ISSN 0216-7034
Jurnal Ekonomi Pembangunan
Vol. 8 No. 29 Febuari 2016 LAHAN TETELAN: KAJIAN INTERAKSI SIMBOLIK KEMITRAAN ANTARA PERHUTANI DENGAN MASYARAKAT (STUDI KASUS DESA TAMBAKSARI, KECAMATAN SUMBERMANJING WETAN, KABUPATEN MALANG Yogi Pasca Pratama Agus Suman Asfi Manzilati
CURRENCY SUBSTITUTION: EVIDENCE FROM INDONESIA Vita Kartika Sari UNDERSTANDING THE DETERMINANTS OF FDI IN INDONESIA THROUGH EXTENSIVE DUNNING AND GRAVITY APPROACH Arif Darmawan PENGARUH KEBIJAKAN QUANTITATIVE EASING AMERIKA SERIKAT TERHADAP INDIKATOR EKONOMI INDONESIA Dewi Sarwendah Indrajati Lukman Hakim ANALISIS PERALIHAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PEDESAAN DAN PERKOTAAN (PBB-P2) DARI PAJAK PUSAT KE PAJAK DAERAH DAN KONTRIBUSI TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) KOTA SURAKARTA David Ripto Nugroho Izza Mafruhah
Diterbitkan oleh: HIMPUNAN MAHASISWA JURUSAN EKONOMI PEMBANGUNAN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS SEBELAS MARET
DINAMIKA
Vol. 8
No. 29
1 - 102 Halaman
Surakarta Febuari 2016
ISSN 0216-7034
ISSN 0216-7034
Jurnal Ekonomi Pembangunan
Vol. 8 No. 29 Febuari 2016 SUSUNAN REDAKSI Pelindung
: Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis UNS Dr. Hunik Runing Sri Sawitri, M.Si
Pembimbing
: Ketua Jurusan Ekonomi Pembangunan FEB UNS Siti Aisyah Tri Rahayu,S.E,M.Si
Dewan Redaksi
: Malik Cahyadin,S.E,M.S.i Tri Mulyaningsih,S.E,M.Si, P.Hd Dr. Suryanto, S.E,M.Si
Penanggung Jawab
: Anang Pra Yogi
Pemimpin Umum
: Novia Wijayaningrum
Pemimpin Redaksi
: Liliyana Siradj
Redaksi Pelaksana
: Agus Susilo Ajeng Nindi H Hevelyn Priscilla S
Staff Redaksi
: Azhania NS Erika Putri M
Irfan Ismail
Farida Ratna D
Paksi Danudara
Juliana Fransiska S D
Febryan Bagus A
Zelika Dewi F
Layout dan Sirkulasi : Fakhri Anandaru Utomo Maulidina Laksmi P Yusuf Permana Alamat Redaksi
: Himpunan Mahasiswa Jurusan Ekonomi Pembangunan (HMJEP) Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Universitas Sebelas Maret Gedung UKM FEB UNS Jl. Ir. Sutami No. 36 A, Solo 57126 Telp: (0271) 647481
Jurnal dinamika adalah jurnal berkala ilmiah yang diterbitkan oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sebelas Maret. Diterbitkan sebagai sarana publikasi hasil pemikiran ilmiah mahasiswa dan pihak yang berkompeten, baik berupa penelitian empiris maupun artikel yang berkaitan dengan isu- isu terkini dalam bidang ilmu ekonomi atau studi pembangunan. Tulisan yang dipublikasikan dalam jurnal ini merupakan tanggung jawab penulis, tidak mewakili pendapat penyunting.
ISSN 0216-7034
Jurnal Ekonomi Pembangunan
Vol. 8 No. 29 Febuari 2016
DAFTAR ISI PENULIS
Yogi Pasca Pratama Agus Suman Asfi Manzilati
Vita Kartika Sari
JUDUL
Lahan Tetelan: Kajian Interaksi Simbolik Kemitraan Antara Perhutani dengan Masyarakat (Studi Kasus Desa Tambakasri, Kecamatan Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang)
Currency Substitution: Evidence From
HALAMAN
1 - 32
33 - 43
Indonesia
Arif Darmawan
Understanding the Determinants of FDI in
44 - 58
Indonesia Through Extensive Dunning and Gravity Approach
Dewi Sarwendah I
Pengaruh Kebijakan Quantitative Easing
Lukman Hakim
Amerika Serikat terhadap Indikator Ekonomi
59 - 73
Indonesia
David Ripto Nugroho Izza Mafruhah
Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) dari Pajak Pusat ke Pajak Daerah dan Kontribusi terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Surakarta
74 - 97
UCAPAN TERIMA KASIH
Segala puja dan puji syukur senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT. yang senantiasa mencurahkan rahmad serta semua ke agungan-Nya. sehingga penyusunan Jurnal Bidang Penerbitan Himpunan Mahasiswa Jurusan Ekonomi Pembangunan Universitas Sebelas Maret ini dapat berjalan dengan lancar. Pada kesempatan ini, tidak lupa juga kami selaku Bidang Penerbitan di Himpunan Mahasiswa Jurusan Ekonomi Pembangunan Universitas Sebelas Maret, mengucapkan rasa terima kasih kepada Bapak Malik Cahyadin, S.E, M.S.i, Ibu Tri Mulyaningsih, S.E, M.Si, P.Hd, Bapak Dr. Suryanto, S.E, M.Si selaku reviewer,
yang disela – sela rutinitasnya masih dapat meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, dorongan, serta pengetahuan kepada kami. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada Yogi Pasca Pratama, Agus Suman, Asfi Manzilati Vita Kartika Sari, Arif Darmawan, Dewi Sarwendah I, Lukman Hakim, David Ripto Nugroho, Izza Mafruhah selaku penulis yang bersedia menuangkan ide nya didalam jurnal ini. Kami juga menyampaikan terima kasih kepada berbagai pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu di sini. Kami menyadari bahwa dalam penyusunan jurnal ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh sebab itu, kami masih membutuhkan bimbingan dari bapak dan ibu dosen di pengerjaan jurnal selanjutnya. Semoga Jurnal ini dapat memberikan manfaat kepada para pembaca, khususnya mahasiswa, serta dapat membawa dampak yang positif terhadap kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Surakarta, 29 Februari 2016
Penyusun
Lahan Tetelan: Kajian Interaksi Simbolik Kemitraan antara Perhutani dengan Masyarakat (Studi Kasus Desa Tambakasri, Kecamatan Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang)
Yogi Pasca Pratama1 Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sebelas Maret
[email protected]
Agus Suman Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya
[email protected]
Asfi Manzilati Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya
[email protected]
ABSTRAK Kajian ini bertujuan untuk: (1) Mengetahui interaksi antara petani dengan Perum Perhutani pada Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). (2) Menjelaskan bagaimana persepsi petani terhadap hak tetelan dan aturan yang melingkupinya. Secara teoritis kajian ini diharapkan dapat melengkapi penelitian terdahulu dan sebagai bahan untuk mengkaji lebih lanjut masalah interaksi antar pelaku ekonomi bagi kajian selanjutnya. Metode penelitian dalam kajian ini adalah kualitatif dengan perspektif interaksi simbolik. Dalam analisis interaksi simbolik, interaksi manusia dalam masyarakat ditandai penggunaan simbol, penafsiran, dan kepastian makna dari tindakan orang lain. Unit analisis dalam kajian ini adalah interaksi antara individu pada kontrak kemitraan yang dilakukan petani dengan Perum Perhutani serta persepsi yang timbul dari terteliti saat terlibat dalam interaksi tersebut. Oleh karena itu informan yang dituju untuk proses pengambilan data penelitian ini adalah: (1) Petani yang saat ini sedang melakukan kontrak kemitraan dengan Perum Perhutani dan mampu mengungkapkan apa yang dipikirkannya, apa yang akan dan telah dilakukannya 1
Peneliti Ahli di Kesatuan Intelektual Masyarakat Independen (KIMI) Institute
1
sehubungan dengan proses menjalankan kontrak tersebut dengan menggarap lahan kemitraan. (2) Petani yang tidak terlibat dalam kontrak kemitraan dengan Perum Perhutani. (3) Informan pendukung antara lain Ketua Kelompok Tani, Ketua Gabungan Kelompok Tani, Ketua Lembaga Kemitraan Desa Pemangku Hutan, dan Petugas Penyuluh Lapang. Data pada penelitian ini dikumpulkan dengan menggunakan beberapa metode yaitu: (1) wawancara tidak terstruktur dan wawancara mendalam; dan (2) observasi partisipasi. Sedangkan teknik analisis data menggunakan analisis interaksi simbolik yang mendasarkan pada tiga premis Blumer, yaitu: (1) Manusia bertindak terhadap sesuatu (orang) berdasarkan bagaimana mereka memberi arti terhadap sesuatu (orang) tersebut; (2) Makna merupakan produk sosial yang muncul dari interaksi sosial; dan (3) Aktor sosial memberikan makna melalui proses interpretasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Adanya kontrak kemitraan antara Perum Perhutani dengan petani memberikan akses kesejahteraan pada hasil hutan di lingkungannya. (2) Berlangsungnya kontrak kemitraan antara Perum Perhutani dengan petani membawa implikasi ekonomi dan kelembagaan. Implikasi ekonomi berupa peningkatan pendapatan petani, keberlangsungan usaha tani, dan adanya pergeseran mata pencaharian dari petani ke pelaku agrobisnis. Sementara implikasi kelembagaan berupa perubahan kelembagaan akibat sistem kontrak yang ada; baik berupa perubahan pengalokasian sumberdaya yang dimiliki hingga terciptanya aturan informal yang disepakati bersama untuk menjaga kepercayaan (trust). Kata kunci: Kemitraan, Kontrak, Interaksi Simbolik, Interaksi
Abstract This study aims to: (1) Identifying the interaction between farmers with Perum Perhutani on Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat Program. (2) Explains how farmers perceptions of the rights and rules surroundings. Theoretically, this research is expected to complement previous research and as a material for further study the problem of interaction between economic actors for further research. Methods of research in this study is qualitative with the symbolic interaction perspective. In the analysis of symbolic interaction, human interaction in society characterized the use of symbols, interpretations, and the certainty of the meaning of the actions of others. The unit of analysis in this study is the interaction between individuals in the partnership contract with Perum Perhutani by farmers and perceptions that arise from farmers when involved in these interactions. Therefore, the targeted informant for the retrieval of data of this study are: (1) Farmer who is currently performing a contract partnership with Perum Perhutani and able to express what he was thinking, what would and has done in connection with the contract to run the process with working the land partnership. (2) Farmers are not involved in the partnership contract with Perum Perhutani. (3) Another informants include the Chairman of Farmers Group, Chairman of Joint Farmers Group, Chairman of Lembaga Kemitraan Desa Pemangku Hutan, and Field Extension Officer. The data in this study were 2
collected by using several methods, namely: (1) unstructured interviews and in-depth interviews, and (2) participation observation. While the data analysis techniques using symbolic interaction analysis based on three premises of Blumer, namely: (1) Human beings act towards things (people) based on how they give meaning to something (someone) is, (2) The meaning is a social product that arises from the interaction social, and (3) Social actors give meaning through a process of interpretation. The results showed that: (1) The partnership between Perum Perhutani contracts with farmers to give access to the welfare of forest products in the environment. (2) ongoing partnership between Perum Perhutani contracts with farmers to bring economic and institutional implications. The economic implications are increasing farmers' income, the sustainability of farming, and the shift of the livelihoods of farmers into agro-business actors. While the institutional implications are institutional changes in the system due to existing contracts, either in the form of changes in the allocation of resources to the creation of informal rules are agreed together to maintain trust. Keywords: Partnership, Contract, Symbolic Interaction, Interaction
3
Pendahuluan Pemerintah Kabupaten Malang membagi wilayahnya ke dalam Sub Satuan Wilayah Pengembangan (Laporan Tahunan Dinas Pertanian dan Perkebunan, 2007: 8-9), adapun delapan SSWP tersebut adalah : 1. SSWP Ngantang dan sekitarnya meliputi Kecamatan Kasembon, Ngantang, dan Pujon. 2. SSWP Lingkar Kota Malang, meliputi Kecamatan Dau, Karangploso, Singosari, Pakis, Tajinan, Bululawang, Pakisaji, dan Wagir. 3. SSWP Lawang, meliputi Kecamatan Lawang. 4. SSWP Tumpang dan sekitarnya, meliputi Kecamatan Jabung, Tumpang, Poncokusumo dan Wajak. 5. SSWP Dampit dan sekitarnya meliputi Kecamatan Turen, Dampit, Tirtoyudo, Ampelgading, dan Sumbermanjing Wetan. 6. SSWP Gondanglegi dan sekitarnya, meliputi Kecamatan Bantur, Gedangan, Pagelaran, dan Gondanglegi. 7. SSWP Kepanjen dan sekitarnya meliputi Kecamatan Wonosari, Ngajum, Kepanjen, Kromengan, Sumberpucung, Pagak, dan Kalipare. 8. SSWP Donomulyo meliputi Kecamatan Donomulyo.
Jumlah lahan kering di Kecamatan Sumbermanjing sebesar 21, 328 Ha yang mana jumlah ini adalah yang terbesar di antara kecamatan lain yang ada di Kabupaten Malang. Dengan komposisi luasan tegal/kebun seluas 8,802 Ha, hutan negara seluas 6,926 Ha, perkebunan seluas 3,284 Ha, pekarangan/bangunan seluas 2,165 Ha, dan lain-lain seluas 151 Ha. Kecamatan Sumbermanjing memiliki rumah tangga petani sejumlah 18,181 yang tersebar pada 15 desa/kelurahan, di mana jumlah penduduk laki-laki sejumlah 48,248 jiwa dan wanita sejumlah 46,355 jiwa (Laporan Tahunan Dinas Pertanian dan Perkebunan, 2007: 41-44). Tenaga kerja buruh tani menjadi langka beberapa tahun belakangan ini. Bisa saja petani yang memiliki lahan sekaligus menggarap lahannya sendiri, tetapi hal ini akan menciptakan inefisiensi. Terlebih ketika masyarakat mulai mengenal kemitraan dengan Perhutani. Perhutani memberikan kesempatan kepada gabungan kelompok tani pemangku hutan untuk mengelola 600 Ha lahan untuk ditanami di sela-sela 4
tanaman inti milik Perhutani. Penghijauan dengan menumbuh kembangkan partisipasi masyarakat ini cukup direspon positif oleh masyarakat. Tentu saja lahan yang telah disepakati tersebut cara menanamnya tidak sama dengan di kebun sendiri, karena yang boleh ditanami adalah di sela tanaman milik Perhutani. Penelitian Angga (2006: 28) yang mengungkapkan wujud kemitraan pengelola hutan
adalah
memberi
kesempatan
kepada
warga
masyarakat
untuk
membudidayakan lahan-lahan kosong di hutan yang ada untuk ditanami tanaman semusim atau holtikultura. Dengan tujuan untuk mengurangi perilaku perambahan hutan yang cenderung merusak tanaman hutan atau penjarahan tanpa mengindahkan sistem konservasi hutan yang ada. Adanya kemitraan dengan Perhutani yang oleh masyarakat lokal disebut tethelan,di mana masyarakat yang tergabung dalam kelompok tani dapat memanfaatkan ruang di sela-sela tanaman utama milik Perhutani cukup membawa dampak yang signifikan. Selain menambah produksi kopi secara keseluruhan, para buruh tani bisa memiliki tanah garapan sendiri dengan tetelan dan menjadikan kegiatan berburuh hanya sebagai sambilan saja (Pratama, 2010:28). Keberadaan tetelan seperti yang disebutkan sebelumnya merupakan bagian dari peningkatan ekonomi petani. Masyarakat yang dahulunya hanya sebagai buruh tani sekarang memiliki tanah garapan, di lain sisi Perhutani dapat menyukseskan program penghijauan dengan mengikutsertakan masyarakat. Dalam perjalanannya modal sosial berperan penting dalam alur hubungan antar pelaku ekonomi dalam kegiatan bertani.
Perumusan Masalah Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) yang diusung Perhutani meliputi pemanfaatan lahan/ruang, waktu, dan hasil dalam pengelolaan sumberdaya hutan dengan prinsip saling menguntungkan, memperkuat dan mendukung serta kesadaran akan tanggung jawab sosial. Maka rumusan masalah dalam kajian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana interaksi antara petani dengan Perum Perhutani pada Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM)
5
2. Bagaimana persepsi petani terhadap hak tetelan dan aturan yang melingkupinya
Landasan teori Diskusi Teori Kontrak; Perspektif dalam Interaksi Sosial Dalam paper yang berjudul Contracts as Organizations yang dipresentasikan di Law & Society Annual Meeting tahun 2006, Smith dan King memandang bahwa kontrak2 merupakan titik perhatian yang penting dalam studi empiris. Teori ekonomi tidak menjelaskan secara cukup mengenai ciri umum dari sebuah kontrak, maka dalam kajian ini akan ditambahkan beberapa teori organisasi dalam rangka memperkaya kajian ekonomi. Penambahan teori organisasi dimaksudkan untuk memberikan ‘lensa’ baru dalam melihat kontrak. Fokus utama kontrak dalam teori ekonomi adalah mengurangi ex post oportunisme. Sedangkan teori-teori organisasi berusaha untuk menjelaskan mengapa suatu organisasi melakukan apa yang dilakukannya. Kontrak adalah objek yang berguna dalam teori organisasi karena seringkali kontrak dibuat oleh organisasi dan dalam perkembangannya setiap kontrak akan menciptakan organisasi yang baru. Organisasi sama dengan kontrak dalam konteks ketika kontrak merupakan mekanisme untuk mengorganisir dan memerintah dalam aktivitas bisnis. Kontrak benar-benar membuat organisasi dengan jalan menyediakan daya dorong bagi pengaturan kolektif yang berkelanjutan. Membedah kontrak dengan menggunakan perspektif teori yang berbeda akan didapati cara pandang yang berguna untuk 2
Kontrak dimungkinkan berkontribusi pada pembangunan ekonomi. Michael Trebilcock & Jing Leng, The Role Of Formal Contract Law And Enforcement In Economic Development, 92 VA. L. REV. 1517, 1519 (2006) (berargumen bahwa hukum kontrak formal dan penegakannya penting bagi pembangunan ekonomi karena “the presence of large, long-lived, highly asset-specific investments, as well as the prevalence of increasingly complex trade in goods and services that often occurs outside of repeated exchange relationships”) Kontrak juga memiliki fungsi simbolik. Lihat Mark C. Suchman, The Contract as Social Artifact, 37 LAW & SOC’Y REV. 91, 111 (2003) (“contract rituals provide symbolic reassurance that the parties are entering into a predictable, controllable, and mutual relationship within a social order composed of voluntary arm's-length exchanges between equally endowed strangers”). Hal ini sejalan dengan fungsi “teknis” dari kontrak, yang akan menyediakan kepastian pada pihak-pihak yang terikat kontrak. Lihat John McMillan & Christopher Woodruff, Private Order Under Dysfunctional Public Order, 98 MICH. L. REV. 2421, 2421 (2000). Sedangkan Richman, dalam Firms, Courts, and Reputation Mechanisms: Towards A Positive Theory Of Private Ordering, 104 COLUM. L. REV. 2328, 2329 (2004) berpendapat bahwa “Businesspeople need contractual assurance” karena menurutnya diperlukannya jaminan/kepastian adalah untuk mendukung munculnya mekanisme penegakan daripada batasan pengadilan dan batasan reputasional .
6
melihat proses sosial dan ekonomi sehubungan dengan motivasi perilaku organisasi. Dari ekspektasi dalam mengkaji kontrak, yang paling utama adalah memahami kontrak dalam konteks bagaimana kontrak dinegosiasikan, dipelihara, diadaptasikan, dan ditegakkan. Mallor at all (2004: 174) mengungkapkan bahwa hukum sebuah kontrak adalah pelaksanaan atas suatu janji atau seperangkat janji. Ketika seperangkat janji telah berada dalam status kontrak, seseorang yang dirugikan oleh pelanggaran kontrak dapat meminta pemerintah (pengadilan) untuk memaksa pihak yang melanggar untuk menetapi/mematuhi kontrak. Kinsella mengungkapkan bahwa lingkup kontrak sebenarnya cukup luas, digunakan pada berbagai jenis situasi mulai dari barter yang simpel hingga pertukaran yang kompleks seperti pinjaman dan kontrak pekerjaan. Sebuah kontrak adalah hubungan antara dua pihak atau lebih yang berisikan kewajiban secara hukum yang dapat dilaksanakan (legally enforceable obligations) di antara mereka. Kontrak dihasilkan dari kesepakatan di antara pihak-pihak untuk saling bertukar janji, misalnya salah satu pihak berjanji untuk melakukan (atau tidak melakukan) sesuatu, atau untuk memberikan (atau tidak memberikan) sesuatu benda pada pihak yang lain. Berbagai teori telah banyak didudukkan dengan maksud untuk menjelaskan mengapa hukum menegakkan kontrak dan mengapa hal tersebut membuat suatu janji disetujui atau dapat dilaksanakan. Ini hanya bentuk spesial dari sebuah janji ataukah janji dengan tambahan “sesuatu”, yang menghasilkan kontrak yang disetujui secara hukum di bawah sistem hukum pada saat ini. Di bawah common law doctrine of bargained-for consideration, kontrak (yang dapat dilaksanakan) memerlukan janji dan consideration—yaitu sesuatu yang nilainya diterima untuk menggantikan janji tersebut. Consideration tersebut dapat berupa janji yang lain atau sesuatu yang bernilai. Nilai dari consideration yang dicantumkan tidak akan sama dengan nilai dari sesuatu yang diterima (dalam kontrak), faktanya meskipun consideration bernilai rendah maka hal tersebut sudah cukup. Dalam pandangan libertarian, menerima consideration dari sebuah perjanjian tidak akan mengubah suatu perjanjian menjadi suatu tindakan agregation, dan tidak juga menjadikan janji sebagai wahana untuk men-transfer hak lebih baik dari yang dilakukan “naked promise” atau perjanjian tanpa consideration (Kinsella, 2003: 1218).
7
Sedangkan Klein (1980: 356) memandang mengapa sebuah kontrak menjadi tidak lengkap karena dua alasan yaitu: pertama, ketidakpastian yang berimplikasi kepada berbagai ketidakpastian dan itu bisa jadi membutuhkan biaya yang sangat mahal untuk mengetahui dan memilah dalam rangka menghadapi berbagai kemungkinan itu. Kedua, kinerja kontrak tertentu, katakanlah besarnya usaha yang dikerahkan oleh pekerja terhadap berbagai tugas, akan sulit untuk diukur. Jadi dua masalah yang muncul adalah ketidakpastian dan sulitnya pengukuran yang menimbulkan seberapa besar biaya transaksi muncul. Lebih lanjut Kinsella (2003: 21) mengkaji teori kontrak title-transfer yang dikembangkan oleh penganut aliran teori libertarian Murray Rothbard dan Williamson Evers. Seperti yang dikemukakan Rothbard dan Evers bahwa kontrak yang disetujui seharusnya mempertimbangkan satu atau lebih transfer hak menjadi kepemilikan (transfers of title to [alienable] property), biasanya transfer hak saling bertukar antara satu dengan yang lain. Kontrak tidak lebih dari sebuah jalan untuk memberikan sesuatu yang dimiliki ke orang lain. Hak (title) juga dapat disampaikan tanpa sekalipun menjanjikan sesuatu, sebuah janji (promise) dapat digunakan sebagai jalan untuk melakukannya tetapi bukan merupakan suatu keutamaan. Rothbard dan Evers telah sepakat dengan istilah “janji” dan tidak sepakat ketika suatu janji bisa menyampaikan suatu hak, pemikiran tersebut muncul karena jika suatu janji tidak terlaksana maka tidak akan bisa ‘melayani’ transfer hak menjadi kepemilikan. Bentuk dari pemindahan hak (title transfers) adalah sejaman (contemporanous) dan manual. Pemindahan hak dapat dikatakan sebagai future oriented dan bergantung pada kejadian dan kondisi di masa yang akan datang. Karena masa yang akan datang adalah tidak pasti, maka transfer dari hak yang berorientasi pada masa yang akan datang (future oriented) sangat bergantung dari ada atau tidaknya item tersebut pada waktu yang telah direncanakan. Glover dan Ghee (1992: 3) menambahkan bahwa kontrak biasanya juga menyediakan beberapa keuntungan bagi petani antara lain terjaminnya pasar, akses terhadap layanan perusahaan dan kemudahan akses terhadap kredit. Bahkan dalam kasus di mana perusahaan tidak menyediakan sendiri pinjaman kepada petani, bankbank biasanya menerima kontrak sebagai jaminan (collateral). Tentu saja pola dan alamiah sebuah kontrak tentu berbeda-beda terkait dengan beragamnya sifat alami dari komoditi yang ditanam, hubungan keagenan, petani, dan teknologi dan juga terkait dengan konteks kontrak itu dilakukan. 8
Model Kemitraan dan Resistensi yang Menghambat Berikut ini adalah model kemitraan dalam organisasi dan resistensi yang menghambatnya (Sumartono, 2009:5-6). a. Organisasi hirarki yang lebih landai dan kurang kaku. Memang perlu mengubah struktur birokrasi yang kaku menjadi lebih luwes, inovatif dan bertumpu pada inisiatif individu- organisasi yang lebih landai. Namun perlu dihindari adanya pemikiran bahwa seolah-olah hirarki harus dihapus dalam organisasi. Jadi yang penting adalah mengubah bentuk hirarki dominasi ke arah hirarki aktualisasi yang mendukung terbukanya potensi yang lebih besar. b. Perubahan dalam peranan manajer, dari peran “polisi” ke arah peranan fasilitator dan memberi dukungan. Masuknya pendekatan ini di dalam manajemen mendorong kreativitas yang lebih besar. Di samping itu ia mendorong ke arah konseptualisasi ulang tentang sifat kekuasaan, tanggung jawab dan wewenang. c. Dari Power over menjadi Power to/with Terjadi pergeseran dari dominasi ke kreativitas bersama. Power over dirancang baik untuk jalur keluar seseorang bekerja pada hirarki dominasi maupun menjaga diri dari pesaing. Itu adalah kontributor satu-satunya yang terpenting terhadap bayangan yang luas tak terkatakan yang membayangi semua organisasi. Di dalam sistem kemitraan, orientasi terhadap power to atau actualisation power dan power with mendorong ke arah sikap yang sangat berbeda, di mana setiap orang dapat mempertanyakan cara terbaik bekerja bersama-sama untuk memecahkan suatu masalah secara bersamasama pula. d. Kerja Tim (Team Work) Kerja tim sangat dianjurkan, kerja tim mencerminkan pergeseran dari karyawankaryawan yang diisolasi yang hanya dihubungkan dengan ban berjalan, ke tim kerja yang saling berhubungan yang berkerja pada tugas-tugas tertentu. Bekerja dalam tim memerlukan perhatian besar terhadap sifat dan kualitas hubungan maupun orientasi yang berfokus pada tugas.
