelayanan keperawatan kepada pasien. Berarti mahasiswa dapat menerapkan konsep-konsep dan teori yang diperoleh di kelas dalam situasi nyata melalui interaksi dengan pasien dan anggota tim kesehatan lainnya. Pengalaman belajar praktik klinik
11
92
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Faktor-faktor yang mempengaruhi menurunnya motivasi belajar mahasiswa tidak lulus tepat waktu adalah sebagai berikut : Faktor hambatan belajar Hambatan belajar dirasakan pada pembelajaran klinik terutama dalam penyelesaian laporan asuhan keperawatan maupun laporan harian. Hal ini terutama disebabkan karena mahasiswa sudah merasa cape ketika praktik di Klinik, sehingga secara psikologi tidak berminat untuk mengerjakan laporan-laporan. Dukungan keluarga yang dirasakan kurang Meskipun 6 responden mengatakan
Th. Endang Purwoastuti, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Motivasi Belajar...
JK K
7.
2.
Y
20
Dukungan dari pembimbing akademik (PA) yang belum efektif Semua responden mengatakan bahwa peran PA dalam memberikan bimbingan untuk membangkitkan motivasi bagi mahasiswa yang bermasalah ini tidak dirasakan, terutama pada saat mereka membutuhkan. Dari hasil wawancara dengan PA dikatakan bahwa cara membimbing mereka sama dengan mahasiswa yang tidak bermasalah, dan oleh karena mahasiswa dianggap sudah dewasa, maka semua masalah mahasiswa diserahkan kepada mahasiswa itu sendiri.
Saran Bagi Pembimbing Akademik hendaknya dapat mengenali masalah mahasiswa dan meluangkan waktu khusus untuk memberikan bimbingan kepada mahasiswa secara intensif dibanding dengan yang tidak bermasalah, dan memberikan jalan keluar bagi mereka yang bermasalah, sesuai dengan tugas yang diberikan oleh institusi. Mahasiswa adalah manusia dewasa, tetapi mereka juga peserta didik yang memerlukan bimbingan, terutama yang bermasalah, sebaiknya tetap diberikan alternative jalan keluar dari masalahnya, agar mahasiswa sebagai manusia dewasa yang menentukan sendiri. Bagi Pembimbing Klinik agar dapat memberikan bimbingan kepada mahasiswa saat pembelajaran klinik terutama dalam mencapai kompetensi, memberikan semangat dalam pembuatan laporan harian maupun laporan Asuhan Keperawatan. Bagi dosen hendaknya diarahkan kepada perubahan perilaku kearah yang baik dengan memberikan motivasi bagi mahasiswa. Bagi orang tua/keluarga hendaknya orang tua memberikan teladan yang baik, mendidik dengan memilih cara yang positif, meskipun maksud sebenarnya adalah untuk memberikan pembelajaran bagi anak-anaknya.
SA
Dukungan dari dosen dalam proses pembelajaran Semua responden mengatakan bahwa dosen pada umumnya sudah memberikan motivasi dalam belajar, tetapi ada 2 responden yang mengatakan bahwa ada 2 dosen yang membuat mereka menjadi kurang termotivasi dalam pembelajaran.
factor dari luar individu (ekstrinsik) yang dirasakan kurang mendukung dalam proses pembelajaran
11
bahwa orangtua sangat mendukung baik dari segi moril maupun financial, tetapi 3 orang responden merasakan kurangnya dukungan dari orangtua. Hal ini terutama karena hubungan yang kurang baik antara anak dengan orangtua.
