JURNAL ESSAY PHOTOGRAPHY: BABURU KANDIAK DI MINANGKABAU
Oleh
Mai Hidayati 1210618031
JURUSAN FOTOGRAFI FAKULTAS SENI MEDIA REKAM INSTITUT SENI INDONESIA YOGYAKARTA
UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta
2017
ESSAY PHOTOGRAPHY: BABURU KANDIAK DI MINANGKABAU Mai Hidayati Mahasiswi Program Studi Penciptaan Fotografi Institut Seni Indonesia, Yogyakarta Sulik Aie, Kabupaten Solok, Sumatera Barat. No. HP: 085281409928, E-mail:
[email protected] ABSTRAK Penciptaan karya Tugas Akhir ini berjudul Essay Photography: Baburu Kandiak di Minangkabau. Objek penciptaan tugas akhir ini yaitu membahas tentang tradisi baburu kandiak yang merupakan kegiatan berburu babi hutan yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat Minangkabau yang berada di Sumatera Barat dengan menggunakan anjing sebagai senjata berburu. Tujuan dari kegiatan ini yaitu untuk membasmi hama babi hutan yang sering merusak pertanian masyarakat Minangkabau, namun seiring berjalannya waktu, kegiatan berburu babi pada saat ini menjadi sebuah wadah untuk menyalurkan hobi dan dianggap sebagai acara tradisi Minangkabau untuk meningkatkan status sosial kaum laki-lakinya. Masyarakat umum yang berada di luar Pulau Sumatera menganggap bahwa hasil buruan adalah untuk dikonsumsi, padahal tidak. Babi hasil tangkapan berburu hanya dimakan oleh anjing saja karena mayoritas masyarakat Minangkabau adalah muslim. Hal inilah yang melatarbelakangi penciptaan tugas akhir ini karena perbedaan bentuk kegiatan berburu babi yang dilakukan oleh masyarakat Minangkabau dengan masyarakat etnis lainnya. Untuk mencapai tujuan ini dibutuhkan metode observasi, eksplorasi, dan eksperimentasi. Metode observasi bertujuan untuk menggali ide penciptaan lebih mendalam dengan cara langsung terjun ke lapangan objek penciptaan. Selanjutnya metode eksplorasi, yaitu proses untuk membangun kedekatan terhadap objek penciptaan. Metode selanjutnya adalah eksperimentasi yang bertujuan untuk merumuskan teknis saat eksekusi foto hingga pembentukan karya. Untuk memvisualisasikannya digunakan teori fotografi esai sebagai landasan penciptaan dengan mengaplikasikan fotografi esai yang bersifat naratif ke dalam kegiatan berburu babi oleh masyarakat Minangkabau yang dikemas dalam sebuah rangkaian cerita. Fotografi esai dipercaya dapat menceritakan kembali realitas yang dilihat oleh mata yang akan disampaikan kepada khalayak umum, dengan begitu selain menambah wawasan tugas akhir ini bisa menjadi arsip dan bermanfaat pada saat ini dan pada masa yang akan datang. Kata kunci : baburu kandiak, Minangkabau, fotografi esai, naratif
UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta
ABSTRACT The title of this journal is “Essay Photography: Baburu Kandiak di Minangkabau” with the tradition of baburu kandiak be an object. Baburu Kandiak is an activity to hunt a boar with dogs. That activity usually did by Minangkabau’s people who lives in west sumatra. The purpose of this activity is to root out a boar who always make broken of argriculture of minangkabau’s people. However, by the time this activity has changed, this activity be a place to doing hobby and also be a tradition in minangkabau tu increase the men’s degree. A lot of people outside Sumatra island think that outcome from hunting is eaten by people, but its not. The boar will eat by the dog, because mostly people in Minagkabau are moeslim. This is the reason to put it into an idea of this project, because there are contradiction of hunting a boar between minangkabau’s people and other etnic’s people. To realize that idea, needed three methods, there are observation,exploration and