9
e. Keberagaman (Diversity) Dari sudut pandang dominator, keberagaman merupakan ancaman terhadap tata tertib. Sebaliknya, dari perspektif kemitraan, keberagaman merupakan kesempatan untuk menumbuhkan kreativitas yang lebih besar, untuk berbagi perspektif baru, menciptakan hubungan dengan ide-ide baru, dan member kemungkinan bagi bersemainya antar generasi. f. Keseimbangan Gender (Gender Balance) Di dalam sistem kemitraan, terdapat pandangan sinergis dan holistik tentang identitas, individu-individu yang tidak terkunci ke dalam peranan-peranan gender yang stereotip dan membatasi, melainkan bebas untuk mengekspresikan seluruh potensinya. Karakteristik mendasar dari sistem kemitraan adalah bahwa mereka seimbang secara gender dan holistik, sementara dalam sistem dominator menciptakan “identitas yang berseberangan”. g. Kreativitas dan Kewirausahaan Di samping mampu beradaptasi dengan lingkungan, penggunaan pendekatan kemitraan memungkinkan orang dapat menilai dan merancang ulang organisasi dan peran organisasi dalam masyarakat untuk memperbaiki kualitas kehidupan ini. Di dalam sistem kemitraan, kreativitas sangat bernilai dan dihargai. Kreativitas kemitraan tidak mengecualikan perubahan-perubahan kreatif yang dramatis, sistem tersebut juga mendorong hubungan-hubungan kreatif dan pendekatan-pendekatan kreatif terhadap masalah-masalah sehari-hari. Kreativitas sehari-hari dalam organisasi dapat mendorong perbaikan terus menerus dan perbaikan kualitas, seperti praktik manajerial baru, penghargaan baru, proses pendidikan baru, bagan organisasi baru dan sebagainya. Jika organisasi dirancang dengan pemikiran sistemik, perbaikan hidup dan prinsip-prinsip kemitraan, maka diperlukan pergeseran mendasar dalam cara orang berpikir dan merancang organisasi. Selain itu organisasi memerlukan jenis kreativitas yang perlu dijaga dan didorong oleh model kemitraan yaitu perlindungan yang luas dan belum begitu dimanfaatkan dari kreativitas sosial dan kewirausahaan sosial. Pengertian Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) adalah sistem pengelolaan sumberdaya hutan dengan pola kolaborasi yang bersinergi antara Perum Perhutani dan masyarakat desa hutan atau para pihak yang berkepentingan dalam upaya 10
mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan yang optimal dan peningkatan IPM yang bersifat fleksibel, partisipatif dan akomodatif.
Maksud dan Tujuan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) dimaksudkan untuk memberikan arah pengelolaan sumberdaya hutan dengan memadukan aspek ekonomi, ekologi dan sosial secara proporsional dan profesional. Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) bertujuan untuk meningkatkan peran dan tanggung jawab Perum Perhutani, masyarakat desa hutan dan pihak yang berkepentingan terhadap keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan, melalui pengelolaan sumberdaya hutan dengan model kemitraan.
Ruang Lingkup Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) dilaksanakan di dalam dan di luar kawasan hutan dengan mempertimbangkan skala prioritas berdasarkan perencanaan partisipatif. Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) yang dilaksanakan di dalam kawasan hutan tidak bertujuan untuk mengubah status kawasan hutan, fungsi hutan dan status tanah negara.
Prinsip-Prinsip Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) dilaksanakan dengan prinsipprinsip : a. Perubahan pola pikir pada semua jajaran Perum Perhutani dari birokratis, sentralistik, kaku dan ditakuti menjadi fasilitator, fleksibel, akomodatif dan dicintai. b. Perencanaan partisipatif dan fleksibel sesuai dengan karakteristik wilayah. c. Fleksibel, akomodatif, partisipatif dan kesadaran akan tanggung jawab sosial. d. Keterbukaan, kebersamaan, saling memahami dan pembelajaran bersama. e. Bersinergi dan terintegrasi dengan program-program Pemerintah Daerah. f. Pendekatan dan kerjasama kelembagaan dengan hak dan kewajiban yang jelas. g. Peningkatan kesejahteraan masyarakat desa hutan. h. Pemberdayaan masyarakat desa hutan secara berkesinambungan.
11
i. Mengembangkan dan meningkatkan usaha produktif menuju masyarakat mandiri dan hutan lestari. j. Supervisi, monitoring, evaluasi dan pelaporan bersama para pihak.
Organisasi-Organisasi
dalam
Pengelolaan
Hutan
Bersama
Masyarakat
(PHBM) a. Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Merupakan suatu lembaga yang dibentuk oleh masyarakat desa hutan dalam rangka kerjasama pengelolaan sumberdaya hutan dengan sistem Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) merupakan lembaga yang berbadan hukum, mempunyai fungsi sebagai wadah bagi masyarakat desa hutan untuk menjalin kerjasama dengan Perum Perhutani dalam PHBM dengan prinsip kemitraan. Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) memiliki hak kelola di petak hutan pangkuan di wilayah desa dimana Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) itu berada, bekerjasama dengan Perum Perhutani dan mendapat bagi hasil dari kerjasama tersebut. Dalam menjalankan kegiatan pengelolaan hutan, Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) mempunyai aturan main yang dituangkan dalam Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART). b. Forum Komunikasi PHBM (FK PHBM) Merupakan salah satu lembaga pendukung dalam pelaksanaan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Forum Komunikasi Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (FK PHBM) dibentuk disetiap tingkat pemerintahan, mulai dari Pemerintah Desa, Pemerintah Kecamatan, Pemerintah Kabupaten dan Pemerintah Provinsi. Secara hukum Forum Komunikasi bertanggung jawab kepada Pemerintah di tingkat mana Forum Komunikasi tersebut dibentuk. Tugas Forum Komunikasi Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (FK PHBM) adalah: 1. Mengkoordinasikan dan menjabarkan secara operasional kegiatan pengelolaan sumberdaya hutan bersama masyarakat.
12
2. Melaksanakan
bimbingan,
pendampingan,
memantau
dan
mengevaluasi hasil kegiatan dan perkembangan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). 3. Melaksanakan tugas-tugas lain yang berkaitan dengan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) sesuai dengan tugas pokok dan fungsi instansi masing-masing. 4. Menyampaikan hasil laporan kegiatan tersebut kepada semua pihak yang berkepentingan.
Pertimbangan Teknis atas Rencana Pengelolaan Hutan Pola Kemitraan a. Dasar hukum dan tujuan kegiatan : 1. Nota Kesepahaman antara Perum Perhutani Malang dengan Pemerintah Kabupaten Malang : 86/001.2/PMDH dan 180/248/pks/421.012/2004 tentang Pola Kemitraan Pengelolaan Hutan pada Hutan yang Dikuasai Perum Perhutani. 2. Peraturan Bupati Malang No. 53 Th. 2005 tentang Lembaga Kemitraan Desa Pengelola Hutan tanggal 8 September 2005 dan telah di undangkan dalam berita daerah 9 September 2005. b. Maksud dan tujuan : Pertimbangan teknis dimaksudkan untuk mewujudkan rencana pengelolaan hutan pola kemitraan yang efektif dan tidak bertentangan dengan kaidah teknis serta ketentuan yang berlaku dengan tujuan : 1. Mengoptimalkan peran masyarakat dalam mendukung pengelolaan hutan secara lestari. 2. Mengoptimalkan manfaat sumber daya hutan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan sesuai kondisi lokal yang spesifik. c. Persyaratan Pelayanan : 1. Surat Permohonan dari Lembaga Kemitraan Desa Pengelola Hutan (LKDPH). 2. Copy Anggaran Dasar Lembaga Kemitraan Desa Pengelola Hutan (LKDPH). 3. Copy Susunan Organisasi Lembaga Kemitraan Desa Pengelola Hutan (LKDPH) yang dilegalisir Desa. 4. Copy Surat Keterangan Penetapan Wilayah Pangkuan Desa (wengkon desa).
13
5. Draft Rencana Strategis Pengelolaan Hutan Pola Kemitraan (visi, misi, kebijakan, program, dan kegiatan 5 tahun ke depan). 6. Data Potensi wilayah pangkuan desa (wengkon) desa yang diketahui oleh pengelola hutan tingkat kecamatan setempat.
d. Prosedur Proses Penyelesaian Pelayanan :
Gambar 1. Alur Prosedur Pelayanan Rencana Pengelolaan Hutan Pola Kemitraan Sumber : www.malangkab.go.id (diakses 24 Maret 2010)
Pelaksanaan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) Pelaksanaan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) di bidang pengelolaan hutan, meliputi program-program sebagai berikut : a. Bidang Perencanaan 1. Penyusunan Perencanaan Petak Hutan Pangkuan secara partisipatif dengan melibatkan semua pihak terkait. Perencanaan meliputi: rencana kelola wilayah
hutan,
rencana
sosial,
rencana
kelembagaan,
peningkatan
sumberdaya manusia, peningkatan usaha ekonomi produktif masyarakat sekitar hutan. 14
2. Perencanaan disusun oleh Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH), Perum Perhutani dan para pihak yang berkepentingan dengan pendekatan desa melalui kajian sumberdaya yang ada di masing-masing desa. b. Bidang Pembinaan Sumberdaya Hutan 1. Persemaian, tanaman dan pemeliharaan dikerjasamakan dengan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH). 2. Pengkaderan mandor sebagai penyuluh Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat PLUS (PHBM PLUS). 3. Pembuatan pusat informasi dan komunikasi Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). 4. Pelatihan-pelatihan usaha produktif dan kewirausahaan untuk Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH). 5. Pemberdayaan terhadap Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) bersama dengan para pihak. 6. Mengaktifkan pola FGD (Foccus Group Discussion = Diskusi Kelompok Terarah). 7. Pembentukan site learning (lokasi pembelajaran) untuk Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). c. Bidang Produksi 1. Alokasi bagi hasil untuk produksi kayu dan non-kayu, wisata, galian C, sampah, air, dan lain-lain. 2. Partisipasi Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) dalam pengamanan hasil tebangan dan pengangkutan kayu dari hutan ke Tempat Penimbunan Kayu (TPK).eld Project d. Bidang Pemasaran dan Industri 1. Pembentukan warung kayu untuk mempermudah masyarakat desa hutan dalam memperoleh kayu. 2. Membantu pasokan kayu untuk industri kecil yang dimiliki oleh Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH). 3. Membantu teknologi bagi industri Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH). 4. Membantu pengembangan pemasaran bagi industri Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH). 15
e. Bidang Keamanan 1. Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) berperan aktif dalam menjaga keamanan hutan. 2. Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) bersama Perhutani melaksanakan patroli harian untuk mengatasi keamanan dan pengamanan hutan. f. Bidang Keuangan 1. Biaya Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat PLUS (PHBM PLUS) minimal 10 % dari Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan. 2. Pendapatan perusahaan dari bagi hasil kegiatan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) di luar usaha pokok dikembalikan untuk mendukung kegiatan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat PLUS (PHBM PLUS). 3. Memfasilitasi Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) dalam memperoleh sumber modal dari pihak ketiga. 4. Memberikan bimbingan kepada Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) dalam pengelolaan administrasi dan pemanfaatan keuangan. g. Bidang Sumberdaya Manusia (Perhutani) 1. Penyiapan petugas Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) yang proporsional dengan kualitas yang memadai. 2. Pembentukan Kelompok Kerja (Pokja) di tingkat Pusat, Unit dan KPH dengan melakukan pertemuan dan aktifitas yang intensif. 3. Pembangunan dan pengembangan training centre (pusat pelatihan) Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat Plus (PHBM PLUS) untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia Perum Perhutani dan masyarakat desa hutan dengan metode partisipatif yang berbasis community development (pembangunan masyarakat).
Keterlibatan Para Pihak dalam Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) Para pihak yang dimaksud dalam Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) adalah pihak di luar Perum Perhutani dan masyarakat desa hutan yang mempunyai perhatian dan berperan mendorong proses optimalisasi serta berkembangnya
Pengelolaan
Hutan
Bersama
Masyarakat
(PHBM),
yaitu:
Pemerintah Daerah, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Lembaga Ekonomi 16
Masyarakat, Lembaga Sosial Masyarakat, Usaha Swasta, Lembaga Pendidikan dan Lembaga Donor. a. Pemerintah Daerah Pemerintah Daerah dilibatkan dalam sistem Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) sebagai pemegang kekuasaan atas wilayah administrasi dan tata kehidupan sosial masyarakat desa hutan. Peran Pemerintah Daerah adalah mensinergikan program-program pembangunan wilayah dengan pelaksanaan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Pemerintah Daerah yang terlibat dalam Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) meliputi: Pemerintah Desa, Kecamatan, Kabupaten dan Provinsi. b. Lembaga Swadaya Masyarakat Perannya adalah dalam hal pemberdayaan masyarakat, sehingga masyarakat mampu mengatasi segala persoalan dalam dirinya. Lembaga Swadaya Masyarakat diharapkan bisa melakukan transfer pengetahuan dan teknologi pada masyarakat untuk mempercepat terjadinya perubahan sosial untuk mewujudkan kelestarian hutan dan kesejahteraan masyarakat. c. Lembaga Ekonomi Masyarakat Perannya adalah dalam hal mengembangkan usaha untuk peningkatan ekonomi masyarakat. Persoalan ekonomi merupakan hal yang penting untuk diperhatikan, karena hal ini mempunyai pengaruh yang cukup kuat terhadap keberhasilan pengelolaan sumberdaya hutan. d. Lembaga Sosial Masyarakat Perannya adalah dalam hal menumbuhkan kesadaran dan mendukung kehidupan sosial masyarakat sekitar hutan menjadi lebih kualitas. Lembaga Sosial Masyarakat berupa perkumpulan-perkumpulan sosial di masyarakat, baik yang terbentuk secara alami maupun terbentuk karena program-program dari pihak di luar masyarakat. e. Usaha Swasta Perannya adalah dalam hal menumbuhkan jiwa kewirausahaan, yang memiliki prinsip usaha untuk pemupukan modal. Keterlibatan pihak ini dalam Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) akan mendukung kemajuan masyarakat dalam mengembangkan potensi alam dan potensi sumberdaya manusia untuk meningkatkan kehidupan ekonomi masyarakat sekitar hutan. 17
f. Lembaga Pendidikan Perannya adalah dalam hal usaha pengembangan sumberdaya manusia, melakukan kajian dan transfer ilmu, pengetahuan dan teknologi pada masyarakat desa hutan, sehingga memiliki pengetahuan yang cukup dalam keterlibatannya pada Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). g. Lembaga Donor Perannya adalah untuk memberikan dukungan dana kepada masyarakat desa hutan dalam usaha keterlibatannya di Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Kerjasama dengan Lembaga Donor akan menjadikan masyarakat dan Perum Perhutani memiliki kesempatan untuk mengoptimalkan berbagai potensi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang dimilikinya.
Bagi Hasil dalam Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) Kegiatan berbagi dalam Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) ditujukan untuk meningkatkan nilai dan keberlanjutan fungsi serta manfaat sumberdaya hutan. Nilai dan proporsi berbagi dalam Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) ditetapkan sesuai dengan nilai dan proporsi masukan faktor produksi yang dikontribusikan oleh masing-masing pihak (Perum Perhutani, masyarakat desa hutan, dan pihak yang berkepentingan). Nilai dan proporsi berbagi ditetapkan oleh Perum Perhutani dan masyarakat desa hutan atau Perum Perhutani dan masyarakat desa hutan dengan pihak yang berkepentingan pada saat penyusunan rencana yang dilakukan secara partisipatif. Ketentuan mengenai nilai dan proporsi berbagi dituangkan dalam perjanjian Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) antara Perum Perhutani dan masyarakat desa hutan atau Perum Perhutani dan masyarakat desa hutan dengan pihak yang berkepentingan.
Monitoring dan Evaluasi Monitoring dan Evaluasi harus dilakukan secara konsisten sebagai tuntutan manajemen dalam rangka pelaksanaan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Monitoring dan evaluasi merupakan dasar bagi penilaian kinerja jajaran Perum Perhutani dan masyarakat desa hutan dalam melaksanakan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Monitoring dalam pelaksanaan Pengelolaan Hutan 18
Bersama Masyarakat (PHBM) dilakukan dalam rangka pendampingan, pengawalan dan pengamatan atas pelaksanaan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Monitoring ini harus dilaksanakan secara terus menerus selama proses berjalan oleh Perum Perhutani, Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan para pihak yang berkepentingan. Evaluasi dilaksanakan dengan maksud untuk mengetahui pencapaian hasil kinerja pelaksanaan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Evaluasi dilakukan dengan cara membandingkan antara hasil pelaksanaan dengan target yang telah ditetapkan dalam perencanaan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) pada masing-masing wilayah. Monitoring dan evaluasi dilaksanakan dengan menggunakan alat monitoring dan evaluasi yang dirumuskan bersama oleh semua pihak. Kesepakatan tentang alat monitoring dan evaluasi yang akan digunakan memberikan pengaruh terhadap keberhasilan proses, respon dan dampak terhadap monitoring dan evaluasi yang dilakukan. Untuk itu monitoring dan evaluasi harus dilakukan secara partisipatif mulai dari perumusan alat yang digunakan, pelaksanaan dan tindak lanjut dari hasil monitoring dan evaluasi yang dilakukan.
Konsep Perhutanan Sosial, Potensi Konflik, dan Variabel Sosiologi yang Harus Diperhatikan Menurut Tiwari (1983 dalam Hendarto, 2003:48-49), perhutanan sosial adalah ilmu dan seni penanaman pohon dan atau tumbuhan lain pada lahan yang dimungkinkan untuk tujuan tertentu, di dalam maupun di luar kawasan hutan, dan mengelolanya secara intensif dengan melibatkan masyarakat dan pengelolaan ini terintegrasi dengan kegiatan lain, yang mengakibatkan terjadinya keseimbangan dan saling mengisi penggunaan lahan dengan maksud untuk menyediakan barang dan jasa secara luas baik kepada individu penggarap maupun masyarakat. Sedangkan Noronha dan Spears (1988:287-340) menyatakan bahwa arti perhutanan sosial tidak dapat dikumpulkan dari suatu gambaran berbagai kegiatan yang dilakukan di bawah program-program. Inti baru dari program-program ini terletak pada kata ”sosial” yaitu program-program yang melayani kebutuhan lokal melalui keterlibatan aktif pemanfaat dalam rancangan dan pelaksanaan upaya penghutanan kembali dan bersama-sama memanfaatkan hasil-hasil hutan. hal ini 19
dapat diartikan bahwa keberhasilan sebuah program perhutanan sosial tergantung pada respon masyarakat yang hidup di sekitar kawasan program. lebih lanjut dinyatakan pula bahwa tujuan perhutanan sosial berbeda dari rencana kehutanan yang biasa (dan komersial) dalam tiga hal, yaitu (1) Perhutanan sosial meliputi produksi dan penggunaan hasil-hasil hutan dalam satu sektor perekonomian, terutama yang tidak diedarkan menjadi uang (nonmonetized); (2) Perhutanan sosial menyangkut partisipasi langsung pemanfaat; (3) Termasuk sikap dan keterampilan yang berbeda dari segi ahli kehutanan yang harus memberikan peranannya sebagai pelindung hutan terhadap penduduk dan bekerja bersama penduduk untuk menanam pohon. Awang (2003:17-18) menjelaskan bahwa munculnya konflik kepemilikan lahan antar masyarakat dengan pemerintah, Perhutani, Hak Penguasaan Hutan (HPH), serta semakin meningkatnya jumlah penduduk di desa-desa sekitar hutan, dan semakin meningkat pula gangguan perlindungan dan keamanan hutan, telah menyadarkan pihak pemerintah bahwa dirasakan sangat perlu untuk memperhatikan kehidupan masyarakat sekitar hutan, masyarakat dapat diajak bersama untuk mengelola dan bertanggung jawab terhadap keberhasilan pembangunan hutan. Untuk menjawab berbagai masalah sosial di sekitar kawasan hutan negara tersebut di atas, maka sejak tahun 1974 pihak Perum Perhutani (Sekarang menjadi PT. Perhutani) telah melaksanakan kegiatan peningkatan kesejahteraan petani hutan. pada tahun 1986 kegiatan ini ditingkatkan menjadi program Perhutanan Sosial (PS) sebagai wujud nyata dari pendekatan Social Forestry di Jawa. Program ini dianggap kurang berhasil karena masih sangat kuat peran pemerintah dalam penentuan berbagai kegiatan Perhutanan Sosial. Sejak tahun 2000, Perhutani merubah program Perhutanan Sosial menjadi program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) ini dimaksudkan untuk merefleksikan dan mewujudkan konsep community forestry (kehutanan masyarakat) di dalam program-program pengelolaan hutan yang baru di PT. Perhutani. Demikian halnya dengan pengelolaan hutan di luar Jawa, sejak tahun 1997
Departemen
Kehutanan
telah
memperkenalkan
program
Hutan
Kemasyarakatan (HKm). Program Hutan Kemasyarakatan (HKm) ini juga dimaksudkan sebagai wujud dari keinginan pemerintah untuk menerapkan kegiatan kehutanan masyarakat di Indonesia. 20
Semua konflik tidak akan selesai dengan hanya saling menyalahkan dan menghujat antar pihak, konflik harus dicarikan jalan keluarnya (conflict resolution), sehingga konflik sumber daya alam hutan dapat dihentikan dan diarahkan kepada bentuk-bentuk penyelesaian yang lebih konstruktif dan produktif. Konflik itu sendiri merupakan persoalan sosial, dan karena itu ciri-ciri struktur sosial yang berkembang dalam kehidupan masyarakat di mana eksploitasi sumber daya alam hutan itu berada harus dikenali terlebih dahulu. Ciri-ciri struktur sosial itu dapat digambarkan melalui posisi, peran, dan bentuk hubungan sosial di antara institusi-institusi yang terkait dengan kegiatan eksploitasi sumber daya alam, yaitu : (1) pemerintah, baik pemerintah daerah maupun pemerintahan pusat; (2) pelaku bisnis, terutama para pengusaha dan investor yang menanamkan usahanya di sektor sumber daya alam; (3) masyarakat sekitar daerah eksploitasi sumber daya alam; dan (4) organisasiorganisasi sosial yang memiliki kepedulian terhadap kerusakan lingkungan akibat kegiatan eksploitasi sumber daya alam (Usman, 2001 dalam Awang, 2003:18). Dari pengertian tipe-tipe property right regime, konflik sumber daya alam dapat dilihat dari sistem pembagian kepemilikan sumber daya alamnya yaitu : (1) private property, hak milik individual; (2) open access, hak kepemilikan bersama tetapi terbuka pemanfaatannya oleh siapapun; (3) state property, kepemilikan dan pengelolaan sumber daya alam oleh negara; dan (4) communal property, hak penggunaan untuk sumber daya alam dikontrol oleh kelompok yang jelas dan tidak dimiliki secara individual atau tidak dikelola oleh pemerintah, sistem pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat (Berkes, 1989 dalam Awang, 2003:18). Menurut pendapat Druckman (Usman, 2001 dalam Awang, 2003:18), konflik sumber daya alam dapat digambarkan sebagai bentuk hubungan sosial yang tidak harmonis di antara masyarakat, pemerintah, dan pengusaha atau investor. Hubungan yang tidak harmonis tersebut diawali ketika pemerintah melakukan monopoli dan manipulasi proses eksploitasi sumber daya alam, sehingga terjadi perbedaan akses. Akses yang berbeda tersebut cenderung berpihak pada pemerintah dan pengusaha, investor, yang menikmati hasil lebih banyak, sementara itu masyarakat kepentingannya ketidakpuasan
terabaikan. di
kalangan
Kondisi
seperti
masyarakat.
ini
Konflik
kemudian muncul
ke
menimbulkan permukaan,
ketidakpuasan tersebut bertemu dengan semangat berjuang memperbaiki nasib 21
secara kolektif, dan konflik itu menjadi semakin keras ketika ketidakpuasan dan semangat semacam itu bertemu secara simultan dengan akumulasi perasaan dan kesadaran bahwa telah terjadi penindasan dalam masyarakat.