93
Dukungan dari pembimbing klinik dalam pembelajaran klinik Beberapa Pembimbing Klinik dirasakan kurang dalam memberikan bimbingan karena mereka selain membimbing mahasiswa juga mempunyai tugas yang lain. Selain itu, beberapa mahasiswa mempunyai pengalaman yang kurang baik pada beberapa pembimbing klinik sehingga menyebabkan kendornya motivasi belajar mahasiswa. Dari faktor-faktor penyebab yang mempengaruhi motivasi belajar mahasiswa tidak lulus tepat waktu di atas merupakan
DAFTAR RUJUKAN Abin S. M. 1987. Psikologi Kependidikan. Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan: Bandung Ahmadi, A., & Supriyono, W. 2004. Psikologi Belajar. Penerbit Rineka Cipta: Jakarta. Akademi Keperawatan Panti Rapih. 2007. Kurikulum Program Diploma III Keperawatan A k a d e m i
Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 7 No. 2, Desember 2011: 82-94
SA
Y
1997/1998). Laporan Penelitian: Akademi Keperawatan Panti Rapih. Heru, K. T. B. 1983. Kamus Bahasa Indonesia. Penerbit Kanisius: Jogjakarta. Kozier, B., & Erb, G. 1983. Fundamental Of Nursing Conceps and Procedures. Addison-Wesley Publisting Company, Inc: California. Purwanto. N. 1990. Psikologi Pendidikan. CV Rajawali Karya: Bandung. Pusat Pendidikan dan Latihan Dep. Kes. RI. 1986. Pedoman Praktek Lapangan. Departemen Kesehatan RI: Jakarta. Sardiman, A. M. 1990. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Rajawali Pers: Jakarta. Siti, S. H. 1992. Psikologi Perkembangan Pengantar Dalam Berbagai Bagiannya. Gajah Mada University Press: Yogyakarta. Siagian, S. P. 2004. Teori Motivasi Dan Aplikasinya. PT Rineka Cipta: Jakarta. Sudjana, N. 1987. Dasar-dasar dan Proses Belajar Mengajar. Sinar Baru: Bandung. Utari, A. 2000. Metode Penelitian Kualitatif. Magister Kesehatan Ibu dan Anak: Jogjakarta
JK K
7.
2.
20
Keperawatan Panti rapih. Tidak DIpublikasikan Ba’diah, A., & Santosa, S. 2000. Konsep Pembelajaran Klinik. Disampaikan dalam Pelatihan Pembelajaran Tuntas/Kemitraan di Bapelkes DIY. Tidak dipublikasikan. Christina, S. I. 1998. Pengantar Konsep Keperawatan dan Teori Keperawatan. Akademi Keperawatan Pajajaran. Departemen Kesehatan RI: Bandung. Elida. P. 1989. Motivasi Dalam Belajar. Depdikbud Ditjen Dikti, Proyek Pengembangan LPTK: Jakarta. Endang Purwoastuti, T. 1995. Hubungan Antara Persepsi Profesi Keperawatan dan Motivasi Belajar dengan Prestasi belajar Mata Ajaran Kebutuhan Dasar Manusia Dan Proses Keperawatan Pada Mahasiswa Akademi Keperawatan Panti Rapih Jogjakarta Tahun Akademi 1994/ 1995. Laporan Penelitian: Akademi Keperawatan Panti Rapih. Endang Purwoastuti, T. 2000. Hubungan Antara Sikap Terhadap Profesi Keperawatan dan Jenis Kelamin Dengan Prestasi Belajar Praktik Klinik Keperawatan Pada Mahasiswa Akademi Keperawatan Panti Rapih Tahun Akademik
11
94
Petunjuk bagi Penulis JURNAL KEBIDANAN DAN KEPERAWATAN Artikel yang ditulis dalam Jurnal Kebidanan dan Keperawatan meliputi hasil penelitian di bidang kebidanan dan keperawatan. Naskah diketik dengan program Microsoft Word, huruf Times New Roman, ukuran 12 pts, dengan spasi At least 12 pts, dicetak pada kertas A4 sepanjang lebih kurang 20 halaman dan diserahkan dalam bentuk Print-Out sebanyak 2 eksemplar beserta softcopynya. Pengiriman file juga dapat dilakukan sebagai Attachment e-mail ke alamat :