experimentation. Observasion method used to see an idea deeply, for get it have to go to place where an object is. And then, exploration method used to create closeness with the object. The last, experimentation method used to formulate what technique that will use when taking picture until the project have done. The theory about essay photography choosen for the visualisation of the project. Essay photography may re-explain the story of baburu kandiak, so all people can fell as same as well. Keywords: baburu kandiak, Minangkabau, essay photography, narative
PENDAHULUAN Indonesia adalah sebuah negara yang kaya akan keanekaragaman budaya daerah. Kebudayaan masing-masing daerah mempunyai ciri khas yang membedakan daerah satu dengan yang lain. Salah satu yang menjadi bagian dari kebudayaan adalah adanya sebuah tradisi. Tradisi merupakan sesuatu yang telah dilakukan sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat. Istilah tradisi sering diartikan sebagai adat kebiasaan yang dilakukan secara turun-temurun dan masih terus dilakukan di masyarakat (Badudu, 1994: 1531). Tradisi tersebut bisa menjadi salah satu identitas suatu daerah dan kebanggaan bagi masyarakatnya. Di Sumatera Barat terdapat sebuah tradisi yang sampai sekarang masih terpelihara dengan baik oleh masyarakatnya, yaitu baburu kandiak atau ciliang
UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta
(berburu babi hutan). Kandiak atau ciliang dalam bahasa Minang berarti babi hutan. Berburu merupakan salah satu kegiatan masyarakat yang telah berlangsung sejak zaman dahulu dan sampai saat sekarang ini masih tetap bertahan. Pada masa dahulu berburu merupakan mata pencaharian hidup yang khusus, yang biasanya mengumpulkan tumbuh-tumbuhan dan akar-akaran yang bisa dimakan. Berburu juga dilakukan sebagai suatu cara tambahan untuk mencari makan. Demikian dalam ilmu Antropologi ketiga sistem mata pencaharian itu sering juga disebut dengan satu sebutan "Ekonomi Pengumpulan Pangan", atau Food Gathering Economics
(Koentjaraningrat,
1985:11-16).
Terdapat
beberapa
gambar
peninggalan prasejarah yang membuktikan bahwa kegiatan berburu telah berlangsung semenjak dari nenek moyang manusia dahulu. Bukti itu berupa lukisan-lukisan yang dipahat pada tembok-tembok gua tempat dimana manusia pada zaman dahulu berlindung. Dalam ilmu fotografi peninggalan jejak-jejak visual pada dinding-dinding goa dikenal dengan pictograph, petroglyph, dan ideograph yang dilakukan oleh mahluk yang tinggal di dalam goa. Nama untuk pembuat atau pencipta gambar tersebut dinamakan Animal pictorium, sementara tradisi penciptaan karya visual pada dinding-dinding goa adalah pictorialism (Soedjono, 2007 : 131). Bertani atau bercocok tanam merupakan salah satu budaya sosial masyarakat Minangkabau dalam memenuhi kebutuhan hidup atau sebagai sumber kesejahteraan hidup. Masyarakat Minangkabau adalah masyarakat agraris yang ditinjau dari sejarahnya tidak mengenal apa itu lahan terlantar atau lahan tidur. Mereka memanfaatkan lahan-lahan yang kosong untuk dijadikan sawah, ladang, ataupun kolam ikan. Salah satu faktor yang mengakibatkan pertanian mereka tidak tumbuh dengan baik yaitu karena adanya serangan babi hutan. Sawah atau ladang yang dekat dengan rimba atau hutan selalu menjadi sasaran babi hutan untuk mencari makan. Tak heran lahan pertanian masyarakat sering rusak akibat hama babi hutan yang semakin berkembang biak. Ramayanti (2007: 1) mengatakan bahwa kegiatan berburu babi sebenarnya hampir terdapat pada semua masyarakat yang tinggal di pedesaan yang berbatasan langsung dengan daerah areal hutan. Seperti misalnya Suku "Bena" di Pulau
UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta
Flores. Kegiatan berburu babi yang mereka lakukan disebut dengan "Gabo". Masyarakat suku Kubu yang masih hidup di Bukit Dua Belas Provinsi Jambi juga melakukan hal yang sama, mereka memburu babi dengan cara menjerat atau memanah, namun tujuan dan fungsi berburu babi bagi masyarakat ini adalah untuk memenuhi kebutuhan konsumtifnya. Lain halnya dengan masyarakat Minangkabau, tujuan dan fungsi berburu babi bukan untuk dikonsumsi melainkan untuk memberantas babi hutan yang dianggap sebagai hama yang mengganggu pertanian masyarakat, karena babi adalah haram bagi masyarakat Minangkabau yang mayoritas beragama Islam. Babi hutan yang ditangkap diberikan kepada binatang pemburu mereka saja yaitu anjing. Walaupun kegiatan ini telah menjadi tradisi, masyarakat Minangkabau tetap menjunjung tinggi folISOfi adat yaitu ”Adat basandi Syara’, Syara’ basandi Kitabullah” (Adat bersendikan syariat, syariat bersendikan kitab Allah). Kebiasaan atau tradisi masyarakat memelihara anjing telah ada sejak zaman dahulu. Binatang yang selalu dilatih secara terus-menerus dalam hal tertentu akan memiliki kemampuan insting yang sangat kuat (Sujarwa, 2010 : 352). Maka dari itu masyarakat Minangkabau menggunakan anjing sebagai senjata berburu mereka. Masyarakat Minangkabau yang mayoritas Muslim mengetahui bagaimana cara memperlakukan anjing. Dulu, daerah Sumatera Barat dipenuhi oleh hutan, maka dari itu nenek moyang mulai berpikir untuk memelihara anjing sebagai teman dalam keseharian, sebagai penjaga rumah dan ladang. Baburu kandiak oleh masyarakat Minangkabau disamping bentuk aktivitas gotong royong masyarakat untuk membasmi hama, lama-kelamaan menjadi salah satu bentuk permainan rakyat yang telah membudaya juga, namun tidak ada keterangan yang mencatat kapan persisnya kegiatan ini dimulai. Permainan rakyat adalah suatu hasil budaya masyarakat, yang berasal dari zaman yang sangat tua, yang telah tumbuh dan hidup hingga sekarang, dengan masyarakat pendukungnya baik tua, muda, laki-laki dan perempuan, kaya miskin, rakyat biasa maupun bangsawan (Yunus, 1982:4). Akhirnya aktivitas ini berkembang menjadi sebuah permainan tradisi masyarakat Minangkabau dari generasi ke generasi dengan
UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta
fungsi yang sama yaitu membasmi hama babi hutan. Aktivitas atau permainan ini sekaligus menjadi ajang silaturahmi, hobi, dan olah raga bagi kaum laki-laki masyarakat Minangkabau, bahkan ada sebuah organisasi yang menyatukan para pemburu dari berbagai daerah yaitu PORBI (Persatuan Olahraga Buru Babi). Dari bentuk dan fungsi aktivitas berburu babi yang dilakukan oleh masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat, terlihat sebuah bentuk identitas budaya masyarakat, di mana dalam aktivitas ini melibatkan lembaga-lembaga adat dan merupakan kebanggaan bagi ninik mamak di Minangkabau. Identitas inilah yang membedakan bentuk aktivitas berburu babi ini dengan aktivitas berburu babi serupa yang dilakukan masyarakat etnis lainnya. Dalam penciptaan karya ini merujuk pada karya milik Fotografer Yoppy Pieter dan Romi Perbawa. Tinjauan karya tersebut dipilih karena tema dan objeknya sama yang dibuat oleh Yoppy Pietter dalam “The Boar Hunters” yaitu tentang kegiatan berburu babi yang dilakukan oleh masyarakat Minangkabau, yang membedakan adalah dari alur cerita yang diangkat, seperti mengikuti kegiatan berburu babi lebih mendalam sehingga mampu memberikan visual yang lebih bervariatif. Sementara karya dari Romi Perbawa dalam bukunya “The Riders of Destiny” dapat dijadikan acuan karena memiliki kesamaan tema tentang hubungan manusia dan hewan.