Analisis dan pembahasan Kumpulan petani yang tergabung dalam kelompok-kelompok akan senantiasa mengembangkan cara yang berbeda antara satu dengan yang lain untuk mengatasi masalah masalah aksi kolektif yang muncul. Studi mengenai institusi tersebut diperkaya dengan studi tentang trust. Johnson et al (dalam Sobel 2002:149) melihat bahwa perusahaan akan menggantungkan diri pada hubungan kontrak ketika perusahaan tersebut gamang terhadap aparat yang menegakkan kontrak. Kontrak menjadi penting apabila ada rasa ketidakpercayaan, maka dengan mematuhi kontrak akan memperbesar keberlanjutan dari suatu hubungan/mitra dagang. Sebuah studi Yayasan Paramitra mencoba merumuskan kembali pola penguasaan dan pengelolaan sumberdaya alam yang lebih adil, arif dan bermartabat. Dengan dasar pola tersebut diharapkan lahir pendekatan baru yang lebih memberikan peluang terhadap kelestarian lingkungan dan pemberdayaan masyarakat lokal dalam mencapai suatu kemandirian (Gaban dan Pramono, 2006:37). Latar belakang studi Paramitra di Desa Sumber Bening Kecamatan Bantur Kabupaten Malang Provinsi Jawa Timur adalah petani desa yang menggantungkan hidupnya pada pada hasil hutan tidak semua merasa tercukupi kebutuhannya, tetap miskin, dan tidak sepenuhnya bisa mendapatkan akses untuk ikut menikmati hasil hutan di lingkungannya. Masyarakat Desa Sumber Bening terjebak dalam persoalan ekonomi, sumber daya manusia, dan pengelolaan hutan yang kurang memberikan sokongan bagi kesejahteraan rakyat. Walaupun kondisi di lapangan menunjukkan terlanjur pecah suatu konflik, setidaknya ada kemauan yang sungguh-sungguh dan nyata dari para pihak untuk mengantisipasi atau meredamnya dengan cara membuka diri secara bersama-sama. Sebagian besar penduduk Desa Sumber Bening berpendidikan Sekolah Dasar dan hampir sebagian besar kepala keluarga bermata pencaharian sebagai petani. Hutan di Desa Sumber Bening menurut status kepemilikannya terdiri atas dua macam, hutan negara yang dikelola Perhutani dan hutan rakyat yang merupakan tanah tegalan yang 22
dikelola oleh rakyat. Hutan rakyat biasanya disebut sebagai tegalan atau hutan di areal tanah pemajekan. Kontrak antara petani desa dengan Perhutani terjadi ketika Perhutani menanam jati dengan jarak 3 x 1 meter, dengan status kontrak tersebut masyarakat ikut berperan menggarap hutan negara sebagai pesanggem. Tugas utamanya adalah mempersiapkan lahan, menanam, dan memelihara jati ketika pohon jati masih kecil. Sebagai imbalannya, pesanggem memiliki izin menanam tanaman pertanian di lahan hutan selama dua tahun ketika jati belum tinggi. Dengan kemitraan tersebut, sebenarnya kemakmuran warga sekitar hutan sudah bertambah karena dapat mencukupi kebutuhan pangan sehari-hari, tetapi seringkali masih saja terjadi konflik ketika tidak ada kesempatan ekstra untuk menggarap lahan ketika tanaman jati mulai tumbuh tinggi. Oleh karena itu untuk menangkap realitas yang terjadi pada kontrak kemitraan antara Perum Perhutani dengan petani penggarap maka kajian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif. Dengan pendekatan ini diharapkan dapat menguraikan interaksi dan trust yang tercipta akibat adanya kontrak kemitraan, bagaimana kontrak lain dibuat sebagai implikasi adanya kontrak kemitraan, pergeseran perilaku ekonomi, serta keberlanjutan kontrak bagi minimalisasi konflik dan perbaikan kesejahteraan. Dari sudut pandang teori dan perspektif interaksi simbolis, semua perilaku manusia pada dasarnya memiliki social meanings (makna-makna sosial). Maknamakna sosial dari perilaku manusia yang melekat pada dunia di sekitarnya itu penting dipahami. Blumer (Taylor dan Bogdan, 1984 dalam Hendrarso, 2007:167) mengembangkan tiga premis sehubungan dengan hal tersebut, yaitu (1) Manusia bertindak terhadap sesuatu (orang) berdasarkan bagaimana mereka memberi arti terhadap sesuatu (orang) tersebut; (2) ‘Meanings’ atau makna merupakan produk sosial yang muncul dari interaksi sosial; dan (3) ‘Social actor’ memberikan makna melalui proses interpretasi. Dalam analisis interaksi simbolik, interaksi manusia dalam masyarakat ditandai penggunaan simbol, penafsiran, dan kepastian makna dari tindakan orang lain. Hal ini individu tidak disosialisasikan, tetapi selalu dalam proses sosialisasi. Individu tidak dibentuk oleh baku, tetapi melakukan perubahan secara konstan dalam 23
proses interaksi. Dengan demikian, interaksi simbolik melibatkan unsur sosialisasi di dalamnya (Resminawaty dan Triratnawati, 2006:95). Hal tersebut mengandung arti bahwa dalam interaksi sosial, penafsiran merupakan hal yang esensial yang mempengaruhi definisi sosial. Konsep diri merupakan konsep yang diciptakan melalui interaksi dengan orang lain. Jadi untuk mempelajari tingkah laku manusia kita harus memahami sistem makna yang diacu oleh manusia yang dipelajari. Peneliti harus memahami definisi sosial dan proses pendefinisiannya. Dengan mengenal lebih dekat tentang interaksi simbolik dapat dikatakan dan dipahami sebagai penerjemahan idiom pragmatis metafisik ke dalam bahasa penelitian sosial. Pekerjaan utama dalam tradisi sosiologi adalah berhubungan dengan proses mendefinisikan situasi (defining the situation). Berikut ini adalah beberapa alasan yang dikemukakan oleh para ahli mengapa pendefinisian situasi (terminating indeterminacy) merupakan hal yang utama dan pada umumnya proses determinasi dibentuk oleh masyarakat (society), yang mana “suku yang berbeda ketika mendefinisikan situasi dan pola perilaku yang sama dengan cara-cara yang seringkali bertentangan” (Thomas,1937:8-9); “suatu hal tidak memiliki arti yang sama dihadapan orang yang berbeda, pada waktu yang berbeda, dan pada bagian negara yang berbeda pula” (Park dan Miller, 1921:265), pendekatan manusia dalam tugasnya untuk mendefinisikan situasi dijalankan dengan “models of situations” dan “super-individual schemes” (Znaniecki,1919:199,284) [dalam Shalin, 1991:238]. Gambaran masyarakat (society) pada perspektif interaksionis adalah sebagai semi-ordered chaos, yaitu suatu gambaran yang sangat konsisten dengan aturan strategi yang pada ilmu pengetahuan modern disebut sebagai proses ketidakteraturan (chaos) dan penghilangan (dissipative) secara alami. Coach (1984 dalam Shalin, 1991: 241) mengungkapkan bahwa hal ini menarik perhatian peneliti pada agenda yang tersembunyi dan improvisasi yang dilakukan tiap aktor agar tetap tampil pada keteraturan di dunia sosial. Kesemua hal itu membuat realitas sosial tidak hanya tampak sebagai tatanan dan struktur (order and structure) sebagai menata dan menyusun (ordering and structuring), melainkan suatu pembentukan struktur sosial (the forming of social structure). Sehubungan dengan hal tersebut, peneliti ‘dipaksa’ tidak hanya berkutat pada perilaku ”patuh hukum/law abiding” dan “terikat 24
aturan/rule-bound” tetapi juga dengan proses yang berkelanjutan dari konspirasi, penghindaran, negoisasi, dan konflik yang secara rutin diturunkan pada tujuan dan standar dari organisasi (Freidson, 1976:254). Perspektif interaksi simbolik berusaha memahami perilaku manusia dari sudut pandang subyek. Perilaku manusia harus dilihat sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi mitra interaksi mereka (Mulyana, 2001: 70). Definisi tersebut menyiratkan adanya pengambilan peran (role taking) secara sadar oleh individu dengan mempertimbangkan ekspektasi lawan interaksi atau lingkungannya (Muas dan Witanto, 2005: 36). Adanya fenomena kontrak kemitraan menciptakan proses adaptasi interaksi dan trust di antara para pelakunya. Perubahan yang mungkin terjadi akan diteliti secara menyeluruh. Baik berupa perubahan mata pencaharian yang terjadi maupun ekspektasi keberlanjutan kontrak kemitraan dalam hal ekonomi, perbaikan kesejahteraan, perubahan, serta pengurangan potensi konflik di antara Perum Perhutani dengan masyarakat yang bermukim di sekitar hutan negara. Sehingga penelitian ini fokus pada interaksi yang terjadi antara petani penggarap dengan Perum Perhutani, termasuk berbagai pihak lain yang secara langsung maupun tidak langsung terkait dalam interaksi tersebut. Kajian ini di samping disusun dari observasi lapang, juga banyak mengandalkan informasi yang diberikan oleh para informan. Seperti yang telah disebutkan bahwa fokus penelitian ini merupakan interaksi antar individu yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam kontrak kemitraan antara Perum Perhutani dengan petani penggarap di Desa Tambakasri Kecamatan Sumbermanjing Wetan Kabupaten Malang. Untuk memudahkan penyebutan program kemitraan Perum Perhutani dengan petani yang disebut Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat, maka penulis menggunakan istilah yang digunakan petani yaitu tetelan. Berdasarkan hal tersebut, informan yang dituju untuk proses pengambilan data penelitian ini adalah pertama, petani yang saat ini sedang melakukan kontrak kemitraan dengan Perum Perhutani dan mampu mengungkapkan apa yang dipikirkannya, apa yang akan dan telah dilakukannya, sehubungan dengan proses 25
menjalankan kontrak tersebut dengan menggarap lahan kemitraan (tetelan). Kedua, petani yang tidak terlibat dalam kontrak kemitraan dengan Perum Perhutani. Yang terakhir dibutuhkan informan pendukung (untuk memenuhi fungsi uji validitas data) antara lain Ketua Kelompok Tani, Ketua Gabungan Kelompok Tani, Ketua Lembaga Kemitraan Desa Pemangku Hutan, dan Petugas Penyuluh Lapang. Sistem kekuasaan lokal dan wewenang memang direfleksikan pada jumlah luasan lahan yang dikuasai. Logikanya, petani yang memiliki lahan kurang dari 0,25 hektar akan mengeluarkan biaya pemeliharaan yang ringan tetapi mendapatkan hasil panen yang sedikit jika dibandingkan dengan petani yang menguasai lahan lebih dari satu hektar akan cenderung mengalokasikan biaya pemeliharaan yang besar pula dan sepadan dengan hasil panen yang akan diraihnya. Dengan kata lain, petani gurem di desa sekitar hutan akan miskin selamanya dan petani kaya akan lebih bisa survive. Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat mencoba menawarkan win-win solution bagi semua pihak, khususnya masyarakat desa hutan (Pratama, 2010:158). Kesenjangan antara petani kaya dan miskin, antara tuan tanah dan buruh tani, antara si penguasa hutan (baca: Perum Perhutani) dengan masyarakat desa hutan merupakan suatu keniscayaan dalam interaksi kehidupan petani di kesehariannya. Dalam tabel berikut ini akan disajikan mengenai bagaimana interaksi petani dengan lingkungan yang meliputinya.
Bentuk Kesalahan Interpretasi Berita
Kemitraan Perum Perhutani dengan petani dalam PHBM
Jual Beli Hak Kemitraan (Hak
Keterangan Ketika masyarakat tidak bisa mengakses kesejahteraan dari hutan yang berada di lingkungannya, ditambah dengan interpretasi "hutan produksi" yang salah, maka berakibat pada penjarahan hutan di lokasi studi. Perum Perhutani mendapat keuntungan berupa minimnya konflik dengan masyarakat pemangku hutan, terjaganya tanaman milik Perum Perhutani, dan bagi hasil dari pengusahaan lahan kemitraan. Pada pihak petani dapat meningkatkan kesejahteraan dengan memiliki hak menggarap atau bertambahnya lahan garapan. Petani yang menjual hak tetelan beralasan bahwa biaya menggarap lahan 26
Tetelan)
Bagi Hasil
Pergeseran Petani Menjadi Pelaku Agrobisnis
terlalu mahal. Sedangkan petani yang membeli hak tetelan memiliki persepsi bahwa membeli hak tetelan lebih murah daripada membeli lahan atau menyewa lahan milik petani yang lain dan hasilnya jauh lebih menguntungkan karena lahan hutan relatif subur. Petani penggarap melihat bagi hasil sebagai "uang sewa lahan" yang cukup murah dan petani merasa tidak berkeberatan dengan adanya bagi hasil tersebut. Petani menjalankan prinsip efisiensi dan efektivitas ketika memutuskan untuk mempekerjakan buruh tani atau tidak. Pengadaptasian sistem pertanian pro pasar dengan ciri pemanenan yang singkat, hasilnya optimal, dan praktis, serta petani mulai meninggalkan cara tanam tradisional.
Sumber: Pratama, 2010: 218 Pada tahun 1997/1998 meletuslah pergolakan yang selama ini bergesekan di sana sini. Pada saat itu terjadi penggundulan hutan secara massal yang mengakibatkan rusaknya hutan. Dengan berkeyakinan bahwa hutan negara merupakan tanah warisan nenek moyang, warga mulai menebang hutan, menjual atau menggunakan kayu jarahannya, dan menanami lahan dengan tanaman pisang dan singkong. Menurut informan yang diwawancara, telah terjadi miss interpretasi berita yang disampaikan oleh pemerintahan pada saat itu dipimpin oleh almarhum K.H. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur di mana tersiar berita bahwa hutan Negara hendaknya dijadikan hutan produksi, masyarakat menginterpretasikan hutan produksi adalah hutan yang dapat ditanami secara bebas diambil hasilnya karena selama berdampingan dengan hutan negara, masyarakat tidak merasakan sumbangsih yang berarti bagi kehidupannya. Atau sebenarnya itu adalah alasan masyarakat karena tidak bisa menikmati hasil hutan di lingkungannya. Awalnya kesenjangan muncul dengan pemicu meningkatnya penduduk di sekitar hutan dan meningkatnya anggapan bahwa keamanan hutan terancam dengan penambahan semangat berjuang secara kolektif, semangat ketidakpuasan, akumulasi perasaan dan kesadaran bahwa
27
telah terjadi penindasan di dalam masyarakat maka konflik tersebut akan semakin keras. Adanya pembukaan lahan tetelan memberi angin segar bagi petani kecil yang ingin mengembangkan usaha taninya, atau buruh tani yang ingin menggarap sendiri lahannya. Perum Perhutani sendiri mendapat keuntungan dengan minimnya konflik yang terjadi dengan masyarakat pemangku hutan, terjaganya tanaman milik Perum Perhutani, dan bagi hasil dari pengusahaan lahan tetelan. Fakta yang ada mengungkapkan bahwa terdapat jual beli hak tetelan dari satu petani penggarap ke petani penggarap yang lain. Petani yang menjual hak tetelan beralasan bahwa biaya menggarap lahan terlalu mahal (lokasinya jauh membutuhkan biaya transportasi tambahan, keterbatasan tenaga, dan waktu), selain itu karena peminat tetelan juga besar maka pasar jual beli hak tetelan juga semakin marak. Pada persepsi calon pembeli hak tetelan, lahan pribadi yang dimiliki jika diwariskan maka luasannya akan terbagi-bagi yang mengakibatkan biaya merawatnya juga semakin tinggi, maka dengan membeli (baca: mengganti hak tetelan petani lain dengan sejumlah uang) hak tetelan lah petani dapat memperbaiki kesejahteraannya. Sedangkan bagi hasil penggarap lahan tetelan kepada Perum Perhutani dipersepsikan sebagai uang sewa lahan yang sangat murah, dan petani tidak berkeberatan dengan bagi hasil sebesar 1,5 persen tersebut. Bagi hasil dalam pengelolaan lahan tetelan memang ditetapkan sesuai dengan nilai dan proporsi masukan faktor produksi yang dikontribusikan oleh masing-masing pihak, nilai dari bagi hasil tersebut ditetapkan pada saat penyusunan rencana kemitraan secara partisipatif, serta ketentuan mengenai nilai bagi hasil tersebut dituangkan dengan perjanjian yang disepakati oleh semua pihak yang berkepentingan. Kajian ini juga menemukan tiga sumber pembentukan kelompok tani, yaitu melalui pengadaan pupuk, adanya bantuan, dan dengan adanya suatu kumpulan pengajian barulah muncul sebuah kelompok tani. Ketiga sumber pembentukan tersebut menjadikan kelompok tani sebagai entitas yang kehadirannya tidak dipaksakan, karena merupakan kemauan dari warga sendiri. Tetapi menurut keaktifannya, penelitian ini juga mencatat terdapat tiga model kelompok tani yaitu kelompok tani merpati yang tidak berperan serta aktif namun akan berubah aktif ketika mendapati kabar bahwa akan digelontor sejumlah bantuan; kelompok tani pedati yang berperan serta aktif dalam proses penyuluhan tetapi membutuhkan peran serta penyuluh dalam menjalankan bantuan yang didapatkan. Ketergantungan ini 28
berjalan sampai proses monitoring dan evaluasi; dan yang terakhir adalah kelompok tani mandiri yang pro aktif secara mandiri mencari solusi bagi berbagai permasalahan serta tingkat keberhasilannya cukup tinggi. Dengan alasan jauhnya lokasi dan keaktifan kelompok seringkali berdampak pada tidak adanya bantuan pertanian, padahal petani sangat membutuhkan penyuluhan mengenai teknologi pertanian yang baru agar hasil panennya lebih optimal. Kelompok tani sering digunakan oleh pihak yang tidak bertanggungjawab sebagai korban penipuan. Modusnya seringkali petani dimobilisasi untuk mengadakan suatu pertemuan layaknya pertemuan kelompok yang biasanya digelar. Setelah itu petani ditawarkan untuk menjadi sebuah anggota koperasi dengan iuran tertentu, bermodalkan rasa saling percaya petani pun menyetujui kerjasama yang awalnya dipandang sebagai satu kesatuan dengan kelompok tani, akhirnya iuran hilang bersama koperasi tipuan tersebut. Motif lainnya adalah menawarkan penggandaan uang atau sejumlah hadiah jika menyimpan uang di suatu lembaga tertentu, yang akhirnya uang yang telah disetorkan hilang bersama lembaga penipu. Temuan selanjutnya adalah petani mulai akrab dengan pasar dengan ber”metamorfosa” menjadi pelaku agrobisnis. Prinsip efisiensi dan efektivitas dijalankan ketika memutuskan untuk mempekerjakan buruh tani atau tidak. Selain itu, petani juga mulai mengadaptasikan sistem pertanian yang pro pasar dengan ciri antara lain waktu pemanenan yang singkat, hasilnya optimal, dan praktis. Untuk mendapatkan itu semua, petani menggunakan bibit unggul, memberikan dosis pupuk yang terus meningkat, dan yang terakhir adalah meninggalkan cara tanam dilobang menjadi dikowak karena lebih cepat dalam prosesnya. Maka dapat dikatakan bahwa interaksi yang kompleks terjadi dengan terlebih dahulu menyesuaikan terhadap persepsi dan perilaku serta institusi yang meliputinya. Kesimpulan dan rekomendasi Dengan mengacu pada Nota Kesepahaman antara Perum Perhutani Malang dengan
Pemerintah
Kabupaten
Malang
:
86/001.2/PMDH
dan
180/248/pks/421.012/2004 tentang Pola Kemitraan Pengelolaan Hutan pada Hutan yang Dikuasai Perum Perhutani dan Peraturan Bupati Malang No. 53 Th. 2005 tentang Lembaga Kemitraan Desa Pengelola Hutan tanggal 8 September 2005 dan telah di undangkan dalam berita daerah 9 September 2005, maka interaksi antara petani (pemangku hutan) dengan Perum Perhutani Malang adalah sebagai berikut: 29
a. Mengoptimalkan peran masyarakat dalam mendukung pengelolaan hutan secara lestari. b. Mengoptimalkan manfaat sumber daya hutan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan sesuai kondisi lokal yang spesifik. Perum Perhutani menyediakan kurang lebih 600 hektar luasan tetelan yang dapat dikelola oleh Gabungan kelompok tani setempat. Setiap anggota mendapat luasan garapan 0,25 hektar di lahan milik Perum Perhutani. Adapun persyaratan pengusahaan lahan tetelan telah dimusyawarahkan antara Perum Perhutani, Gabungan Kelompok Tani, dan anggota kelompok tani. Konflik yang terjadi antar petani diselesaikan dengan cara musyawarah mufakat sehingga tidak terjadi konflik yang berkepanjangan. Sedangkan
persepsi
petani
terhadap
hak
tetelan
dan
aturan
yang
melingkupinya adalah petani merasa ikut memiliki hutan karena ada nilai ekonomi yang dapat menyejahterakan mereka dari hasil usaha tani di lahan tetelan. Selanjutnya adalah peran modal sosial sangat mutlak diperlukan pada keseluruhan proses tetelan,mulai dari pembagian jatah lahan hingga pada saat pengusahaan lahan. Dengan adanya lahan tetelan tingkat kesejahteraan masayarakat sekitar hutan meningkat, di lain sisi terdapat kelangkaan tenaga kerja sebagai buruh tani, karena petani yang dulunya bekerja sebagai buruh kini sebagian besar memiliki lahan di tetelan, hal ini menjadikan upah tenaga kerja menjadi tinggi di lokasi studi. Daftar Pustaka Angga, Dade. 2006. Kemitraan Pemerintah, Masyarakat, dan Swasta dalam Pembangunan (Suatu Studi Tentang Kasus Kemitraan Sektor Kehutanan di Kabupaten Pasuruan). Disertasi Program Doktor Ilmu Administrasi Minat Kebijakan Publik. Universitas Brawijaya Malang. Tidak dipublikasikan. Anonim. 2007. Laporan Tahunan Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Malang Tahun 2007. Malang : Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Malang Anonim. 2010. Layanan Kehutanan-Pertimbangan Teknis Atas Rencana Pengelolaan Hutan Pola Kemitraan (http://www.malangkab.go.id,diakses 24 Maret 2010) Awang, San Afri. 2003. Politik Kehutanan Masyarakat. Yogyakarta : Center for Critical Social Studies (CCSS) 30
Freidson, E. 1976. The Division of Labor as Social Interaction. Social Problems 23:304-313. Gaban, Farid. Pramono, Sigit. 2006. Mengajak Petani Miskin Bangkit Mandiri. Geliat Pinggir Hutan : Langkah Panjang Pengelolaan Hutan Lestari Berbasis Masyarakat di Jawa. (http://www.infojawa.org/modules/katalog/pdfs/malang.pdf, diakses 24 Maret 2010) Glover, David and Lim- Teck Ghee. 1992. Contract Farming in Southeast Asia; Three Country Studies. Institut Pengajian Tinggi/Institute for Advanced Studies Universiti Malaya. University of Malaya Kuala Lumpur. Hal 3 Hendrarso, Emy Susanti. 2007. Penelitian Kualitatif : Sebuah Pengantar. Dalam Metode Penelitian Sosial : Berbagai Alternatif Pendekatan. Editor Bagong Suyanto dan Sutinah. Jakarta : Kencana Kinsella, N. Stephan. A. Libertarian Theory of Contract : Title Transfer, Binding Promises, and Inalenability. Journal of Libertarian Studies. Volume 17 no. 2 (Spring 2003). hal. 11–37 (http://mises.org/journals/jls/17_2/17_2_2.pdf, download 5 Juni 2010) Klein, Benjamin. 1980. Transaction Cost Determinants of “Unfair” Contractual Arrangement. The American Economic Review, Vol. 70, No. 2, Papers and Proceedings of the Ninety-Second Annual Meeting of the American Economic Association (May 1980). Hal 356 Mallor, Jane P, A. James Barnes, Thomas Bowers, Maichael J. Philips and Arlen W. Langvardt. 1998. Business Law and Regulatory Environment; Concept and Cases. Tenth Edition. Irwin McGraw-Hill. USA. Hal 174 dan 175 Muas, R. Tuty Nur Mutia. Witanto, Eddy Prabowo. 2005. Aktualisasi Peran Sosial Wanita Cina di Jabodetabek. Makara, Sosial Humaniora Vol. 9, No. 2, Desember 2005.3 45.(http://journal.ui.ac.id/upload/artikel/01_AKTUALISASI%20PERAN_ Tuty%20 Muas.pdf, diakses 1 Februari 2010) Mulyana, Deddy. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Penerbit PT. Remaja Rosdakarya. Noronha, R. J.S. Spears. 1988. Variabel-Variabel Sosiologi dalam Rancangan Proyek Kehutanan. Dalam Mengutamakan Manusia di dalam Pembangunan (Cernea, M.M., eds.). Alih bahasa oleh Teku, B.B. Jakarta : Universitas Indonesia Press Pratama, Yogi Pasca. 2010. Mengkaji Trust Pada Kontrak Kemitraan antara Petani Penggarap Kopi dengan Perum Perhutani (Studi Kasus Desa Tambakasri Kecamatan Sumbermanjing Wetan Kabupaten Malang Provinsi Jawa Timur). Tesis Program Magister Ilmu Ekonomi. Universitas Brawijaya Malang. Tidak Dipublikasikan 31
Resminawaty. Triratnawati, Atik. 2006. Proses Internalisasi Nilai-Nilai Budaya dalam Kaitannya dengan Hubungan Seksual Pra-Nikah pada Remaja Bugis-Bone di Makassar. Akademika, Jurnal Kebudayaan Vol. 4, No. 2, Oktober 2006. 93105. (http://eprints.ums.ac.id/696/1/1._RESMIWATI.pdf, diakses 1 Februari 2010) Shalin, Dmitri N. 1991. The Pragmatic Origins of Symbolic Interactionism and the Crisis of Classical Science. Studies in Symbolic Interaction, Vol. 12. 223251. JAI Press Inc. ISBN: 1-55938-395-X (http://www.unlv.edu/centers/cdclv/pragmatism/shalin_sio.pdf, diakses 2 Februari 2010) Sumartono. 2009. Kemitraan Pemerintah Desa dengan Badan Perwakilan Desa dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Desa. (http://www.akademik.unsri.ac.id/download/journal/files/brapub/Sumarton o%20- %20kemitraan%20pem%20Desa%20dan%20BPD.pdf, diakses 10 Desember 2009) Sobel, Joel. 2002. Can We Trust Social Capital ? Journal of Economic Literature Vol. XL (March 2002), 139–154 (http://econ.ucsd.edu/~jsobel/Papers/soccap.pdf, diakses 29 Oktober 2009
32
CURRENCY SUBSTITUTION: EVIDENCE FROM INDONESIA
Vita Kartika Sari Faculty of Economics and Business Universitas Sebelas Maret
[email protected]
ABSTRACT
Currency substitution occurs as domestic money (both currency and deposits) is replaced by foreign money in the portfolio of local residents. It can directly reduce the demand for domestic currency, or does so indirectly by increasing the velocity of domestic money’s circulation. This study aims to investigate currency substitution in Indonesia. Estimates of the cointegrating relations are obtained using Johansen’s multivariate procedure for the period January 2001 to May 2009. The empirical result shows that there is no currency substitution in fact happened in Rupias. Keywords: Currency Substitution, Cointegration, Money Demand
JEL Classification Codes: E41, E42, F31.