[email protected] 2. Artikel ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris. Sistematika artikel hasil penelitian adalah judul, nama penulis, abstrak disertai kata kunci, pendahuluan, metode penelitian, hasil dan pembahasan, simpulan dan saran, serta daftar pustaka. 3. Judul artikel dalam bahasa Indonesia tidak boleh lebih dari 14 kata, sedangkan judul dalam bahasa Inggris tidak boleh lebih dari 12 kata. Judul dicetak dengan huruf kapital di tengahtengah, dengan ukuran huruf 14 poin. 4. Nama penulis artikel dicantumkan tanpa gelar akademik, disertai lembaga asal, dan ditempatkan di bawah judul artikel. Dalam hal naskah ditulis oleh tim, penyunting hanya berhubungan dengan penulis utama atau penulis yang namanya tercantum pada urutan pertama. Penulis utama harus mencantumkan alamat korespondensi atau e-mail. 5. Abstrak dan kata kunci ditulis dalam dua bahasa (Indonesia dan Inggris). Panjang masingmasing abstrak 75-100 kata, sedangkan jumlah kata kunci 3-5 kata. Abstrak minimal berisi judul, tujuan, metode, dan hasil penelitian. 6. Bagian pendahuluan berisi latar belakang, konteks penelitian, hasil kajian pustaka, dan tujuan penelitian. Seluruh bagian pendahuluan dipaparkan secara terintegrasi dalam bentuk paragrafparagraf, dengan panjang 15-20% dari total panjang artikel. 7. Bagian metode penelitian berisi paparan dalam bentuk paragraf tentang rancangan penelitian, sumber data, teknik pengumpulan data, dan analisis yang secara nyata dilakukan peneliti, dengan panjang 10-15% dari total panjang artikel. 8. Bagian hasil penelitian berisi paparan hasil analisis yang berkaitan dengan pertanyaan penelitian. Setiap hasil penelitian harus dibahas. Pembahasan berisi pemaknaan hasil dan pembandingan dengan teori dan/atau hasil penelitian sejenis. Panjang paparan hasil dan pembahasan 40-60% dari panjang artikel. 9. Bagian simpulan berisi temuan penelitian yang berupa jawaban atas pertanyaan penelitian atau berupa intisari hasil pembahasan. Simpulan disajikan dalam bentuk paragraf. Saran ditulis secara jelas untuk siapa dan bersifat operasional. Saran disajikan dalam bentuk paragraf. 10. Daftar pustaka hanya memuat sumber-sumber yang dirujuk, dan semua sumber yang dirujuk harus tercantum dalam daftar pustaka. Sumber pustaka minimal 80% berupa pustaka terbitan 10 tahun terakhir. Pustaka yang digunakan adalah sumber-sumber primer berupa artikel-artikel penelitian dalam jurnal atau laporan penelitian (termasuk skripsi, tesis, disertasi). Artikel yang dimuat di Jurnal Kebidanan dan Keperawatan disarankan untuk digunakan sebagai rujukan. 11. Perujukan dan pengutipan menggunakan teknik rujukan berkurung (nama akhir, tahun). Pencantuman sumber pada kutipan langsung hendaknya disertai keterangan tentang nomor halaman tempat asal kutipan. Contoh: (Davis, 2003: 47). 12. Daftar pustaka disusun dengan tata cara seperti contoh berikut ini dan diurutkan secara alfabetis dan kronologis.
JK K
7.
2.
20
11
SA
Y
1.
Buku : Smeltzer, Suzane C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner and Suddarth. Edisi 8. EGC: Jakarta. Buku Kumpulan Artikel : Saukah, A. & Waseso, M.G (Eds). 2002. Menulis Artikel untuk Jurnal Ilmiah (edisi ke - 4, cetakan ke-1). Malang: UM Press. Artikel dalam buku kumpulan artikel : Russel, T.1998. An Alternative Conception : Representing Representation. Dalam P.J Black & A. Lucas (Eds). Children’s Informal Ideas in Science (hlm.62-84). London: Routledge.
