Jurnal Hasil Penelitian Industri, Vol. 29, No. 2 – Oktober 2016, hal. 60-68
ANALISIS ENERGI DAN MUTU PRODUK PADA PROSES PEMASAKAN BUBUR KEDELAI DI INDUSTRI KECIL MENENGAH TAHU (Analysis of Energy and Product Quality in Soy Slurry Cooking in Small and Medium Enterprises of Tofu) Nok Afifah*, dan Novrinaldi Pusat Pengembangan Teknologi Tepat Guna (Pusbang TTG-LIPI), Jl.K.S.Tubun, No. 5 Subang, Jawa Barat Indonesia *Email:
[email protected]
Diterima : 21 Maret 2016
Riwayat Perlakuan Artikel: Revisi : 16 Mei 2016
Disetujui: 25 Mei 2016
ABSTRAK. Industri tahu merupakan salah satu industri yang menggunakan tungku pemasak berbahan bakar LPG (Liquid Petroleum Gas) atau biomassa. Jenis bahan bakar, bentuk dan bahan tungku merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi performansi tungku pemanas. Proses pemasakan ini dapat mempengaruhi rendeman dan kualitas tahu yang dihasilkan. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan kebutuhan energi dan mutu produk pada proses pemasakan bubur kedelai pada tiga industri kecil menengah tahu yang menggunakan bahan bakar berbeda (LPG, kayu bakar, dan sekam padi). Penelitian ini dilakukan dengan pengamatan dan pengukuran langsung di lapangan dengan mengikuti tahapan proses pembuatan tahu sesuai prosedur yang biasa dilakukan industri tahu. Parameter pengukuran meliputi massa (berat) bahan, temperatur bahan, dan waktu pemasakan. Selanjutnya biji kedelai dan bubur kedelai hasil pemasakan dianalisis kadar air, abu, protein dan lemaknya. Pemasakan bubur kedelai dengan bahan bakar LPG menghasilkan konsumsi bahan bakar spesifik dan waktu pemasakan paling rendah sebesar 10,83 g per kg bubur kedelai dan waktu 0,17 menit per kg bubur kedelai. Namun biaya energi dengan bahan bakar LPG paling tinggi, hampir mencapai 2 kali biaya energi kayu bakar dan sekam. Secara ekonomi, sekam padi merupakan bahan bakar yang paling efisien. Penambahan air selama proses pemasakan menghasilkan bubur kedelai dengan kandungan air berkisar pada 91%-96%. Kandungan abu dan lemak tidak terlalu berkurang selama proses pemasakan bubur kedelai, namun kandungan protein mengalami penurunan berturut-turut sebesar 13%, 26% dan 32% pada penggunaan bahan bakar LPG, kayu bakar, dan sekam. Mutu bubur kedelai optimum diperoleh dengan pemasakan menggunakan LPG. Kata kunci: Bubur kedelai, energi, mutu, pemasakan, tahu. ABSTRACT. Tofu is one of the small scale industries that use stoves with LPG or biomass as fuel. The types of fuel, shapes and materials of stove are some factors that affect to the performance of the stove. The cooking process influence yield and the quality of the tofu. This study aimed to compare the energy requirements and product quality of soy slurry cooking process in three small and medium enterprises of tofu which used different fuels (LPG, firewood and rice husk). This research was conducted with the observations and direct measurements in the field by following the steps in the tofu production according to their usual procedures. Measurement parameters included the mass (weight) of material, the material temperature and cooking time. Furthermore, soybeans and soy slurry resulted from cooking process were analyzed in term moisture, ash, protein and fat. Soy slurry which cooked by LPG produced minimum specific fuel consumption of 10.83 g per kg of soy slurry and minimum cooking time of 0.17 minute per kg of soy slurry. However, energy cost of LPG fuel was the highest, nearly 2 times the energy cost of firewood and rice husk. Economically, rice husk was the most efficient fuel. The addition of water during the cooking process produced soy slurry with water content in the range 91% -96%. Ash and fat content were not too reduced during cooking process, but the protein content decreased respectively by 13%, 26% and 32% in the use of LPG fuel, firewood, and rice husk. The optimum quality of soy slurry was obtained by cooking using LPG. Keywords: Soy slurry, energy, quality, cooking, tofu.