33
INTRODUCTION The demand for foreign fiat money by domestic residents of a country is commonly referred to as currency substitution (Rojaz, 1985). Nowdays, not only in developed countries but also in developing countries, the demand for foreign money by domestic residents has increased. In a small open economy with flexible exchange rate, the residents’s desired proportion between domestic and foreign assets is given by a liquidity preference function depending on the difference between their expected rates of return. Currency substitution implies a partial replacement of domestic money by foreign money. Foreign money can replace partially the role of domestic money as a means of transactions and as a store of value. In high-inflation countries in particular this latter function of money becomes increasingly dominant: foreign currency provides a higher degree of purchasing power stability and is therefore more desirable than domestic money (Aarle and Budina, 1995). Currency substitution on the demand side, resulting from transactionary, precautionary, and speculative motives, could give rise to monetary policy dependence and exchange rate instability (Milner, et.al, 1998). Macroeconomic demand for domestic and foreign money in a country can either be derived from an underlying microeconomic structure or be postulated. The standard way to allow for the influence of currency substitution on money demand is to add depreciation expectations to real money demand (Aarle and Budina, 1995). Calvo and Rodriguez (1977) demonstrate in a model of a small economy in which residents hold foreign currency balances that an increase in domestic money growth will cause an immediate real depreciation of the currency. The more rapid money growth increases inflation in domestic currency prices, thus increasing the real demand for foreign money. The country can acquire this money only through a trade surplus, which requires the real depreciation. Studies done by Mizen and Eric (1994) illustrate that there is no clear evidence of currency substitution in European Monetary Union, in either the short or the long run, and that therefore currency substitution between sterling and EC currencies can not be relied upon as a mechanism or an aid to reduce the costs of monetary 34
convergence. Kaplan, et al. (2008) investigated currency substitution in Turkey by conducting cointegration test. Empirical results suggest that depreciation of the Turkey’s Lira has resulted in a decline in holding of M1 indicating the presence of currency substitution in Turkey. Effiom and Samuel (2010) with Vector Error Correction Mechanism (VECM) in Nigeria find that currency substitution has been dominant yet silent feature of the Nigerian economy. Hence, they loss the purchasing power from holding home currency, loss seignorage revenue, and reduce the cost of enterprise theft and facilitates corruption and rent seeking. A large number of papers have examined currency subtitution in developed countries, but very few studies in the developing countries. This paper examines the empirical importance of currency substitution in the framework of the demand function for money. If currency substitution is important, the expected change in the exchange rate should be a significant determinant of the demand for home currency in Indonesia over the period January 2001 to May 2009 using cointegration approach. This paper is organized as follows. Section two provides the teoritical foundation, section three introduces the econometric methodology and data, section four is the empirical analysis and presents the results, and section five is conclusion.
LITERATURE REVIEW Currency subtitution can be treated from a macro and microeconomic point of viev. Within the macroeconomic tradition, currency subtitution has been modelled by means of money demand function and portfolio balance models (de Vries, 1988). Lazea, et.al, (2003) describe the determinants of currency substitution can be better understood by distinguishing among the three traditional functions of money: unit of account, medium of exchange, and provider of store-of-value services. Performing a unit of account function, money is considered more prone to be substituted as non-domestic currencies are more widely used by people for transactions. As for money as a medium of exchange, the more acceptable the currency, the more it is used as a provider for transaction services. As a store of value money predominates in the form of nominal interest bearing assets and shares. 35
Under currency substitution, the store of value services provided by a currency will determine its demand. This will suggests that demand for foreign currency will increase together with higher inflation. The money demand function, in addition to usual variables such as those reflecting the level of transactions in the economy (e.g. real income), the opportunity cost of holding money, (e.g. the interest rate earned on other assets and/or the level of inflation) should include an exchange rate variable. In other words, to detect currency substitution, the link between exchange rates and money demand is used. According to the currency substitution literature, when the exchange rate is expected to depreciate, the expected return from holding foreign money increases and the demand for domestic currency falls (as individuals substitute foreign money for domestic currency) (Yazgan, et al., 2008). As stated on Brittain (1981), currency substitution in a Keynesian Framework on the demand side requires (a) that domestic as well as foreign currency balances are included in wealth holders' portfolios, and (b) that cash balances denominated in different currencies are systematically ad-justed to changes in relative opportunity costs. Most of the empirical work concerning the currency substitution issue has consequently been based upon a Keynesian-type demand function for money which includes a foreign market rate of interest among the explanatory variables. Currency substitution has important implications for the macroeconomic performance of countries, financing government deficit, determining an appropriate foreign exchange regime, and conducting the monetary policy. Currency substitution, leading to the decline in domestic money holdings, could cause an economic slowdown and hence worsen the economic crisis (BahmaniOskooee and Techaratanachai, 2001). Lazea, et.al, (2003) mention that currency substitution has important effects not only on monetary policy but also on fiscal policy. When currency substitution is widespread, the effective money supply is much larger than the domestic money supply and is, moreover, less easily controlled by the monetary authority because of the public’s tendency to substitute foreign for domestic currency. In such an environment for example, an inflationary fiscal policy – imposing an implicit tax on 36
domestic monetary assets, will be ineffective, monetary policy is prone to a more volatile velocity of money, lower monetary depth is also a consequence, part of the segniorage revenues is lost, not to mention that foreign cash transactions reduce the cost of tax evasion and facilitate participation in the “underground” economy. It is clear that formulating macroeconomic policy in such circumstances is not an easy task. Currency substitution could also cause widening in budget deficits since seigniorage income is the main source of income for the government, particularly in high inflation economies. In case, this loss of income is not compensated by increasing taxes or reducing government spending, currency substitution may further increase the rate of inflation (Fisher, 1983).
METHODOLOGY In this study we follow Arango and Nadiri (1981), Bahmani-Oskooee’s (1996), and Kaplan, Muhittin, et al, (2008) model. In the empirical analysis we estimated the following money demand function:
log M1t a b log Yt c log I t d log neert et M1 is the real money stocks, Y is the real income, I is nominal domestic interest rate and neer is the nominal effective exchange rate. The elasticity of income b is expected to be positive and the elasticity of interest c is expected to be negative. This study uses monthly time series data from January 2001 to May 2009. The data are obtained from the Central Bank of Indonesia (BI) and Bureau of Indonesian Statistic (BPS). The annual real income is converted to monthly data using the interpolation method. The link between exchange rates and money demand can also be used to define currency substitution. According to the currency substitution literature, when the exchange rate is expected to depreciate, the expected return from holding foreign money increases, and the demand for domestic currency falls (as individuals substitute foreign money for domestic currency). Thus, if depreciation of the domestic currency reflected by a decrease in effective exchange rate induces a decline in money holdings by domestic residents, the estimate of d should be positive (Kaplan, et al, 2008). 37
Prior estimating any relationships between M1 and its explanatory variables, it is needed to check for the stationary of each data series. Testing the stationary of economic time series is very important since standard econometric methodologies assume stationary in the time series while they are, in fact, nonstationary. Consequently, the usual statistical tests—for instance, the ordinary least squares (OLS) estimation of regressions in presence of non-stationary variables gives rise to spurious regressions if the variables are not cointegrated are likely to be in appropriate and the inferences drawn are likely to be erroneous and misleading (Kikuchi, 2004). We, therefore, use the classical unit root tests, namely, the Augmented DickeyFuller (ADF) test is based on the null hypothesis that a unit root exists in the time series. Once it is established that series are I(1), we can proceed to test for a long-run relationship between the series. If such a relationship exists, the series are cointegrated. We tested cointegration using the two cointegration techniques devised by Johansen and Juselius (JJ) (1990). In the JJ method, two tests are used to determine the number of cointegrating vectors (r): the trace test and the maximum eigenvalue test. In the trace test, the null hypothesis is that the number of cointegrating vectors is less than or equal to r, where r is 0, 1, or 2. In each case, the null hypothesis is tested against a general alternative. In the maximum eigenvalue test, the null hypothesis r = 0 is tested against the alternative that r = 1, r = 1 against the alternative r = 2, etc.
EMPIRICAL RESULTS Indonesia is a small open economy, where exchange rate determines how the import price may affect the domestic economy. In some literature ilustrated that the import prices reflect the general prices through the price of the final goods produced. General prices determine the level of interest rate and the interest rate determines the output of the economy trough aggregate demand changes in the short run. And how much money an individual decide to hold is determined by interest rate.
38
Table 1 Money Demand in Indonesia 500000 400000 300000 jan 200000
MD
100000 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
Table 2 The Descriptive Statistics of Interest Rate
Descriptive Statistics Std.
interest Valid
N
(listwise)
N
Minimum
Maximum
Sum
Mean
Deviation
Statistic
Statistic
Statistic
Statistic
Statistic
Std. Error Statistic
101
5.00
16.00
952.00
9.4257
.31224
3.13798
101
In this study, the Augmented Dickey-Fuller test statistics are employed to test for unit root and the results are presented in Table 1. The results of the ADF test indicate that not all variables stationary in level. So that, we can conclude that all variables imply first-difference stationary.
Table 3 Unit Root Test Augmanted Dickey-Fuller Unit Root Test Series
Level
First Difference
M1
-0.772723
-9.977681
(0.8221)
(0.0000)*
0.352547
-10.68692
(0.9798)
(0.0000)*
-5.826127
-11.60196
(0.0000)*
(0.0001)*
Y
I
39
NEER
-3.665650
-10.17639
(0.0061)*
(0.0000)*
* shows rejection of null hypothesis of a unit root at the 1% level. The lag order for the series was determined by the Akaike Information Criterion.
Knowing all variables is integrated of order one, the next step consists of testing for cointegration among the integrated variables. The procedure used in this study is Johansen multivariate cointegration test to explore any possible long run relationship among the variables based on maximum likelihood methods introduced by Johansen (1988, 1991) and expanded upon by Johansen and Juselius (1990). For the trace test results, the null hypothesis of conclusions are obtained from the
r = 0 is rejected. Almost similar
-max results. Thus, both the trace test and
maximum eigenvalue results indicate the presence of only one cointegrating vector in the model. The results obtained from the JJ method are presented in Table 2 below.
Table 4 Johansen Cointegration Test Results Maximum Eigenvalue Statistic
Hypothesized
Statistic
No. of CE(s)
Trace Statistic
0.05 Critical
Hypothesized
Trace
Value
No. of CE(s)
Statistic
0.05 Critical Value
None *
39.95706*
27.58434
None *
67.31838*
47.85613
At most 1
18.65268
21.13162
At most 1
27.36131
29.79707
14.26460
At most 2
8.708629
15.49471
At most 3
3.563044
3.841466
At most 2
5.145585
At most 3
3.563044
3.841466
* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level
The long run cointegrating relationship is given in Table 3. The coeefficient of income and nominal effective exchange rate are positive, while the coeefficient of interest rate is negative, respectively, as expected. But, surprisingly the nominal
40
effective exchange rate does not significantly affect the demand for Indonesian Rupias. Table 5 Result Dependent variable
Y
I
NEER
M1
5.585338 (0.262984)
-0.016822 (0.035391)
0.008602 (0.027566)
Figure in parenthese indicate the standard error of coefficient
Mizen and Eric (1994) empirically investigate currency substitution in European Monetary Union with two models, the money services approach and portfolio balance approach. The results demonstrate that in the two types of model tested there is no clear evidence of currency substitution, in either the short or the long run, and that therefore currency substitution between sterling and EC currencies cannot be relied upon as a mechanism or an aid to reduce the costs of monetary convergence. Heimonen, Kari (2006) investigates empirically the impact of currency substitution on demand for money in UK. The study decomposed the dynamics of currency substitution in the UK economy into permanent and transitory components. The ratchet effect appeared to play only a minor role in inducing movements in currency substitution. Thus, currency substitution, i.e., euroization, as a long-run phenomenon will not present a major problem for the UK economy. His evidence suggests that, first since currency substitution will not be long-lasting, it would not have serious impacts on seigniorage in the UK economy. Second, given that the changes in foreign currency balances were mainly temporary, short-run shifts in money balances and the instability in the money demand equation cannot be ruled out.
CONCLUSION In this paper we investigated the impact of depreciation on currency substitution in Indonesia. The longrun relationship between M1, real income, nominal interest rate, and nominal effective exchange rate is tested by conducting cointegration test over the period January 2001 to May 2009. Empirical results 41
indicated that there is no currency substitution in fact happened in Rupias. This indicates that monetary policy in Indonesia will not be affected and can be implemented effectively.
REFERENCES Aarle, Bas van and Nina Budina, 1995, ‘Currency Substitution in Eastern Europe’, Tilburg University and Economics Institute of the Czech Academy of Sciences, Cerge, Charles University Prague. Arango, S and M. I. Nadiri (1981), ‘Demand for Money in Open Economies’, Journal of Monetary Economics, Vol. 7, pp. 69-83. Arize, Augustine C., 1991, ‘Currency Substitution in Korea’, The American Economist, Vol. 35, No. 2 (Fall, 1991), pp. 67-72. Bahmani-Oskooee, M. (1996), ‘The Black Market Exchange Rate and Demand for Money in Iran’, Journal of Macroeconomics, Vol.18, pp.171-176. Bahmani-Oskooee, M. and A. Techaratanachai, (2001), ‘Currency Substitution in Thailand’, Journal of Policy Modelling, Vol.23, pp.141-145. Bordo, Michael D.
and Ehsan U. Choudhri, 1982, ‘Currency Substitution and the
Demand for Money: Some Evidence for Canada’, Journal of Money, Credit and Banking, Vol. 14, No. 1 (Feb., 1982), pp. 48-57. Brittain, Β., 1981, ‘International Currency Substitution and the Apparent Instability of Velocity in Some Western European Economies and in the United States’, Journal of Money, Credit, and Banking, 13, 135-155. Calvo, Guillermo A. And Carlos Alfredo Rodriguez, 1977, ’A Model of Exchange Rate Determination under Currency Substitution and Rational Expectations, Journal of Political Economy, Vol. 85, No. 3 (Jun., 1977), pp. 617-626. De, Vries, Casper G., 1988, Theory and Relevance of Currency Substitution with Case Studies for Canada and the Netherlands Antilles, The Review of E conomics and Statistics. Effiom, Lionel and Ubi Peter Samuel, 2010, ‘The Currency Substitution Phenomenon: Is the Nigerian Economy Immune?’, Journal of Economic Theory 4 (1): 9-13, 2010. Engel, Charles, 1989, ‘The Trade Balance and Real Exchange Rate Under Currency Substitution’, Journal of International Aloney and Finance (1989). 8, 47-58. 42
Fisher, S. (1983), ‘Seigniorage and Fixed Exchange Rates an Optimal Inflation Tax Analysis, in Financial Policies and the World Capital Market: the Problem of Latin American Countries’, P.A. Armella, R. Dornbusch and M. Obstfeld (eds.), University of Chicago Press, Chicago, IL, pp.59-69. Hausmann, R., 1999, ‘Should There be Five Currencies or One Hundred and Five?’ Foreign Policy, pp.65-78. Heimonen, Kari, 2006, The Dynamics of Currency Substitution: Evidence from UK Foreign Currency Balances, International Journal of Business and Economics, 2006, Vol. 5, No. 1, 61-74. Johansen, S., 1991, ’Estimation and Hypothesis Testing of Cointegration Vectors in Gaussian Vector Autoregressive Models’, Journal of International Economics 8: 483-511. Johansen, S. and K. Juselius. 1990. ‘Maximum Likelihood Estimation and Inferences on Cointegration with Applications to the Demand for Money’, Oxford Bulletin of Economics and Statistics 52: 169–210. Kaplan, Muhittin, et al, 2008, ‘Currency Substitution: Evidence from Turkey’ International Research Journal of Finance and Economics. Kikuchi, Toshihiro, 2004,’ The Impact of Exchange Rate Volatility on Bilateral Exports in East Asian Countries’, Master Thesis, University of Tsukuba, Japan. Lazea, Valentin and Cozmanca, Bogdan Octavian, 2003, ‘Currency substitution in Romania’, MPRA Paper No. 19813. Miles, M.A, 1978, ‘Currency Substitution, Flexible Exchange Rates and Monetary Independence’, American Economic Review, 68 (429-436). Milner, Chris, et.al, 1998, A Cross-Country Panel Analysis of Currency Substitution and Trade, School of Economics Discussion Paper No. 99/14. Mizen, Paul and Eric J. Pentecost, 1994, ‘Evaluating the Empirical Evidence for Currency Substitution: a Case Study of the Demand for Sterling in Europe’, Economic Journal, 1 04 (September)1,0 57-Io6g. K Royal Economic Society I994. Rojaz, Ramirez, 1985, ‘Currency Substitution in Argentina, Mexico, and Uruguay’, Staff Papers - International Monetary Fund, Vol. 32, No. 4 (Dec., 1985), pp. 629-667. Yazgan, M. Ege and Ilknur Zer-Toker, 2008, ‘Currency Substitution, Policy Rule and Pass-Through: Evidence from Turkey, Applied Economics, 2010, 42, 2365–2378.
43
UNDERSTANDING THE DETERMINANTS OF FDI IN INDONESIA THROUGH EXTENSIVE DUNNING AND GRAVITY APPROACH3 Arif Darmawan M.A Student at Department of Developmental Economics and Economy Growth,Marmara University, Istanbul-Turkey // Research Associate at Middle East Development Network (MDN), Istanbul-Turkey ABSTRACT The potential impulse (s) and response (s) of Foreign Direct Investment (FDI) in economy system have been always bring great interest to researchers and practitioners. This paper considers movements of Foreign Direct Investment (FDI) in Indonesia, and therefore, to investigate and understand the determinants of FDI as the primary capital flows among other capitals sources. FDI flow’s is very important to help encourage the growth of sustainable investment, creates new job opportunities, deteriorate the balance payments and lower the ability of national competitiveness, and may crowd out domestic capital. This paper has several specific objectives, such as: 1) to study about the determinants of capital inflows of FDI in Indonesia, and 2) to examine the impacts to investments of ASEAN countries towards FDI in Indonesia. This paper eventually follows maximum likelihood methodology of Dunning and Gravity Model with the panel estimation and OLS (Ordinary Least Square). The analysis also carried out through an extensive review of the relevant literature, microeconomic, and macroeconomic topics related to FDI.In conclusion, this paper assume that economy growth, labor costs, infrastructures, exchange rates, and political stability has significant structural changes in level, respectively, within the time interval from 1992 to 2012. Keywords:Dunning Model, Economy Growth, FDI, Gravity Model, Investment
3
The original version of this paper was already submitted to International Conference on Indonesian Development (ICID) in The Hague, Netherlands. The author would like to appreciate Fatimah Azzahra (Master Student at Uludağ University, Bursa-Turkey) for her efforts who added some following instruments to make this paper richer of recent knowledge.
44
1.
Introduction During and after 1990s, the dramatic surge in private capital flows to
developing countries represented an additional resource for supporting local domestic resources in financing economic growth and development. In many of these countries, domestic resources hardly provide the necessary resources required for financing economic development. In addition, FDI is regarded as an important vehicle and indicator of the country’s degree of economic globalization and integration into world economy. Nowadays, FDI, to both the home and host countries, is considered to be very important number of reasons. Firstly, FDI flows provide an important window through which firms can avoid soaring production costs at home and find attractive market abroad. Secondly, since FDI flows are nondebt creating financial commitments, they are preferred instruments of financing external current account deficits particularly in developing countries (Demekas et al. 2005). Thirdly, FDI flows affect growth positively by decreasing the costs of research and development through stimulating innovation in the host country (Lensinky and Morrissey, 2001). Borensztein et al., (1998) considered FDI to be an important vehicle for transfer technology, contributing to growth more than domestic investment. Fourthly, in presence to adequate absorptive capacities, FDI can have positive effects on domestic employment (Lall, 2002) in addition to leading to higher rates of human capital accumulation, hence, a potential for future growth processes and accelerated technological transfer over time. FDI can be an important channel for bringing knowledge and integration into global production chains which are badly needed for successful exports strategy by developing countries (Yol and Teng, 2009). Prior the economic transformation in 1998s, after the fundamental economy crisis, Indonesia was starting to look FDI as a source of capital when flows of Official Development Assistance (ODA) and International Monetary Fund (IMF) inclined sharply after crisis. FDI usually represented a long-term commitment to the host country and contributed significantly to gross fixed capital formation especially in Indonesia. FDI had several advantages over the types of capital flows, in particular its greater stability and the fact that it would not create obligations for the
45
host country, as had been observed in the context of the Asian financial crisis of 1997-1998. Emerging issues in the areas of foreign direct investment are an essential part of the core of regional and global market. Although the last two decades have been marked by a surge of private capital flows to developing countries, developed countries remain the first destination for FDI. In the developing world, some countries succeed in attracting foreign capital while others are more marginalized. This phenomenon was also happened in Indonesia. Even if there is some evidence of its negative effects, FDI is recognized to have beneficial effects on local firms and the economy at large.
Figure 1. FDI Net Inflows in Selected Asian Economies; Percent of GDP (Source:World Bank, 2011). As we can see on the figure above (Figure 1), foreign direct investment (FDI) inflows have been increasing, albeit from a comparatively low level. They grew by 18.5 % in 2011.According to the latest A.T. Kearney FDI confidence index, Indonesia moved from the 20th to the 9th most attractive FDI destination from 2008 to 2012 (A.T. Kearney, 2012). In the fact, while further corporate tax cuts might attract more FDI, a number of other factors may play important roles (Lipsey and Sjöholm, 2011). Indeed, FDI is usually believed to be beneficial to growth and development, as it’s a source of technology transfer, allows risk diversification, and can deepen financial markets (Kose et al., 2009). 2.