METODE PENELITIAN Merealisasikan ide serta gagasan diperlukan konsep perwujudan. Hal tersebut merupakan pemaparan aspek-aspek yang akan di visualisasikan pada sebuah karya fotografi. Foto esai adalah pemaparan faktual yang divisualisasikan melalui sekumpulan gambar yang dilengkapi dengan komentar dan analisis yang disediakan dalam bentuk teks. Konsep penciptaan karya foto esai ini didasari atas pengalaman langsung ketika pertama kali mengikuti kegiatan berburu babi. Kemudian muncul keinginan untuk memvisualisasikan tradisi berburu babi yang masih dilakukan oleh kaum laki-laki masyarakat Minangkabau yang melalui media fotografi esai yang diharapkan mampu menyampaikan realitas bentuk
UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta
kegiatan tersebut yang dilakukan oleh masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat yang berbeda yang belum banyak diketahui oleh khalayak umum. Pada pelaksanaan pemotretan penulis akan membagi dalam tiga bagian waktu sebagai dasar acuan untuk melakukan pemotretan, yaitu, kegiatan persiapan sebelum berburu, pada saat berburu, dan pada akhir perburuan. Di antara aktivitas tersebut terdapat pula beberapa aktivitas di luar perburuan untuk menambah kedalaman topik penciptaan. Dalam proses berburu penulis harus siap tanggap dan waspada terhadap tanda-tanda dari anjing ataupun pemburu, bukan hanya siap terhadap keamanan namun harus selalu tanggap dalam melakukan pemotretan. Mengingat keadaan yang dapat berubah-berubah setiap waktu terutama ketika berada di dalam hutan, tidak memungkinkan penulis untuk terlalu banyak membawa peralatan pemotretan. Apalagi untuk bergonta-ganti lensa, jadi penulis hanya membutuhkan satu lensa yaitu lensa nikor 18-105 mm yang penulis rasa telah cukup untuk mengabadikan momen dengan baik. Di luar proses perburuan penulis bisa lebih tenang dalam mengabadikan momen. Untuk itu penulis bisa lebih mengeksplorasi pemotretan dalam segi teknik yang akan mengikuti dan disesuaikan dengan kebutuhan gambar yang diperlukan bagi penciptaan sebuah karya foto esai naratif yang penulis harapkan. Kegiatan berburu tidak hanya penulis ikuti sekali atau dua kali perburuan, karena tidak memungkinkan untuk mendapatkan semua momen terutama saat pengejaran anjing untuk berburu babi di dalam hutan. Dari beberapa kali pemotretan, setelah itu foto diurutkan sesuai kegiatan proses berburu babi dari awal hingga selesai agar membentuk sebuah alur cerita yang realistis. Pembentukan alur cerita dalam visual foto esai nantinya juga dilengkapi dengan keterangan foto agar dapat menjelaskan apa yang tidak tersampaikan di dalam foto kepada audience. Soedjono, (2007: 41) menyatakan bahwa. “Suatu karya fotografi bisa bernilai sebagai suatu narrative-text karena cara menampilkannya yang disusun berurutan secara serial sehingga memberikan kesan sebuah cerita yang berkesinambungan antara satu gambar dengan gambar lainnya”.
UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta
Fotografi merupakan media yang efektif karena mampu merekam atau mengabadikan dan menceritakan suatu peristiwa secara visual. Dengan foto dapat diperlihatkan suatu aktivitas yang belum diketahui sebelumnya. Diharapkan melalui perwujudan karya ini, pesan-pesan ataupun informasi tentang suatu kegiatan yang telah mentradisi bagi masyarakat Minangkabau dapat diterima penikmat karya dengan baik, dan dapat diketahui oleh khalayak umum.