60
Nok Afifah, dan Novrinaldi
1.
Analisis Energi dan ...
dengan sistem ventilasi yang baik. Akhirnya, penyakit Saluran Pernapasan Akut kerap mendominasi kesehatan masyarakat, terutama ibu dan anak. Dalam Laporan Global Burden of Disease terbaru memperlihatkan sekitar 3,5 juta kematian prematur per tahun disebabkan oleh polusi udara rumah tangga (Lim dkk, 2012). Setiap jenis bahan bakar memiliki spesifikasi yang berbeda-beda, bergantung pada komposisi penyusun bahan bakar. LPG merupakan salah satu hasil produksi destilasi minyak bumi atau proses pemisahan gas alam. Energi biomassa termasuk kayu bakar dan sekam padi masih merupakan sumber energi dominan bagi masyarakat pedesaan yang pada umumnya berpenghasilan rendah. Diperkirakan 50% penduduk Indonesia menggunakan kayu bakar sebagai sumber energi dengan tingkat konsumsi 1,2 m3/orang/tahun (Alimah, 2010). Sekam adalah bagian luar padi yang tidak ditumbuk dan juga merupakan hasil sampingan dari penggilingan beras. Pada saat ini, potensi ketersediaan limbah sekam dari 60.000 unit penggilingan padi yang ada di Indonesia adalah sekitar 1.150 metrikton sekam per bulan (Maulana, 2009). Gas LPG mempunyai nilai kalor paling besar dibanding kayu bakar dan sekam. Nilai kalor gas LPG sebesar 11.264,61 kkal/kg sedangkan kayu dan sekam berturut-turut sebesar 4.033,78 kkal/kg dan 3300 kkal/kg (Nawafi, 2010; Taufan dkk, 2013). Aplikasi tungku tradisional berbahan bakar biomassa masih banyak digunakan dalam industri kecil menengah, seperti dalam industri tahu, garam dan gula aren (Taufan dkk, 2013). Performansi suatu tungku pemanas dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti jenis bahan bakar, sistem aliran udara pembakaran untuk mensuplai oksigen bagi pembakaran, serta bentuk dan bahan tungku (Ahmad dkk, 2011). Jenis bahan bakar yang digunakan dapat berupa gas, cair, dan padat. Industri Kecil Menengah (IKM) tahu merupakan salah satu yang menggunakan tungku pemanas berbahan bakar LPG dan biomassa seperti
PENDAHULUAN
Kebutuhan energi di Indonesia semakin meningkat dan berbanding terbalik dengan ketersediaan dan produksi energi itu sendiri. Pokok permasalahannya adalah semakin minimnya bahan bakar fosil sebagai sumber energi utama saat ini. Selain itu, pemerintah Indonesia juga melakukan konversi energi dari minyak tanah ke gas pada tahun 2006. Penurunan ketersediaan pasokan dan kenaikan harga minyak tanah mengakibatkan banyak rumah tangga, terutama di daerah pedesaan dimana LPG terlalu mahal atau tidak dapat diakses, beralih ke kayu bakar (GERES, 2009). Demikian halnya dengan industri kecil menengah (IKM) makanan minuman juga beralih menggunakan bahan bakar yang lebih murah seperti gas, kayu bakar hingga serbuk gergajian yang merupakan energi terbarukan (Sylviani dkk., 2013). Menurut IEA (2011) pada tahun 2009 terdapat 2,7 miliar penduduk tidak memiliki akses terhadap energi memasak bersih terutama di daerah pedesaan sub-Sahara Afrika dan negara berkembang di Asia. Survei sosial ekonomi nasional oleh BPS (2015) menunjukkan bahwa pada tahun 2013 sekitar 58% rumah tangga di Indonesia mengandalkan LPG sebagai bahan bakar utama memasak, 32% bergantung pada kayu bakar, dan sisanya menggunakan minyak tanah dan sumber daya lain termasuk listrik, arang, biomassa lainnya dan biogas. Pemilihan jenis bahan bakar untuk memasak umumnya ditentukan oleh keterjangkauan bahan bakar, ketersediaan, aksesibilitas, dan penerimaan budaya (GERES, 2009). Bhattacharyya (2013) mengungkapkan bahwa penggunaan energi untuk memasak di negara berkembang didominasi oleh bahan bakar padat. Penggunaan kayu bakar untuk memasak, selain karena murah dan mudah untuk didapat, juga karena kebiasaaan turun temurun. Permasalahan berlipat saat asap hasil pembakaran dengan kayu bakar memenuhi dapur yang tidak dilengkapi 61