Artikel dalam jurnal atau majalah : Kansil, C.L.2002. Orientasi Baru Penyelenggaraan Pendidikan Program Profesional dalam memenuhi Kebutuhan Industri. Transport, XX(4): 57-61 Artikel dalam Koran : Pitunov, B.13 Desember, 2002. Sekolah Unggulan ataukah Sekolah Pengunggulan? Jawa Post, hlm. 4 & 11. Tulisan/berita dalam Koran (tanpa nama pengarang) Jawa Pos.22 April, 2006. Wanita Kelas Bawah Lebih Mandiri, hlm.3. Dokumen Resmi: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.1997. Pedoman Penulisan Pelaporan Penelitian.Jakarta : Depdikbud. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 tentang Sistem Pendidikan Nasional. 1990. Jakarta: PT Ammas Duta Jaya
SA
Y
Skripsi, Tesis, Disertasi, Laporan Penelitian Sudyasih, T. 2006. Hubungan Tingkat Pengetahuan Tentang Tubercolosis Paru Dengan Sikap Orang Tua Anak (0-10 Tahun) Penderita Tuberkulosis Paru Selama Menjalani Pengobatan di Puskesmas Piyungan Bantul Tahun 2006. Skripsi Diterbitkan. Yogyakarta: PSIK-STIKES ‘ASYIYAH YOGYAKARTA
11
Makalah Seminar, Lokakarya, Penataran Waseso, M.G. 2001. Isi dan Format Jurnal Ilmiah. Makalah disajikan dalam Seminar Lokakarya Penulisan Artikel dan Pengelolaan Jurnal Ilmiah, Universitas Lambungmangkurat, Banjarmasin, 9-11 Agustus
2.
20
Internet (karya Individual) Hitchcock, S,. Carr, L.& Hall, W.1996. A Survey of STM Online Journals, 1990-1995:The Calm befoe the Storm,(Online), (http://journal.ecs.soton.ac.uk/survey/survey.html), diakses 12 Agustus 2006
7.
Internet (artikel dalam jurnal online) Kumaidi, 2004. Pengukuran Bekal Awal Belajar dan Pengembangan Tesnya. Jurnal Ilmu Pendidikan. (online), Jilid 5, No.4, (http://www.malang.ac.id), diakses 20 Januari 2000.
JK K
13. Tata cara penyajian kutipan, rujukan, tabel, gambar pada artikel berbahasa Indonesia menggunakan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan (Depdikbud, 1987). 14. Semua naskah ditelaah secara anonim oleh mitra bebestari (reviewers) yang ditunjuk oleh penyunting menurut bidang kepakarannya. Penulis artikel diberi kesempatan untuk melakukan perbaikan (revisi) naskah atas dasar rekomendasi/saran dari mitra bebestari atau penyunting. Kepastian pemuatan atau penolakan naskah akan diberitahukan secara tertulis. 15. Segala sesuatu yang menyangkut perizinan pengutipan atau penggunaan software komputer untuk pembuatan naskah atau ihwal lain yang terkait dengan HaKI yang dilakukan oleh penulis artikel, berikut konsekuensi hukum yang mungkin timbul karenanya, menjadi tanggungjawab penuh penulis artikel. 16. Sebagai prasyarat bagi pemrosesan artikel, para penyumbang artikel wajib menjadi pelanggan minimal selama satu tahun (dua nomor). Penulis menerima nomor bukti pemuatan sebanyak 2 (dua) eksemplar dan cetak lepas sebanyak 2 (dua eksemplar). Artikel yang tidak dimuat tidak akan dikembalikan, kecuali atas permintaan penulis.
JURNAL KEBIDANAN DAN KEPERAWATAN Jl. Munir No.267 Serangan Yogyakarta 55262 Telp. (0274) 374427; Fax. (0274) 389440
Bersama ini kami kirimkan Jurnal Kebidanan dan Keperawatan Vol. 6, No. 1, Juni 2010 sebanyak ….... eks. Untuk selanjutnya apabila Bpk/Ibu/Sdr/Institusi Anda berkenan melanggannya, mohon untuk mengisi blangko formulir berlangganan di bawah ini dan kirimkan ke alamat : REDAKSI JURNAL KEBIDANAN DAN KEPERAWATAN
JK K
7.
2.
20
11
SA
Y
Jl. Munir No. 267 Serangan Yogyakarta 55262 Telp. (0274) 374427 pasawat 216; Fax. (0274) 389440
TANDA TERIMA Telah terima Jurnal Kebidanan dan Keperawatan Vol. 7, No. 1, Juni 2011 Sebanyak : ….................................................... eksemplar dengan baik.
Diterima di/tgl : ………………………….. (Harap dikembalikan ke alamat di atas, bila ada Nama : ………………………….. perubahan Nama & alamat mohon ditulis)