PEMBAHASAN Aktivitas berburu babi hutan yang telah meluas dalam masyarakat Minangkabau sampai sekarang ini tidak diketahui dengan pasti tentang sejarah asal usulnya. Tradisi yang pada akhirnya bersifat rekreasi dan olahraga tersebut sudah ada sejak lama di ranah Minang, namun kapan dimulainya kegiatan ini tidak jelas diketahui karena tidak ada keterangan dari sumber-sumber tertulis yang pasti. Hal ini disebabkan karena tidak adanya kelompok masyarakat yang mencatat
kejadian-kejadian
dalam
masyarakat
masa
lampau,
sehingga
menimbulkan kesulitan untuk mengetahui, tentang asal usul perkembangan kegiatan ini. Namun pada intinya para pelaku aktif baburu kandiak ini terutama yang telah tua menyebutkan bahwa kegiatan berburu babi itu sudah ada sejak dahulu dan masih seperti itu juga sampai sekarang. Baik tentang aturan pelaksanaan, peristiwa, waktu, dan suasana itu tidak banyak mengalami perubahan sampai saat ini, tujuan utama tetap sebagai wujud gotong royong masyarakat dalam membasmi hama Baburu kandiak diikuti oleh kaum pria baik yang bertempat tinggal di daerah pedesaan yang hidup dekat dengan kawasan hutan maupun bagi masyarakat yang telah bermukim diperkotaan, yang masih muda maupun yang sudah tua, dan berasal dari berbagai lapisan sosial ekonomi masyarakat seperti pedagang, pegawai, pensiunan, petani, bahkan pelajar. Untuk menyatukan kelompok-kelompok pemburu yang berada dari berbagai daerah di Minangkabau
UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta
dibentuk suatu wadah organisasi persatuan buru babi yang bernama PORBI (Persatuan Olahraga Buru Babi) yang sifatnya sebagai wadah silaturahmi bagi para penggemar kegiatan berburu ini. Pada masa itu juga dipilih seorang ”tuo buru” atau ketua buru. Salah satu tujuan terbentuk organisai ini yaitu agar pelaksanaan berburu babi tidak terpecah-pecah, semua menjadi satu kegiatan yang lebih terkondisi dan terwujud atas kesepakatan bersama. Sasaran perburuan pada saat itu mereka lakukan secara bergiliran antara satu desa dengan desa lainnya, begitulah seterusnya. Lokasi dapat dipilih sesuai kesepakatan bersama ataupun berdasarkan laporan warga tentang wilayah perkebunan mereka yang mulai diserang oleh babi hutan. Kegiatan baburu kandiak diikuti oleh kaum laki-laki masyarakat Minangkabau dari berbagai lapisan sosial, ekonomi, tua ataupun muda, baik dari kota maupun desa, dan lain-lain. Dalam perburuan terdapat anggota, muncak dan kapalo buru (ketua buru). Muncak dan kapalo buru sangat berperan penting dalam proses perburuan. Muncak yaitu orang yang bertugas untuk mencari babi hutan ke dalam hutan bersama anjingnya sampai dapat. Setelah didapat maka muncak biasanya akan berteriak begitupun anjingnya akan menggonggong sebagai isyarat bahwa telah ditemukan tanda-tanda keberadaan babi hutan. Setelah itu para pemburu dari dalam maupun luar hutan yang menunggu isyarat akan melepaskan kala atau tali anjing mereka diiringi dengan teriakan-teriakan untuk mengarahkan anjing mereka sekaligus sebagai pemicu semangat perburuan, pada saat itu proses perburuan akan terasa mulai menegangkan. Terkadang beberapa anjing kembali dengan sendirinya pada pemiliknya karena kehilangan isyarat, sementara anjing yang telah terlatih atau terbiasa berburu biasanya akan mengejar babi hutan bersama anjing-anjing lainnya dan ikut mencabik babi tersebut hingga mati. Biasanya muncak akan dihargai dengan uang seikhlasnya oleh para pemburu atau dengan rokok sebagai jasanya dalam mencari keberadaan babi hutan. Pada saat proses pengejaran dan penangkapan babi hutan, biasanya beberapa pemburu hanya menunggu di tempat ia membuka tali anjing, ini biasanya dilakukan oleh pemburu yang telah biasa dan anjing mereka telah terlatih sehingga pada saat penangkapan babi hutan selesai, anjing tersebut akan kembali
UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta
dengan sendirinya kepada tuannya masing-masing. Namun terkadang ada juga beberapa anjing yang tersesat, hal itu bisa disebabkan seperti pendengaran atau penciuman anjing yang terbatas karena lokasi yang sangat jauh dari tuannya, ataupun anjing tersebut baru berlatih memasuki arena perburuan. Anjing yang belum terlatih di arena perburuan atau yang baru saja diikut sertakan ke dalam arena perburuan pada saat pengejaran babi hutan, biasanya para pemilik anjing tersebut akan ikut berlari mengikuti anjing mereka hingga ke dalam hutan, karena kalau tidak bisa saja pada saat proses pengejaran babi, anjing mereka akan kehilangan arah bahkan terkadang tak jarang para pemilik anjing rela kehilangan anjing mereka di lokasi perburuan, ataupun mati karna serangan babi hutan. Para pemburu yang ikut ke dalam hutan harus waspada karena bisa saja terkena serangan babi hutan yang datang dari mana saja. Pada lokasi yang telah biasa dijadikan arena perburuan, biasanya para pemburu telah mengenali jalanjalan yang akan dilewati oleh babi, namun tak jarang pula terkadang prediksi para pemburu salah, dan bisa saja jalan yang telah diwaspdai tersebut tidak dilewati babi karena kondisi yang membuatnya kehilangan arah sehingga bisa saja jalan yang dianggap aman oleh para pemburu menjadi arah pada saat babi berlari dikejar anjing-anjing mereka. Tak jarang terkadang ada pemburu yang terluka karena serangan babi hingga membutuhkan perawatan yang serius, oleh karena itu pada saat perburuan para pemburu yang masuk ke dalam hutan biasanya harus waspada dengan cara berdiri dekat pohon yang bisa dipanjat ketika ada babi yang mengarah kepada mereka. Lokasi tempat babi hutan rebah atau mati biasa disebut oleh para pemburu dengan nama “bangkai” atau bisa diartikan tempat pembantai. Biasanya babi akan mati di area jurang sempit, rawa-rawa, atau sungai. Hal itu dikarenakan pada saat babi berlari terkadang ia panik karena serangan atau suara dari sekelompok anjing yang mengejarnya hingga babi tersesat bahkan jatuh ke dalam jurang, di sana ia mulai kehilangan jalan dan akhirnya terjadi perlawanan antara babi dan anjinganjing pemburu. Tak jarang babi dengan mudah diserang karena kakinya yang tersangkut antara akar-akar pohon yang besar sehingga anjing bisa dengan cepat
UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta
menerkam babi hutan. Kalau di sungai babi biasa mati karena sungai menjadi salah satu lokasi ketika babi beristirahat untuk meminum air sungai karena menganggap dirinya aman dari pengejaran anjing-anjing pemburu, dan pada saat itu anjing-anjing pemburu akan memangsa secara ganas hingga babi kehilangan arah. Pada saat itu terjadi perlawanan antara babi dan anjing-anjing pemburu, tak jarang ada anjing yang terluka bahkan mati karena fisik babi yang besar dan kuat sehingga membuat para anjing kewalahan. Maka dari itu biasanya para pemburu terutama muncak buru dan pemburu lainnya masuk ke dalam bangkai untuk membantu anjing-anjing mereka, terkadang mereka membantu dengan cara mengambil kayu atau ranting pohon yang kuat. Pada saat itulah pisau pemburu berfungsi, yaitu