Jurnal Hasil Penelitian Industri, Vol. 29, No. 2 – Oktober 2016, hal. 60-68
serbuk gergaji, kayu bakar, dan sekam (Slyviani dkk, 2013). Menurut SNI 01-3142-1998, tahu adalah suatu produk makanan berupa padatan lunak yang dibuat melalui proses pengolahan kedelai dengan cara pengendapan protein, dengan atau tanpa penambahan bahan lain yang diijinkan (BSN, 1998). Rendemen dan kualitas tahu dipengaruhi oleh bahan baku kedelai, metode atau proses pengolahan, serta jenis dan konsentrasi koagulan. Faktor proses pengolahan diantaranya kecepatan pemanasan, kecepatan pengadukan, waktu dan suhu untuk koagulasi, serta waktu dan berat penekanan (Noh dkk, 2005). Pemasakan bubur kedelai pada pembuatan tahu dimaksudkan untuk menginaktifasi trypsin inhibitor (penghambat trypsin), meningkatkan nilai gizi dan kualitas kedelai, mengurangi rasa mint dan bau langu pada susu kedelai, menambah keawetan produk akhir dan merubah sifat protein kacang kedelai sehingga mudah dikoagulasikan (Shurtleff dan Aoyagi, 2001). Proses pemasakan juga dimaksudkan untuk meningkatkan proses ekstraksi protein kedelai dengan menggunakan air sebagai zat pendispersinya. Ekstraksi tersebut termasuk ekstraksi padat cair (leaching), membentuk dua fasa seimbang yaitu fasa rafinat berupa ampas dengan sedikit kandungan protein dan fase ekstrak yang kaya akan solvent dan protein. Pemisahan antara air dengan protein pada fasa ekstrak dapat dilakukan dengan penambahan koagulan. Beberapa variabel yang mempengaruhi proses ekstraksi protein kedelai, diantaranya lama pemasakan kedelai dan temperatur pemasakan bubur kedelai (Saputri dan Syarifa, 2009). Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan kebutuhan energi dan mutu produk pada proses pemasakan bubur kedelai pada tiga industri kecil menengah tahu yang menggunakan bahan bakar berbeda yaitu LPG, kayu bakar, dan sekam padi.
2.
METODOLOGI
Penelitian ini dilaksanakan pada tiga IKM tahu di Kabupaten Subang dan Sumedang Provinsi Jawa Barat, dengan pertimbangan ketiga IKM menggunakan bahan bakar yang berbeda, yaitu IKM ‘S’ menggunakana gas LPG, IKM ‘H’ menggunakan kayu bakar dan IKM ‘E’ menggunakan sekam. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini berupa biji kedelai impor sedangkan peralatan yang digunakan antara lain timbangan digital, termometer raksa, infra red thermometer, termokopel, stopwatch, dan gelas ukur plastik. Data dikumpulkan dengan pengamatan dan pengukuran langsung di lapangan dengan mengikuti tahapan proses pembuatan tahu sesuai prosedur yang biasa dilakukan IKM. Pengukuran dilakukan dengan menimbang semua bahan proses (biji kedelai, air, bubur kedelai) dan bahan bakar yang digunakan, mengukur temperatur bahan (air, bubur kedelai) dan temperatur ruang tungku, dan mencatat waktu yang diperlukan pada tahapan proses tersebut. Pengukuran dilakukan dengan tiga kali ulangan. Parameter pengukuran meliputi massa (berat) kedelai dan olahannya, air proses dan bahan bakar, temperatur bahan, dan waktu proses pemasakan. Biji kedelai dan bubur kedelai hasil pemasakan dianalisis kadar air, abu, protein dan lemak mengacu pada SNI 012891-1992 (BSN, 1992). Energi yang digunakan dan konsumsi bahan bakar spesifik pada proses pemasakan dihitung dengan menggunakan persamaan 1 dan 2 (Vaccari dkk, 2012). .......................... (1) .......................... (2) dengan QT : energi yang digunakan mbb : massa bahan bakar (kg) NCV : nilai kalor bahan bakar (MJ/kg) Ms : konsumsi bahan bakar spesifik (kg bahan bakar/kg bahan makanan) mbk : massa bahan makanan (kg) 62
Nok Afifah, dan Novrinaldi
Analisis Energi dan ...
Analisis data dilakukan melalui proses tabulasi data dan dibahas secara deskriptif kuantitatif dan kualitatif.
kedelai yang terekstrak sedikit. Sedangkan bila air yang digunakan terlalu banyak akan membuat energi dan waktu untuk ekstraksi sari kedelai semakin besar. Perbandingan berat kedelai kering dan air yang baik adalah sebesar 1 : 10 (Shurtleff dan Aoyagi, 2001). Ketiga IKM tahu mempunyai standar sendiri dalam menambahkan air untuk mengekstrak biji kedelai sesuai pengetahuan turun-temurun. Berdasarkan Tabel 1, terlihat bahwa jumlah air per kg biji kedelai yang digunakan IKM ‘S’ tertinggi yaitu sebesar 24 kali jumlah biji kedelai sedangkan IKM ‘H’ dan IKM ‘E’ hanya menggunakan air sebanyak 14 kalinya. Pemasakan dimana sejumlah energi panas ditambahkan, dimaksudkan sebagai tenaga pemisah atau ESA (Energy Separating Agent) pada waktu ekstraksi protein. Ketiga IKM masih menerapkan metode pemasakan konvensional, bubur kedelai dimasak dengan cara pemasakan langsung di atas tungku. Tungku dirancang sedemikan rupa untuk tempat memasak bubur, memasukkan bahan bakar, lubang ventilasi dan lubang untuk cerobong asap. Deskripsi tungku disajikan pada Gambar 1 dan 2.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN Proses pembuatan tahu diawali dengan penggilingan biji kedelai menghasilkan bubur kedelai. Tahapan berikutnya adalah perebusan atau pemasakan bubur kedelai. Pemasakan dimulai dengan pemanasan sejumlah air hingga air cukup hangat (temperatur berkisar 60- 70oC) pada ketel pemasakan. Selanjutnya ditambahkan bubur kedelai hasil penggilingan dan dimasak hingga mendidih. Pada saat bubur kedelai mendidih, volume bubur kedelai meningkat hingga memenuhi kapasitas total ketel pemasakan. Kemudian sejumlah air ditambahkan dan proses pemasakan dilanjutkan sampai bubur kedelai kembali mendidih. Pemasakan bubur kedelai dianggap selesai apabila bubur kedelai telah mendidih tiga kali. Kondisi operasi tiap IKM diperlihatkan pada Tabel 1. Penggunaan jumlah air dalam pemasakan perlu diperhatikan, dimana air yang terlalu sedikit akan menyebabkan sari
Tabel 1. Kondisi operasi pemasakan bubur kedelai IKM Uraian Satuan S (LPG) H (kayu) Biji kedelai Kg 5,5 5 Penambahan air proses L 133 72 Bubur kedelai yang diproses Kg 139 77 o Temperatur pemasakan C 96-100 80-97 Waktu pemasakan Menit 24 23
T2 T1
Gambar 1. Tungku pemasakan bubur kedelai tipe tunggal 63
E (sekam) 8 114 122 90-95 50
Jurnal Hasil Penelitian Industri, Vol. 29, No. 2 – Oktober 2016, hal. 60-68
Gambar 2. Tungku pemasakan bubur kedelai tipe ganda
IKM ‘H’ menggunakan tungku tipe tunggal artinya satu tungku terdiri dari satu lubang pemasukan bahan bakar dan satu tungku masak. Tungku ini juga dilengkapi chimney untuk menyalurkan asap sisa pembakaran kayu ke luar ruangan sekaligus sebagai saluran aliran udara. Permasalahan pada tungku ini adalah masih banyaknya panas yang tidak termanfaatkan/terbuang dari lubang chimney (Gambar 1 T2`) dan juga pada lubang pemasukan bahan bakar kayu (Gambar 1 T1). Temperatur udara rata-rata selama proses pemasakan pada chimney pada titik 50 cm dari atas tungku (T2) sebesar 367oC dan pada pada lubang pemasukan bahan bakar (T1) sebesar 199oC. Panas yang terbuang melalui chimney tersebut masih dapat digunakan untuk memanaskan/menghangatkan air. Air hangat ini dapat dimanfaatkan untuk air tambahan selama pemasakan sehingga waktu pemasakan bisa lebih pendek. Tungku tipe ganda seperti terlihat pada Gambar 2 diaplikasikan oleh IKM ‘S’ dan IKM ‘E’. Tungku tersebut merupakan tungku dengan sistem pemasakan langsung yang terbuat dari tembok bata. Bak pemasakan berupa wajan yang diletakkan pada tungku tembok. Tungku terdiri dari tungku utama (pemasakan bubur kedelai) dan tungku penghangat air. Tungku utama mendapatkan panas langsung dari pembakaran bahan bakar. Tungku penghangat air berada di samping tungku
utama (bagian depan adalah bagian yang terdapat lubang pengapian), dimana terdapat saluran untuk mengalirkan sisa panas dari tungku utama (ruang bakar). Tungku pemasakan bubur kedelai yang digunakan IKM ‘E’ dilengkapi dengan cerobong asap (chimney) ke luar ruang produksi untuk mengalirkan sisa panas dan asap hasil pembakaran sekam. Tidak demikian dengan tungku IKM ‘S’ yang menggunakan LPG, lubang pengeluaran panas berada pada bagian atas tungku. Studi oleh Taufan, dkk (2013) memperlihatkan bahwa pemanfaatan panas buang sebelum keluar dari exhaust mampu menghangatkan 30 liter air dari temperatur 30oC sampai 54oC atau setara 720 kkal energi panas. Pemanfaatan panas ini juga mampu menurunkan suhu di saluran buang secara signifikan dari 367oC (tungku tipe tunggal) menjadi 83 oC (tungku tipe ganda). Kapasitas produksi tiap batch produksi IKM ‘S’, ‘H’, dan ‘E’ sesuai Tabel 1 masing-masing sebesar 5,5 kg, 5 kg, dan 8 kg biji kedelai. Konsumsi bahan bakar gas, kayu, dan sekam selama proses pemasakan bubur kedelai berturut-turut sebesar 1,5 kg, 6,3 kg, dan 12 kg. Dengan menggunakan Persamaan 1, diperoleh bahwa energi yang dibutuhkan untuk memasak bubur kedelai IKM ‘S’, ‘H’, dan ‘E’ berturut-turut sebesar 16.897 kkal, 25.413 kkal, dan 39.600 kkal. Proses ekstraksi dan denaturasi protein kedelai (pemasakan) merupakan tahapan 64
Nok Afifah, dan Novrinaldi
Analisis Energi dan ...
Konsumsi bahan bakar spesifik, g/kg
proses yang mengkonsumsi energi bahan bakar tertinggi. Pembuatan 1 kg tahu-kori dari 2,2 kg kedelai mengkonsumai 2.556 kkal energi bahan bakar per kg produk kering (Yano dkk, 1987). Pengurangan jumlah air yang dipanaskan akan menjadi yang paling efektif dalam penghematan energi bahan bakar. Jumlah bubur kedelai yang dimasak ketiga IKM tidak sama, perbandingan konsumsi bahan bakar spesifik disajikan pada Gambar 3.
bakar yang digunakan untuk memasak tiap kg bubur kedelai. Waktu pemasakan spesifik dan Biaya energi spesifik yang harus ditanggung IKM tahu disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Waktu pemasakan spesifik dan biaya energi spesifik pemasakan bubur kedelai
S (LPG)
Waktu pemasakan spesifik, menit/kg 0,17
Biaya energi spesifik, Rp/kg 65
120
H (kayu)
0,38
54
100
E (sekam)
0,41
39
IKM
80
Pemasakan bubur kedelai dengan menggunakan bahan bakar LPG membutuhkan waktu paling singkat yaitu 0,17 menit, sedangkan pemasakan berbahan bakar kayu dan sekam masing-masing membutuhkan 0,38 menit dan 0,41 menit per kg bubur kedelai. Seperti halnya konsumsi bahan bakar spesifik, lamanya pemasakan bubur juga berhubungan dengan nilai kalor tiap bahan bakar dan desain tungku. Berdasarkan Tabel 2 terlihat bahwa biaya energi dengan bahan bakar LPG terlihat paling tinggi dibandingkan kayu dan sekam. Tingginya biaya tersebut karena harga per kg LPG mencapai 10-15 kali harga kayu dan sekam. Bagaimanapun, penggunaan bahan bakar LPG akan memberikan keuntungan pada proses pemasakan yang lebih cepat, cukup mudah digunakan, dapat dikontrol dan bersih karena api biru yang dipancarkan selama proses pembakaran (Barlin, 2012; Darmajana dkk, 2015). Konsekuensi penggunaan biomassa adalah terjadinya beberapa masalah lingkungan, kesehatan, dan keselamatan. Penebangan kayu secara ilegal berdampak pada kelestarian hutan. Pembakaran biomasa menghasilkan campuran kompleks polutan dalam bentuk gas dan aerosol dengan masa tinggal tergantung pada ventilasi dalam ruangan (Singh dkk, 2014). Protein merupakan komponen utama dari kedelai kering. Hasil analisa proksimat
60 40 20 0
S (LPG)
H (kayu)
E (sekam)
Gambar 3. Konsumsi bahan bakar spesifik pemasakan bubur kedelai tiap IKM tahu
Konsumsi bahan bakar spesifik IKM ‘H’ dan ‘E’ yang menggunakan kayu dan sekam lebih besar 7 dan 9 kali dibandingkan IKM ‘S’ yang menggunakan LPG. Hal ini disebabkan oleh nilai kalor masing-masing bahan bakar, juga karena desain tungku pemasaknya. Pada tungku pemasakan dengan tipe tunggal, air perebus harus dipanaskan dari temperatur lingkungan (+ 28 oC) ke temperatur didihnya sebelum ditambahkan bubur kedelai. Namun pada tungku tipe ganda, air perebus bubur kedelai sudah mencapai temperatur kisaran 40-50 oC. Hal ini tentu memberikan keuntungan penghematan kebutuhan bahan bakar dan waktu pemasakan. Untuk membandingkan pengaruh pemakaian bahan bakar terhadap waktu pemasakan bubur kedelai dan biaya bahan bakar digunakan istilah waktu pemasakan spesifik dan biaya energi spesifik. Waktu pemasakan spesifik dinyatakan sebagai waktu yang dibutuhkan untuk memasak tiap kg bubur kedelai. Biaya energi spesifik diartikan sebagai biaya yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan bahan 65
Jurnal Hasil Penelitian Industri, Vol. 29, No. 2 – Oktober 2016, hal. 60-68
menunjukkan bahwa biji kedelai yang digunakan mengandung protein 38,19%, karbohidrat 29,79%, lemak 14,10%, air 13,46%, dan abu 4,01%. Jumlah air ekstrak, jenis bahan penggumpal, temperatur dan waktu proses merupakan beberapa variabel yang berpengaruh dalam pembuatan tahu (Darmajana dkk, 2015). Minh (2014) menyatakan bahwa pemasakan pada temperatur 90oC dan waktu 15 menit menghasilkan tahu dengan struktur (pembentukan gel) dan warna terbaik, demikian juga dari karakteristik sensorinya.. Hasil analisa kimia bubur kedelai hasil pemasakan tiap IKM disajikan pada Tabel 3.
Gambar 4 menunjukkan penurunan kandungan protein pada bubur kedelai hasil pemasakan dibandingkan protein pada biji kedelai. Temperatur yang tinggi pada saat pemasakan membantu terlepasnya ikatan struktur protein yang menyebabkan terlarutnya komponen protein dalam air. Namun pada temperatur yang terlalu tinggi persen protein terlarut akan semakin kecil karena protein mengalami denaturasi. Denaturasi adalah suatu proses terpecahnya ikatan hidrogen, interaksi hidrofobik, ikatan garam, dan terbukanya lipatan molekul. Denaturasi terjadi pada kisaran temperatur 60°- 100°C. Semakin lama waktu pemasakan maka persen protein terekstrak semakin banyak karena semakin banyak energi panas yang ditambahkan, sampai batas tertentu protein yang terekstrak akan semakin sedikit ketika semua protein yang ada dalam kedelai telah terekstrak seluruhnya (Saputri dan Syarifa, 2009). Temperatur pemasakan ketiga IKM tidak terlalu berbeda pada kisaran 90-100 oC. Waktu pemasakan IKM ‘S’ paling singkat menghasilkan bubur kedelai dengan kandungan protein paling tinggi. Sedangkan waktu pemasakan spesifik IKM ‘H’ dan ‘E’ yang tidak berbeda menghasilkan produk dengan penurunan komponen protein sebesar 26% dan 32%.
Tabel 3. Hasil analisa kimia bubur kedelai masak IKM
Air (%) 95,92 93,56 91,90
S H E
Abu (%) 0,16 0,15 0,32
Kadar Protein (%) 1,35 1,92 1,48
Lemak (%) 0,98 1,08 0,64
Penambahan air mencapai 14-24 kali berat kedelai menghasilkan bubur kedelai dengan kadar air lebih dari 90%. Kadar abu menunjukkan sisa hasil pembakaran bahan organik yang berhubungan dengan kandungan mineralnya. Analisis neraca massa memperlihatkan komponen abu dan lemak tidak terlalu berkurang karena kedua komponen ini tidak terurai pada pemanasan sampai 100oC. Komponen protein pada ketiga IKM mengalami penurunan karena pemanasan seperti terlihat pada Gambar 4.
4.
Pemilihan jenis bahan bakar (LPG, kayu bakar, dan sekam) pada proses pemasakan bubur kedelai memberikan keuntungan dan kerugian masing-masing. Pemasakan bubur kedelai dengan bahan bakar LPG menghasilkan konsumsi bahan bakar spesifik dan waktu pemasakan paling rendah sebesar 10,83 g per kg bubur kedelai dan waktu 0,17 menit per kg bubur kedelai. Konsumsi bahan bakar spesifik kayu bakar dan sekam lebih besar 7 - 9 kali dibandingkan gas LPG dengan kebutuhan waktu sekitar 2 kali gas LPG. Namun biaya energi dengan bahan bakar LPG paling tinggi hampir 2 kali biaya energi kayu bakar dan sekam.
Penurunan protein, %
35 30 25 20 15 10 5 0 S (LPG)
H (kayu)
KESIMPULAN
E (sekam)
Gambar 4. Prosentase penurunan kandungan protein karena pemasakan bubur kedelai
66
Nok Afifah, dan Novrinaldi
Analisis Energi dan ...
Badan Standardisasi Nasional. 1992. SNI Cara Uji Makanan dan Minuman No. 01-28911992. BSN. Jakarta. Darmajana, D.A., Sholichah, E., Afifah, N. Luthfiyanti, R., Andriana, Y. 2015. Pemanfaatan Teknologi Tepat Guna dalam penerapan Cleaner Productionn dii Industri Kecil Pengolahan Tahu di Subang dan Sumedang. LIPI Press. Jakarta GERES. 2009. Woodfuel Flows in Central Java. GERES (Renewable Energy, Environment, and Solidarity Group), Aubagne France. IEA. (2011). Energy for All: Financing Access for The Poor, Special Early Excerpt of The World. International Energy Agency. http://www.worldenergyoutlook.org/medi a/weowebsite/2011/weo2011_energy_for _all.pdf Lim, S., Vos T, Flaxman AD, Danaei G, Shibuya K, Adair-Rohani H, et al. 2012. A Comparative Risk Assessment of Burden of Disease and Injury Attributable to 67 Risk Factors and Risk Factor Clusters in 21 Regions, 1990–2010: A Systematic Analysis for the Global Burden of Disease Study 2010. Lancet. 380 (9859): 2224–60. Minh, N.P. 2014. Different Factors Affecting To Mung Bean (Phaseolus aureus) Tofu Production. International Journal of Multidisciplinary Research and Development. 1(4):105-110. Nawafi, F., Puspita, R. D., Desna, dan Irzaman. 2010. Optimasi Tungku Sekam Skala Industri Kecil dengan Sistem Boiler. Berkala Fisika. 12(3):77-84. Noh, E.J., Park, S.Y., Pak, J.I., Hong, S.T., Yun, S.E. 2005. Coagulation of Soymilk and Quality of Tofu As Affected by Freeze Treatment of Soybeans. Food Chemistry. 91:715–721. Maulana, R.. 2009. Optimasi Efisiensi Tungku Sekam dengan Variasi Lubang Utama Pada Badan Kompor. Skripsi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Saputri, S.D. dan Syarifa A. K. 2009. Pengaruh Lama Pemasakan dan Temperatur Pemasakan Kedelai terhadap Proses Ekstraksi Protein Kedelai untuk Pembuatan Tahu. Skripsi. Universitas Diponegoro, Semarang. Sylviani, Dwiprabowo, H., Suryandari, E.Y. 2013. Analisis Biaya Penggunaan Berbagai Energi Biomassa untuk IKM (Studi Kasus di Kabupaten Wonosobo). Jurnal
Penambahan air mencapai 14-24 kali berat biji kedelai menghasilkan bubur kedelai dengan kandungan air berkisar pada 91%-96%. Kandungan abu dan lemak tidak terlalu berkurang pada proses pemasakan bubur kedelai. Selama pemanasan komponen protein mengalami penurunan berturut-turut sebesar 13%, 26% dan 32% pada penggunaan bahan bakar LPG, kayu bakar, dan sekam. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih kepada Kemenristek sebagai penyandang dana kegiatan penelitian melaui Program Insentif Peningkatan Kemampuan Peneliti dan Perekayasa, Ir. Doddy A. Darmajana, M.Si. sebagai penanggung jawab kegiatan, rekanrekan peneliti dan teknisi yang tergabung dalam kegiatan penelitian ini, dan IKM Tahu Sari Rasa, Engkos, dan Saribumi yang telah menyediakan waktu dan tempat untuk pengambilan data selama penelitian. DAFTAR PUSTAKA Ahmad, A.M., Pudjiono, E., dan Setyawan, A.B. 2011. Rancang Bangun dan Uji Performasi Tungku Keramik Berpipa Spiral dengan Bahan Bakar Padat. Jurnal Teknologi Pertanian. 12(3):181-186. Alimah, D. 2010. Kayu sebagai Sumber Energi. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Kehutanan. Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Barlin, Nainggolan, M.P. 2012. Studi Performa Tungku Pembakaran Biomassa Berbahan Bakar Limbah Sekam Padi. Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Sains dan Teknologi Ke-2. Univ.ersitas Bung Hatta, Padang. Bhattacharyya SC. 2013. Energy Access Programmes and Sustainable Development: A Critical Review and Analysis. Energy for Sustainable Development. 16:260–271. BPS. 2015. Persentase Rumah Tangga Menurut Provinsi dan Bahan Bakar Utama untuk Memasak Tahun 2000-2013. Biro Pusat Statistik.http://www.bps.go.id/index.php/li nkTabelStatis/1364. Badan Standardisasi Nasional. 1998. SNI Tahu No 01-3142-1998. BSN. Jakarta 67
Jurnal Hasil Penelitian Industri, Vol. 29, No. 2 – Oktober 2016, hal. 60-68
Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan. 10(1):48–60. Shurtleff, W., Aoyagi, A. 2001. Tofu and Soymilk Production, The Book of Tofu. New Age Food Study Center, La Vayette. Vol. 2: p5. Singh, S., Gupta, G.P., Kumar, B., Kulshrestha, U.C. 2014. Comparative Study of Iindoor Air Pollution Using Traditional and Improved Cooking Stoves In Rural Households of Northern India. Energy for Sustainable Development. 19:1–6. Taufan, A., Novrinaldi, Hanifah U. 2013. Rancang Bangun dan Pengujian Tungku Berbahan Bakar Gas untuk Industri Tahu Tradisional Berbasis Produksi Bersih. AGRITECH. 33(4):442-449.
Vaccari, M. Vitali, F. Mazzu, A. 2012. Improved Cookstove As An Appropriate Technology for The Logone Valley (Chad-Cameroon): Analysis of Fuel and Cost Savings. Renewable Energy. 47: 4554. Yano, T. Iibuchi, S., Lin, B.F., Miyawaki, O., Torikata, Y. 1987. An Approach to Saving Energy in Kori-Tofu Processing. Energy in Agriculture. 6 :141-152.
68