Theoretical Concept
2.1
Determinants of FDI As a long term endowment and relatively invulnerable to the economic
fluctuation, FDI inflows are expected to drive sustainable development in Indonesia. 46
Recently, foreigner investors tend to alternate their investment through FDI inflows instead another form of endowment influenced by the condition of the recipient country of FDI (the pull factors) as well as the conditions and strategies of foreign investors (push factors) (Kurniati et al, 2007). Kurniati et al (2007) consideredpull factors of FDI investement, include market conditions, availability of resources, competitiveness, policies related to trade and industry as well as the liberalization of FDI policies (in the form of investment incentives). What is more, Resmini (2000) highlighted how FDI decisions can be traced back to industry characteristics such as labour costs or production cost differentials, the exploitation of economies of scale and scope, the availability of a qualified labour force and the opportunities for upgrading production techniques and product quality. While the pull factors include, among others, investment strategy and production strategy of the investor, indeeed the perception of risk to the recipient country. Meanwhile, FDI can also be distinguished by the motivation behind foreign inventors, namely: a. Resource seeking: Investment done to find the factors of production more efficiently in other countries compared to the use of factors of production in the country is more expensive. b. Market seeking: Investments made with the purpose of seeking new markets or maintain the market long. This strategy can also be done as a strategy pertahanan7. Investment in the background to find the market is realized in the form of mergers. c. Efficiency seeking: Investments in which the company seeks to increase efficiency by taking advantage of the economic scale and scope. Type of FDI is widely used in developing countries. 3.
Methodology and Data
3.1 Dunning Model The conceptual framework to answer the question related about determinants of FDI by using Dunning’s eclectic paradigm, and the so-called OLI model and Gravity Model. Eclectic paradigm of J.H. Dunning, known as the OLI model, has been the most influential framework for empirical investigation of FDI determinants 47
for decades. The paradigm offers a holistic framework to take in consideration all of the important factors. There are, in contemporary literature, some extensions of the OLI model in an attempt to fully develop conceptual framework. As mentioned above, FDI possess certain competitive (ownership) advantage, and they are able to internalize transaction costs (internalization), the key remaining determinant in decision-making process to invest abroad are location advantages of the host country and the government economic policy objectives. The basic model of OLI model started with configuration in a subsequent moment of time. Let OLIt0 be the OLI configuration in time
t0,
OLIt1 the OLI
configuration in the time t1, St-n the past (i.e. pre t0) strategies of firms still being worked out, and ΔSt0t1 any change in the strategic response. Then, ceteris paribus:
(1) If we extend the analysis to a second time period t2, then:
This analysis further suggests that St-n and St-0 t2 determine the path of the movement from OLIt0 to OLIt2. If we take all endogenous variables other than strategy to be EN, and all exogenous variables to be EX, and assume that changes in EN and EX do not affect the firms’ strategies, then we can rewrite equation (1) as:
(2) Equation 2 can be similarly reconstructed and it is east to incorporate any change in strategy which embraces the response to ΔEN and ΔEX if it occurs before t1 is reached by adding * to ΔSt0 t1in the equation. Based on initial equation above, the dunning model that used to see the determinants of FDI Indonesia is:
(3)
48
where GDPt = real gross domestic product at time t, Waget = average wage for workers in the manufacturing sector at time t, TCt = transport and communication expenditures compared with GDP nominal, Polriskt = polititical risk during the time t, REERt = real effective exchange rate, Excvoltt = differences in exchange rate with average, and FDIt = foreign direct investment (inflow). The product of this equation estimates by using OLS (Ordinary Least Square) method. In case to determine model by using OLS method, where the model has a correlation with a constant error rate, the model used is fixed effects model, while if the constants are not correlated with the error rate, the model used is random effects model. Random effects model can be written as follows:
3.2
Gravity Model Ever since the gravity model’s first application by Tinbergen and Pöynöhen in
early 1960s, most gravity regressions fit data remarkably well, but a theoretical basis of the model was lacking. The trade model identification is particularly important when a gravity model is applied to a single country rather than to pairs of countries. As the model serves to reveal the trade pattern of bilateral trade flows, it will be more relevant to a country than to groups of industries in country pairs, as in Evenett and Keller (2002). The empirical gravity equation takes the form:
(5) where Tij=bilateral trade volume (exports + imports) between countries I and j, Yi.Yj = product of country i’s and country j’s GDPs, (Y/P)i(Y/P)j= product of country í’s and country j’s per capita GDPs, and Dij = distance between countries i and j. This equation above is a development formula that has been done by Deardoff (1995) and applied in FDI formula (Boss and Van De Laar, 2004), in form:
49
(6)
The product of GDP serves as a proxy for two countries’ economic size, in terms of both production capacity and market size. There is a negative relationship with the distance between countries to another country. This distance related about transaction costs may arise due to foreign investment. The distance variable is a trade resistance factor that represents trade barriers such as transport costs, delivery time, cultural unfamiliarity, and market access barriers. Most of the previous literature interpreted the coefficient of distance variable β3 as the elasticity of trade with respect to an absolute geographical distance. Recently, however, it is generally accepted that a relative distance, rather that the absolute distance, matters more for bilateral trade flows in the gravity estimation (Sohn and Yoon, 2005). 3.3
Data Source The objective of this study is to identify significant factors or determinants of
FDI in Indonesia. The study employs annual data on foreign direct investment (FDI) flows, gross domestic product (GDP), wage; defined as average of all wages in manufacturing sector, real effective exchange rate (REER), transport and communication defined as the number of expenditures in transportation and communication and compared with GDP nominal, political risk, and exchange rate volatility over period 1992 – 2012. For FDI data, we use collected data from World Bank’s World Development Indicators Database. The data are obtained from various publications databases. Sample size was determined by the data availability which, in turn, dictated the number of variables to include in the study. 1.
Discussion and Empirical Results
4.1
Unit Root Test Results As a first step in finding out, estimation will use Ordinary Least Square (OLS)
method which used time series data. In the beginning, the variables must meet the 50
basic assumptions, which include homoscedasticity of error rate, none both of multicollinearity and autocorrelation. Before process the time series data, we are doing some stationary testing by using Augmented Dickey Fuller test (ADF). In the first phase, we are testing variables at the level, first difference and second difference to know about integration degree. Table 1. Simulation Results of Stationary Test Data
No
ADF Test Statistics (Level)
ADF Test Statistics (L(1))
t-statistic
Probability
t statistic
Probability
Variable Name
1
GDP Real
-1.862409
0.0810
-2.932366
0.0103
2
Real Wage
-1.969493
0.0665
-3.311553
0.0047
-3.007855
0.0083
-3.687695
0.0022
-4.157672
0.0007
-5.638864
0.0000
REER
-2.037798
0.0585
-3.914713
0.0014
Exchange
-1.758404
0.0978
-3.735517
0.0020
Transportation 3
Communicatio n
4 5 6
Political Stability
Volatility Based on the results of testing the unit root test, we found that all of the
variables used in the test are stationary at the first difference level. Most of the explanatory variables are found quite highly probability and effective for explaining determinants of FDI in Indonesia. It also shows that variable selection is appropriate for a single-country case. 4.2
Dunning Model Test Results The single-country OLS regression results for the Dunning equations are
reported in table 2. The overall performance of the model seems to be surprisingly good, with high R2 (R-squared) value of around 0.796 for the equation. Most of explanatory variables have a high significant number, meaning that also have significant influence to FDI in Indonesia.
51
Table 2. Results of Dunning Test using OLS, White Test Dependent Variable: LOG_FDI Method: Least Squares Date: 06/10/13 Time: 04:25 Sample: 1992 2012 Included observations: 16 Excluded observations: 5 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic Prob.
C
-29.38065
26.28224
-1.117890 0.2926
LOG_GDP
5.722618
1.412699
4.050839 0.0029
LOG_WAGE
-11.88178
13.60320
-0.873455 0.4051
LOG_TC
0.174595
0.192429
0.907321 0.3879
LOG_POLRISK
0.309611
0.377307
0.820583 0.4331
LOG_REER
-0.186153
3.340787
-0.055721 0.9568
LOG_EXCVOL
5.136656
0.991748
5.179397 0.0006
R-squared
0.796367
Mean dependent var 9.639687
Adjusted R-squared 0.660611
S.D. dependent var
S.E. of regression
0.301685
Akaike info criterion 0.740771
Sum squared resid
0.819126
Schwarz criterion
1.078779
Log likelihood
1.073831
F-statistic
5.866188
Prob(F-statistic)
0.009646
Durbin-Watson stat 1.339051
0.517852
Based on the table above, we can take a look at the coefficient of economy growth. Percentage of economy growth in Indonesia has significantly affect to level of investment when GDP increase by 1 %, it also increase investment by 5.72 %. The log of products GDP’s is highly significant and consistent with rate stability after crisis, which is in the range of 6 %. Growth (GDP)’s coefficient is quite large compared with other variables, and give some advice to encourage investment into Indonesia, preferably with promoting and increasing economy growth itself. In contrast, real wage have a negative impact for FDI into Indonesia. Increased labor cost that reflecting of increase the cost of production, will make cost for 52
production is relatively more expensive. Increased labor cost by 1 % during period time from 1992 to 2012 will decrease investment around 11 %. Infrastructure and political risk have a significant impact on FDI into Indonesia. Development of infrastructure that became better, especially for roads and communication, will make production activities increasing faster and efficient. The increasing in infrastructure growth by 1 % will lead to investment into Indonesia around 0.17 % while political stability also has an important role in attracting investment to Indonesia. Increased political stability by 1 % will encourage investment in Indonesia amounted 0.309 %. This is consistent with the previously proposed Dunning’s theory that investors saw existence of risks in the country. Based on the results, exchange rate volatility does not give a significant effect to investment in Indonesia. It can be figured out as FDI is an investment for long term, therefore the volatility just effect in the short term (less than a year) and does not give affect for investor’s decision to invest in Indonesia. Although the exchange rate volatility does not give a significant effect, REER has a negative relation with FDI. Increased (appreciation) effective exchange rate by 1 % will decrease investment point until 0.186 %. This showing that the appreciation which happened in Indonesia will lead for investment (cost of product and service) to become more expensive (Hattari and Rajan, 2008). Thus, the effective model that can be taken from Dunning Model is: LOG_FDI = -29.38064758 + 5.72261814*LOG_GDP - 11.88178447*LOG_WAGE +
0.1745948663*LOG_TC
+
0.3096113774*LOG_POLRISK
-
0.1861530319*LOG_REER + 5.136655848*LOG_EXCVOL 4.3
Gravity Model Test Results As we discussed above, we make some adjustment to Gravity Model that will
be used for estimate the factors of investment in ASEAN and Indonesia and try to find relationship among them. ASEAN countries are represented by five countries (except Singapore) defined as Indonesia, Malaysia, Thailand, Vietnam, and the Philippines (Kurniati, Andry, and Yanfitri, 2007). The adjustment Gravity Model that will be used is:
53
(7) where, FDIij,t = amount of FDI inflows in ASEAN member countries at time t, GDPj,t =Gross Domestic Product in ASEAN member countries at the time t, IRj,t = interest rate for each ASEAN member countries during the time t, WageDiffj,t = difference level of wages in manufacturing sector between ASEAN member countries and Indonesia, and Oilj,t = total value of oil imports during time t. We used Panel Data Test, because the data that used in model is combination of time series data (year) and cross section (countries). Over the sample period from 1992 to 2012, the FDI for both of all ASEAN member countries has significantly increased. However, before interpreting, the results, it is worth nothing an important limitation associated with the approach and some adjustment taken in the analysis. That is, while each of the regression coefficients is indicative of the impact of a change in the explanatory variable on the FDI, it would not be valid for a particular variables and country in the sample, unless that country closely resembles the average country with regard to the economy structure summarized by the values of the explanatory variables. Nevertheless, despite this shortcoming, the empirical results are good informative. Table 3. Results of Gravity Test using Panel Data, GLS (Cross Section Weights) Dependent Variable: LOG_FDI? Method: GLS (Cross Section Weights) Date: 06/29/13 Time: 05:43 Sample: 1992 2012 Included observations: 21 Total panel (balanced) observations 105 Variable
Coefficien Std. Error
t-Statistic
Prob.
38.31433
0.0000
t C
8.274130 0.215954
54
LOG_GDP?
0.184456 0.033649
5.481799
0.0000
LOG_IR?
-0.037750 0.118570
-0.318373 0.7509
LOG_WAGE?
-0.091738 0.154788
-0.592666 0.5547
LOG_OIL?
0.495577 0.116547
4.252157
0.0000
Weighted Statistics R-squared
0.991232
Mean dependent var 19.12607
Adjusted R-squared 0.990881
S.D. dependent var
8.276265
S.E. of regression
0.790336
Sum squared resid
62.46318
Log likelihood
-46.20370
F-statistic
2826.137
Prob(F-statistic)
0.000000
Durbin-Watson stat 1.315962 Unweighted Statistics R-squared
0.187411
Mean dependent var 9.305210
Adjusted R-squared 0.154907
S.D. dependent var
1.122490
S.E. of regression
Sum squared resid
106.4803
1.031893
Durbin-Watson stat 0.946778
We use weighted statistic estimation, for increasing and generalizing cross section data during the test. However, we found that adjusted R2 of around 0.99 (using weighted statistics) and 0.18 (without weighted statistics), which is little bit hard to achieve the good conclusion. But, we try to focus on generalizing and put weighted statistics as the estimation. All the coefficients have not on the right signs. The wage difference and interest rate are negatively correlated in the model. On the other hand, GDP variable and oil imports variable openness appear to give strong positive correlation with the FDI to Indonesia. The variable, oil imports, defined as the total value of oil imports in the country during the period time. The measure of openness (“closeness” as defined as Knight, Loayza, and Villanueva, 1993) affect growth through investment and efficiency. The efficiency term accounts for technological improvements. The result of the data panel test show that 1 % increase in GDP (growth) leads to a rise in the FDI by around 0.18 %. 1 % point increase in oil imports increases 0.49 % investment over a 20-year period. The combined effect of 1 % increase in 55
interest rate will decrease 0.8 % of FDI and last, 1 % increase in wage in manufacturing sectors will decrease 0.09 % of FDI in Indonesia. Similar result were also obtained under the random effects model, albeit more significant. In the final step, we have analyzed a model and result of impact of investment into ASEAN member countries will lead the positive result to Indonesia. The impact is slightly weaker under the fixed effects model. The fact that it is negatively correlated with FDI should reconfirm the importance of interest rate and differential wage among ASEAN member countries. Conclusion The objective of this paper was to determine some of the necessary determinants of Foreign Direct Investment in Indonesia. The results provide useful insights into these factors. There has been a long debate among policy makers and economists at the national and international levels about whether FDI enhances growth in the host countries. Further, we analyzed both economy growth, transportation and communication, political stability, and exchange rate volatility have significant impact for FDI to Indonesia. We conducted also an empirical analysis in the framework of a panel for Five ASEAN member countries by employing data from 1992 to 2012. The results give us useful information about relationship among ASEAN member countries to speed-up the FDI acceleration. The results suggest FDI will be supported by an increase in economy growth and oil imports to improve capital, increase domestic investment, and encourage efficiency in investment. References A.T.
Kearney.
(2012).
Cautious
Investors
Feed
a
Tentative
Recovery,
http://atkearney.com/images/global/pdf/Cautious_Investors_Feed_a_Tentative_Reco very-FDICI_2012.pdf Borensztien, E., de Gregorio, J. and Lee, W.J. (1998). How Does Foreign Direct Investment Affect Economy Growth? Journal of Transition Studies Review. 13: 359 – 377.
56
Boss, Jaap W.B and Van de Laar, Mindel. (2004). Explaining Foreign Direct Investment in Central and Eastern Europe: an Extended Gravity Approach. DNB (Netherlands) Working Paper No. 008, 2004. Demekas, D., Horvath, G., Ribakova, B.E. and Wu, Y. (2005). Foreign Direct Investment in Southeastern Europe: How (and How Much) can Policies Help? IMF Working Paper, WP/05/110. Evenett, S.J. and W. Keller. (2002). on Theories Explaining the Success of the Gravity Equation. Journal of Political Economy, Vol. 110, pp. 281 – 316. Hattari, Rabin and Rajan, Ramkishen S. (2008). Trends and Drivers of Bilateral FDI Flows in Developing Asia: Extent of De Facto Integration. Hong Kong Institute for Monetary Research. Knight, M., N. Loayza, D. Villanueva. (1993). Testing the Neoclassical Theory of Economic Growth, a Panel Data Approach, International Monetary Fund Staff Paper, 40 (3). Kose, M., E. Prasad, K. Rogoff and S.J. Wei. (2009). Financial Globalization: A Reappraisal. IMF Staff Papers, Vol. 56, No. 1, pp 8 – 62. Kurniati, Y., Andry Prasmuko, and Yanfitri. (2007). Determinant of Foreign Direct Investment.Working Paper Bank of Indonesia WP/06/2007. Lall, S. (2002). The Employment Impact of Globalization in Developing Countries. Working Paper 93, Queen Elizabeth House. Oxford: University of Oxford. Leinsink, R. and Morrissey, O. (2001). Foreign Direct Investment: Flow, Volatility and Growth, Paper presented at the Development Economics Study Group Conference, University of Nottingham, Nottingham. Lipsey, R. and F.SjÖholm. (2011). Foreign Direct Investment and Growth in East Asia: Lessons from Indonesia. Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol. 47, pp 35 – 63. Sohn, Chan-Hyun and Yoon, Jinna. (2005). Does the Gravity Model Fit Korea’s Trade Patterns? Implications for Korea’s FTA Policy and North-South Korean Trade. The Japanese Economic Review, Vol. 56, No. 4, December 2005. 57
Yol, Marial A. and Teng, Ngie Teng. (2009). Estimating the Domestic Determinants of Foreign Direct Investment Flows in Malaysia: Evidence from Cointegration and Error-Correction Model. Jurnal Pengurusan 28 (2009): 3 – 22. Data Sources Used IMF Data and Statistics. (http://imf.org/extenal/data) LABORSTA Internet (http://laborsta.ilo.org) Political Risk Data (http://prsgroup.com) World Bank Database (http://data.worldbank.org) World Economic Outlook Database, April 2013.
58
PENGARUH KEBIJAKAN QUANTITATIVE EASING AMERIKA SERIKAT TERHADAP INDIKATOR EKONOMI INDONESIA Dewi Sarwendah Indrajati Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sebelas Maret Surakarta
[email protected] Lukman Hakim, S.E., M.Si., Ph.D Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sebelas Maret Surakarta
[email protected] ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh yang ditimbulkan kebijakan moneter quantitative easing Amerika Serikat terhadap variabel indikator ekonomi Indonesia, yaitu nilai tukar, inflasi, indeks harga saham gabungan, dan tingkat suku bunga deposito. Metode yang digunakan adalah menggunakan Vector Error Correction Model (VECM) dengan data runtun waktu bulanan dari tahun 2006 sampai 2014. Berdasarkan Johansen Cointegration Test penelitian ini menemukan kebijakan moneter quantitative easing dan seluruh variabel indikator ekonomi Indonesia memiliki hubungan jangka panjang. Kemudian, dari hasil Error Correction Term (ECT) kebijakan moneter quantitative easing berhubungan secara signifikan terhadap seluruh variabel indikator ekonomi. Dan berdasarkan hasil Impulse Response Function (IRF), seluruh variabel menunjukkan respon yang berbeda terhadap goncangan kebijakan moneter quantitative easing.
Kata Kunci: Quantitative easing, Indikator ekonomi Indonesia, VECM ABSTRACT This study aims to see the influence of quantitative easing monetary policy of United States towards Indonesia’s economic indicator variables, such as exchange rate, inflation, the index composite stock price, and deposit interest rates. The method used is Vector error Correction Model (VECM) with monthly time series data from 2006 until 2014. Base on Johansen Cointegration Test this study found that quantitative easing monetary policy and Indonesia’s economic indicator variables have a long term relationship. Then, from Error Correction Term (ECT) quantitative easing monetary policy relate significantly to the entire economic indicator variables in Indonesia. And from Impulse Response Function (IRF), that all variables of 59
economic indicator indicate different response to the quantitative easing monetary policy.
Key Words: Quantitative easing, Indonesia Economic Indicators, VECM
60
A.
PENDAHULUAN Pada tahun 2008 pemerintah Amerika Serikat memberikan stimulus
perekonomian untuk mengatasi krisis global serta memberlakukan kebijakan quantitative easing. Penelitian tentang quantitative easing sudah banyak diteliti diberbagai negara. Sebagian peneliti menemukan tidak ada pengaruh yang ditimbulkan akibat kebijakan quantitative easing, seperti penelitian yang dilakukan oleh Ruan (2013) di Kanada, Kurihara (2006) di Jepang, Berkmen (2012) di Jepang, dan Techarongrojwong (2012) di Thailand. Sementara itu, beberapa peneliti seperti Krishnamurthy (2011) di Amerika Serikat, Zhu et al (2013) di China, Carrera et al (2014) di Peru, Jarrow et al (2013) di Inggris, Belongia et al (2014) di Amerika Serikat dan Nugroho (2011) di Indonesia, menemukan bahwa terdapat pengaruh kebijakan quantitative easing terhadap indikator makroekonomi. Berdasarkan penelitian tersebut di atas, studi ini akan menganalisis pengaruh yang terjadi akibat adanya kebijakan quantitative easing oleh Amerika Serikat terhadap
beberapa
indikator ekonomi Indonesia yaitu nilai tukar, inflasi, tingkat suku bunga deposito, dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Quntitative easing merupakan upaya meningkatkan ukuran neraca bank sentral melampui tingkat yang diperlukan untuk menetapkan kebijakan tingkat suku bunga jangka pendek pada angka nol (Bernanke dan Reinhart: 2004). Kebijakan quantitative easing pertama kali dilakukan oleh negara Jepang pada tahun 2001 yang kemudian diikuti oleh beberapa bank sentral di dunia seperti Inggris, Eropa, dan Amerika Serikat dengan tujuan untuk memompa perekonomian. Menurut Hausken (2013: 1-2) kebijakan quantitative easing Amerika Serikat dilakukan oleh the Fed dengan membeli obligasi pemerintah atau obligasi yang lain dan kemudian membuat uang tersebut tersedia bagi bank-bank untuk dipinjamkan, sehingga memperbesar jumlah uang beredar dalam perekonomian, yang pada gilirannya akan mengurangi tingkat suku bunga jangka panjang. Dengan mengambil kebijakan tidak konvensional quantitative easing, bank sentral mencari jalan utama untuk merangsang pertumbuhan, menurunkan pengangguran ke tingkat yang wajar dan mendukung sistem perbankan dengan memompa lebih banyak uang ke dalam perekonomian untuk meningkatkan pengeluaran.
61
Awal mula Amerika Serikat melakukan kebijakan quantitative easing adalah dalam upaya penyelamatan perekonomian dari krisis perekonomian. Krisis global pada tahun 2008 mengakibatkan kelesuan ekonomi di berbagai negara termasuk di Amerika Serikat. Amerika Serikat merupakan salah satu negara dengan kekuatan ekonomi yang kuat dan berpengaruh di dunia. Krisis perekonomian yang dialami oleh Amerika Serikat berpengaruh terhadap negara-negara lain. Krisis global yang berimbas pada krisis finansial di berbagai negara bermula dari munculnya pengumuman dari salah satu bank terbesar di Perancis BNP Paribas tentang pembekuan beberapa sekuritas yang terkait dengan kredit perumahan AS (subprime mortgage). Subprime Mortgage merupakan istilah untuk kredit perumahan (mortgage) beresiko tinggi yang diberikan kepada debitor dengan tidak memiliki sejarah kredit sama sekali. Banyaknya debitur yang gagal bayar menyebabkan kerugian finansial yang pada akhirnya dialami oleh perekonomian secara keseluruhan. Krisis dunia tersebut diperparah dengan bangkrutnya bank investasi terbesar di Amerika Serikat Lehman Brother pada triwulan III tahun 2008. Terjadinya krisis perekonomian ini membuat Gross Domestic Product (GDP) Amerika mengalami penurunan.
B.
TINJAUAN PUSTAKA
1.
Suku Bunga The Fed Fed mempunyai kendali utama dalam kebijakan jumlah uang beredar di
Amerika terutama dengan cara mengubah jumlah cadangan pada sistem perbankan melalui pembelian dan penjualan surat obligasi pemerintah pada operasi pasar terbuka. Menurut Mankiw (2006: 334) berdasarkan teori preferensi likuiditas yang dikemukakan oleh Keynes, teori tersebut mengemukakan peristiwa-peristiwa lain yang memengaruhi perubahan jumlah permintaan barang dan jasa. Ketika jumlah permintaan barang dan jasa berubah pada tingkat harga tertentu, kurva permintaan agregat bergeser. Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa Fed memperbanyak jumlah uang beredar melalui kebijakan quantitative easing. Kebijakan moneter yang dilakukan Fed akan memengaruhi suku bunga di Amerika. Fed lebih memilih untuk memberlakukan suku bunga, dibandingkan jumlah uang yang beredar sebagai perangkat kebijakan. Fed telah memberlakukan kebijakan dengan menetapkan target 62
untuk federal fund rate. FOMC telah memutuskan untuk menetapkan suatu target bagi federal fund rate, karena jumlah uang beredar sulit untuk diukur dengan akurasi yang cukup. 2.
Teori Kuantitas Uang Jumlah uang yang tersedia disebut dengan penawaran uang (money supply).
Kontrol atas money supply disebut dengan kebijakan moneter. Kebijakan moneter pada suatu negara dilakukan oleh lembaga independen bank sentral. Bank sentral di Indonesia disebut dengan Bank Indonesia, sedangkan bank sentral Amerika Serikat disebut dengan Federal Reserve atau biasa disebut Fed. Cara Fed mengendalikan money supply adalah dengan operasi pasar terbuka (open market policy) seperti pembelian dan penjualan obligasi pemerintah. Menurut Mankiw (2003: 79-81) hubungan di antara transaksi dan uang ditunjukkan dalam persamaan berikut yang disebut persamaan kuantitas (quantity equation): MxV=PxT Keterangan: M = uang, kuantitas uang V
= perputaran, transaction velocity of money dan mengukur tingkat dimana
uang bersirkulasi dalam perekonomian.
3.
P
= Harga dari transaksi
T
= Transakasi, jumlah total transaksi selama beberapa periode waktu. Teori Tobin’s q James Tobin dalam Mishkin (2000: 321) mengembangkan sebuah teori yang
disebut teori Tobin’s q yang menjelaskan bagaimana kebijakan moneter dapat memengaruhi perekonomian melalui pengaruhnya terhadap valuasi saham. Tobin mendefinisikan q sebagai nilai pasar perusahaan dibagi dengan biaya pengganti modal (replacement cost of capital). Jika q tinggi, harga pasar perusahaan tinggi relatif terhadap biaya penggantian modal, modal pabrik, dan peralatan baru adalah murah relatif terhadap nilai pasar perusahaan. Maka, perusahaan-perusahaan dapat menerbitkan saham dan mendapatkan harga saham yang tinggi relatif terhadap biaya dari fasilitas dan peralatan yang mereka beli. Pengeluaran investasi akan meningkat, karena perusahaan-perusahaan dapat membeli banyak barang modal baru dengan hanya menerbitkan saham dalam jumlah yang sedikit, dan begitu pula sebaliknya. 63
Pembahasan tersebut menjelaskan adanya keterkaitan antara Tobin’s q dan pengeluaran investasi. Kemudian dapat dijelaskan pengaruh dari kebijakan moneter terhadap harga-harga saham. Ketika kebijakan moneter adalah ekspansi, masyarakat mendapatkan dirinya mempunyai lebih dari yang diinginkan dan menggunakannya untuk konsumsi. Salah satu tempat untuk mengonsumsi kelebihan uang tersebut adalah pasar modal, yang meningkatkan permintaan atas saham dan akibatnya menaikkan harga saham. Ditambah dengan fakta kenaikan harga saham (Ps) akan mendorong kenaikan q dan akibatnya pengeluaran investasi (I) yang lebih tinggi mendorong mekanisme transmisi kebijakan moneter berikut ini:
4.
Nilai Tukar Menurut Levi (2006: 132) faktor-fator yang memengaruhi nilai tukar adalah:
a.
Nilai Tukar Perdagangan dan Jumlah Perdagangan Nilai tukar perdagangan adalah harga ekspor negara relatif terhadap harga
impornya. Nilai tukar perdagangan suatu negara dikatakan meningkat ketika harga ekspor meningkat relatif terhadap harga impornya. Mata uang suatu negara misalnya rupiah akan terapresiasi sebagai akibat dari peningkatan nilai tukar Indonesia. Karena itu rupiah akan terapresiasi, jika cateris paribus, harga minyak naik melebihi harga beras. Rupiah juga akan terapresiasi jika jumlah ekspor meningkat relatif terhadap jumlah impor. b.
Inflasi Nilai tukar dipengaruhi oleh inflasi, yang memengaruhi daya saing produk
suatu negara dibandingkan produk yang sama atau serupa dari negara lain. Pengaruh nilai tukar perdagangan memerhatikan harga ekspor dibanding harga impor, dimana ekspor dan impor adalah produk yang berbeda. Pengaruh inflasi terhadap nilai tukar disebabkan oleh pergerakan permintaan impor dan penawaran ekspor. c.
Perdagangan Jasa, Aliran Pendapatan, dan Transfer Impor dan ekspor jasa, seperti kepariwisataan, perbankan, konsultan, keahlian
tehnik, dan sebagainya, menanggapi kurs dengan cara yang sama dengan impor dan ekspor barang dagangan. Penawaran dan permintaan mata uang dari pembayaran dan penerimaan bunga, deviden, sewa, dan laba tidak memberi reaksi cara yang sama terhadap kurs dengan penawaran dan permintaan mata uang dari impor dan ekspor barang dagangan atau jasa. Pembayaran dan penerimaan keuntungan lebih 64
ditentukan oleh besarnya investasi masa lalu dan tingkat keuntungan investasi tersebut. Transfer dapat dengan mudah diakomodasikan dalam model penawaran dan permintaan kurs. Jelasnya, cateris paribus, aliran transfer masuk bersih cenderung meningkatkan nilai mata uang dan aliran keluar bersih cenderung menurunkan nilai mata uang. d.
Investasi Asing Investasi asing disuatu negara, apakah dalam bentuk investasi langsung,
investasi portofolio, atau penambahan deposito penduduk luar negeri di bank domestik, menggeser kurva permintaan ke kanan. Begitu pula, investasi ke luar negeri oleh penduduk domestik memengaruhi penawaran mata uang negara tersebut dan menggeser kurva penawaran mata uang ke kanan.
C.
METODE PENELITIAN
1.
Metode Analisis Data Dalam penelitian ini menggunakan VECM (Vector Error Correction Model),
yaitu model untuk menganalisis data multivariate time series yang tidak stasioner. Model VECM digunakan dalam model VAR non struktural apabila data runtun waktu tidak stasioner pada level, tetapi stasioner pada data diferensi dan terkointegrasi sehingga menunjukkan adanya hubungan teoritis antarvariabel. Pemodelan VECM dilakukan berbagai tahapan yang harus dilakukan seperti uji stasioneritas data (uji akar unit / unit root test), penentuan lag optimum, dan uji kointegrasi, Estimasi Vector Autoregression (VAR) / Vector Error Corection Model (ECM), Impulse Response Function (IRF) 2.
Ruang Lingkup Penelitian dan Sumber Data Penelitian ini menganalisis pengaruh dari kebijakan ekonomi yang dilakukan
oleh Amreika Serikat pada tahun 2008 yang berdampak terhadap negara Indonesia, mengingat bahwa kekuatan ekonomi Amerika Serikat merupakan yang cukup kuat di dunia. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan data sekunder runtun waktu (time series) bulanan dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2014. Sumber data yang menjadi bahan analisis dalam penelitian ini adalah data sekunder runtun waktu (time series). Variabel Tingkat Suku Bunga Amerika Serikat (Federal Fund Rate) yang ditentukan oleh Bank Sentral Amerika Serikat diperoleh dari www.federalreserve.gov (Federal Reserve Economic Research and Data, sedangkan variabel Nilai Tukar Rupiah Indonesia terhadap Dolar Amerika Serikat, 65
Tingkat Inflasi Indonesia, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), Tingkat Suku Bunga Berjangka yaitu tingkat suku bunga deposito diperoleh dari www.bi.go.id (SEKI).
D.
PEMBAHASAN
1.
Uji Stasioneritas Uji akar unit (unit root test) yang dilakukan pada penelitian ini untuk melihat
kestasioneran variabel nilai tukar (LN_EXC), inflasi (LN_INF), tingkat suku bunga deposito (DEPO), dan Indeks Harga Saham Gabungan (LN_IHSG) sebagai indikator ekonomi Indonesia. Selain itu, juga untuk melihat kestasioneran variabel tingkat suku bunga the Fed atau Federal Fund Rate (FED) sebagai indikator kebijakan quantitative easing Amerika Serikat. Berdasarkan hasil Unit Root Test menunjukkan bahwa semua dari variabel yang diteliti tidak stasioner karena nilai mutlak PP t-statistic pada semua variabel lebih kecil dari nilai kritis Mckinnon. Semua variabel yang diteliti belum memenuhi syarat stasioneritas data, maka ntuk melanjutkan uji stasioneritas data akan dilakukan uji stasioneritas data pada tingkat turunan pertama (first difference). Uji pada tingkat pertama (first difference) disebut dengan uji derajat intregasi (integration test) dan uji ini penting untuk dilakukan karena untuk menghindari regresi lancung (spurious regression). Regresi lancung adalah regresi yang tidak memiliki arti (nonsense regression), (Gujarati: 2004: 806). Dalam uji stasioner pada tingkat turunan pertama (first difference) dilakukan dengan mengurangi data tersebut dengan data pada periode sebelumnya. Dari hasil uji stasioneritas diketahui bahwa semua variabel yang digunakan dalam penelitian ini mempunyai nilai mutlak PP t-statistic lebih besar dari nilai kritis McKinnon (1%, 5%, dan 10%). Semua variabel yang digunakan telah stasioner pada tingkat signifikasi 1% dengan tingkat kepercayaan 99%. Pada tahap ini semua variabel telah memenuhi syarat stasioneritas data sehingga semua variabel telah stasioner. Pada tingkat first difference variabel–variabel tersebut tidak mengandung masalah akar unit, sehingga dengan demikian dapat dilakukan uji yang selanjutnya.
66
2.
Penentuan Lag Optimal Langkah selanjutnya yang dilakukan setelah uji stasioneritas data dan sebelum
uji VAR adalah penentuan panjang lag yang optimal. Dari hasil uji lag dapat diambil kesimpulan bahwa lag dalam penelitian ini menggunakan lag 6. 3.
Uji Kointregasi (Cointregation Test) Uji ini merupakan kelanjutan dari uji akar unit dan uji derajat integrasi dengan
menggunakan metode Johansen Cointegration Test. Dalam penelitian ini uji kointegrasi untuk melihat hubungan jangka panjang antarvariabel, dapat ditentukan dari perbandingan nilai Trace dan nilai Max-Eigen antar variabel. Apabila nilai MaxEigen dan Nilai Trace lebih besar dari nilai kritis 1% dan 5% maka antarvariabel tersebut terjadi kointregasi. Berikut ditampilkan hasil dari uji kointregasi dengan metode Johansen Cointegration Test: Tabel 4.4 Hasil Uji Kointegrasi (Cointegration Test) Variabel
Hypothesized No. of (CE)s
Nilai Tukar
Trace Statistic
None 12.31107 At Most 1 1.013706 Inflasi None* 25.67866 At Most 1 7.100905 IHSG None* 22.39952 At Most 1 1.722566 Suku Bunga None* 13.47464 Deposito At Most 1 0.894936 Sumber: Olahan Eviews 6
Critical Value 0.05 12.32090 4.129906 20.26184 9.164546 12.32090 4.129906 12.32090 4.129906
Max-Eigen Statistic 11.29736* 1.013706 18.57775 7.100905 20.67696 1.722566 12.57971 0.894936
Critical Value 0.05 11.22480 4.129906 15.89210 9.164546 11.22480 4.129906 11.22480 4.129906
Dari tabel hasil uji kointegrasi tersebut di atas dapat diketahui bahwa pada masing-masing variabel memiliki hubungan jangka panjang dengan variabel kebijakan quantitative easing (FED). Dari hasil pengujian tersebut di atas pada masing-masing variabel terdapat satu persamaan rank. Jumlah rank disini menunjukkan sebuah informasi bahwa adanya kointegrasi antarvariabel penelitian yang digunakan. 4.
Hasil Estimasi VECM Perhitungan pada uji ini dilihat dengan membandingkan nilai t-hitung yang
diperoleh dengan nilai t-tabel. Nilai t-tabel yang digunakan yaitu pada tingkat signifikansi 1% t-tabel sebesar 2.62441, tingkat signifikansi 5% t-tabel sebesar 1.98326, dan tingkat signifikansi 10% t-tabel sebesar 1.65978. Apabila nilai t-hitung yang diperoleh lebih besar dari t-tabel maka variabel tersebut memiliki hubungan 67
yang signifikan. Hubungan kebijakan quantitative easing berdasarkan Error Correction Term (ECT) dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 4.5 Hasil ECT
Quantitative easing
Indikator Ekonomi Indonesia LN_EXC LN_INF LN_IHSG 0.000705 -0.371741 -0.001867
DEPO -0.000176
[[ 3.07631] 3.30437] [-3.42020] [-3.50579] Sumber: Olahan Eviews 6 Berdasarkan hasil VECM jangka pendek tersebut di atas dapat dilihat bahwa
semua variabel yang digunakan dalam penelitian memiliki hubungan jangka pendek. Kebijakan quantitative easing secara jangka pendek memiliki hubungan dengan variabel nilai tukar (LN_EXC), inflasi (LN_INF), Indeks Harga Saham Gabungan (LN_IHSG), dan tingkat suku bunga deposito (DEPO). Nilai t-statistik yang ditunjukkan masing-masing variabel lebih besar dari nilai t-tabel pada tingkat 1%. 5.
Impulse Response Function (IRF) Impulse Response Function merupakan respon suatu variabel ketika terjadi
goncangan (shock) dari variabel lain. Impulse response function menunjukkan arah dan besarnya pengaruh dari variabel-variabel dependen dan independen, lamanya pengaruh hilang atau kembali ke titik keseimbangan dapat dilihat atau diketahui melalui hasil yang ditunjukkan. Berikut ini adalah hasil analisis Impulse Response Function (IRF): Response of DLN_EXC to Cholesky One S.D. DFED Innovation .000 -.001 -.002 -.003 -.004 -.005 -.006 -.007 -.008 -.009 10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Gambar 4.6 Hasil Impulse Response nilai tukar terhadap quntitative easing Sumber: Olahan Eviews 6 Gambar 4.6 merupakan hasil dari respon yang ditunjukkan oleh variabel nilai tukar (LN_EXC) akibat shock (goncangan) dari kebijakan quantitative easing yang 68
ditunjukkan dengan suku bunga the Fed. Terdapat respon yang berada dibawah garis nol ditunjukkan oleh variabel nilai tukar (LN_EXC) akibat adanya goncangan dari kebijakan quantitative easing Amerika Serikat. Variabel nilai tukar tidak kembali pada titik keseimbangan karena respon yang ditunjukkan nilai tukar tidak meneyentuh sumbu nol. Response of DLN_INF to Cholesky One S.D. DFED Innovation .015
.010
.005
.000
-.005
-.010
-.015 10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Gambar 4.7 Hasil Impulse Response inflasi terhadap quntitative easing Sumber: Olahan Eviews 6 Gambar 4.7 merupakan hasil dari respon yang ditunjukkan oleh variabel inflasi (LN_INF) akibat shock (goncangan) dari kebijakan quantitative easing
yang
ditunjukkan dengan suku bunga the Fed. Pada gambar tersebut inflasi (INF) merespon secara fluktuatif terhadap goncangan kebijakan quantitative easing. Dari respon tersebut inflasi telah kembali pada titik keseimbangan sebanyak 3 kali terhadap goncangan kebijakan quantitative easing. Hal ini menandakan bahwa inflasi mempunyai hubungan yang kuat terhadap goncangan kebijakan quantitative easing Amerika Serikat.
69
Response of DLN_IHSG to Cholesky One S.D. DFED Innovation .040 .035 .030 .025 .020 .015 .010 .005 .000 10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Gambar 4.8 Hasil Impulse Response IHSG terhadap quntitative easing Sumber: Olahan Eviews 6 Gambar 4.8 merupakan hasil dari respon yang ditunjukkan oleh variabel IHSG (LN_IHSG) akibat shock (goncangan) dari kebijakan quantitative easing
yang
ditunjukkan dengan suku bunga the Fed. Respon IHSG (LN_IHSG) terhadap suku bunga the Fed pada waktu kebijakan quantitative easing belum diberlakukan sampai dengan telah diberlakukannya kebijakan quantitative easing adalah sama yaitu merespon pada area positif dan tidak kembali pada titik keseimbangannya, karena tidak terdapat perpotongan terhadap sumbu nol. Response of DDEPO to Cholesky One S.D. DFED Innovation
Response of DLN_INF to Cholesky One S.D. DFED Innovation
.08
.015
.04
.010 .00 -.04
.005
-.08
.000 -.12 -.16
-.005
-.20
-.010 -.24 -.28
-.015 10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Gambar 4.9 Hasil Impulse Response tingkat suku bunga deposito terhadap quntitative easing Sumber: Olahan Eviews 6 Gambar 4.9 merupakan hasil dari respon yang ditunjukkan oleh variabel tingkat suku bunga deposito (DEPO) akibat shock (goncangan) dari kebijakan quantitative easing yang ditunjukkan dengan suku bunga the Fed. Respon yang ditunjukkan oleh tingkat suku bunga deposito cenderung konstan dan tingkat suku 70
bunga memberikan respon pada area negatif. Selama periode berlangsungnya kebijakan quantitative easing tidak terdapat potongan terhadap titik nol sehingga dapat disimpulkan bahwa tingkat suku bunga deposito tidak kembali pada titik keseimbangannya.
E. 1.
PENUTUP Kesimpulan Hasil analisis Johansen Cointegration Test menunjukkan bahwa terdapat
hubungan jangka panjang pada masing-masing variabel yaitu nilai tukar, inflasi, IHSG, dan tingkat suku bunga terhadap kebijakan quantitative easing. Hasil dari ECT menunjukkan bahwa dalam jangka pendek terdapat hubungan secara signifikan antara kebijakan quantitative easing terhadap indikator ekonomi Indonesia, yaitu nilai tukar, inflasi, indeks harga saham gabungan (IHSG), dan tingkat suku bunga deposito. Hasil IRF menunjukkan bahwa nilai tukar, inflasi, indeks harga saham gabungan (IHSG), dan tingkat suku bunga memberikan respon terhadap kebijakan quantitative easing yang dilakukan Amerika Serikat. 2.
Saran Berdasarkan pada hasil penelitian di atas, saran yang dapat penulis berikan
yaitu sebagai berikut: a. Kepada pemerintah Indonesia diharapkan selalu waspada dan selalu siap untuk mengantisipasi terhadap goncangan ekonomi yang belum tentu dan belum tahu akan terjadi kapan dan selalu meingkatkan kekuatan perekonomian domestik agar selalu tetap menjaga keseimbangan perekonomian. Kondisi perekonomian baik di dalam negeri maupun di luar negeri dapat tiba-tiba memberikan goncangan yang berdampak positif maupun negatif. Penguatan perekonomian juga akan meminimalisir pengaruh perekonomian dari luar. b.Kepada masyarakat maupun investor sebaiknya apabila berinvestasi pada sektor pasar modal untuk lebih responsif dan tanggap terhadap permasalahan ekonomi global. Harga saham sangat sentimen terhadap isu-isu ekonomi yang berkembang. Selain pada isu ekonomi harga saham juga sangat sentimen terhadap kondisi dalam negeri seperti kondisi politik, sosial dan budaya. c. Untuk penelitian selanjutnya diharapkan dapat menambahkan variabel-variabel lain yang dapat dijadikan indikator perkonomian Indonesia atau yang dapat digunakan sebagai indikator kebijakan quantitative easing Amerika Serikat. 71
DAFTAR PUSTAKA Belongia, M.T & Peter, N.I. (2014). Interest Rate and Money Measurement of Monetary Policy. Journal of Mississippi University Berkmen, S.P. (2012). Bank of Japan’s Quantitative and Credit Easing: Are They Now More Effective?. International Monetary Fund Working Paper WP/12/2 Bernanke & Reinhart. (2004). Conducting Monetary Policy at Very Low Short-Term Interest Rates. The Federal Reserve Board Carerra, C., Forero, F.P., Ramirez-Rondan, N. (2014). Effect of the U.S Quantitative Easing on A Small Open Economy. Banco Central De Reserva Del Perú Gujarati, D.N. (2004). Basic Econometrics. Avenue of the Americas, NY: McGrawHill Hausken, K & Mthuli, N. (2013). Quantitative Easing and Its Impact in the US, Japan, the UK, and Europe. New York: Springer http://data.bls.gov/ diakses pada tanggal 25 Februari pukul 20:58 Jarrow, R & Hao L. (2013). The Impact of Quantitaive Easing on the U.S. Term Stucture of Interest Rate. Johnson Graduate School of Management, Cornell University, Ithaca, NY, 14853. Kurihara, Y. (2006). The Relationship Between Exchange Rate and Stock Price during the Quantitative Easing Policy in Japan. International Journal Of Business, 11(4), 376-386 Krishnamurthy, A & Annette, V. (2011). The Effect of Quantitative Easing on Interest Rate: Channel and Implication for Policy. University of Northwestern Krugman, P.R & Maurice, O. (1999). Ekonomi Internasional Teori dan Kebijakan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada Levi, M.D. (2006). Keuangan Internasional. Yogyakarta: penerbit ANDI Mankiw, N.G. (2000). Teori Makroekonomi. Jakarta: Penerbit Erlangga Mankiw, N.G. (2003). Teori Makroekonomi Edisi Kelima. Jakarta: PT. Gelora Aksara Pratama Mankiw, N.G. (2006). Principle of Economics, Pengantar Ekonomi Makro. Jakarta: Penerbit Salemba Empat Mishkin, F.S. (2003). Ekonomi Uang, Perbankan, dan Pasar Keuangan. Jakarta: Salemba Empat Nugroho, A. (2011). Quantitative Easing The Fed Menjadi Sentimen Penggerak Indeks Harga Saham Gabungan atau Jakarta Composite Index. Universitas Negeri Surabaya 72
Ruan, H. (2013). Impact of U.S Quantitative Easing Policy on Chinese Inflation-A Vector Autoregression Analysis Based on QE1 and QE2. University of Victoria, Kanada Techarongrojwong, Y. (2012). The Stock Market Reaction to the U.S Quantitative Easing Announcement: Eviden in Emerging Stock Market. The Business Review, Cambridge Vol. 20 Num. 1 Summer 2012, 172-179 www.bi.go.id diakses pada tanggal 14 Februari 2015 pada pukul 15:33 www.federalreserve.go.id diakses pada tanggal 17 Maret 2015 pukul 20:33 www.worldbank.go.id diakses pada tanggal 14 Februari pada pukul 15:33 Zhu, L & Xubiao, Y. (2013). The Study of American quantitative Easing Monetary Policy’s Spillover Effects on China’s Inflation. International Conference on Education Technology and Management Science (ICETMS 2013), Air Transport college Shanghai University of Engineering Science Shanghai,Chi
73
ANALISIS PERALIHAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN (PBB-P2) DARI PAJAK PUSAT KE PAJAK DAERAH DAN KONTRIBUSI TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) KOTA SURAKARTA
David Ripto Nugroho Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sebelas Maret Surakarta
[email protected]
Izza Mafruhah, S.E., M.Si Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sebelas Maret Surakarta ABSTRACT Penerbitan UU No.28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerrah dan Retribusi Daerah berdampak pada dialihkannya Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan Perkotaan (PBB-P2) dari pajak pusat ke pajak daerah. Bertambahnya jenis pajak daerah berpengaruh terhadap jumlah penerimaan daerah dari sektor pajak daerah. Pajak Daerah merupakan salah satu komponen penyusun Pendapatan Asli Daerah (PAD), dengan adanya peningkatan penerimaan pajak daerah maka penerimaan Pendapatan Asli Daerah juga ikut bertambah. Di Kota Surakarta peralihan PBB-P2 ke pajak daerah diterapkan mulai tanggal 1 Januari 2013. Jumlah kontribusi PBB-P2 terhadap PAD diketahui dengan menghitung prosentase rasio antara realisasi penerimaan PBB-P2 dan realisasi penerimaan PAD Surakarta. Untuk menghitung proyeksi penerimaan PBB di tahun mendatang digunakan metode trend dengan rumus Y = a + bX dan metode prosentase dengan menghitung proyeksi penerimaan berdasarkan prosentase pertumbuhan di tahun sebelumnya. Kata Kunci : Pajak Bumi dan Bangunan, Pendapatan Asli Daerah, Kontrib
74
Pendahuluan Pajak merupakan salah satu sumber pendapatan terbesar baik secara nasional maupun daerah. Besarnya penerimaan pajak menjadikan sektor ini sering digunakan sebagai alat utama pembangunan nasional maupun daerah. Banyak pembangunan nasional yang sumber dananya diperoleh dari penerimaan pajak. Disamping mampu dijadikan sebagai sumber pembiayaan utama pembangunan, pajak juga sering dijadikan sebagai alat pembiayaan setiap kegiatan operasional pemerintahan. Pembayaran pajak merupakan suatu perwujudan untuk melaksanakan kewajiban kenegaraan dan wujud peran serta secara langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan. Diterbitkannya Undang-Undang nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagai pengganti Undang-Undang nomor 34 tahun 2000 dan Undang-Undang nomor 18 tahun 1997 tentang Pajak dan Retribusi Daerah, mengakibatkan terjadinya perubahan pengelolaan pajak baik di tingkat pusat maupun daerah. Berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah maka Pemerintah Daerah (Kabupaten/Kota) diberi kewenangan untuk mengelola pajak-pajak yang sebelumnya dikelola oleh Pemerintah Pusat. Pajak Pusat yang dialihkan ke Pajak Daerah diantaranya adalah Pajak Bumi dan Bangunan sektor Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Pengalihan wewenang ini merupakan tindak lanjut kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Adanya pengalihan pengelolaan ini maka seluruh proses pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan yang meliputi kegiatan pendataan, administrasi, hingga pemungutan atau penagihan pajak dilaksanakan sepenuhnya oleh Pemerintah Daerah (Kabupaten/Kota). Sesuai Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, maka pembagian wewenang pengelolaan pajak baik di tingkat pusat maupun di daerah dapat dilihat dalam tabel 1.2 berikut :
75
Tabel 1.2. Jenis Pajak Berdasarkan Pengelolaan Pajak Pusat
Pajak Daerah (Kabupaten/Kota)
1.
Pajak Penghasilan (PPh)
1.
Pajak Hotel
2.
Pajak
2.
Pajak Restoran
3.
Pajak Hiburan
Pajak Bumi dan Bangunan :
4.
Pajak Reklame
a. Sektor Perkebunan
5.
Pajak Penerangan Jalan
b. Sektor Perhutanan
6.
Pajak Parkir
7.
Pajak Mineral Bukan Logam dan
Pertambahan
Nilai
(PPN) 3.
Pajak atas Penjualan Barang Mewah (PPnBM)
4.
c. Sektor Pertambangan
5. Bea Materai
Batuan 8.
Pajak Air Tanah (Pengalihan dari Pajak Daerah Provinsi)
9.
Pajak Bumi dan Bangunan : a. Sektor Perdesaan b. Sektor Perkotaan
10. Pajak Sarang Burung Walet 11. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Sumber: UU Nomor 28 tahun 2009 Menanggapi diberlakukannya UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pemerintah Daerah Kota Surakarta menerbitkan Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 13 Tahun 2011 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan serta Peraturan Walikota Surakarta Nomor 15 Tahun 2012 tentang Pedoman Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2011 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan, yang menyatakan bahwa mulai 1 Januari 2013, Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan di Kota Surakarta dialihkan pengelolaannya dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah Kota Surakarta.
76
Peralihan PBB-P2 dari pajak yang dikelola oleh Pemerintah Pusat ke pajak yang dikelola Pemerintah Daerah Kota Surakarta, berdampak pada jumlah penerimaan daerah di sektor pajak daerah. Bertambahnya jumlah Pajak Daerah yang diterima, maka akan mengakibatkan terjadinya peningkatan pada sektor Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Surakarta. Pendapatan Asli Daerah adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah yang sesuai dengan perundang-undangan . Sesuai UU Nomor 23 Tahun 2014, Pendapatan Asli Daerah (PAD) terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Kondisi pajak daerah dan Pendapatan Asli Daerah di Kota Surakarta sebelum dan sesudah adanya peralihan pajak dapat dilihat dalam tabel 1.3 berikut ini: Tabel 1.3. Pajak Daerah Surakarta Tahun 2012-2013 2012
Uraian
2013
Target
Realisasi
Target
Realisasi
PAD
192.902.940.603
231.672.100.429
280.169.557.000
298.400.846.632
Pajak Daerah
110.924.929.000
151.905.454.913
177.511.251.000
193.906.210.948
Pajak Hotel
17.061.216.000
18.867.498.612
18.250.000.000
20.423.582.592
Pajak Restoran
12.476.865.000
14.831.050.452
15.510.000.000
18.423.246.926
Pajak Hiburan
6.398.648.000
8.007.514.418
8.500.000.000
8.999.556.122
Pajak Reklame
5.041.150.000
5.600.190.650
5.991.150.000
6.143.112.000
28.924.780.000
31.707.681.150
34.011.101.000
38.863.518.249
1.513.600.000
1.704.059.800
1.775.000.000
2.029.861.115
484.670.000
390.399.100
450.000.000
787.710.400
24.000.000
-
24.000.000
4.474.000
PBB
-
-
46.000.000.000
47.333.613.615
BPHTB
39.000.000.000
70.797.060.731
47.000.000.000
50.897.535.929
Pajak Penerangan Jalan Pajak Parkir Pajak
Air
Tanah Pajak
Sarang
Burung Walet
Sumber : LKPD Surakarta 2012-2013
77
Dengan latar belakang di atas, penulis memiliki ketertarikan untuk meneliti dan mengambil topik “Analisis Peralihan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan Perkotaan (PBB-P2) dari Pajak Pusat ke Pajak Daerah (Kabupaten/Kota) dan Kontribusi terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Surakarta”
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah : 1.
Bagaimana analisis peralihan PBB-P2 dari pajak pusat ke pajak daerah
(Kabupaten/Kota) ? 2.
Bagaimana kontribusi PBB terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota
Surakarta ? LandasanTeori 1.
Pajak Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi
atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hal tersebut sesuai dengan pengertian pajak yang tertuang dalam Buku Panduan Hak dan Kewajiban Wajib Pajak. Pengertian pajak menurut Prof. Dr. P. J. A. Adriani adalah iuran kepada negara yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara yang menyelenggarakan pemerintahan. (Waluyo, 2011:2) a.
Manfaat Pajak Pajak merupakan sumber utama penerimaan negara. Adanya pajak sebagian
besar kegiatan negara dapat dilaksanakan secara maksimal. Uang hasil pajak digunakan untuk membiayai kegiatan negara mulai dari belanja pegawai sampai dengan pembiayaan berbagai proyek pembangunan fasilitas dan sarana umum seperti jalan, jembatan, rumah sakit/puskesmas, sekolah, kantor polisi, dan lain sebagainya.
78
b.
Fungsi Pajak Pajak memiliki dua fungsi yang sangat berperan penting dalam jalannya suatu
pemerintahan. Dua fungsi tersebut adalah : 1)
Fungsi Penerimaan (Budgeter) Pajak
berfungsi
untuk
membiayai
setiap
pengeluaran-pengeluaran
pemerintah. Pembiayaan ini meliputi pembiayaan pembangunan sarana umum, pemberian modal bagi UMKM, dan subsidi atas barang-barang yang menjadi kebutuhan masyarakat. 2)
Fungsi Mengatur (Reguler) Pajak digunakan sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan di
bidang sosial dan ekonomi. Pengenaan pajak yang lebih tinggi terhadap minuman keras diharapkan mampu menekan peredarannya. c.
Jenis Pajak Jenis-jenis pajak dapat dikelompokkan dalam 3 (tiga) bagian, yaitu :
1)
Jenis Pajak menurut golongan atau pembebanan :
a)
Pajak Langsung, adalah pajak yang dibebankan secara langsung ke Wajib
Pajak yang bersangkutan. Contoh : Pajak Penghasilan. b)
Pajak Tidak Langsung, adalah pajak yang dibebankan kepada pihak lain.
Contoh : Pajak Pertambahan Nilai. 2)
Jenis Pajak menurut sifat :
a)
Pajak Subjektif, adalah Pajak yang berpangkal pada seorang subjek pajak,
yang selanjutnya dicari syarat objektifnya, dalam arti memperlihatkan keadaan dari Wajib Pajak. Contoh : Pajak Penghasilan. b)
Pajak Objektif, adalah pajak yang berpangkal pada suatu objek pajak, tanpa
memperhatikan keadaan Wajib Pajak. Contoh : PPnBM 3)
Jenis Pajak menurut pemungut dan pengelolanya :
a)
Pajak Pusat, adalah pajak yang dipungut dan dikelola oleh pemerintah pusat,
dan digunakan untuk membiayai keperluan negara. Pajak yang termasuk Pajak Pusat : (1)
Pajak Penghasilan;
(2)
Pajak Pertambahan Nilai;
(3)
Pajak Penjualan atas Barang Mewah; 79
(4)
Pajak Bumi dan Bangunan;
(5)
Bea Materai.
b)
Pajak Daerah, adalah pajak yang dipungut dan dikelola oleh pemerintah
daerah, selanjutnya digunakan untuk membiayai keperluan daerah. 12.
Pajak Daerah (Provinsi)
-
Pajak Kendaraan Bermotor;
-
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor;
-
Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bemotor;
-
Pajak Air Permukaan;
-
Pajak Rokok.
13.
Pajak Daerah (Kabupaten/Kota)
-
Pajak Hotel;
-
Pajak Restoran;
-
Pajak Hiburan;
-
Pajak Reklame;
-
Pajak Penerangan Jalan;
-
Pajak Parkir;
-
Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;
-
Pajak Air Tanah;
-
Pajak Bumi dan Bangunan (Sektor Perdesaan dan Perkotaan);
-
Pajak Sarang Burung Walet;
-
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
2.
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) merupakan Pajak Negara yang dikenakan
terhadap bumi dan atau bangunan, hal tersebut sesuai dengan Undang-undang nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 12 Tahun 1994. Pengertian lain tentang Pajak Bumi dan Bangunan juga tertuang dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yakni Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan. PBB adalah pajak yang bersifat kebendaan dalam arti besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaan objek yaitu bumi/tanah dan atau
80
bangunan. Keadaan subjek (siapa yang membayar) tidak ikut menentukan besarnya pajak. a.
Objek Pajak
Objek Pajak dalam Pajak
Bumi dan Bangunan adalah bumi dan bangunan.
Pengertian bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya, sedangkan bangunan adalah kontruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan atau perairan. b.
Subyek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dikenakan atas bumi dan atau bangunan.
Subyek Pajak dalam Pajak Bumi dan Bangunan adalah orang atau badan yang secara nyata: 1)
Memiliki suatu hak atas bumi, dan atau;
2)
Memperoleh manfaat atas bumi, dan atau;
3)
Memiliki bangunan, dan atau;
4)
Menguasai bangunan, dan atau;
5)
Memperoleh manfaat atas bangunan.
c.
Objek Pajak yang Tidak Dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan Jenis objek pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan adalah
objek pajak yang : 1.
Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan;
2.
Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau sejenis itu;
3.
Merupaka hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak;
4.
Digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan atas perlakuan timbal balik;
5.
Digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh menteri keuangan.
d.
Dasar Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Dasar pengenaan PBB adalah “Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)”. NJOP
ditetapkan per wilayah berdasarkan keputusan Menteri Keuangan dengan mendengar pertimbangan Bupati/Walikota serta memperhatikan : 81
1)
Harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar;
2)
Perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis yang letaknya berdekatan dan fungsinya sama dan telah diketahui harga jualnya;
3)
Nilai perolehan baru;
4)
Penentuan Nilai Jual Objek Pajak pengganti.
e.
Dasar Penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan
Dasar penghitungan PBB adalah Nilai Jual Kena Pajak (NJKP). Besarnya persentase NJKP adalah sebagai berikut : 1)
Objek pajak perkebunan adalah 40%
2)
Objek pajak kehutanan adalah 40%
3)
Objek pajak pertambangan adalah 40%
4)
Objek pajak lainnya (pedesaan dan perkotaan):
-
apabila NJOP-nya ≥ Rp1.000.000.000,00 adalah 40%
-
apabila NJOP-nya < Rp1.000.000.000,00 adalah 20%
f.
Tarif Pajak Tarif Pajak yang dikenakan terhadap Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan
sebesar 0,5% (lima per sepuluh persen) 3.
Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang
dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundangundangan. Hal ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah. Pemberian wewenang kepada setiap daerah dalam mengelola keuangannya masing-masing memiliki maksud agar setiap daerah mampu mengoptimalkan setiap potensi yang ada di daerahnya. Pendapatan Asli Daerah sering dijadikan sebagai alternatif dalam memperoleh dana sebagai sumber pembiayaan setiap kegiatan daerah, akan tetapi dalam kenyataannya, kontribusi PAD belum cukup memberi sumbangan bagi pertumbuhan ekonomi daerah. Hal tersebut mengakibatkan pemerintah daerah harus lebih menggali setiap potensi yang ada di daerahnya sehingga dapat meningkatkan pendapatan asli daerah tersebut. Adapun sumber-sumber PAD sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 Pasal 285, yaitu :
82
a.
Pajak Daerah; Pajak Daerah adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang
pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pajak daerah dapat diikhtisarkan sebagai berikut : 1)
Pajak Daerah berasal dari pajak negara yang diserahkan kepada daerah sebagai pajak daerah;
2)
Penyerahan dilakukan berdasarkan undang-undang;
3)
Pajak Daerah dipungut oleh daerah berdasarkan kekuatan undang-undang dan/atau peraturan hukum lainnya;
4)
Hasil pungutan pajak daerah dipergunakan untuk membiayai penyelenggaraan urusan-urusan rumah tangga daerah atau untuk membiayai pengeluaran daerah sebagai badan hukum politik.
b.
Retribusi Daerah; Sesuai Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut Retribusi, adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau Badan. Berdasarkan uraian tersebut, Retribusi Daerah dapat diikhtisarkan sebagai berikut : 1)
Retribusi dipungut oleh daerah;
2)
Dalam pungutan retribusi terapat prestasi yang diberikan daerah yang langsung dapat ditunjuk;
3)
Retribusi dikenakan kepada siapa saja yang memanfaatkan, atau mengenyam jasa yang disediakan daerah;
c.
Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan; Kekayaan daerah yang dipisahkan berartikekayaan daerah yang dilepaskan dan
penguasaan umum yang dipertanggung jawabkan melaluianggaran belanja daerah dan dimaksudkan untuk dikuasai dan dipertanggungjawabkan sendiri. Hasil laba perusahaan daerah merupakan salah satu dari pendapatan daerah yang sebagian atau seutuh modalnya merupakan kekayaan daerah yang dipisahkan, sehingga daerah dapat mendirikan perusahaan yang khusus dimaksudkan untuk menambah 83
penghasilan daerah disamping untuk meningkatkan produksi.Semua kegiatan usaha perusahaan daerah dimaksudkan untuk pembangunan daerah dan pembangunan ekonomi nasional. Pengelolaan perusahaan daerah harus secara profesional dan tetap sesuai dengan prinsip ekonomi yakni efektivitas dan efisiensi. Perusahaan daerah adalah salah satu alat yang diharapkan mampu memberikan kontribusi secara maksimal bagi pendapatan daerah, tetapi perusahaan daerah tetaplah bersifat waralaba. Artinya perusahaan daerah tidak berorientasi pada profit (laba/keuntungan), justru memberikan pelayanan jasa dan manfaat secara umum. d.
Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah
Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah sebagaimana yang dimaksud adalah: 1)
Hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan;
2)
Jasa giro;
3)
Pendapatan bunga;
4)
Keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing; dan komisi,
potongan, atau bentuk lain sebagai akibat dan/atau penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah Pembahasan A.
Analisis Peralihan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan dariPajak Pusat ke Pajak Daerah Kota Surakarta
1.
Peralihan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan dari Pajak Pusat ke Pajak Daerah Pajak Bumi dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas tanah dan/atau
bangunan yang dimiliki dan/atau dikuasai oleh seseorang/badan. Pajak ini mulanya merupakan pajak yang dikelola oleh Pemerintah Pusat yang dalam hal ini adalah Direktorat Jenderal Pajak. Ditertbitkannya UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah (PDRD) yang menyatakan bahwa PBB sektor perdesaan perkotaan dialihkan menjadi pajak daerah selambat-lambatnya tanggal 1 Januari 2014. Peralihan ini mengakibatkan adanya beberapa perubahan pada struktur PAD khususnya pada pajak daerah. Perubahan tersebut baik berupa adanya penambahan jenis pajak baru maupun perubahan jumlah pendapatan yang diterima daerah.
84
Tujuan dari adanya peralihan PBB-P2 itu sendiri adalah untuk meningkatkan penerimaan pajak daerah. Berdasarkan UU PDRD, tujuan dari peralihan pajak ini adalah : a.
Memperluas objek pajak daerah dan retribusi daerah;
b.
Menambah jenis pajak daerah dan retribusi daerah (termasuk pengalihan PBB Perdesaan dan Perkotaan dan BPHTB menjadi Pajak Daerah);
c.
Memberikan diskresi penetapan tarif pajak kepada daerah;
d.
Menyerahkan fungsi pajak sebagai instrumen penganggaran dan pengaturan pada daerah.
Undang-undang yang mengatur peralihan PBB-P2 dari pajak pusat ke pajak daerah tersebut juga mengatur beberapa perubahan terhadap proses pemungutan PBB-P2. Proses pemungutan PBB yang meliputi pendataan, penilaian, penetapan, pengadministrasian, pemungutan/ penagihan dan pelayanan yang sebelumnya dilakukan oleh Pemerintah Pusat kini kewenangan tersebut dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah. Perubahan-perubahan terdapat dalam proses pemungutan PBB setelah dilaksanakannya peralihan pajak tersebut dapat dilihat dalam tabel 4.9 berikut ini : Tabel 4.9. Perubahan Atas Peralihan PBB-P2 No
Uraian
Sebelum Peralihan
Sesudah Peralihan Orang
Orang
atau
Badan
yang secara
nyata
mempunyai suatu hak atas bumi, 1
Subjek pajak
dan/
atau memperoleh manfaat atas
bumi,
dan/atau
memiliki, menguasai dan/atau
memperoleh
manfaat atas bangunan
2
Objek Pajak
bumi dan/atau bangunan
atau
Badan
yang secara
nyata
mempunyai suatu hak atas
bumi,
dan/
atau memperoleh manfaat
atas
bumi,
dan/atau memiliki, menguasai dan/atau
memperoleh
manfaat atas bangunan
bumi
dan/atau
85
bangunan, kecuali kawasan
yang
digunakan
untuk
kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan 3
Tarif
Maksimal 0,5% - apabila
NJOP-nya
Maksimal 0,3% ≥
Rp1.000.000.000,00 4
NJKP (20% dan 40%)
adalah 40%
NJKP
- apabila
NJOP-nya
<
Rp1.000.000.000,00
tidak
dipergunakan/
diberlakukan
adalah 20% NJOPTKP ditetapkan 5
NJOPTKP
paling
Maksimal
rendah
Rp12.000.000,00
Rp10.000.000,00 ; maksimal Rp24.000.000,00.
Tarif x NJKP x (NJOPNJOPTKP) 6
Formula
x
(NJOP-
= 0,5% x 20% x (NJOP- NJOPTKP) NJOPTKP)
Tarif
=
0,3%
x
(NJOP-
= 0,5% x 40% x (NJOP- NJOPTKP) NJOPTKP)
7
Penerimaan Pemda
Penerimaan PBB 64,8 %
Penerimaan PBB 100%
Sumber : Direktorat Jenderal Pajak
86
2.
Peralihan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan dari Pajak Pusat ke Pajak Daerah di Kota Surakarta Peralihan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan dari Pajak
Pusat ke Pajak Daerah diterapkan di Kota Surakarta mulai tanggal 1 Januari 2013. Peralihan ini diawali dengan dikeluarkannya Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 13 Tahun 2011 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan serta Peraturan Walikota Surakarta Nomor 15 Tahun 2012 tentang Pedoman Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2011 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan, yang menyatakan bahwa mulai 1 Januari 2013, Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan di Kota Surakarta dialihkan pengelolaannya dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah Kota Surakarta. Pajak Bumi dan Bangunan bukanlah sesuatu yang baru bagi Pemerintah Daerah Kota Surakarta khususnya bagi Dinas Pengelola Pendapatan Keuangan dan Aset (DPPKA) Kota Surakarta. Hal tersebut dikarenakan sebelum peralihan PBB-P2 ini, di dalam struktur DPPKA Surakarta sudah terdapat sebuah bidang yang khusus untuk mengelola PBB di Kota Surakarta. Bidang ini dibentuk untuk melakukan pendataan tentang PBB Kota Surakarta dengan bekerja sama dengan Kantor Pelayanan Pajak Pratama Surakarta yang merupakan pengelola PBB sebelum adanya peralihan pajak. Kerja sama tersebut dilakukan guna menggali potensi-potensi PBB yang ada di Surakarta. Setelah adanya peralihan pajak, bidang yang mengelola PBB tersebut kini berubah menjadi Bidang Penagihan PBB. Tahapan peralihan PBB-P2 di kota Surakarta diawali dengan beberapa persiapan Pemerintah Kota Surakarta yang dimulai bulan Oktober 2013. Persiapan tersebut diantaranya adalah renovasi ruangan yang dulu dijadikan ruang bidang PBB kini dirubah menjadi ruangan penagihan yang digunakan untuk pelayanan PBB bagi masyarakat Kota Surakarta. Selain penyediaan ruangan, persiapan juga dilakukan dalam hal pendataan. Persiapan tersebut adalah sinkronisasi data yang terdapat dalam MAPADA dan SISMIOP. MAPADA merupakan sistem yang digunakan DPPKA Surakarta untuk mencatat setiap data yang bersangkutan dengan PBB Kota Surakarta, mulai dari jumlah wajib pajak hingga jumlah penerimaan PBB setiap tahunnya. SISMIOP sendiri merupakan sistem yang digunakan oleh KPP Pratama Surakarta dalam mencatat jumlah wajib pajak hingga jumlah penerimaan PBB Kota Surakarta. Sinkronisasi kedua sistem tersebut dilakukan guna menyamakan data PBB 87
yang ada agar tidak terjadi kekeliruan dalam proses pemungutan PBB tahun-tahun berikutnya. Persiapan selanjutnya adalah penyediaan peralatan yang nantinya digunakan dalam proses pemungutan PBB. Sebelum adanya peralihan pajak DPKKA Surakarta sudah memiliki beberapa alat yang berkaitan dengan PBB seperti sistem pendataan PBB dan komputer yang digunakan untuk operasional pendataan, tetapi setelah PBB-P2 didaerahkan maka DPPKA Kota Surakarta juga menyiapkan alatalat lain seperti alat pencetak SPPT yang sebelumnya tidak dimiliki. Alat-alat tersebut diperoleh DPPKA Surakarta dari bantuan Pemerintah Pusat. Dalam hal kepegawaian DPPKA Surakarta tidak membuka rekrutan baru, akan tetapi pegawaipegawai yang dulu bekerja dalam bidang PBB kini dipercaya menjadi pegawai yang menangani proses pemungutan dan penagihan PBB di Kota Surakarta. Pegawai tersebut dibekali dengan pelatihan-pelatihan yang diadakan Direktorat Jenderal Pajak dalam hal pengelolaan PBB. Pada bulan Desember 2012, Peralihan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan dari Pajak Pusat ke Pajak Daerah di Kota Surakarta telah diresmikan secara simbolis dengan penyerahan kenang-kenangan dari Bapak Yoyok Satiotomo selaku Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jawa Tengah II kepada Bapak FX. Hadi Rudyatmo selaku Walikota Surakarta. Adanya peresmian tersebut menandakan PBB-P2 sudah resmi dikelola oleh Pemerintah Daerah Kota Surakarta, akan tetapi Pemerintah Pusat juga tidak sepenuhnya lepas tangan terhadap proses peralihan ini. Pemerintah Pusat yang dalam hal ini adalah Direktorat Jenderal Pajak juga akan terus memberikan pendampingan bagi Pemerintah Kota Surakarta dalam mengelola PBB-P2 ini. Pendampingan tersebut berupa bantuan peralatan serta bantuan informasi baik secara teknis pelaksanaan maupun perawatan apabila ada sistem maupun alat yang rusak. Peralihan PBB-P2 ini tidak mengubah tata cara pembayaran PBB yang sudah ada. Masyarakat yang hendak membayar PBB hanya tinggal datang ke bank untuk membayar jumlah tagihan PBB selanjutnya DPPKA Surakarta akan mendapat tembusan dari bank yang akan ditindaklanjuti dengan entry data ke sistem yang ada. Sistem yang digunakan oleh DPPKA Surakarta setelah adanya peralihan adalah SISMIOP dan MAPADA. SISMIOP yang telah dialihkan dari pusat ke daerah secara otomatis mencatat pembayaran yang telah masuk dan digunakan sebagai bukti 88
pembayaran dari wajib pajak. MAPADA yang merupakan arsip data milik Pemerintah Daerah masih digunakan untuk arsip pembanding apabila terjadi kesalahan pada SISMIOP. Tahun pertama pelaksanaan peralihan, terdapat kendala yang langsung dirasakan oleh DPPKA Kota Surakarta. Kendala tersebut adalah data piutang yang tercatat pada SISMIOP di tahun sebelumnya tidak sesuai. Banyak sekali masyarakat yang merasa sudah membayar pajak akan tetapi belum tercatat pada sistem. Untuk mengatasi hal tersebut DPPKA Kota Surakarta menerbitkan surat tagihan bagi piutang yang tercatat pada SISMIOP dan diberikan kepada masyarakat yang bersangkutan. Surat tagihan tersebut memiliki dua fungsi, fungsi yang pertama adalah sebagai undangan bagi masyarakat yang merasa sudah membayar tapi belum tercatat agar datang ke DPPKA Surakarta untuk klarifikasi kesalahan data tersebut dengan menunjukkan bukti pembayaran dari bank. Fungsi kedua adalah sebagai tagihan bagi masyarakat yang memang belum membayar pajak pada tahun bersangkutan. Surat tagihan tersebut disebarkan secara terus menerus setiap tahunnya bagi masyarakat yang tercatat belum membayar pajak. DPPKA Surakarta selaku pihak yang kini mengelola PBB-P2 di Kota Surakarta selalu mensosialisasikan kepada masyarakat untuk selalu taat membayar pajak. Sosialiasi tersebut dilakukan melalui setiap tokoh masyarakat yang ada baik di tingkat kecamatan, kelurahan, RW, RT hingga di dalam PKK. Isi dari sosialisasi yang dilakukan adalah mengenai adanya peralihan PBB-P2 ini dan ajakan untuk taat membayar pajak kepada setiap masyarakat Kota Surakarta. Sosialiasi ditujukan agar masyarakat mengerti seberapa besar manfaat pajak yang dapat dirasakan dan masyarakat memiliki kesadaaran untuk membayar pajak. Selain secara tatap muka, sosialisasi juga dilakukan melalui media elektronik dan media cetak yang ada seperti TATV, radio, koran, dan spanduk-spanduk yang tersebar di setiap jalan dan kelurahan yang ada di Kota Surakarta. Permasalahan yang dihadapi Pemerintah Daerah Kota Surakarta setelah adanya peralihan pajak ini baik dari internal maupun eksternal terbilang tidak cukup berarti. Dari internal DPPKA Surakarta yang menangani masalah PBB, meskipun SDM terbatas akan tetapi setiap permasalahan yang terkait PBB masih bisa ditangani. Dari segi eksternal yakni masyarakat, tidak ada kendala yang begitu berarti. Animo masyarakat atau kesadaran masyarakat Kota Surakarta untuk membayar pajak terbilang cukup tinggi. Hal ini disebabkan karena manfaat dari pajak itu sendiri yang sangat dirasakan oleh masyarakat. Manfaat 89
tersebut diperoleh dari adanya program Pemerintah Kota Surakarta untuk mengalokasian dana bagi PKK dan posyandu yang bersumber dari penerimaan pajak. Program Pemerintah Kota Surakarta itulah yang dirasa menimbulkan kesadaran masyarakat untuk membayar pajak. Adapun sebuah program trobosan yang dilakukan oleh DPPKA Kota Surakarta untuk meningkatkan tingkat kesadaran masyarakat yakni dengan memberikan reward berupa undian PBB bagi masyarakat yang membayar PBB sebelum jatuh tempo dan berhadiah sepeda motor, kulkas, mesin cuci, dan televisi. PBB merupakan sebuah pajak yang dinamis karena potensinya yang selalu meningkat. Dalam mengatasi hal tersebut DPPKA Surakarta selalu melakukan proses pendataan di setiap keluarahan yang ada di Kota Surakarta guna memaksimalkan jumlah penerimaan dari sektor PBB. Pendataan tersebut dilakukan dengan cara terjun langsung ke lapangan dan bekerja sama dengan mahasiswa Universitas Sebelas Maret Surakarta serta melalui sosialiasi kepada masyarakat agar melapor apabila terjadi pemecahan objek pajak maupun mutasi objek pajak. Pendataan ini dilakukan secara terus menerus dan berulang-ulang terhadap 51 Kelurahan yang ada di Kota Surakarta. Apabila terdapat wajib pajak baru yang melapor atau mendaftar, maka DPPKA Surakarta akan langsung mensurvey guna memperoleh data yang valid mengenai luas tanah dan bangunan yang dilaporkan. Langkah ke depan yang akan dilakukan oleh DPPKA Surakarta guna meningkatkan penerimaan PBB-P2 di Kota Surakarta adalah terus menggali potensi-potensi PBB yang ada di Kota Surakarta. Penggalian potensi tersebut dilakukan dengan cara pendataan ulang secara terus menerus terhadap setiap objek pajak yang ada di Kota Surakarta karena penerimaan pajak ini berdasar pada data yang jelas dan akurat. Selain langkah tersebut, langkah lain yang ditempuh adalah meningkatkan NJOP dengan cara menaikkan cluster atau level objek pajak yang berada pada daerah yang nilai ekonomisnya dirasa meningkat. Cluster atau level tersebut menggambarkan bagaimana nilai ekonomis dari lokasi tanah atau bangunan yang ada. Adapun strategi yang ditempuh oleh DPPKA Surakarta untuk mencapai target penerimaan setiap tahunnya yakni dengan cara mengurangi frekuensi sosialisasi untuk membayar pajak ketika target pajak tahun bersangkutan sudah terpenuhi, sehingga piutang pajak tahun tersebut digunakan untuk meningkatkan penerimaan tahun selanjutnya agar target pada tahun selanjutnya juga tercapai. 90
B.
Analisis Kontribusi Pajak Bumi dan Bangunan terhadap PAD Surakarta
1.
Pertumbuhan Pajak Bumi dan Bangunan Pajak Bumi dan Bangunan di Kota Surakarta selalu mengalami peningkatan.
Pertumbuhan PBB di Kota Surakarta dapat dilihat melalui tabel 4.10 berikut ini : Tabel 4.10. Pertumbuhan PBB Surakarta Tahun
Penerimaan
2009
28.567.068.819
2010
33.599.522.358
17,62
2011
46.384.494.490
38,05
2012
49.352.645.289
6,40
2013
59.396.365.147
20,35
50.140.548.281
-15,58
2014 (PBB-P2)
Pertumbuhan
Sumber : LKPD Surakarta Berdasarkan penghitungan di atas dapat diketahui Pajak Bumi dan Bangunan selalu mengalami pertumbuhan meskipun angka pertumbuhan tersebut selalu fluktuasi. Pertumbuhan paling besar terjadi pada tahun 2011 yakni mencapai 38,05%. Pada tahun 2014 penerimaan PBB hanya dari sektor perdesaan dan perkotaan, apabila sudah ditambah dengan sektor perkebunan, perhutanan, dan pertambangan diyakini jumlah penerimaan PBB tahun 2014 akan melebihi penerimaan PBB tahun-tahun sebelumnya.
2.
Kontribusi PBB terhadap PAD Surakarta
Struktur PAD terdiri atas pajak daerah, retribusi daerah, kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan daerah yang sah. Untuk mengetahui kontribusi masing-masing struktur terhadap PAD Surakarta dapat dilihat pada tabel 4.11 berikut ini:
91
Tabel 4.11. Kontribusi Struktur PAD terhadap PAD Surakarta Kontribusi Tahun
Komponen
Target
Realisasi
Growth
terhadap PAD
2009
2010
2011
2012
2013
PAD
110.842.157.60-
101.972.318.682,00
Pajak Daerah
51.463.000.00-
52.163.818.689,00
51,15
Retribusi Daerah
41.206.232.00-
37.783.489.12-
37,05
Kekayaan Daerah yang Dipisahkan
3.282.334.60-
3.457.905.34-
3,39
Lain-Lain Pendapatan Daerah yang Sah
14.890.591.00-
8.567.105.533,00
8,40
PAD
114.429.357.815,00
113.946.007.541,85
11,74
Pajak Daerah
54.423.668.00-
61.641.623.41-
18,17
54,10
Retribusi Daerah
42.756.415.00-
41.588.097.172,00
10,07
36,50
Kekayaan Daerah yang Dipisahkan
4.984.196.00-
4.984.197.541,00
44,14
4,37
Lain-Lain Pendapatan Daerah yang Sah
12.265.078.815,00
5.732.089.418,85
-33,09
5,03
PAD
176.176.060.00-
181.096.816.152,00
58,93
Pajak Daerah
102.241.123.00-
118.816.234.506,00
92,75
65,61
Retribusi Daerah
50.291.841.00-
47.671.386.16-
14,63
26,32
Kekayaan Daerah yang Dipisahkan
5.834.196.00-
4.464.830.924,00
-10,42
2,47
Lain-Lain Pendapatan Daerah yang Sah
17.808.900.00-
10.144.364.562,00
76,97
5,60
PAD
192.902.940.603,00
231.672.100.429,00
27,93
Pajak Daerah
110.924.929.00-
151.905.454.913,00
27,85
65,57
Retribusi Daerah
55.879.742.00-
55.056.791.081,00
15,49
23,76
Kekayaan Daerah yang Dipisahkan
5.168.468.603,00
5.118.469.295,00
14,64
2,21
Lain-Lain Pendapatan Daerah yang Sah
20.929.801.00-
19.591.385.14-
93,13
8,46
PAD
280.169.557.00-
298.400.846.632,00
28,80
Pajak Daerah
177.511.251.00-
193.906.210.948,00
27,65
83,70
Retribusi Daerah
64.551.068.00-
64.767.799.578,00
17,64
27,96
Kekayaan Daerah yang Dipisahkan
8.292.077.00-
8.244.980.845,00
61,08
3,56
Lain-Lain Pendapatan Daerah yang Sah
29.815.161.00-
31.481.855.261,00
60,69
13,59
Sumber : LKPD Surakarta 2009-2013
92
Berdasarkan tabel tersebut dapat diketahui kontribusi masing-masing struktur terhadap PAD Surakarta selama tahun 2009-2013. Dapat dilihat bahwa kontribusi terbesar terhadap PAD setiap tahunnya didapat dari kontribusi Pajak Daerah. Kontribusi terbesar pajak daerah terhadap PAD terjadi pada tahun 2013. Hal ini tidak lepas dari adanya peralihan PBB-P2 dari pajak pusat ke pajak daerah yang secara otomatis menambah jumlah penerimaan pajak daerah. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa peralihan PBB-P2 mulai diterapkan di Kota Surakarta tahun 2013, sehingga kontribusi PBB-P2 terhadap PAD Surakarta baru dapat diketahui mulai tahun 2013. Hal ini disebabkan karena pada tahun –tahun sebelumnya PBB-P2 masih merupakan Bagi Hasil antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sehingga angka penerimaan PBB-P2 termasuk di dalam Pendapatan Transfer dan tidak mempengaruhi PAD. Untuk menghitung kontribusi PBB terhadap PAD Surakarta dilakukan dengan cara menghitung rasio antara jumlah PAD dan jumlah penerimaan PBB-P2. Secara rinci jumlah kontribusi PBB-P2 terhadap PAD dapat dilihat dalam tabel 4.12 berikut : Tabel 4.12. Kontribusi PBB-P2 terhadap PAD Surakarta Tahu n
2013
Kontribu PAD
PBB-P2
298.400.846.6
47.333.613.6
32
15
si
15,86
Sumber : LKPD Surakarta 2013
Pada data tabel tersebut jumlah kontribusi PBB-P2 terhadap PAD terbilang cukup kecil karena hanya berkontribusi sebesar 15,86% dari total penerimaan PAD. Kecilnya kontribusi tersebut disebabkan karena jumlah penerimaan PBB yang masuk ke pajak daerah hanya dari 2 sektor yakni perdesaan dan perkotaan. Persentase tersebut juga dipengaruhi oleh kontribusi struktur lain khususnya dari pajak-pajak yang termasuk dalam struktur Pajak Daerah sebagai penyumbang terbesar bagi PAD Surakarta tahun 2013. Untuk mengetahui kontribusi masing-masing pajak di dalam pajak daerah dapat dilihat dalam tabel 4.13 berikut :
93
Tabel 4.13. Kontribusi PBB Terhadap Pajak Daerah 2013 No
Struktur Penerimaan
2014 %
terhadap
Pajak Daerah
Penerimaan
%
terhadap
Pajak Daerah
206.817.807.636
Pajak Daerah
193.906.210.948
1
Pajak Hotel
20.423.582.592
10,53
21.823.524.119
10,55
2
Pajak Restoran
18.423.246.926
9,50
22.044.607.996
10,66
3
Pajak Hiburan
8.999.556.122
4,64
9.058.599.351
4,38
4
Pajak Reklame
6.143.112.000
3,17
6.544.181.237
3,16
38.863.518.249
20,04
45.144.130.722
21,83
5
Pajak Penerangan Jalan
6
Pajak Parkir
2.029.861.115
1,05
2.531.463.410
1,22
7
Pajak Air Tanah
787.710.400
0,41
943.990.510
0,46
4.474.000
0,00
5.033.575
0,00
8
Pajak
Sarang
Burung Walet
9
PBB
47.333.613.615
24,41
50.140.548.281
24,24
10
BPHTB
50.897.535.929
26,25
48.581.728.435
23,49
Sumber : LKPD Surakarta Berdasarkan tabel tersebut dapat dilihat jumlah penerimaan PBB-P2 pada tahun 2013 adalah Rp 47.333.613.615,00 dan berkontribusi sebesar sebesar 24,41% terhadap Pajak Daerah. Jumlah kontribusi ini adalah jumlah kontribusi terbesar kedua setelah kontribusi BPHTB yang memiliki kontribusi terhadap pajak daerah sebesar 26,25%. Pada tahun 2014 jumlah penerimaaan PBB-P2 adalah Rp 50.140.548.281,00 dan berkontribusi sebesar 24,24% terhadap penerimaan pajak daerah. Jumlah penerimaan dan kontribusi PBB-P2 terhadap pajak daerah membuktikan adanya keuntungan yang diterima daerah dengan adanya peralihan PBB-P2 dari Pajak Pusat ke Pajak Daerah.
Kesimpulan Berdasarkan hasil dari penelitian tentang analisis peralihan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan Perkotaan dari pajak pusat ke pajak daerah dan kontribusinya terhadap Pendapatan Asli Daerah Kota Surakarata diperoleh kesimpulan sebagai berikut : 1.
Peralihan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan Perkotaan dari Pajak Pusat ke Pajak Daerah 94
Peralihan PBB-P2 dari pajak pusat ke pajak daerah ditujukan untuk meningkatkan kekuatan pajak daerah dalam membiayai setiap kebutuhan daerah. Peralihan ini menyertakan beberapa perubahan pada proses pemungutan PBB-P2 seperti objek PBB yang dipungut, tarif pemungutan PBB, NJKP dan NJOPTKP, formula penghitungan PBB, dan jumlah persentase yang diterima daerah. Kota Surakarta menerapkan peralihan ini mulai tanggal 1 Januari 2013.
2.
Kontribusi Pajak Bumi dan Bangunan terhadap Pendapatan Asli Daerah Kota Surakarta Kontribusi terbesar bagi PAD setiap tahun diberikan oleh pajak daerah.
Kontribusi terbesar pajak daerah terhadap PAD terjadi pada tahun 2013 yakni sebesar 83,70%. Hal tersebut tidak lepas dari adanya peralihan PBB-P2 yang mulai diterapkan di Kota Surakarta mulai tahun 2013. Kontribusi PBB-P2 terhadap PAD Surakarta pada tahun 2013 adalah 15,86%. Dalam pajak daerah PBB-P2 menjadi penyumbang terbesar kedua dengan kontribusi sebesar 24,41%.
Saran Peralihan PBB-P2 dari pajak pusat ke pajak daerah terbukti sangat membantu upaya peningkatan pajak daerah. Sebagai langkah selanjutnya dalam upaya peningkatan pajak daerah diharapkan ada kerja sama dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota, misalnya dengan mengeluarkan kebijakan peralihan terhadap pajak-pajak yang selama ini masih menjadi pajak bagi hasil. Pemerintah Daerah sebagai pihak yang memiliki kewenangan dalam mengelola PBB-P2, diharapkan mampu mengelola PBB-P2 tersebut secara maksimal dengan terus menggali potensi PBB-P2 yang ada sehingga penerimaan pajak daerah dapat lebih dioptimalkan. Manfaat dari peralihan pajak ini tidak akan diperoleh tanpa adanya kontribusi masyarakat dalam membayar pajak, masyarakatdiharapkan lebih taat dalam membayar pajak agar penerimaan dari sektor PBB-P2 yang masuk ke keuangan daerah dapat segera dimanfaatkan secara maksimal. Analisis peralihan PBB-P2 dari pajak pusat ke pajak daerah dan kontribusi terhadap PAD Surakarta diharapkan mampu dijadikan sebagai referensi dan tambahan informasi bagi pihak yang ingin memperdalam kasus yang sesuai dengan penelitian ini. Adapun kelemahan dalam 95
penelitian ini yakni peralihan PBB ke pajak daerah Kota Surakarta baru diterapkan pada tahun 2013 sehingga analisis data yang dilakukan kurang maksimal.
DAFTAR PUSTAKA Mafruhah, Izza. 2013. Laporan Akhir Kegiatan Penghitungan Potensi Peningkatan Pajak Daerah Kabupaten Ngawi. Penelitian tidak diterbitkan. Surakarta: LPPM UNS Surakarta. Kuncoro, Mudrajad. 2012 . Perencanaan Daerah. Jakarta: Salemba Empat Waluyo. 2007. Perpajakan Indonesia. Jakarta: Salemba Empat Waluyo. 2011. Perpajakan Indonesia. Jakarta: Salemba Empat Republik Indonesia. 2000. Undang-Undang No. 34 Tahun 2000 tentang Pajak dan Retribusi Daerah. Lembaran Negara RI Tahun 2000. Sekretariat Negara. Jakarta Republik Indonesia. 2009. Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah. Lembaran Negara RI Tahun 2009. Sekretariat Negara. Jakarta Republik Indonesia. 2014. Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Lembaran Negara RI Tahun 2014. Sekretariat Negara. Jakarta Republik Indonesia. 2014. Peraturan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri No. 15/pmk.07/2014 No. 10 Tahun 2014 tentang Tahapan Persiapan dan Pelaksanaan Pengalihan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan Perkotaan sebagai Pajak Daerah. Lembaran Negara RI Tahun 2014. Sekretariat Negara. Jakarta Kota Surakarta. 2011. Peraturan Daerah Kota Surakarta No. 13 Tahun 2011 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan Perkotaan. Lembaran Kota Surakarta Tahun 2011. Sekretariat Daerah. Surakarta Kota Surakarta. 2012. Peraturan Walikota Surakarta No. 15 Tahun 2012 tentang Pedoman Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Surakarta No. 13 Tahun 2011 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan Perkotaan. Lembaran Kota Surakarta Tahun 2012. Sekretariat Daerah. Surakarta Damang, 2012, Pendapatan Asli Daerah, (http://www.negarahukum.wordpress.com/pendapatan-asli-daerah.htm, tanggal 30 November 2014)
[online], diakses
Direktorat Jenderal Pajak,PENGALIHAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN (PBB-P2) SEBAGAI PAJAK DAERAH,http://www.pajak.go.id/PENGALIHAN-PAJAK-BUMI-DANBANGUNAN-PERDESAAN-DAN-PERKOTAAN-(PBB-P2)-SEBAGAI-PAJAKDAERAH.htm (diakses tanggal 13 Oktober 2014).
96
Dewangga, Jhohan., 2012, Pengertian dan Macam-Macam Pajak Daerah, [online], (http://www.jhohandewangga.wordpress.com/pengertian-dan-macam-macam-pajakdaerah.htm, diakses tanggal 28 November 2014) Direktorat Jenderal Pajak,SERI PBB – PENGALIHAN PBB MENJADI PAJAK DAERAH,http://www.pajak.go.id/seri-pbb-pengalihan-pbb-menjadi-pajakdaerah.htm (diakses tanggal 26 November 2014). Direktorat Jenderal Pajak, 2009, Booklet PBB, [pdf], (http://www.pajak.go.id/booklet PBB.pdf, diakses pada 12 Desember 2014) Direktorat Jenderal Pajak, 2009, Buku Panduan Hak dan Kewajiban Wajib Pajak, [pdf], (http://www.pajak.go.id/Buku Panduan Hak dan Kewajiban Wajib Pajak.pdf, diakses pada 28 November 2014) (2009), Surakarta dalam Angka Tahun 2008, Biro Pusat Statistik Kota Surakarta. _________, (2009), Surakarta dalam Angka Tahun 2009, Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kota Surakarta _________, (2010), Surakarta dalam Angka Tahun 2010, Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kota Surakarta _________, (2011), Surakarta dalam Angka Tahun 2011, Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kota Surakarta _________, (2012), Surakarta dalam Angka Tahun 2012, Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kota Surakarta _________, (2013), Surakarta dalam Angka Tahun 2013, Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kota Surakarta _________, (2010) Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Kota Surakarta tahun 2009, Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Provinsi Jawa Tengah _________, (2011) Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Kota Surakarta tahun 2010, Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Provinsi Jawa Tengah _________, (2012) Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Kota Surakarta tahun 2011, Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Provinsi Jawa Tengah _________, (2013) Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Kota Surakarta tahun 2012, Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Provinsi Jawa Tengah _________, (2014) Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Kota Surakarta tahun 2013, Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Provinsi Jawa Tenga
97
KETENTUAN PENULISAN 1. Ketentuan Umum Naskah merupakan hasil kajian teori atau empiris. Originalitas naskah atau artikel menjadi pertimbangan utama editor. 2. Bahasa Naskah atau artikel dapat ditulis dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. 3. Topik Topik kajian yang akan dipublikasikan dalam jurnal dinamika meliputi: -
Ekonomika Moneter dan Perbankan
-
Ekonomi Sumber Daya Manusia, Alam dan Lingkungan
-
Perencanaan Pembangunan, Ekonomi Pembangunan dan Regional
-
Ekonomi Internasional
-
Ekonomi Industri
4. Susunan a. Judul Judul ditulis tebal (BOLD) rata tengah (CENTER) font Times New Roman dengan ukuran 14 b. Penulis (nama lengkap, instansi, email) c. Abstrak dapat ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. -
Jumlah kata maksimal 200 kata
-
Kata kunci 3-5 kata
-
Klasifikasi JEL
d. Pendahuluan e. Perumusan masalah f. Landasan Teori g. Analisis dan Pembahasan h. Kesimpulan dan Rekomendasi i. Daftar pustaka (mengikuti APA Style)
98
5. Pengetikan Naskah diketik dengan jarak spasi 1,5 menggunakan font 12 pada kertas HVS ukuran kuarto (A4) dengan pengolahan kata Times New Roman, jumlah halaman antara 15-20 halaman (tidak termasuk lampiran). Contohnya: A. Judul Contoh:
Tingkatan pertama: A.(spasi)KEMAMPUAN
SEKTOR
PERTANIAN
DALAM
MENINGKATKAN PEREKONOMIAN DI INDONESIA
Tingkatan Kedua: 1.(spasi)Kemampuan
Sektor
Pertanian
dalam
Meningkatkan
Perekonomian di Indonesia B. Tabel
Nama tabel diurutkan dengan angka (contoh: Tabel 1, Tabel 2, dst).
Nama tabel di atas tabel, apabila ada keterangan diletakkan dibawah tabel dengan penulisan miring (italic).
Tabel tidak diberi full border namun hanya border atas, border setelah judul dan border paling bawah (lihat gambar)
99
C. Gambar
Pemberian nama pada gambar diletakkan dibawah gambar
Daftar gambar diurutkan dengan angka (contoh: gambar 1, gambar 2, dst)
6. Pengiriman Artikel Artikel yang dikirim belum pernah dimuat dalam media cetak lainnya. Pengiriman
dalam
bentuk
softcopy
dikirim
ke
email:
dilihat
pada
[email protected] Informasi
tentang
Jurnal
Dinamika
dapat
http://ep.fe.uns.ac.id/journal-progdi-ekonomi-pembangunan-18-JIEP-.html 7. Daftar pustaka Contohnya:
Buku: Nama Belakang Pengarang, Inisial. (tahun penerbitan). Judul buku (Edisi jika edisinya lebih dari satu). Tempat diterbitkan: Penerbit.
Bray, J., & Sturman, C. (2001). Bluetooth: Connect without wires. Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall.
Forouzan, B.A., & Fegan, S.C. (2007). Data communications and networking (4th ed.). New York: McGraw-Hill.
Penulisan buku dengan editor disertai (Ed.) untuk satu editor dan (Eds.) untuk lebih dari satu editor. Contohnya: 100
Maher, B. A. (Ed.). (1964–1972). Progress in experimental personality research (6 vols.). New York: Academic Press.
Artikel jurnal: Nama Belakang Pengarang, Inisial. (tahun penerbitan). Judul artikel. Judul Jurnal, Nomor volume – jika ada (Nomor issue), nomor halaman awal dan akhir dari artikel. Tseng, Y.C., Kuo, S.P., Lee, H.W., & Huang, C.F. (2004). Location tracking in a wireless sensor network by mobile agents and its data fusion strategies. The Computer Journal, 47(4), 448–460.
Paper yang diterbitkan di dalam proceeding: Nama Belakang Pengarang, Inisial. (tahun penerbitan). Judul artikel. In Inisial Editor Nama Belakang Editor (Ed.), Judul proceedings (pp. halaman awal–halaman akhir). Tempat penerbitan: Penerbit. Fang, Q., Zhao, F., & Guibas, L. (2003). Lightweight sensing and communication protocols for target enumeration and aggregation. In M. Gerla, A. Ephremides, & M. Srivastava (Eds.), MobiHoc ’03 fourth ACM symposium on mobile ad hoc networking and computing (pp. 165–176). New York, NY: ACM Press.
Halaman web: Nama Belakang Pengarang, Inisial. (tahun situs diproduksi atau tahun penerbitan dokumen). Judul dokumen. Retrieved from situs sumber Aturan-aturan lain adalah: Jika tanggal tidak ada maka gunakan n.d. Jika nama pengarang tidak ada maka nama organisasi bisa dituliskan sebagai pengarang. Jika pengarang sama sekali tidak ada maka awali referensi dengan judul dokumen. Jika dokumen tersebut merupakan bagian dari situs web yang besar maka sebutkan nama organisasi dan departemen yang bersangkutan diikuti karakter : dan alamat situs.
101
Banks, I. (n.d.). The NHS Direct healthcare guide. Retrieved from http://www.healthcareguide.nhsdirect.nhs.uk Alexander, J., & Tate, M. A. (2001). Evaluating web resources. Retrieved from Widener University, Wolfgram Memorial Library website: http://www2.widener.edu/Wolfgram-Memorial Library/webevaluation/webeval.htm Bibliographic references Harvard format APA style. (2011). Retrieved from University
of
Portsmouth
website:
http://www.port.ac.uk/library/guides/filetodownload,137568,en.pdf
102