untuk meraut kayu hingga runcing menyerupai tombak untuk menghalau atau merebahkan babi yang telah kewalahan melawan anjing-anjing pemburu dan untuk mencabik perut babi yang telah rebah karena serangan anjinganjing sehingga memudahkan anjing mereka untuk memakan babi hutan tersebut. Eksperimentasi Eksperimentasi adalah percobaan dalam mengulas ide dan teknis menjadi sebuah karya. Eksperimentasi pembuatan karya fotografi dibantu dengan teori seperti teknis dasar fotografi (tata cahaya) sebagai acuan. Teknik yang digunakan sebagai berikut: Pemilihan ISO. ISO (International Standar Organization) adalah kepekaan film terhadap cahaya. Bilangan ISO mengindikasikan seberapa besar kepekaan film terhadap cahaya. Makin kecil angka ISO, makin rendah kepekaan terhadap cahaya. Sebaliknya semakin tinggi angka ISO makin peka terhadap cahaya. Penggunaan ISO tergantung objek atau kondisi pemotretan. ISO rendah di bawah 200 biasanya digunakan saat siang hari dan ISO tinggi di atas 200 dipakai untuk situasi pemotretan dengan cahaya minim. Ruang Tajam (Depth of Field). Aperture merupakan alat pengatur intensitas cahaya masuk ke dalam kamera DSLR yang berpengaruh langsung terhadap daerah ketajaman gambar di depan dan di belakang objek foto. Aperture mengatur Depth of Field, mana yang tajam dan daerah mana yang blur.
UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta
Pada pembuatan suatu karya fotografi, alat dan bahan sangat diperlukan. Oleh karena itu, dalam karya fotografi esai ini dijelaskan alat, bahan, dan teknik secara terperinci. Alat dan bahan tersebut meliputi: kamera, lensa, memory card, dan, laptop. Pembuatan Tugas Akhir ini menggunakan kamera digital yaitu kamera digital Nikon D7100. Lensa merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kamera. Tanpa lensa tidak akan berfungsi. Lensa adalah salah satu alat pendukung dalam merekam gambar yang akan diabadikan yang selanjutnya direkam dalam film yang diterjemahkan dalam bentuk yang berupa sel listrik apabila menggunakan kamera digital. Lensa mampu menghasilkan gambar yang berbedabeda, lensa merupakan peralatan yang memerlukan pertimbangan khusus dalam penggunaannya. Lensa dilengkapi dengan diafragma. Pengaturan diafragma dimaksudkan agar fotografer dapat mengatur masuknya sinar ke dalam lensa dan mengatur ketajaman gambar sesuai dengan keinginan dari fotografer. Ukuran dan keperluan lensa diciptakan sedemikian rupa disesuaikan kebutuhan fotografer. Lensa yang digunakan adalah lensa bawaan kamera yaitu 18-105 mm. Dengan lensa tersebut sudah bisa mendapat foto yang cukup baik, karna berada pada rentang jarak yang diperlukan seperti, wide dan telle.
KESIMPULAN Objek penciptaan tugas akhir ini adalah berburu babi hutan (baburu kandiak) di Minangkabau. Penulis mencoba memaparkan realitas tentang sebuah tradisi yang masih dipertahankan dengan baik oleh masyarakat Minangkabau terkhusus oleh kaum laki-lakinya melalui fotografi esai. Sebagaimana foto esai merupakan pemaparan faktual yang divisualisasikan melalui sekumpulan gambar yang
dilengkapi
dengan
teks.
Foto
esai
yang
dibuat
yaitu
bersifat
narrative/kronologis secara lebih detail dan mendalam. Pada fotografi jurnalistik terdapat hubungan erat antara teks dan sekumpulan foto, namun foto esai berbeda dengan foto cerita di mana foto-foto tersebut dibuat dengan menggunakan narasi sederhana dan penjelasan singkat. Selain itu, foto penutup pada foto esai di akhiri oleh sebuah foto yang membangun sebuah opini.
UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta
Dalam penciptaan foto esai Baburu Kandiak di Minangkabau ini memakan waktu selama enam bulan berada di Sumatera Barat. Dimulai pada bulan Mei yaitu dari survei lapangan, pengumpulan data hingga eksekusi. Pada bulan Juni yang kebetulan bertepatan pada bulan suci Ramadhan, penulis hanya melengkapi data penulisan karena pada bulan tersebut perburuan hanya dilakukan pada pagi hari dengan anggota yang terbatas, dan dengan waktu yang singkat pula. Pada bulan Agustus dan September dilakukan eksekusi pemotretan lebih intens sebanyak sembilan kali perburuan dan enam kali pemotretan keseharian pemburu (daily life). Hasil karya tugas akhir esai fotografi ini diciptakan sebanyak 22 karya yang terseleksi berdasarkan hasil konsultasi bersama dosen pembimbing. Setiap karya diciptakan tentunya memiliki nilai estetis kreatif. Segala aspek fotografi penulis coba terapkan dalam penciptaan karya ini dengan cara mengaplikasikan berbagai teknis ilmu fotografi seperti cara penggunaan ruang tajam doff sempit, doff luas, selective focus, ISO, white balance, tekhnik panning, zoom in/out, angle, komposisi, dan lain-lain agar tercipta tampilan visual yang menarik, dan informatif. Dalam penyajiannya, pameran diadakan di Galeri R.J Katamsi, Institut Seni Indonesia, Yogyakarta yang berlangsung mulai dari tanggal 13 hingga 27 Januari 2017. Pada pendisplayannya pameran dilengkapi dengan audio yang berupa rekaman perburuan agar penonton merasakan ambience dari kegiaan berburu tersebut. Selain itu, ditambah dengan instalasi patung kertas sebagai pelengkap pameran.
DAFTAR PUSTAKA Alwi, Audy Mirza. 2004. Foto Jurnalistik: Metode Memotret dan Mengirim Foto ke Media Massa. Jakarta: Bumi Aksara Badudu, Zain. 1994. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Sinar Harapan. Hakimy, Idrus Dt Rajo Panghulu. 1994. Pokok-pokok Pengetahuan Adat Alam Minangkabau. Padang: Remaja Rosdakarya
UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta
Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT. Rineka Cipta Narbuko, Cholid. 2003. Metodologi Penelitian, Jakarta: Bumi Aksara. Prasetya, Erik. 1995. Fotomedia “Memahami Esai Foto (ii)”Edisi Agustus. Jakarta: PT.Prima Infosarana Media Soedjono, Soeprato. 2007. Pot-Pourri Fotografi. Jakarta: Universitas Trisakti. Sugiarto, Atok. 2005. Paparazi Memahami Fotografi Kewartawanan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Sujarwa. 2010. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Svarajati, P.Tubagus. 2013. Photagogos Terang Gelap Fotografi Indonesia. Semarang: Suka Buku Usman, Abdul Kadir. 2002. Kamus Umum Bahasa Minangkabau-Indonesia. Padang: Anggrek Media Wijaya, Taufan. 2011. Foto Jurnalistik dala dimensi utuh. Klaten: CV.SAHABAT. Yunus, Hadi Sabari. 2010. Metodologi Penelitian Wilayah Kontemporer. Yogayakarta: Pustaka Pelajar. Yunus, Ahmad. 1982. Permainan Rakyat Daerah Sumatera Barat. Padang. Debdikbud Pustaka Laman Aulia, Rahman. 18 Oktober 2016. Culture Minangkabau, Berburu Babi (Kandiak). http://www.rahmanvansupatra.my.id/ Faryagusvi, Rahmi. 18 Oktober 2016. Analisis Simbolik Terhadap Fenomena Berburu Babi. Kompasiana http://www.kompasiana.com/ Rahmi Suci Ramayanti. 2007. Fungsi Permainan Berburu Babi Pada Masyarakat Minangkabau. Soeprayogi H. 2005. Berburu Babi:Kajian Antropologis Terhadap Permainan Rakyat Minangkabau Sebagai SalahSatu Pembentuk Identitas Budaya di Sumatera Barat. Jurnal Antropologi Sumatera.
UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta